"Kun Hong...! Kau kenapa...?” gadis itu menegur, heran dan khawatir.
Mendengar suara gadis ini, Kun Hong sadar kembali dan menghentikan amukannya pada udara kosong. Akan tetapi dia masih marah dan membanting-banting kakinya. "Keliru...! Keliru besar manusia-manusia tolol itu! Itu hanya perbuatan manusia-manusia bodoh yang lemah, tak ada bedanya dengan anjing-anjing dipentung berlari sambil berkuikan. Ditindas dari atas malah membunuh anak sendiri! Untuk apa manusia-manusia demikian hidup?”
Karena dia sendiri adalah anak seorang petani dusun, ketika mendengar maki-makian ini Eng Lan menjadi panas hatinya. "Kalau menurut kau, harus bagaimana?”
"Lawan saja para penindas itu! Andai kata benar yang membuat hidup mereka demikian celaka adalah tuan-tuan tanah, para hartawan dan bangsawan di dusun, andai kata benar tuan-tuan tanah itu memeras keringat dan darah mereka, mengapa tidak serentak bangkit melakukan perlawanan? Hancurkan saja semua lintah darat itu, ganyang habis penindas-penindas itu, dan aku siap mengorbankan nyawaku untuk membantu!" Pemuda itu berdiri tegak penuh semangat, seperti seorang patriot yang menyatakan hendak membela tanah air dari serangan musuh negara.
Eng Lan berseri kembali wajahnya, dia bangga terhadap kekasihnya. "Kalau saja banyak orang gagah seperti kau, dan kalau saja sejak dahulu kau bersikap seperti ini, alangkah banyaknya orang dusun yang, tertolong hidupnya. Kun Hong, kau tidak tahu bahwa para petani miskin itu amat lemah kedudukannya. Apakah daya mereka? Aku lebih tahu karena dahulu aku pun anak petani di dusun. Betapa banyaknya petani yang sudah nekat lantas memberontak, tapi dalam beberapa hari saja mereka sudah habis dibasmi oleh para kaki tangan hartawan dan bangsawan di dusun yang rata-rata terdiri dari tukang-tukang pukul yang kuat dan berkepandaian. Keadaan mereka benar-benar celaka, tidak melawan mati kelaparan atau sedikitnya hidup seperti binatang, apa bila melawan tewas semua dengan sia-sia. Kalau tidak orang-orang seperti kita yang turun tangan membantu, meski seratus tahun lagi mereka akan tetap tertindas dan terhisap."
"Aku akan membela mereka!" teriak Kun Hong bersemangat.
Eng Lan memegang tangan pemuda itu dan matanya berlinang. "Terima kasih, Kun Hong. Bagus sekali kau bersikap seperti ini. Jangan kembali seperti dulu, membantu penjajah Mongol yang menambah beban rakyat karena para tuan tanah dan bangsawan itu rata-rata juga telah menjadi kaki tangan penjajah itu."
"Apa...?!" Kun Hong menjadi pucat. "Kau bilang bahwa dulu aku malah membantu mereka yang membikin celaka rakyat jelata?”
"Tidak salah. Dengarlah ceritaku selanjutnya agar supaya kau tahu manusia macam apa itu bangsawan Liu yang hendak kau bela di kota raja, hartawan yang lehernya putus oleh pedangku."
Kun Hong ditarik lengannya hingga duduk kembali di atas batu, siap mendengarkan cerita gadis yang sudah dapat membuat dia terpengaruh lahir batin itu.
"Seperti kuceritakan tadi, ayah bundaku adalah petani miskin sekali yang penghasilannya hanya dari mengerjakan sawah dan ladang milik tuan tanah sebagai buruh tani. Berpuluh tahun keringat dan darah ayah bundaku diperas untuk menggarap sawah dan memenuhi gudang tuan tanah, sedangkan ayah ibu hanya menerima upah sekedar tidak kelaparan. Ayah ibu hanya punya dua orang anak perempuan, enci-ku dan aku. Enci sudah menikah dengan seorang pemuda tani juga, kemudian pindah ke dusun dekat kota tempat tinggal hartawan Liu untuk mengerjakan sawah hartawan itu. Aku tinggal bersama ayah bundaku. Kemudian mala petaka menimpa keluarga kami ketika aku berusia lima belas tahun. Tuan tanah yang sawahnya dikerjakan oleh ayah, mempunyai niat jahat terhadap diriku. Meski pun miskin tetapi ayah dan ibu tidak sudi menuruti permintaannya. Bermacam usaha dan jalan dilakukan oleh tuan tanah jahanam itu, sampai akhirnya mereka menahan ayah dan ibu dengan tuduhan menggelapkan hasil panen dan aku yang ditinggal seorang diri diculik oleh kaki tangannya."
"Keparat jahanam! Katakan siapa dan di mana adanya tuan tanah itu, akan kuhancurkan kepalanya!" Kun Hong membentak sambil mengepal tinjunya.
"Sabarlah dan dengarkan saja sampai habis," Eng Lan menghibur sambil menangkap dan menggenggam tangan kekasihnya itu.
"Baiknya pada saat itu muncul suhu di dusun itu. Suhu menolongku dan membunuh tuan tanah keparat. Ketika suhu hendak menolong ayah bundaku, ternyata ayah dan ibu telah mati di dalam kamar tahanan, keduanya membunuh diri dengan... membenturkan kepala pada dinding..."
Sampai di sini Eng Lan menangis sedih. Kun Hong memeluk dan mendekap kepalanya, mengelus-elus rambut gadis itu sambil menahan air matanya sendiri.
"Kasihan sekali kau... dewiku..."
Tak lama kemudian Eng Lan sudah dapat menguasai dirinya, kemudian dia melanjutkan ceritanya.
"Karena aku tiada sanak kadang lagi dan karena suhu kasihan melihatku, semenjak saat itu aku lalu dijadikan muridnya. Suhu menjadi pengganti orang tuaku dan aku berlatih ilmu dengan giat karena aku merasa yakin bahwa hanya dengan memperkuat diri dan bersatu dengan rakyat jelata maka kelak kita akan dapat mengubah keadaan rakyat yang begitu sengsara. Kemudian dapat kau bayangkan betapa sakit hatiku ketika mendengar bahwa enci-ku sekeluarga juga dibunuh habis oleh kaki tangan bangsawan Liu karena hartawan itu tergila-gila melihat kecantikan enci-ku. Aku mendengar bahwa keparat itu sudah pindah ke Peking. Aku mohon pertolongan suhu dan akhirnya seperti kau ketahui, aku berhasil membalas sakit hati enci-ku dan membunuh keparat she Liu tua bangka mata keranjang itu. Kebetulan aku mendapat bantuan dari enci Siok Lan dan susiok-nya (paman gurunya) sehingga segala sesuatu dapat berjalan lancar."
Pada saat Eng Lan mengakhiri ceritanya, bulan sudah naik tinggi dan keadaan malam itu menjadi makin terang dan makin sejuk. Tiba-tiba terdengar suara tiupan suling yang amat indah. Lagu yang ditiup dari suling itu adalah lagu yang terkenal yaitu lagu ‘Penggembala Merindukan Puteri’, sebuah lagu percintaan yang dipetik dari dongeng mengenai seorang penggembala yang melihat puteri raja dan jatuh hati kepadanya.
Penggembala itu setiap hari menumpahkan rasa rindunya melalui suling. Demikian pandai ia menyuling dan demikian indah suara sulingnya sampai-sampai ia menjadi terkenal dan diundang ke istana untuk bermain suling di hadapan keluarga raja termasuk... sang puteri itu! Saking bagusnya dia menyuling dan saking kagumnya keluarga raja mendengar tiupan suling yang penuh perasaan ini, raja lalu menjanjikan hadiah dan menyuruh penggembala itu memilih sendiri hadiahnya.
Tanpa ragu-ragu lagi penggembala itu menunjuk pilihannya, yaitu... sang puteri itulah! Raja dan orang-orang lain di situ kaget sekali. Raja marah, menyuruh tangkap penggembala itu dan menyuruh algojo memenggal batang lehernya di saat itu juga! Melihat ini, sang puteri terus jatuh sakit sampai akhirnya kematian menjemput.
Demikianlah dongeng itu yang tersusun dalam sebuah lagu dan sedang dimainkan orang dengan suling di tengah kesunyian malam bulan purnama itu. Untuk sejenak Eng Lan dan Kun Hong saling pandang dengan heran, mendengarkan dengan kagum karena suling itu ditiup dengan penuh perasaan pula. Mendengar suara suling melengking begitu halus dan nyaring, diam-diam Kun Hong terkejut karena maklum bahwa peniupnya tentulah seorang ahli khikang yang amat pandai.
"Mari, sudah waktunya kita mencari Wi Liong," bisiknya. Dengan pedang Cheng-hoa-kiam di tangan Kun Hong berjalan menuju ke bangunan itu, diikuti oleh Eng Lan.
Akan tetapi seluruh bangunan terlihat gelap dan sunyi saja. Yang ada hanya suara suling ditiup makin asyik, mendatangkan suasana romantis dan juga agak ganjil. Ketika mereka sudah mendekati bangunan kuno itu, ternyata bahwa suara suling terdengar dari belakang bangunan, akan tetapi datangnya dari sebelah atas!
"Agaknya orang memang sudah menanti kunjungan kita dan sengaja menyambut dengan suara suling di atas genteng," kata Kun Hong yang mengenal watak yang aneh-aneh dari orang-orang kang-ouw. Apa lagi di tempat kediaman Thian Te Cu, tentu saja hal seperti itu bukan sesuatu yang aneh.
"Ssttt...!" Eng Lan menyentuh tangan Kun Hong dari belakang.
Pemuda ini menengok dan ia melihat dua bayangan orang berkelebat menyusul dari arah belakang. Kun Hong cepat bersiap-siap, akan tetapi oleh karena menyangka bahwa dua orang itu tentu fihak tuan rumah, tidak baik kalau ia memegang pedang terhunus. Cepat ia menyimpan pedangnya di balik baju. Namun siapa kira dalam saat itu juga, dua orang itu serta-merta tanpa banyak cakap lagi sudah melompat maju dengan kecepatan kilat, lalu menyambar dan menyerang dia dan Eng Lan!
Kun Hong terkejut sekali melihat serangan yang mengandung hawa pukulan sangat kuat ini. Dia tahu bahwa Eng Lan takkan mungkin dapat menahan serangan sehebat ini, maka cepat sekali dia mendorong tubuh kekasihnya sampai Eng Lan mencelat dan bergulingan jauh!
Akan tetapi pada saat itu pula serangan dua orang itu sudah sampai, malah yang tadinya hendak menyerang Eng Lan, begitu melihat gadis itu didorong pergi, segera membalik lalu mengalihkan penyerangannya kepada Kun Hong. Dengan demikian secara bertubi-tubi Kun Hong menghadapi dua serangan dahsyat. Pemuda ini cepat menggerakkan kaki dan kedua tangannya menyampok serangan-serangan itu.
"Plakk! Plakk!"
Cepat sekali dua tangannya berhasil menyampok dua kepalan tangan, akan tetapi betapa kagetnya ketika dia merasa kedua tangannya sakit pada waktu bertemu dengan dua buah tangan yang keras laksana besi baja!
Namun Kun Hong adalah murid Thai Khek Sian, ilmu silatnya aneh dan luar biasa sekali, gerakannya cepat tak terduga. Dalam keadaan terserang tadi, begitu menangkis ia sudah dapat menyusul dengan dua macam serangan ke arah dua orang lawan yang belum dia lihat betul keadaan orangnya.
Lawan yang lebih tinggi agak bingung menghadapi pukulan Kun Hong, hendak menangkis namun kurang cepat sehingga pundaknya kena diserempet, membuat dia mengaduh dan terhuyung ke belakang. Namun lawan ke dua yang bertubuh gemuk pendek sudah cepat menghadapi pukulan Kun Hong dengan kedua tangan didorong ke depan.
Kun Hong terkejut dan maklum bahwa lawan hendak mengadu tenaga. Ia hendak menarik tangannya tetapi sudah tidak keburu.
"Dukkk...!"
Kepalan tangan Kun Hong membentur telapak tangan si gemuk pendek itu dan Kun Hong merasa tangannya bagaikan menghantam dinding baja. Rasa panas yang aneh menjalar cepat dari kepalan tangan menikam jantungnya.
"Huakk...!” Tanpa dapat ditahan lagi Kun Hong muntahkan darah segar yang seakan-akan menyembur keluar dari dalam dadanya. Sementara itu si gemuk pendek terjengkang lalu bergulingan dan melompat berdiri lagi.
"Kun Hong...!" Eng Lan menjerit dan gadis ini sudah mencabut pedangnya untuk bersiap membantu kekasihnya.
Namun Kun Hong memberi isyarat supaya ia mundur dan tanpa mengeluarkan kata-kata lagi kini pemuda ini sudah mencabut Cheng-hoa-kiam lalu menghadapi dua orang itu yang juga sudah mencabut pedang masing-masing. Kun Hong tidak berani mengeluarkan kata- kata karena dia maklum bahwa isi dadanya terluka hebat.
Ia teringat akan pesan Liong Tosu, guru besar yang aneh dari Kun-lun-pai itu, bahwa biar pun dia telah diobati oleh Liong Tosu, namun kalau dia berhadapan dengan ahli gwakang, maka ia akan celaka, kecuali kalau dia sudah mendapatkan pengobatan dari hwesio hitam yang tinggal di puncak Houw-thouw (Kepala Harimau) di Pegunungan Bayangkara. Kini dia telah terluka karena tadi dia mengadu tenaga dengan si gemuk pendek yang ternyata adalah seorang ahli gwakang!
"Ha-ha-ha…! Apakah kau murid Thian Te Cu? Kepandaianmu boleh juga, akan tetapi kau sudah terluka hebat. Lebih baik kau panggil Thian Te Cu keluar agar tua bangka itu dapat merasakan kelihaian kami Im-yang Siang-cu!" kata si gemuk pendek.
Diam-diam Kun Hong merasa geli. Walau pun dua orang ini cukup lihai, akan tetapi mana bisa melawan Thian Te Cu? Akan tetapi karena tak berani mengeluarkan suara dia hanya menjawab pertanyaan itu dengan serangan pedang Cheng-hoa-kiam di tangannya.
Pedang pusaka ini berkelebat bagaikan kilat menyambar, gerakan-gerakannya cepat dan tidak terduga. Dua orang itu melihat pedang Cheng-hoa-kiam menjadi bersemangat.
"Cheng-hoa-kiam di tanganmu, tentu kau murid Thian Te Cu!" kata yang gemuk pendek sambil memutar pedangnya, disusul oleh orang kedua. Tetapi mereka segera melompat mundur karena sinar pedang Cheng-hoa-kiam yang dimainkan secara istimewa oleh Kun Hong membuat pandangan mata mereka menjadi silau dan bingung.
"Ini ilmu pedang apa?'" bentak si gemuk pendek, heran dan juga kagum. "Apa kau bukan murid Thian Te Cu?”
Namun Kun Hong mana mau mengobrol panjang lebar? Pemuda ini sudah terluka parah, kepalanya pening dadanya panas sekali. Pedangnya menjawab pertanyaan orang dengan serangan kilat lagi.
Si gemuk pendek cepat menangkis dengan pedangnya yang kiranya juga pedang pusaka. Terdengar suara nyaring, bunga api berhamburan dan si gemuk itu memekik keras.
Kun Hong sudah menggunakan ilmu pedang warisan gurunya yang luar biasa, yaitu ketika kedua pedang bertemu, pedang Cheng-hoa-kiam menggeser turun di sepanjang pedang lawan untuk menyerang tangan atau jari yang memegang pedang itu. Inilah siasat curang dan licik yang memang merupakan kelihaian ilmu silat Thai Khek Sian. Si gemuk ini sama sekali tidak pernah menyangka maka dalam segebrakan itu sebuah jari tangannya, yang tengah, sudah terbabat putus setengahnya.
Kawannya menjadi marah dan hendak menyerbu, tetapi mendadak dia pun berseru kaget ketika lehernya disambar benda kecil keras sekali hingga terasa amat sakit dan membuat matanya berkunang. Cepat tangan kirinya menyambar benda itu, dan ternyata itu adalah sepotong pecahan genteng! Si gemuk yang jari tengah tangan kanannya putus, juga tiba-tiba tertimpuk dadanya.
"Thian Te Cu curang...!" teriak mereka lantas kabur, melarikan diri sipat kuping ke bawah gunung.
Kun Hong maklum bahwa dia dibantu orang, akan tetapi ia sudah terlampau pening untuk dapat melihat siapa pembantunya dan ia pun tidak ada tenaga untuk mengejar dua orang itu. Eng Lan segera menghampirinya dan memegang lengannya.
"Kun Hong... kau... kau tidak apa-apa...?"
Dengan pedang Cheng-hoa-kiam di tangan kanan Kun Hong menggunakan lengan kirinya mengusap bibirnya untuk membersihkan darah, kemudian menatap wajah Eng Lan sambil tersenyum dan menggelengkan kepala.
"Akan tetapi... kau tadi... muntah darah..." gadis itu berkata lagi penuh kegelisahan. "Kun Hong, kau terluka parah...”
Kun Hong sudah dapat mengatur pernapasannya dan kepeningannya tadi sudah lenyap, hanya di bagian dada masih terasa sakit dan panas. Akan tetapi dia memaksa diri berkata sambil tersenyum.
"Lukaku yang kemarin adalah akibat pukulan totokan Im-yang-lian-hoan Kun-Iun-pai, tidak apa-apa...” Ia memeluk pundak nona itu dengan lengan kirinya. "Eng Lan, hayo kita cepat mencari Wi Liong...”
Suara suling tadi berhenti sebentar pada saat Kun Hong bertempur, akan tetapi sekarang sudah berbunyi lagi. Tentu saja dua orang muda-mudi itu tadi tidak memperhatikan hal ini dan baru sekarang suara suling yang memecah kesunyian malam itu menarik perhatian mereka lagi. Tiba-tiba Kun Hong teringat akan sesuatu dan ia tertawa.
"Alangkah bodohku. Yang menyuling itu siapa lagi kalau bukan Wi Liong? Hayo kita naik ke sana!" Ia menuding ke atas. ke arah genteng bangunan kuno itu.
Eng Lan juga teringat bahwa dahulu Wi Liong bersenjata sebuah suling. Memang sangat boleh jadi pemuda itulah yang menyuling di saat itu. Diam-diam ia berdebar dan mukanya menjadi merah kalau teringat betapa dulu suhu-nya hendak menjodohkan dia dengan Thio Wi Liong. Baiknya cahaya bulan tidak cukup terang untuk dapat menyinari perubahan air mukanya sehingga Kun Hong tidak melihat perubahan muka Eng Lan yang memerah itu.
Kun Hong menggandeng tangan Eng Lan, diajak melompat ke atas genteng. Kemudian ia berjalan di depan dengan pedang Cheng-hoa-kiam di tangan sedangkan Eng Lan berjalan di belakangnya. Dengan ringan mereka berjalan di sepanjang wuwungan rumah menuju ke arah suara suling yang keluar dari sebelah belakang bangunan itu.
Setelah mereka tiba di atas bangunan belakang ternyata bahwa dugaan mereka betul. Di atas wuwungan rumah, di bawah sinar bulan purnama, duduklah Wi Liong menyandarkan tubuh pada dinding loteng. Dia asyik menyuling dengan kedua mata meram, begitu asyik seakan-akan dia tidak berada di dunia ini. Dia terhanyut oleh ayunan suara sulingnya yang menggetar-getar, tanda bahwa peniupnya tengah menyuling dengan penuh perasaan.
Kun Hong berhenti dan menatap Wi Liong dengan mata berseri. Sekarang tibalah saatnya dia berhadapan muka dengan musuh besarnya sejak mereka kecil. Sekarang ia mendapat kesempatan untuk menantang Wi Liong berpibu, mengadakan pertandingan hingga seribu jurus sampai seorang di antara mereka mengakui keunggulan lawan!
Ingin ia membentak Wi Liong dan menantangnya, akan tetapi tiba-tiba dari belakang Eng Lan menyentuh tangannya dan memberi isyarat supaya Kun Hong jangan mengganggu orang yang sedang begitu asyiknya menyuling. Terpaksa Kun Hong menunda niatnya dan ikut mendengarkan. Dia melihat Eng Lan ikut terharu dan tertarik sekali dengan lagu itu.
Memang Eng Lan mengenal baik lagu baru yang ditiup oleh Wi Liong melalui sulingnya, yaitu lagu ‘Bulanku Jangan Lari’ yang kata-katanya dia kenal seperti berikut,
"Bulan... dewi malam juwita
Kau terbang tinggi, hendak ke mana?
Berkejaran dengan barisan mega
Kau hendak mencari siapa?
Bulan, sinarmu menerangi hatiku
Mengisi dada ini penuh rindu
Bulan, bulanku, jangan kau lari
Tunggulah daku, wahai dewi..."
Kau terbang tinggi, hendak ke mana?
Berkejaran dengan barisan mega
Kau hendak mencari siapa?
Bulan, sinarmu menerangi hatiku
Mengisi dada ini penuh rindu
Bulan, bulanku, jangan kau lari
Tunggulah daku, wahai dewi..."
Wi Liong berhenti meniup. Suara suling melenyap dan di dalam suasana hening itu mulai terdengar lagi suara binatang-binatang kecil yang tadi seakan-akan menghentikan suara mereka untuk menikmati suara suling itu. Pemuda ini untuk sejenak bengong menatap ke angkasa raya seperti sedang mencari-cari sesuatu, kemudian mendadak dia menoleh dan memandang kepada Kun Hong dan Eng Lan.
"Kun Hong, apakah kau datang hendak mengembalikan pedang dan minta maaf kepada suhu? Pedang boleh kau kembalikan kepadaku, akan tetapi suhu tak dapat diganggu."
Sejak tangannya disentuh oleh Eng Lan tadi, Kun Hong sudah teringat lagi bahwa maksud kedatangannya bukan sekali-kali untuk kepentingannya sendiri, bukan untuk menantang pibu kepada pemuda saingannya ini, melainkan untuk memenuhi tugasnya membujuk Wi Liong menyambung kembali perjodohannya dengan Kwa Siok Lan! Kini mendengar kata-kata Wi Liong yang sudah berdiri di depannya, dia tersenyum mengejek dan berkata.
"Wi Liong, jangan kau sombong. Dulu pedang ini adalah milik Wuyi Sam-lojin, kemudian menjadi perebutan dan menjadi lambang kejayaan. Siapa yang dapat memilikinya berarti dia yang unggul dalam hal kepandaian. Kalau kau sanggup, boleh kau merampasnya dari tanganku. Tentang minta maaf kepada suhu-mu Thian Te Cu si orang tua, tiada perlunya karena aku tidak memiliki urusan dengan dia. Kali ini kedatanganku malam-malam di sini bukan untuk menguji kepandaian, tetapi untuk memberi peringatan kepadamu mengenai perbuatanmu yang sewenang-wenang terhadap nona Kwa Siok Lan puteri Kwa Cun Ek lo-enghiong di Poan-kun!"
Wi Liong mengangkat alisnya, memandang kepada Kun Hong dengan heran dan tertarik. Kemudian ia tersenyum lebar. Kali ini ia mengalihkan pandang matanya kepada Pui Eng Lan yang sejak tadi terus menundukkan muka dan bersembunyi di balik tubuh Kun Hong yang bidang, agaknya mencoba berusaha supaya Wi Liong tidak mengenal mukanya.
"Kun Hong kau benar-benar orang aneh yang mengherankan dan sukar diketahui hatinya. Pantas benar kau menjadi murid Thai Khek Sian. Dahulu kau mencuri pedang Cheng-hoa-kiam di sini, lalu mengaku kepada paman Kwee Sun Tek bahwa kau ada hubungan gelap dengan nona Kwa Siok Lan yang ditunangkan dengan aku di luar kehendakku itu. Karena aku memang tak setuju ditunangkan secara begitu saja tanpa mengenal bagaimana watak tunanganku, aku berterus terang kepada paman. Paman lalu memutuskan pertunangan itu. Kenapa kau sekarang datang-datang menuduh aku berlaku sewenang-wenang?"
"Pamanmu terlalu bodoh sehingga percaya saja dengan kelakarku. Sebetulnya Nona Kwa Siok Lan tidak kenal padaku, maka kau harus menyambung kembali ikatan jodoh itu agar tidak menodai nama baik keluarga Kwa!"
Wi Liong tertawa keras dan memandang ke arah bulan. "Benar-benar orang yang aneh! Kau yang menimbulkan gara-gara tetapi sekarang kau berlaku sebagai comblang hendak menjodohkan aku kembali dengan nona Kwa? Anehnya, kau datang bersama... kalau tak salah nona Pui murid dari Pak-thian Koai-jin. Apa artinya ini? Ada keperluan apakah nona Pui datang ke Wuyi-san, kalau sekiranya aku boleh bertanya?"
Dengan muka kemerahan Eng Lan menjawab, "Sebagai sahabat baik enci Siok Lan, aku sengaja mencari saudara Kun Hong dan mengajaknya ke sini untuk merundingkan hal ini denganmu. Enci Siok Lan tidak berdosa apa-apa, sungguh tidak semestinya pertunangan itu diputuskan."
Wi Liong merasa kehormatannya tersinggung. Dia salah duga. Dia pikir tentu nona Pui ini mengandung dendam kepadanya karena dulu dia pernah menolak usul guru nona itu agar dia berjodoh dengan Pui Eng Lan. Dan siapa tahu kalau-kalau mereka berdua ini sedang bersekongkol.
Baik Kwa Siok Lan memiliki hubungan dengan Kun Hong atau tidak, baginya sama saja. Dia tidak mungkin bisa menikah dengan orang yang tidak dicintanya, malah yang belum pernah dilihatnya. Pamannya sudah membatalkan pertunangan itu, mana ada keputusan seorang gagah dirobah atau dicabut kembali?
"Apa maksud kalian yang begitu baik hati memikirkan tentang perjodohanku, benar-benar merupakan teka-teki sulit bagiku," katanya mengejek. "Kun Hong, aku tahu benar bahwa tentu bukan karena hatimu terlalu baik kepadaku maka kau pianhoa (beralih rupa) menjadi comblang. Akan tetapi ketahuilah bahwa sekali pertunangan itu diputuskan, tetap sudah putus tidak dapat disambung lagi!"
"Wi Liong!" Kun Hong membentak keras. "Sudah kukatakan nona itu tak bersalah, hanya aku yang mengeluarkan ucapan main-main kepada pamanmu yang goblok itu. Karena itu kau harus menyambung kembali ikatan jodohmu dengan nona Kwa."
"Dia bersalah atau tidak, tetap aku tidak suka berjodoh dengan orang yang belum pernah kulihat. Kau ini mengharuskan dan hendak memaksa padaku berdasarkan alasan apa dan kau hendak mengandalkan apakah?"
"Mengandalkan ini!" kata Kun Hong melonjorkan pedangnya. "Mau atau tidak, kau harus menyatakan kesanggupanmu untuk mengikat kembali pertunangan itu,"
Wi Liong naik darah. "Bagus, ternyata ke sana jurusannya! Kun Hong, kalau kau hendak menantangku, kenapa mesti mengajukan alasan yang bukan-bukan tentang perjodohan? Mau memamerkan kepandaianmu yang kau dapatkan dari raja siluman Thai Khek Sian? Boleh, kau majulah!"
Pada saat itu dari bawah terdengar bentakan keras dan sebuah benda hitam besar sekali melayang naik ke arah ketiga orang muda itu. Dari sambaran angin yang datang meniup, dapat diketahui bahwa benda itu luar biasa beratnya dan dilempar dengan tenaga dahsyat pula.
Sesudah benda itu menyambar dekat, Eng Lan cepat melompat ke samping dan berseru kepada Kun Hong, "Awas!"
Benda itu ternyata adalah sebuah batu hitam yang sebesar gentong air, beratnya ratusan kati. Dapat melemparkan batu sebesar itu ke atas genteng, sungguh menyatakan bahwa yang melakukannya memiliki tenaga yang hebat sekali.
Walau pun Eng Lan sudah mewarisi ilmu silat tinggi dari Pak-thian Koai-jin, tetapi melihat sambaran batu besar ini dia menjadi ngeri juga maka tentu saja cepat melompat minggir supaya jangan diterjang batu. Karena Kun Hong berdiri di sebelah pinggir, maka sebelum menyerang Wi Liong, lebih dulu batu besar itu mengancam Kun Hong.
Pemuda ini tidak menjadi gugup. Meski pun dia terluka hebat namun ilmu kepandaiannya cukup tinggi untuk menghadapi serangan kasar ini saja. Kaki kirinya segera diangkat dan ujung sepatunya menyambut batu itu.
Aneh sekali! Begitu bertemu dengan ujung sepatu kaki Kun Hong, batu besar itu lantas berputar-putar cepat di atas kaki, kemudian sekali menggerakkan kaki, Kun Hong sudah melanjutkan atau mengoper batu besar itu ke arah Wi Liong! Inilah semacam serangan untuk menguji kekuatan lawan.
"Bagus!" Wi Liong memuji.
Karena ia memperhatikan datangnya batu besar, ia tidak melihat betapa mulut Kun Hong sedikit menyeringai menahan sakit pada saat pemuda ini tadi mengerahkan sedikit tenaga untuk mempermainkan batu dengan tenaga lweekang-nya. Karena tidak ingin menghadapi serangan gelap dari bawah, Kun Hong sudah membetot lengan Eng Lan diajak melompat ke bawah. Lebih baik menghadapi lawan berterang di bawah dari pada menghadapi lawan gelap di atas genteng.
Sementara itu, dengan tenang saja Wi Liong mengulur tangan kiri dengan jari-jari tangan terpentang. Dengan tangan ini dia menerima batu besar tadi, disangganya, lantas dia pun melompat ke bawah dengan batu itu masih disangga oleh tangan kirinya. Ini saja sudah membuktikan bahwa tenaga dalam serta ilmu ginkang dari pemuda murid Thian Te Cu ini sudah benar-benar hebat sekali.
Ketika melompat ke bawah, Wi Liong melihat dua orang tua, seorang gemuk dan seorang kurus, memegang pedang menyerbu Kun Hong sambil membentak,
"Kau masih belum mampus?"
Wi Liong marah bukan main. Tadi ketika sedang menyuling, dia sudah melihat Kun Hong dikeroyok dua orang ini. Karena ia tahu bahwa Kun Hong cukup lihai, ia hanya membantu diam-diam dengan sambitan-sambitan pecahan genteng hanya dengan maksud mengusir dua orang itu. Kenapa mereka masih belum kapok dan berani datang lagi?
”Manusia-manusia tidak tahu diri, pergilah dari sini!" seru Wi Liong sambil melemparkan batu besar itu ke arah mereka!
Batu itu melayang cepat ke bawah, akan tetapi tiba-tiba entah dari mana datangnya sosok bayangan orang tinggi besar sudah berkelebat dan melompat naik ke udara menyambut batu besar itu yang terus dihantamnya.
"Darrr…!"
Batu besar itu langsung pecah berantakan ke sana ke mari seperti tertumbuk oleh sebuah palu raksasa!
Wi Liong terkejut bukan main. Ia maklum bahwa yang datang ini adalah seorang sakti luar biasa, maka cepat-cepat dia melompat dan menghadapi orang itu. Ternyata dia seorang kakek tua yang kepalanya botak, matanya besar dan potongan serta pakaiannya seperti seorang sai-kong. Lengan tangannya berbulu dan dia nampak kuat bukan main, biar pun sudah sangat tua.
"Ha-ha-ha-ha, nyali Thian Te Cu sudah begitu kecil sampai melatih dua orang murid untuk menjaga diri. Ha-ha-ha! Bocah, kepandaianmu tidak jelek, cukup berharga untuk melayani lohu bermain-main. Sambutlah!" Sambil berkata demikian, sai-kong tua itu bergerak maju sambil tangan kirinya menampar.
Wi Liong mendongkol sekali. Tidak dapat disangkal pula bahwa kakek ini adalah seorang tokoh besar persilatan yang asing namun kesaktiannya tinggi. Akan tetapi mengapa harus begini sombong? Karena orang itu tidak memberi kesempatan bicara kepadanya, dia pun tidak mau banyak cakap lagi. Dia melihat Kun Hong sudah didesak dua orang berpedang itu, maka menghadapi tamparan tangan kiri yang dilakukan seakan-akan seorang dewasa menggertak anak kecil, Wi Liong mengerahkan tenaga di tangan kanan untuk menangkis.
Namun alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba angin pukulan menyambarnya bukan dari kiri melainkan dari kanan dan ternyata bukan tangan kiri yang menamparnya, tetapi tangan kanan! Saking kagetnya Wi Liong sampai mencelat ke belakang untuk menghindarkan diri.
Kakek itu terkekeh. "He-heh-heh, bagus kau dapat mengelak. Awas pukulan ini!" Dari jauh kakek itu memukul dengan tangan kanan.
Wi Liong bersiap-siap karena menduga bahwa lawan hendak menggunakan pukulan jarak jauh. Dia tidak gentar karena sinkang di tubuhnya cukup kuat dan dia bersiap menangkis. Akan tetapi dia semakin terkejut ketika melihat tiba-tiba lengan tangan kakek itu menjadi ‘mulur’ panjang sekali dan tahu-tahu sudah mencengkeram ke arah dadanya!
Cepat dia menyampok dengan tangan sambil miringkan tubuh dan memindahkan langkah, tetapi secara luar biasa sekali tahu-tahu tangan kedua kakek itu juga sudah mulur sambil menyambar lehernya! Hanya dengan membanting tubuh ke belakang dan berjumpalitan, baru Wi Liong terhindar dari bahaya serangan hebat itu.
Hebat, pikirnya. Tidak disangkanya kakek ini begini lihai dan ilmu memanjangkan anggota tubuh ini belum pernah dia saksikan sehelumnya sungguh pun dia pernah mendengar suhu-nya bicara tentang itu. Akan tetapi Wi Liong tidak menjadi gentar dan dia tidak mau membiarkan dirinya menjadi sasaran serangan lawan terus-menerus. Cepat ia membalas dengan serangan pukulan-pukulan, sekarang tanpa ragu-ragu ia menggunakan sulingnya karena maklum bahwa ia menghadapi lawan yang amat berat.....