Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 32

Setelah pertempuran berlangsung lima puluh jurus, tiba-tiba Kam Ceng Swi mengeluarkan bentakan nyaring dan ia melakukan serangan dengan gerak tipu yang paling ia andalkan, yaitu gerakan Seng-goat-kan-in (Bintang dan Bulan Mengejar Awan). Ujung cambuk yang berbentuk bintang itu meluncur cepat seperti bintang jatuh mengarah lambung lawan, ada pun ujung lainnya yang berbentuk bulan sisir melayang ke arah kepala Beng Kun Cinjin yang gundul licin!

"Bagus...!" Beng Kun Cinjin mengeluarkan seruan pula, merasa kagum dan juga terkejut. Akan tetapi sebagai seorang ahli dia dapat berlaku tenang, malah-malah ia terus berpura-pura kaget dan melompat ke belakang dengan gerakan limbung untuk mengelabui lawan.

Benar saja. Kam Ceng Swi yang berpengalaman itu menjadi girang karena menyangka bahwa kali ini lawannya terdesak oleh gerakannya Seng-goat-kan-in, maka dengan besar hati ia terus mendesak. Akan tetapi, tidak tahunya secara tiba-tiba sekali Beng Kun Cinjin memindahkan tasbeh ke tangan kiri lalu tangan kanannya melakukan pukulan jarak jauh sambil menggereng seperti seekor singa! Inilah Lui-kong-jiu atau Pukulan Geledek yang dilakukan dari jarak jauh, salah satu di antara banyak ilmu yang diandalkan oleh Beng Kun Cinjin.

Seng-goat-pian Kam Ceng Swi baru sadar sesudah terlambat. Dia masih mencoba untuk mengelak, tetapi hawa pukulan yang sangat dahsyat itu tetap saja menghantam dadanya hingga membuat ia terjengkang ke belakang. Ia masih dapat mengatur kakinya sehingga tidak roboh melainkan terhuyung-huyung, akan tetapi pada saat itu tasbeh di tangan Beng Kun Cinjin sudah menyusul tanpa mengenal ampun lagi. Kam Ceng Swi mengelak sambil miringkan kepala, akan tetapi kurang cepat, pinggir kepalanya pada pangkal telinga kena hantaman tasbeh.

"Prakk...!"

Tubuh Kam Ceng Swi terguling, pecut yang menjadi senjatanya yang istimewa itu di luar kesadarannya menggubat-gubat tubuh sendiri lalu ia roboh tak dapat bergerak lagi.

Pada saat itu terdengar bentakan nyaring, "Keparat jahanam!"

Kun Hong yang tadi duduk bersila sambil meramkan mata, kini tahu-tahu telah menerjang Beng Kun Cinjin dengan hebatnya. Gerakannya ringan laksana burung walet, pukulannya mengandung angin pukulan yang membuat Beng Kun Cinjin terkejut bukan main.

Beng Kun Cinjin cepat mengelak sambil menyabetkan tasbehnya. Akan tetapi pemuda itu berkelebat cepat dan tahu-tahu sudah berada di samping lalu menyerang lagi lebih hebat dari pada tadi. Makin terkejutlah Beng Kun Cinjin. Tidak disangkanya sama sekali bahwa pemuda ini demikian lihai.

"Kau murid siapa...?!" tanyanya sekali lagi sesudah dia melirik dan melihat betapa dasar gerakan-gerakan ilmu silat pemuda ini amat dikenalnya.

"Siluman gundul, kau berani membunuh ayah pungutku...?" Kun Hong berseru lagi tanpa menjawab pertanyaan lawan sambil terus mendesak secara bertubi-tubi, malah sekarang pedang yang tadinya dia taruh di tanah sudah diambilnya untuk melakukan penyerangan mematikan.

Beng Kun Cinjin memutar tasbehnya. Ia merasa menyesal sekali karena terpaksa harus menewaskan Kam Ceng Swi untuk menutup rahasianya, malah ia harus membunuh anak Kiu Hui Niang yang dibencinya ini. Sekarang sudah kepalang ia harus berdaya membunuh Kun Hong. Ia mengerahkan segenap tenaga dan kepandaiannya, menyerang pemuda itu kalang-kabut.

Tadi Kun Hong sedang berada dalam keadaan setengah pingsan. Dia masih mabok oleh perubahan keadaan tubuhnya yang mendadak menjadi enak dan ringan, juga hilang rasa sakit pada dadanya.

Ketika Kam Ceng Swi bertempur dengan Beng Kun Cinjin, pemuda ini hanya tahu secara samar-samar saja seperti orang sedang mimpi. Pada saat Kam Ceng Swi berseru keras melancarkan serangan, barulah dia tersadar dan siuman kembali. Dia membuka mata dan secara perlahan kesadarannya pulih kembali. Maka dapat dibayangkan betapa terkejutnya saat menyaksikan ayah angkatnya dipukul roboh oleh hwesio muka hitam yang tadi telah menolongnya.

Betapa pun juga, karena semenjak kecil dipelihara dengan penuh kasih sayang oleh Kam Ceng Swi, pada lubuk hati Kun Hong terdapat rasa cinta dan bakti seorang anak terhadap ayahnya bagi Kam Ceng Swi. Sekarang melihat ayah angkatnya dibunuh orang tentu saja ia marah bukan main.

Memang benar hwesio muka hitam itu tadi sudah mengobatinya, akan tetapi hal itu bukan menjadi alasan bahwa ia harus mendiamkan saja orang membunuh ayah angkatnya yang dia sayang dan hormati. Oleh karena itu dengan kemarahan yang meluap-luap dia segera menyerang Beng Kun Cinjin.

Sesudah menghadapi permainan pedang Kun Hong, Beng Kun Cinjin tidak kuat bertahan lagi. Ia menjadi makin yakin sekarang bahwa ilmu silat pemuda ini sesumber dengan ilmu silat ayahnya.

"Apa kau murid Thian Te Cu?" tanyanya.

Kun Hong hanya menjawab dengan tusukan pedangnya yang demikian dahsyat sehingga walau pun sudah ditangkis tasbeh dan dielakkan, namun tetap saja sebagian besar ujung lengan baju hwesio itu terbabat putus!

"Ataukah murid Thai Khek Sian?" tanya pula Beng Kun Cinjin penasaran.

Akan tetapi kembali jawabannya hanya sabetan pedang yang nyaris membabat lehernya jika saja Beng Kun Cinjin tidak cepat-cepat membuang tubuhnya ke belakang, kemudian menggelundung dan terus melarikan diri secepatnya!

Kun Hong hendak mengejar, tapi tiba-tiba ia menghentikan langkahnya ketika mendengar suara lemah memanggilnya, "Kun Hong..."

Pemuda itu cepat melompat menghampiri Kam Ceng Swi yang tadi memanggilnya itu. Dia melihat ayah angkatnya membuka mata dan menggerakkan bibir. Kun Hong mengangkat kepala orang tua itu kemudian dipangkunya. Darah dari kepala Kam Ceng Swi membasahi bajunya.

"Ayah... bagaimana dengan lukamu?" tanyanya sambil memeriksa luka di pangkal telinga itu. Hebat luka ini dan ada tanda-tanda kepala itu retak.

"Kun Hong... sekarang aku sudah tahu... hwesio itu... Beng Kun Cinjin... dialah pembunuh ibumu... dia itu... ayahmu sendiri... kau... kau tanyalah... Kwee Sun Tek..." Sampai di sini Kam Ceng Swi tak dapat melanjutkan kata-katanya lagi, matanya terpejam dan napasnya terhenti.

"Ayaaah...!" Kun Hong memanggil tetapi nyawa yang telah melayang pergi meninggalkan badan tak dapat ditahan lagi.

Keterangan ayah angkatnya ini bagaikan halilintar menyambar kepalanya, membuat Kun Hong untuk sekian lamanya duduk di atas tanah dengan jenazah ayah angkatnya masih dipangkunya. Mukanya pucat sekali dan dua butir air mata menitik turun tanpa diusapnya. Jalan pikirannya berputar tidak karuan, bingung ia memikirkan betapa hwesio muka hitam yang mengobatinya dan kemudian membunuh ayah angkatnya itu adalah ayahnya sendiri!

Jadi ternyata hwesio itu adalah Beng Kun Cinjin, pikirnya. Pantas saja gerakan-gerakan ilmu silatnya mirip dengan ilmu silatnya sendiri, tak tahunya hwesio muka hitam itu putera tunggal Gan Yan Ki. Tapi bagaimana bisa jadi hwesio itu ayahnya sendiri? Sayang ayah angkatnya tidak dapat memberi keterangan yang jelas dan keburu tewas karena lukanya. Akan tetapi ia akan mencari Kwee Sun Tek, orang tua buta itu untuk ditanyai keterangan.

Hatinya berdebar. Bagaimana bisa terdapat keanehan yang begini kebetulan? Mengapa justru kepada Kwee Sun Tek ia harus mencari keterangan? Justru kepada orang tua buta yang pernah ia permainkan sehingga terjadi kehebohan dalam tali perjodohan Wi Liong.

Dengan hati berduka Kun Hong lalu menguburkan jenazah ayah angkatnya, dibantu oleh Phang Sinshe. Tadinya orang she Phang ini hanya bersembunyi di dalam pondok karena takut mendengar suara ribut-ribut, kemudian setelah Kun Hong memanggilnya keluar, ia menjadi gemetar melihat di situ ada jenazah seorang yang tidak dikenalnya.

"Sobatmu muka hitam itu sudah melarikan diri, dan ini ayah angkatku terbinasa. Phang Sinshe, apa kau tahu ke mana kiranya Beng Kun Cinjin pergi?"

"Beng Kun Cinjin itu siapa? Aku tidak mengenalnya," jawab Phang Sinshe sejujurnya.

Kun Hong pun dapat menduga bahwa kutu buku ini tidak tahu apa-apa dan tidak berdosa. "Bagaimana kau bisa menjadi sobat hwesio muka hitam itu dan bagaimana pula agaknya kau mengenal Liong Tosu?" tanya Kun Hong sambil memandang tajam.

Kakek itu menarik napas panjang, lalu berkata, "Aku hanya mengenal hwesio itu sebagai seorang hwesio yang batinnya menderita, yang selalu kelihatan susah dan berduka. Dia tertarik dengan pengetahuanku tentang kitab-kitab kuno, maka kami sering kali bercakap-cakap mengenai ilmu kebatinan. Agaknya percakapan-percakapan kami itu dapat sedikit menghibur hatinya, maka sering kali aku datang mengunjunginya. Karena perkenalanku dengan dia itulah aku mengenal Liong Tosu yang pernah pula mengunjunginya."

Penguburan jenazah Kam Ceng Swi dilakukan dengan sangat sederhana. Kun Hong lalu menaruh sebuah batu besar di depan makam dan mengikatkan senjata Seng-goat-pian erat-erat pada batu itu. Batu nisan yang istimewa itu kelihatan angker dan menjadi tanda yang mudah dikenal.

Sesudah menghaturkan terima kasih kepada Phang Sinshe, Kun Hong lalu turun gunung. Di dalam hati ia berjanji untuk mencari Beng Kun Cinjin dan biar pun hwesio itu dikatakan oleh Kam Ceng Swi adalah ayahnya, akan tetapi dia benci kepada ‘ayah’ itu yang sudah membunuh ibunya dan membunuh ayah angkatnya yang terkasih. Apa lagi kalau diingat bahwa matinya Kam Ceng Swi adalah untuk membelanya.

Biar pun ia tadi masih dalam keadaan pusing, tetapi setelah ditendang oleh hwesio muka hitam itu, secara samar-samar ia lantas ingat bagaimana hwesio itu hendak memukulnya dengan tasbeh akan tetapi lalu tiba-tiba saja bertempur dengan Kam Ceng Swi.

Tadinya Kun Hong berniat hendak langsung mencari Im-yang-giok-cu yaitu batu giok Im-yang yang bisa menjadi obat baginya. Menurut pesan Liong Tosu, biar pun kini rasa sakit sudah lenyap setelah ia menerima pengobatan Liong Tosu dan hwesio muka hitam, akan tetapi tetap saja akibat pukulan Im-yang-lian-hoan itu akan membuat ia hanya dapat hidup selama dua tahun, kecuali kalau dia mendapatkan obat Im-yang-giok-cu yang dimiliki oleh Kui-bo Thai-houw di Ban-mo-to.

Memang tadinya dia hendak mencari obat ini lebih dahulu sebelum mengurus hal-hal lain. akan tetapi sejak mendengar pesan terakhir dari Kam Ceng Swi, sekarang ia ingin cepat-cepat mencari Kwee Sun Tek guna minta penjelasan mengenai keadaan Beng Kun Cinjin yang dikatakan sebagai ayahnya itu. Oleh karena itu, kini setelah turun dari Bayangkara ia langsung menuju ke Wuyi-san lagi untuk mencari Kwee Sun Tek. Kalau perlu dia hendak minta keterangan dari Wi Liong, yaitu apa bila Kwee Sun Tek tidak berada di sana…..

********************

Kun Hong sedang berbaring di atas tempat tidur dalam kamar hotelnya. Pemuda ini telah melakukan perjalanan jauh terus-menerus hingga tubuhnya terasa lelah sekali. Siang hari tadi ia tiba di kota Kong-siang ini dan langsung mencari hotel, lalu setengah hari lamanya dia bersemedhi untuk memulihkan kesegaran tubuhnya.

Dan sekarang, sesudah makan sore, dia membaringkan diri di dalam kamar. Malam ini dia hendak mengaso sampai puas, besok pagi-pagi barulah dia melanjutkan perjalanan.

Ia berbaring sambil melamun. Betapa banyaknya persoalan yang dihadapinya. Menyelidiki mengenai Beng Kun Cinjin kemudian mencarinya. Pergi ke Ban-mo-to untuk mencari Im-yang-giok-cu yang baginya merupakan obat penyambung nyawa. Belum lagi mencari Thai It Cinjin beserta kedua sute-nya, Im Thian Cu dan Yang Thian Cu, yang sudah merampas pedang Cheng-hoa-kiam. Semua itu masih ditambah urusan tentang perjodohan Kwa Siok Lan dengan Wi Liong yang harus ia sambung kembali memenuhi permintaan Eng Lan dan hal ini biar pun sama sekali tidak mengenai dirinya sendiri, malah menempati kedudukan pertama dalam perhatiannya karena Eng Lan yang menyuruhnya.

Eng Lan... mengenangkan gadis itu, tersenyum bibir Kun Hong dan wajahnya berseri. Apa pun yang akan terjadi, betapa pun berat tugas-tugas yang dihadapinya, asal kelak dapat mempersunting bunga hatinya itu, maka ia tetap gembira dan tidak akan mundur setapak pun menghadapi rintangan-rintangan maha berat.

"Eng Lan... sekarang kau berada di mana dan sedang apa saat ini...?" bibirnya bergerak membisikkan kata-kata ini sambil menekan kerinduan yang timbul di dalam hatinya.

Tiba-tiba dia mendengar suara kaki di atas genteng, gerakan kaki yang amat ringan dan sukar terdengar oleh telinga biasa. Kun Hong cepat meniup padam api lilin di atas meja. Ia menyambar pedangnya, membuka jendela kamar perlahan-lahan lalu melayang keluar dari jendela itu.

Tanpa terasa olehnya, malam telah merayap jauh dan pada saat ia melangkah keluar ke belakang hotel, baru kelihatan bahwa malam itu amat terang, gemilang oleh sinar bulan. Dia melihat keadaan sekeliling sunyi saja, maka dia pun mengenjot kakinya melompat ke atas genteng. Sambil berlindung di balik wuwungan dia mengintai dan melihat dua sosok bayangan bergerak-gerak di atas genteng hotel.

Ketika dia menghampiri dengan hati-hati sambil bersembunyi, terlihat olehnya bahwa dua bayangan itu adalah dua orang wanita muda yang gerak-geriknya amat lincah dan ringan. Mereka sedang menjenguk dari lubang yang mereka buat di antara genteng-genteng, dan terdengar mereka tertawa terkekeh ditahan dan tangan mereka bergantian menyambitkan sesuatu ke bawah.

"Aduh, setan kurang ajar!" terdengar seruan-seruan dari bawah, suara laki-laki yang parau dan dua orang wanita itu terkikik lagi.

Kun Hong terkejut. Ia ingat bahwa kamar yang diganggu oleh dua orang wanita itu adalah kamar seorang laki-laki tinggi besar yang dari golok yang tergantung pada pinggang serta gerak-geriknya saja sudah dapat diketahui bahwa orang itu adalah orang kang-ouw yang memiliki ilmu silat dan bukan seorang yang mudah diganggu begitu saja.

Dari mana datangnya dua orang wanita yang ternyata adalah gadis-gadis muda ini? Dan mengapa mereka mengganggu laki-laki tinggi besar itu?

"Enci, kau bilang dia itu yang berjuluk Tiat-thouw-sai (Singa Kepala Besi)?"

"Betul dialah Tiat-thouw-sai Tan Kak," jawab gadis ke dua.

"Julukannya sungguh hebat, mengapa kepalanya tidak sekuat besi?" gadis pertama yang rambutnya diikat pita di kanan kiri bertanya lagi. Keduanya lalu tertawa-tawa lagi sambil mengincar ke bawah genteng.

Kun Hong menjadi ingin tahu, maka ikut pula mengintai ke dalam melalui genteng di balik wuwungan. Dan ia menahan ketawanya. Benar-benar dua orang gadis itu nakal sekali.

Di dalam kamar itu kelihatan si Tiat-thouw-sai itu sedang mencak-mencak dan mengelus-elus kepalanya. Kain pembungkus kepalanya sudah lubang-lubang dan kepalanya benjol-benjol. Tiap kali ia hendak lari ke pintu, sebuah benda kecil lantas menyambar kepalanya membuat dia mengurungkan niatnya dan setiap kali dia hendak melompat dan menyerbu ke atas melalui jendela, sebuah benda malah kadang-kadang dua buah membuat ia roboh kembali!

Akhirnya Tiat-thouw-sai Tan Kak insyaf bahwa di atas genteng terdapat orang pandai. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut di atas lantai sambil mengeluh,

"Enghiong dari mana dan siapakah yang di atas? Dan mengapa mempermainkan siauwte (aku)? Jika ada salah, harap sudi memberi maaf. "

Kini dua orang enci adik itu tertawa cekikikan tanpa menahan suara ketawanya sehingga Tiat-thouw-sai Tan Kak menjadi terbelalak heran sesudah mendengar bahwa orang-orang yang di atas genteng adalah para wanita.

"Tiat-thouw-sai Tan Kak. kau telah mengacau kota Kong-siang dan mencuri banyak emas permata, masih pura-pura tanya kesalahan!" kata gadis yang tertua, yang bertubuh tinggi langsing, suaranya merdu akan tetapi kereng sekali.

"Seorang perantau kehabisan bekal, lalu mengambil sedikit harta dari para hartawan yang kikir, apakah itu dianggap kesalahan?" kata Tan Kak, mengeluarkan aturan para perantau kang-ouw dan liok-lim, yaitu tak ada salahnya bagi mereka bila menyatroni para hartawan jahat.

"Siapa tidak kenal alasanmu yang kosong? Kau mencuri bukan sekedar kekurangan bekal perjalanan. Masa untuk bekal perjalanan kau mengambil uang sampai beratus tael emas? Dan kau telah mengganggu pula gedung hartawan Bun yang terkenal dermawan dan suka menolong rakyat miskin, dosamu benar-benar tak boleh diampuni!"

Karena mendapat kenyataan bahwa yang mengganggunya hanya dua orang wanita saja, maka semangat Tiat-thouw-sai Tan Kak timbul kembali.

Dengan gerakan mendadak ia memukul ke arah lilin sehingga api lilin di kamarnya padam dan keadaan menjadi gelap sekali. Cepat ia mencabut goloknya dan melompat keluar dari pintu, terus ke belakang dan melompat naik ke atas genteng.

"Siluman wanita dari mana berani main-main dengan Tiat-thouw-sai?!" bentaknya setelah dia melompat ke dekat dua orang gadis itu. Dia segera disambut oleh gadis ke dua yang rambutnya diikat pita di kanan kiri dengan bentakan nyaring.

"Singa Kepala Besi (Tiat-thouw-sai), hendak kulihat sampai di mana kerasnya kepalamu!"

Tan Kak marah sekali dan goloknya segera menyambar. Melihat bahwa dua orang wanita itu hanya dua orang gadis muda, ia makin memandang rendah lagi.

Inilah kesalahan seorang yang terlalu sombong. Setiap ahli silat paling berhati-hati dalam menghadapi tiga macam orang, yaitu lelaki sasterawan yang terlihat lemah, orang-orang bercacad yang nampaknya tidak berdaya, dan wanita-wanita yang lemah-lembut. Mereka tiga macam orang ini pada umumnya memang lemah, tetapi kalau mereka berani beraksi di dunia kang-ouw, itu tandanya bahwa mereka telah mempunyai kepandaian yang tinggi. Apa bila Tan Kak tidak sombong mengandalkan julukannya dan tidak memandang rendah kepada dua orang gadis itu, tentu baginya lebih selamat kalau ia tadi melarikan diri saja di dalam kegelapan.

Menghadapi sambaran golok di tangan Tan Kak, gadis muda itu malah tertawa mengejek. Ia bertangan kosong saja dan sedikit gerakan tubuhnya yang langsing itu telah membikin golok lawan hanya menyambar angin. Tan Kak menjadi penasaran dan menyerang terus, akan tetapi lawannya bergerak cepat laksana seekor burung walet, setiap sabetan golok dapat dihindarkan tanpa banyak mengeluarkan tenaga.

Sementara itu gadis ke dua yang rambutnya panjang, yang pada bagian depan menutupi jidatnya, sudah melompat ke bawah menuju ke kamar Tan Kak. Tidak lama kemudian dia sudah keluar lagi sambil membawa dua buah kantong yang berat! Melihat adiknya masih terus mempermainkan Tan Kak bergerak ke sana ke mari sambil tertawa-tawa di antara berkelebatnya sinar golok, ia berseru,

"Hui Sian, tidak lekas bereskan dia mau tunggu sampai kapan?"

Hui Sian atau gadis yang rambutnya diikal dan diikat pita di kanan kiri tertawa merdu lalu membentak, "Kau gantilah julukan menjadi singa kepala remuk!” Sebuah tendangan kilat menyambar, tepat menghantam lutut pencuri itu.

Tan Kak berseru kesakitan dan tubuhnya terpental lalu terguling di atas genteng, disusul tendangan ke dua yang membuat Tan Kak terlempar ke bawah, lantas timbul suara keras yang menyatakan bahwa ketika jatuh ke bawah kepalanya tentu terbentur benda keras.

Kun Hong masih tetap bersembunyi ketika semua ini terjadi. Di dalam hatinya dia memuji kepandaian dua orang nona itu, akan tetapi ketika melihat dua orang gadis itu hendak lari membawa dua buah kantong yang tidak salah lagi isinya tentulah uang yang menjadi hasil curian Tan Kak, hati Kun Hong penasaran dan tidak senang.

’Masa nona-nona itu menyerang Tan Kak hanya untuk merampas barang curian? Kalau begitu sama saja, tidak ada perbedaan antara Tan Kak dan dua orang nona ini. Sayang kalau gadis-gadis-muda cantik seperti itu menjadi perampok- perampok rendah,’ pikir Kun Hong.

Ketika dua orang gadis itu hendak melarikan diri, mereka terkejut sekali karena tiba-tiba terdengar bentakan halus. "Gadis-gadis cantik tidak patut menjadi perampok!"

Berbareng dengan bentakan itu, tahu-tahu dua buah kantong yang dibawa gadis pertama tadi telah lenyap!

Gadis itu mengeluarkan teriakan kaget. Ia hanya merasa betapa kantong-kantong itu tadi direnggut orang. Cepat ia beserta adiknya memutar tubuh dan... mereka melihat seorang pemuda ganteng berdiri di depan mereka dengan gagah dan angker!

“Sungguh tidak patut gadis-gadis muda dan cantik menjadi perampok-perampok!" Kembali Kun Hong mengulangi kata-katanya sambil melemparkan dua buah kantong itu ke atas genteng. Terdengar suara nyaring yang menandakan kantong-kantong itu terisi emas dan perak.

"Bangsat rendah! Siapa kau yang berani mencampuri urusan kami?" Gadis ke dua yang bernama Hui Sian tadi membentak sambil melangkah maju, siap menyerang.

Kun Hong tetap tersenyum tenang. "Perlu sekalikah kau mengetahui namaku? Tidak malu kau menanyakan nama seorang pemuda!" Ia menggoda.

"Cih, pemuda ceriwis!" bentak gadis pertama marah.

"Penjahat macam ini kita bereskan saja, enci Hui Nio!" bentak Hui Sian sambil menyerang dengan pukulan tangan kanannya. Pukulannya amat mantap dan cepat datangnya, tanda bahwa dia bukanlah orang sembarangan.

Akan tetapi kali ini dia menghadapi Kun Hong, pemuda yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi dari padanya. Sekali menggeser kaki sambil menggerakkan tangan, Kun Hong berhasil menangkap pergelangan tangan gadis itu dengan tangan kirinya, membuat Hui Sian tak dapat bergerak untuk melepaskan diri!

Melihat ini, Hui Nio menghantam dari samping ke arah lambung Kun Hong. Tapi dengan jalan menarik tangan Hui Sian sehingga gadis ini menggantikan tempatnya membuat Hui Nio cepat-cepat menarik kembali tangannya karena dia tidak mau memukul adik sendiri. Sebelum ia tahu apa yang terjadi, tahu-tahu pergelangan tangannya tertangkap pula oleh tangan kanan Kun Hong!

"Lepaskan aku!" bentaknya dan mukanya menjadi merah sekali.

"Kurang ajar, hayo lepaskan tanganku!" Hui Sian juga berseru marah sambil meronta-ronta tanpa hasil.

"Tidak akan kulepaskan sebelum kalian berjanji tak akan merampok lagi," kata Kun Hong tersenyum.

Dalam keadaan seperti itu, timbul kembali sifatnya yang senang menggoda orang. Timbul kembali sukanya untuk mempermainkan wanita cantik seperti sebelum berjumpa dengan Eng Lan. Ia mendapat kenyataan betapa dua orang gadis ini cantik-cantik sekali.

Tiba-tiba saja Hui Nio melakukan serangan dengan tangan kanannya mencengkeram ke arah leher Kun Hong, sedangkan pada saat itu juga tangan kiri Hui Sian sudah melakukan gerakan mencengkeram ke arah kepalanya! Gerakan kedua orang gadis ini hebat sekali, tetapi yang amat mengejutkan hati Kun Hong, dia mengenal gerakan-gerakan ini sebagai gerakan Hek-jiauw-kang. semacam ilmu mencengkeram yang dia pelajari dari Thai Khek Sian! Kagetnya bukan main dan dia melepaskan pegangannya lalu melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari cengkeraman-cengkeraman maut itu.

"Kalian murid siapa?" tanyanya.

Akan tetapi dua orang gadis yang sudah menjadi marah sekali itu tak mau mempedulikan pertanyaan ini, sebaliknya malah menghujani serangan dengan gerak tipu Hek-jiauw-kang yang lihai.

Keheranan Kun Hong semakin besar melihat gerakan-gerakan mereka itu, biar pun pada dasarnya sama dengan Hek-jiauw-kang yang dimilikinya, namun perkembangannya agak berbeda sehingga tidak begitu berbahaya lagi, tidak sejahat dan seganas Hek-jiauw-kang. Tentu saja dengan enak dan mudah dia dapat menghindarkan semua serangan itu.

Hui Nio dan Hui Sian kaget setengah mati. Baru kali ini ada orang dapat melawan mereka dan dapat menghadapi ilmu cengkeraman mereka secara begitu mudah. Mereka maklum bahwa lawan ini lihai sekali, membuat mereka diam-diam menjadi kagum akan tetapi juga penasaran dan khawatir.

Pada saat itu pula terdengar hiruk-pikuk di bawah rumah penginapan dan obor dinyalakan orang. Banyak orang berkumpul di bawah hingga keadaan menjadi ramai. Ternyata suara ribut-ribut itu membangunkan para tamu dan mayat Tan Kak yang menggeletak di bawah sudah menarik perhatian dan menimbulkan kepanikan.

Melihat ini, dua orang gadis itu cepat membalikkan tubuh lalu melarikan diri, berlompatan dengan cepat dan ringan di atas wuwungan rumah.

"Berhenti dulu!" seru Kun Hong sambil mengejar.

Tadi dia tidak melayani mereka dengan sungguh-sungguh, hanya main-main saja karena memang dia tidak mempunyai permusuhan dengan mereka dan tidak ada keinginan untuk merobohkan mereka. Akan tetapi dia masih penasaran karena melihat ilmu silat mereka ada persamaannya dengan ilmu silatnya, maka dia cepat mengejar.

Akan tetapi dua orang gadis itu sudah berlari cepat. Beberapa kali Hui Sian menoleh dan melempar senyum kepada pemuda ganteng dan lihai itu, akan tetapi tidak memperlambat larinya.

Bulan yang tadinya terang benderang, mendadak tertutup awan hitam sehingga membuat keadaan menjadi gelap dan Kun Hong kehilangan jejak dua orang gadis cantik yang dapat berlari amat cepat itu. Ia terpaksa membatalkan niatnya mengejar dan kembali ke tempat tadi.

Melihat keributan orang, dia tidak mau terlibat dalam persoalan itu, maka dia cepat-cepat mengambil dua kantong uang emas dan perak di atas genteng, lalu melompat turun tanpa diketahui oleh siapa pun juga. Dia menuju ke kandang kuda, lalu melarikan diri malam itu juga, menunggang kuda berbulu abu-abu yang besar dan kuat, kuda milik Tiat-thouw-sai Tan Kak!

Dengan kuda ini Kun Hong melanjutkan perjalanannya ke Wuyi-san. Benar saja, sesudah melakukan perjalanan dengan kuda yang baik dan kuat itu. dia tidak begitu lelah sehingga perjalanan dapat dilakukan lebih cepat. Apa lagi kini ia telah membawa bekal dua kantong yang ternyata berisi potongan-potongan emas dan perak yang jumlahnya sangat banyak!

Kun Hong yang biasanya tak pernah memegang uang, selalu mengambil milik siapa saja apa bila memerlukan, sekarang hidup sebagai seorang putera hartawan, menghamburkan uang seperti membuang pasir saja! Ia mengambil uang itu dan mempergunakannya untuk menyesuaikan hidupnya dengan yang dikehendaki Eng Lan, tidak mau lagi dia mengambil milik orang apa bila membutuhkan makan dan pakaian. Sama sekali ia tidak sadar bahwa kalau Eng Lan melihat cara ia menghamburkan uang yang ia rampas dari dua orang gadis itu, Eng Lan tentu akan mengerutkan dahinya yang halus dan akan memarahinya.

Sekarang Kun Hong tampil sebagai seorang pemuda yang tampan dengan pakaian indah dan mahal. Seorang pemuda pesolek yang membuat setiap orang wanita mengerlingkan mata penuh arti kepadanya. Bahkan banyak orang mengira dia seorang putera pangeran yang melakukan pelancongan…..!

********************

Kita tinggalkan dulu Kun Hong yang sedang melakukan perjalanan menuju Wuyi-san dan kini mari kita ikuti perjalanan Wi Liong, pemuda yang tertimpa kemalangan dalam urusan perjodohannya karena gara-gara Kun Hong! Ataukah hal itu harus dipersalahkan kepada Kun Hong?

Seperti yang telah kita ketahui, bukan saja karena kenakalan Kun Hong maka perjodohan itu mengalami keributan, tetapi juga disebabkan sikap Wi Liong sendiri! Sikap pemuda ini ketika berhadapan muka dengan Kwa Siok Lan, gadis tunangannya sendiri kepada siapa dia jatuh cinta!

Memang nasib pemuda ini sungguh sial. Dia bertemu dengan Siok Lan tanpa mengetahui bahwa gadis ini adalah tunangannya, bahkan dia menyatakan cinta kepada Siok Lan dan menyatakan hendak membatalkan perjodohannya dengan tunangannya! Dasar nasibnya memang buruk, tidak tahu bahwa yang dicinta adalah tunangannya sendiri dan tunangan yang dibenci adalah gadis yang membikin dia tergila-gila itu juga.

Dengan kawannya yang setia, suling perak yang sekaligus merupakan senjatanya pula, Wi Liong melakukan perjalanan cepat menuju ke Poan-kun. Meski pun dia telah berusaha menenteramkan hati, tidak urung berdebar juga dadanya. Debar-debur jantungnya seolah menghantam kulit dada ketika dia memasuki pintu gerbang kota Poan-kun.

Bagaimana macamnya gadis yang menjadi tunangannya itu? Dan bagaimana nanti sikap bekas calon mertuanya, Kwa Cun Ek yang kabarnya merupakan seorang jagoan tua yang gagah perkasa.....?
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar