Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 17

Sementara itu sudah terjadi perobahan besar dalam pimpinan bala tentara Mongol yang pada waktu itu sedang berkembang hebat dan melakukan penyerbuan ke barat sampai menggegerkan setengah dunia.

Seperti yang telah dituturkan di bagian depan, ketika Beng Kun Cinjin Gan Tui masih aktif membantu pergerakan pasukan Mongol, bala tentara yang perkasa ini sedang melakukan penyerbuan ke wilayah barat. Kemudian Beng Kun Cinjin mengetahui ketidak-setiaan Kiu Hui Niang sehingga membuat dia mata gelap, membunuh Hui Niang yang dicintainya itu lalu minggat tidak kembali ke kota raja.

Jengis Khan kecewa mendengar bahwa Beng Kun Cinjin melarikan diri karena kakek itu sebenarnya merupakan tenaga bantuan yang amat kuat. Akan tetapi kehilangan seorang pembantu saja tidak melemahkan bala tentara Mongol yang hebat.

Sebagian besar dari negara barat mereka tundukkan dan kalahkan, negara-negara besar seperti Sin-kiang, Iran, Afganistan, mereka gilas hancur. Kota-kota besar jatuh satu demi satu dalam serbuan bala tentara Mongol. Akhirnya, setelah puas dengan petualangannya. Jengis Khan lalu memimpin bala tentaranya kembali ke timur melalui Pegunungan Ural di sebelah utara Laut Kaspia menuju Sin-kiang.

Begitu tiba kembali di Mongol, Jengis Khan menumpahkan dendam hatinya kepada Suku Bangsa Hsi-hsia yang tidak menunjukkan kesetiaannya dan tidak mau membantu secara memuaskan ketika bala tentara Mongol menyerbu ke barat. Suku Bangsa Hsi-hsia yang pernah ditundukkan itu kini diserbu lagi, banyak orang dibunuh tanpa pilih bulu. Malah ibu kota Hsi-hsia dijatuhkan, dibakar dan semua penduduknya, tanpa terkecuali, tua muda besar kecil laki perempuan, semuanya dibunuh! Di tengah-tengah kekejian ini Jengis Khan meninggal dunia dalam usia tujuh puluh dua tahun.

Tetapi kematian pemimpin besar Bangsa Mongol ini tidak melemahkan semangat mereka. Di bawah pimpinan putera ke tiga dari Jengis Khan yang bernama Oguthai, bala tentara Mongol malah mengadakan serbuan ke selatan, yaitu terhadap Kerajaan Cin.

Perang hebat terjadi selama tiga tahun lebih. Akan tetapi akhirnya bala tentara Kerajaan Cin juga dihancurkan dan seluruh kerajaan terjatuh ke dalam tangan bala tentara Mongol. Dengan jatuhnya Kerajaan Cin (tahun 1234) maka seluruh Tiongkok utara menjadi wilayah Kerajaan Mongol. Tiongkok selatan masih tetap menjadi wilayah Kerajaan Sung.

Setelah Kerajaan Cin roboh, rakyat Tiongkok baru dapat bernapas kembali karena perang dihentikan. Biar pun tidak dapat dikatakan bersahabat, namun antara pemerintah Mongol dan pemerintah Sung tidak terjadi perang, kedua pihak hanya saling menjaga tapal batas masing-masing. Rakyat mulai dapat bekerja lagi tentu saja di utara harus tunduk kepada pemerintah baru. pemerintah penjajah baru, yaitu Kerajaan Mongol.

Mengapa bala tentara Mongol tidak menyerang terus ke selatan? Oleh karena seperti juga ayahnya, Oguthai Khan amat tertarik dengan dunia barat sehingga melakukan penyerbuan besar-besaran ke dua menuju ke barat. Iran ditundukan, Rusia selatan dikalahkan. Kota-kota besar Kiev dan Moskou direbut dan dibakar (tahun 1240), terus menyerang Polandia, bahkan sampai menghancurkan dan membakar kota Pest di Hongaria.

Karena kesibukan dalam penyerbuan ke barat inilah maka untuk sementara bala tentara Mongol tak menghiraukan Kerajaan Sung di selatan sehingga rakyat boleh menarik napas lega, karena untuk sementara waktu tidak ada perang.

Meski pun demikian tetap saja terasa sekali adanya pertentangan dan persaingan. Juga di dunia kang-ouw terasa sekali adanya fihak yang bertentangan, yaitu sebagian mengakui Kerajaan Mongol sebagai kerajaan baru yang baik, dan sebagian lagi tetap setia kepada Kerajaan Sung dan menentang pengaruh Mongol…..

********************

Di puncak Wuyi-san. Wi Liong sedang duduk berlutut di atas lantai menghadap suhu-nya Thian Te Cu. Mereka berada di dalam kamar guru besar itu yang sempit dan agak gelap akan tetapi bersih karena kamar batu ini memang tak ada apa-apanya seperti sebuah goa yang menyeramkan. Apa lagi jika melihat Thian Te Cu yang sedang duduk bersila di atas pembaringan batu, kelihatan seperti tengkorak hidup, benar-benar menyeramkan.

Muka kakek ini semakin kurus saja, bersinar kehijauan. Bibirnya masih selalu tersenyum mengejek, namun matanya memandang lembut. Pakaiannya berwarna putih melibat-libat tubuhnya yang kurus, dan kuku-kuku jarinya yang panjang-panjang itu sampai melingkar-lingkar. Benar-benar seorang yang kelihatan menyeramkan dan aneh.

"Wi Liong, pengalamanmu setahun yang silam itu kuharap sudah dapat membuka hatimu untuk menyadari sepenuhnya bahwa di dunia ini tidak ada manusia yang paling pandai. Di atas puncak Gunung Thaisan masih ada awan dan di atas awan masih ada bulan, bahkan di atas bulan masih ada bintang-bintang dan matahari, tanda bahwa kekuasaan alam tiada terbatas. Demikian pula dengan kepandaian manusia, sudah tinggi ada yang lebih tinggi, sudah pandai ada yang iebih pandai. Kepandaian manusia juga merupakan sebagian kecil dari pada kekuasaan alam, oleh karena itu kita sekali-kali tidak boleh merasa diri sendiri paling pandai."

Wi Liong menundukkan mukanya. Ia langsung teringat akan peristiwa setahun lebih yang lalu, pengalaman pahit sekali ketika untuk pertama kalinya dia mendapat penghinaan dan kekalahan.

Seperti sudah dituturkan, setahun yang silam ketika suhu-nya mengasingkan diri di dalam kamar, Wi Liong lalu turun dari puncak Wuyi-san untuk memenuhi permintaan pamannya, yaitu untuk mencari keterangan perihal seorang yang bernama Beng Kun Cinjin Gan Tui, dan kebetulan sekali di dalam sebuah rumah makan Tung-thian di kota Ningpo ia bertemu dengan Seng-goat-pian Kam Ceng Swi yang hampir celaka menghadapi Cheng In dan Ang Hwa dua orang nona utusan Pek-go-to.

Kemudian Wi Liong mengalahkan dua orang nona itu dan Kam Ceng Swi membawanya pergi dari kota Ningpo karena tokoh Kun-Iun ini takut kalau-kalau Thai Khek Sian datang melakukan pembalasan atas kekalahan dua orang utusannya. Akan tetapi Wi Liong yang baru saja turun gunung, sebagai seorang pendekar muda yang belum berpengalaman dan belum pernah mendengar nama Thai Khek Sian, mana merasa takut? Dia bahkan cepat kembali ke Ningpo dikejar oleh Kam Ceng Swi yang merasa khawatir sekali karena kakek ini merasa amat sayang dan suka kepada Wi Liong.

Dugaan dan kekhawatiran Seng-goat-pian Kam Ceng Swi ternyata betul sekali. Pada saat mereka memasuki kota Ningpo, dari jauh sudah kelihatan asap bergulung naik dan orang-orang panik berlari-larian sambil bercerita bahwa rumah makan Tung-thian sudah dibakar oleh siluman!

Dengan hati tabah Wi Liong mempercepat larinya menuju ke rumah makan itu. Semakin dekat dengan rumah makan, makin sunyilah karena orang-orang yang tinggal berdekatan agaknya merasa ketakutan lalu lari bersembunyi. Sekarang sudah kelihatan api bernyala membakar rumah makan di mana tadi Wi Liong makan minum dan loteng tempat berpibu tadi sudah mulai runtuh.

"Kurang ajar!" Wi Liong memaki marah. "Siapakah yang demikian keji membakar rumah makan umum?"

Pemuda ini tidak memperhatikan Kam Ceng Swi yang tertinggal di belakang karena orang tua ini kelihatan jeri sekali, dapat menduga bahwa yang dimaksudkan orang-orang dengan ‘siluman’ tentulah Thai Khek Sian atau anak buahnya

Benar saja. Sesudah dekat dengan tempat kebakaran itu, Wi Liong melihat serombongan wanita-wanita cantik dan muda yang berjumlah tiga belas orang berbaris rapi dan menarik dengan pedang terhunus di tangan. Yang berjalan paling depan adalah Cheng In dan Ang Hwa dan di tengah-tengah mereka berjalan seorang lelaki yang sangat aneh dan tampak menggelikan.

Lucu sekali keadaan orang itu. Usianya sudah enam puluh tahun lebih tapi terlihat masih muda. Tubuhnya kekar, kulitnya hitam sekali dan kepalanya gundul pelontos. Celananya yang berwarna hitam diikat dengan ikat pinggang mutiara indah, namun dia tidak berbaju! Sepatunya juga indah, demikian pula celananya terbuat dari sutera mahal.

Pendeknya, sebatas pinggang ke bawah dia merupakan seorang yang betul-betul pesolek dan gagah, tetapi dari pinggang ke atas sangat sederhana, telanjang dan tidak terpelihara. Kuku-kuku jari tangannya runcing, apa bila diberi warna merah tentu mirip seperti tangan perempuan! Matanya lebar bundar, mukanya halus tidak ada rambutnya, sama halusnya dengan kepalanya yang gundul licin itu.

Inilah dia Thai Khek Sian, seorang di antara gembong-gembong Mokauw tingkat teratas! Sudah puluhan tahun dia jarang sekali keluar dari tempat bertapanya, yaitu Pulau Pek-go-to. Segenap keperluannya disediakan dan dilayani oleh belasan orang selir-selirnya yang cantik-cantik lagi muda.

Memang sebagian besar orang-orang kang-ouw tahu belaka bahwa Thai Khek Sian adalah seorang bandot tua yang anehnya amat disuka oleh wanita-wanita muda! Ada yang bilang dia memiliki ilmu, pandai memakai guna-guna pengasihan untuk membikin wanita-wanita muda tergila-gila. Tentu saja berita ini kosong belaka.

Boleh jadi dahulunya di waktu muda Thai Khek Sian memang gagah dan tampan, hitam-hitam manis, akan tetapi sekarang dia sudah tua, meski pun tubuhnya masih kekar tetap saja kelihatan tuanya. Kalau dilihat macamnya wanita-wanita muda yang menjadi selirnya dan wanita-wanita lain yang menjadi kekasihnya, mudah saja diketahui kenapa Thai Khek Sian disuka. Tentu saja karena wanita-wanita itu memang berwatak genit dan cabul, juga mereka mendekati Thai Khek Sian dengan banyak maksud.

Pertama-tama tentu saja karena dengan kedudukan mereka sebagai selir, maka mereka akan dihormati dan disegani banyak orang, melebihi kedudukan seorang isteri pembesar tinggi. Juga Thai Khek Sian mempunyai harta benda yang besar, membuat para selirnya dapat hidup secara mewah dan berlebihan.

Mereka juga ingin sekali mewarisi ilmu kepandaian Thai Khek Sian yang memang sangat tinggi dan luar biasa. Di samping semua alasan ini, masih ada hal lucu dan aneh lagi yang membuat wanita-wanita muda itu suka dijadikan selir oleh kakek-kakek ini, yaitu bahwa Thai Khek Sian yang aneh itu sama sekali tidak peduli kalau selir-selirnya berlaku serong, tidak peduli selir-selirnya suka kepada laki-laki lain asal saja terhadap dia bersikap manis dan menurut! Memang sukar dicari keduanya laki-laki seperti Thai Khek Sian ini.

"Heh-heh. puas hatiku dapat membasmi rumah makan bangsat itu.” Wi Liong mendengar orang gundul aneh itu berbicara seorang diri. "Sayangnya tidak ada Seng-goat-pian di sini. Jika ada tentu kupatahkan batang lehernya dan kepalanya akan kujadikan penghias pintu gapura. Biar kapok dia menghina selir-selirku!"

Mendengar ucapan ini. tahulah Wi Liong bahwa orang aneh ini yang disebut Thai Khek Sian dan amat ditakuti Kam Ceng Swi. Kemarahannya memuncak.

"Manusia siluman bertangan keji, kau harus dibasmi!" bentak Wi Liong sambil melompat maju, menerjang dan menyerang Thai Khek Sian yang diapit di kanan kirinya oleh Cheng In dan Ang Hwa.

Ia dapat menduga bahwa orang gundul hitam itu tentu berilmu tinggi, maka Wi Liong tidak berani memandang ringan. Begitu melakukan serangan, dia mengerahkan semua tenaga memukul dada orang gundul hitam itu.

"Bukk! Bukk!”

Wi Liong terkejut setengah mati karena tubuhnya lantas terpental ke belakang dan kedua tangannya sakit sekali, bengkak-bengkak dan ototnya terkilir! Ada pun orang gundul hitam itu mundur tiga langkah, membuka matanya lebar-lebar dan membentak,

"Hee... kau murid siapa?!" Ia melangkah maju dengan tangan terkepal.

Cheng In dan Ang Hwa cepat-cepat melompat maju menghalangi Thai Khek Sian. Cheng In berkata,

"Harap ampunkan dia, dia masih muda, kasihan kalau dibunuh..."

"Siapa dia ini?!" bentak Thai Khek Sian.

Kalau saja Cheng In mengatakan terus terang bahwa inilah pemuda yang mengalahkan mereka di loteng rumah makan, tentu Thai Khek Sian tak akan mau memberi ampun dan akan membunuhnya. Tapi entah kenapa, melihat munculnya Wi Liong, dua orang wanita muda itu merasa tidak tega jika harus melihat pemuda ganteng itu tewas.

”Dia tentu orang muda yang merasa diri memiliki kepandaian dan tak suka melihat rumah makan dibakar. Sudahlah, harap lepaskan dia, orang macam ini tidak ada harganya untuk kita bunuh," kata pula Cheng In.

Sementara itu Ang Hwa telah menghampiri Wi Liong dan berbisik. "Bodoh, mana kau bisa melawan Thai Khek Sian-su? Hayo lekas kau pergi dan lain kali harap jangan lupa kepada kami...”


Wi Liong masih belum lenyap rasa kagetnya, akan tetapi maklum bahwa dia berhadapan dengan orang yang jauh lebih tinggi ilmunya, dia tidak mau melawan lagi, lagi pula kedua tangannya sudah bengkak-bengkak. Tanpa banyak cakap dia segera pergi dari tempat itu. Tentu saja dia tidak suka membawa-bawa nama gurunya dan tidak mau mengaku bahwa dia murid Thian Te Cu, karena hal ini berarti akan merendahkan nama besar gurunya.

Thai Khek Sian tertawa bergelak, "Hemm. pantas kalian melindunginya, ia memang amat tampan!" Kemudian sambil mengerutkan kening, dia berkata lagi, "Ah, kenapa tadi dilepas sebelum ditanya? Pukulannya tadi... aneh kalau dia bukan murid Thian Te Cu atau Gan-susiok..." Yang dimaksudkan Gan-susiok oleh kakek ini tentu saja Gan Yan Ki ayah Gan Tui. "Hayo kejar dia! Seret ke sini, hendak kutanya dulu!" bentaknya.

Biar pun amat sayang kepada Wi Liong, baik Cheng In, Ang Hwa mau pun selir yang lain, tak seorang pun berani membantah perintah Thai Khek Sian. Membangkang berarti mati, demikian hukum di tangan tokoh Mokauw ini.

Maka mendengar ini, cepat Cheng In dan Ang Kwa mengepalai sebelas orang selir lainnya untuk berlari cepat mengejar Wi Liong yang sudah tak kelihatan lagi bayangannya. Andai kata tersusul, tentu Cheng In dan kawan-kawannya akan menyeretnya kembali, tak akan terpengaruh oleh ketampanan wajah pemuda itu. Tetapi meski pun mereka telah mencari sampai jauh dan secara cermat, mereka tidak berhasil menemukan Wi Liong…..

********************

Ke manakah perginya Wi Liong? Bukan lain Seng-goat-pian Kam Ceng Swi yang sudah menolong pemuda ini.

Kebetulan sekali Kam Ceng Swi yang tidak berani mendekat Thai Khek Sian, melihat dari jauh akan semua kejadian itu. Ketika dia melihat Wi Liong dapat melepaskan diri dengan selamat dari tangan kakek siluman itu, ia pun cepat menemui Wi Liong lalu mengajaknya bersembunyi di dalam sebuah kelenteng yang pengurusnya sudah dia kenal baik. Di sini aman karena wanita-wanita Pek-go-to itu tidak mau memasuki kelenteng.

Juga Kam Ceng Swi merawat kedua tangan Wi Liong, memberinya obat Kun-lun-pai yang memang sangat manjur untuk luka-luka kena pukulan atau urat-urat yang terkilir. Wi Liong amat berterima kasih kepada tokoh Kun-lun ini.

"Lo-enghiong berkata benar. Thai Khek Sian itu ternyata memiliki ilmu seperti iblis," kata Wi Liong.

Kam Ceng Swi menarik napas panjang. "Ilmu kepandaian itu tidak ada batasnya. Melihat kepandaian dua orang wanita kaki tangan Thai Khek Sian saja aku sudah takluk, apa lagi kemudian melihat kepandaianmu yang membuat aku kagum sekali. Kini bentemu dengan Thai Khek Sian, entah di dunia ini siapa orangnya yang akan dapat melawan dia. Guruku sendiri, Kun-lun Lojin yang kini menjadi ketua dari Kun-lun-pai, pernah menyatakan bahwa ilmu kepandaian Thai Khek Sian sukar dicari lawannya. Mungkin hanya susiok-couw yang bertapa di belakang puncak saja yang bisa menandinginya, ini pun belum tentu.” Kembali dia menarik napas panjang, teringat akan anak pungutnya ketika dia mengobati tangan Wi Liong.

"Anak muda, sebetulnya kau hendak pergi ke manakah?"

Wi Liong juga amat tertarik kepada orang tua yang baik budi ini. Teringat ia kepada Kwee Sun Tek pamannya. Kalau dibandingkan dengan pamannya, orang tua ini sama baiknya, berbudi dan ramah-tamah serta jenaka pula. Karena itu dia merasa tak perlu membohong, jawabnya terus terang,

"Aku hendak mencari seseorang di kota raja untuk memenuhi permintaan pamanku."

"Ke kota raja di utara?" Kam Ceng Swi mengerutkan keningnya. "Di sana tak begitu baik keadaannya, orang muda. Orang-orang selatan sangat dicurigai dan salah-salah kau akan ditangkap. Bukan hanya serdadu-serdadu Mongol yang membenci orang selatan seperti kita, malah orang-orang kang-ouw di utara yang sudah menjadi kaki tangan Mongol, juga selalu memusuhi kita. Kau tahu, orang-orang seperti Thai Khek Sian itu pun kabarnya kini membantu pemerintah Mongol...”

Wi Liong menjawab tenang. "Tidak apa, lo-enghiong..."

"Wi Liong, terhadap kau aku merasa seperti berhadapan dengan keluarga sendiri, jangan kau menyebut lo-enghiong (orang tua gagah) segala. Sebut saja paman, biar lebih sedap didengar."

Wi Liong tersenyum. Benar-benar kakek ini amat menarik hati dan menyenangkan sekali.

"Baiklah. Kam-siok-siok (paman Kam). Sebetulnya aku memenuhi perintah paman Kwee Sun Tek untuk mencari keterangan perihal orang bernama Beng Kun Cinjin Gan Tui yang kabarnya menjadi panglima di istana Kaisar Mongol."

"Ahhh... dia...?" Kam Ceng Swi mengerutkan kenangnya. "Untuk apa kau mencari dia?'

"Paman Kwee belum memberi-tahu kepentingannya, hanya minta supaya aku menyelidiki di mana dia sekarang berada."

"Kalau begitu tak usah kau ke utara. Wi Liong."

"Ehh, kenapakah? Apa dia sudah mati?"

"Tidak. Dahulu dia adalah seorang tokoh kang-ouw yang sangat terkenal, seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi sayang sekali, dia dapat dibujuk oleh Kaisar Mongol menjadi kaki tangannya, bahkan menikah segala di istana! Sungguh memalukan dan mengecewakan sekali, apa lagi kalau diingat bahwa hal itu terjadi setelah dia menjadi seorang hwesio!"

"Apa dia sekarang masih di istana, Kam-siok-siok?" tanya Wi Liong, dalam hati terheran-heran mengapa pamannya menyuruh dia mencari orang macam itu.

"Kurasa tidak. Pernah aku mendengar bahwa dia sudah meninggalkan Jengis Khan pada beberapa tahun yang lalu dan semenjak itu tak seorang pun mendengar di mana adanya Beng Kun Cinjin."

Memang dulu Kam Ceng Swi tidak mendapat kesempatan mendengar tentang perbuatan Beng Kun Cinjin terhadap murid-muridnya, juga tidak tahu bahwa Kwee Sun Tek itu murid Beng Kun Cinjin. Kalau ia mendengar akan hal itu tentu ia telah menceritakannya kepada Wi Liong.

"Kalau begitu memang percuma saja aku pergi ke utara, " kata Wi Liong.

"Memang tidak ada gunanya. Semenjak melarikan diri dari istana, Beng Kun Cinjin tentu saja dianggap musuh dan dicari oleh.orang-orang Mongol. Maka dapat dipastikan bahwa dia tentu melarikan diri ke selatan. Kalau hendak mencari dia sebaiknya bertanya kepada orang-orang kang-ouw di daerah selatan, tentu ada yang tahu."

Wi Liong menurut akan petunjuk ini. Mereka lalu berpisah setelah Wi Liong menghaturkan terima kasihnya dan berjanji kelak akan mengunjungi Kun-lun-san. Tapi pemuda ini tetap merahasiakan nama gurunya karena ia tahu bahwa gurunya tidak menghendaki namanya disebut-sebut di luaran.

Dia sendiri segera kembali ke Wuyi-san, menceritakan pengalamannya kepada Kwee Sun Tek dan sesudah suhu-nya keluar, kemudian dia bercerita pula sambil menangis tentang kekalahannya yang amat memalukan terhadap Thai Khek Sian.

"Tentu saja kau kalah. Mana bisa menang melawan susiok-mu?” komentar Thian Te Cu singkat, membuat Wi Liong terkejut bukan main.

Sesudah menuturkan tentang kekalahannya dari Thai Khek Sian kepada gurunya sambil menangis, Wi Liong lalu menerima latihan-latihan lagi selama satu tahun. Ilmu-ilmu tinggi yang tadinya disimpan saja oleh Thian Te Cu, sekarang diwariskan kepada pemuda itu, di samping nasehat-nasehat serta gemblengan ilmu batin yang sekaligus merobah watak Wi Liong menjadi lebih pendiam dan masak.

Demikianlah, seperti telah dituturkan pada bagian yang lalu. Thio Wi Liong duduk berlutut di hadapan suhu-nya yang bersila di tempat semedhinya. Hati Wi Liong amat terharu, tapi dia dapat menekannya karena pemuda ini sekarang sudah memiliki kekuatan batin untuk menekan dan mengalahkan segala perasaan yang datang dalam kalbunya.

Selama belasan tahun hidup di dekat Thian Te Cu, baru sekarang dia mendengar orang aneh ini bicara agak banyak. Biasanya Thian Te Cu hanya bicara sedikit sekali, singkat dan yang perlu saja. Bahkan ada kalanya kakek luar biasa ini hanya menggunakan gerak tangan dan kepala untuk menyatakan kehendaknya, seperti orang gagu.

Baru hari itulah, sesudah gurunya menyatakan bahwa kepandaiannya sudah cukup untuk menandingi Thai Khek Sian, gurunya bicara panjang lebar dan memberi nasihat-nasihat. Perasaannya membisiki bahwa ini merupakan tanda bahwa gurunya hendak memisahkan diri, mungkin untuk selamanya.

"Mulai sekarang kau boleh turun gunung dan mulai hidup baru. Ingat, pekerjaan apa pun yang kau lakukan, laksanakanlah dengan hati bersih, dengan semangat besar dan dengan kesadaran sepenuhnya bahwa yang kau kerjakan tidak berlawanan dengan kebajikan dan keadilan. Jangan mudah dimabok kesenangan dan kemuliaan dunia yang palsu dan yang mudah menyelewengkan batin manusia. Ingatlah bahwa segala kejahatan manusia yang terjadi di dunia ini selalu ditimbulkan oleh ketidak-sadaran karena mabok dan silau dengan kesenangan, dengan kemuliaan dunia, karena batinnya lemah dan tidak berdaya terhadap nafsu sendiri." Kakek aneh itu berhenti, agaknya lelah sekali karena terlalu banyak bicara. Memang sudah terlampau lama dia menghemat suaranya sehingga bicara agak banyak ini amat melelahkannya.

"Suhu, teecu mendengar dari paman Kwee, juga dari luar pada waktu teecu turun gunung bahwa sekarang negara sedang dalam keadaan terancam dan tidak aman. Orang-orang kang-ouw saling bermusuhan, ada yang memihak pemerintah baru di utara dan ada yang memihak Kerajaan Sung. Kalau teecu turun gunung dan sampai terlibat dalam persaingan atau permusuhan ini, teecu harus membantu yang mana?"

Terdengar kakek itu menarik napas panjang. "Manusia tiada hentinya berebut kekuasaan. Orang-orang bahagia adalah mereka yang bekerja dengan penuh kesadaran bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah demi kebenaran. Perang... perang... sejak nenek moyang kita ribuan tahun yang lalu, negara kita selalu dilanda perang. Siapa menang siapa kalah? Belum tentu yang benar yang menang. Biar pun kemenangan sementara, sepuluh tahun, seratus tahun, seribu tahun, namun ada kalanya yang jahatlah yang menang dan rakyat yang menderita. Semua ditentukan oleh Thian!” Kembali kakek itu berhenti dan Wi Liong tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh gurunya. Akan tetapi dia tidak merasa heran oleh karena sudah biasa mendengar kata-kata yang aneh dan penuh rahasia dari kakek itu.

"Suhu, andai kata bala tentara Mongol menyerbu ke selatan, teecu harus membantu yang mana? Mongol atau Sung? Dan teecu harus memihak yang mana di dalam pertentangan antara orang-orang kang-ouw?" Dia mendesak oleh karena biar pun hatinya sendiri sudah menemukan bagaimana dia harus bertindak, namun tetap saja dia hendak mendengarkan petunjuk suhu-nya sebagai pegangan.

Anehnya, kakek itu hanya menggeleng-geleng kepala dan keningnya berkerut.

"Suhu. siapa yang harus teecu bantu?” tanya pula pemuda itu.

Sekali lagi Thian Te Cu menggelengkan kepala dan lebih aneh lagi dia kelihatan berduka sekali. Kembali mereka diam sampai lama. Akhirnya Wi Liong memberanikan diri bertanya untuk ke tiga kalinya.

"Suhu, nasihat suhu akan teecu jadikan obor di dalam perjalanan teecu agar teecu tidak sampai tersesat jalan. Kini keadaan dunia sedang bergolak, kalau teecu salah bertindak, bukankah berarti akan melakukan dosa besar dan nama suhu akan terbawa kalau tidak memberi petunjuk?"

"Obor berada di tangan rakyat. Selama kau dekat dengan rakyat dan memihak mereka yang tertindas, mengulurkan tangan kepada mereka yang lemah sengsara, kau tidak akan tersesat. Inilah sebabnya kenapa dunia selalu dilanda perang, karena manusia selalu lupa diri, kalau sudah mendapatkan yang besar lupa kepada yang kecil. Orang-orang berebut kedudukan, berebut kesenangan dan kemuliaan tanpa mau menoleh kepada rakyat kecil yang tidak pernah mengetahui sesuatu, tidak pernah diberi kesempatan untuk tahu akan sesuatu. Coba ada yang berebut untuk mengangkat mereka dari penderitaan, coba segala usaha dikerahkan untuk bersatu dengan mereka, satu nasib satu penderitaan, tentu iblis pun tak akan berani mengganggu tanah air karena akan berhadapan dengan rakyat yang merasa kebahagiaan dan keamanannya terganggu.

Sekarang bagaimana? Setiap kerajaan merupakan penindas baru... ahh, Wi Liong, jangan tanyakan kerajaan mana yang harus kau bantu. Cukuplah asal kau tidak lupa bahwa kau mempelajari ilmu untuk bertugas sebagai pemberantas kejahatan dan membela si lemah yang tertindas. Segala di dunia yang terlihat besar-besar itu belum tentu betul-betul besar. Aku lebih suka melihat engkau menjadi seorang petani miskin yang berbatin bersih dan berjiwa gagah pembela keadilan dari pada melihat engkau menjadi seorang berpangkat, kaya raya dan mulia akan tetapi batinmu kotor oleh kilauan emas dan jiwamu bejat, lupa akan keadilan. Nah, pergilah, kelak kita bertemu sekali lagi kalau aku datang untuk minta kembali Cheng-hoa-kiam."

Tentu saja ucapan terakhir ini membingungkan Wi Liong. Tentang Cheng-hoa-kiam tadi ia benar-benar tak mengerti. Ketika ia pergi turun gunung, pedang itu dicuri orang, mengapa suhu-nya bilang kelak hendak mengambil kembali sambil bertemu dengannya? la hendak bertanya, akan tetapi kakek itu sudah meramkan kedua mata dan berada dalam keadaan semedhi lagi, maka dia tidak berani mengganggu.

"Semua petunjuk akan teecu ingat betul," katanya sambil berlutut memberi penghormatan terakhir, kemudian keluar dari kamar suhu-nya. Pamannya segera menemuinya.

"Bagaimana? Sudah boleh turun gunung?” tanya Kwee Sun Tek penuh gairah.

"Sudah dan harap paman suka pergi bersamaku. Aku tidak tega meninggalkan kau orang tua seorang diri di sini."

Kwee Sun Tek menghela napas panjang. "Apa sih perlunya aku turun gunung? Di puncak gunung, atau di dusun mau pun di kota raja sekali pun bagiku sama saja..."

Dengan tatapan kasihan Wi Liong memandang pamannya. Ia dapat menangkap maksud kata-kata pamannya ini. Memang, apa sih bedanya bagi seorang buta?

"Tidak usah aku ikut pergi, Wi Liong. Kau pergilah dan cari manusia jahanam Beng Kun Cinjin itu, balaskan sakit hati ayah bundamu, lalu carilah nama supaya dapat menjunjung nama orang tuamu. Kau telah mendengar semua riwayat orang tuamu. Jika kau berhasil membinasakan manusia jahanam Beng Kun Cinjin, barulah hatiku puas dan aku tak akan penasaran walau pun aku hidup tak bermata lagi!" Kata-kata ini diucapkan dengan keras penuh semangat, membayangkan sakit hati yang dipendam bertahun-tahun.

Wi Liong menundukkan mukanya. Pemuda ini pun merasa berduka sekali, baru setelah ia pulang dari perjalanannya mencari Beng Kun Cinjin, pamannya menceritakan pengalaman ayah bundanya yang tewas ketika mereka berusaha menyadarkan Beng Kun Cinjin dari kesesatannya.

"Wi Liong, belasan tahun aku bertahan hidup menderita hanya untuk dapat menyaksikan bahwa pada suatu hari putera enci-ku akan dapat berhasil membalaskan sakit hati ayah bunda dan pamannya. Kuharap kau tidak akan gagal, Wi Liong."

"Akan kuusahakan sedapat mungkin, paman." jawab Wi Liong.

"Dan jangan lupa, kau harus mampir di Poan-kun dan tengok calon mertuamu. Sampaikan hormatku dan jangan lupa bilang bahwa pernikahan baru dapat dilangsungkan kalau kau sudah berhasil membalas dendam kepada Beng Kun Cinjin."

Kwee Sun Tek memang sengaja tidak mau menceritakan tentang obrolan maling pedang yang mengaku-aku menjadi kekasih Kwa Siok Lan, dan sekarang dia menyuruh Wi Liong ke sana untuk melihat apakah obrolan itu betul-betul ataukah hanya omong kosong saja. Selain itu memang ia tidak rela Wi Liong melangsungkan pernikahan sebelum pemuda itu sempat berdarma bhakti kepada ayah bundanya, yaitu membalaskan sakit hati mereka.

Setelah menerima banyak nasihat dari pamannya, Wi Liong lalu turun gunung membawa bekal pakaian dan senjata satu-satunya hanya suling pemberian gurunya. Suling ini bukan suling biasa, melainkan sebuah senjata yang istimewa sekali.

Ketika Wi Liong turun gunung, matahari baru mulai timbul. Ia turun melalui lereng sebelah utara gunung dan matahari muncul dari sebelah kanannya, muncul dari permukaan laut yang jauh berada di timur. Hawa pegunungan yang sejuk ditimpa cahaya matahari yang hangat nyaman, benar-benar mendatangkan suasana yang menggembirakan.

Daun-daun pepohonan seperti disepuh air emas kuning kemilau tapi sejuk sinarnya tidak menyilaukan mata. Burung-burung berkicau di dahan pohon dan kelihatan beberapa ekor burung bermain-main dengan riang merupakan keluarga yang amat bahagia menyambut darangnya matahari.

Wi Liong sengaja berhenti untuk menikmati pemandangan itu, pemandangan keluarga burung kuning yang kebahagiaannya membuat dia tersenyum dan juga iri. Dua ekor anak burung mencicit diloloh oleh biangnya sedangkan bapak burung menyisiri bulu si biang dari belakang!

Wi Liong tersenyum kemudian melanjutkan perjalanannya. Ingin ia berdendang. Hawa dan keadaan semeriah itu memang dapat menimbulkan selera orang untuk berdendang dan bernyanyi seperti burung, atau lari berlompat-lompatan seperti anak kijang.

Tiba-tiba Wi Liong mendengar pekik burung dari udara. Ia mendongak dan melihat seekor burung berbulu kehitaman terbang lewat sendiri, merupakan titik hitam pada langit yang bersih cerah.

Wi Liong mengerutkan keningnya, ada sesuatu yang menusuk pada ulu hatinya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar