Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 10

Pada suatu hari, di kala sang surya sedang panas-panasnya karena waktu itu menjelang tengah hari, dari jurusan barat terdengar derap kaki kuda yang dilarikan kencang sekali, memasuki hutan kecil di sebelah timur kota Poan-kun. Penunggangnya adalah seorang pemuda tegap yang wajahnya ganteng sekali.

Tidak saja pemuda itu amat ganteng, juga pakaiannya terbuat dari sutera nomor satu dan potongannya sangat indah. Tubuhnya tegap dan sedang, nampak sehat kuat. Wajahnya berkulit putih agak kemerahan dengan rambut hitam mengkilat dibungkus di atas dengan sutera.

Sepasang matanya berkilat-kilat menandakan bahwa dia sangat cerdik dan tangkas, juga pemberani. Alis dan bulu matanya tebal. Mulutnya membayangkan watak yang gembira, sayang sekali ujung bibir dan dagunya membayangkan watak keras hati dan kejam. Tentu saja hal ini hanya dapat terlihat oleh orang yang sudah ahli dalam ilmu membaca watak dari muka orang.

Akan tetapi watak buruk itu hampir tidak terlihat, tertutup oleh potongan muka yang betul-betul ganteng ini. Pendeknya, seorang pemuda remaja berusia delapan belas tahun yang ganteng dan tampan sekali.

Bila melihat caranya menunggang kuda, mudah diketahui bahwa pemuda tampan ini juga memiliki kepandaian menunggang kuda yang mengagumkan. Biar pun kuda itu besar dan berlari cepat sekali, dia kelihatan duduk tegak dan enak-enak di atas punggung kudanya, tangan kiri memegang kendali, tangan kanan menepuk-nepuk leher kuda.

"Cepat, Hek-liong-ma, cepat sedikit lagi! Jika Niocu dapat mengejar kita, bisa repot!" kata pemuda itu kepada kuda hitam besar yang ternyata bernama Hek-liong-ma (Kuda Naga Hitam).

Kuda itu seperti tahu saja akan arti ucapan penunggangnya, buktinya ia segera membalap lebih cepat lagi sampai keempat kakinya seolah-olah tidak menginjak tanah. Kuda dengan penunggangnya melesat cepat melalui hutan kecil itu. Tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring disusul bunyi pecut memecah udara.

"Heei, penunggang kuda berhenti dulu!"

Suara itu adalah suara wanta dan pecutnya berbunyi "tar! tar!" keras sekali. Kuda beserta penunggangnya menjadi kaget. Memang kuda paling takut akan suara pecut, dan pemuda itu memang sedang melarikan diri dari gurunya, seorang wanita. Maka mendengar seruan ini, bukannya berhenti ia malah menepuk leher kudanya,

"Hek-liong-ma, jangan berhenti! Larilah lebih cepat!"

Kuda itu benar-benar membalap hingga rambut pada tengkuknya berkibar-kibar. Sebentar saja kuda dan penunggangnya sudah hampir keluar dari hutan itu. Akan tetapi, terdengar pula suara yang menegur tadi,

"Anak-anak, buruan lari ke barat. Tahan...! Serang...!"

Pemuda itu tidak tahu apa artinya seruan ini akan tetapi kudanya rupanya lebih tahu, atau mungkin karena alat penciumnya lebih tajam. Hek-liong-ma nampak gelisah sekali dan tak lama kemudian terdengar bunyi salak dan gonggong anjing.

Dari semak-semak belukar berloncatan keluar sembilan ekor anjing yang nampak galak-galak seperti serigala. Sambil menggonggong binatang-binatang ini menyerbu Hek-liong-ma, bahkan ada pula beberapa di antaranya yang menerjang pemuda itu dengan mulut terpentang memperlihatkan gigi dan taring!

Siapakah pemuda tampan yang naik Hek-liong-ma ini? Mungkin ada yang sudah dapat menduga. Dia ini bukan lain adalah Kun Hong putera Kam Ceng Swi, atau lebih tepat lagi sebetulnya Gan Kun Hong putera Gan Tui dan Hui Niang!

Setelah lewat dua belas tahun lamanya, kini Kun Hong berubah menjadi seorang pemuda yang amat tampan dan ganteng, benar-benar cocok dengan dugaan Tok-sim Sian-li dulu.

Seperti telah diceritakan pada bagian depan, setelah dikalahkan oleh seorang kakek aneh yang merampas Wi Liong dari tangan mereka, Tok-sim Sian-li dan Bu-ceng Tok-ong cepat pergi kepada Thai Khek Sian, yaitu tokoh nomor satu dari golongan Mokauw. Mendengar keterangan mereka mengenai kakek aneh itu, Thai Khek Sian mencegah mereka mencari penyakit dan minta supaya mereka membiarkan saja Wi Liong diculik.

"Dia adalah Thian Te Cu atau dulu terkenal disebut Mayat Hidup yang menjadi penunggu Gunung Wuyi-san." Demikian antara lain keterangan dari Thai Khek Sian yang di dalam golongan Mokauw seakan-akan menjadi rajanya.

Begitu melihat Tok-sim Sian-li, tentu saja Thai Khek Sian menjadi girang sekali dan tidak memperkenankan wanita ini pergi sebelum tinggal di situ selama sebulan lebih. Bu-ceng Tok-ong mendongkol bukan main, akan tetapi apakah dayanya terhadap Thai Khek Sian yang sebenarnya masih terhitung susiok-nya (paman gurunya) itu? Kepandaian Thai Khek Sian luar biasa tingginya, ini dia tahu betul, maka dia hanya dapat mengurut dada.

Akan tetapi dia terhibur setelah mereka diperkenankan pergi dari tempat tinggal Thai Khek Sian, yaitu di Pulau Pek-go-to (Pulau Buaya Putih), sebuah pulau kecil kosong di antara Kepulauan Cou-san-to di sebelah timur pantai Tiongkok. Thai Khek Sian sudah melihat Kun Hong dan berkata kepada Tok-sim Sian-li dan Bu-ceng Tok-ong,

"Bocah ini boleh menjadi murid kita. Kalian ajarlah baik-baik selama sepuluh tahun, baru suruh dia ke sini untuk menerima pelajaran dariku. Kelak dia boleh diharapkan untuk bisa memperbesar nama kita."

Tentu saja Bu-ceng Tok-ong menjadi girang sekali, karena hal ini berarti bahwa dia akan selalu berdekatan dengan Tok-sim! Sesudah bersepakat, mereka berdua membawa Kun Hong ke puncak Wi-san tempat tinggal Tok-sim Sian-li, karena Bu-ceng Tok-ong sendiri adalah seorang perantau yang tidak karuan tempat tinggalnya.

Di Wi-san inilah Kun Hong digembleng secara tekun oleh sepasang manusia siluman itu. Selama itu seluruh perhatian Tok-sim Sian-li dicurahkan untuk mendidik Kun Hong, maka untuk beberapa tahun dia tidak menurutkan nafsu hatinya yang kotor.

Biasanya dia sering menculik pemuda-pemuda tampan lalu dibawa ke puncak Wi-san ini. Akan tetapi selama ia tinggal bersama Tok-ong dan Kun Hong, ia tidak pernah melakukan hal ini. Dia malah mau melayani cinta kasih Bu-ceng Tok-ong yang sudah bertahun-tahun mengaguminya.

Akan tetapi di antara dua orang tokoh ini memang terdapat perbedaan watak. Sering kali mereka cekcok, bahkan pernah mereka bertempur mati-matian. Tentu seorang di antara mereka akan roboh terluka jika saja di situ tidak ada Kun Hong yang melerai dan menjadi juru pendamai. Dan anehnya, ini hari bertempur mati-matian, besok hari sudah bersenda-gurau lagi. Memang watak dan cara hidup orang-orang Mokauw sungguh aneh sekali.

Kun Hong yang dibesarkan dekat dua orang dengan watak seperti ini, dapat dibayangkan bahwa sedikit banyak ia pun tentu terkena ‘penyakit’ ini. Semakin besar watak pemuda ini menjadi semakin aneh, tidak jauh dari watak dua orang itu. Suka melucu dan menggoda orang seperti Bu-ceng Tok-ong, juga pesolek dan cabul seperti Tok-sim Sian-li.

Akan tetapi makin tahun kepandaiannya semakin meningkat hebat dan dalam usia enam belas tahun saja dia sudah menjadi tandingan berat bagi kedua orang gurunya! Mulailah Kun Hong memperlihatkan watak gilanya. Dia mulai tidak tunduk lagi terhadap dua orang gurunya, terutama sekali terhadap Bu-ceng Tok-ong!

Pernah ketika Bu-ceng Tok-ong sedang memberikan petunjuk, dia malah membantah dan bersikap rewel sampai akhirnya guru dan murid ini saling serang dengan pukulan-pukulan maut! Tok-sim Sian-li segera datang, tapi bukan untuk melerai melainkan membantu Kun Hong menyerang Tok-ong!

Tentu saja Tok-ong kewalahan sehingga akhirnya melarikan diri turun dari Gunung Wi-san untuk memuaskan hatinya yang sudah haus akan perantauan lagi. Anehnya, di antara tiga orang ini sedikit pun tidak ada dendam!

Setelah tinggal di puncak hanya berdua saja dengan Kun Hong yang sementara itu telah berusia delapan belas tahun, maka timbullah cinta kasih dalam hati Tok-sim Sian-li yang memang sejak dulu sudah ada terhadap muridnya yang tampan ini. Dia mulai menggoda Kun Hong dengan segala macam daya. Akan tetapi Kun Hong tak sudi melayani, bahkan pada suatu malam dia minggat turun gunung membawa kuda kesayangan Tok-sim Sian-li, yaitu Hek-liong-ma.

Bukan hal yang mudah untuk melarikan diri dari Wi-san. Sebelum ia dapat mencuri kuda Hek-liong-ma yang oleh Tok-sim Sian-li dititipkan di dalam dusun di bawah gunung, Kun Hong harus lebih dulu menuruni puncak mengambil jalan belakang pondok gurunya. Jalan ini amat sukar, ia harus merayap menuruni tebing-tebing yang amat curam dan melompati jurang-jurang yang lebar. Namun Kun Hong yang memiliki ketabahan besar itu tidak takut melalui jalan yang tidak patut dilalui manusia melainkan lebih tepat kalau dilalui binatang seperti kera yang pandai merayap dari dahan ke dahan dan dari batu ke batu.

Semalam suntuk, dari tengah malam sampai pagi Kun Hong menuruni puncak Wi-san dan akhirnya dengan mudah dia mencuri Hek-liong-ma lantas mengaburkan kuda itu menuju ke barat. Tujuan utamanya adalah Wuyi-san, tempat tinggal Thian Te Cu karena dia telah mendengar penuturan dua orang gurunya bahwa Wi Liong dibawa oleh Thian Te Cu ke bukit itu.

Dia hendak mencari Wi Liong yang di waktu kecil pernah mengalahkannya. Di samping itu dia juga hendak merampas kembali pedang Cheng-hoa-kiam yang dulu oleh Thian Te Cu dirampas dari tangan gurunya!

Akan tetapi karena baru sekali itu turun gunung, saking takut kalau terkejar oleh Tok-sim Sian-li dan belum tahu jalan, Kun Hong sudah keliru mengambil jalan. Seharusnya jalan menuju ke Wuyi-san adalah ke selatan, akan tetapi dia malah mengambil jalan ke barat!

Demikianlah, pada hari ke dua dia bertemu dengan seorang wanita di dalam hutan yang memerintah anjing-anjing pemburu menyerang dia dan kudanya!

Hek-liong-ma bukanlah kuda yang pandai berkelahi, melainkan seekor kuda balap yang hanya pandai lari cepat. Menghadapi serangan segerombolan anjing yang galak-galak ini, Hek-liong-ma menjadi terkejut dan ketakutan, meringkik-ringkik sambil mengangkat kedua kaki depannya.

Seekor anjing sudah melompat dan menyerang hendak menggigit leher kuda itu, ada pun yang lain-lain telah siap pula menggigit. Empat ekor yang menyerbu dari kanan melompat hendak menyergap Kun Hong!

Tadi Kun Hong membalapkan kudanya bukan sekali-kali karena dia takut bertemu orang atau takut bertempur, melainkan karena ia yakin bahwa Tok-sim Sian-li tentu mengejarnya dan ia enggan untuk ribut atau bertengkar dengan guru wanitanya ini. Dengan Tok-ong ia tidak ragu-ragu untuk cekcok dan bertempur, namun dengan Tok-sim Sian-li dia merasa malu terhadap diri sendiri, juga diam-diam dia kasihan melihat wanita yang selain menjadi gurunya, juga sangat cinta kepadanya itu, baik cinta seorang ibu mau pun cinta seorang kekasih.

Sekarang melihat orang menggunakan segerombolan anjing buas untuk menyerangnya, dia menjadi marah.

"Anjing-anjing pemakan bangkai, hari ini kalian mampus!" Tanpa turun dari kudanya, Kun Hong menggerakkan tangan kanan ke arah anjing yang sudah menggigit leher kudanya.

"Kuiikk…!" Meski pun kepalan tangan Kun Hong tidak mengenai anjing itu, tetapi binatang ini mengeluarkan suara satu kali dan terlempar dalam keadaan tidak bernyawa lagi, dari hidung dan mulutnya mengalir darah!

Kun Hong tak mau membuang banyak waktu lagi. Dia turun dari atas kudanya lalu kedua tangannya digerakkan ke kanan kiri. Dalam waktu beberapa detik saja, setelah menguik- nguik beberapa kali, semua anjing yang mengeroyok tadi sudah menggeletak bertumpuk-tumpuk, semuanya mati dengan mata dan hidung mengalirkan darah, bahkan yang luka di kepalanya paling parah, tampak darah mengalir keluar dari mata dan hidung. Bukan main hebatnya pukulan-pukulan jarak jauh yang dilontarkan oleh Kun Hong!

"Aduhai para iblis hutan yang perkasa! Dari mana datangnya seorang pemuda yang begini gagah dan ganteng?" Terdengar seruan kagum.

Kun Hong mendengar suara ini seperti suara wanita yang tadi menyuruhnya berhenti lalu memberi perintah kepada anjing-anjing yang kemudian mengeroyoknya. Ia cepat menoleh dan memandang, lantas menjadi tertegun ketika melihat bahwa wanita itu ternyata adalah seorang perempuan muda remaja yang berdiri memandang padanya dengan mata kagum dan mata terbelalak.

Perempuan ini tidak bisa disebut cantik, tidak secantik Tok-sim Sian-li, hanya perempuan dusun yang pakaiannya terbuat dari kain kasar dengan potongan sederhana. Akan tetapi dia masih muda dan bentuk tubuhnya menarik, kulitnya pun bersih. Luluh kemarahan hati Kun Hong. Jika perempuan ini tua sedikit saja, atau tidak memiliki bentuk tubuh demikian menggiurkan, tentu sejak tadi Kun Hong telah melakukan pukulan mautnya pula terhadap pemilik anjing-anjing itu.

"Salahmu sendiri, terpaksa aku membunuh anjing-anjingmu," akhirnya dia berkata sambil menoleh ke arah bangkai anjing yang bertumpukan.

"Tidak apa-apa, malah terima kasih kau sudah membunuh mereka. Aku tidak perlu susah-susah lagi harus menyembelih mereka,” jawab gadis dusun itu.

"Menyembelih mereka? Untuk apakah? Apa mau ada pesta?” tanya Kun Hong.

Gadis itu mengangguk. "Ayah pulang dari kota dan kami kedatangan tamu agung, patut dijamu dengan masakan daging anjing yang lezat."

"Tamu agung? Siapa?"

"Kau sendiri!" Gadis itu tertawa ngikik sehingga Kun Hong ikut tersenyum.

"Kau siapakah dan kenapa kau berada di dalam hutan seorang diri hanya dengan anjing-anjingmu yang galak?"

"Namaku Kim Li, bersama ayah tinggal di tengah hutan, bekerja sebagai pemburu. Telah seminggu lamanya ayah pergi ke kota menjual kulit binatang, hari ini pasti pulang. Tadi aku melihat kau lewat dengan kudamu yang bagus, kukira makanan empuk, tidak tahunya tulang keras! Anjing-anjingku sudah mati, daging bertumpuk-tumpuk, sayang bila dibuang begitu saja. Aku suka padamu, kau gagah dan tampan. Mari ikutlah denganku ke rumah, akan kubuatkan masak daging anjing yang lezat sambil menunggu datangnya ayah. Mau, bukan?"

Memang Kun Hong sedang merasa lapar bukan main. Perutnya minta diisi. Dia pandang lagi gadis di depannya itu penuh perhatian. Lumayan, manis juga kalau tersenyum. Akan tetapi dia lantas teringat akan gurunya yang mungkin mengejarnya, maka dia menoleh ke belakang, ragu-ragu.

"Kau seperti orang sedang melarikan diri. Siapa sih yang mengejar dan mengancammu? Jangan khawatir, kalau ada musuh mengejar, aku akan membantumu melawan dia. Kau begini muda dan gagah perlkasa. mengapa hatimu kecil? Perlu banyak makan hati anjing kalau begitu."

Kun Hong tertawa lantas melompat mendekati gadis itu sambil menuntun kudanya. "Kau anak baik. mari aku ikut kau ke rumahmu."

Kim Li girang sekali. Tanpa ragu-ragu lagi ia menyambar lengan Kun Hong, digandengnya sambil berkata, "Kau tidak keberatan membantuku membawa bangkai-bangkai anjing itu, bukan?"

Kun Hong menggelengkan kepalanya dan kedua orang muda itu lalu mengambili bangkai-bangkai anjing, ditumpuk di punggung Hek-liong-ma yang sudah tenang kembali. Sambil tertawa-tawa dan bergandengan tangan mereka lalu memasuki hutan menuju ke rumah Kim Li.

Kim Li adalah seorang gadis yang sejak kecil sudah ikut ayahnya bekerja di dalam hutan-hutan sebagai pemburu binatang-binatang buas. Dia tidak beribu lagi, hanya hidup berdua ayahnya yang bernama Ciok Sam, seorang pemburu binatang yang kasar dan mempunyai kepandaian ilmu silat yang tinggi juga. Oleh karena selalu keluyuran dari hutan ke hutan. Kim Li menjadi seorang gadis yang kasar pula, liar dan tidak malu-malu seperti umumnya gadis-gadis kota.

Ayahnya seorang kasar yang jujur, selalu menyatakan apa yang terasa di dalam hati dan pikiran. Demikian pula Kim Li tak pernah menyembunyikan perasaannya. Kalau orang lain yang membunuh anjing-anjingnya, tentu dia akan menjadi marah dan menyerangnya mati-matian. Namun begitu melihat Kun Hong, hati gadis hutan sederhana ini sekaligus terpikat dan tunduk!

Yang disebut rumah oleh Kim Li ternyata hanyalah sebuah pondok kecil sederhana saja, tempat berteduh pada waktu hujan. Dengan wajah berseri-seri dan hati girang sekali Kim Li menyuruh Kun Hong menunggu sedangkan dia sendiri sibuk memasak daging anjing. Ternyata gadis ini mempunyai persediaan bumbu yang cukup banyak dan lengkap.

"Ayah seorang yang suka makan enak, maka tiap kali datang dari kota ia tentu membawa bumbu-bumbu dan aku dipaksa belajar masak enak," kata Kim Li sambil sibuk memasak untuk tamunya.

Kun Hong yang merasa lelah, tanpa sungkan-sungkan lagi lalu melonjorkan tubuh rebah di atas tanah yang ditimbuni daun-daun kering, lalu tidur dengan nyenyaknya. Kim Li hanya tertawa saja melihat tamunya tidur, melanjutkan masak dengan asyik, membuat beberapa macam masakan, memanggang daging, menanak nasi, semua ini dilakukannya dengan hati gembira. Kadang-kadang dia menengok memandang wajah Kun Hong dan dia begitu terpikat sampai beberapa kali dia kaget mendapatkan diri sendiri berdiri bengong menatap wajah yang membuat hatinya tidak karuan itu dan mukanya menjadi merah, kemudian dia tersenyum-senyum malu dan melanjutkan pekerjaannya.

Kun Hong bermimpi dikejar dan tersusul oleh Tok-sim Sian-li yang memegang lengannya lantas menarik-nariknya, mengajaknya kembali ke Wi-san. Ketika dia membuka mata dan tersadar dari tidurnya, ternyata yang menarik-narik lengannya adalah Kim Li.

Gadis ini membangunkannya, menarik-narik lengan sambil berkata dengan suara merdu. "Bangunlah, kanda, bangun. Makanan telah tersedia, mari kita makan!"

Kun Hong melompat bangun, hatinya lega bahwa yang menariknya bukan Tok-sim Sian-li, melainkan gadis hutan ini. Tercium harum yang amat sedap sehingga membuat perutnya menjadi semakin lapar.

"Aduh, enaknya bau masakanmu...!” dia memuji sambil tersenyum.

Merah wajah Kim Li, matanya bersinar-sinar girang. "Kau tidur saja tidak mau membantu orang yang sibuk masak. Hayo kita makan selagi masakan masih panas."

Kun Hong mengikuti gadis itu ke dalam dan ternyata nasi serta masakan telah tersedia di atas tanah yang telah ditilami kulit. Uap mengebul dari beberapa mangkok, membuat Kun Hong segera menyerbu. Di lain saat dua orang muda itu telah duduk berhadapan sambil makan dengan lahap dan sedapnya.

"Masakanmu enak sekali!" Kun Hong memuji sambil menghirup arak. Ia merasa puas dan timbul keinginan hati untuk melanjutkan perjalanannya.

Kim Li terlihat girang mendengar pujian ini, matanya mengerling bibirnya tersenyum lebar. "Betulkah? Kalau kau mau, setiap hari aku bisa membuatkan masakan yang enak-enak seperti itu untukmu. Eh. kau sudah tahu namaku, akan tetapi aku sendiri belum mengenal kau ini siapa."

"Namaku Kun Hong, Kam Kun Hong," jawab pemuda itu sembarangan.

"Kau datang dari mana dan hendak ke manakah?" tanya Kim Li.

Mendengar pertanyaan ini, baru Kun Hong ingat bahwa ia belum tahu ke mana sebetulnya jurusan menuju ke Wuyi-san.

"Aku hendak pergi ke Wuyi-san. Tahukah kau di mana gunung itu?"

Kim Li tertawa. "Ke Wuyi-san mengapa menuju ke barat? Ayah pernah membawa aku ke kaki bukit Wuyi-san, akan tetapi tempatnya jauh sekali di selatan, jaraknya ribuan lie dari sini. Kam-koko, kau mau apa sih pergi ke tempat sejauh itu? Lebih baik tinggal saja di sini bersama aku, senang kan?"

Girang hati Kun Hong mendengar bahwa Gunung Wuyi-san yang dicarinya itu berada di selatan. Baiknya dia bertemu dengan gadis ini, kalau tidak dia bisa terus ke barat! Ucapan terakhir dari Kim Li yang mengandung penuh maksud itu tak diacuhkannya sama sekali.

Pada saat itu terdengar suara tindakan kaki yang berat dari luar pondok.

"Heei. alangkah sedap baunya. Kim Li, kau masak apa yang begini enak baunya?" suara seorang laki-laki yang kasar parau memasuki pondok.

Pintu pondok dibuka dari luar dan masuklah seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi besar bermuka licin kemerahan. Dia memanggul bangkai seekor macan yang besar dan gemuk.

Pantas saja tindakan kakinya demikian berat. Orang ini melepaskan bangkai macan dari pundaknya, lalu menghapus keringat di jidatnya sambil berkata.

“Dalam perjalanan pulang aku bertemu dengan si loreng ini, dan kebetulan sekali aku bisa memecahkan kepalanya dengan ruyungku. Aku sudah mengilar untuk makan dagingnya, eh, sampai di sini tahu-tahu telah ada masakan yang lebih sedap!" Orang itu mendengus-dengus dan menggerak-gerakkan lubang hidungnya.

"Ehh, seperti daging anjing sedapnya!"

"Memang daging anjing ayah," jawab Kim Li. "Aku sengaja masak untuk menyambut kau datang dan kebetulan sekali ada seorang tamu. Kam-koko ini," jawaban ini diterima biasa saja oleh Ciok Sam, pemburu tinggi besar itu.

"Orang she Kam? Bagus, bagus! Kau panggil Kam-koko, heh? Hemm, bagus... memang dia tampan dan ganteng. Ha-ha-ha-ha!"

Kun Hong merasa tak enak sekali melihat sikap yang kasar ini, akan tetapi dia diam saja hanya memandang dengan kerling matanya.

Tanpa banyak upacara lagi Ciok Sam lalu menjatuhkan diri duduk di dekat hidangan yang masih banyak itu, lalu sekali sambar dia telah menggunakan sumpit yang tadi dipakai Kun Hong untuk menyumpit sepotong besar daging anjing, dimasukkan ke dalam mulut lantas dikunyah dengan lahap dan enaknya. Dia tidak sabar menunggu sampai daging itu cukup lembut dikunyah, melainkan terus saja ditelan, sampai mengeluarkan bunyi ketika melalui kerongkongnya.

"Enak... enak..." Dia menyumpit kembali. "Anjing yang mana yang kau potong ini, Kim Li? Melihat begini gemuk menggajih. agaknya si belang, akan tetapi melihat empuknya, tentu si putih yang masih muda." Kemudian, sebelum memasukkan lagi daging ke mulutnya, ia menoleh ke kanan kiri dan bertanya.

”Ehh, anjing-anjing lainnya ke mana perginya? Jangan biarkan mereka berkeliaran sendiri di hutan, kalau berjumpa loreng sebesar yang kubunuh tadi kan bisa celaka!"

"Anjing-anjing sudah habis semua ayah. Semua kumasak dagingnya..."

Daging yang sudah dibawa ke depan mulut itu terlepas dari sumpit, menggelinding di atas tanah. Sepasang mata yang lebar terpentang melotot ketika ayah ini menatap puterinya.

"Kau... kau gila...? Kau bilang sembilan ekor anjing itu kau sembelih semuanya dan kau masak dagingnya?"

Kim Li mengangguk tenang. "Terpaksa, ayah. Dari pada daging sebanyak itu membusuk kan lebih baik dimasak dan dimakan?”

"Membusuk bagaimana maksudmu?”

"Karena sembilan ekor anjing itu sudah mati semua...”

"Mati semua...?" Ciok Sam kini bangun berdiri, tubuhnya yang tinggi itu hampir sampai ke atap. "Sembilan ekor anjing itu bukan hadiah dari Kwa lo-enghiong, tetapi kutukar dengan empat puluh lima lembar kulit harimau dan serigala. Belinya tidak murah. Bagaimana bisa sembilan ekor mati sekaligus? Hayo bilang, kenapa?"

Kun Hong yang melihat Kim Li didesak menjadi tidak tega dan menjawab tenang, "Akulah yang membunuh sembilan ekor anjingmu itu."

Mendengar ini. Ciok Sam menjadi merah mukanya, matanya menjadi beringas! ”Kau yang membunuhnya, ya? Kau...?”

"Ayah, aku yang menyuruh anjing-anjing kita menyerangnya! Kusangka tadinya Kam-koko adalah daging lunak, tapi tidak tahunya tulang keras dan akibatnya anjing-anjing kita mati semua," kata Kim Li yang melihat ayahnya marah.

Kun Hong yang telah lama sekali hidup bersama orang-orang macam Tok-sim Sian-li dan Bu-ceng Tok-ong, tentu saja maklum akan arti ‘daging lunak’ dan ‘tulang keras’ ini, yaitu istilah yang dipakai oleh para anggota liok-lim untuk menerangkan keadaan calon korban yang hendak dirampok. Oleh karena itu sejak tadi dia maklum bahwa Kim Li dan ayahnya selain menjadi pemburu binatang juga pemburu manusia untuk dirampok, tapi dia bersikap dingin saja.

Mendengar ucapan anaknya, Ciok Sam tidak menjadi senang, malah semakin marah.

"Keparat ini adalah lawan yang membunuh anjing-anjing pemburu kita, tetapi kau malah menjamu dia? Benar-benar gila kau! He, orang muda. kau telah membikin kerugian besar padaku. Harga sembilan ekor anjing itu lima puluh tail lebih. Kau harus menggantinya!"

"Aku tidak punya uang," jawab Kun Hong tenang.

"Sudah kulihat kudamu di luar. Kau harus meninggalkan kuda itu sebagai penggantinya!" kata Ciok Sam marah.

Kun Hong bangkit berdiri, mulai hilang kesabarannya. "Anjing-anjing itu milikmu, sekarang semua masih ada. Bangkai-bangkainya boleh kau makan habis. Aku datang ke rumah ini atas undangan anakmu, kalau tidak, siapa yang sudi makan daging anjingmu? Kuda itu adalah milikku, tak boleh kau mengganggunya.”

"Kau tidak mau menyerahkan kuda itu?”

"Tidak, dan aku hendak pergi sekarang juga," dengan marah Kun Hong melangkah keluar dari kamar itu.

"Keparat, kalau begitu nyawamu harus kau tinggalkan!"

Mendengar seruan ini. Kun Hong tidak menoleh. Juga ia tidak menoleh ketika mendengar angin menyambarnya dibarengi pekik Kim Li yang merasa kaget melihat ayahnya sudah menyerang Kun Hong dengan ruyungnya.

"Ayah, jangan bunuh dia...!"

Tapi Ciok Sam tak mempedulikan seruan anaknya, ruyungnya menyambar dengan cepat dan kuat sekali. Dia hendak memecahkan kepala Kun Hong dengan sekali pukul, seperti yang dia lakukan terhadap harimau besar tadi.

Akan tetapi dia kecele. Nampaknya ruyung itu akan mengenai sasaran karena Kun Hong diam saja, namun sesudah dekat kepala pemuda itu, sedikit gerakan tubuh saja membuat ruyung itu menghantam angin

"Kau menjemukan!" terdengar Kun Hong berseru, sambil tangan kanannya bergerak dari samping.

"Auukkk…!"

Ciok Sam melepaskan ruyungnya, dia terhuyung-huyung lalu roboh terlentang, mulutnya mengeluarkan darah. Keadaannya persis seperti anjing-anjing yang dipukul oleh Kun Hong tadi.

Ternyata pemuda yang berilmu tinggi ini sudah mempergunakan pukulan maut Toat-sim-ciang yang ia pelajari dari Tok-sim Sian-li! Pukulan tadi sekaligus telah mengguncangkan jantung Ciok Sam dan membuatnya muntah darah.

Ciok Sam memandang ke arah anaknya dengan mata mendelik, seakan-akan ia menegur mengapa puterinya tidak membantunya menggempur Kun Hong. Kim Li agaknya mengerti pandang mata ayahnya itu, maka ia berkata terisak.

"Ayah, aku... aku cinta padanya..."

Ciok Sam menarik napas panjang, mengangguk-angguk kemudian mengeluh panjang, dan di lain saat nyawanya telah meninggalkan badan. Kim Li cepat menubruk ayahnya sambil menangis tersedu-sedu.

”Menyesal sekali aku terpaksa membunuh ayahmu yang galak," kata Kun Hong dengan hati tidak enak, kemudian pemuda ini bertindak keluar hendak meninggalkan tempat itu.

Akan tetapi Kim Li segera melompat berdiri dan menubruk memeluknya.

"Kam-koko. Jangan kau tinggalkan aku... masa kau begini kejam? Setelah ayahku tewas, hidupku hanya seorang diri... bawalah aku bersamamu..."

Kun Hong menjadi serba salah. Setelah semenjak kecil hidup bersama Tok-sim Sian-li ia paling lemah menghadapi wanita, meski pun hatinya sudah mengeras dan kejam seperti hati Bu-ceng Tok-ong! Dengan lemah-lembut dia mengusap-usap rambut Kim Li sambil berkata,

"Aku tidak dapat membawamu, Kim Li. Ayahmu mati karena salahnya sendiri. Aku tidak benci padamu. Tapi sungguh tak mungkin aku membawamu bersama dalam perjalananku yang amat jauh."

"Tetapi setidaknya jangan tinggalkan aku sekarang, koko. Tidak kasihankah kau padaku? Aku bisa mati kalau kau tinggalkan sekarang...”

Kun Hong menarik napas panjang. "Baiklah, aku akan mengawanimu sampai kau selesai mengubur ayahmu."

Demikianlah, Kun Hong yang tidak dapat bersikap keras terhadap wanita itu mengawani Kim Li bahkan bantu mengurus penguburan Ciok Sam. Tentu saja Kim Li menjadi terhibur hatinya dan cepat melupakan kesedihan hatinya ditinggal mati oleh ayahnya. Akan tetapi hanya tiga hari Kun Hong mau menemaninya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar