Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 25

"Ayah, jangan kau menyangkal aku sebagai anakmu hanya untuk menolongku!" pemuda ini berteriak penuh keharuan dan kemenyesalan. Ia tidak rela melihat ayahnya berbohong merendah dan bahkan menyangkalnya sebagai anak hanya untuk menyelamatkannya dari maut.

"Siapa bilang kau anakku?" Kam Ceng Swi berkata ketus. “Untung bagiku kau bukanlah anakku sehingga aku tidak begitu malu memiliki anak yang menjadi penghianat bangsa!"

"Ceng Swi, dahulu kau tidak bercerita apa-apa dan kami semua menganggap dia benar-benar puteramu yang ibunya sudah meninggal. Coba kau terangkan yang jelas. Kalau dia bukan anakmu, lalu anak siapakah dia?"

"Teecu juga tidak tahu," kata Kam Ceng Swi dengan keras-keras, sengaja supaya Kun Hong mendengarnya. "Dia masih kecil sekali ketika teecu mendapatkan dia menggeletak dan menangis di samping seorang wanita muda yang sudah tewas dalam sebuah hutan. Wanita muda itu tewas akibat cengkeraman seperti Tiat-jiauw-kang (Ilmu Cengkeraman Besi) di dadanya dan di situ tidak ada tanda-tanda siapa adanya nyonya muda itu. Satu-satunya tanda hanyalah gelang emas dengan ukiran huruf KUN HONG pada lengan kiri anak itu yang teecu bawa sesudah teecu mengubur jenazah itu. Sampai sekarang teecu tidak tahu siapakah ayah anak itu dan siapa pula nyonya muda yang agaknya ibunya itu."

Terdengar isak tangis. Semua orang melihat Kun Hong yang menangis terisak-isak. Air matanya membanjir keluar dari sepasang matanya, mengalir turun di atas pipinya tanpa ia dapat menghapus karena kedua tangannya diikat ke belakang. Baru sekarang Kun Hong menangis, betul-betul menangis karena hatinya terasa perih, terharu dan nelangsa sekali. Sampai ayah bundanya saja tidak ada orang yang mengenal! Jadi dia bukan putera Kam Ceng Swi!

"Namaku terukir di gelang, akan tetapi siapa she-ku?" tanyanya dengan suara serak yang terputus-putus. Berkali-kali dia menelan ludah dan menggerak-gerakkan kepalanya untuk mengusir air mata yang membanjir turun dari mukanya.

"Aku tidak tahu siapa she-mu. Akan tetapi meski pun kau anak orang lain, semenjak kecil aku memeliharamu, mendidikmu sampai kau diculik orang jahat. Tidak nyana sama sekali hari ini aku bertemu lagi dengan kau sebagai seorang penghianat yang jahat sekali. Kun Hong, kalau aku tahu akan begini jadinya, lebih baik dulu kau kubiarkan mati di samping ibumu!" kata Kam Ceng Swi yang tak dapat menahan air matanya saking menyesal dan kecewa.

Untuk beberapa lama tak ada yang membuka mulut. Kemudian Pek Mau Sianjin berkata, "Ceng Swi, setelah sekarang ternyata bahwa orang itu bukan anakmu, memang dia tidak boleh dianggap sebagai murid Kun-lun-pai. Akan tetapi dia adalah murid Thai Khek Sian, dia seorang penghianat yang berbahaya. Setelah terjatuh ke dalam tangan kita, masa kita harus melepaskannya begitu saja? Bukankah itu sangat berbahaya?"

"Suhu, biar pun dia hanya anak pungut, akan tetapi teecu merasa akan kelemahan hati sendiri, teecu sudah menganggap dia anak sendiri dan terlalu tebal kasih sayang di dalam hati teecu. Karena itu teecu harus berdaya sekuat tenaga untuk menyelamatkannya, lahir batin. Bila mana suhu sudi mengampuni nyawanya, maka itu berarti teecu sudah berhasil menyelamatkan dia dari kematian. Akan tetapi tentu saja teecu tak akan membiarkan dia terlepas begitu saja sehingga membahayakan keselamatan rakyat. Melihat penjahat tanpa turun tangan berusaha membasminya, sama dengan bersekutu dengan penjahat itu."

"Lalu bagaimana kehendakmu sekarang? Karena dia bukan murid Kun-lun-pai, juga bukan anakmu, pinto tidak kuasa lagi mengambil keputusan atas dirinya sesudah kau berada di sini. Kau yang lebih berhak," kata ketua Kun-lun-pai dengan suara halus, hatinya merasa sangat kasihan kepada muridnya ini yang bernasib demikian buruk sehingga mempunyai dan menyayang seorang anak pungut yang demikian jahat.

"Perkenankan teecu bicara dengan dia," kata Kam Ceng Swi.

Setelah ketua itu mengangguk memberi ijin, ia lalu melangkah maju mendekati jembatan. Hatinya hancur menyaksikan betapa puteranya kini sudah menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah sekali, tepat seperti yang sering kali dia bayangkan di kala merindukan anak pungutnya ini. Dia begini gagah, begini tampan, mengapa tersesat?

Semua gara-gara Bu-ceng Tok-ong yang telah menculiknya, pikir pendekar ini dengan hati geram. Bocahnya ini tidak bersalah. Tentu saja karena mendapat didikan dari orang-orang Mokauw, dia lalu menjadi tersesat. Bukan salah anak itu karena terjatuh ke dalam tangan orang-orang Mokauw bukanlah kehendaknya. Malah Kun-lun-pai yang bersalah dalam hal ini, karena Kun-lun-pai tidak mampu merampas kembali anak ini dari tangan orang jahat.

"Kun Hong, kau bersumpahlah demi arwah ibumu bahwa kau sudah bertobat tidak akan melakukan kejahatan seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang Mokauw, tidak akan menjadi kaki tangan pemerintah penjajah tetapi justru akan membantu perjuangan orang-orang gagah membela rakyat. Bersumpahlah dan aku yang akan menanggung agar kau diampuni oleh Kun-lun-pai."

Kalau tadinya Kun Hong nampak terharu hingga menangis karena mendengar bahwa dia bukan putera Kam Ceng Swi, akan tetapi anak yang ditemukan di tengah jalan di samping mayat ibunya, tidak diketahui pula siapa ayahnya, dan sekarang mendengar ucapan Kam Ceng Swi yang dikeluarkan dengan suara mengandung penuh harapan, pemuda ini tiba-tiba tertawa bergelak. Kelakuannya demikian aneh sampai semua tosu memandangnya, juga Seng-goat-pian Kam Ceng Swi melengak.

"Ayah. kau tadi bilang bahwa kau bukan ayahku, bahwa aku anak yatim piatu yang tidak diketahui siapa ibu bapaknya. Tetapi mengapa kau bersusah payah hendak menolongku? Orang-orang Kun-lun-pai telah berlaku pengecut, menangkap aku secara menggelap dan memalukan. Sekarang mau bunuh boleh bunuh, siapa sih takut mati? Orang-orang hanya bisa menumpahkan kesalahan kepadaku. Aku dibawa ke Kun-lun-pai bukan kehendakku, kemudian diculik Bu-ceng Tok-ong dan menjadi murid Thai Khek Sian, masa itu salahku? Menyuruh aku bersumpah? Ha-ha-ha. lucu sekali, aku boleh melakukan apa saja sesuka hatiku, kenapa harus diikat dengan sumpah segala?"

Seorang tosu Kun-lun-pai marah sekali mendengar ini.

"Suheng. untuk apa mintakan ampun bagi manusia macam begitu? Kita basmi saja iblis ini, berarti kita menolong banyak orang."

"Nanti dulu! Bagaimana pun jahat terdengarnya tapi ucapannya itu memang ada betulnya. Dia sampai menjadi dewasa, salahku karena aku dahulu yang menolongnya. Dia sampai menjadi murid Mokauw, salah Kun-lun-pai karena dahulu bocah ini berada di sini dan Kun-lun-pai tidak berdaya merampasnya kembali ketika ia diculik oleh Bu-ceng Tok-ong. Akan tetapi kalau dia tidak mau berjanji, bagaimana pun juga memang berbahaya melepaskan dia..." Seng-goat-pian Kam Ceng Swi kelihatan bingung dan sedih sekali.

Melihat keadaan Kun Hong, demi keamanan memang seharusnya pemuda ini dihukum dan ditewaskan. Akan tetapi bagaimana seorang ayah dapat melihat puteranya dibunuh? Di dalam hatinya dia menganggap Kun Hong seperti anak sendiri.

Pek Mau Sianjin yang berpemandangan awas tahu akan hal ini. Kakek ini berkata lembut, "Muridku, ada jalan pemecahannya, kita melenyapkan kepandaiannya tanpa melenyapkan nyawanya. Kalau kau setuju pinto akan mematikan hawa thai-yang di dalam tubuhnya."

Wajah Kam Ceng Swi berseri. Inilah jalan satu-satunya menyelamatkan anak pungutnya itu, menyelamatkannya lahir batin. Pemuda itu tidak saja takkan terbunuh mati, juga kalau kepandaiannya lenyap, dia akan dapat melakukan kejahatan apakah?

"Suhu bersedia melakukan hal ini, sungguh menjadi bukti lagi akan kemuliaan hati suhu. Teecu menghaturkan banyak terima kasih dan tentu saja teecu menyetujuinya, kalau saja hal ini tidak akan mengganggu kesehatan suhu sendiri."

Ilmu untuk mematikan hawa thai-yang adalah sebuah ilmu warisan Kun-lun-pai yang amat dirahasiakan dan biasanya hanya boleh diwarisi oleh ketua-ketua Kun-lun-pai atau tokoh-tokoh yang mempunyai kedudukan paling tinggi. Murid-murid biasa, biar pun tokoh seperti Kam Ceng Swi sekali pun, tidak diperbolehkan mempelajarinya.

Sesungguhnya ilmu ini adalah semacam ilmu pengobatan untuk mengusir hawa di dalam tubuh yang dapat menimbulkan pelbagai penyakit, juga bisa menimbulkan daya kekuatan. Ada pun cara untuk melakukannya amat sukar lagi melelahkan dan menghabiskan tenaga lweekang. Oleh karena itu, biar pun ia sendiri tidak bisa, akan tetapi Kam Ceng Swi yang dulu sudah pernah melihat guru besarnya melakukan ilmu ini, tadi langsung menyatakan kekhawatirannya kalau-kalau ketua Kun-lun-pai itu akan menjadi sakit kalau menjalankan ilmu ini.

"Bawa dia ke lian-bu-thia (ruang belajar silat)," kata kakek itu perlahan kepada Kam Ceng Swi, kemudian mendahuluinya pergi ke arah kelenteng besar yang berada di puncak bukit itu diikuti para tosu lainnya.

Kam Ceng Swi berjalan menghampiri Kun Hong, berdiri memandang pemuda itu dengan kening berkerut dan mata penuh keharuan, lalu dia memeluk pemuda itu sambil berkata, "Kun Hong, kau tahu betapa besar kasih sayangku padamu. Aku melakukan hal ini demi keselamatanmu."

Melihat Kam Ceng Swi, orang yang selama ini dia anggap ayahnya dan yang kadang kala ia kenang dengan penuh kerinduan, tiba-tiba Kun Hong teringat akan maksudnya mencari ayahnya dan terbayanglah wajah Pui Eng Lan yang manis. Begitu teringat akan gadis ini, otomatis semua kekhawatiran lenyap, semua urusan terlupa, dan serta-merta ia berkata,

"Ayah. apa benar kau sayang kepadaku?"

"Masih perlukah kau bertanya lagi? Aku sayang kepadamu seperti seorang ayah kepada anaknya sendiri."

"Kalau begitu harap ayah mencari Pak-thian Koai-jin dan lamarkan murid perempuannya yang bernama Pui Eng Lan untuk aku!"

Kam Ceng Swi melengak dan bengong memandang putera angkatnya. Bocah ini sedang menghadapi urusan besar, sebentar lagi akan kehilangan seluruh kepandaiannya, namun yang dipikirkan adalah soal perjodohan! Di samping keheranannya dia juga merasa amat terharu.

"Baiklah, Kun Hong. Aku akan melamar dia untukmu. Sekarang kau harus ikut ke lian-bu-thia dan merelakan kepandaianmu yang diperoleh dari orang-orang jahat. Lebih baik tidak berkepandaian namun bersih dari pada berkepandaian akan tetapi kotor. Kepandaian yang dipergunakan untuk kebenaran adalah suatu berkah dan nikmat, akan tetapi kepandaian yang dipergunakan untuk kejahatan adalah suatu kutuk dan awal kesengsaraan." Setelah berkata demikian, Kam Ceng Swi memondong tubuh anak pungutnya yang masih terikat itu, dibawanya lari menuju ke lian-bu-thia di mana Pek Mau Sianjin dan tosu-tosu Kun-lun-pai sudah menanti kedatangannya.

Sesudah Kam Ceng Swi merebahkan tubuh Kun Hong di tengah lian-bu-thia itu, dengan gerakan tubuhnya Kun Hong berhasil bangkit lalu duduk dengan lutut ditekuk ke belakang. Pemuda ini tersenyum memandang ke arah Pek Mau Sianjin, lalu berkata mengejek.

"Tosu tua bangka! Alangkah lucunya kalau para tokoh kang-ouw melihat kau menghadapi seorang pemuda yang sudah diikat erat-erat. Ha-ha. biar pun sudah diikat, agaknya aku masih mampu membuat kau tak berdaya. Haa, kau kelihatan takut! Wajahmu yang kurus kering menjadi pucat. Ha-ha-ha! Sungguh tidak patut kau menjadi ketua Kun-lun-pai!"

"Kun Hong, jangan kurang ajar!" bentak Ceng Swi, gelisah melihat sikap putera angkatnya ini.

"Suhu, lebih baik basmi saja manusia iblis ini," kata lain orang tosu yang menjadi panas perutnya mendengar ejekan Kun Hong.

Pemuda itu menoleh dan melihat tosu yang mengusulkan supaya dia dibunuh ini adalah seorang tosu yang mukanya bopeng bekas dimakan penyakit cacar, dia lalu berkata,

"Ehh, tosu bopeng, kau berani bilang begitu apakah kau sendiri berani melawanku? Coba kau lepaskan ikatan ini, aku tanggung dalam sepuluh jurus aku sudah dapat membuat kau lebih bopeng lagi!"

"Kun Hong. apa kau berani melawan aku?" bentak Kam Ceng Swi sambil melompat maju mendekati pemuda itu. Kun Hong menjadi serba susah. Dia menundukkan mukanya dan berkata perlahan.

"Kau bukan ayahku, akan tetapi kau sudah berlaku sebagai ayahku sendiri, kau baik dan sayang kepadaku. Bagaimana aku berani melawanmu?”

"Kalau begitu kau pun harus taat kepadaku. Kun-lun-pai mengampuni kau akan tetapi kau harus rela membuang kepandaianmu yang sesat. Kau tahu, untuk mematikan hawa thai-yang di tubuhmu, suhu harus mengorbankan tenaga beliau yang sudah tua. Mestinya kau berterima kasih atas maksud baik suhu, bukan bersikap kurang ajar seperti itu. Atau kau lebih suka mati?”

Kam Ceng Swi amat marah karena ia sudah bersusah payah untuk menolong nyawa anak angkatnya, tidak tahunya yang ditolong malah bersikap demikian kurang ajar. Dia khawatir kalau-kalau ketua Kun-lun-pai akan berubah pikiran dan melanjutkan niatnya semula, yaitu membunuh pemuda ini.

Kun Hong menarik napas panjang, akan tetapi dia tersenyum. "Ayah, jika manusia sudah berani hidup mengapa takut mati? Di dunia ini tidak ada orang baik, setiap perbuatan baik dan setiap pertolongan merupakan kedok untuk menutupi pamrih yang buruk. Kun-lun-pai hendak menolongku? Lalu kenapa aku ditangkap secara curang? Pek Mau Sianjin hendak menolongku? Tentu di belakang maksud ini ada niat yang lebih buruk dan jahat. Tapi kau sudah kuanggap ayahku sendiri dan aku belum pernah membalas budi, biarlah kali ini aku menyenangkan hatimu. Pek Mau tosu tua bangka, kau akan berbuat apa saja atas diriku, silakan!"

Sesudah berkata demikian. Kun Hong meramkan matanya. Kedua kakinya masih ditekuk berlutut karena dia tak bisa bersila, sedangkan kedua tangannya masih diikat di belakang tubuhnya. Sikapnya ini seperti orang hukuman yang akan menjalani hukum potong leher!

Pek Mau Sianjin telah bersiap-siap. Dia mengerahkan seluruh tenaga sinkang di tubuhnya sambil meramkan kedua matanya. Uap putih perlahan mengebul dari atas kepalanya yang agak botak, tanda bahwa hawa Yang di tubuhnya bekerja sekuatnya, kemudian perlahan-lahan uap itu menghilang dan semua tosu yang berada di situ, yang tadinya merasakan hawa panas keluar dari tubuh ketua Kun-lun-pai ini, kini merasa betapa hawa panas itu berubah menjadi dingin sekali. Inilah hawa sakti Im yang keluar dari tubuh kakek itu.

Pek Mau Sianjin sedang mematangkan perubahan-perubahan hawa di tubuhnya agar siap mematikan hawa thai-yang di tubuh Kun Hong. Perubahan makin cepat, sebentar panas sebentar dingin. Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan seruan keras sambil tangan kanannya bergerak maju dan dua jari tangannya, telunjuk dan jari tengah menotok ke arah punggung Kun Hong.

"Plakk!"

Dua jari tangan itu menempel di punggung Kun Hong dan seketika pemuda itu menjadi merah sekali mukanya, cepat sekali peluhnya keluar semua dan dari kepalanya mengepul uap putih. Inilah tanda bahwa hawa Yang di tubuhnya sudah dibangkitkan oleh totokan itu. bagaikan api menjadi berkobar-kobar di tubuhnya, panasnya tak tertahankan lagi.

"Uaakkhh!"


Kun Hong muntahkan segumpal darah dari mulutnya, kemudian ia mengeluarkan seruan dan...

”Krekk!" sebagian tambang yang mengikat kedua kakinya putus!

Pek Mau Sianjin mengeluarkan seruan kaget. Cepat tangan kirinya bergerak dan dua jari tangannya menggantikan tangan kanan, sekarang menotok ke arah lambung dekat pusar. Kembali dua jari tangannya menempel di situ dan tenaga Im yang hebat menyerang Kun Hong.

Memang inilah kehebatan ilmu pukulan mematikan hawa thai-yang. Mula-mula hawa Yang di dalam tubuh lawan dibangkitkan sampai sehebatnya, lalu secara tiba-tiba menyerang dengan hawa Im yang akan meresap ke dalam tulang sumsum sehingga perubahan yang mendadak ini akan memusnahkan hawa Thai-yang dan orang itu akan kehilangan semua lweekang di tubuhnya kemudian menjadi seorang biasa saja yang tak akan mungkin dapat mempergunakan kepandaian silatnya lagi.

Tadi Pek Mau Sianjin terkejut menyaksikan hawa Yang di tubuh Kun Hong yang ternyata demikian hebatnya sehingga hawa ini mendatangkan kekuatan luar biasa, dan membuat pemuda itu tanpa sengaja dapat memutuskan sebagian dari tambang yang membelenggu kakinya. Dia tidak tahu bahwa pemuda itu telah mewarisi ilmu yang hebat dari Thai Khek Sian sehingga tenaga Yang dari Pek Mau Sianjin yang dikeluarkan untuk memancing atau membangkitkan tenaganya, dapat dia sedot dan bahkan menambah kekuatan hawa Yang di dalam tubuhnya!

Tiba-tiba Kun Hong merasakan pukulan atau totokan di lambungnya yang mendatangkan hawa dingin melebihi dinginnya salju, meresap di seluruh tubuhnya membuat ia menggigil. Tubuhnya yang tadinya disaluri hawa panas luar biasa karena hawa Yang pada tubuhnya dibangkitkan, sekarang mengalami serangan hawa dingin yang hebatnya bukan kepalang.

Ia maklum bahwa hawa ini akan merusak sinkang di tubuhnya, maka dia pun cepat-cepat mengerahkan tenaganya untuk merobah hawa Yang menjadi hawa Im. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia mendapatkan kenyataan bahwa dia tidak dapat melakukan perobahan itu, karena tenaga Im yang disalurkan dari totokan Pek Mau Sianjin sudah mendahuluinya dan kini sudah terlampau kuat sehingga dia tidak keburu lagi merobah hawa di tubuhnya.

Kun Hong berlaku nekat. Biar pun ia maklum bahwa pertarungan antara kedua hawa yang bertentangan di dalam tubuhnya membuat jiwanya terancam, namun tidak ada lain jalan lagi baginya.

Begitu hawa Im dari tangan Pek Mau Sianjin sudah semakin menguat, Kun Hong cepat menyedot hawa ini sekuatnya ke dalam tubuhnya. Ia seperti orang kemasukan arus listrik, bulu-bulu dan rambut di tubuhnya sampai berdiri semua dan tiba-tiba saja dengan diiringi teriakan dahsyat semua belenggu di tubuhnya lantas putus sedangkan Pek Mau Sianjin sendiri memekik kesakitan lalu melompat mundur.

Melihat ini, Kam Ceng Swi yang merasa khawatir kalau-kalau pemuda itu memberontak dan menyerang Pek Mau Sianjin cepat maju lalu memukul anak angkatnya. Akan tetapi ia terkejut sekali. Ketika tangannya mengenai tubuh Kun Hong di bagian dada, Seng-goat-pian Kam Ceng Swi merasa tangannya seperti digigit ular berbisa sehingga ia menariknya dan melompat ke belakang dengan muka meringis kesakitan.

"Siancai... siancai... baru sekali ini pinto bertemu dengan pemuda begini lihai...,” kata Pek Mau Sianjin yang segera menjatuhkan diri bersila sambil mengatur napasnya. Wajahnya sangat pucat dan napasnya empas-empis, tanda bahwa kakek tua ini hampir kehabisan tenaga dan napas.

Sementara itu, sejenak Kun Hong berkelojotan di atas tanah, lalu diam dan rebah dengan muka pucat sekali. Ceng Swi memandangnya dengan muka pucat pula, lalu dihampirinya pemuda itu. Hatinya lega karena pemuda itu ternyata masih bernapas, meski pun sangat lemah. Ia segera berdiri lalu pergi hendak mengambil air untuk diminumkan kepada anak angkatnya.

Akan tetapi begitu dia pergi, Kun Hong telah siuman dari pingsannya. Dia bangun duduk, tampak lemas. Seorang tosu, yaitu yang bopeng tadi, melihat pemuda ini sudah berhasil melepaskan ikatan dan sekarang bangun duduk sedangkan Pek Mau Sianjin masih duduk bersila mengatur pernapasan, menjadi khawatir sekali. Cepat dia melompat maju sambil menggerakkan pedangnya membabat ke arah leher Kun Hong!

"Plakk...! Traaanggg…!"

Pedang itu mencelat, sementara si tosu bopeng meloncat ke belakang sambil memegangi tangan kanannya yang sakit sekali. Ternyata tadi Kun Hong telah menggerakkan tangan kiri menyampok, sekali sampok saja ia berhasil membuat pedang itu terlepas. Akan tetapi gerakan yang hanya menggunakan sedikit tenaga lweekang ini telah mendatangkan rasa sakit di dadanya sampai-sampai ia menggigit bibir dan menahan keluhannya.

Melihat ini Ceng Swi sudah berlari cepat datang ke tempat itu. Ia menegur sute-nya yang lancang hendak menyerang Kun Hong, akan tetapi diam-diam ia pun khawatir karena dari tangkisan tadi masih terbukti bahwa kepandaian anak muda ini tidak lenyap, sebab tenaga lwekang-nya masih hebat.

"Jangan ganggu dia, dia sudah terluka hebat...” tiba-tiba terdengar suara Pek Mau Sianjin yang masih lemah. "Salahnya sendiri. Kalau dia tidak menyedot hawa pukulanku yang ke dua, totokan itu akan membuyarkan thai-yang di tubuhnya dan dia hanya akan kehilangan tenaga di dalam tubuhnya tanpa terluka. Sekarang tenaganya tidak lenyap, bahkan makin hebat setelah ditambah dengan sebagian dari tenaga hawa pukulan pinto tadi. Akan tetapi dia telah menderita luka hebat pada jantung dan paru-paru karena bentrokan dua macam tenaga yang berlawanan. Luka ini akan menghalangi dia mengerahkan tenaga lweekang-nya. Setiap kali mengerahkan tenaga dia akan terpukul sendiri dan luka di dalam dadanya akan menghebat. Thian Maha Adil, anak itu telah membuat sendiri pencegahnya sehingga dia tak akan dapat berbuat jahat tanpa terancam nyawanya oleh luka itu."

Kun Hong menderita kesakitan hebat, namun dia mendengar jelas semua kata-kata ini. Ia mendongkol sekali, tetapi juga cemas karena baru saja dia telah mengalami bukti bahwa kata-kata kakek itu benar adanya. Ia meraba-raba dadanya dan diam-diam memaki ketua Kun-lun-pai.

"Kun Hong, kau sudah mendengar sendiri ucapan suhu. Kuharap saja mulai sekarang kau tidak akan melanjutkan kesesatanmu. Lebih baik menjadi rakyat biasa dari pada menjadi seorang pandai tapi menghianati bangsa sendiri."

Kun Hong tersenyum pahit, lalu berdiri perlahan dan menjura kepada ayah angkatnya.

"Ayah, hanya ada dua permintaan dariku, harap ayah suka penuhi."

"Apa itu? Katakan," jawab Ceng Swi, terharu juga melihat keadaan pemuda yang seperti putus asa ini.

"Pertama, harap kau jangan lanjutkan pelamaranmu kepada nona Pui Eng Lan."

Ceng Swi adalah seorang yang cerdik dan luas pandangannya. Mendengar omongan ini dia merasa hatinya tertusuk. Dia tahu akan isi hati anak angkatnya. Tentu saja pemuda ini tak berani lagi mengharapkan perjodohannya dengan murid Pak-thian Koai-jin yang tentu saja mempunyai kepandaian tinggi, sedangkan pemuda itu sendiri sekarang boleh dibilang telah menjadi seorang pemuda yang lemah dan selalu berada di tepi jurang maut. Maka ia mengangguk tanpa kuasa mengeluarkan kata-kata jawabannya.

"Ke dua, harap suka beri-tahu, di mana dahulu kau telah mengubur jenazah ibu."

Mendengar ini Ceng Swi menjadi makin terharu. Dia lompat mendekat dan memeluk leher pemuda itu.

"Kau anak tak bahagia...," bisiknya. "Sebenarnya ada rencanaku membawamu ke sana, marilah kita bersama mengunjungi makam itu...”

"Tak usah, ayah. Biar aku sendiri yang mengunjungi makam ibuku..."

"Kalau begitu pergilah ke sebuah hutan tak jauh di sebelah selatan kota raja, hutan yang banyak terdapat batu karang berbentuk menara. Makam itu kutandai dengan batu karang menara yang tinggi di mana terdapat tanda senjataku. Carilah."

Kun Hong melepaskan diri dari pelukan ayahnya, menatap kepada Pek Mau Sianjin yang masih duduk bersila, lalu berkata,

"Kau tosu tua tentu sudah merasa puas dapat melukaiku, tetapi apakah kau juga masih begitu tamak untuk mengangkangi pedangku?"

Pek Mau Sianjin memberi isyarat kepada muridnya yang membawa Cheng-hoa-kiam, lalu mengembalikan pedang itu kepada Kun Hong sambil berkata. "Pokiam yang baik, sangat berguna bagi seorang penegak keadilan tetapi berbahaya bagi seorang penjahat. Semoga berguna bagimu, orang muda."

Kun Hong menerima pedang itu yang disembunyikannya di bawah baju luarnya sehingga tidak terlihat dari luar. Setelah sekarang ia tidak dapat lagi menggunakan kepandaiannya, untuk apa pedang itu? Lebih baik disembunyikan supaya jangan sampai dirampas orang, apa lagi jika bertemu dengan Thio Wi Liong!

"Aku pergi," katanya singkat kepada ayahnya, kemudian berjalan perlahan meninggalkan puncak itu. Kini dia tidak berani lagi menggunakan ilmu lari cepatnya, karena sedikit saja mengerahkan lweekang di dalam tubuh, berarti memperhebat luka di dadanya!

Kam Ceng Swi memandang putera angkatnya hingga jauh. Setelah Kun Hong menghilang di sebuah tikungan. Seng-goat-pian Kam Ceng Swi menghantam-hantamkan senjatanya itu di udara sehingga berbunyi "tar! tar! tar!" lalu disusul oleh nyanyian-nyanyiannya yang terkenal!

Pek Mau Sianjin menghela napas, maklum betapa hebat kesedihan hati dan kekecewaan muridnya itu. Nasib buruk... siapa dapat mengubahnya? Hanya hati yang kuat menerima, hati yang maklum bahwa hidup ini memang merupakan ujian lahir batin, siapa kuat dialah yang menang. Dan baiknya Kam Ceng Swi termasuk orang yang mempunyai batin kuat, maka kesedihan dan kekecewaan itu dihadapinya dengan nyanyian.

Pek Mau Sianjin diikuti oleh murid-muridnya memasuki ruangan dalam untuk beristirahat. Sedikitnya membutuhkan waktu satu bulan bagi kakek ini untuk memulihkan tenaganya setelah melakukan totokan-totokan hebat tadi…..

********************

Dengan langkah perlahan-lahan dan hati-hati Kun Hong keluar dari ruangan belajar silat di Kelenteng Kun-lun-pai, lalu menuruni puncak. Dia harus berlaku hati-hati, karena jalan di situ sangat sukar dan berbahaya. Ketika datang dia dapat berlari-lari dengan mudah, akan tetapi sekarang, sekali terpelesat dia harus menggunakan ginkang-nya dan ini berarti dia akan memperhebat luka di dadanya. Dia benar-benar tersiksa, memiliki kepandaian tinggi tanpa berani mempergunakannya.

"Keparat si tua bangka Pek Mau Sianjin," hatinya memaki. "Kalau kelak aku memperoleh kesempatan, akan kucabuti semua tulang-tulang tuamu dari tubuhmu. Awas kau siluman Go-bi Cin Cin Cu! Kelak kuminumi arak sampai pecah perutmu. Awas kau Seng-goat-pian Kam Ceng Swi...”.

Baru sampai di sini jalan pikirannya, dia mendengar tindakan kaki orang. Pendengarannya amat tajam maka Kun Hong segera memutar tubuhnya. Dia melihat orang yang baru saja menjadi buah pikirannya, Kam Ceng Swi, berlari-lari menyusulnya.

"Kun Hong, kau hendak pergi ke mana?" tanya ayah angkat ini. "Kau terluka hebat, mari kuantar."

"Aku hendak ke mana, apa sangkut-pautnya dengan kau? Aku tidak butuh pengantar!" jawab Kun Hong yang kepalanya masih panas karena mendongkol.

Kam Ceng Swi menundukkan kepalanya. "Aku tahu kau amat marah, akan tetapi semua itu kubiarkan demi kebaikanmu sendiri."

"Hemm, kau angkat aku dari tepi jurang kematian, dulu di waktu kecil dan juga sekarang, hanya untuk melihat aku hidup menderita? Bagus, kelak akan kubalas budimu ini!"

"Kun Hong, kau terlalu! Apakah kau tidak dapat melihat kenyataan? Aku tak menghendaki balasan, aku tak perlu menonjolkan jasa, akan tetapi kalau memang hatimu belum rusak betul oleh pendidikan orang-orang Mokauw, kelak kau akan insyaf bahwa aku Kam Ceng Swi sebenarnya amat sayang kepadamu. Kau lihat ini, selama kau tidak ada gelangmu ini menjadi kawan yang tak pernah meninggalkan saku bajuku. Sekarang kau sudah kembali dan pandanganmu terhadap aku sudah tidak selayaknya. Nah, kau ambil kembali gelang ini.” Kam Ceng Swi lalu melemparkan sebuah gelang emas kecil ke arah Kun Hong yang segera menyambarnya.

Pemuda itu memandang gelang yang berada di tangannya, tidak peduli lagi dengan Kam Ceng Swi yang sudah pergi dengan muka muram dan hati penuh kedukaan. Tidak lama kemudian terdengar kembali suara senjata cambuknya yang menjeletar-jeletar mengiringi suara nyanyiannya dari jauh.

Akan tetapi Kun Hong tidak mendengarkannya lagi. Pemuda ini terus memandang kepada gelang emas kecil yang dipegangnya. Di situ terdapat ukiran dua buah huruf yang diukir amat indah dan halusnya, dua buah huruf yang berbunyi KUN HONG. Hanya benda dan huruf inilah yang menjadi pengenal dirinya, yang membuat dia disebut Kun Hong, tanpa nama keturunan!

Kun Hong mencium gelang yang lengket di lengannya ketika ia masih bayi dan ditemukan oleh Kam Ceng Swi. Dia menciuminya dengan air mata berlinang, kemudian dia berkata seperti orang gila. "Kaulah ibu bapaku! Kaulah orang tuaku dan kaulah yang menciptakan Kun Hong di dunia ini. Ha-ha-ha!"

Sikap ini timbul dari keperihan hatinya. Biar pun semenjak berusia tujuh tahun Kun Hong telah terjatuh ke dalam tangan Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li, kemudian semenjak itu hidup di lingkungan orang-orang yang terkenal sebagai golongan yang tidak mengenal peri-kebajikan sehingga bocah ini dewasa dalam keadaan kurang bersih batinnya, namun sebagai seorang manusia ia mempunyai perasaan cinta kasih yang dalam terhadap ayah bundanya.

Sekarang, mendengar bahwa tidak ada yang mengenal ayah bundanya, dan bahwa yang menjadi kawan hidupnya sejak dia ditemukan hanyalah sebuah gelang itu, tentu saja dia amat menyayang benda itu dan menganggapnya sebagai pengganti ayah bundanya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar