Pedang Sinar Hijau (Cheng Hoa Kiam) Jilid 01

Semenjak bala tentara Mongol yang dipimpin oleh Raja Besar Jengis Khan menyerbu dari Mongolia ke selatan, menghancurkan Suku Bangsa Hsi-hsia kemudian membasmi pula bala tentara Kerajaan Cin, rakyat Tiongkok sudah tidak mengenal lagi artinya hidup aman dan tenteram. Terlebih lagi setelah bala tentara Mongol itu menyerbu untuk kedua kalinya sekembali mereka dari penyerbuan ke barat, rakyat benar-benar menderita. Jengis Khan membunuh banyak rakyat dengan alasan bahwa rakyat di selatan tidak mau membantu penyerbuannya ke barat dengan sungguh-sungguh, yakni bantuan berupa perlengkapan dan ransum.

Memang demikianlah, setelah menyerbu ke selatan hingga berhasil menduduki kota raja Kerajaan Cin, kemudian tentara Mongol ditarik kembali untuk dikerahkan ke barat, rakyat lalu diperintah untuk membantu pasukan-pasukan Mongol itu dengan persediaan ransum, perlengkapan, juga hiburan dan orang-orang perempuan.

Sambutan terhadap perintah ini memang amat dingin, pertama-tama karena rakyat sendiri sedang menghadapi kekurangan makan akibat perang, kedua kalinya karena di dalam hati rakyat sudah timbul keberatan yang mendalam terhadap si penjajah dan penindas.

Pembantaian yang dilakukan oleh Jengis Khan sungguh mengerikan sekali. Boleh dikata seluruh penduduk suku bangsa Hsi-hsia dibunuh oleh tentara Mongol, lelaki dan wanita, mulai kakek-kakek hingga bayi, semua dibantai tanpa ada yang terkecuali!

Memang Jengis Khan terkenal sebagai seorang kaisar besar yang gagah perkasa namun berwatak keras seperti baja. Dia tak kenal mundur, dahsyat dan kejam sekali, kalau perlu membunuh laksaan manusia untuk mencapai kemenangan cita-cita.

Seorang tokoh besar seperti Jengis Khan, yang telah berhasil menyatukan seluruh rakyat Mongol, juga yang telah berhasil memimpin bala tentaranya menggilas dan menaklukkan negara-negara jauh seperti Tiongkok bagian utara, Sin-kiang, Iran dan Afganistan, bahkan menghancurkan bala tentara Rusia di Rusia selatan, tentu mempunyai watak yang gagah perkasa dan adil. Dia takkan berhasil mendapat dukungan penuh kesetiaan dari rakyatnya yang gagah berani apa bila dia sendiri tidak gagah perkasa dan adil dalam memimpin.

Tetapi sudah terlalu sering terbukti bahwa sang pemimpin sama sekali tidak sama dengan anak-anak buahnya. Watak baik seorang pemimpin sama sekali tak mencerminkan watak dari para anak buahnya, sungguh pun keadaan baik para petugas tentu tergantung pada kebijaksanaan sang pemimpin. Dengan lain penjelasan, biar pun seorang pemimpin amat bijaksana dan berbudi mulia, adil dan mencinta rakyat, namun belum tentu anak buahnya, yakni para petugas pemerintahannya, juga adil dan mencinta rakyat! Sebaliknya bila para petugas itu melakukan tugas dengan hati bersih dari pada korupsi dan penindasan kepada rakyat, sudah boleh dipastikan bahwa sang pemimpin tentu seorang berjiwa besar!

Seorang ahli bangunan tidak mungkin dapat mendirikan sebuah bangunan yang indah dan kuat sebagaimana ia rencanakan semula kalau tukang-tukang dan para pekerjanya tidak melakukan pekerjaan dan tugas masing-masing sebagaimana mestinya. Sebaliknya kalau para petugas itu bekerja baik sehingga terbangun sebuah bangunan yang hebat, sudah dapat ditentukan bahwa pekerjaan itu dipimpin oleh seorang ahli bangunan yang pandai. Pendek kata, kemajuan dan sukses bukan tergantung pada pemimpin semata melainkan sebagian besar tergantung pada para pelaksana atau petugas.

Begitu pula dengan Kerajaan Mongol yang mulai berkembang itu. Bangsa ini merupakan bangsa yang gagah berani dan memiliki disiplin yang amat baik. Oleh karena inilah maka bala tentara Mongol berhasil baik sekali dalam setiap serbuannya.

Sayang sekali bahwa kebaikan ini hanya terletak dalam disiplin ketentaraan, yakni hanya dalam soal perang saja. Sebaliknya di dalam bidang pemerintahan dan mengatur rakyat, keadaan buruk bukan main.

Rakyat tertekan dan tercekik. Tentara Boan (Mongol) yang menduduki kota dan dusun. bertindak sewenang-wenang. Di mana-mana keadaan kacau balau, kelaparan merajalela sebab selain timbul okpa-okpa (hartawan jahat) yang mengandalkan uang untuk menyuap pembesar setempat lalu mereka bersama-sama merampas tanah petani miskin, juga para petani hanya bekerja setengah hati.

Mereka ragu-ragu dan takut meninggalkan pintu rumahnya karena selain takut mendapat perlakuan sewenang wenang dari tentara penjajah di sawah ladang, juga khawatir kalau-kalau anak isteri di rumah akan diganggu apa bila ditinggalkan.

Pembunuhan tanpa diperiksa lagi. Perampasan anak gadis, orang-orang yang dijadikan budak paksa dan tindakan-tindakan lain yang mendekati perbuatan binatang buas sudah bukan hal aneh lagi pada waktu itu. Tidak mengherankan apa bila di mana-mana timbullah gerakan-gerakan pemberontakan yang dipimpin orang-orang gagah patriot-patriot perkasa yang tidak sudi melihat negara dan bangsanya ditindas serta diinjak-injak oleh penjajah.

Pertempuran berkobar di mana-mana, pasukan-pasukan Boan yang menduduki kota dan dusun tidak pernah diberi waktu istirahat oleh kaum pemberontak yang melakukan perang gerilya. Semua gangguan ini mengakibatkan kerugian yang tidak kecil bagi penjajah Boan.

Berbagai daya dan tipu muslihat licik yang rendah digunakan oleh pemerintah Boan untuk menindas pemberontakan-pemberontakan itu, akan tetapi semangat para patriot bangsa tak kunjung padam. Sungguh pun kekuatan mereka ini sangat kecil dibandingkan dengan kekuatan bala tentara Boan dan biar pun usaha mereka untuk menggulingkan kekuasaan Boan itu dapat diumpamakan seekor tikus hendak menggugurkan gunung, namun mereka tak pernah mau berhenti dalam usaha mulia itu. Mereka siap mempertaruhkan nyawa dan raga dalam mengabdi nusa bangsa.

Karena bala tentara Boan dipusatkan di kota raja dan mereka ini sering kali berkeluyuran di daerah ini, maka banyak kota dan dusun di sekitar kota raja ditinggalkan penghuninya yang mengungsi jauh ke selatan. Begitu pula dusun Cian-bun-kwan yang letaknya hanya lima belas lie di sebelah selatan kota raja. Dusun yang dulunya amat ramai itu, sekarang nampak sepi dan hanya kaum pria serta orang-orang tua saja yang tinggal di situ. Kaum wanitanya, terutama yang muda dan cantik, sudah siang-siang melarikan diri mengungsi atau lenyap dirampas serdadu Boan.

Pada ujung jalan dusun sebelah barat terdapat sebuah kelenteng di mana dipuja patung Kwan In Tiang atau Kwan Kong, seorang tokoh besar yang merupakan panglima perang yang gagah perkasa di jaman Sam Kok. Oleh karena itu kelenteng ini disebut Kwan-te-bio (Kelenteng Kwan Kong).

Melihat sifat tokoh yang dipuja ini, mudah saja menilai watak pemujanya. Sebagian besar pemuja Kwan Kong tentulah orang yang mengutamakan dan menjunjung tinggi kegagahan lahir batin yang dimiliki oleh tokoh besar itu.

Akan tetapi kelenteng itu nampak sunyi saja seakan-akan tidak ada penghuninya. Di atas meja sembahyang tidak kelihatan alat sembahyang, tidak ada lilin menyala. Akan tetapi sebenarnya kelenteng itu tidak kosong karena kalau orang berdiri di depan kelenteng dan memasang telinga penuh perhatian, orang itu akan mendengar suara orang berkata-kata seorang diri.

"Manusia memang berakal budi, bersemangat, berusaha mati-matian, namun apa artinya semua itu bila Thian menghendaki lain? Kaisar-kaisar seperti Bun Ong dan Bu Ong boleh mati-matian mendirikan dan memperkuat Kerajaan Cou, tapi setelah tiba masanya sesuai dengan kehendak Thian, maka musnahlah Kerajaan Cou! Kerajaan jatuh bangun, manusia mati dan lahir, semua tidak dapat dikuasai oleh manusia sendiri, semua harus tunduk dan mandah menjadi permainan hidup.” Kemudian terdengarlah suara orang menghela napas panjang seperti orang kecewa dan murung.

Siapakah orang yang berkata-kata seorang diri di dalam Kelenteng Kwan-te-bio itu? Dia seorang laki-laki tinggi besar dan tegap kokoh sekali bentuk tubuhnya. Kepalanya gundul licin, pakaiannya berwarna kuning, potongannva sederhana seperti kurungan atau seperti kain panjang biasa yang dibalutkan di tubuhnya. Melihat bentuk pakaian serta kepalanya, mudah diketahui bahwa dia adalah seorang hwesio (pendeta pemeluk Agama Buddha).

Dahulu pada waktu mudanya dia bernama Gan Tui. Kemudian setelah menjadi hwesio dia lebih dikenal dengan sebutan Beng Kun Cinjin sehingga akhirnya nama Gan Tui dilupakan orang. Di dunia kang-ouw nama Beng Kun Cinjin sudah sangat terkenal. Dia salah satu di antara bintang-bintang besar di angkasa kang-ouw (dunia persilatan).

Siapa yang tidak mengenal Beng Kun Cinjin, yang pernah seorang diri menyerbu sarang Lima Siluman Huang-ho dan membinasakan lima orang bajak sungai yang jahat ini serta membubarkan anak buah bajak yang puluhan orang banyaknya? Siapa pula belum pernah mendengar betapa Beng Kun Cinjin ini pernah menjajal kepandaian beberapa ciangbujin (ketua partai persilatan besar) yang kemudian dia kalahkan?

Di samping terkenal sebagal seorang tokoh besar di dunia persilatan, Beng Kun Cinjin juga terkenal sekali ketika dia membantu pasukan pemerintah Cin melawan bala tentara Boan. Pasukan-pasukan Boan banyak sekali menderita kerugian apa bila bertemu dengan pasukan yang dibantu oleh hwesio ini.

Akan tetapi pihak Boan jauh lebih kuat. Selain banyak sekali panglima-panglimanya yarig gagah perkasa, juga jumlah mereka terlampau besar sehingga akhirnya Kerajaan Cin bisa dimusnahkan.

Beng Kun Cinjin yang sudah berusia lima puluh tahun akan tetapi tubuhnya masih kekar dan mukanya masih sehat kemerahan seperti orang muda itu, menjadi patah hati lalu dia menyembunyikan diri dari satu kelenteng ke kelenteng lainnya untuk bersemedhi sambil menyesali nasib negaranya. Dia menghibur hati sendiri dengan keyakinan bahwa semua itu, segala kegagalan hidup, baik manusia mau pun negara, adalah kehendak Thian!

Pada pagi hari itu ia bersemedhi di dalam Kelenteng Kwan-te-bio di dusun Cian-bun kwan. Teringat akan nasib negaranya, dia mengeluarkan kata-kata tadi tanpa tahu bahwa di luar kelenteng ada orang yang mendengarkan.

Orang itu memakai sepatu terbuat dari kain tebal dan lunak sehingga suara jejak kakinya tidak terdengar dari dalam kelenteng. Sesungguhnya, kalau Beng Kun Cinjin tidak sedang tenggelam di dalam lamunan dan kesedihan, tentu dia akan mendengar karena hwesio ini memiliki pendengaran yang amat tajam berkat lweekang-nya yang sudah tinggi sekali.

Orang itu cepat meninggalkan halaman kelenteng dan di lain saat dia telah meninggalkan kampung Cian-bun-kwan sambil membalapkan kudanya menuju ke kota raja. Sebenarnya orang ini adalah seorang mata-mata atau kaki tangan dari pasukan Boan yang berada di kota raja. Pada masa itu memang banyak sekali terdapat tikus-tikus semacam ini. yakni orang-orang yang tidak segan-segan untuk menjual bangsa dan tanah airnya sendiri demi untuk mendapatkan emas dan kedudukan!

Tidak lama kemudian, menjelang tengah hari, dari jurusan kota raja datang serombongan pasukan berkuda menuju ke dusun Cian-bun-kwan. Debu mengepul tinggi dan menempel pada daun-daun pohon di pinggir jalan ketika pasukan berkuda ini lewat dengan cepatnya. Pasukan itu cukup panjang, ada lima puluh orang, dikepalai oleh tiga orang perwira yang sikap dan pakaiannya tampak gagah perkasa.

Para petani yang sedang bekerja di sawah, hanya ada beberapa belas orang saja, cepat-cepat bertiarap dan sedapat mungkin menyembunyikan diri di antara galengan sawah agar jangan sampai terlihat oleh pasukan itu, yang mereka anggap sebagai serombongan iblis yang haus nyawa.

Belum juga pasukan itu memasuki dusun Cian-bun-kwan, penduduk yang tinggal sedikit itu siang-siang sudah lari cerai-berai ke selatan dusun karena sudah terlalu sering terjadi kalau serombongan pasukan Boan memasuki dusun, mereka akan meninggalkan dusun itu dalam keadaan hancur dan kosong. Rampok, bakar, bunuh, culik tentu menjadi akibat penyerbuan itu.

Akan tetapi sekali ini tidak demikian halnya. Pasukan itu seolah-olah tidak mempedulikan penduduk, tetapi langsung menuju ke Kelenteng Kwan-te-bio yang segera mereka kurung. Kuda mereka dikumpulkan di sebelah kiri kelenteng di mana terdapat sekelompok pohon yang liu (cemara).

Seorang di antara tiga orang perwira yang memimpin pasukan itu lalu menghampiri pintu kelenteng, akan tetapi dia ragu-ragu dan tidak berani masuk! Kemudian dia berseru keras ke arah pintu kelenteng yang terbuka itu.

"Beng Kun Cinjin, kami sudah tahu bahwa kau berada di dalam kelenteng ini!" Suara ini bergema kemudian lenyap sehingga keadaan menjadi sunyi sekali.

Walau pun di sana ada lima puluh orang tentara Boan, namun tak seorang pun di antara mereka yang mengeluarkan suara. Semua menahan napas dan memasang telinga tanpa bergerak. Hanya ringkik kuda terdengar di sebelah kiri.

Kemudian terdengar suara jawaban dari dalam kelenteng, suara yang tenang dan halus, akan tetapi nyaring menusuk telinga, "Memang pinceng berada di sini. Kalau kalian sudah tahu, mau apakah?"

"Beng Kun Cinjin, kami datang atas perintah kaisar. Keluarlah dan mari kita bicara secara baik-baik!" kata pula perwira itu.

"Kalian datang bukan pinceng (aku) yang mengundang, dan pinceng tidak ada urusan apa pun dengan kalian mau pun dengan Kaisar Boan, mengapa pinceng harus keluar? Kalian pergilah dan jangan mengganggu seorang pendeta yang sedang bersemedhi."

Perwira yang petentang-petenteng di depan pintu kelenteng itu menjadi marah sekali. Dia lalu melambaikan tangan kepada dua orang serdadu yang cepat menghampirinya.

"Dia keras kepala, mari kita lihat bagaimana macam orangnya " katanya.

Dia lalu masuk bersama dua orang serdadu, dan dari luar tiga orang ini sudah mencabut senjata, si perwira mencabut pedang dan dua orang serdadunya mencabut golok. Dengan berindap-indap seperti tiga ekor kucing yang mencari tikus, mereka memasuki kelenteng menuju ke arah datangnya suara.

Tampak oleh mereka Beng Kun Cinjin sedang duduk bersila di atas lantai ruangan tengah. Kepala yang gundul pelontos itu tunduk, sepasang matanya meram dan kedua tangannya dalam sikap semedhi, dirangkap dengan jari-jari tangan lurus di depan dada. Tasbeh yang panjang berwarna putih tergantung di leher sampai ke pusar.

Dalam keadaan seperti ini Beng Kun Cinjin nampak biasa saja, seperti seorang pendeta yang alim. Wajahnya yang bersih dan berparas tampan itu membuat dia terlihat jauh lebih muda dari pada usia sebenarnya.

Hati perwira dan dua orang serdadunya menjadi besar. Tak disangkanya bahwa Beng Kun Cinjin yang dikabarkan orang laksana iblis, yang sudah membunuh ratusan orang serdadu Boan dalam perang yang lalu, ternyata hanya macam ini saja. Perwira itu mengeluarkan suara menghina di dalam hidungnya, kemudian melangkah maju.

"Beng Kun Cinjin. kami adalah utusan kaisar. Mau tidak mau kau harus keluar bersama kami untuk menghadap kaisar," kata perwira itu dengan suara membentak-bentak. Tanpa membuka matanya, Beng Kun Cinjin menjawab.

"Tikus-tikus busuk, keluarlah dari sini!”

Perwira itu menjadi marah. Ia beserta kawan-kawannya memang mendapat tugas bahwa kalau tidak dapat memaksa hwesio ini menyerah, maka boleh membunuhnya saja. Ia lalu memberi isyarat kepada dua orang kawannya kemudian sambil berseru keras tiga orang ini menggerakkan senjata menyerang hwesio yang masih bersila sambil meramkan mata itu.

Dua batang golok membacok. kepala yang gundul kelimis dan sebatang pedang menusuk ke arah dada hwesio itu. Menurut patut, karena dia sendiri bertangan kosong dan sedang duduk bersila dengan mata tertutup, diserang seperti itu pasti pada lain saat kepala yang gundul pelontos itu akan terbelah sehingga menjadi tiga potong dan dada yang bidang itu akan ditembusi pedang.

Akan tetapi sama sekali tidak terjadi hal seperti itu, bahkan sebaliknya. Ketika tiga ujung senjata itu telah mendekati sasaran, tiba-tiba saja Beng Kun Cinjin menggerakkan kepala, diangkat ke atas. Tasbeh yang bergantung di lehernya bergerak keras sekali ke atas dan sekaligus tiga batang senjata tajam itu terpukul.

Terdengar suara nyaring lantas senjata-senjata itu terlepas dari pegangan dan terlempar, kemudian menimbulkan suara berisik ketika jatuh di atas lantai. Pada waktu tiga orang itu masih memandang bengong, Beng Kun Cinjin membuka kedua tangannya mendorong ke depan sambil berseru, "Keluarlah!"

Angin pukulan yang hebat sekali menyambar. Tiga orang itu langsung mencelat bagaikan disambar angin taufan dan tubuh mereka melayang keluar dari pintu, lalu jatuh berdebuk bergulingan di luar kelenteng!

"Lihai...! Lihai...!" perwira itu berkata sambil terbatuk-batuk, kemudian darah muncrat dari mulutnya.

"Setan dia...!" kata serdadu pertama.

"Siluman! Jangan dilawan...!" jerit serdadu ke dua.

Begitu berhasil merangkak bangun dua orang serdadu ini terus melarikan diri, akan tetapi hanya lima tindak karena mereka segera terguling. Ketika kawan-kawannya memandang, ternyata keduanya sudah tak bernyawa lagi.

Demikian hebatnya pukulan jarak jauh yang dilepaskan oleh Beng Kun Cinjin tadi hingga sekaligus bisa membunuh dua orang serdadu dan melukai seorang perwira yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari pada dua orang serdadunya

Perwira pertama yang memimpin barisan itu segera melangkah ke depan pintu kemudian dengan lantang dia berkata,

"Beng Kun Cinjin. mengapa kau seorang pendeta suci membunuh orang tanpa sebab?”

"Pinceng tidak mengundang kalian, tapi kalian berani mengirim tiga orang mengotori lantai kelenteng dan menyerang pinceng. Mati dan hidup di tangan Thian, kawan-kawanmu mati karena kesalahan sendiri, mengapa menyalahkan pinceng?"

"Beng Kun Cinjin, kau salah mengerti. Sesungguhnya kami diberi tugas oleh kaisar untuk mengundangmu ke istana. Kaisar yang mulia dan murah hati berkenan hendak memberi kedudukan tinggi padamu, Beng Kun Cinjin. Bahkan kau hendak diangkat menjadi kepala pengawal kaisar. Biarlah kami anggap kematian kawan-kawan kami itu kesalahan mereka sendiri dan tidak akan mengurus panjang asal kau sudi ikut dengan kami ke istana untuk menghadap kaisar."

Sampai lama tidak ada jawaban. Perwira itu menunggu hingga beberapa lama, kemudian kehilangan kesabaran dan bertanya lagi,

"Bagaimana, Beng Kun Cinjin? Maukah engkau menerima kehormatan dan kemuliaan di istana?”

Sekarang terdengar jawaban hwesio itu, jawaban yang dinyanyikan dengan suara nyaring bersemangat.

"Srigala utara mengurai selatan
sudah menjadi kehendak Thian!
Pinceng tak dapat berbuat apa-apa
karena semua usaha akan sia-sia.
Akan tetapi, menyuruh pinceng membantu srigala?
Pinceng lebih suka membonceng naga!
"

Di dalam jawaban bersajak ini, yang dimaksud dengan srigala utara tentu saja adalah bala tentara Mongolia atau juga Jengis Khan sendiri. Dahulu, pada waktu dia masih mengikut dalam perantauan suhu-nya, pernah suhu-nya meramalkan bahwa akan datang masanya Tiongkok dikuasai oleh srigala dari utara dan hal itu sudah menjadi kehendak Thian.

Guru dari Beng Kun Cinjin adalah seorang pertapa suci di Gunung Himalaya yang selain pandai ilmu silat, juga terkenal sebagai ahli hoat-sut (ilmu gaib) dan pandai pula meramal. Karena mengingat akan kata-kata gurunya inilah maka Beng Kun Cinjin tidak melanjutkan usahanya memusuhi pemerintah Boan (Mongol). Karena hal itu dianggap sudah menjadi kehendak Thian seperti yang dikatakan dalam nyanyiannya tadi.

Akan tetapi dia masih tetap seorang gagah. Dia tak sudi kalau disuruh membantu Kaisar Mongol seperti yang ditawarkan oleh perwira Mongol itu, tapi dia lebih suka membonceng naga. Kata-kata ini diambilnya dari kata-kata Khong Hu Cu yang menyatakan bahwa Lo Cu adalah seperti seekor naga sakti yang terbang di angkasa raya, sindiran bagi seorang pelamun atau seorang yang tekun memikirkan tentang hal hidup dan lain-lain.

Seperti diketahui, pelajaran Khong Cu adalah pelajaran praktis, pelajaran hidup di dunia ini, atau boleh dibilang pelajaran lahiriah dan tata susila hidup. Sebaliknya pelajaran Lo Cu lebih mendalam, lebih bersifat filsafat lamunan, lebih dekat dengan apa yang disebut alam halus atau alam tinggi. Demikian pula para pertapa selalu mendekati yang tinggi-tinggi ini dan karenanya Beng Kun Cinjin menyatakan bahwa ia lebih suka membonceng naga atau lebih suka menjadi pertapa untuk mencapai apa yang dicita-citakan oleh semua pertapa dan Lo Cu!

Mendengar nyanyian ini, perwira Boan itu menjadi marah.

"Beng Kun Cinjin, kau sedang berhadapan dengan utusan kaisar, harap kau suka berpikir lebih panjang. Ketahuilah olehmu bahwa kaisar sudah memberi kekuasaan kepada kami untuk membawamu ke istana, hidup atau mati. Jika kau suka berada di dalam istana, kau akan hidup. Akan tetapi kalau kau mau tinggal di luar istana, kau harus mati!"

Jawaban dari kata-kata ini hanyalah suara ketawa yang nyaring dan panjang, seolah-olah hwesio itu merasa geli sekali mendengar ancaman ini.

Perwira itu menjadi amat marah karena dia tahu bahwa Beng Kun Cinjin terang tidak mau menyerah. Dia mencabut senjatanya, yakni sepasang tombak pendek bercagak, lalu dia memberi aba-aba,

"Serbuuu...!”

Bagaikan air bah pasukan Mongol itu segera menyerbu. Ada yang memasuki pintu, ada yang menerjang jendela dan di lain saat mereka sudah tiba di ruangan di mana Beng Kun Cinjin masih duduk bersila sambil memandang pada mereka dengan senyum menghina.

"Beng Kun Cinjin, menyerahlah engkau sebelum kami menghancurkan tubuhmu." Perwira tadi mengancam.

Akan tetapi mendadak tangan kanan Beng Kun Cinjin bergerak ke depan, memukul atau mendorong sambil berseru, "Kaulah yang hancur!"

Perwira ini adalah seorang ahli silat tinggi. Melihat gerakan hwesio itu, dia terkejut sekali karena angin pukulan tangan hwesia itu luar biasa hebatnya. Tahu bahwa dia menghadapi pukulan jarak jauh yang luar biasa dan berbahaya.

Perwira ini cepat melompat ke samping akan tetapi tetap saja pundaknya terlanggar angin pukulan. Tubuhnya segera terlempar sampai menabrak kawan-kawannya yang berada di belakangnya!

Tak lama kemudian terdengar jerit pekik kesakitan dan tubuh para penyerbu itu terlempar bagai sekumpulan semut yang tertiup angin dari pohon! Ada yang terbanting pada dinding sampai kepalanya benjol-benjol, bahkan ada yang sampai pecah kepalanya dan tewas di saat itu juga, banyak pula yang patah tulang kaki tangannya.

Keadaan menjadi kacau balau dan perwira yang tidak terluka berat itu segera memberi aba-aba untuk mundur. Para serdadu Boan yang tidak atau belum terluka menyeret tubuh kawan-kawan yang terluka atau tewas dan tidak lama kemudian mereka telah berkumpul lagi di depan kelenteng.

Ternyata dalam segebrakan saja, dengan tiga orang penyerang terdahulu fihak pasukan Boan sudah menderita lima orang tewas dan sepuluh orang yang terluka berat. Belum lagi yang terluka ringan, banyak sekali. Dari sini dapatlah dinilai betapa hebat dan dahsyatnya kepandaian dari Beng Kun Cinjin!

Perwira ini cepat memberi aba aba, maka berserabutanlah para serdadu itu bekerja. Apa yang mereka lakukan? Ternyata mereka telah merencanakan siasat yang keji sekali untuk mengalahkan Beng Kun Cinjin yang lihai. Puluhan orang serdadu itu mengumpulkan kayu bakar yang ditaruh di sekeliling kelenteng, menaruh pula minyak bakar, kemudian mereka membakar tempat itu!

"Kepung kelenteng! Siapkan anak panah dan amgi (senjata gelap)!" perintah perwira itu.

Dibantu oleh teriknya matahari, sebentar saja kelenteng itu sudah terbakar. Api bernyala-nyala tinggi sekali dan hawa panas sampai terasakan oleh para serdadu yang mengepung kelenteng itu dari tempat yang berjarak enam tujuh tombak.

Kadang-kadang si perwira memberi aba-aba, kemudian meluncurlah puluhan batang anak panah, piauw (senjata gelap), pisau dan paku ke arah lubang-lubang pintu serta jendela, untuk mencegah pendeta itu melarikan diri dari dalam kelenteng! Ledakan-ledakan bambu dan benda lain di dalam kelenteng terdengar tar-ter-tor membikin bising, ditambah suara berkerataknya api memakan kayu. Tidak lama kemudian atap kelenteng yang terbakar itu roboh, disertai suara hiruk-pikuk dan asap hitam mengantar abu serta angus membubung tinggi di angkasa.

Tiga jam kemudian, yang tinggal dari Kelenteng Kwan-te-bio hanyalah bangunan tembok lima kaki tingginya. Yang lain-lain, yang terbuat dari kayu, musnah sama sekali menjadi tumpukan puing. Meja kursi bangku dan perabot-perabot lain lenyap menjadi abu. Patung-patung pecah terguling, tidak karuan lagi macamnya karena pakaian-pakaian patung telah terbakar habis.

Patung Kwan Kong yang tadinya berdiri gagah dengan pedang di pinggang, sudah roboh tertelungkup dalam keadaan telanjang. Ternyata yang ukirannya indah hanya pada bagian muka serta kaki tangan yang kelihatan saja. Bagian tubuh yang tadinya tertutup pakaian sutera ternyata hanya berupa tanah liat kering yang tak karuan bentuknya.

Semua serdadu Boan bersorak-sorak. Tak seorang pun yang melihat ketika hwesio yang ditakuti itu lari keluar, maka semuanya yakin bahwa hwesio kosen itu tentu telah mampus terbakar. Mereka bergembira, karena tadinya semua orang merasa cemas dan ketakutan kalau-kalau hwesio itu keluar dari kelenteng dan mengamuk. Akan tetapi perwira itu tidak mau bekerja setengah-setengah.

"Bongkar puing itu dan mari kita lihat mayatnya!"

Kembali para serdadu bekerja. Kalau tadi mereka bekerja untuk membuat api, sekarang malah sebaliknya, mereka sibuk memadamkan api yang masih memerah.

Akhirnya mereka mulai membongkar bagian ruangan di mana hwesio tua itu tadi bersila, namun di situ tidak terdapat mayat atau sisa-sisa mayat Beng Kun Cinjin. Mereka mencari ke bagian lain karena mengira bahwa dalam bingungnya dikurung api, mungkin hwesio itu berlari ke tempat lain. Akan tetapi di mana pun mayat hwesio itu tidak dapat ditemukan.

Semua orang penasaran sehingga akhirnya mereka saling pandang. Bulu tengkuk mereka berdiri dan wajah mereka berubah pucat. Ternyata bahwa di dalam kelenteng yang sudah habis terbakar itu tidak dapat ditemukan mayat Beng Kun Cinjin! Beng Kun Cinjin, entah masih hidup entah sudah mati, telah lenyap dari tempat itu!

"Tidak mungkin!" perwira itu berseru keras. "Kalau dia bisa lari menyelamatkan diri, pasti terlihat oleh kita yang mengurung tempat ini. Hayo cari lagi!"

Sampai matahari condong ke barat dan tempat itu sudah dibongkar sama sekali, mereka tetap saja tidak berhasil menemukan mayat Beng Kun Cinjin Akhirnya perwira itu menjadi ketakutan sendiri lalu dengan wajah lesu ia memberi perintah kepada anak buahnya untuk kembali ke kota raja membuat laporan, sambil membawa kawan-kawan yang terluka dan tewas. Kalau pada waktu datang ke dusun itu rombongan tentara Boan ini nampak garang dan galak, adalah sekarang perginya nampak lesu dan muram…..

********************

"Ada setan, tolooong...!”

"Siluman hitam...! Siluman hitam...! Hayo kepung, tangkap!"

Teriakan-teriakan ini terdengar pada tengah malam di dalam lingkungan bangunan istana kaisar di kota raja. Maka sebentar saja keadaan menjadi geger tak karuan. Para pelayan berlari tunggang-langgang saling bertumbukan, para pengawal siap sedia dan berkumpul untuk menghadapi setan atau siluman yang membikin takut orang itu.

Pembesar-pembesar yang tak mengerti ilmu silat cepat-cepat menyembunyikan diri, akan tetapi para pangeran yang pandai ilmu silat segera keluar sambil membawa senjata. Sikap mereka ini gagah sekali, seakan-akan setiap orang sanggup untuk melawan setan!

Tinggi di atas wuwungan istana, benar saja terlihat sesuatu makhluk yang tampak sangat mengerikan. Perawakannya mirip manusia, kepalanya gundul, tubuhnya tinggi besar dan tegap, dadanya bidang dan tampaknya kuat sekali, sepasang matanya saja yang tampak berkilat-kilat karena muka dan kepalanya, juga tangan dan kakinya, semua menghitam!

Sebenarnya dia berpakaian, tetapi sukar disebut pakaian karena tidak karuan macamnya, hanya menutupi bagian terpenting saja, dari atas lutut sampai pinggang. Ada juga sedikit bagian pakaian yang masih mengalungi pundak kirinya, namun semuanya sudah cabik-cabik dan hangus.

Di bawah genteng para pengawal dan busu sudah siap berkumpul, semua memandang ke atas penuh perhatian. Beberapa orang pengawal yang siang tadi ikut menyerbu Kelenteng Kwan-te-bio menjadi pucat sekali setelah sinar lampu dan cahaya bulan menerangi muka makhluk itu..


"Dia... dia Beng Kun Cinjin..!” kata perwira yang tadi memimpin serangan. Para pengawal yang mendengar ini, semuanya menjadi pucat.

Perwira yang memimpin pasukan siang tadi telah bercerita tentang keanehan yang terjadi, yaitu bahwa kelenteng telah dibakar habis akan tetapi hwesio di dalamnya hilang musnah, sungguh hal yang sangat tidak mungkin. Dan kini, pada tengah malam, hwesio itu muncul dalam keadaan mengerikan sekali. Tubuh dan pakaiannya hangus menghitam! Siapa yang takkan merasa gentar dan seram?

"Betul, dia... dia setan dari hwesio yang mati terbakar. Hidup lagi... jadi setan...!”

Mendengar kata-kata ini, ada beberapa orang pengawal istana sudah lari lintang pukang saking takutnya. Akan tetapi para panglima yang hadir di situ cepat membentak sehingga pengawal-pengawal yang lari menghentikan larinya, lalu kembali dengan muka merah.

"Manusia atau setan iblis atau bukan, kita harus menangkapnya!" kata seorang Panglima Kim-i-wi (Pengawal Baju Sulam) yang terkenal sebagal jagoan yang berilmu tinggi.

Panglima ini masih muda. Dalam kedudukan di antara para pengawal kaisar, dia terhitung menduduki tingkat ke dua. Namanya Lo Thung Khak dan ilmu tombaknya sudah membuat dia dijuluki orang Sin-chio (Tombak Sakti). Dalam usia tiga puluh lima tahun sudah dapat menduduki tingkat begitu tinggi, membuktikan bahwa kepandaiannya memang lihai.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar