Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 08

Sedangkan Wi Liong yang sudah lebih banyak penglamannya segera tahu bahwa ia telah terjatuh ke dalam tangan tokoh-tokoh yang jahat sekali, maka ia diam saja dan keningnya berkerut, hatinya gelisah kalau ia mengingat pamannya.

Setelah memebebaskan totokan Wi Liong, Bu-ceng Tok-ong bertanya kepada bocah yang hendak dijadikan muridnya itu, "Siapa namamu?"

"Thio Wi Liong," jawab bocah itu singkat.

"Nama yang amat bagus! Wi Liong, mulai sekarang kau menjadi muridku. Kau harus rajin berlatih agar kelak dapat mengalahkan dia!" Kakek itu menuding ke arah Kun Hong yang menjebikan bibirnya kepada Wi Liong.

Wi Liong menggeleng kepala keras-keras, "Aku tidak mau!"

"Eh, ehh, tidak mau bagaimana?"

"Aku tidak mau menjadi muridmu. Lebih baik kalian segera mengembalikan aku dan Kun Hong itu ke Kun-Lun-san lagi, bila tidak tentu para locianpwe yang berada di puncak Kun-lun-san akan mencari dan membunuh kalian."

Bersama pamannya, Wi Liong sudah sering kali menghadapi penjahat dan dia tahu pula bahwa di puncak Kun-lun-san sedang terdapat banyak orang sakti, maka ia menggunakan kesempatan ini untuk menakut-nakuti Bu-ceng Tok-ong.

Bu-ceng Tok-ong tertawa bergelak. "Sian-li, kau lihat beraninya muridku ini!"

Memang orang-orang Mokauw amat mengagumi keberanian, maka si raja racun itu girang sekali melihat sikap Wi Liong yang tanpa takut-takut malah mengancamnya!

Wi Liong, siapakah para locianpwee yang kau andalkan itu dan apa sebabnya kau merasa yakin mereka akan menolongmu?"

Wi Liong berpikir. Kalau orang seperti ini tidak diancam, maka ia tidak tahu bagaimana ia akan dapat meloloskan diri. "Dengarlah, aku adalah calon murid dari Bhok Lo Cinjin ketua Siauw-lim-pai. Kau berani menculikku, bukankah berarti kau sudah mengganggu harimau tidur? Calon suhuku pasti akan mengejarmu dan akan menghajarmu sampai kau berkeok-kaok minta ampun!”

Kembali Bu-ceng Tok-ong tertawa bergelak keras sekali, "Ha-ha-ha, Wi Liong, omongan apa ini? Jangankan baru seorang Bhok Lo Cinjin, biar dia pianhoa (merobah diri) menjadi tiga, dia takkan menangkan aku!"

"Siapa yang mau percaya omonganmu sebelum melihat buktinya?"

Wi Liong memang sangat cerdik dan bocah ini sengaja melepas api membikin panas hati orang. Usahanya berhasil baik, Bu-ceng Tok-ong menjadi panas perutnya. Tidak ada hal yang lebih tidak enak dari pada seorang calon guru yang kepandaiannya tidak dipercaya oleh calon murid.

"Baik, kalau memang kau hendak minta bukti, kau lihat saja nanti. Aku akan menghadang perjalanan pulang Bhok Lo Cinjin!" kata Bu-ceng Tok-ong dengan perut panas.

Mendengar percakapan antara Wi Liong dengan Bu-ceng Tok-ong, Kun Hong juga segera berkata kepada Tok-sim Sian-li.

"Aku juga tidak mau menjadi murimu, bibi!"

Tok-sim Sian-li merasa geli mendengar dirinya disebut bibi. Dia mencubit pipi Kun Hong dan bertanya, "Bocah bagus, apa sebabnya kau tidak mau menjadi muridku?"

"Bibi seorang wanita halus dan cantik, mana bisa mengajar silat? Aku lebih senang kalau menjadi murid Kun-lun-san atau lebih suka lagi kalau bisa menjadi muid suhu cebol yang berpakaian pengemis, yang datang di Kun-lun-san tadi!"

Mendengar disebutnya suhu cebol berpakaian pengemis, wajah Tok-sim Sian-li langsung berubah. Dia bertukar pandang dengan Bu-ceng Tok-ong, lalu berkata, "Kau maksudkan Pak-thian Koai-jin si pengemis kelaparan itu?"

"Betul, namanya memang Pak-thian Koai-jin, aku mendengar ayah menyebutnya begitu. Akan tetapi dia tidak kelaparan. Dia baik, dia lucu dan kepandaiannya setinggi langit. Aku suka menjadi muridnya."

Tanpa disengaja Kun Hong juga memanaskan perut Tok-sim Sian-li, yang menjadi marah sekali sungguh pun senyumnya semakin menarik dan matanya makin bersinar-sinar.

"Tadi murid Tok-ong menghendaki bukti, maka apa salahnya kalau aku pun membuktikan kepandaianku kepadamu, Kun Hong? Kau lihat saja nanti betapa aku yang kau anggap halus dan cantik ini mengalahkan Pak-thian Koai-jin dengan mudah.”

Kun Hong tidak percaya dan ia memandang kepada wanita itu dengan matanya yang jeli dan bagus. Tok-sim Sian-li menjadi girang sekali dan memeluk muridnya ini.

"Bocah bagus, kau menyenangkan hati sekali!" Memang hati Tok-sim Sian-li bangga dan girang sekali mendengar kata-kata muridnya yang tadi menyebutnya ‘halus dan cantik’.

"Ha-ha-ha-ha! Benar tidak mudah menjadi guru tunas-tunas berbakat!" kata Bu-ceng Tok-ong. "Belum apa-apa kepandaian kita sudah diuji oleh calon murid kita. Mana di dunia ini ada guru diuji murid? Benar-benar kita ini guru-guru gila dan goblok. Sian-li, kita berpisah jalan, aku harus mencegah lolosnya Bhok Lo Cinjin!" Sesudah berkata demikian, Bu-ceng Tok-ong cepat mengempit tubuh Wi Liong dan di lain saat dia telah berkelebat pergi.

Melihat kegesitan gerakan Bu-ceng Tok-ong ini, Kun Hong memandang bengong. "Waah, guru si Wi Liong itu hebat bukan main..." katanya khawatir.

"Hemmm, apanya yang hebat? Kau lihat gerakanku." Tok-sim Sian-li memeluk tubuh Kun Hong dan di lain saat anak itu berteriak-teriak kagum dan ngeri karena ia merasa dibawa ‘terbang’ oleh wanita itu…..

********************

Kalau melihat tubuhnya yang gemuk sekali seperti arca Jilaihud sedang duduk buka baju, tetapi dapat berjalan bukan main cepatnya dan ringannya, menyusup di antara pohon dan semak bagaikan seekor harimau, melompati jurang-jurang seringan kijang, pemandangan ini benar-benar sangat mengherankan. Inilah Bhok Lo Cinjin, hwesio tua bertubuh gemuk yang selalu tersenyum-senyum. Namun kalau tahu bahwa hwesio yang gemuk ini adalah ketua Siauw-lim-pai, orang tidak akan merasa heran lagi akan kepandaiannya dalam ilmu ginkang ini.

Bhok Lo Cinjin turun dari puncak Kun-lun-san. hatinya kecewa dan penasaran sekali oleh pebuatan Bu-ceng Tok-ong yang telah menculik seorang bocah yang dicalonkan menjadi murid Siauw-lim-pai. Perbuatan seperti itu hanya boleh diartikan bahwa Bu-ceng Tok-ong sengaja hendak menantang fihak Sauw-lim-pai!

Bhok Lo Cinjin marah bukan kepalang. Sebagai seorang hwesio tentu saja Bhok Lo Cinjin memiliki kesabaran besar. Akan tetapi sebagai orang Siauw-lim-pai, ia memiliki kekerasan hati dalam hal mempertahankan nama besar partai persilatannya. Apa lagi ia adalah ketua dari Siauw-lim-pai.

Kini Bu-ceng Tok-ong melakukan penghinaan di lereng Kun-lun-san, selagi dia berada di puncak mengadakan pertemuan dengan orang-orang gagah. Bagi dia hal ini sama artinya dengan menghina di depan hidungnya!

"Hemm, Bu-ceng Tok-ong berani memamerkan kekurang-ajarannya, berarti fihak Mokauw sengaja hendak melakukan perang terbuka." Hwesio itu menggerutu.

Dia melangkah lebar untuk segera kembali ke Siauw-lim-si dan mempersiapkan saudara-saudara seperguruan beserta anak-anak muridnya untuk mencari jejak Bu-ceng Tok-ong dan merampas kembali Thio Wi Liong yang diculik Raja Racun itu. Tiba-tiba dia menahan langkahnya, berdiri tegak, seluruh urat syarafnya tegang karena dia mendengar sesuatu yang mencurigakan.

"Siiuuuutt…!"

Sinar kehijauan menyambar ke arah lima jalan darah terpenting pada tubuhnya. Sinar ini adalah jarum-jarum halus yang menyambar demikian cepatnya hampir tak mengeluarkan suara, hanya dapat terdengar oleh telinga yang sudah terlatih baik saja.

"Omitohud, siapa orangnya yang begini keji?" Dengan kebutan lengan baju sebelah kiri, ketua Siauw-lim-pai ini berhasil menyampok semua jarum halus.

Akan tetapi betapa kagetnya ketika melihat jarum-jarum yang tersampok itu tidak runtuh ke bawah, melainkan terpental lalu melayang kembali ke arah semula, seakan-akan hidup dan dapat terbang kembali kepada tuannya! Maka tahulah dia bahwa penyerangnya bukan sembarang orang, melainkan seorang yang berilmu tinggi. Ketika ia melirik ke arah lengan bahunya yang putih bersih, ia melihat lima titik hitam seperti hangus terbakar api.

"Omitohud, ternyata Bu-ceng Tok-ong yang melakukan penyerangan gelap! Benar-benar memalukan, benar-benar tak tahu aturan!" hwesio itu berkata lagi.

Dari balik semak-semak terdengar suara ketawa ngakak seperti ular raksasa, kemudian berkelebat bayangan dan Bu-ceng Tok-ong muncul di depan hwesio ketua Siauw-lim-pai.

"Muridku, kau buka matamu baik-baik dan lihat bahwa gurumu lebih gagah dari pada babi gemuk ini. Ha-ha-ha!" kata Bu-ceng Tok-ong kepada seorang anak laki-laki yang tadi dia gandeng dan sekarang anak yang bukan lain Thio Wi Liong itu berdiri tegak memandang kepada Bhok lo cinjin dengan matanya terbelalak bersinar-sinar.

Biar pun kecil Wi Liong memiliki perasaan yang tajam dan dalam perantauannya dengan pamannya, dia sudah mendapat pengetahuan untuk membedakan antara orang baik dan orang jahat. Begitu melihat Bhok Lo Cinjin, sekilas pandang saja tahulah Wi Liong bahwa ia berhadapan dengan seorang yang boleh ia percaya, seorang yang oleh pamannya pasti akan dihormati. Apa lagi karena menurut Tok-ong, orang ini adalah ketua Siauw-lim-pai yang akan dijadikan gurunya. Serta merta ia menjatuhkan diri berlutut sambil berkata,

"Losuhu, tolonglah teecu dari orang jahat ini..."

Bu-ceng Tok-ong tertawa bergelak. "Nyalimu memang besar. Kau tunggu dulu di sana!"

Kakinya bergerak menendang lalu Wi Liong merasa tubuhnya melayang dan tahu-tahu ia telah terlempar ke atas pohon yang lebat daunnya. Saking takutnya ia meraih sekenanya dan berhasil memegang ranting pohon, memeluknya erat-erat dan duduk di atas cabang. Ketika ia menengok ke bawah, ternyata ia telah berada di puncak pohon yang amat tinggi! Dia melihat Raja Racun itu masih tertawa-tawa di bawah sambil menghadapi hwesio tua yang gendut itu.

"Bu-ceng Tok-ong," hwesio itu berkata dengan suaranya yang amat halus namun nyaring berpengaruh. "Walau pun Siauw-lim-si dan Mokauw mempunyai jalan hidup yang arahnya berlawanan, akan tetapi selama ini hanya bersimpang jalan tanpa saling bentrok. Siauw-lim-pai selalu mengambil jalan kanan dan Mokauw jalan kiri. Apa maksudmu sekarang kau berani menghina pinceng?”

Bu-ceng Tok-ong tertawa terkekeh-kekeh sebelum menjawab. "Babi gundul, bagaimana kau bisa bilang bahwa aku menghinamu?"

Muka Bhok Lo Cinjin langsung berubah merah. Sebagai seorang ketua partai persilatan besar, belum pernah ada orang memakinya seperti yang dilakukan oleh Raja Racun ini. Jangankan orang-orang biasa, kaisar di selatan dan utara dahulu pun belum tentu berani memaki-makinya seperti ini.

"Bu-ceng Tok-ong, kata-katamu begitu kotor tetapi kau masih belum mengaku menghina pinceng?" bentaknya marah.

Kembali Raja Racun itu tertawa bergelak, memang dia seorang yang tidak peduli tentang segala macam aturan, berlaku kurang ajar atau tidak menurut enaknya perutnya sendiri. Oleh karena itulah maka ia disebut Bu-ceng yang berarti Tidak Ada Aturan!

"Ha-ha-ha, kau memang babi gemuk mengapa tidak mau disebut babi gemuk? Lihat saja perutmu, bukankah mirip perut babi yang terlalu banyak makan dan tidur? Kerjamu hanya tidur dan bersemedhi di samping makan sayur-sayuran, apa bedanya dengan babi?"

"Tok-ong, pinceng tidak sudi berbicara tentang hal yang bukan-bukan. Kau sudah berani mendatangi Kun-lun-san dan membikin kacau di sana, kemudian kau pun menculik calon murid Siauw-lim-pai, ini berarti kau menghina pinceng, menghina Siauw-lim-pai. Sekarang kau datang-datang selain memaki-maki dengan mulutmu yang kotor, kau pun menyerang secara menggelap. Apa maksudmu sebenarnya?" betapa pun juga ketua Siauw-lim-pai ini menahan diri, memang sebagai seorang ciangbujin (ketua) partai besar dia jarang sekali menurunkan tangan mempergunakan kepandaian.

"Bhok Lo Cinjin, bukankah kau seorang hwesio?”

"Betul, habis ada apakah?”

"Bukankah kau diajar berlaku welas asih, diajar berlaku mengalah dan berlaku sabar?”

"Betul, habis mengapa?”

"Nah, kalau begitu sebagai hwesio kau harus mengalah dan berlaku baik. Mengapa kau tidak mau mengalah saja kepadaku dan memberikan murid ini secara baik-baik, kemudian berterima kasih karena aku berkenan memberi pendidikan kepada bocah itu? Sekarang aku datang hendak menguji sampai di mana kepandaian ketua Siauw-lim-pai, selain untuk memuaskan hatiku juga untuk memberi hajaran kepada kau yang telah bersikap sombong dan berani kepada Tok-ong! Kecuali kau mau berlutut, bilang bahwa dengan rela hati kau memberikan Thio Wi Liong kepadaku dan selanjutnya berjanji takkan kurang ajar terhadap aku golongan yang lebih tinggi tingkatnya, mana aku sudi membei ampun?”

Sudah terang kata-kata yang keluar dari mulut Bu-ceng Tok-ong itu sama sekali diputar balikkan dan sangat bocengli (kurang ajar). Sesabar-sabarnya hati hwesio tua Siauw-lim-pai, Bhok Lo Cinjin tetap hanya seorang manusia biasa, karena itu mana dapat bertahan mendengar ucapan yang benar-benar tidak karuan dan amat sombong tidak tahu aturan ini?

"Bu-ceng Tok-ong siluman sombong. Kau kira pinceng jeri padamu? Kau hendak mengadu ilmu, boleh kau maju dan keluarkan semua ilmumul Siapa sih yang takut?"

Akan tetapi belum habis hwesio ini bicara, tanpa memberi peringatan lagi Bu-ceng Tok-ong telah menyerang dengan pukulan dahsyat. Benar-benar seorang tokoh yang tak tahu aturan. Jangankan tokoh yang sudah demikian tinggi tingkatnya, yang lebih rendah tingkat kepandaiannya sekali pun selalu memberi-tahu sebelum melakukan serangan pertama, takkan sudi melakukan serangan secara tiba-tiba dan menggelap seperti yang dilakukan oleh Raja Racun ini!

Bhok Lo Cinjin maklum akan kelihaian lawannya, maka dia tidak berlaku lengah. Memang sejak tadi dia sudah dapat menduga macam apa adanya Raja Racun ini, maka dia selalu bersikap waspada. Melihat datangnya pukulan yang amat dahsyat dan mengandung hawa panas ini, dia pun cepat melompat ke samping sambil mengebutkan lengan bajunya.

Pukulan itu meleset, membuat pohon di belakang hwesio itu yang terkena hawa pukulan bergoyang goyang dan daun-daunnya rontok bagaikan tertiup angin besar! Dari sini saja dapat dibayangkan betapa hebat dan berbahayanya serangan dari Bu-ceng Tok-ong.

Namun Bhok Lo Cinjin adalah tokoh besar Siauw-lim-pai. Walau pun dia bukan termasuk orang terpandai di Siauw-lim-si, masih ada susiok serta supek-nya, tokoh-tokoh tua yang ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi dari padanya, tetapi kalau dia sampai dipilih menjadi ketua, tentu dia telah memiliki kepandaian tinggi di samping sifat-sifat baik untuk menjadi pemimpin partai persilatan besar itu.

Pertempuran hebat segera terjadi. Seperti biasa bila mana tokoh-tokoh besar bertempur, gerakan mereka lambat-lambat saja, akan tetapi di sekitar mereka semak-semak belukar bergoyang-goyang dan pohon-pohon rontok daunnya seperti ada angin besar mengamuk!

Setelah lewat lima puluh jurus, rasa penasaran dalam hati Bhok Lo Cinjin tak tertahankan lagi. Biasanya seorang ketua partai besar jarang turun tangan, namun sekali turun tangan dalam sepuluh jurus harus sudah merobohkan lawan. Sekarang selama lima puluh jurus, jangankan merobohkan, bahkan mendesak saja tidak bisa, malahan dialah yang terdesak oleh ilmu silat yang amat kacau balau dan aneh dari lawannya.

Sesungguhnya dalam hal ilmu silat kiranya Bhok Lo Cinjin tak akan kalah oleh lawannya, karena ilmu silat Siauw-lim-pai adalah ilmu silat tinggi yang jarang tandingannya. Namun yang membuat Bu-ceng Tok-ong menjadi lawan yang amat berat adalah kedua tangannya yang berbisa atau pukulan-pukulan yang mengandung hawa maut sebab pukulan-pukulan ini bukan pukulan biasa melainkan pukulan dengan hawa beracun. Di samping ini juga Bu-ceng Tok-ong amat curang, mempunyai banyak senjata rahasia berbisa yang bisa dilepas secara tiba-tiba dan tidak terduga-duga.

Tentu saja semua ini takkan ada artinya bila ilmu silatnya tidak tinggi. Ia memiliki banyak macam ilmu silat yang sudah digabung menjadi ilmu silat aneh dan jahat karena memang golongannya rata-rata memiliki ilmu silat yang selalu mempergunakan kecurangan tanpa mempedulikan tata susila persilatan. Beberapa kali Bu-ceng Tok-ong menggunakan akal yang amat curang.

"Hwesio, tahan dulu!" serunya dalam sebuah pergulatan seru di mana dia agak terdesak.

Sebagai seorang gagah yang mematuhi peraturan bertempur mengadu kepandaian, tentu saja Bhok Lo Cinjin menahan gerakan-gerakannya dan pada saat itu tanpa malu-malu lagi Bu-ceng Tok-ong mengerahkan tenaga dan menyerangnya dengan dahsyat! Serangan ini berbahaya sekali dan hanya berkat kewaspadaannya saja Bhok Lo Cinjin masih sanggup menghindarkan diri sungguh pun pundak kirinya terlanggar hawa pukulan dan terasa amat panas.

Bu-ceng Tok-ong hanya tertawa-tawa puas melihat akalnya berhasil, dan hwesio itu tidak mau menegur karena maklum bahwa orang macam lawannya itu tidak punya malu lagi. Ia hanya berlaku hati-hati sekali dan membalas dengan serangan yang tidak kalah hebatnya. Untuk melindungi diri dari serangan gelap, ia memainkan Ilmu Silat Lo-han-bian-kun, yaitu semacam ilmu silat yang mempergunakan lweekang lemas namun amat tangguh.

Tiba-tiba saja Bu-ceng Tok-ong menghentikan gerakan-gerakannya lantas berseru sambil menengok ke arah Wi Liong. "Hee, hati-hati kau jangan sampai jatuh...!"

Bhok Lo Cinjin adalah seorang gagah sejati. Melihat lawannya berhenti dan menengok ke arah bocah itu menyuruhnya hati-hati, tentu saja ia tidak sudi menggunakan kesempatan ini untuk menyerang selagi lawannya tidak bersiap siaga. Otomatis dia pun menghentikan serangannya kemudian menengok juga ke atas pohon karena khawatir kalau bocah yang ditendang tadi benar-benar jatuh.

Saat inilah yang segera dipergunakan oleh Raja Racun yang curang itu untuk menyerang lawannya. Tanpa mengeluarkan suara apa-apa tiba-tiba ia menubruk, menyerang Bhok Lo Cinjin dengan pukulan bertubi-tubi dari kedua tangannya yang telah berubah hitam, tanda bahwa ia melakukan pukulan berbisa yang mengandung hawa maut.

Bhok Lo Cinjin agak kaget. Meski pun ia dapat mengelak dan menangkis dengan kebutan lengan bajunya, namun kedudukannya segera menjadi terdesak dan posisi tubuhnya tidak menguntungkan. Dalam saat seperti ini menyambar jarum-jarum hitam dari bawah lengan Bu-ceng Tok-ong, senjata-senjata rahasia yang dilepas dengan diam-diam menggunakan semacam alat yang dipasang di bawah lengan!

Sekali ini Bhok Lo Cinjin benar-benar terkejut sekali. Dia mengeluarkan seruan keras dan tahu-tahu tubuhnya yang bundar gemuk itu telah mencelat ke atas seperti bola ditendang. Sungguh hebat gerakannya dalam mengelak ini sampai Bu-ceng Tok-ong sendiri berseru memuji,

"Bagus sekali!"

Akan tetapi Raja Racun ini sudah menyusul dengan pukulan-pukulan dan menghujankan jarum-jarum berbisanya. Dalam keadaan berjungkir balik di udara ini Bhok Lo Cinjin masih berusaha menangkis semua pukulan dan serangan, namun tetap saja ada sebatang jarum hitam yang mengenai betisnya tanpa dapat dicegah lagi.

Bhok Lo Cinjin menggigit bibir dan begitu dia turun ke atas tanah lagi, dia merasa kakinya tidak dapat digerakkan. Namun ia tetap tidak mau menyerah dan berdiri tegak menunggu datangnya lawan.

Bu-ceng Tok-ong menyerang maju dengan dua tangan mendorong ke arah dada. Sebagai seorang gagah perkasa yang pantang mundur sebelum mati, Bhok Lo Cinjin menyambut dengan sepasang tangannya pula sambil mengerahkan lweekang-nya. Dua pasang tangan bertemu, bertumbuk keras dan akibatnya, Bu-ceng Tok-ong mencelat mundur sedangkan hwesio Siauw-lim-pai itu terjengkang roboh!

Bu-ceng Tok-ong tertawa bergelak melihat lawannya sudah tak berdaya lagi. Tadinya dia tidak tahu bahwa lawannya sudah terluka. Baru kini dia melihat betapa kaki kiri lawannya membengkak, tanda bahwa jarumnya sudah mendapat korban.

Bhok Lo Cinjin memang tak dapat bangun lagi karena kaki kirinya tidak dapat digerakkan lagi, akan tetapi ia rebah tak bergerak sambil memandang kepada lawannya dengan mata melotot.

"Babi gemuk, bersiaplah kau untuk mampus. Ha-ha-ha!" Bu-ceng Tok-ong ketawa girang. "Aku masih memberi kesempatan padamu, lekas kau menyatakan takluk dan kalah, baru aku akan mengampunimu."

"Mau bunuh lekas bunuh, kau menang karena curang. Siapa takut mati?” bentak Bhok Lo Cinjin.

Kembali Raja Racun itu tertawa bergelak. "Heei, Wi Liong, buka lebar-lebar matamu dan lihatlah. Bukankah ini Bhok Lo Cinjin ketua Siauw-lim-pai sudah menggeletak tak berdaya di depan kakiku? Ha-ha-ha!"

Tentu saja Wi Liong tadi tidak dapat mengikuti jalannya pertempuran dan sebenarnya dia tidak tahu bahwa Bhok Lo Cinjin dikalahkan dengan cara-cara yang curang. Akan tetapi dengan lantang dia berkata,

"Tak tahu malu! Kau menang karena curang!”

"Bocah keparat, jadi kau lebih percaya kepada omongan babi gemuk ini? Ha, kau lihatlah dia kubikin mampus!" Bu-ceng Tok-ong melangkah maju dan hendak memberikan pukulan terakhir untuk menewaskan Bhok Lo Cinjin.

Hwesio itu memandang dengan mata tak berkedip, sama sekali tidak takut.

"Bunuhlah, jangan banyak cerewet!” serunya tenang.

"Jangan bunuh dia...!" tiba-tiba Wi Liong menjerit.

Ia merasa bersalah dan bertanggung jawab kalau hwesio tua itu tewas. Bukankah tadi dia sengaja memanaskan hati Bu-ceng Tok-ong untuk mencegat hwesio tua ini dan sekarang kalau hwesio ini tewas, sama saja dengan dia yang menyuruhnya? Tadinya dia berharap ketua Siauw-lim-pai yang dipuji-puji oleh pamannya itu akan dapat mengalahkan iblis ini, tidak tahunya sekarang nyawa ketua Siauw-lim-pai itu malah terancam.

Tanpa pikir panjang lagi dia lalu... melompat dari puncak pohon itu ke bawah! Karena dia belum memiliki kepandaian tinggi, tentu saja tubuhnya lalu bergulingan dan dia tentu akan jatuh dengan tubuh remuk dan nyawa melayang kalau saja Bu-ceng Tok-ong tidak cepat-cepat menyambarnya.

"Ha-ha-ha, kau benar-benar bocah pemberani, patut menjadi muridku. Kau tidak ingin aku membunuh babi gemuk ini?"

"Jangan bunuh dia. Dia sudah kalah, mengapa harus dibunuh lagi? Sekarang aku sudah percaya bahwa dia kalah olehmu."

"Ha-ha-ha, jadi kau sudah percaya akan kelihaianku? Bagus, suruh dia minta ampun dan berlutut, nanti kuampuni dia."

Wi Liong menghampiri hwesio itu dan berkata dengan suara sedih. "Losuhu, akulah yang membuat losuhu sampai menderita begini. Harap losuhu mengalah, minta ampun supaya tidak dibunuh."

Bhok Lo Cinjin membelalakkan matanya dengan marah. "Bocah setan! Siapa sudi minta ampun? Orang mau bunuh boleh bunuh, orang gagah tidak takut mati!"

Wi Liong kaget sekali sampai melompat mundur. Bu-ceng Tok-ong tertawa mengejek.

"Dia ingin mampus, mengapa kau sayang nyawa babi?" tegurnya kepada Wi Liong.

Bocah itu berdiri bingung. Matanya yang lebar menatap ke arah hwesio itu dan ia menjadi kasihan sekali. Bagaimana pun juga ia harus lebih dulu berusaha menolong nyawa hwesio tua itu agar jangan sampai dibunuh oleh siluman ini, baru kemudian ia mencari jalan untuk menolong diri sendiri. Berpikir demikian, tiba-tiba ia menjatuhkan diri berlutut di depan Bu-ceng Tok-ong sambil berkata,

"Biarlah aku yang mewakili hwesio itu, aku mintakan ampun untuk nyawanya."

"Bocah keparat! Setan...! Pinceng tidak sudi dimintakan ampun! Heee, Bu-ceng Tok-ong, lekas kau bunuh pinceng, jangan dengarkan ocehan bocah gila itu!"

Bagi seorang gagah, nama dan kehormatan jauh lebih berharga dari pada nyawa. Bhok Lo Cinjin adalah seorang ciangbujin partai besar, setelah dia dikalahkan lawan, mana dia sudi minta ampun atau dimintakan ampun orang lain? Jauh lebih baik ia dibunuh dari pada dijadikan buah tertawaan di dunia kang-ouw!

Bu-ceng Tok-ong mengerti pula akan hal ini. Perangainya yang aneh dan jahat membuat dia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, seorang ketua Siauw-lim-si minta-minta ampun, bahkan juga menyuruh anak kecil mintakan ampun untuk nyawanya. Ha-ha-ha, alangkah lucunya kalau hal ini terdengar oleh orang-orang di seluruh dunia. Baiklah Wi Liong, aku bersedia mengampuni babi gemuk itu karena kau yang mintakan ampun..."

"Iblis bermulut jahat! Lekas kau bunuh aku, siapa takut mampus?" Bhok Lo Cinjin menjadi kasar karena marahnya. Akan tetapi Bu-ceng Tok-ong telah menarik lengan Wi Liong dan berlari pergi dari tempat itu, membiarkan Bhok Lo Cinjin memaki-maki tidak karuan.

Bu-ceng Tok-ong membawa Wi Liong kembali ke tempat di mana dia berpisah dengan Tok-sim Sian-li tadi untuk melihat apakah kawannya itu juga berhasil mengalahkan Pak-thian Koai-jin. Kalau Tok-sim Sian-li tidak berhasil, maka ia mempunyai kesempatan untuk mengejek dan menyombongkan kemenangannya. Namun dia tidak melihat Tok-sim Sian-li sehingga terpaksa dia mengajak Wi Liong menunggu…..

********************

Mari kita ikuti Tok-sim Sian-li yang membawa Kun Hong untuk mencegat Pak-thian Koai-jin. Iblis wanita ini ingin sekali memamerkan kepandaiannya kepada Kun Hong, muridnya yang tidak pecaya bahwa dia mampu mengalahkan tokoh utara itu!

Pak-thian Koai-jin adalah suheng dari Hu Lek Siansu ketua Go-bi-pai, karena itu dapatlah dibayangkan betapa tinggi ilmu kepandaiannya. Jika melihat orangnya sih tidak seberapa, berpakaian pengemis bertubuh kecil pendek. Terlebih lagi bila sudah melihat dia berjalan terbungkuk-bungkuk seperti orang sudah kehabisan tenaga atau kalau melihat betapa dia berjalan dengan tongkat di tangan kiri dan mangkok butut di tangan kanan, persis seperti orang kelaparan, tentu setiap bocah pun akan memandang rendah kepadanya.

Akan tetapi orang akan kecele kalau mengira dia ini seorang pengemis lemah. Pak-thian Koai-jin atau Manusia Aneh dari Utara ini adalah seorang yang selalu gembira dan nakal, kenakalan yang luar biasa sehingga membuat banyak tokoh penjahat menjadi gentar dan ngeri, kenakalan yang disertai kepandaian tinggi sekali.

Orang akan melengak kaget dan takkan percaya kalau mendengar betapa seorang diri, hanya dikawani tongkat butut dan mangkok retaknya, pengemis tua ini pernah membikin kocar-kacir satu regu tentara Mongol terdiri dari enam puluh orang yang sedang merusak-binasakan sebuah dusun di mana secara kebetulan pengemis ini sedang mengaso. Lebih dari setengah jumlah tentara Mongol ini tewas oleh tongkatnya dan komandannya, yakni seorang perwira Mongol yang terkenal gagah perkasa, mendapat benjol-benjol di kepala oleh mangkok retak, dan tentu akan tewas kalau tidak lekas-lekas minggat mengaburkan kudanya!

Setelah turun dari puncak Kun-lun-san, Pak-thian Koai-jin berjalan perlahan. Tidak seperti yang lain, dia tidak tergesa-gesa. Untuk apa tergesa-gesa, pikirnya, lebih baik menikmati tamasya alam yang indah terbentang luas di depan kakinya.

Selagi dia enak berjalan kaki menuruni tebing dan lereng, mendadak dia melihat seorang wanita telah berdiri di depannya, menghadang dengan sikap galak, pedang bersinar hijau di tangan melintang di depan dada, kaki terpentang sikap menantang. Di belakang wanita yang berbedak tebal hingga mukanya mirip tembok baru dikapur ini terlihat seorang bocah yang dikenalnya sebagai anak yang pernah ia lihat dan goda di dekat puncak, bocah yang ternyata adalah anak Kam Ceng Swi. murid Kun-lun-pai.

Memang ia suka kepada bocah ini dan ingin mengambilnya sebagai muridnya, bagaimana sekarang berada di sini bersama wanita ini? Berpikir sampai di sini diam-diam Pak-thian Koai-jin kaget sekali. Jadi inikah wanita siluman Mokauw yang disebut Tok-sim Sian-li Si Dewi Berhati Racun?

Melihat betapa tokoh yang terkenal kejam itu hanya seorang wanita yang belum begitu tua dan pesolek, cantik dan memiliki mata yang mengandung sifat cabul. Pak-thian Koai-jin tidak berani memandang rendah. Akan tetapi dasar ia seorang yang berwatak nakal, suka sekali menggoda orang, maka dia segera tersenyum lebar, lalu berjalan terseok-seok menghampiri sambil menyodorkan mangkok bututnya kepada wanita itu.

"Toanio yang baik, kasihanilah seorang pengemis tua yang kelaparan. Kalau kau memberi hadiah, usiamu akan panjang rejekimu banyak dan kau akan menjadi makin cantik...”

Tok-sim Sian-li tersenyum manis sekali lantas berpaling kepada Kun Hong. "Inikah orang yang kau maksudkan itu?”

Kun Hong mengangguk, terheran-heran melihat sikap kakek pengemis itu yang demikian merendah padahal ia masih ingat betul betapa kakek ini telah memperlihatkan kepandaian yang luar biasa.

Tok-sim Sian-li menghadapi pengemis itu, segera mengeluarkan sebuah uang emas dari saku bajunya sambil berkata,

"Pak-thian Koai-jin, aku sering mendengar orang bilang bahwa burung yang akan mati suaranya amat merdu. Suaramu tadi juga merdu sampai-sampai tergerak hatiku memberi sedekah. Terimalah ini, sedikit hadiah dariku."

Wanita itu melemparkan uang emas ke arah mangkok di tangan kanan Pak-thian Koai-jin. Tokoh utara ini maklum bahwa orang sedang menguji tenaganya. Cepat ia mengerahkan tenaga ke arah mangkok untuk menerima sambitan itu.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar