Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 26

Selagi dia tertawa sambil berjalan perlahan tanpa memperhatikan ke mana kedua kakinya menuju, tiba-tiba saja ia melihat seekor kera melompat dari atas cabang pohon kemudian berdiri di atas batu. Binatang kera bukan merupakan binatang aneh, dan melihat seekor kera melompat turun dari atas pohon juga bukan merupakan penglihatan yang aneh. Akan tetapi melihat seekor kera yang membawa sehelai kertas bertulisan huruf-huruf ‘ORANG MUDA, KAU KE SINILAH’ benar-benar merupakan pemandangan yang jarang terdapat!

Kun Hong berdiri bengong. Apakah hal ini hanya suatu kebetulan saja? Apakah binatang ini menemukan kertas yang dibawanya ke mana-mana dan kertas itu kebetulan sekali ada tulisannya seperti itu? Tetapi tiba-tiba kera itu berjalan sambil kadang-kadang menengok padanya, meringis seperti dara cantik tersenyum dan menggerak-gerakkan tangan kirinya seperti melambai kepadanya!

Kun Hong sampai menjadi bengong. Apakah kera ini dapat menulis? Ahh, belum pernah dia mendengar akan hal ini. Biar pun di antara orang-orang Mokauw banyak yang memiliki kepandaian aneh. akan tetapi belum pernah dia melihat atau mendengar tentang adanya seekor binatang kera yang pandai menulis.

Dia masih sangsi. Tak mungkin kera itu melambai-lambai kepadanya. Dia diam saja, akan tetapi kera itu memutar tubuhnya, mengeluarkan bunyi bercuitan. lalu kembali melambai-lambaikan kertas itu kepadanya, lalu berjalan lagi ke depan sambil menengok beberapa kali seperti orang yang mengajak Kun Hong supaya mengikutinya.

Kun Hong menjadi tertarik dan mulai berjalan mengikuti monyet itu. Akan tetapi monyet itu amat gesit, melompat dari batu ke batu membuat Kun Hong payah sekali. Kalau dia tidak terluka jangankan hanya mengikuti monyet itu, biar disuruh menangkap sekali pun dapat dilakukannya dengan mudah.

Sekarang, karena takut luka di dadanya akan menghebat, pemuda ini terpaksa bersusah payah, berjalan perlahan, bahkan setengah merangkak apa bila melalui batu-batu karang yang sukar. Anehnya, kera itu seperti mengerti akan keadaannya. Beberapa kali binatang itu berhenti dan menengok seperti sengaja menantinya.

Kera itu membawanya mengitari puncak. Kun Hong terkejut sebab setelah mengikuti kera itu sampai setengah hari lamanya, tahu-tahu dia tiba di daerah terlarang yang dianggap suci oleh Kun-lun-pai, yaitu tanah kuburan para guru besar Kun-lun-pai yang dimakamkan di situ! Tempat ini merupakan sebidang tanah yang penuh dengan makam, keadaannya selain sunyi juga menyeramkan, ditumbuhi pohon-pohon yang berbunga putih.

Kera itu terus memasuki tanah kuburan sambil menengok-nengok. Dengan tindakan kaki perlahan dan hati seram Kun Hong turut memasuki tempat yang terlarang itu. Akan tetapi dia tidak merasa takut dan terus mengikuti kera itu.

Mendadak kera itu melompat ke atas sebuah batu karang di mana dia lantas melompat-lompat sambil mengeluarkan suara, kemudian dengan sekali meloncat dia telah berada di atas cabang pohon berkembang lalu melepaskan kertas yang tadi dipegangnya. Mulutnya dimonyongkan dan terus bercuitan.

Kun Hong melangkah terus ke depan dan hampir dia berteriak saking kagetnya ketika dia tiba di bawah pohon itu. Bila ia tidak berlaku hati-hati mungkin ia telah menginjak kepala orang yang menonjol keluar dari tanah seperti sepotong batu!

Kepala ini botak kelimis, mengkilap dan hitam mirip batu hitam digosok. Mukanya penuh rambut putih, alisnya gompyok tetapi sudah putih semua saking tuanya, matanya meram-melek. Untungnya waktu itu siang hari, jika melihat pemandangan seperti ini pada malam hari, benar-benar mengerikan sekali.

Orang itu ternyata bersila ke dalam sebuah lubang di tanah sehingga hanya kepalanya saja yang kelihatan. Pada waktu Kun Hong menjenguk, ternyata tubuh laki-laki tua renta ini sama sekali tidak berpakaian, telanjang bulat seperti tengkorak hidup karena tubuhnya kurus kering tinggal tulang dibungkus kulit.

"Bagus sekali kau mau datang, orang muda!"

Ucapan ini terdengar nyaring dan jelas hingga Kun Hong melompat perlahan. Ia lupa akan pantangannya dan terasa dadanya sakit sekali ketika dia melompat kaget dan heran tadi. Ia meringis, akan tetapi tanpa mempedulikan rasa sakit dia lalu menoleh ke sana ke mari untuk mencari siapa orangnya yang bicara tadi.

Kakek telanjang ini tentu bukan orangnya yang bicara, karena sejak tiba di situ pandang matanya tak pernah terlepas dari wajah orang dan ia tidak melihat orang itu bicara, hanya matanya meram-melek seperti boneka mainan anak-anak. Karena tidak melihat ada orang di sekelilingnya, Kun Hong menoleh kepada kera yang masih ayun-ayunan di atas cabang pohon di atasnya.

Ah, aku sudah menjadi gila, pikirnya dengan muka merah. Monyet menulis saja sudah tak mungkin, mana ada monyet bicara? Aku terlalu terpengaruh oleh tulisan di atas kertas itu sehingga telingaku mendengar yang bukan-bukan pikirnya.

Perhatiannya segera tertuju kepada kakek itu lagi. Apa sih yang dilakukan oleh kakek ini? Melihat keadaan wajah dan kepalanya kakek ini tentu sudah sangat tua, mungkin seratus tahun lebih usianya. Seluruh tubuhnya nampak seperti sudah mati, kulit yang berkeriput dan kering itu, bibir yang pecah-pecah, rambut yang putih layu. Hanya sepasang matanya saja yang membuktikan bahwa makhluk ini masih hidup, walau pun sudah bukan seperti manusia lagi.

"Kau terluka oleh totokan Im-yang-lian-hoan! Sudah kuduga, karenanya kau kupanggil ke sini!" kembali terdengar suara tadi, suara yang serak dan pelo.

Sekali lagi Kun Hong gedandapan (terkejut dan bingung), lalu celingukan ke sana ke mari. Sukar sekali menentukan dari arah mana suara tadi datangnya, bisa dibilang dari depan, dari kakek yang diam tak bergerak kecuali matanya itu, tapi mungkin juga dari belakang, kanan kiri, atau dari atas! Ketika ia memandang ke atas, monyet itu mengeluarkan suara cecowetan seperti orang bergembira dan tertawa-tawa!

"Pek-wan (lutung putih), kau senang mendengar pinto bicara dengan seorang manusia, ya? Bagus kau ambil hidangan untuk tamu kita," suara itu terdengar lagi.

Kera atau lutung putih itu langsung melompat pergi sambil cecowetan. memasuki hutan di sebelah kanan. Sedangkan Kun Hong kembali celingukan, akan tetapi kini kecurigaannya timbul kepada kakek itu. Kalau di situ ada manusia, manusianya hanya kakek itu dan dia sendiri. Siapa lagi kalau bukan kakek ini yang bicara?

Tentu saja ia pun pernah mempelajari Ilmu Coan-im-kang (Ilmu mengirim suara dari jauh) sehingga suaranya dapat ia tujukan untuk orang-orang tertentu tanpa dapat didengar oleh orang lain. Namun setidaknya bibir orang yang melakukan ilmu ini akan bergerak sedikit. Sedangkan kakek ini sama sekali tidak menggerakkan bibirnya yang seakan-akan sudah mati!

“Jantungmu hampir membeku oleh pukulan Im-kang, sedangkan lapisan luar paru-parumu hampir terbakar oleh hawa thai-yang. Tanpa diobati mana kau bisa hidup leluasa!”

Kini Kun Hong sudah sangat memperhatikan kakek itu. Ketika suara ini terdengar, ia tidak celingukan lagi, melainkan memandang ke wajah kakek itu dengan seksama. Walau pun bibir kakek itu tak bergerak, tetapi ada sedikit perubahan pada wajahnya, yaitu jenggotnya bergerak-gerak tanda bahwa di dalam leher atau perut tentu terjadi pergerakan-pergerakan oleh hawa mujijat. Ternyata benar kakek ini yang bicara, mempergunakan semacam coan-im-kang yang tinggi sekali!

Kun Hong boleh jadi berwatak buruk, akan tetapi dia pun cerdik. Melihat keadaan orang ini yang begitu aneh, dia segera dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang sakti dan mungkin sekali dapat menyembuhkan luka di dadanya. Maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kepala itu sambil membentur-benturkan jidatnya di atas tanah seperti seekor ayam makan beras.

"Huh, sikapmu tadi lebih jantan. Perlu apa bermuka-muka? Bilang saja kau ingin ditolong, hentikan segala tekuk lutut dan sembah itu!" kata kakek itu tanpa menggerakkan bibirnya.

Merah wajah Kun Hong mendengar ucapan dengan nada mengejek ini. Keangkuhannya tersinggung. Dia segera berdiri dan berkata sambil lalu,

"Orang tua, aku datang kau yang panggil, apa kehendakmu? Kau bilang aku terluka oleh totokan Im-yang-lian-hoan, kalau bukan untuk memberi obat, apakah hanya untuk diejek?”

Kakek itu tertawa tanpa membuka mulut, tetapi suaranya seperti orang tertawa terbahak, membuat Kun Hong memandang dengan melongo. Banyak sudah ia melihat orang-orang aneh di dunianya orang-orang Mokauw. Gurunya sendiri, Thai Khek Sian, adalah seorang manusia yang luar biasa sekali, tapi yang selucu kakek ini belum pernah dia melihatnya. Masa ada orang bicara dan tertawa-tawa tanpa membuka mulut atau menggerakkan bibir sama sekali!

"Ha-ha-ha„ jika aku mengobatimu bagaimana dan jika aku hanya mengejek bagaimana?"

”Kalau kau mengobatiku, itu hal yang tidak mungkin. Mana ada orang miring otak macam kau dapat mengobatiku? Kalau kau mengejek, itu hakmu karena kau berada di sini, tentu ada hubungannya dengan Kun-lun-pai dan karenanya namamu akan kucatat dalam hatiku supaya kelak kalau ada kesempatan akan kubalas hinaanmu bersama si tua bangka Pek Mau Sianjin!"

Kakek itu menarik napas panjang, bibirnya tetap tertutup rapat akan tetapi dadanya yang gepeng itu beralun. "Hemm, kau benar-benar kotor...! He, orang muda ketahuilah bahwa hanya karena kau ini anak pungut Kam Ceng Swi maka aku ambil peduli padamu. Ceng Swi orang baik, seorang jantan tulen, maka aku tidak sayang menurunkan satu dua ilmu pukulan kepadanya. Dia jauh lebih baik dari pada semua tosu di Kun-lun, dan dia sayang kepadamu, tapi celakanya kau hidup di antara bangkai-bangkai yang berbau busuk. Akan tetapi emas tetap berharga biar pun terendam lumpur, bunga teratai tetap gemilang biar pun hidup di pecomberan. Hatimu kulihat tidak jahat."

"Stop! Kakek tua bangka, apakah kau memanggilku hanya untuk mendengar pidatomu?" Kun Hong mencela dengan hati mendongkol.

"He-heh-heh, kau sudah ketularan watak Bu-ceng Tok-ong! Ketahuilah, pukulan Im-yang-lian-hoan adalah pukulan rahasia dari partai Kun-lun, biar pun orang-orang seperti Thian Te Cu atau Thai Khek Sian tak akan mampu mengobati luka akibat pukulan Im-yang-lian-hoan! Pinto adalah orang Kun-lun-pai, tentu saja dapat mengetahui semua ini. Sayangnya pengobatan tak dapat dilakukan oleh pinto seorang. Pukulan Im-kang dapat kusembuhkan dan kau akan terbebas dari rasa sakit apa bila mempergunakan lweekang-mu. Akan tetapi pengaruh desakan hawa thai-yang darimu sendiri hanya dapat disembuhkan oleh seorang ahli gwakang seperti temanku hwesio bermuka hitam. Setelah kuobati, tenaga lweekang-mu pulih kembali akan tetapi celaka kalau kau berhadapan dengan ahli gwakang. Setelah diobati oleh temanku hwesio muka hitam, tenagamu luar dalam barulah pulih semua, akan tetapi bekas luka pada jantungmu tetap saja membuat engkau hanya dapat hidup paling banyak untuk dua tahun saja…" Kakek itu berhenti bicara, agaknya menjadi lelah setelah bicara panjang lebar.

"Aku hidup bukan karena kehendakku, mati pun bukan atas keinginanku. Kau orang tua mana bisa bicara tentang matiku? Jangan mengoceh!" kata Kun Hong mencela lagi.

"Heh-heh-heh, bagus. Ucapan ini menyatakan kebesaran hatimu sehingga kau hidup dua tahun lagi juga tidak perlu menyesal. Hanya ada satu jalan untuk menyambung nyawamu, yaitu jika kau bisa mendapatkan batu kemala yang bernama Im-yang-giok-cu yang dimiliki oleh Kui-bo Thai-houw di Ban-mo-to.”

Diam-diam Kun Hong kaget sekali. Gurunya, Thai Khek Sian pernah berpesan kepadanya bahwa di dunia ini hanya ada dua orang yang disegani gurunya, yaitu pertama Thian Te Cu kakak seperguruan Thai Khek Sian sendiri dan Kui-bo Thai-houw di Ban-mo-to!

"Orang muda, jangan bengong saja. Maju dan berlututlah agar aku dapat menotokmu!"

Kun Hong berpikir bahwa dia telah mendapat luka hebat, hidup pun percuma kalau setiap kali mengerahkan tenaga lweekang dia merasa dadanya sakit bukan main. Jika kakek ini membohong dan sebagai orang Kun-lun-pai hendak membunuhnya, paling-paling ia hanya mati! Masih lebih baik dari pada sekarang ini, mati tidak hidup pun bukan! Ia lalu maju dan berlutut di dekat kepala itu.

Kakek itu mengeluarkan tangan kanan kiri dari lubang, dua lengan dan tangan yang kurus tinggal tulang terbungkus kulit tampak mengerikan.

"Jangan bergerak!" kata kakek itu dan dua tangannya bergerak cepat bukan main.

Andai kata Kun Hong belum terluka dan masih leluasa bergerak sekali pun, agaknya tidak mudah mengelak dari dua serangan yang dilakukan hampir berbareng itu. Tahu-tahu jari-jari tangan kiri kakek itu sudah menotok punggungnya.

Seketika hawa yang amat panas masuk ke tubuhnya melalui punggung, membuat seluruh kulitnya merah dan peluh berkumpul di jidatnya. Kemudian dengan cepat sekali menyusul totokan di lambungnya yang mendatangkan hawa dingin seperti salju. Kedua serangan ini gerakannya serupa benar dengan serangan Pek Mau Sianjin, maka diam-diam Kun Hong kaget sekali.

Diserang satu kali saja oleh Pek Mau Sianjin dia sudah terluka hebat, sekarang diserang dengan pukulan yang sama untuk kedua kalinya! Akan tetapi ia sudah tak dapat bergerak lagi karena hawa panas dan dingin yang bercampur aduk itu membuat dia pusing dan... tiba-tiba dia muntahkan darah lalu terguling pingsan!

Kun Hong tidak tahu berapa lama ia jatuh pingsan, akan tetapi ketika ia siuman kembali, dia mendengar suara kera itu cecowetan dengan aneh. la menengok dan melihat kera itu bergulingan seperti anak kecil menangis di atas tanah dan... kepala kakek itu kini terkulai miring, matanya meram dan sekarang mata itu telah mati seperti anggota tubuh yang lain.

Kun Hong cepat mendekat dan meraba jidat kakek itu. Dingin! Ternyata kakek itu benar sudah menghembuskan napas terakhir. Di atas tanah terdapat corat-coret tulisannya. Kun Hong segera membacanya, dan benar saja, tulisan itu memang sengaja ditulis oleh kakek aneh itu sebagai pesan terakhir untuknya.

Hwesio muka hitam di puncak Kepala Harimau Pegunungan Bayangkara. Mintalah obat kepadanya, katakan bahwa kau diberi petunjuk oleh Liong Tosu di Kun-lun-san!

Mendadak terdengar bentakan-bentakan nyaring, "Pemuda iblis, kau berani mengganggu Liong-couwsuhu!" Serombongan tosu Kun-lun-pai dikepalai oleh Pek Mau Sianjin sendiri, berlari-larian cepat sekali menuju ke tempat itu.

Kun Hong cepat menghapus tulisan di atas tanah itu. kemudian dia melompat berdiri lalu melarikan diri turun gunung. Tidak mungkin aku dapat melawan mereka, pikirnya.

Karena ingin lekas tiba di Pegunungan Bayangkara dan khawatir kalau-kalau dikejar oleh para tosu Kun-lun-pai, ia berlari cepat sekali, lupa bahwa kalau berlari cepat mengerahkan lweekang dadanya akan menjadi sakit sekali. Setelah ia berlari cepat sekali mengerahkan seluruh lweekang-nya dan berada di kaki gunung jauh meninggalkan para tosu Kun-lun-pai, barulah dia teringat dengan kaget dan heran bahwa dadanya tidak terasa sakit sama sekali!

"Ahh, lukaku sembuh sebagian. Kalau begitu tua bangka aneh itu tidak berkata bohong," katanya nyaring dengan hati girang sekali. Dia cepat berlutut dan menjura ke atas langit. "Liong Tosu, terima kasih atas kebaikanmu. Semoga arwahmu menjadi dewa!"

Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa Liong Tosu telah mengorbankan nyawa sendiri untuk menolong menyembuhkan sebagian dari luka pada dadanya. Untuk menyembuhkan luka hebat itu, Liong Tosu harus mengerahkan seluruh sinkang-nya dan hal ini terlampau berat bagi jasmaninya yang sudah tua sekali sehingga begitu selesai mengobati pemuda itu dia lalu jatuh terkulai dan nyawanya melayang.

"Setelah ada bukti bahwa totokan Liong Tosu itu mendatangkan hasil baik dan dadaku tak terasa sakit lagi, tentu bicaranya tentang hwesio muka hitam yang dapat menyembuhkan sama sekali luka di dadaku itu benar pula. Pegunungan Bayangkara tidak jauh dari sini, di sebelah timur. Aku harus ke sana, mencari puncak Kepala Harimau, minta tolong kepada hwesio muka hitam," pikir Kun Hong dengan hati gembira.

Tadinya ia terluka parah dan jika bergerak sedikit saja dadanya sakit. Sekarang rasa sakit lenyap, akan tetapi menurut Liong Tosu penyakit itu baru sembuh sama sekali setelah dia diobati oleh hwesio muka hitam. Karena Bayangkara tidak jauh, hal itu kiranya tidak sukar dilakukan.

Meski setelah disembuhkan, menurut tosu tua itu, ia hanya dapat hidup selama dua tahun saja, akan tetapi hal ini pun ada obatnya, yaitu Im-yang-giok-cu di Ban-mo-to. Betapa pun sukarnya, kalau obat untuk menyambung nyawa, tentu akan dia cari sampai dapat!

Kun Hong hanya tahu bahwa Pegunungan Bayangkara terletak di sebelah timur Kun-lun-san akan tetapi ia tidak tahu benar, malah hampir tidak mengenal jalan di daerah ini. Pada suatu hari perjalanannya terhalang oleh sebuah sungai yang besar. Inilah Sungai Kun-sha-kiang yang merupakan sebuah dari pada sungai-sungai yang mengawali Sungai Yang ce-kiang.

Hari telah menjelang senja ketika ia tiba di tepi sungai itu. Di tempat yang sunyi ini hanya tampak sebuah perahu kecil, tergolek-golek di tepi sungai dan seorang nelayan setengah tua, agaknya pemilik perahu, duduk melenggut di atas kepala perahu sambil memegangi sebatang pancing. Agaknya sudah terlalu lama ia memancing namun tidak ada ikan yang menyambar maka membuat ia mengantuk, apa lagi hawa di siang hari itu memang amat panasnya.

"Haai, kakek pemalas! Hayo antar aku menyeberang sungai!" Kun Hong membentak.

Hampir saja kakek itu terguling dari perahu saking kagetnya. Baru enak-enak tidur ayam dibentak sampai dia menjumbul dan tersentak kaget, matanya terbelalak.

"A... ada apa... ikan besar...?”

Ia gagap-gugup lalu menarik-narik pancingnya. Akan tetapi tiada ikan yang menyangkut.

Kun Hong tertawa terbahak-bahak. "Ha-ha-ha! Mana ada ikan mau makan umpan tukang pancing yang malas? Paling-paling yuyu (kepiting sungai) yang mau menyapit. Ha-ha!"

Tukang pancing itu membuka capingnya yang lebar, lalu memandang kepada Kun Hong penuh perhatian, agak merengut.

"Eh, orang muda. Kau siapakah dan apa kehendakmu datang menggoda seorang nelayan tua yang kurang makan kurang tidur?"

"Kakek, aku hendak menyeberang. Hayo kau seberangkan aku dengan perahumu ini."

Kakek itu mengamat-amati pemuda ini. "Kau mau bayar berapa?”

Kun Hong mengerutkan kening. Pemuda ini tak pernah mengenal uang, maka tak pernah membawa uang. Kebiasaan golongannya, yaitu golongan Mokauw, mau makan atau pakai ambil saja. Milik setiap orang milik mereka juga!

"Aku tidak punya uang. Aku harus menyeberang dan kau mempunyai perahu, perlu apa uang?” katanya tak senang.

Kakek itu meludah ke dalam air. "Tidak punya uang untuk bayar dan tidak punya perahu sendiri untuk menyeberang, kalau mau menyeberang boleh kau berenang saja." Setelah berkata demikian kembali kakek itu memperhatikan pancingnya, sama sekali tidak mau pedulikan Kun Hong.

”Tua bangka busuk! Tidak ada ikan makan cacingmu? Kau makanlah sendiri!" Kaki Kun Hong bergerak dan tubuh kakek itu terlempar ke dalam air sungai! Air muncrat dan kakek itu gelagapan. Baiknya ia adalah seorang nelayan yang pandai berenang, bila tidak tentu ia akan mati tenggelam di air yang dalam itu.

Sambil tertawa Kun Hong mencabut pedang Cheng-hoa-kiam. "Hei kakek tukang pancing, lihatlah ini! Lain kali pedangku akan membabat lehermu seperti ini. Baiknya sekarang aku sedang gembira maka kuampuni nyawamu!"

Kun Hong menyabetkan pedangnya ke arah cabang pohon yang tumbuh di pinggir sungai. Sekali sabet saja putuslah cabang itu. Kakek nelayan semakin ketakutan dan cepat-cepat berenang menjauhi tempat itu, tidak mempedulikan perahunya lagi.

Kun Hong tertawa dan hendak menghampiri perahu, namun tiba-tiba terdengar bentakan nyaring lembut, "Orang jahat kebetulan sekali aku bertemu denganmu di sini!" Dari atas pohon melayang turun sesosok bayangan yang bergerak cepat dan langsung menyerang Kun Hong dengan sebatang pedang tipis.

Serangan ini berhabaya sekali, akan tetapi dengan mudah saja Kun Hong menangkis, lalu menggunakan pedangnya menempel dan menindih pedang lawan. Ketika ia memandang, ia mengeluarkan seruan kaget dan cepat melompat mundur. Orang itu bukan lain adalah Pui Eng Lan. gadis manis yang selama ini memenuhi ruangan hati Kun Hong, yang setiap detik selalu terbayang di depan matanya.

"Nona Pui Eng Lan... betapa girang hatiku bertemu dengan kau di sini... ehh... anu... aku tadi hanya main-main saja dengan tukang perahu, harap kau jangan salah mengerti...," katanya ketika ingat bahwa mungkin sekali nona pujaan hatinya ini marah karena melihat dia mempermainkan tukang perahu tadi.

Sungguh mengherankan. Kun Hong yang selama ini tidak peduli apa yang lain orang akan menganggap tentang sepak-terjangnya, sekarang di hadapan Eng Lan begitu gugup dan kikuk seperti pengantin baru di depan mertuanya!

Eng Lan merengut dan matanya berkilat-kilat. "Tidak perlu mengobrol yang bukan-bukan! Aku tidak mengenal segala tukang perahu! Kau girang bertemu dengan aku? Bagus! Aku lebih girang lagi karena sekarang datang kesempatan bagiku untuk membalaskan sakit hati enci Siok Lan kepadamu!" Begitu kata-kata terakhir diucapkan, pedangnya meluncur cepat menusuk dada pemuda itu.

"Traangg...!"

Kun Hong menahan pedang itu, cukup perlahan agar gadis itu tidak terkejut.

"Sabar, nona manis... sabaaar...!"

"Apa sabar? Kau pengecut jahanam, kau mempermainkan enci Siok Lan! Kau membikin sakit hatinya, merusak kebahagiaan hidupnya. Gara-gara kau yang mengacau, gara-gara kejahatan dan kecuranganmu, enci Siok Lan sampai diputus perjodohannya dengan calon suaminya!" Kembali Eng Lan menyerang, sekarang dengan bacokan keras.

Kun Hong cepat mengelak, kemudian menggerakkan pedangnya menindih pedang nona itu sebelum Eng Lan sempat menyerang lagi.

"Nanti dulu. Kau menyerang aku ini apakah untuk membunuhku?"

"Tentu saja! Apa kau kira aku sedang main-main?” Eng Lan meronta hendak melepaskan pedangnya dari tindihan pedang pemuda itu, namun tidak berhasil.

"Sabar dulu, adikku yang manis. Percayalah, kalau memang aku bersalah sehingga layak menerima hukuman mati, hanya pedang di tanganmu yang dapat mengantar nyawaku ke sorga. Aku rela seribu kali mati di tanganmu. Akan tetapi berilah aku kesempatan untuk mendengar uraianmu sejelasnya. Kalau kau tidak percaya, lihat, kusimpan pedangku dan ini dadaku kalau nanti mau kau tusuk sesudah aku mendengar penuturanmu dan merasa bahwa aku berdosa sehingga layak mati." Pemuda itu betul-betul menarik pedangnya dan menyimpannya di sarung pedang, membusungkan dadanya yang bidang.

"Kau... kau menantang...?" Eng Lan menggerakkan pedangnya menusuk cepat dan kuat ke arah ulu hati pemuda itu.

Dia menduga bahwa pemuda berilmu tinggi yang biasa mempermainkan orang ini tentu berpura-pura saja dan akan mengelak. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia melihat pemuda itu sama sekali tak bergerak, bahkan sepasang mata yang tajam seperti bintang itu sedikit pun tidak berkedip.

"Cesss...!” Pedang menembus baju mengenai kulit.

"Aduhhhh celaka...!"

Aneh, yang menjerit ini bukan Kun Hong yang tertusuk melainkan Eng Lan sendiri. Gadis ini merasa terkejut setengah mati melihat pedangnya menembus baju dan dia cepat-cepat menarik pulang pedangnya, akan tetapi ujung pedang sudah mengenai kulit dada. Darah merah membasahi baju pemuda itu yang tetap tersenyum dan berdiri tegak.

"Aku... aku tak bermaksud membunuhmu secara begitu... aku tak sudi membunuh orang yang tidak mau melawan..." katanya gagap sambil memandang ke arah baju yang penuh darah itu.

"Kau belum membunuhku, baru menggores kulit. Mengapa tidak jadi? Kalau kau memang menghendaki nyawaku, ambillah. Nyawaku sudah bukan milikku lagi, adikku sayang. Jiwa dan badan ini sudah lama menjadi milik seorang gadis manis bernama Pui Eng Lan..."

"Cih, tak tahu malu!!" Eng Lan menjadi merah sekali mukanya, hampir semerah baju Kun Hong yang terkena darah. "Aku menantangmu bertempur seperti layaknya orang-orang gagah. Salahmu sendiri mengapa tidak melawan?”

"Eng Lan, adikku yang manis, aku tidak main-main. Terhadapmu aku tak kuasa melawan, aku menyerah kalah, menurut hendak kau apakan juga. Tetapi coba kau ceritakan dahulu apa kesalahanku. Bahkan seorang pesakitan yang diperiksa oleh pengadilan dan dijatuhi hukuman mati sekali pun akan lebih dulu diceritakan apa yang menjadi dosanya."

"Kau masih hendak berpura-pura? Sudah kusebutkan tadi dosamu kepada enci Siok Lan sekeluarga."

"Aku tidak merasa berdosa pada enci Siok Lan. Apakah kau maksudkan murid Pak-thian Koai-jin itu? Aku sama sekali tidak mengenalnya, bagaimana bisa berdosa padanya? Aku tidak berpura-pura, sungguh mati, aku tidak mengerti. Coba kau ceritakan."

Eng Lan menarik napas panjang dan memaki diri sendiri. Mengapa menghadapi pemuda ini yang sudah menyerah begitu saja, tinggal menusuk dadanya cuss dan beres, mengapa mendadak ia menjadi lemah dan tidak tega?

Ahh, memang keterlaluan apa bila dia membunuhnya begitu saja, membunuh orang yang tidak melakukan perlawanan, membunuh orang yang kelihatannya betul-betul belum tahu akan dosanya, seorang yang... yang... begitu mencintanya. Dulu pun ketika pemuda ini membebaskannya dari tahanan, dia sudah tahu akan cinta kasih pemuda ini kepadanya.

"Baik, kuceritakan agar orang tidak menganggap aku keterlaluan, akan tetapi itu... lukamu itu obatilah dulu. Ini aku mernbekal obat. Aku tidak tahan kalau melihat darah," kata gadis itu sambil mengeluarkan sebungkus obat bubuk untuk mengobati luka.

"Kau yang melukai, kau pula yang harus mengobati," kata Kun Hong tersenyum.

Makin merah muka gadis itu. "Jangan main gila! Maksudku baik tetapi kau anggap yang bukan-bukan. Mau pakai obatku atau tidak?”

Melihat gadis itu marah-marah lagi dan bicaranya ketus, Kun Hong tertawa lalu menerima bungkusan itu dan mengobati luka kulit di dadanya. Eng Lan miringkan kepalanya, jengah melihat pemuda itu membuka kancing baju, malu melihat kulit dada yang putih itu, yang sekarang tampak tergores ujung pedangnya. Setelah mengenakan obat, rasa perih hilang dan Kun Hong menutup lagi bajunya.

"Nah, kau berceritalah, aku telah siap mendengarkan," katanya sambil memandang muka gadis yang masih dipalingkan ke kiri.

Eng Lan lalu bercerita, Kun Hong mendengarkan. Mereka duduk di atas akar pohon yang menonjol keluar dari permukaan tanah. Keduanya terlihat seolah-olah dua orang sahabat baik yang sedang mengobrol sambil makan angin. Padahal Eng Lan masih menggenggam pedangnya dan dia masih menganggap pemuda ini musuhnya, seorang jahat yang layak dia bunuh!

Apa yang diceritakan oleh Eng Lan kepada Kun Hong? Mari kita ikuti sendiri pengalaman gadis itu.

Semenjak dibebaskan oleh Kun Hong dari tahanan di Peking, Eng Lan bersama Tung-hai Sian-li berhasil melarikan diri keluar dari kota raja. Begitu mereka lolos keluar dari tembok kota, mereka bertemu Siok Lan dan See-thian Hoat-ong. Tentu saja dua orang ini merasa girang sekali melihat mereka sudah berhasil menyelamatkan diri. Tak lama selagi mereka saling bicara, datang pula Pak-thian Koai-jin dan Lam-san Sian-ong yang melompat keluar dari balik tembok kota.

"Kami melihat kalian berlari-lari, merasa heran tidak ada yang mengejar, maka diam-diam kami hanya mengikuti, takut kalau-kalau ada musuh menyerang dari belakang," kata Pak-thian Koai-jin.

Tadinya dia bersama Lam-san Sian-ong memasuki kota Peking dengan maksud hendak menolong Tung-hai Sian-li dan Pui Eng Lan. Akan tetapi selagi mereka mencari-cari pada tengah malam itu mereka melihat bayangan dua orang wanita itu berlari-lari cepat sambil berlompat-lompatan dari genteng ke genteng.

"Kami ditolong oleh pemuda yang bernama Kam Kun Hong itu. Lebih baik kita lekas pergi dari sini, siapa tahu kalau-kalau musuh mengirim barisan mengejar," kata Tung-hai Sian-li.

Tanpa banyak cakap mereka semua lalu berlari cepat ke selatan. Setelah malam terganti pagi baru mereka berhenti dan Tung-hai Sian-li menceritakan pengalamannya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar