Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 15

Cheng In dan Ang Hwa mengeluarkan keringat dingin, bersyukur bahwa pemuda ganteng ini akhirnya tidak mencelakakan mereka yang mutlak telah kalah itu. Dengan muka merah keduanya membungkuk, mengambil pedang masing-masing sambil mengerahkan tenaga untuk mencabut pedang. Sesudah hal ini terlaksana, mereka saling pandang dan menjadi pucat.

"Celaka... Ceng In cici... pipimu...!" jerit Ang Hwa.

"Ang Hwa siauwmoi... pipimu sendiri kenapa...?” kata Cheng In.

Secara otomatis mereka serentak mengangkat tangan sambil melepaskan pedang, kedua telapak tangan mengusap-usap pipi yang halus putih itu. Kini, entah dari mana datangnya, pada kulit pipi yang halus itu terdapat ‘cap’ bundar merah seperti bulan purnama di kanan kiri merupakan ‘tembong’ yang cukup besar urttuk membuat muka mereka menjadi mirip seperti muka badut!

Mereka saling pandang penuh perhatian karena maklum bahwa mereka mengalami nasib yang sama, bahwa melihat tanda merah di pipi kawan sama dengan melihat tanda di pipi sendiri. Melihat bentuk bulat dan ukuran besarnya, keduanya mengerti dan dengan marah mereka memandang ke arah Wi Liong.

"Kau... kau telah menghina kami...!" teriak Ang Hwa sambil terisak, dalam suaranya jelas terkandung nada ancaman.

"Tak bisa lain, tanda merah di pipi kami ini tentu dibuat oleh sulingmu yang terkutuk itu!" bentak Cheng In marah.

Wi Liong tersenyum. "Nona-nona yang baik. Tadi pedangmu mengancam nyawaku yang hanya ada satu, sedangkan sulingku hanya menyentuh sedikit pipi kalian, kenapa marah-marah? Aku hanya memberi peringatan agar lain kali kalian tidak begitu ganas dan kejam, mudah saja hendak membunuh orang."

Cheng In dan Ang Hwa maklum bahwa tiada gunanya melawan, mereka toh akan kalah. Dengan marah sekali mereka mengambil pedang masing-masing dan tanpa pamit mereka melompat turun dari loteng rumah makan, tidak melalui anak tangga lagi tetapi langsung melompat keluar terus berlari pergi!

Tiga orang ketua Hai-liong-pang yang sudah melihat dengan mata kepala sendiri betapa hebatnya pemuda iitu di samping Seng-goat-pian yang sudah membikin keok mereka, kini berdiri di sudut dengan kepala tunduk, mati kutu sama sekali.

"Orang she Thio, kau tunggulah saja. Sian-su akan datang membalaskan sakit hati kami!" dari jauh terdengar Cheng In berseru dengan pengerahan tenaga khikang.

"Orang muda, mari kita pergi dari sini," tiba-tiba Kam Ceng Swi berkata sambil memegang tangan orang dan ditarik pergi menuruni anak tangga. Di kepala tangga dia menoleh dan berkata kepada tiga orang ketua Hai-liong-pang,

"Harap saja kejadian hari ini akan membuat kalian berlaku lebih adil dan pantas terhadap kaum nelayan yang miskin!" Tanpa menanti jawaban ia lalu menarik tangan Wi Liong dan dibawa lari menjauhi tempat itu.

"Lo-enghiong hendak mengajak aku ke manakah?" tanya Wi Liong terheran-heran sambil tersenyum. Kalau dia mau, tentu saja dengan mudah dia dapat menarik lepas tangannya yang dipegang. Akan tetapi karena dia percaya bahwa kakek ini tidak berniat jahat, maka dia menurut saja dan ikut berlari-lari.

"Ikut saja, nanti kuberi-tahu!" jawab Kam Ceng Swi mempercepat larinya.

Sesudah berlari jauh meninggalkan kota Ningpo dan memasuki sebuah hutan di sebelah barat kota itu, baru Kam Ceng Swi berhenti, memandang ke belakang dan menarik napas panjang penuh kelegaan hati.

"Orang muda, kau bernama Thio Wi Liong, bukankah kau ini anak keponakan Kwee Sun Tek?"

"Kam-lo-enghiong bagaimana bisa tahu? Memang betul aku keponakannya."

"Aku adalah seorang Kun-lun-pai. bagaimana tidak tahu? Aku berada di sana ketika kau diantar oleh pamanmu ke puncak Kun-lun untuk mencari Bhok Lo Cinjin ketua Siauw-lim-pai."

"Ahh, kalau begitu aku berlaku kurang hormat," kata Wi Liong sambil menjura.

"Tak usah menggunakan banyak upacara, orang muda. Aku malah girang sekali bertemu dengan kau, girang dan kagum melihat bahwa kau sudah menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa. Akan tetapi aku mengharap keteranganmu, orang muda. Kau tentu masih ingat bahwa pada saat kau diculik oleh Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li, ada seorang bocah lain yang terculik bersamamu."

"Kun Hong...?” tanya Wi Liong yang tentu saja ingat kepada bocah nakal itu.

"Ya... ya, dia Kam Kun Hong... anakku..."

Wi Liong kaget sekali dan memandang kepada kakek itu. Tak dinyana sama sekali bahwa bocah nakal itu adalah putera kakek yang simpatik ini. Sinar kasihan terpancar keluar dari pandang matanya dan ini agaknya terasa oleh Kam Ceng Swi yang menjadi pucat ketika bertanya.

"Apa yang telah terjadi dengan Kun Hong anakku? Thio-siauwhiap, lekas katakan, apakah yang telah terjadi dengan dia?"

"Menyesal sekali aku tidak bisa menjawab pertanyaan ini, lo-enghiong, karena aku sendiri juga tidak tahu di mana adanya puteramu itu."

Dengan jelas Wi Liong lalu menceritakan pengalamannya ketika dulu bersama Kun Hong dia diculik oleh Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li sampai kemudian dia ditolong oleh Thian Te Cu.

"Sayang Kun Hong tidak mau ikut suhu dan lebih suka menjadi murid dua orang itu, tentu sekarang dia pun masih ikut Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li yang menjadi gurunya," Wi Liong menutup penuturannya.

Kam Ceng Swi menarik napas panjang. Diam-diam dia merasa menyesal sekali mengapa Kun Hong tidak mau ditolong oleh Thian Te Cu seperti Wi Liong yang ternyata sekarang telah memiliki kepandaian tinggi sekali.

"Di mana anak itu? Sudah sepuluh tahun berpisah, apa dia tidak ingat padaku?” orang tua itu berkata seorang diri.

Wi Liong memandang heran. Masa ada anak yang tidak ingat pada ayahnya? Akan tetapi Kam Ceng Swi berpikir lain. Ia teringat akan waktu dahulu ketika ia mengangkat seorang bayi yang menangis di samping jenazah ibunya. Teringat betapa dengan susah payah dia memelihara bocah itu sampai besar, bocah yang dia sayangi seperti kepada anak sendiri. Kemudian anak itu menghilang, diculik manusia-manusia iblis!

Kam Ceng Swi terkejut dan segera sadar dari lamunannya ketika Wi Liong menegurnya, "Lo-enghiong, kau mengajakku ke sini apakah hanya untuk bertanya tentang Kun Hong?”

"Betul... hanya untuk itu..."

"Akan tetapi tadi lo-enghiong kelihatan seperti orang ketakutan dan agaknya ingin cepat-cepat membawa aku keluar dari kota Ningpo, Sebenarnya apakah yang menggelisahkan hati lo-enghiong?”

"Kau bermata awas dan berotak cerdik pula, kuharap saja Kun Hong juga seperti kau ini," kakek itu mengangguk-angguk, "ya benar... dahulu dia juga cerdik dan pintar, juga sebaya dengan kau..."

"Aku lebih tua satu atau dua tahun," kata Wi Liong teringat kepada bocah cilik yang nakal sekali dan dahulu begitu bertemu telah menantangnya dan mengajaknya berkelahi! ”Akan tetapi, siapakah yang lo-enghiong takuti tadi?"

"Thai Khek Sian," jawab Kam Ceng Swi dengan suara sungguh-sungguh, ”tadi aku takut kalau-kalau dia mendadak datang."

"Penghuni Pek-go-to?”

Kakek itu mengangguk. "Dia orang nomor satu, atau setidaknya seorang di antara tokoh-tokoh terbesar di kalangan Mokauw. Kepandaiannya tinggi bukan main dan kekejamannya sudah terkenal di kolong langit. Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li bukan apa-apa jika dibandingkan dengan tokoh besar itu."

"Aku tidak takut!" kata Wi Liong yang merasa tidak senang setelah mengetahui bahwa dia tadi diajak lari-lari karena takut terhadap Thai Khek Sian. Masa dia harus berlari-lari untuk melarikan diri karena ketakutan?

"Tetapi aku takut, Wi Liong. Aku khawatir kalau-kalau kau akan mengalami bencana kalau Thai Khek Sian muncul. Oleh karena itulah aku mengajakmu melarikan diri."

Wi Liong berperasaan halus. Dia menjadi terharu mendengar kata-kata ini. Tadi di atas loteng rumah makan dia telah menyaksikan sendiri keberanian dan kegagahan tokoh Kun-lun-pai ini, menyaksikan betapa untuk menjaga nama serta kehormatan, kakek ini tidak takut menghadapi maut di tangan dua orang wanita utusan Pek-go-to yang lihai.

Namun sekarang, karena takut kalau dia sampai terkena celaka, kakek itu mengajaknya lari. Ini merupakan tanda bahwa kakek itu sayang kepadanya! Mungkin sayang ini timbul karena kakek yang hidupnya kesunyian ini terlalu rindu pada puteranya sehingga merasa sayang terhadap setiap orang muda. Buktinya, ketika di rumah makan kakek itu pun telah beramah-tamah dan bergembira dengan serombongan anak muda yang tidak dikenalnya sama sekali.

"Harap lo-enghiong jangan mengkhawatirkan aku. Kiranya Thai Khek Sian tak akan begitu mudah mencelakakan aku, siapa pun juga dan orang macam apa dia itu!" Setelah berkata demikian, Wi Liong lalu memutar tubuh dan berlari cepat hendak kembali ke kota Ningpo.

"Wi Liong, tunggu...!' Kam Ceng Swi berseru sambil berlari mengejar.

Kakek ini sudah tahu betul siapa adanya Thai Khek Sian dan orang macam apa tokoh iblis ini. Dia sangat sayang melihat Wi Liong yang tentu akan celaka apa bila bertemu dengan Thai Khek Sian.

"Kalau lo-enghiong takut kepada Thai Khek Sian, jangan kembali, biarlah aku sendiri yang melihat orang macam apakah dia itu!" jawab Wi Liong.

Maklum bahwa orang muda yang behati keras dan tabah ini tidak mungkin mau menurut bujukannya supaya menjauhkan diri dari Thai Khek Sian, terpaksa Kam Ceng Swi berlari cepat mengikuti Wi Liong, hatinya gelisah bukan main…..

********************

Kita tinggalkan dulu Wi Liong dan Kam Ceng Swi untuk menengok ke puncak Wuyi-san, karena sepeninggal Wi Liong yang turun gunung memenuhi perintah pamannya, di puncak itu terjadi hal yang menarik.

Seperti telah dituturkan pada bagian depan, di puncak Wuyi-san hanya tinggal tiga orang, yaitu Thian Te Cu. Kwee Sun Tek; dan Thio Wi Liong. Sesudah sekarang Wi Liong turun gunung dan Thian Te Cu mengurung diri di dalam kamar, Kwee Sun Tek hidup kesepian. Baiknya dia sudah banyak mempelajari ilmu batin, juga kepandaiannya sudah meningkat tinggi maka dia melewatkan waktu menganggurnya dengan bersemedhi atau melatih ilmu silatnya yang dia dapatkan dari petunjuk Thian Te Cu.

Kalau dibandingkan dengan dulu, Kwee Sun Tek kini telah memperoleh kemajuan hebat, dan biar pun kedua matanya sudah buta, akan tetapi kepandaiannya jauh lebih sempurna dari pada dahulu ketika dia masih pandai melihat.

Pada suatu hari, ketika Kwee Sun Tek tengah duduk terpekur, mengenang sambil berdoa agar keponakannya selamat di perjalanan dan bisa memperoleh keterangan tentang Beng Kun Cinjin musuh besarnya, dia mendengar suara tindakan kaki orang yang amat ringan. Kagetlah hati Kwee Sun Tek karena biar pun dia buta, telinganya yang berpendengaran tajam terlatih itu dapat membedakan tindakan kaki orang.

Bahkan dia dapat mengetahui bahwa yang datang adalah seorang luar yang tidak berniat baik, kentara dari tindakan kakinya yang ringan berhati-hati dan ragu-ragu seperti lakunya seorang pencuri yang sedang memasuki rumah orang. Kwee Sun Tek cepat menyelinap dan bersembunyi di balik tembok tebal, menanti dengan hati berdebar.

Siapakah orangnya yang berani mendatangi tempat bertapa Thian Te Cu dan mau apa? Ia merasa menyesal sekali bahwa ia tidak dapat melihat lagi siapa orangnya yang berani mati ini. Menilik dari suara gerakan kakinya, biar pun pendatang ini memiliki ginkang yang cukup tinggi, akan tetapi bukan apa-apa baginya, apa lagi bagi Thian Te Cu! Benar-benar menggelikan sekali jika orang dengan tingkat kepandaian seperti itu saja berani menyerbu tempat tinggal Thian Te Cu!

"Tentu seorang yang masih muda," pikir Kwee Sun Tek. Kalau seorang kang-ouw yang sudah lanjut usianya sudah pasti pernah mendengar tentang Thian Te Cu dan tidak begitu bodoh untuk mencari penyakit.

Sayang Kwee Sun Tek tidak dapat melihat bahwa dugaannya itu ternyata memang tepat sekali. Orang yang begini berani mati mengunjungi tempat kediaman Thian Te Cu sebagai seorang pencuri ini bukan lain adalah Kam Kun Hong!

Sesudah berhasil meninggalkan Tok-sim Sian-li, gurunya yang mati-matian mencintainya seperti seorang kekasih itu, pemuda ini lalu berlari terus menuju ke Wuyi-san. Memang ke situlah dia hendak pergi, dengan maksud untuk mencuri atau merampas pedang pusaka Cheng-hoa-kiam dari tangan Kwee Sun Tek atau Thio Wi Liong, sekalian untuk menjajal kepandaian Wi Liong guna menebus kekalahannya sepuluh tahun yang lalu!

Dia tidak peduli dengan peringatan Tok-sim Sian-li yang takut setengah mati mendengar muridnya terkasih itu hendak pergi ke Wuyi-san. Akan tetapi Kun Hong tidak takut. Mana ada anak kerbau yang masih hijau takut akan harimau?

Demikianlah, pada siang hari itu Kun Hong berhasil mendaki Wuyi-san sampai di puncak. Melihat keadaan yang sunyi senyap itu, hati Kun Hong semakin besar. Kini dia telah maju hingga sampai di depan rumah batu.

Dia heran dan kagum melihat tempat tinggal terbuat dari pada batu ditumpuk-tumpuk itu, tempat tinggal yang kelihatan megah dan angker. Pintu depan yang lebar berupa gapura yang tidak ada daun pintunya, terbuka celangap begitu saja seperti mulut gua. Kun Hong berlaku hati-hati, menghampiri pintu gapura itu dengan perlahan, seluruh urat di tubuhnya menegang, siap menghadapi setiap kemungkinan.

Akan tetapi sunyi-sunyi saja. Dia masuk dan longak-longok. Sunyi, tidak terdengar suara apa-apa. Rumah kosongkah? Salah carikah dia? Tak mungkin. Di puncak tak ada rumah lain. Inilah rumah satu-satunya. Ataukah penghuninya sedang pergi atau sudah pindah?

Kun Hong tidak segera masuk, hanya memandang dari luar penuh perhatian. Dia melihat lantai serta dinding batu bersih terpelihara, hatinya lega. Rumah ini terawat, tanda bahwa penghuninya ada.

Andai kata ternyata dia keliru memasuki rumah orang lain, dia dapat menanyakan di mana tempat tinggal Thian Te Cu. Maka dengan besar hati dan tabah sekali Kun Hong masuk, celingukan dan mulai memeriksa. Sama sekali dia tak menyangka bahwa gerak-geriknya selalu diperhatikan orang, selalu diikuti oleh pendengaran yang amat tajam.

Segera Kun Hong merasa kecewa sekali. Dia tidak melihat siapa pun juga di dalam rumah batu yang besar itu. Rumah ini kosong, pikirnya. Telah ada tiga buah kamar dimasukinya, namun di dalam kamar-kamar itu tidak terdapal apa-apa. Ia memeriksa terus, penasaran.

Kwee Sun Tek yang terus mengikuti gerak-gerik pemuda itu dengan pendengarannya, tahu belaka ke mana Kun Hong bergerak dan diam-diam tersenyum mendengar ‘pencuri’ itu memasuki kamar-kamar kosong. Namun dia terkejut sekali ketika mendengar gerakan pendatang itu yang membuka pintu kamar Thian Te Cu! Orang itu benar-benar mencari celaka, pikirnya dengan hati berdebar.

Ia menanti dengan penuh perhatian, sambil mendengarkan dengan kepala dimiringkan, la mendengar pintu kamar itu dibuka dari luar dan gerakan kaki maling itu memasuki kamar dan... tidak terjadi sesuatu, sunyi saja! Sun Tek menjadi terheran-heran, apa lagi ketika ia mendengar maling itu keluar dari kamar Thian Te Cu dan menggerutu.

"Sialan benar, rumah setan ini agaknya kosong...!"

Jelas bahwa Thian Te Cu tidak berada di dalam kamarnya. Ke manakah perginya orang tua itu? Sun Tek benar-benar merasa heran sekali, baru saja tadi dia mendengar gerakan kakek itu di kamarnya. Akan tetapi orang selihai Thian Te Cu memang tak mungkin diikuti gerak-geriknya.

Kun Hong memang tidak melihat siapa-siapa di dalam kamar tadi, dan kini dia memasuki kamar terakhir yang berada di belakang. Melihat orang memasuki kamar belakang. Kwee Sun Tek menjadi khawatir, karena di ruang belakang inilah dia menyimpan barang-barang dan juga pedang Cheng-hoa-kiam! Cepat ia menyelinap dan bersembunyi di balik dinding, mengintai dari sebuah lubang yang sengaja dibuat untuk mengintai ke dalam ruangan.

Begitu memasuki ruangan ini, Kun Hong mengeluarkan seruan tertahan.

"Aahhh, tempat ini tentu ada penghuninya..." pikirnya ketika melihat kotak-kotak dan peti-peti yang berjajar di situ.

Dia lantas teringat akan pedang Cheng-hoa-kiam yang dahulu dirampas oleh Thian Te Cu dari tangan Bu-ceng Tok-ong. Timbul harapannya untuk mencari pedang itu. Siapa tahu berada di antara peti-peti itu.

Kun Hong bukan seorang pencuri, akan tetapi sekarang terpaksa dia membuka-bukai peti orang lain. Hatinya berdebar dan tangannya sedikit gemetar. Dia melihat pakaian-pakaian orang, pakaian sederhana, tetapi tidak melihat pedang. Dia lalu membuka peti ke dua dan seterusnya. Selain pakaian, isinya hanya perabot-perabot dapur dan makan.

Kini dia tiba pada peti terakhir, peti kecil panjang yang terletak di sudut dekat pintu. Tepat di atas peti itu terdapat lubang pada dinding dari mana Sun Tek mengintai. Tentu saja dia segera menyelinap pergi ketika mendengar orang di dalam ruangan itu mendekati lubang, lalu mengintai lagi dengan hati-hati.

Kun Hong membuka peti, bergerit bunyi tutup peti dibuka saking sudah lama tidak pernah dibuka. Sinar putih berkilauan keluar dari peti itu, sinar pedang Cheng-hoa-kiam yang tak bersarung. Kun Hong mengeluarkan seruan girang. Ia tidak tahu apakah pedang ini betul Cheng-hoa-kiam, akan tetapi tak dapat disangkal lagi sebuah pedang pusaka yang amat baik.

Pada saat itu dia mendengar suara angin menyambar, suara yang datangnya dari pintu. Ia menengok dan matanya masih melihat bayangan berkelebat. Akan tetapi ia tidak yakin apakah betul dia melihat bayangan orang tadi lewat di pintu. Kalau betul orang, mengapa tidak terdengar tindakan kakinya? Dan bayangan itu majunya begitu lambat, tetapi kenapa tidak kelihatan orangnya? Memang benar bentuknya seperti sosok tubuh manusia, akan tetapi mana ada manusia bisa terbang dan menghilang? Bergidik juga pemuda gagah ini dan bulu tengkuknya berdiri.

Ia memiliki bermacam dugaan. Entah matanya yang melihat bayangan akibat memikirkan yang bukan-bukan, entah betul sudah melihat setan di siang hari atau... melihat bayangan manusia yang luar biasa saktinya. Saking tercengang dan kaget, dia sampai tidak melihat ada orang lain yang berdiri tepat di depannya, hanya terpisah tembok batu, orang yang kepalanya melongok dari balik lubang di depannya.

Seluruh perhatiannya telah habis ditujukan kepada bayangan aneh di pintu tadi, maka Kun Hong tidak memperhatikan lubang di atas kepalanya. Kalau saja dia melihat wajah yang berjenggot lebat dan sepasang mata yang melotot di depannya itu, tentu dia akan menjadi kaget sekali. Akan tetapi wajah itu hanya sebentar saja mengintai, kemudian lenyap.

Kun Hong tidak segera mengambil pedang. Dia berlaku hati-hati, maklum bahwa pedang pusaka tidak mungkin digeletakkan begitu saja. Kalau tidak ada orang menjaganya, tentu ada rahasianya.

Ketika dia mengamat-amati, alangkah girang hatinya melihat pada gagang pedang itu ada ukiran dua huruf kecil berbunyi ‘Cheng Hoa’. Tidak salah lagi, inilah Cheng-hoa-kiam yang dimaksudkan oleh suhu-nya. Inilah pedang pusaka yang harus ia rampas.

Betapa mudahnya, tinggal mengambil saja! Akan tetapi belum juga tangannya menjamah pedang, terdengar bentakan keras, "Maling rendah! Kau hendak mencuri apa?!"

Kun Hong kaget sekali, apa lagi ketika orang itu menggerakkan tangan mencengkeram ke pundaknya dengan tenaga dahsyat sampai mendatangkan angin. Dia cepat melompat ke samping dan terus kabur!

Kun Hong bukan seorang penakut, akan tetapi ia bukan pencuri dan sekarang ia kepergok sedang hendak melakukan pencurian, maka ia menjadi malu sekali dan tak mau melayani orang. Lebih baik lekas-lekas kabur sebelum orang mengenalnya. Alangkah malunya bila kelak ia disohorkan sebagai seorang pencuri!

Memang Kun Hong dididik oleh dua orang manusia iblis yang tak segan-segan membunuh orang, menyiksa orang atau mencurangi orang, akan tetapi mencuri? Ini adalah perbuatan yang amat rendah, yang manusia-manusia macam Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li sekali pun tidak sudi melakukannya!

Mereka mau merampas, mau merampok, akan tetapi tidak sudi mencuri. Mempergunakan kesempatan selagi orang tidak ada atau tidur untuk mengambil barangnya, inilah tindakan pengecut dan tidak tahu malu. Sebaliknya, merampas atau merampok dilakukan dengan mengandalkan kepandaian, setelah lebih dulu mengalahkan pemiliknya, inilah perbuatan yang termasuk perbuatan gagah. Demikian jalan pikiran orang-orang macam mereka.

Jalan pikiran yang dipengaruhi dengan hukum rimba, hukum liar yang menentukan bahwa siapa kuat dialah yang berkuasa, sudah tentu jalan pikiran macam ini tidak benar, karena mencuri, menyopet, merampas atau merampok bagi seorang manusia sama buruknya, sama jahatnya karena mengambil hak milik orang.

"Maling busuk, kau hendak lari ke mana?!” bentak Kwee Sun Tek yang cepat mengejar.

Walau pun kedua matanya sudah buta, akan tetapi Sun Tek dapat bergerak cepat sekali dan pendengarannya yang tajam dapat membuat dia tahu ke mana larinya maling itu. Dia sudah tinggal di puncak ini selama sepuluh tahun lebih, meski dia buta, namun dia sudah hafal benar akan keadaan di situ dan dapat bergerak leluasa sekali tanpa dibantu tongkat. Tentu saja kalau ia pergi ke tempat lain, atau turun dari puncak, ia takkan dapat bergerak secepat itu, melainkan harus berhati-hati agar jangan terjeblos ke dalam jurang.

Kun Hong semakin bingung. Ternyata pengejarnya itu memiliki gerakan yang cepat sekali. Untuk melawan ia merasa malu karena ia telah melakukan perbuatan mencuri. Sekarang di depannya terdapat batu-batu gunung yang berukuran besar, maka dia cepat menyelinap dan bersembunyi di balik sebuah batu besar.

Aneh! Orang yang mengejarnya tiba-tiba berhenti di dekat batu itu, mengerutkan kening sambil miringkan kepala, berdiri tegak tanpa bergerak sedikit pun. Matanya tetap melotot memandang ke depan tanpa sinar, hanya telinga kiri yang dipasang ke arah depan.

Melihat ini Kun Hong terheran-heran, tetapi sejenak kemudian dia mulai mengenal muka ini. Benar, tak salah lagi. Inilah Kwee Sun Tek yang dulu pernah membawa Thio Wi Liong ke puncak Kun-lun-san! Akan tetapi mengapa agaknya orang ini menjadi buta?

Memang dulu Kun Hong tidak tahu bahwa Sun Tek yang matanya melotot itu sebetulnya telah buta. Dia telah dibawa pergi oleh Tok-sim Sian-li dari puncak ketika orang-orang lain mendapat kenyataan tentang kebutaan Sun Tek.

Melihat bahwa orang yang mengejarnya adalah Kwee Sun Tek paman dari Thio Wi Liong dan orangnya buta lagi, lenyap rasa malu di hati Kun Hong. Kalau pengejarnya buta, dia takut apa? Malah dia bisa mempermainkannya, pikir pemuda nakal ini.

Perlahan-lahan ia keluar dari tempat sembunyinya, tapi betapa pun perlahan gerakannya, masih terdengar oleh Kwee Sun Tek yang cepat melompat mendekat dan membentak,

"Maling cilik, kau hendak lari ke mana?!”

"Orang tua, aku bukan lari karena takut, tapi aku tidak tega melawan orang buta," jawab Kun Hong penuh ejekan.

"Setan keparat! Apa kau tidak tahu bahwa kau telah datang di tempat kediaman Thian Te Cu lo-siansu? Mengapa kau berani berlaku kurang ajar? Siapakah kau?”

"Aku bukan kurang ajar, tetapi memang aku datang hendak mengambil Cheng-hoa-kiam. Bukankah pedang itu dulu juga diperoleh dengan jalan merampas dari tangan orang lain? Sekarang giliranku untuk memilikinya. Mau tahu aku siapa? Cari saja keluarga Kwa di kota Poan-kun,..."

Memang Kun Hong sengaja mempermainkan. Dalam menghadapi Kwee Sun Tek itu dia teringat akan pengalamannya di dalam hutan dekat kota Poan-kun pada saat ia dikeroyok anjing-anjing kepunyaan Ciok Kim Li gadis manis itu. Dia teringat ketika Ciok Sam, ayah gadis itu yang kemudian dibunuhnya, marah-marah dan menyatakan bahwa anjing-anjing itu didapat dari Kwa-lo-enghiong di Poan-kun. Maka nama inilah yang dia gunakan untuk mempermainkan Kwee Sun Tek. Tidak disangkanya sama sekali bahwa Kwee Sun Tek kelihatan terkejut mendengar nama ini.

"Apa kau bilang? Kau maksudkan Siang-jiu Lo-thian Kwa Cun Ek yang tinggal di Poan-kun?”

Tentu saja Kun Hong melengak. Dia tidak mengenal siapa itu Siang-jiu Lo-thian Kwa Cun Ek, juga tadi nama keluarga Kwa di Poan-kun dia bawa-bawa secara ngawur saja. Akan tetapi karena sudah kepalang membohong, sambil tertawa dia berkata, "Tentu saja, mana ada orang she Kwa lainnya?"

Kwee Sun Tek kelihaian bingung dan terheran-heran. "Kau... kau apanya?”

Kun Hong memang seorang yang berwatak nakal, suka mempermainkan orang dan suka melihat orang lain menderita. Kini menghadapi Kwee Sun Tek yang buta, ia sengaja ingin mempermainkan kakek ini, maka ditanya begitu ia menjawab makin melantur lagi.

"Aku? Ahh, aku mantunya!”

Sungguh sama sekali tidak dinyana oleh Kun Hong bahwa jawabannya ini membuat Sun Tek tiba-tiba menjadi pucat mukanya.

"Ucapan apa ini?! Kau mau bilang bahwa kau suami Kwa Siok Lan...?"

Untuk kedua kalinya Kun Hong tercengang. Bagaimana ada hal yang begitu kebetulan? Dia tadi ngawur saja mengaku mantu dari orang bernama Kwa Cun Ek tanpa mengetahui apakah orang she Kwa itu punya anak perempuan ataukah tidak. Dan ternyata orang itu betul-betul punya anak perempuan yang agaknya bernama Kwa Siok Lan!

Sambil menahan ketawanya, pemuda nakal itu menjawab, "Tentu saja!"

"Kau bohong! Kau penipu!" Kwee Sun Tek membentak sambil menyerang hebat dengan pukulan tangan kiri, disusul cengkeraman tangan kanan.

Serangan ini dahsyat bukan kepalang dan tenaga lweekang dari Kwee Sun Tek tak boleh disamakan dengan dahulu sebelum dia menerima petunjuk dari Thian Te Cu. Kun Hong sampai menjadi kaget sekali dan cepat-cepat ia melompat mundur untuk menyelamatkan diri dari pukulan dan cengkeraman berbahaya itu.

"Nanti dulu!" dia berseru, masih belum hilang kagetnya menyaksikan serangan demikian hebatnya dari kakek ini. "Bagaimana kau bisa bilang aku pembohong dan penipu?”

"Kwa Siok Lan itu tunangan keponakanku Wi Liong, dia masih gadis mana bisa kau bilang bahwa kau suaminya?!” bentak Kwee Sun Tek.

Memang hal ini betul. Kwa Cun Ek pernah datang mengunjungi Thian Te Cu di Wuyi-san untuk sekedar menyampaikan hormat dan kagumnya kepada tokoh besar ini. Dia bertemu dengan Kwee Sun Tek dan juga melihat Wi Liong. Timbul rasa sukanya melihat pemuda itu, apa lagi melihat bahwa Wi Liong adalah murid Thian Te Cu. Ia lalu berunding dengan Kwee Sun Tek, mengusulkan perjodohan antara puteri tunggalnya, Kwa Siok Lan dengan Wi Liong.

Tadinya Kwee Sun Tek belum dapat mengambil keputusan, akan tetapi Thian Te Cu lalu menyatakan bahwa memang Wi Liong berjodoh dengan puteri Siang-jiu Lo-thian Kwa Cun Ek ini, maka terjadilah ikatan jodoh. Ketika itu Wi Liong baru berusia tiga belas tahun.

Sampai dewasa Wi Liong sama sekali belum pernah bertemu muka dengan gadis yang menjadi tunangannya, sungguh pun dia telah tahu bahwa tunangannya bernama Kwa Siok Lan, puteri dari tokoh besar di dunia kang-ouw yang berjuluk Siang-jiu Lo-thian (Sepasang Kepalan Mengacau Langit).

Keterangan itu tentu saja membuat Kun Hong kaget sekali sekaligus juga girang karena ia mendapat kesempatan mempermainkan paman dari Wi Liong, bahkan bisa mengacaukan urusan perjodohan Thio Wi Liong, orang yang dia benci semenjak mereka saling bertemu sepuluh tahun yang lalu.

"Aku dan nona Kwa belum menikah, akan tetapi sudah saling mencinta dan berjanji kelak akan menikah. Apakah hal itu tidak sama saja artinya dengan ikatan perjodohan?” ejeknya dan pemuda yang curang ini tiba-tiba mengirim pukulan ke arah dada Kwee Sun Tek.

"Bukkk!"


Pukulan itu tepat mengenai dada orang buta itu. Hal ini tidak mengherankan karena ketika mendengar ucapan Kun Hong, Kwee Sun Tek menjadi demikian kaget, heran dan marah sampai dia berdiri melenggong, perhatiannya terpecah dan ketajaman telinganya menjadi terganggu. Oleh karena itu ia tidak dapat melihat datangnya pukulan yang tepat mengenai dadanya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar