Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 60

"Bagaimana aku dapat mencintanya dan bagaimana aku bisa tahu dia cantik atau tidak. Melihat pun belum!" jawab Wi Liong.

"Aneh! Kalau belum melihatnya, kenapa kau begini... begini setia? Bagaimana kalau kelak ternyata dia amat buruk seperti monyet?" tanya Lin Lin dan mulailah dia tersenyum, diikuti oleh Lan Lan yang kini mulai mengerti sehingga diam-diam dia makin kagum dan memuji kesetiaan ‘tunangannya’.

"Jangankan hanya seperti monyet, biar seperti kadal sekali pun, aku akan mengawininya kelak,” jawab Wi Liong tersenyum karena dia menjadi gembira juga melihat gadis-gadis itu tidak marah, malah mulai berkelakar.

Lin Lin cemberut. Siapa orangnya tidak cemberut kalau dikatakan seperti kadal? Memang yang dikatakan seperti kadal adalah dia sendiri orangnya, tunangan Wi Liong yang diatur oleh pamannya. Hampir saja gadis yang kadang kala memiliki watak keras ini merenggut sepatu kecil yang disimpan di balik bajunya dan membantingnya di hadapan pemuda itu. Baiknya Lan Lan yang melihat wajah adiknya, cepat meremas jari-jari tangan Lin Lin.

"Kau hebat, tuan Thio. Kau setia sekali!" memuji Lan Lan.

"Bagaimana aku tidak akan setia? Pamanku adalah pengganti ayah bundaku, mana aku berani membikin marah dan membantahnya? Pula..." Suaranya berubah dan pemuda ini nampak berduka, "aku... aku selain mentaati paman juga hendak menghukum diri sendiri. Aku tak ingin mengulangi pengalaman pahit yang pernah kualami."

"Pengalaman pahit dalam asmara?" tanya Lin Lin kenes. Wi Liong mengangguk.

"Ceritakanlah, tuan Thio," kata Lan Lan.

Wi Liong menggeleng kepalanya. "Kelak saja kuceritakan Sekarang yang paling penting aku telah mengaku terus terang. Karena itulah maka aku benar-benar menyesal terpaksa menolak pesan terakhir dari Tung-hai Sian-li mengenai perjodohan itu. Kuharap saja nona Pek Lan Lan suka memberi maaf sebesarnya kepadaku. Sudikah nona mengampuniku?" tanyanya tanpa memandang langsung kepada seseorang. Dia memancing agar nona Lan Lan suka menjawab pertanyaannya ini sehingga dia bisa mengetahui yang manakah enci dan mana adiknya.

Hampir saja Lan Lan terpancing. Tetapi Lin Lin cepat berkedip kepadanya dan mendahului cici-nya, "Soal ampun itu bukan urusan kami berdua. Perjodohan tidak dapat dipaksakan, silakan saja kalau kau lebih suka berjodoh dengan monyet atau kadal dari pada dengan... dengan kami."

Wi Liong kaget menangkap suara keras dalam kata-kata ini, dan dia pun masih ragu-ragu apakah gadis ini yang bernama Lan Lan?

”Aku... aku menyesal sekali, nona Lan Lan..."

"Hush, jangan ngawur!" bentak Lin Lin, pura-pura marah akan tetapi akhirnya tidak dapat menahan ketawanya melihat kebingungan Wi Liong.

Juga Lan Lan menjadi geli dan tersenyum sungguh pun di dalam hatinya dia amat kasihan kepada pemuda yang sedang mereka permainkan ini.

"Kalau begitu kaukah nona Lan Lan?" tanya Wi Liong, berpaling kepada Lan Lan.

"Tentu saja seorang di antara kami bernama Lan Lan, akan tetapi kau terka sendiri yang mana. Bagi kami, Lan Lan mau pun Lin Lin sama saja."

Pada saat kedua orang gadis kembar itu mempermainkan dan mentertawakan Wi Liong, tiba-tiba pemuda ini menggerakkan dayungnya, mendayung dengan kecepatan luar biasa ke arah kiri sehingga dua orang gadis itu menjadi kaget dan heran.

"Ehh, ada apa?" tanya Lin Lin.

"Aku melihat di sana ada banyak perahu yang sedang menuju pulau itu," jawab Wi Liong sambil menggerakkan mukanya ke depan.

Dua orang gadis itu memandang dan benar saja, jauh di kaki langit tampak enam perahu hitam dengan layar terkembang menuju ke sebuah pulau.

Wi Liong terus mendayung perahunya ke sebuah pulau kecil yang luasnya paling banyak satu li persegi, penuh pohon dan karang. Dia mendaratkan perahunya lantas melompat ke darat.

"Kita mengintai dari sini. Enam buah perahu itu amat mencurigakan," katanya. "Anehnya, mereka tidak menuju ke Pek-go-to melainkan ke tiga Pulau Sorga! Hemm, mana bisa ada tamu sampai sekian banyaknya datang sekaligus di tempat ini?"

"Jangan-jangan bajak laut," kata Lin Lin, "Lebih baik kita menghampiri mereka dan kalau benar bajak laut, kita basmi habis!"

Lan Lan menyatakan setujunya dengan usul adiknya yang gagah ini. Akan tetapi Wi Liong menggeleng kepala. "Tidak mungkin bajak laut. Mana ada bajak laut begitu tak tahu mati beroperasi di daerah ini? Nama Thai Khek Sian sudah terlalu terkenal. Memasuki daerah ini berarti kematian. Tentu ada hal-hal aneh yang perlu diselidiki. Pamanku sudah pesan bahwa suhu menaruh curiga dengan undangan Thai Khek Sian, sebab itu menyuruh aku menyelidiki."

Tiba-tiba Lin Lin berseru, "Awas...!"

Dengan sigap gadis ini telah melompat untuk melindungi enci-nya. Tangan kirinya segera dikibaskan, dan runtuhlah dua batang anak panah yang menyambar ke arah dia dan Lan Lan. Sedangkan Wi Liong dengan mudah menangkap anak panah itu.

Akan tetapi baru saja mereka berhasil menggagalkan serangan anak-anak panah, kembali datang serangan berupa senjata rahasia yang datangnya cepat sekali dan meski pun hari telah senja, senjata rahasia kecil itu masih mengeluarkan cahaya kuning.

Kembali Lin Lin bergerak cepat. Pedangnya sudah di tangan dan sekali putar beberapa Kim-ji-piauw runtuh. Wi Liong melompat jauh dan diam-diam dia girang karena sekarang tahulah dia mana Lan Lan dan mana Lin Lin. Tentu saja yang begitu lihai menangkis Kim-ji-piauw adalah Lin Lin, gadis perkasa murid Liong Tosu itu. Akan tetapi pada saat itu dia tidak sempat mengurus hal ini karena dengan beraninya Lin Lin sudah melompat dan lari ke arah penyerang gelap sambil membentak,

"Anjing-anjing pengecut, jangan lari!"

Lan Lan juga mencabut pedangnya dan sudah mengejar adiknya menyerbu musuh yang melakukan penyerangan gelap. Dengan suling di tangannya Wi Liong juga menyusul.

Ketika Lin Lin dan Lan Lan keluar dari hutan kecil, mereka melihat dua orang gadis cantik berpakaian mewah berdiri memandang mereka dengan sinar mata kagum dan di belakang kedua orang gadis cantik ini masih berdiri belasan orang gadis lain yang pakaiannya juga indah-indah. Semua gadis ini memegang sebatang pedang.

"Siluman-siluman jahat, tentu kalian yang melakukan serangan gelap!" Lin Lin membentak marah.

Sesudah hilang kaget serta herannya melihat dua orang gadis kembar, seorang di antara dua gadis itu menudingkan pedangnya dan berkata, "Kalian ini tentulah mata-mata yang dikirim orang jahat. Siansu menyuruh kami menangkap semua orang yang mencurigakan. Kawan-kawan, tangkap dua orang ini!"

Namun sambil mengeluarkan suara mengejek Lin Lin sudah memutar pedangnya, diikuti oleh Lan Lan. Mereka disambut dengan pedang pula, maka terjadilah pertempuran hebat.

Tetapi Lin Lin memang sangat lihai. Beberapa gebrakan saja sudah cukup baginya untuk merobohkan beberapa orang pengeroyok. Dua orang gadis kepala rombongan itu marah dan cepat maju mengeroyok Lin Lin, sedangkan Lan Lan dikeroyok oleh anak buahnya.

Namun segera mereka itu mendapat kenyataan betapa lihainya Lin Lin. Pedang gadis ini berkelebatan dan membuat dua orang pengeroyoknya menjadi silau dan pening. Biar pun mereka berdua juga memiliki ilmu pedang yang ampuh dan aneh, namun menghadapi Lin Lin mereka kalah tingkat.

Pada saat itu Wi Liong muncul dan pemuda ini segera mengeluarkan seruan kaget ketika mengenal dua orang gadis kepala rombongan itu.

"Cheng In dan Ang Hwa cici, harap hentikan pengeroyokan!" Sambil berseru demikian Wi Liong menyerbu. Kemana saja ia bergerak, ia sudah dapat menangkis semua senjata dan membuat pemegangnya terpaksa melompat mundur sehingga dalam sekejap mata saja semua pertempuran sudah terhenti.

Dua orang gadis cantik yang berpakaian mewah itu memang Cheng In dan Ang Hwa, dua orang selir Thai Khek Sian atau murid-muridnya yang paling disayang. Mereka pun segera mengenal Wi Liong dan kedua gadis itu tersenyum manis.

"Ahh, kaukah kiranya ini, Thio-kongcu? Mengapa kau dan... dua orang gadis ini berada di sini?" tanya Cheng In si baju hijau.

Pertanyaan yang disertai pandangan mata penuh selidik dan arti ini membuat wajah Wi Liong menjadi merah. Ia tahu orang-orang macam apa adanya selir-selir Thai Khek Sian ini, maka setiap kali melihat pria bersama wanita tentu dalam benak mereka timbul pikiran yang tidak-tidak.

"Aku mengantar dua nona Pek ini yang hendak ikut menghadiri pertemuan di Pek-go-to," jawabnya singkat.

"Mengapa tidak langsung ke sana melainkan datang ke pulau sunyi ini?" tanya Ang Hwa yang mainkan matanya secara genit.

"Waktunya masih belum tiba, karenanya kami hendak menunggu beberapa hari di sini."

“Ohh, hi-hi-hi, kami mengerti, kongcu.. Dua nona Pek ini cantik-cantik sekali dan memiliki kepandaian tinggi..." kata Cheng In dengan suara dibuat-buat, lagaknya genit sekali.

"Tutup mulutmu yang kotor itu! Kalau hendak mengobrol, jangan bawa-bawa nama kami!" Lin Lin membentak marah dan mengancam dengan pedangnya.

Gadis ini marah bukan main, demikian juga Lan Lan, melihat dua orang perempuan baju hijau dan merah itu bicara dengan Wi Liong serta bersikap demikian genit. Cemburu yang besar menerkam hati dua orang gadis kembar ini. Betapa pun juga mereka menganggap Wi Liong sebagai tunangan mereka yang sah!

Wi Liong sendiri tak senang bertemu dengan para selir Thai Khek Sian ini, akan tetapi dia mengerti bahwa daerah ini memang dapat disebut daerah kekuasaan Thai Khek Sian dan kedatangannya di situ hanya sebagai tamu. Karena itu, untuk meredakan ketegangan, dia segera memperkenalkan dua orang selir itu kepada Lin lin dan Lan Lan,

"Inilah nona Cheng In dan nona Ang Hwa beserta semua kawannya, mereka itu adalah... adalah..." Wi Liong bingung hendak mempergunakan sebutan apa, selir ataukah murid? Baiknya Ang Hwa yang dapat menduga kesulitannya segera membantu dan menyambung dengan ketawa,

"Kami adalah selir-selir yang tercinta, juga murid-murid yang setia dari Thai Khek Sian-su di Pek goto, Kami girang sekali bahwa kedua adik yang cantik manis dan perkasa adalah sahabat-sahabat baik Thio-kongcu (tuan Thio). Biarlah kawan-kawan kami yang terluka itu merupakan penebus kelancangan kami atau pembuka jalan perkenalan kita. Kami girang sekali dapat berkenalan dengan adik-adik yang lucu."

Lin Lin dan Lan Lan merasa jemu mendengar kata-kata dan melihat sikap genit dari Ang Hwa. Apa lagi Lin Lin. Dia makin mendongkol dan membentak nyaring, "Kami tidak butuh berkenalan dengan segala macam selir!" Sambil melirik ke arah Wi Liong kemudian ia pun menyambung, "Entah kalau dia itu mungkin suka. Kalau hendak mengobrol, mengobrollah dengan dia, tetapi kami tak sudi!"

Melihat sikap ini, Cheng In tertawa genit dan berkata. "Ahh, cemburu amat!"

Akan tetapi Wi Liong yang tidak menghendaki terulangnya keributan cepat berkata. "Ji-wi Pek siocia harap maafkan, enci Cheng In dan Ang Hwa ini adalah penolong-penolongku. Jika tidak karena pertolongan mereka, mungkin hari ini aku sudah tidak ada di dunia lagi.”

Mendengar ini diam-diam Lan Lan dan Lin Lin tercengang dan seketika rasa tak enak dan cemburu di dalam dada langsung menghebat. Akan tetapi mereka diam saja.

Wi Liong segera menjura kepada Cheng In dan Ang Hwa, "Kenapa kalian berada di pulau ini dan kenapa pula datang-datang menyerang?"

"Kami memang ditugaskan di sini oleh Sian-su. Menjelang datangnya hari besar itu, kami disuruh menjaga daerah ini karena menurut Sian-su, di antara para sahabat yang datang mungkin sekali akan datang musuh-musuh jahat yang ingin membikin kacau pertemuan. Maka melihat kau bertiga tadi, kami menyangka buruk. Maafkan kelancangan kami," kata Cheng In.

"Tidak apalah dan sekarang harap cici berdua tinggalkan saja pulau ini. Bukankah kalian percaya bahwa aku bukan orang jahat yang hendak mengacau?"

Dua orang perempuan itu tertawa genit. "Kalau kau menjadi pengacau, paling-paling juga pengacau hati yang membikin orang tidak dapat tidur! Kongcu, kau adalah orang baik dan kami selalu terkenang kepadamu. Apakah kau tidak mau ikut dengan kami ke Pek-go-to sekarang saja? Tentu Sian-su akan menerimamu dengan baik karena memang sekarang waktunya menerima tamu."

Di dalam ajakan ini terkandung suara memikat yang hanya dapat dirasakan oleh Wi Liong. Tetapi sebagai wanita Lan Lan dan Lin Lin juga dapat menangkapnya dan hal ini membuat hati mereka menjadi semakin panas.

"Tuan Thio, kau pergilah dengan perempuan-perempuan ini, biar kami berdua di sini juga tidak akan mampus!" kata Lin Lin gemas.

Wi Liong menjadi makin bingung. "Ji-wi cici, terima kasih atas kebaikan kalian. Tidak, aku akan datang pada waktunya. Kalian pergilah dulu."

Cheng In dan Ang Hwa menarik napas panjang, kemudian memberi tanda kepada kawan-kawannya untuk pergi dari pulau kecil itu sambil membawa mereka yang tadi terluka oleh pedang Lin Lin. Ketika sudah melangkah beberapa langkah. tiba-tiba Cheng In memutar tubuh dan bertanya,

"Apakah ketika berlayar ke sini tadi Thio kongcu bertemu dengan perahu lain?"

Pertanyaan ini nampak sepintas lalu saja, akan tetapi Wi Liong melihat sikap yang penuh selidik. Ia teringat akan enam buah perahu besar tadi, maka dia menggeleng kepala tanpa membuka mulut. Cheng In nampak puas, akan tetapi sebelum pergi dia berkata lirih,

"Thio-kongcu, kalau kau tidak mempunyai kepentingan, sebetulnya aku lebih suka melihat kau tidak mendatangi pertemuan ini."

Sebelum Wi Liong sempat bertanya, Cheng In dan Ang Hwa sudah pergi bersama kawan-kawan mereka, menuju ke perahu mereka yang tersembunyi di antara batu-batu karang, lalu berlayar pergi. Sebentar saja kegelapan senja telah menelan bayangan perahu itu dan meninggalkan Wi Liong beserta dua orang gadis kembar dalam kesunyian pulau itu.

Sekarang sunyi sekali di situ, hanya terdengar riak-riak ombak yang menghantam karang disaingi suara hewan-hewan di dalam hutan.

Sesudah para selir Thai Khek Sian itu pergi, barulah Wi Liong merasa betapa canggung dan malunya berhadapan dengan dua orang gadis kembar itu. Ia dapat menduga betapa dua orang gadis ini memandang rendah pada selir-selir yang genit itu dan karena melihat dia bersahabat dengan mereka, otomatis dia pun akan terpandang rendah.

Oleh karena merasa canggung, Wi Liong hanya berdiri diam sambil menundukkan kepala. Dia menarik napas berulang-ulang, ingin sekali mengajak bicara dua orang gadis itu, akan tetapi tidak tahu harus berkata apa. Akhirnya lega hatinya mendengar suara seorang dari mereka yang berkata penuh nada ejekan,

"Para selir Pek-go-to itu cantik-cantik dan genit-genit." Kemudian suara yang dibuat-buat meniru suara Ang Hwa yang genit. "Thio-kongcu, mengapa tidak ikut mereka bersenang-senang di Pek-go-to?"

Wi Liong mengangkat muka, lalu berkata lirih, "Ji-wi Pek siocia. memang harus aku akui bahwa tidak selayaknya orang berkenalan dengan mereka itu yang tak boleh digolongkan orang baik-baik. Akan tetapi aku pernah ditolong oleh mereka. Dan mereka itu sebetulnya hanyalah menjadi korban pengaruh dari kekuasaan Thai Khek Sian. Mari kita duduk dan bicara baik-baik, nona-nona. Tadi kukatakan bahwa hidupku penuh derita dan pengalaman pahit. Mari kalian dengarkan, sebab sekarang aku hendak membuka semua rahasia yang menyuramkan hidupku."

Lan Lan dan Lin Lin tertarik. Tanpa berkata-kata mereka mengikuti Wi Liong, lalu memilih tempat yang bersih di bawah pohon dan terlindung dari angin oleh batu batu karang. Wi Liong mengumpulkan daun dan ranting kering, lalu membuat api unggun. Tidak saja untuk membikin penerangan di tempat yang mulai gelap itu, juga untuk mengusir nyamuk yang ternyata banyak terdapat di situ. Kemudian dia duduk di dekat api unggun bersandarkan batu karang. Dua orang nona kembar itu duduk pula di dekat api menghadapinya, sudah siap mendengarkan ceritanya.

"Semenjak aku masih kecil dan tidak tahu apa-apa, ayah bundaku sudah terbunuh orang secara keji, terbunuh oleh guru mereka sendiri yang tersesat. Aku dibawa lari kemudian dipelihara oleh pamanku yang juga menjadi buta oleh guru jahanam itu. Semenjak kecil aku sudah berhadapan dengan derita hidup dan agaknya memang aku dilahirkan hanya untuk menderita..." Demikian Wi Liong memulai ceritanya. Kemudian ia pun menceritakan semua pengalaman hidupnya sejak kecil sampai dewasa.

Dua orang gadis kembar itu mendengarkan dengan amat terharu. Mereka sendiri memiliki riwayat hidup yang tidak menyenangkan, akan tetapi sedikitnya pada saat terakhir mereka masih sempat bertemu dengan ibu mereka, Tung-hai Sian-li. Tapi derita pemuda ini lebih-hebat lagi, sejak kecil sampai sekarang jangankan melihat orang tuanya, ingat pun tidak bagaimana wajah ayah dan bundanya!

Pemuda ini masih segan untuk bercerita mengenai Siok Lan, maka bagian ini dia lewatkan saja. Ia hanya menuturkan tentang usahanya membalas dendam kepada Beng Kun Cinjin yang hingga sekarang belum terlaksana, juga tentang urusannya dengan Kun Hong dalam memperebutkan Cheng-hoa-kiam.

"Nah, demikianlah riwayat hidupku yang sama sekali tidak menarik, membikin kalian jemu saja mendengarnya," dia menutup ceritanya. "Sekarang harap kalian mengaso dan tidur, biar aku menjaga di sini."

Lan Lan yang masih termenung akibat terharu mendengar riwayat pemuda sebatang kara yang menjadi tunangannya itu, berkata, "Aku belum mengantuk. Ceritamu mengharukan sekali, tuan Thio. Akan tetapi kau sama sekali belum bercerita tentang pengalaman pahit dalam asmara seperti yang kau janjikan."

"Benar," sambung Lin Lin cepat-cepat, "dan mengapa agaknya kau amat memperhatikan kami? Setelah tadi kau sendiri menyatakan bahwa kau tidak bisa menerima pertunangan dengan seorang dari kami seperti yang diusulkan oleh ibu kami, kenapa kau masih selalu mendekati dan menjaga kami?"

Wi Liong memandang dua orang gadis itu. Di bawah sinar api unggun yang kemerahan wajah dua orang gadis itu lebih-lebih lagi menyerupai wajah Siok Lan yang pada waktu itu bayangannya memenuhi hati dan pikiran Wi Liong, membuat pemuda itu merasa rindu.

"Karena... karena kalian tak ada bedanya dengan Siok Lan... karena bagiku kalian adalah penjelmaan Siok Lan sendiri...”

Ucapannya ini menggetar penuh perasaan dan pandangan matanya yang menatap wajah dua orang gadis kembar itu penuh cinta kasih yang mesra. Lan Lan dan Lin Lin berdebar sampai tak dapat mengeluarkan kata-kata.

"Ya, Lan Lan dan Lin Lin, bagiku kalian adalah Kwa Siok Lan. Karena inilah agaknya berat bagiku untuk berpisah, tidak kuat aku menjauhkan diri... maafkan... barangkali aku sudah gila, akan tetapi segala gerak-gerik, segala yang ada pada kalian, menghidupkan kembali Kwa Siok Lan.”

Lin Lin sudah tahu bahwa Kwa Siok Lan adalah puteri Kwa Cun Ek, malah beberapa lama dia dianggap Siok Lan oleh Kwa Cun Ek, malah oleh Kwee Sun Tek pula sehingga ikatan jodohnya dengan Thio Wi Liong disambung lagi. Akan tetapi dia belum tahu apakah yang terjadi antara Kwa Siok Lan dengan Wi Liong.

Ada pun Lan Lan mendengar nama Kwa Siok Lan hanya dari mulut Tung-hai Sian-li dan ia pun hanya menduga bahwa ibunya dahulu mempunyai anak seorang puteri bernama Kwa Siok Lan yang sudah meninggal dunia.

"Tuan Thio, siapakah Kwa Siok Lan?" Lin Lin bertanya, mencoba untuk menyembunyikan suaranya yang gemetar. Usahanya ini sebenarnya tidak perlu karena ketika itu Wi Liong sedang penuh kedukaan sehingga tak dapat memperhatikan keadaan orang lain.

"Mendiang Kwa Siok Lan adalah puteri tunggal Kwa Cun Ek lo-enghiong dengan Tung-hai Sian-li, dan... tunanganku yang kucinta sepenuh jiwaku..."

Lan Lan segera memotong, "Tuan Thio, pernah kami mendengar kau menyebut nama Bu-beng Siocia, apakah itu pun kekasihmu yang lain lagi?"

Wi Liong tersenyum pahit, senyum yang membayangkan perihnya hati. "Itulah awal mala petaka yang menimpa hidupku. Mataku melek akan tetapi aku lebih buta dari pada orang tak bermata. Bu-beng Siocia adalah Kwa Siok Lan. Kwa Siok Lan adalah Bu-beng Siocia, tetapi aku tidak tahu, tidak mengerti betapa besar cinta kasih Siok Lan kepadaku, sampai pada saat terakhir masih setia kepadaku..."

"Bagaimanakah itu? Aku tidak mengerti..." kata Lin Lin yang tentu saja ingin mengetahui segala-galanya tentang Kwa Siok Lan, karena selain Siok Lan itu masih enci-nya se-ibu, juga dia dijadikan pengganti Siok Lan oleh Kwa Cun Ek.

Setelah menambah kayu-kayu kering pada api unggun sehingga warna merah dari cahaya api itu menerangi kegelapan, Wi Liong mulai bercerita.

Dia menceritakan perjodohannya dengan Siok Lan, mengenai ikatan jodoh yang dilakukan oleh pamannya dan Kwa Cun Ek. Kemudian mengenai pertemuannya dengan Bu-beng Siocia, tentang ketetapan hatinya memutuskan ikatan jodoh dengan Kwa Siok Lan karena cinta kasihnya kepada Bu-beng Siocia, sampai Kwa Siok Lan yang lari ke jurang hendak membunuh diri.

Akhirnya dia ceritakan pertemuannya dengan Siok Lan yang menjadi pengantin Chi-loya, sampai berita tentang kematian Kwa Siok Lan di sungai. Semua ini dia ceritakan dengan suara menggetar, kadang-kadang naik sedu-sedan dari dadanya.

Lan Lan dan Lin Lin duduk mendengarkan dengan penuh perhatian. Mereka bagai dibawa hanyut oleh cerita itu, sampai duduk terdiam seperti patung, ikut merasakan penderitaan Wi Liong, bahkan ketika mendengar tentang pertemuan terakhir dan tentang pembunuhan diri Kwa Siok Lan, Lin Lin dan Lan Lan menangis terisak-isak. Tak kuat mereka menahan keharuan hatinya dan sekaligus mereka makin tertarik, makin kasihan dan makin... cinta kepada pemuda ini, pemuda yang secara sah telah menjadi tunangan mereka berdua!

Melihat dua orang gadis itu mencucurkan air mata mendengar ceritanya, Wi Liong juga tidak kuat sehingga dua butir air mata menitik turun di atas pipinya. Akhirnya dia berhenti bercerita, menarik napas panjang lalu berkata dengan suara berat,

"Demikianlah, nona. Kalian sudah mendengar riwayatku yang tak menyenangkan, riwayat seorang tolol yang bermata tapi buta. Dapat kalian bayangkan betapa kaget dan bahagia hatiku melihat kalian berdua yang dalam segala hal merupakan Siok Lan ke dua. Dapat kalian bayangkan betapa bahagia hatiku akan pesan ibu kalian tentang ikatan jodoh itu... seolah-olah ikatan jodoh antara aku dan Siok Lan disambung kembali... seolah-olah Siok Lan yang sudah mati hidup kembali dan akan berada di sampingku untuk selamanya..."

Dua orang gadis itu hanya terisak, tak kuasa menjawab atau memberi komentar.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar