Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 58

Pada suatu pagi tampak seorang pemuda sedang berjalan cepat sekali menuju ke tempat itu, pandang matanya mencari-cari dan akhirnya ia bisa menemukan Tung-hai Sian-li yang bersila di dalam goa. Untuk sejenak pemuda ini nampak tercengang, kemudian wajahnya membayangkan keharuan besar dan serta-merta dia menjatuhkan diri berlutut di hadapan Tung-hai Sian-li.

"Sian-li yang mulia, teecu Thio Wi Liong datang menghadap," kata pemuda ini yang bukan lain adalah Wi Liong.

Sesudah mengalami pahit getir dalam mencari kekasihnya, Siok Lan, akhirnya pemuda ini teringat kembali pada Tung-hai Sian-li dan sekarang datang untuk mengabarkan tentang kematian Siok Lan. Tetapi alangkah kagetnya ketika dia melihat keadaan Tung-hai Sian-li. Sekali pandang saja tahulah Wi Liong bahwa wanita ini menderita hebat sekali, mukanya yang pucat kehijauan membayangkan luka dalam dada yang berbahaya.

Mendengar suara Wi Liong, Tung-hai Sian-li membuka kedua matanya dan untuk sedetik mata itu bercahaya penuh harapan ketika mulutnya mengajukan pertanyaan lemah.

"Wi Liong, apa kau sudah menemukan Lan-ji?"

Wi Liong merasa seperti tertikam ulu hatinya mendengar pertanyaan ini. Wajahnya pucat dan dengan lemah dia berkata, "Siok Lan sudah... sudah meninggal dunia..."

Tung-hai Sian-li adalah seorang wanita yang kuat lahir batin. Akan tetapi pada saat itu dia sedang menderita sakit dan berita ini benar-benar mendatangkan pukulan yang tak dapat dia tahan lagi. Dia menggigit bibir meramkan mata, terengah-engah.

"Sudah kuduga... sudah kuduga... anak keras hati... kau... kau..."

Dia mengangkat tangan hendak memukul Wi Liong yang masih berlutut tanpa bergerak, sama sekali tidak mempunyai niat untuk menghindarkan pukulan ini. Akan tetapi sebelum menjatuhkan pukulan, tubuh Tung-hai Sian-li yang duduk bersila itu roboh terguling dalam keadaan pingsan!

Ketika wanita itu siuman kembali, dia mendapatkan dirinya dirawat dengan sangat telaten dan perhatian oleh Wi Liong. Dia menjadi terharu. Betapa pun juga harus dia akui bahwa pilihan hati anaknya ini memang seorang pemuda yang baik hati. Kalau tidak, masa sudi merawatnya?

"Wi Liong, berapa lama aku pingsan?” tanyanya, dan sekarang suaranya terdengar halus, tidak terengah lagi seakan-akan semua penderitaan sudah lenyap dari dada wanita ini.

“Kau pingsan sampai dua hari dua malam, Sian-li.” jawab Wi Liong tenang. "Harap engkau suka beristirahat yang tenang, biar teecu menjagamu di sini."

Tung-hai Sian-li menghela napas panjang, "Dan selama itu kau menjaga dan merawatku? Aah, ternyata Siok Lan benar. Kau seorang yang patut menjadi mantuku... sayang sekali Siok Lan berusia pendek. Coba ceritakan, bagaimana kau bisa tahu dia telah mati?”

Dengan singkat dan sangat hati-hati Wi Liong lalu menceritakan pengalamannya, tentang pertemuannya dengan Siok Lan, kemudian tentang berita yang dia dengar dari See-thian Hoat-ong mengenai kematian Siok Lan yang membunuh diri di sungai sepeninggalnya dari tempat bekas tunangannya itu.

"Aku seorang berdosa besar, Sian-li, berdosa kepada adik Lan. Maka aku akan menerima dengan hati terbuka kalau kau hendak membunuhku." Pemuda Itu menutup ceritanya.

Tung-hai Sian-li menggelengkan kepala. "Kau anak yang baik, kau temanilah aku sampai datang maut merenggut nyawaku. Takkan lama lagi, Wi Liong.”

"Jangan kau berkata seperti itu, Sianli," jawab pemuda itu penuh keharuan, akan tetapi ia tidak bisa membantah karena dia sendiri pun tahu bahwa wanita ini memang sudah tidak dapat diharapkan hidup lebih lama lagi.

Tung-hai Sian-li bangkit lantas duduk bersila, memberi isyarat agar Wi Liong mendekat, kemudian dia meletakkan tangan kanannya di atas kepala pemuda itu.

"Aku menyesal... aku menyesal bila teringat akan hidupku yang lalu. Kau anak yang baik, aku ingin sekali melihat anakku menjadi kawan hidupmu, melihat anakku hidup bahagia di samping suami baik seperti kau..."

Wi Liong makin terharu, menyangka bahwa saking sedihnya tentu ingatan wanita ini tiba-tiba menjadi rusak. Maka dia memperingatkan, "Sian-li, harap ingat. Adik Sok Lan sudah meninggal dunia, sudah bebas dari derita dunia..."

Tung-hai Sian-li tersenyum, kemudian menarik napas. "Jangan anggap aku telah berubah ingatan, anakku. Sebetulnya aku... aku masih mempunyai anak lain... dan..."

Tiba-tiba dia menghentikan kata-katanya lalu memandang keluar goa. Wi Liong juga tahu bahwa di luar ada orang-orang datang, maka dia bersiap sedia. Terdengar suara ketawa aneh di luar goa.

"Hah-hah-kak-kak-kak... kalian lihat! Wanita tidak tahu malu itu benar-benar menjemukan. Sudah tua bangka akan tetapi masih saja berteman dengan seorang lelaki muda di dalam goanya! Sungguh tak tahu malu. Lin-ji, apa kau masih ragu-ragu?”

Suara parau tadi segera dijawab oleh suara wanita yang dingin dan nyaring, "Ahh, benar-benar keparat! Ayah, biar aku lenyapkan nyawanya dari sini saja, bersama anjing jantan itu!" Pada saat itu pula menyambarlah enam buah Kim-thouw-ting (Paku Kepala Emas) ke arah Tung-hai Sian-li dan Wi Liong.

Senjata-senjata rahasia ini menyambar dengan hebat, cepat bertenaga dan yang diserang adalah jalan-jalan darah maut yang penting!

"Keji...!" Wi Liong berseru, tangannya bergerak dan sekali sampok saja angin pukulannya telah meruntuhkan enam buah paku itu. "Setan-setan kejam dari manakah datang-datang menyerang orang?” Tubuhnya berkelebat keluar goa.

Ketika Phang Ek Kok yang datang bersama Lin Lin dan Lan Lan melihat bahwa pemuda ini adalah pemuda yang pernah ribut dengan dia dan Lan Lan di rumah makan tempo hari, tanpa banyak bicara lagi dia lalu menggerakkan senjatanya menyerang dengan hebat.

Wi Liong belum sempat memperhatikan tiga orang itu, apa lagi dua orang gadis kembar itu. Tahu-tahu dia telah disambar oleh senjata yang aneh, yaitu roda golok yang dahsyat. Tentu saja dia tidak membiarkan dirinya kena digergaji oleh senjata ini. Cepat ia mengelak dan mencabut sulingnya karena maklum bahwa penyerangan yang demikian hebat hanya dapat dilakukan oleh lawan tangguh.

Ek Kok menyerang lagi dengan penasaran, akan tetapi gerakan Wi Liong terlampau aneh baginya. Hanya dalam beberapa gebrakan saja ujung suling pemuda itu sudah menotok jalan darah thian-hu hiat.

Ek Kok adalah seorang ahli lweekang. Dia mencoba sekuat tenaga melawan totokan ini. Namun sia-sia, walau pun tidak segera roboh, dia merasakan tubuhnya lemas semua dan makin dia menahan, makin lemas dan mengantuklah matanya. Dengan terhuyung-huyung dia menghampiri sebuah pohon, lalu menjatuhkan diri bersandar pada batang pohon dan... mengorok pulas dengan janggut di dada dan senjatanya masih di tangan!

"Keparat, berani merobohkan ayah!“ Inilah teriakan Lin Lin yang sudah mencabut pedang dan melakukan tusukan kilat.


Hampir saja tusukan ini menembus dada Wi Liong karena pemuda ini tadi berlaku lambat sekali saking herannya melihat Lin Lin. Baiknya dia masih keburu memiringkan tubuhnya sehingga pedang itu hanya merobek bajunya saja.

"Kau... kau... Bu-beng Siocia...?” tanya Wi Liong dan kini barulah ia teringat bahwa kakek bersenjata roda golok itu adalah kakek yang tempo hari ia lihat di dalam restoran bersama Bu beng Siocia dan seorang pemuda tinggi besar.

Tiba-tiba terdengar tertawa mengejek. "Adik Lin, habiskan saja pemuda ceriwis tidak tahu malu ini!"

Wi Liong melirik dan tiba-tiba wajahnya menjadi pucat sekali. Dia melompat mundur, agak limbung dan menggunakan tangan kirinya untuk menggosok-gosok kedua matanya agar sadar dari mimpi. Dia merasa seperti orang bermimpi menghadapi dua orang gadis yang seujung rambut pun tiada bedanya dengan Siok Lan!

Celaka, pikirnya, bukan Tung-hai Sian-li yang berubah pilkiran, melainkan aku yang sudah gila. Setiap orang gadis kelihatan seperti Siok Lan oleh mataku!

"Nanti... nanti dulu... Bu-beng Siocia, aku... aku..." katanya gagap.

Akan tetapi Wi Liong tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena dua orang gadis yang sudah marah melihat ayah mereka dirobohkan itu, sudah menyerangnya dengan pedang di tangan. Serangan yang dilakukan oleh Lan Lan sih tidak begitu hebat, akan tetapi yang dilakukan oleh Lin Lin benar-benar luar biasa dahsyatnya hingga membuat Wi Liong kaget dan cepat-cepat pemuda ini menggunakan sulingnya untuk melindungi diri.

"Ji-wi siocia... nanti dulu... kenapa ji-wi (kalian) menyerangku...?" tanya Wi Liong gagap. Dia masih pening melihat dua orang ‘Siok Lan’ mengeroyoknya.

Akan tetapi Lan Lan dan Lin Lin tidak mau banyak bicara lagi, terus menyerang dengan penasaran sekali. Lebih-lebih Lin Lin.

Selama hidup untuk pertama kalinya dia menghadapi lawan pandai, yaitu Kun Hong ketika bertanding dengan pemuda itu di Ban-mo-to. Ia mengira bahwa Kun Hong sebagai murid Thai Khek Sian merupakan kekecualian maka dia tak begitu penasaran ketika tak dapat mengalahkannya.

Akan tetapi kenapa sekarang muncul lagi seorang pemuda lain, pemuda yang tampan dan tampak lemah akan tetapi hanya dengan suling di tangan dapat menahan serangannya? Benar-benar dia merasa penasaran bukan main!

Dengan gemas Lin Lin terus menyerang, pedangnya berubah menjadi sinar terang yang menyambar-nyambar, tubuhnya bergerak cepat sekali, kadang kala seperti burung terbang saja. Ginkang-nya begitu sempurna hingga beberapa kali Wi Liong mengeluarkan seruan kagum.

Kini Wi Liong dapat membedakan kedua orang gadis kembar ini, bukan dari wajah atau bentuk tubuh yang sedikit pun tiada bedanya, melainkan dari kepandaiannya. Kepandaian dua orang gadis ini seperti bumi-langit bedanya. Dan ia tahu pula bahwa Bu-beng Siocia, gadis yang ia temui dalam restoran itu, adalah gadis yang kini mengeroyoknya dan yang kepandaiannya masih rendah. Sebaliknya yang amat pandai adalah Siok Lan ke tiga, atau Bu-beng Siocia (Nona Tak Bernama) yang baru muncul.

Tiba-tiba dari balik batu karang muncul seorang pemuda tampan. Untuk sejenak pemuda ini hanya berdiri tercengang melihat Wi Liong dikeroyok oleh dua orang gadis kembar itu, kemudian dia berlari menghampiri sambil berseru,

"Ji-wi siocia (nona berdua), tahan senjata! Kalian salah menyerang orang. Dia ini adalah kawan baikku!" Cepat sekali gerakan pemuda ini karena tahu-tahu dia sudah melompat dekat dan melerai yang sedang bertempur.

Lin Lin yang melompat mundur melihat bahwa yang datang adalah Kun Hong. Ia merengut dan semakin marah meski pun hatinya agak berdebar juga karena tak mungkin dia akan menang kalau pemuda ini datang membantu lawan,.

Wi Liong tersenyum ketika melihat bahwa yang datang ini adalah Kun Hong. Akan tetapi dia tidak pedulikan Kun Hong. malah sekarang menghadapi Lin Lin dan Lan Lan, menjura sambil berkata halus,

"Ji-wi siocia harap tidak terburu nafsu. Apakah sebabnya jiwi menyerang Tung-hai Sianli yang sedang sakit payah? Aku juga tidak mengenal dan tidak punya urusan dengan ji-wi, tapi mengapa datang-datang ji-wi menyerangku"

"Manusia tak bermalu! Kau masih bertanya lagi? Urusanmu dengan Tung-hai Sianli, mana kami sudi mencampuri? Akan tetapi kalau kau belum tahu atau berpura-pura tidak tahu, dengarlah. Dahulu Tung hai Sian-li telah melakukan penghinaan terhadap empat orang bibi kami, tidak saja menghalangi bibi kami melangsungkan pernikahan, malah telah menculik empat orang pengantin prianya!" Lin Lin membentak. "Kini kami datang hendak membalas dendam dan membunuh Tung-hai Sian-li, tidak nyana ada kau begundalnya!"

Mendengar ini, Kun Hong tertawa bergelak dengan nada mengejek. "Ngaco tidak karuan! Tidak aneh kalau orang sudah terkena racun Ban-mo-to," katanya

Wi Liong mendongkol dan penasaran sekali. Bagaimana pun juga ibu Siok Lan tidak boleh menerima hinaan begitu saja, apa lagi sepanjang pengertiannya, Tung-hai Sian-li bukanlah macam wanita yang boleh disamakan dengan Kui-bo Thai-houw. Tung-hai Sian-li adalah seorang wanita gagah perkasa, seorang tokoh kang-ouw yang disegani, tidak seperti Tok-sim Sian-li misalnya. Akan tetapi sebelum ia sempat membantah, tiba-tiba saja terdengar suara lemah,

"Siapa yang menuduhku begitu keji?" dan dengan langkah sukar dan lemah sekali Tung-hai Sian-li sudah keluar dari goa dan dengan susah payah menghampiri mereka. Agaknya dia tadi mendengar tuduhan-tuduhan yang memburukkan namanya.

Ketika tiba dekat dan melihat dua orang gadis itu yang juga memandang padanya dengan bengong, tiba-tiba sikap Tung-hai Sian-Ii berubah seakan-akan dia sedang melihat setan. Tubuhnya menggigil dan tangannya digerakkan, menuding ke arah Lan Lan dan Lin Lin, lalu terdengar suaranya gemetar,

"Kau... kau... anakku... ahh, kau anakku..." Dan tubuhnya tentu telah terguling kalau saja Kun Hong tidak cepat-cepat melompat lantas dengan sigapnya memeluk tubuh wanita tua yang sakit itu dan memondongnya. Wi Liong yang masih bingung menghadapi Lan Lan dan Lin Lin, kalah cepat oleh Kun Hong.

"Dia... dia sakit keras... harus segera dirawat. Kun Hong, bawa dia ke dalam goa,” kata Wi Liong yang mengikuti Kun Hong memasuki goa, tanpa mempedulikan lagi kepada Lan Lan dan Lin Lin yang masih berdiri bengong.

Entah mengapa, begitu melihat Tung-hai Sianli, bertemu pandang dengan wanita tua itu, mendatangkan arus ajaib yang membuat jantung mereka berdebar tidak karuan, membuat kedua kaki mereka serasa lumpuh tak dapat digerakkan lagi. Wanita tua itu cantik sekali dalam pandangan mereka, apa lagi bagi Lin Lin yang tahu bahwa wanita ini adalah isteri Kwa Cun Ek. orang yang ia kasihi sebagai ayahnya sendiri. Tanpa terasa keduanya saling pandang dan seakan-akan lupa akan keadaan Ek Kok yang masih ‘tidur’ bersandar pada sebatang pohon, mereka juga ikut berjalan ke dalam goa.

Pada saat itu Tungi-hai Sian-li sudah siuman kembali. Aneh, dia nampak lebih sehat dan segar. Cepat-cepat ia bangkit dan bertanya. "Mana mereka? Mana dua orang gadis tadi?" Kebetulan sekali Lan Lan dan Lin Lin memasuki goa.

"Itu mereka! Anak-anakku, ke sinilah... kalian adalah anak-anakku, tak salah lagi. Begitu sama dengan Siok Lan. Dahulu ketika masih bayi pun sudah serupa. Ahh... anak anakku, siapa sangka bisa melihat kalian lagi?"

"Kau keliru," kata Lin Lin akan tetapi suaranya tidak seganas tadi, malah terdengar lemah agak gemetar, "kami berdua anak ayah Phang Ek Kok."

Tung-hai Sian-li bangkit, tampak marah. Mukanya yang pucat kebiruan mendadak menjadi merah.

"Siapa dia Phang Ek Kok? Bohong besar! Kalian bocah kembar anakku! Tuhan menjadi saksi!"

"Apa buktinya?” tanya Lan Lan, juga gadis ini agak gemetar dan pucat.

"Buktinya? Aduh, anak-anakku, bagaimana seorang ibu tak akan mengenal anak-anaknya walau pun orang jahat memisahkan kita belasan tahun lamanya? Dengar, dengar ceritaku, dengar pengakuanku, pengakuan dosa di tepi jurang kematianku yang selama ini selalu kurahasiakan, sekali pun di depan bayanganku sendiri!"

Tung-hai Sian-li hampir saja jatuh terhuyung dan kembali Kun Hong yang merasa kasihan memegang lengannya lantas membantunya duduk di atas pembaringan bambu. Tung-hai Sian-li melirik kepadanya dan mengangguk-angguk berterima kasih.

"Kalian dua orang muda juga boleh mendengar sebagai saksi. Apa artinya malu bagiku, bagi seorang yang sudah mau mampus? Dengarlah, dahulu karena menurutkan nafsu hati yang bodoh, menurutkan watak yang keras dan mau menang sendiri, karena cemburu aku tinggalkan suamiku, Kwa Cun Ek serta anakku Kwa Siok Lan ketika anak itu masih kecil. Aku lalu merantau, menjagoi kalangan kang-ouw dan membuat nama besar, tidak pernah kembali kepada Kwa Cun Ek. Kemudian aku berjumpa dengan seorang pendekar muda bernama Pek Hui Houw, anak murid Kun-lun-pai yang amat gagah perkasa dan tampan. Aku... hatiku tergoda... dan dia... dia mencintaku dengan penuh ketulusan hati. Aku tidak bisa menahan godaan hati sendiri, apa lagi bersama dia aku selalu dikejar-kejar oleh Kui-bo Thai-houw. Kami berdua tidak kuat melawan dan karena kejaran yang menakutkan ini membuat kami semakin dekat..."

Tung-hai Sian-li makin terengah-engah, tak dapat melanjutkan ceritanya. Wi Liong sudah mengambilkan air dan memberinya minum. Setelah minum tiga teguk air, wanita itu dapat melanjutkan ceritanya, tidak tahu betapa mendengar nama Pek Hui Huow tadi, wajah Lin Lin menjadi semakin pucat.

"Suatu saat yang celaka bagiku, iblis menggoda kami dan setelah aku insyaf semua telah terlambat. Kemudian aku melarikan diri dari Pek Hui Houw, merasa menyesal bukan main bahwa sebagai seorang isteri dan seorang ibu aku telah tersesat dan menyeleweng. Pek Hui Houw patah hatinya kutinggalkan karena aku tahu betul bahwa ia mencinta kepadaku dengan sepenuh jiwa. Betapa pun besar penyesalanku, Thian tidak membebaskan orang hanya karena penyesalan. Thian menghukumku dan terlahirlah kalian anak-anakku yang kembar..."

Kembali Tung-hai Sian-li terengah-engah, kini air matanya mengucur membasahi pipinya ketika dia memandang dua orang gadis yang duduk diam seperti patung itu.

"Kalian kuberi nama Kiok Cu dan Kiok Hwa, kupelihara dengan cara sembunyi-sembunyi karena aku takut kalau-kalau rahasia yang besar ini sampai terdengar orang lain. Ketika kalian baru berusia dua tahun, datanglah mala petaka itu. Kalian diculik orang...! Dan aku hidup makin sengsara lagi. Hendak kembali kepada suami dan anakku, aku malu karena merasa diri berdosa. Aku hidup menyendiri, sunyi dan menjadi makanan duka nestapa..." Tanpa tertahan lagi Tung-hai Sian-li, wanita yang gagah Itu menangis terisak-isak

Wi Liong dan Kun Hong saling pandang. Cerita itu hebat sekali. Hebat karena merupakan pengakuan dosa, yang tidak pernah dibuka sebelumnya. Lan Lan dan Lin Lin saling peluk, mata mereka sudah merah akan tetapi mereka masih ragu-ragu.

"Anak-anakku... akulah ibumu..." Tung-hai Sian-li mengembangkan kedua lengan hendak memeluk, penuh kerinduan dan sikapnya memelas sekali.

Lan Lan dan Lin Lin bersangsi.

"Aku tidak mengerti..." kata Lin Lin. "Kami adalah anak-anak Phang Ek Kok dan ibu kami sudah mati."

"Kalian anak-anakku! Yang lain itu palsu belaka!" Tung-hai Sian-li membentak, timbul lagi kekerasannya yang dahulu. "Kubunuh semua yang mengaku-aku."

"Apa buktinya...? Bagaimana kami bisa tahu...?" kata pula Lin Lin.

"Coba buka sepatu kalian! Ya, aku ingat betul, sering kali kalian kutimang-timang dan aku sendiri kadang-kadang bingung yang mana Kiok Cu dan yang mana pula Kiok Hwa. Kiok Cu, anak yang lahir lebih dulu, memiliki tahi lalat merah di telapak kaki kanan sedangkan Kiok Hwa, anak ke dua mempunyai tahi lalat merah pada telapak kaki kiri. Nah, itulah ciri-cirinya sehingga aku bisa membedakan anak kembarku. Buka sepatumu dan lihatlah!"

Dengan tangan gemetar dua orang gadis itu membuka sepatu mereka. Saking tegangnya perasaan mereka sampai-sampai mereka lupa bahwa di situ hadir dua orang pemuda!

Begitu melihat dua orang gadis itu membuka sepatu dan kaos kaki, Wi Liong cepat-cepat membuang muka mengalihkan pandang mata dengan muka menjadi merah. Sebaliknya, Kun Hong tersenyum-senyum memandang sampai Wi Liong menyikutnya baru dia kaget dan buru-buru membalikkan mukanya!

Dua orang pemuda ini tidak melihat apakah benar pada telapak kaki kanan Lan Lan dan di telapak kaki kiri Lin Lin terdapat andeng-andeng merahnya. Akan tetapi mereka langsung mengetahuinya karena terdengar jerit tertahan dan dua orang gadis itu segera memakai kembali sepatu mereka kemudian berlari-lari keluar.

Tak lama kemudian mereka sudah masuk lagi, sekarang menyeret tubuh Phang Ek Kok. Ternyata Lin Lin sudah membebaskan totokan pada tubuh Ek Kok karena orang gemuk ini berteriak- teriak.

"Eh… ehh... bagaimana ini? Lan ji, Lin-ji, apa-apaan kalian menyeretku ini...?”

Dua orang gadis itu melepaskan tubuh Ek Kok di depan Tung-hai Sian-li kemudian Lin Lin mengancam dengan ujung pedang di depan dada Ek Kok sambil membentak.

"Hayo mengaku yang sebenarnya! Bagaimana aku dan enci Lan bisa terpisah kemudian kau katakan bahwa kami berdua adalah anakmu? Awas, kami telah mengetahui sebagian dari pada rahasia itu, kalau kau membohong, pedang ini akan mengambil jantungmu!"

Phang Ek Kok terkejut setengah mati seperti disambar geledek. Tidak dinyananya bahwa rahasia besar itu sudah diketahui oleh Lin Lin dan Lan Lan. Dia menoleh ke sana ke mari akan tetapi semua mata memandangnya penuh tuntutan, maka sambil menghela napas panjang dia berkata.

"Semua ini gara-gara Kui-bo Thai-houw, siluman Ban-mo-to. Baiklah, anak anak. Memang sesungguhnya kalian bukan anak-anakku biar pun aku sudah menganggap kalian seperti anak-anakku sendiri." Sampai di sini suara orang yang biasanya melucu ini agak gemetar terharu.

"Meski kalian bukan anakku, akan tetapi aku sendiri pun tidak tahu kalian ini anak siapa. Belasan tahun yang lalu, beberapa bulan sesudah aku dan empat bibimu dikalahkan oleh Kui-bo Thai-houw, aku didatangi oleh Thai-houw yang menyerahkan kalian berdua padaku. Pada waktu itu kalian baru berusia dua tahun. Thai-houw memaksaku supaya menerima dan merawat kalian serta mengakuinya sebagai anak-anakku sendiri. Entah dari mana dia mendapatkan kalian, aku tidak tahu dan dia tidak mau memberi-tahu. Kemudian, sesudah aku semakin suka kepada kalian yang kurawat sampai berusia empat tahun, pada suatu malam Lin Lin diculik orang dan kita baru dapat saling berjumpa lagi di Bukit Thian-mu-san...!. Inilah ceritaku yang sesungguhnya, aku berani bersumpah."

Lin Lin menjerit. "Kalau begitu… Pek Hui Houw suheng... ayahku sendiri, dia menculikku lantas memberikan aku kepada suhu Liong Tosu. Dan... ayah meninggal karena berduka terpisah dari ibu... ahh, ibu... ibu...!"

Lin Lin menubruk dan memeluk Tung-hai Sian-li, diikuti oleh Lan Lan, keduanya menangis di dada ibu mereka, ibu kandung mereka.

Tung-hai Sian-li tertawa dan menangis seperti orang gila. menciumi kedua orang anaknya Aku... aku berdosa besar... akan tetapi Thian cukup adil. Sesudah dapat melihat kalian... aku puas... aku rela mati..."

"Ibu...!" jerit Lan Lan.

"Ibu...!" jerit Lin Lin

"Anak-anakku, ibumu sakit keras. Kalau tidak ada kalian datang kiranya sudah sejak tadi-tadi tak kuat aku menahan. Dengar baik baik, Phang Ek Kok tidak berdosa dalam hal ini. Semua kesalahan Kui-bo Thai-houw yang kejam. Kini tahulah aku. Dialah orangnya yang menculik kalian. Dia melakukan ini karena iri hati, karena cemburu kepadaku. Dia tergila-gila pada Pek Hui Houw, tapi pemuda itu tidak melayaninya dan berpaling kepadaku. Dia melakukan hal itu untuk menghancurkan hidupku..."

"Si keparat!" Lin Lin berkata penuh kemarahan.

"Phang Ek Kok tidak berdosa, bahkan kalian harus berterima kasih atas perawatannya." Tung-hai Sian-li lalu berpaling kepada orang gemuk pendek itu. "Phang Ek Kok, harap kau rahasiakan semua yang kau dengar di sini dan sekarang kau boleh, pergi. Tinggalkan aku bersama anak-anakku!”

Phang Ek Kok tidak dapat berkata apa-apa lagi. Dia cepat menjura lalu pergi dari tempat itu, hatinya sedih sekali karena dia merasa seperti kehilangan dua orang anak yang amat dia sayangi.

"Anak-anakku, kalian harus mendengarkan pesanku terakhir. Kiok Cu, kau adalah anakku yang besar, kau harus memenuhi permintaan ibumu."

"Semua perinlah ibu akan anak taati," kata Lan Lan.

Tung-hai Sian-li sudah payah benar, terlampau lama dia menahan dan kini dia hanya bisa memberi isyarat kepada Wi Liong supaya mendekat. Pemuda itu maju dan membiarkan tangannya dipegang oleh Tung-hai Sian-li. Wanita tua ini lalu mempertemukan tangan Wi Liong dan tangan Lan Lan sambil berkata lirih,

"Kalian harus menjadi suami isteri... Kiok Cu, kau pengganti... Siok Lan..."

Tung-hai Sian-li yang sudah hampir tidak kuat itu kemudian memegang tangan Lin Lin.

"Dan kau... kau Kiok Hwa... kau lihat, pemuda itu... Kun Hong, biar pun lahirnya kelihatan busuk tetapi dalamnya baik. Kau... kalau kau dan dia suka... akan baik sekali jika kalian berjodoh..."

"Tidak bisa!" Kun Hong berseru dengan mata terbelalak "Sian-li, aku sudah bersumpah akan hidup bersama dengan Pui Eng Lan! Aku bukan laki-laki tidak setia!"

"Dan aku pun sudah ditunangkan, ibu... tak mungkin melanggar janji dan kesetiaan!" kata Lin Lin.

Tung-hai Sian-li mengangguk-angguk, tersenyum.

"Anak-anak muda yang baik... memang hidup harus mempunyai kesetiaan, baru terbebas dari duka nestapa dan sengsara. Aku... aku tidak setia, maka selalu dirundung malang. Anak anak, baik-baiklah menjaga diri... aku... aku..."

"Ibuuu...!”

Lan Lan dan Lin Lin menjerit dan tak lama kemudian terdengar tangis dan raung mereka, menangisi Tung-hai Sian-li, ibu mereka yang baru saja mereka jumpakan, tetapi kini telah meninggalkan mereka lagi, meninggalkan untuk selama-lamanya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar