Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 18

Burung itu sendiri terlihat begitu sunyi tak berkawan, hidup menyendiri di alam yang luas. Teringat Wi Liong akan keadaan dirinya, yatim piatu dan seorang diri pula di dalam dunia. Sedih hatinya dan bangkit rindunya kepada pamannya Tidak tega rasanya meninggalkan pamannya, satu-satunya orang yang semenjak dia kecil berada di sampingnya, pengganti orang tuanya.

"Beng Kun Cinjin jahanam busuk, kau pembunuh ayah ibuku dan kau yang membikin buta sepasang mata pamanku. Tunggu saja pembalasanku!" kata hatinya yang menjadi panas karena pembunuh orang tuanya itu yang menjadi biang keladi sehingga ia sekarang hidup seorang diri dan kesepian.

Begitu teringat kepada musuh besarnya, semangat Wi Liong lantas bangun kembali dan dia pun segera mengerahkan tenaga serta kepandaiannya untuk berlari cepat sekali turun gunung…..

********************

Seperti telah dituturkan di depan, biar pun kekuasaan Bangsa Mongol berkembang pesat dan Tiongkok utara sudah diduduki, namun Tiongkok bagian selatan masih berada dalam kekuasaan pemerintah lama, yaitu Kerajaan Sung selatan.

Pemerintah Mongol tidak melanjutkan penyerbuannya ke selatan adalah karena mereka sedang memusatkan bala tentaranya untuk kembali menyerbu ke barat. Untuk sementara waktu keadaan dalam negeri menjadi aman, kecuali bentrokan-bentrokan di antara para pengikut pendukung dua kerajaan itu yang saling bersaing dan bermusuhan sendiri.

Oguthai, yaitu Kaisar Mongol yang berhasil merebut wilayah Cin di Tiongkok utara, masih menggunakan kota Mongol bernama Karakorum sebagai ibu kota kerajaannya. Istananya megah dan indah, penuh barang-barang berharga hasil rampasan dari bermacam-macam negara yang diserbu oleh bala tentaranya yang sangat kuat. Juga istana bekas Kaisar Cin yang berada di Peking dijadikan istana ke dua, dan kerusakan-kerusakan sudah dibangun dan diperbaiki kembali, malah sekarang lebih mewah dari pada dahulu.

Peking menjadi kota raja ke dua dan kota besar ini berfungsi sebagai tempat beristirahat bagi kaisar dan para pembesar tinggi. Namun kaisar sendiri sangat jarang berada di kota Peking, atau kalau kebetulan berada di situ juga hanya untuk beberapa minggu saja.

Yang sudah pasti, istana itu menjadi sarang para pembesar Mongol dan kaki tangannya, yaitu penghianat-penghianat bangsa yang bermuka-muka terhadap penjajah, tega menjual bangsa sendiri untuk mencari kedudukan dan harta. Dan pembesar-pembesar penghianat macam ini, orang-orang Tiongkok yang lagak-lagunya sudah meniru-niru lagak penjajah, ternyata jumlahnya sangat banyak.

Sungguh lucu melihat orang-orang Tiongkok berpakaian seperti pembesar Mongol, bertopi Mongol, aksinya seperti orang Mongol, malah bicaranya di pelo-pelokan meniru-niru logat orang Mongol! Bukan main! Dan mereka menganggap bahwa mereka telah menjadi orang berkuasa yang gagah.

Inilah macamnya orang-orang yang sudah kehilangan kepribadiannya, beginilah manusia yang menjadi bujang nafsu kesenangan, mengejar kesenangan diri dengan pengorbanan apa pun juga, rela bersikap palsu, hidup bertentangan dengan hati nurani dan jiwa sendiri, asal bisa memperoleh kedudukan, bisa memperoleh kemuliaan dan harta dunia!

Bagi setiap orang yang masih memiliki kepribadian, meski pun sedikit, sudah tentu saja manusia-manusia macam begini sangat memuakkan perasaan. Manusia-manusia macam penghianat-penghianat bangsa yang sudah mirip badut-badut yang menari menurut irama musik majikannya kaum penjajah tentu saja menimbulkan rasa benci kepada setiap orang yang sehat pikirannya.

Untuk menyenangkan majikan-majikannya, para bangsawan Mongol itu, para penghianat ini tak segan-segan menangkap-nangkapi bangsa sendiri dengan tuduhan memberontak, sambil tertawa-tawa dan menuangkan arak di cawan majikannya melihat bangsa sendiri dipenggal batang lehernya sebagai hukuman seorang pemberontak. Alangkah rendahnya akhlak mereka!

Untuk memperoleh kedudukan dan uang, penghianat bangsa ini tak segan-segan mencari dan menangkapi gadis-gadis cantik anak bangrsanya, untuk dijadikan umpan dan mangsa bagi bangsawan-bangsawan Mongol yang liar seperti bandot tua! Bahkan ada beberapa orang tikus berkaki dua macam ini yang tidak sayang-sayang memberikan anak gadisnya sendiri kepada bangsawan Mongol. hanya agar dia mendapat kedudukan, kekuasaan dan kekayaan!

Dunia sudah tua... manusia sudah gila... demikian keluh rakyat jelata yang hanya pandai berkeluh-kesah tanpa berani berkutik. Rakyat jelata tak dapat disalahkan, mereka ini tidak boleh disebut lemah atau kurang semangat!

Apa daya mereka kalau berkutik sedikit saja berarti kepala mereka dipenggal? Apa daya mereka jika di sana tidak ada pahlawan-pahlawan bangsa yang sanggup mempersatukan dan memimpin mereka? Yang muncul justru bangsa sendiri yang menjadi penghianat dan lintah darat!

Kalau orang-orang biasa saja sudah merasa penasaran meski kemarahan mereka hanya dipendam dalam dada. lebih-lebih lagi para pendekar perkasa yang tadinya hidup sebagai penghuni-penghuni hutan di gunung-gunung. Mereka merasa marah dan penasaran sekali.

Mereka maklum bahwa mereka tak berdaya terhadap kaum penjajah Bangsa Mongol yang memiliki bala tentara amat kuat dan besar itu. Akan tetapi melihat bangsa sendiri menjadi penghianat, mereka tidak dapat menahan kemarahan hati lagi dan segera para enghiong (pendekar) ini turun gunung.

Gegerlah kota Peking setelah secara aneh beberapa orang ‘pembesar’ Bangsa Han yang menjadi penghianat ini tahu-tahu kedapatan tewas dipenggal orang di dalam kamar, tanpa ada tanda-tanda siapa adanya pembunuh-pembunuh itu.

Kemudian, setelah diketahui bahwa yang melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap para ‘boneka’ penjajah itu ternyata adalah orang-orang kang-ouw, mulailah para pembesar mendatangkan jagoan-jagoan untuk menjadi pelindung dan penjaga keamanan, sehingga mulailah terjadi kerusuhan-kerusuhan, pertempuran-pertempuran kecil dan pertentangan-pertentangan antara orang-orang kang-ouw yang membenci para penghianat dengan para jagoan yang dapat dijadikan kaki tangan mereka.

Thio Wi Liong tiba di Peking pada saat keadaan sedang gawat-gawatnya sebab beberapa hari yang lalu seorang pembesar boneka she Ciu terbunuh dalam keretanya ketika sedang melakukan perjalanan. Pemuda ini sengaja datang ke Peking karena sesudah berbulan-bulan mencari keterangan di selatan, ia mendengar bahwa Gan Tui atau Beng Kun Cinjin lari dari istananya setelah membunuh seorang pangeran muda she Liu. Sejak melarikan diri itu, tak seorang pun mendengar ke mana perginya bekas koksu itu!

Oleh karena berita ini Wi Liong segera menuju ke Peking untuk melakukan penyelidikan. Kalau dari orang-orang kang-ouw dia tidak bisa mendapat keterangan, mungkin dari para pembesar dan kaki tangan Kerajaan Mongol dia bisa mendapatkan jejak musuh besarnya. Kalau perlu dia akan menyusul ke kota raja di utara.

Sebagai seorang yang berpakaian seperti seorang pemuda pelajar, yang gerak-geriknya lemah lembut, ia tidak banyak menarik perhatian orang. Ia menginap dalam sebuah kamar di rumah penginapan sedernana dan tindak-tanduknya tampak tidak mencurigakan.

Akan tetapi setiap hari dia berkeluyuran ke tempat ramai. Setiap kali ada kesempatan dia mencoba untuk bicara dengan orang-orang tua dan memancing tentang keadaan Koksu Beng Kun Cinjin. Pada waktu malam dia keluyuran pula, dan di waktu malam gelap begini lenyaplah sifatnya yang lemah lembut berubah menjadi seorang yang gerak-geriknya gesit seperti burung walet.

Pada suatu pagi Wi Liong sudah terlihat duduk di bangku rumah makan kecil menghadapi semangkok bubur panas. Bukan kebetulan bahwa ia berada di warung itu, karena warung itu berada tepat di seberang jalan di mana berdiri sebuah rumah gadung besar sekali milik keluarga Liu.

Pemuda ini ternyata berhasil mendapat keterangan bahwa keluarga dari pemuda she Liu yang dahulu dibunuh oleh Beng Kun Cinjin, sekarang sudah pindah ke Peking, di dalam rumah gedung itulah. Akan tetapi hanya sampai sekian saja keterangan yang dia peroleh. Tak ada seorang pun yang mengetahui mengapa pemuda Liu itu dibunuh.

"Tentu ada rahasianya," pikir Wi Liong dan bukan tidak bisa jadi kalau di antara anggota keluarga Liu itu ada yang mengetahui atau setidaknya dapat menduga ke mana perginya Beng Kun Cinjin yang kabarnya lari pergi membawa isteri dan anaknya.

Warung itu cukup besar dan di situ sudah ada belasan orang tamu yang semuanya ingin mengisi perut dengan bubur panas yang sedap.

"Minta buburnya satu mangkok lagi!" terdengar suara keras dari belakang tempat duduk Wi Liong. Suara ini sangat nyaring, namun tidak menarik perhatian Wi Liong yang sedang melamun sambil pandang matanya selalu menatap ke arah pintu depan gedung keluarga kaya raya Liu itu.

"Hebat betul orang itu, sudah habis tujuh mangkok tetapi masih tambah terus," terdengar pelayan berkata perlahan sekali ketika mengantarkan semangkok bubur lagi seperti yang diminta Wi Liong. "Dengan arak lagi...!"

Ucapan ini menggerakkan hati Wi Liong. Tidak aneh orang banyak makan, di mana-mana juga ada orang gembul. Akan tetapi pagi-pagi menghabiskan tujuh mangkok bubur dengan arak? Lucu juga.

Ia melirik ke belakang dan melihat bahwa orang gembul itu ternyata adalah seorang laki-laki tua berusia sekitar lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar tegap dan sikapnya gagah sekali. Hampir semua orang yang berada di dalam warung itu memandang kepada kakek ini dengan muka kagum.

Memang kakek itu benar-benar gagah, pakaiannya ringkas dan kuat. Mukanya kemerahan dengan kumis dan jenggot seperti pahlawan besar di jaman Sam-kok, Kwan In Tiang atau Kwan Kong! Golok besar bersarung indah tergantung di pinggang kirinya. Duduknya tegak dan gerak-geriknya membayangkan bahwa dia bukan orang sembarangan.

Sekaligus Wi Liong tertawan hatinya oleh orang tua gagah perkasa ini. Tidak sukar untuk menduga bahwa orang ini tentulah seorang yang berjiwa gagah, seorang kang-ouw yang patut dijadikan kawan.

Satu mangkok bubur panas mengepul sudah diantar kembali ke depan kakek itu. Sambil mengibaskan tangannya yang besar, kakek itu berkata tak senang. "Hemm, sekarang di Peking menjadi sarang lalat hijau!"

Diam-diam Wi Liong tersenyum. Sebagai orang yang sudah beberapa hari berada di situ, tentu saja dia segera dapat mengenal tiga orang ‘mata-mata' kerajaan yang semenjak tadi memperhatikan kakek itu sambil saling bisik-bisik. Akan tetapi tak seorang pun kecuali Wi Liong bisa melihat betapa kibasan tangan yang lebar itu sekaligus membuat tiga ekor lalat sudah menempel pada telapak tangan kakek itu.

"Lalat makan lalat, sudah sepatutnya." kembali kakek itu berkata.

Kecuali Wi Liong, tidak ada orang lain yang melihat bagaimana kakek itu menggerakkan jari-jari tangannya. Di lain saat tiga orang mata-mata itu berseru marah,

"Heeei... pelayan! Dalam mangkok bubur ini ada lalatnya!"

"Di sini juga ada."

"Ini juga!" Tiga orang itu melotot dan memandang jijik.

Pelayan berlari-lari menghampiri dan melihat bahwa betul di dalam mangkok tiga orang itu terdapat masing-masing seekor lalat hijau yang besar! Ini betul-betul aneh dan tidak dapat dimengerti karena sungguh kejadian yang amat langka ada lalat sampai masuk ke dalam mangkok bubur. Tetapi mata pelayan ini juga tajam, ia mengenal siapa adanya tiga orang itu, maka sambil membungkuk-bungkuk ia mengambil tiga mangkok itu dan berkata,

"Maaf loya. Biar saya mengambilkan gantinya." Buru-buru ia mundur dan tak lama datang lagi membawa tiga mangkok bubur panas di atas baki. Dengan hati-hati dia menaruh tiga mangkok bubur itu di hadapan tiga orang tamunya yang segera mengaduk-aduk dengan sumpit untuk melihat kalau-kalau ada lalatnya, sedangkan pelayan itu mengusir lalat yang mendekat dengan kain lapnya. Sesudah melihat bahwa di dalam mangkok mereka benar-benar tidak terdapat lalat, tiga orang itu mulai makan buburnya dan kembali mereka mulai melanjutkan pengawasan terhadap kakek gagah tadi.

Kini Wi Liong sudah selesai makan dan sengaja duduk miring agar dia dapat mengawasi gerak-gerik kakek aneh itu. Kakek itu tersenyum padanya, tangannya kembali mengebut lalat dan kini tidak kurang dari enam ekor lalat hijau ‘menempel’ pada jari-jari tangannya.

"Lalat hijau yang menjemukan!" kakek itu kembali menggerutu sambil tangannya bergerak perlahan.

"Auupphhh...!" Seorang di antara tiga mata-mata itu membawa tangan ke mulut sambil melepaskan mangkok buburnya di atas meja, lalu terbatuk-batuk dan matanya mendelik.

"Ada apa...?” tanya dua orang kawannya sambil menunda makannya.

"Ada... lalat ma... mahukk...” kata orang yang mulutnya kemasukan lalat besar yang kini menempel di kerongkongannya itu.

Dua orang kawannya tertawa bergelak akan tetapi mendadak mereka ini pun terengah-engah, malah yang seorang terus muntah-muntah karena ada lalat memasuki mulut terus tanpa permisi masuk ke dalam perutnya!

Kejadian yang lucu ini tentu saja menarik perhatian banyak orang dan tidak dapat dicegah lagi meledaklah suara kerawa orang-orang yang sedang makan di situ, sampai ada yang tersedak-sedak dan terbatuk-batuk. Tiga orang mata-mata itu marah sekali, akan tetapi kepada siapa harus marah? Dengan mata melotot dan mulut memaki-maki tiga orang itu lalu meninggalkan rumah makan tanpa membayar harga makanan. Pelayan yang datang menghadang malah menerima semprotan.

"Mau minta bayaran? Masih untung tidak kulaporkan dan rumah makanmu tidak ditutup! Pedagang bubur lalat!"

Pelayan itu buru-buru mundur membiarkan mereka pergi dan kembali orang-orang di situ tertawa bergelak. Mereka sebagian besar adalah penduduk asli Peking maka mereka tahu belaka bahwa tiga orang itu adalah kaki tangan manusia-manusia penghianat yang suka menangkap-nangkapi bangsa sendiri yang dcurigai. Orang-orang macam begini kerjanya hanya keluyuran setiap hari mencari orang yang kiranya dapat dijadikan korban.

Bagi para tamu, kejadian tadi adalah hal yang kebetulan saja, mungkin sebagai hukuman atas dosa-dosa mereka. Kalau tidak begitu, masa hanya mereka saja yang diserbu lalat?

"Mulut mereka terlampau busuk hingga baunya sampai-sampai menarik lalat-lalat hijau," kata seorang tamu sambil tertawa terpingkal-pingkal.

"Lalat juga tahu mana sahabatnya!" kata orang lain.

Akan tetapi senda-gurau dan ejekan terhadap tiga orang mata-mata itu berhenti seketika setelah mereka melihat bahwa tiga orang itu ternyata tidak pergi jauh, hanya berhenti di depan warung dan berdiri di seberang jalan dekat pintu halaman rumah gedung keluarga Liu.

Sementara itu tampak kakek aneh itu menggapaikan tangan kepada seorang pelayan tua. Pelayan itu segera menghampiri sambil membungkuk-bungkuk merendahkan diri seperti sikap seorang pelayan rumah makan yang pandai.

"Duduklah, mari temani aku minum arak," kata kakek itu.

Pelayan tua kaget, menggeleng-gelengkan kepala. "Mana berani saya berlaku kurang ajar terhadap tamu? Silakan loya minum, saya yang melayani."

"Duduk kataku, mengapa membantah?" Kakek gagah itu menarik lengan si pelayan yang terduduk di atas bangku seperti bukan atas kehendaknya sendiri, tahu-tahu ia telah duduk begitu saja. "Minum secawan arak!"

Dengan wajah berobah pelayan itu terpaksa minum, dan ternyata dia pun seorang setan arak karena sekali tuang saja arak secawan itu langsung amblas! Dia menaruh cawannya yang sudah kering di atas meja, wajahnya yang tadi agak pucat menjadi kemerahan dan dia tersenyum-senyum.

"Terima kasih, loya (tuan tua), arak ini enak sekali."

Akan tetapi diam-diam Wi Liong mengerutkan kening karena ia melihat bagaimana secara cepat dan diam-diam kakek aneh itu tadi sudah menaruh sebutir pil ke dalam cawan arak pelayan. Tampaknya pil itu mudah cair dan tidak ada rasanya, buktinya pelayan itu minum habis tanpa merasa apa-apa.

Apa maksud kakek itu melakukan hal ini? Apa kehendaknya? Wi Liong betul-betul merasa heran sekali!

Akan tetapi tidak lama kemudian dia segera mengerti. Kalau melihat caranya minum arak, kakek pelayan itu terang bukan orang yang tak pernah minum arak kalau tak mau dikata masuk golongan setan arak. Akan tetapi mengapa baru minum dua cawan saja mukanya sudah merah sekali dan suara tawanya menandakan bahwa dia telah mabok berat? Kalau hanya dua cawan saja, arak yang bagaimana tua pun takkan dapat memabokkan seorang ahli minum! Pelayan itu mulai bicara tidak karuan diselingi ketawa-tawa dan kini dia tidak begitu merendah-rendah seperti tadi.

Wi Liong menjadi tak senang. Kakek tua aneh itu boleh jadi seorang tokoh kang-ouw yang nakal, akan tetapi tidak semestinya bila dia mempermainkan seorang pelayan yang tidak punya dosa. Selagi ia hendak menegur, ia tersentak kaget dan tidak jadi bergerak ketika mendengar kakek itu berkata.

"Nah. loheng (kakak tua), sekarang kau dongengkan tentang orang-orang ternama seperti misalnya keluarga Liu pemilik rumah gedung di depan itu."

Pelayan itu tertawa terkekeh-kekeh, tawa seorang mabok yang tidak sadar lagi.

"Bandot tua bangka itu? He-he-heh-heh, apanya yang patut didongengkan? Bandot mata keranjang sampai ke tulang sumsum, bapak dengan anak seringgit dua rupiah setengah, sama saja!”

Wajah kakek aneh itu kelihatan berseri-seri dan penuh harap. "Mengapa kau bisa bilang keluarga itu mata keranjang? Apa buktinya?”

"He-he-heh-heh. bukti? Mau bukti? Hanya orang buta yang tidak melihat. Siapa tidak tahu tentang gadis desa yang tahu-tahu mati lantas dikubur diam-diam di tengah malam? Dan belum lama ini setiap malam terdengar tangis wanita, kabarnya ada lagi gadis yang telah diculiknya. Padahal usianya sudah enam puluh lebih. Kalah tua aku! Tetapi tua-tua keladi makin tua makin menjadi! Heh-heh-heh…"

"Semua orang tahu jika Liu-wangwe (hartawan Liu) memang mata keranjang, akan tetapi kau bilang ayah dan anak sama saja, apa artinya itu? Bukankah anaknya hanya seorang puteri yang sudah remaja?"

"Oooo kau keliru..."

Pada saat itu pula pengurus rumah makan itu datang menghampiri dengan langkah lebar. "A Sam. jangan mengganggu tamu..."

Kakek aneh itu melotot kepada pengurus rumah makan. "Apa mengganggu? Akulah yang mengundangnya menemani aku minum. Kau mau apa?!”

"Maaf, loya...” pengurus itu merendah sambil wajahnya memperlihatkan kekhawatiran dan beberapa kali ia menengok ke arah tiga orang mata-mala yang sejak tadi berdiri di depan. "Tapi A Sam kami beri upah bukan untuk mengobrol, melainkan untuk bekerja... dan..."

"Berapa sih upahnya? Nih gantinya!" Kakek aneh itu melemparkan sepotong perak yang barang kali cukup untuk membayar upah A Sam selama sepekan!

“Sudah, enyah! Teruskan, Sam-ko!"

Pengurus itu tidak berani berkata apa-apa lagi dan segera pergi. Ia maklum bahwa kakek yang seperti Kwan Kong dan membawa-bawa golok itu tentu seorang kang-ouw maka dia tidak berani memaksa.

‘Celaka,’ pikirnya. A Sam telah mabuk dan kini membuka-buka rahasia orang, sedangkan anjing-anjing pemburu itu masih berada di depan pintu. ‘Celaka, celaka... apa yang akan menimpa rumah makan kita?’ Demikian pengurus itu menggerutu seorang diri.

Ada pun A Sam sesudah longak-longok dan tersenyum-senyum puas lantas melanjutkan kata-katanya. "Kau keliru loya. Dahulu keluarga Liu itu mempunyai seorang putera, dalam hal watak cabulnya tidak kalah oleh si bandot tua ayahnya sendiri."

Pengurus rumah makan itu membanting-banting kaki melihat tiga orang mata-mata kaget mendengar seorang pelayan warung berani memaki-maki Liu-wangwe (hartawan Liu) atau boleh juga disebut Liu-taijin (pembesar Liu). Saking herannya mereka bertiga sampai tidak bertindak apa-apa, hanya membuka telinga ikut mendengarkan.

"Di mana puteranya itu sekarang?" tanya kakek aneh penuh perhatian.

"Ho-ho. sudah tidak ada lagi. Sudah mampus! Akibat mata keranjangnya. Masa dia berani main gila dengan isteri koksu baru."

"Kau maksudkan Beng Kun Jinjin?"

"Namanya siapa aku tidak tahu, mana aku bisa tahu? Kabarnya koksu itu seorang hwesio tua, diberi hadiah selir kaisar yang disebut Puteri Harum! Ha-ha-ha-ha, lucunya manusia! Puteri Harum bekas selir kaisar, lalu dijodohkan dengar seorang hwesio gundul tua, mana puas? Maka diam-diam dia main gila dengan putera keluarga Liu yang muda dan ganteng. Semua orang tahu belaka, hanya hwesio tua bangka itu tololnya seperti kerbau... Ha-ha-ha, tentu saja aku juga tahu, dahulu aku berdagang di kota raja, sampai jatuh gulung tikar karena aku keedanan judi dan..."

Mendengar cerita itu melantur tidak karuan, kakek tadi lalu menyetop.

"Main gila dengan isteri koksu, lalu bagaimana?”

"Pada akhirnya hwesio koksu itu tahu juga rupanya. Pada suatu malam si hwesio minggat sesudah membunuh pemuda she Liu itu di kamarnya. Dengar baik-baik, loya, dia dibunuh dalam kamar tidur koksu itu sendiri. Ha-ha-ha, itu saja sudah menerangkan keadaan yang sesungguhnya. Hwesio itu membunuh si pemuda, lalu minggat bersama Puteri Harum dan anaknya."

"Sudah punya anakkah Puteri Harum dan hwesio itu?”

"Bukan anak si hwesio!"

"Apakah anak orang she Liu?"

"Juga belum tentu."

"Habis anak siapa?”

"Ha-ha-ho-ho, bapaknya banyak... ha-ha-ha... Tadinya selir kaisar, lalu isteri hwesio dan kekasih Liu-kongcu. Coba bilang, siapa bapaknya?”

"A Sam, cukup! Bantu aku di sini!" teriak si pengurus rumah makan dengan muka pucat.

Agaknya A Sam masih ingat akan pengaruh bentakan majikannya ini. Dia segera berdiri, menjura kepada kakek aneh itu lalu menghampiri majikannya untuk membantu pekerjaan lain.

Kakek aneh itu tertawa seorang diri sambil menenggak araknya. "Ha-ha-ha. Bandot tua... mata keranjang...!" terdengar ia bersungut-sungut.

Akan tetapi kakek itu langsung tersentak kaget ketika memandang ke depan. Terlihat tiga orang mata-mata itu kini sedang bercakap-cakap dengan seorang kakek tinggi besar dan buruk rupa, kelihatannya bengis, alisnya tebal menutupi mata.

"Dia di sini...?" kakek itu berbisik, buru-buru membayar harga makanan dan segera pergi dari warung itu. Akan tetapi Wi Liong masih dapat melihat bagaimana kakek itu menekan, pinggir meja yang segera melesak ke bawah sehingga meja itu menjadi miring!

Wi Liong diam-diam merasa kagum dan tidak mengerti akan sikap yang aneh ini. Ia masih terlampau tertegun mendengar penuturan pelayan tua yang baginya benar-benar sangat menguntungkan. Jadi sudah jelas bahwa keluarga Liu ini pernah berurusan dengan Beng Kun Cinjin dan agaknya kakek pelayan atau keluarga itu akan dapat memberikan petunjuk kepadanya ke mana perginya Beng Kun Cinjin.

Ketika dia melihat lagi, bayangan kakek aneh bermuka Kwan Kong itu sudah tidak terlihat lagi dan sebagai gantinya, dengan langkah lebar masuklah kakek tinggi besar yang tadi bercakap-cakap dengan tiga orang mata-mata di halaman gedung keluarga Liu. Kakek ini tidak kalah anehnya oleh yang tadi. Tubuhnya tinggi besar, mukanya segi empat, alisnya tebai menutupi mata, kulit tubuhnya mbengkerok seperti kulit buaya kudisan.

"Mana dia A Sam si mulut busuk?" tanya kakek tinggi besar itu sambil terus melangkah menghampiri pengurus warung yang tampak amat ketakutan melihat kakek ini. Pengurus itu menudingkan telunjuknya ke kiri dan... A Sam telah tidur mendengkur di atas bangku panjang!

Kakek itu menghampiri A Sam yang mabok berat sekali, melihat sebentar lalu menepuk kepalanya beberapa kali. Aneh, A Sam lalu membuka matanya dan agaknya sudah sadar sama sekali dari pengaruh arak.

Wi Liong yang menyaksikan semuanya ini membuka mata lebar-lebar. Ternyata kakek itu telah membuka hawa murni pelayan itu sehingga semua hawa pengaruh arak telah buyar dan lenyap. Hanya seorang berilmu tinggi saja yang sanggup menotok urat-urat kecil pada bagian kepala untuk memberi jalan bagi hawa arak yang memenuhi kepala! Lagi-lagi ada seorang pandai di depannya!

Ia memandang terus dan makin lama ia merasa makin tidak asing, seakan-akan ia pernah berjumpa dengan kakek ini, entah di mana. Kini A Sam memandang bingung, kemudian kelihatan ketakutan.

”Hayo katakan, kau yang tahu akan riwayat masa lalu, di mana adanya Beng Kun Cinjin sekarang!” tanya kakek tinggi besar itu dengan suaranya yang parau dan kasar.

"Saya... hamba... tidak tahu. Nama itu pun baru sekarang hamba dengar..."

"Bulus! Kalau tidak tahu mengapa tadi mengobrol tidak karuan?”

"Hamba tidak mengobrol, loya. Sejak tadi melayani para tamu dan..."

Terdengar beberapa orang tamu tertawa geli, akan tetapi segera terdiam kembali seperti jengkerik terpijak ketika kakek tinggi besar itu mengerutkan kening dan membentak,

"Siapa orang muka merah yang kau ajak mengobrol tadi?”

"Orang muka merah yang mana? Aahhhh..." A Sam teringat. "dia kan tamu di sini tadi...?" A Sam benar-benar kelihatan bingung sekali. "Hamba tidak kenal dan tidak tahu ke mana perginya..." A Sam memandang ke arah meja yang kini sudah miring.

Melihat meja itu, kakek tinggi besar menghampiri dengan langkah lebar, kemudian tertawa bergelak menyeramkan. "Yang beginian saja dipamerkan?" Jari telunjuknya mengungkit ujung meja yang segera terangkat sehingga berdiri rata kembali.

Kemudian kakek itu menyambar kedua kaki pelayan tua, mengangkatnya ke atas hingga pelayan itu tergantung dengan kepala di bawah! Tentu saja A Sam langsung menjerit-jerit seperti babi disembelih minta diampuni.

Sambil tertawa-tawa kakek itu membawa A Sam ke dekat tempat godokan bubur, lantas menggantung kepala A Sam di sana, mengancamnya hendak memasukkan kepala yang kecil gepeng (tipis) itu ke dalam bubur yang mendidih!

"Aduuhhh... aaa... adduuhhh... loyaa... panas...!" A Sam menjerit-jerit, ngeri melihat bubur yang panas mendidih, yang setiap pagi menjadi permainannya bila ia melayani para tamu. Belum juga kepalanya sempat menyentuh bubur, dia sudah hampir pingsan dan berteriak-teriak kepanasan!

Para tamu memandang penuh kengerian pula. Betulkah kepala itu hendak dimasukkan ke dalam bubur mendidih? Sementara itu pengurus rumah makan berdiri dengan muka pucat dan kaki menggigil.

Kakek kejam itu agaknya mengalami kegembiraan besar melihat A Sam yang ketakutan. Dia tertawa-tawa geli seperti meiihat sesuatu yang lucu. Tangan kirinya yang memegang dua pergelangan kaki A Sam sebentar diturunkan sampai kepala itu sudah mulai terkena uap, lalu diangkat lagi, beberapa kali dipermainkan seperti itu.

"Ampuuunn... am... ampun, tuan besaaarrr..."

"Ha-ha-ha, mana bisa ada ampun? Kemarin kau memberi bubur yang terlampau panas sampai lidahku serasa terbakar, kini kau rasakan bagaimana jika kepalamu kumasukkan ke dalam bubur panas!" kata kakek itu membuat semua orang terheran-heran.

Tadinya mereka mengira bahwa kakek itu hendak menghukum A Sam karena tadi A Sam membongkar rahasia keluarga Liu, tidak tahunya sekarang mendadak si tinggi besar itu mempersoalkan lidah terbakar oleh panasnya bubur. Benar-benar hal yang amat bocengli (tiada aturan)!

"Bu-ceng Tok-ong...!" tiba-tiba saja terdengar suara ini dan kakek itu seperti dipagut ular, cepat melemparkan tubuh A Sam ke samping, membuat pelayan itu mengaduh kesakitan dan kepalanya benjol sebesar telur bebek. Cepat dia merayap dan menyingkirkan diri ke belakang, terus bersembunyi masuk ke kolong meja dapur!

Ada pun kakek itu yang sebenarnya bukan lain memang Bu-ceng Tok-ong, meraba-raba siku tangan kirinya sambil memandang sekelilingnya. Sinar matanya yang bersembunyi dari balik alis tebal itu menyambar-nyambar penuh ancaman. Akan tetapi semua tamu di dalam warung itu hanya orang-orang biasa, tidak ada yang mencurigakan. Diam-diam dia bergidik sendiri!

Sudah terang baginya bahwa tadi ada orang pandai yang sudah menyerangnya dengan pukulan dari jauh, tepat mengenai siku tangan kirinya sehingga membuat tangan kirinya terasa lumpuh. Orang yang mampu melakukan hal ini sudah tentu seorang pandai sekali. Tetapi orang itu agaknya tidak bermaksud jahat, kalau tidak demikian kiranya pergelangan sikunya dapat terluka lebih hebat lagi.

Sesudah mendapat kenyataan bahwa dalam pandangannya di tempat itu tidak ada orang yang patut memiliki kepandaian tinggi, dengan langkah lebar Bu-ceng Tok-ong keluar dari warung itu, sedikit pun tidak menengok lagi kepada A Sam.

Para tamu pun cepat-cepat bubar dan sehari itu warung yang biasanya ramai ini menjadi sepi. Berita mengenai peristiwa itu cepat sekali tersiar sehingga orang-orang tidak berani berbelanja di situ, takut kalau terbawa-bawa.

Juga Wi Liong diam-diam pergi dari tempat itu. Tadi dia yang menolong A Sam dan diam-diam dia mengirim pukulan jarak jauh, tidak terlalu kuat tetapi cukup memberi peringatan kepada Bu-ceng Tok-ong bahwa apa bila Raja Racun ini tetap melanjutkan perbuatannya, menggodok kepala A Sam hidup-hidup, tentu akan ada orang yang menolong pelayan itu.

Wi Liong bukan seorang bodoh. Dia tidak mau berlaku ceroboh di dalam kota yang selalu terjaga kuat dan penuh dengan mata-mata pemerintah Mongol ini. Dia hendak menyelidiki urusan pribadinya dengan diam-diam tanpa banyak menimbulkan keributan. Dan dia telah mengambil keputusan hendak menemui A Sam malam nanti untuk minta penjelasan lebih jauh tentang Beng Kun Cinjin.....

********************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar