Kisah Si Rase Terbang (Hoei Ho Gwa Toan) JIlid 5

Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
----------------------------

JIlid 5

Tiba-tiba si tukang pikul dan lukang solder, yang berada di luar ruangan, bercekcok mengenai soal ada tidaknya golok mustika yang dapat mem-bacok putus emas dan giok, dalam dunia ini.

"Mana ada golok yang bisa memutuskan besi seperti membacok lumpur?" seru si tukang pikul. "Apa yang dinamakan Po-to (golok mustika) hanya golok yang lebih tajam dari golok biasa."

"Tahu apa kau?" si tukang solder mengejek. "Golok mustika adalah goiok mustika. Jika tak khawatir kau menjadi ketakutan aku bisa mem-perlihatkan kau sebiiah mustika, supaya kedua matamu jadi lebih terbuka."

"Kau punya golok mustika?" si tukang pikul menegas. "Fui. Jangan suka mengimpi di siang hari bolong! Jika kau mempunyai Po-to, tak usah kau menjadi tukang tambal pantat kuali! Kalau dikata-kan kau mempunyai golok sayur yang tumpul, aku pcrcaya juga." Mendengar ejekan itu, beberapa orang lantas saja tertawa berkakakan.

Dengan lagak mendongkol, si tukang solder mengeluarkan sebilah golok bersarung kulit, dari pikulannya. Begitu dihunus, golok itu mengeluar¬kan sinar berkeredep yang menyilaukan mata.

"Benar-benar golok luar biasa!" puji semua orang yang berada di situ.

Si tukang solder mengangkat goloknya dan ber-lagak membacok tukang pikul itu yang lantas loncat menyingkir sembari berteriak: "Aduh! Tolong ibu!" Melihat lelucon itu, para penonton tertawa ter-bahak-bahak.

Biauw Jin Hong terus memasang mata. "Hm! Tak bisa salah lagi, mereka adalah sejalan," pikirnya. "Dilihat lagaknya, permainan itu bukan ditujukan kepadaku."

"Siapa mempunyai golok sayur?" tanya si tukang solder. "Aku pinjam."

"Ada," jawab si pelayan yang lantas masuk ke dapur dan keluar lagi dengan membawa golok.

"Cekal keras-keras," ujar tukang solder itu, sem¬bari menyabet dengan goloknya. "Trang!" dan golok sayur itu kutung menjadi dua!

Semua orang bersorak-sorai sembari menepuk-nepuk tangan dan memuji ketajaman golok mustika itu.

Si tukang solder kelihatan girang dan bangga sekali. Lantas saja ia mengebul dan menceritakan bagaimana lihay dan tajamnya golok itu, sehingga semua orang mendengarkannya dengan mulut ter-nganga.

Lam Jin Thong yang juga mendengar segala perkataannya, tanpa merasa mengeluarkan geren-dengan "hm", sedang bibirnya menjebi.

"Saudara Jin Thong," kata "Tiauw Houw-heng" itu. "Aku rasa golok itu pantas dinamakan golok 'mustika'. Tak nyana, orang semacam itu mem¬punyai senjata yang begitu berharga."

"Tajam sih memang tajam," sahut Lam Jin Thong. "Tapi belum tentu dapat dikatakan golok mustika."

"Aku rasa Saudara keliru," kata "Tiauw Houw-heng". "Saudara sudah melihat dengan mata sendiri, bagaimana tajamnya golok itu. Apakah di dalam dunia ada senjata yang terlebih tajam?"

Lam Jin Thong tertawa seraya berkata: "Karena belum banyak pengalaman, melihat golok begitu saja, Saudara sudah terheran-heran. Aku...."

"Thia," si nona mendadak memutuskan per¬kataannya. "Hayolah cepat minum dan makan. Kau harus tidur siang."

"Anak sekarang pintar menilik orang tuanya," kata sang ayah sembari tertawa dan mengangkat sumpitnya.

"Hari ini benar-benar aku beruntung karena kedua mataku jadi lebih terbuka," kata pula "Tiauw Houw-heng". "Aku rasa, Saudara juga baru pernah melihat golok mustika yang semacam itu."

"Yang sepuluh kali lipat lebih bagus, aku sering melihatnya," jawab Lam Jin Thong sembari tertawa dingin.

"Tiauw Houw-heng" tertawa berkakakan. "Sau¬dara benar-benar suka guyon-guyon," katanya. "Saudara adalah pembesar sipil. Golok mustika apa¬kah yang Saudara pernah lihat?"

Si tukang solder agaknya juga sudah dapat menangkap pembicaraan kedua orang itu dan ia lantas saja berteriak: "Jika di dalam dunia benarbenar ada golok yang bisa mengalahkan golokku ini, aku rela mempersembahkan kepalaku kepada-nya. Memang, berapa sukarnya orang menggoyang lidah. Aku bisa kata, anakku pernah menjadi pem-besar tingkat kelima."

Melihat keberanian si tukang solder, semua orang jadi terkejut. "Jangan rewel, tutup mulutmu!" bentak seorang antaranya.

Lam Jin Thong gusar bukan main. Dengan muka pucat, ia bangun dan berjalan masuk ke kamarnya dengan tindakan lebar.

"Ayah!" putcrinya memanggil, lapi dalam kegu-sarannya, mana ia mau meladeni. Dilain saat, ia sudah keluar pula dengan menenteng sebatang go¬lok melengkung yang panjangnya tiga kaki dan bersarung hitam.

"Hei! Tukang solder!" ia membentak. "Aku mempunyai sebatang golok untuk diadu dengan golokmu. Jika kau kalah, kutungkanlah kepalamu!"

"Jika Looya (panggilan untuk seorang berpang-kat) yang kalah?" tanya tukang solder itu.

"Aku juga akan mengutungkan kepalaku," ja-wab Lam Jin Thong dengan suara gusar.

"Thia," bujuk puterinya. "Kau sudah minum terlalu banyak. Guna apa rewel dengan mereka? Hayolah kita balik ke kamar."

Melihat Lam Jin Thong sudah bergerak untuk menurut bujukan puterinya, si tukang solder iantas saja berkata: "Jika Looya kalah, siauwjin (aku yang rendah) mana berani menerima kepala Looya? Be-gini saja: Ambillah aku sebagai menantumu!"

Mendengar kata-kata yang kurang ajar itu, ada yang tertawa dan ada pula yang menegur padanya.

Lam Siocia sendiri menjadi merah mukanya dan dengan kemalu-maluan, ia lari masuk ke dalam kamarnya.

Perlahan-lahan Lam Jin Thong menarik keluar golok itu dari sarungnya. Baru dihunus separuh, suatu sinar hijau yang dingin berkeredep menyi-laukan mata dan sesudah dicabut seluruhnya, sinar dingin itu berkeredep-keredep tak hentinya, se-hingga orang sukar membuka matanya.

"Buka matamu!" Lam Jin Thong membentak. "Golokku ini dinamakan Hui-ho Po-to (Golok mus¬tika si Rase Terbang)."

Golok itu yang tebal belakangnya dan tipis bagian tajamnya, sungguh-sungguh hebat. Si tukang solder mendekati dan mendapat kenyataan, bahwa gagang golok yang berbentuk rase terbang dibung-kus dengan benang emas. "Golok Looya benar-benar bagus, tak usah diadu lagi," katanya.

Melihat siasat orang-orang itu, Biauw Jin Hong Iantas saja mengerti maksudnya. Tak salah lagi. mereka datang untuk merampas golok mustika ter-sebut. Sebagaimana diketahui, orang-orang yang pandai silat menghargai senjata tajam seperti jiwa-nya sendiri. Maka itu, tidaklah mengherankan, jika golok mustika itu sudah membikin banyak orang jadi mata gelap. Akan tetapi, Lam Jin Thong adalah seorang pembesar sipil. Dari mana ia memperoleh Po-to itu? Dan dengan cara apa, orang-orang itu bisa mengetahuinya?

Sesudah mengerti, bahwa orang-orang itu bu¬kan hendak menyeterukan dirirtya, hati Biauw Jin Hong menjadi tenang.

Begitu Hui-ho Po-to terhunus, "Tiauw Houw-heng", si pelayan, si tukang pikul, si kusir dan tukang solder serentak mendekati. Biauw Jin Hong menge-tahui, bahwa semuanya sudah merasa tidak sabar dan mereka belum turun tangan hanya karena me¬rasa jerih satu terhadap yang lain.

Karena diejek, dalam kegusarannya Lam Jin Thong memang berniat mengadu goloknya. Tapi sesudah melihat golok lawan yang juga bukan golok biasa, hatinya khawatir kalau-kalau senjatanya sen-diri turut mendapat kerusakan. Maka itu, lantas saja ia berkata: "Sudahlah, jika kau mengakui kesalahan-mu. Lain kali janganlah bicara yang tidak-tidak."

Selagi Lam Jin Thong ingin masukkan senjata itu ke dalam sarungnya, "Tiauw Houw-heng" seko-nyong-konyong merampas golok itu dan dengan sekali menyabet, golok si tukang solder sudah men-jadi dua potong.

Si tukang solder, tukang pikul, kusir dan si pelayan segera mengurung "Tiauw Houw-heng" dan bersiap untuk lantas turun tangan. Melihat begitu, walaupun tangannya mencekal golok mustika, ia merasa tidak ungkulan dan buru-buru memulang-kan golok itu kepada Lam Jin Thong sembari ber¬kata: "Golok bagus! Golok bagus!"

Paras muka Lam Jin Thong berubah. "Hai, kau sungguh ceroboh!" ia menegur sambil masukkan Hui-ho Po-to ke dalam sarungnya dan kemudian kembali ke kamarnya untuk mengaso.

Biauw Jin Hong mengerti, bahwa dengan siasat-nya itu, kelima orang tersebut hanya ingin mencari tahu benar tidaknya Lam Jin Thong mempunyai golok mustika. Ia menaksir, bahwa dalam tempo cepat, mereka berlima akan saling membunuh dalam perebutan. Meskipun Biauw Jin Hong berjiwa ksatria, tapi karena melihat cara-cara Lam Jin Thong yang sangat kasar, ia segera memutuskan untuk tidak mencampuri urusan itu.

Besok paginya, ia mendapat kenyataan, bahwa Lam Jin Thong dan puterinya sudah berangkat, sedang si tukang solder dan yang Iain-lain, bahkan si pelayan juga, sudah menghilang dari rumah penginapan tersebut.

"Ah, benar juga orang kata, bahwa di segala pelosok dunia terdapat buaya-buaya," kata Biauw Jin Hong di dalam hatinya sambil menghela napas. Ia lalu membayar uang penginapan dan berangkat dengan menunggang kudanya. Sesudah berjalan dua puluh li lebih, di selat gunung sebelah barat mendadak terdengar teriakan seorang wanita yang menyayatkan hati: "Tolong! Tolong!" Ituiah teriak¬an Lam Siocia! Begitu mendengar jeritan itu, Biauw Jin Hong jadi naik darahnya. Ia loncat turun dari tunggangannya dan berlari-lari ke arah suara teriak¬an itu dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Sesudah membelok dua kali, jauh-jauh ia sudah melihat mayat Lam Jin Thong yang rebah di atas salju, sedang Hui-ho Po-to menggeletak di samping mayat itu, agaknya tak ada orang yang berani menjumput terlebih dulu. Lam Siocia yang sedang menangis, ditekap mulutnya oleh si tukang solder.

Biauw Jin Hong segera menyembunyikan diri di belakang sebuah batu besar untuk menyaksikan perkembangan selanjutnya.

"Golok mustika hanya satu, yang menginginkan ada lima orang," kata "Tiauw Houw-heng". "Bagaimana baiknya?"

"Kita mengadu kepandaian, siapa menang, sia-pa dapat," jawab si tukang pikul.

"Tiauw Houw-heng" melirik Lam Siocia dan berkata pula: "Golok mustika dan wanita cantik adalah benda yang sama-sama sukar didapat di dalam dunia."

"Aku tak turut dalam perebutan golok," kata si tukang solder. "Cukup dengan mendapatkan ini."

"Enak saja kau!" bentak si pelayan sembari tertawa dingin. "Begini saja: Yang nomor satu dapat golok, nomor dua dapat si nona."

"Bagus! Aku mufakat," kata si kusir.

"Lauw-hia (kakak)," kata si pelayan kepada si tukang solder. "Lepaskanlah dia. Mungkin sekali aku merebut kedudukan kedua dan nona manis itu akan menjadi isteriku!"

"Benar!" kata "Tiauw Houw-heng" sembari ter¬tawa.

Mau tak mau, si tukang solder melepaskan Lam Siocia yang lantas saja menghampiri mayat ayahnya dan menangis.

"Siocia, sudahlah, jangan menangis!" kata si tukang pikul sembari menarik tangan Lam Siocia dengan cara yang kurang ajar sekali.

Sampai di situ, Biauw Jin Hong tak dapat ber-sabar lagi. Dengan tindakan lebar, ia keluar dari tempat sembunyinya dan membentak: "Pergi!"

Kelima orang itu terkesiap.

"Siapa kau?" tanya mereka hampir berbareng.

Biauw Jin Hong yang tak suka banyak berbicara, hanya mengebas tangannya dan membentak pula: "Pergi semua!"

Antara mereka adalah si tukang solder yang adatnya paling berangasan. "Kau yang pergi!" ia berteriak sembari menghantam dada Kim-bian-hud dengan kedua tangannya.

Biauw Jin Hong mengerahkan tenaga dalamnya dan menangkis kekerasan dengan kekerasan juga. Begitu kesampok, badan si tukang solder "terbang" ke udara untuk kemudian jatuh ngusruk di atas salju!

Melihat lihaynya Biauw Jin Hong, keempat orang lainnya jadi terperanjat. "Siapa kau?" mereka menanya pula.

Biauw Jin Hong tak menyahut, ia terus me-nerjang. Si kusir mengeluarkan Joan-pian (cambuk) dari pinggangnya dan si tukang pikul menarik keluar pikulannya dan mereka segera menyerang dari kiri kanan. Kim-bian-hud mengetahui, bahwa lima orang itu semuanya mempunyai kepandaian tinggi dan jika mereka mengerubuti, belum tentu ia bisa mendapat kemenangan. Maka itu, begitu berge-brak, ia segera menurunkan tangan dengan tidak mengenal kasihan lagi. Sembari mengelit sambaran Joan-pian, tangan kanannya menangkap ujung pi-kulan yang lantas dibetotnya dan dengan sekali mengerahkan tenaga, pikulan itu yang terbuat dari kayu angco sudah dibuatnya patah menjadi dua potong! Hampir berbareng dengan itu, kaki kirinya menendang si kusir yang lantas saja jatuh terpe-lanting. Dengan ketakutan, si tukang pikul coba melarikan diri, tapi Biauw Jin Hong sudah keburu mencengkeram leher bajunya dan sekali dilontar-kan, badan tukang pikul itu melayang ke tengah udara bagaikan layangan putus dan jatuh celentang di tempat yang jauhnya belasan tombak.

"Tiauw Houw-heng" yang bisa melihat gelagat, buru-buru membungkuk dan berkata dengan suara manis: "Menyerah! Kita menyerah. Po-to itu seha-rusnya menjadi milik tuan." Sembari berkata begitu, ia memungut Hui-ho Po-to dan mempersembah-kannya kepada Biauw Jin Hong.

"Aku tak kesudian!" kata Kim-bian-hud. "Pu-langkan kepada yang punya!"

"Tiauw Houw-heng" terkejut. "Di dalam dunia, di mana ada orang yang begitu baik hati!" pikirnya. Ia mengawasi Biauw Jin Hong yang mukanya ber-warna kuning emas dan parasnya angker sekali. Mendadak ia sadar. "Ah!" katanya. "Tuan adalah Kim-bian-hud Biauw Tayhiap!"

"Kami semua mempunyai mata, tapi tak bisa melihat gunung Thaysan," kata "Tiauw Houw-heng". "Sekarang kami bertemu dengan Biauw Tayhiap. Apalagi yang kami bisa katakan." Sehabis berkata begitu dengan kedua tangan ia meng-angsurkan golok mustika itu seraya berkata pula: "Siauwjin (aku yang rendah) bernarna Chio Tiauw Houw dan sungguh beruntung, bahwa hari ini aku bisa bertemu dengan Biauw Tayhiap. Terimalah golok ini!"

Biauw Jin Hong yang paling sungkan rewel, lantas saja menyambuti dengan niatan untuk me-nyerahkan lagi senjata mustika itu kepada Lam Siocia.

Dan pada detik itulah, berbareng dengan ter-dengarnya suara "srr, srr" yang sangat halus, Biauw Jin Hong merasakan lututnya seperti digigit semut, dan sementara itu, Chio Tiauw Houw yang sudah loncat minggir, lantas saja kabur sembari berteriak: "Dia sudah terkena Coat-bun Tok-ciam (jarum be-racun)! Lekas kepung padanya!"

Mendengar kata-kata "Coan-bun Tok-ciam", Biauw Jin Hong terperanjat. Ia ingat, bahwa paku beracun keluarga Chio di propinsi Hunlam tersohor lihaynya di seluruh wilayah Tionggoan. Sembari menarik napas dalam-dalam, ia loncat memburu dan dalam sekejap sudah menyusul musuh itu. Sekali ditotok jalan darahnya, Chio Tiauw Houw rubuh terguling.

Mendengar Kim-bian-hud sudah kena senjata beracun, si tukang pikul dan yang lain merasa sangat girang dan lantas saja mengurung dari sebelah jauh untuk menunggu sampai racun bekerja. Biauw Jin Hong menahan napas dan menerjang maju dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan yang pa¬ling tinggi. Si tukang pikul ketakutan setengah mati dan lari ngiprit berputar-putar sekeras-kerasnya mengelilingi kalangan pertempuran itu. Tapi, mana bisa ia meloloskan diri dari tangan Kim-bian-hud. Di lain saat, Biauw Jin Hong sudah menghantam dengan telapak tangan kanannya dan dia terjungkal binasa dengan isi perut hancur. Kaki Kim-bian-hud tak berhenti dan beberapa detik kemudian, ia sudah menyusul si kusir yang dalam keadaan kepepet, terpaksa melawan juga dengan Joan-piannya. Ia mengharap bisa mempertahankan diri sampai de-lapan sembilan jurus, untuk menunggu bekerjanya racun. Tapi Biauw Jin Hong tentu saja sungkan memberi kesempatan dan sekali berkelebat, ta-ngannya sudah menangkap ujung pecut yang lantas dibetot dan cepat luar biasa, ia menghantam kepala musuh dengan gagang Joan-pian itu, si kusir lantas saja terguling dengan batok kepala hancur.

Sesudah membinasakan dua orang, kaki Biauw Jin Hong sudah mulai kesemutan. la mengetahui, bahwa disaat itu, ia berada dalam keadaan yang menentukan mati atau hidup dan sedikit pun ia tidak boleh mengaso. Akan tetapi, si pelayan dan si tukang solder berada dalam jarak puluhan tombak. Selama hidup, sedapat mungkin Kim-bian-hud sungkan mengambil jiwa manusia. Tapi, ia mengerti bahwa jika di antara lima musuh itu masih ada yang hidup dan ia sudah keburu rubuh akibat bekerjanya racun, maka jiwanya tentu tidak dapat ditolong lagi. Mengingat begitu, sambil menggertak gigi, ia me-ngejar si pelayan. Orang itu licik sekali, ia berlari-lari di tempat-tempat becek dan banyak lubang. Tapi dengan memiliki ilmu mengentengkan badan yang sangat tinggi, itu semua tidak merupakan rin-tangan besar bagi Kim-bian-hud yang dengan cepat sudah dapat menyusul. Dalam keadaan putus ha-rapan si pelayan mencabut Citsiunya (pisau) dan menubruk. Pada saat ditubruk, Biauw Jin Hong memutarkan badan dan tanpa menengok lagi, ia menendang ke belakang. Sehabis memandang, ia segera mengejar si tukang solder. Tendangan itu dengan jitu menghajar ulu hati si pelayan yang lantas saja rubuh tanpa bernapas lagi.

Meskipun ilmu silatnya tidak seberapa tinggi, si tukang solder memiliki ilmu mengentengkan ba¬dan Gan-hong-kong dari keluarga Ciong, yang di-anggap sebagai ilmu luar biasa dalam Rimba Per-silatan. Disamping itu, pengejaran atas berapa orang itu barusan sudah mempercepat bekerjanya racun, sehingga, ketika mengejar si tukang solder, tindakan Biauw Jin Hong tidak begitu cepat lagi dan ia tak dapat menyusul musuhnya. Melihat itu, si tukang solder menjadi girang sekali. "Dengan dipayungi Tuhan, golok mustika dan nona manis akan menjadi milikku," pikirnya.

Tapi baru saja ia bergirang, ketika serupa benda hitam sekonyong-konyong datang menyambar ba-gaikan kilat dan tak dapat dielakkannya lagi. Ter-nyata, benda itu adalah Joan-pian yang dilontarkan oleh Biauw Jin Hong. Setelah mengetahui, bahwa ia tidak akan dapat menyusul musuhnya, ia me-nimpuk dengan menggunakan tenaganya yang penghabisan dan timpukan itu tepat mengenai kempungan si tukang solder yang lantas saja menggeletak binasa di atas tanah yang tertutup salju. Tapi, sekarang Kim-bian-hud sendiri tak dapat mempertahankan dirinya lagi dan ia jatuh terduduk.

Sambil menangis di samping jenazah ayahnya, Lam Siocia memperhatikan jalannya pertempuran dahsyat itu dengan hati berdebar-debar dan penuh ketakutan. Ketika melihat Biauw Jin Hong rubuh, buru-buru ia menghampiri dan coba membangun-kannya. Tapi tubuh Kim-bian-hud yang tinggi be¬sar, berada di luar batas kekuatan gadis yang lemah itu.

Walaupun bagian bawah badannya mati, pikiran Biauw Jin Hong masih tetap jernih. "Lekas geledah badannya," ia memerintah sambil menuding Chio Tiauw Houw yang tak dapat bergerak, karena jalan darahnya ditotok. "Ambil obatnya dan berikan ke-padaku." Lam Siocia melakukan itu dan beberapa saat kemudian, ia mengeluarkan sebuah botol kris-tal dari dalam saku Tiauw Houw.

"Apa ini?" tanya si nona.

Saat itu otaknya Kim-bian-hud sudah mulai butak. "Jangan mau tahu... kasih... aku... makan," katanya dengan suara lemah.

Lam Siocia lalu membuka tutup botol tersebut dan menuang yowan yang berwarna kuning ke mulut Biauw Jin Hong.

"Bunuh mati padanya!" memerintah Kim-bian-hud sesudah menelan obat itu.

Si nona terkejut dan menyahut dengan suara terputus-putus: "Aku... aku tidak berani... mem-bunuh orang."

"Dia yang memhunuh ayahmu!" berkata Biauw Jin Hong dengan suara keras.

"Tidak... aku tidak berani," jawabnya, tergugu.

"Sesudah lewat enam jam, jalan darahnya akan terbuka sendiri," kata Biauw Jin Hong. "Aku men-dapat luka sangat berat... kita berciua bisa mati tanpa kuburan."

Dengan kedua tangan, Lam Siocia mengangkat golok mustika itu yang ialu dihunus. Sesaat itu, ia melihat kedua mata Chio Tiauw Houw menge¬luarkan sorot minta dikasihani. Sebagai manusia yang belum pernah memotong ayam atau bebek, bagaimana dapat diharapkan agar si nona bisa turun tangan untuk membunuh orang?

"Jika kau tidak membunuh dia, bunuhlah aku!" bentak Biauw Jin Hong. Si nona terkesiap, goloknya terlepas dan jatuh tepat di atas kepala Chio Tiauw Houw. Hui-ho Po-to adalah golok mustika yang dapat memapas besi bagaikan lumpur, maka begitu kena, kepala Chio Tiauw Houw lantas terbelah dua! Lam Siocia menjerit dan rubuh pingsan di atas badan Kim-bian-hud.



***



Melamun sampai di situ, anaknya yang didu-kung itu mendadak tersadar dan menangis. "Ayah, mana ibu?" tanyanya dengan sesenggukan.

Biauw Jin Hong tak menyahut. Anak itu me-nengok ke sana sini dan secara kebetulan, ia melihat nyonya cantik itu yang berada di dekat perapian. Sambil mementang kedua tangannya, ia berteriak: "Ibu! Ibu! Lan-lan sedang mencari kau!" Ia me-ronta-ronta, ingin menghampiri nyonya itu yang dipanggil ibu.

Semua orang heran bukan main. Terang-terang nyonya itu adalah istri Tian Kui Long. Kenapa anak itu memanggii "ayah" kepada Biauw Jin Hong dan "ibu" kepadanya? Suasana lantas saja menjadi te-gang dan semua orang, kecuali anak itu yang ter-girang-girang, berdebar-debar hatinya.

Perlahan-lahan nyonya itu bangun, mengham¬piri Biauw Jin Hong dan lantas saja menggendong anak itu.

"Ibu! Lan-lan sudah dapat mencari kau!" kata¬nya dengan girang.

Si nyonya memeluk anak itu erat-erat. Dua muka yang cantik, satu besar dan satu kecil, jadi menempel satu pada yang lain dan air mata si anak yang belum kering jadi bercampur dengan air mata si ibu yang baru mengucur keluar.

Sementara itu, si lengan satu yang sedari tadi berdiri di pojok tembok dengan mata waspada, perlahan-lahan menghampiri Giam Kie. la mem-bungkuk dan berbicara bisik-bisik di kuping kepala perampok itu, yang paras mukanya berubah pucat dengan mendadak. Sesudah melirik Biauw Jin Hong dengan sorot mata ketakutan, perlahan-lahan Giam Kie masukkan tangannya ke dalam saku dan ke-mudian mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari kertas minyak. Si lengan satu mengambil bungkusan itu, yang lalu dibukanya.

Ternyata, di dalamnya terdapat dua lembar kertas yang sudah agak tua. la manggut-manggut-kan kepalanya, masukkan bungkusan itu ke dalam kantong sendiri dan kemudian kembali ke pojok tadi.

Beberapa saat kemudian, nyonya itu menge-ringkan air matanya dengan lengan baju dan se¬sudah mencium anaknya, sekonyong-konyong ia berbangkit dan sambil menahan turunnya air mata, ia menyerahkan kembali anak itu kepada Biauw Jin Hong.

"Ibu...! Ibu...! Ibu...!" teriak anak itu sambil meronta-ronta. Tapi sang ibu tetap berlalu, berlalu tanpa menengok pula.

Biauw Jin Hong menahan sabar sambil me-nunggu. Ia menunggu jawaban si cantik, ia me-nunggu menengoknya ibu yang telengas itu, untuk melihat puterinya yang sedang meronta-ronta.

Di dalam hatinya, Biauw Jin Hong ingin sekali menyeret dan menginjak seorang manusia durhaka dengan kakinya untuk kemudian dibinasakan. Akan tetapi, ia mengetahui, bahwa manusia itu tentu akan mendapat pertolongan. Biauw Jin Hong adalah seorang yang dikenal sebagai tiada tandingannya dalam dunia ini, tapi hatinya lembek, penuh welas asih dan ia mencinta, dengan seluruh hatinya, pe-rempuan cantik itu yang berhati kejam.

Demikianlah, sedang puterinya menjerit-jerit memanggil ibu, ia menunggu dan menunggu terus....

Apakah si cantik tuli?

Apakah dia manusia berhati baja?

Teriakan itu menyayatkan hati, tapi seujung rambut, ia tak bergerak.

Darah Kim-bian-hud bagaikan bergolak-go-lak. Jika menuruti dorongan hatinya, ia tentu sudah menghantam hancur puterinya sendiri, agar tak usah mendengar jeritan-jeritan yang mengiris hati.

Demikianlah, seorang gagah perkasa tiada tan-dingan, seorang ksatria dari ujung rambut sampai ujung jari kakinya, seolah-olah menjadi linglung. Ia memandang ke depan dengan mendelong dan di depan matanya kembali terbayang peristiwa di Ciangciu tiga tahun berselang itu.



***



Ketika itu, di atas tanah yang tertutup salju menggeletak tak kurang dari enam mayat. Akibat jarum beracun, Biauw Jin Hong tak dapat berdiri lagi, sedang Lam Siocia berada dalam ketakutan hebat.

"Tuntun kuda itu kemari," memerintah Kim-bian-hud dengan suara keras. Buru-buru si nona menuntun kuda itu ke hadapan Biauw Jin Hong dan kemudian mengangsurkan tangannya yang lemas halus untuk mengangkatnya. "Minggir!" perintah Biauw Jin Hong pula.

Sesudah Lam Siocia menyingkir, Kim-bian-hud ialu mencekal injakan kaki pada pelananya dan dengan sekali mengerahkan tenaga, tubuhnya ter-angkat naik dan hinggap di atas pelana.

"Pungut golok itu," kata Biauw Jin Hong dan bagaikan orang kehilangan semangat, si nona lan-tas saja menurut. Sesudah itu, dengan sebelah tangan ia mengangkat naik tubuh Lam Siocia ke atas pelana dan perlahan-lahan ia melarikan tung-gangannya kembali ke rumah penginapan yang semalam.

Selama dalam perjalanan, dengan mengerahkan tenaga dalamnya, Biauw Jin Hong tak sampai men-jadi pingsan. Tapi, begitu tiba di hotel, ia tak dapat mempertahankan did lagi dan jatuh tergulingdi atas salju di depan rumah penginapan itu. Dua pelayan lantas saja menggotong ia masuk ke dalam kamar.

Oleh karena menanggung budi yang sangat besar, Lam Siocia merawat penolongnya ini dengan telaten. Begitu tersadar dari pingsannya, Biauw Jin Hong segera menggulung kaki celananya dan men-cabut dua batang jarum beracun yang masih me-nancap pada lututnya.

Sesudah itu, ia lalu minta seorang pelayan hotel mengisap darah beracun dari lukanya. Meskipun

dijanjikan upah besar, pelayan itu tak berani me-lakukan pekerjaan tersebut. Tanpa berkata suatu apa, Lam Siocia segera menempelkan mulutnya yang mungil pada lutut Biauw Jin Hong dengan penuh kerelaan, ia menyedot keluar semua darah beracun yang mengeram di lutut sang penolong.

Si nona mengetahui, bahwa dengan berbuat begitu, ia sudah menyerahkan jiwa dan raganya kepada "si orang dusun". Tak perduli apakah dia itu seorang perampok atau buaya, Lam Siocia sudah mengambil keputusan untuk mengikuti orang yang sudah menolong jiwanya dan membaiaskan sakit hati ayahnya. Di lain pihak, Biauw Jin Hong juga mengerti, bahwa berbareng dengan diisapnya darah beracun oleh nona itu, penghidupannya berkelana di kalangan Kang-ouw sudah tiba pada akhirnya. Mulai dari sekarang, ia bertanggung jawab untuk keselamatan wanita itu, suka duka Ciankim Siocia tersebut adalah suka dukanya sendiri.

Sesudah makan obat Chio Tiauw Houw dan sesudah darah beracun itu diisap habis, jiwa Biauw Jin Hong boleh tak usah dikhawatirkan lagi. Akan tetapi, Coat-bun Tok-ciam hebat bukan main. Da¬lam sepuluh hari, kedua kakinya tak akan dapat digunakan sebagaimana mestinya. Ia segera mengeluarkan beberapa potong perak dan minta pertolongan pelayan hotel untuk mengurus dan mengubur jenazah ayah Lam Siocia serta lima orang itu yang ingin merampas Hui-ho Po-to.

Lam Siocia tidur sekamar dengan Biauw Jin Hong dan siang malam ia merawat Kim-bian-hud dengan telaten sekali. Sesudah mengalami peristiwa yang sangat... sangat hebat itu, sering sekali dalam tidurnya ia mengigau, menangis dan menjerit ke-takutan. Biauw Jin Hong adalah seorang yang tidak pandai bicara dan ia sama sekali tidak dapat me-ngeluarkan kata-kata untuk menghibur nona cantik itu. Akan tetapi, setiap kali melihat si nona berparas guram, ia selalu memandangnya dengan sorot mata mencinta, sehingga tanpa merasa, hati gadis itu jadi terhibur juga.

Lam Siocia memberitahukan Biauw Jin Hong, bahwa di waktu menjabat pangkat di Kang-ouw, ayahnya telah menangkap seorang bajak yang ke-sohor namanya dan dari bajak itu, ia mendapatkan golok Hui-ho Po-to. Tidak lama kemudian, ayahnya dipanggil ke kota raja untuk memangku jabatan yang lebih tinggi. Dalam perjalanan itu, sang ayah telah membawa juga Hui-ho Po-to dan ia niat mem-persembahkannya kepada orang yang sudah me-nolongnya memperoleh kenaikan pangkat. Tapi, tak dinyana, perjalanan itu sudah mengakibatkan kebinasaannya.

Biauw Jin Hong segera menanyakan nama bajak itu, tapi Lam Siocia tidak dapat menjelaskannya. Apa yang diketahuinya adalah, bahwa si penjahat sudah mati dalam penjara.

Kim-bian-hud menghela napas, "Orang gagah manakah yang sudah binasa secara begitu menge-cewakan?" ia menanya dirinya sendiri.

Pada malam hari ke lima, Lam Siocia membawa semangkok obat ke dalam kamar. Selagi Biauw Jin Hong menyambut obat itu sekonyong-konyong di luar jendela terdengar beberapa suara yang halus. Tanpa berubah paras, Kim-bian-hud minum terus obatnya. Dari suara itu, ia mengetahui, bahwa di luar jendela terdapat musuh yang sedang mengintip gerak-geriknya, tapi yang tidak berani lantas turun tangan.

"Tak bisa salah lagi mereka tentunya kawan lima orang itu," kata Biauw Jin Hong di dalam hatinya. "Lima-enam hari lagi, sedikit pun aku tidak merasa takut. Tapi dalam beberapa hari ini, kedua kakiku masih belum bisa bergerak dan kalau yang datang musuh-musuh tangguh, benar-benar sukar dila-yani."

Tiba-tiba suatu sinar putih menyambar dari luar jendela dan sebilah pisau belati, yang pada ga-gangnya diikatkan selembar kertas, menancap di atas meja. Lam Siocia menjerit dan lari ke samping Biauw Jin Hong.

Tangan Biauw Jin Hong yang sedang rebah di atas pembaringan, tak cukup panjang untuk meng-ambil pisau itu dari tengah meja. Sembari tertawa dingin, ia menepuk tepi meja. Pisau itu, yang me¬nancap beberapa dim dalamnya, lantas loncat kira-kira satu kaki tingginya dan jatuh di pinggir tangan Kim-bian-hud.

"Kim-bian-hud benar-benar lihay!" demikian terdengar suara orang di luar jendela. Dilain saat, dua orang kedengaran melompati tembok, disusul dengan terdengarnya derap kaki kuda yang semakin lama jadi semakin jauh.

Biauw Jin Hong membuka kertas itu yang ter-tulis seperti berikut:

Ciong Tiauw Bun, Tiauw Eng dan Tiauw Leng dari Ouwpak Utara, menyampaikan hormat yang sebesar-besarnya."

Lam Siocia melihat, ia mengawasi surat itu dengan paras muka guram, entah jengkel, entah gusar.

"Musuh cari kita?" tanyanya.

Biauw Jin Hong manggut.

"Musuh lihay?" tanya pula si nona.

Kim-bian-hud kembali mengangguk.

"Dia kabur karena melihat cara kau menepuk meja?" tanya lagi si nona.

"Dia bukan musuh, hanya orang suruhan untuk mengantar surat," jawabnya.

"Dengan kepandaianmuyangbegitu tinggi, me¬reka tentu akan merasa jeri," kata Lam Siocia de¬ngan suara kagum.

Biauw Jin Hong tak menyahut, otaknya sedang bekerja. "Tiga saudara Ciong yang bergelar Kui-kian-cu (Ditakuti setan) adalah orang-orang yang disegani dan tak mengenal takut," pikirnya. "Hanya sayang, kedua lututku masih belura sembuh."

Walaupun mulutnya, mengucapkan kata-kata-nya tadi, sebenarnya Lam Siocia sangat khawatir. Maka itu, beberapa saat kemudian, ia berkata pula: "Toako (kakak), apakah tidak baik jika sekarang kita kabur dengan menunggang kuda, supaya me¬reka tak dapat mencari kita?"

Biauw Jin Hong menggeleng-gelengkan kepala-nya, tanpa mengeluarkan sepatah kata.

Bagaimana mungkin Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu Kim-bian-hud Biauw Jin Hong, lari kabur dalam menghadapi musuh? Ia memang tak banyak bicara, apa pula mengenai urusan itu, tak guna banyak bicara.

Malam itu, Lam Siocia terus gulak-gulik, tanpa bisa pulas. Sesudah mengalami gelombang dan ba-dai hebat, sekarang ia benar-benar memikirkan keselamatan "si orang dusun" yang kasar. Tapi Biauw Jin Hong sendiri terus pulas dengan nyenyak dan tenang.

Besokpaginya, Kim-bian-hud mintasemangkok mie dan sebuah kursi. Sesudah apa yang diminta itu diantarkan kepadanya, ia segera duduk di ruangan tengah, sedang Hui-ho Po-to disenderkan di pinggir kursi.

Ia adalah seorang yang sungkan membuat ren¬cana terlebih dulu, oleh karena kejadian yang se¬benarnya sering menyimpang dari rencana yang sudah ditetapkan. Maka itu, ia duduk di kursi dan menunggu perkembangan selanjutnya.

Melihat sikapnya yang menyeramkan, Lam Sio¬cia jadi ketakutan dan mengajukan beberapa per-tanyaan, tapi sepatah pun tak mendapat jawaban, sehingga si nona tidak berani menanya lagi.

Pada waktu Sien-sie (antara jam tujuh dan sembilan pagi), diluar pintu terdengar derap kaki kuda dan tiga orang loncat turun dari tunggangan mereka, untuk kemudian terus masuk ke dalam hotel itu.

Melihat dandanan mereka, semua orang jadi terkesiap. Ternyata, ketiga orang itu masing-masing mengenakan pakaian berkabung dari kain blacu kasar, dengan topi dan sepatu putih.

Biauw Jin Hong mengetahui, bahwa tiga sau¬dara Ciong menjagoi di daerah Kengciu dan Siang-yang. Mereka mempunyai kepandaian yang sangat tinggi, hal mana terbukti dari kepandaian muridnya si tukang solder yang tidak cetek. Sekarang dengan kedatangan tiga saudara itu sendiri, Biauw Jin Hong mengerti ia sedang menghadapi lawan berat.

Paras muka mereka sangat mirip dengan yang Iain, ketiga-tiganya berwajah putih pucat, berhi-dung besar yang menghadap ke atas dan perbedaan antara usia mereka hanya bisa dilihat dari kumis mereka. Yang paling tua, Ciong Tiauw Bun, ku-misnya berwarna kelabu, yang kedua Ciong Tiauw Eng berkumis hitam, sedang yang paling muda, Ciong Tiauw Leng, tidak memeiihara kumis.

Di waktu mereka masuk, Biauw Jin Hong me-lihat tindakan mereka enteng luar biasa, seolah-olah tidak menginjak tanah, sehingga lantas saja ia mengerti, bahwa ketiga lawan itu benar-benar bu-kan lawan enteng. Selama berkelana di dunia Kang-ouw, semakin tangguh musuhnya, makin bergelora semangat Biauw Jin Hong. Sesaat itu, tanpa merasa buku-buku tulang di sekujur badannya berbunyi peratak-perotok.

Begitu berhadapan, ketiga saudara Ciong lantas menyoja dalam-dalam seraya berkata: "Biauw Tay-hiap, selamat bertemu."

Kim-bian-hud membalas hormat dan berkata: "Selamat bertemu. Aku tak bisa berdiri, harap kali¬an sudi memaafkan."

"Sedang Biauw Tayhiap mendapat luka di lutut, menurut pantas memang kami tak boleh meng-ganggu," kata Ciong Tiauw Bun. "Akan tetapi, sakit hati murid kami, tak bisa tidak dibalas, sehingga kami mohon Biauw Tayhiap suka memaafkan kami bertiga."

Mendengar itu, Kim-bian-hud hanya mengangguk.

"Kepandaian Biauw Tayhiap kesohor di kolong langit," Tiauw Bun berkata pula. "Jika kami bertiga bertempur satu lawan satu, sudah pasti kami bukan tandingan Tayhiap, Loo-jie! Loo-sam! Marilah kita bertiga menyerang dengan berbareng!"

"Baik," sahut kedua saudaranya dengan berba¬reng.

Dalam Rimba Persilatan, ketiga saudara Ciong itu mempunyai nama yang baik. Walaupun cara-cara mereka aneh, kedudukan mereka dalam kalangan Kang-ouw adalah tinggi dan disegani oleh banyak orang. Disaat itu dengan serentak, masing-masing mencabut sepasang Poan-koan-pit (senjata berben-tuk alat tulis Tionghoa) dari pinggangnya.

Tadi, begitu mereka masuk, para tetamu dan pelayan hotel sudah menduga, bahwa di ruangan itu bakal terjadi suatu pertempuran. Sekarang, begitu mereka menghunus senjata, semua orang lantas saja menyingkir, sehingga ruangan itu jadi kosong me-lompong.

Hanya seorang yang tidak bergerak dan orang itu bukan lain daripada Lam Siocia yang tetap berdiri di suatu sudut. Bahwa seorang wanita yang sedemikian lemah, sudah berani berdiri tegak untuk menyaksikan pertempuran itu, sangat mengharukan hati Biauw Jin Hong. Dan pada detik itulah, suatu tali percintaan yang tak dapat dilihat dengan mata manusia, sudah menyirat erat-erat hati Kim-bian-hud. Oleh karena sikap yang gagah itu, lenyaplah segala kesangsian yang mungkin masih terdapat di dalam hati Biauw Jin Hong untuk mengikat seluruh jiwa dan raganya dengan nona yang cantik dan lemah lembut itu.

la mesem puas dan segera menghunus Hui-ho Po-to.

Melihat sinar golok yang berkeredepan, ketiga saudara Ciong serentak memuji: "Benar-benar se-buah golok mustika!"

Dilain saat, mereka sudah menyerang dengan berbareng, Tiauw Bun dari depan, Tiauw Eng dari samping kiri, sedang Tiauw Leng dari samping ka-nan. Biauw Jin Hong melintangkan goloknya tanpa bergerak. Pada saat enam ujung Poan-koan-pit itu hampir melanggar kulitnya, tiba-tiba saja, cepat bagaikan kilat, Kim-bian-hud membabat ketiga orang itu dengan Hui-ho Po-to.

Ciong-sie Sam-heng-tee (tiga kakak beradik she Ciong) juga sungguh-sungguh bukan lawan tem-pe! Diserang secara begitu mendadak dan dengan gerakan yang sangat aneh, mereka toh keburu me-nyingkir dari babatan golok. Mereka heran, heran karena mereka sama sekali tidak nyana, bahwa Biauw Jin Hong, yang kesohor ilmu pedangnya (Biauw-kee Kiam-hoat, atau ilmu pedang dari ke-luarga Biauw), juga memiliki ilmu silat golok yang begitu tinggi. Mereka tentu saja tidak mengetahui, bahwa pukulan yang barusan digunakan oleh Kim-bian-hud adalah salah semacam pukulan dari Ouw-kee To Hoat (ilmu golok keluarga Ouw), yang didapatnya dari Ouw It To sendiri.

Pertempuran lantas saja berlangsung dengan hebatnya. Dengan menggunakan ilmu mengenteng-kan badan yang sangat tinggi, ketiga saudara itu menyerang bagaikan gelombang dan kadang-ka-dang loncat menyingkir, jika Biauw Jin Hong membalas dengan pukulan-pukulan aneh. Tak usah di-sebutkan lagi, betapa dalam pertempuran itu, Biauw Jin Hong berada dalam kedudukan yang sangat dirugikan, karena ia sama sekali tidak dapat me-ngejar musuh-musuhnya yang lincah dan gesit. Akan tetapi, meskipun begitu, berkat Hui-ho Po-to dan kepandaiannya yang sudah mencapai puncak kesempurnaan, Kim-bian-hud tidak sampai jatuh di bawah angin. Dengan tenang dan mantap, ia me-nyapu setiap serangan. Di dalam hatinya, Biauw Jin Hong yakin, bahwa untuk merubuhkan musuh-mu-suh itu, ia mesti bisa melakukan serangan mendadak yang luar biasa cepatnya dan di luar dugaan musuh-musuh itu.

Akan tetapi, ia juga mengetahui, bahwa Ciong-sie Sam-heng-tee adalah orang-orang yang tidak jahat dan telah mendapat nama harum dalam ka-langan Kang-ouw. Sebagai seorang ksatria tulen, sedapat mungkin Biauw Jin Hong tidak ingin me-nurunkan tangan kejam terhadap mereka itu.

Di lain pihak, serangan-serangan ketiga sau¬dara itu semakin lama jadi semakin hebat. Bagaikan hujan, enam batang Poan-koan-pit menyambar-nyambar ke arah berbagai jalan darahnya. Sekali lengah, bukan saja nama besarnya akan habis, lak-sana hanyut disapu air, akan tetapi Lam Siocia pun mungkin akan menderita dalam tangan ketiga lawan itu. Memikir begitu, serangan-serangannya juga jadi semakin hebat dan turun tangannya semakin berat. Melihat tenaga Biauw Jin Hong yang luar biasa besarnya dan goloknya yang sangat tajam, ketiga saudara Ciong tidak berani merangsek terlalu dekat.

Ketiga saudara itu menjadi jengkel dan habis sabar. Mendadak, sembari berseru keras, Ciong Tiauw Bun menggulingkan badannya dan menye-rang di belakang kursi. Tak usah dikatakan pula, serangan itu adalah serangan licik, karena Biauw Jin Hong sama sekali tidak dapat memutarkan ba-dan. Dengan berbunyi "tak!" sebuah kaki kursi itu patah, kursinya jadi miring dan tubuh Biauw Jin Hong pun turut miring.

"Celaka!" seru Lam Siocia.

Dalam keadaan berbahaya, tangan kiri Kim-bian-hud menyambar ke arah muka Ciong Tiauw Eng, yang lantas coba menyingkir.

Mendadak, berbareng dengan berkelebatnya suatu sinar dingin, sebatang Poan-koan-pit yang dicekal Tiauw Eng dan sebatang lagi yang dipegang Tiauw Leng, terpapas kutung, sedang Tiauw Bun juga merasakan pundaknya sakit, tergores golok! Itulah pukulan In-liong-sam-hiaiv (Tiga kali naga menampakkan diri) yang didapat dari Ouw It To, semacam pukulan luar biasa yang dengan sekali membabat dapat melukakan tiga orang musuh de¬ngan berbareng.

Ciong-sie Sam-heng-tee menyingkir jauh-jauh. Mereka saling mengawasi dengan perasaan kaget dan kagum.

"Loo-toa, kau terluka?" Tiauw Eng menanya kakaknya.

"Tak apa-apa," jawab sang kakak.

Melihat kursi Biauw Jin Hong sudah miring, Tiauw Bun mengerti, ia tak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang baik itu. Akan tetapi satu hal tetap ditakutinya, yaitu: Golok mustika dengan ilmu silat golok yang luar biasa itu.

"Dengan menggunakan senjata, kami bertiga ternyata bukan tandingan Biauw Tayhiap," kata Tiauw Bun sembari merangkap kedua tangannya. "Sekarang kami ingin memohon pelajaran dari Biauw Tayhiap dengan tangan kosong."

Kata-kata itu diucapkan secara manis, tapi mak-sudnya sangat beracun. Menyingkir dari keunggulan lawan dan menyerang di bagian lemah, adalah per-buatan seorang yang menghendaki jiwa. Menurut peraturan Kang-ouw, Biauw Jin Hong sebenarnya dapat menolak usul yang licik itu. Akan tetapi, sebagai seorang yang berkepandaian tinggi, nyali Kim-bian-hud besar luar biasa. Sembari tertawa dingin, ia masukkan Hui-ho Po-to ke dalam sarung dan manggutkan kepalanya. "Baiklah!" jawabnya, dengan tenang.

Dengan girang, ketiga saudara itu lalu melem-parkan Poan-koan-pit mereka dan menerjang de¬ngan serentak. Sungguh hebat pukulan-pukulan Kim-bian-hud! Begitu ia mengerahkan tenaga dalamnya dan menghantam dengan sepenuh tenaganya, Ciong-sie Sam-heng-tee tak bisa maju lebih dekat dari jarak delapan kaki. Jika bukannya mempunyai tenaga dalam yang kuat, siang-siang tentu mereka sudah kecundang, dihajar sambaran angin pukulan Biauw Jin Hong yang sudah cukup untuk merubuhkan kebanyakan orang.

Sesudah bergerak beberapa jurus, Ciong Tiauw Eng mengeluarkan sifat liciknya. Ia berguling ke belakang kursi dan menyapu dengan kakinya. "Tak!" Sebuah kaki kursi kembali patah! Kursi itu rubuh ke belakang dan tubuh Biauw Jin Hong juga turut kejengkang!

Pada detik yang sangat berbahaya itu, kedua tangan Kim-bian-hud menekan belakang kursi dan tubuhnya lantas saja melesat ke atas. Hatinya panas melihat kelicikan Ciong Tiauw Eng. Selagi me-layang turun, bagaikan seekor elang, ia menubruk manusia licik itu.

"Loo-toa! Loo-sam!" Tiauw Eng berteriak minta tolong.

Tiauw Bun dan Tiauw Leng lantas saja mera-buru. Sambil mengerahkan tenaganya, dengan ta¬ngan kirinya Biauw Jin Hong menghantam pundak Tiauw Bun, sedang tangan kanannya menjotos dada Tiauw Leng. Dengan serentak mereka rubuh, sedang Tiauw Eng keburu lari ngiprit ke luar pintu. Sesudah merubuhkan kedua musuhnya, Kim-bian-hud sendiri jatuh terguling.

Melihat kegagahan Biauw Jin Hong dan dua antara mereka sudah mendapat luka, Ciong-sie Sam-heng-tee tidak berani masuk lagi. Selagi hen-dak mengangkat kaki, Ciong Tiauw Eng mendadak melihat setumpuk jerami kering di pinggir hotel. Karena malu dan gusar, suatu niatan jahat lantas saja muncul di dalam hatinya. Ia mengeluarkan bahan api dan menyalakan jerami kering itu, yang lantas saja berkobar-kobar.

Seantero penghuni hotel dan pelayan menjadi kalang kabut dan lari serabutan. Dengan mencekal Poan-koan-pit, ketiga saudara itu menjaga di depan pintu. "Siapa yang berani menolong orang yang tak bisa jalan itu, akan kami hajar sampai mampus!" teriak seorang antara mereka.

Melihat api semakin lama jadi semakin besar, sedang ia sendiri tidak berdaya dan tiga musuhnya menjaga di depan pintu, Biauw Jin Hong yang gagah perkasa jadi putus asa. "Biauw Jin Hong! Biauw Jin Hong!" ia mengeluh. "Apakah hari ini kau bakal mati ketambus?"

Jauh-jauh, ia melihat Lam Siocia sudah lari keluar bersama-sama dengan orang banyak dan hatinya menjadi agak lega. Matanya menyapu ke seluruh ruangan dan secara kebetulan sekali, ia melihat segulung tambang kasar di suatu sudut.

"Ah! Tuhan masih berbelas kasihan!" ia berseru di dalam hatinya sembari menggulingkan tubuhnya ke pojok itu. Ia mengambil tambang itu yang lantas diputarkannya belasan kali sembari mengerahkan tenaga dalamnya.

Diluar, sambil memandang api yang berkobar-kobar, Ciong-sie Sam-heng-tee saling memandang sembari tertawa. Mereka beranggapan, bahwa kali ini Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu tentu akan tamat riwayatnya.

Sementara itu, Lam Siocia yang sudah dapat menyelamatkan diri, berdiri di luar rumah dengan terisak-isak.

Mendadak, berbareng dengan suatu bentakan keras, seutas tambang melesat keluar dari antara api dan asap dan meliiit dahan sebuah pohon besar yang tumbuh di samping rumah. Dilain saat, tubuh Kim-bian-hud yang jangkung kurus turut "terbang" keluar!

Semua orang jadi kesima. Dengan tangan kiri mencekal tambang, bagaikan seekor elang, Biauw Jin Hong melayang ke arah tiga saudara Ciong itu.

Ciong-sie Sam-heng-tee terbang semangatnya.

Mereka ingin kabur, tapi sudah tidak keburu lagi. Dengan hati gemas, Biauw Jin Hong menggerakkan tangannya bagaikan kilat dan satu demi satu, ia melontarkan ketiga saudara itu ke dalam api yang berkobar-kobar.

Untung juga, berkat kepandaian mereka yang tinggi, begitu dilemparkan ke dalam api, lantas saja mereka bisa lari keluar, tapi tak urung, rambut, alis dan sebagian pakaian mereka juga dijilat api. Ketika saudara itu, yang sudah pecah nyalinya, tidak berani berdiam lama-lama lagi dan tanpa berhenti untuk mengambil kuda mereka, dengan terbirit-birit me¬reka kabur ke jurusan Selatan. Jauh-jauh, mereka mendengar suara tertawa Kim-bian-hud yang nya-ring dan panjang.

Mengingat kejadian itu, suatu senyuman sudah segera menghiasi bibir Biauw Jin Hong.

Senyum itu hanya bagaikan berkelebatnya sinar terang menembusi awan-awan hitam dan di lain saat, paras muka Biauw Jin Hong kembali diliputi kegelapan.

Di depan matanya terbayang pula, bagaimana, sesudah kesehatannya pulih, ia menikah dengan Lam Siocia. Sebagai seorang pria yang belum per-nah mencinta wanita, dengan cara-caranya sendiri, Kim-bian-hud sudah mencurahkan seantero kecin-taannya kepada wanita itu yang sekarang berada dalam jarak lima kaki dari tempatnya. Begitu dekat tetapi juga begitu jauh!

Ia ingat, dalam suasana bahagia, dalam alunan gelombang asmara, sebagai lazimnya sepasang pe-ngantin baru, ia telah mengajak si Lan (Lam Siocia bernama Lam Lan) pergi bersembahyang di kuburan suami isteri Ouw It To. Sesudah kenyang memeras air mata, ia memendam Hui-ho Po-to di kuburan itu. Menurut anggapannya, dalam dunia ini, kecuali Ouw It To, tak ada manusia lain yang cukup berharga untuk menggunakan senjata mus-tika tersebut. Sekarang ksatria utama satu-satunya itu sudah tak ada lagi dalam dunia, maka golok mustika itu pun harus turut lenyap dari dunia ini.

Sesudah bersembahyang dan memendang go¬lok, ia segera menceritakan kepada istrinya per-tempuran pada sepuluh tahun berselang, dalam mana, secara tak disengaja, ia sudah melukakan Liao-tong Tayhiap sehingga jadi matinya. Biasanya, Biauw Jin Hong adalah seorang yang paling tidak suka banyak bicara. Akan tetapi, pada hari itu, kata-kata keluar dari mulutnya seperti juga meng-alirnya air banjir. Kenapa begitu? Sebabnya adalah, sesudah menyimpan rahasia itu selama sepuluh ta¬hun, baru pada saat itu ia dapat menumpahkan segala apa yang memenuhi dadanya kepada seorang yang paling dekat dengan dirinya. Barang sem-bahyang yang ia sajikan di atas meja adalah sayur-sayur yang dulu dimasak oleh Ouw Hujin (Nyonya Ouw), untuk dimakan mereka bertiga.

Sesudah selesai sembahyang, seorang did ia minum arak, seolah-olah sahabatnya itu sedang menemani ia. Ia minum banyak, banyak sekali, dan semakin banyak ia minum, semakin banyak ia ber-bicara.

Sesudah bercerita ke barat-ke timur, akhirnya ia menceritakan kecintaan Nyonya Ouw terhadap suaminya. Katanya: "Wanita yang seperti itu, suami di api, ia di api, suami di air, ia pun di air...."



Berkata sampai di situ, tiba-tiba ia melihat perubahan pada paras isterinya, yang kemudian menyingkir jauh-jauh sembari menekap muka. Ia memburu untuk memberi penjelasan. Akan tetapi, ketika itu, ia sudah terlalu mabuk untuk bisa ber¬cerita lagi. Disamping itu, ia ingat, bahwa ketika ia terkurung api yang dinyalakan Ciong-sie Sam-heng-tee, isterinya yang tercinta sudah kabur terlebih dulu....

Biauw Jin Hong adalah seorang ksatria yang biasanya tak suka rewel mengenai segala urusan remeh. Ia merasa, bahwa pada waktu itu, Lam Lan, yang belum menjadi isterinya dan tidak mengerti ilmu silat sedikit pun, memang pantas sekali kabur terlebih dulu. Apakah untungnya jika ia berdiam terus di dalam ruangan yang sudah dikurung api? Tapi... di dalam hati kecilnya, sebagai seorang ma¬nusia biasa, ia mengharapkan suatu pengorbanan dari seorang wanita yang dicintanya. Ia berharap, bahwa pada saat yang sangat berbahaya itu, Lam Lan berdiri tegak di sampingnya.

Maka itu, tidak mengherankan jika dalam ma-buknya ia merasa mengiri kepada Ouw It To yang dianggapnya beruntung sekali, dengan mempunyai seorang isteri yang sudah rela membuang jiwa untuk suaminya yang tercinta.

Ia merasa, bahwa meskipun Ouw It To mening-gal dunia dalam usia muda, akan tetapi sedalam-dalamnya sahabat itu banyak lebih berbahagia dari-padanya.

Sebagaimana umumnya, seorang sinting sukar dapat menyimpan rahasia hatinya. Demikianlah ia sudah keterlepasan omong!

Dan beberapa kata-kata itu sudah menimbul-kan keretakan antara kedua suami isteri itu, suatu keretakan yang tak dapat ditambal lagi! Akan te-tapi, kecintaan Biauw Jin Hong terhadap isterinya itu sedikit pun tidak menjadi berubah. Mulai dari waktu itu, baik ia maupun isterinya, tak pernah menyebut-nyebut pula persoalan itu. Sebenarnya, mereka tidak pernah menimbulkan lagi soal Ouw It To.

Belakangan terlahirkan Yok Lan, seorang bayi perempuan secantik ibunya. Dengan lahirnya si jabang bayi, kedua suami isteri itu jadi lebih terikat lagi.

Akan tetapi, perbedaan-perbedaan pokok an¬tara mereka berdua tidak dapat dilupakan. Biauw Jin Hong adalah seorang Kang-ouw yang miskin, sedang isterinya adalah Cian-kim Siocia dari ke-luarga pembesar negeri. Biauw Jin Hong tak suka banyak bicara dan mukanya selalu 'menyeramkan, sebaliknya sang isteri mengharapkan seorang suami yang cakap, pintar, pandai bicara, halus, lemah lembut dan mengerti akan adat orang perempuan. tapi, apa yang dipunya oleh Kim-bian-hud hanyalah ilmu silat yang tiada tandingannya dalam dunia. Apa yang diharap-harapkan oleh isterinya, tak satu pun yang dimilikinya.

Jika Lam Lan paham ilmu silat, tentu ia akan dapat menghargai, malah mengagumi kepandaian sang suami. Tapi, apa celaka, Lam Lan bukan saja tidak mengerti ilmu silat, tapi justru merasa sebal terhadap ilmu tersebut, oleh karena ia untuk se-lama-lamanya tidak dapat melupakan, bahwa ayah-nya sudah binasa dalam tangan orang yang pandai silat.

Hanya sekali ia pernah tertarik kepada ilmu silat. Itulah ketika suaminya mendapat kunjungan seorang sahabat dan sahabat itu bukan lain daripada Tian Kui Long, yang cakap dan pintar.

Sebagai putera seorang kaya raya, disamping ilmu silat, Tian Kui Long paham juga ilmu surat, ilmu menggambar, menabuh khim, main tiokie dan terutama pandai membawa diri di hadapan kaum wanita. Tapi, entah kenapa, sang suami memandang rendah dan agak tidak meladeni tamu yang gagah pintar itu, sehingga tugas melayani tamu lebih ba¬nyak jatuh di atas pundak si isteri.

Begitu bertemu, Nyonya Biauw dan orang she Tian itu lantas saja merasa cocok. Malam itu, diam-diam Lam Lan bersedih hati dan menyesal tak habisnya. Ia menyesal, kenapa orang yang menolong dia pada had itu bukan Tian Kui Long, tapi manusia tolol yang bernama Biauw Jin Hong?

Berselang beberapa had, dalam bercakap-ca-kap, Tian Kui Long mengetahui, bahwa nyonya muda itu tidak mengerti ilmu silat. Secara manis budi, lantas saja ia mengajarkan beberapa macam pukulan kepada isteri Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu, dan pelajaran itu dipelajari dengan penuh semangat oleh Nyonya Biauw.

Pada suatu hari, entah sehabis membicarakan apa, Lam Lan berkata begini kepada Tian Kui Long: "Menurut pantas, kau dan suamiku harus menukar nama. Dia harus pergi ke sawah untuk meluku. Dan kau, kau sungguh manusia utama!"

Entah Tian Kui Long memang sudah meng-genggam maksud tidak baik, entah di didorong

kata-kata menyeleweng dari wanita itu, tapi biar bagaimanapun juga, malam itu telah terjadi suatu peristiwa yang berarti: Tetamu menghina tuan ru-mah, isteri mendurhakai suami dan ibu menelan-tarkan anak.

Malam itu, seorang diri Biauw Jin Hong berlatih ilmu pedang nyenyak di pembaringan.

Disengaja atau tidak disengaja, pantek-kode emas Lam Lan yang berbentuk burung Hong, men-dadak jatuh. Tanpa menyia-nyiakan tempo, Tian Kui Long buru-buru memungut perhiasan itu dan... dengan lagak dibuat-buat, ia menancapkan pantek konde itu di kepala Nyonya Biauw!

Pada jaman itu, perbuatan Tian Kui Liong adalah pelanggaran adat istiadat yang kurang ajar sekali. Menancapkan pantek konde seorang wanita yang sudah bersuami, hanya boleh dilakukan oleh suaminya sendiri.

Mulai detik itu, Lam Lan melupalsan segala apa. Ia melupakan suami, puteri dan nama baiknya. Bersama lelaki itu, ia kabur tanpa pamitan!

Dapat dibayangkan, bagaimana perasaan Biauw Jin Hong, ketika ia mengetahui kejadian itu. Sem-bari mendukung anaknya, tanpa memperdulikan hujan dan angin, ia mengejar dengan menunggang kuda.

* *

Lam Lan tak tuli. Ia mendengar tangisan pu-terinya yang menyayatkan hati. Sebagai seorang ibu, rasa cinta yang wajar memanggil dia. Tapi... tapi... senyum Tian Kui Long yang menggiurkan hati, sudah cukup untuk menahan ia.

Biauw Jin Hong mendapat gelaran Kim-bian-hud (Buddha yang bermuka kuning emas), mungkin karena hatinya yang penuh welas asih, bagaikan hati seorang Buddha. Sesudah isteri durhaka itu meng¬hina ia secara begitu hebat, ia masih juga bersedia untuk memaafkannya, bersedia untuk melupakan kejadian yang memalukan itu, asal saja Lam Lan suka pulang kembali bersama-sama dengan ia dan puteri mereka. Dengan lain perkataan, Kim-bian-hud bersedia untuk "membeli" keutuhan rumah tangganya, dengan harga bagaimana tinggipun juga.

Di lain pihak, dalam mabuknya di bawah bujuk rayu manusia keji yang tampan itu, Lam Lan jadi lebih berkepala batu karena ia mengetahui ke-lemahan sang suami. Ia mengetahui Biauw Jin Hong berhati lembek dan mengetahui pula, bahwa suami itu sangat mencintainya. Oleh karena itu, ia merasa pasti, Kim-bian-hud tidak akan membunuh dia. "Tapi apakah dia tak akan membinasakan Kui Long?" tanya Lam Lan dalam hatinya.

Tapi orang ketiga dalam peristiwa segi tiga itu, mempunyai suatu rahasia hati yang tidak diketahui orang. Tujuannya adalah harta karun yang tidak dapat ditaksir bagaimana besar harganya, pening-galan Cong Ong (Lie Cu Seng). Dan kunci ke gudang harta adalah pada isteri Biauw Jin Hong. Tentu saja kecantikan Lam Lan merupakan daya penarik yang tidak kecil, akan tetapi, kecantikan itu bukan merupakan tujuan Tian Kui Long yang ter-utama.

Demikianlah Biauw Jin Hong menunggu. Para anggota Piauw-kiok, kawanan perampok, Siang Po Cin, si lengan satu dan bocah kurus itu juga sama menunggu. Semua orang menahan napas. Apa yang terdengar hanyalah suara tangis Yok Lan.

Biarpun hati nyonya itu keras seperti baja, tetapi semua orang menduga, bahwa ia akan me-mutarkan badan dan mendukung pula puterinya itu.

Di luar ruangan, sang hujan terus turun dengan hebatnya, dibarengi dengan menyambarnya kilat dan gemuruh guntur.

Akhir-akhirnya, Biauw Hujin menengok. Hati Biauw Jin Hong melonjak! Tapi, lekas juga ia men-dapat kenyataan, bahwa menengoknya sang isteri bukan ditujukan kepadanya atau kepada puterinya. Lam Lan menengok sembari mesem dan matanya memandang Tian Kui Long. Semenjak menikah, belum pernah Kim-bian-hud melihat sorot mata yang begitu halus dan begitu penuh dengan rasa cinta!

Hati Kim-bian-hud mencelos, habislah sudah semua harapannya. Perlahan-lahan ia berbangkit dan hati-hati dengan kain minyak, ia membungkus Yok Lan yang kemudian dipegangnya erat-erat di dadanya yang lebar. Semua mata mengawai Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu dengan perasaan duka. Dalam dunia yang lebar ini, mungkin tak ada ayah yang begitu mencinta anaknya, mungkin tak ada bapak yang begitu menderita seperti Biauw Jin Hong.

Dengan tindakan lebar, tanpa menengok lagi, ia keluar dari ruangan itu. Sedari masuk sampai keluar lagi, tak sepatah kata keluar dari mulutnya. Hujan seperti dituang-tuang, kilat dan geledek menyambar-nyambar... sayup-sayup orang dapat menangkap suara tangis Yok Lan....

* * *
Semua orang terpaku. Seluruh ruangan sunyi senyap. Lama sekali tak seorang pun mengeluarkan sepatah kata.

Perlahan-lahan Biauw Hujin berdiri, di mulut¬nya tersungging senyuman yang dipaksakan tapi butiran-butiran air mata turun berketel-ketel di kedua pipinya yang halus. Tian Kui Long juga segera berbangkit, sebelah tangannya mencekal ga-gang pedang di pinggangnya. "Lan-moay (adik Lan)," ia berbisik. "Mari kita berangkat." Sembari berkata begitu, kedua matanya melirik bungkusan-bungkusan perak di dalam kereta. Meskipun gerak-geraknya tetap menarik, tapi suaranya agak gemetar karena jantungnya masih memukul keras.

Melihat Tian Kui Long masih juga mengincar piauw itu, Pek Seng Sin-kun Ma Heng Kong segera berseru: "Hong-jie! Ambil senjata!"

"Thia!" jawab sang puteri yang mengetahui ayahnya menderita luka berat.

"Lekas!" bentak orang tua itu dengan suara keren.

Dengan hati berat, dari punggungnya si nona mencabut Kim-sie Joan-pian (Pecut) yang sudah mengikuti ayahandanya puluhan tahun.

Selagi ingin menyodorkan pecut itu kepada sang ayah, di belakang ruangan mendadak terde-ngar suara batuk-batuk dan seorang nyonya tua berjalan keluar. Nyonya itu mengenakan baju ber-warna hijau, kun-nya hitam, pundaknya agak bong-kok, kedua kondenya sudah putih semua, tapi di embun-embunnya masih terdapat sejemplok ram-but yang berwarna hitam.

Siang Po Cin yang hanya mendapat luka enteng, lantas memburu seraya berkata: "Ibu, jangan per-dulikan urusan di sini. Lebih baik ibu mengaso saja." Nyonya tua itu ternyata adalah ibu pemuda terse¬but.

Nyonya Siang mengangguk. "Kau dirubuhkan orang?" tanyanya, suaranya sungguh tak enak di-dengarnya.

Paras muka Siang Po Cin lantas berubah merah karena malu.

"Anak tak punya guna, bukan tandingan orang she Tian itu," katanya dengan mendongkol, sembari menuding Tian Kui Long.

Dengan mata yang setengah terbuka dan se-tengah tertutup, Siang Loo-tay (Nyonya tua Siang) lebih dulu melirik Tian Kui Long dan kemudian mengawasi Biauw Hujin. "Sungguh cantik," katanya.

Sekonyong-konyong, seorang bocah kurus me-nyelak keluar dari antara orang banyak dan berkata sambil menuding Lam Lan: "Puterimu minta di-dukung, kenapa kau tak meladeni? Sebagai ibu, kenapa kau sedikit pun tak mempunyai liangsim (perasaan hati)?"

Semua orang terkejut. Tak ada yang menduga, bahwa bocah yang compang camping bagaikan pe-ngemis itu, akan berani mengeiuarkan kata-kata begitu. Berbareng dengan perkataan bocah itu, kilat menyambar, disusul dengan suara geiedek yang dahsyat. "Hatimu tidak baik," kata lagi si bocah. "Lui-kong (Malaikat Geiedek) akan menghantam mampus padamu!" la menuding dengan paras muka gusar, sehingga dalam pakaian yang rombeng itu, terlihatlah satu keangkeran yang wajar.

"Srt!" Tian Kui Long menghunus pedang, "Pe-ngemis!" ia membenlak, "Berani betul kau ngaco belo!"

Giam Kie loncat dan mencengkeram dada bo¬cah tersebut. "Lekas berlutut di hadapan Tian Siangkong.... Hu.... jin!" ia berseru.

Si bocah berkelit dan dengan kegusaran yang meluap-luap, ia menuding lagi ke arah Biauw Hujin seraya berteriak: "Kau... kau tak punya liangsim...!"

Dengan paras muka merah, tanpa berkata suatu apa, Tian Kui Long mengangkat pedangnya untuk menikam. Tapi, sebelum tikaman itu dilangsungkan, Lam Lan berteriak keras sembari menutup muka-nya dengan kedua tangan dan terus lari keluar dari ruangan itu, ke tengah-tengah hujan.

Tian Kui Long terkejut, pedangnya urung me¬nikam dan ia segera berlari-lari mengejar Biauw Hujin.

"Lan-moay," kata orang she Tian itu dengan suara dibuat-buat. "Bocah itu ngaco belo. Jangan kau memperdulikan padanya."

"Aku..." jawab si nyonya, sesenggukan. "Aku... memang... memang tak mempunyai liangsim."

Sembari menangis, Biauw Hujin berjalan terus, diikuti oleh Tian Kui Long. Jika Tian Kui Long ingin menahan dengan kekerasan, sepuluh Biauw Hujin juga tentu tak akan bisa berjalan terus. Tapi orang she Tian itu tentu saja tidak berani meng-gunakan kekerasan. Ia mengikuti sembari mem-bujuk, tapi Lam Lan tidak menggubris. Semakin lama, tanpa memperdulikan serangan hujan, me-reka berjalan semakin jauh dan sesudah membelok di suatu tikungan, mereka lenyap dari pemandang-an, ditedengi pohon-pohon besar.

Semua orang membuang napas lega dan meng-awasi si bocah pengemis yang lantas saja naik de-rajatnya.

Giam Kie tertawa dingin, paras mukanya girang sekali. "Sungguh bagus!" katanya. "Sekarang Giam Toaya bisa makan sendiri. Sungguh bagus! Saudara-saudara! Lekas angkat harta kita!"

Kawanan perampok itu serentak mengiakan dan segera bergerak untuk membereskan harta ben-da orang. Mendadak, kaki kiri kepala penjahat itu terangkat dan menendang si bocah yang lantas saja jadi terjungkir balik.

Sesudah itu, ia mencengkeram dada si lengan satu dan membentak: "Pulangkan!"

"Giam Loo-toa," tiba-tiba Siang Loo-tay-tay berkata dengan suara dalam. Tempat ini adalah Siang-kee-po (rumah keluarga Siang), bukan?"

"Benar," jawabnya. "Kenapa?"

"Aku adalah majikan dari Siang-kee-po, bu¬kan?" tanya pula nyonya tua itu. Dengan tangan tetap mencengkeram dada si lengan satu, Giam Kie mendongak dan tertawa berkakakan. "Nyonya Siang," katanya. "Dengan maksud apa kau bicara berputar-putar? Rumahmu luas, temboknya tinggi dan hartamu pun rasanya tidak sedikit. Apakah kau mau membagikan harta kepada kami?"

Mendengar perkataan itu, kawanan perampok lantas saja tertawa bergelak-gelak.

Siang Po Cin gusar bukan main, mukanya men-jadi pucat pias. "Ibu," katanya. "Guna apa banyak bicara dengan manusia begitu? Biarlah anak yang menghajar padanya!" Ia menggapai seorang pe-gawai Siang-kee-po yang segera menyodorkan se-batang golok kepadanya.

Giam Kie mendorong si lengan satu dan meng-ejek: "Bocah! Kau jangan lari!" Ia bersenyum dan mengawasi Siang Po Cin dengan sikap menghina.

"Giam Loo-toa," kat Nyonya Siang. "Ikut aku! Aku mau bicara denganmu!"

"Ke mana?" tanya Giam Kie dengan perasaan heran.

"Ikut saja," jawabnya dan sebelum Giam Kie sempat menanya lagi, ia sudah memutarkan badan terus berjalan. Baru jalan beberapa tindak, ia me¬nengok dan berkata: "Jika kau tak mempunyai nyali, boleh tak usah ikut."

Giam Kie tertawa besar. "Aku tak punya nyali?" katanya sembari mengikuti.

Jie-cee-cu (kepala rampok kedua) yang ber-hati-hati, buru-buru menyodorkan sebatang golok kepada Giam Kie yang lantas menyambutinya.

Siang Po Cin yang tak tahu maksud ibunya, lantas saja mengikuti dari belakang. Sembari ber¬jalan terus dan tanpa menengok, Siang Loo-tay berkata: "Cin-jie! Kau tunggu saja di sini. Giam Loo-toa! Perintah orang-orangmu supaya jangan bergerak untuk sementara waktu!"

"Baik," sahut Giam Kie. "Anak-anak! Jangan bergerak! Tunggu sampai aku balik."

Kawan-kawannya lantas saja mengiakan dan Jie-cee-cu lantas saja mengatur kawan-kawannya untuk menjaga larinya orang-orang Piauw-kiok.

Tadi, ketika Siang Po Cin dan ketiga Siewie itu membantu pihak Piauw-kiok, kawanan penjahat sudah jatuh di bawah angin. Akan tetapi, sesudah Siang Po Cin dan Cie Ceng dilukakan oleh Tian Kui Long keadaan jadi berbalik dan pihak perampoklah yang lebih kuat. Ketika itu, semua orang dari kedua belah pihak mencekal senjata mereka erat-erat un¬tuk menunggu kesudahan pertempuran antara nyo¬nya rumah dan Giam Kie.

Sembari mengikuti, Giam Kie merasa geli ka-rena melihat nyonya tua yang bongkok itu, berjalan dengan tindakan yang tidak tetap. "Siang Loo-po-cu (nyonya tua)," katanya dengan suara mengejek. "Apa kau mau membagi harta?"

"Benar, aku mau membagi harta," jawab si nyo¬nya.

Jantung kepala perampok itu memukul keras.

Sebagai seorang yang sangat rakus ia mengilar bukan main melihat kekayaan keluarga Siang. Men-dengar perkataan nyonya tua itu, ia jadi kegirangan setengah mati. Bukan tak mungkin, bahwa setelah melihat kawanannya, nyonya itu sudah pecah nyali-nya dan sebelum dipaksa, buru-buru menawarkan sebagian hartanya, pikir Giam Kie.

Siang Loo-tay berjalan terus. Sesudah melewati tiga halaman, mereka tiba di depan sebuah rumah

yang terletak di sudut paling belakang. Nyonya Siang mendorong pintu dan terus masuk sembari berkata: "Masuklah."

Giam Kie menengok dan melihat suatu ruangan kosong melompong yang panjangnya beberapa tom-bak. Perabotan satu-satunya yang terdapat di dalam ruangan itu adaiah sebuah meja persegi. Dengan rasa sangsi, ia bertindak masuk.

"Mau bicara, lekas bicara!" ia berseru. "Jangan main gila!"

Siang Loo-tay tidak menyahut. Ia menghampiri pintu yang lalu dikuncinya.

Giam Kie heran dan menyapu seluruh ruangan dengan matanya. Ia melihat di atas meja itu terdapat sebuah Lengpay (papan yang dipuja) yang di atas-nya dituliskan huruf-huruf seperti berikut: "Tempat memuja mendiang suamiku Siang Kiam Beng."

"Siang Kiam Beng, Siang Kiam Beng," Giam Kie mengulangi dalam hatinya. "Nama itu agak tak asing lagi. Tapi siapa?" Ia memutar otak, tapi untuk sementara ia tak dapat mengingat, siapa adanya Siang Kiam Beng.

"Kau sudah berani berlaku kurang ajar di Siang-kee-po, boleh dikatakan nyalimu besar juga," kata Siang Loo-tay dengan suara perlahan. "Jika suamiku It Hong hidup, sepuiuh Giam Kie pun sudah tak hernyawa lagi. Sekarang, meskipun di Siang-kee-po hanya ketinggalan seorang anak setengah piatu dan seorang janda, tapi kami tidak dapat membiarkan hinaan segala kawanan anjing."

Sehabis mengucapkan cacian itu, tiba-tiba ia melempangkan punggungnya yang bongkok, sedang kedua matanya yang mendadak bersinar keredepan mengawasi Giam Kie tanpa berkesip. Jika barusan ia sebagai seorang nenek-nenek yang sudah dekat ke lubang kubur, sekarang sekonyong-konyong ia seakan-akan menjadi macan betina yang angker dan galak, sehingga kepala perampok itu jadi terkesiap. "Ah! Kalau begitu tadi, ia hanya berpura-pura loyo," katanya di dalam hati. Tapi lekas juga ia memikir, bahwa sepandai-pandainya, orang perempuan tentu tidak mempunyai kepandaian seberapa tinggi. Me¬mikir begitu, hatinya menjadi mantap lagi dan ia segera berkata sembari tertawa. "Ya, benar aku sudah menghina kau. Habis mau apa kau?"

Tanpa menyahut, Siang Loo-tay menghampiri meja abu dan mengeluarkan satu bungkusan kuning yang penuh debu, dari belakang Lengpay. Begitu bungkusan itu dibuka, suatu sinar hijau berkeredep, dibarengi dengan menyambarnya hawa yang dingin. Ternyata, kain itu membungkus sebilah golok Pat-kwa-to tersepuh emas yang belakangnya tebal dan mata goloknya tipis.

Melihat Pat-kwa-to itu, Giam Kie lantas saja ingat akan suatu kejadian yang terjadi pada belasan tahun berselang. Ia mundur beberapa tindak dan mengeluarkan seruan tertahan: "Pat-kwa-to Siang

Kiam Beng!"

"Meskipun orangnya sudah tiada lagi, goloknya masih tetap berada di sini!" kata Siang Loo-tay dengan suara menyeramkan. "Dengan Pat-kwa-to ini, aku memohon pengajaran dari Giam Loo-toa."

Tiba-tiba ia memegang gagang golok itu dan dengan gerakan Tong-cu-pay Hud (Anak kecil me-nyembah Buddha), ia menghadapi Giam Kie dengan sikap Siang-sit Co-chiu Po-to (Mendukung golok dengan tangan kiri), yaitu gerakan pertama dari ilmu golok Pat-kwa-to.

Meskipun di dalam hatinya kepala perampok itu agak keder, tapi sesudah mengingat, bahwa seorang kenamaan seperti Ma Heng Kong masih jatuh dalam tangannya dan mengingat pula, bahwa nyonya tua itu tentu juga tidak mempunyai kepan¬daian terlalu tinggi, lantas saja ia mendapatkan kembali kepercayaannya terhadap did sendiri. Sem¬bari mengebas golok, ia tertawa seraya berkata: "Kau ingin menjajal ilmu, kenapa tidak di ruangan tadi saja dan mesti datang ke tempat ini? Apakah kau hanya dapat menunjukkan keangkeran di depan meja abu suamimu?"

"Benar," jawabnya dengan pendek.

Giam Kie melirik meja abu dan berkata pula: "Siang Loo-tay, hayolah!"

"Kau adalah tamu," kata nyonya itu. "Giam Cee-cu, silahkan menyerang terlebih dulu."

Giam Kie tidak lantas membuka serangan, se-baliknya berkata pula: "Dengan Siang-kee-po, aku sama sekali tidak mempunyai permusuhan. Dalam merampas piauw kali ini, yang dilanggar olehku adalah si tua bangka she Ma. Jika Siang Loo-tay ingin juga membela dia, biarlah kita tetapkan, bah¬wa pertandingan ini akan berakhir, begitu ada salah satu pihak yang kena ditowel. Tak perlu kita ber-tempur mati-matian."

"Tak begitu gampang!" kata nyonya Siang sem¬bari mengeluarkan suara di hidung. "Selama hidup-nya, Siang Kiam Beng adalah seorang enghiong (orang gagah). Ia mendirikan Siang-kee-po bukan untuk dibuat sesuka-suka oleh segala orang, mau masuk bisa masuk, mau keluar biasa lantas keluar." "Bagaimana kemauanmu?" tanya Giam Kie yang mulai gusar.

"Jika aku kalah, kau boleh membunuh aku dan anakku," jawabnya. "Tapi kalau aku menang, kepala Giam Cee-cu juga harus ditinggalkan di sini!"

Giam Kie mencelat, ia tak nyana, nyonya itu mengeluarkan kata-kata yang sedemikian berat. "Hayo!" berseru Siang Loo-tay. Giam Kie naik darah. "Untung apa jika aku mengambil jiwamu dan jiwa anakmu!" ia berseru. "Cukup jika kau menyerahkan Siang-kee-po dan semua harta benda kepadaku!"

Baru habis ia mengucapkan perkataan itu, Siang Loo-tay sudah membacok dengan pukulan Tiauw-yang-to. Giam Kie buru-buru miringkan ke-palanya. Pukulan itu cepat dan berat, dan ketika Pat-kwa-to iewat di samping kepaianya, Giam Kie merasakan kupingnya pedas.

Giam Kie terkejut, sebab begitu membuka se-rangan, nyonya Siang sudah menghantam dengan pukulan yang membinasakan. Ia mengetahui, bahwa dalam serangan yang berikutnya, si nyonya tentu akan membalikkan golok dan membabat pinggang-nya. Buru-buru ia menjaga di bagian pinggang dan "trang!" kedua golok berbentrok keras. Dari ben-trokan itu, Giam Kie mendapat kenyataan, bahwa tenaga nyonya itu tidak begitu besar, sehingga hati-nya menjadi lebih mantap. Dengan gerakan Tui-to-kwa-houw (Mendorong golok menikam tenggorok-an), ia menyodok leher lawan dengan goloknya.

Nyonya Siang meloncat minggir, semhari ber-kata: "Su-bun To-hoat (Ilmu golok Emas pintu), ada apa bagusnya?"

"Memang tidak bagus, tapi cukup untuk meru-buhkan kau," jawabnya sambil menyerang dengan pukulan Cin-to Lian-hoan-to (Golok berantai). Nyonya Siang tidak berkelit atau menangkis. Ber-bareng dengan serangan lawan, ia membacok muka Giam Kie dengan Pat-kwa-to.

Kepala perampok itu terkesiap. "Eh, kenapa dia begitu nekat?" pikirnya. Dalam Rimba Persilatan di wiiayah Tiong-goan, memang terdapat suatu kebiasaan yang dinamakan Wie Gui-kiu Tio (Me-ngepung negara Gui untuk menolong negara Tio), yaitu: Balas menyerang, tanpa berusaha untuk me¬nolong diri dari serangan musuh, agar musuh mem-batalkan serangannya. Dapat dimengerti, bahwa cara begitu sangat berbahaya dan hanya digunakan jika sudah tidak terdapat jalan lain lagi. Ketika itu, jika mau, dengan gampang Siang Loo-tay dapat menangkis serangan Giam Kie. Tapi ia tidak me¬nangkis dan mengirimkan serangan pembalasan. Dengan berbuat begitu, terdapat kemungkinan be¬sar, bahwa kedua belah pihak mendapat luka de¬ngan berbareng. Itulah sebabnya, kenapa Giam Kie jadi terkejut.

Dalam bahaya, Giam Kie menggulingkan badan sambil mengirim suatu tendangan aneh, yang ham-pir-hampir mengenai pergelangan tangan Siang Loo-tay.

Harus diketahui, bahwa sesudah memiliki be-lasan macam pukulan yang luar biasa, Giam Kie berhasil menjatuhkan banyak sekali orang gagah dalam Rimba Persilatan. Ilmu golok Su-bun To-hoat yang dipunyainya adalah ilmu yang biasa saja.



Akan tetapi, dengan menggabungkan belasan pu-kulan aneh itu ke dalam Su-bun To-hoat, setiap kali terdesak, ia selalu berhasil meloloskan diri dari bencana.

Pertempuran berlangsung terus, semakin lama jadi semakin sengit. Melihat lihaynya nyonya tua itu, mau tidak mau Giam Kie merasa kagum. Ia menginsyafi, bahwa jika pertempuran berjalan terus seperti itu, sekali kurang hati-hati, kepalanya bisa dipapas Pat-kwa-to yang tajam dan berat. Sembari mengempos semangatnya, sedang goloknya yang dicekal di tangan kanan tetap menyerang dengan Su-bun To-hoat, tangan kiri dan kedua kakinya menghujani nyonya Siang dengan balasan pukulan aneh itu. Benar saja, sesudah lewat beberapa jurus, Siang Loo-tay jadi terdesak.

"Hm!" Giam Kie mengejek. Tadinya kukira ilmu golok Siang Kiam Beng benar-benar lihay. Tak tahunya hanya sebegini!"

Siang Loo-tay menghormati mendiang suami-nya seperti dewa. Maka itu, tidak mengherankan, jika ejekan Giam Kie sudah membikin ia jadi mata gelap. Pada saat itu juga, ia merubah cara bersilatnya. Bagaikan kilat, ia meloncat kian kemari, goloknya menyambar-nyambar dari segala penjuru dan setiap serangannya adalah serangan yang mem-binasakan.

"Eh-eh! Siang Loo-tay, apa kau sudah gila?" teriak kepala rampok itu sembari lari berputar-putar. "Bukan aku yang membunuh suamimu. Ke-napa kau jadi nekat-nekatan?"

Dalam setiap pertempuran, larangan yang tak boleh dilanggar, adalah perasaan keder. Begitu hati



jeri, habislah ilmu silatnya. Dilain pihak, Siang Loo-tay yang sudah berada di atas angin, lantas saja menyerang semakin hebat. Giam Kie ngiprit ber-putar-putar di ruangan itu, tujuan satu-satunya ada¬lah menyingkir secepat mungkin dari macan betina yang sudah kalap itu.

Beberapa kali ia menubruk pintu untuk mem-bukanya, tapi ia selalu tidak berhasil karena da-tangnya hujan serangan. Dalam bingungnya, se¬sudah lari lagi beberapa putaran, mendadak ia me-nendang ke belakang dan kemudian menjejak lantai sekuat-kuatnya, sehingga badannya melesat untuk melompati jendela. Pundak Siang Loo-tay kena ditendang, tapi nyonya itu masih keburu menyabet dengan goloknya, sehingga hampir berbareng, sem¬bari berteriak, mereka rubuh di bawah jendela. Nyonya Siang hanya mendapat luka enteng, tapi Giam Kie yang lututnya tergores, tak bisa lantas bangun.

Semangat kepala perampok itu, terbang ke awang-awang. Dengan mata bersinar merah, Siang Loo-tay mengangkat Pat-kwa-tonya untuk segera menebas. Dengan kedua tangan memegang lutut, Giam Kie berteriak dengan suara gemetar: "Am-pun!"

Semenjak kecil, Siang Loo-tay mengikuti ayah-nya dan kemudian mengikuti suaminya berkelana di dunia Kang-ouw. Banyak sekali orang gagah yang ia pernah jumpai, tapi belum pernah ia bertemu dengan manusia yang begitu tidak mengenal malu, seperti Giam Kie. Hatinya bergoncang dan Pat-kwa-tonya turun dengan perlahan.

Giam Kie merangkak sembari memanggut manggutkan kepalanya. "Mohon Loo-tay-tay raeng-ampuni kedosaan siauwjin," katanya. "Apa jugayang Loo-tay-tay perintahkan, akan kuturut. Aku hanya memohon belas kasihan untuk jiwaku."

Nyonya Siang menghela napas dan berkata de-ngan suara angker: "Baiklah! Aku ampuni jiwamu. Tapi ingat! Kejadian ini tak boleh kau bocorkan kepada siapapun juga."

"Baik, baik, baik," kata Giam Kie, kegirangan.

"Pergi!" bentak Siang Loo-tay.

Giam Kie menyeringai! Ia menjumput goloknya dan dengan susah payah, ia merangkak bangun, akan kemudian dengan menggunakan golok itu sebagai tongkat, ia berjalan keluar terpincang-pin-cang.

"Tahan!" mendadak Siang Loo-tay berteriak. "Sebelum bertanding, sudah ditetapkan, bahwa sia-pa yang kalah, harus meninggalkan kepalanya di Siang-kee-po! Kau kira aku lupa?"

Giam Kie mencelos hatinya. "Loo... tay-tay... sudah mengampuni..." katanya terputus-putus, de¬ngan meringis.

"Aku mengampuni jiwamu, tidak mengampuni batok kepalamu!" bentak nyonya Siang. Ia me-ngebaskan Pat-kwa-tonya dan membentak dengan bengis: Tat-kwa-to dari Siang Kiam Beng, tak per-nah pulang dengan tangan kosong!"

Muka Giam Kie pucat bagaikan kertas, kedua lututnya lemas dan ia jatuh berlutut. Bagaikan kilat, dengan tangan kiri Siang Loo-tay menjambret thau-cang Giam Kie dan berbareng dengan berkelebat-nya Pat-kwa-to itu, thaucang itu sudah menjadi putus.

"Tinggalkan thaucangmu di sini!" bentak nyo¬nya Siang. "Mulai dari sekarang kau harus mencukur rambut dan menjadi hweeshio. Tak boleh kau ber-keliaran lagi dalam Rimba Persilatan. Mengerti?"

Giam Kie manggut-manggutkan kepalanya dan mengeluarkan beberapa patah kata yang tidak jelas.

"Bungkus lututmu, pakai topi!" perintah Siang Loo-tay. "Sesudah itu, pergi dari sini dan ajak semua anak buahmu."

Semua orang yang berada di ruangan depan, menunggu dengan tidak sabar. Berselang setengah jam, baru Siang Loo-tay kelihatan muncul, diikuti Giam Kie yang berjalan perlahan-lahan.

"Saudara-saudara!" teriak Giam Kie. "Perak itu jangan diganggu! Semua pulang!"

Mendengar perkataan pemimpin mereka, se¬mua perampok itu jadi tercengang dan serentak mereka bangun semua.

"Hengtiang (kakak)..." kata Jie Cee-cu.

"Berangkat!" bentak Giam Kie sembari meng-ulapkan tangannya dan segera berjalan keluar lebih dulu. Ia tak berani berdiam lama-lama dalam ruang¬an itu, karena khawatir rahasianya terbuka. Anak buahnya tentu saja tidak berani membantah. Se¬sudah menengok beberapa kali kepada bungkusan-bungkusan perak itu, dengan rasa kecewa mereka berlalu satu demi satu.

Walaupun berpengalaman luas, mula-mula Ma Heng Kong tidak dapat menaksir mengapa keadaan itu bisa berubah menjadi begitu. Tapi matanya yang tajam segera juga dapat melihat tetesan darah di atas lantai. Sekarang ia mengerti bahwa Giam Kie sudah mendapat luka dan ia menduga, bahwa di siang-kee-po bersembunyi seorang pandai. la sama sekali tidak pernah bermimpi, bahwa nyonya tua yang kelihatan begitu loyo itu, baru saja melakukan pertempuran mati-matian melawan kepala perampok itu.

Sembari memegang pundak puterinya, ia maju beberapa tindak untuk menghaturkan terima kasih. Tapi, belum sempat ia mengeluarkan sepatah kata, Siang Loo-tay sudah berteriak: "Cin-jie! Ikut aku!M Ma Heng Kong terkejut dan di lain saat, ibu dan anak itu sudah masuk ke ruangan dalam.

Semua anggota Piauw-kiok dan ketiga Siewie itu lantas saja saling mengutarakan pendapatnya. Ada yang mengatakan, bahwa nyonya itu tentu sudah mengenal kepala perampok tersebut, yang lain berpendapat, bahwa Giam Kie mungkin men-jadi sadar sesudah dibujuk oleh Siang Loo-tay dan sebagainya. Selagi mereka ramaiberbicara, tiba-tiba Siang Po Cin keluar lagi dan berkata: "Ibuku meng-undang Ma Loopiauwtauw ke dalam untuk minum

ten."

Ternyata nyonya itu mengundang Ma Heng Kong dengan maksud yang baik. Sembari minum teh, ia membujuk supaya Ma Heng Kong berobat dulu di Siang-kee-po dan minta bantuan Piauw-kiok lain untuk mengawal perak itu sampai di Kimleng. Ma Heng Kong merasa sangat berterima kasih akan kebaikan orang, yang bukan saja sudah memberikan pertolongan sehingga piauwnya tidak sampai kena dirampas, tapi juga sudah mengajukan tawaran yang mulia. Ia segera minta bantuan Piauw-kiok lain untuk mengantar perak itu, sedang ia bersama pu-teri dan muridnya lantas berdiam di Siang-kee-po untuk sementara waktu. Dalam pada itu, dengan menerima tawaran Siang Loo-tay, Ma Heng Kong juga mempunyai suatu harapan lain, yaitu harapan bisa bertemu dengan orang pandai yang sudah me-rubuhkan Giam Kie, yang menurut dugaannya ber¬sembunyi di Siang-kee-po.

Menjelang magrib, hujan baru berhenti. Ketiga Siewie itu segera pamitan dan menghaturkan terima kasih untuk kebaikan tuan rumah. Mereka berlalu dengan diantar oleh Siang Po Cin sampai di pintu depan.

Sesudah ketiga Siewie itu berangkat, sambil menuntun si bocah kurus, orang yang berlengan satu itu pun lantas saja minta did dan berlalu.

Siang Loo-tay melirik anak itu dan ia ingat, bagaimana si bocah sudah mencaci Biauw Hujin. "Sungguh jarang terdapat anak kecil yang bernyali begitu besar," pikirnya. Memikir begitu, lantas saja ia menanya: "Ke mana kalian ingin pergi? Apakah kalian mempunyai bekal cukup?"

"Siauwjin (aku yang rendah), paman, berdua keponakan terlunta-lunta dalam dunia Kang-ouw dan tak punya tempat tinggal yang tentu," jawab si lengan satu. "Maka itu, tak dapat aku menjawab, ke mana kami niat pergi."

Nyonya Siang mengawasi anak itu dengan rasa kasihan dan beberapa saat kemudian, ia berkata: "Jika kalian tidak berkeberatan, dapat kalian ber¬diam di sini untuk membantu-bantu. Rumah ini cukup besar dan ditambah dengan dua orang lagi, tidak menjadi soal."

Mendengar tawaran itu, si lengan satu yang dalam hatinya menggenggam maksud tertentu,

menjadi sangat girang dan menerima baik tawaran tersebut sembari menghaturkan terima kasih. Men-jawab pertanyaan, ia memberitahukan, bahwa ia bernama Peng Sie, sedang bocah itu, yang diakui sebagai keponakannya, bernama Peng Hui.

Malam itu, Peng Sie bersama keponakannya tidur di sebuah kamar kecil sebelah Barat, yang ditunjuk oleh pengurus rumah. Sesudah mengunci pintu dan jendela, dengan paras berseri-seri, Peng Sie berkata dengan suara perlahan: "Siauwya (ma-jikan kecil), mendiang ayah dan ibumu memberkahi kau! Dua halaman kitab silat itu sekarang sudah kcmbali ke dalam tanganmu. Allah sungguh adil!"

"Peng Sie-siok," kata si bocah. "Aku mohon kau jangan memanggil Siauwya lagi. Jika didengar orang, orang bisa jadi curiga."

Peng Sie mengiakan, sembari mengeluarkan bungkusan kertas minyak itu yang lalu disodorkan kepada si bocah dengan sikap menghormat. Ia bu-kan menghormat Peng Hui, tapi Injin (tuan pe-nolong) yang mewariskan dua halaman kitab ilmu silat tersebut.

"Peng sie-siok," kata pula bocah itu. "Cara ba-gaimana, begitu mendengar kisikanmu, Giam Kie lantas saja rela menyerahkan dua halaman kitab itu?"

Jawab Peng Sie: "Aku berkata: 'Giam Kie, mana itu dua halaman Kun-keng (kitab ilmu silat)? Biauw Jin Hong, Biauw Tayhiap, memerintahkan kau me-ngembalikannya. Tepat, pada waktu akumengucap-kan kata-kata itu, Biauw Tayhiap melirik padanya. Itulah suatu kejadian kebetulan yang diberkahi ta-ngan Allah. Biarpun Giam Kie mempunyai nyali yang sepuluh kali lipat lebih besar, dia tak akan berani tidak membayar pulang."

Peng Hui berdiam beberapa saat dan kemudian berkata pula: "Kenapa dua halaman itu bisa berada di dalam tangannya? Dan kenapa kau menyuruh aku memperhatikan mukanya? Kenapa dia begitu ketakutan melihat Biauw Tayhiap?"

Peng Sie tak menyahut. Ia menggigit bibir dan mukanya kelihatan menyeramkan. Air matanya ber-linang-linang di kedua matanya, tapi sebisa-bisanya ia coba menahan turunnya air mata itu.

"Sie-siok," kata si bocah dengan suara gemetar. "Sudahlah! Aku tak akan menanya pula. Bukankah kau sudah berjanji nanti, sesudah aku besar dan memiliki kepandaian tinggi, baru kau akan men-ceritakannya dari kepala sampai buntut. Baiklah, mulai dari sekarang, aku akan belajar giat-giat."

Demikianlah, paman dan keponakan itu lantas saja bernaung di Siang-kee-po yang besar dan luas.

Peng Sie bekerja di kebun sayur, sedang Peng Hui bertugas di Lian-bu-teng, menyapu dan mem-bereskan perabotan serta senjata.

Dilain pihak, Ma Heng Kong yang berobat di rumah keluarga Siang, melewatkan temponya yang senggang dengan meruridingkan soal-soal ilmu silat dengan puterinya, muridnya dan Siang Po Cin. Setiap kali mereka berlatih, Peng Hui hanya melirik satu dua kali, tidak berani menonton lama-lama.

Ma Heng Kong dan yang Iain-lain mengetahui, bahwa bocah itu bernyali besar. Akan tetapi, me¬reka sama sekali tidak menduga, bahwa si kurus sebenarnya mengerti ilmu silat. Maka itu, setiap kali Peng Hui melirik dengan sikap acuh tak acuh, baik Ma Heng Kong yang berpengalaman, maupun Siang Po Cin yang cerdik, belum pernah menduga, bahwa bocah itu sebenarnya tengah memperhatikan ilmu silat mereka.

Tapi Peng Hui bukan ingin mencuri pelajaran orang. Apa yang benar-benar dipikirkannya, lebih-lebih tak dapat ditaksir oleh Ma Heng Kong. Setiap melihat pukulan yang luar biasa, di dalam hatinya ia selalu berkata: "Apa bagusnya pukulan itu? Ter-nyata manusia tolol boleh juga digunakan. Tapi jika menghadapi orang gagah tulen, pukulan itu sedikit pun tiada gunanya."

Harus diketahui, bahwa bocah itu sebenarnya bukan she Peng, tapi she Ouw, sehingga namanya yang sejati adalah Ouw Hui. Dia itu bukan lain daripada putera tunggal Ouw It To, Liautong Tay-hiap yang pernah bertempur melawan Biauw Jin Hong tiga had tiga malam lamanya. Dari mendiang ayahandanya, ia mewarisi kitab ilmu silat dan ilmu golok yang berisi Ouw-kee Kun-hoat dan Ouw-kee To-hoat (Ilmu silat dan ilmu golok keluarga Ouw), yang tiada keduanya di dalam dunia. Maka itu, tidak mengherankan, jika Ouw Hui memandang rendah ilmu silat yang dipertunjukkan oleh Ma Heng Kong dan yang Iain-lain itu.

Ketika jatuh ke dalam tangannya, kitab tersebut kurang dua halaman yang berisi pokok-pokok Ouw-kee Kun-hoat dan Toa-hoat. Oleh karena itu, mes-kipun Ouw Hui cerdas dan giat luar biasa, ia belum dapat memiliki intisari ilmu mendiang ayahnya. Da¬lam waktu yang lampau, kekurangan itu tak dapat ditambal dengan apapun juga. Sekarang, secara kebetulan, dua halaman yang dicuri Giam Kie, telah diambil pulang. Maka itu, bisa dimengerti jika se¬karang ia mendapat kemajuan yang luar biasa pe-satnya. Cobalah dibayangkan: Dengan hanya me¬miliki delapan macam pukulan yang didapat dari dua halaman itu, Giam Kie sudah bisa menjagoi, bahkan sudah berhasil merubuhkan Pek-seng Sin-kun Ma Heng Kong. Dari itu, dapatlah ditaksir-taksir bagaimana tingginya kepandaian Ouw Hui yang sudah memahami kitab itu dari kepala sampai di buntut.

Tentu saja, karena usianya yang masih muda dan tenaga dalamnya yang masih cetek, banyak bagian kitab itu yang belum dapat diyakinkannya dengan sempurna. Tapi dengan bantuan kitab ter¬sebut, latihannya dalam satu hari mempunyai harga yang sama dengan latihan Cie Ceng dalam sebulan. Andaikata Cie Ceng dan yang Iain-lain berlatih terus-menerus puluhan tahun, mereka toh tak akan dapat menyusul Ouw Hui yang memiliki kitab tung¬gal itu dalam Rimba Persilatan.

Demikianlah, setiap malam bila seluruh gedung keluarga Siang sudah terbenam dalam kesunyian, seorang did Ouw Hui pergi ke tanah belukar untuk berlatih. Ia mempelajari ilmu golok dengan meng-gunakan golok-golokan kayu. Setiap kali memba¬cok, seperti juga ia membacok musuh besarnya yang sudah membinasakan ayahandanya.

Memang benar sekarang ia masih belum me-ngetahui, siapa adanya musuh itu, tapi bukanlah Peng Sie-siok sudah menjanjikan untuk membuka segala rahasia jika ia sudah besar dan sudah me¬miliki kepandaian yang tinggi? Memikir begitu, ia semakin giat berlatih dan menggunakan otaknya yang cerdas untuk memecahkan rahasia-rahasia yang tersembunyi dalam Kun-keng itu. Ia harus menggunakan otaknya, sebab ilmu silat yang paling tinggi harus dipelajari dan diselami dan bukan hanya harus dilatih dengan menggunakan tenaga jasmani.

Dalam sekejap, sudah lewat tujuh delapan bu-lan. Luka Ma Heng Kong sudah lama sembuh, akan tetapi setiap kali mereka ingin berlalu, Siang Loo-tay dan puteranya selalu menahan dengan keras. Karena memang perusahaan Piauw-kioknya sudah ditutup sehingga ia sudah tidak mempunyai peker-jaan lagi dan juga karena nyonya rumah itu serta puteranya menahan secara sungguh-sungguh, maka Ma Heng Kong selalu menunda-nunda keberang-katannya.

Secara resmi, Siang Po Cin tidak mengangkat Ma Heng Kong sebagai guru. Orang angkuh sebagai Siang Loo-tay yang sangat bangga akan kepandaian Pat-kwa-to Siang Kiam Beng, mana mau gampang-gampang mengijinkan puteranya mengangkat orang luar sebagai guru? Akan tetapi, mengingat budi keluarga Siang yang sangat besar, Ma Heng Kong sendiri memandang Po Cin sebagai muridnya sen-diri. Apa juga yang dikehendaki pemuda itu, asal ia mampu, ia tentu memberikannya dengan segala senang hati. Biarpun bagaimana juga, Pek-seng Sin-kun memang mempunyai ilmu silat yang cukup tinggi. Maka itu, selama tujuh delapan bulan, Siang Po Cin sudah memperoleh pelajaran yang tidak sedikit dari orang tua itu.

Sementara itu, Ma Heng Kong masih belum dapat memecahkan teka-teki yang selalu merupa-kan pertanyaan dalam hatinya. Kenapa, pada hari itu, Giam Kie sudah berlalu terbirit-birit, dengan mendapat luka? Ia menduga, bahwa di dalam rumah keluarga Siang bersembunyi seorang yang berke-pandaian sangat tinggi. Tapi, siapakah orang itu? Sekali, secara tiba-tiba ia menimbulkan soal itu. Akan tetapi, sembari tertawa, Siang Loo-tay mem-beri jawaban yang menyimpang. Sebagai seorang yang cerdas, Ma Heng Kong mengetahui, bahwa nyonya rumah sungkan membuka rahasia itu dan mulai dari waktu itu, ia tidak berani menyebut-nyebut pula persoalan itu.

***

Sebagai seorang tua, sering-sering Ma Heng Kong tidak bisa tidur pulas. Pada suatu malam, kira-kira jam tiga, mendadak ia mendengar suara "krek" di luar tembok, seperti suara patahnya ca-bang pohon kering. Dengan pengalamannya yang luas, Pek-seng Sin-kun segera mengetahui, bahwa seorang tetamu malam sedang lewat di luar rumah. Tapi heran sungguh, sehabis suara "krek" itu, tidak terdengar pula suara lain, sehingga ia tidak me¬ngetahui, ke mana perginya tetamu malam itu.

Meskipun ia berdiam di Siang-kee-po sebagai tetamu, tapi karena mengingat budi keluarga Siang yang sangat besar, Ma Heng Kong selalu meng-anggap keselamatan keluarga tersebut, seperti ke-selamatannya sendiri. Dengan cepat, dari bawah bantalnya, ia menarik keluar Kim-sie Joan-piannya

yang lalu dilibatkan di pinggangnya dan perlahan-lahan ia membuka pintu.

Baru saja ia ingin melompati tembok, di tempat yang jauhnya kira-kira empat lima tombak, men-dadak berkelebat sesosok bayangan hitam yang terus berlari-lari ke arah gunung di belakang.

Dalam sekelebatan itu, Ma Heng Kong menge-tahui, bahwa orang itu mempunyai ilmu mengen-tengkan badan yang cukup tinggi. "Apakah bukan Giam Kie yang datang lagi untuk mencari urusan?" tanyanya di dalam hatinya. "Urusan ini muncul karena gara-garaku, sehingga aku tentu tidak bisa tinggal berpeluk tangan." Memikir begitu, lantas saja ia mengejar. Tapi, sesudah mengejar kurang lebih tiga puluh tombak, bayangan itu menghilang.

"Celaka!" Ma Heng Kong mengeluh. "Jangan-jangan aku kena diakali dengan tipu memancing harimau keluar dari gunung." Buru-buru ia kembali ke gedung keluarga Siang, tapi keadaan di situ tenang dan tentram sehingga Pek-seng Sin-kun menjadi lega hatinya. Tapi, biar bagaimanapun juga, ia tetap bercuriga dan khawatir. "Gerakan orang itu luar biasa dan dia bukan lawan enteng," pikirnya. "Tapi badannya kecil kurus dan sama sekali tidak mirip dengan badan Giam Kie yang tinggi besar. Siapa dia?"

Ia mengebaskan Joan-piannya beberapa kali dan pergi ke belakang untuk menyelidiki terlebih jauh. Di waktu mendekati batas pekarangan bela¬kang, tiba-tiba kupingnya menangkap bunyi sabet-an-sabetan golok.

"Malu aku!" ia mengeluh. "Benar ada tetamu yang menggerayang ke sini. Dengan siapa dia bertempur?"

Dengan sekali menjejak kaki, Ma Heng Kong sudah hinggap di atas tembok. Ia celingukan dan memasang kuping. Ternyata, bunyi itu keluar dari sebuah rumah genteng yang terletak di bagian be¬lakang tapi sungguh heran, sedang pertempuran berlangsung dengan serunya, sama sekali tidak ter-dengar bentakan atau cacian. Ma Heng Kong me-ngetahui, bahwa dalam pertempuran itu tentu ter-sembunyi latar belakang lain, sehingga ia tidak berani sembarangan menerjang untuk memberikan bantuan. Perlahan-lahan ia mendekati jendela dan mengintip dari sela-selanya, dan... hampirhampir ia tertawa.

Dalam ruangan itu yang kosong melompong dan yang hanya diterangi sebuah pelita kecil di atas meja, terdapat dua orang yang sedang bertempur seru dan kedua orang itu bukan lain daripada Siang Loo-tay dan puteranya.

Ma Heng Kong jadi seperti orang kesima. De¬ngan hebat Siang Loo-tay menghujani puteranya dengan serangan-serangan berat dan gerakan-ge-rakanannya yang gagah dan gesit berbeda seperti langit dan bumi dengan keloyoannya yang biasa diperlihatkan terhadap orang luar. Dilain pihak, Siang Po Cin melayani ibunya dengan ilmu golok Pat-kwa-to yang sangat lihay. Ma Heng Kong se-karang mengetahui, bahwa bukan saja si nyonya tua, tapi Siang Po Cin pun sudah sengaja menyem-bunyikan kepandaiannya sendiri.

Sambil menonton, Pek-seng Sin-kun teringat akan suatu kejadian lima belas tahun berselang, di jalan Kam-liang, dimana ia sudah bertempur melawan ayah Siang Po Cin. Dalam pertempuran itu, ia terkena satu pukulan, sehingga harus berobat tiga tahun untuk menyembuhkan lukanya.

Ia mengetahui, bahwa kepandaiannya masih kalah jauh dari kepandaian Siang Kiam Beng, se¬hingga sakit hatinya akan sukar dibalas dan se-menjak itu, tak pernah ia berjalan lagi di jalan Kam-liang. Belakangan, sesudah Siang Kiam Beng meninggal dunia dan nyonya Siang melepas budi begitu besar kepadanya, ia mencoret sakit hati itu dari hatinya. Tapi, siapa nyana, pada malam itu, ia kembali dapat menyaksikan ilmu golok Pat-kwa-to yang diperlihatkan oleh janda dan putera musuh-

nya.

Sembari mengawasi, banyak pertanyaan muncul di dalam hati Ma Heng Kong. "Ilmu silat Siang Loo-tay tidak berada di sebelah bawahku," pikirnya. "Tapi kenapa ia menyembunyikan kepandaiannya itu. Dia sudah menahan aku dan anakku di dalam rumahnya. Apakah ia mempunyai maksud tertentu?"

Beberapa saat kemudian, ibu dan anak itu tiba-tiba merubah cara mereka bersilat, masing-masing mempergunakan Pat-kwa Yoe-sin Ciang-hoat (pu¬kulan Pat-kwa), sembari berlari-lari di sekitar ruangan itu. Dengan demikian, gerakan-gerakan golok mereka bercampur pukulan-pukulan tangan kosong. Sesudah menjalankan habis sampai lima puluh empat pukulan, kedua belah pihak loncat mundur dengan berbareng dan berdiri tegak sambil mencekal golok. Meskipun sudah mengeluarkan banyak tenaga dalam tempo lama, paras muka Siang Loo-tay sedikit pun tidak berubah, tapi muka Siang

Po Cin sudah merah seluruhnyadan napasnya ter-sengal-sengal.

"Pernapasanmu sukar sekali diatur," kata sang ibu dengan suara menyeramkan. "Jika kemajuanmu begitu perlahan, sampai kapan kau akan dapat membalas sakit hati ayahmu?"

Siang Po Cin menundukkan kepalanya, kelihat-an ia malu sekali.

"Biarpun kau belum pernah menyaksikan ilmu silat Biauw Jin Hong, tapi tenaganya yang luar biasa, sudah kau lihat dengan mata sendiri, diwaktu ia menahan roda kereta," kata pula Siang Loo-tay. "Kepandaian Ouw It To tidak berada di sebelah bawah Biauw Jin Hong. Hai! Aku melihat, dalam beberapa hari ini kau begitu tergila-gila kepada gadis she Ma itu, sehingga kau tak sempat lagi berlatih."

Ma Heng Kong terkejut. "Apakah Hong-jie mengadakan perhubungan yang diluar kepantasan dengan dia?" tanyanya di dalam hatinya.

Muka Siang Po Cin jadi semakin merah dan ia berkata: "Ibu, terhadap nona Ma, aku selalu ber-sikap menurut peraturan. Belum pernah aku bicara banyak-banyak dengan ia."

Siang Loo-tay mengeluarkan suara di hidung dan segera berkata pula: "Siapa yang telah me-melihara kau, dari bayi sampai besar? Apakah kau kira, aku tidak mengetahui segala maksud tujuan-mu? Bahwa kau sudah penuju nona Ma, aku pun tidak menyalahkannya. Baik romannya, maupun ilmu silatnya, aku sendiri sangat penuju."

Bukan main girangnya Siang Po Cin. "Ibu!" ia berseru sembari nyengir.

Tapi sang ibu mengebaskan tangannya, seraya membentak: "Kau tahu, siapa ayahnya?"

"Bukankah Ma Loopiauwtauw?" si anak balas menanya.

"Siapa kata bukan?" kata Siang Loo-tay. "Tapi apakah kau tahu, ada apa di antara Ma Loopiauw¬tauw dan keluarga kita?"

Siang Po Cin menggeleng-gelengkan kepalanya sembari mengawasi ibunya dengan hati berdebar-debar.

"Anak! Dia adalah musuh ayahmu!" kata sang ibu.

Bukan main kagetnya Siang Po Cin. "Ha!" ia berseru.

"Lima belas tahun berselang," tutur Siang Loo-tay, "Ayahmu telah bertempur dengan Ma Heng Kong di jalan Kam-liang. Ayahmu memiliki ke-pandaian yang sangat tinggi dan tentu saja orang she Ma itu bukan tandingannya. Dalam pertem-puran itu, ayahmu sudah menghadiahkan kepada-nya satu bacokan dan satu gebukan, sehingga dia mendapat luka berat. Tapi orang she Ma itu juga bukan sembarang orang dan dalam perkelahian itu, ayahmu pun telah mendapat luka di dalam. Ketika ayahmu pulang, sedang lukanya belum sembuh, musuh besar kita, Ouw It To, malam-malam datang menyatroni dan membunuh ayahmu. Jika orang she Ma itu tidak lebih dulu melukakan padanya... hm! Manusia semacam Ouw It To, biar bagaimanapun juga tak akan dapat melukakan padanya!"

Di waktu mengeluarkan kata-kata itu, pada suaranya sangat rendah dan sungguh menyeramkan. Selama hidupnya, Ma Heng Kong sudah kenyang menghadapi macam-macam badai dan taufan, tapi pengalamannya disaat itu, benar-benar dirasakan sangat menyeramkan olehnya, sehingga sekujur ba-dannya jadi bergemetar. "Ouw It To adalah seorang gagah yang kepandaiannya tak dapat diukur ba-gaimana tingginya," katanya di dalam hati. "Biarpun Siang Kiam Beng tidak mendapat luka, jangan harap ia dapat meloloskan diri. Sungguh sial! Gara-gara si nenek mencinta suami, semua kesalahan agaknya mau ditimpakan ke atas kepalaku." Sesaat kemu-dian, Siang Loo-tay kedengaran berkata lagi. "Dan sekarang, secara sangat kebetulan, dengan meng-iring piauw, si tua bangka sudah datang sendiri kemari. Dengan tangannya sendiri, mendiang ayah¬mu telah mendirikan Siang-kee-po ini. Mana bisa aku membiarkan segala bangsa tikus berlaku kurang ajar dan merampas piauw dalam rumah ini? Tapi, apakah kau tahu maksudku menahan orang she Ma itu, ayah dan anak, di sini?"

"Ibu... kau... kau ingin membalas... sakit hati ayah?" jawab Siang Po Cin dengan suara terputus-putus.

"Kau keberatan, bukan!" bentak ibunya. "Ka-rena kau mencinta perempuan she Ma itu, ya?"

Melihat ibunya seperti orang kalap dan kedua matanya seakan-akan mengeluarkan api, Siang Po Cin mundur beberapa tindak dan tidak berani me¬ngeluarkan sepatah kata.

Beberapa saat kemudian, Siang Loo-tay tertawa dingin. "Baiklah," katanya. "Beberapa hari lagi, aku akan majukan lamaran kepada orang she Ma itu. Dengan memandang keadaanmu dan mukamu, ku-rasa lamaran itu tidak akan ditolak."

Perkataan Siang Loo-tay yang tidak diduga itu kembali mengejutkan Siang Po Cin dan Ma Heng Kong.

Dari sela-sela jendela, Ma Heng Kong dapat melihat paras muka nyonya itu yang mengandung kebencian hebat dan tanpa merasa, bulu romannya berdiri. "Sungguh beracun hati tua bangka itu," pikirnya. "Dia merasa tidak cukup jika hanya meng-ambil jiwaku. Dia sekarang ingin mengambil anakku sebagai menantunya untuk dipersakiti begitu rupa, sehingga hidup tak bisa, mati pun tak mungkin. Tapi Allah masih berbelas kasihan, sehingga malam ini aku dapat mendengar segala siasatnya. Jika tidak... ah! Sungguh kasihan, Hong-jie yang mesti menjadi korban...."

Siang Po Cin yang belum berpengalaman, tidak mengetahui maksud ibunya yang sebenarnya. la hanya menjadi girang tercampur heran.

Dilain pihak, Ma Heng Kong yang khawatir ketahuan jika berdiam lama-lama di situ, lantas saja berlalu dengan indap-indap. Setibanya di kamarnya sendiri, ia menyusut keringat dingin yang berketel-ketel di dahinya. Mendadak ia ingat akan kejadian yang menuntun dirinya ke tempat berlatihnya Siang Loo-tay dan Siang Po Cin. "Siapakah bayangan kurus kecil itu yang lari ke gunung belakang?" tanyanya kepada diri sendiri.

Keesokan harinya, diwaktu lohor, dengan me-ngenakan thungsha dan ma-kwa, Ma Heng Kong minta Siang Po Cin mengundang ibunya dengan pesan, bahwa ia hendak merundingkan suatu soal yang sangat penting.

Siang Po Cin girang berbareng kaget. "Apakah begitu cepat ibu sudah majukan lamaran?" pikirnya. "Sikap dan pakaian Ma Loopiauwtauw sangat ber-beda dengan biasanya."

Sesudah nyonya Siang dan Ma Heng Kong mengambil tempat duduk di ruangan belakang, Siang Po Cin duduk menemani mereka dengan hati berdebar-debar. Lebih dulu Ma Loopiauwtauw menghaturkan terima kasih kepada nyonya rumah yang sudah begitu baik hati untuk memberi tempat meneduh kepada mereka bertiga. Pernyataan te¬rima kasih itu disambut oleh Siang Loo-tay dengan kata-kata merendah.

Sesudah selesai dengan kata-kata pembukaan, barulah Ma Heng Kong mulai dengan tujuannya yang sebenarnya. "Anakku It Hong sudah bukan kecil lagi dan aku ingin mendamaikan suatu urusan dengan Siang Loo-tay," ia mulai.

Jantung Siang Po Cin memukul keras, sedang nyonya Siang merasa heran. Ia menduga, bahwa Ma Heng Kong mau membuka mulut untuk merangkap jodoh puterinya dengan Siang Po Cin. Bahwa pihak perempuan membuka mulut lebih dulu, adalah ke¬jadian yang sangat langka.

"Ma Loosu boleh bicara saja dengan bebas," jawab nyonya Siang. "Kita adalah orang sendiri, tak usah Ma Loosu memakai adat istiadat."

"Di samping anakku, selama hidup aku hanya mempunyai seorang murid," kata Ma Heng Kong. "Dia itu adalah seorang yang tumpul otaknya dan kasar sifatnya. Akan tetapi, semenjak ia masih kecil aku selalu menganggapnya sebagai anakku sendiri. Dengan Hong-jie, dia sudah bergaul lama dan ke-lihatannya sangat akur. Maka itu, aku berniat meminjam rumah Siang Loo-tay untuk pertunangan mereka!"

Dapat dibayangkan, bagaimana kagetnya Siang Po Cin setelah mendengar ucapan itu. Tanpa rae-rasa, ia berbangkit sambil mengawasi Ma Heng Kong.

"Sungguh lihay tua bangka itu," kata Siang Loo-tay di dalam hatinya. "Tak bisa salah lagi, tentunya anak kurang ajar ini yang sudah berlaku tidak hati-hati, sehingga rahasia jadi terbuka." Tapi, sedang hatinya berkata begitu, mulutnya memberi selamat dengan paras girangyang dibuat-buat. "Anak! Lekas memberi selamat kepada Ma Loopeh!" ia meme-rintah puteranya.

Otak Siang Po Cin tak dapat bekerja lagi. Ia seperti orang kesima dan mengawasi ibunya dengan mendelong. Akhir-akhirnya, tanpa mengucapkan sepatah kata, ia lari keluar dari ruangan itu!

Sesudah mengucapkan lagi terima kasih dengan kata-kata merendah, Ma Heng Kong kembali ke kamarnya dan segera memanggil It Hong serta Cie Ceng. Kepada mereka itu, dengan ringkas ia mem-beritahukan, bahwa had itu mereka akan ditunang-kan.

Tak kepalang girangnya Cie Ceng, sedang It Hong kemalu-maluan dengan paras muka yang ber-ubah merah.

"Kamu hanya ditunangkan," orang tua itu mene-rangkan. "Pernikahan antara kamu baru diatur se¬sudah kita pulang."

Kalau Cie Ceng sedang tergirang-girang, adalah Siang Po Cin yang bersedih hati. Sesudah bergaul dengan It Hong yang cantik manis delapan bulan lamanya, pemuda itu terjirat erat-erat dalam pe-rangkap dewi asmara. Semalam mendengar janji ibunya untuk meminang nona tersebut, bukan main girang hatinya. Maka itu, dapatlah dibayangkan bagaimana kagetnya, ketika mendengar pengutara-an Ma Heng Kong. Seorang diri, ia duduk terpekur di dalam kamarnya, memikirkan nasibnya yang sa-ngat sial. Bagaikan seorang linglung, kedua matanya mendelong mengawasi pohon Gin-heng yang tum-buh di luar jendela kamarnya. Ia hampir tidak percaya akan kupingnya sendiri yang mendengar bahwa Ma Heng Kong telah mengucapkan kata-kata itu.

Tak tahu berapa lama ia menjublek di situ.

Ia terkejut ketika seorang pelayan dengan tiba-tiba masuk ke kamarnya sembari berkata: "Siauwya, waktu untuk berlatih sudah tiba. Loo Tay-tay sudah menunggu lama sekali."

Siang Po Cin terkesiap. "Celaka!" ia mengge-rendeng. "Aku bakal dimaki." Ia merenggut kantong piauwnya dan pergi ke Lian-bu-teng sambil berlari-lari.

Begitu masuk, ia melihat ibunya duduk di kursi dengan paras angker. "Hari ini berlatih dengan jalan darah di bagian pundak," katanya. Ia berpaling kepada dua pelayan dan berseru:

"Pegang papan erat-erat. Jalan!"

Diam-diam Siang Po Cin merasa tercengang. Ia merasa heran bahwa ibunya sama sekali tidak ter-pengaruh oleh perkataan Ma Heng Kong dan terus bersikap seperti biasa.

Tapi ia tidak berani berpikir lama-lama. Se-menjak kecil, ia biasa dididik dengan keras sekali oleh ibunya. Dalam ruangan berlatih, sedikit pun ia tidak boleh lengah. Begitu salah, ia tentu tak akan terlolos dari gebukan atau sedikitnya cacian. Demi-kianlah, buru-buru ia mengambil sebuah piauw dari kantong itu dan siap sedia untuk menimpuk.

"Biauw Jin Hong. Beng-bun, Toh-to!" teriak Siang Loo-tay.

Tangan kanan Siang Po Cin terayun dan dua buah piauw dengan jitu sekali menenai dua jalan darah yang disebutkan ibunya.

"Ouw It To. Ta-tui, Yang-koan!" nyonya Siang berteriak pula.

Siang Po Cin mengayun tangan kirinya dan dua buah piauw lantas saja menyambar ke arah papan yang terlukis gambar Ouw It To.

Mendadak, mata Siang Po Cin melihat adanya perubahan pada papan itu. "Ih!" ia berseru sembari mengawasi dengan tajam. Ternyata, huruf-huruf "Ouw It To" pada papan itu sudah tidak kelihatan

lagi.

Siang Loo-tay yang juga sudah melihat perubah¬an itu, lantas menggapai bujangnya yang membawa papan. Setelah diteliti, baru ketahuan, bahwa huruf-huruf "Ouw It To" sudah dikerik hilang dengan sebuah benda tajam dan sebagai gantinya, di papan itu terdapat cukilan huruf-huruf "Siang Kiam Beng"!

Siang Po Cin tak dapat menahan amarahnya lagi. Dengan sekali menggaplok, ia membuat dua buah gigi bujang itu rontok dan dengan sekali menendang, ia menyebabkan orang apes itu rubuh di atas lantai.

"Tahan!" teriak Siang Loo-tay. Ia mengetahui bahwa bujang itu yang dipelihara sedari kecil, tentu tidak berani melakukan perbuatan tersebut. Tak bisa salah lagi, perbuatan itu tentu dilakukan oleh orang luar dan orang luar itu, menurut taksirannya, bukan lain daripada Ma Heng Kong bertiga.

"Coba undang Ma Loosu datang ke sini," ia memerintah salah satu orangnya.

Siang Po Cin sebenarnya adalah seorang yang sangat hati-hati. Tapi pada hari itu, oleh karena kegagalannya dalam percintaan, ia menjadi sangat aseran. Begitu mendengar ibunya memerintahkan orang memanggil Ma Heng Kong, lantas juga ia mendusin akan kekeliruannya. Ia membangunkan bujang yang digaploknya tadi dan berkata: "Aku sudah salah memukul kau, harap kau tidak menjadi gusar." Sehabis berkata begitu, ia mengangkat ta-ngannya untuk mencabut dua buah piauw yang menancap di papan. "Tahan!" kata Siang Loo-tay yang lalu memerintah orang mengambil Pat-kwa-to.

Sebelum golok itu diambil, Ma Heng Kong bertiga sudah masuk ke ruangan Lian-bu-teng. Ia tcrkejut ketika melihat paras muka nyonya Siang yang sedang gusar. Buru-buru ia menyoja seraya menanya: "Ada urusan apa, Siang Loo-tay-tay me¬manggil aku?"

Nyonya Siang tertawa dingin. "Suamiku sudah lama meninggal dunia," jawabnya dengan tawar. "Walaupun andaikata sampai sekarang Ma Loosu masih mempunyai ganjalan berhubung dengan pe-ristiwa tempo hari, tidaklah pantas, jika Loosu mengumbar nafsu terhadap orang yang sudah tiada lagi di dunia...."

Pek-seng Sin-kun menjadi bengong. "Aku tak mengerti..." katanya, tergugu. "Mohon Siang Loo-tay sudi bicara terlebih terang."

Dengan mata berapi, nyonya Siang menuding papan itu dan berkata dengan suara keras: "Ma Loosu adalah seorang laki-laki dalam kalangan Kang-ouw. Aku merasa pasti, kau tidak akan me-lakukan perbuatan yang serendah itu. Aku mau tanya: Siapa yang melakukan itu, puterimu atau muridmu?" Sehabis berkata begitu, matanya me-nyapu Ma Heng Kong bertiga dengan sikap yang sangat angker.

Ma Heng Kong heran dan terkejut melihat perubahan nama pada papan itu. Tapi lekas juga ia menjawab dengan suara nyaring: "Meskipun anak dan muridku orang-orang tolol, aku berani me-mastikan, bahwa mereka tak akan berani berbuat

begitu."

"Dengan lain perkataan, kau mau mengatakan, bahwa perbuatan itu sudah dilakukan oleh orang-orang dari Siang-kee-po sendiri, bukan?" seru Siang Loo-tay.

Ma Heng Kong lantas saja ingat akan orang kecil kurus yang ia jumpai semalam. "Apakah tak bisa jadi, perbuatan itu dilakukan oleh orang luar yang masuk ke gedung ini?" tanyanya. "Semalam aku...."

"Maksudmu anjing Ouw It To sendiri yang menggerayang ke sini?" bentak Siang Loo-tay.

Baru habis perkataannya itu diucapkan, di luar ruangan mendadak terdengar suara seseorang yang sangat nyaring: "Tak berani mencari orangnya, namanya yang dihantam pulang pergi! Itulah baru perbuatan rendah!"

"Siapa itu? Kemari!" Siang Loo-tay memanggil.

Di lain saat, dua bujang yang berdiri dekat pintu, didorong orang dan seorang bocah yang kecil kurus bertindak masuk. Bocah itu bukan lain dari-pada Ouw Hui.

Itulah suatu kejadian yang benar-benar di luar dugaan.

"A-hui, kalau begitu kau?" kata Siang Loo-tay dengan suara dalam.

Ouw Hui manggutkan kepalanya dan menjawab dengan tenang: "Benar. Aku yang berbuat. Tak ada sangkut pautnya dengan Ma Loosu."

"Kenapa kau berbuat begitu?" tanya nyonya Siang.

"Mataku tak enak melihatnya!" sahut si bocah. "Seorang gagah tak pantas berlaku seperti kau."

Siang Loo-tay mengangguk. "Anak manis, be¬nar kata-katamu," katanya. "Kau mempunyai tulang punggung. Mari lebih dekat, aku mau melihat muka-mu secara lebih tegas." Sembari bicara, ia meng-ulurkan tangannya.

Ouw Hui yang sama sekali tak menyangka, bahwa nyonya itu tidak menjadi gusar, lantas saja maju mendekati. Siang Loo-tay mengusap-usap ke-dua tangannya yang kecil seraya berkata: "anak baik, benar-benar kau anak baik!"

Mendadak, dengan sekali membalik tangannya, Siang Loo-tay menotok dengan kedua tangannya, sebelah tangannya menotok jalan darah Hwi-cong-hiat di pergelangan tangan kiri Ouw Hui dan se¬belah tangan lagi menotok jalan darah Gwa-koan-hiat di pergelangan tangan kanan bocah itu. To-tokan itu yang dilakukan secepat kilat, tak dapat



dielakkan lagi dan Ouw Hui tidak dapat bergerak pula. Dengan kepandaian yang dimilikinya, sebe-narnya si nenek tak akan mampu merubuhkan Ouw Hui. Hanya kekurangan pengalaman yang sudah membikin ia terperangkap secara begitu mudah. Karena khawatir tawanannya masih akan dapat melarikan diri, Siang Loo-tay lalu mengirimkan tendangan ke arah jalan darah Siauw-yauw-hiat. Sesudah memamerkan kegagahannya di hadapan seorang anak kecil, ia meneriaki orang-orangnya untuk mengambil rantai dan tambang, guna meng-gantung putera Ouw It To ini di tengah-tengah Lian-bu-teng.

Sesudah korbannya digantung, Siang Po Cin segera mengambil cambuk kulit dan menghantam Ouw Hui kalang kabut. Sambil menggigit bibir, tanpa bersuara anak ini menerima hujan sabetan itu.

"Siapa menyuruh kau?" bentak Siang Po Cin sembari menyabet. Sekali membentak, sekali pula ia mengebat. Sembari menganiaya, ia memerintah orang-orangnya menjaga Peng Ah Sie supaya ia tidak melarikan diri. Dalam jengkelnya karena gagal dalam percintaan, ia sekarang melampiaskan ama-rahnya di atas kepala anak piatu itu.

Melihat Ouw Hui seolah-olah sudah menjadi "manusia darah", Ma It Hong dan Cie Ceng merasa sangat tidak tega di dalam hatinya. Beberapa kali, mereka ingin maju membujuk, tapi Ma Heng Kong selalu melarang dengan kedipan mata.

Sesudah menghantam kira-kira tiga ratus kali, Siang Po Cin menghentikan pukulannya, bukan karena kasihan, tapi karena ia khawatir bocah itu keburu binasa, sebelum dia dapat mengorek siapa yang menjadi dalang di belakang bocah itu.

"Bangsat kecil!" ia membentak. "Apakah bang-sat Ouw It To yang menyuruh kau datang ke sini?"

Mendadak, mendadak saja, Ouw Hui tertawa terbahak-bahak, nyaringdan panjang. Bahwa dalam keadaan mandi darah, bocah itu masih bisa tertawa dan tertawa secara begitu riang, benar-benar diluar dugaan semua orang.

Siang Po Cin mengangkat pula cambuknya un¬tuk menyabet. Sekali ini, Ma It Hong tak dapat bersabar lagi. "Jangan pukul lagi!" ia berteriak. Siang Po Cin mengawasi si nona dan cambuknya yang sudah terangkat naik, turun lagi perlahan-lahan.

Kejadian itu merupakan suatu pelajaran ber-harga yang pahit getir bagi putera Ouw It To. Setiap kali cambuk itu melanggar tubuhnya, setiap kali ia menyesalkan ketololannya sendiri. Dan sesudah mendapat pengalaman itu, seumur hidupnya ia se¬lalu waspada dan tidak pernah membuat kesalahan untuk kedua kalinya.

Selagi menahan sakit sehingga hampir-hampir menjadi pingsan, kupingnya mendadak mendengar teriakan: "Jangan pukul lagi!" Ia membuka kedua matanya dan melihat Ma It Hong sedang mengawasi ia dengan sorot mata kasihan. Dalam keadaan ter-jepit, bukan main besar rasa terima kasihnya.

Melihat puterinya ditundukkan oleh paras can-tik, Siang Loo-tay jadi sangat mendongkol, tapi ia tidak mengucap apa-apa.

"Siang Loo-tay," kata Ma Heng Kong. "Biarlah kau menghajar bocah itu supaya bisa mengorek latar belakangnya. Hong-jie, Ceng-jie, mari kita berlalu!" la memberi hormat dan segera meninggalkan ruang-an itu bersama puteri dan muridnya.

Sesudah keluar dari Lian-bu-teng, It Hong me-nyesalkan ayahnya. "Ayah," katanya. "Bocah itu dianianya begitu hebat, kenapa, sebaliknya dari menolong, kau menganjurkan supaya dia dihajar terus?"

Sang ayah menghela napas dan menyahut: "Kau tahu apa? Orang-orang Kang-ouw sangat berbahaya dan berhati kejam."

Sebagai pemudi yang masih polos, Ma It Hong sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh ayahnya.

Malam itu, mengingat penderitaan Ouw Hui, tak dapat si nona tidur pulas. Kira-kira tengah malam, perlahan-lahan ia turun dari pembaringan dan sesudah mengambil sebungkus obat luka, ia menuju ke Lian-bu-teng.

Di tengah jalan, tiba-tiba ia bertemu dengan seorang yang sedang jalan mondar-mandir sembari menghela napas berulang-ulang. Orang itu adalah Siang Po Cin yang sudah lantas dapat melihatnya dan segera menghentikan tindakannya. "Nona Ma," katanya dengan suara perlahan. "Apakah kau?"

"Benar," jawabnya, "Kenapa kau tidak tidur?"

"Sesudah mengalami kejadian tadi, bagaimana aku bisa pulas?" sahut pemuda itu sembari meng-gelengkan kepala. "Dan kau, kenapa kau sendiri tidak tidur?"

"Sama seperti kau," kata si nona. "Aku pun memikirkan kejadian siang tadi dan hatiku sangat menderita."

"Kejadian siang tadi" yang dimaksudkan Ma It Hong adalah pemukulan terhadap Ouw Hui, tapi bagi Siang Po Cin, "kejadian tadi" adalah pertunang-an antara It Hong dan Cie Ceng.

Mendengar perkataan si nona pemuda itu jadi bergemetar sekujur badannya. "Ah! Kalau begitu ia mencinta aku," pikirnya. "Kalau begitu, pertu-nangannya dengan Cie Ceng adalah atas paksaan ayahnya." Nyalinya jadi lebih besar, ia maju setindak dan berkata dengan suara halus: "Nona Ma!"

"Hm! Siang Siauwya, aku ingin memohon se-rupa pertolongan," kata Ma It Hong.

"Kenapa mesti memohon?" kata Siang Po Cin. "Apa juga yang diperintahkan olehmu, aku akan segera mengerjakannya. Andaikata kau ingin aku lantas binasa dan ingin mengorek keluar jantung hatiku, aku juga akan mengabulkannya." Kata-kata itu dikeluarkan dengan bernafsu, dengan suara yang agak menggetar. Sudah lama ia ingin mencurahkan isi hatinya dan baru sekarang ia mendapat kesem-patan yang bagus.

Mendengar ucapan itu, si nona jadi terperanjat. Sama sekali ia tidak mengetahui, bahwa pemuda itu sudah jatuh cinta kepadanya. Ia bengong beberapa saat dan kemudian berkata sembari tertawa: "Guna apa aku menginginkan kebinasaanmu?"

Siang Po Cin menengok ke sana sini, ia khawatir dipergoki orang. "Bicara di sini tidak leluasa, mari kita pergi keluar tembok," katanya dengan suara perlahan.

Ma It Hong mengangguk dan mereka berdua lalu melompati tembok. Sambil menuntun tangan-nya Siang Po Cin mengajak si nona duduk di bawah pohon Kui.

Perlahan-lahan Ma It Hong menarik tangannya dan berkata: "Siang Siauwya, apakah kau bersedia meluluskan permintaanku?"

Pemuda itu mengulurkan tangannya dan kem-bali mencekal tangan Ma It Hong. "Katakan saja," jawabnya. "Tak usah banyak menanya-nyanya."

Si nona sekali lagi menarik kembali tangannya yang diusap-usap. "Aku mohon kau melepaskan A-hui," katanya. "Jangan menganiaya ia lagi."

Saat itu, dahan pohon di atas mereka mendadak bergoyang, tapi mereka tidak memperhatikannya.

Sebelum Ma It Hong menjelaskannya, Siang Po Cin berharap nona itu akan mengusulkan supaya mereka lari berdua, seperti cara Tian Kui Long dan isterinya Biauw Jin Hong. Tentu saja ia merasa sangat kecewa setelah mengetahui maksud It Hong yang sebenarnya. Ia berdiam saja, tak menjawab.

"Bagaimana?" si nona menegas. "Apakah kau merasa keberatan?"

"Jika kau memaksa, aku tentu akan meluluskan-nya," jawab Siang Po Cin. "Biarlah sekali ini aku dicaci habis-habisan."

Ma It Hong girang. "Terima kasih, banyak-banyak terima kasih," katanya sambil berbangkit. "Marilah kita sama-sama melepaskan dia."

"Duduklah sebentar lagi," Siang Po Cin me-mohon.

Oleh karena permintaannya sudah diluluskan,

si nona merasa tidak enak jika ia bersikap terlalu

getas. Maka itu, sembari mesem, ia duduk kembali.

"Kasihlah aku mengusap-usap tanganmu," pinta pemuda gila basa itu.

Melihat lagak orang yang sudah jatuh dibawah pengaruhnya, di dalam hati si nona jadi timbul rasa kasihan dan ia membiarkan tangannya dielus-elus. Sembari mengusap-usap tangan orang yang ha-lus, hampir-hampir Siang Po Cin menangis karena mengingat, bahwa nona itu yang begitu cantik, tak bisa menjadi isterinya.

Lewat beberapa saat, It Hong berkata: "A-hui sudah digantung terlalu lama, aku sungguh merasa sangat tak tega. Pergilah kau melepaskan ia dulu. Sesudah itu, boleh kau datang lagi ke sini." Sehabis berkata begitu, ia menarik tangannya dan berbangkit lagi. Siang Po Cin meng-hela napas dan segera turut berdiri.

Sekonyong-konyong di atas pohon terdengar suara keresekan dan sesosok bayangan hitam me-layang turun ke bawah.

"Tak usah dilepaskan!" kata orang itu sembari tertawa. "Aku sudah bisa melepaskan diriku sen-diri!"

Po Cin dan It Hong terkesiap. Orang itu, yang kecil kurus, bukan lain daripada Ouw Hui. Sesudah mengetahui siapa adanya orang itu, rasa kaget me¬reka berubah menjadi keheranan besar. "Siapa melepaskan kau?" tanya It Hong dan Po Cin dengan berbareng.

"Perlu apa pertolongan orang?" jawab bocah itu sembari nyengir. "Aku senang keluar, aku lantas keluar."

Harus diketahui, bahwa totokan Siang Loo-tay hanya mempunyai kekuatan untuk empat jam lama-nya. Sesudah lewat empat jam, jalan darah Ouw Hui terbuka sendiri.

Dengan menggunakan ilmu mengkeretkan otot dan tulang, mudah saja ia meloloskan did. Untung juga, meskipun kena labrakan hebat, semua lukanya adalah luka di kulit yang tidak berbahaya. Sesudah menggerak-gerakkan kaki tangannya agar darahnya berjalan !agi sebagaimana biasa, selagi ingin ber-tindak untuk menolong Peng Ah Sie, mendadak ia mendengar suara It Hong dan Po Cin yang bersama-sama melompati tembok. Buru-buru ia menyusul dan loncat ke atas pohon. Berkat ilmu mengen-tengkan badannya yang sangat tinggi, Siang Po Cin dan Ma It Hong sama sekali tidak mengetahui, bahwa ia sedang mengintip mereka.

Dapat dimengerti, bahwa Siang Po Cin, sedikit juga tidak percaya, jika Ouw Hui dapat meloloskan dirinya sendiri. Ia menduga, bahwa pasti ada orang yang menolong bocah itu. Dengan sikap garang, ia mendekati dan mencengkeram dada si bocah.

Sesudah dianiaya dengan ratusan sabetan pe-cut, mana bisa sakit hati itu tidak dibalasnya? Sekali badannya digoyangkan, cengkeraman Siang Po Cin terlepas dan kedua tangannya lantas saja bekerja cepat sekali. Dalam sekejap saja, muka putera Siang Kiam Beng ini sudah kena tujuh delapan tamparan. Dengan gelagapan, Siang Po Cin coba membela diri. Sembari menyampok dengan tangan kirinya, Ouw Hui mengirimkan tinju kanannya yang jatuh tepat di hidung musuhnya itu, yang segera menge-luarkan darah. Ia tidak berhenti sampai di situ saja. Berbareng dengan jotosannya, ia menggaet dengan kakinya. Buru-buru Siang Po Cin menjejak kakinya dan badannya melesat ke atas untuk meloloskan diri dari gaitan itu. Tapi tak dinyana, selagi tubuhnya masih berada di tengah udara, Ouw Hui yang gerakannya cepat bagaikan kilat, sudah mengirimkan Lian-hoan-tui (tendangan berantai), sehingga tak ampun lagi, Siang Po Cin jungkir balik dan ke-mudian rubuh ngusruk di atas tanah.

Sungguh pun musuhnya sudah terguling, hati Ouw Hui masih belum puas. Tapi ia tahu, jika ia menghantam lagi, Ma It Hong tentu akan menyelak antara mereka. Sebagai ksatria yang harus meng-ingat budi orang, ia tentu tidak dapat menolak permintaan si nona.

Ouw Hui masih muda usianya, tapi banyak akal budinya. "Orang she Siang!" ia berseru. "Anjing kecil! Berani kau mengubar aku?" Sehabis berteriak begitu, ia memutarkan badan dan terus kabur.

Ketika itu, Siang Po Cin merasa, bahwa karena kurang waspada, ia sudah kena dirubuhkan oleh musuh yang gerakannya cepat luar biasa itu. Sedikit pun ia tidak percaya, bahwa dengan memiliki ilmu silat Pat-kwa peninggalan mendiang ayahnya, dalam pertempuran yang sungguh-sungguh, ia bisa di-jatuhkan oleh bocah cilik. Selain itu, beradanya Ma It Hong di sampingnya, sudah membikin ia jadi malu sekali. Demikianlah, tanpa berkata suatu apa, ia segera mengejar.

Ilmu mengentengkan badan Ouw Hui banyak lebih unggul daripada Siang Po Cin, tapi ia sengaja menahan larinya, supaya musuhnya tidak keting-galan terlalu jauh. Dengan cepat mereka sudah melalui tujuh delapan li, Ouw Hui menengok dan melihat Ma It Hong sedang membuntuti dari be-lakang. Ia menghentikan tindakannya dan mem-bentak: "Orang she Siang! Hari ini majikan kecilmu menerima hinaan karena ibumu sudah menggunakan akal licik. Sekarang Siauwyamu ingin memper-lihatkansedikit kcpandaiannya." Berbareng dengan caciannya, ia menubruk bagaikan seekor elang.

Buru-buru Siang Po Cin berkelit. Begitu hing-gap, kaki kiri Ouw Hui kembali menjejak tanah dan badannya menubruk pula dari jurusan lain. Oleh karena tidak keburu berkelit lagi, Siang Po Cin mengulurkan kedua tangannya untuk menyambut. Begitu kebentrok, Siang Po Cin merasakan kedua tangannya sakit luar biasa dan jika tidak keburu ditarik, kedua pergelangan tangannya tentu sudah menjadi patah. Ouw Hui tak mau memberi hati kepadanya. Bagaikan kilat, tinjunya mampir di dada musuh, sedang kaki kanannya telak mengenai kem-pungan Siang Po Cin.

Dalam bingungnya, Siang Po Cin menggunakan kedua tangannya untuk menutupi kepala dan muka-nya. Sungguh kasihan, latihan sepuluh tahun sedikit pun tiada gunanya. Tapi Ouw Hui yang merasa sangat sakit hati, sungkan berhenti sampai di situ. Ia mengangkat kaki kirinya untuk menggertak dan selagi musuhnya berkelit ke kanan, ia memapaki dengan kaki kanannya yang dengan jitu mampir di jalan darah Siauw-yauw-hiat, sehingga tanpa am-pun, putera Siang Kiam Beng itu rubuh kejengkang.

Ouw Hui membeset thungsha musuhnya yang kemudian digunakan untuk mengikat tubuh musuh itu sendiri. Sebenarnya ia niat menggantung musuh itu di pohon liu, tapi karena badannya terlalu kecil, ia tak dapat mewujudkan maksudnya. Maka itu, ia lalu mengangkat badan musuhnya dan melontar-kannya ke atas. Tepat sekali, badan Siang Po Cin terjepit antara cabang dahan bercagak.

Dengan gemas Ouw Hui memotes tujuh de-lapan batang cabang pohon liu yang lalu digunakan mengebat musuhnya. Siang Po Cin gusar dan malu bukan main, tapi ia pun mengetahui, bahwa tak gunanya meminta ampun. Sesudah Ouw Hui me-nyabet kira-kira tiga puluh kali, Ma It Hong sudah menyusul sampai di situ. Ia terperanjat melihat pemandangan itu dan untuk sementara, ia tak dapat mengeluarkan sepatah kata.

"Nona Ma," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Kau tak usah mintakan ampun. Sekarang juga aku ampuni dia!" Ia tertawa terbahak-bahak. Walaupun baru berusia belasan tahun, Ouw Hui mempunyai sikap dan keangkeran seorang ksatria sejati. Ia melemparkan cabang-cabang liu itu dan berlalu dengan tindakan lebar.

"Sahabat kecil!" seru It Hong. "Siapa sebenar¬nya kau?"

Ouw Hui memutarkan badannya dan menyahut dengan nyaring: "Pertanyaan nona tak dapat tak dijawab. Aku adalah Ouw Hui, putera Tayhiap Ouw It To!" Ia tertawa nyaring dan panjang, di lain saat, tubuhnya kecil kurus sudah menghilang di antara pohon-pohon liu.

Ma It Hong berdiri terpaku. Pengakuan Ouw Hui benar-benar mengagetkan. Berselang beberapa saat, baru si nona bisa membuka suara. "Siang Siauwya," katanya. "Apakah kau bisa turun?"

Siang Po Cin coba berontak, tapi ia tak dapat memutuskan tali ikatan itu. Seluruh mukanya me-rah, tak dapat ia memberi jawaban.

"Sudahlah, jangan bergerak," kata pula It Hong. "Kalau jatuh, kau bisa luka. Biarlah aku membantu."

Sehabis berkata begitu, ia segera memanjat pohon

itu.

Selagi ia manjat, mendadak terdengar bunyi tindakan kuda dan sejumlah penunggang kuda ke-lihatan mendatangi.

Waktu itu, fajar baru menyingsing dan udara masih agar gelap. "Kenapa begini pagi orang-orang itu sudah melakukan perjalanan?" tanya si nona di dalam hatinya. Dalam sekejap saja mereka sudah tiba di bawah pohon itu. Melihat seorang nona memanjat pohon dan seorang lelaki yang terikat badannya, terjepit antara cabang dahan, mereka -yang semuanya berjumlah sembilan orang menjadi heran bukan main.

"Jangan nonton!" seru Ma It Hong. "Pergilah!" Sembari berkata begitu, si nona loncat ke atas dan menjambret dahan pohon yang menjepit Siang Po Cin.

"Sungguh indah ilmu mengentengkan badan itu!" puji salah seorang penunggang kuda.

Buru-buru Ma It Hong membuka ikatan Po Cin dan menanya dengan suara halus: "Apakah kau terluka?"

Suara si nona yang lemah lembut sangat meng-girangkan hati Siang Po Cin. "Tak apa-apa," jawab-nya, lalu ia meloncat turun, diikuti Ma It Hong.

Melihat sembilan orang itu kasak-kusuk secara kurang ajar, Siang Po Cin jadi sangat mendongkol. Ia melirik dengan sorot mata gusar. Mereka itu, ada yang tua, ada juga yang muda dan semua berpakaian indah serta bersikap garang. Di antara mereka terdapat seorang kongcu (putera orang berpangkat) yang berparas cakap dan baru berusia kira-kira dua puluh tahun. Ia mengenakan jubah panjang yang berwarna biru, sedang kepalanya ditutup dengan sebuah topi kecil tertata dua butir mutiara sebesar telunjuk.

Ma It Hong yang semenjak kecil sudah meng-ikuti piauw-hang, mengenal baik batu-batu per-mata. Dari jarak beberapa tombak, kedua mutiara itu sudah terlihat sinarnya yang terang dan segera juga ia mengetahui, bahwa mutiara itu berharga sangat tinggi. Ia merasa heran, mengapa benda yang begitu mahal dicantumkan di topi. Apakah tidak takut jatuh hilang? Keheranan itu sudah membikin ia melirik beberapa kali.

Di lain pihak, si kongcu yang melihat ke-cantikan Ma It Hong, lantas saja berdebar hatinya. Ia lalu berbicara bisik-bisik dengan seorang setengah tua yang segera manggut-manggutkan kepalanya dan kemudian tertawa berkakakan. "Bangsat kecil itu tentunya juga telah mencuri, sehingga digantung di pohon," kata orang setengah tua itu.

"Mencuri apa?" celetuk seorang tua. "Apakah kau tak melihat, bahwa adiknya menolong dia?" Suara si tua itu mengejek dan lagaknya tengik.

Siang Po Cin yang memang sudah mendongkol. lantas saja naik darah. Sambil melompat, ia meng-gaplok. Jarak antara ia dan si tua tidak kurang dari setombak. Bahwa dengan sekali melompat, ia sudah dapat mengirimkan pukulan adalah diluar dugaan semua orang yang dengan terkejut, segera mundur-kan tunggangan masing-masing. Si tua tentu saja tak sudi menerima hinaan di hadapan orang banyak. Ia meloncat turun dari tunggangannya dan coba menjambret baju Siang Po Cin. Dengan cepat Siang Po Cin menyamber pergelangan tangan orang tua itu, yang ternyata juga mempunyai kepandaian lu-mayan, sebab dengan sekali membalikkan tangan, ia dapat mengelit sambaran Siang Po Cin dan terus menyodok dengan lima jarinya. Dilain saat, mereka berdua sudah bertempur seru.

Biarpun baru saja mendapat hajaran, Siang Po Cin tidak mendapat luka pada otot atau tulangnya. Dengan penuh kegusaran, ia segera mengeluarkan ilmu silat Pat-kwa-ciangnya dan menyerang bertubi-tubi. Berselang beberapa saat, bagaikan kilat tinju-nya mampir di pundak si tua yang lantas saja jadi sempoyongan.

"Loo-thio, coba mundur!" seru seorang kawan-nya.

Berbareng dengan seruannya, dengan suatu ge-rakan indah, orang itu loncat turun dari pelana. Agaknya ia sangat disegani oleh si tua yang dengan sikap menghormat, buru-buru mundur ke belakang.

Melihat gerakan orang itu yang luar biasa, Siang Po Cin lantas saja berwaspada. Muka orang itu berwarna ungu, parasnya angker dan badannya ting-gi besar. Sambil menggendong tangan ia mengawasi Siang Po Cin dan berkata: "Apakah kau murid Pat-kwa-bun? Siapa gurumu? She Tie atau she Siang?"

Suara sombong dan lagak angkuh orang itu, sudah lebih menggusarkan Siang Po Cin. "Tak usah tahu!" ia membentak.

Orang itu bersenyum. "Mengenai orang-orang Pat-kwa-bun, aku justru berhak mencari tahu," katanya.

Siang Po Cin sebenarnya seorang yang sangat hati-hati. Tapi hari itu, berhubung dengan kemen-dongkolannya, ia tak dapat berpikir secara tenang lagi dan tidak bisa menangkap maksud tersembunyi dalam kata-kata orang itu. Demikianlah, dalam ke-gusarannya, dengan gerakan Pek-lui-tui-tee (Gele-dek menyambar ke bumi), ia menghantam lutut orang itu.

Yang diserang tertawa, kedua tangannya tetap digendong di belakang. Dengan sekali mengisarkan kaki kirinya, ia sudah dapat memunahkan serangan Siang Po Cin. Melihat serangan pertamanya di-punahkan secara begitu gampang, Siang Po Cin segera menyerang dengan ilmu Yoe-sin Pat-kwa-ciang. Kedua kakinya menginjak garis Pat-kwa (De-lapan segi), sedang kedua tangannya menghantam musuh dengan pukulan-pukulan berantai, yang satu lebih cepat dari yang lain.

Tapi orang yang diserang itu tetap berlaku tenang. Kedua tangannya tetap berada di belakang-nya, sama sekali ia tidak berkelit atau mengegos, hanya kedua kakinya berkisar ke sana sini dalam suatu lingkaran yang sangat kecil. Tapi sungguh heran, semua pukulan Siang Po Cin jatuh di tempat kosong, tak pernah melanggar ujung bajunya. Orang itu seolah-olah sudah mengetahui, ke arah mana Siang Po Cin akan memukul.

Melihat pertunjukan luar biasa itu, semua orang jadi merasa kagum. Siang Po Cin menjadi semakin gusar dan menyerang semakin hebat. Tapi orang itu tetap meladeninya dengan caranya yang aneh.

Perlahan-Iahan putera Siang Kiam Beng ini mendapat kenyataan, bahwa kedua kaki musuhnya juga menginjak garisan Pat-kwa. Lantas saja ia ingat, bagaimana ibunya pernah menceritakan, bah-wa dalam partai Pat-kwa-bun terdapat serupa ilmu yang dinamakan Lwee-pat-kwa (Pat-kwa Dalam). Akan tetapi, orang yang ingin mempelajari ilmu tersebut, harus menyelami dulu ilmu Gwa-pat-kwa (Pat-kwa Luar). Seorang yang sudah mahir dengan Lwee-pat-kwa, tanpa banyak bergerak dapat men-jatuhkan musuhnya yang berkepandaian tinggi. Se-karang Siang Po Cin insyaf, bahwa lawannya sudah berlaku sangat murah hati terhadap dirinya. Jika orang itu mau, dengan sekali menghantam, dia akan rubuh. Mengetahui itu, semakin lama ia jadi se-makin ketakutan, sampai akhirnya ia meloncat ke belakang dan berkata sembari merangkap kedua tangannya: "Boanpwee (orang yang tingkatannya lebih rendah) mempunyai mata, tapi tak bisa me-lihat gunung Taysan yang besar. Tak dinyana, Boan¬pwee sekarang sedang berhadapan dengan Cian-pwee (orang yang tingkatannya lebih tinggi) dari partai kita!"

Orang itu tertawa. "Siapa gurumu? She Tie atau she Siang?" tanyanya lagi. Siang Po Cin bingung, karena ibunya pernah memesan, bahwa untuk ke-pentingan urusan pembalasan sakit hati, ia tidak boleh sembarang memperkenalkan dirinya kepada orang luar. Siang Loo-tay khawatir, jika sebelum temponya tiba, musuh-musuhnya akan sudah me¬ngetahui, bahwa dia adalah putera Siang Kiam Beng.

Melihat kesangsian Siang Po Cin, orang itu tertawa seraya berkata. "Jika tak salah, ilmu silatmu didapat dari Siang Kiam Beng Suheng. Toako, ba-



gaimana pendapatmu? Benar tidak?" Perkataannya yang terakhir ini ditujukan kepada seorang tua yang duduk di punggung kuda.

Orang tua itu, yang berusia kira-kira lima puluh tahun, segera loncat turun dari kudanya dan ber¬kata: "Mana gurumu? Aku adalah Ong Supehmu (Supeh berarti paman guru yang berusia lebih tinggi dari sang guru). Yang itu adalah saudaraku. Pergilah memberi hormat kepada Susiokmu (Susiok adalah paman guru yang berusia lebih muda dari guru sendiri)." Sehabis berkata begitu, orang itu tertawa berkakakan.

Siang Po Cin mengetahui, bahwa guru ayahnya adalah Wie-cin Ho-sok Ong Wie Yang (Ong Wie Yang yang menggetarkan daerah sebelah utara su-ngai Hongho). Cong-piauw-tauw (pemimpin besar) dari Tin-wan Piauw-kiok di Pakkhia. Mendengar orang itu mengaku she Ong dan ilmu silatnya adalah ilmu silat Pat-kwa-bun, ia merasa pasti, bahwa me-reka berdua benar adalah Supeh dan Susioknya sendiri. Akan tetapi, sebagai seorang yang hati-hati, ia masih merasa perlu untuk menanya: "Pernah apa kedua Cianpwee dengan Wie-cin Ho-sok Ong Loo-piauwtauw?"

"Ia adalah mendiang ayah kami," jawab orang tua itu. "Apakah kau masih belum mau percaya? Di mana adanya Siang Sutee (adik seperguruan)?"

Sekarang Siang Po Cin tidak bersangsi lagi. Ia segera menjatuhkan diri di atas tanah sambil me-manggil Supeh dan Susiok. "Ayahku sudah mening-gal dunia," katanya. "Apakah Supeh dan Susiok tidak menerima warta?"

Orang tua itu bernama Ong Kiam Eng, sedang adiknya adalah Ong Kiam Kiat, kedua-duanya pu-tera Ong Wie Yang. Dulu, dengan sepasang ta-ngannya dan sebilah golok Pat-kwa-to, Ong Wie Yang sudah menggetarkan seluruh kalangan Rimba Hijau (Liok-lim) di sebelah utara Sungai Hongho, sehingga dalam kalangan Hek-to (Kalangan pen-jahat) terdapat kata-kata yang seperti berikut: "Le-bih baik bertemu dengan Giam Lo-ong (Raja Akhe-rat) daripada bertemu dengan Loo-ong (orang tua she Ong)." Dari kata-kata ini dapatlah dibayangkan besarnya nama Ong Wie Yang pada jaman itu. Tapi pada saat itu ia sudah meninggal dunia banyak tahun berselang.

Meskipun menjadi murid, perhubungan Siang Kiam Beng dengan gurunya tidak begitu baik. Se-sudah meninggalkan rumah perguruan, dia jarang sekali surat-menyurat. Kedua saudara Ong, yang belakangan bekerja di dalam istana, juga tidak ter-lalu memperhatikan adik seperguruan mereka dan itulah sebabnya, mengapa, walaupun letak Shoa-tang tidak terlalu jauh dari kota raja, mereka berdua sama sekali tidak mengetahui tentang kebinasaan Siang Kiam Beng.

Ong Kiam Eng menghela napas dan berbicara bisik-bisik dengan si kongcu yang, sembari melirik Ma It Hong, lantas saja manggut-manggutkan ke-palanya.

"Apakah rumahmu jauh dari sini?" tanya Kiam Eng. "Aku dan saudaraku ingin sekali bersembah-yang di meja abu mendiang ayahmu. Kita sudah berpisahan dua puluh tahun lebih lamanya, tak nyana tidak bisa bertemu muka lagi."

Ia kembali menghela napas dan berkata pula sambil menunjuk kongcu yang cakap itu: "Hayolah memberi hormat kepada Hok Kongcu. Kami berdua bekerja di bawah perintahnya."

Melihat pakaian dan sikap kongcu itu yang agung, apalagi sesudah mendengar bahwa kedua saudara Ong adalah kaki tangannya, Siang Po Cin mengetahui bahwa dia itu tentu juga seorang "kong¬cu mahal" di kota raja. Lantas saja ia memberi hormat dengan berlutut.

Hok Kongcu tidak membalas hormat. Ia hanya mengangkat kedua tangannya seraya berkata: "Ba-ngunlah!"

Siang Po Cin agak mendongkol. "Sombong sungguh kau!" katanya di dalam hati. "Apakah kau Hongtee (kaisar)?"

Ketika mereka tiba di Siang-kee-po, orang su¬dah mengetahui tentang kaburnya Ouw Hui dan sedang mencarinya. Siang Po Cin segera masuk dan memberitahukan ibunya. Mendengar kunjungan kedua saudara seperguruan mendiang suaminya, Siang Loo-tay kaget berbareng girang dan buru-buru keluar menyambut. Dalam kerepotannya, ia menyampingkan soal larinya Ouw Hui.

Ong Kiam Eng lalu memperkenalkan kawan-kawannya kepada nyonya Siang. Ternyata di antara sembilan orang itu. ada lima orang yang termasuk ahli silat kelas satu dari Rimba Persilatan. Di sam-ping kedua saudara Ong, tiga ahli lainnya adalah: Tan Ie dari Thay-kek-bun, Ouw Poan Jiak dari Siauw-lim-pay dan In Tiong Shiang dari Thian-liong-bun cabang Selatan. Tan Ie dan In Tiong Shiang sudah lama mendapat nama besar dalam kalangan Kang-ouw, sedang Ouw Poan Jiak, wa-



laupun masih muda, kelihatannya bersemangat se-kali dan dari kedua tangannya yang keras dan ber-tenaga, dapat diketahui, bahwa dia bukan orang sembarangan. Tiga orang lainnya adalah orang ke-percayaan Hok Kongcu. Si orang tua yang kena dihantam Siang Po Cin dikenal sebagai Thio Cong-koan (Cong-koan berarti pengurus), orang yang berkuasa dalam gedung Hok Kongcu.

Demikianlah, satu demi satu Ong Kiam Eng memperkenalkan kawan-kawannya. Mengenai "kong¬cu mahal" itu, Kiam Eng hanya menyebut "Hok Kongcu" dan sama sekali tidak menjelaskan, siapa sebenarnya dia.

Ketika kedua saudara Ong menanyakan hal ihwal meninggalnya Siang Kiam Beng, nyonya siang memberitahukan, bahwa suaminya meninggal dunia karena sakit. la memberikan jawaban begitu karena kesombongannya dan ia sungkan mengakui, bahwa Siang Kiam Beng telah dibinasakan oleh Ouw It To. Selain itu, ia juga sudah mengambil keputusan, bahwa sakit hati itu harus dibalas dengan tangan sendiri dan tak boleh meminta pertolongan orang lain.

Selagi nyonya rumah asyik bercakap-cakap de¬ngan para tetamunya, Ma It Hong masuk ke dalam dan memberitahukan segala pengalamannya ke-pada sang ayah.

Mendengar bahwa A-hui adalah putera Ouw It To, Ma Heng Kong kaget bukan main. Tapi ia agak kurang percaya, bahwa bocah kurus itu mempunyai kepandaian yang lebih tinggi dari pada Siang Po Cin, Cie Ceng yang berada di situ, hanya tutup mulut.

Sesudah bercakap-cakap beberapa lama, Ma It Hong segera meninggalkan kamar ayahnya untuk kembali ke kamarnya sendiri.

Cie Ceng mengikuti dan memanggil: "Sumoay!"

"Apa?" tanya si nona yang mukanya lantas saja berubah merah.

Cie Ceng mengulurkan tangannya untuk men-cekal tangan tunangannya. Ma It Hong mundur sembari berkata: "Nanti dilihat orang. Kau tidak malu?"

"Malu?" Cie Ceng menegas. "Tengah malam buta kau pergi keluar bersama-sama bocah she Siang itu. Bikin apa kau?"

Si nona naik darah. "Apakah maksud per-kataanmu?" tanyanya dengan suara gusar.

"Aku tanya: Apakah maksudnya kamu keluar berdua-dua?" kata Cie Ceng.

Sebenarnya dalam hari-hari sebelumnya Cie Ceng selalu berlaku manis terhadap Sumoaynya. Sekarang ia tak dapat menahan sabar lagi karena rasa curiga dan iri hatinya.

Dilain pihak, karena khawatir diomeli ayahnya, Ma It Hong tidak berani bicara sejujurnya, bahwa ia keluar dengan maksud meminta Siang Po Cin melepaskan Ouw Hui.

Tapi Ma Heng Kong sendiri, sesudah men¬dengar pembicaraan antara Siang Loo-tay dan pu-teranya, menduga keras, bahwa kedua orang muda itu telah sengaja membuat pertemuan di waktu tengah malam. Ia tidak mau menegur puterinya, karena Cie Ceng berada bersama-sama dengan me-reka.

Dalam sengketa itu, dapat dimengerti, jika Ma It Hong naik darah. Beda dengan biasanya dan secara tak dinyana, baru saja ayahnya merangkap jodoh mereka, Suko itu lantas saja berlaku se-demikian kasar. Kalau sekarang saja sudah begitu, bagaimana jika sudah menjadi suami isteri?

Sebenar-benarnya, jika It Hong mau bicara terus-terang dengan mudah Cic Ceng dapat dibikin mengerti. Tapi, karena sudah ketelanjur marah-marah, si nona sungkan mengalah lagi. "Dengan siapa aku suka pergi, aku merdeka untuk pergi," katanya sambil melotot. "Kau punya hak apa untuk mencampuri urusan pribadiku?"

Seorang yang sudah timbul iri hatinya dalam soal percintaan, tak akan dapat menggunakan lagi otaknya secara tenang. Seluruh muka Cie Ceng lantas berubah merah. "Dulu memang tidak, tapi sekarang aku mempunyai hak penuh!" ia berteriak.

It Hong merasakan dadanya seakan-akan mau meledak dan seperti biasanya, jika seorang wanita gusar, mengucurnya air mata tak dapat ditahan lagi.

"Sekarang kau sudah begitu," katanya sesenggukan.

Apa lagi nanti?"

Melihat tunangannya menangis, Cie Ceng me-rasa kasihan. Tapi rasa kasihan itu lantas saja ter-tutup rasa cemburunya. Di depan matanya ter-bayangkan,bagaimana tunangannya berada berdua-dua dengan Siang Po Cin. Hinaan itu sungguh tak dapat ditelan olehnya.

"Kau bikin apa?" ia berteriak pula. "Bilang! Hayo, bilang!"

Tapi semakin dikerasi, si nona jadi semakin kepala batu.

Pada saat itu, secara kebetulan, atas perintah ibunya, Siang Po Cin masuk ke dalam untuk meng-undang Ma Heng Kong menjumpai kedua saudara Ong. Melihat Cie Ceng dan Ma It Hong sedang bertengkar, tanpa merasa ia menghentikan tin-dakannya.

Kedatangan Siang Po Cin adalah seolah-olah ular mencari penggebuk. Cie Ceng yang sedang mata gelap dan diliputi rasa cemburu, lantas saja menumpahkan amarahnya di atas kepala pemuda she Siang itu. "Biar aku mampuskan kau, anak anjing!" ia berteriak sembari menerjang.

Siang Po Cin menjadi gelagapan. "Eh-eh! Ke-napa kau?"tanyanya.

Karena diserang secara tidak diduga-duga, dadanya kena dihajar telak oleh tinju Cie Ceng. Ia terhuyung dan sesudah lawannya mengirimkan pu-kulan ketiga, baru ia dapat membela diri. Di lain saat, mereka sudah bertempur dengan serunya.

Ma It Hong yang sedang mendongkol dan pe-nasaran, lantas saja berjalan pergi tanpa memper-dulikan bagaimana kesudahan pertempuran itu. De¬ngan pikiran kusut, ia menuju ke taman bunga yang terletak di belakang gedung dan duduk terpekur di sebuah kursi batu. "Apakah seumur hidup aku harus menyerahkan nasibku ke dalam tangan seorang yang begitu macam?" katanya di dalam hati. "Seka¬rang saja, sedang ayah masih hidup, ia sudah berani berbuat begitu. Apalagi nanti, jika ayah sudah me-nutup mata?" Mengingat begitu, tanpa merasa air matanya turun berketel-ketel di kedua pipinya.

Entah berapa lama ia sudah duduk bengong di situ, ketika tiba-tiba, kupingnya menangkap bunyi seruling yang keluar dari semak-semak pohon bunga. Dalam suasana sunyi senyap, sungguh merdu terdengarnya bunyi seruling itu. Hati si nona jadi berdebar-debar. Semakin didengar, tiupan lagu itu semakin merdu. Perlahan-lahan ia berdiri dan ber-jalan ke arah bunyi itu. Ternyata, yang meniup seruling adalah seorang lelaki yang duduk di bawah sebuah pohon Hay-tong. Ia mengenakan thungsha (jubah panjang) warna biru, sedang serulingnya vang terbuat dari batu Giok berwarna sama dengan kedua tangannya yang putih halus. Lelaki itu bukan lain daripada Hok Kongcu.

Sambil terus meniup serulingnya, Hok Kongcu mengangguk, maksudnya agar si nona maju terlebih dekat. Sikap pemuda itu, yang menarik tercampur angker, seolah-olah mempunyai tenaga besi berani vang tak dapat ditolaknya. Paras muka It Hong lantas saja bersemu dadu dan perlahan-lahan ia menghampiri. Sembari mendengarkan permainan seruling yang merdu merayu itu, tanpa merasa ta¬ngan si nona memetik sekuntum bunga mawar yang lalu ditempelkan pada hidungnya. Seruling... ma¬war... suasana senja yang hening suci dan seorang pemuda yang cakap, halus serta agung.

Dalam suasana bagaikan dalam impian, It Hong mendadak teringat akan Cie Ceng yang kasar. Di-rendengkan dengan Hok Kongcu, perbedaannya adalah seperti antara langit dan bumi.

Dengan sorot mata halus, It Hong mengawasi kongcu mahal" itu. Ia tak ingin menanya siapa dia, tak ingin mengetahui apa dia sudah kawin atau belum. Ia hanya merasakan, bahwa berhadapan dengan pemuda itu, hatinya senang sekali. Jika ingin menggunakan kata-kata tanpa tedeng-tedeng: Ma It Hong sekarang sudah jatuh cinta!

Puteri Ma Heng Kong ini adalah seorang gadis yang masih sangat hijau. Ia menganggap, beradanya si kongcu dalam taman bunga itu, sudah terjadi secara kebetulan saja, dan juga, bahwa Hok Kongcu sama sekali tidak mengambil inisiatif untuk me-ngilik-ngilik hatinya.

Tentu saja, ia tidak mengetahui, bahwa jika bukan karena kecantikannya, Hok Kongcu pasti tidak akan mampir di rumah Siang Kiam Beng. Apakah artinya Siang Kiam Beng bagi seorang kongcu yang semahal dia? Tentu saja, Ma It Hong tidak mengetahui, bahwa jika ia tidak duduk be-ngong di taman bunga, Hok Kongcu pasti tidak meniup serulingnya. Harus diketahui, bahwa di kota raja, bukan main kesohornya kepandaian meniup seruling Hok Kongcu. Raja-raja muda dan orang-orang "mahal" lainnya tak gampanggampang bisa mendengar tiupan serulingnya itu.

Dan sebagai seorang yang ahli dalam hal me-naklukkan wanita, sikapnya yang lemah lembut dan sinar matanya yang redup halus, banyak lebih ber-harga daripada ribuan kata-kata.

Dilain saat, Hok Kongcu berhenti meniup se¬rulingnya dan tanpa mengeluarkan sepatah kata ia mengulurkan sebelah tangannya untuk memeluk pinggang Ma It Hong. Dengan kemalu-maluan si nona menyingkir. Tapi ketika si kongcu mengang-surkan tangan untuk kedua kalinya, It Hong tidak kuat menolak lagi.

Ah! Cinta adalah mulia dan suci bersih! Tapi berapa banyak perbuatan kotor sudah terjadi dalam dunia ini, dengan menggunakan "cinta" sebagai kedoknya?

Otak Ma It Hong yang sudah kacau, tak bisa bekerja lagi seperti biasa. la tak ingat lagi akan segala akibat, ia tak memikirkan lagi, apakah tidak mungkin, jika ada orang yang secara kebetulan akan masuk ke dalam taman bunga itu. Tapi, si kongcu "mahal" sendiri, sebelum masuk ke taman, sudah memperhitungkan itu semua. Lebih dulu, ia me-merintah Tan Ie menemani Ma Heng Kong, kedua saudara Ong diperintahnya "mengikat" Siang Loo-tay dan puteranya, ia menugaskan Ouw Poan Jiak menempel Cie Ceng dan akhirnya, ia memerintah In Tiong Shiang menjaga di pintu taman dengan pesan: Siapa pun tak boleh masuk!

Dan tentu saja, tak seorang manusia masuk ke situ.

Demikianlah, pada hari kedua sesudah ditu-nangkan, puteri tunggal Pek-seng Sin-kun Ma Heng Kong sudah menjadi gula-gula si kongcu "mahal"!

Malam itu, di Siang-kee-po diadakan pesta be-sar untuk menghormati kunjungan Hok Kongcu dan rombongannya. Oleh karena nyonya rumah dan para tetamu semua terdiri dari orang-orang Rimba Persilatan, maka tak ada perbedaan antara lelaki perempuan dan Siang Loo-tay serta Ma It Hong duduk bersama-sama dengan yang lain.

Dulu, Ma Heng Kong mengenal Ong Wie Yang scbagai seorang rekan dalam perusahaan sejenis (Piauw-kiok). Akan tetapi, sesudah Ong Wie Yang meninggal dunia, Tin-wan Piauw-kiok ditutup dan kedua saudara Ong bekerja kepada pembesar ne-geri, Kiam Eng dan Kiam Kiat tak bisa disebut rekan lagi. Tapi, kedua saudara Ong juga sudah lama

mendengar nama besar Ma Heng Kong, sehingga mereka masih mengindahkan orang tua itu.

Ma It Hong duduk dengan muka bersemu dadu. Kedua matanya bersinar luar biasa, seperti tengah memandang sesuatu yang jauh, jauh sekali. Ia me-mandang semua orang, tapi ia tidak melihat Pak-khia. Dapat diduga, bahwa hatinya sedang meng-ingat kejadian itu magrib tadi.

Tiba-tiba, seorang kee-teng (pelayan atau bujang) menghampiri Siang Loo-tay dengan tindakan terburu-buru dan berkata dengan suara perlahan: "Loo-tay-tay, bangsat she Peng itu sudah ditolong orang."

Nyonya Siang terkejut, tapi parasnya sedikit pun tidak berubah dan ia terus melayani para tamu-nya.

Sekonyong-konyong, bagaikan halilintar di te¬ngah hari oolong, dengan suatu suara gedubrakan, dua belah daun pintu depan terpental dan jatuh di lantai! Sebelum orang mengetahui apa yang terjadi, seorang bocah kecil kurus berdiri di tengah-tengah pintu, sambil menolak pinggang!

Dalam tugas melindungi keselamatan Hok Kongcu, meskipun berada di meja perjamuan, ke¬dua saudara Ong dan yang Iain-lain tetap membekal senjata. Begitu daun pintu terpental, mereka se-rentak meloncat bangun dan berdiri di sekitar kong¬cu mereka. Tapi setelah melihat, bahwa yang mun-cul hanya seorang bocah kurus yang tidak membawa kawan, mereka semua saling memandang dengan perasaan heran. "Apa bisa jadi, bocah itu yang menghantam daun pintu sehingga terpental?" tanya mereka di dalam hati.

Bocah kurus kecil itu tentu saja bukan lain daripada Ouw Hui. Sesudah menyelamatkan Peng Ah Sie dan Siang dari Siang-kee-po, hatinya masih tetap menggerodok. Ia ingat cambukan Siang Po Cin dan ingat pula kelicikan Siang Loo-tay. Maka itu, lantas saja ia kembali ke Siang-kee-po untuk melampiaskan amarahnya.

"Siang Loo-tay!" ia membentak dengan nyaring. "Jika kau mempunyai kepandaian, sekaranglah coba-coba kau pegang diriku!" Badannya kecil ku¬rus, suaranya masih seperti suara anak-anak, tapi sikapnya adalah sikap ksatria.

Begitu melihat anak musuh besarnya, kedua mata nyonya Siang seperti juga mengeluarkan api.

"Kau potong jalan mundurnya jangan membiar-kan dia lari," ia berbisik di kuping puteranya. Se¬sudah itu, ia menengokdan berkata kepada seorang pelayannya: "Ambil golokku."

Perlahan-lahan, Siang Loo-tay berdiri. "Siapa yang melepaskan kau?" ia membentak. "Apakah Ma Loo-kun-su?" Sedikitpun ia tidak percaya, bahwa Ouw Hui dapat melepaskan dirinya sendiri.

"Bukan," jawab Ouw Hui sembari menggeleng-kan kepala.

"Apakah dia?" nyonya Siang menuding Cie Ceng.

Ouw Hui tetap menggelengkan kepalanya.

"Kalau begitu, tentu nona... nona itu," kata Siang Loo-tay sembari menunjuk It Hong.

Ouw Hui tertawa sembari manggut. "Tak salah," ia berteriak. "Nona itu adalah penolong jiwaku!"

Maksud satu-satunya dari pengakuan Ouw Hui adalah untuk mengutarakan rasa terima kasihnya



kepada It Hong. Ia sama sekali tidak menduga. bahwa kata-katanya itu hampir-hampir saja meng-ambil jiwa nona Ma.

Dengan muka menyeramkan, Siang Loo-tay melirik It Hong.

"Ayahmu, Ouw It To, kenapa tidak datang sendiri?" tanyanya pula.

Mendengar itu, kedua saudara Ong terkesiap.

"Sudah lama ayahku meninggal dunia," jawab Ouw Hui dengan tenang. "Jika kau ingin membalas sakit hati, balaslah terhadap aku."

Paras muka Siang Loo-tay menjadi pucat ba-gaikan mayat. "Apakah benar?" tanyanya.

"Jika ayahku masih hidup, kau berani memukul aku?" kata Ouw Hui.

Sembari mengangkat Pat-kwa-to itu tinggi-ting-gi, sekonyong-konyong Siang Loo-tay menangis ke-ras. "Ouw It To! Ouw It To!" ia berteriak. "Kenapa kau buru-buru mampus? Tak boleh kau mampus begitu cepat!"

Ouw Hui menjadi bingung. Otaknya yang masih sederhana tidak mengerti, kenapa nyonya itu men-dadak menangisi kematian ayahnya.

Sesudah berteriak beberapa kali, mendadak nyonya Siang berhenti menangis.

Ia menyusut air matanya dengan tangan baju, maju setindak dan dengan sekali memutarkan ba-dan, ia menyabet leher Ouw Hui dengan Pat-kwa-tonya.

Itulah serangan yang tidak diduga-duga, sehing-ga semua orang jadi terkesiap.

Sabetan itu, yang dinamakan Hui-sin-pek-shoa-to (Sabetan menghantam gunung sembari memutarkan badan, adalah salah satu pukulan terhebat dari ilmu golok Pat-kwa-to. Menurut perhitungan, ja-ngankan seorang bocah, sekalipun ahli silat yang berkepandaian tinggi akan sukar meloloskan diri. Tapi, diluar semua perhitungan, dengan sekali me-ngegos Ouw Hui sudah berhasil mengelit serangan itu dan berbareng dengan itu, mengulurkan ta-ngannya untuk mengetok pergelangan tangan Siang Loo-tay. Melihat bocah itu bukan saja bisa me-nyelamatkan diri, tapi juga dapat melakukan se¬rangan pembalasan, tak ada seorang pun yang tidak terperanjat.

Harus diketahui, bahwa Siang Loo-tay adalah seorang isteri yang sangat mencinta suaminya. Bah¬wa dia tidak menggorok lehernya sendiri untuk mengikuti sang suami berpulang ke alam baka, adalah karena ia ingin membalas sakit hati itu dengan tangan sendiri. Sekarang, setelah menge-tahui musuh besarnya sudah meninggal dunia, bu¬kan main rasa kecewa dan menyesalnya. Tujuan satu-satunya adalah membinasakan bocah itu, pu-tera tunggal Ouw It To. Maka itu, lantas saja ia menyerang dengan mata merah dan setiap se-tangannya adalah serangan yang membinasakan.

Selama hidupnya, inilah untuk pertama kalinya Ouw Hui menghadapi musuh dan musuh yang sung-guh-sungguh berat. Tapi, tak usah malu Ouw Hui menjadi putera tunggal Liao-tong Tayhiap Ouw It To. Dengan memiliki nyali besar, bukan saja ia tidak menjadi gentar, semangatnya malah meluap-luap. I a bukan hanya membela diri, ia balas menyerang dengan tangan kosong, menggunakan ilmu Kin-na-chiu (Ilmu menangkap) dan Liong-heng-jiauw (Ilmu kuku naga).

Ketika melihat Siang Loo-tay membuka serang¬an dengan menggunakan pukulan istimewa ilmu Pat-kwa-to, kedua saudara Ong merasa agak me-nyesal, bahwa dalam menghadapi seorang bocah, nyonya itu sudah menggunakan ilmu simpanan. Tapi semakin heran. Ilmu Pat-kwa-to yang dike-luarkan oleh Siang Loo-tay boleh dibilang sudah sempurna dan ditambah kenekatannya, serangan-serangan itu sudah cukup untuk merubuhkan ahli silat kelas utama. Tapi, tak dinyana-nyana, sebalik-nya dari keteter, bocah itu malah berada di atas angin. Di lain saat, Siang Loo-tay sudah dikurung dengan pukulan-pukulan aneh yang menyambar-nyambar bagaikan hujan dan angin. Mendadak, dengan berbunyi nyaring, pipi kiri nyonya Siang kena digaplok, disusul suatu tamparan pada pipi kanannya.

"Soso (isteri kakak)! Coba mundur dulu!" seru Ong Kiam Kiat. "Biar aku yang melayani bocah itu." Sembari berseru, dengan menenteng golok, ia me-loncat ke dalam gelanggang.

Tapi, baru saja kedua kakinya hinggap di lantai, suatu sinar hijau berkelebat menyambar mukanya, dibarengi dengan teriakan "A-ya!" dan rubuhnya Siang Loo-tay. Buru-buru Ong Kiam Kiat menyam-pok sinar hijau itu yang ternyata adalah sebilah golok tapi dengan kecepatan luar biasa, golok itu berubah arah, dari membacok dari atas jadi mem-babat dari samping. Diserang secara begitu, Ong Kiam Kiat menjadi repot sekali.

Ternyata, sesudah menggampar dua kali, Ouw Hui merasa puas. Dengan menggunakan ilmu Kin-na-chiu, ia mencengkeram pergelangan tangan siang Loo-tay dan merebut Pat-kwa-tonya, diba-rengi dengan suatu tendangan, sehingga nyonya itu jungkir balik dan rubuh terpelanting di atas lantai. Sebelum Ong Kiam Kiat datang dekat, ia sudah mendahului dengan tiga serangan kilat, sehingga lawannya menjadi repot.

Harus diketahui, bahwa Ong Kiam Kiat adalah ahli kelas utama dari partai Pat-kwa-bun dan ilmu silatnya pada waktu itu, sedikit pun tidak berada di sebelah bawah Siang Kiam Beng. Tapi, karena me-mandang rendah musuhnya, ia kena didahului dan menjadi gelagapan.

Sesudah lewat tiga serangan berantai itu, baru ia bisa menetapkan hatinya dan membela diri se~ rapat-rapatnya, untuk lebih dulu menyelidiki ilmu golok si bocah.

Salah seorang penonton yang paling memper-hatikan pertempuran itu, adalah Hok Kongcu. Bu-kan main herannya kongcu "mahal" itu, setelah menyaksikan, bagaimana seorang bocah yang baru berusia belasan tahun, dapat menandingi jagoan kelas satunya. Selagi mengawasi dengan penuh per-hatian, mendadak hidungnya mengendus bau wangi pupur. Ia melirik dan melihat It Hong berdiri di dekatnya. Dengan berani, ia mengulurkan tangan-nya untuk mencekal bahu si nona. Oleh karena scmua mata ditujukan ke arah gelanggang per¬tempuran, perbuatannya itu tidak dilihat orang.

Sembari bertempur, Ong Kiam Kiat terheran-heran. Ia adalah seorang ahli berpengalaman yang mengenal macam-macam ilmu dari berbagai partai atau cabang persilatan. Dan ia sungguh tercengang, bahwa sesudah bertanding lama juga, ia belum dapat meraba ilmu apa yang digunakan Ouw Hui. Apakah ilmu keras? Apakah ilmu lembek? Mungkinkah Gwa-kee (Ilmu luar)? Atau Lwee-kee (Ilmu da-lam)? Sedikitpun ia tak dapat merabanya. Yang merupakan kenyataan adalah: Bocah itu teguh ba-gaikan gunung, lunak seperti air dan cepat laksana kilat.

Sesudah lewat lagi beberapa saat, Kiam Kiat menjadi bingung. Dalam gedung Hok Kongcu, ia mempunyai kedudukan tinggi. Tapi sekarang, menghadapi seorang bocah saja, ia belum bisa men-dapat kemenangan sesudah bertempur puluhan jurus. Andaikata belakangan ia berhasil juga mem-binasakan Ouw Hui, tapi jika ia memerlukan tempo terlalu lama, di mana ia dapat menempatkan muka-nya? Memikir begitu, lantas saja ia merubah cara bersilatnya. Sembari mencekal goloknya erat-erat, badannya berputar-putar dengan kecepatan luar biasa.

Harus diketahui, bahwa Pat-kwa Yoe-sin-ciang (Ilmu pukulan Pat-kwa sembari berlari-lari) adalah ilmu yang kesohor di seluruh wilayah Tiong-goan. Dalam menggunakan ilmu tersebut, orang harus bertempur sembari lari berputar-putar, dengan ke-dua kakinya tetap berada dalam garis-garis Pat-kwa. Diserang secara begitu, si musuh tentu saja harus turut berputar-putar. Jika musuh tidak turut me-mutarkan badan, ia akan kena diserang dari be-lakang. Demikianlah, bagi orang yang tidak terlatih, dalam tempo cepat, matanya akan berkunang-ku-nang. Ilmu itu adalah salah satu ilmu yang paling lihay dalam Rimba Persilatan.

Di bawah pimpinan ayahnya setiap pagi Ong Kiam Kiat harus berlatih tiga kali dan saban kalinya, ia harus lari berputaran lima ratus dua belas kali.

Sebelum tidur, ia juga harus berlatih tiga kali. Dengan begitu, saban hari ia harus berputar-putar di dalam lingkaran besar, lingkaran menengah dan lingkaran kecil lebih dari tiga ribu kali. Latihan tersebut dilakukannya terus-menerus selama dua puluh tahun lebih, maka tidak mengherankan, jika gerakan kakinya sudah menjadi wajar dan tak usaha diperhatikan lagi. Yang masih memerlukan per-hatiannya hanyalah kedua tangannya yang mengi-rimkan pukulan-pukulan ke arah musuh.

Dalam sekejap Ouw Hui sudah terkurung di tengah-tengah bayangan golok. Ia mengenal ba-haya, sembari mengempos semangatnya, ia menge-luarkan ilmu mengentengkan badannya. Dengan kegesitan dan kelincahannya, loncat kian kemari untuk meloloskan diri dari serangan-serangan yang luar biasa itu.

Ma Heng Kong mengawasi dengan rasa kaget dan heran. "Sungguh malu!" katanya di dalam hati. Tak dinyana, bayangan yang kulihat adalah ba¬yangan bocah itu. Jika tidak bertemu dia, aku tentu tidak mengetahui kebusukan Siang Loo-tay. Macan yang bersembunyi di Siang-kee-po ternyata bukan lain daripada anak kurus itu. Ah! Seumur hidupku aku berkelana di dunia Kang-ouw, tapi masih bisa salah mata."

Sembari berpikir begitu, kedua matanya me-nyapu seluruh ruangan. Mendadak ia mendapat kenyataan, bahwa puterinya dan muridnya tidak berada di dalam ruangan tersebut. "Benar gila!" katanya dengan mendongkol. "Selama hidup, be-rapa kali orang bisa menyaksikan pertandingan yang begini seru? Tapi orang muda hanya mengingat soal percintaan. Kalau sudah menjadi suami isteri, bu-kankah masih ada banyak tempo untuk bercakap-cakap siang-hari-malam?"

Tapi Ma Loopiauwtauw salah menduga. Me-mang benar Ma It Hong keluar untuk bercinta-cintaan, tapi tidaklah benar ia bercinta-cintaan de¬ngan tunangannya.

Sekonyong-konyong, berbareng dengan suatu bunyi nyaring, lelatu api berhamburan ke empat penjuru, akibat bentrokan golok kedua orang yang sedang bertempur itu.

Begitu kedua golok mereka kebentrok, Ong Kiam Kiat menjadi girang. "Ah!" katanya di dalam hati. "Meskipun ilmu silatnya cukup tinggi, tenaga bocah ini masih terlalu kecil. Dengan beberapa bentrokan lagi, aku pasti akan dapat membikin goloknya terpental." Memikir begitu, lantas saja ia memperhebat serangannya sambil mengerahkan te¬naga dalamnya, sehingga mau tidak mau, Ouw Hui terpaksa menyambut kekerasan dengan kekerasan. Baru saja goloknya beradu lima enam kali, lengan-nya sudah kesemutan.

Sedari bermula, pertandingan itu berjalan se-cara pincang. Tubuh Ong Kiam Kiat tinggi besar, sedang badan Ouw Hui kurus kecil, tingginya belum sampai pada leher lawan. Yang satu menunduk dan menyabet dengan goloknya dari atas ke bawah, yang lain mesti mendongak untuk menyambut sabetan itu. Kepincangan itu menyolok sekali. Andaikata kepandaian dua lawan itu setanding, Ouw Hui akan masih berada di bawah angin juga, karena tubuhnya yang begitu kecil dan kate.

Dalam keadaan berbahaya itu, otak Ouw Hui yang sangat cerdas mendadak mengingat sesuatu. Ia meloncat keluar dari gelanggang seraya ber-teriak: "Tahan!"

Dengan Ouw Hui, Ong Kiam Kiat sebenarnya tidak merapunyai permusuhan apa-apa. Sesudah melihat kelihayan bocah itu, tanpa merasa di dalam hatinya timbul perasaan simpathi. Maka, lantas saja ia berkata: "Baiklah. Jika kau mengaku kalah, aku suka mengampuni jiwamu."

"Siapa mengaku kalah?" tanya Ouw Hui, dengan tertawa. "Kau menang badan yang sebesar kerbau dan menarik keuntungan dari tubuhku yang kecil. Sama sekali bukan karena kepandaianmu. Tunggu-lah."

Sehabis berkata begitu, ia mengambil sebuah bangku panjang (seperti bangku sekolah) yang ke-mudian ditempatkannya di tengah ruangan. "Hayo! Kita bertempur lagi!" ajaknya.

Ong Kiam Kiat merasa geli berbareng men-dongkol

"Sahabat!" kata pula Ouw Hui. "Sebelum mulai, kita berjanji dulu. Kau tidak boleh menendang bangku ini. Kalau kau menendang, kaulah yang dihitung kalah."

"Fui!" bentak Ong Kiam Kiat. "Dalam dunia, mana ada cara berkelahi yang begitu macam?"

"Aku masih kecil, badanku tidak setinggi badan mu,' kata Ouw Hui sembari menyengir. "Jika kau tak sudi, biarlah kau tunggu saja lima tahun. Se¬sudah lewat lima tahun, sesudah aku setinggi kau, kita boleh ber tempur lagi."

Walaupun ia masih kekanak-kanakan, otak Ouw Hui penuh dengan daya upaya. Sesudah me-yakinkan dan mempelajari kitab ilmu silat pening-galan ayah andanya, Ouw Hui mengira, bahwa dalam dunia, ia sudah tidak mempunyai tandingan lagi. Tapi, begitu bertemu musuh, ia kena ditotok oleh Siang Loo-tay dan dihajar habis-habisan. Dalam kejadian itu, masih boleh dikatakan, dialah yang tolol sendiri. Sekarang, sesudah bergebrak dengan Ong Kiam Kiat, baru ia mengerti, bahwa meskipun ilmu goloknya banyak lebih unggul daripada kepandaian musuh, tapi tenaganya masih kalah jauh sekali. Maka itu, ia coba menggunakan tipu untuk meloloskan diri.

Tapi, diluar dugaan, karena sungkan kehilang-an muka dan juga karena yakin akan memperoleh kemenangan, Ong Kiam Kiat lantas saja memben-tak: "Kunyuk! Kau rasa aku takut kepada syaratmu? Kau kira aku tak dapat mampuskan kau?" Ber¬bareng dengan caciannya, ia menyabet pinggang Ouw Hui dengan goloknya.

Ouw Hui segera menangkis dan mereka lalu bertempur pula. Sekarang kedua lawan itu sudah kira-kira sama tingginya. Karena panjang bangku itu tidak kurang dari lima kaki, maka Ong Kiam Kiat sukar menggunakan pula Pat-kwa Yoe-sin-ciangnya yang harus digunakan sambil lari berputar-putar. Ia sekarang menyerang dengan golok dan tangan ko-song dengan berbareng, untuk merubuhkan si bo¬cah dari bangkunya. Dilain pihak, Ouw Hui melayaninya sembari meloncat kian kemari, dari ujung ke lain ujung bangku, ia sama sekali tidak berani menyambut kekerasan dengan kekerasan.

Sesudah lewat belasan jurus, dengan gemas Ong Kiam Kiat mengubah pula cara bersilatnya. Kini ia menggunakan taktik membabat ke kiri-ke kanan, setiap babatannya ditujukan ke lutut Ouw Hui. Berselang beberapa saat, Ouw Hui mendadak me-loncat tinggi-tinggi untuk meloloskan diri dari suatu sabetan yang luar biasa hebatnya. Sebelum si bocah hinggap lagi di bangku, Ong Kiam Kiat sudah mem¬babat ke kiri kanan di atas bangku itu. Dengan demikian, jika Ouw Hui berani turun ke bangku itu, kakinya tentu akan kena babatan golok. Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri, adalah turun di atas lantai.

Tapi tak percuma Ouw Hui menjadi putera tunggal Liao-tong Tayhiap Ouw It To! Pada detik yang sangat berbahaya, ia segera tahu apa yang harus dilakukannya. Sekali ia menggoyangkan ba-dan di tengah udara, tubuhnya melayang turun ke ujung kiri bangku itu. Dengan ujung kakinya, ia menotol ujung kiri bangku tersebut dan sekai lagi badannya melesat ke atas. Ditotol dengan ujung kaki, bangku itu terangkat, ujung kanannya me-lonjak ke atas, dan berdiri lempang. Selagi ter¬angkat ke atas, pinggiran bangku itu menghantam janggut Ong Kiam Kiat yang jadi terasa sakit sekali. Dilain saat, Ouw Hui sudah hinggap di ujung bang¬ku yang mengacung ke atas itu, darimana ia lalu menyabet ke bawah berulang-ulang, dengan lagak yang lucu, sehingga semua orang jadi tertawa besar.

Bukan main gusarnya Ong Kiam Kiat yang lantas saja membalas, menyerang dengan pukulan bcrantai. Akan tetapi, karena si bocah berada di kedudukan yang lebih menguntungkan, ia tidak bisa berbuat banyak. Dalam gusarnya, tanpa menghirau-kan janjinya, ia menendang bangku itu, yang tentu saja lantas terpental, dan berbareng dengan itu, ia mengirimkan bacokan ke dada Ouw Hui. Sebelum badannya hinggap di lantai, Ouw Hui masih sempat menyampok golok yang menyambar ke jurusannya dan dengan meminjam tenaga bentrokan kedua golok itu, tubuhnya melesat kurang lebih setombak. Selagi badannya melesat, tangan kirinya menyembat bangku tadi yang lalu digunakannya sebagai tameng untuk menjaga serangan musuh. Demikianlah de¬ngan tangan kiri mencekal "tameng" dan tangan kanan memegang golok, Ouw Hui melakukan se-rangan-serangan pembalasan yang dahsyat.

Melihat saudaranya belum juga dapat meru-buhkan bocah itu, Ong Kiam Eng mengerutkan alisnya dengan perasaan cemas. Orang-orang se-perti Tan Ie, In Tiong Shiang, Ma Heng Kong dan yang Iain-lain adalah ahli-ahli silat yang berpeng-alaman. Dilihat dari jalannya pertempuran, siang-siang Ouw Hui seharusnya sudah dapat dirubuhkan. Tapi sungguh mengherankan. Walaupun Ong Kiam Kiat berusaha sekuat tenaganya dengan mengirim¬kan pukulan-pukulan simpanannya, ia masih tetap belum bisa menjatuhkan bocah cilik itu.

Dengan menggunakan dua rupa senjata, ke-adaan Ouw Hui jadi terlebih baik. Bangku itu ter-buat dari kayu merah yang kuat dan ulet. Beberapa bacokan hebat yang dikirimkan oleh Ong Kiam Kiat tak dapat memutuskan bangku tersebut. Dilain pi-hak, dengan bersembunyi di belakang tameng itu, Ouw Hui melakukan serangan-serangan pembalasannya.

"Kunyuk!" bentak Ong Kiam Kiat. "Kau mesti diajar mengenal kelihayan tuan besarmu!" Sembari membentak, ia membabat dengan sepenuh tenaga-nya. "Crok!" goloknya menancap di bangku yang hampir-hampir menjadi putus. Buru-buru Kiam Kiat menarik pulang senjatanya, tapi kayu merah yang keras itu seakan-akan menggigit goloknya. Ia tcrkesiap dan segera mengerahkan tenaga dalam-nya untuk membetot sekali lagi. Pada detik itulah, tanpa menyia-nyiakan kesempatan baik ini, Ouw Hui menikam kempungan lawannya. Bukan main terkejutnya Ong Kiam Kiat. Golok Ouw Hui yang menyambar bagaikan kilat dari jarak yang sangat dekat, tak dapat dikelitnya lagi, sedang senjatanya scndiri masih menancap di bangku. Pada saat yang berbahaya itu, Kiam Kiat tidak mempunyai jalan lain daripada melepaskan senjatanya dan loncat mundur secepat mungkin.

Ong Kiam Kiat merasakan dadanya seperti mau meledak. Gusar dan malu bercampur menjadi satu. Dengan mata merah, lantas saja ia menyerang de¬ngan tangan kosong secara nekat-nekatan.

Harus diakui, bahwa Ong Kiam Kiat adalah seorang ahli silat yang sangat lihay. Menghadapi serangannya yang datang bertubi-tubi, Ouw Hui yang bertenaga kecil, lantas saja jadi keteter. De¬ngan mencekal bangku, gerakannya jadi agak lam-bat dan sesudah lewat belasan jurus, pundaknya kena dipukul sehingga ia terhuyung dan hampir-hampir terguling di atas lantai.

Melihat jago cilik itu kepukul, tanpa merasa para penonton mengeluarkan seruan tertahan.



Sambil menahan sakit, Ouw Hui melepaskan bangku itu dan tangannya menyambar gagang golok yang menancap di kayu itu. Sekali ia menendang, golok itu copot dan bangku tersebut terpental me¬nyambar Ong Kiam Kiat. Dengan gemas, Kiam Kiat menggunakan kedua tangannya untuk memapaki bangku itu yang lantas saja patah menjadi dua. Dilain pihak, dengan mencekal dua batang golok, Ouw Hui lantas saja menyerang sehebat-hebatnya.

Dengan tangan kosong menghadapi dua batang golok, sedikit pun Ong Kiam Kiat tidak menjadi gentar. Beberapa saat kemudian, berbareng dengan terdengarnya suatu teriakan, golok Ouw Hui yang di tangan kiri, sudah kena dirampas. Kiam Kiat melemparkan senjata itu ke lantai dan tetap me¬nyerang dengan tangan kosong.

Dengan mempunyai latihan dua puluh tahun lebih, ilmu silat tangan kosong Ong Kiam Kiat sungguh-sungguh dahsyat. Siang Po Cin mengawasi pertempuran itu dengan perasaan kecewa tercam-pur girang. Kecewa, oleh karena sesudah belajar bertahun-tahun dan menduga ilmunya sudah cukup tinggi, pada hari itu ia mendapat kenyataan, bahwa dibandingkan dengan kepandaian paman gurunya, apa yang dimilikinya, sama sekali tidak berarti. Ia girang karena melihat lihaynya ilmu silat Pat-kwa-bun. Ia merasa, bahwa jika ia belajar terus dengan giat, suatu waktu, benar-benar ia akan mempunyai kepandaian yang tinggi.

Tiba-tiba, berbareng dengan bentakan "Pergi"!, Pat-kwa-to yang dicekal Ouw Hui, terbang ke atas dan bocah itu sendiri meloncat mundur.

Sambil merangkapkan kedua tangannya, Ong Kiam Kiat segera bergerak untuk melancarkan se-rangan-serangan yang membinasakan.

Ouw Hui tahu, bahwa ia tak dapat bertahan lebih lama lagi. Tapi, sebagai seorang yang banyak tipu dayanya, sekonyong-konyong ia tertawa ter-bahak-bahak sembari menuding lawannya.

Ong Kiam Kiat heran, gerakan tangannya lantas saja berhenti. "Bocah! Kenapa kau tertawa?" tanya-nya.

"Bala bantuanku datang!" jawabnya, sembari tertawa. "Sekarang aku tidak takut lagi kepada kamu semua."

Ong Kiam Kiat terkejut dan sebelum ia dapat memikir lebih lanjut, Ouw Hui sudah berkata: "Aku mau menyambut bala bantuanku. Kamu boleh tung-gu! Jangan lari!" Selagi Kiam Kiat bersangsi, dengan tindakan lebar ia menuju ke pintu, untuk segera melarikan diri.

Ketika itu, Siang Loo-tay sudah memungut Pat-kwa-tonya yang dilemparkan Ouw Hui. Dengan sekali melompat, ia menghadang di tengah jalan.

"Anak capcay!" ia memaki. "Kau mau lari?!" Tapi ia tak berani terlalu mendesak, karena rae-ngetahui bahwa ilmu silat Ouw Hui masih lebih tinggi daripada kepandaiannya.

Pada saat itu, lapat-lapat terdengar tindakan kuda yang dikaburkan ke arah Siang-kee-po. Dalam suasana yang sunyi, walaupun jauh, bunyi menderap itu kedengaran nyata sekali. Semua orang mema-sang kuping. Tindakan kuda itu deras bagaikan turunnya air hujan. Semua orang yang berada di situ adalah ahli-ahli silat yang selalu selulup timbul dengan senjata dan kuda. Mendengar bunyi yang luar biasa itu, di muka mereka lantas saja terlukis keheranan mereka.

Dalam sekejap, kuda itu sudah tiba di depan gedung. Di luar lantas saja terdengar suara ben-takan para pegawai Siang-kee-po, suara terbukanya pintu pekarangan depan, suara beradunya senjata dan jatuhnya beberapa tubuh manusia. Sedang se¬mua orang masih tercengang, di depan pintu ruang-an pesta sudah muncul seorang yang baru datang.

Dengan serentak, semua mata ditujukan ke arah orang itu. Dia adalah seorang yang berusia lima puluh tahun, thungshanya gerombongan, di atas bibirnya terdapat kumis pendek, rambutnya putih, tingginya sedang dan badannya agak gemuk. De¬ngan tangan kanan menuntun seorang gadis yang berusia kira-kira dua belas tahun, ia tertawa dengan paras muka yang simpatik sekali. Dilihat sekelebat-an, macamnya seperti seorang hartawan dari pe-dusunan atau seorang saudagar kecil.

Ketika Ouw Hui menyebutkan bala bantuan, ia hanya bicara sembarangan, dengan harapan supaya dapat meloloskandiri, bila perhatian Siang Loo-tay dan lain-lain tertarik ke jurusan lain. Tapi di luar dugaan, secara kebetulan, benar-benar ada tetamu baru yang berkunjung ke Siang-kee-po. Selagi se¬mua orang memperhatikan tetamu itu, perlahan-lahan ia mendekati pintu.

Kalau orang lain melupakan Ouw Hui, adalah Siang Loo-tay tak melupakannya. Begitu melihat musuhnya mencoba kabur, ia meloncat dan meng-hantam punggung Ouw Hui dengan pukulan Pwee-sim-teng (Paku di punggung), salah satu pukulan yang membinasakan dari Pat-kwa-ciang. Kalau kena, isi perut Ouw Hui tentu akan menjadi rusak dan ia akan binasa seketika itu juga dengan muntahkan darah.

Melihat nyonya itu menurunkan tangan yang sedemikian kejamnya terhadap anak kecil, tetamu gemuk itu mengeluarkan seruan tertahan. Selagi ingin bergerak untuk menolong, Ouw Hui sudah bergerak lebih dulu. Sembari mengegos, Ouw Hui mengangkat tangan kirinya dan membetot tangan musuhnya yang sedang menyambar. Siang Loo-tay terhuyung beberapa tindak, hampir-hampir ia jatuh terguling.

Si gemuk heran bukan main, melihat bocah yang kecil kurus itu dapat memunahkan serangan yang begitu hebat.

Ong Kiam Eng yang mempunyai pergaulan luas, merasa bahwa ia mengenal tetamu gemuk itu, tapi tak ingat lagi siapa sebenarnya dia. Sembari me-rangkap kedua tangannya, lantas saja ia menanya: "Bolehkah aku mengetahui she dan nama saudara yang mulia? Dan untuk apa, malam-malam saudara datang berkunjung?"

"Siauwtee (adik) she Tio," jawabnya, sambil membalas hormat.

"Ah!" berseru Ong Kiam Eng. "Kalau begitu, tak salah lagi, saudara adalah Tio Samya (tuan ketiga) dari Ang-hoa-hwee (Perkumpulan bunga merah) Harap dimaafkan, yang siauwtee tak bisa mengenali terlebih siang."

Mendengar, bahwa tetamu itu adalah Cian-chiu Jieiay (Jie-lay-hud yang bertangan seribu) Tio Poan San, salah seorang pemimpin besar dari Ang-hoa-hwee, semua orang jadi terkesiap.

Harus diketahui, bahwa tujuh tahun sebelum-nya, bersama-sama dengan para paderi Siauw-lim-sie jago-jago Ang-hoa-hwee telah membakar istana Yong-ho-kiong dan mengacau di Kota terlarang. Kejadian itu adalah suatu kejadian yang meng-gemparkan seluruh Rimba Persilatan dan diketahui oleh rakyat di seluruh Tiongkok.

Sesudah peristiwa itu, Ang-hoa-hwee lalu menghilang. Menurut kata orang-orang Kang-ouw, jago-jago perkumpulan tersebut telah menyingkir ke Huikiang untuk sementara waktu. Tak terduga, Tio Poan San mendadak muncul di situ. Diwaktu masih muda, Kiam Eng pernah bertemu dengan Poan San di Piauw-kiok mendiang ayahnya, tapi pertemuan itu sudah berselang dua puluh tahun lebih dan paras muka Poan San sudah banyak ber-ubah, sehingga ia tidak lantas dapat mengenalinya.

Sembari memperlihatkan paras muka girang, Kiam Eng segera berkata pula: "Apakah Tio Samko datang di Shoatang sendirian atau beramai-ramai dengan para enghiong (orang gagah) lainnya? Di waktu masih hidup, mendiang ayahku sering sekali menyebutkan kelihayan para enghiong dari Ang-hoa-hwee yang sangat dikaguminya."

Tio Poan San adalah seorang yang beradat sabar dan berhati mulia serta bisa bergaul dengan siapapun juga. Mendengar pertanyaan itu, lantas saja ia menjawab dengan sikap simpatik: "Siauwtee datang seorang diri untuk suatu urusan pribadi. Bolehkah aku menanya, siapa ayah saudara?"

Setelah mengetahui, bahwa Poan San datang seorang diri, hati Kiam Eng menjadi lebih lega. Ia membungkuk dan menjawab: "Ayahku adalah pemimpin dari Tin-wan Piauw-kiok...."

"Ah!" Poan San memotong perkataan orang. "Kalau begitu, saudara adalah putera Ong Loo-piauwtauw. Aku dengar, Ong Loopiauwtauw sudah meninggal dunia. Apakah benar?" la mengucapkan kata-kata itu dengan wajah berduka.

"Mendiang ayahku telah meninggal dunia enam tahun berselang," sahut Kiam Eng. "Yang itu adalah adikku Kiam Kiat." la berpaling kepada adiknya dan menyambung perkataannya: "Thay-kek-kun dan Thay-kek-kiam Tio Samya tiada bandingannya dalam du¬nia. Sungguh beruntung, bahwa had ini kita bisa bertemu muka."

Sesudah berkata begitu, ia segera memperke-nalkan semua hadirin kepada Tio Poan San. Ong Kiam Kiat yang mulutnya loncer lantas menunjuk Tan Ie sembari berkata: "Tan-heng juga, adalah orang partai Thay-kek-bun. Apakah kalian sudah mengenal satu kepada yang lain?"

"Hm!" gerendeng Poan San yang mukanya men-dadak berubah menyeramkan. Ia mengawasi Tan Ie dari kepala sampai di kaki dan dari kaki sampai di kepala. Melihat perubahan paras Poan San, hati Tan Ie merasa tidak enak. Sesudah diawasi secara begitu, ia lebih-lebih merasa mendongkol.

Sekonyong-konyong, si gadis kecil yang ditun-tun Tio Poan San menuding Tan Ie sembari ber-teriak: "Tio Sioksiok! Benar dia! Benar dia!" Sua-ranya yang nyaring penuh dengan kegusaran.

Tan Ie kaget berbareng heran. Belum pernah ia bertemu dengan gadis cilik itu yang berkulit agak hitam. Lantas saja ia menengok kepada Kiam Kiat seraya berkata: "Tio Samya adalah dari Thay-kek-bun di Oenciu, cabang Selatan. Aku sendiri adalah dari Thay-kek-bun di Kongpeng. Kami berdua ha-nya sama-sama menjadi anggota satu partai dan bukan dari satu cabang. Tio Samya adalah tertua kami yang sangat dikagumi olehku." Ia mendekati sambil mengangsurkan tangan. Tapi Poan San meng-gerakkan kedua tangannya ke belakang, seolah-olah tidak melihat angsuran tangan itu, dan me-mutarkan badan ke arah Kiam Eng seraya berkata: "Saudara Ong, hari ini siauwtee datang mengacau dan lebih dulu siauwtee ingin meminta maaf kepada saudara-saudara sekalian."

Ia menyoja kepada semua orang yang lantas membalasnya. "Janganlah Tio Samya berlaku begitu sungkan," kata mereka.

Dapat dimengerti jika sikap Tio Poan San se-akan-akan segayung air dingin yang mengguyur kepala Tan Ie. "Lagi kapan aku berdosa terha-dapmu?" katanya di dalam hati. "Namamu memang besar, tapi, apakah kau kira aku takut padamu?"

Sesudah memperkenalkan semua orang, Kiam Eng menunjuk Ouw Hui sembari berkata: "Saudara kecil itu mempunyai sedikit ganjalan dengan Tee-huku (isteri adik). Ganjalan itu telah dibuat oleh ayahnya. Sekarang, sedang Suteeku sudah mening¬gal dunia lama sekali, dengan memandang muka Tio Samya, urusan ini lebih baik jangan disebut-sebut lagi. Bagaimana kalau kita sudahi saja?" Ia menutup keterangannya dengan tertawa besar.

Harus diketahui, bahwa Ong Kiam Eng dan Siang Kiam Beng memang tidak begitu akur. Ia sebenarnya sama sekali tidak mempunyai minat untuk membalaskan sakit hati saudara seperguruan

itu. Dan sekarang, di hadapan Tio Poan San, ia ingin menunjukkan kebaikan hatinya. tapi Tio Poan San yang tidak mengerti duduknya persoalan, tentu saja merasa heran.

Dilain pihak, Siang Loo-tay lantas saja naik darah. "Tak perduli Tio Poan San atau Tio It San (Poan San berarti setengah gunung, It San berarti satu gunung), tak boleh menjual lagak di Siang-kee-po!" ia berteriak.

"Apakah arti perkataan Ong-heng?" tanyanya. "Siauwtee sama sekali tidak mengerti."

"Tee-huku adalah seorang perempuan, jangan-lah Tio Samya tersinggung karena kata-katanya," kata Kiam Eng. "Mari, mari! Siauwtee ingin mem-beri selamat datang kepada Tio Samya dengan secangkir arak." Sembari berkata begitu, ia segera menuang arak.

Ouw Hui mengetahui, bahwa jika mereka bicara terus, kedoknya akan segera terbuka. Maka itu, lantas saja ia berseru: "Tio Samya! Mulut kawanan kantong nasi itu besar sekali. Itulah urusan mereka sendiri. Tapi dalam temberangnya, mereka menga-takan, orang-orang Ang-hoa-hwee tolol semuanya. Mereka mengagul-agulkan ilmu silat Pat-kwa-ciang dan sesumbar, bagaimana, dengan sebilah Pat-kwa-to, Looenghiong mereka sudah merubuhkan semua orang gagah dari Ang-hoa-hwee. Karena tak tahan, aku sudah menyemprot mereka. Mereka menjadi gusar dan mau menghajar diriku. Tio Samya! Coba kau pikir: Jengkel atau tidak? Dalam urusan ini, aku mengharapkan pertimbanganmu yang adil."

Tio Poan San yang tidak mengetahui apa yang sedang diributi mereka, jadi terlebih bingung. Tapi memang benar, dulu Ong Wie Yang pernah ke-bentrok dengan Ang-hoa-hwee. Tapi urusan itu sudah dibereskan oleh pihaknya dengan mengguna-kan tipu, sehingga Ong Wie Yang mengaku kalah, tanpa bertempur. Maka, bukanlah suatu keheranan, jika pada waktu itu, kedua saudara Ong meng-agulkan kepandaian ayahnya. Ia lantas saja tertawa dan berkata: "Kepandaian Ong Loopiauwtauw me¬mang sangat tinggi dan kami semua saudara merasa sangat kagum."

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar