Kisah Si Rase Terbang (Hoei Ho Gwa Toan) Jilid 3

Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
----------------------------

Jilid 3

Pernyataan itu sangat menggemparkan. Hampir semua orang serentak berbangkit dan serentak bertanya: "Apa?" Yang terus berduduk di kursi hanyalah Po-sie yang rupanya sudah tahu rahasia itu.

"Kukatakan: 'Cwan Ong tidak mati,'" kata pula Peng Ah Sie. "Tapi ia dikepung musuh yang ber-jumlah sangat besar dan tidak dapat meloloskan diri. Ketiga wiesu, Biauw, Hoan dan Tian, telah me-nerjang turun dari gunung untuk meminta per-tolongan, tapi bala bantuan tak kunjung datang. Sementara itu tentara musuh makin mendesak, se-hingga seantero sisa pasukan Cwan Ong mengha-dapi bahaya kemusnahan. Dalam putus harapan, Cwan Ong mengangkat golok komandonya dan mau menggorok leher, tapi keburu dicegah oleh wiesu she Ouw, yang bergelar Hui-thian Ho-lie. Si orang she Ouw sangat cerdik dan dalam bahaya, ia dapat memikir suatu tipu. Dari antara mayat-mayat ten¬tara, ia memilih mayatnya seorang tentara yang tinggi dan besar tubuhnya bersamaan dengan Cwan Ong. Mayat itu lalu dipakaikan pakaian kebesaran Cwan Ong dan pada lehernya digantungkan cap kekuasaan raja muda itu. Sesudah itu, ia,membacok-bacok muka mayat, sehingga tak dapat dikenali lagi. Akhirnya, dengan menggendong 'mayat Cwan Ong', ia pergi ke markas besar tentara Ceng dan me-nakluk. Ia mengaku sudah membinasakan Cwan Ong dan menyerahkan jenazah raja muda itu untuk meminta hadiah. Pahala itu bukan main besarnya. Panglima perang Ceng yang bertugas pun bisa naik pangkat mendapat hadiah dari junjungannya. Maka itu, jangankan memang sebenarnya ia tidak ragu-ragu, sedangkan andaikata ia masih bersangsi, ia tentu akan coba menghilangkan rasa sangsi itu. Demikianlah panglima perang Boan lantas saja rae-nerima baik pengakuan Hui-thian Ho-lie dan mem-bubarkan tentara yang mengepung Kiu-kiong-san. Dengan menyamar sebagai rakyat biasa, Cwan Ong yang tulen dengan mudah dapat meloloskan diri. Hai...! Cwan Ong tertolong, tapi Hui-thian Ho-lie sendiri lantas saja menghadapi bahaya besar."

"Dalam menjalankan tipu itu, Hui-thian Ho-lie sangat menderita. Dalam kalangan Kang-ouw, orang-orang gagah sangat mengutamakan 'ksatriaan' dan 'pribudi'. Untuk menolong majikannya, Hui-thian Ho-lie bukan saja harus menekuk lutut di hadapan musuh, tapi juga harus menerima cacian sebagai manusia hina dina yang sudah menjual majikan untuk mendapat pangkat. Nama Hui-thian Ho-lie telah menggetarkan kolong langit. Setiap kali nama-nya disebut, orang-orang Rimba Persilatan selalu mengacungkan jempolnya. Tapi sekarang ia harus menodai nama baiknya yang telah dipupuk hidup.

Pengorbanan itu sepuluh kali lipat lebih sukar daripada melakukan perbuatan-perbuatan ksa-tria."

"Sudah menakluk kepada Gouw Sam Kwie, ia terus naik pangkat sehingga menjadi tee-tok. Ber-kat kecerdikan, kegagahan dan kepandaiannya, ia mendapat kepercayaan besar dari Gouw Sam Kwie. Tapi selama itu, diam-diam ia membulatkan tekad untuk membalas sakit hati terhadap Gouw Sam Kwie, sebab pembesar itulah yang sudah meng-gagalkan usaha Lie Cwan Ong. Kalau ia mau mem-bunuh Gouw Sam Kwie, ia dapat melakukannya dengan mudah sekali. Tapi ia seorang berakal-budi dan tentu saja tidak mau bertindak secara begitu sembrono. Selama beberapa tahun, dengan hati-hati dan dengan diam-diam, ia menjalankan tipunya. Di satu pihak, ia bertindak untuk membangkitkan kecurigaan Kaisar Boan terhadap Gouw Sam Kwie, sedang dilain pihak, ia bekerja untuk mengganggu ketenteraman hati pembesar itu, supaya pada akhir¬nya, mau tidak mau, Gouw Sam Kwie harus mem-berontak. Atas bujukannya, Gouw Sam Kwie me-ngumpulkan tentara dan membeli kuda-kuda pe¬rang di Propinsi In-lam, tapi diam-diam, ia me-laporkan gerak_-gerik Gouw Sam Kwie itu kepada Kaisar Boan. Tentu saja kaisar menjadi curiga dan segera menyelidiki. Tindakan-tindakan kaisar selalu diincar olehnya dan ia melaporkannya kepada Gouw Sam Kwie."

"Demikianlah, dalam beberapa tahun saja, ke-dudukan Gouw Sam Kwie sudah terdesak begitu rupa, sehingga ia tak dapat tidak memberontak. Waktu itu daerah selatan tengah bergoncang hebat dan tenaga pemerintah Boan sangat berkurang. Itulah saat yang sangat baik untuk Cwan Ong me-rebut pulang negara. Andaikata pemberontakan Gouw Sam Kwie gagal dan usaha Cwan Ong juga tidak berhasil, sedikitnya Gouw Sam Kwie akan terbasmi. Maka itu, menurut pendapat Hui-thia Ho-lie, tipu yang sedang dijalankannya banyak lebih bermanfaat daripada kalau ia hanya membunuh Gouw Sam Kwie seorang."

"Waktu tiga saudara angkat Biauw, Hoan dan Tian datang di Kun-beng untuk membunuh Gouw Sam Kwie, tipu Hui-thian Ho-lie sudah hampir berhasil. Maka itulah, pada detik yang sangat ber-bahaya, ia segera muncul dan menolong Gouw Sam Kwie, sehingga percobaan itu menjadi gagal."

"Tahun itu, tanggal lima belas bulan ke tiga, ia mengundang ketiga saudara angkatnya untuk membuat pertemuan dan minum arak di tepi te-laga Tin-tie. Ia berniat untuk membuka rahasia, untuk memberitahukan segala tipu dayanya. Tapi di luar dugaan, sebelum ia sempat bercerita, pada waktu ia lengah, tiba-tiba ia diserang oleh ketiga saudara angkatnya. Serangan bokongan itu di-lakukan sebab ketiga saudara tersebut merasa jeri akan kepandaiannya yang tinggi. Pada waktu mau menghembuskan napasnya yang penghabisan, sambil mengucurkan air mata, ia berkata: 'Sayang! Sungguh sayang, tipuku telah gagal seanteronya!' Sesudah berdiam sejenak, dengan suara lemah ia berkata pula: 'Goan-swee-ya berada di Ciok-bun-kiap...."

"Dengan berkata begitu, ia ingin memberitahu¬kan, bahwa Lie Cwan Ong pada waktu itu sedang menyamar sebagai pendeta di kuil Po-cu-sie, Gu-nung Kiap-san, distrik Ciok-bun-koan, dengan meng-gunakan nama Hong Thian Giok Hweeshio."

"Cwan Ong berumur panjang. Ia hidup sampai pada bulan ke dua, tahun Kah-sin pada peme-rintahan Kaisar Khong-hie dan meninggal dunia pada usia 70. Dalam memimpin angkatan perang, Cwan Ong menggunakan nama Hong-thian Ciang-gie Tay-goan-swee. Namanya sebagai orang per-tapaan ialah Hong Thian Giok dan huruf 'giok' berasal dari huruf 'ong' yang ditambah dengan satu titik."

Sehabis mendengar cerita Biauw Yok Lan, se-mua orang menganggap, bahwa Hui-thian Ho-lie manusia jahat. Tak dinyana, dalam hal itu ter-sembunyi sebuah rahasia besar. Mereka kaget ber-campur heran dan mereka kelihatannya belum per-caya keterangan Peng Ah Sie.

Melihat kesangsian orang, Peng Ah Sie ber-paling kepada nona Biauw dan berkata: "Menurut penuturanmu, pada tanggal lima belas bulan ke tiga, putera Hui-thian Ho-lie tclah menemui ketiga pa-mannya yang bicara lama dengan mereka dalam sebuah kamar dan waktu ketiga orang itu keluar dari kamar, mereka membunuh diri. Biauw Kouw-nio, soal apakah yang telah dibicarakan mereka dalam kamar itu?"

"Apakah yang dibicarakan bukan soal tipu-daya Hui-thian Ho-lie?" Yok Lan balas menanya. "Bukankah kau ingin maksudkan, bahwa dalam kamar itu, putera Hui-thian Ho-lie telah mem¬buka rahasia dan menceritakan penderitaan ayah-andanya?"

"Benar," jawabnya. "Kalau ketiga orang itu tidak merasa menyesal, bahwa mereka telah membinasa-kan saudara angkatnya yang tidak berdosa, cara bagaimana mereka bisa membunuh diri sendiri? Sesudah mendengar keterangan putera Hui-thian Ho-lie, mereka baru tahu, bahwa bukan saja mereka sudah membunuh seorang yang putih-bersih, tapi juga sudah menggagalkan suatu usaha besar yang sudah hampir berhasil. Rasa menyesal mereka ada-lah sedemikian besar, sehingga mereka merasa tidak dapat menebus dosa, jika mereka tidak membunuh diri. Tapi pada waktu itu Cwan Ong masih hidup, sehingga rahasia tidak boleh bocor. Walaupun ke-pada orang-orang yang paling dipercaya, mereka tak dapat memberitahukan rahasia itu. Apa yang harus disayangkan, ialah, meskipun mereka orang-orang yang mempunyai kesetiaan dan pribudi tinggi, mereka sembrono dan ceroboh. Bahwa mereka te¬lah membinasakan Hui-thian Ho-lie karena salah paham, sudah merupakan suatu kesalahan hebat. Tapi pada waktu membunuh diri, sekali lagi mereka membuat kesalahan besar. Mereka tidak memesan anak-anak dan murid-murid mereka untuk tidak coba membalas sakit hati kepada putera Hui-thian Ho-lie. Inilah yang dinamakan kesalahan berlapis kesalahan, sehingga, sebagai akibatnya, turun te-murun keempat keluarga itu jadi bermusuhan."

"Di dalam kamar, putera Ho-thian Ho-lie telah memberitahukan ketiga pamannya, bahwa rahasia itu baru dapat dibuka pada tahun It-yu, yaitu seratus tahun kemudian. Biar bagaimana panjang pun jua usianya Cwan Ong, pada waktu itu ia tentu. sudah meninggal dunia. Manakala rahasia tersebut di bocorkan terlalu siang, pemerintah Ceng bisa meng-adakan penyelidikan dan jiwa Cwan Ong bisa ter-ancam. Rahasia besar itu hanya diketahui oleh turunan keluarga Ouw. Turunan keluarga Biauw, Hoan dan Tian tetap tinggal gelap. Waktu turunan keluarga Ouw tiba pada Ouw It To Ouw Toaya, batas waktu seratus tahun sudah lewat, sehingga oleh karenanya, Ouw Toaya berani meminta per-tolongan Giam Kie untuk menyampaikan rahasia itu kepada Biauw Jin Hong."

"Hal yang kedua adalah sebab musabab dari kebinasaan ayah Kim-bian-hud dan Tian Siangkong. Belasan tahun yang lalu, kedua orang tua itu ber-sama-sama pergi ke Kwan-gwa dan telah lenyap dengan begitu saja. Mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi dan nama mereka telah menggetarkan dunia Kang-ouw. Maka itu diduga pasti, bahwa mereka telah dibinasakan oleh sese-orang yang berkepandaian tinggi juga. Apa mau, waktu itu Ouw Toaya justru berada di Kwan-gwa dan dengan mengingat, bahwa keluarga Ouw adalah musuh turunan keluarga Biauw dan Tian, maka siapa pun jua tentu akan menduga, bahwa Ouw Toayalah yang sudah membunuh mereka. Beberapa kali Kim-bian-hud dan Tian Siangkong pergi ke Kwan-gwa untuk menyelidiki. Tapi mereka bukan saja tidak bisa mendapat keterangan apa-apa, bah-kan Ouw Toaya pun tidak dapat dicari. Karena tidak berdaya, Kim-bian-hud sudah sengaja memakai ge-lar Tah-pian-thian-hee-bu-tek-chiu untuk dirinya, supaya Ouw Toaya menjadi gusar dan mau mc-nemuinya. Ouw Toaya mengerti maksudnya, tapi ia sendiri berusaha untuk mencari kedua orang tua itu. Menurut keinginannya, sesudah berhasil, barulah ia mau menemui Kim-bian-hud untuk mencuci bersih tuduhan yang dijatuhkan atas diri-nya."

"Langit selalu memberkahi usaha manusia yang sungguh-sungguh. Sesudah mencari beberapa ta-hun, Ouw Toaya akhirnya mendapat keterangan jelas mengenai nasibnya kedua orang tua itu. Waktu itu Ouw Hujin hamil. Ia asal Kanglam dan begitu mengandung, ia ingin sekali pulang ke kampung asalnya. Maka itu, kedua suami isteri lantas saja berangkat ke Selatan. Setibanya di Tong-koan-tun, lebih dahulu Ouw Toaya bertempur melawan orang she Hoan dan she Tian dan kemudian barulah ia bertemu dengan Kim-bian-hud. Pesan yang ia minta Giam Kie menyampaikan kepada Biauw Jin Hong adalah begini: Kalau Kim-bian-hud ingin mencari jenazah mendiang ayahnya, ia bisa membawanya ke tempat itu sesudah mengantarkan isterinya. Dengan meiihat jenazah, Biauw Jin Hong akan tahu, cara bagaimana ayahnya menemui kebinasaan. Oleh ka-rena kedua orang tua itu mati dalam cara yang agak memalukan, maka Ouw Toaya merasa kurang enak untuk memberitahukan dengan mulutnya sendiri. Maka itu, sebaiknya biar Kim-bian-hud dan Tian Siangkong yang meiihat dengan mata sendiri."

"Hal ketiga mengenai golok komando Cwan Ong. Dalam golok itu tersembunyi rahasia dari harta karun yang tidak mungkin disebutkan be-rapa besar harganya. Harta itu meliputi perak, emas, batu permata, mustika dan sebagaimana dalam jumlah yang tidak bisa dihitung berapa banyaknya."

Pada paras muka semua orang lantas saja ter-lihat rasa heran yang sangat besar.

"Jika kalian dengar pesan Ouw Toaya kepada Giam Kie, kalian tentu tak akan merasa heran lagi," kata pula Peng Ah Sie. "Begitu lekas Cwan Ong memukul pecah kotak Pak-khia, sanak ke-luarga dan menteri-menteri kerajaan Beng lantas saja menakluk. Mereka itu kaya raya. Cwan Ong segera mengeluarkan pengumuman, bahwa untuk mendapat pengampunan, mereka harus menye-rahkan harta. Dalam beberapa hari saja, emas, perak dan Iain-lain sudah bertumpuk bagaikan gunung. Belakangan pada waktu Cwan Ong mun-dur dari Pak-khia, ia memerintahkan seorang panglima kepercayaannya untuk menyembunyi-kan harta itu di suatu tempat yang aman, supaya dapat digunakan untuk keperluan angkatan pe¬rang di hari kemudian."

"Tempat penyimpanan harta dilukiskan dalam sebuah peta, akan tetapi kunci untuk mencari harta itu terletak pada golok komando tersebut. Pada waktu kalah perang di Kiu-kiong-san, Cwan Ong menyerahkan peta dan golok kepada Hui-thian Ho-lie dan sesudah Hui-thian Ho-lie dibinasakan, peta dan golok itu jatuh ke dalam tangan ketiga adik angkatnya. Tapi tak lama kemudian, kedua barang itu dirampas pulang oleh puteranya Hui-thian Ho-lie."

"Sesudah berebutan selama seratus tahun, go¬lok komando dipegang oleh keluarga Tian dari Thian-liong-bun, sedang peta jatuh ke dalam tangan keluarga Biauw. Akan tetapi, baik Tian maupun Biauw sama sekali tak tahu adanya rahasia itu dan itulah sebabnya mcngapa mereka tak berusaha un-tuk mencarinya. Yang tahu rahasia itu hanyalah turunan she Ouw, tapi mereka pun tidak berdaya sebab tidak memiliki golok dan peta."

"Dengan membuka rahasia kepada Kim-bian-hud, Ouw Toaya ingin supaya Biauw Jin Hong menggali harta tersebut untuk menolong sesama manusia dan kalau bisa, menggunakannya untuk mengusir penjajah Boan dan merampas pulang ta-nah air kita."

"Ketiga hal itu penting semuanya. Maka itu, ia merasa heran, mengapa sesudah diberitahukan, Biauw Jin Hong masih juga mau bertempurdengan-nya. Sampai pada waktu mau menghembuskan na-pasnya yang penghabisan, Ouw Toaya belum dapat memecahkan teka-teki itu. Apakah Kim-bian-hud bukan ksatria tulen? Entahlah. Apakah Kim-bian-hud tidak percaya pemberitahuan itu? Entahlah." Berkata sampai di situ, Peng Ah Sie menghela napas panjang.

To Pek Swee yang sedari tadi terus mendengari tanpa membuka mulut, tiba-tiba berkata: "Aku tahu mengapa Biauw Jin Hong tetap mau bertanding dengan Ouw It To. Tapi untuk sementara aku tak mau bicarakan hal itu. Sekarang aku mau tanya: Perlu apa kau datang ke sini?"

Itulah pertanyaan yang ingin diajukan oleh se-mua orang.

"Aku datang untuk membalas sakit hatinya Ouw Toaya," jawabnya.

"Membalas sakit hati?" menegas To Pek Swee. "Terhadap siapa?"

Peng Ah Sie tertawa dingin. "Terhadap manusia yang sudah mencelakai Ouw Toaya," jawabnya.

Paras muka Biauw Yok Lan berubah pucat pasi. "Hanya sayang ayahku belum datang kemari," kata-nya dengan suara perlahan.

"Bukan, bukan terhadap ayahmu," kata Peng Ah Sie dengan cepat. "Orang yang mencelakai Ouw Toaya bukan Kim-bian-hud, tapi seorang yang da-hulu menjadi sinshe tukang mengobati luka-luka kepukul dan sekarang berubah menjadi pendeta. Dia sekarang dikenal sebagai Po-sie!"

Po-sie bangkit dan tertawa terbahak-bahak "Ba-gus!" serunya. "Kalau kau mempunyai kepandaian, turun tanganlah sekarang juga!"

"Aku sudah turun tangan," kata Peng Ah Sie dengan tenang. "Terhitung dari hari ini, jiwamu tidak lebih panjang daripada lujuh hari dan tujuh malam lagi."

Semua orang kaget, lebih pula Po-sie. Tapi biarpun hatinya ketakutan, mulutnya mencaci: "Bi-natang, apakah yang bisa diperbuat olehmu ter-hadapku?"

"Bukan saja kau, tapi semua orang, lelaki, pe-rempuan, tua dan muda yang berada di sini juga tak akan bisa melewati tujuh hari dan tujuh malam!" teriak Peng Ah Sie dengan suara bernafsu.

Semua orang terkesiap ada yajjg bangkit dari lempat duduknya, ada pula yang mengawasi Peng Ah Sie dengan mata membelalak.

"Apa kau menaruh racun dalam air teh dan makanan kami?" tanya Po-sie dengan gusar.

"Mana bisa kau mampus begitu enak?" katanya dengan suara mengejek. "Kau bakal mati perlahan-lahan, mati kelaparan."

"Mati kelaparan?" menegas Co Hun Kie, To Pek Swee dan The Sam Nio dengan berbareng.

"Benar," jawabnya dengan adem. "Di puncak fni sebenarnya tersedia makanan yang cukup untuk sepuluh hari. Sekarang, sebutir beras pun sudah tak ada Iagi. Semuanya sudah dilemparkan ke bawah gunung olehku!"

Pernyataan itu disambut dengan teriakan ter-tahan. Po-sie melompat dan mencengkeram tangan kiri Peng Ah Sie. Dia tidak melawan sedang pada bibirnya tetap tersungging senyuman dingin. Co Hun Kie dan Ciu Hun Yang mendekati, siap sedia untuk menyerang jika Peng Ah Sie melawan.

Dengan tergesa-gesa le Koan-kee masuk ke belakang dan tidak lama kemudian, ia keluar lagi dengan paras muka pucat. "Taysu," katanya dengan suara gemetar. "Semua beras, kerbau-kambing, ayam-bebek dan sayur mayur yang berada di sini semua sudah dilemparkan ke bawah gunung!"

"Buk!" Co Hun Kie meninju dada Peng Ah Sie yang lantas saja muntahkan darah. Tapi ia tetap tersenyum dingin.

"Apakah dalam gudang makanan dan di dapur tidak ada manusianya?" tanya Po-sie dengan men-dongkol.

"Ada tiga orang, tapi mereka semua diikat oleh bangsat itu," jawabnya. "Hai...! Waktu kedua setan kecil itu membikin ribut di ruangan ini, kita semua keluar untuk melihatnya. Tak dinyana itu merupakan tipu memancing harimau keluar dari gunung. Biauw Kouwnio, semula kami mengang-gap, bahwa dia adalah orangmu yang dibawa oleh-mu kemari."

Biauw Yok Lan menggelengkan kepala. "Bu-kan," katanya. "Sebaliknya aku sendiri menduga, bahwa dia adalah pengurus rumah dari perkam-pungan ini."

"Apakah tak ada makanan yang ketinggalan?" tanya Po-sie.

Ie Koan-kee menggoyang-goyangkan kepala-

nya.

Dengan gusar Co Hun Kie mengangkat pula

tinjunya.

"Co Toaya, tahan!" kata nona Biauw. "Dia masih memeluk nama ayahku. Dia tidak boleh diganggu oleh siapa pun juga."

Tinju itu berhenti di tengah udara. Sambil mengawasi si nona dengan mata merah, Co Hun Kie berkata: "Kita semua bakal mampus dalam tangannya. Mengapa... mengapa kau...."

"Soal mati hidup merupakan suatu soal, soal yang barusan dikatakan olehku merupakan lain soal," kata si nona. "Dia telah melemparkan semua makanan ke bawah gunung dan oleh karena per-buatan itu, kita semua menghadapi kebinasaan. Tapi dia pun akan mati bersama-sama kita. Kalau seseorang berani melakukan suatu perbuatan tan-pa menghiraukan jiwa sendiri dia tentu mempu¬nyai alasan teguh untuk melakukannya. Po-sie Taysu, Co Toaya, hidup atau mati adalah takdir. Kita bingung pun tiada gunanya. Paling benar kita membiarkan dia bicara terus, supaya kita bisa menimbang-nimbang, apa benar kita pantas mati di sini."

Si nona bicara dengan suara tenang dan ramah tamah, tapi entah bagaimana, suara itu mempunyai pengaruh yang sangat bcsar. Po-sie segera mele-paskan cengkeramannya. Sedang Co Hun Kic pun kembali pada kursinya.

"Peng-ya, kau ingin kita semua mati kelaparan," kata Yok Lan. "Apakah kau bisa memberitahukan, sebab musabab dari perbuatanmu itu? Buknnkah dengan berbuat begitu, kau ingin membalas sakit hatinya Ouw It To Pehpeh?"

"Panggilan 'Peng-ya' (paduka tuan Peng) tak dapat diterima olehku," kata Peng Ah Sie. "Semur hidup, aku selalu menggunakan islilah 'ya' untuk orang Iain, tapi orang lain belum pernah meng¬gunakan panggilan itu terhadapku. Biauw Kouwnio, bahwa Ouw Toaya sudah menghadiahkan perak kepadaku dan menolong jiwa keluargaku, aku mc-rasa sangat, sangat berterima kasih. Tapi di samping itu masih ada lain halyang membuat aku lebih lebih merasa berterima kasih. Apakah itu? Hm.... Semua orang memanggil aku sebagai si A Sie yang ke-palanya budukan. Semua orang menghina aku. Hanyalah Ouw Toaya yang memanggil aku 'Saudara keciT dan ia mendesak supaya aku memanggilnya dengan menggunakan istilah 'toako'."

"Seumur hidup, aku Peng Ah Sie selalu dihina orang. Hanyalah Ouw Toaya scorang yang mengata-kan, bahwa di dalam dunia pada liakekatnya tidak ada manusia tinggi atau manusia rendah. Semua sama. Dalam mata Langit, semua manusia adalah sama. Mendengar perkataan itu, kedua mataku sc-perti baru melek sesudah buta belasan tahun. Se-sudah mendengar itu, kedua mataku melihat sinar yang terang. Hanya dalam sehari aku bertemu de¬ngan Ouw Toaya. Tapi di dalam hati, aku sudah menganggap ia sebagai anggota keluarga sendiri." "Selama beberapa hari Ouw Toaya, bertan-ding dengan Kim-bian-hud, tanpa ada keputusan-nya. Selama beberapa hari itu aku tentu saja khawatir akan keselamatan Ouw Toaya. Bela-kangan, Ouw Toaya binasa sebab racun golok dan Ouw Hujin pun membunuh diri. Kejadian itu telah disaksikan dengan kedua mataku sendiri dan tak dapat aku melupakannya. Giam Tayhu, pada hari itu tangan kirimu menenteng peti obat-obatan, sedang dalam buntalanmu yang digendong di punggungmu, terdapat belasan potong perak. Bu-kankah benar begitu? Hari itu kau mengenakan baju kulit kambing dan memakai tudung warna kuning. Bukankah begitu?"

Muka Po-sie jadi pucat pasi, tangan kanannya yang mencekal tasbih bergemetaran. Tanpa me-ngeluarkan sepatah kata, ia mengawasi Peng Ah Sie dengan mata membelalak.

"Kemarin malamnya, Ouw Toaya dan Kim-bian-hud tidur seranjang," Peng Ah Sie melanjutkan penuturannya. "Dengan berdiri di luar jendela, ta-bib Giam mendengarkan pembicaraan mereka. Dari dalam kamar Kim-bian-hud mengirim tinju, sehing-ga hidung Giam Tayhu bocor dan mukanya ber-darah-darah. Menurui pengakuannya, sesudah di-pukul, ia pergi tidur. Tapi dalam pengakuan itu ada sesuatu yang tidak disebutkan. Dengan mata sendiri aku melihat, bahwa sebelum tidur, lebih dahulu ia melakukan serupa pekerjaan. Pckerjaan apa? Dari dalam peti obat-obatan, ia mengeluarkan semacam obat cair yang lalu dipoleskan pada golok dan pedang yang digunakan Ouw Toaya dan Kim-bianhud. Waktu itu aku masih anak-anak, baru berusia belasan tahun. Aku tak tahu, bahwa ia sedang melakukan perbuatan terkutuk. Sesudah Ouw Toa¬ya meninggal dunia, barulah aku menyadari, bah¬wa Giam Tayhu telah melabur racun di atas kedua senjata itu. Dia mengharap supaya Ouw Toaya dan Biauw Jin Hong raati bersama-sama. Giam Tayhu, oh Giam Tayhu, isi perutmu sungguh be-racun!"

"Bahwa dia mengharapkan kebinasaan Kim-bian-hud, dapatlah dimengerti. Dia tentu mau membalas sakit hati, sebab dipukul. Tapi dengan Ouw Toaya, dia sama sekali tidak bermusuhan. Mengapa dia melabur juga racun di pedangnya Biauw Jin Hong? Aku terus memutar otak untuk menjawab pertanyaan itu. Hm.... Tak bisa salah lagi, manusia itu ingin memiliki kotak besi Ouw Toaya."

"Giam Tayhu mengatakan, bahwa ia tak tahu apa isinya kotak besi itu. Dusta! Dia tahu! Pada waktu Ouw Toaya menyerahkan kotak besi itu kepada Hujin ia menuang semua isinya di atas meja Mutiara dan barang permata. 'Adikku', kata Ouw Toaya, 'dengan kepandaian yang dimiliki olehmu, jika kau memerlukan uang, dengan mudah kau bisa mengambil emas peraknya pembesar rakus atau hartawan kejam. Tapi kalau perbuatan itu dilaku-kan terlalu sering, suatu kesalahan mungkin tak akan dapat dielakkan. Aku... aku....' Mendengar perkataan suaminya, Hujin berkata: 'Toako, lega-kanlah hatimu. Manakala terjadi sesuatu atas diri-mu, aku akan memusatkan seluruh perhatianku guna memelihara anak kita. Dengan menjual per-

18 KISAH SI RASE TERBANG JUtd 3

lahan-lahan barang-barang permata ini, ibu dan anak bisa hidup cukup untuk seumur hidup. Aku tidak akan bertempur lagi dengan orang dan tidak akan mencuri lagi. Toako, bagaimana pendapat-mu?' Seraya tertawa besar Ouw Toaya berkata: 'Bagus!' Ia mengambil sejilid kitab dan berkata pula: 'Kitab ini adalah Kun-keng To-po (kitab ilmu silat tangan kosong dan ilmu silat golok), yang ditulis dengan tangan oleh leluhurku.' Hujin tersenyum. 'Bagus sungguh!' katanya, 'Seluruh kepandaian Hui-thian Ho-lie tertulis dalam kitab ini. Sungguh pandai kau menyembunyikan, sehingga aku sendiri sampai tak tahu.' Ouw Toaya tertawa terbahak-bahak. 'Me-nurut pesan leluhurku, kitab itu boleh diturunkan kepada anak lelaki, tidak boleh diturunkan kepada anak perempuan, boleh diturunkan kepada kepo-nakan, tidak boleh diturunkan kepada isteri,' kata¬nya. 'Itulah sebabnya mengapa ilmu silat golok itu dinamakan Ouw-kee To-hoat.' Hujin berkata: 'Nan-ti, sesudah anak kita mengenal surat, aku akan menyerahkan kitab itu kepadanya. Aku berjanji tidak akan mencuri belajar.' Ouw Toaya menghela napas. Ia memasukkan pula barang-barang itu ke dalam kotak besi yang ditaruh di bawah bantal kepala Hujin. Belakangan, sesudah Hujin mem-bunuh diri, cepat-cepat aku masuk ke kamarnya. Tapi di luar dugaan Giam Tayhu sudah lebih dulu berada di situ dan tangannya mendukung bayi Ouw Toaya."

"Dengan hati berdebar-debar, buru-buru aku berscmbunyi di belakang pintu. Tangan kiri Giam Tayhu memeluk anak itu. sedang tangan kanannya menarik keluar kotak besi dari bawah bantal. Se-sudah menekan keempat sudut dan bagian bawah kotak, tutup kotak lantas saja terbuka sendirinya. Dengan satu tangannya ia mengangkat barang-ba-rang permata itu, satu demi satu, sedang liurnya menetes di lantai. Karena tak puas dengan hanya menggunakan satu tangan, ia lalu menaruh bayi itu di lantai dan kemudian mengambil Kun-keng To-po yang lalu dibolak balik lembarannya. Karena tidak didukung lagi, anak itu menangis. Giam Tayhu khawatir orang mendengarnya dan ia lalu menarik selimut dan menutupi si bayi, dari kepala sampai di kaki."

"Aku kaget bukan main, sebab anak itu bisa mati kehabisan napas. Mengingat budi OuwToaya, aku segera mengambil keputusan untuk merebut anak itu. Tapi aku masih kecil, tidak mengerti ilmu silat dan bukan tandingan Giam Tayhu. Tiba-tiba kulihat palang pintu yang bersandar di tembok. Indap-indap aku mengambilnya dan indap-indap pula, aku mendekati tabib itu. Kemudian, aku menghantam batok kepalanya dengan palang pin¬tu itu."

"Aku menghantam dengan seantero tenaga dan tanpa mengeluarkan suara, Giam Tayhu terguling. Barang permata yang dipegangnya berhamburan di lantai. Cepat-cepat aku membuka selimut dan men-dukung anak itu. Kau tahu, bahwasemua orangyang berada di situ adalah musuh-musuhnya Ouw Toaya. Jalan satu-satunya ialah membawa anak itu pulang ke rumah dan menyerahkannya kepada ibuku untuk dirawat. Aku juga tahu, bahwa kitab ilmu silat itu sangat penting dan tidak boleh jatuh ke tangan orang lain. Maka itu aku segera membungkuk dan mengambilnya dari tangan Giam Tayhu. Di luar dugaan, dalam keadaan pingsan, dia masih men-cekalnya erat-erat. Dengan bingung aku membe-totnya. 'Bret!', dua lembarannya tersobek dan tetap tercekal dalam tangan si tabib. Tiba-tiba di luar terdengar suara ribut-ribut. Itulah suara Biauw Jin Hong dan beberapa orang yang coba mencari anak itu. Buru-buru aku lari ke belakang dan kabur dari pintu belakang."

"Semenjak hari itu hingga hari ini, aku tidak pernah bertemu lagi dengan Giam Tayhu. Tak di-nyana, sekarang ia sudah menjadi pendeta. Apakah ia ingin menebus dosa-dosa yang bertumpuk-tum-puk? Dengan bantuan dua lembar kitab ilmu silat itu, ia memiliki kepandaian tinggi dan memperoleh nama besar dalam kalangan Kang-ouw. Ia rupanya menganggap, bahwa di dalam dunia tak seorang pun tahu asal usulnya. Ia sama sekali tak pernah mimpi, bahwa orang yang dahulu menghantam batok ke¬palanya dengan palang pintu, sampai sekarang ma¬sih hidup di dalam dunia. Giam Tayhu, coba kau memutar badan, supaya semua orang dapat melihat bekas luka di batok kepalamu. Tanda itu adalah akibat pukulan dari si tukang menyalakan api di dapur."

Perlahan-lahan Po-sie berbangkit. Semua orang mengawasinya sambil menahan napas. Mereka men-duga pasti, bahwa pendeta itu akan menyerang. Tapi di luar dugaan, ia hanya menyebut "Omitohud" dan kemudian duduk lagi. "Selama dua puluh tujuh tahun, aku tak tahu siapa yang sudah memukul kepalaku," katanya dengan suara perlahan. "Hari ini teka-teki telah terpecahkan."

Semua orang merasa heran. Mereka tidak men-duga, bahwa Po-sie akan mengakui kebenarannya cerita Peng Ah Sie.

"Tapi bagaimana nasibnya anak itu?" tanya Biauw Yok Lan.

"Baru saja aku lad keluar dari pintu belakang, di belakangku sudah terdengar bentakan: 'Hei, bu-duk! Bawa kembali anak itu!'" kata Peng Ah Sie. "Aku tak meladeni dan lari makin kencang. Orang itu mencaci dan mengejar dan dalam sekejap, ia sudah mencekal lenganku untuk merampas anak itu. Aku bingung. Aku menggigit belakang tangan-nya, sehingga berdarah...."

"Guruku!" memutus Co Hun Kie.

Tian Ceng Bun melirik dan ia merasa menyesal, tapi tak berguna lagi karena perkataan itu sudah keluar dari mulutnya. Ia merasa sangat tidak enak sebab semua orang mengawasinya dengan sorot mata menanya.

"Tak salah, orang itu memang Tian Siangkong adanya," kata Peng Ah Sie. "Sampai sekarang di belakang tangannya masih terlihat tanda bekas luka akibat gigitan. Tapi ia tentu tak akan memberitahu-kan orang, siapa yang menggigitnya dan mengapa tangannya sampai digigit."

Tian Ceng Bun, Wie Su Tiong, Co Hun Kie dan Ciu Hun Yang saling mengawasi. Di dalam hati, mereka mengakui, bahwa memang bcnar Tian Kui Long belum pernah menceritakan hal gigitan itu.

"Aku menggigit secara nekat, tanpa memper-dulikan keselamatan jiwaku," kata pula Peng Ah Sie. "Biarpun berkepandaian tinggi, Tian Siangkong tak kuat menahan gigitan itu, mukanya berubah pucat pasi. Ia menghunus pedang dan membacok mukaku, kemudian membacok pula lenganku, se¬hingga putus. Dalam gusarnya ia menendang, se¬hingga tubuhku terbang dan tercebur ke dalam sungai. Meskipun satu lenganku sudah putus, le-ngan yang satunya lagi tetap memeluk erat-erat putera Ouw Toaya."

"Ah!" Biauw Yok Lan mengeluarkan teriakan perlahan.

"Begitu tercebur, aku pingsan," Peng Ah Sie melanjutkan penuturannya. "Waktu tersadar, aku rebah di atas sebuah perahu. Aku mengerti, bahwa jiwaku telah ditolong orang. 'Anak...! Anak...!' te-riakku. Seorang wanita tertawa seraya berkata: 'Akhirnya dia tersadar juga. Anakmu ada di sini.' Aku mendongak dan melihat, bahwa putera Ouw Toaya sedang disusui oleh wanita itu. Belakangan baru kutahu, bahwa aku baru tersadar sesudah berada di perahu itu enam hari enam malam lama-nya. Aku tahu, bahwa aku sudah berada jauh dari kampung halamanku. Sebab khawatir musuh Ouw Toaya mencelakai anak itu, aku tak berani pulang. Didengar keterangan Biauw Kouwnio, Biauw Tay-hiap sendiri menganggap, bahwa anak itu sudah mati."

"Benar," kata si nona. "Kalau begitu, ia masih hidup. Bukankah begitu? Kalau ia tahu, ayah pasti akan merasa girang sekali. Dimana dia sekarang? Maukah kau mengantarkan aku untuk menemui-nya?" Ia bicara dengan menggunakan istilah "anak". Dilain saat ia ingat, bahwa untuk puteranya Ouw It To. "anak" itu sebenarnya sudah berusia dua puluh

tujuh tahun, lcbih tua sepuluh tahun daripada usia-nya sendiri. Mengingat begitu, paras mukanya lan-tas saja bersemu dadu.

"Tak dapat lagi," jawab Peng Ah Sie. "Orang-orangyang berada di sini tak akan bisa turun dengan masih bernyawa."

"Thia-thia pasti akan datang kemari untuk me-nolong kita," kata nona Biauw. "Sedikit pun aku tak khawatir."

"Ayahmu dikenal sebagai seorang yang tiada tandingannya di dalam dunia," kata Peng Ah Sie. "Tapi yang dipukul, dirobohkan olehnya, hanyalah manusia, manusia biasa. Meskipun berkepandaian tinggi, ia tentu tak akan bisa merobohkan puncak gunung yang tinggi berlaksa tombak."

"Apakah anak itu yang menyuruh kau meiaku-kan perbuatan ini?" tanya Biauw Yok Lan.

Peng Ah Sie menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak! Tidak...!" serunya. "Anak itu seorang ksa-tria, tiada bedanya seperti mendiang ayahnya. Kalau ia tahu tipu dayaku yang sangat beracun ini, ia pasti akan mencegah."

"Bagus sckali!" bentak Co Hun Kie. "Kalau begitu kau pun tahu, bahwa perbuatanmu sangal beracun."

"Bagaimana anak itu, apa dia orang baik?" tanya Yok Lan. "Siapa namanya! Apa iimu silatnya tinggi? Apa pekerjaannya?"

Semenjak kecil, setiap tahun ia menyaksikan ayahnya menyembahyangi suami isteri Ouw It To dan setiap kali bersembahyang, Kim-bian-hud sclalu menyatakan rasa menyesalnya, bahwa ia tidak dapat memelihara anak itu.

Peng Ah Sie menghela napas dan menjawab: "Biauw Kouwnio, jika aku tidak membakar tam-bang, had ini kau bisa bertemu dengannya."

"Apa?" menegas si nona.

"Ia telah berjanji untuk bertemu dengan maji-kan perkampungan ini," menerangkan Peng Ah Sie. "Pertemuan itu akan dilakukan pada waktu ngo-sie (antara jam 11 dan 1 siang). Sekarang waktu itu sudah hampir tiba dan mungkin sekali ia sudah berada di bawah puncak ini."

Semua orang terkesiap. "Swat San Hui Ho?" seru mereka hampir berbareng.

"Benar," jawabnya. "Ia bernama Ouw Hui, ber-gelar Swat San Hui Ho, putera mendiang Ouw It To, Ouw Toaya."

Sesudah mendengar riwayat Ouw It To, semua orang merasa kagum. Sekarang, setelah menge-tahui, bahwa Swat San Hui Ho putera Ouw It To, mereka ingin sekali bisa berjumpa dengan pemuda itu. Mengingat, bahwa majikan perkampungan itu telah mengundang banyak jago untuk menghadapi-nya, maka mungkin sekali si Rase Terbang tidak kalah gagahnya dari mendiang ayahnya.

"Celaka!" tiba-tiba Biauw Yok Lan berteriak. "Pembantu-pembantu yang diundang oleh majikan perkampungan ini dan ayahku belum datang. Jika bertemu dengan Swat San Hui Ho di kaki gunung, mereka pasti akan bertempur. Ayahku tak tahu, bahwa dialah putera Ouw Pehpeh. Bagaimana kalau ayah membunuh dia?"

Peng Ah Sie tertawa tawar. "Biarpun Biauw Tayhiap bergelar Tah-pian-thian-hee-bu-tek-chiu, kurasa tak gampang ia bisa membunuh Ouw Siang-kong." Karena di mukanya terdapat landa bekas bacokan golok yang sangat panjang, rnaka begitu tertawa, otot-ototnya tertarik dan mukanya kelihat-an sangat menyeramkan.

Sesudah berdiam sejenak, ia berkata lagi: "Hari ini Ouw Siangkong ingin datang untuk bertanding dengan Biauw Tayhiap guna membalas sakit hati-nya. Tapi karena sudah menyaksikan sendiri ke-cintaan antara Ouw It To Ouw Toaya dan Biauw Tayhiap dan juga karena kutahu, bahwa kebinasaan Ouw Toaya sebenarnya tidak dikehendaki oleh Biauw Tayhiap, sebisa-bisa aku sudah coba mencegahnya. Tapi ia tetap pada pendiriannya dan tak mau men-dengar segala bujukanku. Belakangan, di kaki gu-nung kulihat Giam Tayhu. Aku segera menguntit dia kemari dan akhirnya membakar tambang dan membuang semua makanan supaya kita semua bisa mati kelaparan besama-sama. Dengan berbuat be-gini, aku ingin membalas budi Ouw Toaya yang sangat besar."

Semua orang saling mengawasi. Mereka me-rasa, bahwa kalau Po-sie mesti mati kelaparan, hal itu memang sepantasnya saja sebagai pembalasan dari kejahatannya. Tapi, bahwa mereka, yang tak bersangkut paut dengan peristiwa itu, harus mati bersama-sama, sungguh-sungguh harus dibuat pe-nasaran.

Melihat sikap bermusuhan dari orang orang itu, Po-sie segera berbangkit dan membentak: "Hari ini kita semua berada di dalam satu perahu dan kita semua harus mencari daya upaya untuk turun dari gunung ini. Penjahat itu...."

Belum habis perkataannya, seekor merpati putih tiba-tiba terbang masuk ke dalam ruangan itu dan hinggap di atas meja. "Ah! Putih, kau pun turut datang kemari," kata nona Biauw, yang lantas saja mendekati dan memegang burung itu. Ia melihat, bahwa pada sebelah kaki merpati itu terikat se-lembar benang. Ia lalu menariknya dan benang itu ternyaia sangat panjang, sebab sesudah menarik beberapa lama, belum juga kelihatan ujungnya. Dengan heran, ia terus menarik. Tian Ceng Bun menghampiri dan membantu. Sesudah benang itu tertarik, terlihat ada serupa benda yang diikatkan pada ujungnya.

"Kita tertolong!" kata Yok Lan dengan girang.

"Bagaimana kau tahu?" tanya semua orang de¬ngan serentak.

"Merpati putih ini adalah kesayangan keluarga-ku," jawabnya. "Ayah sering membawa-bawanya untuk menyampaikan warta dari satu ke lain tempat. Aku merasa pasti sekarang ayah sudah berada di kaki gunung dan pada ujung benang ini diikatkan serupa benda yang dapat menolong kita."

Paras rnuka Peng Ah Sie berubah pucat. Seraya menggeram, ia melompat untuk memutuskan be¬nang itu. Tapi In Kiat yang berdiri di dekatnya sudah mendahului dan lalu mendorongnya, sehingga ro-boh di lantai.

"Cici, hati-hati jangan sampai benang itu putus," kata Tian Ceng Bun.

Yok Lan mengangguk dan menarik terus.

Biarpun halus, benang itu sangat kuat. Makin lama, benda yang ditarik mereka jadi makin berat, tapi benang itu tetap tidak menjadi putus. Sesudah menarik lagi beberapa lama, nona Biauw kelihatan-nya capai. "Biauw Kouwnio, kau mengasolah," kata To Cu An. "Biar aku yang menariknya." Seraya berkata begitu, ia menyambuti benang itu dari ta-ngan si nona.

Sementara itu, Wie Su Tiong, Co Hun Kie, Lauw Goan Ho dan beberapa orang lain sudah keluar dari pintu untuk melihat penolong apa yang diikatkan pada ujung benang. Sesudah menarik lagi beberapa lama, di luar pintu sekonyong-konyong terdengar sorak-sorai dan hampir berbareng, To Cu An dan Tian Ceng Bun merasa tarikannya enteng. Semua orang segera memburu keluar. Mereka lihat Wie Su Tiong dan Co Hun Kie berdiri di pinggir tebing dengan kedua tangan bergerak-gerak tak hentinya, seperti sedang menarik sesuatu. Ternyata, pada ujung benang terikat selembar tambang yang agak kasar dan sesudah tambang itu ditarik habis, pada ujungnya terikat pula tambang yang lebih kasar lagi.

Semua orang kegirangan. Dengan cepat me¬reka mengikat ujung tambang di batang pohon siong yang tumbuh di tepi tebing.

"Mari kita turun, biarlah aku yang turun lebih dahulu," kata Lauw Goan Ho. Seraya berkata be¬gitu, ia mencekal tambang dan ingin segera merosot ke bawah.

"Tahan!" bentak To Pek Swee. "Enak saja kau! Kalau kau turun lebih dahulu, kau bisa main gila."

Lauw Goan Ho mendelik. "Bagaimana maunya kau?" tanyanya dengan aseran.

To Pek Swee terkejut. Ia lantas saja ingat, bahwa setiap orang yang berada di puncak itu mempunyai kepentingan pribadi dan saling tidak mcmpercayai. Siapa jua pun yang turun lebih da¬hulu, yang lain tentu bercuriga. Maka itu, ditanya begitu ia tak dapat menjawab.

"Biarlah orang-orang perempuan turun lebih dahulu," kata Co Hun Kie. "Untuk kita, orang-orang lelaki, diundi saja."

"Begini saja," kata Him Goan Hian. "Orang Thian-liong-bun, Eng-ma-coan dan Peng Thong Piauw Kiok turun bergiliran, satu demi satu. Yang lain saling menjaga. Dengan begitu, kita tak usah takut ada yang main gila."

"Begitu pun baik," kata Wie Su Tiong. "Po-sie Taysu. pulangkanlah kotak besi itu." Sambil berkata begitu, ia menghampiri Po-sie dan mengangsurkan tangannya.

Pada waktu menghadapi bahaya, semua orang hanya memikirkan soal mati hidupnya. Sekarang, sesudah bahaya lewat, mereka ingat lagi kepada mustika yang luar biasa itu. Semula mereka hanya tahu, bahwa di dalam kotak besi itu terdapat sebuah mustika luar biasa dalam Rimba Persilatan. Me-ngapa benda itu dianggap sebagai mustika dan me-ngapa dikatakan luar biasa, mereka tak tahu. Se¬sudah mendengar keterangan Peng Ah Sie, bahwa golok komando itu mempunyai sangkut paut dengan harta karun Cwan Ong, barulah mereka me-ngerti keluarbiasaannya dan mereka jadi mata me-rah. Sepanjang cerita, sesudah Cwan Ong masuk di kota Pak-khia, seorang jenderalnya yang bernama Lauw Cong Bin telah memeras sanak keluarga dan menteri-menteri Kerajaan Beng dan emas permata yang didapat bertumpuk-tumpuk bagaikan gunung. Tak lama kemudian Cwan Ong kalah perang dan harta itu tak ketahuan lagi ke mana perginya. Se-karang terdapat harapan, bahwa dari golok ko-mando itu, orang bisa dapat mencari harta karun tersebut. Maka itu, bagaimana orang tak jadi mata merah?

Po-sie tertawa dingin. "Loo-lap ingin mengaju-kan satu pertanyaan," katanya. "Apakah kemuliaan dan kemampuan Thian-liong-bun, sehingga kamu mau mengangkangi golok mustika ini? Thian-liong-bun sudah memegangnya hampir seratus tahun. Adalah sepantasnya saja jika sekarang golok ini menukar majikan."

Wie Su Tiong terkejut. Dengan serentak In Kiat, Co Hun Kie dan Ciu Hun Yang bergerak dan berdiri di samping Wie Su Tiong.

Po-sie tertawa terbahak-bahak. "Apa kamu mau berkelahi?" tanyanya. "Dahulu, dengan mengguna-kan golok, Thian-liong-bun mendapat mustika. Hari ini, di ujung golok Thian-liong-bun kehilangan mus¬tika. Adil, itulah sangat adil."

Wie Su Tiong gusar bukan main. Kalau me-nuruti nafsunya, ia tentu sudah menerjang untuk membinasakan pendeta tua itu. Tapi karena tahu Po-sie berkepandaian tinggi, ia tak berani bergerak. Bukan saja tidak berani maju, ia bahkan mundur beberapa tindak karena diawasi Po-sie dengan sorot mata bagaikan kilat.

Untuk beberapa saat, puncak itu diliputi ke-sunyian yang menakuti.

Sekonyong-konyong, Khim-jie, pelayan Biauw Yok Lan, menuding ke bawah seraya berteriak: "Siocia, lihat! Siapa itu?"

Semua orang terkejut dan pergi ke tepi tebing untuk menyelidiki. Mereka lihat seorang lelaki yang mengenakan pakaian putih sedang memanjat tam-bang bagaikan seekor kera.

"Biauw Cici, apa itu ayahmu?" tanya Ceng Bun.

Yok Lan menggelengkan kepala. "Bukan, ayah tak pernah mengenakan pakaian putih," ja-wabnya.

Sementara itu, orang itu sudah datang makin dekat.

"Hei! Siapa kau?" teriak Ie Koan-kee.

Tiba-tiba terdengar suara tertawa yang sangat nyaring, begitu nyaring sehingga puncak dan lem-bah seolah-olah tergetar.

Melihat Po-sie berdiri di tepi jurang dengan kedua tangan memegang kotak besi, diam-diam Wie Su Tiong menarik tangan Co Hun Kie dan memberi isyarat sambil menuding punggung pendeta itu. Co Hun Kie mengangguk sedikit, sebagai tanda, bahwa ia sudah mengerti maksud paman gurunya. Dengan serangan membokong, Po-sie pasti akan dapat di-lontarkan ke bawah tebing. Biarpun ia memiliki kepandaian yang sepuluh kali lipat lebih tinggi, kalau jatuh ke bawah, ia pasti tak akan bisa me-nyelamatkan jiwa. Sesudah Po-sie binasa, kotak besi itu yang tentu tak akan rusak, bisa dicari dengan perlahan. Demikianlah, sesudah saling mengang¬guk, dengan berbareng Wie Su Tiong dan Co Hun Kie melompat ke punggung Po-sie dan memukul dengan sekuat tenaga. Sesaat itu, Po-sie berdiri kira-kira satu kaki dari pinggir tebing dan seantero perhatiannya ditujukan kepada orang yang sedang memanjat tambang. Ia tak pernah menduga, bahwa dirinya akan dibokong orang.

Maka itulah, ia kaget tak kepalang ketika de¬ngan mendadak ia merasa sambaran angin di pung-gungnya. Pada detik bencana, ia masih keburu meng-gunakan ilmu Tia-pan-kio dan badannya tibatiba rebah ke depan.

Tiat-pan-kio adalah serupa ilmu yang sangat lihay untuk menolong diri dari serangan senjata rahasia. Senjata rahasia biasanya menyambar cepat, sehingga kadang-kadang orang yang diserang tidak keburu berkelit atau melompat. Dalam keadaan begitu, dengan ilmu Tiat-pan-kio, ia merebahkan badannya, yang dibikin kaku bagaikan mayat, ke belakang dengan kedua kaki tetap menancap di tanah. Dengan demikian, senjata rahasia itu akan lewat di atas tubuhnya. Makin tinggi ilmunya se-seorang, makin dekat tubuhnya kepada tanah. Ilmu itu dinamakan Tiat-pan-kio sebab kaki bagaikan besi (tiat, badan kaku seperti papan (pan) dan tubuh rebah seakan-akan jembatan (kio). Tapi Tiat-pan-kio yang digunakan Po-sie agak berbeda dengan yang biasa. Sebaliknya daripada rebah ke belakang, yaitu rebah celentang, ia rebah ke depan, rebah tengkurap, sehingga sebagian badannya berada di tengah udara, di luar tebing.

Dalam serangan itu, Wie Su Tiong dan Co Hun Kie menggunakan seantero tenaganya. Melihat si pendeta tidak bersiap siaga, mereka kegirangan, tapi hampir pada detik itu juga, hati mereka men-celos sebab mereka sudah memukul angin. Wie Su Tiong yang berkepandaian lebih tinggi dapat me¬nolong diri. Dengan berjumpalitan, ia berhasil me¬lompat ke samping. Tapi Co Hun Kie menye-lonong terus dan "blusss!" tubuhnya roboh ke dalam jurang!

Semua orang berteriak. Dengan tangan meme-gang tasbih, Po-sie berkata: "Omitohud! Takdir...! Sudah takdir." Tian Ceng Bun roboh pingsan dan To Cu An buru-buru membangunkannya. Yang lain mengawasi ke bawah, mengawasi tubuh Co Hun Kie yang tinggi besar melayang ke kuburannya!

Mendadak, mendadak saja, si baju putih meng-gaetkan kedua kakinya kepada tambang, tangan kirinya menolak tembok puncak dan bagaikan orang main ayunan, tubuhnya terbang ke arah Co Hun Kie. Waktu dan tenaga yang digunakan semua te-pat. Dengan sekali menjambret, ia sudah men-cengkeram punggung Co Hun Kie.

Di luar dugaan, dengan suara "bret!" baju Co Hun Kie robek, badannya terlepas dari cengke-raman si baju putih dan terus melayang ke bawah. Hal ini sudah terjadi sebab tubuh Co Hun Kie sangat berat, ditambah lagi dengan tenaga jatuhnya yang sangat hebat. Hampir berbareng kedua kaki si baju putih juga terlepas dari tambang dan badannya sendiri jatuh ke bawah. Pada detik yang sangat, sangat berbahaya, tangan si baju putih kembali menjambret dan ia berhasil menangkap kaki kanan Co Hun Kie. Dengan mata membelalak, semua orang mengawasi kedua orang itu yang terus me¬layang ke bawah. Dengan tambang berada dalam jarak kira-kira setombak, biar pun si baju putih berkepandaian lebih tinggi lagi, ia pasti tak akan bisa menolong jiwanya. Untuk menolong sesama manusia, ia mesti korbankan jiwa sendiri!

Di luar dugaan, tangan kanannya mendadak terangkat dan seperti orang menyabetkan senjata, ia menyabet tambang itu dengan tubuh Co Hun Kie.

Ketika itu Co Hun Kie sudah berada dalam keadaan lupa ingat. Begitu menyentuh tambang, kedua tangannya segera mencengkeram tambang itu. Bagaikan seorang yang kelelap tiba-tiba ber-temu dengan sebatang rumput, ia mencekal tam¬bang mati-matian. Dalam waktu biasa tenaga Co Hun Kie tak cukup besar untuk menahan tenaga jatuhnya dua orang dari tempat yang begitu tinggi. Tapi dalam menghadapi kebinasaan, entah dari mana, tenaganya bertambah berlipat ganda. Di lain saat, tambang itu terayun ke kiri dengan dua tubuh manusia yang menggelantung.

Dengan meminjam tenaga tambang, si baju putih mengerahkan lweekang pada pinggangnya. Tubuhnya lantas saja terangkat naik dan tangan kirinya segera mencekal tambang itu. Sambil me-nepuk pundak Co Hun Kie ia berbisik: "Naiklah ke atas."

Mendengar bisikan itu, Co Hun Kie tersadar. Cepat-cepat ia menarik tambang dengan kedua tangannya dan memanjatnya dengan menggunakan seantero tenaga.

Semua orang yang berdiri di tepi menyaksikan kejadian itu sambil menahan napas.

Tak lama kemudian Co Hun Kie sudah tiba di atas dan In Kiat bersama Ciu Hun Yang segera bantu mengangkatnya. "Siapa orang yang pakai baju putih itu?" tanya mereka dengan berbareng.

Sesudah meredakan napasnya yang tersengal-sengal, Co Hun Kie menyahut: "Orang gagah itu minta aku menyampaikan kepada kalian, bahwa Swat San Hui Ho Ouw Hui sudah tiba di tempat ini."

Semua orang yang sudah dipengaruhi oleh ke¬jadian barusan, mencelos hatinya. "Celaka!" teriak seorang sambil lari masuk ke dalam gedung. Tanpa memikir panjang-panjang, yang lainnya turut mem-buru ke pintu. Apa mau, To Pek Swee, Lauw Goan Ho, dan Wie Su Tiong tiba di mulut pintu dengan berbareng dan karena mereka berlomba-lomba de¬ngan penuh ketakutan, maka setibanya di mulut pintu, mereka saling dorong seperti anak kecil. Co Hun Kie dan To Cu An berebut mau menolong Tian Ceng Bun yang pingsan dan sekali lagi mereka hampir-hampir bertempur. Dalam sekejap orang-orang "gagah" yang tadi berkumpul di luar pintu sudah tak kelihatan mata hidungnya lagi. In Kiat dan Khim-jie yang mengiring Biauw Yok Lan dan berjalan paling belakang, hampir-hampir tidak da-pat pintu.

Dengan tergesa-gesa Him Goan Hian menutup pintu, sedang In Kiat lalu mengambil palang dan menahannya keras-keras. Karena khawatir belum cukup kuat, To Pek Swee buru-buru mengambil sepotong balok yang lalu digunakan untuk meng-ganjal pintu.

Ketika itu Tian Ceng Bun sudah tersadar. "Swat San Hui Ho belum pernah mengenal kita, mengapa kalian begitu ketakutan?" katanya.

Wie Su Tiong mengeluarkan suara di hidung. "Hm..! Belum pernah mengenal kita?" ia menegas. "Ayahmu dan ayahnya adalah musuh besar. Apa kau kira dia akan mengampuni jiwamu?"

"Sesudah kita melukai Peng Ah Sie, dia pasti tak mau sudah," menyambung Lauw Goan Ho.

Mendadak To Cu An mendongak dan berkata: "Kita sudah mengunci pintu, apa dia tidak bisa datang dari atas?"

"Benar," kata Wie Su Tiong. "To Sie-heng,

sebaiknya kau naik ke genteng dan menjaga di atas."

To Cu An tertawa dingin. "Wie Susiok berke-

pandaian tinggi," katanya. "Paling benar Wie Susiok

yang menjaga di atas."

Sekonyong-konyong terdengar suara gedubrak-an yang sangat keras dan... palang pintu patah, kedua daun pintu terbuka lebar! Seraya menge-luarkan teriakan ketakutan, semua orang kabur ke belakang dan di lain saat, ruangan yang besar itu sudah tiada manusianya.

Semula, setelah mendengar cerita Peng Ah Sie, mereka ingin sekali bertemu muka dengan putera Ouw It To. Tapi sesudah menyaksikan kelihayan Swat San Hui Ho dan mengingat, bahwa sedikit banyak mereka mempunyai permusuhan dengan keluarga Ouw, nyali mereka berubah ciut. Perasaan takut sangat menular. Melihat yangsatu kabur, yang lain ikut-ikutan. Orang-orang itu yang biasanya sangat galak sekarang seolah-olah tikus-tikus yang dikejar kucing.

Ie Koan-kee coba mencari Po-sie untuk minta bantuannya, tapi sesudah dicari di sana sini, pendeta itu tak kelihatan bayang-bayangannya. "Cu-jin telah menyerahkan perkampungan ini dalam pengurusan-ku," pikirnya. "Biarpun mesti mati, aku haruslah menjaga mukanya." (Cu-jin = Majikan).

la mendekati Yok Lan dan berkata dengan suara perlahan: "Nona, pergilah ke kamar Hujin dan bersembunyi dalam kamar rahasia di bawah tanah bersama-sama Hujin. Rahasiakanlah hal ini ter-hadap siapa pun jua. Orang-orang yang berada di sini, tak satu pun berhati baik. Biar aku sendiri yang menemui Swat San Hui Ho."

Si nona melirik The Sam Nio dan Tian Ceng Bun. "Bolehkah aku membawa kedua cici itu?" tanyanya.

Ie Koan-kee menggelengkan kepala. "Tidak," jawabnya. "Mereka bukan orang baik. Nona dan Hujin adalah orang-orang yang berharga ribuan emas. Tak usah nona memperdulikan orang lain."

"Apakah kau bisa menahan orang she Ouw itu, jika dia mau membunuh dan membakar?" tanya pula Yok Lan.

Sambil mencekal gagang golok yang tergan-tung di pinggangnya, Ie Koan-kee menjawab de¬ngan suara parau: "Hari ini aku akan mengorban-kan jiwa untuk membalas budinya Cu-jin. Aku hanya berdoa supaya Hujin dan nona tidak kurang suatu apa."

Sesudah memikir sejenak, si nona berkata: "Se¬baiknya kita berdua, aku dan kau, yang menemui dia."

Ie Koan-kee jadi bingung. "Biauw Kouwnio, apakah kau tidak dengar perkataan pendeta itu?" tanyanya. "Ayahmu, Biauw Tayhiap, dan dia mem¬punyai permusuhan besar. Jika kau jatuh ke dalam tangannya, maka...."

Yok Lan bersenyum dan berkata: "Sedari men¬dengar cerita ayah mengenai Ouw Pehpeh, aku selalu mengharap-harap supaya anak itu masih hi-dup di dalam dunia dan juga, mengharap-harap, supaya pada suatu hari aku akan bisa bertemu dengannya. Kalau had ini aku tidak bisa bertemu dengan dia, maka aku akan merasa menyesal se-umur hidup." Suara si nona lemah lembut, tapi penuh dengan tekad yang tak dapat diubah lagi.

Ie Koan-kee kagum bukan main. la merasa, bahwa biarpun tidak bisa silat, nona Biauw tak malu menjadi puterinya Kim-bian-hud. Dibandingkan de¬ngan nona yang lemah itu, orang-orang yang mem-punyai gelaran-gelaran hebat, tapi yang sudah ma-bur seperti kawanan tikus, dengan sesungguhnya mempunyai muka yang sangat tebal. Tadi ia merasa sangat ketakutan. Tapi sekarang, sesudah menyak-sikan sikap si nona yang sedemikian tenang, se-bagian besar rasa takutnya telah menghilang. Ia segera menuang dua cangkir teh dan berjalan keluar dengan diikuti Yok Lan.

"Kami tidak dapat menyambut Ouw Toaya dari tempat jauh, harap dimaafkan!" seru Ie Koan-kee. Ia memberi hormat dengan membawa secang-kir teh.

Ketika itu, si baju putih berdiri menghadap keluar dengan badan agak membungkuk di samping sebuah meja, entah sedang mengerjakan apa. Be-gitu mendengar seruan Ie Koan-kee, ia memutar badan dan ia kaget karena melihat seorang wanita yang cantik dan ayu.

Yok Lan pun kaget sebab melihat seorang pemuda yang menyeramkan. Muka Ouw Hui penuh berewok kasar dan kaku, rambutnya tebal dan tidak tersisir, seperti juga segunduk rumput. Sedari kecil ia sudah menanam rasa kasihan terhadap putera Ouw It To, tapi diluar dugaan, orangnya begitu kasar dan ganas kelihatannya. Tapi sejenak kemudian, ia berkata dalam hatinya: "Ouw It To Pehpeh juga mempunyai paras muka yang sangat angker, sehingga dapatlah dimengerti kalau pu-teranya beroman bengis. Ah, aku sendiri yang sudah membayang-bayangkan secara keliru." Ia merang-kap kedua tangannya dan berkata seraya mem¬bungkuk: "Siangkong, selamat bertemu."

Pada waktu naik ke puncak itu, Swat San Hui Ho Ouw Hui bersiap sedia untuk melakukan per-tempuran mati-matian melawan orang-orang yang berada di situ. Maka itu, ia heran ketika ternyata, bahwa yang menyambutnya hanyalah seorang wa¬nita cantik. "Tipu apa yang sedang dijalankan oleh mereka?" tanyanya di dalam hati. Ia membalas hor¬mat dan berkata: "Aku yang rendah bernama Ouw Hui. Bolehkah aku mendapat tahu she nona yang mulia?"

Buru-buru Ie Koan-kee memberi isyarat dengan kedipan mata, supaya Yok Lan menyebutkan she palsu. Tapi si nona seperti juga tidak mengerti maksud orang dan segera menjawab: "Ouw Sie-heng, kita adalah sahabat turunan, hanya kita belum pernah bertemu muka. Aku she Biauw."

Ouw Hui terkejut tapi paras mukanya tidak berubah. "Pernah apakah nona dengan Kim-bian-hud Biauw Tayhiap?" tanyanya.

Ie Koan-kee bingung, dengan tangan bergeme-taran ia menarik tangan baju si nona yang tetap tidak memperdulikannya. "Kim-bian-hud adalah ayah-ku," jawabnya dengan tenang.

Ouw Hui mendongak dan tertawa terbahak-bahak. "Sungguh beruntung! Sungguh beruntung aku bisa bertemu dengan nona," katanya. "Tapi mengapa ayah nona tidak muncul untuk menemui aku?"

Ie Koan-kee mencekal gagang golok sebab kha-watir pemuda itu menyerang. Waktu ia melirik, nona Biauw masih tenang-tenang saja. "Gila sungguh!" pikirnya. "Dalam menghadapi musuh besar, ia mem-perlihatkan muka sendiri."

"Ayah belum tiba," jawab si nona. "Kalau ia tahu, bahwa Ouw Sie-heng adalah putera saha-batnya, biarpun ada urusan yang bagaimana besar pun jua, ia tentu buru-buru datang untuk bertemu dengan Ouw Sie-heng."

Ouw Hui heran. "Nona sendiri sudah tahu asal-usulku, tapi mengapa ayahmu masih belum tahu?" tanyanya.

"Aku tahu sebab tadi kudengar penuturan sa-habatmu, Peng-kun," jawabnya. (Peng-kun = Tuan Peng).

"Aha! Peng Sie-siok juga berada di sini?!" seru pemuda itu. "Mana dia?"

Ie Koan-kee terkejut. Ia menengok ke sana sini, tapi Peng Ah Sie tidak kelihatan bayang-bayangan-nya. Apa yang dilihatnya hanya darah yang belum kering. "Mungkin waktu semua orang mempcrhati-kan merpati yang membawa benang, dia kabur dari puncak ini," pikirnya. "Dia adaiah tuan penolong Ouw Hui, sehingga kalau sampai terjadi sesuatu atas dirinya, bencana yang bakal menimpa akan lebih hebat lagi."

Melihat Ie Koan-kee mengawasi darah, paras muka pemuda itu lantas saja berubah. "Apa itu darah Peng Sie-siok?" tanyanya dengan suara keras.

"Benar," jawab Ie Koan-kee.

Semenjak ditinggal oleh kedua orang tuanya, Ouw Hui dipelihara oleh Peng Ah Sie dan diantara mereka terdapat kecintaan seperti antara bapak dan anak. Maka, dapatlah dimengerti kalau jawaban Ie Koan-kee mengejutkan sangat hatinya. Dengan se-kali melompat, ia mencengkeram lengan kanan Ie Koan-kee. "Dimana ia?" bentaknya. "Apa... apa sudah terjadi atas dirinya?"

Ie Koan-kee merasakan kesakitan hebat di le-ngannya yang seperti juga dijepit dengan gelang baja. Sambil menggigit bibir ia menahan sakit, se¬hingga keringat sebesar-besar kacang muncul pada dahinya. Paras mukanya pucat pasi dan ia tak dapat mengeluarkan sepatah kata.

"Ouw Sie-heng jangan bingung," kata Yok Lan dengan suara lemah lembut. "Peng Sie-ya berada di sana." Seraya berkata begitu, ia menuding sebuah kamar samping di sebelah Timur.

Ouw Hui segera melepaskan cekalannya dan dengan beberapa lompatan saja, ia sudah berada di depan pintu yang lalu ditendangnya, sehingga ter-pental. Ia lihat Peng Ah Sie rebah di ranjang dengan napas tersengal-sengal. "Sie-siok, bagaimana keadaan-mu?" tanyanya dengan girang.

"Tak apa-apa, jangan khawatir," jawabnya de¬ngan suara lemah.

Pemuda itu mendekati dan mendapat kenyata-an, bahwa muka paman itu pucat bagaikan kertas. Rasa girangnya yang barusan lantas saja berubah menjadi rasa khawatir. "Sie-siok, siapa yang melukai kau?" tanyanya.

"Kalau mau diceritakan sangat panjang," sa-hutnya. "Kalau tidak ditolong Biauw Kouwnio, aku tidak akan bisa bertemu lagi dengan kau."

Ternyata pada waktu scmua orang membun keluar toa-thia (ruangan tengah) karena datangny. merpati yang membawa bcnang, Biauw Yok Lai dan Khim-jie menggunakan kescmpatan itu untuk membawa Peng Ah Sie ke sebuah kamar kosong di samping gedung. Belakangan Po-sie coba mencari nya untuk dibinasakan, tapi tidak bisa diketemukan. Sebab tengah menghadapi bahaya, dia tidak keburu mencari terlebih teliti dan oleh karena begitu, jiwa Peng Ah Sie ketolongan.

Mendengar keterangan sang paman, Ouw Hui manggut-manggutkan kepala dan lalu mengeluar-kan sebutir yo-wan merah dari sakunya. Sambil memasukkan pel itu ke dalam mulut sang paman, ia berkata: "Sie-siok, telanlah dahulu obat luka ini."

Sesudah Peng Ah Sie menelannya, hatinya agak lega dan lalu kembali ke ruangan tengah. Sambil menyoja dengan membungkuk, ia berkata: "Biauw Kouwnio, terima kasih atas pertolonganmu kepada Peng Sie-siok."

Nona Biauw buru-buru membalas hormat. "Peng Sie-ya adalah seorang mulia dan siauw-moay merasa sangat kagum," katanya. "Bantuan itu tak cukup berharga untuk dibicarakan."

Ouw Hui bersenyum dan menyapu seluruh ruang¬an dengan matanya yang tajam. Tiba-tiba ia lihat lian kayu yang huruf-hurufnya ditulis oleh Biauw Jin Hong dan ia merasa heran karena lian itu bersandar di meja, sedang lian yang satunya lagi tergantung di tengah tembok. (Lian biasanya sepasang dan dinamakan "tui-lian").

la bersenyum dan lalu membacanya dengan suara nyaring:

"Dalam bahaya besar hanya mengandalkan se-balang pedang.

Ribuan emas datang hanya dengan sekali me-lemparkan dadu."

Ia meneguk teh dan berkata: "Huruf-huruf yang ditulis ayahmu sangat indah dan angker. Walaupun bukan seorang pintar, aku ingin menyambut dengan sepatah dua patah. Kuharap kau jangan menter-tawai aku."

Nona Biauw mengangguk seraya menyahut: "Bagus! Aku merasa beruntung bisa menerima pe-lajaran dari Siangkong." Di dalam hati ia merasa girang, sebab biarpun kelihatannya kasar, Ouw Hui ternyata dapat mengeluarkan kata-kata seorang ter-pelajar.

Sambil tertawa Ouw Hui menepuk tembok dan... sebatang paku yang menancap di dinding lantas saja menonjol keluar! Ia lalu menjepitnya dengan jem-pol dan jari tengah dan dengan menggunakan se-dikit tcnaga, paku itu sudah tercabut.

le Koan-kee mempunyai pengalaman luas dalam dunia Kang-ouw, tapi belum pernah ia mendengar cerita tentang kekuatan jari tangan yang begitu hebat. Dengan menggunakan paku itu, Ouw Hui lalu me-nulis huruf-huruf di atas sebuah meja persegi dan setiap coretan masuk di papan kira-kira setengah cun dalamnya. Meja itu terbuat daripada kayu merah yang sangat keras dan bahwa Ouw Hui dapat berbuat begitu, dengan sesungguhnya merupakan kejadian luar biasa dalam Rimba Persilatan.

Kalau Ie Koan-kee, sebagai seorang ahli silat, terpesona oleh tenaga jari tangan pemuda itu, Yok Lan mengagumi huruf-huruf yang ditulisnya, yang bcrbunyi seperti berikut:

"Sedari lahir tulangnya bukan tulang sembarang orang,

Belum berkumis sudah menjadi seorang tay-tiang-hu, *)

Dalam menghadapi bahaya hanya mengandalkan sebatang pedang,

Ribuan emas datang hanya dengan sekali melempar dadu.

Janganlah nyanyikan lagu kedukaan,

Dunia ini hanya merupakan sebuah impian...."

Menulis sampai di situ, ia berhenti dan men-dongak mengawasi genteng untuk memikirkan dua baris yang berikutnya.

Tiba-tiba Yok Lan berkata: "Di erapat penjuru mengikat persahabatan. Dalam pertemuan, tanya dahulu, kawan atau lawan.

"Benar," kata pemuda itu sambil tertawa. Se-sudah selesai menulis, ia mengulangi dengan suara kagum: "Di empat penjuru mengikat persahabat. Dalam pertemuan, tanya dahulu, kawan atau la-wan."

"Dari tempat jauh Ouw Sie-heng datang di sini, tapi menyesal di gedung ini tak ada makanan untuk menjamu kau," kata si nona. "Khim-jie, ambillah arak."

"Majikan rumah ini telah berjanji untuk ber-

*) Tay-tiang-hu = Laki-laki tulen



temu dengan aku pada waktu ngo-sie, tapi mengapa dia masih belum muncul?" tanya Ouw Hui.

"Karena ada urusan penting, ia turun ke bawah dan sampai sekarang belum kembali," jawab si nona. "Untuk pelanggaran janji itu, siauw-moay terlebih dahulu ingin meminta maaf."

Melihat sikap dan mendengar perkataan nona Biauw, bukan main rasa herannya Ouw Hui. "Kata orang, keluarga Biauw, Hoan dan Tian terdiri dari jago-jago lihay," katanya di dalam hati. "Tapi me¬ngapa semua lelaki bersembunyi dan mereka meng-ajukan seorang wanita lemah untuk menghadapi aku? Nona ini sedikit pun tidak menunjuk rasa takut. Apakah ia memiliki ilmu silat sangat tinggi yang sengaja disembunyikan?"

Selagi ia bersangsi, Khim-jie sudah keluar de¬ngan sebelah tangan menyanggah sebuah nampan, yang terisi sebuah poci arak dan cangkir. Ia menaruh nampan itu di atas meja dan sambil menuang arak ke cangkir, ia berkata seraya tertawa: "Ouw Siang-kong, ayam, bebek, ikan, daging, sayur dan be-buahan di puncak ini semuanya telah dilemparkan ke bawah oleh Peng Sie-yamu. Maaf. Kami hanya bisa menyuguhkan kau secawan arak putih."

Sehabis berkata begitu, Khim-jie mengangsur-kan nampan dan pada detik nampan itu berada di antara Ouw Hui dan Yok Lan, tiba-tiba pemuda itu mengangkat tangan kirinya dan mendorong nampan tersebut ke arah pundak si nona. Dorongan itu sangat enteng, tapi disertai tenaga dalam, sehingga jika tidak dilawan dengan tenaga dalam jua, orang yang tersentuh seperti juga ditusuk senjata tajam. Yok Lan yang tidak mengerti ilmu silat hanya meng-angkat kedua tangannya dalam gerakan biasa untuk mendorong balik nampan itu.

Ic Koan-kee terkesiap. Ia tahu, bahwa kepan-daiannya masih kalah terlalu jauh dan andaikata ia mau coba menolong, pertolongan sudah tidak ke-buru lagi. "Cclaka!" ia mengeluarkan seruan ler-tahan.

Pada detik yang sangat berbahaya, bagaikan kilat tangan Ouw Hui menyambar dan menjepit nampan itu dengan kedua jarinya. Gerakannya te-pat sekali dan nampan tertahan pada saat me nyentuh pakaian si nona. Yok Lan sama sekali tak pernah mimpi, bahwa barusan dari hidup ia mcnuju ke kebinasaan dan dari kebinasaan, ia hidup kem-bali.

"Ayahmu adalah seorang yang ilmu silatnya tiada tandingan dalam dunia ini, tapi mengapa ia tidak mengajar ilmu itu kepada nona?" tanya Ouw Hui.

"Karena ayah ingin mengakhiri permusuhan yang sudah berjalan lebih seabad," jawabnya. "Ia telah mengambil keputusan untuk tidak mengajar Biauw-kee Kiam-hoat kepada siapapun jua."

Ouw Hui terkejut, sehingga cawan yang sudah diangkatnya berhenti di tengah udara. Sesaat ke-mudian, barulah ia meneguk isi cawan itu.

"Biauw Jin Hong! Oh, Biauw Jin Hong! Kau sungguh pantas mendapat gelar Tayhiap!" seru-nya.

"Kuingat cerita Thia-thia mengenai^ertemuan-nya dengan ayahmu," kata si nona. "Waktu itu. ayahmu mengundang ayahku untuk minum arak. Ada orang menasehati supaya ayah berjaga-jaga

akan kemugkinan ditaruhnya racun di dalam arak. Kata ayah: 'Ouw It To adalah seorang gagah pada jaman ini. Tak mungkin ia melakukan perbuatan serendah itu.' Hari ini aku menyuguhkan arak dan Ouw Sie-heng pun sudah minum tanpa ragu-ragu. Apa kau tidak khawatir diracuni?"

Ouw Hui tertawa dan mengeluarkan sebutir pel meiah dari mulutnya. "Ayahku binasa karena di-akali orang," katanya. "Jika tidak berhati-hati, hukankah aku seorang tolol? Yo-wan ini dapat mcmunahkan segala rupa racun. Tapi sekarang, sesudah mendengar perkataan nona, aku jadi malu dan merasa, bahwa pemandanganku sempit se¬kali." Sehabis berkata begitu, ia menuang pula secawan arak yang lalu diteguk hingga kering.

"Di gunung ini tidak ada makanan untuk minum arak," kata Yok Lan. "Siauw-moay merasa malu, karena tidak bisa menyuguhkan Sie-heng secara selayaknya. Orang jaman dahulu minum arak sambil membaca kitab Han-su. Siauw-moay ingin menabuh Han-khim untuk menggembirakan Sie-heng, tapi kukhawatir Sie-heng akan menertawai."

Ouw Hui girang. "Bagus!" serunya. "Cobalah, cobalah! Aku ingin sekali mendengar lagu-lagu mer-du yang ditabuh nona."

Tanpa menunggu perintah Khim-jiesegera ma-suk ke dalam dan keluar dengan membawa sebuah khini yang lalu ditaruh di alas meja. Ia pun segera inenyulut sebatang hio wangi dan menancapkannya di hiolo.

Yok Lan menabuh lagu "Sian-ong Sian-ong". Sesudah memetik beberapa saat, ia menyanyi: "Hari yang mendatang diliputi kesukaran, Mulut membakar, lidah kering, Hari ini penuh kebahagiaan, Ramai-ramai bergembira ria. Gunung tinggi-tinggi, Cie-co menari-nari, Dewa Ong Kiauw, Menghadiahkan sebutir yo-wan."

Sampai di situ ia berhenti menyanyi, tapi suara khim berkumandang terus. Ouw Hui tahu, bahwa yang dinyanyikan si nona adalah sajak "Sian-cay-heng", sebuah sajak yang melukiskan pembicaraan antara tuan rumah dan tamu dalam sebuah per-jamuan di jaman dahulu. Semenjak ahala Han dan Gui, sajak itu sudah jarang dikenal orang. Sungguh tak dinyana, dalam usahanya untuk membalas sakit hati di kali ini ia mendengar sajak yang tua itu. Empat kalimat yang didepan melukiskan ajakan tuan rumah supaya tamunya minum arak, sedang empat kalimat yang belakangan ialah pemberian selamat panjang umur dari pihak tamu. Tadi Ouw Hui mengulum yo-wan (pel) untuk memunahkan racun. Dalam nyanyian itu kebetulan terdapat kata-kata "Cie-to (rumput Leng-cie, yaitu rumput dewa) dan "yo-wan".

Sambil mengawasi sebatang pedang yang ter-gantung di dinding, Ouw Hui berkata: "Ada arak, ada nyanyian. Ada khim tidak bisa tidak ada pe¬dang." Seraya berkata begitu, ia mengambil senjata itu dan menghunusnya. Hawa dingin menyambar dari badan pedang yang berkilau-kilauan dan ia tahu, bahwa senjata itu senjata mustika. Ia segera menuang secawan arak dan kemudian, dengan tangan kiri mencekal cawan dan tangan kanan me-megang pedang, ia mulai menari-nari sambil me-nyanyikan lagu seperti berikut:

"Hanya sayang tangan bajuku pendek, Lenganku terbuka dan kedinginan Kumalu takpunya sesuatu, Untuk membalas Tio Soan."

Nyanyian itu berarti, bahwa si tamu merasa malu tidak bisa membalas budi tuan rumah, karena ia sangat miskin dan tak punya sesuatu yang ber-harga. (Tangan baju pendek dan lengan kedinginan berarti miskin).

Mendengar jawaban dari sajak "Sian-cay-heng" juga, Yok Lan jadi girang. "Dia ternyata bun-bu-siang-coan (mahir ilmu surat dan ilmu silat)," kata-nya di dalam hati. "Jika Thia-thia tahu, bahwa Ouw Pehpeh mempunyai putera yang begitu pintar dan gagah, ia tentu akan bersyukur." Karena hatinya senang, sambil bersenyum si nona lalu menyanyi pula:

"Rembulan menyelam, Bintang Pak-tauw naik, Sahabat diambang pintu, Lapar tidak keburu makan."

Sajak itu berarti, bahwa karena kunjungan se-orang sahabat, ia jadi begitu bergirang sehingga ia lupa makan, biarpun perutnya sangat lapar.

Sambil bersilat, Ouw Hui segera menyambungi:

"Kesenangan terlalu sedikit,

Kejengkelan terlampau banyak,

Bagaimana melupakun kedukaan?

"Tabuh-tabuhan, arak dan nyanyian,

Pat-kong dari Hoay-latn,

Luar biasa,

Mengendarai kereta enam naga,

Pesiar di angkasa."

Empat kalimat yang belakangan adalah untuk memberi selamal panjang umur kcpada tuan rumah dan merupakan jawaban pada sajak tuan rumah yang lebih dahulu.

Sesudah menyanyi, sambil melontarkan pcdang ke udara, Ouw Hui meneguk arak dan kemudian menangkap gagang pedang yang melayang turun. Tiba-tiba terdengar suara "cring!" dan si nona pun berhenti memetik khim. Mereka berdiri berhadap-an dan saling memberi hormat.

Ouw Hui lalu memasukkan pedang ke dalam sarung dan menggantungnya kembali di dinding. "Karena tuan rumah belum pulang, biarlah besok kudatang lagi," katanya sambil menuju ke kamar samping di sebelah Timur dengan tindakan lebar. Ia keluar lagi dengan rnenggendong Peng Ah Sie dan sesudah membungkuk kepada Yok Lan, segera bertindak ke arah pintu. Si nona mengantarnya sampai di ambang pintu. Dengan sekali berkelebat, pemuda itu sudah mulai merosot turun dari tambang yang menggelantung.

Yok Lan berdiri terpaku dan bagaikan linglung, ia mengawasi gunung yang tertutup salju. "Siocia, apa yang dipikir olehmu?" tanya Khim-jie. "Ma-suklah. Di sini dingin sekali."

"Aku tak dingin," jawabnya. Ia pun tak tahu, apa yang dipikirnya. Sesudah didesak dua kali lagi, barulah ia memutar badan dan kembali ke gedung dengan tindakan perlahan.

Di ruangan tengah sudah berkumpul banyak orang, orang-orang yang ladi bersembunyi. Begitu Yok Lan masuk, mereka bcrbangkit dan berebut mengajukan peitanyaan:

"Apa dia sudah pergi?"

"Apa yang dikatakan dia?"

"Kapan dia kembali?"

"Apa dia datang untuk membalas sakit hati?"

"Siapa yang dicari dia?"

Di dalam hati, si nona memandang mereka sebagai manusia-manusia rendah yang bernyali ti-kus. Dalam menghadapi bahaya, mereka kabur dan meninggalkan seorang wanila untuk menghadapi musuh. Maka itu. ia menjawab dengan saura dingin. "la tidak mengatakan apapun jua."

"Aku tak percaya," kata Po-sic. "Kau telah me-nemani dia lama sekali. Riar bagaimanapun jua, mcsti ada sesuatu yang dinyatakan olchnya."

Sambil menunjuk meja, Yok Lan berkata: "Apa yang ingin dikatakan nlehnya sudah ditulis di atas meja itu."

Tulisan itu siang-siang sudah dilihat Po-sieyang merasa tidak enak waktu membaca kalimat yang berbunyi: "Dalam perteinun, tanya dahulu kawan atau lawan." Mendengar jawaban Yok Lan, ia tidak berani membuka mulut lagi.

Melihat paras muka orang-orang itu yang pe-nuh rasa takut, di dalam hati si nona lantas saja timbul ingatan untuk menggertak mereka. "Menurut katanya saudara Ouw itu, kedatangannya adalah untuk membalas sakit hati karena ayahnya telah dibunuh orang," katanya. "Hanya sayang, mu-suh telah menyembunyikan diri. Sekarang ia men-jaga di kaki gunung untuk membinasakan musuh yang turun ke bawah $ turun satu, bunuh satu, turun dua, bunuh sepasang."

Semua orang terkesiap. Mereka benar-benar tengah menghadapi kebinasaan. Di atas, tak ada makanan -dibawahmenunggusetan pembetotjiwa.

Dalam permusuhan antara keluarga Ouw, Biauw, Hoan dan Tian, masih ada beberapa hal yang belum terang bagi Biauw Yok Lan, yang ingin sekali me-ngorek rahasia dengan mcnggunakan kesempatan tersebut. Maka itu, ia berkata: "Ouw Sie-heng me-ngatakan, bahwa semua orang yang berada di sini bermusuhan dengan dirinya. Tapi permusuhan itu berbeda-beda tingkatannya ada berat, ada enteng. Pembalasan sakit hatinya pun berbeda-beda berat terhadap yang berat dan enteng terhadap yang enteng. Supaya tidak mencelakai orang secara se-rampangan, ia minta aku menanya kalian, mengapa kalian berkumpul di tempat ini? Apakah kalian ingin mengeroyok dia?"

Kecuali Po-sie, semua orang lantas saja mem-bantah. Mereka menolak anggapan itu. Sedang nama Swat San Hui Ho baru pernah didengar mereka, sedang mereka pun tidak pernah bermusuhan de¬ngan si Rase Terbang, perlu apa mereka menge¬royok pemuda itu?

Sesudah semua orang mengeluarkan bantahan-nya, Yok Lan menengok ke arah To Pek Swee dan berkata: "To Pehpeh, ada sesuatu yang tidak terang bagi tit-lie (keponakan perempuanmu) dan tit-lie hendak mengajukan sebuah pertanyaan. Apa bo-leh?"

"Tentu saja boleh," jawabnya.

"Tadi," kata si nona, "Peng Ah Sie Peng Sie-ya memberitahukan bahwa Ouw It To Ouw Pehpeh telah minta bantuan Po-sie Taysu untuk menyam-paikan tiga hal kepada ayahku. Tapi Thia-thia be¬lum pernah menyebutkan hal itu. Barusan To Peh¬peh menyatakan bahwa Pehpeh tahu sebab mu-sababnya. Apakah Pehpeh sudi memberitahukan sebab musabab itu kepadaku?"

"Ya," jawabnya. "Biarpun nona tidak menanya, aku memang mau memberitahukan." Sambil menu-ding Wie Su Tiong, In Kiat, Co Hun Kie dan yang Iain-lain, ia berteriak: "Jago-jago Thian-liong-bun itu telah menuduh, bahwa puteraku telah men¬celakai Tian Kui Long Cin-kee! Huh-huh!" Suara si tua memang nyaring. Dalam gusarnya, suaranya lebih nyaring lagi. Sesudah berdiam sejenak untuk meredakan napasnya yang memburu, ia berkata pula: "Aku akan bercerita dari kepala sampai di buntut. Aku ingin minta pendapat kalian siapayang salah, siapa yang benar."

"Bagus!" kata In Kiat. "Kami memang ingin minta penjelasan dari To Locianpwee."

"Di waktu masih muda, dengan Tian Kui Long, aku jual beli tanpa modal," demikian To Pek Swee mulai.

Semua orang tahu, bahwa To Pek Swee seorang Liok-lim, Toa Ceecu (pemimpin pertama) dari sa-rang perampok Eng-ma-coan. Tapi mereka belum pernah mendengar, bahwa dahulu Tian Kui Long-pun pernah menjadi pcrampok. Semua orang kagei dan saling mcngawasi dengan sorot mala menanya. (Liok-lim = Rimba Hijau artinya kalangan pc¬rampok).

"Dusta!" teriak Co Hun Kie. "Guruku adalah seorang gagah dalam Rimba Pcrsilatan. Jangan ngaco! Tak bolch kau menodai nama baik guruku!"

"Kau memandang rendah orang-orang gagah dari Hek-to (Jalanan hitam = Perampok), tapi para enghiong dari Hek To pun memandang rendah segala orang gagah bebodoran yang bermacam se-perti kau!" kala si tua dengan suara keras. "Kami mencari nafkah dengan golok dan pedang. Apa bedanya dengan orang-orang seperti kamu yang menjadi cenleng, piauw-su dan sebagainya?"

Co Hun Kie berbangkit dengan darah meluap, tapi sebelum ia membuka mulut lagi, Tian Ceng Bun sudah menarik tangan bajunya seraya berkata: "Suko. sudahlah! Biarkan dia menutur terus."

Dengan muka merah padam Co Hun Kie meng-awasi To Pek Swee, tapi perlahan-lahan ia duduk kembali.

"Sedari kecii aku To Pek Swee menjadi pe¬rampok dan aku belum pernah berbohong," kata pula si tua, "Seorang laki-laki, berani berbuat, bc-rani menanggung akibalnya."

"To Pehpeh," kata Yok Lan, "Ayahku juga pernah mengatakan, bahwa di dalam Rimba Hijau pun terdapat enghiong dan hoohan (orang gagah), yang tidak boleh dipandang rendah oleh siapa pun jua. Sekarang sebaiknya Pehpeh meneruskan cerita mengenai Tian Siok siok."

"Kau dengarlah!" kata To Pek Swee sambil menuding Co Hun Kie. "Biauw Tayhiap sendiri mengatakan begitu. Apa kau lebih pintar daripada Biauw Tayhiap?"

Co Hun Kie mengeluarkan suara di hidung, tapi tidak mengatakan suatu apa lagi.

"Aku dan Tian Kui Long telah melakukan ba nyak perarnpokan besar dan sesudah menikah, baru-lah kita mencuci tangan," kata si tua dengan suara terlebih sabar. "Kalau dia memandang rendah orang-orang Hek-to, tak nanti ia sudi menjodohkan puteri tunggalnya dengan puteraku. Tapi... entahlah! Me-mang mungkin sekali ia berbesan denganku bukan karena baik hati. Bisa jadi dia mempunyai maksud tertentu. Mungkin ia ingin menutup mulutku, su~ paya aku tidak membuka satu rahasia besar."

"Pada waktu Tian Kui Long dan Hoan Pangcu mencegat suami isteri Ouw It To di Cong-eiu, aku menjadi pembantu Tian Kui Long. Di antara orang-orang yang dilimpuk jalan darahnya dengan Kim-chie-piauw oleh Ouw It To dari kereta, terdapat To Pek Swee. Belakangan, dalam pertempuran di atas genteng, Ouw Hujin telah merobohkan banyakorang dengan selendang sutera dan di antara orang-orang yang roboh juga terdapat To Pek Swee."

Mendengar sanipai di situ, tanpa merasa nona Biauw mengeluarkan seruan, "ah!"

To Pek Swee melanjutkan penuturannya: "Aku turut menyaksikan meninggalnya suami isteri Ouw It To. Kejadian itu sesuai dengan penuturan nona Biauw dan Peng Ah Sie. Cerita Po-sie Taysu hanya omong kosong."

Nona Biauw bertanya: "Jika Biauw Tayhiap mengetahui, bahwa Ouw It To bukan musuh yang telah membunuh ayahnya, mengapa ia tetap men-cari Ouw It To untuk bertanding? Kalian pasti akan menduga, bahwa semua itu karena gara-gara Po-sie yang tidak menyampaikan pesan Ouw It To kepada Biauw Tayhiap."

Semua orang memang menduga begitu, tapi sebab Po-sie berada di situ, mereka tak berani mengiakan.

To Pek Swee menggeleng-gelengkan kepala-nya, "Salah, salah sekali jika kalian menduga begitu,'' katanya. "Pikirlah. Giam Kie hanya seorang tabib, sebenarnya bukan tabib, hanya tukang mengobati luka-luka yang kedudukannya sangat rendah. Mana dia berani main gila di hadapan kedua jago itu? Ia telah menjalankan perintah, sesuai dengan keingin-an Ouw It To. Hanya Biauw Tayhiap tidak pernah mendengar ceritanya. Waktu dia pergi ke gedung itu, Biauw Tayhiap kebetulan keluar dan dia di-terima oleh Tian Kui Long. Kepada Tian Kui Long-lah, dia menyampaikan ketiga hal yang dipesan Ouw It To. 'Baiklah, kau pulang saja,' kata Tian Kui Long. 'Aku akan memberitahukan ketiga hal itu kepada Biauw Tayhiap. Kalau kau bertemu dengan Biauw Tayhiap, janganlah disebut-sebut lagi. Jika ditanya Ouw It To, katakan saja, bahwa kau sudah menyampaikan pesannya kepada Biauw Tayhiap." Sehabis berkata begitu, ia menghadiahkan tiga pu-luh tail perak. Melihat uang, mulut Giam Kie lantas saja bungkam."

"Mengapa Biauw Tayhiap tetap cari Ouw It To? Karena Tian Kui Long tidak menyampaikan ketiga hal itu kepada Biauw Tayhiap. Mengapa Tian Kui Long tidak menyampaikan? Kalian pasti akan menjawab begini: Sebab Tian Kui Long bermusuhan dengan Ouw It To, maka dia ingin meminjam tangan Biauw Tayhiap untuk membinasakan Ouw It To. Jawaban itu hanya benar sebagian. Memang benar Tian Kui Long mengharapkan binasanya Ouw It To. Tapi dia lebih-lebih ingin meminjam tangan Ouw It To untuk membunuh Biauw Tayhiap."

Keterangan itu diterima dengan rasa sangsi oleh para hadirin. Tian Kui Long ingin meminjam tangan Biauw Jin Hong untuk membunuh Ouw It To, guna membalas sakit hati. Ini memang masuk akal. Tapi terlalu gila jika dikatakan, bahwa dia mengharapkan kebinasaannya Biauw Jin Hong.

"Kalian tak percaya?" tanya To Pek Swee. "Baiklah. Aku akan memberi penjelasannya. Biauw Tayhiap...."

"To Pehpeh, tak usah diceritakan lagi," me-mutus nona Biauw. "Aku tahu mengapa dia ingin membunuh ayahku."

"Hm...! Memang lebih baik aku tidak menjelas-kan," kata si tua. "Secara diam-diam Tian Kui Long menyerahkan secepuk racun kepadaku dan minta supaya aku berusaha untuk melabur racun itu di senjata Ouw It To dan Biauw Tayhiap. Sebab sukar, aku segera menyerahkannya kepada Giam Kie. Coba kalian pikir, Ouw It To adalah seorang gagah yang jarang tandingan. Jika kena racun biasa, mana bisa ia gampang-gampang mati? Giam Kie hanya tukang mengobati luka-luka. Dia tentu tak punya racun yang lihay dan mahal harganya. Kalian pasti akan menanya: Ouw It To kena racun apa? Racun Thian-liong-bun yang tiada duanya dalam dunia ini. Pusut Tui-beng Tok-liong-cui yang sangat ditakuti. men-dapat nama besarnya karena racun itu."

Mendengar sampai di situ, orang-orang yang semula bersangsi iantas saja mulai percaya. Mereka melirik Wie Su Tiong, Co Hun Kie dan Iain-lain anggota Thian-liong-bun, yang biarpun gusar, tidak berani mengumbar nafsu amarahnya.

Sesudah berdiam sejenak, To Pek Swee melan jutkan penuturannya: "Hari itu, pada waktu Tian Kui Long menutup pintu dan menyimpan pedang dan mengadakan perjamuan besar, ia mengundang ratusan orang gagah dalam dunia Kang-ouw. Se-bagai besan, aku tiba beberapa hari lebih dahulu dari tamu biasa untuk memberi bantuan sekedar-nya. Menurut peraturan Thian-liong-bun, sesudah pemimpin Pak-cong menyimpan pedang, maka ki-tab pedang, Cong-tiap dan kotak besi yang menjadi pusaka partai, harus diserahkan kepada Lam-cong. In-heng, apakah aku tidak salah?"

In Kiat mengangguk beberapa kali.

"In Toa-cay-cu (hartawan) yang bergelar Wie-cin Thian-lam-cong," kata pula To Pek Swee. "Se-perti aku, ia pun tiba terlebih siang di gedung Tian Kui Long. Apakah Tian Kui Long menyerahkan kitab pedang, Cong-tiap dan kotak besi kepada Lam-cong, sebaiknya diceritakan oleh In-heng sen-diri."

Sesudah batuk-batuk beberapa kali, In Kiat berbangkit. "Jika urusan ini tidak dibuka oleh To Ceecu, aku sungkan membicarakannya di hadapan orang luar," katanya. "Urusan ini berbelit-belit dan memang juga, kalau aku terus menutup mulut, mungkin sekali para suheng dari Pak-cong akan merasa curiga. Beginilah kejadiannya: Hari itu, sesudah menjamu para tamu, Tian Suheng masuk ke ruangan dalam. Menurut peraturan partai, ia se-karang sudah boleh mengumpulkan anggota-ang-gota Pak-cong dan Lam-cong dan sesudah ber-sembahyang di hadapan sin-wie Cwan Ong, ia harus segera menyerahkan kotak besi kepadaku. Tapi sesudah masuk ke ruangan dalam, ia tidak keluar lagi. Aku menunggu sampai tengah malam, sampai semua tamu bubar. Tiba-tiba Tian Ceng Bun tit-lie keluar dan memberitahukan, bahwa karena kurang enak badan, maka penyerahan pusaka partai akan dilakukan pada keesokan harinya."

"Aku merasa sangat heran. Tadi, waktu me-layani tamu, Tian Suheng tidak memperlihatkan tanda-tanda sakit. Mengapa mendadak ia kurang enak badan? Di samping itu, penyerahan pusaka sangat sederhana hanya perlu bersembahyang. Mengapa harus ditunda sampai besok? Apa Tian Suheng tidak rela menyerahkannya?"

"In Suheng, dugaanmu tidak benar," sela Wie Su Tiong. "Jika tujuanmu hanya untuk menerima kitab dan kotak, Tian Suko tentu sudah siang-siang menyerahkannya kepadamu. Perlu apa kau meng-ajak begitu banyak jago? Kau tentu mcngandung maksud yang kurang baik.'

In Kiat tertawa dingin "Ilm! Maksud jelck apa bisa dipunyai olehku?" tanyanya

"Aku tahu segala niatanmu," jawabnya. "Begitu lekas kitab dan kotak berada dalam tanganmu, kau akan menggunakan kekerasan untuk mempersatu-kan Pak-cong dan Lam-cong, supaya kau bisa men¬jadi Ciang-bun-jin dari seluruh Thian-liong-bun."

Paras muka In Kiat berubah merah. "Bahwa Thian-liong-bun dipecah menjadi Pak-cong dan Lam-cong asal mulanya adalah untuk memudahkan pengurusan partai," katanya. "Waktu memegang pimpinan atas Pak-cong, Tian Suheng sendiri juga ingin sekali mempersatukan kedua bagian itu. Da lam usahaku, tujuanku yang satu-satunya adalah untuk memakmurkan partai kita dan menurut pen dapatku, maksud ini maksud yang baik. Biar ba-gaimanapun jua, tindakanku banyak lebih terhor-mat daripada tindakan Wie Suheng yang kasak-kusuk dengan Hun Kie untuk merampas kedudukan Ciang-bun-jin."

Mendengar kedua belah pihak saling membuka rahasia busuk, semua orang tertawa di dalam hati. Yok Lan yang sungkan mendengar lebih jauh pe-rebutan kekuasaan itu, lantas saja berkata: "Habis bagaimana?"

"Aku segera pergi ke kamarku dan berdamai dengan para sutee," jawab In Kiat. "Mereka ber-pendapat, bahwa Tian Suheng pasti bermaksud tidak baik dan mereka mendesak supaya aku me-nyelidiki"

"Aku segera pergi ke kamar tidur Tian Suheng dengan berlagak mau menanya penyakitnya. Aku bertemu dengan Tian Ceng Bun Tit-lie, yang de¬ngan mata merah karena menangis, berdiri di am-bang pintu. 'Ayah sudah tidur. In Siok-hu kembali saja. Terima kasih atas kebaikanmu.' katanya. Me-lihat sikapnya yang luar biasa, aku jadi heran. An-daikata Tian Suheng benar sakit, ia pun tak perlu menangis begitu hebat. Aku segera balik ke ka¬marku dan berselang setengah jam, sesudah me-nyalin pakaian, aku kembali dan berdiri di depan pintu kamar Tian Suheng untuk menengok pe¬nyakitnya...."

"Buk!" Wie Su Tiong menumbuk meja. "Huh! Menengok penyakit!" bentaknya. "Apakah seorang yang mau menengok kawan yang sakit, berdiri di luar pintu?"

In Kiat bersenyum tawar. "Kalau aku mencuri dengar pembicaraan, mau apa kau?" tanyanya de¬ngan kaku. "Benar aku bersembunyi di depan jen-dela dan mendengari pembicaraan di dalam kamar. 'Kau tak usah mendesak aku,' kata Tian Suheng. 'Hari ini aku menutup pintu dan menyimpan pedang dan di hadapan semua orang gagah, aku sudah menyerahkan kedudukan Ciang-bun-jin dari Pak-cong Thian-liong-bun kepada Hun Kie. Pengumum-an ini tak dapat diubah lagi.' Di lain saat kudengar Wie Su Tiong, Wie Suheng, berkata: 'Bagaimana aku berani mendesak Suko? tapi sesudah Hun Kie dan Tian Ceng Bun berlaku begitu busuk sehingga mereka mendapat anak mana bisa orang-orang kita takluk terhadapnya?"

Sekonyong-konyong terdengar suara gedubrak-an. Ternyata, Tian Ceng Bun jatuh bersama-sama kursi dan ia rebah dalam keadaan pingsan.

Tanpa mengatakan suatu apa, To Cu An segera membacok kepala Co Hun Kie dengan goloknya. Karena tidak bersenjata, Hun Kie menangkis de¬ngan kursi. Mendengar calon menantunya melaku-kan perbuatan yang sebusuk itu, To Pek Swee berteriak-teriak bagaikan kalap. Ia mengangkat kursi dan turut menyerang Coan Kim Hoat.

Terhadap orang-orang luar, Thian-liong-bun biasanya bersatu padu. Tapi sekarang, karena yang bertempur adalah orang-orang sendiri yang saling membuka rahasia busuk, tak satu pun yang ber-gerak. Keadaan lantas saja menjadi kalut.

"Berhcnti!" tcriak Biauw Yok Lan. "Semua orang berhenti! Duduk!"

Entah mengapa perkataan si nona mempunyai pengaruh luar biasa. To Cu An kelihatan terkejut dan segera mcnarik pulang goloknya, tapi To Pek Swee masih mengamuk terus dcngan kursinya. Sam-bil mencckal kursi itu, To Cu An berkata: "Thia, berhentilah dahulu. Biarlah semua orang mende-ngar cerita ini sampai diakhirnya, supaya mereka bisa menimbang, siapa salah, siapa benar." Men-dengar perkataan puteranya, si tua lantas berhenti mengamuk.

"Khim-jie," kata pula Yok Lan. "Ajaklah nona Tian ke kamar untuk mengaso." Perlahan-lahan Tian Ceng Bun tersadar. Dengan paras muka pucat, ia berjalan masuk ke ruangan dalam sambil menun-dukkan kepala. Semua orang lantas saja mengawasi In Kiat dan mengharap supaya ia meneruskan pe-nuturannya.

Kata In Kiat: "Kudengar Tian Suheng menghela napas dan berkata: 'Pembalasan! Inilah pemba-lasan!' Sesudah menghela napas lagi berulang-ulang, barulah ia berkata dengan suara perlahan: 'Biarlah kita berdamai lagi besok. Pergilah! Minta Cu An datang kemari. Aku ingin bicara dengan dia.'"

Seraya mengawasi ayah dan anak she To itu, In Kiat melanjutkan penuturannya: "Wie Suheng ma¬sih mau bertengkar, tapi Tian Suheng sudah lantas menepuk ranjang dan membentak dengan gusar: 'Apa kau mau mendesak sampai aku mampus?'

Dibentak begitu Wie Suheng tidak berani bersuara lagi dan sambil berjalan keluar lalu membuka pintu. Karena aku mencuri dengar pembicaraan orang dan juga sebab pembicaraan itu tiada sangkut pautnya dengan Lam-cong, maka buru-buru aku kembali ke kamarku supaya jangan sampai berpapasan dengan Wie Suheng."

Wie Su Tiong tertawa dingin dan berkata: "Ma-lam itu, begitu bertindak keluar, kulihat berke-lebatnya bayangan hitam. 'Anjing dari mana berani mencuri dengar pembicaraan orang?' Bentakku. Aku tidak menduga mendapat jawaban dan aku menduga, bahwa bayangan itu adalah bayangan sebangsa anjing geladak. Tak dinyana, orang itu In Suheng adanya. Maat", maafkan aku." Seraya ber¬kata begitu, ia menyoja.

Walaupun mulutnya meminla maaf, ia sebenar-nya mencaci In Kiat yang paras mukanya lantas saja berubah. Tapi In Kiat sabar luar biasa. Ia membalas hormat dan berkata sambil tertawa: "Tidak tahu tidak bersalah. Wie Suheng jangan berlaku begitu

sungkan."

"Sekarang giliranku," kata To Cu An. "Sesudah beramai-ramai membuka rahasia, aku pun mau membuka mulut. Aku... aku...." Ia tidak bisa mene¬ruskan perkataannya karena hatinya bergoncang keras, sedang air mata mengalir turun di kedua pipinya. Melihat menangisnya seorang pemuda ga-gah, semua orang jadi merasa kasihan. Mereka melirik Co Hun Kie dengan rasa sedikit mendongkol.

"Kau sungguh tolol! Perlu apa kau memper-lihatkan kelemahanmu di sini!" bentak sang ayah.

"Untung juga kau belum menikah, sehingga per-buatan terkutuk itu tidak menodai keluarga kita." Sesudah menyusut air mata dengan tangan baju-nya, To Cu An berkata pula: "Dulu-dulu setiap kali aku datang berkunjung ke rumah... ke rumah.... Tian Pehhu...." Mendengar Cu An menggunakan panggilan "pehhu" (paman) dan bukan "Gakhu" (mertua), diam-diam Co Hun Kie merasa girang. "Aku girang bocah itu tidak mengakui Ceng-moay sebagai isterinya," katanya di dalam hati.

To Cu An melanjutkan penuturannya: "Kalau ada orang, Ceng-moay selalu menyingkir jauh-jauh dengan paras muka kemerah-merahan dan tidak mau bicara denganku. Tapi kalau tak ada orang lain, ia mau beromong-omong dengan sikap mencintai. Setiap kali aku memberikan sesuatu kepadanya, ada saja balasannya, misalnya dompet uang, baju ma-kwa dan sebagainya...."

Muka Coan Kim Hoat tak enak dilihat. Ia mendongkol mendengar pengakuan saingannya.

"Waktu Tian Pehhu bikin pesta, dengan pe-nuh kegembiraan, aku mengikuti ayah," kata pula To Cu An. "Begitu melihat Ceng-moay, aku kaget. Mukanya pucat dan kurus, seperti baru saja sem-buh dari penyakit berat. Aku merasa kasihan dan dimana ada kesempatan, aku selalu coba meng-hibur padanya. Aku tanya ia sakit apa. Bermula jawabannya tak terang. Belakangan, waktu aku mendesak, ia jadi gusar dan menyemprot aku dengan perkataan pedas dan kemudian tak mau meladeni aku lagi."

"Aku bingung dan jengkel. Tentu saja aku tak punya kegembiraan untuk makan minum. Secara kebetulan aku bertemu dengan ia di taman bunga. Ia ternyata baru habis menangis kedua matanya merah. Aku segera meminta maaf. 'Ceng-moay, akulah yang salah,' kataku. 'Kau jangan marah.' Tiba-tiba ia bergusar. 'Jangan rewel! Aku ingin mati!' bentaknya. Aku makin bingung. Waktu kem-bali ke kamarku hatiku makin tak enak. Aku me-mutar otak untuk mencari sebab-musabab dari ke-gusarannya. Perlahan-lahan aku bangun dan pergi ke kamarnya. Aku mengetuk tiga kali di bawah jendela. Itulah pertandaan yang digunakan kalau kami ingin saling bertemu. Tapi kali ini, sesudah mengetuk berulang-ulang, aku tidak mendapat ja-

waban."

"Aku menarik jendela yang ternyata tidak di-kunci dan lantas terbuka. Kamar gelap gulita. Ka¬rena sangat ingin bicara dengannya, aku segera masuk dengan melompati jendela...."

"Perlu apa kau masuk ke kamar seorang gadis di tengah malam buta!" bentak Co Hun Kie.

Sebelum To Cu An keburu menjawab, Khim-jie sudah mendahului: "Perlu apa kau campur-campur? Mereka adalah tunangan."

Sambil mengawasi budaknya Yok Lan, To Cu An manggut-manggut dan lalu berkata pula: "Di depan ranjang kulihat sepasang sepatu. Dengan memberanikan hati aku menyingkap kelambu dan meraba-raba. Tiba-tiba tanganku menyentuh satu bungkusan, tapi Ceng-moay sendiri tidak berada di ranjang itu. Rasa heranku makin menjadi-jadi dan aku lalu meraba-raba lagi bungkusan itu. Tiba-tiba hatiku mencelos. Bayi...! Mayat bayi yang sudah mati lama juga, karena badannya sudah dingin.

Rupanya bayi itu mati kehabisan napas...."

"Trang!" cangkir teh yang dicekal Yok Lan jatuh dan paras muka si nona berubah pucat.

"Kalian kaget?" tanya To Cu An. "Kalau se-karang kalian kaget, kagetku diwaktu itu lebih-lebih lagi. Hampir-hampir aku berteriak. Sekonyong-ko-nyong kudengar tindakan kaki dan seorang masuk ke dalam kamar. Buru-buru aku bersembunyi di kolong ranjang. Orang itu, yang ternyata bukan lain daripada Ceng-moay sendiri, duduk di pinggir ran¬jang dan menangis. Ia mendukung mayat bayi dan menciumnya berulang-ulang. 'Anak, janganlah kau gusari ibumu yang sudah membunuh kau. Hati ibu-mu seperti disayat pisau. Tapi kalau kau hidup, ibu tak bisa hidup. Ibumu memang kejam.'"

"Bulu romaku bangun semua. Dengan anjing geladak dari mana dia membikin perhubungan ra-hasia? Akhirnya, dia bangun dan sesudah menutup bayi itu dengan mantel, ia keluar dari kamarnya. Akupun merangkak keluar dari kolong ranjang dan mengikuti dari beiakang. Waktu itu, aku sedih dan marah. Aku mengambil keputusan untuk mencari tahu siapa kecintaannya."

"Ia pergi ke belakang taman dan keluar dengan melompati tembok. Dari jauh aku menguntit terus. Sesudah berjalan kira-kira setengah li, ia tiba di satu tempat pekuburap. Dari bawah mantel ia menge-luarkan cangkul pendek. Baru saja mau mencang-kul, tiba-tiba terdengar suara bentrokan antara besi dan batu. Ada seorang lain menggali tanah! Ia kaget dan buru-buru mendekam. Selang beberapa saat, ia merangkak dan mendekati suara itu. Indap-indap aku mengikuti dari beiakang. Tak lama kemudian kulihat sebuah lentera di samping satu kuburan dan dengan pertolongan sinar lentera, kulihat satu ba-yangan hitam sedang menggali tanah."

"Orang itu membuat lubang. 'Apa dia juga mau mengubur bayi?' Tanyaku di dalam hati. Sesudah beres menggali, orang itu menjumput sebuah bung-kusan panjang dari atas tanah, bentuk bungkusan sangat menyerupai mayat bayi. Ia menaruh bung¬kusan itu di dalam lubang dan kemudian mengu-ruknya dengan tanah. Tiba-tiba ia menengok ke jurusanku. Aku terkesiap sebab orang itu bukan lain daripada Hui-liong-kiam Ciu Hun Yang, Ciu Su-heng."

Muka Ciu Hun Yang yang sedari tadi sudah pucat, sekarang jadi makin pucat.

To Cu An melanjutkan penuturannya: "Aku sungguh bingung. Apa bangsat she Ciu itu yang main gila dengan Ceng-moay? Mengapa ia pun mengubur bayi? Melihat dia, Ceng-moay buru-buru merebah-kan dirinya di tanah dan tidak maju lagi. Sementara itu, Ciu Suheng menginjak-injak tanah urukan, me-nanam rumput di atasnya dan menyebar batu-batu di atas rumput, supaya orang tidak mengenali galian itu. Sesudah beres, barulah ia menyingkir."

"Begitu lekas Ciu Suheng berlalu, cepat-cepat Ceng-moay menggali lubang dan mengubur bayinya. Sesudah itu, ia menghampiri kuburan yang tadi dibuat Ciu Suheng dan lalu menggalinya untuk menyelidiki benda yang berisi di dalamnya. Apa celaka, baru saja Ceng-moay mencangkul beberapa kali, Ciu Suheng balik kembali. 'Ceng-moay bikin apa kau?' tanyanya. Ternyata ia seorang yang sangat berhati-hati. Tadi ia hanya berlagak menyingkir dan sekarang balik kembali untuk memeriksa tanaman-nya. Ceng-moay kaget dan melompat. la melem-parkan cangkul di tanah dan tidak dapat menjawab pertanyaan Ciu Suheng."

"Ciu Suheng tertawa dingin. 'Adik Ceng Bun,' katanya. 'Kau tahu aku tanam apa, aku pun tahu kau tanam apa. Kalau rahasia mau disimpan, kita menyimpan bersama-sama. Kalau mau dibuka, kita membuka bersama-sama.' 'Baik,' kata Ceng-moay. 'Kalau begitu, kau bersumpahlah.' Ciu Suheng lan-tas saja bersumpah, begitu juga Ceng-moay. Se-sudah itu, mereka segera kembali ke gedung."

"Melihat lagak kedua orang itu, aku bersangsi. Kutak tahu perhubungan apa terdapat di antara mereka. Diam-diam aku menguntit dengan tangan menggenggam senjata rahasia beracun. Aku meng-ambil keputusan, asal mereka menunjukkan lagak seperti kecintaan atau mengeluarkan perkataan yang tidak enak didengar, aku akan segera menimpuk. Tapi mereka bernasib baik. Dari pekuburan ke gedung, mereka berjalan dengan terpisah jauh satu sama lain dan mereka tidak mengeluarkan sepatah kata. Ceng-moay kembali ke kamarnya dengan me-nangis segak-seguk. Sambil berdiri di bawah jen-dela, macam-macam niatan masuk ke dalam otakku. Aku ingin menerobos masuk dan membacok mam-pus padanya, aku ingin membakar perkampungan keluarga Tian sampai menjadi rata dengan bumi, aku ingin membeber rahasianya.... Akhirnya aku meng-ambil satu keputusan. Sebelum bertindak lebih jauh, aku akan menyelidiki siapa adanya lelaki bang-sat itu."

"Dengan badan dingin aku balik ke kamarku.



Ayah sudah menggeros. Aku berdiri seperti patung. Entah sudah lewat berapa lama, tiba-tiba Susiok memanggil aku dan memberitahukan, bahwa Tian Pehhu ingin bicara denganku. 'Inilah dial' kataku di dalam hati. 'Coba kudengar apa yang akan di-katakan olehnya. Apa dia mau membujuk supaya aku membatalkan pernikahan? Apa dia akan ber-lagak pilon?' Sesudah menyampaikan keinginan Tian Pehhu, Wie Susiok segera berlalu. Karena khawatir terjadi sesuatu yang hebat, aku membangunkan ayah dan minta supaya ia berjaga-jaga. Dengan membawa senjata dan senjata rahasia, bahkan gen-dewa dan anak panah yang disembunyikan dalam jubah, aku segera menuju ke kamar Tian Pehhu."

"Begitu masuk, kulihat Tian Pehhu rebah di ranjang dengan mata mengawasi langit-langit pem-baringan. Ia mencekal selembar kertas putih dalam tangannya dan ia rupanya tak tahu masuknya aku. Aku batuk-batuk dan menegur: 'A-thia!" Ia ke-lihatan kaget dan buru-buru memasukkan kertas putih itu di bawah kasur. 'Ah, Cu An, kau?' katanya. Aku mendongkol. Bukankah dia sendiri yang me¬manggil aku? Tapi melihat mukanya, aku yakin, bahwa ia benar-benar sedang ketakutan hebat. Ia menyuruh aku memalang pintu, tapi belakangan meminta aku mementang jendela, sebab ia khawatir ada orang yang bersembunyi di luar jendela. 'Cu An,' katanya. 'Jiwaku terancam dan aku minta per-tolonganmu."'

Sekonyong-konyong Coan Kim Hoat berbang-kit dan membentak seraya menuding Cu An: "Omong kosong! Tak bisa jadi guruku meminta bantuan bocah cilik seperti kau! Apa kepandaianmu?"

Tanpa meladeni bentakan itu, Cu An mene-ruskan penuturannya: "Mendengar perkataan itu, aku kaget, 'Gakhu, apapun jua yang diperintah olehmu, biarpun mesti masuk di dalam apt, aku pasti tak akan menolak.' Tian Pehhu manggut-mang-gutkan kepalanya. Dari bawah seiimut ia menge-luarkan satu bungkusan sutera sulam yang panjang dan memberikannya kepadaku. 'Bawalah barang ini dan malam ini juga kau pergi ke luar Tembok Besar,' katanya. 'Pendamlah di tempat yang tidak ada ma-nusianya. Jika tidak diketahui orang, mungkin sekali kau akan bisa menolong jiwaku.'"

"Aku menyambuti. Bungkusan itu ternyata be-rat sekali, seperti juga besi. 'Gakhu, apa ini?' ta-nyaku. 'Siapa yang maui jiwamu?' Tian Pehhu me-ngibas tangannya. Ia kelihatannya lelah sekali. 'Per¬gi lekas-lekas!' katanya. 'Malah kepada ayahmu sendiri, kau tidak boleh beritahukan hal ini. Kalau terlambat, mungkin tak keburu lagi. Aku melarang keras kau membuka bungkusan itu.' Aku tidak berani menanya lagi. Aku memutar badan dan se¬gera bertindak keluar. Tapi baru tiba di ambang pintu, Tian Pehhu mendadak berkata: 'Cu An, apa yang disembunyikan di dalam jubahmu?' Aku ter-kesiap. Matanya sungguh lihay! 'Senjata, gendewa dan anak panah,' jawabku. 'Sebab hari ini banyak tamu dan karena khawatir ada orang jahat, maka aku membekal senjata untuk menjaga terjadinya sesuatu.' Ia mengangguk dan berkata: 'Bagus. Kau sangat hati-hati. Kalau Hun Kie bisa turut ke-telitianmu, aku akan merasa terlebih senang. Serah-kanlah gendewa dan anak panah itu kepadaku!'"

"Aku segera mengeluarkan dan menyerahkan apa yang diminta. Ia mengambil sebatang anak panah, yang sesudah dibolak-balik beberapa kali, lalu dipasang pada gendewa. 'Kau pergilah!' kata¬nya. Melihat paras mukanya, aku sangat khawatir. Kukhawatir, selagi berjalan keluar, ia memanah punggungku! Maka itu, dengan berlagak memberi hormat, sambil membungkuk, aku jalan mundur dan sesudah keluar dari pintu, dengan mendadak aku memutar badan dan berjalan cepat-cepat. Sebab kepingin tahu, sekali lagi aku menengok. Ternyata, ia menjuju anak panah ke arah mulut jendela."

"Dengan penuh kecurigaan, aku balik ke ka-marku. Disamping rasa ketakutan, dari paras muka¬nya, Tian Pehhu seperti juga sedang menyembunyi-kan sesuatu. Aku merasa pasti, ia mengandung maksud tak baik terhadapku. Maka itu, aku segera menceritakan pengalamanku kepada ayah. Tapi se¬bab khawatir ia marah, halnya Ceng Bun moay-cu tidak disebut-sebut olehku. 'Paling benar kita buka bungkusan itu,' kata ayah. Aku menyetujui dan kami segera membukanya. Di dalam bungkusan ternyata berisi kotak besi itu."

"Kotak besi itu adalah mustika dari Thian-liong-bun. Aku sudah pernah mendengar penuturan Ceng-moay. Ayah dan Tian Pehhu adalah kawan lama dan dengan mata sendiri, pernah lihat, cara bagaimana Tian Pehhu merampasnya dari tangan ahli waris Ouw It To. Belakangan ia menaruh golok komando Cwan Ong di dalam kotak ini. 'Sungguh meng-herankan,' kata ayah. 'Mengapa dia menyerahkan kotak ini kepadamu.' Ayah tahu, bahwa pada kotak ini dipasang anak panah yang bisa melesat sendiri dan juga tahu cara membuka"kotak. Ia segera mem-bukanya. Dilain saat, kami mengawasi tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata. Ternyata kotak itu kosong. 'Apa artinya ini?' kata ayah. Aku sudah menduga artinya. Aku menduga pasti, bahwa Tian Pehhu ingin mencelakai diriku. la menyembunyikan golok mustika di tempat lain dan menyerahkan kotaknya kepadaku. la tentu sudah memerintahkan orang mencegat dan membekuk aku di tengah jalan. Aku tentu akan dituduh mencuri golok dan jika aku tidak bisa mengeluarkan golok mustika itu, aku pasti akan dibunuh. Dengan demikian, pernikahan-ku dengan Ceng-moay akan batal sendirinya dan Ceng-moay bisa menikah dengan Co Suheng. Ayah yang belum tahu latar belakang itu, tentu saja tidak bisa menduga maksud Tian Pehhu."

"Dusta!" teriak Co Hun Kie. "Kau sudah mem-binasakan guruku dan mencuri golok mustika. Se-karang kau mengeluarkan omongan gila-gila."

To Cu An tertawa dingin. "Biarpun Tian Pehhu sudah meninggal dunia, aku masih memegang buk-ti," katanya.

Co Hun Kie berjingkrak-jingkrak bahna gusar-nya. "Bukti?" teriaknya. "Bukti apa? Keluarkan, supaya semua orang bisa melihatnya!"

"Kalau sudah tiba waktunya aku pasti akan mengeluarkan bukti itu," jawabnya dengan tenang. "Tuan-tuan, sebab Co Suheng selalu memutuskan penuturanku, maka lebih baik dia saja yang meng-gantikan bicara."

"Co Hun Kie," kata Po-sie, "Tadi kau coba menggulingkan loo-lap ke bawah gunung dan loo-lap belum berhitungan denganmu."

Pemuda itu ketakutan dan tidak berani membuka mulut lagi.

Cu An melanjutkan penuturannya: "Kutahu ke-adaan sudah mendesak. Begitu keluar dari pintu keluarga Tian dengan membawa kotak besi, aku bisa mati. Bukan saja mati, namaku pun akan men-jadi rusak. 'Thia, hal ini ada latar belakangnya yang berbelit-belit,' kataku. 'Paling selamat aku mengem-balikannya kepada Gakhu.' Aku segera membung-kus lagi kotak itu dengan bungkusannya dan me-nyiapkan beberapa perkataan untuk menyentil Tian Pehhu. Tapi waktu tiba di depan kamarnya, lampu sudah dipadamkan dan jendela tertutup rapat. 'Ga¬khu! Gakhu!' aku memanggil. Tapi tak dapat ja-waban. Aku bercuriga. Tian Pehhu memiliki kepan-daian tinggi dan biarpun lagi pulas, ia tentu sudah tersadar kalau dipanggil-panggil. Apa dia sengaja tidak mau meladeni aku?"

"Makin lama aku makin ketakutan. Apa murid-murid Thian-liong-bun sudah bersembunyi di se-kitar aku dan akan segera menyergap aku? Maka itu, sambil mengetuk-ngetuk pintu, aku berkata: 'Gakhu! Aku pulangkan bungkusan. Kami mem-punyai urusan penting dan tidak bisa menjalankan perintahmu.' Tapi tetap tidak terdengar jawaban. Aku bingung. Dengan golok aku mengorek palang pintu dan sesudah pintu terbuka, aku masuk ke kamar yang gelap gulita. Aku segera menyalakan api dan menyulut lilin. Tiba-tiba aku terkesiap. Kulihat Tian Pehhu rebah di pembaringan tanpa bcrnyawa lagi, sedang di dadanya tertancap se-batang anak panah, yaitu anak panahku yang baru-san kuberikan kepadanya. Mukanya menakutkan, seperti juga ia telah melihat pemandangan hebat pada sebelum menutup rnata."

"Untuk bcberapa saat, aku berdiri bagaikan patung. Aku tak tahu harus berbuat bagaimana. Jendela terkunci. Cara bagaimana pcmbunuh bisa masuk ke dalam kamar? Aku mendongak, tapi se-mua genteng tetap utuh. Hal ini membuktikan, bahwa pcmbunuh tidak mcnggunakan jalan dari atas genteng. Baru saja aku mau menyelidiki lagi, tiba-tiba kudengar tindakan kaki beberapa orang di lorong, di luar kamar. Aku kaget. Tian Pehhu mati dengan dada tertancapsebatanganak panahku. Jika ada orang masuk ke kamar, bagaimana aku bisa meloloskan diri? Buru-buru aku mengambil gen-dewa yang menggeletak di atas sclirnut. Baru saja aku mau mencabut anak panah yang menancap di dada, dengan bantuan sinar lilin, kulihat dua rupa benda di atas pembaringan. Hatiku mencelos, ta-nganku bergemetaran, ciaktay jatuh dan lilin pa-dam."

"Apakah kalian bisa menebak kedua benda yang dilihat olehku? Kalian pasti tak akan bisa menebak. Yang satu golok mustika, yang lain mayat yang mati dikubur oleh Ceng-moay! Dalam otakku berkelebat anggapan, bahwa bayi itu keluar dari kuburannya untuk minta ganti jiwa karena penasaran. Dalam bingung, aku menjemput golok mustika dan lantas kabur. Baru saja tiba di ambang pintu, mendadak kuingat serupa hal. Dengan memberanikan hati, aku kembali lagi dan meraba-raba di bawah kasur Tian Pehhu. Benar saja aku dapatkan selembar kertas putih. Aku merasa pasti, bahwa kertas itu mempunyai sangkut paut dengan kebinasaan Tian Pehhu. Aku tak berani menyalakan lilin lagi dan segera memasukkan kertas itu ke dalam saku. Selagi mengangsurkan tangan untuk mencabut anak pa¬nah, kupingku menangkap suara tindakan kaki dan tiga orang bertindak ke ambang pintu. Celaka! Jika ketahuan, aku pasti akan binasa, pikirku."

"Dalam menghadapi bahaya, bagaikan kilat aku masuk ke kolong ranjang. Ketiga orang itu men-dorong pintu dan lantas masuk. Mercka adalah Wic Susiok, Co Suheng dan Ciu Suheng. 'Suko!' me-manggil Wie Susiok. Karena tak dijawab, ia segera menyuruh Ciu Suheng menyulut lilin. Aku ketakut-an setengah mati. Begitu lekas lilin menyala. mereka akan tahu kebinasaan Tian Pehhu dan kalau mereka menggeledah kamar, jiwaku pasti akan melayang. Mengingat begitu, jalan satu-satunya bagiku adalah coba kabur waktu kamar masih gelap."

"Wic Susiok dan Co Suheng memiliki kepan-dnian tinggi. Seorang diri aku pasti tak akan bisa melawan mereka. Tapi jika kukabur dengan tiba-tiba, mungkin sekali aku masih bisa meloloskan diri. Aku tidak boleh bersangsi lagi. Perlahan-lahan aku merangkak ke pinggir ranjang. Baru saja aku mau melompat keluar, tanganku men¬dadak mcnyentuh muka seorang! Ada seorang lain yang bcrsembunyi di situ! Karena kaget, hampir-hampir aku berteriak. Bagaikan kilat, orang itu meneengkeram nadiku. Aku mengeluh. Tapi dia segera menulis huruf-huruf bcgini di tclapak ta¬nganku: Kita keluar bersama-sama.' Aku girang. Sesaat iiu, kamar terang bendcrang Ciu Suko menenteng sebuah teng."

"Dari kolong ranjang orang itu mclepaskan senjata rahasia yang berhasil memadamkan lilin Teng. Dengan sekali membalik tangan, ia merampas golok mustika yang dicekal olehku. Dengan ber-gulingan aku keluar dari kolong ranjang dan lalu kabur sekuat tenagaku. Orang itu juga turut keluar. 'Bangsat!' bentak Wie Susiok sambil menghantam. Wie Susiok berkepandaian tinggi. Orang itu mung-kin tak akan bisa meloloskan diri. Dengan terbirit-birit aku kembali ke kamar, membangunkan ayah dan malam-malam kami meninggalkan gedung ke-luarga Tian."

"Itulah pengalamanku. Kotak besi itu telah di-berikan kepadaku oleh Tian Pehhu yang meme-rintahkan, supaya aku memendamnya di luar Tem-bok Besar. Aku sudah melakukan perintah itu. Dilain pihak, karena menemukan anak panahku di dada Tian Pehhu, para susiok dan suheng dari Thian-liong-bun sudah menduga bahwa Tian Pehhu dibunuh olehku. Aku tidak dapat menyalahkan me-reka. Hanya sayang aku tak tahu siapa adanya orang yang bersembunyi di kolong ranjang bersama-sama aku. Kalau kutahu, aku tentu bisa mencarinya untuk dijadikan saksi. Tapi biarpun begitu, aku tahu siapa yang sudah membunuh Tian Pehhu. Tuan-tuan, sekarang lihatlah. Selembar kertas yang akan segera dikeluarkan olehku adalah kertas yang disembunyi-kan di bawah kasur oleh Tian Pehhu. Sebab takut dibunuh oleh musuhnya, ia mementang gendewa yang ditujukan ke jendela. Yang ditunggu olehnya adalah orang itu. Tapi orang itu toh datang juga dan Tian Pehhu tak bisa terlolos." Seraya berkata be¬gitu, ia mengeluarkan satu kantong sulam dari saku-nya. Semua orang tahu, bahwa kantong itu yang sangat indah sulamannya, dibuat oleh Tian Ceng Bun. Tanpa merasa mereka menengok ke arah Co Hun Kie. To Cu An membuka kantong dan me¬ngeluarkan selembar kertas. Semula ia bergerak untuk menyerahkannya kepada Po-sie, tapi sesudah bersangsi sejenak, ia mengangsurkan kertas itu ke¬pada Biauw Yok Lan.

Si nona segera membuka lipatan kertas dan begitu melihatnya, ia mengeluarkan seruan kaget. Ternyata, di atas kertas itu tertulis dua baris huruf: "Selamat kepada Tian Locianpwee yang had ini menutup pintu dan menyimpan pedang. Kekayaan dan umur semua berpulang. Boanpwee Ouw Hui akan datang untuk memberi hormat." Huruf-huruf itu indah sekali, tiada bedanya dengan huruf-huruf di atas surat yang diantar oleh sepasang bocah. Tak bisa salah lagi, itulah tulisan tangan dari Swat San Hui Ho Ouw Hui. Dengan tangan agak bergemetar Yok Lan memegang kertas itu. "Apa dia?" katanya dengan suara hampir tak kedengaran.

Wie Su Tiong mengambil kertas itu dari tangan Yok Lan dan sesudah membaca, ia berkata: "Benar tulisan Ouw Hui. Dengan begini kita sudah salah menyangka Cu An." Tiba-tiba ia berpaling kepada Lauw Goan Ho dan berkata: "Lauw Tayjin, perlu apa kau bersembunyi di kolong ranjang Tian Sutee? Apa kau disuruh oleh Swat San Hui Ho?"

Semua orang kaget, berikut juga Co Hun Kie dan Ciu Hun Yang. Malam itu, orang yang ber¬sembunyi di kolong ranjang telah bertempur be-berapa jurus dengan Wie Su Tiong, tapi akhirnya dia bisa melarikan diri. Sebegitu lama, mereka tidak bisa menebak siapa adanya orang itu. Mengapa sekarang Wie Su Tiong mendadak menuduh Lauw Goan Ho?

Lauw Goan Ho sendiri tertawa dingin, tapi tidak menjawab pertanyaan Wie Su Tiong.

"Malam itu, dalam kegelapan, aku tak bisa lihat mukanya," kata pula Wie Su Tiong. "Aku merasa sangat takluk akan kepandaiannya yang sangat tinggi. Kami bertiga, paman guru dan dua keponakan murid, tidak berhasil membekuknya. Bukan saja begitu, kami bahkan tak tahu siapa manusianya. Tapi hari ini, dalam pertempuran dapat kehormatan untuk melayani Lauw Tayjin beberapa jurus. Ternyata, Lauw Tayjin adalah orang yang dahulu bersembunyi di kolong ranjang. Huh-huh! Selamat bertemu. Sungguh sayang! Sung-guh sayang!"

Ciu Hun Yang mengerti, bahwa untuk mencaci Lauw Goan Ho paman gurunya harus mendapat bantuan. Maka itu ia lantas saja bertanya: "Susiok, sayang apa?"

"Sayang sungguh, bahwa seorang yang berke-dudukan begitu tinggi sebagai Gie-cian Sie-wie Lauw Tayjin bisa mclakukan perbuatan sebagai seorang pencuri ayam atau anjing!" teriaknya.

Lauw Goan Ho tertawa terbahak-bahak. "Te-pat sungguh cacian Wie Toako!" katanya. "Orang yang malam itu bersembunyi di kolong ranjang Tian Kui Long mcmang aku sendiri. Tak salah kalau kau mencaci aku sebagai pencuri ayam atau anjing." Berkata sampai di situ, paras mukanya berseri-seri. "Tapi aku mencuri ayam atau anjing, atas perintah Hong-siang (Kaisar)!" ia mcnam-bahkan.

Semua orang kaget tak kepalang. Semula mereka anggap Lauw Goan Ho omong kosong, tapi dilain saat, mereka ingat bahwa memang benar dia seorang sie-wie, pengawal kaisar dalam keraton, sehingga pengakuannya itu bukan hal yang tidak bisa jadi. Mungkin sekali ia telah menerima firman untuk menghadapi Thian-liong-bun. Orang-orang Eng-ma-coan yang memang berseteru dengan pem-besar negeri, tidak menjadi gentar. Tapi para ang-gota Thian-liong-bun rata-rata mempunyai rumah tangga dan perusahaan, lebih-lebih In Kiat yang dikenal sebagai hartawan besar dalam propinsi Kwi-tang dan Kwisay, sehingga tidaklah heran, kalau keterangan Lauw Goan Ho sudah membuat mereka kaget tercampur takut.

Melihat perkatannya sudah berhasil menindih semua orang, Lauw Goan Ho jadi lebih girang lagi. "Sebab keadaan sudah menjadi begini, biarlah aku pun turut bicara," katanya. "Mungkin sekali kalian belum pernah lihat barang ini." Seraya berkata begitu, dari sakunya ia mengeluarkan sebuah am-plop besar yang berwarna kuning dan yang di atas-nya tertulis dua huruf: "Perintah rahasia". Ia mem-buka mulut amplop, menarik keluar selembar kertas kuning dan membacanya dengan suara nyaring: "Berdasarkan firman Sri Baginda, Lauw Goan Ho, Gie-cian Sie-wie kelas satu yang bersenjata golok, diperintah bekerja sesuai dengan siasat yang telah diberikan. Cong-koan Say." Sesudah membaca, ia meletakkan kertas itu di atas meja supaya semua orang bisa memeriksanya.

In Kiat, To Pek Swee dan beberapa orang lain yang berpengalaman lantas saja mengetahui, bahwa yang menandatangani perintah itu adalah Cong-koan (kepala) dari para sie-wie yang bernama Say Siang Gok. Say Cong-koan dikenal sebagai ahli silat utama dari suku bangsa Boan dan sangat disayang oleh Kaisar Kian-liong.

"Wie Toako," kata Lauw Goan Ho. "Kau tak usah mendelik-delik terhadapku. Kalau mau diceri-takan, asal mula urusan ini sebenarnya adalah ka-rena gara-garanya suhengmu juga, yaitu Tian Kui Long. Kejadiannya adalah begini: Pada suatu hari, Say Cong-koan menjamu delapan belas sie-wie di gedungnya. Oleh sahabat-sahabat delapan belas sie-wie ini digelarkan sebagai 'Delapan Belas ahli silat yang berkepandaian tinggi dalam istana.' Sebenar-benarnya mereka hanya mempunyai kepandaian pasaran. Mana bisa dinamakan 'ahli silat yang ber¬kepandaian tinggi'? Tapi sebab gelaran itu diberi-kan oleh sahabat-sahabat yang ingin menempelkan emas di muka kami, maka kami pun tidak bisa berbuat apa-apa. Bukankah begitu?"

"Begitu tiba di gedung Say Cong-koan, pe-mimpin itu lantas saja mengatakan, bahwa hari ini kami akan diperkenalkan dengan seorang tokoh, terkemuka dalam Rimba Persilatan. Kami segera menanyakan siapa adanya pentolan itu, tapi Say Cong-koan hanya bersenyum dan tidak mau mem-beritahukan. Sesudah perjamuan dibuka, ia meng-ajak seorang pria yang potongan badannya kckar masuk ke dalam. Biarpun rambut di kedua pe-lipisnya sudah beruban, orang itu, yang berparas sangat tampan, masih gagah sekali. 'Saudara-sau-dara,' kata Say Cong-koan, 'Inilah Ciang-bun dari Thian-liong-bun bagian Pak-cong, Gunung Thay-san atau bintang Pak-tauw dalam Rimba Persilatan. '

"Kami agak terkejut. Nama besarnya Tian Kui Long sudah didengar kami. Tapi sebegitu jauh Thian-liong-bun tidak pernah berhubungan dengan pembesar negeri. Entah bagaimana Say Cong-koan sudah berhasil mengundang jago itu. Dalam per¬jamuan, dengan bergiliran kami mengangkat cawan untuk menghormatinya. Tian Toako bersikap sa¬ngat sungkan. Dengan perkataan-perkataan manis, ia mcrendahkan diri dan memuji-muji kami. Tapi tak satu perkataan pun keluar dari mulutnya yang menunjuk sebab musabab dari kunjungannya ke kota raja. Sesudah selcsai bersantap, Say Cong-koan mengundang kami ke kamar samping sebelah Timur untuk minum ten. Di situlah mereka baru mcmberitahukan kami tentang maksud kedatangan Tian Toako."

"Ternyata, meskipun Tian Toako pernah men-jadi perampok, kcsetiaannya terhadap negeri tidak lebih kurangdaripada kami, orang orang yang men-jadi pegawai negeri. Kedatangannya ke kota raja adalah untuk memperscmbahkan sebuah harta ka-run kepada Hong-siang (kaisar). Harta ini ialah harta yang telah dikumpulkan oleh pengkhianat Lie Cu Seng pada waktu ia mcnduduki Pak-khia. Me-nurut katanya Tian Toako, untuk mcndapatkan harta ini, orang harus memperoleh dua rupa pe-tunjuk. Kedua petunjuk itu harus dipcrsatukan. Yang satu adalah golok komando Lie Cu Seng. Golok itu berada dalam tangan Thian-liong-bun dan sekarang turut dibawanya. Petunjuk yang satunya lagi agak sukar didapatkan. Petunjuk tersebut me rupakan peta bumi gudang harta yang dari satu turunan, disimpan oleh keluarga Biauw-kee-kiam. Kalau orang bisa mendapatkan kedua petunjuk itu, maka harta tersebut bisa dicari secara mudah, se-perti orang merogoh saku sendiri."

"Biarpun kami pegawai negeri, tapi sebagai orang dari Rimba Persiiatan, kami mengenal nama 'Biauw-kee-kiam'. Kami tahu lihaynya Tah-pian-thian-hee Bu-tek-chiu Biauw Jin Hong. Siapa be-rani main gila terhadapnya?"

"Melihat paras muka kami yang menunjuk rasa putus harapan, Tian Toako bersenyum. 'Jika aku belum mempunyai daya untuk menghadapi Biauw Jin Hong, mana berani aku datang mengganggu kalian?' katanya. Dengan suara perlahan ia segera menuturkan tipu dayanya. Kami mengangguk-ang-guk, tipu itu memang bagus sekali. Nanti, kalau sudah tiba waktunya, kalian akan tahu apa adanya tipu daya Tian Toako. Sekarang aku tak usah men-eeritakan."

"Besoknya Tian Toako meninggalkan Pak-khia. Say Cong-koan segera memerintahkan kami untuk bekerja sesuai dengan tipu Tian Toako. Belakang-an, sesudah memikir bolak-balik, Say Cong-koan merasa sangsi. Dalam mempersembahkan tipu daya¬nya, Tian Toako tidak menghendaki pangkat dan juga tidak bermaksud untuk mengeduk keuntungan. Ia mengantarkan hadiah besar itu secara cuma-cuma. Dalam dunia, dimana ada manusia yang be-gitu mulia? Mungkin sekali, di dalam urusan ini terselip sesuatu yang tidak diketahui. Memikir be-gitu, Say Cong-koan diam-diam memerintahkan be-berapa orang untuk pergi menyelidiki, antaranya aku sendiri. Baru saja meninggalkan kota raja, aku segera mendengar, bahwa Tian Toako mengadakan pesta untuk merayakan hari menutup pintu dan menyimpan pedang. Aku lantas saja menyediakan barang antaran dan datang berkunjung."

"Bertemu dengan aku, Tian Toako girang se¬kali. Ia menarik tanganku ke tempat yang sepi dan dengan bisik-bisik meminta bantuanku. In Toako, kuharap kau tidak marah. Ia minta bantuanku untuk melaporkan kepada pembesar negeri, menjatuhkan tuduhan berat atas dirimu, supaya kau dipenjara-kan."

In Kiat mencelat dari kursinya. "Tian Suheng dapat melakukan perbuatan yang sebusuk itu?" tanyanya dengan mata mcmbelalak. "Untung sung-guh Lauw Tayjin menaruh belas kasihan dan aku pasti akan membalas budi yang besar."

"Bagus, bagus," kata Lauw Goan Ho. "Ketika itu aku segera menanya, apa di anlara Tian Toako dan In Toako terdapat permusuhan. Permusuhan tidak ada, jawabnya, tapi menurut peraturan Thian-liong-bun, pada hari Ciang-bun-jin Pak-cong me¬nutup pintu dan menyimpan pedang, maka golok komando Lie Cu Seng harus diseiahkan kepada Lam-cong. Kalau golok itu jatuh ke tangan In Toako, maka sukar sekali bisa diambil pulang, kata¬nya."

"Walaupun keterangan itu masuk akal, kecuri-gaanku jadi makin besar. Aku segera memberi ja-waban samar-samar, tidak mengiakan dan juga lidak menolak. Aku segera memasang mata."

"Malam itu, aku menyaksikan pertengkaran an-tara Tian Toako dan In Toako karena urusan pe-nyerahan golok komando. Tiba-tiba satu pikiran berkelebat dalam otakku, untuk membantu Tim Toako. Jika kucuri golok itu, Tian Toako tidak akan bisa menyerahkannya kepada In Toako. Biarpun In Toako bergusar, ia tak akan bisa berbuat apapun jua. Disamping itu, aku sendiri berjasa besar uniuk membalas budinya Hong-siang. Memikir begitu diam-diam aku masuk ke kamar Tian Toako. tapi baru saja aku mau cari golok rnustika itu, tiba-tib.i terdengar suara tindakan kaki dan Tian Toako kembali kc kamarnya. Sebab tidak bisa melarikan diri lagi, aku segera menyembunyikan diri di kolong ranjang."

"Begitu masuk di kamarnya, Tian Toako mem buka sebuah peti kayu dan mengeluarkan satu kotak besi. Mendadak ia berseru: 'Ih...! Di mana golok itu?' Ia pasti tidak bcrpura-pura scbab nada sua ranya menunjuk rasa kaget yang sangat hebat. De-ngan lantas ia memanggi] puterinya, Tian Kouwnio, dan menanyakan. Tian Kouwnio yang tidak tahu apa-apa, juga turut bingung. Beberapa saat kemu dian, Wie Toako masuk. Karena urusan meng-angkat Ciang-bun-jin baru, antara kcdua saudara seperguruan terjadi percekcokan hebat. Dcngan gusar Tian Kuwnio kcluar dari kamar itu, scbab urusan pcrcintaannya dengan Co Hun Kie Co Sic heng discbut-scbut. Belakangan To Cu An, To Sie-heng dipanggil dan Tian Toako tncnycrahkan kotak besi kosong kepadanya, dcngan pcrmintaan supaya ia mengubur kotak itu di luar Tembok Besar. Dengan berdiam di kolong ranjang, aku bisa men-dengar setiap perkataan. Diam-diam aku merasa geli karena To Sie-heng benar-benar tolol dan sudah masuk dalam jebakan. Sesudah To Sie-heng keluar, kudengar Tian Toako menghela napas ber-ulang-ulang dan berkata seorang diri Ouw It To! Biauw Jin Hong!'"

"Ketika itu aku hanya menduga, bahwa ia jeng-kel sebab Biauw Jin Hong sudah mencuri goloknya. Kutak tahu, bahwa ia telah menerima surat dari Ouw Hui putera Ouw It To dan ia merasa, bahwa ia tak akan bisa terlolos lagi."

"Selang beberapa lama Tian Kouwnio masuk lagi dengan tersipu-sipu. 'Thia aku tahu di mana adanya golok rnustika itu,' katanya. Tian Toako melompat bangun dan bertanya: 'Di mana?' Tian Kouwnio mendekati dan berbisik: 'Dicuri Ciu Su-heng.' "Apa benar?' menegas Tian Toako. 'Di mana dia sekarang? Di mana golok itu?' Jawab Tian Kouwnio: 'Dengan mata sendiri kulihat dia rne-mendamnya di suatu tempat.' 'Bagus.' kata Tian Toako, 'Kau ambillah sekarang juga.'Tian Kouwnio berkata: 'Thia, aku mau melakukan sesuatu dan kuharap kau tidak gusar.' 'Apa?' tanya Tian Toako. 'Kau panggil Ciu Suheng kemari dan aku akan bersembunyi di belakang pintu,' jawabnya. 'Begitu berhadapan, kau tanya, apa benar dia curi golok itu. Kaiau dia tidak mengaku, aku akan segera me-nimpuk dengan Tok-liong-cui."'

"Aku bergidik. Jahat benar peicmpuan itu, pi-kirku. 'Patahkan saja kcdua tulang betisnya, tak usah kita mengambil jiwanya,' kata Tian Toako. Kata Tian Kouwnio: 'Jika kau tidak mau menuruti kehendakku, aku tak akan ambil golok itu.' Scsudah berpikir sejenak, Tian Toako berkata: 'Baiklah. Pergilah ambil. Sesudah kau metnperhhatkannya kepadaku, kau boleh berbuat sesuka hati.' Kouwnio lantas saja bcrlalu. Waktu itu aku menduga bahwa di antara Tian Kouwnio dan suhengnya terdapat permusuhan hebat. Hari ini, sesudah mendengar penuturan To Sie-heng, barulah kutahu, bahwa Tian Kouwnio mau membunuh kakak seperguruan-nya untuk menutup mulut kakak itu, supaya dia tidak bisa membuka rahasia tentang penguburan bayi Tian Kouwnio."

"Aku berdiam terus di kolong ranjang. Kuingin menyaksikan akhirnya sandiwara ini. Aku pun mau menunggu kembalinya golok mustika. Disamping itu, dengan Tian Toako di atas ranjang, mana bisa aku keluar? Tak lama kemudian Tian Kouwnio batik dengan tindakan cepat. 'Thia,' katanya dengan sua¬ra bergemetar. 'Golok itu sudah diambil dia. Aku sungguh bodoh. Aku terlambat. Dia juga... juga....'"

"Dia kenapa?" tanya Tian Toako. Tian Kouwnio sebenarnya ingin mengalakan: 'Orokku turut dike-duk juga!' Tapi kata-kata itu tak dapat keluar dari mulutnya. la bengong beberapa saat dan kemudian berseru: Aku can' dial' la loncat keluar, tapi roboh di pinggir pintu, mungkin sebab kegoncangan hati yang melewati batas."

"Bukan main mendongkolnya hatiku. Ketika itu, aku sebetulnya ingin sekali padamkan pene-rangan dan kabur, akan tetapi, melihat puterinya roboh, Tian Toako sama sekali tidak bergerak dari pembaringannya, ia cuma menghela napas panjang. Perlahan-lahan Tian Kouwnio bangun bcrdiri sambil pcgangi pinggiran pintu. Beberapa saat kemu¬dian, Tian Toako turun dari pembaringannya dan sesudah kunci pintu kamar, ia lalu duduk di atas kursi. Ia taruh pedangnya di atas meja, tangannya mencckal busur dan anak panah, sedang mukanya yang pucat pias menakutkan sekali. Hatiku ber-debar-debar. Jika ia mengetahui aku bersembunyi di kolong ranjang, jiwaku mungkin tak akan dapat ditolong lagi."

"Sesudah selang setengah jam, lilin sudah jadi pendek sekali. Selama setengah jam itu. Tian Toako duduk menjublek di kursinya, badannya tak ber¬gerak bagaikan patung, cuma kedua matanya ber-kilat-kilat. Keadaan sunyi senyap, cuma kadang-kadang kesunyian malam dipecahkan oleh suara menyalaknya anjing di tempat jauh. Mendadak se-ekor anjing kedengaran menggonggong di tempat yang sangat dekat, disusul dengan satu jeritan hebat dan lalu berhenti menyalak. Rupanya binatang itu dipukul mati. Tian Toako loncat berdiri, dibarengi dengan suara terketuknya pintu. Sungguh cepat kedatangannya orang itu! Barusan saja anjing itu terkaing kaing dan ia sudah tiba di depan pintu!"

"Suara Tian Toako seram ketika ia menanya: 'Ouw Hui, kau datang juga?' Tapi jawabnya orang itu begini: 'Tian Kui Long, kau kenal aku siapa?' Mukanya Tian Toako jadi pucat bagaikan mayat. 'Biauw.... Biauw Tayhiap!' katanya tergugu. 'Benar, aku!" jawab orang yang di luar. 'Biauw Tayhiap, untuk apa kau datang di sini?' tanya Tian Toako. 'Kau toh sudah berjanji tak akan celakakan aku.' 'Hm!' kata orang itu. 'Aku bukan mau celakakan kau, aku cuma ingin kasihkan serupa barang pada-mu.' Tian Toako agak bersangsi, tapi sesaat ke¬mudian, ia taruh busur dan anak panahnya dan membuka pintu."

"Seorang yang berbadan tinggi kurus dan ber-muka kuning niasuk ke dalam. Aku mengintip dari kolong ranjang. Angker sekali paras mukanya orang itu, yang dikcnal sebagai jago nomor satu dalam Rimba Persilatan. Tangannya mencekal dua rupa barang yang panjang, yang lalu ditaruh di atas meja. 'Ini golok wasiatmu, ini cucu luarmu (gwa-sun)!' katanya."

"Badannya Tian Toako gemetaran dan roboh di atas kursi. 'Muridmu telah perdayai kau dan pen-dam golok itu,' kata Biauw Tayhiap. 'Puterimu kclabui kau dan pendam anak haramnya. Scmua dilihat oiehku dan sekarang aku bayar pulang.' 'Terima kasih,' sahut Tian Toako. 'Aku... keluar-gaku tak beruntung. Kejadian itu sungguh me-malukan.' Kedua matanya Biauw Tayhiap merah, scperli orang mau menangis. Tiba-tiba parasnya beiubah, paras pembunuhan yang menyeramkan. 'Bagaimana caranya dia binasa?' tanya Biauw Tay¬hiap dengan keluarkan perkataannya satu demi satu."

Mendadak terdengar suara nyaring. Semua orang berpaling dan lihat cangkir tehnya Biauw Yok Lan jatuh hancur. Heran sungguh, kenapa seorang yang begitu tenang seperti Yok Lan, tak dapat pertahankan dirinya setelah mendengar pcnuturan itu.

Khim-jie buru-buru keluarkan sapu tangan un-tuk menyeka air teh yang berhamburan di bajunya Yok I.an. "Siocia," katanya, "Pcrgi mengasolah, ja-ngan dengari lagi scgala cerita itu."

" Tidak," sahut si nona. "Aku hendak dengar sampai akhirnya."

Lauw Goan Ho lirik Yok Lan dan teruskan penuturannya: "Mendengar pertanyaan itu, Tian Toako menyahut: 'Hari itu ia terkena pilek dengan sedikit batuk-batuk. Aku panggil tabib dan tabib bilang tidak kenapa, cuma kena pilek sedikit, makan sebungkus obat juga sudah sembuh. Tak dinyana, ia buang obat yang sudah dimasak dengan mengata-kan obat itu terlalu pahit dan juga tak mau menelan nasi. Dengan begitu, penyakitnya menjadi berat. Aku panggil tabib lagi, tapi ia tetap tak mau makan obat dan makan nasi."

"Mendengar sampai di situ, Yok Lan menangis dengan perlahan. Siapa adanya wanita itu dan hu-bungan apa terdapat antara wanita tersebut dan Tian Kui Long serta Biauw Tayhiap. Tapi To Pek Swee ayah dan anak serta orang-orang Thian-liong-bun mengetahui, bahwa wanita itu adalah isteri Tian Kui Long. Mereka hanya tidak mengetahui, ada hubungan apa antara nyonya itu dengan Biauw Tayhiap dan kenapa Yok Lan jadi begitu sedih. Apa nyonya Tian anggota keluarga Biauw?

Sementara itu Lauw Goan Ho kembali sambung ceritanya: "Ketika itu aku merasa sangat mendong-kol, lantaran tak tahu, siapa yang mereka mak-sudkan. 'Kalau begitu, ia sendiri yang sudah bosan hidup?' tanya Biauw Tayhiap.

Jawab Tian Toako: 'Yah! Aku berlutut di hadapannya dan memohon-mohon, tapi sedikit pun ia tak menggubris.'

'Apa ia tinggalkan pesan?' Biauw Tayhiap menanya pula.

'Ia minta jenazahnya dibakar dan abunya disebar di tengah jalan, supaya diinjak-injak orang.' sahutnya.

Biauw Tayhiap loncat seraya membentak: 'Dan kau turut?'

'Aku turut sebagian', sahut Tian Toako. 'Jenazahnya aku bakar, tapi abunya ada di sini.'

Ia hampiri pembaringan dan keluarkan satu guci, yang lantas ditaruh di atas meja. Biauw Tayhiap lirik guci itu dengan paras sedih dan gusar. Ia cuma melirik satu kali, sesudah itu, ia pelengoskan mukanya."

"Tian Toako rogoh sakunya dan keluarkan satu tusuk konde burung hong yang tertata mutiara.

Ia taruh perhiasan itu di atas meja dan berkata: 'la minta aku pulangkan tusuk konde ini kepada kau atau kepada Tian Kouwnio. Ia kata, barang ini adalah miliknya keluarga Biauw.'"

Semua mata segera ditujukan kepada Yok Lan. Di kondenya nona Biauw kelihatan tertancap tusuk konde burung hong yang indah dengan beberapa butir mutiara yang bundar dan besar.

"Biauw Tayhiap ambil tusuk konde itu," demi-kian Lauw Goan Ho. "Ia cabut selembar rambutnya yang lantas ditusukkan ke dalam mulutnya burung hong dan rambut itu tembus. Ia pegang kedua ujung rambut dan tarik dengan perlahan. Mendadak se-bagian kepala burung terbuka! Biauw Tayhiap tung-gingkan tusuk konde itu dan segumpal kertas loncat keluar dari lubang itu. Ia buka kertas itu dan berkata dengan suara dingin: 'Kau lihatlah!' Mukanya Tian Toako jadi semakin pucat. Lewat beberapa saat, ia menghela napas panjang."

"Siang malam tak hentinya kau putar otak buat coba rampas peta bumi ini,' kata Biauw Tayhiap. 'Tapi ia tak sudi membuka rahasia dan akhirnya pulangkan barang ini kepada keluarga Biauw. Peta bumi harta karun tersimpan dalam perhiasan ini... hm! Mungkin mimpi pun kau tak pernah mimpi!'"

"la masukkan pula kertas itu ke dalam kepala burung dan tarik rambutnya sehingga lubangnya tertutup pula. Ia taruh tusuk konde itu di atas meja seraya berkata: "Kau sudah tahu cara membuka kepala burung. Ambillah dan carilah harta karun itu!' Tapi Tian Toako mana berani ambil? Di kolong ranjang, hatiku berdebar-debar. Peta bumi dan go-lok sudah berada bersama-sama, tapi dapat dilihat, tak dapat dipegang."

"Adalah pada ketika itu, Biauw Tayhiap laku-kan satu perbuatan mengejutkan. Ia buka guci, tuang air teh ke dalamnya dan lalu minum isinya!"

Mukanya Biauw Yok Lan jadi pias. Ia men-dekam di atas meja sambil menangis sesengguk-kan.

Lewat beberapa saat, Lauw Goan Ho berkata pula: "Sesudah Biauw Tayhiap hirup isinya guci, Tian Toako tepuk meja dan berkata dengan suara nyaring: 'Biauw Tayhiap, bunuhlah aku! Sedikit pun aku tak merasa menyesal.' Biauw Tayhiap tertawa terbahak-bahak. 'Kenapa juga aku mesti membu-nuh kau?' katanya. 'Manusia hidup belum tentu lebih beruntung dari manusia mati. Tempo hari, beberapa hari beruntun aku telah bertempur me-lawan Ouw It To dan akhirnya kedua suami isteri itu jadi binasa. Aku sendiri hidup terus, tapi selama hidup, aku menderita. Ouw It To suami isteri hidup bersama-sama dan mati bersama-sama dan sungguh-sungguh mereka lebih beruntung daripada aku. Hm! Harta sudah berada dalam tanganmu, toh kau pu¬langkan kepadaku. Buat apa aku bunuh kau? Biar-lah kau menyesal seumur hidupmu! Bukankah itu lebih baik daripada ambil jiwamu?' Sehabis berkata begitu, ia sambar tusuk konde itu dan keluar dengan tindakan lebar."

"Sesaat kemudian terdengar pula suara ter-kuing-kuingnya sang anjing. Ternyata, binatang itu bukan dibinasakan, tapi cuma ditotok jalan da-rahnya dan sembari lewat, Biauw Tayhiap rupanya sudah buka totokannya."

"Tian Toako menghela napas beberapa kali. Ia taruh mayat orok dan golok di atas pemba-ringan dan lalu mengunci pintu. 'Manusia hidup belum tentu lebih beruntung dari manusia mati,' ia menggerendeng. Lama ia duduk di atas ranjang. 'Lan! Ah, Lan!' katanya dengan suara menyayat-kan hati. 'Untukku, kau terpeleset. Untuk kau, aku terpeleset. Benar-benar kita menderita!' Ber-bareng dengan itu terdengar suara serupa benda masuk di daging, disusul dengan berkelejatannya Tian Toako dan kemudian tidak terdengar apa-apa lagi."

"Aku kaget, buru-buru keluar dari kolong ran¬jang. Di dadanya Tian Toako tertancap sebatang anak panah dan napasnya sudah berhenti. Saudara-saudara, Tian Toako mati bunuh diri, bukannya dipanah mati oleh siapa juga. Bukan dibinasakan oleh To Cu An atau Ouw Hui. Ia binasa dengan tangannya sendiri! Ia sama sekali tak mencintai To Cu An atau Ouw Hui dan tentu tak dapat dikatakan ingin membela mereka."

"Aku tiup lilin dan niat kabur dengan membawa golok itu. Tapi, sebelum maksudnya kesampaian, To Sie-heng mengetuk pintu. Terpaksa aku me-nyelusup pula ke kolong ranjang. Kejadian selan-jutnya sudah dituturkan oleh To Sie-heng. Ia ambil golok wasiat itu dan kabur ke Kwan-gwa. Sesudah mengetahui segala rahasia, cara bagaimana aku bisa berpeluk tangan?"

Sehabis berkata begitu, ia keprik-keprik baju-nya dengan kedua tangan, seperti juga mau raern-bersihkan debu yang menempel waktu bersembunyi di kolong ranjang. Ia cegluk dua cangkir teh dan ia kelihatannya lega sekali.

Sesudah mendengar cerita panjang lebar itu, perasaan herannya semua orang sudah hilang se-bagian besar, diganti dengan rasa lapar. Semakin banyak minum teh, semakin lapar rasanya.

"Sekarang semua orang sudah mengetahui, bah-wa golok itu telah diserahkan kepada anakku oleh Tian Kui Long sendiri," kata To Pek Swee dengan suara keras. "Maka itu, saudara-saudara tak berhak coba merebut pula."

"Apa yang diserahkan kepada To Sie-heng oleh Tian Toako adalah kotak besi kosong," kata Lauw Goan Ho sembari tertawa. "Jika kau inginkan kotak kosong, aku sama sekali tidak berkeberatan. Tapi golok wasiat bukannya bagianmu!"

"Tak usah direwelkan lagi, golok itu mesti pu-lang kepada Thian-liong Lam-cong (cabang Selatan dari Thian-liong)," kata In Kiat.

"Mana boleh?" membantah Wie Su Tiong. "Se¬belum dibikin upacara penyerahan golok oleh Tian Suheng, golok itu masih jadi miliknya cabang Utara."

Demikian mereka tarik urat, masing-masing sungkan mengalah.

"Saudara-saudara!" Po-sie mendadak berseru dengan keras. "Aku mau tanya: Apakah sebenarnya tujuan perebutan golok itu?"

Mendengar pertanyaan itu, semua orang jadi bungkam.

"Dahulu, kalian cuma tahu, golok itu berharga besar sekali, tapi tak mengetahui bahwa pada golok tersebut tersimpan rahasia dari suatu harta karun," berkata pula Po-sie. "Sekarang, sesudah rahasia terbuka, setiap orang jadi mata merah, ingin punya-kan harta tersebut. Tapi, aku kembali mau me-nanya: Tanpa peta buminya, apa gunanya golok itu?"

Semua orang terkejut. Benar sekali perkataan-nya Po-sie dan semua mata lantas ditujukan kepada tusuk kondenya Biauw Yok Lan.

Yok Lan adalah seorang gadis lemah. Sekali gerakkan tangan, tusuk konde itu pasti dapat di¬rampas. Akan tetapi, setiap orang mengetahui, ayahnya Yok Lan tak boleh dibuat gegabah. Jika ayahnya datang, siapa berani melawan? Maka itu, walaupun mudah dirampas, tak barang satu orang berani meraba.

Lauw Goan Ho melirik, pada parasnya terlukis kesombongan. la hampiri Yok Lan, tangan ka-nannya bergerak dan tusuk konde itu sudah pindah ke dalam tangannya. Yok Lan malu tercampur gusar, ia mundur dua tindak dengan muka pucat. Semua orang kaget melihat keberaniannya Lauw Goan Ho.

"Aku datang ke sini dengan membawa firman-nya kaisar," kata Lauw Goan Ho dengan suara nyaring. "Takuti apa segala Biauw Tayhiap? Hm! Buat bicara terang-terangan: Sekarang ini, orang yang bergelar Kim-bian-hud itu belum ketentuan

mati hidupnya!"

"Kenapa begitu?" beberapa orang menanya de¬ngan berbareng.

Lauw Goan Ho nyengir. "Andaikata Kim-bian-hud masih hidup, sepuluh sembilan ia sudah ter-borgol kaki tangannya dan sedang mendekam di dalam penjara istana," katanya dengan suara ang-kuh.

Yok Lan terkesiap. Hatinya berdebar-debar.

"Cobalah kau bicara secara lebih terang," me-minta Po-sie.

Mendengar itu, Lauw Goan Ho jadi ingat peng-alamannya ketika naik ke puncak itu cara bagai-mana ia sudah menerima hinaan di atas salju. Tapi begitu dengar ia datang dengan perintahnya firman kaisar, sikapnya Po-sie segera berubah dan majukan permintaan itu.

Hatinya girang bukan main, hampir-hampir ia membuka rahasia. "Po-sie Taysu," ia berseru. "Ter-lebih dahulu aku mau tanya: Siapakah adanya maji-kan tempat ini?"

Semua orang yang belum mengetahui siapa adanya majikan tempat itu, sangat menyetujui per¬tanyaan Goan Ho.

"Jika kalian bicara terus-terang, loo-lap pun harus bicara terus-terang," sahut Po-sie sembari tertawa. "Majikan tempat ini she Touw bernama Sat Kauw, seorang yang sangat lihay dalam Rimba Per-silatan."

Semua orang jadi saling lihat-lihatan, oleh ka-rena mereka belum pernah dengar nama itu.

Po-sie mesem dan berkata pula: "Tingkatannya Touw Enghiong sangat tinggi dan sungkan bergaul dengan sembarangan orang. Oleh karena itu, mes-kipun ilmu silatnya sangat tinggi, orang biasa tak pernah dengar namanya. Tapi jago-jago kelas satu dari kalangan Kang-ouw, semuanya kagumi ia."

Ucapannya Po-sie yang mengandung hinaan, sudah membikin semua orang jadi kurang senang. Mukanya In Kiat, Wie Su Tiong dan yang Iain-lain jadi berubah merah.

Antara mereka adalah Lauw Goan Ho yang bicara paling dahulu. "Pada waktu kita naik ke sini," katanya, "Pengurus ini memberitahu, bahwa majikannya tclah pergi ke Leng-kouw-tha untuk mengundang Kim-bian-hud dan ke Pak-khia guna mengundang Hoan Pangcu dari Kay-pang. Kete-rangan ini agak aneh dan tak sesuai dengan kejadi-an yang scbcnarnya, oleh karena siauwtee menge-tahui, Hoan Pangcu sudah kena dibekuk di kota Kayhong, Propinsi Holam, dan dalam peristiwa itu, siauwtee malahan sudah turut menyumbang sedikit tenaga."

"Hoan Pangcu ditangkap?" menegasi beberapa orang dengan terkejut.

"Ini semua adalah berkat tangannya Say Cong-koan," menerangkan Lauw Goan Ho dengan sikap pongah. "Kita membekuk Hoan Pangcu cuma guna dijadikan dia sebagai umpan, untuk pancing seekor ikan emas. Ikan emas itu adalah Biauw Jin Hong. Majikan di sini katanya pergi ke Leng-kouw-tha guna mengundang Biauw Jin Hong, tapi tujuan yang sebenarnya adalah pergi ke Pak-khia untuk me-nolongi Hoan Pangcu. Hm! Di Pak-khia Say Cong-koan sudah pasang Thianloo-teebong (Jaring langit jala bumi) untuk tunggu kedatangannya Biauw Jin Hong! Kalau dia tak masuk jebakan, yah kami pun tak berdaya untuk membekuknya. Tapi kalau dia berani datang di Pak-khia, hm! Ini namanya burung masuk di jaring!"

Ketika Yok Lan mau berpisahan dengan ayah-nya, memang juga Biauw Jin Hong sedang mau berangkat ke Pak-khia untuk mengurus serupa urusan. Ketika itu, sang ayah pesan, supaya ia pergi dahulu ke Soat-hong (Puncak salju). Mendengar perkataan Lauw Goan Ho, hatinya si nona jadi bergoncang keras dan menduga ayahnya tentu su¬dah masuk dalam perangkap. Mendadak, matanya gelap, kakinya lemas dan ia jatuh duduk di atas kursi.

Melihat penderitaan si nona, Lauw Goan Ho senang benar hatinya. "Sekarang kita sudah mem-punyai peta bumi dan sudah mempunyai juga golok wasiat," katanya. "Sekarang juga kita harus pergi untuk menggali harta karunnya Lie Cu Seng dan mempersembahkan itu kepada Hongsiang (kaisar). Saudara-saudara yang berada di sini, sudah tentu akan mendapat ganjaran dan pangkat yang se-timpal."

Sehabis berkata begitu, matanya menyapu se¬mua orang. Ia lihat ada yang berparas girang, tapi ada juga yang menunjukkan kesangsian. Ia me-ngetahui, bahwa orang-orang seperti To Pek Swee memandang harta Icbih penting daripada pangkat, dan oleh karena itu, lantas saja ia berkata pula: "Harta karun itu katanya bertumpuk-tumpuk ba-gaikan gunung. Setibanya di situ, tidak halangan kalau kita masing-masing mengambil seorang se¬dikit guna menjaga hari tua. Bukankah baik begitu?"

Satu sorakan terdengar, sebagai tanda menyetujui usul yang bagus itu.

Tian Ceng Bun yang bersembunyi dalam kamar dcngan kemalu-maluan, juga dengar sorakan itu. la tahu orang sudah tidak bicarakan lagi urusan bu-suknya, maka indap-indap ia keluar dan berdiri di pinggir pintu.

Sesaat itu Lauw Goan Ho sudah cabut selembar rambutnya dan, seperti contohnya Biauw Jin Hong, ia kasih masuk rambut itu ke dalam mulut burung dari tusuk kondenya Yok Lan. Dengan sekali tarik, sebagian kepala burung terbuka dan keluarlah se-gumpalan kertas. Ia buka kertas itu dan beber di atas meja, dikerumuni oleh semua orang. Kertas itu, tipis bagaikan sayap tonggeret, masih utuh, wa-laupun usianya sudah tua sekali. Di situ terlukis satu puncak gunung yang tinggi dan lurus, menjulang ke langit. Di sampingnya terdapat perkataan yang se¬perti berikut: "Di belakangnya puncak Giok-pit-hong, gunung Ouw-lan-san."

"Ah!" berteriak Po-sie. "Sungguh kebetulan! Tempat ini, di mana sekarang kita ramai-ramai berdiri, adalah puncak Giok-pit-hong dari gunung Ouw-lan-san!"

Peta puncak yang tertulis di atas kertas itu, sedikit pun tiada bedanya dengan Puncak salju (Soat-hong). Tiga pohon siong tua yang tumbuh di pinggir tebing di atas puncak, juga terdapat di atas peta itu.

"Majikan dari perkampungan ini Touw Loo-enghiong, adalah seorang yang berpengetahuan luas sekali," berkata pula Po-sie. "Apakah tak mungkin, Touw Loo-enghiong sudah mengetahui rahasia itu dan sengaja mendirikan perkampungan ini? Jika bukannya begitu, guna apa ia mau menempuh ke-sukaran yang sedemikian besar?"

"Celaka!" berseru Lauw Goan Ho. "Benar katamu! Perkampungan ini sudah didirikan lama sekali, sehingga mungkin harta itu sudah dikuras habis!"

Po-sie mesem dan berkata pula: "Ah, belum tentu begitu. Lauw Tayjin, cobalah kau pikir: Kalau benar harta itu sudah diketemukan, ia tentu sudah pindah ke lain tempat dan tak bisa jadi, ia mau berdiam di sini terus-menerus."

Lauw Goan Ho tepuk dengkulnya keras-keras. "Benar! Benar!" katanya. "Hayo! Sekarang juga kita pergi ke belakang gunung!"

"Bagaimana dengan Biauw Kouwnio dan para penghuni perkampungan ini?" tanya Po-sie sembari menunjuk Yok Lan.

Lauw Goan Ho balik badannya, tapi Ie Koan-kee dan Iain-lain bujang sudah tak kelihatan mata hidungnya.

Sesaat itu, Tian Ceng Bun munculkan diri dari belakang pintu seraya berkata: "Entah bagaimana, semua penghuni di sini, lelaki dan perempuan, semuanya sudah pada menghilang."

Mendadak Lauw Goan Ho sambar sebatang golok dan hampiri Yok Lan seraya berkata: "Se¬mua pembicaraan kita sudah didengar olehnya. Tak dapat kita kasih dia tinggal hidup untuk jadi bibit penyakit di belakang hari." Ia angkat golok-nya yang mau segera disabetkan ke kepalanya nona Biauw.

Sekonyong-konyong, satu bayangan manusia berkelebat. Bayangan itu adalah Khim-jie, yang pada detik berbahaya, sudah lompat sambil me-meluk untuk kemudian gigit pergelangan tangan Lauw Goan Ho. Diserang secara tak diduga-duga, Lauw Goan Ho berteriak dan goloknya jatuh di atas tanah.

"Manusia umur pendek!" Khim-jie memaki se¬cara berani. "Kalau kau berani langgar selembar juga rambut Siocia, Looya-ku pasti akan cabut urat-mu dan keset kulitmu! Semua di sini tak seorang pun yang akan dapat selamatkan diri!"

Bukan main gusarnya Lauw Goan Ho. la ang-kat tangannya dan menjotos mukanya Khim-jie. Tapi kepalan itu keburu disampok oleh Him Goan Hian yang Iantas berkata: "Suko, yang paling pen-ting adalah cari harta itu. Guna apa membunuh orang!"

Kenapa Him Goan Hian kesudian menolong Khim-jie? Berbeda dengan Lauw Goan Ho yang bekerja sebagai pengawal kaisar dan pandang jiwa manusia bagaikan rumput. Him Goan Hian adalah seorang piauwsu yang nyalinya kecil dan takut ba-nyak urusan. Mendengar ancaman Khim-jie, hati-nya jadi keder. Andaikata ayahnya Yok Lan benar-benar dapat loloskan diri, celakalah dia! In Kiat yang juga sependapat dengan Goan Hian, Iantas turut membujuk. "Sudahlah LauwSuheng,"katanya. "Mari kita cari harta karun itu."

Lauw Goan Ho melotot dan membentak sambil tuding Yok Lan: "Tapi, bagaimana harus kita per-lakukan binatang itu?"

Sembari mesem Po-sie maju beberapa tindak dan totok jalan darahnya si nona yang Iantas saja rebah di atas kursi. la gusar dan malu, tapi tak dapat bicara lagi. Khim-jie yang khawatir pendeta itu celakakan siocianya Iantas menubruk dan cekal tangannya Po-sie. Tapi dengan sekali membalik tangan, pendeta itu sudah totok jalan darahnya Khim-jie yang Iantas juga roboh seperti majikan-nya.

"Biauw-moay duduk di situ tak begitu bagus kelihatannya," kata Tian Ceng Bun sambil meng-hampiri dan pondong badan orang. "Enteng benar. Seperti tak bertulang," katanya, tertawa.

la pergi ke kamar di sebelah Timur dan tolak pintunya. Kamar itu adalah kamar tetamu yang diperaboti lengkap. Ceng Bun rebahkan nona Biauw di atas pembaringan, buka sepatunya dan baju luar-nya, sehingga hanya baju dalam yang menempel pada badannya, selimutkan padanya dan kemudian turunkan kelambu. Biauw Yok Lan mengawasi de¬ngan sorot mata gusar, tapi ia tak dapat berbuat suatu apa.

Sesudah itu, sambil pegang baju orang, ia keluar seraya berkata dengan tertawa: "Aku sudah buka baju luarnya. Walaupun jalan darahnya terbuka sendiri sesudah lewat waktu, ia tentu tak berani keluar!" Semua orang tertawa mendengar omongan itu.

"Berangkat!" Lauw Goan Ho memberi perintah dengan suara yang dibuat-buat. Ia jalan paling da-hulu, diikuti oleh yang Iain-lain.

Selagi mau turut jalan Co Hun Kie mendadak dapat lihat golok wasiat itu yang menggeletak di atas meja. "Coba aku lihat golok itu. Ada apakah isinya?" katanya sembari ambil golok tersebut.

la lihat, sclain komando yang berbunyi: "Mem-bunuh satu orang seperti membunuh ayahku, me-nodai seorang wanita seperti menodai ibuku: dan Cwan Ong Lie" yang tertata di atas sarung, tak terdapat lain keistimewaan.

Dengan tangan kiri mencekal sarung dan ta-ngan kanan memegang gagang, ia mencabut golok itu. Sinar hijau yang berhawa dingin memancar ke empat penjuru, sehingga tanpa merasa, ia bergidik. "Ah!" demikian terdengar seruan tertahan dari mulutnya beberapa orang. Mendengar seruan itu, Lauw Goan Ho yang sudah berjalan sampai di ruangan tengah, lantas hentikan tindakannya.

Semua orang berkerumun meneliti golok itu. Di satu muka, golok itu licin, dilain mukanya, ter¬dapat guratan-guratan yang merupakan dua ekor naga, satu besar, satu kecil, lukisannya begitu jelek, sehingga kalau dikatakan naga, bukannya naga, dikata ular, bukannya ular, lebih mirip kalau di¬katakan semacam binatang berbulu. Akan tetapi "Cu" (mutiara) yang diperebutkan oleh kedua bi¬natang itu, adalah sepotong "Giok" (batu pualam) merah yang bersinar terang.

"Ada apa herannya?" kata Co Hun Kie.

"Kedua binatang itu tentulah juga mempunyai sangkut paut dengan gudang harta," kata Po-sie. "Paling benar kita segera pergi ke gunung be-lakang guna menyelidiki. Serahkan padaku!" Ia angsurkan tangannya guna menyambuti golok itu. Tanpa berkata suatu apa, Co Hun Kie mengebas golok itu untuk melindungi diri dan lalu lari ke¬luar.

Po-sie gusar bukan main. "Mau ke mana kau?" ia membentak sembari mengejar.

Begitu keluar dari pintu besar, Po-sie mengayun tangan dan serenceng tasbih menyambar jalan darah Kian-ceng-hiat, di pundaknya Co Hun Kie. Begitu kena lengannya kesemutan dan golok itu jatuh di atas salju. Dengan beberapa kali loncatan lebar, Po-sie sudah me-mungut golok mustika itu. Co Hun Kie tak berani banyak tingkah lagi dan dengan kemalu-maluan, ia minggir ke samping.

Demikianlah dengan jalan berendeng dengan Lauw Goan Ho yang membawa peta bumi, Po-sie segera menuju ke gunung belakang sambil me-nenteng golok itu. Ketika itu, Wie Su Tiong, Tian Ceng Bun dan yang Iain-lain pun sudah keluar dari pintu tengah dan mengikuti dari belakang.

"Lauw Tayjin," berkata Po-sie sembari tertawa. "Barusan loo-lap telah berlaku kurang ajar, harap Tayjin tidak menjadi gusar."

Lauw Goan Ho jadi merasa girang sekali. "Ilmu silat Taysu tinggi sekali dan aku merasa sangat kagum," ia memuji. "Di kemudian hari, satu ketika aku tentu perlu bantuan Taysu."

Po-sie segera mengucapkan beberapa perkata-an merendahkan diri dan mereka lalu berjalan terus dengan riang gembira.

Sesudah berjalan lagi beberapa lama, di ping-giran puncak sudah tidak terdapat jalanan lagi, di seputar mereka hanya salju yang berwarna putih. Walaupun mengetahui, bahwa harta karun itu ter-simpan di puncak Giok-pit-hong, di mana mereka harus mencarinya? Andaikata mereka mengguna-kan tenaganya ribuan orang, dalam setahun belum tentu mereka dapat memacul habis es dan salju yang menutup puncak tersebut. Puluhan tahun Touw Sat Kauw berdiam di situ, tapi ia pun belum berhasil mendapatkan gudang harta itu.

Mereka berdiri di bawah tebing dengan pe-rasaan masgul dan putus harapan.

Tiba-tiba Tian Ceng Bun menuding satu gun-dukan salju yang merupakan bukit, di kaki puncak. "Lihat!" ia berseru.

Semua mata ditujukan ke jurusan yang ditun-juk, tapi mereka tak dapat lihat apa-apa yang luar biasa.

"Coba kalian perhatikan bentuknya bukit itu," kata Tian Ceng Bun. "Bukankah mirip dengan gu-rat-guratan yang terdapat di atas goloknya Cwan Ong?"

Semua orang lantas saja menjadi sadar. Mereka segera mengawasi dengan teliti. Di situ ternyata terdapat dua rentetan bukit, yang satu dari Timur Laut menjurus ke Barat Daya, yang satunya lagi, dari Selatan ke Utara. Di tempat bertemunya kedua rentetan bukit tersebut, terdapat satu puncak bun-dar yang tidak tinggi.

Po-sie mengawasi bukit itu dan kemudian mem-perhatikan guratan-guratan di atas golok. Benar saja, kedudukannya bukit-bukit itu bersamaan de¬ngan lukisan dua ekor "naga" , sedang puncak bun-dar itu bersamaan duduknya dengan "cu" yang di-perebutkan oleh kedua "naga" itu.

"Tak salah!" ia berseru dengan suara girang. "Harta karun itu tentu berada di puncak bundar!"

"Hayolah!" mengajak Lauw Goan Ho.

Ketika itu, semua orang bersatu hati untuk mencari gudang harta dan tidak lagi mempunyai niatan untuk saling mencelakakan. Mereka segera membuka baju yang lalu disambung-sambung se-hingga merupakan tambang. Dan dengan pegangan tambang itu, mereka mulai turun gunung. Yang paling dulu turun adalah Lauw Goan Ho, yang paling akhir In Kiat.

Dari jauh, puncak bundar itu kelihatan dekat sekali. Tapi, sesudah didekati, jaraknya masih ku-rang lebih dua puluh li. Mereka semua adalah ahli-ahli silat yang mempunyai ilmu entengkan ba-dan tinggi dan belum cukup setengah jam, mereka sudah berada di depan puncak. Mereka lalu ber-keliaran di seputar itu, tapi sesudah mencari lama juga, gudang harta yang dicari masih belum dapat diketemukan.

Mendadak To Cu An menunjuk ke Barat sambil berseru: "Siapa itu?"

Semua orang menoleh dan lihat satu bayangan warna abu-abu yang melesat di atas salju bagaikan anak panah cepatnya, dan dalam waktu sekejap, sudah tiba di kaki Giok-pit-hong.

"Swat San Hui Ho!" Po-sie berseru. "Tak di-nyana anaknya Ouw It To begitu lihay!" Sehabis berkata begitu, mukanya lantas saja berubah pu-cat.

Selagi semua orang berdiri bengong, Tian Ceng Bun mendadak menjerit. Semua orang buru-buru mcmutar badan ke arah jeritan itu. Pada tanjakan puncak bundar terlihat satu lubang, sedang Tian Ceng Bun sudah tak kelihatan bayang-bayangannya lagi.

To Cu An dan Co Hun Kie, yang berdiri di dekat Ceng Bun terkejut bukan main ketika lihat wanita itu kejeblos ke dalam lubang. "Ceng-moay!" me-reka berteriak sembari bergerak untuk loncat me-nolong.

To Pek Swee tarik tangan puteranya dan mem-bentak: "Mau apa kau?" Sang Putera tidak mela-deni, sambil menggentak tangannya, ia loncat ke lubang bersama-sama Co Hun Kie.

Tak dinyana, lubang itu sangat cetek. Kaki mereka menginjak badannya Ceng Bun dan bertiga orang itu berteriak dengan berbareng. Kawan-ka-wannya yang menyaksikan jadi merasa geli dan segera tarik mereka ke atas.

"Mungkin harta karun itu berada di sini," ber-kata Po-sie. "Tian Kouwnio, apakah yang kau lihat?"

"Gelap, tak kelihatan apa juga," sahutnya, sem¬bari mengusap-usap badannya yang terpukul batu.

Po-sie loncat turun dan nyalakan bahan api. Lubang itu belum ada setombak dalamnya, dinding-nya adalah batu-batu dan es. Sesudah memeriksa beberapa lama, ia loncat naik pula.

Tiba-tiba terdengar suara teriakannya Ciu Hun Yang dan The Sam Nio yang mendadak kejeblos ke dalam lubang. Wie Su Tiong dan Him Goan Hian, yang berdiri paling dekat, buru-buru angkat mereka naik. Dilihat gejalanya, tempat itu agaknya penuh lubang, sehingga semua orang yang khawatir turut kejeblos, tak berani berjalan sembarangan dan ber¬diri tetap di tempatnya.

"Puluhan tahun Touw Chungcu berdiam di Giokpit-hong, tapi ia masih belum dapat menemu-kan gudang harta itu," berkata Po-sie sambil meng-hela napas. "Sekarang kita sudah tahu terang, bahwa harta itu tersimpan di dalam bukit ini, tapi toh kita pun tidak berdaya. Dibanding-banding, kita masih lebih tolol daripada Touw Chungcu."

Mereka semua sudah lelah sekali dan lalu pada duduk di atas salju. Sambil menggigit gigi, The Sam Nio mengusap-usap dengkulnya yang luka dan sakit sekali. Tiba-tiba ketika ia memutar kepala, matanya mendapat lihat sinar berkilauan dari batu mustika di golok komando. Banyak tahun ia mengikuti sua-minya menjadi piauwsu dan macam-macam batu mustika ia sudah pernah lihat. Tapi mustika di golok itu adalah lain dari yang lain. Hatinya jadi tergerak dan segera berkata: "Taysu, bolehkah aku lihat golok itu?"

Po-sie yang tidak takuti Sam Nio, segera ang-surkan golok itu.

Sam Nio mengawasi dengan teliti. Matanya yang berpengalaman lantas saja mendapat tahu, bahwa mustika itu "diikat' dengan "pantat" ke atas. (Sebagaimana diketahui, batu permata biasanya mempunyai dua muka, yaitu "muka", yang seharus-nya di atas, dan "pantat" yang seharusnya di bawah. Mustika di golok itu "diikat" dengan "pantat" meng-hadap ke atas. Matanya orang biasa tak akan dapat mengetahui perbedaan tersebut, akan tetapi The Sam Nio yang banyak pengalamannya sudah segera mendapat lihat keanehan itu).

"Taysu," katanya. "Mustika ini diikat dengan pantat ke atas. Mungkin ada apa-apa yang tcr-sembunyi."

Po-sie yang sedang tidak berdaya, lantas saja mengambil keputusan guna menyelidiki. Ia ambil pulang golok itu dan mencabut pisau belakangnya yang lantas digunakan untuk mengorek mustika itu dari "ikatannya". Begitu dicongkel, mustika itu jatuh dan Po-sie buru-buru memungut, lalu diteliti de-ngan membolak-balik. Lama juga ia memperhatikan mustika itu, tapi tak dapat lihat apa juga yang luar biasa. Dengan perasaan putus harapan, ia meng-awasi lubang "ikatan" mustika di golok itu. Tiba-tiba ia berseru: "Ah, di sini!"

Ternyata, dalam lubang "ikatan" itu terdapat guratan-guratan yang menunjukkan tempat me-nyimpan harta. Di sebelah Timur Laut terlihat guratan huruf "Po" (mustika) yang sangat kecil.

Po-sie menjadi sadar. Ia mengetahui, bahwa tengah-tengah lubang merupakan atasnya puncak bundar itu. Lantas saja ia memperhatikan keadaan di seputarnya dan menghitung-hitung jaraknya.

Setindak demi setindak ia berjalan maju dan benar saja, begitu sampai di tempat yang menurut perhitungan adalah tempat menyimpan harta, ke-dua kakinya kejeblos di lubang. Po-sie segera nyala-kan bahan api dan mengetahui, ia berada di depan sebuah gua. Sesaat itu, Lauw Goan Ho dan yang Iain-lain pun sudah loncat ke bawah.

Belum jalan berapa jauh, obornya Po-sie sudah menjadi padam. Gua itu amat panjang dan berbelit-belit.

"Tuan-tuan tunggulah di sini," kata Co Hun Kie. "Aku mau keluar untuk mengambil cabang-cabang kering." Ia lalu berjalan keluar dan balik kembali dengan seikat kayu kering, yang lalu di-sulut.

Co Hun Kie yang adatnya tidak sabaran, lantas saja jalan paling dulu dengan tindakan lebar. Di seputar dinding gua melekat es yang ribuan tahun tak pernah lumer, dan di beberapa tempat, ke-pingan-kepingan es berbentuk tajam bagaikan golok dan pedang. Dengan tangan mencekal satu batu, sembari jalan To Pek Swee menggempur es yang tajam itu.

Baru saja mereka belok di satu tikungan lagi, Tian Ceng Bun mendadak mengeluarkan seruan kaget, sambil menuding serupa benda kecil ber-warna kuning, yang menggeletak di sebelah de-pannya Co Hun Kie.

Co Hun Kie membungkuk dan pungut benda itu yang ternyata adalah sebatang pit (pena Tiong-hoa) kecil, dibuat dari emas murni, dan pada ba-tangnya terukir satu huruf "An". Pit itu tiada beda-nya dengan pit yang pernah dipegang oleh Tian Ceng Bun, sebelum mereka mendaki Giok-pit-hong.

Bukan main herannya Co Hun Kie. Ia berpaling kepada To Cu An, seraya berkata: "Hm! Kalau begitu, kau sudah pernah datang ke sini!"

"Siapa bilang?" kata Cu An mendongkol. "Kau toh lihat, sudah lama gua ini tak pernah disatroni manusia!"

"Apa ini bukan milikmu?" menanya Co Hun Kie dengan aseran, sembari memperlihatkan pit emas itu. "Di situ terang-terangan terukir namamu."

"Tidak, aku belum pernah lihat," jawabnya, sambil menggelengkan kepala.

Co Hun Kie jadi gusar sekali. Ia melepaskan pit itu yang lantas jatuh di tanah dan menjambak baju Cu An. "Masih menyangkal?" ia membentak dan meludahi muka orang. "Dengan mata sendiri, aku lihat dia (Tian Ceng Bun) pegang itu pit yang kau berikan kepadanya."

Sempitnya gua itu membikin Cu An tidak dapat berkelit, sehingga ludahnya Co Hun Kie mampir tepat di kedua matanya. Bagaikan kalap, ia me-nendang dengan jitu kempungannya Hun Kie dan berbareng menghantam Hun Kie lemparkan obor-nya dan mengirim satu jotosan dengan tangan ka-nannya yang mengenakan tepat hidungnya To Cu An. Sesaat itu, obor padam, sehingga gua jadi gelap gulita. Mereka terus bertempur dengan seru dan akhirnya bergulingan di atas tanah.

Semua orang jadi mendongkol, berbareng geli. Mereka coba membujuk, tapi mana didengar oleh kedua orang yang sedang sengit?

Tiba-tiba Tian Ceng Bun berteriak dengan sua-ra nyaring: "Siapa yang tidak mau berhenti, aku tak akan bicara lagi dengan dia."

Co Hun Kie dan To Cu An terkejut, tanpa merasa mereka berhenti bertempur.

"Eh kalian jangan gebuk aku, aku Him Goan Hian," demikian kedengaran suaranya orang she Him di tempat gelap. "Aku mau cari obor." Sesudah meraba-raba beberapa lama, ia mendapatkan obor itu yang lalu disulut. Semua orang jadi geli, melihat Co Hun Kie dan To Cu An bernapas sengal-sengal, dengan muka babak belur dan matang biru.

Sementara itu, Tian Ceng Bun mengeluarkan sebatang pit cmas dari sakunya dan kemudian me-mungut pit yang menggeletak di atas tanah. "Kedua pit ini benar sangat bersamaan," kata Ceng Bun kepada Co Hun Kie. "Siapa yang beritahukan kau, bahwa dialah (To Cu An) yang memberikan ini kepadaku?"

Co Hun Kie jadi tergugu. "Kalau bukan dia, darimana kau dapatkan itu?" ia menanya.

"Ada sangkut paut apa dengan kau?" menanya Ceng Bun dengan tawar.

Mukanya Co Hun Kie lantas saja berubah me-rah. "Kau... kau..." katanya sembari menuding Ceng Bun.

To Pek Swee ambil sebatang pit dari tangannya Ceng Bun dan lalu berkata kepada Co Hun Kie: "Gurumu adalah Tian Kui Long. Siapa Sucouwmu (kakek guru)?"

"Sucouw?" Co Hun Kie menegasi dengan pera-saan kaget. "Sucouw adalah ayahnya Suhu. Nama-nya, di atas An, di bawah Pa."

"Benar! Tian An Pa!" kata To Pek Swee. "Sen-jata rahasia apa yang ia biasa gunakan?"

"Aku... aku belum pernah bertemu Sucouw," jawabnya dengan suara tak lampias.

"Yah, memang juga kau belum pernah bertemu dengan Sucouwmu," kata pula To Pek Swee. "Wie Susiokmu telah menerima pelajaran ilmu silat dari Tian An Pa. Coba tanya dia."

"Hun Kie! Sudahlah jangan rewel," kata Wie Su Tiong. "Sepasang pit emas itu adalah senjata raha-sianya Sucouwmu."

Co Hun Kie tak dapat berkata apa-apa lagi, tapi hatinya sangsi bukan main.

"Jika kalian mau berkelahi, pergilah ke luar!" berkata Po-sie. "Yang lain mau mencari harta."

Mendengar perkataan Po-sie, sambil mengang-kat obor tinggi-tinggi, Him Goan Hian segera ber-tindak paling dulu, diikut oleh yang Iain-lain. Se¬sudah membelok pula di satu tikungan, jalanan jadi semakin sempit dan pendek, sehingga mereka hams berjalan membungkuk. Berjalan sedikit jauh lagi, mereka sudah harus merangkak. Dengkul dan ta-ngan mereka dirasakan sakit oleh karena menempel dengan es, tapi harapan mendapat harta sudah membikin mereka lupakan rasa sakit itu.

Sesudah merangkak kira-kira sepeminuman teh, jalanan depan tertiitup dengan dua batu, satu batu bundar di bawah, s;!tu batu besar di atasnya, sedang di antara kedua batu itu, terdapat lapisan es yang sangat keras.

Him Goan Hian menoleh ke belakang. "Bagai-mana sekarang?" ia menanya Po-sie. Po-sie meng-garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal tanpa mem-beri jawaban. Antara jago-jago itu, In Kiatlah yang paling cerdas otaknya. Sesudah memikir beberapa saat, ia berkata: "Dua batu yang menempel itu, pasti dapat digerakkan. Persoalannya hanya terletak ke-pada es yang memegang kedua batu itu."

"Benar," kata Po-sie dengan girang. "Kita dapat melumerkan es itu dengan obor."

Him Goan Hian lantas saja mendekati obornya kepada dua batu itu untuk melumerkan es. Lauw Goan Ho, Wie Su Tiong dan beberapa orang lain lantas merangkak keluar dan balik dengan mem-bawa lebih banyak cabang-cabang kering. Dengan bantuan bahan bakar baru, api jadi semakin besar dan sepotong demi sepotong, kepingan-kepingan jatuh di atas tanah.

Sesudah sebagian besar es menjadi lumer, Po-sie yang merasa tidak sabaran, segera mendorong batu itu dengan kedua tangannya, tapi sedikit pun tidak bergerak. Pembakaran dilangsungkan terus dan sesudah menunggu beberapa saat, Po-sie mendorong pula. Sekali ini ia berhasil.

Setelah bergoyang-goyang beberapa kali, batu besar itu terdorong ke belakang dan terbukalah satu-pintu batu, buatan alam. Berbareng dengan terbukanya pintu itu, satu sorakan girang memecah kesunyian gua" -

Dari tumpukan api, Po-sie sambar sebatang cabang yang menyala dan loncat masuk paling dulu, diikuti oleh kawan-kawannya yang masing-masing mencekal obor.

Begitu masuk di pintu, satu pemandangan yang sungguh-sungguh menakjubkan terbentang di de-pan mata mereka! Sinar emas yang gilang gemilang memancar ke empat penjuru, sehingga matanya setiap orang menjadi silau. Mereka semua menahan napas dengan mulut ternganga.

Apakah yang mereka lihat?

Mereka berada dalam satu ruangan gua yang sangat besar dan luas. Di depan mereka bertumpuk-tumpuk potongan-potongan emas dan perak, mu-tiara dan macam-macam batu permata yang ber-aneka warna, yang tak dapat dihitung berapa ba-nyaknya! Akan tetapi, semua barang berharga itu berada di dalam es. Dapat diduga, bahwa pada saat orang-orangnya Cwan Ong sudah menaruh emas permata itu di dalam gua, mereka lalu menyiram dengan banyak sekali air yang kemudian lalu mem-beku. Demikianlah sekarang harta karun itu seperti juga tersimpan di bawah batu kristal raksasa.

Setiap orang mengawasi dengan mata melotot. Mereka kesima dan untuk sejenak, tak dapat me-ngcluarkan sepatah kata. Tiba-tiba, dengan seren-tak mereka bersorak, bagaikan kalap menubruk es raksasa itu.

Mendadak Tian Ceng Bun mengeluarkan te-riakan kaget. "Ada orang!" ia berseru sambil me-nunjuk ke dalam. Di bawah sinarnya obor, benar saja terlihat dua bayangan manusia yang berdiri di dekat tembok.

Semua orang kaget bagaikan disambar geledek. Mereka tak bermimpi, bahwa dalam gua itu terdapat lain manusia. Mereka segera mencabut senjata dan tanpa merasa, berkumpul menjadi satu. Lewat be-berapa saat, kedua bayangan hitam itu masih juga tidak bergerak.

"Siapa?" Po-sie membentak, tapi tidak men-dapat jawaban.

Semua orang merasa terlebih heran. "Cianpwee (orang yang tingkatannya lebih tinggi) siapakah yang berdiri di situ," berkata pula Po-sie. "Harap suka keluar untuk berkenalan."

Suaranya Po-sie yang nyaring berkumandang keras dalam ruangan itu, akan tetapi, kedua orang itu tetap bungkam dan tidak bergerak.

Sambil mengangkat obor tinggi-tinggi, Po-sie mendekati beberapa tindak. Setelah mengawasi be-berapa saat, ia dapat kenyataan, bahwa kedua ba¬yangan hitam itu berdiri di sebelah luarnya satu lapisan es yang merupakan satu tembok kristal dan membagi ruangan itu menjadi dua, yaitu ruangan depan dan ruangan belakang.

Sambil membesarkan nyali, ia maju pula be¬berapa tindak. Hatinya berani, tapi kakinya mau lari, dan oleh karena begitu, ia berpaling dan ber¬seru: "Eh, kalian mari! Ikut aku!"

Dengan diikuti kawan-kawannya, Po-sie meng-hampiri tembok es dan menyuluhi mukanya kedua orang itu. Begitu melihat tegas, bulu badannya bangun semua. Ternyata kedua orang itu bukannya manusia hidup, akan tetapi mayat-mayat yangsudah meninggal dunia dalam waktu lama.

Hampir berbareng The Sam Nio dan Tian Ceng Bun mengeluarkan teriakan kaget. Mereka men¬dekati kedua mayat itu yang masing-masing ta-ngannya mencekal sebilah pisau belati, yang satu amblas di dada, yang satunya lagi menancap di kempungan.

Tiba-tiba Wie Su Tiong berlutut dan berkata sambil menangis: "In-su (guru yang budinya sangat besar)! Tak dinyana, kau berada di sini."

Kawan-kawannya terkejut dan lalu ajukan ber-bagai pertanyaan. "Siapa dua orang ini?"

"Dia gurumu?"

"Kenapa bisa berada di sini?" dan Iain-lain per¬tanyaan.

Sambil menyusut air matanya, Wie Su Tiong menunjuk kepada mayat yang badannya lebih kate. "Ia adalah guruku, An Pa," ia menerangkan. "Pit emas yang tadi dipungut oleh Hun Kie, adalah miliknya."

Dari paras mukanya, Tian An Pa kelihatannya masih muda, beltim cukup empat puluh tahun usia-nya, lebih muda dari Wie Su Tiong. Bermula semua orang merasa heran, akan tetapi segera juga mereka sadar, bahwa kedua mayat itu sudah menghem-buskan napasnya yang penghabisan pada beberapa puluh tahun berselang dan sudah membeku oleh karena hawa yang luar biasa dingin, sehingga ke-lihatamnya seperti juga baru meninggal satu dua hari. '

•''Susiok," kata Co Hun Kie sembari menunjuk mayat yang satunya lagi. "Siapa dia? Kenapa dia binasakan Sucouwmu?" Sembari berkata begitu, ia menendang mayat itu yang potongan badannya ku-rus jangkung.

"Dia adalah ayahnya Kim-bian-hud," menerangkan sang paman. "Waktu masih kecil, ia dipanggil Biauw-ya dan hubungannya dengan guruku, sebenarnya baik sekali. Aku ingat, di tahun itu mereka berdua sama-sama mengadakan perjalanan ke Kwan-gwa. Kami tak tahu, mereka* pergi dengan gembira sekali. Tapi sekali pergi, mereka tidak balik kembali. Belakangan tersiar desas-desus, bahwa mereka berdua telah dibinasakan oleh jago Liauw-tong, Ouw It To. Itulah sebabnya, kenapa belakangan Kim-bian-hud dan Tian Suheng sama-sama pergi mencari Ouw It To guna menuntut balas. Takdinyana, ini... orang she Biauw telah dibikin gelap mata oleh harta karun ini dan sudah turunkan tangan jahat terhadap In-su." Untuk menunjukkan rasa marahnya, sehabis berkata begitu, Wie Su Tiong menendang mayat ayahnya'Kim-bian-hud, tapi tak bergeming lantaran kakinya sudah menempel keras dengan lantai, dengan bantuan selapis es.

Mendengar omongan Wie Su Tiong yang se-enaknya saja, semua orang jadi mesem dalam hati-nya. "Siapa tahu bukan gurumu yang gelap mata dan turunkan tangan terlebih dulu?" pikk mereka.

Sementara itu To Pek Swee menghela napas beberapa kali dan lalu berkata: "Dulu Ouw It To pernah minta seorang sahabatnya memberitahu Biauw Tay-hiap dan Tian Kui Long, bahwa dia (Ouw It To) mengetahui sebab-sebab kebinasaan kedua orang tua itu. Akan tetapi, oleh karena cara binasanya kedua orang itu sangat menyedihkan dan memalu-kan, dia sungkan membuka rahasia sendiri dan bersedia mengajak Biauw Tayhiap serta Tian Kui Long pergi melihat dengan matanya sendiri. Se-karang ternyata, perkataannya Ouw It To tidaklah dusta. Dilihat begini, Ouw It To sendiri pernah datang ke gua ini, tapi sungguh heran, ia tidak angkut harta karun ini."

"Hari ini aku menemui satu urusari yang sangat mengherankan," menyeletuk Tian Ceng Bun.

"Apa?" menanya Wie Su Tiong.

"Pagi ini kita mengejar ia..." sembari berkata begitu, ia monyongkan mulutnya ke jurusan To Cu An, sedang mukanya bersemu merah. "Susiok, kau mengejar paling dulu, sedang aku mengikuti dari belakang...."

"Kudamu paling jempol, kenapa jadi ke bela¬kangan?" membentak Co Hun Kie. "Kau... kau memang sungkan bertempur dengan manusia she To itu!"

Dengan sikap acuh ta*k acuh, Ceng Bun me-nyahut: "Kau sudah mencelakakan seluruh peng-hidupanku, apa sekarang ingin mempersakiti pula diriku? Boleh! Boleh kau berbuat sesukamu! To Cu An adalah suamiku! Aku memang sudah berlaku sangat tidak pantasHferhadapnya. Walaupun ia, su¬dah tak mencintai aku, akan tetapi, selain ia, dalam lubuk hatiku tidak lerdapat lain manusia."

"Aku tetap mencintai kau, Ceng-moay! Aku tetap mencintai kau!" berseru To Cu An.

"Kau maui perempuan hina dina ilu?" mem-bentak To Pek Swee. "Tapi aku tak sudi mempunyai menantu yang macamnya begitu!"

"Binatang!" berteriak Co Hun Kie. "Kalau kau mempunyai kepandaian, bunuhlah aku terlebih dulu!"

Tian Ceng Bun menunduk mengawasi tanah dan sehabis mereka berteriak-teriak, barulah ia berkata puia dengan suara perlahan: "Meskipun kau masih mencintai aku, aku sendiri lak ada muka untuk mengikuti kau. Sesudah keluar dari gua ini, biarlah kita berdua jangan bertemu muka lagi."

"Tidak, tidak, Ceng-moay!" berkata Cu An dengan suara bingung. "Memang dia yang terlalu busuk. Dia hinakan kau, persakiti kau. Biarlah aku binasakan padanya." Ia angkat goloknyadan terjang Co Hun Kie.

"Eh!" Lauw Goan Ho loncat menyelak. "Kalau kau orang mau bertempur, pergilah keluar!" la tangkap pergelangan tangan To Cu An dan rampas goloknya yang lalu dilemparkan di atas tanah.

Co Hun Kie pun sudah loncat maju, tapi ia juga kena dihalangi oleh In Kiat.

Melihat caranya Ceng Bun mengadu dan mem-permainkan kedua jago itu, semua orang jadi me-rasa geli dalam hatinya.

"Tian Kouwnio," berkata Po-sie, "Kau merdeka untuk menikah dengan siapa juga, tapi kau tentu tak akan mau menikah dengan aku, si hweeshiotua. Maka itu, aku hanya perlu menanya kau: Urusan heran apakah yang kau temui di pagi tadi?"

Semua orang tertawa terbahak-bahak, sedang Tian Ceng Bun jadi tersenyum simpul.

"Kudaku yang larinya perlahan tak dapat me-nyusul rombongan Susiok," ia menerangkan. "Selagi enak larikan kuda, mendadak aku dengar suara kaki kuda di sebelah belakang. Satu tangan penunggang kuda itu mencekal poci arak yang besar. Ia dongak dan teguk isinya poci itu. Aku lihat, mukanya penuh brewok dan badannya bergoyang-goyang lantaran sinting. Tanpa merasa, aku tertawa. 'Eh, apakah kau anak perempuannya Tian Kui Long?' mendadak ia menanya. 'Benar.'jawabku. 'Siapakah tuan?' Tanpa menjawab, ia mementil dengan dua jerijinya dan sebatang pit emas menyambar aku. Aku berkelit, tapi pit itu tudah sambar putus satu anting-an-tingku. Aku kaget bukan main, tapi orang itu sudah kaburkan kudanya. Hatiku heran, tak tahu kenapa ia bertkan pit itu kepadaku."

"Kau kenal dia siapa?" menanya Po-sie.

Tian Ceng Bun manggutkan kepalanya. "Dia adalah Swat San Hui Ho Ouw Hui yang tadi naik ke gunung," katanya. "Ketika ia memberikan pit itu, aku tentu saja tak kenal padanya. Tapi tadi, sesudah ia bicara dengan adik Biauw, aku kenali suaranya."

Co Hun Kie kembali jadi curiga. "Pit itu adalah miliknya Sucouw," kata ia. "Darimana Ouw Hui dapatkan itu? Kenapa dia berikan kepadamu?"

Tian Ceng Bun yang selalu berlaku manis ter-hadap lain orang, lantas saja berubah paras muka¬nya begitu mendengar perkataannya Hun Kie. Ia merengut dan tidak menjawab.

"Aku percaya Ouw It To pernah datang ke gua ini," kata Lauw Goan Ho. "Tentu juga ia men-dapatkan pit itu di atas tanah atau di badannya Tian An Pa. Akan tetapi, ia meninggal dunia ketika Ouw Hui baru saja berusia beberapa hari. Cara bagaimana ia dapat mewarisi pit itu kepada oroknya?"

'Mungkin sekali Ouw It To tinggalkan pit itu di rumahnya dan sesudah Ouw Hui menjadi dewasa, ia dapat menemukan senjata rahasia itu di antara barang-barang peninggalan ayahnya," Him Goan Hian.ajukan pendapatnya.

, "Yah, memang mungkin sekali," berkata Wie Su .Tiong sambil manggutkan kepalanya. "Pit itu ber-lubang di tengah-tengahnya dan kepalanya dapat ditekuk ke bawah. Ceng Bun, coba kau lihat kalau-kalau di dalamnya tersimpan apa-apa yang luar biasa." ,.

Tian Ceng Bun segera menekuk kepala pit yang didapat dari jalan gua, tapi di dalamnya tidak ter-dapat apapun juga. Sesudah itu, barulah ia menekuk kepala, pit yang diberikan Ouw Hui, dan benar saja, di dalamnya terdapat segulung kecil kertas. Semua orang segera menghampiri buat melihat isinya ker¬tas itu.

Mereka merasa syukur, bahwa Wie Su Tiong berada di situ, sebab jika tidak, mereka tentu tidak mengetahui adanya alat rahasia yang sedemikian halus.pada pit tersebut.

Ceng Bun lantas saja mem-buka gulungan kertas itu yang ternyata terdapat tulisan yang bunyinya seperti berikut: "Tuan-tuan dari Thian-liong-bun beramai-ramai datang di Liauw-tong, datangnya menunggang kuda, pulang nya menunggang angin."

Di bawah kertas itu ter dapat gambar rase bersayap, sedang tulisannya adalah buah kalam Swat San Hui Ho, atau si Rase Terbang.

Sesaat itu, paras mukanya Wie Su Tiong me-nunjukkan kegusaran hebat. "Hm!" katanya. "Belum tentu!" Tapi, sedang mulutnya berkata begitu, hatinya mengakui, bahwa kepandaiannya Ouw Hui memang bukan main tingginya dan ia mengetahui segala gerak-geriknya orang-orang Thian-liong-bun. Mengingat itu, ia bergidik dan bulu badannya ba-ngun semua.

"Susiok, apa artinya 'pulang menunggang angin?'" menanya Co Hun Kie.

"Hm! Dia mengatakan kita semua akan binasa di Liauw-tong," menerangkan sang paman guru. "Kita semua dikatakan bakal menjadi setan-setan yang akan pulang ke rumah dengan menunggang angin."

"Binatang!" memaki Co Hun Kie.

Sedang orang-orang Thian-liong-bun meng-awasi kertas kecil itu dengan perasaan mendongkol dan khawatir, adalah Po-sie, To Pek Swee, Lauw Goan Ho dan yang Iain-lain sudah memusatkan perhatiannya kepada harta karun itu. Po-sie segera mencabut golok dan membacok es beberapa kali. Ia tertawa terbahak-bahak sambil menggenggam emas dan batu-batu permata.

Disoroti sinar obor, emas permata itu menge-luarkan sinar berkilauan, sehingga tanpa menunggu waktu lagi, yang Iain-lain lantas mencabut senjata dan turut membacok kalang kabutan. Sambil mem¬bacok, mereka masukkan "pendapatannya" ke da-lam saku dan semakin padat saku mereka, semakin giat mereka membacok. Tapi tak lama kemudian,

golok dan pedang sudah menjadi gompal dan ba-cokan-bacokannya tak begitu gencar lagi seperti tadi. Harus diketahui, bahwa golok dan pedang itu adalah senjata-senjata biasa yang mereka sambar dari rumah Touw Sat Kauw. Senjata mereka sendiri, sebagaimana diketahui, telah dikutungkan oleh se-pasang kacung Ouw Hui.

"Lebih baik kita ambil kayu bakar untuk me-lumerkan es ini," berkata Tian Ceng Bun.

Semua orang segera menyetujui. Cara tersebut sebenarnya sudah harus diingat sedari tadi, akan tetapi begitu melihat emas permata, mata mereka berkunang-kunang dan lalu mengambil jalan yang paling pendek. Usulnya Ceng Bun disetujui oleh semua orang, tapi tak ada satu pun yang mau bergerak untuk mengambil kayu bakar. Setiap orang merasa khawatir, bahwa selagi pergi mengambil kayu, orang lain sudah kantongi lebih banyak harta.

Po-sie menyapu semua orang dengan matanya dan lalu memberi perintah: "Ciu Sie-heng, To Sie-heng dan Him Piauw-tauw, kalian bertiga pergilah keluar mengambil kayu bakar. Yang menunggu di sini semua mengaso, siapa juga tak diperbolehkan mengambil emas permata ini."

Ketiga orang itu merasa sangsi, tapi oleh karena segan terhadap Po-sie, dengan ogah-ogahan me¬reka lalu berjalan keluar.

* * *

Swat San Hui Ho Ouw Hui sudah berjanji dengan Touw Sat Kauw Chungcu untuk bertan-ding di puncak Giok-pit-hong pada Sha-gwee Cap-go (Bulan Ketiga, tanggal lima belas). Ketika naik ke puncak itu pertama kali, Touw Chungcu belum pulang dan ia bertemu dengan Biauw Yok Lan.

Sesudah turun dari puncak, hatinya selalu ber-debar-debar, paras mukanya Biauw Yok Lan selalu terbayang di depan matanya, sedang suara khim dan nyanyiannya si nona berkumandang dalam telinga-nya.

Bersama Peng Ah Sie dan kedua kacungnya ia mengaso di dalam satu gua dan makan makanan kering yang dibawanya. Lukanya Peng Ah Sie cukup berat, tapi tidak membahayakan jiwanya, sehingga Ouw Hui jadi terhibur.

Ia rebahkan dirinya di atas tanah dan lalu me-ramkan kedua matanya. Begitu lekas meramkan mata, paras dan gerak-geriknya nona Biauw kembali terbayang-bayang.

Dengan uring-uringan, ia membuka kedua mata¬nya lebar-lebar dan mengawasi dinding batu dari gua itu. Dilain saat, suara nyanyiannya Biauw Yok Lan sayup-sayup masuk ke dalam telinganya, seperti juga keluar dari dinding batu itu.

Ouw Hui menghela napas. "Ah, kenapa juga aku jadi seperti orang edan?" katanya di dalam hati. "Ayahnya adalah musuh besarku yang sudah mem-bunuh ayahku. Meskipun waktu itu, ayahnya tidak bermaksud membinasakan ayah, akan tetapi sama saja, ayahku sudah binasa lantaran gara-gara ayah¬nya. Aku hidup sebatang kara, tak punya ayah, tak

punya bunda, dan itu semua adalah gara-gara ayah-nya. Buat apa aku pikiri dia?"

Tapi baru saja mcmikirkan begitu, lain pikiran datang kepadanya. "Ketika itu, ia belum dilahirkan," pikir Ouw Hui. "Sakit hati itu mengenai orang tuanya dan tiada sangkut pautnya dengan dia. Hai! Dia adalah Ciankim Siocia (nona yang berharga ribuan tail emas, berarti nona bangsawan atau har-tawan)! Sedang aku? Aku hanyalah lelaki gelan-dangan dari dunia Kang-ouw. Buat apa aku cari-cari urusan?"

Akan tetapi, walupun hatinya berkata begitu, ibarat orang yang kejeblos di dalam lumpur, se-makin lama Ouw Hui tenggelam semakin dalam.

Memang juga, jika ikatan cinta dapat diputuskan dengan begitu saja, ikatan itu bukannya ikatan cinta.

Tak kurang sejam, Ouw Hui bergelisah. Ma-cam-macam pikiran datang kepadanya. "Apa tak bisa jadi, lantaran takut keok, lawanku sudah me-masang Bie-jin-kee (tipu dengan menggunakan wa-nita cantik)?" ia menanya dalam hatinya. Tapi se-gera juga ia sesalkan pikiran itu yang seolah-olah menghina Biauw Yok Lan. "Tidak!" ia mengge-rendeng. "Dia mulia bagaikan dewi. Mana bisa dia jadi begitu rendah? Tidak! Akulah yang picik, yang mempunyai pikiran rendah!" Ketika itu, siang sudah mulai berganti dengan malam. Ia mendekati Peng Ah Sie seraya berkata: "Sie-siok, aku mau naik ke puncak lagi. Kau mengasolah di sini."

Tanpa menunggu jawaban, badannya sudah me-lesat keluar dan lalu berlari-lari ke arah puncak dengan menggunakan ilmu entengkan badan. Dalam waktu sekejap, ia sudah tiba di kaki puncak dan lalu naik dengan menggunakan tambang.

Begitu tiba di depan pintu, hatinya berdebar-debar. Ia masuk ke ruangan depan, tapi di situ tidak terdapat barang satu manusia. Dengan heran, ia berseru: "Boanpwee (orang yang tingkatannya lebih rendah) ingin berjumpa. Apakah Touw Chungcu sudah pulang?"

Ia berteriak beberapa kali, tapi tak mendapat jawaban. Ia mesem dan berkata dalam hatinya: "Percuma Touw Sat Kauw dikenal sebagai jago Liauw-tong. Biarpun kau memasang jebakan, aku Ouw Hui sedikit pun tidak merasa jeri."

Ia duduk dengan niat segera turun bukit, se-sudah menulis beberapa perkataan untuk mengejek Touw Sat Kauw. Tapi segera juga ia mengurungkan niatnya untuk lantas turun. Entah kenapa, ia merasa berat untuk meninggalkan tempat itu.

Tanpa tujuan, ia pergi ke kamar samping yang letaknya di sebelah Timur. Ia masuk ke dalam kamar itu, yang ternyata adalah satu kamar buku yang diperaboti dengan indah sekali. Ia duduk ambil sejilid buku dan lalu coba membaca.

Tapi segera juga ia lepaskan buku itu oleh karena artinya tak dapat masuk ke dalam otaknya.

Tak lama kemudian, cuaca sudah menjadi gelap dan Ouw Hui lalu mengeluarkan bahan api untuk menyulut lilin. Mendadak, kupingnya menangkap suara tindakan yang sangat enteng di atas salju. Ia terkejut dan mengetahui, bahwa orang itu berke-pandaian tinggi. Di atas tanah, dengan tidak terlalu sukar, hampir setiap orang dapat berjalan tanpa mengeluarkan suara. Akan tetapi, jika seseorang berjalan di atas salju, biar bagaimanapun juga, ia tak dapat menghilangkan suara tindakannya. Per-bedaannya hanya terletak atas kepandaiannya: Jika ia berkepandaian tinggi, tindakannya enteng dan suaranya halus, jika berkepandaian rendah, tin¬dakannya berat dan suaranya keras. Ouw Hui lantas saja urungkan niatnya untuk menyulut lilin dan masukkan bahan api itu ke dalam sakunya.

Sesaat kemudian, ia mengetahui bahwa di be-lakang orang yang pertama, mengikuti beberapa orang lain, yang semuanya mempunyai ilmu silat yang tidak rendah. Ouw Hui lalu menghitung dan ternyata jumlah mereka adalah lima orang.

Tiba-tiba terdengar tiga tepukan tangan, yang disambut dengan tiga tepukan tangan pula dari luar rumah. Tidak lama kemudian, di luar rumah itu datang enam orang lain.

Sebagai seorang yang mempunyai kepandaian tinggi, nyalinya Ouw Hui sangat besar. Akan tetapi, berkumpulnya sebelas orang yang rata-rata berilmu tinggi, sudah membikin ia menghitung-hitung juga. "Paling benar aku berlalu dulu dari rumah ini, supaya tidak masuk ke dalam jebakan," katanya di dalam hati. Ia lalu berjalan keluar, tapi pada se-belum mengenjot badan, di atas genteng sekonyong-konyong terdengar suara krcsekan dan dengan ku-pingnya yang sudah terlatih, ia segera mengetahui, bahwa kembali ada beberapa tetamu yang datang berkunjung.

Buru-buru ia balik ke dalam kamar. Ia dapat kenyataan, bahwa rombongan yang baru datang itu tidak kurang dari tujuh orang. Di atas genteng terdengar tiga tepukan tangan, dibalas dengan tiga tepukan juga dari luar rumah. Sesaat kemudian, tujuh orang itu melayang turun dan lalu meng-hampiri kamar samping, di mana Ouw Hui berada. Oleh karena jumlah musuh terlalu besar, Ouw Hui jadi gentar juga dan lalu memutar otaknya untuk mencari siasat baik guna merebut keme-nangan. Memang ia sudah menduga, bahwa Touw Sat Kauw akan mencari pembantu-pembantu guna menghadapi dirinya, akan tetapi sama sekali ia tidak nyana, orang she Touw itu mempunyai "muka yang begitu besar" (sangat dipandang orang), sehingga dapat mengundang begitu banyak orang pandai.



DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar