Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 44

Dengan muka pucat saking marahnya Cui Kim memberi tanda agar orang-orangnya cepat mengangkat pergi mayat-mayat itu, kemudian dia sendiri maju sambil mencabut pedang pendeknya.

"Thai-houw, sungguh pun kepandaianku tidak seberapa dan kiranya bukan apa-apa kalau dibandingkan denganmu, akan tetapi aku Theng Cui Kim tak gentar menghadapi kematian untuk mempertahankan kehormatan Ngo-tok-tauw," katanya gagah tanpa kelihatan takut sedikit pun.

Kui-bo Thaihouw menghela napas panjang. "Mengapa kau begini bodoh? Kau serahkan batu kemala itu dan beres sudah. Mengapa muda-muda harus membuang nyawa?"

Kini Cui Kim tak dapat menahan kemarahannya lagi. "Kui-bo Thai-houw siapa takut mati? Lihat baik-baik, kau telah membunuh ayah bundaku, telah menghina perkumpulanku, dan sekarang hendak merampas lambang kehormatan Ngo-tok-kauw. Apakah hal-hal itu tidak lebih hebat dari pada kematian? Kau majulah, siapa sih takut padamu? Orang lain boleh takut, akan tetapi aku Theng Cui Kim tidak!" Sambil mengucapkan kata-kata gagah ini Cui Kim mengerling Hak Lui.

Pemuda muka hitam ini menjadi malu sekali, kemudian sambil mencabut pedangnya dia pun melompat maju berdiri di sebelah Cui Kim.

"Aku The Hak Lui juga siap membela kehormatan Ngo-tok-kauw dan membalaskan sakit hati mendiang suhu!".katanya dengan suara keras.

Kui-bo Thai-houw mengerutkan kening, kemudian terdengar dia bersuara perlahan, "Apa boleh buat kalau kalian memang ingin mampus!" Nenek ini lalu memberi isyarat kepada pemuda yang sejak tadi berada di sampingnya.

Pemuda itu berulang kali menoleh ke arah Eng Lan dan mukanya yang tampan berubah pucat. Namun semenjak tadi dia belum menyatakan sesuatu, bahkan pertempuran yang seru tadi seperti tidak menarik perhatiannya. Sekarang melihat isyarat yang diberikan Kui-bo Thai-houw, pemuda ini mencabut pedangnya dan melompat maju, gerakannya ringan sekali, pedangnya berkilauan saking tajamnya.

"Kalian berdua boleh maju bareng mengeroyok thai-cu (pangeran)!" kata Kui-bo Thai-houw sambal tertawa.

Diam-diam Cui Kim dan Hak Lui heran karena belum pernah mereka mendengar bahwa wanita ini mempunyai putera dan sekarang tahu-tahu muncul seorang pangeran! Betapa pun juga, Cui Kim kagum melihat pemuda yang tampan dan berpakaian indah ini.

Hak Lui tak sabar lagi. Dengan pedangnya ia lalu melakukan serangan pertama menusuk ke arah dada. Cui Kim tidak tinggal diam. Ia dapat menduga bahwa pemuda yang sudah dijago oleh Kui-bo Thai-houw tentulah lihai, maka dia pun menyusul dengan serangannya ke arah leher.

Dengan gerakan perlahan saja pemuda tampan itu mengelak. Tampaknya ia hanya sedikit menggoyang badan tanpa memindahkan kedua kaki, akan tetapi nyatanya dua serangan itu mengenai angin kosong. Dan sebelum dua orang lawannya hilang kagetnya, tahu-tahu pedangnya yang tajam sudah menyambar, mengeluarkan hawa dingin sambil mengancam leher Cui Kim dan Hak Lui!

"Ayaaa...!" Cui Kim dan Hak Lui mengeluarkan peluh dingin saking kagetnya dan cepat-cepat mereka melompat mundur. Kini mereka tidak berani memandang rendah. Dengan nekat mereka mengerahkan seluruh tenaga dan mainkan jurus-jurus yang paling mereka andalkan untuk mendesak pemuda tampan yang lihai sekali itu.

Pemuda itu hanya bergerak mengelak ke sana kemari. Sampai belasan jurus ia mengelak terus, perhatiannya terpecah karena dalam menghadapi keroyokan ini dia selalu menoleh atau melirik ke arah Eng Lan yang masih rebah tak bergerak dalam pengaruh totokan.

Sebaliknya, Eng Lan yang semenjak tadi juga memandang pemuda itu, kini bercucuran air mata tanpa ia dapat mengusapnya karena tangannya tak dapat digerakkan. Betapa ia tak akan menangis kalau ia mengenal pemuda itu sebagai Kun Hong, kekasihnya.

Memang pemuda itu bukan lain adalah Kun Hong yang sekarang telah menjadi pangeran di Ban-mo-to! Seperti sudah dituturkan di bagian depan, ketika menyerbu Ban-mo-to dan minta obat Im-yang-giok-cu kepada Kui-bo Thai-houw, pemuda ini yang menjatuhkan hati nenek lihai itu, sudah dirobohkan dan dipengaruhi obat yang membuat pemuda ini seperti kehilangan semangat dan menurut saja menjadi permainan Kui-bo Thai-houw!

Sejak saat itu ia diaku sebagai putera Kui-bo Thai-houw dan selain menerima pengobatan Im-yang-giok-cu sehingga tubuhnya pulih kembali dari bekas-bekas luka pukulan Im-yang-lian-hoan dari Kun-lun-pai, juga ia malah menerima pelajaran ilmu silat yang aneh dari Kui-bo Thai-houw yang sangat menyayangnya. Dengan wataknya yang aneh dan mengerikan, nenek ini menyayang Kun Hong sebagai anak, juga sebagai kekasih!

Sebenarnya secara samar-samar Kun Hong masih ingat tentang keadaannya. Akan tetapi pengaruh obat itu membuat dia seperti mabok dan lupa segala, menurut saja akan segala macam kehendak Kui-bo Thai-houw.

Sekarang dalam penyerbuan ke Ngo-tok-kauw untuk merampas Ngo-heng-giok-cu, secara kebetulan sekali dia melihat Eng Lan. Cinta kasihnya yang suci dan mendalam terhadap gadis ini membuat dia tidak dapat melupakan wajah gadis ini sehingga biar pun dia sama sekali belum ingat siapa adanya gadis yang menggeletak di situ, akan tetapi dia tak dapat mencegah dadanya berdebar-debar dan matanya selalu memandang kepada gadis itu.

"Kun Hong, balas! Kenapa membuang waktu?" bentak Kui-bo Thai-houw tak sabar ketika melihat pemuda itu hanya mengelak saja tanpa balas menyerang.

Kun Hong tersentak kaget kemudian menggunakan pedang Cheng-hoa-kiam di tangannya untuk menangkis dua pedang yang menyambar itu.

"Traanggg...!"

Cui Kim dan Hak Lui mengeluarkan seruan kaget karena pedang mereka tahu-tahu sudah patah ketika tertangkis. Sebelum mereka sempat mengelak, Kun Hong sudah mendorong mereka roboh tidak dapat bangun kembali karena jari-jari tangan Kun Hong yang cekatan dan penuh keahlian itu telah menotok jalan darah mereka. Meski pun dia berada di bawah pengaruh Kui-bo Thai-houw, tapi pengaruh Eng Lan yang telah meresap di dalam jiwanya membuat Kun Hong selalu menjauhkan diri dari pembunuhan.

Kui-bo Thai-houw tertawa girang, kemudian sekali kakinya bergerak, dia sudah melayang mendekati tubuh Cui Kim. Tangannya bergerak dan pada lain detik tongkat bermata Ngo-heng-giok-cu telah berada di tangannya.

Mudah saja baginya mencabut permata itu keluar dari tongkat, kemudian ia mematahkan tongkat menjadi dua dan menyambit dua potongan tongkat itu ke arah Cui Kim dan Hak Lui. Kasihan sekali dua orang muda ini yang tanpa dapat berteriak lagi harus melepaskan nyawanya karena potongan-potongan tongkat itu lantas menghancurkan kepala mereka.


Kui-bo Thai-houw masih penasaran, takut jika batu kemala itu palsu. Tadi dia telah tertarik oleh Wi Liong, bukan saja tertarik oleh ketampanan pemuda ini, tetapi karena dia pun tahu bahwa pemuda itu pingsan karena semacam racun yang kuat. Maka dia lalu menghampiri Wi Liong, mendekatkan mukanya ke muka pemuda itu. Ketika ia mencium bau harum luar biasa yang membuat kepalanya tiba-tiba pening, cepat-cepat ia membawa batu kemala itu ke hidungnya.

Ia tersenyum karena seketika itu juga kepeningan kepalanya lenyap. Ia lalu mendekatkan batu kemala itu ke bawah hidung Wi Liong, menggosok-gosoknya sebentar. Warna merah yang tidak sewajarnya itu cepat sekali menghilang dari muka Wi Liong, napasnya menjadi normal dan pemuda ini mengeluarkan keluhan, tangannya bergerak perlahan.

Kui-bo Thai-houw tertawa puas. Tidak salah lagi, inilah Ngo-heng-giok-cu. Ia lalu memberi isyarat kepada empat orang pelayan dan kepada Kun Hong untuk pergi dari situ.

Dengan tindakan lemah lembut wanita hebat ini lalu meninggalkan tempat itu, diikuti oleh empat orang pelayannya. Kun Hong juga meninggalkan tempat itu akan tetapi lebih dulu dia menghampiri Eng Lan dan menyambar tubuh gadis itu, dipanggulnya dan dibawa pergi menyusul Kui-bo Thai-houw!

Wi Liong membuka matanya dan ia merasa seperti baru sadar dari tidur yang enak sekali. Kemudian dia teringat dan cepat dia bangun, apa lagi setelah mendengar suara tangisan riuh-rendah di sekelilingnya. Ia melompat dan melihat keadaan yang mengerikan.

Tempat itu penuh dengan mayat, tidak saja mayat Cui Kim, Hak Lui, Sui-toanio dan lima orang kakek Ngo-heng-tin, akan tetapi juga mayat belasan orang anak buah Ngo-tok-kauw yang tadi menjadi korban ketika tamu-tamu agung itu pergi dan mereka hendak membela kematian kauwcu mereka.

Ketika melihat semua ini dan mendapat kenyataan pula bahwa Eng Lan tidak berada di situ, Wi Liong seketika menjadi cekatan dan waras kembali.

"Apa yang sudah terjadi? Siapakah membunuh mereka dan mana nona Pui...?" tanyanya kepada orang-orang yang sedang menangisi kematian pemimpin-pemimpin mereka itu.

"Siapa lagi kalau bukan iblis-iblis Ban-mo-to? Nona tawanan itu pun mereka bawa pergi..." jawab seorang anggota Ngo-tok-kauw.

Mendengar ini, tanpa berkata apa-apa lagi Wi Liong cepat melompat pergi dari tempat itu untuk mengejar orang-orang Ban-mo-to. Ia dapat menduga bahwa tadi Kui-bo Thai-houw kembali datang mengacau dan membunuhi orang-orang Ngo-tok-kauw, bahkan kini sudah menculik Eng Lan pula. Apa maksudnya menculik Eng Lan?

Selagi ia berlari-lari di dalam hutan, tiba-tiba muncul Pak-thian Koai-jin. Kakek ini tampak girang ketika mengenalnya.

"Eh, ehh, kau sudah bisa membebaskan diri? Syukur... syukur... dan mana Eng Lan?"

Dari ucapan ini saja Wi Liong tahu bahwa kakek ini tadi sudah melihat dia dan Eng Lan tertawan akan tetapi tidak kuasa menolong, maka dia pun menuturkan dengan singkat,

"Selagi aku pingsan Ngo-tok-kauw diserbu orang-orang Ban-mo-to, lalu para pemimpinnya dibunuh dan tahu-tahu Eng Lan mereka bawa pergi. Aku hendak menyusul ke Ban-mo-to untuk menolongnya."

Pak-thian Koai-jin nampak terkejut. "Ayaaa...! Anak itu memang bernasib baik...!"

Wi Liong mau tak mau melongo mendengar kata-kata ini.

"Bernasib baik? Bagaimana maksud locianpwe? Bukankah dia berada dalam bahaya?"

Pak-thian Koai-jin mengangguk-angguk. "Justru itulah kukatakan dia bernasib baik, selalu dalam bahaya akan tetapi aku percaya selalu akan tertolong. Coba saja pikir, mana ada orang yang begitu banyak menghadapi pengalaman-pengalaman hebat seperti dia? Baru saja ditawan Ngo-tok-kauw, sekarang ditawan orang-orang Ban-mo-to! Dia ditawan berarti tidak dibunuh, dan ini berarti dia masih ada harapan ditolong."

Memang Pak-thian Koai-jin kalau bicara seenaknya saja, akan tetapi diam-diam Wi Liong harus membenarkan pendapatnya itu biar pun kedengarannya aneh.

"Betapa pun juga, locianpwe, aku sudah lama mendengar tentang kekejaman orang-orang Ban-mo-to yang kabarnya tidak kalah oleh Thai Khek Sian dan orang-orang Mokauw yang lain, tentu saja jauh lebih kejam dari pada Ngo-tok-kauw. Sekarang lebih baik kita cepat-cepat menyusul dan berusaha menolong muridmu itu."

Tiba-tiba saja kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, sekarang kelihatan ekormu! Jadi kau mencinta muridku? Bagus... bagus... setelah dia tertolong akan kuusahakan agar dia mau menerimamu... ha-ha-ha!"

Wi Liong terkejut dan mengerutkan keningnya, kemudian berkata dengan suara sungguh-sungguh, "Locianpwe, bagaimana kau bisa bilang begitu? Aku... aku tidak bisa mencinta dia, juga tidak mencinta wanita lain, aku hendak menolongnya karena itu sudah menjadi kewajibanku. Kuharap mulai sekarang locianpwe jangan mengganggu muridmu itu tentang perjodohannya dengan aku, karena jika aku tidak salah terka, muridmu itu mencinta Kun Hong dan ini baik sekali. Sebagai gurunya seyogianya Locianpwe membantunya supaya dia dapat berjodoh dengan pilihan hatinya sendiri, jangan malah merintangi."

Pak-thian Koai-jin melengak mendengar kata-kata yang panjang lebar ini. Jelas sekali dia kecewa, lalu mengomel sambil menghela napas panjang pendek,

"Apa kau kira aku tidak tahu bahwa dia tergila-gila pada Kun Hong? Ke mana-mana aku mengikutinya dan mencarikan batu Im-yang-giok-cu, apakah itu semua bukan karena aku hendak membantunya menolong Kun Hong? Hanya saja, aku lebih suka bila dia memilih engkau. Tetapi sudahlah... orang-orang muda jaman sekarang memang keras kepala..."

"Locianpwe, mari segera menyusul orang-orang Ban-mo-to, jangan sampai kita terlambat sehingga terjadi apa-apa dengan muridmu itu."

Teringat akan hal ini, Pak-thian Koai-jin menjadi bersemangat lagi dan berangkatlah dua orang itu, berlari cepat ke arah timur untuk menyusul orang-orang Ban-mo-to. Baru saja mereka keluar dari hutan itu dan tiba di jalan besar, terdengar seruan nyaring sekali dari kanan,

"Haaaiii! Bukankah itu Pak-thian Koai-jin yang di depan?"

Pak-thian Koai-jin dan Wi Liong berhenti lalu membalikkan tubuh. Seorang laki-laki tinggi besar dan berpakaian panglima perang dengan langkah lebar berlari-lari ke arah mereka.

"See-thian Hoat-ong, dari mana kau berlari-lari seorang diri? Apa hendak maju perang?" Pak-thian Koai-jin menyambut kawan ini dengan kelakarnya.

"Hendak menengoki Kong Bu, puteraku yang pada waktu ini bertugas di pantai timur. Kau hendak ke mana dan ini..." See-thian Hoat-ong sudah sampai di depan mereka dan tiba-tiba kata-katanya terhenti ketika dia mengenal Wi Liong. Mukanya berubah dan sepasang alis yang tebal itu berkerut menandakan hatinya tak senang.

"Hemmm, orang muda she Thio. Jadi kau masih hidup?"

Wi Liong menjura memberi hormat sambil berkata dengan senyum, "Berkat doa restu lo-enghiong, siauwte masih dapat bernapas sampai sekarang."

Jawaban ini merupakan tangkisan serangan sekaligus pembalasan atas sikap yang tidak menyenangkan dan kata-kata teguran yang tidak semestinya tadi, akan tetapi See-thian Hoat-ong yang jujur, seperti tidak merasakan ini. Malah ia menjawab,

"Siapa yang mendoakan kau hidup? Lebih baik kau mati saja di jurang itu dari pada hidup menanggung dosa-dosa besar. Keluarga Kwa hancur berantakan karena kau. Kwa-suheng dan isterinya yang baru saja berkumpul kembali setelah belasan tahun, karena kau maka menjadi terpisah lagi dan kini masing-masing entah berada di mana. Dan yang lebih hebat lagi, karena kau Siok Lan menghabiskan hidupnya, mati muda. Kasihan sekali! Bukankah semua dosa ini adalah perbuatanmu?”

Mendengar ucapan itu tadinya muka Wi Liong menjadi merah, akan tetapi kalimat terakhir yang menyatakan bahwa Siok Lan mati, seketika membuat mukanya menjadi pucat dan suaranya menggigil ketika dia membantah,

"Lo-enghiong harap jangan main-main. Belum lama ini dengan sepasang mata sendiri aku melihat nona Kwa Siok Lan melangsungkan pesta pernikahannya dan sekarang dia sudah menjadi nyonya yang berbahagia dan terhormat dari Wu-kiang Siauw-ong Chi Kian yang terkenal dengan sebutan Chi-loya seorang gagah perkasa, budiman dan pengaruhnya di wilayah Sungai Wu-kiang sangat besar. Bagaimana lo-enghiong sekarang secara ngawur menyatakan bahwa dia mati muda?"

"Ho-ho-ho, jadi kau sudah tahu akan hal itu, he? Kau tahu kepala tapi tidak tahu ekornya. Baiklah, sekarang kau dengarkan dari aku, ingin kulihat bagaimana sikapmu, orang muda perusak rumah tangga orang. Dengarlah baik-baik. Memang betul Siok Lan telah menikah dengan Chi Kian. Kau kira aku tidak tahu? Aku pun baru saja datang ke sana karena ingin mengurus hal itu, ingin menegur Chi Kian mengapa tahu-tahu dia bisa menikah dengan murid keponakanku. Dan kau tahu apa yang kulihat di sana? Hanya makam Siok Lan dan makam Chi Kian! Kau tahu apa yang terjadi menurut para penduduk di sana? Semenjak kau pengacau ini datang lalu pergi, Siok Lan kemudian menyusul ke sungai dan menusuk dada sendiri dengan pedang sambil melompat ke sungai disusul oleh Chi Kian yang tidak pandai berenang tetapi dengan nekat hendak menolong isterinya. Maka matilah mereka. Sekarang coba katakan, kalau bukan untuk kau mengapa Siok Lan melakukan perbuatan gila merampas nyawa sendiri itu?”

Wajah Wi Liong makin pucat, kakinya menggigil lalu tanpa daya lagi dia pun jatuh berlutut di depan See-thian Hoat-ong. "Lo-enghiong... demi Tuhan, tidak bohongkah kata-katamu ini...?" Suaranya pilu dan gemetar, matanya yang memandang See-thian Hoat-ong benar-benar memelas (menimbulkan kasihan).

Agak reda kemarahan See-thian Hoat-ong melihat keadaan Wi Liong ini. Dia terkejut juga dan diam-diam dia harus mengaku bahwa pemuda ini memang betul-betul mencinta Siok Lan. Akan tetapi ia mendongkol sekali mendengar pertanyaan Wi Liong yang seakan-akan tidak percaya kepadanya.

"Selama hidup aku tak pernah membohong, tidak seperti kau!" jawabnya ketus.

"Siok Lan...!" Wi Liong memekik kemudian roboh pingsan!

See-thian Hoat-ong dan Pak-thian Koai-jin saling pandang, kemudian mereka menoleh ke arah tubuh pemuda yang pingsan itu. Pak-thian Koai-jin menggeleng-geleng kepala.

"Sayang... sayang... orang muda gagah menjadi lemah karena cinta kasih..."

See-thian Hoat-ong sebaliknya menjadi kasihan sekali terhadap pemuda ini. Ia tidak tahu bagaimanakah sebenarnya hubungan antara pemuda ini dan Siok Lan yang kelihatannya begitu penuh rahasia. Dia hanya berdiri dengan dua kaki terpentang sambil mengelus-elus dagunya, melihat Pak-thian Koai-jin yang sedang mengurut jalan darah di belakang kepala Wi Liong.

Tak lama kemudian pemuda itu sudah sadar kembali. Pemuda ini siuman, bangun duduk, menggeleng-geleng kepala lalu tersenyum! Dia hanya berkata perlahan, akan tetapi dapat terdengar oleh dua orang kakek itu,

"Bagus, Siok Lan, kau sudah mengakali aku... aku terima kalah dan biarlah sisa hidupku penuh penderitaan batin sebagai hukuman kebodohanku..."

"Wi Liong, kau ini pemuda macam apa? Mengapa begini lemah? Yang sudah mati biarlah mati. Apa enaknya orang hidup? Hidup baru enak kalau bisa menolong orang hidup yang lain. Sekarang Eng Lan dalam bahaya, apa artinya hidupmu bila kau tidak bisa menolong orang lain yang sengsara?" kata Pak-thian Koai-jin sambil menepuk pundak pemuda itu.

Ucapan orang aneh yang kadang-kadang seenak perutnya sendiri itu kali ini benar-benar menancap di ulu hati Wi Liong. Pemuda ini serentak bangun, menoleh kepadanya lantas berkata, "Kau betul, locianpwe. Mari kita kejar iblis-iblis Ban-mo-to!"

Pak-thian Koai-jin girang sekali. "Eh, panglima tua, kau bilang anakmu bertugas di pantai timur? Kalau begitu kita sejalan, hayo kita jalan bersama."

See-thian Hoat-ong terpaksa ikut berlari mendampingi dua orang itu dan ia bertanya, "Ada terjadi apa sih dengan nona Eng Lan?"

Sambil berlari Pak-thian Koai-jin lalu menceritakan secara singkat apa yang telah ia alami menghadapi Ngo-tok-kauw dan bagaimana Eng Lan terculik oleh orang-orang Ban-mo-to yang menyerbu perkumpulan Agama Lima Racun itu. Mendengar penuturan itu, See-thian Hoat-ong berkata marah,

"Sejak lama Kui-bo Thai-houw di Ban-mo-to melakukan perbuatan sewenang-wenang dan mengandalkan kepandaian sendiri menghina orang lain. Benar-benar keterlaluan apa bila dalam membasmi Ngo-tok-kauw dia masih menculik muridmu. Pak-thian Koai-jin, biar pun aku belum tentu bisa menangkan Kui-bo Thai-houw, tapi percayalah, golok besarku masih cukup tajam untuk kupakai membantumu menyerbu ke Ban-mo-to!"

Tentu saja Pak-thian Koai-jin girang sekali dan ia memang membutuhkan bantuan orang-orang pandai seperti See-thian Hoat-ong ini. Mereka bertiga lalu melanjutkan perjalanan lebih cepat lagi.

Dasar ketiganya adalah orang-orang yang mempunyai kepandaian ilmu silat tinggi, maka perjalanan itu dilakukan sangat cepat. Mereka menggunakan ilmu lari yang kecepatannya tak kalah dengan orang menunggang kuda sehingga sebentar saja mereka sudah melalui beberapa puluh li dan dalam waktu sehari mereka telah melewati jarak yang jauh sekali.

Pada suatu siang ketika tiga orang ini sudah mendekati pantai timur, ketika tiba di daerah yang berbukit batu karang, mereka mendengar suara orang mengeluh dan mencaci-maki.

"Itu suara Bu-ji (anak Bu)...!" kata See-thian Hoat-ong.

Tergesa-gesa mereka segera menuju ke tempat itu. Ketika mereka melewati sebuah batu besar, benar saja mereka melihat pemuda gagah itu, Kong Bu, yang sedang berdiri sambil mengaduh-aduh memegangi pundak kanannya yang berdarah.

Pemuda ini nampak kesakitan sekali. Dia menyumpah-nyumpah dan sikapnya yang kasar jujur ini benar-benar serupa dengan watak ayahnya, See-thiari Hoat-ong. Juga wajah dan bentuk tubuhnya yang kekar serupa benar dengan ayahnya.

"Aduh... aduh... keparat Beng Kun Cinjin..." pemuda itu mengeluh dan memaki-maki.

"Bu-ji, kau kenapa?" ayahnya berseru keras sambil lari menghampiri puteranya.

Agaknya saking menahan sakit dan kemarahan, Kong Bu tadi tak melihat datangnya tiga orang itu. Mendengar suara ayahnya, dia mengangkat muka dan jalan terpincang-pincang menghampiri ayahnya, menjatuhkan diri berlutut dan berkata,

"Ayah, harap ayah balaskan penghinaan ini dan tolong dua nona Liok...!"

"Nanti dulu soal itu. Sekarang kau maju ke sini, coba kuperiksa lukamu," kata ayahnya.

Kong Bu berdiri dan melangkah maju. See-thian Hoat-ong memeriksa luka di pundak dan paha. Pak-thian Koai-jin dan Wi Liong juga turut memeriksa.

Luka di pundak pemuda ini tidak besar akan tetapi warna biru kehitaman di sekitar luka itu yang makin membesar amat mengkhawatirkan. Juga pahanya yang hanya luka sebesar tusukan jarum terasa sakit dan berwarna hitam pula.

"Hemm, agaknya terluka oleh senjata beracun..." kata See-thian Hoat-ong.

"Seperti pukulan Hek-tok-sin-ciang!" tiba-tiba Wi Liong berseru heran.

Ia tahu bahwa Hek-tok-sin-ciang (Tangan Sakti Racun Hitam) ini adalah sebuah di antara ilmu-ilmu lihai dari Thai Khek Sian. Kiranya hanya Thai Khek Sian atau Kun Hong sebagai murid tokoh itu yang mampu melakukannya. Tapi seingatnya Kun Hong tidak memelihara kuku panjang, sedangkan untuk menggunakan ilmu ini diperlukan kuku panjang sebagai senjata. Kuku-kuku jari tangan yang direndam racun akan merupakan senjata yang amat ampuh dalam menggunakan Hek-tok-sin-ciang.

"Mungkinkah Thai Khek Sian keluyuran sampai di sini?"

Mendengar ini Kong Bu cepat memandang kepada Wi Liong dengan heran. "Bagaimana kau bisa tahu? Ayah, siapakah saudara ini?"

"Dia Thio Wi Liong, murid Thian Te Cu. Bu-ji, apa yang terjadi? Betulkah kau terluka oleh Thai Khek Sian?”

"Memang betul, ayah. Beng Kun-Cinjin datang bersama Thai Khek Sian, maksudnya Thai Khek Sian hendak mengundang Thai It Cinjin untuk menghadiri pertemuan di Pek-go-to yang akan diadakan oleh Thai Khek Sian pada musim semi tahun depan. Akan tetapi iblis itu melihat dua orang nona Liok murid Thai It Cinjin, lalu dia menculik mereka. Aku melihat dan mencoba mencegahnya, akan tetapi dua pukulannya membuat aku roboh."

See-thian Hoat-ong mengerutkan alisnya yang gompyok. "Bukankah Beng Kun Cinjin itu masih keponakan Thai It Cinjin? Mengapa datang bersama Thai Khek Sian?"

"Itulah yang amat menggemaskan," kata Kong Bu sambil mengertak gigi menahan sakit. "Tadinya ia bersembunyi di Kim-le-san sini bersama Thai It Cinjin. Akan tetapi sejak dua nona Liok menghalanginya membunuh Kun Hong, agaknya dia mendendam dan marah. Dia pergi tanpa pamit dan tahu-tahu telah bersekutu dengan Thai Khek Sian. Mungkin dia juga yang membujuk iblis itu untuk menculik ji-wi Liok-moi..." Dia berhenti sebentar dan nampak gelisah sekali, gelisah memikirkan dua orang gadis itu tanpa mempedulikan rasa sakit pada tubuhnya sendiri. Hal ini mudah dimengerti oleh karena Liok Hui Nio adalah tunangannya dan Liok Hui San adik tunangannya itu!.

"Ayah, harap ayah suka menolong dua nona itu. Ayah, kejarlah Thai Khek Sian dan minta kembali Hui Nio dan Hui Sian!"

See-thian Hoat-ong jadi bingung. Permintaan puteranya ini hanya mudah diucapkan akan tetapi sungguh sangat sukar dilaksanakan. Bagaimana dia dapat menghadapi Thai Khek Sian? Membantu Pak-thian Koai-jin yang hendak menolong muridnya dari Ban-mo to saja sudah sukar, apa lagi sekarang harus menolong dua orang nona dari tangan Thai Khek Sian, seorang diri lagi!

Selagi ia termangu-mangu, Wi Liong cepat berkata, "Lo-enghiong, biarlah aku yang pergi menyusul Thai Khek Sian dan mencoba menolong dua orang nona Liok." Kemudian dia berpaling kepada Pak-thian Koai-jin dan berkata. "Locianpwe, sekarang timbul dua urusan yang hampir sama sifatnya dan keduanya memerlukan bantuan kita untuk menolongnya. Nona Pui Eng Lan perlu sekali ditolong, demikian juga dengan dua orang nona Liok, dan semuanya memerlukan pertolongan cepat. Sebab itu sebaiknya kita membagi tugas. Biar aku yang mengejar Thai Khek Sian dan mencoba menolong ji-wi Liok siocia, sedangkan locianpwe bersama lo-enghiong pergi ke Ban-mo-to menolong nona Pui. Aku tidak begitu mengkhawatirkan keselamatan nona Pui karena aku menduga bahwa Kun Hong berada di Ban-mo-to kalau menilik dari penuturan Kong-ciangkun tadi. Bahkan agaknya Kun Hong yang sudah membawa pergi nona Eng Lan. Benar tidaknya harap locianpwe selidiki di Ban-mo-to."

Karena ucapan ini memang beralasan, Pak-thian Koai-jin dan See-thian Hoat-ong tidak dapat membantah lagi. Akan tetapi Kong Bu ragu-ragu. Masa urusan begitu pentingnya, menolong dua orang gadis itu dari tangan iblis Thai Khek Sian, harus diserahkan kepada pemuda yang nampak lemah ini?

"Ayah, Thai Khek Sian itu sangat lihai dan berbahaya... bagaimana saudara Thio ini bisa pergi sendiri saja?"

"Hemm, kau tidak tahu. Sepuluh orang ayahmu ini masih belum mampu menandingi dia seorang," kata See-thian Hoat-ong yang sudah tahu akan kelihaian murid Thian Te Cu itu.

Kong Bu tercengang dan girang sekali. Ia memberi hormat dengan amat canggung karena pundaknya sakit, lalu berkata. "Maaf aku bermata tidak dapat melihat orang pandai. Kalau saudara Thio yang akan menolong ji-wi Liok-siocia, itulah baik sekali. Tentang urusan ke Ban-mo-to kalau perlu bantuan, kiranya Thai It Cinjin dan Im-yang Siang-cu berdua tentu suka menolong, apa lagi kalau mendengar bahwa saudara Thio mau menolong ji-wi Liok-siocia. Biar aku yang akan minta bantuan mereka."

Wi Liong mengangguk-angguk. "Tepat sekali. Kong-ciangkun sendiri juga harus berobat, dan obat yang paling baik bagi pengusiran racun berada di tangan Kui-bo Thai-houw, yaitu Ngo-heng-giok-cu yang dirampasnya dari Ngo-tok-kauw belum lama ini."

Wi Liong memang sudah melihat betapa tongkat pendek lambang Ngo-tok-kauw itu telah patah dan batu kemala Ngo-heng-giok-cu sudah lenyap. Siapa lagi yang mengambilnya kalau bukan pentolan Ban-mo-to itu?

Demikianlah, sesudah semua setuju, Wi Liong lalu berpisah dari tiga orang itu. Ia berlari cepat sekali dan sekali berkelebat ia lenyap, membuat Kong Bu kagum dan baru percaya bahwa pemuda itu betul-betul lihai. Tadinya ia sudah amat kagum melihat Kun Hong yang dianggapnya lihai sekali dan jarang tandingannya, akan tetapi siapa sangka sekarang ada pemuda ke dua yang juga luar biasa lihainya.

Sementara itu Wi Liong melakukan perjalanan cepat sekali. Ia sudah tidak sabar dan ingin cepat-cepat pergi ke Pek-go-to, pulau yang menjadi sarang Thai Khek Sian bersama kaki tangannya. Yang membuat Wi Liong buru-buru mengajukan diri untuk mengejar Thai Khek Sian bukan hanya karena ingin menolong dua orang gadis she Liok yang tidak dikenalnya. Kalau bicara tentang menolong, tentu saja dia lebih mengutamakan untuk menolong Eng Lan, karena gadis ini sudah dikenalnya.

Akan tetapi, tadi ia mendengar disebutnya nama Beng Kun Cinjin! Nama yang sudah lama dicari-carinya, yang sudah lama ingin dia jumpai, nama musuh besarnya, pembunuh ayah bundanya! Tentu saja mendengar nama ini ia mengesampingkan urusan-urusan yang lain dan mengutamakan mengejar Beng Kun Cinjin.

Jadi sebenarnya ia bukan hanya hendak menolong dua orang saudara Liok dan mengejar Thai Khek Sian, melainkan lebih penting lagi ia hendak mengejar Beng Kun Cinjin, musuh besar yang tahu-tahu sekarang muncul di samping Thai Khek Sian, hal yang sama sekali tak pernah disangka-sangkanya itu…..

********************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar