Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 14

Phang Kong sudah membawa pedang bengkoknya yang tadi dipungutnya dari atas lantai, sedangkan Phang Hui telah memegang goloknya. Sikap dua orang ini mengancam, sebab mereka memang ingin menumpahkan sakit hati mereka kepada siucai ini sebagai kawan Kam Ceng Swi.

"Cacing buku, kau mau apa?" bentak Phang Hui dan goloknya ditodongkan di depan dada siucai itu, sikapnya mengancam sekali.

Siucai itu tersenyum tenang, sama sekali tidak takut biar pun ujung golok yang runcing itu sudah menempel di depan dadanya. Juga kini Phang Kong sudah menempelkan pedang bengkoknya ke lehernya!

"Tadi kalian ini sudah keok oleh Kam-lo-enghiong, kok sekarang hendak menjual lagak di depanku? Malu ahh!"

Merahlah muka kedua orang ketua Hai-Iiong-pang itu. "Olehmu aku belum kalah!" bentak Phang Hui.

"Belek saja dadanya!" kata Phang Kong.

Dia sendiri segera menggerakkan pedangnya, dibacokkan ke leher, sedangkan Phang Hui menusukkan goloknya ke dada. Agaknya siucai muda yang wajahnya tampan dan gerak-geriknya halus itu akan mati konyol di sana, demikian tentu pendapat semua orang kalau melihat adegan ini.

Akan tetapi benar-benar di luar dugaan karena tiba-tiba, entah mengapa, Phang Kong dan Phang Hui berhenti bergerak dan tubuh mereka kaku dalam sikap menyerang seperti tadi, seolah-olah secara mendadak mereka telah berubah menjadi batu.

"Dua orang perempuan tamu itu terlalu ganas, mengapa kalian tidak melarang?" kata lagi pemuda itu dan sekarang dia kelihatan menggerakkan kedua tangan ke arah Phang Kong dan Phang Hui.

Tubuh dua orang ketua Hai-liong-pang yang sudah kaku itu langsung melayang ke tempat pertempuran! Dengan tepat sekali dua tubuh ketua itu menimpa dua orang wanita utusan Pek-go-to yang sedang mendesak Kam Ceng Swi dengan pedang mereka!

Tentu saja dua orang wanita itu kaget sekali melihat Phang Kong dan Phang Hui tiba-tiba datang menubruk mereka. Kalau saja mereka tidak melihat sikap yang sangat aneh dari dua orang tuan rumah itu, tentu mereka akan menyambut dengan tusukan pedang. Akan tetapi melihat gerak-gerik yang kaku dan tidak sewajarnya dari Phang Kong dan Phang Hui, dua orang wanita muda itu cepat melompat ke samping dan terpaksa meninggalkan Kam Ceng Swi yang dapat melangkah mundur terlepas dari desakan hebat.

"Brukk! Brukk!"

Tubuh Phang Kong dan Phang Hui jatuh terbanting ke atas lantai, akan tetapi tetap saja mereka tidak bergerak dan kedudukan tubuh masih seperti tadi, dalam sikap menyerang! Benar-benar aneh dan lucu keadaan dua orang itu. Mereka seperti boneka-boneka besar yang digeletakkan di atas lantai.

Dengan sekali pandang saja tahulah dua orang wanita itu bahwa Phang Kong dan Phang Hui telah kena ditotok orang dan mereka pun terkejut. Tidak mereka sangka bahwa siucai yang sekarang masih berdiri sambil tersenyum-senyum itu ternyata adalah seorang yang memiliki kepandaian juga!

Sementara itu, Kam Ceng Swi yang biar pun sudah menduga bahwa pemuda ini memiliki kepandaian akan tetapi tidak menyangka sedemikian lihainya sehingga bisa menolongnya dari bahaya maut, tertawa terbahak-bahak lalu piannya membuat suara "tar-tar-tar" diikuti oleh suara nyanyiannya,

"Pendekar sejati tidak memperlihatkan kegagahannya,
ahli ilmu perang tidak menunjukkan kemarahannya,
yang pandai mengalahkan musuh tidak bertengkar dengannya,
yang pandai mengepalai orang merendahkan diri kepadanya.
Inilah yang disebut:
Sakti yang tidak merebut,
atau cara mempergunakan orang,
atau penyesuaian dengan Langit!

Nyanyian yang dilantunkan oleh Kam Ceng Swi itu adalah sajak yang ada di dalam kitab To-tik-king. Dia menyanyikan sajak tadi untuk memuji pemuda sasterawan itu. Kemudian dia menjura kepada pemuda itu dan berkata.

"Sejak tadi lohu sudah menduga bahwa kau tentu seorang pendekar muda bun-bu-coan-jai (pandai sastera dan silat). Kiranya kenyataan malah jauh melampaui dugaan."

Pemuda itu tersenyum dan cepat membalas penghormatan kakek itu. "Kam-lo-enghiong (orang tua gagah she Kam) terlampau memuji. Kaulah seorang tua yang patut dijadikan teladan, gagah berani dan bersemangat. Aku yang muda benar-benar tunduk dan takluk."

Dua orang ini berbicara seakan-akan di situ tidak ada lain orang. Tentu saja perempuan-perempuan muda dari Pek-go-to menjadi amat mendongkol, lebih-lebih kepada Phang Hui dan Phang Kong yang mereka anggap tolol dan mendatangkan malu saja. Dengan ujung sepatu mereka yang runcing dan kecil itu mereka lantas menendang tubuh Phang Kong dan Phang Hui yang dalam sekejap mata saja mampu bergerak lagi lalu merayap bangun sambil mengaduh-aduh.

Melihat ini, pemuda sasterawan itu diam-diam memuji. Dapat memulihkan totokan dengan ujung sepatu berarti telah memiliki ilmu tendangan yang hebat sekali, berarti pula dengan tendangan ujung kaki dapat menotok jalan darah orang. Pantas saja Kam Ceng Swi tidak dapat menangkan mereka, karena orang-orang yang telah mempunyai kepandaian seperti itu berarti sudah mencapai tingkat yang tinggi.

Sesudah membebaskan Phang Kong dan Phang Hui, dua orang perempuan muda itu lalu melangkah maju menghadapi pemuda itu. Kembali mereka tersenyum-senyum manis dan mata mereka memandang penuh gairah, mesra dan genit.

Harus mereka akui bahwa jarang mereka bertemu dengan seorang pemuda setampan ini, dengan kulit muka yang putih halus, alis hitam tebal mata bersinar-sinar, hidung mancung dan bibir merah berbentuk bagus dan gagah.

"Kiranya kongcu yang bersikap lemah seperti seorang siucai juga memiliki ilmu silat yang tinggi. Benar-benar mengagumkan sekali. Siauwmoi (adikmu yang muda) Cheng ln (Awan Hijau) dan ini enci-ku Ang Hwa (Bunga Merah) mohon sedikit petunjuk dari kongcu yang ingin sekali kami ketahui namanya yang mulia." Ucapan yang keluar dari bibir merah dara baju hijau itu terdengar sangat merdu dengan suara mengalun naik turun, mesra menarik. Sedangkan si baju ungu yang bernama Ang Hwa itu melirak-lirik dengan senyum-senyum simpul pula.

Wajah pemuda itu menjadi merah. Biar pun dia belum memiliki pengalaman sama sekali dengan wanita dan tidak tahu apa maksud dua orang gadis cantik itu tersenyum-senyum dan melirak-lirik, namun perasaannya memberi-tahukan bahwa ia menghadapi dua orang perempuan cabul dan genit sehingga membuat dia merasa jengah dan malu-malu. Tetapi karena mendengar ucapan orang merendah, dia pun menjawab dengan suara menyindir.

"Meski kelihatan lemah aku adalah seorang laki-laki sejati, apa anehnya memiliki sedikit kepandaian untuk menjaga diri? Sebaliknya, ji-wi adalah nona-nona muda yang kelihatan amat lemah, tidak nyana memiliki ilmu silat yang demikian ganas!"

Ang Hwa tertawa sambil menutupi mulut dengan tangan kirinya, pedangnya dilintangkan di depan dada dengan sikap aksi sekali.

"Kongcu tampan yang baik, dalam jaman seperti ini kalau kami wanita-wanita lemah tidak mengandalkan pedang dan kecepatan, bukankah kami ini hanya akan menjadi permainan pria seperti kembang-kembang yang tiada berduri dan tidak ada yang membela?" Ucapan ini disertai kerling mata yang amat menarik dan penuh arti. Akan tetapi mana pemuda itu mengerti? ”Kongcu telah mengetahui nama kami, akan tetapi pertanyaan adikku Cheng In tadi belum kongcu jawab. Siapakah nama besar kongcu dan dari partai mana?”

Pemuda itu tersenyum dan kembali hati dua orang perempuan itu dak-dik-duk tak karuan. "Orang seperti aku ini mana mempunyai nama besar? Diberi-tahu juga tidak akan kenal. Akan tetapi supaya jangan disangka orang aku menyembunyikan nama dan takut dikenal orang, biarlah ji-wi ketahui bahwa aku she Thio bernama Wi Liong. Dari partai mana aku sendiri pun tidak tahu karena sepanjang pengetahuanku, aku belum pernah masuk partai mana pun dan hanya mempelajari sedikit ilmu penjaga diri."

Pada saat pemuda itu menyebut namanya, Seng-goat-pian Kam Ceng Swi mendengarkan penuh perhatian. Ia merasa pernah mendengar nama Thio Wi Liong ini akan tetapi sudah lupa lagi entah kapan dan di mana.

Tentu para pembaca masih ingat akan nama ini. Tak salah lagi, pemuda ini adalah bocah yang dulu dibawa oleh pamannya, Kwee Sun Tek, ke puncak Kun-lun-san untuk mencari tokoh Siauw-lim yang berada di puncak. Pemuda ini adalah putera tunggal Thio Houw dan Kwee Goat yang sudah tewas oleh guru mereka sendiri, Beng Kun Cinjin dan anak-anak buahnya, yaitu para pengawal istana Jengis Khan!

Seperti telah dituturkan pada bagian depan, ketika Thio Wi Liong dibawa naik ke puncak Kun-lun-san oleh pamannya yang sudah buta oleh Beng Kun Cinjin, terjadi keributan di puncak itu dengan munculnya dua orang tokoh Mokauw yang lihai, yaitu Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li.

Dua orang manusia iblis ini sudah menculik Wi Liong dan seorang bocah lain, yaitu Kam Kun Hong anak pungut Kam Ceng Swi. Akan tetapi di tengah jalan Wi Liong dirampas dari tangan dua orang iblis itu oleh Thian Te Cu Si Mayat Hidup, tokoh aneh yang jarang sekali muncul di dunia ramai dan tidak mau tahu tentang urusan dunia.

Sebagai seorang ahli ramal atau ahli perbintangan, Thian Te Cu maklum bahwa Thio Wi Liong adalah seorang bocah yang selain berbakat baik sekali, juga berjodoh dengan dia, seorang bocah yang patut mewarisi kepandaian tinggi karena memiliki watak yang boleh dipercaya dan mempunyai pembawaan seorang ksatria dan pendekar budiman. Sebab itu Thian Te Cu lalu membawa Wi Liong ke Wuyi-san di mana ia bertapa dan menggembleng bocah itu, mewariskan semua kepandaian ilmu silat yang tinggi dan jarang tandingannya di dunia kang-ouw.

Wi Liong adalah seorang anak yang amat berbakti. Biar pun ia merasa aman dan senang berada di puncak Gunung Wuyi-san, akan tetapi hatinya selalu gelisah dan berduka kalau ia mengingat keadaan pamannya yang buta. Bagaimana dengan keadaan pamannya itu? Siapa yang akan menuntunnya kalau berjalan? Dan siapa yang akan mencarikan sesuap nasi?

Thian Te Cu berpemandangan awas. Tanpa bertanya dia sudah dapat membaca isi hati muridnya. Pada suatu hari ia berpesan supaya muridnya itu berlatih baik-baik dan tinggal seorang diri di puncak karena dia mau turun gunung untuk beberapa bulan lamanya. Dan dapat dibayangkan betapa girang hati bocah itu ketika gurunya pulang bersama dengan pamannya, Kwee Sun Tek yang buta!

Paman dan keponakannya saling peluk dengan air mata mengalir turun saking bahagia dan girang. Mulai saat itu, Kwee Sun Tek juga tinggal di Wuyi-san, bahkan dia menerima pelajaran ilmu batin yang tinggi, juga ilmu silatnya bertambah maju dengan pesat sekali di bawah petunjuk Thian Te Cu.

Sepuluh tahun lewat dengan amat cepatnya dan selama itu, belum pernah sehari pun Wi Liong dan pamannya meninggalkan puncak Wuyi-san, Mereka nampaknya hidup dengan amat tenteram, aman damai tidak membutuhkan apa-apa.

Akan tetapi dalam hati Kwee Sun Tek yang matanya buta itu selalu menyala api dendam yang tak kunjung padam, bahkan ada kalanya berkobar-kobar hingga membuat dia seperti gila menahan kemarahannya. Hanya berkat ilmu batin yang banyak dia pelajari maka dia dapat menahan diri dan selama itu dia selalu menyimpan rahasia hatinya.

Pernah Wi Liong bertanya tentang ayah bundanya, namun hanya dijawab singkat bahwa ayah bundanya telah meninggal dan kelak bila sudah tiba masanya ia akan menceritakan dengan jelas tentang ayah bundanya itu.

Pedang Cheng-hoa-kiam tak pernah disentuhnya, juga dia melarang keponakannya untuk menjamahnya. Dia menaruh pedang itu di dalam sebuah peti dan menyimpan peti itu di sebuah ruangan kosong di rumah kediaman Thian Te Cu di puncak gunung. Rumah besar terbuat dari pada batu besar yang ditumpuk-tumpuk, sederhana namun kuat sekali.

Setelah Thian Te Cu menyatakan bahwa pelajaran Wi Liong baik dalam ilmu silat mau pun ilmu surat sudah tamat, dan kakek ini tidak mau diganggu lagi karena dia hendak bertapa hingga datang saat penghabisan dalam hidupnya. Kwee Sun Tek lalu memanggil Wi Liong dan berkata,

"Wi Liong, saatnya sudah tiba bagimu untuk mengetahui semua rahasia yang selama ini terkandung di dalam hatiku. Kau hanya tahu bahwa aku ini pamanmu, adik ibumu, tetapi kau sendiri belum pernah melihat wajah ayah bundamu. Sungguh kasihan kau...!"

Teringat akan kakak dan iparnya, Kwee Sun Tek menjadi terharu sekali. Dia lalu memeluk pundak keponakannya dan matanya yang selalu terbuka akan tetapi tidak melihat apa-apa itu menjadi basah.

Wi Liong lebih tenang dan ia menahan hasratnya hendak banyak bertanya. Karena sejak kecil ia pun banyak menerima pelajaran ilmu surat, bahkan Thian Te Cu selalu menyuruh dia membaca kitab-kitab kuno tentang filsafat hidup, maka pengetahuan Wi Liong tentang kebatinan tidak kalah oleh pamannya. Malah dalam hal menguasai perasaan dan pikiran dia jauh lebih kuat.

"Gurumu sudah mengundurkan diri, maka mulai sekarang kau boleh pergi ke mana saja," kata pula Kwee Sun Tek. "Sekarang kau turunlah dari puncak ini dan pergilah ke utara ke kota raja. Di sana kau selidiki apakah orang tua yang bernama Beng Kun Cinjin Gan Tui masih menjadi koksu, ataukah sudah pindah. Apa bila dia sudah tidak berada di kota raja, kau selidiki di mana adanya dia sekarang. Aku ingin sekali tahu apakah dia masih hidup dan di mana kini dia berada. Kalau kau telah mendapat tempat tinggalnya, kau kembalilah ke sini lagi dan nanti bersama aku turun gunung. Pada waktu itulah aku akan membuka rahasiamu, anak baik!"

Wi Liong mengerutkan alisnya. Mengapa pamannya demikian pelit dengan rahasia orang tuanya? Dia tidak berani mendesak, dan diam saja. Agaknya Kwee Sun Tek merasa juga akan perasaan hati pemuda itu, maka katanya,

"Kau bersabarlah dahulu, Wi Liong. Percayalah bahwa apa yang kulakukan adalah demi kebaikan dirimu sendiri. Tapi kau boleh mengetahui bahwa Beng Kun Cinjin adalah guruku sendiri. Nah, kau berangkatlah."

Wi Liong terkejut dan semakin terheran-heran. Tetapi ia memang kuat dalam menyimpan dan menekan perasaan hatinya, maka ia lalu berkemas dan berangkat. Ia hanya merasa kecewa karena tidak dapat berpamit dari gurunya, karena Thian Te Cu sudah memesan bahwa dia tidak mau diganggu kecuali kalau dia sendiri keluar dari kamar pertapaannya.

Demikianlah, pada hari itu Wi Liong sudah sampai di Ningpo, dan kebetulan sekali dalam sebuah rumah makan bertemu dengan Kam Ceng Swi yang gagah perkasa dan menarik perhatiannya. Sikap Kam Ceng Swi yang sangat gagah, kata-katanya yang mengandung makna dalam, sepak-terjangnya saat menghadapi orang-orang Hai-Iiong-pang yang galak dan sewenang-wenang, benar-benar amat menarik hati Wi Liong dan mendatangkan rasa kagum di dalam hatinya. Ingin benar dia berkenalan dengan orang tua gagah perkasa ini, ingin benar dia belajar dari orang yang gerak-geriknya malah jauh lebih masak dari pada pamannya ini.

Di samping itu, ia pun agak khawatir akan keselamatannya ketika kakek ini diundang naik ke loteng, karena pandangan mata yang sangat tajam dari Wi Liong sudah melihat bahwa orang-orang yang berada di loteng itu tidak boleh dipandang ringan.

Makin besarlah rasa kagum dan suka hatinya ketika dia melihat kakek itu menghadapi tiga orang ketua Hai-Iiong-pang. Ia sengaja bersikap bodoh, sampai akhirnya ia melihat Kam Ceng Swi terancam hebat oleh desakan dua orang wanita Pek-go-to, baru ia turun tangan menolong.

Kita kembali kepada keadaan di atas loteng rumah makan Tung-thian di kota Ningpo. Wi Liong dengan sikap tenang sekali menghadapi dua orang wanita muda, Cheng In dan Ang Hwa yang amat lihai itu, hendak melihat apa yang selanjutnya akan terjadi. Dia tadi sudah mendengar pengakuan dua orang gadis itu bahwa mereka adalah utusan Thai Khek Sian. Akan tetapi ia tak gentar mendengar nama ini karena memang selama hidupnya ia belum pernah mendengarnya dan tidak tahu orang macam apa adanya Thai Khek Sian!

Di lain fihak, dua orang perempuan itu yang sesungguhnya selain utusan, juga setengah murid dan setengah kekasih Thai Khek Sian gembong Mokauw itu, adalah wanita-wanita yang berhati kotor dan cabul. Melihat Wi Liong yang tampan, mana mungkin hati mereka tak tergerak? Sulit bagi mereka untuk marah terhadap seorang pemuda sehebat Wi Liong, biar pun terhadap orang lain mereka ini biasa bertindak seperti iblis-iblis betina dari neraka yang tidak mengenal kasihan.

"Kalian lihatlah," kata Cheng In kepada tiga orang pangcu dari Hai-liong-pang. "Pemuda seperti inilah yang tepat untuk mengangkat diri menjadi pangcu, bukan orang-orang tiada guna seperti kalian. Orang macam Seng-goat-pian Kam Ceng Swi juga berani main gila di depan kita? Hemm, kalau tidak merasa sungkan terhadap Thio-kongcu yang gagah, tentu nyawanya telah putus. Thio-kongcu yang baik, karena melihat mukamu biarlah kami bikin habis urusan dengan Seng-goat-pian, asal kongcu suka memenuhi undangan kami untuk berkunjung ke pulau kami."

Kata-kata ini disambut suara tawa Kam Ceng Swi yang lantas membunyikan cambuknya. "Tar-tar-tar" disambung nyanyiannya dengan suara lantang.

"Menyukai yang indah membenci yang buruk,
inilah sifat manusia dewasa.
Melihat keburukan dalam keindahan,
dan keindahan dalam keburukan,
inilah keunggulan kaum bijaksana!
Buah yang kulitnya halus menimbulkan selera,
belum tentu dalamnya manis tak berulat.
Karena ini:
Kaum budiman tidak buta oleh sinar keindahan!
"

Mendengar nyanyian ini, merah wajah dua orang wanita itu, juga Wi Liong berkata sambil tertawa.

"Kam-lo-enghiong, jangan khawatir." Lalu ia menghadapi dua orang gadis itu, menjura dan berkata, "Terima kasih atas undangan ji-wi, tetapi maafkan siauwte tidak dapat memenuhi undangan itu sebab siauwte sedang dalam perjalanan jauh. Ada pun tentang urusan Kam-lo-enghiong, sesungguhnya memang tidak ada sesuatu antara kita yang harus direntang panjang. Terima kasih kalau ji-wi suka menghabiskan keributan ini."

"Dengan Mokauw memang tidak ada urusan, tetapi dengan Hai-liong-pang masih banyak urusan. Jika Hai-Iiong-pang tidak segera menghentikan praktek-prakteknya memeras para nelayan, mencekik leher mereka dan menggunakan tenaga nelayan untuk membikin kaya diri sendiri, aku orang she Kam takkan berhenti dan takkan gentar untuk menentangnya!"

Sementara itu, tadi Cheng In dan Ang Hwa berlaku sabar dan bersikap lemah mengalah terhadap Wi Liong hanya karena mereka sayang akan ketampanan wajah dan kehalusan sikap pemuda sasterawan ini yang sengaja hendak mereka pikat. Sama sekali mereka bukan bersikap lemah karena.takut. Sekarang melihat bahwa pemuda itu tidak bersedia memenuhi undangan mereka, berubahlah sikap mereka.

"Orang she Thio, kami tidak biasa menerima penolakan atas undangan kami. Sekali kami mengundang, biar kaisar sekali pun akan datang! Kau pun, setelah menerima undangan kami, bagaimana pun juga harus datang!” kata Ang Hwa dengan mata bersinar galak.

"Kalau aku tidak mau?” kata Wi Liong tersenyum tabah.

"Kami akan memaksamu!" jawab Ang Hwa.

"Kalau aku melawan?” tanya pula Wi Liong.

"Hwa-moi, kau cubit saja bibirnya yang banyak membantah itu. Gemas aku!" seru Cheng In sambil menggigit bibir dengan gemas. Jari-jari tangannya yang halus dan kecil itu cepat menyambar ke depan, betul-betul hendak mencubit bibir Wi Liong!

"Aauuuu…!"

"Anak nakal, kau perlu dihajar!"

Yang menjerit kesakitan bukan Wi Liong, melainkan Cheng In. Sebaliknya yang menegur adalah Wi Liong.

Ketika tadi tangan Cheng in menyambar dan telah dekat sekali dengan bibirnya, Wi Liong segera menggerakkan tangan kanan menangkis, tetapi bukan tangkisan biasa melainkan tangannya terus menyelonong maju lalu jari tangan kanannya menyentil daun telinga kiri Cheng In, membuat gadis itu menjerit kesakitan karena daun telinganya terasa panas dan pedas.

Mengapa Wi Liong hanya menyentil daun telinga dan tidak menyerang? Ini adalah karena pemuda yang belum banyak pengalaman ini merasa tak enak hati kalau harus menyerang seorang wanita. Dia hanya menganggap Cheng In seorang anak nakal, sebab itu dia pun memberi hajaran seperti orang menghajar bocah, dengan menyentil daun telinganya!

"Ehh, kau berani kurang ajar?" Ang Hwa berseru marah dan melompat maju menotok ke arah tiga bagian jalan darah di tubuh Wi Liong untuk membikin pemuda itu tak berdaya.

Serangan ini hebat bukan main. Sebuah tangan dapat dengan berturut-turut cepat sekali menotok tiga jalan darah, ini merupakan kepandaian luar biasa dan Kam Ceng Swi sendiri kiranya tak akan mampu melakukannya. Oleh karena melihat hebatnya serangan ini, tak terasa lagi dia berseru kaget. Walau pun serangan itu tidak ditujukan pada bagian yang mematikan, namun sekali pemuda itu tertawan, siapa yang akan sanggup menolongnya?

"Ayaaa...! Kau lebih nakal lagi...!"

Wi Liong memutar tubuhnya dan menggerakkan kedua tangannya.

Kam Ceng Swi memandang dengan mulut celangap. Hampir dia tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Tampak begitu mustahil. Saking cepatnya, gerakan Wi Liong sulit diikuti oleh pandangan mata, akan tetapi hasil gerakannya itu benar-benar mengherankan. Ang Hwa yang tadi melakukan serangan totokan secara dahsyat, kini tahu-tahu sudah berdiri kaku karena totokan! Yang menotok justru tertotok, apa ini tidak aneh?

Seperti tadi para ketua Hai-liong-pang, Ang Hwa berdiri dalam keadaan menyerang, jari tangannya dibuka siap untuk melakukan ilmu pukulan Tiam-hiat-hoat (Ilmu Menotok Jalan Darah), dua kakinya juga masih memasang kuda-kuda, lutut sedang ditekuk sedikit. Maka kedudukan tubuhnya seperti orang sedang naik kuda dengan tubuh belakang menonjol ke belakang. Lucu sekali!

Bukan hanya Kam Ceng Swi dan Ang Hwa saja yang kaget, juga Cheng In terkejut bukan main melihat adiknya dikalahkan orang secara demikian mudahnya. Ia tahu bahwa dalam hal ilmu menotok, kepandaian Ang Hwa malah lebih tinggi dari pada kepandaiannya. Lalu bagaimana mungkin dalam keadaan menyerang hebat gadis itu malah tertotok seakan-akan totokannya tadi mengenai tubuh sendiri?

Ia cepat melompat kemudian membebaskan totokan di tubuh Ang Hwa dengan beberapa tepukan dan pijatan. Setelah Ang Hwa bisa bergerak lagi, Cheng In mencabut pedangnya dan menudingkan senjata itu ke arah Wi Liong sambil membentak.

"Bocah setan tak tahu diuntung! Tidak tahu orang mengalah malah berani menghina! Kau rasakan pedangku ini!"

Juga Ang Hwa sudah mencabut pedangnya dan menyerang sambil berseru.

"Orang tak berbudi, tak mau terima kasih sayang, sudah bosan hidup rupanya!"

Dua orang wanita lihai itu menggerakkan pedang dari dua jurusan, maka dalam sekejap mata saja dua gulung sinar yang berkilauan sudah menyambar-nyambar dan mengurung tubuh Wi Liong, memotong dan menutupi semua jalan keluar!

Kam Ceng Swi memandang penuh kekhawatiran. Jago tua ini maklum akan kelihaian dua orang gadis yang ilmu pedangnya benar-benar tak boleh dipandang ringan itu.

Wi Liong bukan pemuda sembarangan. Dia adalah ahli waris tunggal dari ilmu kepandaian Thian Te Cu, seorang aneh yang mempunyai kesaktian tinggi. Pada waktu masih terkenal dengan julukan Mayat Hidup dahulu, ketika dia masih suka berkelana dan menggegerkan dunia persilatan, dengan sebatang suling bambu saja Thian Te Cu sudah mengalahkan entah berapa banyaknya jago-jago pedang yang terkenal tinggi ilmu pedangnya.

Ketika dia datang mengaduk-aduk dunianya kaum Mokauw, jago-jago sakti dari Mokauw geger dan baru ia bertemu lawan ketika benggolan Mokauw Thai Khek Sian muncul. Tiga hari tiga malam Thian Te Cu bertempur melawan Thai Khek Sian, hanya mengaso untuk memulihkan napas saja, lupa makan lupa tidur, hingga akhirnya Thai Khek Sian terpaksa harus mengakui keunggulan lawan dalam adu kesaktian hawa murni dalam tubuh. Hal ini disebabkan Thian Te Cu selalu hidup dengan batin yang bersih, dan sebaliknya Thai Khek Sian gemar mengumbar kesenangan.

Sekarang Wi Liong berhadapan dengan dua orang gadis yang boleh dibilang murid juga dari Thai Khek Sian! Wi Liong tidak pernah tahu bahwa gurunya dahulu pernah bertanding dengan hebat dan mati-matian selama tiga hari tiga malam melawan Thai Khek Sian. Apa bila dia tahu, tentu dia lebih bersemangat lagi menghadapi dua orang utusan yang tadi dia dengar adalah utusan seorang tokoh bernama Thai Khek Sian yang tidak dikenalnya.

Begitu dua pedang gadis itu berkelebat, sebagai seorang ahli silat yang ilmunya sudah masak, Wi Liong segera dapat mengetahui bahwa dua orang lawannya ini memang betul-betul pandai dan ilmu pedangnya amat dahsyat. Pantas saja jago tua dari Kun-lun-pai tadi terdesak hebat. Sekarang dia tidak boleh memandang rendah karena biar pun tadi dalam keadaan bertangan kosong, dua orang gadis itu boleh dia permainkan, sekarang dia harus berlaku hati-hati.

Pedang mereka memiliki gerakan cepat sekali, terbukti dari sinar pedang yang berkelebat dan bergulung panjang. Juga tenaga lweekang mereka dalam mempergunakan pedang sudah tinggi sehingga ujung pedang mereka tergetar menjadi tujuh!

"Bocah perempuan bermain senjata tajam, sungguh berbahaya!” kata Wi Liong dan ketika tangan kirinya bergerak, dia telah mengeluarkan sebatang suling dari balik jubahnya.

Suling ini merupakan hadiah dari suhu-nya, yaitu sebuah suling yang panjangnya seperti pedang pendek, terbuat dari pada logam yang sangat kuat melebihi baja. Suling ini selain indah sekali bunyinya kalau ditiup. juga baik sekali dipakai sebagai senjata. Karena suhu-nya seorang yang ahli dalam mainkan suling sebagai senjata pedang, tentu saja Wi Liong juga menuruni kepandaian hebat ini.

Biar pun hatinya mendongkol dan marah. Cheng In dan Ang Hwa masih tidak tega untuk melukai atau membunuh pemuda tampan ini. Tadinya mereka berniat untuk menawan saja kemudian dibawa ke Pulau Pek-go-to. Tapi dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika suling di tangan pemuda itu bergerak perlahan, sekaligus sudah dapat menangkis pedang mereka yang terpental oleh getaran suling!

Mereka hampir tak percaya dan mendesak lagi. Tetapi sama saja, pedang mereka selalu terpental setelah terbentur oleh suling, malah kini mereka merasa betapa telapak tangan mereka gatal-gatal dan dingin, tanda bahwa getaran pada suling itu amat halus dan kuat!

Baru terbuka mata dua orang wanita Pek-go-to itu bahwa sebetulnya mereka berhadapan dengan seorang pemuda sakti, pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, jauh lebih tinggi dari pada Seng-goat-pian Kam Ceng Swi. malah masih lebih tinggi dari pada kepandaian mereka sendiri digabung menjadi satu.

Dari kaget mereka menjadi jeri. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Mereka sudah menyerang dan mencari permusuhan. Terpaksa keduanya lalu mengerahkan seluruh kepandaian dan mencoba untuk membobol pertahanan suling di tangan Wi Liong yang sinarnya bergulung bulat dan mengeluarkan bunyi halus lembut.

Ang Hwa yang rasa cintanya sudah lenyap karena penasaran tidak mampu mengalahkan lawannya, cepat mengeluarkan senjata rahasia Kim-ji-piauw, kemudian tanpa peringatan lagi langsung melepas senjata rahasia itu ke arah tubuh Wi Liong, tujuh buah banyaknya!

Wi Liong tetap saja melayani pedang, sama sekali tidak mempedulikan datangnya senjata rahasia itu. Hebatnya, ketika senjata rahasia yang berupa mata uang tembaga disepuh emas ini mengenai tubuhnya, benda-benda kecil ini terpental kembali seperti mengenai karet saja, beterbangan ke kanan kiri.

"Aduh... sungguh berbahaya! Aduh… lihai sekali!" seru Kam Ceng Swi berulang-ulang.

Dia menyebut berbahaya melihat serangan menggelap itu dan menyebut lihai melihat cara Wi Liong menerima serangan. Akan tetapi ia cepat-cepat membuang diri untuk mengelak dari sambaran beberapa buah mata uang yang tadinya terpental lalu terbang ke arahnya. Dia maklum bahwa tenaga sambaran mata uang ini masih kuat sekali, setidaknya kulitnya akan lecet kalau terkena! Dengan gembira sekali Kam Ceng Swi menonton pertempuran itu dan tiba-tiba jago tua ini tak dapat menahan tangisnya!

Ia teringat akan putera pungutnya Kam Kun Hong, dan sekaligus begitu teringat akan Kun Hong. ia pun ingat siapa adanya bocah lihai bernama Thio Wi Liong ini! Inilah bocah yang dulu dibawa datang oleh Kwee Sun Tek yang buta dan bocah inilah yang bersama Kun Hong telah diculik oleh Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li! Dengan mata terbelalak dan basah air mata. Kam Ceng Swi memandang kepada Wi Liong.

"Jadi kaukah ini? Begini lihai? Dan di mana adanya Kun Hong?" tanyanya yang ditujukan kepada Wi Liong, akan tetapi perlahan saja seperti bicara kepada diri sendiri.

Sementara itu, pertempuran sudah terjadi semakin seru. Kini Wi Liong mulai menyerang, marah karena dua orang lawannya menggunakan senjata rahasia tanpa memberi tanda, dan hal ini dalam dunia persilatan dianggap perbuatan yang amat curang.

"Cukup sudah, kembalilah ke tempat asal kalian!" bentak Wi Liong, lalu dengan gerakan memutar hingga sinar sulingnya melibat dua sinar pedang, ia segera mengerahkan tenaga membuang ke samping.

Tanpa dapat ditahan lagi dua orang nona itu mengeluarkan seruan tertahan lantas pedang mereka terlepas dari pegangan, meluncur ke kiri dan akhirnya menancap setengahnya di atas tanah, gagangnya bergoyang-goyang. Pada saat itu pula menyusul sinar berkilauan di depan mata Cheng In dan Ang Hwa yang menjerit kaget, akan tetapi suling itu yang tadi berkelebat di depan mata sudah ditarik kembali dan pemuda itu sudah berdiri di hadapan mereka sambil tersenyum-senyum. Sulingnya sudah diselipkan di ikat pinggangnya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar