Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 35

Kun Hong gembira sekali. Kini sepenuhnya ia menghadapi ilmu pedang Bu-tong-pai yang terkenal kuat dan indah. Akan tetapi kembali ia terheran-heran karena lagi-lagi ia melihat gerakan-gerakan seperti ilmu silatnya sendiri tercampur dalam ilmu pedang Bu-tong-pai itu. Kembali ia merasa menghadapi teka-teki.

Kalau gerakan-gerakan Wi Liong yang hampir menyerupai ilmu silatnya sendiri, dia tidak merasa heran karena gurunya Wi Liong adalah Thian Te Cu yang masih terhitung suheng dari gurunya sendiri, Thai Khek Sian. Juga ilmu silat ayahnya, Beng Kun Cinjin, tentu saja mempunyai persamaan dengan ilmu silatnya, karena Beng Kun Cinjin adalah putera Gan Yan Ki yang terhitung masih sute dari gurunya. Akan tetapi mengapa dua orang nona ini mempunyai gerak-gerik yang bersumber sama dengan ilmu silatnya? Apakah mereka ini mewarisi ilmu dari sumber Thian Te Cu? Ataukah dari Beng Kun Cinjin?

Di lain lihak, dua orang nona itu sekali lagi harus menghadapi kenyataan pahit yang amat mengherankan hati mereka. Dahulu ketika mengeroyok Kun Hong dengan tangan kosong, mereka sudah merasa aneh mengapa ilmu mereka yang mereka warisi dari Thai It Cinjin menjadi melempem dan tak berguna terhadap pemuda ini. Sekarang mereka menyangka bahwa dengan pedang yang menjadi senjata paling diandalkan oleh golongan Bu-tong-pai, mereka tentu akan dapat membalas kekalahan tempo hari.

Akan tetapi mereka lantas kecele. Kali ini pemuda itu juga dapat menghadapi ilmu pedang mereka dengan ilmu pedang yang sangat aneh, kelihatan rancu dan tidak seberapa, akan letapi anehnya selalu dapat menindih sinar pedang mereka dan dapat mengurung mereka dengan gulungan yang aneh, yang membuat enci adik itu merasa dirinya terkurung!

Kalau menurut hasrat hatinya, Kun Hong ingin membikin kapok dua orang gadis yang tak mau terima kalah ini, ingin ia membikin mereka tak berdaya atau setidaknya melepaskan pedang mereka. Akan tetapi dia segera teringat kepada Eng Lan dan merasa bahwa tentu Eng Lan tidak akan suka melihat dia berlaku demikian, maka kembali kali ini dia banyak mengalah.

Pedangnya bergerak cepat bukan main, diputar-putar hingga dua orang gadis itu terpaksa mengikuti gerakan ini karena pedang mereka seakan-akan sudah berakar menempel pada pedang pemuda itu. Pandangan mata mereka menjadi kabur, kepala pening dan tangan kanan terasa pegal-pegal dan tergetar sehingga hampir saja mereka melepaskan gagang pedang.

Bukan main terkejut hati mereka dan sekali ini betul-betul mereka harus mengakui bahwa mereka sudah berhadapan dengan seorang pemuda yang mempunyai kepandaian tinggi! Sama sekali mereka tak pernah bermimpi bahwa pemuda ini malah pernah dikeroyok dua oleh susiok mereka yang baru dapat mendesak setelah mengeroyok dua, bahkan hanya bisa mendesak karena pada saat itu pemuda ini tidak kuat menghadapi serangan tenaga gwakang.

Tiba-tiba mereka berdua merasa lega karena gulungan sinar pedang yang aneh sehingga membuat mereka tak berdaya itu tiba-tiba saja lenyap disusul melompatnya Kun Hong ke belakang sambil berkata,

"Ilmu pedang ji-wi lihiap benar-benar lihai sekali. Siauwte mengaku kalah dan biarlah uang berikut kuda siauwte lepaskan."

Hui Nio boleh jadi berhati keras dan tak kenal takut, akan tetapi dia mempunyai semangat gagah dan watak jujur. Melihat sikap Kun Hong, dia lalu berkata,

"Kami sudah kalah, bagaimana kau bisa bilang begitu?" Sambil berkata demikian dia pun cepat menyimpan pedangnya. Juga Hui Sian sudah menyimpan pedangnya dan pandang matanya kepada Kun Hong menjadi semakin kagum.

Kong Bu melangkah maju, wajahnya girang. "Saudara Gan Kun Hong benar-benar hebat! Kau murid siapakah? Baru kali ini aku bertemu dengan orang yang mempunyai ilmu silat selihai ini."

Kun Hong menggelengkan kepalanya. Sekarang matanya mulai terbuka betapa berbeda sikap dan jalan hidup orang-orang seperti Thai Khek Sian, Buceng Tok-ong, Tok-sim Sian-li dan yang lain-lainnya. Betapa tidak baiknya watak mereka. Maka ia merasa malu untuk mengaku bahwa dia murid Thai Khek Sian yang menjadi datuk atau tokoh nomor satu dari Mokauw.

"Ahh, aku hanya pernah belajar sedikit ilmu silat dari sana-sini, mana ada harganya untuk dipamerkan? Kong-ciangkun ini barulah benar-benar gagah perkasa dan ji-wi lihiap ini pun mengagumkan sekali."

Sikap merendah ini mendatangkan rasa simpati di hati Kong Bu, juga dua orang gadis itu sekarang dapat menduga bahwa ternyata Kun Hong bukanlah ‘maling kecil’ seperti yang tadinya mereka duga.

"Saudara Gan Kun Hong harap jangan merendah. Kami bertiga merasa tunduk sekali dan alangkah akan senangnya hatiku jika kau suka menerima uluran tanganku untuk menjadi sahabat."

Bukan main girangnya hati Kun Hong. Alangkah bedanya sikap orang-orang ini dengan sikap orang-orang di dunianya yang selalu hidup menurut aturan dan seenaknya sendiri, tanpa sopan-santun hidup yang menjadi penghias indah dari kehidupan penuh kepahitan ini. Dengan serta merta dan gembira sekali Kun Hong lalu mengulurkan kedua tangan dan di lain saat dia sudah berpegang lengan dengan Kong Bu.

"Kong-ciangkun, terima kasih... terima kasih bahwa kalian yang budiman sudi menerima dan menganggap aku yang rendah sebagai sahabat”.

Pernyataan dan sikap penuh nafsu kegembiraan ini sangat mengherankan Kong Bu dan dua orang nona itu, akan tetapi juga menggirangkan hati mereka.

"Ah, kau selalu merendahkan diri. Tadi kau sudah mendengar bahwa aku bernama Kong Bu putera See-thian Hoat-ong. Dan dua orang nona ini, dia ini bernama Liok Hui Nio..."

"Calon isterinya!" Hui Sian menyambung dengan jenaka dan genit.

"Hushh... kendalikan mulutmu!" Hui Nio. Enci-nya membentak.

Kong Bu tersenyum. "Terhadap seorang sahabat baik seperti saudara Gan, kiranya tidak perlu ada rahasia apa-apa. Benar, saudara Gan, Liok Hui Nio ini adalah tunanganku dan dia itu adalah adiknya, Liok Hui Sian..."

"Masih belum ada tunangan...!" kembali Hui Sian memotong sambil melirik dengan wajah merah.

Kali ini terpaksa Hui Nio tersenyum dan Kong Bu terbahak. "Betul, dia masih belum punya tunangan karena setiap orang ditolaknya! Dan mereka berdua ini adalah murid-murid Thai It Cinjin."

Kun Hong mengangguk-angguk. "Aku mendapat kehormatan besar dengan perkenalan ini. Dan harap ji-wi lihiap sudi memaafkan aku karena tempo hari aku telah berlaku lancang. Sama sekali aku tak tahu bahwa ji-wi (kalian) adalah orang-orang gagah yang melakukan tugas sebagai gi-to (maling budiman). Biarlah uang dua kantong dan kuda kukembalikan kepada ji-wi disertai maaf sebesarnya."

Wajahnya dua orang nona itu menjadi merah "Sudahlah, saudara Kun Hong mengapa hal itu diributkan lagi? Kau sedang melakukan perjalanan, tentu membutuhkan kuda itu dan uang untuk bekal. Uang yang didapat dari perampok hina macam Tan Kak itu, boleh saja dipakai," kata Hui Nio.

Kong Bu membenarkan ucapan tunangannya ini dan ikut memaksa sehingga Kun Hong tidak dapat lagi membantah.

"Terima kasih atas kebaikan sam-wi. Biarlah lain kali aku memerlukan datang berkunjung. Tidak tahu di manakah tempat tinggal sam-wi?"

"Pada waktu ini aku ditugaskan menjaga keamanan pantai dan tinggal di kota Wen-couw. Ada pun dua orang nona ini tinggal bersama guru mereka di dusun Kim-lee-san di pantai laut. Harap saudara Gan sudi mampir di kedua tempat itu apa bila kebetulan lewat."

"Tentu, tentu...! Nah, semoga lain kali kita berjumpa kembali.” Sesudah memberi hormat kepada tiga orang itu, Kun Hong mencemplak kudanya lalu melarikan kudanya ke jurusan timur dengan cepat.

Kong Bu dan dua orang nona itu memandang sampai lama, kemudian Kong Bu menarik napas panjang. "Dia sungguh lihai sekali, entah murid siapa. Apa bila orang seperti dia itu mau membantu perjuangan menentang musuh, tentu pertahanan kita akan lebih kuat."

Dua orang gadis itu tidak berkata apa-apa mendengar pernyataan pemuda yang berpikir seperti layaknya seorang pejuang tulen itu, tetapi di dalam hati mereka terdapat perasaan yang berlainan. Hui Nio diam-diam merasa curiga dan masih belum percaya betul kepada Kun Hong. sebaliknya Hui Sian diam-diam telah jatuh hati kepada pemuda yang ganteng, gagah dan berilmu tinggi itu.

Perjalanan Kun Hong melalui daerah yang berbukit, daerah yang bukit-bukitnya terdiri dari batu-batu karang yang tinggi dan runcing sehingga sukar untuk dilalui. Memang, di antara daerah datar dan rendah di Tiongkok tenggara, propinsi-propinsi Hok-kian dan Ce-kiang merupakan daerah yang agak tinggi dengan bukit-bukit Wuyi-san, Tai-goan-san dan Tien-mu-san. Kaki bukit-bukit ini menerus sampai ke laut.

Terpaksa Kun Hong tak dapat melakukan perjalanan cepat. Untung baginya kuda yang ia rampas dari perampok Thiat-thouw-sai Tan Kak itu adalah seekor kuda keturunan barat yang sangat baik. Kalau hanya kuda biasa saja kiranya sudah tidak kuat dipakai mendaki dan menuruni bukit-bukit yang terjal dan berbatu karang itu.

Dari keterangan penduduk dusun dia mendapat keterangan bahwa di laut timur memang banyak terdapat pulau-pulau kecil, pulau-pulau kosong yang jarang didatangi orang, atau malah tidak pernah didatangi orang kecuali para nelayan sewaktu mendarat di pulau-pulau kosong untuk beristirahat atau menyelamatkan diri dari serangan taufan.

"Entah apa nama pulau-pulau itu," demikianlah keterangan seorang dusun yang sudah tua dan dahulunya juga menjadi nelayan di pantai. "Para nelayan memberi nama yang seram-seram, kadang-kadang memberi nama menurut bentuk pulau-pulau itu sendiri maka timbul nama-nama seperti Kim-ke to (Pulau Ayam Emas), Hek-hi-to (Pulau Ikan Hitam) dan lain-lain. Entah di sana ada pulau namanya Ban-mo-to atau tidak, aku tidak tahu."

Mendengar cerita ini Kun Hong tidak menjadi kecil hati. Kalau perlu dia akan mengelilingi kepulauan kecil itu dengan sebuah perahu sampai ia dapat mencari Bari-mo-to, menemui Kui-bo Thai-houw pemilik mustika Im-yang-giok-cu untuk mengobati luka di jantungnya.

Tiga hari kemudian, setelah melakukan perjalanan yang melelahkan dan sukar sehingga kudanya sudah hampir tidak kuat lagi, Kun Hong tiba di atas bukit karang yang menjulang tinggi di tepi pantai. Ia turun dari kudanya, mendekati tepi batu karang lalu menjenguk ke bawah.

Laut kebiruan terbentang luas di hadapannya. Dari tempat tinggi air itu kelihatan tenang tak bergerak seperti kain sutera biru dibentangkan, berkeriput sedikit di sana-sini dengan busa keputihan.

’Aku sudah sampai di tepi laut,’ pikirnya. ’Akan tetapi bagaimana harus berlayar mencari Pulau Ban-mo-to?’

Jauh di tengah laut terlihat pulau-pulau kecil yang hanya merupakan titik-titik hitam besar kecil. Di antara pulau-pulau itu, di manakah letaknya Ban-mo-to? Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi dua pasang mata memandanginya dengan penuh keheranan. Dua pasang mata dua orang kakek yang duduk berlindung dari panasnya matahari di balik sebuah batu karang.

Dia tidak tahu bahwa dia telah berada di dekat dusun Kim-lee-san, tempat tinggal Thai It Cinjin dan Im-yang Siang-cu! Tidak tahu bahwa pada saat itu Im-yang Siang-cu bahkan sudah melihatnya ketika dua orang kakek ini sedang berada di tempat itu.

Tadinya Im-yang Siang-cu merasa heran melihat kedatangan seorang pemuda di tempat sunyi itu. Akan tetapi mereka segera tertawa-tawa sesudah mengenal Kun Hong sebagai pemuda di Wuyi-san yang bertempur dengan mereka.

"Ha-ha-ha, kiranya murid Thian Te Cu yang datang!" kata lm Thian Cu kakek yang tinggi kurus dengan suara mengejek.

"Jadi dia belum mampus terkena pukulanku? Ha-ha-ha-ha, orang muda, apa kau hendak mencari Cheng-hoa-kiam? Pedangmu itu ada di sini, lihatlah," ejek Yang Thian Cu, kakek yang pendek gemuk, ahli gwakang yang dulu pernah melukai Kun Hong dengan hebat di puncak Wuyi-san.

Tadinya Kun Hong tercengang mendengar suara ketawa dari kedua orang itu, akan tetapi sesudah dia menengok dan mengenal siapa adanya dua orang yang mentertawakannya. mukanya berubah merah dan timbullah kemarahannya.

"Kalian benar. Aku datang hendak merampas kembali pedang Cheng-hoa-kiam," katanya tenang, sedikit pun tidak gentar. Dengan sigap dia menghampiri tempat dua orang musuh lamanya itu berdiri.

Im-yang Siang-cu kembali tertawa-tawa, akan tetapi diam-diam mereka kagum juga akan keberanian pemuda itu.

"Anak muda, kami akui bahwa kepandaianmu memang lumayan, akan tetapi menghadapi kami berdua kau sudah kalah. Mengapa sekarang kau berani mati hendak minta kembali pokiam (pedang pusaka)? Apa kau betul-betul sudah bosan hidup?" kata Yang Thian Cu yang maklum bahwa kelemahan pemuda itu adalah menghadapi serangan dengan tenaga gwakang.

"Aku tidak bosan hidup dan pasti aku dapat merampas kembali pedangku asal saja kalian dua orang tua tidak bersikap pengecut."

Im-yang Siang-cu adalah jago-jago Bu-tong pai yang memiliki kepandaian tinggi sekali dan kedudukan mereka di dunia kang-ouw memang sudah terkenal, tentu saja mereka marah bukan main mendengar pemuda ini berani menuduh mereka bersikap pengecut.

"Bocah sombong, baru menjadi murid Thian Te Cu saja kau sudah begitu sombong! Kami merampas pedangmu bukan karena inginkan Cheng-hoa-kiam, akan tetapi untuk memberi hajaran dan tahu rasa kepada Thian Te Cu bahwa di dunia ini bukan dia saja yang pandai. Kalau kau memang mempunyai kepandaian, boleh kau kalahkan kami dan ambil kembali pedang itu!” kata Im Thian Cu marah.

“Pedangku sudah kalian rampas, dengan pedang biasa ini tentu saja aku tidak akan dapat melawan pedang kalian yang lebih kuat. Coba Cheng-hoa-kiam berada di tanganku, pasti dalam beberapa jurus saja aku akan mampu mengalahkan kalian orang tua kepala besar!"

Yang Thian Cu tertawa lebar. “Benar-benar bermulut besar! Dalam pertempuran di Wuyi-san kau telah kalah dan terluka oleh pukulanku, bahkan pedangmu dapat terampas. Kalau sekarang kau kalah lagi, jangan salahkan kami kalau jiwamu sampai melayang.”

"Lekas kesinikan pedangku dan akan kutunjukkan pada kalian bagaimana caranya orang bermain pedang!" Kun Hong sengaja bicara besar untuk memanaskan hati kedua orang jago pedang Bu-tong-pai itu.

Karena percaya bahwa mereka berdua tak akan kalah oleh pemuda bekas pecundang ini. Yang Thian Cu segera melemparkan pedang Cheng-hoa-kiam yang dulu dirampasnya itu kepada Kun Hong.

Dengan amat girang pemuda itu menyambut Cheng-hoa-kiam dan mengelus-elus pedang pusakanya itu. Dengan pedang ini di tangan dia tidak takut melawan dua orang kakek ini. Dahulu ia kalah oleh karena ia masih belum sembuh dari pengaruh pukulan Im-yang-lian-hoan bagian Thai-yang sehingga dia memang pantang menerima pukulan gwakang. Akan tetapi sekarang lukanya akibat pukulan Thai-yang itu sudah disembuhkan oleh Beng Kun Cinjin, maka sekarang dia berani menghadapi lweekang mau pun gwakang dari dua orang kakek ini!

Kun Hong sengaja tidak membantah ketika dua orang kakek itu mengira dia adalah murid Thian Te Cu, sebab entah kenapa sekarang ia merasa malu dan sungkan untuk mengaku sebagai murid Thai Khek Sian si raja orang jahat! Dia menjura kepada Im-yang Siang-cu dan berkata,

"Terima kasih atas pemberian kembali pedang ini. Hendaknya ji-wi suka memperkenalkan diri, karena kalau sampai aku tewas biar aku tahu siapa yang merobohkan aku."

Dua orang kakek itu saling pandang, agaknya heran menyaksikan perubahan sikap yang sekarang sangat sopan ini.

"Orang muda, belum tentu kami akan membunuhmu. Namun sebagai murid Thian Te Cu memang kau sudah cukup berharga untuk mengenal kami. Kami adalah Im-yang Siang-cu dari Bu-tong-pai, dia ini sute-ku disebut Yang Thian Cu dan aku sendiri Im Thian Cu," kata Im Thian Cu sambil mencabut pedangnya diturut oleh sute-nya.

Baru sekarang Kun Hong tahu bahwa dua orang kakek lihai yang disebut Im-yang Siang-cu ini kiranya jago-jago terkenal dari Bu-tong-pai. Ia tidak berniat mencelakakan dua orang ini. Pertama karena memang ia tidak bermusuhan dengan mereka, ada pun bentrokannya dengan mereka di Wuyi-san adalah hanya sebuah kebetulan saja. Pada waktu itu mereka memusuhinya tentu karena menyangka dia adalah murid Thian Te Cu.

Dan alasan kedua, sekarang pedang sudah dikembalikan dan lebih lagi mereka ini masih susiok (paman guru) dari dua orang dara jelita Hui Nio dan Hui Sian. Bagaimana dia bisa memusuhi mereka?

‘Asal aku dapat mengalahkan mereka, cukuplah,’ pikirnya sambil bersiap lalu berkata, "Ji-wi, silakan bergerak!"

Im-yang Siang-cu sudah cukup maklum akan kelihaian ilmu pedang pemuda ini yang telah mereka rasakan di puncak Wuyi-san, maka tanpa membuang banyak waktu dan tanpa seji (sungkan) lagi mereka lalu menggerakkan pedang melakukan gerakan menyerang.

Kun Hong berkelebat mengelak, memutar pedang dan balas menyerang. Di lain saat tiga orang ini telah bertanding dengan seru, saling mengerahkan kepandaian dan tenaga untuk mencoba menindih gerakan lawan.

Im-yang Siang-cu yang terkenal sebagai jago-jago pedang dari Bu-tong-pai masih merasa penasaran bahwa dulu mereka tidak dapat mengambil kemenangan dengan ilmu pedang, maka kali ini mereka memusatkan perhatian dan mengeluarikan jurus dan gerak tipu yang paling lihai dari Ilmu Pedang Bu-tong Kiam-hoat.

Namun sebenarnya, baik dalam ilmu pedang mau pun tenaga dalam dan luar, Kun Hong yang sudah mendapat gemblengan dari Thai Khek Sian itu masih menang satu tingkat. Sumber ilmu silat yang dipelajari oleh pemuda itu lebih matang dan lebih tinggi tingkatnya sehingga ketika Cheng-hoa-kiam ia putar cepat, dua orang lawannya menjadi kewalahan.

Jika dulu pada waktu mereka mengeroyok Kun Hong di Wuyi-san, mereka masih terhibur oleh kenyataan bahwa kekalahan mereka disebabkan oleh pedang pusaka yang dipakai pemuda itu, sekarang alasan ini sudah tak dapat diajukan lagi. Sekarang mereka sengaja menggunakan dua batang pedang yang baik pula, yang tidak mudah terusak oleh Cheng-hoa-kiam seperti dulu lagi. Akan tetapi hebatnya, mereka malah terdesak dengan cepat sekali, jauh lebih cepat dari pada dahulu dalam pertempuran pertama.

Dua orang kakek ini tidak tahu bahwa dahulu adanya mereka dapat bertahan lama malah akhirnya dapat merampas pedang, adalah karena Kun Hong terluka hebat dan kemudian tidak kuat menghadapi pukulan-pukulan gwakang. Kini pemuda ini boleh dibilang sudah tidak menderira rasa sakit sama sekali, kepandaian serta tenaganya sudah pulih semua.

Kalau dilihat begitu saja dia seperti sudah sembuh sama sekali, namun hanya dia sendiri yang tahu bahwa di dalam dadanya, jantungnya mengalami luka yang tidak lama lagi akan membawanya ke lobang kubur kalau tidak mendapat pengobatan.

Kini Im-yang Siang-su mulai merasa khawatir karena sinar pedang Cheng-hoa-kiam yang bergulung-gulung itu sudah mulai menindih dua sinar pedang mereka, bahkan setiap saat mengancam keselamatan mereka.

Yang Thian Cu mengeluarkan seruan keras dan mulailah tangan kirinya mengirim pukulan-pukulan yang sepenuhnya mengandung tenaga gwakang! Pedang di tangan kanannya pun diayunkan dengan disertai tenaga gwakang sekuatnya, sedangkan di lain fihak Im Thian Cu mempergunakan tenaga lweekang-nya.

Dengan demikian dua orang kakek ini telah mengeluarkan kepandaian simpanan mereka yang membuat mereka terkenal dengan sebutan Im-yang Siang-cu, karena dengan maju bersama maka seolah mereka merupakan dua tenaga Im dan Yang yang disatukan untuk menggempur lawan. Inilah semacam ilmu seperti Im-yang-lian-hoan dari Kunlun-pai. hanya saja dilakukan oleh dua orang!

Sebelum mereka bergerak, Kun Hong sudah tahu lebih dahulu dari pengalamannya yang lalu. Ia menjadi gemas juga karena teringat betapa dahulu dia menderita luka parah oleh pukulan-pukulan gwakang dari Yang Thian Cu. pukulan yang sungguh pun tidak sehebat pukulan Thai-yang dari Kun-lun Lojin ketua Kun-lun-pai, akan tetapi cukup mengerikan bila mengenai orang yang tidak kuat menerimanya.

Pemuda ini sengaja menerima semua pukulan itu dengan tangkisan tangan kirinya sambil mengerahkan tenaga sesuai dengan sifat tenaga penyerangnya. Mula-mula Yang Thian Cu yang lebih dulu beradu lengan dengannya. Yang Thian Cu sudah girang sekali karena pemuda itu sudah berani menangkis pukulannya yang berarti pemuda itu akan terluka dan roboh.

Akan tetapi begitu kedua lengan itu bertemu, Yang Thian Cu langsung berseru kaget dan nyaring sekali, kemudian tubuhnya yang gemuk pendek itu terlempar ke belakang sampai bergulingan seperti binatang trenggiling!

Pada detik selanjutnya, Im Thian Cu yang beradu lengan dengan pemuda itu, terhuyung mundur tiga langkah kemudian berdiri dengan muka pucat dan dua kaki menggigil. Ia pun sudah terkena pukulan dari hawa lweekang-nya sendiri sehingga menderita luka yang biar pun tidak parah namun cukup menyakitkan di dalam dadanya.

Pada saat itu, tidak jauh dari situ datang berlari seorang berkepala gundul yang bertubuh tinggi besar. Tapi begitu sampai di dekat tempat pertempuran, hwesio ini segera berhenti berlari, mukanya berubah kemudian dia memutar tubuh dan melarikan diri!

"Iblis jahanam, aku sudah mengenalmu, jangan lari kau!" Kun Hong berseru seperti orang gila sesudah dia mengenali muka hwesio itu. Itulah Beng Kun Cinjin, ayahnya dan musuh besarnya, orang yang harus dibunuhnya!

Dengan langkah lebar dia mengejar, tanpa mempedulikan lagi kepada Im-yang Siang-cu yang masih terheran-heran menghadapi kekalahan mereka tadi. Dengan pedang Cheng-hoa-kiam di tangan Kun Hong mengejar terus. Hatinya girang karena tidak dinyana-nyana dia berjumpa dengan musuh besar itu di sini. Ia mengerahkan seluruh ginkang-nya untuk menyusul Beng Kun Cincin yang juga memiliki ilmu lari cepat istimewa.

Beng Kun Cinjin menjadi amat gelisah. Ia sama sekali tak pernah menduga akan bertemu dengan pemuda itu di sana. Ketika dahulu dia dikejar-kojar oleh Kun Hong, memang dia melarikan diri ke tempat tinggal pamannya, yaitu Thai It Cinjin yang bukan lain adalah ipar dari ayahnya sendiri. Di tempat ini dia akan merasa aman, selain tempatnya tersembunyi, juga di situ terdapat pamannya yang berilmu tinggi. Siapa kira, belum lama dia berada di situ, pada hari itu dia mendengar suara orang bertempur.

Dia tahu bahwa kedua sute dari pamannya, Im-yang Siang-cu sedang bertempur dengan orang maka dia hendak membantu mereka. Tidak tahunya yang bertempur melawan dua orang kakek itu, bahkan yang sudah mengalahkan Im yang Siang-cu, adalah bocah yang dia takuti, yaitu anaknya sendiri!

Ilmu lari Beng Kun Cinjin amat cepat, akan tetapi dia harus mengakui kehebatan ginkang dari bocah itu. Sebentar saja dia sudah hampir tersusul. Ahh, alangkah akan bangganya kalau bocah yang sebetulnya anaknya itu tidak memusuhinya!

Beng Kun Cinjin mulai menyesal kenapa dulu ia terburu nafsu membunuh Kiu Hui Niang. Lebih menyesal lagi mengapa dulu dia tidak sekalian saja membunuh bocah itu ketika dia menewaskan isterinya. Akan tetapi semua penyesalan itu tiada gunanya, bocah itu sudah mengejar bahkan kini sudah menyusulnya.

"Iblis jahanam, jangan lari kau!" bentak Kun Hong dari belakang sambil bersiap melakukan serangan maut.

Mendadak dia melihat berkelebatnya sinar putih yang menghantamnya dari depan, diikuti oleh angin pukulan tangan kiri yang sangat hebat. Itulah serangan yang dilakukan secara tiba-tiba oleh Beng Kun Cinjin.

Ketika melihat dia sudah tersusul Beng Kun Cinjin lalu menanti saat baik, dan tiba-tiba dia membalikkan tubuh sambil menyerang dengan tasbehnya disusul pukulan tangan kiri yang menggunakan tenaga Lui-kong-jiu, yakni pukulan jarak jauh yang bisa merobohkan setiap orang lawan yang kurang kuat, biar pun pukulan ini tidak menyentuh tubuh lawan.

Akan tetapi Kun Hong yang telah maklum akan kelihaian hwesio itu tidak berlaku lambat. Cepat dia miringkan tubuh dan melompat ke kiri, pedang Cheng-hoa-kiam berkelebat dan dia sudah membalas dengan serangan kilat yang tak kalah hebatnya. Pedang dan tasbeh bertemu, keduanya menggunakan tenaga yang begitu besar sehingga mereka terhuyung mundur dua langkah.

Kini keduanya saling berhadapan laksana dua ekor ayam jago berlagak, maju lagi saling pandang penuh kebencian. Napas mereka agak memburu karena habis berkejaran tadi.

"Bedebah, jangan harap bisa melarikan diri dari tanganku!" Kun Hong berkata dengan bibir terkatup saking bencinya.

"Bocah edan... aku telah mengobatimu dan menolong nyawamu..." Beng Kun Cinjin yang agak serem melihat sikap pemuda itu, mengingatkan.

"Ya, untuk akhirnya kau bunuh kalau saja tidak datang ayah angkatku... kau... iblis jahat, kau sudah membunuh dia, orang berbudi itu... kau sudah membunuh ibuku..."

Kun Hong menusuk dengan pedangnya, akan tetapi dapat ditangkis oleh Beng Kun Cinjin dengan tasbehnya sambil melompat mundur. Kun Hong maju lagi, melangkah perlahan-lahan, sikapnya penuh ancaman maut.

"Ibumu... perempuan durhaka itu menipuku... bermain gila dengan orang lain... kau sendiri mungkin bukan anakku... aku masih kasihan sehingga tidak membunuhmu di waktu kecil dulu..."

"Keparat, kau hwesio jahanam tak tahu malu! Kau... kau telah mendatangkan cemar dan kehinaan kepada aku yang malang sekali menjadi anak dari isterimu! Sekarang aku harus membunuhmu, membersihkan dunia ini dari manusia palsu macam kau!"

"Anak durhaka!" Selesai memaki Beng Kun Cinjin tiba-tiba menyerang dengan tasbehnya sambil mengerahkan tenaganya.

Hebat sekali serangan ini sehingga Kun Hong tidak berani berlaku sembrono menangkis. Cepat dia mengelak sehingga tasbeh itu menghantam batu besar di belakangnya sampai hancur! Pecahan-pecahan batu ini meluncur ke sana ke mari bagaikan peluru, ada yang menuju ke tubuh Kun Hong. Terpaksa pemuda ini memutar pedangnya untuk menangkis peluru-peluru batu ini,

Beng Kun Cinjin yang pengalaman tempurnya telah banyak kembali mendapat kenyataan bahwa dia berhadapan dengan lawan yang amat tangguh dan menakutkan. Kini dia dapat menduga bahwa bocah ini tentu sudah menerima warisan ilmu dari Thian Te Cu atau Thai Khek Sian, maka diam-diam dia bergidik dan pada saat Kun Hong sibuk menangkis hujan pecahan batu itu, Beng Kun Cinjin mendapat kesempatan baik maka dia pun cepat-cepat melarikan diri!

"Berhenti kau, pengecut!" Kun Hong berteriak mengejar.

Beng Kun Cinjin berlaku cerdik. Ia sengaja membawa pengejarnya ke dusun Kim-Ie-san di mana tinggal pamannya. Thai It Cinjin. Ketika ia sudah tiba di luar dusun, ia berseru keras mengerahkan khikang-nya.

"Paman, tolonglah pinceng...!"

Kun Hong menjadi gemas dan juga terheran. Siapakah paman hwesio itu? Dia mengejar terus dan tiba-tiba dari dalam dusun itu tampak berlari keluar seorang kakek tinggi besar yang berkepala botak, bermata lebar dan sepasang lengan tangannya berbulu dilindungi lengan baju yang lebar. Inilah Thai It Cinjin, kakek yang dulu pernah menyerbu Wuyi-san bersama Im-yang Siang-cu!

Kun Hong langsung mengenalnya dan diam-diam pemuda ini kecewa. Kembali dia harus menghadapi lawan tangguh dan lawan ini selain menjadi paman ayahnya, ternyata adalah guru dari dua orang nona she Liok yang telah menjadi sahabatnya! Akan tetapi dia sedang menghadapi urusan penting, maka dia cepat berseru,

"Thai It Cinjin harap jangan mencampuri urusan kami berdua!"

Akan tetapi sambil mengeluarkan suara ketawa aneh, Thai It Cinjin berkata, "Murid Thian Te Cu betul-betul keterlaluan. Masa urusan keponakanku tak boleh aku mencampurinya! Kau berhentilah!"

Sambil berkata demikian kedua tangannya bergerak ke depan dan hampir saja Kun Hong berteriak kaget karena tahu-tahu tangan kanan kakek itu mulur panjang mencengkeram ke arah tangannya yang memegang pedang, ada pun tangan kiri kakek itu mengebutkan ujung lengan baju ke arah jalan darah di pundaknya.

Hebat bukan main serangan ini dan kalau bukan Kun Hong yang diserang, agaknya tidak mungkin dapat melepaskan diri. Kun Hong cepat membuang tubuh ke belakang kemudian berjumpalitan dan sesudah dua kali berpoksai (berjungkir balik) barulah dia dapat berdiri dengan selamat,

"Paman, jangan lepaskan dia, bocah ini jahat bukan main!" seru Beng Kun Cinjin.

Kini dia maju menyerang dengan tasbehnya, seakan ‘mendapat hati’ sesudah pamannya datang membantu. Kun Hong cepat menangkis dengan pedangnya dan kembali bunga api berpijar dari pertemuan dua senjata itu yang digerakkan dengan tenaga besar.


Thai It Cinjin kagum sekali. Ia tahu bahwa kepandaian Beng Kun Cinjin sudah hebat, tidak kalah oleh Im Thian Cu atau Yang Thian Cu, akan tetapi ternyata keponakannya sampai melarikan diri dari bocah ini, benar-benar hebat. Juga dia merasa heran mengapa pedang Cheng-hoa-kiam bisa berada di tangan bocah itu. Akan tetapi, betapa pun juga dia tidak mau kalau murid Thian Te Cu sampai tewas di tangannya. Thai It Cinjin memang seorang yang tidak mau kalah dalam hal ilmu silat sehingga beberapa kali dia mencari Thian Te Cu untuk diajak mengadu kepandaian.

Juga dia tidak senang kepada Thian Te Cu, ikut-ikutan dalam persaingan yang ada antara tiga orang kakek Wuyi dahulu. Padahal dia hanya ipar dari Gan Yan Ki dan tidak memiliki sangkut-paut dengan urusan persaingan turun-temurun itu.

Akan tetapi ketidak-senangannya terhadap Thian Te Cu hanya berdasarkan kekalahannya yang berkali-kali saja, jadi lebih bersifat iri hati tetapi bukan benci. Oleh karena itulah dia tidak menghendaki terbunuhnya pemuda yang dia sangka murid Thian Te Cu ini.

"Minggirlah!" katanya kepada Beng Kun Cinjin. "Biarlah kulihat sampai di mana kelihaian murid Thian Te Cu yang satu ini!"

Memang sejak ia bertempur melawan Wi Liong di puncak Wuyi-san, Thai It Cinjin menjadi makin penasaran. Sudah bertahun-tahun dia melatih diri dan memajukan kepandaiannya, akan tetapi kenapa ketika menghadapi murid Thian Te Cu yang memegang suling itu saja dia tidak mampu mengalahkannya?

Sekarang muncul murid Thian Te Cu yang lain, maka tentu saja dia ingin sekali mencoba lagi, apakah dia pun tidak mampu mengalahkan yang ini. Memang demikianlah sifat orang aneh ini, selalu ingin menjajal kepandaian orang dan tidak mau kalah.....!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar