Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 13

“Bagus, orang-orang muda yang tidak tahu apa-apa memang lebih baik lekas pulang ke rumah masing-masing." Kakek itu mengangguk-angguk bicara seorang diri.

Karena para pemuda itu telah pergi dan telah membayar semua makanan dan minuman, maka kini kakek itu minum seorang diri dari guci arak besar dengan lahapnya. Sebentar saja mukanya sudah berubah menjadi merah karena kebanyakan minum arak. Kemudian dia menoleh kepada pemuda bertopi itu dan berkata sambil mengerutkan kening,

"Ehh, anak muda. Kenapa kau masih di sini. tidak lekas pulang ke rumah ayah bundamu dan belajar membaca kirab kuno?”

Pemuda itu tersenyum, amat manis dan nampak dia amat sabar dan tenang.

"Lopek, ke mana aku harus pulang? Aku seorang perantau, di mana aku berada di situlah rumahku, kadang-kadang berlantai bumi beratap langit.”

Mendengar jawaban ini, kakek itu nampak girang sekali- "Bagus, anak muda, kau seorang baik dan beruntung. Ha-ha-ha!" Ia mengangkat cawan araknya yang sudah ia penuhi lagi. "Senang bertemu dengan kau dan mari minum!"

Pemuda itu pun mengangkat cawan araknya dan berkata, "Kesenangan berada di fihakku lo-enghiong yang perkasa. Aku yang muda kagum sekali melihatmu."

Pada saat itu pula terdengar ribut-ribut di luar rumah makan. Ternyata para penjaga yang melanjutkan pemeriksaannya di luar telah melihat hal yang amat aneh. Di halaman rumah makan itu bergeletakan tubuh para penjaga yang tadi menyeret kakek itu keluar, berada dalam keadaan tidak berdaya, pingsan terpukul atau tertotok!

Setelah melihat bahwa kakek itu ternyata bukan orang biasa dan sudah merobohkan tiga orang penjaga, para anggota Hai-Iiong-pang menjadi marah sekali. Dengan senjata golok, pedang dan tombak mereka menghampiri kakek itu, lalu salah seorang di antara mereka membentak,

"Keladi tidak tahu diri, kau berani menghina kami orang-orang Hai-Iiong-pang?”

Sebentar saja kakek itu sudah dikurung oleh belasan orang Hai-liong-pang yang sikapnya mengancam. Akan tetapi kakek ini tenang-tenang saja, malah segera menggunakan dua jari tangan menjepit sumpit yang tadi menancap di meja setelah dilempar oleh Phang Hui, kemudian berkata,

"Kalian ini diperintah untuk menjaga tiga orang pangcu-mu di loteng, mengapa memusuhi aku yang berada di bawah? Kawan-kawanmu tadi menyeretku keluar, mereka yang tidak becus merangketku, tetapi sekarang kalian hendak menyalahkan aku. Aturan mana ini?" katanya sambil tertawa-tawa dan melanjutkan minum araknya.

"Kamilah yang akan merangketmu!" bentak seorang Hai-Iiong-pang sambil membacokkan goloknya.

Kakek itu tidak menghentikan minumnya, hanya satu kali menggerakkan sumpit bambu di tangannya. Si penyerang lantas menjerit kesakitan, goloknya terlempar dan ia berjingkrak-jingkrak ke belakang sambil memegangi lengan kanannya yang telah kena ditotok sumpit, sakitnya bukan buatan!

Orang-orang Hai-liong-pang yang lainnya berseru-seru marah dan segera menghujankan senjata mereka kepada kakek itu. Terdengar bunyi suara nyaring "trang-tring-trang-tring!" ketika kakek itu dengan cekatan menggunakan sumpit di tangan kanan dan cawan arak di tangan kiri untuk menangkis semua serangan orang-orang Hai-Iiong-pang itu, disusul oleh semburan arak dari mulutnya "whirr-whirr-whirr!”

Semburan arak dari mulut orang biasa tentu hanya akan membasahi muka dan pakaian orang seperti terkena air hujan saja, akan tetapi semburan arak dari mulut kakek ini jauh berlainan. Para pengeroyok itu menjerit kesakitan, kemudian pada lain saat mereka sudah lari pontang-panting keluar dari ruangan itu sambil menutupi muka yang terasa sakit-sakit seperti ditusuk-tusuk ratusan jarum yang runcing! Sebentar saja para pengeroyok itu telah habis berlarian keluar, tidak tahan menghadapi kakek yang ternyata seorang berilmu tinggi ini.

Pemuda sastrawan yang duduk di pojok mengangguk-anggukkan kepala perlahan dengan mata berkilat. "Seorang tokoh Kun-lun-pai...!" bisiknya perlahan kepada diri sendiri.

Sementara itu, tiga orang ketua Hai-liong-pang yang mendengar suara ribut-ribut sudah cepat muncul di kepala tangga. Alangkah kaget dan marah hati mereka ketika melihat anak buah mereka kocar-kacir dan lari cerai-berai oleh amukan seorang kakek yang tadi mereka anggap sebagai seorang tukang dongeng yang sedang dijamu oleh serombongan orang muda. Akan tetapi Phang Cu yang paling cerdik segera dapat melihat bahwa kakek itu bukanlah orang biasa, maka ia cepat berseru ke bawah,

"Sahabat yang berada di bawah, kalau orang-orang Hai-liong-pang kami berlaku lalai tidak mengadakan penyambutan sebagai tamu, silakan naik saja. Arak dan daging kami masih berlimpah-limpah di sini!"

Kakek itu memandang ke atas lalu tertawa. "Ha-ha-ha, perut! Kau mimpi apa semalam? Baru saja ada yang menjamu, sekarang ada yang menawari arak dan daging. Akan tetapi rejeki tak layak ditolak dan tidak saban hari perut mendapatkan rejeki bertumpuk-tumpuk. He, kawan muda perenung, jangan kau mimpi siang di pojok itu. Ada orang menawarkan arak dan daging, mari jangan sungkan, seji sipun (yang sungkan tak kebagian)!" Katanya kepada pemuda sasterawan yang duduk di pojok.

Pemuda itu tersenyum, mengangguk dan bangkit berdiri, lalu bersama kakek itu menaiki tangga loteng.

Mereka dipersilakan duduk menghadapi meja penuh hidangan dan mereka melihat betapa dua orang wanita muda cantik tadi tengah duduk minum arak. Tanpa malu-malu lagi kakek itu lantas duduk dan menggayam daging, terus didorong dengan arak memasuki perutnya. Sebaliknya pemuda itu hanya minum sedikit arak, tak peduli sama sekali betapa ada dua pasang mata yang bening dan genit mengerling-ngerling disertai bibir merah tersenyum-senyum memikat.

“Siapakah nama kongcu yang mulia dan tinggal di mana?” si baju hijau langsung bertanya dengan merdu dan senyum lebar memperlihatkan deretan gigi yang putih seperti mutiara.

Pemuda itu sekali lagi mengirup araknya untuk menyembunyikan rasa malu dan jengah. Selama hidupnya belum pernah ia menghadapi rayuan wanita, apa lagi wanita yang tanpa malu-malu memperlihatkan kegenitan, berani bertanya rumah dan nama kepada seorang pria yang baru saja dijumpainya!

"Aku sebatang kara, tidak ada tempat tinggal yang tetap...," jawabnya.

Si baju ungu tertawa kecil. "Iiih, agaknya kongcu belum bersedia memperkenalkan nama karena kami pun belum memperkenalkan diri. Ini adalah enci Cheng Po dan aku Ang Po. Kami enci adik saudara-saudara angkat. Kongcu siapakah?”

Pemuda itu nampak bingung dan kakek itulah yang tertawa lebar menjawab.

"Datang-datang ditanya nama, perlu apa sih? Waktu lahir pun tidak bernama, kalau sudah mati, nama pun dilupakan orang! Kami berdua datang atas undangan, paling perlu makan minum. He, kau ini siucai atau bukan kupanggil siucai (sasterawan) saja. Hayo lekas sikat habis daging-daging itu." Kakek itu tertawa terbahak.

Phang Kong bangkit berdiri, menyambar cawan arak di depan kakek itu yang telah kosong lalu mengisinya dengan arak dari guci sambil berkata,

"Kami tiga orang saudara she Phang pimpinan Hai-liong-pang berlaku kurang hormat, ada orang gagah di ruang bawah sampai tidak tahu. Harap maafkan dan biarlah siauwte minta maaf dengan secawan arak!" Dia terus menuangkan arak itu, dan meski pun sudah penuh dituang terus. Arak sampai naik lebih tinggi dari pada pinggiran cawan, namun anehnya, arak itu tidak meluber dan tidak tumpah keluar seakan-akan arak itu telah menjadi beku!

Inilah demonstrasi tenaga lweekang tingkat tinggi. Dengan hawa lweekang-nya ini, Phang Kong telah mempergunakan tenaga menyedot melalui cawan sehingga biar pun isi cawan melebihi batas tetapi tidak tumpah keluar. Dengan cawan yang terlampau penuh ini Phang Kong menghampiri kakek itu kemudian menyerahkan cawan. Maksudnya kalau kakek itu menerima cawan dan ternyata kurang pandai, pasti arak kelebihan di cawan akan tumpah membasahi tangan dan pakaian sehingga kakek itu mendapatkan hajaran. Pula ini adalah sebagai ujian. Kalau kakek itu ternyata tidak berkepandaian tinggi, maka dapat ‘dilempar’ ke luar sebagai pembalasan.

Sejenak kakek itu memandang ke arah cawan yang diangsurkan kepadanya, tidak segera menerimanya melainkan tertawa ha-ha-he-he, lalu berkata,

"Wah, kok penuh amat? Mana perutku kuat menerimanya? Jangan penuh-penuh, pangcu. Jangan sungkan-sungkan, bikin malu saja."

Dengan mulutnya kakek itu meniup ke arah arak di cawan. Tanpa dapat dicegah lagi arak itu langsung muncrat dan menyiram muka Phang Kong. Ketua nomor satu dari Hai-liong-pang itu kaget dan kesakitan, akan tetapi sebelum ia dapat berbuat sesuatu, cawan yang dipegangnya telah berpindah tangan! Kini cawan itu tidak seperti tadi, isinya hanya penuh saja tetapi tidak kelebihan seperti tadi.

Sambil tersenyum-senyum kakek itu menanti sampai Phang Kong bisa membuka kembali matanya dan menyusut mukanya yang basah, lalu sambil mengangguk dan menjura dia mengangkat cawan itu, berdongak sambil membuka mulut dan menuang cawan ke arah mulutnya. Aneh bin ajaib! Arak itu tidak mau mengalir turun, seolah-olah telah membeku di dalam cawan.

Ini namanya saling memamerkan lweekang tingkat tinggi. Kalau tadi Phang Kong hanya menahan arak itu agar tidak meluber saja, sekarang kakek itu malah menjungkir-balikkan cawan dan arak itu tidak tumpah!

"Arak pangcu enak benar, terima kasih," kata kakek itu lalu membalikkan lagi cawannya dan minum arak itu seperti biasa, seperti lajimnya manusia minum arak dari cawannya.

Wajah Phang Kong menjadi merah sekali karena dalam demonstrasi ini sudah terang dia yang mendapat malu, selain kalah juga dia mendapat hadiah, mukanya disiram arak.

Phang Cu telah melangkah maju. Orang ke dua dari ketua-ketua Hai-Iiong-pang ini selain cerdik, juga memiliki tenaga gwakang (tenaga luar) yang amat besar dan dia pun seorang ahli pedang yang cekatan dan lihai.

Ia pikir takkan ada gunanya mengadu lweekang dengan kakek ini, juga kalau menyerang begitu saja, berarti mencemarkan nama kehormatannya sebagai pangcu Hai-liong-pang, apa lagi di situ ada tamu-tamu terhormat seperti utusan dari Pulau Pek-go-to itu. Sambil tersenyum Phang Cu mempergunakan sebatang sumpit, menusuk sepotong daging lantas menghampiri kakek itu.

"Orang tua yang gagah, kakakku sudah menyuguh minuman, biar aku pangcu ke dua dari Hai-liong-pang menyuguh daging kepadamu dan kepada siucai muda itu, masing-masing sepotong!" Begitu kata-katanya habis diucapkan, sumpit yang ada daging di ujungnya itu dia gerakkan menusuk ke arah mulut kakek tadi!

"Kamsia (terima kasih)…!" kakek itu berkata sambil membuka mulutnya dan...

“Cappp!" daging memasuki mulutnya berikut sumpit.

Sumpit itu bukan hanya dimasukkan saja melainkan ditusukkan. Bila mana penerimanya kurang pandai, sudah pasti sumpit itu akan melukai tenggorokan dan ini berarti orangnya akan tewas. Akan tetapi hebatnya, setibanya di mulut, sumpit itu macet tidak dapat terus dan tidak dapat ditarik kembali.

Phang Cu menarik dan membetot, akan tetapi sia-sia belaka biar pun dia memiliki tenaga sebesar tenaga gajah. Pada waktu Phang Cu mengerahkan semua tenaganya, kakek itu mendadak melepaskan gigitannya dan... Phang Cu terdorong ke belakang oleh tenaganya sendiri, menabrak bangku sampai roboh. Baiknya dia terdorong terus ke arah wanita baju ungu yang tersenyum manis dan berkata,

"Ji-pangcu, hati-hati sedikit!" Sambil menggerakkan tangan kiri menahan ke depan. Phang Cu tertahan dan tidak jadi jatuh oleh gerakan ini.

Diam-diam kakek ini menjadi amat kaget ketika melihat kekuatan lweekang dari jarak jauh ini. Dia pun maklum bahwa kepandaian wanita itu jauh lebih tinggi dari pada kepandaian tiga orang ketua Hai-liong-pang.

Phang Cu menjadi merah sekali mukanya. Setelah ia dipermainkan oleh kakek itu, ia tidak ada muka lagi untuk melanjutkan penyuguhan daging kepada siucai muda kawan kakek itu, maka ia lalu menjura dan berkata, "Biarlah penyuguhan daging kepada siucai muda ku wakilkan kepada sam-te saja."

Memang Phang Cu ini orangnya cerdik. Setelah melihat betapa kakaknya dan dia sendiri tidak nempil kepandaiannya melawan kakek itu, ia maklum bahwa Phang Hui juga bukan lawannya. Oleh karena itu, agar bisa mencuci malu karena dua kali kalah tadi, ia sengaja hendak mewakilkan penyuguhan daging bagi siucai itu kepada adiknya. Ia maklum betapa berangasan adanya Phang Hui itu, sehingga kalau didiamkan saja tentu Phang Hui akan melakukan sesuatu terhadap kakek lihai itu dan akhirnya menderita kekalahan yang lebih memalukan lagi.

Phang Hui memang orangnya pemarah dan keberaniannya luar biasa. Mendengar betapa dia disuruh menjadi wakil menyuguh daging kepada siucai muda yang nampaknya lemah lembut itu, dia tertawa girang.

Memang sejak tadi dia merasa iri hati dan cemburu melihat betapa dua orang tamu wanita itu kelihatan amat tergila-gila kepada siucai ini. Dia sendiri terkenal paling mata keranjang di antara saudara-saudaranya dan sejak tadi sebagian besar semangatnya sudah terbang ketika melihat bahwa tamu-tamunya adalah dua orang wanita yang cantik-cantik.

Dengan langkah lebar dia menghampiri meja di depan siucai itu, lantas mencabut sebuah pisau belati. Dengan pisau yang runcing tajam mengkilap ini ia menusuk sepotong bakso yang kecil, lalu menghampiri siucai tadi.

"Kau siucai yang masih muda, mulutmu kecil sekali, maka perkenankan aku menyuguh cacahan daging yang kecil pula!"

Karuan saja si siucai menjadi gelagapan dan nampak bingung dan takut. Siapa yang tidak takut jika membayangkan cara menyuguh bakso itu dilakukan dengan menusukkan pisau runcing itu ke mulut? Jika meleset, bibir bisa suwing, sebaliknya kalau tepat, tenggorokan bisa bolong!

"Tahan dulu, sam-pangcu!" Si baju hijau mencegah dengan suara lembut akan tetapi amat berpengaruh. "Siucai ini tidak ikut apa-apa, hanya terbawa oleh kakek itu. Penghormatan secara itu patut diberikan kepada si kakek!”

Tentu saja Phang Hui menjadi semakin mendongkol. Memang dia sudah cemburu dan iri, dan sekarang si baju hijau yang manis itu mencegah dia mencelakakan siucai tampan itu, tentu saja perutnya menjadi semakin panas.

"Dia sudah berani naik ke sini, mengapa takut menerima suguhan?" bantahnya.

Semenjak dua orang wanita itu naik ke loteng, tiga orang ketua Hai-liong-pang memang belum sempat menyaksikan kelihaian mereka. Keduanya hanya datang memperkenalkan diri bahwa mereka adalah utusan dari Thai Khek Sian-su di Pek-go-to dan datang untuk memberi peringatan kepada Hai-liong-pang bahwa yang berdaulat dan berkuasa di sekitar Kepulauan Couw-san-to adalah Thai Khek Sian-su dan setiap perahu Hai-Iiong-pang harus menghormati peraturan-peraturan yang ditentukan oleh Thai Khek Sian-su! Tapi sebelum perundingan itu selesai dibicarakan, kakek itu sudah keburu naik sehingga mengganggu pertemuan itu.

Karena belum mengetahui kelihaian dua orang utusan dari Pek-go-to itu, maka Phang Hui berani membantah dan ketua ke tiga dari Hai-Iiong-pang ini tetap melanjutkan maksudnya, menusukkan pisau berujung bakso itu ke arah mulut siucai tadi.

"Trang...!”

“Auupp…!"

Pisau itu terlepas dari tangan Phang Hui dan sial baginya, bakso di ujung pisau itu lantas mencelat dan secara kebetulan sekali memasuki mulutnya yang terbuka lebar karena kagetnya.

"Ha-ha-ha, aduh lucunya! Sam-pangcu dari Hai-liong-pang betul-betul pandai membadut. Alangkah lihai cara makan bakso seperti itu, beberapa mangkok bakso bisa lenyap dalam sekejap mata kalau menggunakan cara seperti tadi. Sekali lagi, sam-pangcu, sekali lagi! Biar lohu melihat dan menikmati!"

Siucai yang tadi ketakutan, begitu melihat kejadian ini dan mendengar omongan kakek itu menjadi geli dan ikut tertawa.

Phang Hui memandang kepada wanita baju hijau yang telah menyambit pisaunya dengan sumpit sehingga pisaunya tadi terlepas dari tangan dan bakso masuk ke dalam mulutnya terus menggelinding memasuki perutnya. Ia hendak marah kepada wanita baju hijau itu, akan tetapi agak jeri karena dari sambitan tadi dia tahu bahwa wanita itu lihai sekali.

Kemudian, sesudah mendengar suara ejekan kakek tadi, semua kemarahannya sekaligus berpindah kepada kakek itu, bahkan semakin memuncak. Tubuhnya yang gemuk pendek kelihatan semakin pendek lagi ketika ia mencabut sebuah golok panjang dari pinggangnya dan menghampiri kakek itu dengan tubuh agak direndahkan, siap untuk menerjang seperti seekor harimau mengintai korban.

"Setan tua, beraninya kau menghina Koai-to Phang Hui!" serunya marah sekali, mukanya merah dan lubang hidungnya berkembang-kempis. Memang Phang Hui terkenal akan ilmu goloknya, sebab itu dia mendapat nama poyokan Koai-to (Si Golok Setan). "Tuanmu akan membikin kau menjadi setan tak berkepala!"

Golok besar itu menyambar cepat, suaranya bersiut mendatangkan angin, bergemerlapan mengerikan.

"Aiiit, aduh galaknya. Agaknya yang kau makan tadi adalah bakso perangsang, obat kuat penambah semangat!" Si kakek tetap mengejek tenang, akan tetapi secepat kilat tangan kirinya menyambar mangkok kuah dan tangan kanannya siap dengan jari tangan terbuka. Di lain saat, ketika tangan kirinya digerakkan, semangkok kuah panas menyambar muka Phang Hui dengan kecepatan yang sukar dielakkan lagi.

"Celaka...!" Phang Hui berseru kaget, cepat meloncat mundur sambil miringkan mukanya. Akan tetapi tetap saja kuah itu menyemprot leher dan pundaknya, sampai basah kuyup. Kalau lidah yang sudah biasa akan kuah panas, agaknya akan merasa segar bila disiram kuah itu, akan tetapi kulit leher dan pundak yang tidak biasa, seketika menjadi merah dan panasnya membuat Phang Hui jingkrak-jingkrak dan kelejetan.

"Aauphh... panas... panas...!" dia mengaduh-aduh, tetapi suaranya tiba-tiba berhenti dan dia pun terguling roboh terkena totokan jari tangan kanan kakek yang lihai itu.

Kini Phang Kong dan Phang Cu terkejut sekali. Mereka tidak nyana bahwa hari ini selagi mengadakan pertemuan dengan orang-orang Pek-go-to yang belum diketahui bagaimana lihainya, tahu-tahu muncul seorang kakek asing yang datang-datang terus saja membikin kacau dan ternyata amat lihai. Keduanya melompat maju menghadapi kakek itu.

"Hemmm, sobat yang memperlihatkan kepandaian dan sengaja mencari perkara dengan Hai-liong-pang, sebenarnya siapa dan dari manakah? Apa pula alasannya datang-datang sengaja memusuhi Hai-liong-pang?" tanya Phang Kong sambil mencabut pedangnya, juga Phang Cu telah mencabut pedangnya yang tipis dan bentuknya agak melengkung seperti senjata orang-orang dari barat.

Sekarang kakek itu berkata dengan suara sungguh-sungguh. "Telah lama aku mendengar bahwa di daerah ini muncul Hai-liong-pang yang benar-benar merupakan hai-liong (naga laut) yang jahat bagi rakyat nelayan. Karena aku paling tidak senang mendengar adanya binatang-binatang laut yang mengganas di darat, aku sengaja hendak menyelidiki ke sini dan ternyata memang Hai-Iiong-pang mempunyai kaki tangan yang ganas sekali. Kalau saja pemimpinnya tidak jahat dan dapat mengatur keadilan, menekan dan melenyapkan keganasan kaki tangannya, mengatur agar supaya rakyat nelayan dapat hidup beruntung dan cukup sandang pangan, aku orang tua akan pergi dengan senang hati dan tidak mau mencampuri urusan orang. Biar orang jangan panggil aku Seng-goat-pian Kam Ceng Swi lagi apa bila aku suka mencampuri urusan orang lain yang tidak bersifat menindas rakyat jelata."

Mendengar nama ini, Phang Kong dan Phang Cu kelihatan terkejut sekali. Memang Kam Ceng Swi adalah seorang tokoh Kun-lun yang sangat terkenal sebagai seorang pendekar yang budiman, terkenal pula kelihaian dengan senjatanya yang istimewa, yaitu tali yang di kedua ujungnya terdapat senjata tajam berbentuk bulan dan bintang. Karena senjata ini maka dia mendapat julukan Seng-goat-pian (Senjata Pian Bintang Bulan).

"Kami Hai-liong-pang tidak ada permusuhan dengan fihak Kun-Iun-pai, juga kami adalah nelayan-nelayan yang menyewakan perahu, hidup mengandalkan nasib baik di tengah laut mencari ikan. Sekarang bagaimana kau bisa menyebut kami penjahat-penjahat pemeras rakyat nelayan?” kata Phang Cu.

Kam Ceng Swi tertawa bergelak-gelak. "Kalau di dunia ini semua orang dapat melihat dan mengakui kesalahan sendiri, dunia akan menjadi aman dan tenteram. Kalau ketua-ketua Hai-liong-pang bisa melihat kesalahan sendiri, Hai-liong-pang tak akan menjadi Hai-liong-pang seperti yang sekarang ini! Karena tidak dapat melihat sendiri, aku membantu kalian melihat kesalahan itu dan merobahnya. Melarang nelayan menggunakan perahu sendiri, merampas perahu, menyewakan perahu dengan peraturan seenaknya sendiri, memungut hasil terbesar dan membagi untuk nelayan hanya asal mereka tidak kelaparan, bukankah ini memeras namanya?”

Phang Kong tidak dapat menahan marahnya lagi. "Orang she Kam! Kau sombong amat. Kau ini berhak apakah hendak mengatur pekerjaan dan cara hidup kami?”

Phang Cu juga sudah marah. "Persetan dengan dia, twako. Dikiranya kita takut. Serang!"

Dua batang pedang dengan cepatnya meluncur dan menyerang Kam Ceng Swi. Tokoh Kun-lun ini mengeluarkan suara mengejek. Ia membuat gerakan aneh dengan kaki tangan dan tubuhnya.

"Traangg...! Traaangg...!"

Dua saudara Phang itu melompat mundur. Mereka menjadi terkejut sekali karena merasa tangan mereka menjadi pegal-pegal sesudah pedang mereka ditangkis oleh senjata bulan di ujung kiri tali yang tahu-tahu sudah berada di tangan Kam Ceng Swi.

"Kalian memang benar jahat, tidak cukup dihajar dengan kata-kata," kata Kam Ceng Swi dan sebelum dua orang pengeroyoknya sempat tergerak menyerang, dia sudah memutar senjatanya lebih dahulu dan di lain saat dua orang saudara Phang itu menjadi sibuk tidak karuan. Dalam pandangan mereka, seakan-akan segala bintang dan bulan di langit runtuh berhamburan, menyambar-nyambar ke arah mereka dengan kecepatan luar biasa sampai mata mereka menjadi berkunang!

Mereka masih berusaha mengerahkan tenaga dan kepandaian, dengan memutar pedang melindungi diri dan balas menyerang. Akan tetapi ternyata mereka hanya dapat bertahan belasan jurus saja.

Tanpa mereka ketahui bagaimana caranya, tahu-tahu secara berturut-turut pedang mereka sudah terlibat tali dan dibetot hingga terlepas dari tangan mereka! Sebelum mereka dapat melompat mundur, senjata bintang telah menghantam pinggang Phang Kong dan senjata bulan menghantam pundak Phang Cu, membuat tubuh dua orang ketua Hai-liong-pang itu terjungkal dan merayap-rayap mundur dalam keadaan terluka, tidak membahayakan jiwa akan tetapi cukup parah.

Tiba-tiba berkelebat bayangan hijau dan ungu dan dua sinar berkeredepan menyambar ke arah tubuh Kam Ceng Swi.

"Ayaaaa... lihai sekali...!” seru tokoh Kun-Iun ini dengan kaget.

Baiknya Kam Ceng Swi dapat bergerak luar biasa cepatnya, memutar senjata Seng-goat-pian sedemikian rupa sehingga tubuhnya seperti dilindungi oleh sebuah benteng baja dan dua batang pedang yang menyerangnya tadi terpaksa ditarik mundur. Namun Kam Ceng Swi merasa ada sesuatu yang tidak beres dan ketika dia memperhatikan, ternyata ujung lengan baju kirinya sudah terbabat putus. Keringat dingin membasahi jidatnya ketika dia berkata perlahan,

"Berbahaya sekali..." Dia berdiri tegak memandang ke arah dua orang wanita muda yang tahu-tahu sudah berdiri di hadapannya dengan pedang terhunus di tangan, sikap mereka kereng sekali.

"Orang-orang Kun-lun-pai mulai dari Pek Mau Sianjin sampai murid-muridnya, semuanya adalah manusia-manusia usil yang gatal tangan, senang mencampuri urusan orang lain! Kiranya murid Kun-lun yang bernama Seng-goat-pian Kam Ceng Swi juga tak terkecuali!" kata wanita baju hijau sambil tersenyum, akan tetapi matanya bersinar tajam menyambar ke arah kakek itu.

Kam Ceng Swi adalah tokoh kang-ouw yang sudah banyak pengalaman. Dari serangan satu gebrakan tadi saja tahulah ia bahwa biar pun dua orang wanita di depannya ini masih muda-muda, tapi agaknya memiliki kepandaian ganas dan lihai yang tak boleh dipandang ringan sama sekali. Maka dia lalu menjura dan berkata, juga dengan senyum.

"Tidak lohu (aku yang tua) sangkal, kata-kata lihiap memang tepat sekali. Orang Kun-lun-pai memang selalu mencampuri urusan orang, yaitu urusan yang tak adil. Memang murid-murid Kun-lun-pai belajar ilmu silat untuk membela yang lemah membasmi yang jahat, maka kami selalu mencampuri urusan orang lain. Bukankah demikian pula dengan semua murid partai persilatan seperti Siauw-lim-pai. Go-bi-pai, Hoa-san-pai; Kong-thong-pai dan yang lain-lain?" Dengan kata-kata ini Kam Ceng Swi hendak bertanya, sesungguhnya dua orang itu dari partai mana karena terus terang saja dalam segebrakan tadi dia tidak dapat mengenal gaya ilmu silat pedang mereka.

Tetapi si baju hijau menjawab sambil tersenyum mengejek, "Itu kan menurut pendapatmu. Kalau menurut pendapat kami, orang yang mencampuri urusan orang lain adalah orang-orang usil yang patut dibasmi. Orang-orang Kun-lun, Siauw-lim. Go-bi dan lain-lain adalah manusia-manusia sombong yang menganggap diri sendiri paling gagah, paling baik dan paling bersih. Cih, memuakkan perut!"

Kam Ceng Swi terkejut. Ucapan semacam ini hanya dapat dikeluarkan oleh orang-orang dari satu golongan saja, yaitu golongan sia-pai atau pemeluk Mokauw! Ia memang sudah mendengar berita selewat bahwa di antara pulau-pulau Couw-san-to terdapat pulau yang dijadikan sarang benggolan Mokauw.

"Hemm, agaknya ji-wi mewakili fihak Mokauw. Entah siapakah gerangan yang bertahta di Kepulauan Couw-san-to?”

"Kami adalah utusan dari Thai Khek Sian-su. Kau yang mengganggu tugas kami sudah seharusnya dihukum. Berlututlah!" kata wanita baju hijau.

Kam Ceng Swi berubah air mukanya. Tidak dinyana sama sekali bahwa dia berhadapan dengan dua orang utusan Thai Khek Sian-su, orang nomor satu dari fihak Mokauw, orang yang berilmu tinggi sekali, bahkan yang dikabarkan bukan manusia melainkan iblis sendiri yang turun ke dunia untuk memimpin para penjahat!

Dia maklum bahwa meiawan mereka ini berbahaya sekali, dan kalau dia berlutut mungkin hukumannya ringan, sebaliknya melawan mereka berarti mati, betapa pun tinggi ilmunya! Akan tetapi, seorang pendekar gagah perkasa seperti Kam Ceng Swi, mana sudi berlutut minta ampun di depan penjahat? Ia bersedia mengalah dalam segala hal, bersedia sabar, akan tetapi berlutut minta ampun di depan utusan-utusan Thai Khek Sian? Tidak sudi!

"Sebelum Kam Ceng Swi tewas, mana bisa kau menyuruh dia berlutut?" bentaknya dan senjata Seng-goat-pian di tangannya sudah diputar untuk melindungi dirinya.

"Kalau begitu kau harus mati!” bentak si baju hijau.

Seperti sepasang sinar kilat dari angkasa, pedangnya dan pedang si baju ungu tahu-tahu sudah menyambar cepat sekali. Kam Ceng Swi menangkis, maka terjadilah pertempuran hebat dan sengit di loteng rumah makan Tung-thian itu.

Seng-goat-pian Kam Ceng Swi adalah seorang tokoh persilatan yang lihai. Di samping ilmu silatnya yang dia warisi dari Kun-lun-pai di mana dia merupakan tokoh pertengahan, juga sebagai seorang pembesar militer Kerajaan Cin dahulu, ia memiliki pengalaman luas dalam soal persilatan. Inilah sebabnya maka dia dapat menciptakan senjata aneh seperti Seng-goat-pian yang agaknya hanya satu-satunya di dunia kang-ouw.

Dapat dibayangkan betapa tinggi ilmunya, hanya sedikit di bawah tingkat ketua Kun-lun-pai sendiri. Pek Mau Sianjin, oleh karena Kam Ceng Swi mendapat bimbingan langsung dari seorang jago tua Kun-lun, susiok dari Pek Mau Sianjin yang bernama Liong Tosu.

Akan tetapi, kali ini menghadapi dua pedang di tangan dua orang wanita utusan dari Pek-go-to, dia benar-benar menjadi sibuk sekali. Belum pernah dia melawan ilmu pedang yang begini anehnya, sangat cepat dan ganas, ilmu silat yang sama sekali tidak mengandung keindahan dan agaknya penciptanya tidak mempedulikan segi keindahannya, melainkan setiap gerakan khusus untuk mematikan lawan!

Kam Ceng Swi mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, piannya yang berujung bulan sabit dan bintang itu digerakkan cepat untuk melindungi tubuhnya dan untuk balas menyerang. Namun ia hanya dapat bertahan sampai lima puluh jurus saja.

Gerakan pian-nya mulai menyempit, gulungan sinar pian yang tadinya panjang sekarang menjadi semakin pendek dan kecil, tanda bahwa dia mulai terkurung dan hanya mampu mempertahankan diri secara mati-matian saja.

"Seng-goat-pian Kam Ceng Swi, hayo cepat lempar senjata dan berlutut minta ampun!" terdengar si baju ungu membentak sambil mendesak terus.


"Kam Ceng Swi adalah seorang jantan tulen, mana sudi berlutut di depan siluman-siluman betina?" bentak jago Kun-lun itu sambil bertahan mati-matian.

Baiknya senjatanya terbuat dari pada bahan yang kuat, juga talinya ulet sekali sehingga tidak sampai rusak oleh desakan dua pedang itu. Akan tetapi ia benar-benar sudah payah dan mengerti bahwa sebentar lagi ia tentu akan roboh.

Pada saat yang sangat berbahaya bagi Kam Ceng Swi jago Kun-Iun yang gagah perkasa itu, tiba-tiba terdengar pujian halus,

"Orang gagah seperti Seng-goat-pian Kam Ceng Swi pada waktu sekarang sudah jarang terdapat, sungguh membikin orang kagum!"

Yang bicara ini ternyata adalah pemuda sasterawan tadi. Dia telah berdiri dari bangkunya dan berjalan menghampiri tempat pertempuran.

Di antara tiga orang ketua Hai-liong-pang, Phang Cu paling berat lukanya karena tulang pundaknya patah ketika terpukul oleh senjata bulan sabit dari Kam Ceng Swi. Karena itu, ketika Phang Kong dan Phang Hui maju menghadang siucai itu, dia tidak dapat ikut.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar