Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 21

Akan tetapi See-thian Hoat-ong yang tidak mau membuang banyak waktu segera berkata. "Hayo kita menyeberang ke sana sebelum mereka bergerak!"

Dan ia menarik tangan Siok Lan. mengajak keponakannya itu melompat ke atas jembatan tambang disusul oleh Pak-thian Koai-jin yang menarik tangan muridnya, kemudian disusul oleh Tung-hai Sian-li dan Lam-san Sian-ong. Souw Lo Hosiang dan para muridnya tidak mau meninggalkan kelenteng.

"Pinceng tinggal di sini. mereka kiranya tak akan mengganggu para hwesio.”

Karena kukuh tidak mau ikut pergi, terpaksa pendeta ini dan murid-muridnya ditinggalkan. Sementara itu Wi Liong sudah sampai di seberang jurang di mana dia disambut oleh Kun Hong yang memandang kepadanya lalu tertawa bergelak,

"Eh ehh, benar-benar kau ini? Ha-ha-ha. Wi Liong. Menyeberangi jembatan tambang saja kau sudah gemetaran, masa kau berani menantang pibu kepadaku?”

"Kun Hong, soal pibu tentu saja akan kulayani. Tetapi yang terpenting sekarang, mengapa kau tidak bertindak sebagai seorang laki-laki? Kau sudah berjanji hendak mengadu tenaga tiga hari kemudian, mengapa sekarang kau sudah datang lagi dengan membawa kawan-kawan? Apakah janjimu tak dapat dipegang lagi?”

"Janji macam apa? Jangan banyak cerewet kau!” bentak Bu-ceng Tok-ong dan tangannya menampar ke arah kepala Wi Liong, tamparan yang mengandung kekuatan dan pukulan berhawa racun.

"Ayaaa… Bu-ceng Tok-ong betul-betul tak tahu malu!" ejek Wi Liong dan dia mengangkat tangan kiri menangkis.

"Plakk!" dua tenaga hebat bertemu melalui dua lengan tangan.

"Ayaaaaa...!" Tubuh Bu-ceng Tok-ong terhuyung mundur dan Raja Racun ini memegangi lengan kanannya yang tulangnya seperti remuk rasanya. Dia meringis dan menahan sakit sambil memandang penuh keheranan dan penasaran.

Mana dia menyangka bahwa bocah yang dulu pernah hendak dia jadikan murid, sekarang telah menjadi begini lihai sehingga dengan sekali tangkis saja tidak hanya dapat menolak hawa pukulan beracun, malah hampir membikin remuk tulang lengannya?

"Tok-ong, muridmu itu manis sekali sekarang!" ejek Tok-sim Sian-li yang sudah mencabut pedang. "Sayang dia memihak musuh."

Sambil bicara tangannya pun bekerja, pedangnya menusuk dan tangan kirinya melakukan pukulan Toat-sim-ciang yang lihai!

"Kun Hong, guru-gurumu memang bo-ceng-li (tak tahu aturan)!" ejek Wi Liong lagi.

Dia menggerakkan tangan kiri lagi, dikibaskan ke arah pedang, sedangkan tangan kanan wanita itu yang menghantam dadanya tidak diapa-apakan, dia terima begitu saja pukulan itu.

"Dukkk...!”

“Aauuuu...!" Tok-sim Sian-li hampir saja melepaskan pedangnya. Ia merasa pergelangan tangan kanannya lumpuh, ada pun kepalan tangan kiri yang melakukan Pukulan Pencabut Jantung sakit bukan main.

"Kun Hong, mengapa guru-gurumu begini lemah?” kembali Wi Liong mengejek Kun Hong, sengaja membikin panas hati pemuda itu supaya jangan sampai memperoleh kesempatan mengganggu Pak-thian Koai-jin dan kawan-kawannya yang kini sudah mulai berdatangan menyeberang melalui jembatan tambang.

"Apa anehnya kalau bisa mengalahkan dua orang yang sudah tua-tua?" teriak Kun Hong. "Akulah lawanmu, jangan kau sombong!"

"Kun Hong, hati-hati. Dia adalah murid Thian Te Cu...!" kata Bu-ceng Tok-ong yang kini sudah percaya betul akan kelihaian pemuda yang dulu dibawa pergi oleh Thian Te Cu ini.

"Kun Hong, tadi kau bilang aku sudah tua...?" Tok-sim Sian-li berseru dengan suara sedih mengandung keluhan.

Akan tetapi Kun Hong tidak mempedulikan seruan dua orang itu dan mulai menyerang Wi Liong dengan pukulan kanan kiri yang dahsyat. Kembali Wi Liong tertegun karena pukulan ini mengandung unsur-unsur pat-kwa dan dasar-dasarnya hampir sama dengan pukulan Pat-kwa-ciang-hoat yang dia pelajari dari gurunya.

"Hemmm…, agaknya kau sudah menerima pelajaran dari Thai Khek Sian," Wi Liong yang sudah dapat menduga itu menegurnya.

Kun Hong hanya mempercepat serangannya tanpa menjawab. Wi Liong cepat mengelak karena maklum akan kelihaian serangan ini dan sejenak kemudian dua orang muda murid orang-orang sakti itu sudah bertanding hebat sekali.

Sementara itu, Pak-thian Koai-jin dan kawan-kawannya sudah sampai di tempat itu.

"Lari terus, jangan layani pertempuran! Musuh terlampau banyak, ada barisan di lereng!” seru See-thian Hoat-ong yang maklum bahwa kalau bertempur maka kawan-kawannya akan menghadapi keroyokan beratus orang musuh.

Pui Eng Lan dan Kwa Siok Lan berlari di depan, baru di belakangnya mengikuti Lam-san Sian-ong, Tung-hai Sian-li, See-thian Hoat-ong serta Pak-thian Koai-jin. Sebagai seorang ahli perang, See-thian Hoat-ong maklum bahwa walau pun fihaknya sangat kuat, namun fihak musuh selain mempunyai orang-orang pandai seperti Bu-ceng Tok-ong dan lain-lain, juga terdiri dari ratusan orang tentara sehingga kalau terjadi pengeroyokan, fihaknya yang akan kalah.

Beberapa orang perwira segera datang sambil membawa pasukan mereka, menghadang dan mencoba untuk menghalangi larinya enam orang ini. Akan tetapi mana bisa mereka menghadapi orang-orang gagah itu?

Eng Lan dan Siok Lan mengerjakan pedang masing-masing dan beberapa orang anggota pasukan roboh. Lam-san Sian-ong memutar tongkat bambunya dan empat orang jungkir-balik tak dapat bangun lagi.

Yang terhebat adalah Tung-hai Sian-li. Tokoh wanita ini sedang marah dan sedih karena melihat puterinya yang cantik itu tak mau mengakui dirinya, maka sekarang menghadapi pasukan musuh ia melampiaskan kemarahannya. Pedamgnya menyambar bagaikan kilat menyambar-nyambar dan celakalah pengeroyok yang terkena sinar pedangnya.

Sambil tertawa-tawa Pak-thian Koai-jin merobohkan banyak pengeroyok dengan tongkat bambu dan mangkoknya. Lima orang itu agaknya akan lupa waktu dan terus membabati musuh yang empuk-empuk itu kalau saja di situ tidak ada See-thian Hoat-ong yang selalu memberi ‘komando’. Kakek bermuka merah bekas panglima besar ini yang memberi ingat kepada kawan-kawannya, bahkan dia pula yang mengatur siasat mencari jalan keluar yang paling lemah.

Akhirnya mereka dapat menyelamatkan diri turun dari bukit itu lewat lereng selatan, bebas dari kepungan para tentara Mongol yang berani mati itu. Akan tetapi dalam keributan itu, sesudah terbebas dari pengeroyokan, barulah mereka melihat bahwa Kwa Siok Lan tidak berada di situ!

"Celaka, mana dia...? Di mana Siok Lan...?” seru Tung-hai Sian-li dengan muka berubah. Tokoh-tokoh yang lain juga kaget, khawatir kalau-kalau gadis itu roboh oleh pengeroyokan musuh.

"Tadi dia melawan musuh berdekatan dengan teecu," kata Eng Lan kepada gurunya, “dan melihat keadaan para pengeroyok, tidak mungkin kalau enci Siok Lan roboh."

"Aku akan mencarinya!" kata See-thian Hoat-ong dengan suaranya yang menggeledek, tanda bahwa dia marah sekali karena murid keponakannya dalam bahaya.

Golok besarnya sudah berpindah ke dalam tangannya, mukanya kelihatan makin angker. Ia telah membuang pakaian luarnya dan sekarang See-thian Hoat-ong yang mengenakan pakaian perang dari suku bangsanya, benar-benar nampak angker dan gagah. Bahkan dia jauh nampak muda dari usia sebenarnya.

Akan tetapi sebelum ia bergerak, berkelebat bayangan biru dan tahu-tahu Tung-hai Sian-li sudah mendahuluinya, naik lagi ke atas bukit untuk mencari dan membela anaknya.

Wanita ini benar-benar aneh. Semenjak belasan tahun dia meninggalkan puterinya begitu saja kepada bekas suaminya dan hatinya yang keras menindas semua rasa rindu kepada anak dan suami, membuat ia kuat menahan keinginan hati sehingga tidak pernah bertemu muka dengan mereka. Akan tetapi sekarang, begitu bertemu dengan Siok Lan, kasih ibu yang terpendam di dalam hati dan sebetulnya tidak pernah lenyap itu tiba-tiba bangkit dan dia akan rela berkorban nyawa demi keselamatan anaknya, walau pun anak itu tidak mau mengakuinya sebagai ibu.

Memang tidak ada kecintaan yang lebih mulia dari pada kasih sayang seorang ibu kepada anaknya, sebaliknya juga tak ada kekejaman yang lebih hebat dan pada hati wanita yang dibakar api cemburu terhadap suaminya. Dan Tung-hai Sian-li adalah seorang wanita yang menjadi korban cemburu.

Dengan golok terhunus See-thian Hoat-ong juga ikut mengejar Tung-hai Sian-li. Melihat ini Pak-thian Koai-jin tertawa.

"Ha-ha-ha-ha… bukan saja untuk membela nona Kwa, akan tetapi terutama sekali untuk melindungi keselamatan murid-murid Siauw-lim-pai. Memang tidak pantas kalau kita tidak membantu mereka."

Ia memberi isyarat kepada Pui Eng Lan dan cepat menyeret tongkat bambunya, mengejar kembali ke atas bukit. Tidak ada pilihan lain bagi Lam-san Sian-ong. Kakek yang buntung tangan kirinya ini. yang juga termasuk seorang gagah, menggerakkan kedua kakinya yang pendek-pendek, lari cepat mengikuti yang lain.

Ke mana larinya Kwa Siok Lan? Apa betul seperti yang dikhawatirkan oleh rombongan itu bahwa gadis ini roboh atau tertawan? Tidak demikian halnya! Ketika dia dan rombongan itu mulai terlepas dari kepungan musuh dan tinggal lari saja turun gunung, Siok Lan ingat kepada Wi Liong, pemuda tunangannya itu.

Meski pun tanpa disengaja Wi Liong telah menyakiti hatinya, yaitu mengaku di depan Pak-thian Koai-jin bahwa adalah di luar kehendaknya dia ditunangkan dengan gadis she Kwa, namun Siok Lan harus mengaku bahwa wajah dan kegagahan pemuda itu amat menarik hatinya. Pemuda itu demikian ganteng dan gagah, pula telah memperlihatkan keberanian luar biasa.

Sedangkan tentang kepandaian, dia sudah menyaksikan sendiri kelihaiannya. Bukan saja serangan piauw dari Eng Lan sama sekali tidak melukainya, bahkan juga dia tadi melihat sepintas lalu betapa calon suaminya itu telah mengalahkan Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li secara mudah sekali! Kenyataan ini tentu saja membuat Siok Lan semakin kagum kepada pemuda itu.

Betapa pun juga pemuda itu adalah tunangannya yang diresmikan oleh ayahnya sendiri, dan sekarang pemuda itu telah dikepung banyak musuh karena hendak menolong dia dan rombongannya. Bagaimana dia bisa meninggalkannya begitu saja? Sungguh pun hatinya amat sakit oleh ucapan Wi Liong di depan Pak-thian Koai-jin, akan tetapi tidak seharusnya dia meninggalkannya begitu saja.

Dengan pikiran ini, di luar tahunya yang lain, dia malah kembali ke dekat jurang di mana Wi Liong tadi menghadapi musuh-musuhnya. Begitu melihat gadis cantik ini kembali ke dalam kepungan, para anggota pasukan segera mengurung dan menerjangnya, tapi Siok Lan tidak menjadi gentar, pedangnya dikerjakan dan kembali dia mengamuk.

"Niocu, wakili aku menawan gadis jelita itu hidup-hidup untukku!" terdengar suara nyaring. Inilah suara Kun Hong yang minta tolong kepada Tok-sim Sian-li supaya menangkap dan menawan Siok Lan. "Akan tetapi ingat, jangan lukai dia!"

Kun Hong benar lihai dalam menghadapi Wi Liong. Ia masih sempat melihat amukan Siok Lan dan menyuruh bekas gurunya menangkapnya.

Tok-sim Sian-li menjebikan bibir, hatinya sangat mendongkol akan tetapi dia tidak berani membantah perintah bekas muridnya yang kini sudah terlampau lihai baginya itu.

"Minggir semua! Biarkan aku menangkap kuda betina yang binal ini!"

Kwa Siok Lan yang tiba-tiba berhadapan dengan Tok-sim Sian-li, tidak membuang banyak waktu lagi langsung saja dia menyerang dengan pedangnya secara hebat. Tok-sim Sian-li menangkis, terdengar suara nyaring ketika dua pedang bertemu dan Siok Lan hampir saja melepaskan pedangnya karena tangannya terasa sakit.

"Hi-hi, anak baik. Lepaskan saja pedangmu dan menyerahlah. Percuma kau melawanku," kata Tok-sim Sian-li mengejek.

"Siapa takut padamu?" Siok Lan membentak marah kemudian melompat lagi, menerkam dengan pedangnya. Dia mengerahkan segenap tenaganya sambil menggerakkan pedang secepatnya karena maklum bahwa lawannya ini amat lihai.

Akan tetapi, kepandaian Tok-sim Sian-li memang jauh lebih tinggi. Dengan mudah pedang Siok Lan ditangkis lagi. Kemudian sambil tertawa-tawa Tok-sim Sian-li balas menyerang.

Kalau wanita ini menuruti hatinya, ingin dia menikam mati gadis muda itu, akan tetapi dia tidak berani membuat Kun Hong marah. Dia lantas mainkan pedangnya secara istimewa sekali, diputarnya cepat sehingga membuat Siok Lan bingung dan pandangannya menjadi silau. Dalam belasan jurus saja Tok-sim Sian-li sudah berhasil merampas pedangnya dan menotoknya roboh. Siok Lan roboh tak dapat berkutik lagi.

"Bocah manis, kalau Kun Hong sudah begitu tergila-gila padamu, tentu dia sudah pernah pernah melihatmu. Siapakah namamu dan kapan kau mulai kenal dengan Kun Hong?”

"Aku Kwa Siok Lan selamanya tak pernah berkenalan dengan orang-orang seperti kalian!" jawab Siok Lan ketus. Ia berusaha keras untuk membebaskan pengaruh totokan itu, akan tetapi sia-sia saja. Ia hanya dapat bicara, akan tetapi tidak mampu menggerakkan kedua kakinya.

Tiba-tiba tangan Tok-sim Sian-li melayang.

“Plak! Plak!" Kedua pipi Siok Lan telah ditamparnya.

Masih baik dia tetap ingat akan pesan Kun Hong sehingga tamparan itu hanya membikin pipi Siok Lan menjadi merah dan terasa panas pedas saja, akan tetapi tidak melukainya.

"Kau puteri Tung-hai Sian-li? Ha-ha, bagus! Kalau saja aku tidak ingat akan ayahmu Kwa Cun Ek yang pernah menjadi kekasihku sampai bertahun-tahun, tentu akan kupecahkan kepalamu!"

Siok Lan adalah seorang gadis cantik yang memiliki keberanian istimewa dan kegagahan seperti ayahnya, akan tetapi sedikitnya ia mewarisi kekerasan hati ibunya. Ia memandang kepada Tok-sim Sian-li dengan mata berapi dan berkata,

"Wanita siluman, kau mau bunuh boleh bunuh. Siapa takut mati? Tidak usah kau banyak bicara tidak karuan, siapa percaya omonganmu yang busuk seperti racun?”

Pada saat itu terdengar ribut-ribut dan barisan di sebelah selatan mendadak kacau-balau, lalu tak lama kemudian muncul Tung-hai Sian-li dan kawan-kawannya. Dari jauh Tung-hai Sian-li sudah melihat Siok Lan tertawan. Ia cepat menggerakkan pedangnya merobohkan dua orang serdadu musuh dan dengan lompatan-lompatan jauh dia menghampiri Tok-sim Sian-li.

Wanita yang sudah tersenyum-senyum mengejek ini lalu berkata kepada seorang perwira Mongol. "Kau tawan gadis ini, akan tetapi ingat, dia adalah pesanan Kam-taihiap, jangan ganggu dia!” Siok Lan tak berdaya lagi ketika dia dibawa pergi oleh perwira itu.

"Tok-sim siluman betina! Kau apakan anakku?!" bentak Tung-hai Sian-li dan pedangnya telah berkelebat menyerang dengan tusukan mematikan karena ia tidak sabar lagi hendak cepat-cepat menolong anaknya.

"He-he-he, budak hina-dina, jangan banyak tingkah!" Tok-sim Sian-li menangkis keras.

Dua musuh kawakan kini saling bertemu muka. Tok-sim Sian-li masih menaruh dendam sebab merasa kekasihnya, Kwa Cun Ek, telah dirampas oleh musuh ini, sebaliknya Tung-hai Sian-li mendendam karena gara-gara Tok-sim Sian-li inilah maka dia sampai terpaksa meninggalkan suami dan anaknya.

Dua orang wanita biasa saja yang saling bermusuhan kalau bertemu muka akan terjadi hal-hal yang hebat. Apa lagi dua orang wanita ini yang keduanya terkenal sebagai tokoh-tokoh besar di dalam dunia persilatan. Segera terjadi perang tanding yang amat seru dan hebat!

Namun segera Tung-hai Sian-li merasa kaget karena dibandingkan dengan belasan tahun yang lalu, kepandaian Tok-sim Sian-li ternyata meningkat banyak sekali. Ini berkat latihan-latihan yang ia dapat dari Thai Khek Sian. Hanya dengan pengerahan tenaga dan seluruh kepandaian saja Tung-hai Sian-li masih dapat mengimbangi permainan pedang lawannya yang dahsyat dan ganas itu.

Baiknya See-thian Hoat-ong juga sudah datang dan cepat membantunya ketika melihat Tung-hai Sian-li terdesak. Berubahlah keadaannya dan kini Tok-sim Sian-li yang pontang-panting dikeroyok dua oleh dua orang yang tinggi ilmunya dan banyak pengalaman dalam pertempuran. Akan tetapi Dewi Hati Beracun ini masih dapat mempertahankan dan masih bisa membalas serangan-serangan lawan dengan ilmu pedang dan pukulan-pukulan Toat-sim-ciang yang berbahaya.

Bu-ceng Tok-ong sudah datang pula di tempat pertempuran itu. Dia dikawani oleh Hek-ma Sai-ong.

Seperti sudah diceritakan pada bagian depan, Hek-mo Sai-ong ini adalah Perwira Kim-i-wi di istana kaisar, pengawal kelas satu yang lihai ilmu silatnya. Dia berusia lima puluh tahun lebih, tubuhnya besar kuat dan mukanya hitam lagi berbulu seperti muka singa. Hek-mo Sai-ong ini adalah seorang ahli gwakang. tenaganya sebesar tenaga gajah dan senjatanya sepasang gembolan yang entah sudah menghancur-remukkan berapa puluh buah kepala orang! Tadinya ia bekerja sebagai kepala pengawal di ruang depan istana Kaisar Mongol, sekarang dia dipindahkan sebagai kepala penjaga istana di kota raja ke dua.

Ketika tadi Bu-ceng Tok-ong mendengar laporan Kun Hong bahwa di bukit itu ada sebuah Kelenteng Siauw-Iim-si yang mencurigakan, menjadi tempat bersembunyi para pembunuh bangsawan-bangsawan di Peking, dia cepat minta bantuan Hek-mo Sai-ong yang segera mengerahkan pasukan-pasukannya untuk melakukan penyerbuan.

Bu-ceng Tok-ong segera disambut oleh Lam-san Sian-ong. Tangan kiri kakek ini buntung akibat pukulan Ngo-tok-jiauw dari Bu-ceng Tok-ong pada belasan tahun yang silam. Oleh karena itu dapat dibayangkan betapa marah dan dendam hatinya melihat musuh besar ini. Sebaliknya, melihat Lam-san Sian-ong, Bu-ceng Tok-ong tertawa bergelak dengan sikap mengejek.

"Ha-ha-ha, apa kau datang untuk menyumbangkan tangan kananmu?"

Lam-san Sian-ong tak menjawab, melainkan cepat menggerakkan tongkatnya menyerang dengan dahsyat sekali. Dengan masih tertawa bergelak Bu-ceng Tok-ong mengelak dan membalas dengan pukulan-pukulannya yang berbahaya.

Lam-san Sian-ong sudah mengenal kelihaian pukulan-pukulan ini, maka dia tidak berani berlaku sembrono dan karenanya dia bertempur sambil mundur. Bu-ceng Tok-ong terus tertawa mengejek dan mendesak keras.

Tetapi tiba-tiba ada tongkat bambu butut ke dua yang menyambar dan menyerangnya, di samping tongkat di tangan Lam-san Sian-ong, lalu terdengar suara nyaring mengejek.

"Raja Racun, sekarang kau seperti anjing yang diancam dua tongkat bambu. Ha-ha-ha, ke mana kau dapat melarikan diri?"

Yang baru datang ini adalah Pak-thian Koai-jin yang tahu bahwa Lam-san Sian-ong tak akan menang kalau seorang diri menghadapi Bu-ceng Tok-ong yang kosen itu. maka lalu membantunya. Hek-mo Sai-ong menggereng seperti singa, dan menerjang maju dengan sepasang gembolannya. Akan tetapi dia dihadapi secara berani oleh Pui Eng Lan, gadis cantik manis murid Pak-thian Koai-jin yang gagah itu!

Sekarang pertempuran terpecah dalam empat rombongan. Tok-sim Sian-li dikeroyok oleh Tung-hai Sian-li dan See-thian Hoat-ong, Bu-ceng Tok-ong dikeroyok oleh Lam-san Sian-ong dan Pak-thian Koai-jin, Hek-mo Sai-ong bertempur melawan Pui Eng Lan. dan Kun Hong digempur oleh Wi Liong.

Para serdadu Mongol hanya berteriak-teriak memberi semangat kepada kawan sendiri. Pertempuran orang-orang kang-ouw dengan tingkat yang sudah tinggi itu amat sukar bagi mereka untuk membantunya. Membedakan mana kawan mana lawan saja sudah amat sukarnya. Oleh karena itu para perwira Mongol rendahan mulai menyuruh orang-orangnya menghujankan anak panah ke arah Kelenteng Siauw-lim-si di seberang jurang. Segera berluncuran panah-panah api ke arah kelenteng itu!

Ada pun pertempuran antara Kun Hong dan Wi Liong terjadi sangat hebatnya. Kun Hong adalah murid Thai Khek Sian yang sudah mewarisi sebagian besar ilmu pentolan Mokauw itu, sebaliknya Wi Liong telah menerima gemblengan hebat dan penuh kasih sayang dari Thian Te Cu.

Dahulu pernah Thian Te Cu bertanding dengan Thai Khek Sian sampai memakan waktu tiga hari tiga malam baru Thai Khek Sian mengakui keunggulan Thian Te Cu. Siapa duga sekarang murid-murid mereka, keduanya masih muda belia dan rupawan, mengulangi pertandingan itu dengan tidak kalah ramainya.

Sesudah mengeluarkan pelbagai pukulan beracun yang kesemuanya dapat dihadapi dan ditangkis oleh Wi Liong, kemarahan Kun Hong memuncak dan dia mencabut Cheng-hoa-kiam.

"Hemm, maling pedang tidak tahu malu. Apa kau tidak malu menggunakan pedang yang sudah kau curi dari pamanku?" Wi Liong mengejek.

"Siapa bilang aku mencuri?!" Kun Hong membentak. "Gurumu kakek tua bangka itu tahu bahwa pedang ini bukan hak milik Kwee Sun Tek pamanmu, maka gurumu membiarkan saja ketika aku mengambil pedang ini. Mengapa pedang ini bisa terjatuh ke dalam tangan pamanmu? Tentu dia mendapatkannya dengan mencuri..."

"Ngawur saja! Paman menerimanya dari ibuku dan ibu menerima dari gurunya, Beng Kun Cinjin."

Kun Hong terkejut. Tidak disangkanya dari mulut Wi Liong dia akan mendengar lagi nama Beng Kun Cinjin atau Gan Tui putera Gan Yan Ki yang masih terhitung saudara sesumber dari suhu-nya. Dan lebih tidak disangka-sangkanya lagi bahwa ibu pemuda yang menjadi saingannya ini adalah murid Beng Kun Cinjin Gan Tui! Akan tetapi karena dia cerdik, lagi memang tidak mempedulikan aturan, Kun Hong berkata sambil tertawa,

"Aha, begitukah? Tidak tahunya Beng Kun Cinjin adalah sukong-mu (kakek gurumu). Aku mendengar Beng Kun Cinjin seorang hwesio gundul tua bangka yang masih suka menikah dengan puteri muda dan cantik..."

"Tutup mulutmu! Antara Beng Kun Cinjin dengan aku tidak ada hubungan kakek guru dan murid!" Wi Liong membentak marah.

Bicara mengenai Beng Kun Cinjin telah mengingatkan dia betapa ayah bundanya dibunuh oleh kakek itu, juga mata pamannya dibikin buta, sehingga membuat dia naik darah.

Kun Hong menyeringai. "Sejak dahulu pedang ini menjadi rebutan, siapa kuat dia menang dan berhak menjadi pemiliknya. Kau boleh coba merampas kalau kau becus."

"Melawan macammu saja masa takut?" bentak Wi Liong yang cepat mencabut sulingnya dan menyerang.

Biar pun Wi Liong marah dan menghadapi Kun Hong yang benar-benar lihai sekali, namun perhatian Wi Liong terpecah. Dia amat memperhatikan Siok Lan yang mendadak muncul kembali setelah tadi dia lihat melarikan diri turun gunung. Dia menjadi gelisah. Bagaimana gadis itu muncul lagi?

Tadinya dia sudah merasa senang ketika melihat gadis itu dan kawan-kawannya berhasil melarikan diri. Apa lagi ketika melihat Siok Lan mengamuk, ia menjadi semakin khawatir. Terlampau banyak musuh tangguh di sini dan Siok Lan takkan mampu melawan mereka.

Melihat perhatian Wi Liong tertarik ke tempat lain, Kun Hong cepat menengok. Wajahnya yang ganteng menjadi berseri dan ia gembira sekali ketika melihat gadis langsing jelita itu datang kembali seorang diri. Segera dia minta tolong kepada Tok-sim Sian-li yang hanya berdiri menonton di pinggir.

Seperti sudah diceritakan di depan, akhirnya Siok Lan tertawan oleh Tok-sim Sian-li lantas dibawa pergi oleh seorang perwira Mongol sedangkan tokoh-tokoh lain sudah datang pula dan disambut oleh Bu-ceng Tok-ong dan kawan-kawannya.

Ilmu pedang yang dimainkan Kun Hong betul-betul hebat. Wi Liong melihat bahwa ilmunya dan ilmu lawannya mempunyai dasar yang hampir sama, maka dia maklum pula bahwa bila dilanjutkan, biar pun dia tak akan kalah, akan tetapi untuk memperoleh kemenangan juga memerlukan waktu yang sangat lama. Sedangkan hatinya kini gelisah melihat Siok Lan tertawan!

Baiknya dia dapat mendesak Kun Hong dengan ilmu pedangnya yang dimainkan dengan suling, berdasarkan Ilmu Silat Pat-sian-lo (Jalan Delapan Dewa) yang sudah diubah dan dicipta oleh Thian Te Cu. Dan yang lebih menguntungkan lagi, pertempuran di rombongan lain juga berhasil baik.

Pak-thian Koai-jin yang mempunyai lebih banyak kawan yang berilmu silat tinggi berhasil mendesak lawan. Akhirnya Tok-sim Sian-li dan Bu-ceng Tok-ong, juga Hek-mo Sai-ong. tidak kuat lagi. Atas isyarat Bu-ceng Tok-ong, mereka bertiga melompat ke dalam barisan dan Hek-mo Sai-ong memberi aba-aba. Barisan panah lalu menghujankan anak panah ke arah Pak-thian Koai-jin berlima!

Mereka adalah orang-orang lihai, akan tetapi menghadapi hujan anak panah ini tentu saja mereka tidak berani lagi melanjutkan pertempuran. Bahkan Pui Eng Lan yang tadi dengan gagahnya mendesak Hek-mo Sai-ong kini dalam sibuknya telah terluka sedikit pundaknya oleh sebatang anak panah. Lima orang ini terpaksa lari lagi turun gunung.

Melihat ini Wi Liong segera mengirim serangan maut sambil berseru keras. Hebat sekali pengerahan tenaganya, sampai-sampai pedang Cheng-hoa-kiam yang dipakai menangkis sulingnya lantas terpental. Kun Hong terkejut dan saat itu digunakan oleh Wi Liong untuk berkelebat lenyap dari depannya.

Kun Hong marah sekali. "Kejar mereka! Bunuh semua! Hujani anak panah!"


Akan tetapi Pak-thian Koai-jin bersama kawan-kawannya sudah berlari cepat sekali turun gunung, sedangkan Wi Liong juga sudah lenyap entah ke mana. Ke manakah perginya Wi Liong? Apakah dia juga jeri menyaksikan kehebatan pasukan lawan kemudian melarikan diri ketakutan?

Thio Wi Liong takkan pantas disebut mund Thian Te Cu kalau dia takut dan melarikan diri. Apa lagi dalam keadaan seperti itu, ketika orang-orang yang dibelanya karena ia anggap mereka itu di fihak yang benar, sedang terancam bahaya.

Tadi selagi keadaan ribut-ribut, pemuda ini sengaja mempergunakan kesempatan untuk menyelinap pergi dari depan Kun Hong dan secara cepat sekali dia melakukan pengejaran terhadap perwira yang tadi dia lihat membawa pergi gadis langsing yang roboh oleh Tok-sim Sian-li. Perwira itu tadi membawa lari gadis langsing itu dengan menunggang seekor kuda putih yang baik sekali dan cepat larinya.

Berbeda dengan gadis-gadis lain yang dalam keadaan seperti itu pasti akan menjerit-jerit minta tolong, Siok Lan sama sekali tak mengeluarkan suara. Dia maklum bahwa dia telah terjatuh ke dalam tangan musuh dan keselamatannya terancam bahaya hebat, akan tetapi namun gadis pendekar ini tidak takut sama sekali. Selama napasnya masih ada, ia tidak akan putus asa dan akan berdaya menolong diri sendiri.

"Gadis jelita, kau manis sekali!" berkali-kali perwira Mongol itu berkata.

Perwira itu masih muda. tinggi besar dan mukanya buruk sekali. Sepasang matanya sipit sampai seperti meram terus, hidungnya bundar pesek dengan lubang hidung besar-besar, bibirnya tebal dan giginya kuning menjijikkan.

"Sayang kau sudah dipesan oleh Kam-taihiap, kalau tidak... hemmm, aku mau dipotong usiaku satu tahun kalau bisa mendapatkan engkau...!"

Bisa dibayangkan betapa mendongkol dan marah hati Siok Lan. Gadis ini mewarisi watak amat keras seperti ibunya. Akan tetapi mulutnya tetap terkunci rapat-rapat bahkan melirik sedikit saja ia tidak sudi. Dengan diam-diam dia mengerahkan segenap tenaganya untuk membebaskan totokan yang masih membuat kaki tangannya lemas tak berdaya itu.

Dia seperti seorang anak kecil dalam pondongan perwira itu. Masih baik nasibnya bahwa perwira ini tahu siapa adanya Tok-sim Sian-li dan Kam Kun Hong, maka sekali-kali dia tak berani mengganggunya, biar pun kata-kata yang keluar dari mulutnya cukup menyakitkan hati.

Perwira itu tahu ke mana harus membawa gadis tawanan ini. Ke kota raja Peking dan ke rumah gedung Kok-konghu (istana pangeran). Gedung ini merupakan kelompok istana di mana selain tinggal orang-orang Mongol juga disediakan gedung-gedung sebagai tempat bermalam orang-orang gagah yang dipandang tinggi sebagai tamu kehormatan. Tentu saja Bu-ceng Tok-ong. Tok-sim Sian-li, Kam Kun Hong dan Hek-nio Sai-ong juga bermalam di gedung-gedung ini.

Dengan hati berdebar girang Siok Lan merasa bahwa jalan darahnya mulai pulih berkat usahanya yang tekun dan sungguh-sungguh. Ternyata Tok-sim Sian-li terlalu memandang rendah nona ini dan dikiranya totokannya itu akan membuat nona ini tidak berdaya untuk waktu yang cukup lama. Ia tidak tahu bahwa Siok Lan sudah mempunyai lweekang yang cukup tinggi tingkatnya dan sebagai murid Siang-jiu Lo-thian Kwa Cun Ek, tentu saja dia sanggup memunahkan totokan ini, biar pun tidak secara serentak.

Hatinya sudah girang sekali, tangannya sudah gatal-gatal. Ia sabar menanti, karena kalau tenaganya belum betul-betul pulih, ia tidak berani gegabah menyerang perwira Mongol ini. Hampir rata-rata perwira Mongol memiliki kepandaian lumayan dan kalau dia gagal karena terlampau tergesa-gesa, bukankah berarti sia-sia saja usahanya selama ini?

Tiba-tiba saja, seperti diterjang angin taufan perwira itu terlempar dari atas kudanya, jatuh bergulingan di atas tanah dan Siok Lan juga turut terlempar, terlepas dari pondongannya. Perwira itu cepat bangun berdiri, mencabut pedangnya, akan tetapi dia bengong terheran-heran memandang ke depan.

Ternyata Wi Liong sudah berdiri di sana dengan suling di tangan dan sepasang matanya berapi-api memandang perwira itu penuh kemarahan dan kebencian!

"Nona, jangan khawatir, aku akan menolongmu dari bangsat ini," Wi Liong berkata sambil memandang ke arah gadis yang masih duduk di atas tanah. Setelah berkata demikian, Wi Liong melangkah maju perlahan-lahan ke arah perwira itu, penuh ancaman.

"Jangan sentuh dia!" tiba-tiba gadis itu berseru marah dan melompat bangun. "Aku tidak butuh pertolonganmu! Biarkan aku sendiri membunuhnya!"

Siok Lan yang sekarang sudah pulih kembali sebagian dari kekuatannya itu, secepat kilat menyerang perwira tadi. Akan tetapi perwira itu ternyata gesit juga, cepat dapat mengelak dan mengirim serangan balasan dengan pedangnya! Siok Lan terkejut, apa lagi sesudah mendapat kenyataan bahwa tenaganya baru pulih tujuh bagian saja. Kini dengan hanya bertangan kosong dia harus menghadapi lawan berpedang yang tidak lemah.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar