Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 22

Siok Lan menyerang terus, akan tetapi perwira itu membela diri mati-matian. Kalau saja gadis itu memegang pedang, meski pun tenaganya belum pulih semua, kiranya dia akan dapat menangkan lawannya. Atau biar pun dia bertangan kosong, kalau tenaganya sudah pulih semua tentu dia takkan begitu sibuk.

Tiba-tiba perwira itu mengeluarkan seruan kaget dan kakinya tertumbuk pada akar pohon, membuat ia roboh terguling! Kesempatan ini digunakan oleh Siok Lan untuk menendang pundaknya, membuat tangan kanannya lumpuh dan di lain saat pedang perwira itu sudah berpindah ke tangan Siok Lan. Sekali pedang itu berkelebat dan... tubuh perwira itu lantas lenyap, bagai terbawa angin melayang masuk ke dalam jurang yang berada tak jauh dari tempat itu! Untuk sesaat Siok Lan melenggong, kemudian dia membalik dan memandang kepada Wi Liong dengan mata penasaran.

"Kau manusia usilan! Mengapa tidak mengurus urusanmu sendiri dan mengejar sampai di sini?”

Wi Liong gelagapan. Tak dinyana tak dikira pertolongannya akan disambut dengan sikap demikian galak. "Aku... aku... tadinya kukira kau berada dalam bahaya, nona... maka aku mengejar ke sini.”

"Kau pcrduli apa aku dalam bahaya atau tidak?” bentak Siok Lan marah-marah.

Selagi Wi Liong "ap-ap, ep-ep" sukar menjawab, gadis itu sudah membentak lagi, "Dan mengapa kau lancang tangan menghalangiku membunuhnya, dan membunuh dia dengan tanganmu sendiri? Apa kau sengaja hendak memamerkan kepandaian? Apa kau kira di kolong langit ini hanya kau sendiri yang pandai? Pemuda sombong!”

Wi Liong berdiri seperti patung dengan muka bodoh. Ia diberondong caci maki, dan gadis itu kelihatan betul-betul sangat marah kepadanya. Dia benar-benar tidak mengerti. Masa gadis ini demikian buruk wataknya? Tetapi benar-benar dia merasa lebih heran terhadap perasaan hatinya sendiri. Mengapa melihat gadis itu memaki-makinya dan marah-marah malah nampak lebih manis?

"Maafkan aku sebesarnya nona. Bukan sekali-kali aku hendak memamerkan kepandaian. Aku hanya seorang bodoh, kepandaian apa yang patut dipamerkan? Aku hanya... hanya merasa sayang kalau kau mengotorkan tangan melakukan pembunuhan."

Siok Lan masih dongkol. Pertama-tama dia marah karena sakit hati mendengar pemuda itu tadi menyatakan tak suka ditunangkan dengan puteri Kwa Cun Ek atau dirinya sendiri. Kedua kalinya ia yang hendak membantu pemuda ini malah ditawan, dan sekarang malah ditolong oleh pemuda ini. Betul-betul memalukan sekali, pikirnya. Betapa kecil tak berarti aku tampak di depan matanya, pikir Siok Lan kecewa, mendongkol dan marah.

Ketika ia melirik dan melihat pemuda itu memandang padanya dengan mata mengandung penuh penyesalan dan minta maaf, dia memutar tubuhnya dan pergi dari situ cepat-cepat sambil membawa pedang rampasannya tadi.

"Nona. kau hendak ke manakah?" Wi Liong bertanya, agaknya sangat kaget melihat nona itu tiba-tiba meninggalkannya.

Tanpa menoleh Siak Lan menjawab, "Ke mana aku pergi ada sangkut-paut apa dengan kau?"

Mendengar jawaban ketus ini, Wi Liong menarik napas panjang. Memang bila dipikir-pikir betul juga teguran nona ini. Ia bertanya-tanya maksud kepergian orang ada perlu apakah? Dengan hati sedih Wi Liong melihat betapa tubuh langsing menarik itu berlari cepat sekali pergi dari situ.

Tiba-tiba saja ia mendengar ringkik kuda. Ia cepat menoleh dan melihat kuda putih bekas tunggangan perwira yang sudah dia lemparkan dengan hawa pukulan ke dalam jurang itu berada di bawah pohon.

Ah, ada jalan untuk menyenangkan hati gadis itu, pikirnya girang. Cepat ia melompat dan dengan mudah ia menangkap kuda itu pada kendalinya. Lalu ia melompat dan membedal kuda itu mengejar nona cantik menarik tadi.

"Kuda bagus," pikirnya. "Dia tentu senang melihat perhatianku."

Kuda itu memang kuda baik sekali, kuda yang tinggi besar dan dapat berlari cepat. Tidak lama kemudian Wi Liong dapat menyusul nona itu. Dari jauh ia sudah berteriak-teriak,

"Nona. harap tunggu sebentar!"

Siok Lan berhenti dan menengok, mukanya tetap cemberut.

"Ada apa lagi kau mengejar-ngejar aku?”

Wi Liong merasa bingung lagi. Biasanya dia berwatak tenang, namun menghadapi nona ketus galak ini, entah mengapa dia mendadak menjadi bingung dan pemalu. Akan tetapi diam-diam ia merasa penasaran juga.

Nona ini benar-benar tak memandang mata kepadaku, pikirnya. Hemm, kalau bukan dia, kalau bukan dia yang membikin hatinya demikian kacau-balau tidak karuan tentu dia telah meninggalkan gadis itu dan selamanya takkan mau melihatnya lagi!

"Nona. kalau hendak melakukan perjalanan jauh, lebih baik kau memakai kuda ini supaya tidak lelah dan perjalananmu dapat dilakukan lebih cepat. Aku sengaja menangkap kuda ini untuk kuberikan kepadamu. Pakailah!"

"Aku tidak pergi jauh! Aku hendak kembali kepada kawan-kawanku," jawab Siok Lan, sulit untuk bersikap keras dan ketus lagi sesudah melihat kebaikan pemuda ini. Juga di dalam hatinya diam-diam gadis ini merasa girang dan bangga bahwa pemuda tunangannya yang di hadapan orang lain secara terang-terangan menyatakan tidak suka ditunangkan dengan dia, agaknya sekarang ‘ada hati’ padanya! Benar-benar lucu!

Akan tetapi kalau dia tertawa di dalam hati, mukanya tetap cemberut. Tentu saja ia kaget dan heran ketika tiba-tiba Wi Liong yang tertawa. Ketika tertawa wajah yang ganteng dan gagah itu tampak muda sekali, bahkan seperti muka bocah, membuat orang yang melihat dia ketawa menjadi ketularan dan ingin ikut-ikut tertawa.

"Ha-ha-ha, kau lucu sekali, nona. Kalau kau hendak kembali ke sana, bukan ini jalannya, seharusnya ke sana. Kau telah salah jalan! Mari kau kuantar saja, nona. Duduklah di kuda ini, biar aku berjalan kaki di belakang kuda. "

"Tak usah, aku bisa berjalan sendiri!"

"Apa boleh buat," Wi Liong menghela napas. "Sayang jika kuda ini tidak dipakai. Apa kau berkeberatan kalau aku berjalan bersamamu?"

"Kau naiki saja kudamu, aku tidak butuh melakukan perjalanan bersama orang lain. Lagi pula kau adalah seorang pemuda, sudah bertunangan lagi. Bukankah amat mencemarkan namaku kalau orang melihat aku bersamamu? Tunanganmu akan marah-marah dan aku yang akan mendapat nama busuk! Cih, kau laki-laki tidak setia!"

Wi Liong tersenyum dan terus saja menjalankan kudanya di samping nona itu. Kata-kata nona itu menarik perhatian dan menimbulkan harapan baru baginya. Jadi nona ini bersikap keras dan ketus kepadanya hanya kaarena dia sudah bertunangan.

"Nona, terus terang saja bahwa aku belum tentu akan suka berjodoh dengan orang yang dipaksakan menjadi tunanganku itu."

"Kau... kau orang puthauw (tidak berbakti)!" cela gadis itu.

"Tidak, nona. Aku akan mentaati perintah pamanku dalam segala hal, akan tetapi dalam hal perjodohan, aku tidak mau dijerumuskan begitu saja. Aku belum pernah melihat gadis yang ditunangkan dengan aku, akan tetapi aku... aku tidak suka kepadanya."

"Mengapa?”

"Dia puteri Siang-jiu Lo-thian Kwa Cun Ek, seorang tokoh kang-ouw yang terkenal. Aku mendengar bahwa ada sesuatu yang tidak beres antara tokoh itu dengan isterinya. Entah apa sebabnya pamanku tidak memberi-tahu, hanya memberi-tahu bahwa tokoh itu sudah bercerai semenjak anaknya masih kecil. Anak dari pasangan suami isteri yang tidak bisa menjaga kesetiaan macam itu ditunangkan dengan aku. Hemm, tentu saja aku tidak mau. Tentu gadis itu wataknya tidak jauh dari ayah bundanya, tidak setia dan kasar!"

Dapatlah dibayangkan alangkah kagetnya hati Siok Lan mendengar ini! Wajahnya menjadi pucat dan dia menahan-nahan diri untuk tidak menjerit menangis.

"Kau percayalah, nona," kata pula Wi Liong sambil merenung karena dia merasa sangat berduka apa bila teringat akan keputusan Kwee Sun Tek yang menjodohkannya dengan seorang gadis yang belum pernah dilihatnya dan yang menjadi anak tunggal suami isteri yang tidak rukun. "Percayalah, begitu bertemu dengan engkau, hatiku memastikan bahwa hanya dengan seorang gadis seperti kau inilah kiranya aku mau berjodoh, dan..."

Pada saat itu terjadi dua hal yang berbareng dan sangat mengejutkan hati Wi Liong. Dari sebelah kanan, yaitu dari jurusan Kelenteng Siauw-lim-si itu kelihatan api berkobar tinggi dan pada saat itu pula terdengar seruan nyaring lalu pedang gadis jelita itu tahu-tahu telah menyerang Wi Liong dari samping. Gadis itu menusukkan pedangnya sambil melompat, serangannya hebat sekali!

Namun Wi Liong telah memiliki kecepatan luar biasa. Melihat berkelebatnya sinar pedang, dia cepat menggenjot tubuhnya melayang dari atas punggung kudanya dan ketika pedang itu menusuk lewat di depannya, dia cepat menangkap pergelangan tangan gadis itu.

"Nona, apa yang kau lakukan ini?” katanya dan di lain saat gadis itu telah dia tangkap dan dia dudukkan di atas punggung kuda yang sementara itu sudah berlari lagi ke depan.

Siok Lan berusaha melepaskan diri, namun dia sama sekali tidak berdaya. Wi Liong yang duduk di belakangnya sudah memegang kedua pergelangan tangannya, membuat dia tak dapat berkutik.

"Nona, tahan dulu kebencianmu padaku. Kau lihatlah, di sana ada kebakaran besar. Apa kau tidak ingat akan nasib para locianpwe? Entah apa yang sudah terjadi di sana. Hayo kita cepat ke sana untuk menolong mereka!"

Baru sekarang Siok Lan melihat cahaya api itu dan dia menjadi sangat khawatir. Paman gurunya berada di sana, bersama sahabat-sahabat lain termasuk... ibunya! Karena ingin tahu apa yang sudah terjadi di sana dan bagaimana keadaan para sahabat itu, dia tidak memberontak lagi sehingga Wi Liong segera melepaskan pegangannya, maiah pemuda itu cepat melompat turun lalu berlari cepat di samping kuda putih itu. Diam-diam Siok Lan kagum melihat pemuda ini yang begitu sopan, begitu lihai, begitu tampan tetapi sekaligus begitu... begitu menyakitkan hatinya!

Sesudah tiba kembali di tempat pertempuran tadi, mereka melihat hal yang sangat hebat. Pasukan Mongol sudah pergi, juga Pak-thian Koai-jin dan yang lain-lain tidak nampak lagi. Yang kelihatan hanya di seberang jurang Kelenteng Siauw-lim-si yang megah dan kuat itu kini menjadi makanan api!

Ternyata untuk melampiaskan kemarahan mereka, kelenteng itu sudah dibakar oleh Kun Hong dan kawan-kawannya. Di antara para hwesio di situ hanya Souw Lo Hosiang sang ketua saja yang berhasil menyelamatkan diri dengan cara menuruni jurang lewat sebuah jalan rahasia. Sedangkan hwesio-hwesio lain yang kepandaiannya kurang tinggi, terbunuh semua!

Dengan hati penuh kekhawatiran Siok Lan mencari ke sana sini kalau-kalau melihat jejak kawan-kawannya. Dia baru bernapas lega ketika tidak melihat mayat kawan-kawannya.

Biar pun tahu bahwa di antara rombongannya tidak ada yang tewas, akan tetapi dia masih gelisah juga. Siapa tahu kalau mereka itu tertawan oleh musuh seperti dia tadi?

"Jangan khawatir, nona. Orang-orang seperti para locianpwe itu tidak sembarangan dapat ditawan. Aku percaya mereka itu sudah dapat menyelamatkan diri."

"Mudah-mudahan begitu...," kata gadis itu perlahan.

Wi Liong melirik, melihat betapa wajah yang jelita itu nampak sedih. Dia tidak tahu bahwa gadis itu teringat akan ibunya dan dia masih terharu sekali.

Pertemuan dengan ibunya, orang yang semenjak ia kecil sudah dirindukannya, juga amat dibencinya karena ibunya itu telah meninggalkan ayahnya yang dia tahu amat merindukan ibunya pula, pertemuan tadi benar-benar telah mengguncangkan hati dan perasaannya. Ia sendiri tidak tahu apakah dia cinta atau benci kepada ibunya.

Dia memang merindukannya dan melihat ibunya begitu cantik, begitu gagah, dia menjadi bangga dan ingin sekali dia menangis dalam pelukan ibunya. Tetapi bila dia teringat akan ayahnya yang hidup menyepi dan menderita kesengsaraan batin akibat kepergian ibunya, ia menjadi benci kepada Tung-hai Sian-li.

Siok Lan tidak tahu kenapa ibunya pergi meninggalkan dia dan ayahnya. Ayahnya hanya memberi-tahu bahwa ibunya telah pergi, pergi semenjak ia masih amat kecil dan ayahnya selalu menggeleng kepala dan nampak sedih kalau ia bertanya sebab kepergian ibunya.

Melihat sinar mata sedih di wajah gadis itu, Wi Liong merasa terharu dan kasihan.

“Maafkan aku atas kelancangan mulutku tadi, nona,” katanya. Ia merasa menyesal bahwa tadi, karena dorongan nafsunya dia sudah menyatakan perasaan hatinya yang mencinta sehingga membuat gadis ini menjadi marah.

Merah wajah gadis itu. Ia menoleh dan menatap muka Wi Liong. Tidak cemberut lagi akan tetapi terlihat sedih karena ucapan Wi Liong tadi yang menganggap ayah bundanya suami isteri tidak setia dan karenanya anaknya pun tentu tidak mempunyai hati setia!

"Kau tidak marah lagi kepadaku, nona?”

Siok Lan sadar kembali dari lamunannya. "Hemm? Ah, mengapa aku harus marah? Asal kau tidak bicara yang bukan-bukan..."

"Aku akan berlaku sangat hati-hati. Bolehkah aku mengetahui siapa nama nona? Seperti yang kau ketahui aku Thio Wi Liong, anak keponakan paman Kwee Sun Tek. Aku seorang sebatang kara, tiada ayah bunda lagi... dan aku... aku..."

"Kau tunangan puteri Siang-jiu Lo-thian Kwa Cun Ek, calon menantu seorang tokoh kang-ouw!"

Wi Liong menarik napas panjang. Ia merasa menyesal sekali mengapa nona ini lagi-lagi mengemukan persoalan ini. Untuk menyimpangkan pembicaraan dari persoalan yang tak disukainya itu, Wi Liong pura-pura tidak mendengar dan melanjutkan kata-katanya,

"Nona sudah tahu aku siapa, akan tetapi aku tidak tahu sama sekali tentang dirimu. Yang kuketahui hanya kau adalah murid keponakan dari kakek gagah perkasa yang mukanya seperti Kwan Kong itu. Kau siapakah, nona?"

Bagaimana Siok Lan mampu menjawab? Tidak mungkin dia bisa memperkenalkan dirinya sebagai Kwa Siok Lan, tunangan pemuda itu sendiri!

"Apa sih gunanya kuperkenalkan nama? Tidak perlu sama sekali. Yang lebih perlu pada saat ini adalah mencari tahu di mana adanya susiok dan yang lain-lain. Nah, aku pergi!" kata Siok Lan sambil mengeprak kudanya supaya lari cepat.

Di tikungan jalan dia menengok dan masih melihat Wi Liong berdiri seperti patung sambil memandang kepadanya. Siok Lan tersenyum geli dan membalapkan kudanya lebih cepat lagi keluar dari hutan itu menuju ke selatan. Akan tetapi, baru saja ia keluar dari hutan itu, ia telah dihadang oleh pasukan orang-orang Mongol yang dikepalai oleh tiga orang perwira Mongol.

Melihat nona yang tadi tertawan akan tetapi telah terlepas lagi dan kini menunggang kuda seorang diri saja, pasukan itu menjadi girang bukan main dan cepat para komandannya memerintahkan untuk menawan nona manis itu.

Siok Lan tidak menjadi gentar. Dia mencabut pedang rampasannya tadi, kemudian sambil mengajukan kudanya ia mengamuk. Sebentar saja beberapa orang serdadu Mongol telah roboh binasa. Yang lain-lain menjadi gentar juga. Perintah para komandan adalah untuk menawan si nona, dan hal ini jauh lebih mudah diperintahkan dari pada dilaksanakan.

"Robohkan kudanya!" bentak seorang perwira.

Golok dan pedang lantas berkelebatan dan kuda putih yang ditunggangi Siok Lan roboh, kaki belakangnya luka-luka. Siok Lan terpaksa melompat agar jangan terbawa jatuh, akan tetapi ia disambut oleh keroyokan. Benar ia dapat menusukkan pedangnya yang amblas ke dalam perut seorang musuh, akan tetapi sebelum ia sempat mencabut pedangnya, ia telah disergap dan diikat.

Tetapi pada saat itu pula rombongan serdadu itu lari cerai-berai dan tiga orang perwiranya sudah terlempar ke kanan kiri seperti daun-daun kering yang tertiup angin. Sebentar saja mereka pada melarikan diri tunggang-langgang.

Kiranya Wi Liong yang datang menolong. Dengan kepandaiannya yang tinggi, pemuda ini dapat melempar-lemparkan para serdadu yang tentu saja menjadi amat ketakutan setelah melihat pemuda itu mengalahkan tiga orang komandan mereka dengan cara yang begitu mudah, seperti orang mencabuti rumput saja.

Sebelum Wi Liong sempat membebaskan Siok Lan dari ikatannya, ketika baru dihampiri saja, gadis itu telah mengerahkan tenaganya dan memutus tali itu sampai kulit lengannya agak lecet-lecet. Melihat ini Wi Liong menggelengkan kepala. Benar-benar seorang gadis yang amat angkuh!

"Nona, mari kutemani kau mencari susiok-mu. Di daerah ini banyak sekali tentara Mongol yang dipimpin oleh perwira-perwira kosen, malah di sampingnya dibantu oleh orang-orang seperti Bu-ceng Tok-ong dan kawan-kawannya."

Siok Lan memang seorang gadis yang keras hati dan angkuh. Lagi pula dia mempunyai kepercayaan besar kepada diri sendiri. Kecelakaan yang menimpanya tadi, tertawan oleh musuh adalah karena di sana terdapat Tok-sim Sian-li yang mempunyai kepandaian jauh lebih tinggi. Baru tadi ia hampir tertawan kembali oleh rombongan serdadu Mongol adalah akibat ia terpelanting dari atas kudanya. Kalau tidak demikian, jangan harap pasukan kecil dengan tiga perwiranya itu dapat menangkap dia! Oleh karena itu, biar pun di daerah itu berkeliaran orang-orang Mongol, Siok Lan sama sekali tidak merasa takut.

Dan pemuda ini, walau pun tanpa disengaja telah menghina dan menyakiti hatinya dengan pernyataan menolak pertunangannya dengan dia, namun tidak dapat disangkal lagi sudah memperlihatkan sikap yang sangat ramah dan baik terhadap dia. Siok Lan maklum benar bahwa sekali pemuda itu tahu siapa dia, pasti pemuda itu akan menyesali pengakuannya sendiri. Karena kebaikan sikap Wi Liong inilah Siok Lan merasa malu sendiri kalau terus-menerus memperlihatkan keangkuhannya.

Ia tidak menjawab ajakan Wi Liong untuk menemaninya mencari kakek muka merah, tapi hanya mengangguk. Dua orang muda itu lantas berjalan pergi dari situ tanpa berkata-kata dan Siok Lan yang tidak begitu hafal akan daerah ini mengikuti saja arah yang ditempuh Wi Liong.

Pemuda ini sendiri juga baru sekali ini menginjak daerah utara. Akan tetapi karena ketika berangkat dia telah melakukan penyelidikan secara teliti, maka dia masih hafal akan jalan menuju ke selatan. Dia dapat menduga bahwa setelah berhasil menyelamatkan diri maka rombongan orang gagah itu tentu akan kembali ke selatan.

Hari sudah malam pada waktu Wi Liong dan Siok Lan tiba di tepi sungai yang mengalir di sebelah selatan kota raja. Keadaan di situ sunyi bukan main. Perahu-perahu yang tampak agak jauh bergerak-gerak perlahan di pinggir sungai, tak sebuah pun yang berisi manusia. Pada waktu seperti itu memang tidak pernah ada orang menyeberang.

Sebuah perahu yang berada dekat tempat mereka berdiri tiba-tiba bergerak dan sebuah kepala manusia menjenguk keluar.

"Ji-wi mencari siapa?” tanya suara yang parau. Keadaan gelap, tidak dapat melihat muka orang itu kecuali bayangannya yang menyatakan bahwa dia seorang lelaki berkepala bulat besar.

"Kami hendak menyeberang," jawab Wi Liong. "Dapatkah kau menyeberangkan kami?”

Orang itu tidak menjawab, malah kedua tangannya bekerja membuat api lalu menyalakan obor yang diangkat tinggi-tinggi. Tangan kanan yang memegang obor itu bergerak-gerak untuk dapat menerangi wajah dua orang yang baru tiba.

Akan tetapi pandang mata Wi Liong yang tajam dapat melihat betapa gerakan tangan itu aneh dan teratur, seakan-akan merupakan isyarat, bergerak-gerak dari kanan ke kiri dua kali berturut-turut, lalu dari depan ke belakang. Apakah gerangan maksud orang itu? Dia lalu memandang teliti dan melihat bahwa sungguh pun pakaian orang itu seperti nelayan, namun sepasang matanya bersinar tajam dan tubuhnya nampak kuat berisi.

Laki-laki setengah tua itu tercengang ketika melihat bahwa yang datang adalah seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik jelita.

“Malam-malam gelap begini ji-wi hendak menyeberang? Mengapa begitu tergesa-gesa? Lebih baik besok pagi saja," kata orang itu sambil keluar dari perahunya.

"Kami perlu menyeberang sekarang juga," kata Siok Lan ketus. "Apakah kau melihat tiga orang kakek, seorang nyonya dan seorang nona menyeberang sungai ini siang tadi?”

Tanpa dilihat orang itu Wi Liong menowel lengan Siok Lan, akan tetapi terlambat, gadis itu sudah mengajukan pertanyaan ini. Orang itu menggerakkan obornya sehingga mukanya bersembunyi di dalam gelap, hanya terdengar suaranya. "Tiga orang kakek aneh dan dua orang wanita cantik? Ada... ada... malah aku sendiri yang menyeberangkan mereka sore tadi!" kata tukang perahu itu, suaranya gembira sekali.

Kembali obornya bergoyang-goyang, akan tetapi hanya Wi Liong yang dapat melihat ini tanpa mengetahui artinya. Siok Lan sama sekali tidak memperhatikannya, malah dengan girang gadis ini berkata,

"Lekas seberangkan kami dan turunkan kami di tempat mereka tadi mendarat di seberang sana. Jangan khawatir, aku mau membayar sepuluh kali lipat dari pada biaya yang biasa."

Kembali orang itu tertawa aneh. mengangguk-angguk dan mundur ke dalam perahunya. "Silakan masuk, silakan masuk...!” katanya.

Wi Liong hendak menolak, akan tetapi Siok Lan telah mendahuluinya melompat ke dalam perahu, maka terpaksa dia pun melangkah ke dalam perahu itu.

’Tentu akan terjadi sesuatu,’ pikirnya. ’Tukang perahu ini sungguh mencurigakan. Hendak kulihat dia akan berbuat apa.’

Tukang perahu itu menancapkan obornya di kepala perahu, kemudian mengambil dayung, melepaskan tambang dari batang pohon, dan mulai menggerakkan perahunya ke tengah sungai yang lebar itu.

Siok Lan berdiri memandang ke seberang. Hatinya merasa girang tetapi tidak sabar lagi, hendak cepat-cepat menyeberang dan mengejar rombongannya, terutama ingin sekali lagi bertemu dengan ibunya! Setelah bertemu dengan Wi Liong dan mendengar buah pikiran Wi Liong mengenai hubungan ayah bundanya, diam-diam Siok Lan mengambil keputusan hendak membujuk atau memaksa ibunya kembali kepada ayahnya!

Wi Liong hanya diam saja, duduk di belakang perahu sambil diam-diam memperhatikan tukang perahu yang mendayung perahunya perlahan-lahan, nampaknya sama sekali tidak tergesa-gesa. Akan tetapi orang itu tetap menggunakan tenaganya karena ia mendayung perahunya mudik, melawan arus sungai.

"Sahabat tukang perahu, mengapa perahu ini malah didayung ke arah mudik? Tanya Wi Liong sambil lalu agar tidak kentara bahwa dia menaruh hati curiga.

Tukang perahu itu tertawa. "Orang muda, agaknya kau sama sekali belum pernah naik perahu menyeberang sungai. Untuk menyeberang sungai, perahu harus didayung mudik lebih dulu agar ketika menyeberang terbawa arus sungai ke hilir, dapat tepat mendarat di seberang. Pula, bukankah nona ini minta supaya aku mendaratkan di tempat rombongan kakek-kakek aneh tadi? Nah. inilah jurusannya."

Muka Wi Liong berubah merah. Memang benar ucapan nelayan ini, ia sampai lupa untuk memperhatikan hal itu. Akan tetapi tetap saja ia menaruh hati curiga, apa lagi ketika dari seberang kelihatan bayangan empat buah perahu yang bentuknya sama benar dengan perahu ini, menuju ke tengah sungai seolah-olah hendak menjemput mereka! Akan tetapi ia diam saja dan makin memperhatikan tukang perahu itu yang kini menayung perahunya cepat-cepat.

"Dukk!"

Perahu itu tiba-tiba menempel pada perahu-perahu yang sudah mengurung di depan dan kanan kiri.

"Eh-ehh, apa artinya ini?" Siok Lan berseru kaget sambil mencabut pedangnya.

Tukang perahu itu tertawa. "Kawan-kawan, dua ekor domba ini adalah teman-teman yang tadi!"

"Bangsat, jangan kau main-main! Apa artinya ini?" Siok Lan mengancam tukang perahu dengan pedangnya.

Akan tetapi tukang perahu itu tiba-tiba saja sudah memegang sebatang golok yang cepat digunakannya untuk menangkis pedang itu. "Jangan kalian bergerak!" bentaknya dengan suara mengancam. "Percuma saja melawan. Satu kali perahu ini kugulingkan, kalian akan menjadi makanan ikan! Lebih baik menurut dan menyerah saja!"

"Jahanam, kaulah yang mampus lebih dulu!" bentak Siok Lan sambil menyerang dengan pedangnya.

Akan tetapi dia berteriak kaget dan terhuyung, terpaksa membatalkan niatnya menyerang ketika tiba-tiba saja perahu menjadi miring dan hampir saja dia terjungkal. Tukang perahu itu ternyata telah memegangi pinggiran perahu dan mengguncang-guncangnya! Kalau dia menjungkalkan perahu maka celakalah Wi Liong dan Siok Lan yang tidak bisa berenang, sebaliknya tukang perahu itu tentu saja amat pandai.

"Ha-ha-ha-ha... auppp!" Tukang perahu yang tadinya tertawa-tawa itu mendadak berhenti dan dia terduduk di kepala perahu, diam seperti patung batu! Sehelai tambang yang tadi dipakai mengikat perahunya, telah meluncur seperti ular dan tahu-tahu ujungnya menotok jalan darahnya, seketika membuat dia kaku. Tentu saja perbuatan lihai ini dilakukan oleh Wi Liong.

"Bu Beng Siocia (Nona Tiada Nama), kau pegang dayung dan jaga perahu supaya tidak hanyut. Biar aku membereskan mereka!" kata Wi Liong yang tidak mengenal nama nona itu sambil berkelakar.

Siok Lan maklum bahwa saat genting itu amat berbahaya. Dia melompat dan mengambil dayung dari tangan tukang perahu yang sudah kaku. Ketika ia merampas dayung, tukang perahu itu roboh terguling ke dalam perahu, rebah miring tak bergerak seperti balok. Biar pun bukan ahli, tapi kalau hanya menggerakkan dayung agar perahu tidak berputar-putar saja Siok Lan sudah pandai.

Sementara itu, melihat bahwa di tiap perahu terdapat dua orang yang berpakaian seperti serdadu Mongol, tahulah Wi Liong bahwa tukang perahu itu memang seorang mata-mata Mongol. Ia cepat melompat, bagaikan seekor burung hantu yang sukar diikuti mata gerak-geriknya, berloncatan dari perahu ke perahu.

Terdengar seruan-seruan kesakitan dan dalam waktu singkat saja orang-orang di dalam perahu itu sudah dapat dibikin tak berdaya. Perahu-perahu mereka yang berjumlah empat buah itu mulai hanyut berputaran dibawa arus sungai.

"Jangan bunuh dia!" teriak Wi Liong yang tahu-tahu sudah melompat kembali ke dalam perahu dan mencegah Siok Lan yang hendak menusuk tukang perahu itu.

"Lagi-lagi kau menghalang-halangiku," kata Siok Lan tak puas, akan tetapi sekali ini tidak marah lagi. Ia kini makin kagum melihat sepak-terjang Wi Liong yang betul-betul memiliki kelihaian yang luar biasa sekali itu.

"Apa kau lupa bahwa susiok-mu dan yang lain-lain tadi juga menumpang perahunya? Kita bisa memaksa dia mengaku apa yang telah terjadi dengan mereka."

Ingin Siok Lan menampar kepalanya sendiri. Mengapa dia begitu bodoh? Di samping ini timbul pula rasa gelisahnya. Jangan-jangan susiok dan ibunya telah diperdaya oleh tukang perahu ini dan telah mengalami kecelakaan!

"Lekas katakan, apa yang sudah terjadi dengan rombongan itu!" bentak Siok Lan sambil mengancam tukang perahu itu dengan ujung pedang, siap ditusukkan ke lehernya.

Melihat betapa pemuda itu dengan mudah merobohkan semua kawannya, tukang perahu atau mata-mata Mongol itu menjadi pucat sekali, tubuhnya gemetar dan ia berlutut di atas perahunya dengan kedua kaki lemas.

"Ampun, aku... aku hanya tukang perahu biasa... aku tidak ikut-ikut...!"

"Bohong!" Siok Lan membentak marah. "Tidak usah berpura-pura, hayo lekas ceritakan apa yang terjadi dengan mereka."

"Rombongan itu, tiga orang kakek dan dua orang wanita... mereka menumpang perahuku, kemudian datang pasukan kerajaan... mereka menggulingkan perahu... mereka menawan dua orang yang wanita. Tiga orang kakek berhasil melarikan diri..."

Siok Lan menjadi pucat. Celaka, ibunya tertawan, bersama Pui Eng Lan.

"Yang tertawan itu dibawa ke mana?” kini Wi Liong yang bicara.

"Mana aku tahu? Tentu ke kota raja... ke mana lagi...?"

"Pergilah!" Siok Lan tidak dapat menahan kemarahan hatinya lagi. Sekali tendang tukang perahu itu langsung terlempar ke dalam air dan tidak timbul lagi.

"Kita harus menolong mereka," kata Wi Liong sambil mengambil dayung, "lebih dekat bila kita mengambil jalan melalui sungai ini, lebih cepat dan aman. Di belakang penangkapan ini tentu berdiri Kun Hong jahanam busuk itu."

Siok Lan memandang dengan terima kasih. Tanpa pemuda ini agaknya dia tidak memiliki harapan untuk dapat menolong ibunya. Dengan pemuda ini di sampingnya ia merasa kuat, aman dan mampu melakukan pekerjaan yang betapa pun beratnya. Ia hanya mengangguk dan mukanya tidak cemberut lagi.

Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali perahu mereka telah tiba di sebelah selatan kota raja. Siok Lan bangun dari tidurnya. Saking lelahnya, ketika ia duduk di dalam perahu, ia tertidur sambil menyandarkan tubuhnya pada papan perahu.

Wi Liong mengemudi perahu yang dihanyutkan oleh arus sungai, tak berani mengeluarkan suara berisik agar tidur dara itu tidak terganggu. Makin dipandang makin meresap, makin lama makin mendalam perasaan kasih sayangnya kepada dara yang pemarah ini. Di balik sifat marah ini Wi Liong mendapatkan sesuatu yang amat menarik hatinya, mendapatkan watak yang mulia dan kedukaan yang menimbulkan kasihan di hatinya terhadap gadis ini.

"Selamat pagi. Bu Beng Siocia," kelakar Wi Liong menyambut dara yang baru bangun itu.

Siok Lan menggosok kedua matanya. Masih mengantuk rasanya. Lelah dan kurang tidur, lapar pula, membuat tubuhnya lesu.

"Aku sampai tertidur tanpa kurasa." katanya perlahan sambil mencuci muka dengan air sungai yang mudah saja dicapai tangan dari tepi perahu. "Apa kau tidak tidur?" tanyanya, mengangkat mukanya yang menjadi segar kemerahan setelah digosok-gosoknya dengan air.

Wi Liong tersenyum, menggelengkan kepala.

"Kau tidak mengantuk?"

"Rasa kantuk sih ada, akan tetapi dapat kutahan. Melihat kau dapat tidur enak saja sudah puas hatiku."

Wajah Siok Lan makin memerah. Mendadak dia mengangkat mukanya lagi, memandang tajam sambil bertanya, "Mengapa kau begini baik padaku?"

Pada waktu mengajukan pertanyaan ini matanya bersinar dan bibirnya yang merah agak tersenyum, bukan main manisnya dalam pandangan Wi Liong.

"Aku baik padamu?" Wi Liong berkata sambil mengangkat alis dan menggerakkan bahu. "Entahlah, ada sesuatu yang memaksa aku harus bersikap baik kepadamu, lebih kepada semua orang di dunia ini."

"Apa maksudmu? Apa yang kau harapkan dari sikap baikmu ini? Tentu supaya aku pun bersikap baik dan suka kepadamu, bukan?"

Wi Liong berdebar hatinya. Gadis ini luar biasa sekali. Sinar matanya menunjukkan bahwa di balik sinar mata itu terdapat kecerdikan yang amat tinggi, yang sekaligus sudah dapat menebak isi hatinya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar