Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 31

"Orang muda, kau sedang menunggu siapa? Ataukah kau seorang diri saja dan hendak ke mana?” tanyanya, suaranya ramah-tamah sekali membuat Kun Hong menjadi semakin tertarik.

“Lopek, aku hanya sendirian saja dan memang sedang melakukan perjalanan," jawabnya menyimpang. "Akan tetapi sajakmu tadi benar-benar amat menarik hati. Sayangnya amat sukar dimengerti. Apakah itu TIONG dan apa itu HOO, mengapa disebut pokok terbesar dari pada dunia dan jalan utama dari pada dunia?"

"Aha, anak muda yang tengah menderita. Bagus sekali kau kebetulan bertemu denganku. Tunggulah akan kuobati penderitaanmu itu dengan ujar-ujar agung dari kitab Tiong Yong." Sambil berkata demikian, kakek itu lalu merosot turun dari atas punggung keledai dan dia ternyata pendek saja, tubuhnya agak bengkok di bagian punggungnya seperti penderita penyakit encok. Kemudian ia menuntun keledainya, diikatkannya kendali binatang itu pada batang pohon lalu ia menghampiri Kun Hong dengan langkah perlahan.

Kun Hong tercengang. "Lopek, bagaimana kau bisa bilang bahwa aku orang yang tengah menderita?"

"Hemm, apa sukarnya? Seorang penderita lapar baru dapat menikmati makanan, seorang penderita dahaga baru dapat menikmati minuman, seorang penderita penyakit baru dapat menikmati kesehatan. Hanya orang-orang yang batinnya menderita saja dapat menikmati ujar-ujar dalam kitab Tiong Yong."

Kun Hong makin tertarik. Suara orang ini amat menarik perhatiannya dan kata-kata yang keluar dari mulutnya aneh-aneh belaka. Sungguh pun dia masih kurang mengerti, namun agaknya dia dapat menangkap kebenaran-kebenaran yang tersembunyi di dalam ucapan-ucapan itu.

"Lopek, harap kau suka menjelaskan arti sajak tadi. Kalau memang cocok dan baik, biar aku mengaso sambil mendengarkan."

Orang itu terkekeh, lalu duduk di atas sebuah batu yang halus permukaannya. Juga Kun Hong lalu duduk di atas batu, menghadapi kakek aneh itu.

"Ujar-ujar itu ada hubungan yang erat sekali dengan watak dan tabiat manusia," kakek itu mulai dengan uraiannya, "Pada hakekatnya watak manusia yang masih belum terganggu perasaan-perasaan sesuatu, adalah sama dengan air yang tenang, tenteram, diam rasa, pokoknya lurus dan tidak berat sebelah. Inilah yang disebut TIONG atau tengah-tengah, ibarat orang sedang tidur nyenyak tanpa diganggu mimipi apa-apa, begitu tenteram dan damai, bersih dan adil. Tetapi sekali datang perasaan-perasaan gembira, duka, senang, marah dan sebagainya, ketenangan itu akan terguncang dan pertimbangannya kemudian menjadi miring, dan hal ini dapat membuat manusia menyeleweng dan meninggalkan jalan kebenaran."

Kun Hong mengerutkan kening, penasaran. "Akan tetapi, lopek. Manusia mana yang tidak akan diganggu oleh perasaan-perasaan hatinya? Hanya orang yang telah mati atau orang yang hidupnya tidak ada artinya lagi, baru kiranya takkan peduli akan perasaan hatinya."

Kakek itu mengangguk-angguk. "Pelajaran di dalam kitab Tiong Yong juga mengakui akan kenyataan bahwa manusia tidak terluput dari gangguan-gangguan yang timbul dari panca inderanya, mengalami gocangan-goncangan yang menerjang ketenteraman hatinya bagai sebuah perahu di laut teduh sewaktu-waktu tentu menerima serangan ombak dan badai. Akan tetapi, kalau kita dapat menerima serangan itu dengan penuh kebijaksanaan, dapat mengendalikan perasaan kita seperti seorang tukang perahu yang pandai mengemudikan perahunya dalam terjangan ombak dan badai, itulah yang baik sekali dan disebut HOO."

"Aku mulai mengerti, lopek. Bagus sekali ujar-ujar itu. Akan tetapi bagaimana orang bisa berlaku demikian? Siapa yang tidak senang bila mengalami kenikmatan, siapa yang tidak berduka bila menghadapi hal yang tidak menyenangkan, dan siapa yang tidak akan marah bila menghadapi tindasan!"

"Itulah yang dimaksudkan supaya kita selalu mengendalikan perasaan. Orang yang dapat mengendalikan perasaan sendiri, selalu bersikap tenang dan waspada. Dari ketenangan dan kewaspadaan ini timbullah kebijaksanaan dan tindakan yang sudah dipertimbangkan masak-masak berdasar keadilan. Inilah sifatnya orang bijaksana. Ia bisa berduka, ia bisa marah menghadapi hal-hal iitu, namun perasaan duka dan marah itu dapat ia kendalikan sehingga ia tidak menjadi mata gelap, tak akan melakukan perbuatan yang terdorong oleh nafsu-nafsu itu. Bisa jadi dia akan merasa girang dan senang menghadapi sesuatu yang menguntungkan dan menyenangkan, akan tetapi perasaan girang dan senang itu dapat ia kendalikan sehingga ia tidak akan menjadi sombong, angkuh, serakah, dan sebagainya."

Kun Hong mengangguk-angguk. Sekarang isi ujar-ujar itu menjadi gamblang baginya dan ia makin tertarik. Ia segera berdiri dan menjura dengan hormat.

"Bolehkah aku yang bodoh mengetahui nama lopek yang mulia? Dan jika sekiranya lopek tidak keberatan, aku mohon bimbingan lebih lanjut untuk mempelajari ujar-ujar yang bagus itu."

Kakek itu menutup kitabnya dan memandang kepada Kun Hong. Keningnya dikeruitkan ketika ia berkata, "Orang muda, kau seorang muda yang gagah, membawa-bawa pedang, tentu seorang ahli silai. Mengapa ingin mempelajari segala ujar-ujar ini?”

"Lopek, seperti yang lopek katakan tadi, hatiku gelisah dan aku terluka hebat. Aku tengah mencari hwesio muka hitam untuk mohon kepadanya agar mengobati lukaku ini. Karena selama ini hatiku gelisah dan tidak mendapat ketenteraman, tadi mendengar uraian lopek sebagian besar kegelisahanku berkurang, maka mohon lopek yang budiman sudi memberi petunjuk."

Kakek itu nampak terperanjat. "Kau mencari hwesio muka hitam? Hemm, bagaimana kau bisa tahu bahwa di sini ada seorang hwesio muka hitam?" Pertanyaan ini diajukan dengan tiba-tiba dan sepasang mata kakek itu memandang penuh selidik.

Terhadap orang ini Kun Hong tidak berani main-main. "Aku diberi petunjuk oleh mendiang Liong Tosu dari Kun-lun-san. Dialah yang mengatakan bahwa hanya hwesio muka hitam di Pegunungan Bayangkara yang akan dapat mengobati lukaku dan menghilangkan rasa sakit di dadaku."

Kakek itu menarik napas panjang. "Dia tentu akan marah setengah mati kalau kau datang sendiri. Kalau aku yang membawamu, dia masih bisa memaafkan aku. Kau orang muda yang menderita lahir batin, aku kasihan padamu. Kalau kau mencari hwesio muka hitam, kiranya hanya aku Miang Sinshe seorang di dunia ini yang akan dapat mengantarmu. Mari kau ikut aku." Setelah berkata demikian kakek itu kembali menaiki keledainya kemudian menjalankan keledai itu perlahan-lahan.

Bukan main girangnya hati Kun Hong. Dicari susah-susah, kini muncul seorang perantara yang akan membawanya kepada hwesio muka hitam. Namun tiba-tiba dia teringat dengan ujar-ujar tadi dan cepat menggunakan kekuatan batinnya untuk mengendalikan perasaan girang ini!

"Terima kasih, lopek. Kau sungguh baik hati," katanya sederhana lalu mengikuti kakek itu dari belakang.

Kakek itu tak menjawab, melainkan membuka kitabnya kemudian membaca ujar-ujar lain dengan suara keras.

Kun Hong mendengarkan dari belakang dan betul-betul ia mendapatkan banyak pelajaran batin dari isi kitab Tiong Yong itu. Banyak hal-hal yang membuka matanya dan membuat ia insyaf betapa penghidupannya yang dulu-dulu ketika ia masih bercampur-gaul dengan Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li, benar-benar telah meninggalkan jalan kebenaran. Diam-diam ia memperhatikan semua pelajaran itu sambil terus mengikuti jalannya keledai yang amat lambat.

Agaknya kakek yang naik keledai itu sudah benar-benar hafal akan jalan naik ke puncak, buktinya dia tidak pernah mencari jalan lagi. Malahan keledainya juga seperti yang sudah sangat mengenal jalan sehingga biar pun kakek itu terus-menerus membaca kitab tanpa mengendalikannya, binatang itu bisa memilih jalan sendiri. Setelah mendaki setengah hari lamanya, akhirnya mereka tiba di puncak dan keledai itu berhenti di depan sebuah pondok yang amat sederhana, terbuat dari pada tumpukan batu dan balok-balok kayu kasar.

"Phang Sinshe, kau sudah datang? Siapakah kawanmu itu?" terdengar suara dari dalam pondok, suara yang parau akan tetapi mengandung pengaruh besar.

Kakek itu tertawa dan merosot turun dari keledainya sambil menutup kitabnya.

"Seorang murid baru," katanya. "Losuhu, kau keluarlah, orang muda ini sengaja datang untuk mencarimu."

Tidak terdengar jawaban dari dalam pondok itu, keadaan menjadi sunyi sekali. Kun Hong melihat betapa pondok itu bersandar pada sebaris pohon-pohon yang besar sekali, pohon-pohon raksasa yang usianya sudah ratusan, mungkin ribuan tahun. Sungguh tempat yang sangat sunyi dan tersembunyi. Dia ingin sekali melihat bagaimana macamnya orang yang menyembunyikan diri di situ, yang oleh Liong Tosu disebut hwesio muka hitam yang akan dapat mengobatinya.

"Losuhu, harap kau jangan marah padaku. Akulah yang berlaku lancang mengajaknya ke sini karena kulihat dia memang betul-betul patut ditolong, dia menderita luka lahir batin. Mungkin aku dapat mengobati luka batinnya, tetapi luka jasmaninya, hanya kau seorang yang dapat mengobati, demikian kata pemuda ini menurut petunjuk Liong Tosu dari Kun-lun-san."

Kembali sampai lama tidak terdengar jawaban. Kun Hong diam-diam mendongkol sekali melihat sikap orang yang agaknya amat ‘jual mahal’ itu. Tiba-tiba terdengar suara itu lagi, "Phang Sinshe, orang macam pinceng (aku) yang mengasingkan diri ini tidak mempunyai kepandaian apa-apa, bagaimana dapat mengobati orang sakit? Orang muda itu percuma saja membuang waktu datang ke sini. Suruh dia pergi lagi saja,"

Kun Hong adalah seorang muda yang berwatak keras. Mendengar ucapan ini dia segera berkata kepada Phang Sinshe dengan suara nyaring, "Phang Sinshe, kalau saja aku tahu bahwa hwesio muka hitam yang ditunjuk oleh mendiang Liong Tosu supaya aku meminta pengobatan hanya seorang yang tak berbudi, kasar, dan macam ini sikapnya menyambut tamu, aku lebih suka mati karena lukaku. Aku benar-benar menyesal telah menyusahkan Phang Sinshe dan mendaki bukit ini. Lebih baik sekarang aku pergi saja, Phang Sinshe." Setelah berkata demikian, Kun Hong memutar tubuh lalu pergi dari situ.

Mendadak dari dalam pondok itu berkelebat bayangan orang dan seorang kakek bertubuh tinggi besar dengan kepala gundul terlihat melompat bagai seekor burung garuda terbang melampaui kepala Kun Hong lalu turun di depan pemuda itu sambil bertolak pinggang.

"Orang muda, berhenti dulu!" bentaknya.

Kun Hong mengangkat kepalanya dan melihat betapa muka hwesio itu hitam sekali, akan tetapi anehnya, kulit tubuh yang lain tidak, hanya muka itu yang hitam sehingga sukar dilihat tarikan mukanya. Hwesio ini bertubuh tinggi besar, tampaknya kuat sekali dan pada lehernya tergantung seuntai tasbeh. Sinar matanya tampak keras namun membayangkan penderitaan batin yang besar.

“Orang muda, kau tadi bilang mendiang Liong Tosu! Benarkah Liong Tosu dari Kun-lun-san sudah tewas?"

Kun Hong tidak mau main-main menghadapi sikap kereng dan bersungguh-sungguh dari hwesio muka hitam ini. Dia mengangguk dan menjawab singkat. "Benar, Liong Tosu dari Kun-lun-san sudah tewas."

Hwesio ini menepuk dadanya dan mengomel, "Benar juga, akhirnya kau mendahului aku, sahabatku..." lalu ia pun menarik napas panjang dan berkata perlahan, "alangkah baiknya nasibmu, cepat terbebas dari pada derita hidup..."

Kun Hong melongo. Pengalaman-pengalaman yang dia jumpai akhir-akhir ini membuat dia sering kali merasa terheran. Dia bertemu dengan orang-orang yang selalu mengutamakan kebaikan, selalu menolong orang dan membasmi kejahatan, orang-orang yang bertindak sebagai pendekar seperti kekasihnya Eng Lan.

Kemudian ia bertemu dengan Phang Sinshe yang mempelajari hal-hal tersembunyi dalam hidup, yang tidak memandang hidup asal hidup saja melainkan hendak mengupasnya dan melihat isinya. Dan sekarang dia melihat hwesio muka hitam yang menganggap kematian sebagai kebebasan, bahkan mengatakan orang mati sebagai bernasib baik! Benar-benar membuat Kun Hong tak mengerti.

"Orang muda, kalau memang betul Liong Tosu yang menyuruhmu datang, coba ceritakan bagaimana ia tewas dan bagaimana pula ia bisa menyuruh kau datang kepada pinceng."

"Dalam sebuah pertempuran aku terluka oleh pukulan Im-yang-lian-hoan dari ketua Kun-lun-pai," Kun Hong bercerita. Ia sengaja tidak mau menceritakan kecurangan orang-orang Kun-lun karena teringat akan ajaran-ajaran Eng Lan bahwa tak selayaknya menceritakan keburukan seseorang kepada orang lain. "Secara kebetulan aku bertemu dengan Liong Tosu yang mencoba mengobati luka di dadaku akibat pukulan itu. Liong Tosu menyatakan bahwa biar pun ia sudah mengobati luka Im-kang di dadaku, akan tetapi luka akibat Thai-yang hanya dapat diobati oleh losuhu. Setelah mengobatiku, Liong Tosu meninggal dunia di luar tahuku karena setelah punggungku ditotok, aku langsung roboh pingsan dan ketika siuman kembali, dia telah tewas."

Hwesio itu membelalakkan matanya. "Dia mengorbankan nyawanya untuk menolongmu? Hebat... hebat... kau pernah apanyakah?"

"Aku bukan apa-apanya, juga aku sama sekali tidak tahu bahwa ia mengorbankan nyawa untukku," jawab Kun Hong tak senang.

"Liong Tosu menolong orang memang tak kepalang tangung. Orang muda, kau memang terluka hebat oleh Im-yang-lian-hoan, dan hawa Thai-yang yang memukul isi dadamu juga benar-benar hebat sekali. Agaknya kau baru-baru ini telah terpukul pula oleh seorang ahli gwakang, maka lukamu makin parah, membuat mukamu pucat dan lehermu merah. Kalau pinceng tidak mengobatimu, tentu di alam baka Liong Tosu akan mentertawakan pinceng, memaki pinceng terlampau pelit. Orang muda, biar pun kepandaianku kalau dibandingkan dengan Liong Tosu bukan apa-apa, akan tetapi di dunia ini yang dapat memulihkan luka bekas pukulan Yang-kang dari Kun-lun-pai, kiranya hanya ada beberapa orang saja. Kau duduk bersilalah!”

Biar pun hatinya mendongkol melihat sikap yang terlalu kasar ini, namun karena maklum bahwa orang hendak mengobatinya, Kun Hong tidak membantah. Ia melepaskan pedang pemberian Eng Lan, lalu duduk bersila di atas tanah. Hwesio itu lalu menghampirinya dan meraba pundaknya. Seketika hwesio itu menarik kembali tangannya dan bertanya cepat,

"Hebat sinkang-mu, anak muda! Kau murid siapa?"

Kun Hong orangnya cerdik. Ia sekarang sudah maklum bahwa di dunia kang-ouw, nama gurunya, Thai Khek Sian, bukanlah nama yang harum dan disuka. Kini orang ini hendak mengobatinya, maka kiranya tidak baik kalau ia memperkenalkan diri sebagai murid Thai Khek Sian.

"Murid Seng-got-pian Kam Ceng Swi," katanya, tidak membohong besar karena memang pertama-tama ia mendapat latihan dari ayah pungutnya itu.

"Heran sekali! Seng-goat-pian bisa mempunyai murid dengan hawa sinkang begini tinggi? Dan sebagai cucu murid Kun-lun bagaimana sampai terpukul Im-yang-lian-hoan? Tetapi sudahlah, itu bukan urusan pinceng. Phang Sinshe, harap kau suka duduk dulu di dalam, sebentar pinceng menyusul setelah selesai mengobati orang muda ini."

Phang Sinshe yang sejak tadi sudah membaca lagi kitabnya, mendengar permintaan ini lalu mengangguk dan memasuki pondok, membiarkan dua orang itu yang berada di luar pondok.

"Kau harus tutup saluran hawa sinkang-mu, jangan sekali-kali melakukan perlawanan atas desakan hawa Thai-yang dariku. Biar pun tubuhmu akan serasa terbakar, bahkan biar pun kau hampir mampus juga, jangan sekali-kali melakukan perlawanan. Ingat, semuanya ini demi kesembuhanmu sendiri. Janji?"

"Janji!" jawab Kun Hong singkat lalu dia menutup matanya dan bersiap-siap menghadapi pengobatan aneh itu.

Tiba-tiba ia merasa dua telapak tangan yang lebar dan kasar menghantam punggungmya dengan keras sekali sampai tubuhnya terguncang. Akan tetapi dua telapak tangan itu lalu menempel di punggungnya, terus melekat dan dari kedua tangan itu mengalir keluar hawa panas seperti api! Ia tidak melihat betapa hwesio itu dengan pasangan kuda-kuda, kedua kaki ditekuk ke bawah dan kedua tangan menempel punggungnya, sedang mengerahkan tenaga dan ‘mengirim’ hawa panas dari Thai-yang di tubuhnya untuk menyembuhkan Kun Hong. Semacam penyetruman agaknya.

Mula-mula Kun Hong masih mampu menahan hawa panas yang mengalir deras ke dalam punggungnya. Akan tetapi lama-kelamaan hawa itu menjadi makin panas, berputar-putar ke seluruh tubuhnya kemudian berkumpul di dadanya, membuat dadanya serasa hendak meledak.

Ia terengah-engah, kepalanya pening, ketika membuka mata, matanya berkunang. Peluh mengucur deras, tubuhnya seperti dibakar di atas api unggun. Kun Hong merobek bajunya agar angin gunung mengurangi panasnya, akan tetapi semakin panas saja. Kalau saja ia tidak ingat dengan janjinya, mau rasanya ia melawan hawa ini dengan lweekang-nya, atau melompat pergi dari situ.

Akan tetapi ia sudah berjanji dan kata Eng Lan. Seorang pendekar atau seorang jantan lebih baik mati dari pada melanggar janjinya! Oleh karena ini Kun Hong mempertahankan terus sambil menggigit bibirnya sampai terluka dan berdarah.

Dia tidak tahu lagi apa yang terjadi di sekelilingnya, karena beberapa menit kemudian Kun Hong pingsan sambil masih duduk bersila. la tidak tahu bahwa keadaan kakek gundul itu pun tidak menyenangkan. Keringat sebesar kacang hijau memenuhi kepala yang gundul itu. Muka yang hitam itu nampak mengerikan dan hwesio tua ini menyeringai sambil terus menekan punggung. Tubuhnya makin lama semakin menggigil keras, hingga akhirnya dia melepaskan kedua tangannya dan jatuh terduduk di samping Kun Hong.

Dengan ujung jubahnya ia menyusuti peluhnya lalu mengatur pemapasannya. Setelah itu dia lalu berdiri lagi dan menotok tujuh-belas persimpangan jalan darah di tubuh Kun Hong. Semua totokan ini dia lakukan dengan jari telunjuk, termasuk gerakan menotok dari Ilmu Silat Pai-in-ciang. Setelah beres barulah dia nampak lega, lalu duduk di atas batu depan Kun Hong sambil menatap wajah pemuda itu.

"Tampan dan menarik," demikian kesan pertama dalam hatinya ketika hwesio muka hitam itu mulai memperhatikan wajah Kun Hong.

Ada sesuatu di wajah pemuda ini yang membuat ia memandang makin penuh perhatian. Ada sesuatu pada wajah itu yang serasa sudah dikenalnya baik-baik. Akan tetapi, betapa pun dia memeras otak, tak diingatnya bila dan di mana dia pernah melihat pemuda ini.

Tiba-tiba dia melihat sebuah benda kecil mengkilap di atas tanah dekat kaki pemuda itu. Hwesio itu menjadi tertarik sekali dan mengambilnya. Itulah sebuah gelang emas kecil. Tiba-tiba mata itu terbelalak dan tangan yang memegang benda perhiasan itu menggigil.

"Kun... Hong..." ia berbisik sambil menatap dua buah huruf yang terukir di gelang itu, dua buah huruf, yang berbunyi KUN dan HONG. Itulah gelang kecil yang diberikan oleh Kam Ceng Swi kepada Kun Hong pada waktu pemuda itu hendak meninggalkan Kun-lun-san, sebuah benda yang menjadi saksi tunggal tentang keadaan Kun Hong, akan tetapi karena benda itu tidak dapat bicara, maka sebegitu jauh Kun Hong mau pun Kam Ceng Swi tidak dapat menyingkap tabir yang menutupi rahasia sekitar diri Kun Hong.

"Mungkinkah ini...?” Hwesio muka hitam itu berkata lagi perlahan dan dia menatap wajah Kun Hong.

Teringatlah dia kini bahwa memang wajah pemuda ini sudah sering kali dilihatnya, malah sudah terukir di lubuk hatinya, merupakan wajah seorang wanita yang cantik jelita, wanilta yang dahulu dikenal sebagai Puteri Harum, bekas selir Kaisar Mongol Jengis Khan, puteri cantik jelita yang bernama Kiu Hui Niang yang kemudian menjadi isterinya yang terkasih dan kemudian dia bunuh! Sekarang seluruh tubuh hwesio itu menggigil, karena dia bukan lain adalah Beng Kun Cinjin Gan Tui!

Karena mukanya yang sehitam arang, sukar sekali dilihat apa yang sedang dia rasakan pada detik itu. Akan tetapi dalam hatinya terjadi perang tanding yang hebat. Bermacam-macam pikiran memasuki kepalanya hingga akhirnya matanya menjadi beringas ketika ia memandang kepada Kun Hong. Beringas yang timbul dari rasa takut. Dia lalu melompat berdiri dan mengguncang-guncang pundak Kun Hong.

Baru saja pemuda itu siuman dari pingsannya dan dia masih meramkan mata karena dia merasa tubuhnya amat ringan dan enak. Rasa sakit yang tadinya membuat dia menderita kini sudah lenyap sama sekali, akan tetapi perubahan itu membuat dia merasa tubuhnya seringan kapas dan kepalanya menjadi pusing. Perubahan yang tiba-tiba ini benar-benar membingungkannya.

Dia membuka mata, masih bingung dan heran ketika melihat penolongnya mengguncang-guncang pundaknya. Dia masih ingat betul bahwa hwesio muka hitam ini yang tadi sudah menolongnya.

Melihat pemuda itu telah membuka matanya, hwesio itu lantas bertanya dengan bentakan keras, “Lekas bilang, apakah kau bernama Kun Hong?!"

Dengan mata masih berkunang-kunang karena pusing dan bingung mengalami perubahan keadaan tubuh yang mendadak itu, Kun Hong lalu mengangguk. "Namaku memang Kun Hong...,” dia berkata perlahan sekali.

"Kau anak siapa? Hayo lekas kau mengaku!" hwesio itu mendesak.

Seperti diketahui Kun Hong sendiri tidak tahu siapa ayah bundanya, maka dalam keadaan pusing itu dia menjadi makin bingung menghadapi pertanyaan ini sehingga tak tahu harus menjawab apa. Akhirnya dengan gagap dia menjawab juga.

"Aku... aku tidak punya ayah dan ibu... Ibuku sudah mati... dibunuh orang di hutan... dan ayahku entah siapa...!”

Tubuh Beng Kun Cinjin menggigil makin keras. "Gelang ini... kau lihat ini... apakah gelang ini milikmu...?"


Kun Hong berada dalam keadaan bingung dan pening. Kalau tidak tentu dia akan merasa amat curiga melihat keadaan orang. Akan tetapi dia lebih banyak menutup mata dari pada membukanya.

Bila dia membuka matanya, dia melihat pohon-pohon di sekelilingnya seperti berputaran. Dia hanya membuka mata sebentar untuk melihat gelang itu, kemudian dia mengangguk lagi. ”Gelang itu... ditemukan oleh... ayah pungutku ketika dia menolongku..."

Beng Kun Cinjin melompat berdiri. Dia merasa bimbang. Sudah belasan tahun setiap hari dia menyesali perbuatannya, menyesali kesesatannya sehingga dia mengorbankan nyawa murid-muridnya yang terkasih, murid-muridnya yang dia tahu adalah pendekar-pendekar gagah perkasa.

Thio Houw dan Kwee Goat binasa ketika kedua orang murid itu hendak mengingatkannya dari kesesatannya. Malah ia telah membikin buta mata muridnya yang ke tiga, Kwee Sun Tek. Dan semua itu ia lakukan karena ia tergila-gila kepada Kiu Hui Niang, Puteri Harum yang kemudian ternyata hanyalah seorang perempuan rendah yang berwatak hina yang tidak setia dan mengadakan perhubungan gelap dengan laki-laki lain.

Biar pun ia sudah agak terhibur karena sudah membunuh perempuan itu, namun ia masih selalu gelisah apa bila mengingat akan perbuatan-perbuatannya terhadap murid-muridnya. Karena inilah dia lalu menyembunyikan diri di Bayangkara, membuang namanya, bahkan melumuri mukanya dengan obat sehingga muka itu menjadi hitam dan sukar dikenal lagi.

Belasan tahun dia menyesali perbuatannya secara diam-diam, dan selain Liong Tosu dari Kun-lun-pai yang menjadi kenalannya hanyalah Phang Sinshe karena ia suka mendengar Phang Sinshe menguraikan ilmu-ilmu kebatinan untuk mengobati hatinya yang terluka.

Siapa kira tiba-tiba sekarang ia berhadapan dengan Kun Hong! Bocah yang ketika masih bayi ia timang-timang, ia sayang sepenuh jiwa karena bocah ini adalah anaknya sendiri, tetapi yang kemudian ia benci karena ternyata kemudian bahwa bocah itu bukan anaknya seperti yang ia dengar dari percakapan antara Kiu Hui Niang dengan Liu-kongcu. Tiba-tiba saja ia menjadi benci melihat Kun Hong, pemuda putera Kiu Hui Niang itu.

"Anak haram! Keparat kau! Pergilah menyusul ibumu yang kotor!" Mendadak hwesio itu menendang tubuh pemuda yang masih duduk bersila di atas tanah.

"Bukkk!”

Tubuh Kun Hong terlempar sampai beberapa meter jauhnya, namun anehnya Kun Hong jatuh di atas tanah kembali dalam keadaan masih tetap bersila! Hal ini tidak aneh. Tenaga lweekang dan hawa sinkang di tubuh Kun Hong sudah mencapai tingkat tinggi sekali.

Tadi berkat pengobatan Beng Kun Cinjin yang benar-benar manjur luka di dadanya sudah hilang rasa sakitnya dan sudah memulihkan semua tenaganya, maka tendangan itu tidak membuat ia terluka. Akan tetapi karena dia masih pening dan bingung, tubuhnya terasa masih ringan dan aneh, ia seperti tidak ambil peduli perbuatan hwesio itu kepadanya dan masih tetap duduk bersila seperti tadi.

Untuk sejenak Beng Kun Cinjin terkejut bukan main. Apakah matanya tak salah melihat? Pemuda itu terkena tendangan kilatnya, tetapi tidak apa-apa, hanya mencelat tapi seperti tidak merasakan sesuatu! la menjadi penasaran, cepat dilolosnya senjatanya yang hebat, yaitu tasbeh yang dikalungkan di lehernya. Sambil memutar tasbehnya, ia memaki.

"Bocah keparat, kau tidak patut hidup di dunia ini. Bawalah pergi nama buruk perempuan yang melahirkanmu, pergilah menyusul roh Kiu Hui Niang di neraka!" Dengan cepat Beng Kun Cinjin melompat sambil tasbehnya diputar di atas kepala, menyambar ke arah kepala Kun Hong.

Pemuda ini masih seperti orang mabok dan agaknya meski pun dia berkepandaian tinggi, pukulan tasbeh ini tentu akan meremukkan kepalanya.

"Tarr...! Tarr...!"

Suara menyetar ini dibarengi berkelebatnya dua benda berbentuk bintang dan bulan yang menangkis tasbeh di tangan Beng Kun Cinjin dan disusul suara bentakan keras,

"Beng Kun Cinjin, jadi kaukah yang membunuh ibunya anak ini?! Kau yang membunuh... isterimu sendiri? Kau benar-benar manusia tidak tahu malu, pengecut tak berani memikul akibat perbuatan sendiri! Sesudah membunuh murid-muridmu yang gagah, sekarang kau malah hendak membunuh anak sendiri..."

"Tutup mulut! Kau tentu Seng-goat-pian Kam Ceng Swi? Bagus, kau sudah mengetahui persoalanku, mampuslah kau!" Beng Kun Cinjin yang merasa malu dan gelisah sekali ada orang mengenalnya, cepat mengirim serangan dengan tasbehnya.

Kam Ceng Swi mengelak, sambil membalas dengan serangan yang tidak kalah hebatnya. Di lain saat, dua orang tokoh besar itu sudah bertempur dengan ramai sekali.

Seng-goat-pian Kam Ceng Swi adalah seorang tokoh Kun-lun-pai yang berkepandaian tinggi dan pengalamannya luas, apa lagi senjatanya merupakan senjata yang aneh dan sukar diduga gerakannya. Malah tokoh Kun-lun ini pernah mendapat petunjuk-petunjuk dari Liong Tosu, maka ia lihai sekali.

Akan tetapi sekarang ia berhadapan dengan Beng Kun Cinjin Gan Tui. Seperti yang telah diketahui, Beng Kun Cinjin atau Gan Tui adalah putera tunggal dari pendekar besar Gan Yan Ki, murid salah satu di antara Wuyi Sam-lojin. Selain mewarisi kepandaian ayahnya yang mati muda, walau pun yang diwarisinya itu hanya sebagian saja, akan tetapi selain kepandaian keluarga ini ia pun pernah mendapat petunjuk-petunjuk dari Thian Te Cu yang merasa kasihan kepadanya.

Di samping ini, di waktu mudanya Gan Tui juga telah mempelajari banyak ilmu silat tinggi dari cabang persilatan lain sehingga kepandaiannya makin meningkat saja. Dibandingkan dengan Seng-goat-pian Kam Ceng Swi, ilmu kepandaian Beng Kun Cinjin masih menang banyak.

Meski pun sepasang senjata bulan sisir dan bintang di ujung tali itu menyambar-nyambar dengan dahsyat dan berbahaya, namun selalu dapat dikelit atau ditangkis oleh Beng Kun Cinjin. Setiap kali senjata di tangan Kam Ceng Swi bertemu dengan tasbeh, senjata itu lantas terpental ke belakang dan tasbeh terus menyambar langsung, merupakan serangan balasan yang hebat sekali.

Diam-diam Kam Ceng Swi terkejut dan maklum bahwa lawannya ini memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri Akan tetapi, untuk membela anak pungutnya yang ia sayang seperti putera sendiri, pendekar ini tidak takut mati. Diam-diam ia menduga-duga.

Mengapa hwesio tinggi besar ini hendak membunuh Kun Hong? Bukankah Kun Hong itu adalah puteranya sendiri? Hwesio ini menyatakan bahwa Kun Hong putera Kiu Hui Niang, padahal Kiu Hui Niang itu adalah puteri yang dihadiahkan kepada Beng Kun Cinjin ketika hwesio itu menjadi koksu dari pemerintahan Mongol.

Akan tetapi Kam Ceng Swi tidak mendapat banyak kesempatan untuk memikirkan hal ini karena sekarang dia mulai terdesak hebat. Gulungan sinar senjatanya makin menyempit, gerakan bintang dan bulan sisir di kedua ujung talinya semakin lambat. Sekarang ia lebih banyak menangkis serangan lawan dari pada menyerang.

Ia sudah mulai mundur-mundur dan matanya silau karena tasbeh itu menyambar-nyambar bagaikan kilat putih, bergulung-gulung sehingga sukar diduga ke mana gerakannya. Kam Ceng Swi harus mengeluarkan seluruh tenaga untuk menjaga diri, akan tetapi tetap saja dia terdesak terus.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar