Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 11

Pada hari ke tiga, pagi-pagi sekali Kun Hong telah melompat ke atas punggung Hek-liong-ma. Dengan air mata bercucuran Kim Li mencoba untuk menahan Kun Hong, akan tetapi pemuda itu dengan tegas berkata,

"Kim Li. hanya karena sayang dan kasihan kepadamu aku sampai menunda perjalananku selama tiga hari. Sekarang bagaimana pun juga aku harus pergi."

"Kam-koko aku ikut... jangan tinggalkan aku seorang diri...”

"Tidak mungkin. Kau tak boleh ikut. Selamat tinggal, mudah-mudahan lain waktu kita bisa dapat saling berjumpa lagi."

Tanpa pedulikan lagi tangis dan keluhan Kim Li, Kun Hong membalapkan kudanya pergi dari situ.

"Kam-koko... aku ikut... aku cinta padamu...!" Kim Li menjerit-jerit sambil berlari mengejar sekuat tenaga. Wanita ini juga mempunyai kepandaian, larinya sangat cepat. Akan tetapi mana mungkin dia dapat menyusul Hek-liong-ma?


"Kam-koko... aduuhhh...!'"

Tadinya Kun Hong tidak ambil peduli sama sekali, akan tetapi ketika mendengar gadis itu menjerit kesakitan, dia menengok juga. Kagetlah hatinya melihat Kim Li roboh terguling, nampaknya terluka hebat karena ia melihat darah. Kun Hong cepat memutar kudanya dan menghampiri gadis itu, ingin tahu apa yang telah terjadi.

Dari atas kudanya ia melihat dara itu berkelojotan, pada kedua betis kakinya terdapat luka yang mengeluarkan darah, nampaknya seperti luka biasa saja. Akan tetapi tidak demikian dalam pandangan Kun Hong yang melihat dengan mata terbelalak. Dia segera melompat turun, lalu memeriksa luka-luka yang mengandung warna kehijauan itu.

"Celaka...!" katanya perlahan.

Tanpa ragu-ragu lagi dia lalu menotok jalan darah kedua kaki gadis itu di bagian belakang dan lutut, kemudian dia mencabut pedang pendek yang masih terselip di punggung Kim Li dan... mengayun pedang itu membabat putus kedua kaki Kim Li sebatas lutut!

Kim Li menjerit ngeri kemudian roboh pingsan. Tetapi dari kedua kakinya yang buntung itu tidak keluar banyak darah. Hal ini disebabkan jalan darahnya telah dihentikan oleh totokan Kun Hong tadi.

Pemuda itu melemparkan pedang pendek ke bawah, lalu dia celingukan ke kanan kiri.

"Niocu marah kepadaku, mengapa menyerang gadis ini?!" dia berseru

Terdengar suara ketawa dan muncullah Tok-sim Sian-li! Wanita ini masih kelihatan muda dan genit walau pun sekarang usianya sudah bertambah dua belas tahun lagi. Pandangan matanya masih segalak dulu, juga suaranya masih nyaring merdu saat dia berkata sambil tertawa-tawa memandang ke arah Kim Li.

"Betapa lucunya! Kau meninggalkan aku untuk main gila dengan seorang wanita macam dia ini. Manusia macam dia ini mana ada harga untuk berdekatan dengan kau, Kun Hong? Lihat betapa buruknya, apa lagi sesudah kedua kakinya menjadi buntung. Masih maukah kau bermain gila dengan dia?”

"Niocu, aku pergi dari Wi-san bukan untuk main gila dengan siapa pun. Hanya kebetulan saja aku bertemu dengan dia. Engkau tentu sudah dapat menduga bahwa kepergianku ini adalah untuk merampas kembali Cheng-hoa-kiam dari tangan Thian Te Cu, dan sekalian membalas kekalahanku dari Wi Liong dahulu!"

Tok-sim Sian-li memainkan mata dan bibirnya. "Betulkah itu Kun Hong. apakah kau belum melupakan aku dan masih cinta padaku?"

Diam-diam Kun Hong menarik napas panjang, akan tetapi ia tersenyum ketika menjawab, "Tentu saja, Niocu. Selama belasan tahun ini kau sudah begitu baik kepadaku, bagaimana aku tidak cinta padamu?"

"Cinta sebagai murid terhadap guru atau sebagai laki-laki terhadap kekasihnya?" Tok-sim Sian-li mendesak, matanya memandang tajam penuh selidik.

Kun Hong cukup cerdik untuk tidak memancing pertikaian dengan gurunya ini, maka dia menjawab dengan suara sungguh-sungguh. "Sebagai kedua-duanya!"

Tok-sim Sian-li segera menubruk lantas memeluknya sambil berkata dengan suara penuh perasaaan. "Kun Hong... Kun Hong. betapa aku mencintamu... tak mungkin lagi aku dapat hidup jauh darimu..."

Kun Hong membiarkan saja wanita itu memeluk dan membelainya, kadang-kadang seperti sikap seorang ibu kepada anaknya, namun ada kalanya seperti seorang wanita terhadap kekasihnya.

"Kun Hong, kau anak baik... kau laki-laki tampan dan ganteng, sudah kuketahui sejak dulu bahwa kau akan menjadi seorang pemuda yang paling baik dan paling gagah di seluruh dunia ini.”

Kun Hong hanya tersenyum saja kemudian dengan halus ia melepaskan pelukan gurunya. "Niocu, sekarang aku hendak melanjutkan perjalananku ke Wuyi-san."

"Kau seorang diri ke Wuyi-san? Kun Hong, jangan kau main-main. Thian Te Cu bukanlah orang yang boleh dipandang rendah. Orang-orang lain tidak kukhawatirkan dan tidak perlu kutakuti, akan tetapi Thian Te Cu... dia benar-benar lihai."

"Aku tidak takut," jawab 'Kun Hong tabah.

"Kau boleh tidak takut, akan tetapi aku tidak rela melihat kau pergi ke sarangnya di Wuyi-san. Ketahuilah, Kun Hong. Aku sendiri dan gurumu Bu-ceng Tok-ong juga tidak sanggup menghadapi Thian Te Cu. Satu-satunya orang yang sanggup agaknya hanya Thai Khek Sian, susiok dari Tok-ong. Dahulu Thai Khek Sian sudah berjanji hendak menurunkan ilmu kepandaian kepadamu. Lebih baik kau lebih dulu pergi ke Pek-go-to untuk memperdalam ilmu kepandaian, mari kuantarkan."

"Tidak, Niocu. Aku akan mencoba-coba pergi ke Wuyi-san lebih dulu," kata pemuda yang keras hati ini. "Tidak mengapa jika aku tidak berhasil merampas kembali Cheng-hoa-kiam dan tidak mampu mengalahkan Thian Te Cu, hal itu dapat ditunda dulu. Tetapi setidaknya aku harus dapat mencoba kepandaian Wi Liong."

"Kalau begitu aku ikut. Tak sampai hati aku membiarkan kau seorang diri pergi ke Wuyi-san...”

"Jangan. Niocu. Aku ingin pergi sendiri!" Setelah berkata demikian, Kun Hong melompat ke atas punggung kuda Hek-liong-ma dan hendak membalapkan kudanya itu.

Namun terdengar suara ketawa dan tahu-tahu tubuh Tok-sim Sian-li juga sudah melayang lantas duduk di atas punggung kuda, tepat di belakang Kun Hong.

"Mana kau bisa tinggalkan aku, anak manis?" Tok-sim Sian-li berkata menggoda.

"Kau tak boleh ikut dan harus turun, Niocu yang baik," kata Kun Hong dengan tak kalah manisnya, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya membalik lantas dengan kedua tangannya murid yang ‘manis’ ini melakukan pukulan dorongan yang hebat!

Tok-sim Sian-li terkejut sekali karena maklum bahwa tenaga dorongan pemuda itu sudah amat kuat dan berbahaya. Dia mencoba untuk menangkis dengan kedua tangannya, akan tetapi tetap saja ia terguling dari atas punggung kuda. Baiknya ia sudah memiliki ginkang yang tinggi sehingga sekali menggerakkan pinggang ia dapat mengatur jatuhnya sehingga dapat tiba di atas tanah dalam keadaan berdiri.

Tok-sim Sian-li tersenyum manis sekali dan matanya memancarkan cahaya kilat. Kedua tangannya diayun ke depan bergantian dan tampaklah sinar hijau menyambar-nyambar.

Kun Hong kaget bukan main, cepat mencoba mengeprak kudanya agar melompat tinggi ke depan, tetapi terlambat. Kuda itu mengeluarkan ringkikan keras lalu roboh terjengkang karena kedua kaki belakangnya sudah rusak oleh jarum-jarum beracun yang dilepas Tok-sim Sian-li.

Kun Hong melompat pada saat kuda itu terjungkal, berdiri bertolak pinggang memandangi kuda yang sudah empas-empis mau mampus itu. Pemuda ini maklum bahwa kuda itu tak mungkin tertolong lagi. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan jiwanya hanya dengan memotong kedua kaki belakangnya. Akan tetapi apa artinya? Dia meludah ke arah kuda, lalu memandang kepada gurunya sambil tersenyum.

"Jarum-jarummu masih lihai, Niocu. Benar-benar kau nekat sekali hendak ikut dengan aku sampai-sampai kau tidak segan dan sayang mengorbankan kudamu Hek-liong-ma. Akan tetapi semakin nekat kau hendak ikut, semakin nekat pula aku hendak pergi seorang diri. Ha-ha-ha! Kejarlah bila kau sanggup!" Setelah berkata demikian Kun Hong segera berlari dengan cepat sekali keluar hutan, mengerahkan seluruh kepandaiannya karena maklum betapa hebat ginkang dan ilmu lari cepat dari Tok-sim Sian-li.

Di dalam hatinya Tok-sim Sian-li amat marah. Ia menoleh dan melihat tubuh Kim Li masih meringkuk dengan dua kaki buntung di atas tanah, maka kemarahannya tertimpa kepada gadis yang bernasib malang ini. Ia mencabut pedang hijaunya dan berkata perlahan,

"Jangankan hanya seekor kuda, Kun Hong. Biar berkorban nyawa sekali pun aku rela asal dapat selalu hidup berdekatan dengan kau. Gadis ini berani mati mencintamu, karena itu dia harus mampus!" Pedangnya berkelebat menusuk dada gadis itu.

“Traangg...!”

Sebuah batu karang sebesar kepala orang segera hancur lebur terpukul pada pedang itu, akan tetapi pedang di tangan Tok-sim Sian-li tertahan dan tidak terus menusuk dada Kim Li.

Tok-sim Sian-li segera melompat ke belakang sambil memutar tubuh, gerakannya sangat cepat, mulutnya masih tersenyum namun alisnya berdiri dan matanya berkilat-kilat tanda bahwa wanita ini sudah marah bukan main. Siapakah yang begitu berani mati menangkis pedangnya dengan lemparan batu?

Ia melihat seorang laki-laki pendek gemuk bermuka tampan. Muka itu berkulit putih bersih dengan kumis terpelihara baik dan jenggot hitam lebat yang terpelihara pula. Rambutnya yang pendek dan jarang itu digelung ke atas, kecil saja terbungkus kain kuning. Laki-laki itu tertawa lebar, sikapnya tenang dan gagah. Dia berdiri dengan kedua kaki terpentang dan kedua lengannya yang kuat dan berbulu itu disilangkan di depan dada.

"Tok-sim Sian-li benar-benar makin tua semakin gila dan tak tahu malu, sudah berusia tua masih tergila-gila kepada seorang pemuda. Hatimu yang beracun juga makin jahat saja, sudah melukai gadis ini sampai buntung kedua kakinya, sekarang masih mau dibunuh lagi karena cemburu."

Tok-sim Sian-li melengak. Kalau orang ini bisa mengetahui apa yang telah terjadi tadi, itu tandanya orang ini memiliki kepandaian tinggi. Dan selain itu nampaknya orang ini sudah mengenalnya baik-baik.

Dengan penuh selidik Tok-sim Sian-li memandang wajah laki-laki itu. Serasa pernah dia melihatnya, muka ini benar-benar tak asing baginya, malah muka yang amat dikenalnya, akan tetapi dia lupa lagi siapa gerangan orang ini.

"Manusia bermulut lancang, siapa kau?" akhirnya dia membentak.

Sebetulnya hal ini amat aneh bagi yang sudah mengenal watak Tok-sim Sian-li. Wanita ini biasanya menggerakkan tangan lebih dulu dari pada menggerakkan mulutnya. Sekarang ia menanyakan nama orang dan belum menggerakkan tangannya, ini benar luar biasa dan hal ini hanya dapat terjadi karena dia merasa sangsi melihat muka yang amat dikenalnya tapi lupa lagi siapa itu.

Laki-laki itu tertawa bergelak, dan ternyata giginya yang rata masih baik dan putih bersih. Ketika tertawa tampak bahwa dia mempunyai garis-garis muka yang tampan dan mudah diduga bahwa ketika masih muda dia adalah seorang yang ganteng.

"Ha-ha-ha. terlalu banyak kau mengenal pria sampai-sampai kau lupa kepada aku orang she Kwa!"

"Siang-jiu Lo-thian (Sepasang Kepalan Mengacau Langit)! Kau Kwa Cun Ek?" tanya Tok-sim Sian-li tercengang dan baru sekarang dia ingat muka laki-laki yang sebenarnya tidak asing baginya ini, kira-kira dua puluh tahun yang lalu! Orang ini adalah Siang-jiu Lo-thian Kwa Cun Ek, seorang jago silat kenamaan di dunia selatan.

Begitu teringat bahwa orang di depannya ini adalah Kwa Cun Ek, Tok-sim Sian-li segera mengeluarkan seruan marah dan langsung menyerang dengan pedangnya! Kwa Cun Ek yang mempunyai julukan Sepasang Kepalan Mengacau Langit tentu saja dapat mengelak dengan mudah.

"Kau masih seperti dulu," katanya tertawa, “Genit, galak dan... tetap cantik."

Mendengar kata-kata yang bersifat setengah memuji kecantikannya ini, Tok-sim Sian-li menunda pedangnya, menudingkan pedang ke arah muka laki-laki itu sambil memaki.

"Orang she Kwa! Kau meninggalkan aku lari kepada siluman lautan timur itu, benar-benar penghinaan besar namanya. Karena itu kali ini kau harus mampus di tanganku!” Kembali sia menyerang dengan hebatnya, akan tetapi lagi-lagi Kwa Cun Ek dapat mengelak tanpa balas menyerang,

"Kau benar-benar tidak tahu diri hanya mau menang sendiri saja!" Kwa Cun Ek menegur, suaranya sungguh-sungguh menyatakan penyesalan hatinya. "Karena engkau, isteriku lari
meninggalkan aku dan seorang anak. Perbuatanmu yang keji itu masih hendak kau tutup dengan menyalahkan semua kepadaku? Benar-benar kau wanita dengan hati beracun!"

Tiba-tiba sikap Tok-sim Sian-li berubah mendengar ini. Senyumnya melebar dan kembali pedangnya ditahannya. "Dia meninggalkan kau? Hi-hik-hik, lucunya! Dia minggat dari kau karena cemburu kepadaku? Bagus, baru kau puas. Siapa sih wanita yang sudi lama-lama bersamamu. Lihat jenggotmu panjang, kepalamu mulai botak dan perutmu mulai gendut. Hi-hi, puas hatiku mendengar kau ditinggal sia-sia oleh isterimu! '

Sekarang Kwa Cun Ek yang kelihatan marah. Sebagai jawaban dua tangannya memukul ke depan secara bergantian dan hebatnya, begitu ia menggerakkan tangan, batang-batang pohon di belakang Tok-sim Sian-li lantas bergoyang-goyang seperti terjadi gempa bumi! Inilah hebatnya tenaga pukulan Kwa Cun Ek Si Sepasang Tangan Mengacau Langit! Tapi dengan ringannya Tok-sim Sian-li segera melompat dan pukulan-pukulan itu sama sekali tidak menyusahkannya.

"Tentu saja aku tidak menarik lagi karena sudah tua. Dulu kau tergila-gila padaku, ketika aku masih seganteng pemuda yang kau kejar-kejar tadi. Akan tetapi kaupun sudah tua...”

Kwa Cun Ek terpaksa menghentikan kata-katanya, karena begitu mendengar tentang ‘pemuda tadi’ segera Tok-sim Sian-li teringat akan Kun Hong dan tanpa mengeluarkan kata-kata lagi berkelebat pergi dari situ mengejar pemuda yang dikasihinya itu.

Kwa Cun Ek menghela napas panjang berkali-kali. ”Dia masih hebat, baik aksi mau pun kepandaiannya. Aku belum tentu bisa mengalahkan dia..." Kemudian dia menoleh kepada Kim Li, menggeleng-geleng kepala dan menggerutu. "Kasihan sekali bocah ini, mati tidak hidup pun bercacad, kedua kakinya hilang sebatas lutut. Hemm, harus kuapakan dia? Biar kubawa pulang dulu, bagaimana keputusan Siok Lan saja...” Ia menghampiri Kim Li yang masih pingsan, membungkuk dan memondongnya, lalu dibawa pergi keluar hutan dengan langkah lebar.

Siapakah Kwa Cun Ek? Dan bagaimana dia dapat mengenal Tok-sim Sian-li? Dia dahulu memang benar seorang pemuda ganteng dan tampan di selatan, seorang jago muda yang banyak digilai kaum wanita, terutama para wanita dari kalangan kang-ouw yang tentu saja mengharapkan jodoh yang gagah perkasa.

Di antara semua wanita gagah dan cantik, hanya seorang pendekar wanita gagah perkasa yang menarik hatinya. Pendekar wanita ini adalah seorang tokoh muda yang disegani dan telah membuat nama besar di sepanjang laut timur dengan pedangnya serta ilmu pukulan Sin-na-hwat yang sangat lihai. Saking hebatnya sepak terjang pendekar wanita ini, dunia kang-ouw telah memberi julukan Tung-hai Sian-li (Dewi Lautan Timur) kepadanya. Tentu para pembaca masih ingat akan tokoh ini, yaitu salah seorang di antara tokoh-tokoh yang mengadakan pertemuan di puncak Kun-lun-san.

Begitu berjumpa, terjalinlah cinta kasih antara Kwa Cun Ek dan Tung-hai Sian-li sampai terjadi pernikahan di antara mereka. Akan tetapi sebelum bertemu dengan Tung-hai Sian-li, Kwa Cun Ek pernah tergila-gila kepada seorang tokoh wanita hek-to (jalan hitam), yaitu Tok-sim Sian-li yang ketika itu masih muda, cantik jelita, genit dan cabul!

Sesudah Tok-sim Sian-li yang kembali bertemu dengan Kwa Cun Ek mendengar bahwa bekas kekasihnya ini telah menikah dengan Tung-hai Sian-li, ia menjadi marah sekali lalu datang menyerbu rumah bekas kekasihnya ini dengan maksud membunuh Tung-hai Sian-li. Namun di luar dugaannya, ternyata Tung-hai Sian-li adalah seorang wanita muda yang gagah perkasa sehingga dia mendapat perlawanan setimpal. Selain itu, Kwa Cun Ek juga dengan sendirinya membantu isterinya.

Karena dikeroyok dua, Tok-sim Sian-li tidak kuat melawan lalu melarikan diri. Akan tetapi sejak itu penghidupan Kwa Cun Ek tidak bahagia lagi karena Tok-sim Sian-li belum mau puas sebelum Tung-hai Sian-li mendengar mengenai hubungan antara suaminya dengan dirinya. Hubungan suami isteri itu menjadi renggang, padahal tadinya penuh kebahagiaan, apa lagi karena Tung-hai Sian-li sudah mengandung.

Tung-hai Sian-li adalah seorang wanita yang berhati keras laksana baja. Pembawaannya kereng, sungguh-sungguh, jujur dan galak pula. Sakit hatinya karena hubungan suaminya dengan perempuan cabul itu tidak dapat dihibur dan setelah dia melahirkan seorang anak perempuan, dia lalu lari minggat meninggalkan Kwa Cun Ek bersama anaknya yang baru berusia satu tahun!

Demikianlah riwayat singkat Kwa Cun Ek ketika masih muda. Sekarang anaknya telah berusia delapan beias tahun, cantik jelita dan selain ilmu silatnya tinggi, juga mempunyai kecerdikan luar biasa. Karena cerdiknya ini, hampir segala hal Kwa Cun Ek menyerahkan kepada puterinya itu. Bahkan semua urusan perdagangannya, yaitu perdagangan kulit, boleh dibilang berada di tangan Kwa Siok Lan, puterinya itu.

Maka tidak mengherankan apa bila ketika menghadapi nasib Kim Li, Kwa Cun Ek yang kebingungan itu akhirnya mengambil keputusan membawa gadis yang malang itu pulang untuk menanyakan nasihat Siok Lan! Sejak lama dia sudah kenal dengan Kim Li, karena Ciok Sam ayah Kim Li adalah langganannya dalam pembelian kulit binatang.

Dapatlah dibayangkan betapa kagetnya hati Kwa Siok Lan ketika melihat ayahnya pulang memondong tubuh Kim Li yang sudah buntung kedua kakinya. Siok Lan tentu saja kenal baik dengan Kim Li yang sering kali datang ke kota mengantarkan kulit, malah sering kali Kim Li minta petunjuk tentang ilmu silat dari Siok Lan yang mempunyai kepandaian tinggi. Melihat keadaan Kim Li dan mendengar penuturan ayahnya, Siok Lan lalu mengerutkan alisnya yang indah sambil berkata,

"Bagaimana Kim Li sampai bertemu dengan iblis wanita itu dan di mana pula paman Ciok Sam, ayahnya?”

"Aku sendiri tidak tahu apa yang tadinya terjadi. Ciok Sam tidak kelihatan. Pada waktu aku memasuki hutan untuk mencari Ciok Sam yang sudah beberapa hari tidak muncul, aku melihat Kim Li mengejar seorang pemuda dan tahu-tahu muncul Tok-sim Sian-li yang melukai Kim Li dengan jarum-jarum hijaunya. Pemuda itu nampaknya lihai juga, ia segera menolong Kim Li dan terpaksa membuntungi kedua kaki gadis ini untuk menyelamatkan nyawanya. Pemuda itu bahkan berani melawan dan berhasil melarikan diri dari Tok-sim Sian-li."

"Hemm. Kim Li seorang gadis hutan yang sederhana, mudah sekali tertipu orang. Kurasa orang muda itu pun bukan orang baik-baik, ayah."

"Aku tidak mengenalnya, akan tetapi ia lihai dan nampaknya gagah." Diam-diam di dalam hatinya Kwa Cun Ek melihat seorang calon mantu yang amat baik dalam diri Kun Hong.

Sudah lama pendekar tua ini membujuk puterinya supaya segera memilih seorang calon suami, menerima salah seorang di antara banyak peminang. Akan tetapi selalu Siok Lan menolak, menyatakan belum ingin menikah dan akhirnya menyatakan belum ada pemuda yang dia penujui. Sekarang melihat Kun Hong yang gagah, ganteng dan lihai sekali, Kwa Cun Ek menjadi sangat tertarik. Seorang pemuda yang cocok benar untuk menjadi jodoh anakku pikirnya.

Sesudah siuman dari pingsannya dan mendapatkan kedua kakinya sudah buntung, Kim Li langsung menangis tersedu-sedu dalam pelukan Siok Lan yang menghiburnya. Tadi Siok Lan telah mengobati dan membalut kedua kaki itu kemudian membaringkan Kim Li di atas pembaringan.

Dengan sabar Siok Lan menanyakan pengalaman Kim Li, dan apakah yang sudah terjadi dengan ayahnya. Kim Li orangnya jujur, dan dia pun sangat menghormat Siok Lan. Tanpa malu-malu lagi dia lalu menuturkan semua pengalamannya semenjak dia bertemu dengan Kun Hong sampai pertemuannya dengan Tok-sim Sian-li iblis wanita itu.

Siok Lan mengepal tinjunya. "Sudah kuduga pemuda itu bukan orang baik-baik!"

"Ahh, tidak nona. Dia bukan orang jahat. Kam Kun Hong koko seorang yang sangat baik, gagah perkasa dan mulia. Semua adalah salahku sendiri. Aku yang tergila-gila kepadanya dan aku pula yang menjadi penyebab kematian ayah."

Dengan terus terang dia lalu melanjutkan ceritanya. Betapa ia menyuruh anjing-anjingnya menyerang Kun Hong sehingga binatang-binatang itu tewas semua dan ayahnya menjadi marah, kemudian terjadi pertempuran antara ayahnya dan Kun Hong yang mengakibatkan tewasnya Ciok Sam. Juga dia menceritakan betapa Kun Hong tinggal bersama dia selama tiga hari untuk menghiburnya sambil membantu mengurus penguburan jenazah ayahnya.

"Dia tidak bersalah apa-apa, nona Siok Lan. Dia seorang yang berhati mulia dan aku... aku cinta padanya...”

Wajah Siok Lan berubah merah. Ia merasa jengah mendengar ucapan yang jujur dari Kim Li. Timbul rasa kasihan dalam hatinya.

"Kau bodoh, Kim Li. Mengapa kau mencinta orang yang tidak membalas perasaanmu itu? Kau hendak menyiksa diri sendiri."

"Apa dayaku, nona? Aku tergila-gila kepada Kun Hong. Dia pemuda terbaik di dunia ini. Biar pun hanya cinta sefihak, aku tidak penasaran. Aku sudah puas hidup bersama Kam Kun Hong, biar pun hanya untuk tiga hari tiga malam lamanya!" Kim Li lalu menangis lagi terisak-isak.

Siok Lan hanya menggelengkan kepala, di dalam hatinya memaki Kim Li sebagai seorang gadis yang bodoh, mudah saja menjadi permainan cinta!

"Mulai sekarang kau tinggallah saja di sini, Kim Li. Biar ayah melatihmu dengan ilmu silat yang lebih tinggi. Aku percaya kalau ilmu silatmu sudah matang, kakimu yang cacad itu tidak akan terlalu mengganggumu lagi."

Kim Li menjadi terharu dan hanya mengangguk-angguk dengan mata berlinang air mata. Demikianlah, semenjak saat itu gadis yang bernasib malang ini menjadi murid Siang-jiu Lo-thian Kwa Cun Ek, menerima pelajaran ilmu silat tingkat tinggi…..

********************

Kota Ningpo di Propinsi Cekiang merupakan kota yang cukup besar dan ramai, terletak di dekat pantai Laut Tung-hai. Kota ini boleh dibilang terletak di bagian paling pinggir sebelah timur Tiongkok. Karena berada di tepi laut dan dekat dengan kota besar Syanghai, maka kota Ningpo menjadi pusat perdagangan dan penduduknya amat padat. Toko-toko, rumah-rumah makan dan losmen-losmen besar menjadi bukti kemajuan kota ini.

Di antara rumah-rumah makan yang terdapat di kota Ningpo. kiranya rumah makan Tung-thian terkenal sebagai rumah makan yang paling besar dan paling lengkap. Rumah makan ini di ruang bawah saja memiliki dua puluh lima pasang meja kursi, belum yang di ruang atas, yaitu di loteng, di sana terdapat lima pasang meja kursi.

Setiap hari tentu ada tamu yang makan di situ, belum pernah kelihatan kosong, biar pun hanya tiga empat orang tentu ada yang bersantap. Hanya di loteng jarang terisi tamu oleh karena tamu-tamu biasa lebih suka makan di bawah. Di loteng ini hanya disediakan untuk tamu-tamu pembesar yang tidak suka makan di dalam satu ruangan dengan orang-orang biasa, atau disediakan untuk keperluan khusus, misalnya ada rombongan keluarga yang hendak merayakan sesuatu.

Pada suatu senja ruangan bawah rumah makan Tung-thian telah penuh tamu yang makan minum sambil bersenda-gurau di antara teman dengan gembira. Tidak mengherankan apa bila keadaan pada hari itu amat ramai, karena selain malam hari itu bulan muncul sore-sore, juga saat itu adalah saat panen ikan.

Para nelayan membanjiri kota dengan hasil-hasil ikan laut mereka dan inilah saatnya para penduduk mengeduk keuntungan besar, membeli dan memborong ikan-ikan itu dari para nelayan untuk kemudian dijual dan dikirim ke lain kota dengan harga berlipat ganda.

Hanya seorang pemuda yang duduk seorang diri di pojok ruangan bawah rumah makan itu yang tidak dapat bergembira seperti yang lain-lain, karena dia makan minum seorang diri tiada kawan. Akan tetapi kegembiraan orang-orang di sana menarik hatinya sehingga memancing senyum di bibirnya dan seri di matanya. Agaknya pemuda ini seorang asing, buktinya tidak ada seorang pun penduduk Ningpo yang mengenalnya.

Serombongan orang terdiri dari delapan orang muda memasuki restoran itu minta tempat. Pengurus rumah makan cepat menyambut mereka kemudian dengan muka ramah minta mereka bersabar menanti meja kosong karena semua tempat sudah penuh.

"Bukankah di loteng masih kosong?" tanya seorang di antara pemuda-pemuda itu sambil menunjuk ke atas.

"Sekarang masih kosong, akan tetapi semua meja di loteng telah dipesan oleh tuan-tuan dari Hai-liong-pang yang akan mengadakan pertemuan di situ dan tidak mau diganggu oleh orang-orang lain." kata pengurus rumah makan.

Mendengar kata-kata ini, pemuda-pemuda itu tak berani berkata apa-apa lagi, melainkan menunggu di luar rumah makan. Bahkan para tamu penduduk Ning-po yang mendengar nama Hai-liong-pang menjadi terkejut dan gelisah. Ada yang cepat-cepat menyelesaikan makan lalu tergesa-gesa meninggalkan rumah makan. Malah ada yang segera membayar makanan dan pergi tanpa menghabiskan sisa hidangan yang masih banyak.

Namun pemuda-pemuda yang tadi menunggu di luar agaknya lebih berani. Begitu melihat banyak tempat kosong, dengan wajah gembira mereka lantas masuk dan memilih tempat duduk. Sebentar saja ruangan bawah itu hanya tinggal setengahnya yang terisi tamu, di antaranya pemuda asing yang duduk menyepi seorang diri, yang saban-saban menghirup araknya.

"Mereka boleh galak dan berpengaruh, tetapi asalkan kita tidak mengganggu mereka, tak mungkin kita diganggu." terdengar seorang di antara para pemuda itu berkata.

Pesanan makanan dan minuman dilakukan oleh seorang pelayan yang melayani mereka dengan hormat. Pemuda-pemuda ini adalah putera-putera penduduk yang terkenal kaya di kota Ningpo, maka tentu saja para pelayan amat menghormati mereka.

Tidak lama kemudian datang serombongan orang. Mereka ini adalah tujuh orang laki-laki setengah tua yang pakaiannya seperti yang biasanya dipakai oleh para jago silat. Sikap mereka kereng sekali dan melihat tindakan kaki mereka, mudah diduga bahwa mereka rata-rata memiliki kepandaian silat yang lumayan.

"Heii, pengurus Tung-thian! Lekas siapkan meja. Samwi-pangcu (tiga ketua) sebentar lagi datang!" seorang di antara mereka berseru kepada pengurus rumah makan.

Melihat betapa mereka ini adalah orang-orang dari Hai-liong-pang, para pelayan menjadi amat sibuk, cepat-cepat membereskan dan membersihkan meja kursi di loteng. Di bagian dapur juga terjadi kesibukan luar biasa. Ayam gemuk disembelih, ikan-ikan hidup dibelek perutnya, daging-daging segar dipilih, sayur dan bumbu nomor satu dikeluarkan. Pendek kata semua pegawai rumah makan Tung-thian menyiapkan pesta besar yang mewah dan mahal.

Tujuh orang anggota Hai-liong-pang ini pun tidak tinggal diam. Mereka mengepalai para pelayan mengatur persiapan, kemudian melakukan penjagaan ketat di luar rumah makan. Lagak mereka benar-benar seperti para serdadu yang menjaga kedatangan pembesar-pembesar negeri.

Siapa dan apakah Hai-liong-pang yang agaknya berpengaruh serta ditakuti oleh penduduk Ningpo itu? Dari namanya sudah menyatakan bahwa Hai-liong-pang (Perkumpulan Naga Laut) adalah sebuah perkumpulan yang berpusat di pantai laut.

Perkumpulan ini adalah perkumpulan nelayan, diketuai oleh tiga orang kakak beradik she Phang yang sebetulnya bukanlah nelayan-nelayan melainkan juragan-juragan perahu yang bertindak sewenang-wenang mengandalkan kepandaian ilmu silat mereka yang memang amat tinggi.

Tiga orang yang memiliki modal besar ini membeli perahu-perahu yang jumlahnya banyak, lantas perahu-perahu ini mereka sewakan kepada para nelayan dengan cara pembagian hasil yang sama sekali tidak adil. Pendek kata mereka memeras tenaga nelayan dengan mengandalkan pengaruh dan milik mereka.

Ada nelayan yang mempunyai perahu sendiri tetapi tidak mau menyewa perahu mereka? Nelayan seperti ini akan celaka, sebab ke mana pun ia mencari ikan, maka ia akan selalu diganggu sampai ia terpaksa pulang dengan tangan kosong. Pulang dengan selamat saja masih untung!

Tiga orang she Phang itu makin lama semakin berpengaruh dan makin kaya. Kemudian, karena merasa khawatir kalau para nelayan itu bersatu dan melakukan pemberontakan, secara cerdik mereka mendirikan perkumpulan nelayan yang diberi nama Hai-liong-pang.

Nelayan-nelayan yang menjadi jagoan, mereka tarik menjadi kaki tangan mereka. Makin lama perkumpulan ini menjadi semakin besar dan kuat sampai para nelayan miskin tidak dapat berkutik sama sekali. Seolah-olah lautan luas menjadi milik Hai-liong-pang dan para nelayan, mengandalkan makan mereka dari hasil pemberian Hai-liong-pang.....!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar