Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 27

"Sungguh mati aku tidak nyana bahwa pemuda yang lihai sekali itu ternyata berhati baik, tidak seperti yang lain. Sulit dipercaya kalau dia itu murid Thai Khek Sian. Dia memasuki kamar tahanan, minta maaf atas kecurangan kawan-kawannya yang menangkap aku dan Eng Lan secara pengecut. Lalu ia mematahkan belenggu dan minta agar aku menjemput Eng Lan dan melarikan diri sambil memesan agar jangan aku melayani serangan kawan-kawannya. Ahh, sungguh berbahaya. Kalau tidak ada pemuda itu, aku dan Eng Lan mana kuat melawan keroyokan mereka? Cuma heranku, apakah yang menyebabkan pemuda itu berbalik pikir dan menolong kami?”

Eng Lan seorang yang mengetahui sebabnya. Akan tetapi ia diam saja dan menundukkan kepala. Sesudah Tung-hai Sian-li selesai bercerita, Siok Lan lalu menghampiri ibunya ini. Sikapnya berbeda dari pada ketika mereka saling bertemu untuk pertama kalinya. Gadis ini berlutut dan dengan suara gemetar dia berkata,

"Apakah kau masih menganggap aku anakmu?"

Tung-hai Sian-li tercengang. Tak disangkanya gadis ini akan bersikap begini. Tadinya dia sudah putus harapan dan mengira bahwa selamanya gadis itu tentu akan membencinya. Akan tetapi dia tidak menyalahkan Siok Lan yang membela ayahnya. Melihat anaknya itu kini berlutut di depannya dan mengeluarkan pertanyaan itu, hatinya berdebar dan dengan mata basah dia memeluk Siok Lan.

"Anak bodoh, tentu saja kau anakku! Sampai mati pun aku tetap akan menganggap kau anakku."

"Kalau begitu, sebagai seorang ibu tentu akan suka memenuhi permintaan anaknya yang selamanya tak pernah minta apa-apa!”

Dengan terharu Tung-hai Sian-li membelai kepala anaknya. "Sudah tentu saja, nyawaku kusediakan untuk memenuhi permintaanmu."

Kwa Siok Lan membalas pelukan ibunya. "Ibu, permintaanku hanya satu dan tidak begitu sukar, yaitu supaya ibu ikut anak pulang ke Poan-kun."

Wajah yang masih cantik itu menjadi pucat seketika.

"Dan... dan... ayahmu...?"

"Sudah bertahun-tahun ayah selalu menanti kedatangan ibu seperti malam gelap menanti munculnya matahari. Kau tentu mau pulang bersamaku, bukan? Ibu, permintaanku hanya satu ini, jika ibu tidak mau memenuhinya, kuanggap ibu tidak mencintaku dan tidak mau menganggap aku sebagai anakmu!"

Tiba-tiba Tung-hai Sain-li melepaskan pelukannya, bangkit berdiri dan melangkah mundur. Ia membanting kakinya dan membentak "Kau hendak memaksaku?”

Siok Lan juga melompat berdiri, menjawab sama kerasnya, "Ibu terlampau kejam kepada ayah!"

Dua orang wanita ini berdiri tegak saling berhadapan. Sama cantik, sama tinggi langsing, sama-sama keras kepala dan marah! Dua pasang mata yang indah bening itu kelihatan berkilat-kilat laksana mengeluarkan api. Mereka sama sekali bukan seperti ibu dan anak, lebih patut disebut dua orang lawan yang sedang saling berhadapan hendak bertempur. Seperti dua ekor singa betina!

See-thian Hoat-ong, adik seperguruan atau sute dari Kwa Cun Ek, melihat keadaan ibu dan anak itu, segera mendehem dan berkata perlahan, berbeda dengan biasanya, "Siok Lan, jangan bersikap begitu terhadap ibumu..."

Terang bahwa kakek gagah perkasa ini merasa terharu. Ia menyaksikan persamaan yang tak dapat disangkal lagi antara ibu dan anak ini, bukan hanya persamaan rupa, melainkan persamaan watak. Sama keras kepala, sama pemarah dan sama berani!

Pak-thian Koai-jin tertawa, suara ketawanya mengandung tenaga khikang membuyarkan suasana tegang itu. Memang kakek ini sengaja hendak mendinginkan suasana, maka dia tertawa lantas disambungnya dengan kata-kata, "Nona Kwa memang betul. Mengajak ibu pulang agar supaya dapat berbakti terhadap ayah dan bunda. Cinta kasih yang suci tidak mementingkan perasaan sendiri. Ha-ha-ha."

Ucapan ini seperti air dingin yang diguyurkan ke atas kepala Tung-hai Sian-li. Terdengar dia terisak ditahan, lalu ditubruknya tubuh anaknya dan dia berkata. "Aku menurut... apa saja yang kau minta, aku menurut...,” katanya.

Siok Lan memeluk ibunya dan menangis, menangis saking girang hatinya.

Sejak tadi Pui Eng Lan diam saja menyaksikan adegan ini. Kini ia tak dapat lagi menahan keharuan hatinya. Ia menghampiri Siok Lan dan dengan air mata berlinang ia memegang tangan sahabatnya itu. Siok Lan menoleh dan tersenyum kepadanya, penuh perasaan iba dan kasihan.

Siok Lan tahu betapa Eng Lan amat tertusuk hatinya menyaksikan ia dapat bertemu dan berbaik kembali dengan ibunya. Eng Lan sendiri adalah seorang gadis yatim piatu, hanya hidup berdua dengan enci-nya. Akan tetapi enci-nya itu sudah menjadi korban keganasan hartawan Liu si tua bangka mata keranjang sehingga enci Eng Lan sekeluarga binasa. Itulah yang menyebabkan Eng Lan pergi ke kota raja bersama suhu-nya untuk membalas dendam, membunuh kakek hartawan Liu.

"Eng Lan, kau berjanji hendak berkunjung ke rumahku. Lebih baik sekarang kau sekalian ikut bersama aku dan ibu ke Poan-kun. Bagaimana?" kata Siok Lan.

Eng Lan hanya menoleh kepada suhu-nya, orang aneh dari utara yang selama ini menjadi pengganti orang tuanya.

"Boleh, boleh! Memang seharusnya kau menghibur dirimu. Kau pergilah ke Poan-kun, tiga bulan kemudian aku menyusul ke sana." kata Pak-thian Koai-jin.

Maka berangkatlah Siok Lan dan Eng Lan bersama Tung-hai Sian-li dan juga See-thian Hoat-ong ke Poan-kun. Sementara itu Pak-thian Koai-jin pergi bersama Lam-san Sian-ong, katanya mereka berdua hendak memancing ikan sambil minum arak di Telaga See-ouw…..

********************

Hati Eng Lan agak terhibur ketika ia melakukan perjalanan dengan Siok Lan dan Tung-hai Sian-li. Sedangkan See-thian Hoat-ong adalah seorang gagah yang pendiam dan dengan adanya kakek tinggi besar seperti Kwan Kong ini di samping mereka, tiga orang wanita ini tidak mengalami kepusingan karena tidak ada orang berani mengganggu mereka. Jarang ada orang berani bersikap kurang ajar di depan orang seperti See-thian Hoat-ong.

Kepada Tung-hai Sian-li dan Eng Lan, Siok Lan menceritakan keadaan rumah tangganya. Karena perjalanan cukup jauh dan makan waktu lama, banyak yang sempat diceritakan oleh Siok Lan, bahkan ia bercerita juga tentang Ciok Kim Li, gadis yang menjadi korban keganasan Tok-sim Sian-li sehingga kedua kakinya sampai dibuntungi oleh Kun Hong.

"Pemuda itu amat baik dan kepandaiannya luar biasa tingginya. Sebagai murid Thai Khek Sian memang pantas ia memiliki kepandaian yang demikian lihai. Sayangnya ia berkawan dengan orang-orang Mokauw. Aku dan Eng Lan sudah berhutang budi padanya." Sambil berkata demikian, Tung-hai Sian-li melirik ke arah Eng Lan dengan pandang mata penuh arti. Wanita gagah ini sudah dapat menduga mengapa Kun Hong membebaskan dia dan Eng Lan.

Wajah Eng Lan menjadi merah. "Bibi mengapa harus disayangkan? Orang jahat bergaul dengan orang-orang jahat, itu sudah jamak. Mana mungkin burung gagak bergaul dengan burung hong?”

"Eng Lan. kenapa kau bicara begitu? Dia sudah menolongmu, tahu?” Siok Lan menggoda. Gadis ini pun mengerti akan jalan pikiran ibunya. Memang Siok Lan amat cerdik.

"Siok Lan, kenapa kau bicara begitu? Dia menolong ibumu, bukan aku!" bantah Eng Lan, akan tetapi Siok Lan dan ibunya hanya tertawa.

Ketika mereka tiba di luar kota Poan-kun, mendadak Tung-Hai Sian-li berhenti. Siok Lan memandang heran. Semenjak makin dekat dengan Poan-kun, wajah pendekar wanita ini nampak semakin muram, berbeda dengan Siok Lan yang menjadi semakin gembira.

"Ibu, kita sudah tiba di Poan-kun, kenapa berhenti?" tanya Siok Lan sambil memandang wajah yang menjadi agak pucat itu.

"Kau pulanglah dulu untuk memberi-tahu ayahmu. Aku akan menanti di sini," jawab Tung-hai Sian-li singkat.

Siok Lan seorang gadis cerdik luar biasa, akan tetapi dia berwatak keras seperti ibunya sehingga dia tidak mengerti akan sikap ini. Sebaliknya Eng Lan lebih halus perasaannya, maka Eng Lan lalu menggandeng tangannya dan berbisik.

"Enci Siok Lan, sudah sepantasnya kalau kau pulang dulu dan memberi-tahukan ayahmu mengenai kedatangan ibumu." Sambil berkata demikian, ia mengerahkan tenaga menarik lengan sahabatnya itu melanjutkan perjalanan. Siok Lan memandang tak mengerti, akan tetapi Eng Lan berkedip memberi isyarat sehingga dia menurut saja memasuki kota Poan-kun.

"Enci Siok Lan, mengapa kau hendak memaksa ibumu masuk? Tentu aaja ayahmu harus keluar menyambut kedatangannya. Masa kau tidak dapat menyelami perasaannya?"

Siok Lan mengangguk-angguk, akan tetapi di dalam hatinya dia merasa heran mengapa ibunya harus bersikap demikian. Akan tetapi kini timbul lagi kegirangan hatinya dan dia cepat-cepat mengajak Eng Lan menuju ke rumahnya.

Sunyi saja di rumah besar itu. Siok Lan terheran. Mengapa tidak kelihatan seorang pun di halaman depan? Bersama Eng Lan dia terus memasuki halaman dan sekarang terlihatlah ayahnya duduk di atas kursi, diam tak bergerak seperti patung dan Kim Li juga duduk di atas kursi pendek. Gadis buntung kakinya ini memakai celana yang menutupi kedua kaki itu sehingga dia kelihatan berkaki pendek sekali tidak kelihatan buntung.

"Ayah...!" seru Siok Lan sambil berlari menghampiri ayahnya.

Ketika dia pergi, ayahnya memang sedang kurang enak badan, akan tetapi tidak sekurus ini dan juga tidak kelihatan begini sedih.

"Ayah, aku membawa oleh-oleh yang amat indah dan akan menyenangkan hatimu!" kata Siok Lan sesudah tiba di depan ayahnya, lalu dia menjatuhkan diri berlutut dan memeluk lutut ayahnya.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba-tiba ayahnya menggerakkan tangan menampar pipinya.

"Plakk!"


Siok Lan menjerit dan terjengkang ke belakang. Pipi kirinya merah bengkak dan mulutnya berdarah!

"Anak setan, lebih baik kau mampus dari pada membikin malu orang tua!" terdengar Kwa Cun Ek memaki marah sambil bangkit berdiri.

Biar pun kedua kaki Kim Li sudah buntung, namun semenjak memperdalam ilmu silatnya di bawah asuhan Kwa Cun Ek, gerakannya menjadi gesit sekali. Cepat dia melompat dan menubruk Siok Lan lalu menghalangi di depan Kwa Cun Ek sambil berkata,

"Suhu, ingat, jangan menuruti nafsu amarah! Belum tentu nona Siok Lan bersalah dalam urusan itu...!"

Kwa Cun Ek membanting kaki. "Kwee Sun Tek adalah seorang lelaki sejati, mana dia bisa membohong? Anak ini biar minggat saja dan sini, biar aku hidup seorang diri menderita sampai mampus dari pada didekati anak yang hanya mencemarkan namaku!" Kembali dia hendak memukul akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring.

"Kau berani memukul anakku?”

Kwa Cun Ek tersentak kaget, berdiri tegak seperti patung, matanya melotot dan mulutnya melongo. Tung-hai Sian-li telah berdiri di hadapannya, masih secantik dulu, segagah dulu, segalak dulu! Di belakangnya nampak Eng Lan berdiri di pojok.

Nona ini yang tadi cepat-cepat memberi-tahu kepada Tung-hai Sian-li tentang peristiwa di rumah itu. Mendengar anaknya dipukul oleh Kwa Cun Ek, bagaikan seekor harimau betina Tung-hai Sian-li berlari cepat sekali sampai-sampai Eng Lan sukar menyusulnya.

Tung-hai Sian-li memeluk puterinya. "Begini kau memperlakukan anakku...?" Melihat Siok Lan menangis dengan pipi bengkak dan bibir berdarah, Tung-hai Sian-li segera mencabut pedangnya dan melompat berdiri. "Kalau kau hendak membunuh dia, kau bunuh aku lebih dulu!" tantangnya.

Kwa Cun Ek yang tadinya marah-marah dan berdiri tegak kini merasa kakinya gemetar dan dia tentu akan roboh terguling kalau saja Kim Li tidak cepat-cepat membawa sebuah kursi di belakangnya. Kwa Cun Ek menjatuhkan diri di atas kursi dan menutupi mukanya.

"Kenapa baru sekarang kau datang! Kalau siang-siang kau datang, tentu peristiwa ini tak akan terjadi. Hui Goat... Hui Goat..." kata Kwa Cun Ek, suaranya terdengar menyedihkan sekali.

Hui Goat adalah nama Tung-hai Sian-li. Wanita ini menarik napas panjang lalu menyimpan kembali pedangnya. Sementara itu Siok Lan telah menubruk kaki ayahnya dan menangis sedih. Ia menyangka akan menyaksikan pertemuan yang mesra antara ayah dan ibunya, tidak tahu datang-datang ia dipersen tamparan oleh ayahnya dan menyebabkan ayah dan ibunya hampir saja bertempur sendiri!

"Ada urusan dengan anak boleh dibicarakan, boleh dirunding, bukan datang-datang anak ditampar sampai begitu. Ayah macam apa begini?" Tung-hai Sian-li mengomel dan timbul semacam perasaan aneh yang menjalar di dada pendekar gagah Kwa Cun Ek. Ia merasa senang diomeli isterinya, alangkah nikmat perasaan ini!

"Memang semua salahku... Hui Goat, apakah kau mau kembali? Membantuku merawat dan mendidik Siok Lan...? Aku sudah tidak kuat lagi mendidiknya seorang diri..."

Diam-diam Eng Lan melangkah keluar dari ruangan itu kemudian menangis seorang diri di halaman rumah. Ia merasa terharu dan teringat akan nasibnya sendiri. Ia tidak kuasa lagi menyaksikan pertemuan mereka, biar pun masih dapat mendengar pembicaraan mereka. Juga Kim Li diam-diam pergi ke belakang untuk mengambilkan minum dan persediaan lain bagi Tung-hai Sian-li dan Siok Lan. Anak ini memang mengenal kewajiban dengan baik.

"Kau kira aku datang mau apa? Kalau tidak karena Siok Lan yang memaksaku, untuk apa aku datang? Kau datang-datang memukul Siok Lan, apakah kesalahannya? Kau jelaskan, kalau tidak betul omonganmu, jangan kau menyesal kalau aku pergi lagi membawa serta anakku!" ancam Tung-hai Sian-li.

Diam-diam besar sekali hati Kwa Cun Ek. Memperoleh kembali Tung-hai Sian-li dan hidup serumah dengan isterinya yang tercinta, ahh, seakan-akan ia memasuki hidup baru. Akan tetapi dia menekan perasaannya dan setelah berkali-kali menarik napas panjang dia mulai bercerita.

"Sudah lama aku ingin mendapatkan seorang calon jodoh untuk Siok Lan, namun bocah ini selalu menolak. Akhirnya aku memutuskan sendiri ikatan jodohnya dengan keponakan Kwee Sun Tek yang bernama Thio Wi Liong. Pemuda itu adalah seorang anak yatim piatu murid Thian Te Cu. Aku segera menerima ikatan jodoh ini karena selain mengingat bahwa pemuda itu murid Thian Te Cu, juga aku kagum melihat Kwee Sun Tek yang kukenal baik pada waktu mudanya. Ketika aku memberi-tahu hal ini kepada Siok Lan, dia sama sekali tidak menyatakan apa-apa."

Tung-hai Sian-li memandang heran kepada anaknya. "Apa kau bilang? Thio Wi Liong...? Siok Lan, bukankah dia pemuda yang menolong kita dari kepungan pasukan Mongol...?"

Ketika Siok Lan tak menjawab dan hanya menundukkan muka, Tung-hai Sian-li berteriak memanggil Eng Lan. Eng Lan cepat-cepat masuk sesudah menghapus air matanya, dan menghadap nyonya pendekar itu.

"Eng Lan bukankah pemuda lihai yang dahulu menolong kita di kelenteng Siauw-lim-si itu bernama Thio Wi Liong?"

Eng Lan hanya mengangguk.

"Teruskan ceritamu, teruskan... Aku menjadi bingung..." kata Tung-hai Sian-li. Tentu saja pendekar wanita ini bingung sekali teringat akan sikap Siok Lan terhadap Wi Liong yang ternyata adalah tunangannya sendiri.

"Sebelum aku mengikat jodoh anak kita dengan keponakan Kwee Sun Tek, pernah aku bertemu dengan seorang pemuda yang lihai, pemuda bekas murid Tok-sim Sian-li, akan tetapi dalam pertemuan itu kulihat dia gagah dan berhati baik, yang kemudian kuketahui bernama Kam Kun Hong."

Kembali Tung-hai Sian-li melengak, akan tetapi suaminya tidak mempedulikan hal ini dan melanjutkan ceritanya. "Di dalam hati kecilku, aku kagum melihat pemuda itu dan kiranya akan suka bermantukan dia, akan tetapi karena dia sudah galang-gulung dengan orang-orang jahat, aku memilih murid Thian Te Cu. Kemudian terjadi hal yang tidak kusangka-sangka." Pendekar ini nampak gemas bukan main.

"Baru kemarin, Kwee Sun Tek datang ke sini dengan sikap marah-marah lantas berkata bahwa diam-diam Siok Lan sudah mempunyai pilihan sendiri, sudah mempunyai seorang kekasih, malah kekasihnya itu datang ke Wuyi-san bersama Tok-sim Sian-li lalu mencuri sebatang pedang pusaka, pedang Cheng-hoa-kiam. Dan menurut dugaannya pemuda itu adalah Kam Kun Hong! Bukankah hal itu amat memalukan sekali? Tentu saja Kwee Sun Tek membatalkan ikatan jodoh sambil menyatakan penyesalan dan kecewanya."

"Bohong semua itu...!" Tiba-tiba saja Siok Lan melompat berdiri dan jeritannya demikian keras sampai mengagetkan orang-orang.

See-thian Hoat-ong yang tadinya merasa sungkan untuk masuk ke ruangan itu dan hanya menanti di luar tak berani mengganggu suheng-nya yang sedang mengadakan pertemuan dengan anak isterinya, kini berjalan masuk. Melihat keadaan tegang, ia diam saja, hanya duduk di atas sebuah bangku di pojok, dekat Eng Lan yang juga tidak berani berkutik.

"Hemmm, dan kau percaya saja akan obrolan kosong manusia yang bernama Kwee Sun Tek itu?" tegur Tung-hai Sian-li kepada suaminya.

"Kwee Sun Tek adalah seorang lelaki sejati, seorang jantan yang gagah perkasa, selama hidupnya tak pernah ia membohong biar pun kedua matanya sudah buta," jawab Kwa Cun Ek membela diri.

"Jadi kau lebih percaya kepada orang lain dari pada anak sendiri?" isterinya mendesak, penuh kemarahan dan penyesalan. Kwa Cun Ek terdesak dan bingung.

Menghadapi serangan-serangan omongan isterinya yang kini berdiri galak di hadapannya dalam membantu Siok Lan, Kwa Cun Ek menjadi lemas. Timbul penyesalannya mengapa dia buru-buru marah kepada Siok Lan dan tidak menyelidiki lebih dahulu. Biasanya pureri tunggalnya itu tidak pernah mengecewakan hatinya, masa sekarang gadis itu benar-benar telah main gila dengan pemuda lain di luar tahunya? Agaknya tak masuk akal mengingat bahwa dulu Siok Lan tentu akan menolak kalau tidak suka dijodohkan dengan keponakan Kwee Sun Tek. Tapi Kwee Sun Tek adalah seorang gagah yang sangat boleh dipercaya!

"Tentu saja aku juga percaya kepada Siok Lan," akhirnya ia menjawab teguran isterinya. "Akan tetapi agaknya tidak mungkin kalau Kwee Sun Tek membohongiku. Untuk apa dia berbohong? Apa untungnya baginya? Ia marah-marah dan sikapnya menunjukkan bahwa dia tidak membohong ketika dia mencelaku dan memutuskan pertunangan keponakannya dengan Siok Lan."

Tiba-tiba wajah Tung-hai Sian-li Lee Hui Goat berubah. Ia memandang kepada puterinya. "Siok Lan coba katakan sekali lagi. Betulkah kau ada hubungan dengan pemuda bernama Kam Kun Hong itu?”

Siok Lan membalas pandang mata selidik ibunya itu dengan berani ketika ia menjawab. "Ibu sendiri menjadi saksi bahwa selama hidupku baru kumelihat pemuda itu di kelenteng Siauw-lim-si dahulu Aku tidak kenal padanya sebelum atau sesudah itu, bagaimana orang berani memfitnahku yang bukan-bukan?"

"Semua kata-katamu itu kupercaya penuh. Akan tetapi anakku, kalau kau sudah menjadi tunangan pemuda yang bernama Thio Wi Liong itu, mengapa waktu itu kau bersikap aneh dan memusuhinya ketika kita berhadapan dengan dia? Apa artinya semua sikapmu itu?”

Merah wajah Siok Lan ditanya begini. Bagaimana dia harus menjawab? Akan tetapi dasar cerdik, dia dapat juga menjawab dengan suara mengandung penasaran.

"Ibu, biar pun aku dan dia bertunangan, tetapi selamanya kami tak pernah saling bertemu muka. Dia tidak mengenal aku, aku pun tidak mengenal dia. Ketika dia muncul, sikapnya mencurigakan. Biar pun dia itu tunanganku akan tetapi kalau dia mencurigakan, masa aku harus membelanya? Lagi pula dia tidak mengenalku, apakah aku harus memperkenalkan diri? Sikap demikian amat memalukan bagiku, ibu."

Tung-hai Sian-li mengangguk, lalu ia teringat bahwa anaknya ini memang sama sekali tak pernah tampak ada hubungan dengan Kun Hong, bahkan sudah beberapa kali bertanding dan selalu memperlihatkan sikap bermusuhan. Tidak terlihat tanda-tanda sedikit pun yang membayangkan bahwa anaknya mempunyai hubungan yang tidak bersih dengan pemuda murid Thai Khek Sian yang amat lihai itu.

Ia menoleh kepada suaminya dan berkata tetap. "Tak mungkin Lan-ji memiliki hubungan dengan Kam Kun Hong. Kau telah dibohongi orang. Kwee Sun Tek itu berbicara bohong, akan kucari dan kuberi hajaran! Membatalkan pertunangan sih tidak apa-apa, di dunia ini bukan hanya Thio Wi Liong seorang yang pantas menjadi jodoh anakku. Akan tetapi dia telah memburukkan nama baik Lan-ji dan aku tidak bisa mendiamkan hal ini begitu saja."

Kwa Cun Ek terkejut sekali. Dia cukup maklum akan kekerasan hati isterinya dan sekali bicara, tentu akan dibuktikannya. Akan tetapi apa yang dapat dia perbuat? Baiknya pada saat itu, See-thian Hoat-ong yang sudah mempunyai pengalaman luas dan maklum pula bahwa orang seperti Kwee Sun Tek patut dipercaya, segera bertanya kepadanya,

"Suheng. sebetulnya apakah yang menjadi dasar dari tuduhan Kwee Sun Tek itu terhadap Siok Lan? Bagaimana dia bisa menyatakan tuduhan seperti itu?"

Kwa Cun Ek bernapas lega. Ada jalan baginya untuk menyabarkan hati isterinya, untuk membela Kwee Sun Tek yang dianggapnya tidak bersalah.

"Sesungguhnya hal itu pun sudah kutanyakan kepadanya karena mana aku bisa percaya begitu saja terhadap tuduhan itu? Ia bercerita bahwa ada seorang pemuda bersama Tok-sim Sian-li datang di Wuyi-san dan mencuri pedang Cheng-hoa-kiam. Dia telah bertempur dengan pemuda itu, juga dengan Tok-sim Sian-li. Pemuda itulah yang mengaku menjadi tunangan tak resmi dari Lan-ji tanpa memperkenalkan diri sendiri. Akhirnya Kwee Sun Tek dapat mengetahui bahwa pemuda itu adalah Kam Kun Hong. Demikianlah, dia lalu datang ke sini untuk menegurku dan membatalkan ikatan jodoh."

Tung-hai Sian-li, Kwa Siok Lan, See-thian Hoat-ong. dan juga Pui Eng Lan lantas teringat bahwa memang Kam Kun Hong memegang pedang pusaka Cheng-hoa-kiam.

Begitu mendengar penuturan itu, diam-diam Eng Lan merasa hatinya panas sekali. Entah mengapa ia menjadi marah sekali mendengar Kun Hong mengaku-ngaku sebagai kekasih Siok Lan dan memburukkan nama sahabatnya itu,.

"Kalau begitu pemuda keparat itulah yang salah!" bentaknya sehingga membuat semua orang menjadi kaget dan memandang kepadanya. Setelah semua orang memandangnya, barulah Eng Lan sadar bahwa tanpa disengaja dia telah menarik perhatian semua orang, seketika wajahnya menjadi merah karenanya.

"Maafkan, Kwa-lo-enghiong, bukan maksudku hendak mencampuri urusan ini. Akan tetapi aku berani bersumpah bahwa enci Siok Lan tidak bersalah apa-apa dan pemuda bernama Kam Kun Hong itulah yang agaknya sengaja hendak memburukkan nama enci Siok Lan. Biar aku mencari suhu dan melaporkan hal ini agar suhu membantu cari pemuda keparat itu!" Sesudah berkata demikian, tanpa memberi kesempatan kepada Siok Lan dan yang lain-lain untuk mencegahnya, gadis itu sudah melompat pergi dan lari cepat meninggalkan rumah Kwa Cun Ek.

Oleh karena tengah menghadapi urusan yang menyangkut nama baik mereka dan berada dalam suasana tegang, pihak tuan rumah sekeluarga tidak mempunyai kesempatan untuk mencegah gadis itu pergi. Akhirnya Kwa Cun Ek dan anak isterinya, ditengahi oleh See-thian Hoat-ong, dapat berbaikan kembali dan sama-sama menduga bahwa yang menjadi biang keladi adalah Kam Kun Hong.

"Pemuda itu sungguh aneh," kata Tung-hai Sian-li akhirnya, "kepandaiannya lihai bukan main, kadang-kadang wataknya nakal kurang ajar, akan tetapi ada kalanya ia berbudi baik seperti ketika membebaskan aku dan Eng Lan. Hemm, benar-benar sukar dijajaki hatinya, sukar diketahui wataknya."

"Sudah tepat dengan kedudukannya," kata See-thian Hoat-ong. "sebagai murid Thai Khek Sian, mana mungkin tidak aneh dan jahat! Betapa pun juga kita harus selalu berhati-hati menghadapi orang seperti itu yang setiap waktu bisa menjadi lawan. Bangsa Mongol tetap merupakan ancaman besar bagi tanah air dan orang-orang bagaimana gagah pun apa bila sudah bisa diperalat oleh Bangsa Mongol berarti mereka adalah penghianat bangsa yang berjiwa rendah! Pemuda itu telah terang-terangan membela kepentingan pasukan Mongol dan kaki tangannya, orang begitu mana bisa dipercaya?"

"Kalau begitu berarti Kwee Sun Tek telah dibohongi oleh pemuda itu. Aku harus mencari Kwee Sun Tek di Wuyi-san dan memberi-tahukan hal ini. Perjodohan yang sudah diikat erat mana bisa diputuskan hanya karena gangguan orang luar yang sengaja mengacau? Tanpa alasan yang kuat, tak boleh Kwee Sun Tek mengambil tindakan sefihak yang dapat merugikan nama baik kita," kata Kwa Cun Ek penasaran.

Sementara itu sejak tadi Kwa Siok Lan mengerutkan kening. Ketika bertemu dengan Wi Liong, ia sengaja hendak memberi pelajaran kepada tunangannya itu untuk datang sendiri membatalkan pertunangannya dengan Siok Lan, tanpa mengetahui bahwa Kwa Siok Lan adalah gadis yang dicintanya! Tapi siapa kira ada terjadi perkara begini membingungkan. Sebelum pemuda itu datang, kiranya paman pemuda itu sudah mendahului memutuskan pertunangan, dengan alasan yang bukan-bukan.

Gadis ini menjadi bingung, sedih dan juga marah. Diam-diam harus diakui bahwa dia telah jatuh cinta pada pemuda tunangannya sendiri! Sekarang mendengar kata-kata ayahnya, kekerasan hatinya tiba-tiba bangkit dan dia pun berkata,

"Tidak, ayah! Buat apa kita harus merendahkan diri dan merangkak-rangkak seperti orang mohon supaya perjodohan itu jangan diputuskan? Alangkah rendahnya kalau kita berbuat demikian. Mereka sudah memutuskan, sudahlah! Jangankan tidak menjadi jodoh manusia itu biar selamanya tidak kawin sekali pun aku tidak akan mati!" Setelah berkata demikian Siok Lan lalu lari keluar rumah sambil menangis.

Kwa Cun Ek dan Tung-hai Sian-li memandang bengong lalu menarik napas panjang.

"Kau lihat, Hui Goat, setelah kau tinggalkan aku keadaanku menjadi kacau-balau, hidupku tak tenteram, bahkan anakmu sendiri pun ikut tidak bahagia. Apakah sekarang kau masih tega meninggalkan kami lagi...?" Suara Kwa Cun Ek ini terdengar demikian mengenaskan sehingga di kedua mata nyonya itu tampak berlinang air mata. Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi suami isteri yang telah berpisah selama belasan tahun itu saling pandang, penuh keharuan, penuh kerinduan penuh cinta kasih…..

********************

Demikianlah pengalaman Pui Eng Lan ketika dia ikut dengan Siok Lan ke kota Poan-kun menjadi saksi dari adegan pertemuan yang amat mengharukan itu. Sesudah lari pergi dari kota Poan-kun, gadis ini tidak pergi mencari suhu-nya yang katanya hendak berpesiar di Telaga See-ouw, melainkan dia terus menuju ke Kun-lun-san untuk mengadukan tentang perbuatan Kam Kun Hong itu kepada Kam Ceng Swi.

Dari gurunya dia mendapat tahu bahwa Kam Kun Hong dahulunya ikut dengan ayahnya, Seng-goat-pian Kam Ceng Swi di Kun-lun-san sebelum bocah itu terculik orang jahat dan kemudian jatuh ke tangan Thai Khek Sian sebagai muridnya.

Sebagaimana telah dituturkan pada bagian depan, kebetulan sekali Pui Eng Lan bertemu dengan Kam Kun Hong dan dia pun menyerang pemuda itu, melukai dadanya kemudian- sambil duduk berhadapan di bawah pohon, dua orang muda itu bercakap-cakap, Eng Lan menceritakan pengalamannya dan sebabnya mengapa ia menyerang Kun Hong.

"Begitulah." ia mengakhiri penuturannya, "dengan kejinya kau sudah merusak perjodohan antara enci Siok Lan dan tunangannya, telah membuat sekeluarga Kwa berduka-cita. Apa sekarang kau masih hendak katakan bahwa tidak sepantasnya kalau aku membunuhmu untuk dosa-dosamu itu?" Sesudah berkata demikian kembali Eng Lan bangkit berdiri dan pedangnya sudah siap lagi di tangannya, siap untuk melakukan pertempuran mati-matian. "Hayo kau keluarkan pedangmu, pedang Cheng-hoa-kiam yang kau curi itu dan mari kita bertanding sampai seorang di antara kita mengeletak tak bernyawa di sini!"

Kam Kun Hong atau sekarang dia tidak mau mempergunakan she Kam lagi oleh karena telah tahu bahwa Kam Ceng Swi bukan ayahnya, tersenyum getir dan memandang wajah nona itu dengan hati tidak karuan rasa. Terbayang olehnya betapa tadinya dengan segala kebahagiaan ia naik ke Kun-lun-san untuk minta ayahnya agar pergi meminang gadis ini sebagai isterinya, tidak tahu selain disambut dengan pukulan yang akhirnya membuat dia terluka hebat, juga batinnya terpukul dengan keterangan bahwa dia bukanlah anak Kam Ceng Swi, melainkan anak pungut yang tidak karuan siapa bapak ibunya dan yang hanya diketahui di mana ibunya yang tak dikenal itu dikuburkan!

"Eh, kau mentertawai aku?" tegur Eng Lan marah. "Aku tahu kau lihai dan aku tidak akan dapat mengalahkanmu, akan tetapi jangan kau kira aku takut padamu!"

"Eng Lan, nona manis, aku percaya akan kegagahanmu. Apa bila kau benar-benar ingin membunuhku, bunuhlah. Apa bedanya bagiku? Tidak kau bunuh sekarang pun, dua tahun lagi aku juga akan mati konyol. Lagi pula, meski pun tidak kusangkal bahwa memang aku sudah mempermainkan si tua buta Kwee Sun Tek, akan tetapi salahnya sendiri mengapa begitu mudah dipermainkan orang!"

Mendengar ucapan ini, Eng Lan diam-diam kaget. "Apa artinya dua tahun lagi kau mati?" tanyanya dengan penuh gairah yang tidak disadarinya.

Melihat sikap ini Kun Hong menjadi amat girang. Bila ada seorang gadis mengkhawatirkan keselamatan seseorang, hal itu berarti bahwa si gadis tadi menaruh perhatian dan dapat diharapkan bahwa timbangannya dalam asmara tidak berat sebelah.....!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar