Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 07

Akhirnya, setelah susah payah mendaki, mereka berhadapan dengan Kam Ceng Swi dan para sutenya yang bertugas menjaga.

"Siapakah saudara yang baru datang ini dan ada keperluan apa mendaki ke Kun-lun-pai?” tanya Kam Ceng Swi, masih belum tahu bahwa tamunya adalah seorang buta.

"Siauwte bernama Kwee Sun Tek dan kedatangan siauwte ini hendak mencari Bhok Lo Cinjin yang kabarnya berkunjung ke sini," jawab Kwee Sun Tek sambil menjura memberi hormat.

Kam Ceng Swi langsung menjadi curiga. Memang hatinya masih panas dan penasaran akibat peristiwa dengan Pak-thian Koai-jin tadi, masih merasa khawatir kalau-kalau kakek aneh itu benar-benar akan membawa pergi Kun Hong sebagai muridnya. Kekhawatiran ini membuat dia agak kurang ramah.

"Memang benar Bhok Lo Cinjin berada di puncak, menjadi tamu dari guruku Kun-lun Lojin. Akan tetapi menyesal sekali pada saat ini tak seorang pun diperbolehkan naik ke puncak. Baik suhu mau pun Bhok Lo Cinjin tidak mau diganggu. Tidak tahu saudara mencari Bhok Lo Cinjin ada urusan apakah?”

Urusan Sun Tek merupakan urusan pribadi dan dalam penyerahan keponakannya sebagai murid, tentu dia harus menceritakan mengenai duduknya perkara mulai dari pembunuhan terhadap enci dan cihu-nya oleh bekas gurunya, Beng Kun Cinjin, sampai ia menjadi buta matanya. Maka tak mungkin diceritakan kepada sembarang orang.

"Ada urusan pribadi yang teramat penting. Oleh karena itu harap sahabat yang baik sudi menolong kami bertemu dengan Bhok Lo Cinjin," jawab Sun Tek singkat.

"Sayang sekali tak mungkin hal itu dilaksanakan. Lebih baik saudara Kwee turun gunung saja dan menunggu di bawah gunung sampai Bhok Lo Cinjin pulang. Menanti di sini selain percuma, juga tidak diperbolehkan oleh partai kami."

Sun Tek mengerutkan kening, hatinya kecewa dan menyesal sekali. Mendadak perhatian mereka tertarik kepada Kun Hong dan Wi Liong yang agaknya sedang bertengkar.

Begitu melihat Wi Liong, Kun Hong yang nakal sudah mendekatinya sambil berkata, "Apa kau berani melawan aku?”

Wi Liong menatap dengan pandang mata tajam. Anak ini berwatak pediam dan pikirannya telah masak karena gemblengan penderitaan. Ia tahu berhadapan dengan seorang bocah nakal, maka jawabnya tenang, "Tentu saja berani."

Kun Hong tersenyum mengejek. Dia mengepal tinjunya dan memasang kuda-kuda sambil menantang; "Kalau kau berani, majulah. Mari kita mengadu kepalan!"

Wi Liong tetap berdiri tenang dan menggeleng kepala.

"Mengapa? Kau takut padaku?” Kun Hong mengejek.

"Aku tidak takut, hanya tidak mau berkelahi," jawab Wi Liong.

"Ha, kau pengecut! Mulutmu bilang berani akan tetapi sebetulnya kau takut. Hi-hi-hi!" Kun Hong mengejek mentertawakan.

"Aku datang ikut paman bukan untuk berkelahi. Lagi pula aku tidak akan berkelahi tanpa alasan," jawab Wi Liong yang menjadi panas juga hatinya.

"Bocah semacammu ini, mana berani bertempur? Nah, aku beri alasan, coba kau berani melawanku tidak!" Sambil berkata demikian, Kun Hong menggeser kakinya ke depan dan mengayun tangannya.

"Plakk!" pipi kiri Wi Liong digamparnya sampai menjadi merah.

Wi Liong mulai naik darah, akan tetapi bocah ini memang mempunyai pikiran matang. Dia sadar bahwa pamannya mengajaknya ke tempat itu untuk mencarikan guru yang pandai, maka tentu saja ia tak boleh sembarangan membikin kacau dengan perkelahian melawan bocah nakal ini tanpa perkenan pamannya. Ia menengok kepada Sun Tek dan bertanya,

"Paman, bocah nakal ini telah menampar pipiku tanpa sebab. Apakah sekarang aku boleh membalasnya?”

Sun Tek memang sudah merasa tidak senang hati mendengar sikap Kam Ceng Swi yang tidak ramah. Kini mendengar percekcokan antara keponakannya dengan seorang bocah nakal, bahkan keponakannya sudah digampar, ia pun menjadi marah.

"Kau membikin malu pamanmu kalau kau tidak membalas hinaan orang."

Mendengar jawaban ini Wi Liong cepat memasang kuda-kuda, dan berkelahilah dua orang anak itu. Keduanya sama-sama terlatih sejak kecil, akan tetapi Wi Liong menang tua satu tahun lebih, lagi pula tubuhnya lebih kuat karena sejak kecil dia merantau dan menderita. Maka sesudah lewat belasan jurus, dia berhasil memukul dada Kun Hong sampai roboh terjengkang.

Kun Hong langsung merayap bangun tanpa mengeluarkan keluhan sedikit pun dan sudah bersiap hendak menerjang lagi, akan tetapi Kam Ceng Swi mencegah.

"Cukup, jangan kau kurang ajar terhadap tamu!"

Mendengar bentakan ini Kun Hong segera mundur, akan tetapi dia tersenyum kepada Wi Liong dan berkata, "Bocah, siapa namamu?"

"Aku Thio Wi Liong!"

"Bagus, akan kuingat nama itu. Kelak akan datang saatnya kita bertemu satu lawan satu dan melanjutkan pertandingan ini. Aku Kam Kun Hong!"

"Diam kau!" bentak Kam Ceng Swi yang secara diam-diam merasa geli juga melihat sikap Kun Hong yang ugal-ugalan tapi lucu. Ada pun Sun Tek menjadi gemas dan mendongkol mendengar semua itu. Ia berkata kepada Wi Liong,

"Mari kita pergi saja, agaknya kita kesasar ke tempat orang-orang yang tidak sopan."

Seorang sute Kam Ceng Swi yang berdarah panas menjadi marah mendengar sindiran ini. Ia bergerak maju dan menjambret leher baju Sun Tek sambil berkata keras.

"Apa kau bilang? Jangan kau berani menghina fihak Kun-lun-pai, tahu?”

Sun Tek yang sudah marah karena hatinya merasa kecewa itu, mengibaskan lengannya ke arah lengan orang yang mencengkeram leher bajunya sambil mengerahkan tenaga.

"Blukk!" Orang itu terpelanting dan mengaduh kesakitan karena tulang lengannya sudah patah!

"Kun-lun-pai atau partai yang mana pun juga, kalau orang-orangnya tak tahu aturan maka tak perlu dihormati!" kata Sun Tek.

Memang sikap Sun Tek tak dapat terlalu disalahkan. Dia seorang yang sudah buta, sudah setengah mati melakukan perjalanan yang sangat jauh. Namun sekarang, sesudah tiba di tempat tujuan, bukan saja ia tidak diperbolehkan bertemu dengan Bhok Lo Cinjin. malah ia mendapat perlakuan yang kurang hormat. Tentu saja ia menjadi kecewa bukan main dan kekecewaannya inilah yang membuat darahnya menjadi panas dan mudah marah.

Kam Ceng Swi juga sedang tak senang hati. Ia adalah seorang ahli filsafat, seorang bekas pembesar, dan mempunyai kepandaian tinggi. Akan tetapi tadi ia telah dipermainkan atau diperlakukan seperti anak-anak oleh para tokoh besar yang menjadi tamu gurunya. Maka, sekarang melihat sikap Sun Tek yang dia anggap orang biasa saja. dia menjadi semakin mendongkol.

"Orang she Kwee, apa kau memang datang sengaja hendak mengacau?" katanya sambil mendorong.

Biar pun Sun Tek tidak dapat melihat gerakan ini, namun hawa dorongan itu sudah terasa olehnya. Ia kaget sekali karena maklum bahwa lawannya ini benar-benar memiliki tenaga lweekang yang amat hebat. Cepat ia melakukan tangkisan dengan dua tangannya, namun tetap saja tubuhnya terhuyung ke belakang. Melihat betapa lawannya ini tidak seberapa lihai, Kam Ceng Swi tidak mendesak lebih jauh.

Sun Tek tentu saja tidak tinggal diam oleh serangan lawan. Sungguh pun ia maklum akan kelihaian lawannya, seberapa bisa ia harus melakukan perlawanan. Maka begitu ia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya ia lalu melangkah maju kemudian melakukan pukulan dengan tangan kirinya. Matanya yang buta membuat dia tidak melihat bahwa Kam Ceng Swi sebetulnya sudah tidak ingin menyerangnya lagi.

Dan pada saat itu pula, ketika Ceng Swi terpaksa menggerakkan tangan untuk menangkis serangan balasan lawan, terjadilah hal yang amat aneh. Sun Tek yang melakukan pukulan tangan kiri tiba-tiba merasa ada sesuatu yang menempel di punggungnya dan membuat pukulannya itu keras bukan main. Ia merasa hawa yang hangat panas menjalar ke dalam tubuhnya dan memenuhi tangan kiri yang melakukan pukulan.

Kam Ceng Swi menangkis dan... tidak saja tangannya segera terpental, juga pukulan Sun Tek itu terus mengenai dadanya! Kam Ceng Swi terhuyung ke belakang lalu roboh. Walau pun pukulan itu tidak membahayakan jiwanya, tapi mendatangkan luka yang cukup berat! Sun Tek mendengar lawannya roboh. Ia menyesal bukan main.

"Aku... aku tidak berniat memukul roboh...," katanya gagap.

Akan tetapi para anak murid Kun-lun-pai tentu saja tidak mau tinggal diam. Melihat Kam Ceng Swi dipukul roboh, mereka beramai maju mengeroyok Sun Tek.

Kembali terjadi hal yang sangat aneh. Di luar kehendaknya sendiri, tubuh Kwee Sun Tek bergerak dan kedua tangannya melakukan pukulan ke kanan kiri.

Terdengar suara blak-bluk-blak-bluk kemudian tubuh para anak murid Kun-lun-pai segera berpelantingan, roboh dan terluka oleh pukulan-pukulan Sun Tek yang mendadak menjadi luar biasa tangguhnya itu!

"Aku tidak mau berkelahi...! Bukan aku yang memukul...!" Sun Tek berteriak-teriak penuh penyesalan dan juga sangat terheran-keran.


Ia merasa dirinya seakan-akan kemasukan setan, bergerak di luar kemauannya dan tahu-tahu semua pengeroyok yang jumlahnya ada delapan belas orang itu sudah roboh semua oleh pukulan-pukulannya.

Tiba-tiba tenaga aneh yang menguasainya itu lenyap meninggalkan tubuhnya. Tubuh Sun Tek menjadi lemas, lalu roboh terengah-engah di tengah-tengah para korban pukulannya. Keadaan sunyi sekali di sekelilingnya, membuat dia teringat akan keponakannya.

"Wi Liong...!" teriaknya memanggil. Tidak ada jawaban.

"Wi Liong...! Di mana kau...?!” kembali dia berseru, kini lebih keras lagi. Tetap tidak ada jawaban.

Sun Tek bangkit berdiri, meraba ke kanan kiri dan menjadi gelisah sekali. "Wi Liong...!"

Tiba-tiba saja dari jauh terdengar suara ketawa, suara ketawanya dua orang, laki-laki dan wanita, dan suara ketawa itu sungguh menyeramkan, bahkan mengandung hawa khikang yang mengguncangkan jantung Sun Tek, membuat dia tak tertahankan lagi jatuh duduk di tengah-tengah para korbannya yang masih pingsan!

"Setan..." gerutunya. "apakah Wi Liong dibawa setan...?"

Tiba-tiba dia meraba punggungnya dan mendapat kenyataan bahwa pedang Cheng-hoa-kiam juga lenyap tanpa dia merasa ada yang ambil!

Dari puncak bukit nampak melayang turun tujuh orang tokoh besar yang tadinya sedang mengadakan pertemuan. Tadi mereka juga mendengar suara ketawa laki-laki dan wanita itu sehingga menjadi kaget bukan main. Cepat mereka berlari ke tempat itu dan menjadi kesima menyaksikan anak murid Kun-lun-pai malang-melintang dalam keadaan pingsan, dan di tengah-tengah di antara mereka duduk seorang laki-laki brewok yang gagah, yang secara aneh meraba-raba ke kanan kiri seperti orang buta, walau pun matanya nampak melotot lebar.

Kam Ceng Swi yang tidak pingsan, merangkak bangun ketika melihat suhu-nya datang bersama enam orang tamunya.

"Suhu...," katanya lemah.

Kun-lun Lojin menghampiri muridnya ini dan wajah yang halus itu menjadi berkerut. Kakek ini mengeluarkan sebungkus obat bubuk warna kuning, lalu memberikan obat itu kepada muridnya sambil berkata,

"Telan dulu obat ini, kau telah menerima pukulan yang mengandung hawa beracun."

Kam Ceng Swi menerima obat itu, segera menuangkan ke dalam mulut lalu menelannya bersama ludah. Kemudian ia duduk bersila dan mengatur napas. Melihat muridnya sudah mendingan, barulah Kun-lun Lojin bertanya.

"Apa yang telah terjadi di sini? Siapa yang memukulmu?”

Kam Ceng Swi menudingkan jari telunjuknya ke arah Sun Tek, "Dialah yang merobohkan teecu dan semua anak-anak murid Kun-lun-pai. Dia datang bersama seorang anak kecil, sengaja mencari keributan dengan alasan mencari Bhok Lo Cinjin. Mungkin dia membawa kawan-kawan karena sekarang teecu tidak melihat ke mana perginya bocah itu, bahkan Kun Hong juga tidak ada... teecu khawatir anak itu diculik oleh kawan-kawannya..."

Tujuh orang tokoh itu kini memandang kepada Sun Tek, dan Bhok Lo Cinjin yang disebut-sebut namanya melangkah maju. Ada pun Sun Tek, ketika mendengar laporan Kam Ceng Swi itu menjadi kaget sekali. Dia merayap maju, meraba-raba dengan kedua tangannya, lalu berkata,

"Apakah betul Bhok Lo Cinjin berada di sini...?" Dia bertanya dengan suara gagap karena maklum bahwa dia berada dalam keadaan sulit sekali.

"Pinceng Bhok Lo Cinjin, kau siapa dan ada apa mencari pinceng?”

Kwee Sun Tek cepat menjatuhkan diri berlutut dan mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Cu-wi locianpwe yang berada di sini, harap maafkan teecu yang sudah tak dapat melihat lagi...!” Dan Sun Tek tak tertahan lagi lalu menangis.

Semua orang menjadi heran, juga Kam Ceng Swi. Baru sekarang dia melihat bahwa biar pun orang she Kwee itu matanya melotot, namun ternyata dia adalah seorang buta!

"Seorang lelaki pantang menangis, lekas kau ceritakan!” kata Bhok Lo Cinjin dengan suara kereng. Hwesio ketua Siauw-lim-pai ini biar pun air mukanya manis dan tersenyum-senyum ramah, namun wataknya keras dan dia selalu menjaga peraturan dengan tertib.

Sun Tek lalu menuturkan pengalamannya. "Teecu adalah murid Beng Kun Cinjin. Melihat bekas suhu itu menyeleweng membantu pemerintah penjajah, teecu beserta enci dan cihu yang juga murid-murid Beng Kun Cinjin segera pergi ke kota raja untuk membujuk suhu, tetapi enci dan cihu tewas oleh para panglima. Teecu berhasil melarikan Wi Liong, putera cici. Di tengah jalan teecu dibikin buta oleh suhu yang mengejar teecu, bahkan para suhu di Siauw-limsi, Siang Tek Hosiang dan suhu-suhu lain yang membela teecu mungkin kena dikalahkan oleh Beng Kun Cinjin pula. Kemudian enam tahun lamanya teecu mengajak Wi Liong mengembara dan akhirnya membawa anak itu ke Siauw-lim-pai agar dapat menjadi murid. Namun sayang, Bhok Lo Cinjin tidak ada, kabarnya sedang ke Kun-lun-san. Maka teecu mengajak keponakan itu menyusul ke sini." Ia menarik napas panjang.

Semua orang yang mendengarkan penuturan ini menjadi amat tertarik dan merasa gemas. Memang semua sudah mendengar perihal Beng Kun Cinjin dan mereka sangat membenci pengkhianat.

"Sungguh sial bagi teecu, di sini teecu malah dianggap membikin kacau sehingga terjadi percekcokan. Kemudian, dalam sedikit pertempuran, entah bagaimana, tiba-tiba teecu tak dapat menguasai diri, kedua tangan teecu bergerak sendiri merobohkan saudara-saudara murid Kun-lun-pai, padahal teecu sama sekali bukan lawannya. Benar-benar aneh sekali! Sayang mata teecu tak dapat melihat, dan sekarang tahu-tahu Wi Liong telah lenyap...!" Kembali Sun Tek menangis.

Kun-lun Lojin melompat maju dan menekan kedua pundak Sun Tek. Sun Tek tak berdaya sama sekali, merasa seluruh tenaganya lenyap dalam tekanan itu. Ia dilepas kembali dan Kun-lun Lojin berkata lirih,

"Dia tidak membohong. Dia sama sekali takkan sanggup melawan Kam Ceng Swi...”

"Akan tetapi teecu dirobohkan dengan sekali pukul," kata Kam Ceng Swi terheran-heran.

"Tangannya tidak mengandung hawa pukulan beracun, sedangkan kau dirobohkan dengan pukulan beracun. Tentu ada orang jahat yang merobohkan kalian lewat jalan bersembunyi, meminjam tangan Kwee sicu kemudian menculik Wi Liong, dan agaknya Kun Hong juga ikut terculik!”

Semua orang terdiam. Tujuh orang tokoh besar itu saling pandang, teringat akan suara tawa laki-laki dan wanita tadi. Tung-hai Sian-li tertarik melihat seorang anak murid Kun-lun yang merintih dan pada leher orang ini terdapat tanda bintik-bintik merah. Dia mendekat, memeriksa sebentar lalu dengan alis berkerut tokoh wanita ini berkata.

"Bekas tangan Tok-sim Sian-li (Dewi berhati Racun)!"

Semua orang terkejut bukan main. Nama Tok-sim Sian-li sudah sangat terkenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai seorang wanita tokoh Mokauw yang kejam, galak dan cabul, tapi kepandaiannya luar biasa sekali, bahkan Tung-hai Sian-li tokoh dari timur ini pernah roboh olehnya!

Lam-san Sian-ong juga maju mendekati Kam Ceng Swi sambil berkata. "Mengingatkan lohu akan seseorang...”

Tanpa berkata apa-apa lagi dia segera memeriksa dada Kam Ceng Swi, merobek bajunya dan mengetuk-ngetuk iganya. Ia mengangguk-angguk dan berkata,

"Sudah kuduga... sudah kuduga... masih baik kau tidak langsung menerima pukulan dari tangannya, dan sudah keburu minum obat penawar manjur. Kalau tidak... hemmm, jangan harap bisa hidup lagi. Tanganku yang tekena pukulan Ngo-tok-jiauw (Cengkeraman Lima Racun) terpaksa kubikin buntung!" Ia lantas memperlihatkan tangan kirinya yang buntung dan mukanya memperlihatkan kegemasan besar.

"Lam-san Sian-ong, kau maksudkan muridku ini terkena pukulan Ngo-tok-jiauw...?” tanya Kun-lun Lojin, wajahnya berobah sungguh-sungguh.

Kakek bertangan buntung itu mengangguk-angguk. "Kau tadi telah mendapat kehormatan, menerima kunjungan Bu-ceng Tok-ong (Raja Racun Tanpa Aturan) sendiri!”

Semua orang menjadi terkejut lagi. Kiranya suara ketawa tadi adalah suara ketawa Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li dua orang tokoh Mokauw yang amat kejam dan lihai.

Mendengar ini Sun Tek mengeluh. "Wi Liong... Wi Liong... kasihan sekali kau, nak...”

Juga Kam Ceng Swi sangat terkejut dan berduka. Dia berlutut di hadapan suhu-nya dan berkata, "Suhu, mohon belas kasihan suhu, tolonglah anakku Kun Hong...”

Kun-lun Lojin menarik napas panjang, "Sulit, sulit... akan tetapi sudah menjadi kewajiban kami untuk memikirkannya. Ceng Swi, kau rawatlah saudara-saudaramu dan layani Kwee sicu ini baik-baik. Jangan ganggu kami yang akan merundingkan soal ini di atas."

Kun-lun Lojin dan para tamunya lalu kembali ke puncak. Wajah mereka rata-rata muram, kecuali Lam-sam Sian-ong yang kadang-kadang tersenyum-senyum seorang diri seperti orang yang otaknya miring, namun karena semua orang sudah mengenal keanehannya, tak seorang pun memperhatikan dia. Tujuh orang tokoh besar ini melanjutkan pertemuan yang terganggu tadi.

"Soalnya menjadi semakin sulit," kata Kun-lun Lojin. "Dahulu ketika pinto bertemu dengan Thian Te Cu, orang sakti itu sudah memperingatkan bahwa akan datang saatnya seluruh negara kita dikuasai oleh Bangsa Mongol sampai seratus tahun lamanya. Beliaulah yang menyuruh kita agar jangan bergerak dan jangan mencoba melawan kehendak alam. "

"Biar pun Thian berkuasa, tetapi manusia harus berdaya-upaya!" bantah Tung-hai Sian-li. "Melihat negara diilas-ilas, masa kita harus peluk tangan saja melihat rakyat dibinasakan? Di mana kegagahan kita?"

"Betul," kata Kun-lun Lojin, "memang tak ada yang melarang bila di antara kita ada yang berusaha, namun ada batas-batasnya. Usaha kita hanya mengganyang para orang gagah yang menyeleweng dan membantu musuh seperti halnya Beng Kun Cinjin dan yang lain-lain. Tetapi Beng Kun Cinjin kini telah menghilang dan sepanjang pendengaran pinto, bala tentara Mongol mulai menghubungi orang-orang Mokauw untuk memperkuat kedudukan mereka. Sekarang fihak Mokauw sudah terang-terangan membuka permusuhan dengan kita, sengaja datang untuk mengacau pertemuan kita, merobohkan anak murid Kun-lun-pai dan menculik dua orang anak yang berada di sini. Kun Hong adalah anak murid Kun-lun-pai yang berbakat, perbuatan dua orang Mokauw itu benar-benar merupakan hinaan besar."

Bhok Lo Cinjin mengeluarkan gerengan. "Juga bocah bernama Thio Wi Liong itu sudah hendak dititipkan kepada pinceng, biar pun belum pinceng terima akan tetapi orang sudah datang mendahului dan menculiknya, ini pun berarti penghinaan bagi Siauw-lim-pai. Kita harus mencari dua orang iblis itu."

"Sudah bertahun-tahun aku mencari untuk minta ganti tanganku yang buntung ini, tetapi lebih mudah mencari setan dari pada mencari Bu-ceng Tok-ong," kata Lam-san Sian-ong mendongkol.

"Aku pun sudah lama mencari Tok-sim Sian-li untuk membalas penghinaannya beberapa tahun yang lalu, akan tetapi siapa tahu di mana sarang siluman itu?” kata Tung-hai Sian-li.

"Seperti pinto katakan tadi, sekarang fihak Mongol sudah minta bantuan Mokauw, kiranya berkumpulnya para tokoh Mokauw tidak akan jauh dari kota raja. Kita sekarang masing-masing mencari jejak mereka, kemudian beramai-ramai menyerbu apa bila sarang mereka sudah diketahui. Biarlah setahun lagi pada waktu sekarang ini kita akan berkumpul di Kuil Siauw-lim-si untuk menceritakan hasil penyelidikan masing-masing," kata Kun-lun Lojin.

Setelah diadakan permufakatan ini, mereka lalu bubaran dan mulailah para tokoh besar ini melakukan penyelidikan untuk melawan orang-orang Mokauw jika mereka benar menjadi kaki tangan pemerintah penjajah, sekalian mencari dua orang tokoh Mokauw yang sudah menghina mereka di Kun-lun-san dan menolong dua orang anak kecil yang sudah mereka culik…..

********************

Dugaan tujuh tokoh di puncak Kun-lun-san itu memang tidak meleset. Yang mengacau di lereng Kun-lun-san dan menculik dua orang bocah itu memang Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li, dua orang tokoh besar dari golongan Mokauw yang ditakuti orang.

Fihak Mokauw mendengar tentang pertemuan puncak itu, maka dua orang ini diutus untuk mengacau karena golongan Mokauw maklum bahwa tujuh orang tokoh besar itu sedang membicarakan gerakan mereka membantu bala tentara Mongol!

Akan tetapi, biar pun dua orang tokoh Mokauw itu berkepandaian tinggi, mereka merasa jeri juga jika harus menyerbu ke atas dan menghadapi tujuh orang tokoh besar sekaligus. Maka mereka hanya mengacau di lereng tempat penjagaan.

Kebetulan mereka melihat dua orang bocah itu yang mereka tahu bertulang baik sekali, maka mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan baik ini untuk menculik dua orang anak itu. Tok-sim Sian-li lantas menculik Kun Hong, sedangkan Bu-ceng Tok-ong menculik Wi Liong sambil tidak lupa membawa pedang Cheng-hoa-kiam yang berada di punggung Sun Tek karena dia tahu bahwa pedang itu adalah pedang pusaka yang ampuh.

Tok-sim Sian-li atau Dewi Hati Beracun adalah seorang wanita yang tampak masih muda meski pun usianya sudah empat puluh tahun. Kalau orang melihat potongan tubuhnya dan wajahnya, maka tak akan ada yang mengira bahwa wanita ini adalah seorang iblis betina yang amat jahat.

Wajahnya cantik dengan kulit muka putih kemerahan dan matanya tajam dengan kerling genit. Senyumnya dapat merobohkan hati para pria yang batinnya kurang kuat. Potongan tubuhnya juga menarik dengan gerak gerik menggiurkan.

Pendeknya, Tok-sim Sian-li adalah seorang wanita cantik yang bersikap genit sekali. Akan tetapi di dalam hatinya dia kejam luar biasa dan di balik senyum menarik dan kerling mata menggairahkan bersembunyi sifat galak dan ganas. Dia terkenal sebagai seorang wanita cabul, pandai merayu pria yang disukainya, akan tetapi kalau hatinya sudah tidak suka, ia akan membunuh pria itu tanpa berkedip mata dan dengan senyum di kulum!

Kawannya justru sebaliknya. Bu-ceng Tok-ong adalah seorang bermuka iblis. Wajahnya segi empat dengan alis mata tebal sekali sehingga menutupi kedua matanya yang hitam. Mukanya hitam bertotol-totol putih karena dimakan penyakit kulit dan kulit badannya kasar seperti kulit buaya. Tubuhnya tinggi besar dan nampak kuat bukan main. Wataknya aneh dan suka melucu, benar-benar berbeda dengan mukanya yang menyeramkan.

Akan tetapi dalam hal kekejaman, dia tidak kalah banyak oleh Tok-sim Sian-li. Dua orang ini adalah tokoh-tokoh yang mempunyai kepandaian tinggi sekali, dan entah sudah berapa ratus atau berapa ribu orang yang sudah menjadi korban keganasan mereka.

Sesudah berhasil menculik dua orang bocah itu, keduanya langsung berlari cepat sambil meninggalkan suara tawa menyeramkan. Sebentar saja mereka sudah turun gunung dan pergi jauh sekali, tak mungkin dapat dikejar oleh orang-orang di Kun-lun-san. Setelah jauh barulah mereka berjalan perlahan sambil bercakap-cakap.

Tok-sim Sian-li memondong Kun Hong, mengamat-amati wajah anak laki-laki yang sangat tampan ini. Seperti juga keadaan Wi Liong, Kun Hong tidak dapat mengeluarkan kata-kata karena urat gagunya telah ditotok, dan ia tak dapat bergerak dalam pondongan wanita itu. Tok-sim Sian-li tertawa-tawa dan menciumi pipi Kun Hong.

"Aduh, sayang masih kecil. Kalau sudah dewasa dia tentu menjadi pemuda yang tampan sekali!” katanya sambil membelai rambut Kun Hong yang hitam.

"Dasar kau wanita yang gila laki-laki!” Bu-ceng Tok-ong mencela dengan mulut cemberut. "Aku membawa dia ini karena dia bertulang baik, amat patut menjadi muridku. Akan tetapi agaknya kau menculik bocah itu karena tampannya. Ha-ha-ha, kau mau menanti sampai berapa tahun untuk menjadikannya sebagai kekasih barumu? Mata keranjang!”

Dimaki demikian, Tok-sim Sian-li hanya tertawa genit. "Tentu saja aku memilih pemuda tampan, habis apa aku harus selalu mendekati laki-laki seperti macammu? Buruk, kasar dan tidak menyenangkan. Cihh! Bisa saja kau mencela orang padahal kau sendiri sekali melihat gadis cantik mulutmu terus mengilar! Kau bilang bocah yang kau bawa bertulang baik? Hemm, kiranya matamu sudah buta kalau kau tidak dapat melihat bahwa bocahku ini bakatnya jauh lebih besar dari pada bocahmu itu!”

"Tak bisa jadi! Kau lihat saja!" kata Bu-ceng Tok-ong sambil membuka baju Wi Liong dan meraba-raba dada anak itu.

"Kau memang sudah buta. Kau lihat ini!" juga Tok-sim Sian-li membuka baju Kun Hong dan memperlihatkan dada bocah itu.

Keduanya memeriksa dan akhirnya mereka harus mengakui bahwa dua orang anak laki-laki itu bertulang baik sekali.

"Kita benar-benar beruntung," kata Bu-ceng Tok-ong. "Tak dinyana kedua anak ini benar-benar merupakan tunas yang jarang terdapat!”

"Mari kita bertaruh, di antara dua orang murid kita ini, kelak siapa yang akan lebih jadi," kata Tok-sim Sian-li menantang.

Bu-ceng Tok-ong tertawa bergelak, suara tawanya seperti ketika meninggalkan Kun-lun-san, bergema sampai jauh dari tempat itu. Memang setiap kali perasaannya tersinggung sehingga ia menjadi marah dan mendongkol, tentu Bu-ceng Tok-ong mengeluarkan suara ketawa seperti ini.

"Ha-ha-ha-ha, kau sombong benar. Baik, kuterima tantanganmu, apa taruhanmu?"

"Apa saja menurut permintaanmu!" jawab Tok-sim Sian-li sambil tesenyum mengejek.

Kembali Bu-ceng Tok-ong tersenyum. "Dalam waktu sepuluh tahun dua orang murid kita sudah dewasa dan boleh kita mengadu kepandaian mereka. Kalau muridku menang..." ia tersenyum pula. "dan ini sudah pasti, maka kau harus mau menjadi isteriku. Bagaimana?”

Tok-sim Sian-li memicingkan matanya yang bagus itu, bibirnya tersenyum lebih manis lagi dengan gaya memikat. "Mudah-mudahan sepuluh tahun lagi kau tidak akan menjadi lebih kasar dan lebih buruk." jawabnya. "Akan tetapi bagaimana kalau muidmu kalah?”

"Sesukamulah, kau minta apa? Kau minta kepalaku juga boleh!”

"Cih, untuk apa kepala burukmu itu? Kalau muridku yang menang kau harus memberikan muridmu itu untuk menghiburku selama satu tahun!”

Bu-ceng Tok-ong tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, kau pintar sekali! Memang mata keranjang macam matamu mana bisa melewatkan laki-laki tampan? Kelak muridku ini takkan kalah tampan oleh muridmu. Boleh, boleh, mari kita sama lihat sepuluh tahun lagi! Benar-benar pertaruhan yang menyenangkan hati sekali."

Dari percakapan ini dapat dinilai betapa bobroknya moral dari kedua orang ini yang sudah tidak kenal apa artinya malu lagi. Kun Hong dan Wi Liong yang baru berusia enam tujuh tahun itu tentu saja menjadi bingung dan tidak mengerti, tetapi sedikit pengertian mereka membuat mereka menjadi terheran-heran dan juga ngeri.

Bu-ceng Tok-ong lalu menotok leher muridnya, membebaskannya dari totokan yang sejak tadi membuatnya gagu. Juga Tok-sim Sian-li membebaskan muridnya, lalu mengelus-elus leher Kun Hong.

"Kau tidak merasa sakit, bukan?" tanyanya halus dengan suara menyayang sekali.

Kun Hong menggeleng kepala. Bocah ini merasa takut dan benci pada Bu-ceng Tok-ong yang berwajah buruk, akan tetapi biar pun dia agak merasa heran dan ngeri melihat Tok-sim Sian-li, tetapi dia tidak membenci wanita ini. Wanita ini memperlihatkan kasih sayang kepadanya, bicaranya juga lemah lembut, tentu saja dia tidak membencinya. Akan tetapi dia masih ragu-ragu bila hendak dijadikan muridnya. Seorang wanita begini lemah lembut gerak-geriknya mau menjadi gurunya? Apa sih kemampuannya.....?
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar