Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 48

Badan perahu itu dari permukaan air ada tiga meter lebih dan kini ia berada di dalam jala, tergantung antara air dan pinggir perahu, tak berdaya sama sekali. Ia tidak mau berusaha memberontak keluar dari jala itu karena kalau hal ini terjadi, berarti ia akan jatuh ke dalam air lagi. Dari pada berenang dan ada bahaya dimakan ikan hiu, lebih baik berada di jala ini.


Apa lagi karena ia memang hendak ke Ban-mo-to. Walau pun dalam keadaan tidak enak dan memalukan, ia sudah membonceng perahu orang ke pulau itu. Masih untung baginya bahwa benang-benang jala itu benar-benar luar biasa dan halus sehingga ia boleh ‘duduk’ melenggut, terayun-ayun enak juga.

Hanya satu hal yang sangat mengganggunya, yaitu pakaiannya yang basah kuyup. Tidak lama kemudian, setelah pakaiannya agak mengering, dia merasa seluruh tubuhnya kaku-kaku dan asin!

"Awas kalian nanti kalau sudah mendarat," pikirnya gemas.

Sekarang dia tidak meragukan lagi bahwa wanita setengah tua yang cantik dan sikapnya agung itu tentulah Kui-bo Thai-houw. Diam-diam dia merasa heran. Tadinya, mendengar nama Kui-bo Thai-houw (Permaisuri Biang Iblis) dia membayangkan seorang wanita yang sangat buruk rupa dan menakutkan. Tidak tahunya demikian cantik dan sikapnya seperti seorang permaisuri yang tulen.

Girang hati Wi Liong ketika akhirnya perahu itu berhenti di pinggir sebuah pulau. Ia masih mandah saja tidak melawan ketika jala itu diseret turun. Tapi begitu jala berikut tubuhnya dilempar ke atas pasir di pantai pulau itu, dia pun serentak melompat berdiri.

Dia melihat penyambutan yang mengagumkan terhadap Kui-bo Thai-houw. Di kanan kiri berderet barisan wanita-wanita cantik dengan pakaian beraneka warna, merupakan gapura indah.

"Selamat datang Thai-houw yang mulia! Ban-ban-swe (hidup)! Ban-ban-swe…!" demikian pekik sambutan itu. Dengan langkah halus dan lenggang menarik Kui-bo Thai-houw lantas menuruni anak tangga yang dipasang di pinggir perahu agar kaki wanita ini jangan terkena air laut.

Wi Liong sudah tak dapat menahan kesabarannya lagi. Ia merenggut jala itu dengan dua tangan, lalu ditariknya agar benang-benang jala itu putus. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika benang jala itu mulur dan tidak mau putus! Dia menarik lagi sambil mengerahkan tenaga, tapi hasilnya sia-sia belaka. Benang jala itu tidak bisa dia putuskan dengan kedua tangannya!

Wi Liong mulai gelisah. Ia terheran-heran. Tenaga lweekang-nya sudah mencapai tingkat tinggi sekali. Benang baju pun sanggup ditariknya hingga putus, masa benang biasa yang berwarna keemasan ini tak dapat diputusnya? Ia mencoba-coba lagi, tubuhnya meronta-ronta mencari jalan keluar, tetap saja sia-sia. Dia seperti ikan dalam jala yang dilempar ke daratan, meronta-ronta, bergerak-gerak hendak keluar.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa cekikikan dan empat orang nenek kembar tadilah yang menertawakannya. Wi Liong marah sekali. Dengan geram dia cepat menerjang maju dan mengamuk dari dalam jala!

Empat orang nenek itu masih tertawa-tawa melihatnya, akan tetapi mereka langsung lari tunggang-langgang sesudah mendapat kenyataan bahwa amukan pemuda itu sama sekali tak boleh mereka pandang ringan. Mereka hendak mengelak atau menangkis, tapi entah bagaimana, tahu-tahu dua orang di antara mereka, yaitu Nam Hwa dan Si Hwa, sudah tak dapat mempertahankan diri dan roboh tertotok!

Cepat Tung Hwa menyambar Nam Hwa sedangkan Pai Hwa menyambar Si Hwa, dibawa lari menjauhi pemuda di dalam jala itu, lari menuju kepada Thai-houw untuk minta bantuan wanita sakti itu.

Mendengar laporan mereka. Thai-houw mengerutkan kening dan dua totokan tangannya membuat Nam Hwa dan Si Hwa terbebas dari pengaruh totokan. Kemudian Kui-bo Thai-houw menghampiri Wi Liong. Pemuda yang sudah marah sekali ini memaiki,

"Siluman betina, apakah kau yang bernama Kui-bo Thai-houw...?"

Beberapa orang pelayan wanita yang muda dan cantik menahan jerit kengeriannya ketika mendengar ada orang muda begini tampan berani menghina Thai-houw. Mereka maklum bahwa menyebut Kui-bo (Biang Iblis) di hadapan Thai-houw, sama saja mencari kematian secara mengerikan.

Mereka sudah berdebar menunggu Thai-houw menjatuhkan tangan mautnya. Akan tetapi aneh! Sesudah beberapa menit saling pandang tanpa berkedip. Kui-bo Thai-houw malah tersenyum dan mengangguk!

"Benar dugaanmu. Orang muda yang berani, kau siapakah dan apa maksudmu membikin marah kami?"

"Aku Thio Wi Liong," jawab Wi Liong singkat. “Kui-bo Thai-houw, jika kau memang orang gagah, lepaskan jala ini dan mari kita berhadapan secara gagah, tidak curang!"

Wanita itu tersenyum, sedangkan semua pengikutnya memandang penuh kagum kepada pemuda di dalam jala itu, yang begitu berani, begitu gagah dan begitu ganteng.

"Lepaskan sih gampang. Katakan dulu apa maksud kedatanganmu di perahu kami."

"Aku datang untuk minta agar kau membebaskan nona Pui Eng Lan yang kau culik, juga hendak menyusul rombongan Pak-thian Koai-jin yang kabarnya pergi ke Ban-mo-to untuk menolong nona Pui."

Tiba-tiba Kui-bo Thai-houw tertawa. Jarang wanita ini tertawa memperlihatkan giginya, dan sekarang melihat dia tertawa, Wi Liong harus mengakui bahwa wanita ini memang cantik sekali. Giginya masih bagus, kecil rata putih berkilat. Namun aneh, dalam ketawanya itu Wi Liong melihat adanya bayangan iri hati yang besar di sudut mata Kui-bo Thai-houw.

"Semua orang tergila-gila kepada si hitam manis! Apa kau mencinta Eng Lan?"

Wi Liong terkejut sekali. Pertanyaan yang sama sekali tak pernah diduganya akan keluar dari mulut Ratu Ban-mo-to ini.

"Ti... tidak...! Kui-bo Thai-houw, alasan apa yang membuat kau majukan pertanyaan gila-gilaan ini?"

Kembali Kui-bo Thai-houw tertawa, sekarang lirih dan tidak menggerakkan bibirnya. "Kau memasuki jala emas adalah kesalahanmu sendiri, seperti ikan yang sudah masuk ke jala, mana bisa dilepas? Kalau ada kepandaian, boleh coba melepaskan diri."

Wi Liong marah dan dari dalam jalanya dia menerjang maju, namun tak dapat melangkah leluasa hanya melompat bersama jalanya. Tetapi Kui-bo Thai-houw cepat menggerakkan tangan dan di lain saat dia sudah memegang ujung jala lantas memutar tali jala itu di atas kepalanya. Maka tubuh Wi Liong di dalam jala itu ikut terputar di udara, di atas kepala Kui-bo Thai-houw!

Sambil tersenyum-senyum dan diikuti pandang mata kagum dari para pengikutnya, wanita ini berjalan terus sambil memutar-mutar jala berikut tubuh Wi Liong itu, seperti seorang anak nakal yang sedang bermain-main.

Rasa dongkol Wi Liong tidak usah diceritakan lagi, akan tetapi apa dayanya? Ia berada di dalam sebuah jala yang luar biasa kuatnya, yang terbuat dari pada benang-benang halus yang tidak dapat diputusnya, dan selain itu dia berada di dalam tangan seorang sakti yang berilmu tinggi lagi. Dia hanya mengharapkan akan mendapat kesempatan bertemu muka dan bertanding secara seimbang dengan Ratu Ban-mo-to ini.

Kui-bo Thai-houw membawanya terus ke taman bunganya yang amat hebat. Bukan hanya taman bunga, tapi lebih patut dinamakan kebun raya, karena di situ selain terdapat seribu macam tanaman kembang serba indah, juga terdapat pohon-pohon besar segala macam yang tumbuh dengan megahnya, merupakan sebuah hutan kecil tapi semua tanaman dan pepohonan teratur rapi.

Dengan gerakan ringan seperti burung walet Kui-bo Thai-houw melompat ke atas sebuah pohon yang tinggi besar, kemudian dia mengikatkan ujung jala itu berkali-kali pada sebuah dahan sehingga jala berikut tubuh Wi Liong itu tergantung! Pemuda itu marah-marah dan menuntut supaya dilepaskan, namun percuma saja, Kui-bo Thai-houw hanya tersenyum dan berkata,

"Kau bocah nakal harus diberi hajaran biar kapok!" Kemudian melenggang pergi dari situ dengan gaya yang memanaskan hati.

Selagi Wi Liong marah-marah dan tak berdaya seperti seekor burung dalam kurungan itu, tiba-tiba saja dahan pohon itu bergoyang dan dia melihat seorang gadis melompat ke atas dahan di mana jalanya tergantung.

"Nona Eng Lan...!" Wi Liong berseru kaget, heran dan girang.

"Sssttt...!" Gadis manis itu mengisyaratkan dengan jari di depan bibir menyuruh Wi Liong agar jangan berisik. "Bagaimana kau bisa sampai di sini dan ditawan dengan jala emas?" bisiknya.

"Mereka mencurangi aku!" jawab Wi Liong gemas. "Nona Eng Lan, lekas kau bantu aku memutuskan tali-tali ini dari luar dengan pedangmu."

Eng Lan menggeleng kepalanya. "Percuma, jala ini terbuat dari pada benang yang berasal dari sutera ular emas. Pedang biasa saja tidak akan mampu memutusnya. Ah, kalau saja Cheng-hoa-kiam... kau tunggulah, aku akan berusaha mengambil Cheng-hoa-kiam." Gadis itu hendak pergi lagi.

Wi Liong tertegun memandang gadis itu meloncat turun lalu lenyap di antara gerombolan pohon. Ia bingung, bagaimana Eng Lan bisa bebas saja di situ? Apakah yang telah terjadi di Pulau Ban-mo-to ini? Di mana yang lain-lain?

Untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi kepala Wi Liong, marilah kita mundur sebentar dan mengikuti pengalaman-pengalaman Eng Lan…..

********************

Telah dituturkan di bagian depan bagaimana Eng Lan yang tak berdaya karena totokan Hak Lui, telah disambar dan dibawa lari oleh Kun Hong yang datang bersama Kui-bo Thai-houw membasmi Ngo-tok-kauw dan merampas Ngo-heng-giok-cu.

Walau pun tubuhnya tidak dapat bergerak, akan tetapi Eng Lan masih ingat dan semenjak melihat kedatangan Kun Hong, gadis ini sudah merasa terheran-heran kemudian menjadi amat gelisah melihat betapa pemuda itu seakan-akan menjadi boneka hidup, menurut dan taat saja atas kehendak dan perintah wanita setengah tua yang amat lihai itu, Kui-bo Thai-houw. Ia mandah saja dibawa lari dan dipondong oleh kekasihnya, sungguh pun hatinya tidak rela karena ia masih penasaran hendak mendengar penjelasan semua itu dari mulut Kun Hong.

Namun di balik rasa keraguan dan kegelisahan ini, dia pun merasa bahagia sekali, bukan karena dapat melepaskan rindunya dalam pondongan orang yang dikasihinya, akan tetapi terutama sekali karena melihat kekasihnya dalam keadaan selamat dan agaknya sehat-sehat saja. Sudah sembuhkah Kun Hong? Mengapa sekarang seperti menjadi kaki tangan wanita siluman itu?

Kun Hong yang memondong Eng Lan, di tengah jalan dengan diam-diam membuka jalan darah gadis itu, lalu memberi isyarat supaya Eng Lan jangan banyak membantah.

"Aku hendak dibawa ke mana...?" gadis ini berbisik setelah dapat menormalkan kembali peredaran darahnya.

"Diamlah, sayang... diamlah dan serahkan saja kepadaku..." Kun Hong menjawab sambil mendekap tubuh kekasihnya erat-erat pada dadanya.

Untuk sejenak Eng Lan meramkan matanya, merasa bahagia sekali. Akan tetapi kembali timbul keraguan dan kesangsian hatinya dan ketika dia membuka mata. Dia melihat Kun Hong memandang kepadanya dengan mesra, akan tetapi di balik kemesraan ini ia melihat sesuatu yang ganjil memancar keluar dari mata pemuda itu, seperti orang marah, seperti orang iri, seperti orang cemburu.

Ketika Kui-bo Thai-houw melihat pemuda itu memondong Eng Lan. keningnya langsung berkerut akan tetapi senyumnya manis dan suaranya lembut ketika bertanya, "Kau bawa gadis ini?"

Kun Hong mengangguk. "Dia kawan baikku, aku suka kepadanya, biarlah tinggal di pulau bersama kita."

"Siapa namanya?" tanya pula Kui-bo Thai-houw, garis kerut-merut pada keningnya makin jelas.

"Pui Eng Lan,” jawab Kun Hong singkat.

Kui-bo Thai-houw mengangguk-angguk. "Sudah pernah aku mendengar nama itu yang kau sebut-sebut dalam tidurmu." Wanita ini lalu melanjutkan perjalanan dan tak peduli lagi kepada Kun Hong dan Eng Lan.

Kui-bo Thai-houw tidak seperti Thai Khek Sian yang memperbolehkan kekasih-kekasihnya bermain gila dengan siapa pun juga. Wanita ini amat cemburu. Akan tetapi terhadap Kun Hong ia tidak berani melarang. Hal ini adalah karena ia terlampau sayang kepada pemuda itu yang sudah menjadi kekasih, anak angkat dan murid sekaligus.

Pernah dia melihat Kun Hong berkasih-kasihan dengan seorang pengikutnya. Dia marah, lalu pelayan itu dibunuhnya dan melihat ini Kun Hong memberontak, hampir minggat dari pulau. Kui-bo Thai-houw menyesal dan selanjutnya berjanji tak akan melarang pemuda itu berkasihan dengan siapa pun juga asalkan tidak meninggalkan dirinya dan selalu taat!

Kun Hong masih belum mendapatkan pengobatan Im-yang-giok-cu, karena itu dia merasa seperti diikat kaki tangannya. Dia terpaksa tunduk kepada wanita aneh ini. Selain menanti datangnya saat pengobatan untuk menyambung nyawanya, juga di samping ini dia masih bisa menambah kepandaiannya dari Kui-bo Thai-houw yang tak segan-segan menurunkan ilmunya kepada pemuda itu.

Inilah sebabnya mengapa Kun Hong berani membawa Eng Lan bersamanya ke Ban-mo-to dan Kui-bo Thai-houw tidak melarangnya. Akan tetapi kalau Kun Hong merasa gembira dapat membawa Eng Lan bersamanya, adalah gadis itu yang menjadi panas hatinya dan sakit perasaannya karena dibakar api cemburu.

Ia memberontak dari pondongan Kun Hong, tapi Kun Hong mencegahnya, "Kalau kau lari, Thai-houw akan membunuhmu!" ia memperingatkan.

"Aku tidak sudi kau pondong!" jawab Eng Lan yang cukup cerdik untuk menahan diri tidak lari, karena dia pun maklum bahwa menghadapi orang-orang sakti itu dia takkan berdaya melarikan diri. Eng Lan lalu mengikuti rombongan itu dengan berjalan kaki dan Kun Hong berjalan di sampingnya.

“Kenapa kau bisa melakukan perjalanan bersama Wi Liong? Ada apa antara kau dengan dia?" tanpa tertahan lagi Kun Hong mengajukan pertanyaan ini karena semenjak tadi dia dibakar oleh api cemburu melihat Eng Lan dan Wi Liong menjadi tawanan Ngo-tok-kauw. Suaranya jelas membayangkan cemburu dan iri hati, dan hal ini diketahui baik oleh Eng Lan yang menjadi lebih marah lagi.

"Manusia tak tahu diri!" desisnya perlahan. "Kau yang katanya pergi mencari obat, kiranya malahan hidup mewah dan senang di dekat siluman-siluman itu, menjadi orang hina-dina. Dan sekarang semua itu masih hendak kau tambahi lagi dengan pikiran yang rendah dan bukan-bukan terhadap diriku? Sungguh memualkan!" Dan gadis ini berjalan menjauhi Kun Hong, tidak sudi menengok lagi.

Merah wajah Kun Hong. Ia mengerti bahwa Eng Lan sudah dapat menduga keadaannya dengan Kui-bo Thai-houw. Dia ingin bicara banyak, ingin menerangkan isi hatinya kepada Eng Lan, akan tetapi karena mereka sedang berjalan bersama rombongan Kui-bo Thai-houw, tentu saja tidak leluasa baginya untuk bicara di situ. Maka ia diam saja dan hanya menjaga agar Eng Lan jangan sampai melarikan diri.

Demikianlah, Eng Lan dibawa ke Ban-mo-to, mendapatkan kebebasan karena ia dianggap kekasih Kun Hong. Tak seorang pun berani mengganggunya. Akan tetapi mana sudi Eng Lan didekati Kun Hong? Ia malah selalu menjauhkan diri dari pemuda itu dan berkeliaran di atas Pulau Ban-mo-to yang indah.

Pernah Kun Hong berhasil menjumpainya seorang diri, dan pemuda ini berkata perlahan, "Eng Lan, kau pertimbangkan keadaanku baik-baik. Aku memang mencari obat dan satu-satunya orang di dunia ini yang bisa mengobati aku dan menyambung nyawaku hanyalah Thai-houw. Oleh karena itu mana bisa aku tidak mentaatinya? Selain pengobatan aku pun menerima petunjuk ilmu silat. Apakah aku tidak boleh membalas budi yang begitu besar? Harap kau jangan cemburu, aku... aku tetap mencinta kepadamu. Percayalah, kalau ada gadis yang kucinta sepenuh jiwaku, maka kaulah gadis itu."

Dengan sinar mata berapi gadis itu memandang Kun Hong. "Siapa peduli? Siapa peduli kau mau apa? Mau jungkir-balik di sini, mau hidup sebagai pangeran, mau jadi begundal atau... kekasih siluman-siluman di sini... aku tidak peduli!" Air matanya mulai bercucuran. "Aku... aku malah lebih suka melihat kau mati karena lukamu...!" Tanpa tertahan lagi Eng Lan menangis sambil berlari pergi menjauhi Kun Hong.

Pemuda ini berdiri bengong. Hatinya risau dan dia tidak tahu harus berbuat apa. Memang pengakuannya tadi adalah sesungguhnya. Sejak bertemu dengan Eng Lan, hatinya sudah terisi dan tidak ada lain wanita di dunia ini yang dapat merebut cinta kasihnya. Kalau dia menjadi kekasih Kui-bo Thai-houw dan wanita-wanita lain, itu bukanlah cinta kasih, hanya sekedar menuruti hati muda dan terutama sekali karena dia terpaksa menuruti kehendak hati Kui-bo Thai-houw yang dia butuhkan untuk menolongnya memberi obat.

Demikianlah pentingnya pendidikan. Semenjak muda Kun Hong terdidik oleh orang-orang sesat dan hidup di dalam lingkungan orang-orang seperti Bu-ceng Tok-ong, Tok-sim Sian-li, dan Thai Khek Sian, maka jalan pikirannya pun terpengaruh dan baginya, bermain gila dengan wanita-wanita penghuni Ban-mo-to, bukanlah apa-apa dan tidak perlu dipusingkan oleh Eng Lan. Dia belum dapat menjajaki hati Eng Lan dan menyelami isi hati yang murni dari seorang gadis sopan dan putih bersih seperti Eng Lan. Selama ini Kun Hong hanya mengenal isi hati wanita-wanita seperti Tok-sim Sian-li!

Di lain fihak, meski pun hatinya terasa perih dan sakit sekali melihat keadaan Kun Hong di Ban-mo-to, namun cinta kasih yang bersemi dalam hati Eng Lan sudah amat mendalam. Dia boleh kecewa, boleh berduka, akan tetapi dia tidak dapat membenci Kun Hong. Boleh mulutnya memaki-maki dan sinar matanya berapi hendak membakar pemuda itu, namun hatinya tetap sejuk dan tidak bisa dia melempar atau membuang bayangan Kun Hong dari lubuk hatinya.

Cinta kasihnya terhadap pemuda itu sudah mendarah daging, sudah terlampau mendalam sehingga gadis ini malah tidak mempunyai ingatan untuk mencoba melarikan diri dari Ban-mo-to. Kun Hong berada di situ, dia pun tidak mau pergi, walau pun dia harus menderita kesengsaraan hati dan selalu bersikap benci dan menjauhi Kun Hong.

Memang cinta kasih dapat membikin banyak macam dongeng dan menimbulkan banyak macam perangai yang aneh-aneh pada orang-orang muda…..

********************

Beberapa hari kemudian tampak sebuah perahu besar mendekati Pulau Ban-mo-to. Hal ini menimbulkan geger di pulau itu.

Para gadis penjaga pantai yang melihat perahu ini menjadi terheran-heran. Belum pernah ada perahu asing yang berani mendekati Ban-mo-to, apa lagi mendarat, karena mendarat berarti mengantar nyawa dengan sia-sia. Mereka cepat mengirim laporan kepada Kui-bo Thai-houw dan sebagian lagi mempersiapkan perlawanan dan memperkuat penjagaan.

Yang pertama kali keluar dari perahu itu adalah seorang kakek tinggi besar, Thai It Cinjin diikuti oleh Im-yang Siang-cu. Kemudian muncul Pak-thian Koai-jin dan See-thian Hoat-ong di belakangnya, menyusul puteranya, yaitu Kong Bu yang nampak pucat dan lemah karena lukanya bekas pukulan Hek-tok-sin-ciang dari Thai Khek Sian.

Para gadis penjaga pantai tentu saja mengenal Thai It Cinjin, maka mereka tidak berani sembarangan bergerak. Akan tetapi tetap saja mereka tidak bisa membiarkan pulau yang mereka anggap keramat ini didatangi orang-orang begitu saja. Mereka segera membentuk barisan menghadang di jalan dan seorang gadis yang berpakaian merah berkata,

"Pulau Ban-mo-to tidak boleh didatangi orang tanpa seijin Thai-houw!"

Melihat barisan gadis-gadis cantik ini, Thai It Cinjin dan kawan-kawannya berhenti. Thai It Cinjin tertawa bergelak lalu berkata.

"Nona-nona manis, lekas laporkan kepada Thai-houw bahwa aku Thai It Cinjin dari Kim-Ie-san dan beberapa orang kawan sengaja datang berkunjung untuk membalas kebaikan kunjungan Thai-houw ke Kim-Ie-san tempo hari."

Sebelum ada yang menjawab, dari tengah-tengah pulau itu sudah terdengar suara halus akan tetapi berpengaruh sekali, suara Kui-bo Thai-houw.

"Biarkan mereka datang menghadap!"

"Terima kasih, Thai-houw yang baik, terima kasih. Kami datang menghadap!" kata Thai It Cinjin sambil berjalan menuju ke tengah pulau, diikuti oleh kawan-kawannya.

Seperti sudah dituturkan terdahulu, Kong Bu. See-thian Hoat-ong, dan Pak-thian Koai-jin yang hendak menolong Eng Lan pergi ke Ban-mo-to, lebih dahulu mampir ke Kim-Ie-san minta bantuan Thai It Cinjin dan kedua orang sute-nya, Im-yang Siang-cu. Kong Bu yang minta tolong kepada Thai It Cinjin.

Tadinya Thai It Cinjin merasa segan untuk membantu karena maklum bahwa menentang Kui-bo Thai-houw bukanlah hal yang mudah dan tidak berbahaya. Akan tetapi setelah dia mendengar bahwa dua orang muridnya telah terculik oleh Thai Khek Sian dan kini sedang dikejar oleh seorang pemuda murid Thian Te Cu, dia menjadi tidak enak juga kalau tinggal peluk tangan. Thai It Cinjin orangnya cerdik sekali, maka seketika itu juga ia memperoleh akal.

"Boleh saja dan tentu aku akan suka membantu kalian," katanya. "Akan tetapi karena Kui-bo Thai-houw sama sekali tak boleh dipandang ringan, harap kalian bersabar dan biarkan aku menghadapinya dengan jalan damai. Jangan ada yang mengambil keputusan sendiri kemudian bersikap sembrono. Setuju?"

Demikianlah, dengan langkah tenang dan muka ramah kini Thai It Cinjin memimpin rekan-rekannya menuju ke tengah pulau. Sesudah dekat dengan perumahan Kui-bo Thai-houw dan anak buahnya, di kanan kiri jalan berderet barisan gadis-gadis cantik, sikap mereka kereng dan gagah, tangan kanan memegang pedang tangan kiri bertolak pinggang!

Thai It Cinjin dan Pak-thian Koai-jin tersenyum-senyum, yang lainnya memandang kagum. Benar-benar sebuah pulau wanita yang aneh dan indah sekali. Orangnya cantik-cantik dan tetanaman di pulau itu kesemuanya tidak ada yang liar, semua terawat dan teratur indah.

Mendadak melompat bayangan yang gesit dan muncullah Eng Lan yang langsung maju menghadap Pak-thian Koai-jin.

"Suhu...!"

Melihat muridnya bebas lepas, malah pedangnya masih dibawa di pinggangnya, bergerak begitu saja seperti menjadi seorang di antara penghuni-penghuni pulau, Pak-thian Koai-jin menjadi bengong terlongong. Tentu saja hal ini sama sekali tidak pernah disangkanya. Dia susah-susah datang untuk menolong muridnya yang disangkanya terculik orang jahat eh, tidak tahunya muridnya itu bebas saja dan kelihatan enak-enak di pulau ini!

"Kau... tidak apa-apa...?" tanya Pak-thian Koai-jin kepada muridnya, sambil memandangi muridnya itu dari kepala sampai ke kaki.

Eng Lan menggelengkan kepala, tersenyum akan tetapi matanya menitikkan dua butir air mata! Gadis ini lantas ikut berjalan bersama suhu-nya, mengikuti Thai It Cinjin yang hanya terganggu sebentar oleh kedatangan Eng Lan ini. Bagi Thai It Cinjin, munculnya Eng Lan yang membuat Pak-thian Koai-jin girang sekali itu tidak ada artinya.

"Suhu, teecu telah bertemu dengan... Kun Hong..."

"Hemm, di sini? Bagus, karena itukah kau bisa bebas?" jawab Pak-thian Koai-jin dengan suara berbisik pula.

Eng Lan mengangguk, "Suhu, dia... dia berubah sekali... dia..." Eng Lan menahan-nahan, akan tetapi pipinya tahu-tahu sudah basah oleh air mata.

Pak-thian Koai-jin adalah orang yang telah banyak pengalamannya. Ia tadi melihat adanya banyak gadis-gadis cantik di pulau ini, dan dia dapat menduga orang macam bagaimana adanya Kun Hong murid Thai Khek Sian.

"Bangsat muda itu tidak pantas untukmu...," celanya.

"Suhu...!"

Pak-thian Koai-jin menarik napas panjang sambil menggeleng-geleng kepalanya.

"Hemm, baiklah... baiklah... aku takkan mencela pilihanmu itu."

"Suhu, biar pun teecu bebas akan tetapi tidak bisa pergi dari Ban-mo-to. Di sini berbahaya sekali, Kui-bo Thai-houw lihai bukan main. Harap suhu berhati-hati."

"Aku datang hanya untuk minta supaya kau dibebaskan. Mudah-mudahan Thai-houw tidak membikin urusan menjadi sengketa," kata Pak-thian Koai-jin.

Suaranya terdengar biasa dan tenang-tenang saja, akan tetapi sesungguhnya dia gelisah sekali. Bukan gelisah karena menghadapi musuh berat seperti Kui-bo Thai-houw, karena bagi tokoh besar seperti dia, menghadapi lawan-lawan berat bukanlah hal yang asing lagi. Akan tetapi yang membuat dia merasa gelisah adalah keadaan muridnya ini mengenai diri Kun Hong.

Juga Eng Lan gelisah sekali. Belum tentu gurunya kalah oleh Kui-bo Thai-houw, melihat bahwa gurunya datang bersama orang-orang pandai. Akan tetapi sungguh pun andai kata suhu-nya menang dan ia diperbolehkan meninggalkan Ban-mo-to, apa artinya baginya bila Kun Hong tetap berada di situ? Apa artinya baginya kalau dengan mendapatkan kembali kemerdekaannya dia harus kehilangan Kun Hong?

Kini rombongan itu sudah tiba di depan rumah besar tempat tinggal Kui-bo Thai-houw dan berhenti di situ karena di depan pekarangan yang lebar terjaga oleh belasan orang gadis pelayan yang memegang tombak. Akan tetapi tidak lama mereka tertahan di situ karena segera tampaklah Kui-bo Thai-houw dalam pakaian seindah-indahnya berjalan keluar dari pintu rumahnya dengan langkah halus. Mukanya baru dibedak, putih kemerahan, matanya bersinar bibirnya tersenyum.

Dia diikuti oleh Kun Hong, kemudian di belakangnya berjalan empat orang nenek kembar serta belasan orang pelayan cantik-cantik barisan serba empat. Benar-benar sangat ganjil melihat Kun Hong di antara sekian banyaknya wanita. Satu-satunya pria di dalam sebuah dunia wanita!

Kui-bo Thai-houw duduk di atas sebuah kursi kuning yang telah disediakan di pekarangan itu, yang lain-lain berdiri di belakangnya. Setelah itu barulah dia memberi isyarat ke depan supaya tamu-tamu disuruh masuk.

Pintu pekarangan dibuka dan masuklah rombongan itu, Thai It Cinjin di depan, baru yang lain-lain.

"Thai It Cinjin, apa maksudmu dan kawan-kawanmu datang mengganggu kami di sini?" Kui-bo Thai-houw menegur.

Dari suaranya saja sudah dapat diketahui bahwa wanita ini merasa tidak senang hatinya. Matanya menyambar ke arah semua tamunya dan sekilas dia memandang Eng Lan yang berdiri di sebelah kiri suhu-nya.

Wajah Kun Hong menjadi berubah sedikit ketika dia melihat Eng Lan bersama rombongan itu. Akan tetapi aneh sekali, pemuda ini tidak memandang lama dan selanjutnya bersikap tidak mengacuhkan hal itu sama sekali. Bukan main mendongkolnya hati Eng Lan!

Thai It Cinjin cepat memberi hormat kepada wanita cantik itu, kemudian berkata, mukanya ramah tersenyum, "Thai-houw yang baik, harap maafkan aku dan kawan-kawanku ini. Aku datang untuk memberi hormat, untuk membalas kunjunganmu beberapa bulan yang lalu, dan untuk mengagumi pulaumu yang indah ini."

"Tak usah plintat-plintut panjang lebar, hayo katakan apa keperluanmu!" Kui-bo Thai-houw membentak dengan suara masih halus.

Thai It Cinjin menjadi gugup juga. Bukan main wanita ini, tak bisa diajak bersopan-sopan, la menarik napas panjang untuk menenangkan hatinya yang berguncang, lalu melangkah maju dan berkata,

"Dahulu Thai-houw sudah datang mengunjungi Kim-Ie-san dan dalam kesempatan itu aku sempat melihat kelihaian Thai-houw. Juga ketika itu aku tidak jadi menewaskan saudara muda ini," ia menuding ke arah Kun Hong, "karena ternyata dia ini telah menjadi sahabat-sahabat baik kedua orang muridku Hui Nio dan Hui Sian. Urusannya dengan Beng Kun Cinjin adalah urusan antara ayah dengan anak, maka kami tak mau ikut campur. Baiknya Thai-houw keburu datang sehingga saudara muda ini selamat dan sekarang malah berada di sini. Aku merasa girang melihat hal ini dan..."

"Cukup, jangan berbelit-belit. Apa maksudmu sesungguhnya?" Thai-houw memotong tak sabar lagi.

Thai It Cinjin melanjutkan kata-katanya dengan tergesa-gesa, "Saudara muda ini adalah murid Thai Khek Sian, akan tetapi sungguh aneh sekali, karena beberapa hari yang lalu Thai Khek Sian-su dan Beng Kun Cinjin datang lantas menculik kedua orang muridku dan melukai tunangan muridku, Kong Bu ini," Dia pun menuding calon suami Hui Nio. "Karena mengingat bahwa murid-muridku itu sahabat baik saudara muda ini, mengingat pula akan kelihaian Thai-houw dan nama besar Thai-houw yang tentu saja tak kalah oleh Thai Khek Sian-su. maka kedatanganku ke sini selain kunjungan penghormatan juga hendak minta kemurahan hati Thai-houw untuk mengobati Kong Bu yang terkena pukulan Hek-tok-sin-ciang dan kemudian menggunakan pengaruh Thai-houw untuk minta kedua orang muridku dibebaskan,"

Kun Hong mengerutkan alisnya. Hatinya tak senang mendengar gurunya, Thai Khek Sian, menculik Hui Nio dan Hui Sian. Juga dia merasa aneh bagaimana gurunya dapat datang bersama Beng Kun Cinjin. Hatinya merasa panas dan ingin dia segera mengejar ke Pek-go-to mencari ayahnya yang amat dibencinya itu, akan tetapi ia berada dalam kekuasaan Kui-bo Thai-houw, tak dapat dia pergi sembarangan saja.

Mendengar omongan Thai It Cinjin itu, Pak-thian Koai-jin tersenyum pahit. Ia pun maklum bahwa urusan Eng Lan sama sekali tak dipedulikan oleh orang tua itu maka semenjak tadi tidak disebut-sebut.

Ada pun Kui-bo Thai-houw memandang sejenak ke arah Kong Bu, kemudian dia menatap wajah See-thian Hoat-ong dan Pak-thian Koai-jin, pandang matanya menduga-duga dan menaksir-naksir, sedangkan Im-yang Siang-cu sama sekali tidak ditolehnya.

"Saudara yang seperti panglima perang gagah perkasa ini siapakah?" tanyanya menuding See-thian Hoat-ong.

"Aku adalah ayah Kong Bu yang luka ini, namaku Kong Lek In..."

Thai-houw mengingat-ingat. Dulu dia pernah tinggal di dalam istana kaisar dan dia paling memperhatikan urusan negara sehingga banyak ia mengenal nama-nama panglima besar yang berkuasa dan terkenal. "Kau dari Sin-kiang?" tanyanya tiba-tiba setelah teringat.

Kong Lek In mengangguk hormat. "Mohon kemurahan hati Thai-houw untuk mengobati puteraku yang terluka," katanya.

"Ahh…, kau tentu See-thian Hoat-ong, bukan?" Ketika Kong Lek In kembali mengangguk, wanita itu kelihatan gembira. "Bagus, bagus! Sudah lama mengenal nama, dahulu tak ada kesempatan bertemu. Dan pengemis ini siapa?" Ia menuding ke arah Pak-thian Koai-jin.

Kakek ini mengangguk-angguk sambil tertawa lebar, menggerak-gerakkan mangkok butut di tangan kanannya seperti seorang pengemis tengah meminta-minta. "Kiranya Thai-houw bersifat pemurah, buktinya Cinjin (orang berkedudukan tinggi) dan Hoat-ong pada datang minta berkah. Aku seorang pengemis ini mana mau ketinggalan? Tongkat pembantu jalan sudah kubawa, mangkok tempat sedekah telah kupegang pula! Thai-houw, aku Pak-thian Koai-jin datang minta kau membebaskan muridku ini, sekalian menghaturkan terima kasih bahwa selama ini muridku sudah menjadi tamumu di sini."

Kata-kata yang agak aneh dan berputar-putar ini tidak membuat marah Kui-bo Thai-houw, malah wanita ini kelihatan tercengang dan gembira. "Ah, kiranya tokoh-tokoh besar belaka yang datang ke sini." Tiba-tiba saja sikapnya berubah, tampak kereng dan sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar berapi. "Semua bilang mohon, minta, akan tetapI pada hakekatnya menuntut! Boleh saja kalian membuka mulut, tetapi mana aku takut terhadap tuntutan kalian? Hemm, Thai It Cinjin, soal Thai Khek Sian adalah urusanku sendiri untuk mengajar adat atau tidak, tak perlu kau membawa-bawa aku dan Kun Hong. Juga tentang mengobati puteramu, See-thian Hoat-ong, tergantung dari sikapnya dalam beberapa hari ini di sini. Aku yang memutuskan kelak hendak diobati ataukah tidak. Dan kau, pengemis dari utara, sudah sejak lama aku mendengar nama besarmu, ternyata kau hanya seorang pengemis yang tidak bisa mengajar adat pada murid. Kalau aku tidak mau membebaskan muridmu, kau mau apakah?"

Menarik sekali jika memperhatikan muka tiga orang tokoh besar itu pada saat mendengar kata-kata ini. Muka Thai It Cinjin berubah pucat, muka See-thian Hoat-ong yang sudah kemerahan itu menjadi merah sekali, sedangkan muka Pak-thian Koai-jin bergerak-gerak tersenyum lebar.

"Thai-houw, jawabannya berada di mulutmu. Sesungguhnya kau menghendaki apakah?" Pak-thian Koai-jin bertanya.

Bagi orang lain, pertanyaanini kiranya akan dianggap kurang ajar, akan tetapi tidak bagi Kui-bo Thai-houw. Dia malah tersenyum sambil mengangguk-angguk.

"Sungguh tak percuma kau berjuluk Koai-jin (Orang Aneh). Kau sudah dapat menangkap kehendakku, Dengarlah, hari ini kalian datang sebagai tamu-tamu tak diundang, karena itu harus mentaati undang-undangku, yaitu begini: Siapa pun juga berani menginjak pulau ini tanpa seijinku, harus mati!"

Tentu saja Thai It Cinjin, Im-yang Siang-cu, See-thian Hoat-ong, dan Pak-thian Koai-jin marah sekali mendengar ‘undang-undang’ seenaknya sendiri saja ini. Akan tetapi mereka diam saja, ingin mendengarkan apa yang selanjutnya akan diucapkan oleh wanita cantik akan tetapi berhati iblis ini.

Setelah berhenti sebentar untuk melihat bagaimana sikap tamu-tamunya mendengar kata-katanya tadi, sambil tersenyum Kui-bo Thai-houw melanjutkan kata-katanya, "Akan tetapi, karena kalian adalah tokoh-tokoh penting dunia kang-ouw dan datang dengan permintaan-permintaan, biarlah kurobah sedikit undang-undang itu. Kalian tidak akan mati begitu saja, akan tetapi diberi kesempatan membela diri. Malah ada pahalanya. Karena kalian adalah ahli-ahli silat, biarlah kalian seorang demi seorang melawan anak angkatku ini. Bila kalian kalah maka tidak perlu bicara lagi, berarti mati. Kalau menang, selain kuanggap sebagai tamu yang kuundang, juga permintaan-permintaanmu tadi akan dipertimbangkan."

Kaget bukan main para tamu itu mendengar keputusan ini. Lebih-lebih Eng Lan, gadis ini menjadi pucat dan memandang ke arah Kun Hong dengan mata terbelalak. Kemudian dia melompat maju dan menghunus pedangnya menghadapi Kun Hong.

"Dia ini yang akan maju menjadi jagonya? Baik sekali, biar dia mengadu jiwa dulu dengan aku, baru dengan suhu!" Dengan marah sekali Eng Lan melompat maju menerjang dan menyerang Kun Hong dengan pedangnya.

Sukar sekali untuk menduga bagaimana rasa hati dan perasaan Kun Hong pada saat itu. Pemuda ini berdiri tanpa bergerak, memandang kepada Eng Lan dengan mata sayu dan bibir gemetar, tetapi dia tidak mengelak sedikit pun dari tusukan pedang yang mengarah ulu hatinya! Pedang itu dengan cepat dan kuatnya meluncur ke depan dan agaknya sudah pasti akan menembus ulu hati Kun Hong.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar