Kisah Si Rase Terbang (Hoei Ho Gwa Toan) Jilid 14 (Tamat)

Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
----------------------------

Jilid 14 (Tamat)

Melihat Ouw Hui, sembilan penunggang kuda itu dengan serentak menahan tunggangan mereka. Orang yang berparas tampan itu mengangkat kedua tangannya seraya berkata: "Tuan, selamat bertemu." "Bagus sekali perbuatanmu!" bentak Ouw Hui. "Apakah kau masih ingat akan Ma It Hong?" Paras Hok Kong An tampak bingung. "Ma It Hong?" ia menegas. "Siapa dia?" Ouw Hui tertawa dingin. "Huh-huh, bangsat kau!" cacinya. "Dari Ma It Hong, kau sudah men-dapat dua orang anak. Kau tak ingat? Kau me-merintahkan tukang-tukang pukulmu membunuh Cie Ceng, suami Ma It Hong. Tak ingat? Bersama-sama ibumu, kau sudah meracuni Ma It Hong. Ini pun tak diingat lagi olehmu? Benar-benar kau penjahat besar yang pandai berpura-pura.

Orang itu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mungkin sekali tuan salah mengenali," katanya. Seorang toosu (imam) berlengan satu yang berada di sampingnya tiba-tiba tertawa bergelak-gelak dan berkata dengan suara nyaring: "Dia orang gila yang lagi datang gilanya!" Tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, Ouw Hui melompat dan telapak tangan kirinya meng-hantam muka Hok Kong An. Pukulan tangan kiri itu hanya pukulan gertakan dan dengan berbareng, lima jari tangan kanannya, yang dipentang seperti kuku harimau, coba menyengkeram dada musuh. Ia mengerti, bahwa jika serangannya yang pertama gagal, para Wie-su tentu akan segera turun tangan. Maka itu pukulan tersebut -Houw-jiauw Kin-na (Cengkeraman harimau) — hebat luar biasa, cepat bagaikan kilat dan disertai dengan Lweekang yang sangat tinggi, sehingga, dalam perhitungannya, Hok Kong An tak akan bisa terlolos lagi.

"Ih!" Hok Kong An mengeluarkan seruan ter-tahan. Tanpa memperdulikan tinju kiri Ouw Hui, ia mementang telunjuk dan jari tengah tangan ka¬nannya dan coba menotok jalan darah Hwee-cong-hiat dan Yang-yu-hiat di pergelangan tangan kanan Ouw Hui. Kecepatan gerakan itu belum pernah dialami Ouw Hui yang jadi sangat kaget, karena, pada detik itu, kedua jari tangan lawan hanya ter-pisah kira-kira dua dim dari pergelangan tangannya. Tapi dalam bahaya, ia tak menjadi bingung. Secepat kilat, ia mengubah gerakan tangannya dan coba menyengkeram kedua jeriji musuh dan kalau kena, jeriji itu pasti akan patah. Tapi di luar dugaan, Hok Kong An benar-benar berkepandaian tinggi. Se-baliknya daripada menarik pulang tangannya, ia mementang pula tiga jari tangannya yang lain, se¬hingga pukulannya yang tadi, pukulan menotok, berubah menjadi pukulan telapak tangan dan tanpa menggerakkan lengan, tenaga pukulan itu sudah menyambar ke luar.

Menurut kebiasaan, seseorang yang ingin me-ngirim pukulan telapak tangan, harus lebih dulu menarik mundur lengannya, kemudian barulah mendorongnya ke luar. Dengan cara demikian, te¬naga pukulan baru bisa "dimuntahkan". Tapi sung-guh heran, Hok Kong An dapat "memuntahkan" tenaganya tanpa mengubah kedudukan lengannya yang sudah diulur ke luar.

Bukan main kagetnya Ouw Hui. Ketika itu tubuhnya sedang berada di tengah udara dan ia tidak bisa meminjam tenaga.

Karena sudah kesusu, ia terpaksa menghantam dengan telapak tangan kirinya dan "plak!", dua tangan itu beradu. Ia merasa dadanya menyesak dan darahnya meluap ke atas. Tapi dengan meminjam bentrokan tenaga itu, badannya melesat dua tom-bak lebih dan selagi masih berada di tengah udara, ia menarik napas dalam-dalam, sehingga pada waktu kedua kakinya hinggap di tanah, jalan pernapasan-nya sudah tenteram kembali.

"Bagus!" delapan-sembilan orang itu memuji.

Di lain pihak, sebagai akibat dari bentrokan tangan itu, tubuh Hok Kong An pun bergoyang sedikit, tapi sesaat kemudian, ia sudah bisa duduk lagi dengan tetap di atas tunggangannya. Pada paras mukanya kembali terlihat perasaan heran.

Peristiwa barusan itu sudah terjadi dalam se-kejap mata. Tapi dalam tempo sependek itu, kedua belah pihak sudah saling menjajal kepandaian de¬ngan menggunakan beberapa macam pukulan yang tertinggi dan tersulit dalam dunia persilatan. Dan dari hasilnya, ternyatalah, bahwa Ouw Hui masih kalah setingkat.

Ouw Hui tak pernah mimpi, bahwa Hok Kong An memiliki ilmu silat yang sedemikian tinggi. Ia heran bercampur kagum, tapi kedua perasaan itu tidak dapat menghapus amarahnya.

"Anak tolol!" kata si imam yang berlengan satu. "Apakah sekarang kau mengakui, bahwa kau sudah salah mengenali orang? Ayo, lekas berlutut untuk minta maaf!" Ouw Hui mengawasi lawannya. Tak bisa salah! Orang itu memang Hok Kong An. Muka orang itu penuh debu dan pakaiannya agak kotor, tapi muka itu, bukan saja muka Hok Kong An, tapi juga mempunyai sinar keangkeran seperti Hok Kong An. Muka bisa sama, tapi sinar muka tak bisa sama.

Untuk sejenak, Ouw Hui berdiri bengong. "Ah! Dengan membawa tukang-tukang pukul lain dan berlagak gila, bangsat Hok Kong An pasti sedang menjalankan siasat busuk," pikirnya. "Aku tidak boleh terjebak." Begitulah, ia lantas saja berteriak: "Hok Kong An, kau memiliki kepandaian tinggi dan aku tidak bisa menandingi kau. Tapi kau terlalu jahat. Biarpun aku kalah, aku tidak bisa melepaskan kau dengan begitu saja." "Saudara kecil," kata orang itu, "kau pun me¬miliki kepandaian tinggi. Aku bukan Hok Kong An. Bolehkah aku mengetahui she dan namamu yang mulia?" "Jangan berlagak gila kau!" bentak Ouw Hui.

"Saudara, sikapmu pantas untuk menjadi se-orang gagah dan aku merasa sangat takluk," me-nyelak salah seorang yang berdiri di dekat Hok Kong An.

Ouw Hui melirik orang itu, yang bertubuh tinggi besar dan berusia kira-kira empat puluh tahun. Yang luar biasa adalah sinar kedua matanya yang tajam dan berkilat, sehingga dia pasti seorang yang berkepandaian tinggi. "Tuan memiliki kepandaian tinggi, hanya sayang Tuan rela menjadi anjing bang-sa Boan," kata Ouw Hui dengan suara menyesal.

Orang itu tersenyum seraya berkata: "Kau sung-guh berani. Di wilayah kota Pakkhia kau sudah berani mengeluarkan perkataan itu. Apakah kau tak takut dihukum mati?" "Sesudah terjadi apa yang terjadi hari ini, kalau kamu mau membunuh aku, cobalah," jawabnya.

Ouw Hui sebenarnya bukan seorang sembrono. bahkan dapat dikatakan ia seorang yang berhati-hati. Tapi biar bagaimanapun jua, ia seorang muda yang masih berdarah panas. Sesudah menyaksikan penderitaan Ma It Hong, darahnya meluap dan otaknya yang dingin telah tertutup hawa amarah¬nya. Di samping itu, soal Wan-seng pun menambah sedih hatinya, sehingga ia tidak dapat berpikir lagi dengan tenang.

Sambil menggenggam golok, ia mengawasi ke-sembilan orang itu dengan sorot mata gusar. Tiba-tiba toojin yang berlengan satu itu melompat turun dari tunggangannya dan tahu-tahu tangannya sudah mencekal sebatang pedang yang mengeluarkan si¬nar hijau. Sekali lagi Ouw Hui terkesiap. karena kecepatan. menghunus senjata itu belum pernah disaksikannya. "Bagaimana Hok Kong An bisa mem¬punyai begitu banyak orang pandai?" tanyanya di dalam hati. "Mengapa orang itu tidak muncul dalam Ciangbunjin Tayhwee?" Karena khawatir diserang secara membokong, ia mundur setindak dan me-masang kuda-kuda.

"Jagalah!" seru si toojin sambil melompat. "Trang...! trang...! trang...!" Ia mengirim delapan serangan dengan beruntun. Dengan kecepatan yang luar biasa, gerakan serangan-serangan itu hampir tak bisa dilihat dengan mata. Tapi ilmu golok Ouw-kee To-hoat yang dirniliki Ouw Hui juga bukan ilmu golok sembarangan. Sambil mengempos semangat, ia menangkis dan berhasil mempunahkan delapan serangan lawan. Dalam bentrokan senjata yang ke sembilan kali, ia menggunakan seluruh Lweekang-nya dan kedua senjata itu lantas saja saling me-nempel dengan keras.

"Bagus!" teriak delapan orang dari pihak lawan. "Kiam-hoat yang indah dan To-hoat yang tidak kurang indahnya!" "Tootiang, sudahlah!" kata Hok Kong An. "Mari kita berangkat." Imam itu tidak berani membantah, dan segera menarik pcdangnya sambil mengawasi Ouw Hui dengan sorot mata heran. Setelah bertemu dengan tandingan setimpal, agaknya ia merasa berat un-tuk mundur dengan begitu saja. "Anak muda, kau memiliki ilmu golok yang sangat tinggi," ia me-muji.

"Toojin, kau pun mempunyai ilmu pedang yang sangat tinggi," balas Ouw Hui. Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pula sambil tertawa dingin: "Hanya sayang, sungguh sayang!" "Sayang apa!" bentak si toojin dengan mata mendelik. "Apakah kiam-hoatku ada cacadnya?" "Bukan, ilmu pedangnya, tapi manusianya," jawab Ouw Hui. "Aku merasa sayang, bahwa seorane pentolan Rimba Persilatan rela menjadi budak bangsa Boan." Si imam mendongak dan tertawa terbahak-ba-hak. "Anak muda, sedap sungguh cacianmu!" kata-nya dengan suara yang bernada girang. "Anak muda. apakah kau berani bertanding lagi denganku?" "Mengapa tidak?" jawab Ouw Hui.

"Baiklah, sebentar, tengah malam, aku akan tunggu kau di samping To-jian-teng," kata si imam. "Kalau kau jeri, kau boleh tak usah datang." "Seorang laki-laki tulen hanya takut terhadap seorang kuncu," kata Ouw Hui dengan suara nyaring. "Dia tak nanti gentar terhadap kawanan budak!" Orang-orang itu mengacungkan jempol. "Ba¬gus!" kata mereka sambil mengeprak kuda dan cepat-cepat pergi.

Selagi Ouw Hui bertempur dengan toojin itu. Leng So sudah keluar dari kelenteng. Melihat Hok Kong An, ia kaget dan heran. "Toako, apa bisa jadi Hok Kong An datang ke mari?" tanyanya. "Apakah malam ini kau mau pergi ke To-jian-teng?" Ouw Hui mengerutkan alis. "Mungkinkah die bukan Hok Kong An?" katanya dengan suara per-lahan. "Kurasa tak mungkin. Tapi... tapi, ketika aku mencaci para Wie-su itu sebagai budak-budak bangsa Boan, mengapa sebaliknya dari bergusar. mereka memuji aku?" "Tapi apakah Toako mau pergi juga ke To-jian-teng?" tanya pula si adik.

"Tentu," jawabnya. "Jie-moay, kau berdiam saja di sini untuk merawat Ma Kouwnio." "Ma Kouwnio sudah tak usah dirawat lagi," Kata Leng So. "Menurut penglihatanku, ia tak bisa bertahan sampai besok pagi. Sedang kau mengha-dapi lawan berat, bagaimana aku bisa tidak meng-ikut?" "Tapi aku tidak setuju," kata sang kakak. "Kau sudah menggagalkan Ciangbunjin Tayhwee dan se-karang mereka tentu sudah tahu siapa yang telah menggagalkannya. Jawab kau mengikut, apakah ti¬dak terlalu berbahaya?" "Aku tetap ingin mengikut sebab aku sangat khawatir jika Toako pergi sendirian," kata nona Thia.

Melihat adiknya sudah tidak dapat dibujuk lagi, Ouw Hui mengangguk seraya berkata: "Baiklah." Waktu mereka masuk pula ke kamar samping untuk menengok Ma It Hong, nyonya itu sedang berteriak-teriak dengan suara lemah: "Anakku...! Mana anakku...? Hok Kongcu...! Hok Kongcu... sebelum mati, aku ingin bertemu mula lagi dengan kau...." Bukan main terharunya Ouw Hui. "Inilah yang dinamakan cinta buta," katanya di dalam hati. "Hok Kong An telah memperlakukannya secara begitu kejam, tapi sampai pada detik mau melepaskan napas pernghabisan, ia masih tak dapat melupakan manusia itu." Sesudah berdiri beberapa lama, sambil meng-hela napas mereka keluar dari kamar itu untuk mencari makanan. Tak jauh dari kelenteng itu ter-dapat sebuah rumah petani, di mana mereka bisa membeli nasi dan sayur yang sederhana. Sesudah makan kenyang, mereka kembali ke kelenteng Sin Long itu.

Sesudah berdamai, mereka mengambil keputus-an untuk berangkat sebelum tengah malam. Mereka merasa, bahwa dalam pertandingan kali ini, para Wie-su Hok Kong An pasti mengandung maksud jahat dan mungkin sekali mereka mengatur siasat busuk. Maka itu, mereka ingin tiba di To-jian-teng lebih siang untuk mengamat-amati persiapan pihak lawan.

To-jian-teng, atau Pendopo Bahagia, adalah sebuah biara pendeta wanita yang diberi nama Cu-pie-am (Biara Welas asih). Di sekitar biara itu tumbuh alang-alang yang setiap kali tertiup angin. menari-nari dan mengeluarkan suara gemerisik sedih di tengah malam yang sunyi itu.

Tiba-tiba terdengar suara "a-a-a!", seekor burung gan dari utara terbang ke selatan.

"Burung itu terpisah dari rombongannya. dan meskipun tengah malam dia terbang juga untuk mencari kawan-kawannya," kata Leng So dengan suara perlahan.

Mendadak, dari antara alang-alang terdengar suara manusia: "Tak salah, tak salah. Di dunia. alang-alang berombak-ombak karena tertiup angin. di angkasa, burung gan lebih enteng dari pada manusia. Kalian sungguh boleh dipercaya dan siang-siang sudah datang untuk menepati janji." Ouw Hui dan Leng So terkejut. Mereka datang lebih siang untuk mengamat-amati gerakan lawan, tapi sang lawan ternyata sudah datang terlebih dulu. "Didengar dari perkataannya, sekali membuka mu-lut menggubah sajak, dia kelihatannya bukan sem-barang orang," kata Ouw Hui dalam hatinya. Sambil mundur setindak, ia lantas saja berkata: "Sesudah menerima tantangan, aku memang sengaja datang lebih siang." Hampir berbareng dengan jawaban Ouw Hui, seorang lelaki yang bertubuh kate kurus muncul dan berkata: "Selamat bertemu. Aku mohon kalian suka menunggu karena saudara-saudaraku sedang ber-sembahyang." Ouw Hui heran. Di kuburan siapa Hok Kong An bersembahyang? Mengapa dia datang di tengah malam buta? Tiba-tiba kupingnya menangkap suara seseorang yang berkata-kata dengan suara parau:  "Di dunia yang luas, Nyanyian berakhir, Rembulan somplak, Dalam kota indah. ( Kota indah = Kuburan) Terdapat darah ksatria. ) Batu giok bisa hancur, Darah bisa kering, Tapi roh nan harum hidup abadi.

Bukankah begitu? Bukankah begitu? Akhirnya berubah menjadi kupu-kupu."  Waktu mengucapkan kata-kata yang terakhir, orang itu menangis segak-seguk dan di antara ta-ngisnya itu, Ouw Hui juga mendengar hela napas atau tangisan perlahan dari belasan orang. Apa yang lebih mengherankan lagi, ia juga mendapat kenyataan, bahwa di antara orang-orang itu terdapat beberapa wanita.

Mendengar sajak itu, Ouw Hui turut merasa terharu. Ia tahu, bahwa orang-orang itu sedang bersembahyang di kuburan seorang wanita dan de¬ngan disebutkannya "darah ksatria" (Pek-hiat), wa¬nita itu tentulah juga sudah mati bukan secara wajar. Di tengah malam yang sunyi, sajak dan tangisan itu sangat menyayat hati.

Selang beberapa lama, suara tangisan mereda dan berhenti. Sesaat kemudian, Ouw Hui melihat munculnya belasan orang yang mendaki segunduk-an tanah tinggi.

"Tootiang!" seru si kate. "Sahabat yang mem-buat janji dengan kau sudah tiba di sini." "Bagus!" kata imam berlengan satu itu. "Mari kita main-main tiga ratus jurus." Seraya berkata begitu, ia berlari turun dari tanah tinggi itu dan begitu berhadapan dengan Ouw Hui, ia menyerang sambil melompat tinggi. Selagi tubuhnya berada di udara, ia menghunus pedang dengan kecepatan yang sukar dilukiskan. Melihat begitu, semangat Ouw Hui terbangun dan ia pur. lalu melompat tinggi sambil mencabut golok. Sehingga sebelum kaki mereka hinggap dibumi. kedua senjata itu sudah kebentrok dua kali. Mereka meng-injak tanah dengan berbareng dan suatu pertem-puran yang sangat dahsyat lantas saja berlangsung.

Begitu bergebrak, si imam lantas saja memper-lihatkan kecepatannya Ouw Hui menyerang satu kali, ia membalas dengan empat-lima kali serangan. "Kau menggunakan kecepatan, apa kau kira aku tak mampu?" kata Ouw Hui di dalam hati dan ia segera mengeluarkan ilmu golok Ouw-kee Kway-to.

Dengan cepat melawan cepat, gerakan mereka sukar dilihat nyata lagi dan orang hanya bisa men-dengar suara "trang... trang... trang...." yang tak habis-habisnya. Sambil bertempur, si imam ber-teriak-teriak dengan gembira: "Sungguh menye-nangkan! Sungguh menggembirakan!" Ouw Hui kaget bercampur kagum. Seumur hi-dupnya, belum pernah ia bertemu dengan lawan yang begitu lihay. Ia lantas saja mengeluarkan sc-mua ilmu golok yang telah dipelajarinya. Diam-diam ia merasa heran bagaimana ia sekarang bisa bersilat begitu cepat, karena dalam latihan-latihan, belum pernah ia mampu berlatih dengan kecepatan itu.

Pada hakekatnya, ia sendiri belum dapat me-nyelami Ouw-kee To-hoat (Ilmu golok keluarga Ouw) sampai di dasarnya. Ilmu golok itu mempunyai banyak keluarbiasaan. Seorang lawan yang kepan-daiannya biasa saja sudah dapat dijatuhkan dengan jurus-jurus yang biasa pula. Tapi sekarang, dalam menghadapi si imam yang luar biasa, keluarbiasaan Ouw-kee To-hoat lantas saja muncul dengan sen-dirinya.

Si imam sendiri juga tercengang dan kagum. Dalam menjelajah dunia Kang-ouw, entah sudah berapa kali ia berhadapan dengan lawan yang berat. Tapi belum pernah ia bertemu dengan lawan yang selihay Ouw Hui. Sambil mengempos semangat dan memusatkan seluruh perhatiannya, ia coba mencari kelemahan Ouw Hui. Tapi Ouw-kee To-hoat teguh dan kokoh, menyerang dan membela diri dengan berbareng dan setiap gerakan mengandung per-ubahan yang tidakdiduga-duga. Sesudah bertempur beberapa lama, ia belum juga melihat kelemahan dalam ilmu golok itu.

Kalau diukur dalam Lweekang, tenaga dalam si imam sebenarnya banyak lebih tinggi daripada Ouw Hui, sehingga jika dalam pertandingan itu mereka mengadu tenaga dalam, siang-siang si imam sudah memperoleh kemenangan. Tapi sebab yang diadu adalah kecepatan dan Ouw Hui melayani dengan Ouw-kee To-hoat yang sangat luar biasa, maka jalan pertandingan lantas saja berimbang.

Bagian Kwa-to (ilmu golok yang mengutama-kan kecepatan) dari Ouw-kee To-hoat digubah oleh Hui-thian Ho-lie (si Rase Terbang), seorang pen-dekar yang hidup pada akhir kerajaan Beng. Waktu ilmu tersebut turun kepada Ouw It To, ayah Ouw Hui, banyak perubahan yang aneh-aneh telah di-tambahkan oleh Ouw It To. Dan dalam kepan-daiannya. Apa yang masih kurang hanyalah Lwee¬kang.

Baru saja kira-kira seminuman teh, kedua lawan itu sudah bertempur lima ratus jurus lebih. Dalam jangka waktu yang begitu pendek, selebar muka si imam sudah mengeluarkan keringat, sedang badan Ouw Hui pun sudah basah dengan keringat. Makin lama bertempur, rasa hormat menghormati di an-tara mereka jadi makin besar.

Selagi mereka bertempur dengan dahsyatnya. sekonyong-konyong terdengar siulan nyaring, di-susul dengan suara beradunya senjata di tempat yang agak jauh. Sambil tertawa si imam melompat ke luar dari gelanggang dan berkata. "Tahan! Sau-dara kecil, ilmu golokmu sangat tinggi, tapi kita mesti berhenti dulu, karena musuh sudah datang." Ouw Hui terkejut. Di lain saat, ia melihat bcrgeraknya bayangan-bayangan manusia di sebe¬lah timur laut dan tenggara. Enam-tujuh orang kelihatan mendatangi sambil berlari-lari dan me¬reka semua memegang senjata, karena di antara kegelapan terlihat kilat golok. Hampir berbareng, di sebelah belakang juga terdengar bentakan-ben-takan. Ouw Hui memutar badan dan melihat, bahwa dari sebelah barat laut dan barat daya juga sedang mendatangi sejumlah orang. Dihitung sepintas lalu, jumlah mereka paling sedikit ada dua puluh orang.

"Cit-tee, mundur kau!" seru si imam lengan satu. "Biar Jie-ko saja yang melavani mereka." Orang yang dipanggil "Cit-tee" adalah si kate kurus yang tadi bersembunyi di alang-alang dan paling dulu menemui Ouw Hui. Ia bersenjata golok dan tongkat besi dan sudah bergerak untuk men-cegat musuh yang datang dari jurusan barat laut. Mcndengar teriakan si imam, ia segera menjawab: "Baiklah!" Sehabis berkata begitu, ia mendaki gun-dukan tanah tinggi sambil berlari-lari dan kemudian berdiri berendeng dengan kawan-kawannya.

Di bawah sinar rembulan. Ouw Hui melihat legas, bahwa Hok Kong An berdiri di atas tanah tinggi itu dengan dikitari oleh belasan orang, an-taranya terdapat liga-empat wanita. Ia girang dan berkata dalam hatinya: "Orang gagah dari mana yang datang untuk menghajar Hok Kong An? Di-lihat dari ilmu ringan badan mereka, mereka pasti memeiliki ilmu silat yang tinggi. Biarlah aku mem-bantu mereka untuk membekuk penjahat kejam itu." Tapidi lain saat, ia mendapat pikiran lain: "Aku tak nyana Hok Kong An memiliki kepandaian begitu tinggi dan kaki tangannya pun jago-jago pilihan. Dilihat dari sikap mereka yang tcnang-tenang saja, apakah tak bisa jadi mereka sudah mengatur jebakan?" Selagi ia bersangsi, orang-orang itu yang me nyerbu dari empat penjuru, sudah datang dekat. Begitu melihat tegas, ia kaget bukan main, karena di antara dua puluh lebih orang itu, sebagian me-ngenakan jubah merah dari pendeta Lhama dan yang lainnya memakai seragam pengawal dari ke-raton kaisar Boan. "Jie-moay," bisiknya, "Benar-benar kita masuk ke dalam jaring. Apa kita akan bisa menerjang ke luar?" Sebelum si adik keburu menjawab, seorang Sie-wi yang bertubuh tinggi besar dan berkumis hitam sudah melompat dan membentak: "Apa kau Bu-tim Toojin? Sudah lama kudengar, bahwa ilmu pedangmu yang diberi nama Tui-hui Tok-beng Kiam-hoat (ilmu pedang mengejar roh dan mem-betot nyawa) tiada tandingannya di dalam dunia. Malam ini kita bertemu dan aku ingin belajar kenal dengan ilmu pedang yang tersohor itu." "Kau sungguh bernyali besar," kata si imam sambil lertawa dingin. "Sesudah mengenal aku, kau masih berani menantang. Siapa kau?" Mendengar disebutkannya nama "Bu-tim To-|in," Ouw Hui terkejut dan tanpa merasa ia berseru: Apa Bu-tim Tootiang?" "Benar!" jawabnya sambil tersenyum. "Tio Sam-ice telah memuji kau sebagai seorang gagah dan benar saja pujian itu bukan pujian kosong." Ouw Hui heran tak kepalang. Dengan mata membelalak, ia berkata: "Tapi... tapi... itu.... Hok Kong An.... Di mana adanya Tio Samko?" Selagi Ouw Hui terheran-heran, Sie-wie itu menjawab pertanyaan Bu-tim. "Namaku Tch-pu." "Aha! Kalau begitu kau Teh-pu," kata Bu-tim. "Di Hweekiang aku pernah mendengar cerita orang. bahwa kaisar telah mendapat seekor anjing yang kukunya tajam, bahwa anjing itu bernama Teh-pu. bahwa dia dikatakan sebagai "Jago Boaneiu nomor satu" dan bahwa dia menjadi kepala dari pasukan Sie-wie yang bcrsenjata golok. Kalau begitu kau yang dinamakan Teh-pu?" "Benar!" bentak Teh-pu dengan gusar. Kau sungguh bernyali besar. Sesudah mengenal aku. Kau masih berani main gila di daerah kota raja...." Ia tak dapat meneruskan perkataannya, karena Bu-tim sudah menikam. Sambil mengerahkan Lweekang. ia mengangkat pedangnya dan "Trang!" kedua sen-jata kebentrok keras.

"Bagus!" memuji si imam sambil mencecar lawannya dengan serangan-serangan kilat yang dikirim saling susul. Gerakan Teh-pu tidak secepat Bu-tim, tapi dia dapat membela diri dengan bagus sekali dan tempo-tempo mengirim serangan membalas yang sangat hebat.

Sementara itu. Ouw Hui mengawasi si imam dengan rasa kagum. Ia ingat, bahwa dahulu Tio Foan San pernah memuji tinggi sekali ilmu pedang Bu-tim Toojin yang dikatakan tiada tandingannya dalam dunia ini. Ia tak nyana, bahwa malam ini ia sudah bisa melayani imam itu lebih dari lima ratus jurus. Ia jadi girang dan berkata dalam hatinya: Baik juga tadi aku belum tahu, bahwa ia adalah Bu-tim Tootiang. Kalau aku tahu, mungkin sekali aku jadi keder dan tak mampu melayaninya begitu lama." Sclagi Ouw Hui menonton pertempuran itu dengan penuh pcrhatian, dua Sie-wie mendekatinya dan membentak: "Lemparkan senjatamu!" "Apa?" menegas Ouw Hui.

"Kau berani melawan?" bentak salah seorang.

"Kalau aku melawan, mau apa kau?" Ouw Hui balas membentak.

"Bangsat!" teriak Sie-wie itu yang lantas saja membacok dengan goloknya. Ouw Hui berkelit dan balas membacok. Sie-wie yang satunya lagi, yang mencekal martil besar, tiba-tiba menyerang dari samping, schingga golok Ouw Hui bcradu dengan martil itu. "Trang!" golok terlepas dan terpental ke tengah udara. Ternyata Sie-wie itu bertenaga sangat besar dan menggunakan senjata berat. Dilain pihak, sesudah bertempur matimatian melawan Bu-tim, tenaga Ouw Hui sudah berkurang banyak dan oleh sebab itu, ia tak dapat bertahan terhadap pukuJan Sie-wie itu.

Tapi meskipun senjatanya terlepas, pemuda itu bersikap tenang-tcnang saja. Sekali mengegos, ia menyelamatkan diri dari hajaran martil dan dengan berbareng, ia menyikut pinggang lawannya. "Aduh!" teriak Sie-wie itu, martilnya harnpir-hampir ter¬lepas.

Dua Sie-wie lain lantas saja menerjang, yang satu bersenjata cambuk, yang satunya lagi meme-gang tombak pendek.

"Toako, mari kubantu!" seru Leng So seraya menghunus golok Liu-yap-to. "Tak usah," kata sang kakak.

"Jie-moay, kau lihatlah cara bagaimana kakak mu melayani mereka dengan Kong-chiu Jip-pek-to" (dengan tangan kosong masuk ke dalam rimba golok)." Mendengar penolakan itu, si nona lantas saja membatalkan niatnya. la mendapat kenyataan. bah wa meskipun dikepung oleh empat musuh, sang kakak tetap bersikap adem dan setiap serangan dapat dielakkannya dengan mudah sekali Ouw Hui melayani keempat lawannva dengan menggunakan ilmuSu-siang Po-hoat (Tindakan empat penjuru) yang telah dipclajarinya di waktu masih kecil. Dengan maju mundur setengah tindak.. ia mengegos bacokan tikaman sabetan empat jago keraton itu. Senjata-senjata menyambar-nyambar dari berbagaijurusan bagaikan kilat cepatnya. Tapi dengan menggunakan ilmu luar biasa itu, scmua senjata lewat di pinggir badannya dalam jarak hanva satu dua dim dan ia sendiri bersikap acuh tak acuh. Dalam gebrakan-gebrakan pertama. Leng So masih sangat berkhawatir. Tapi makin ia memperhatikan jalan pertempuran, hatinya jadi makin lega.

Keempat Sie-wie itu bukan sembarang orang Mereka adalah orang-orang Boan dan sebelum bekerja di keraton kaisar, dalam dunia Kang-ouw. mereka dikenal sebagai "Liao-tong Sukiat" (Empat jago Liao-tong). Dalam Rimba Persilatan, mereka boleh dikatakan sudah masuk dalam kalangan ahli silat kelas satu.

Dalam melayani lawannya dengan Su-siang Pohoat. setiap kali mendapat kesempatan, Ouw Hui mengirim serangan-serangan membalas. Tapi pu-kulan-pukulannya tidak bisa keluar menurut keinginannya. Scsudah memikir sejenak, ia mengerti sebab musababnya. Ia tahu, bahwa setelah meng-habiskan tcnaga dalam pertempuran melawan Bu-tim, Lweekangnya belum pulih, sehingga pukulan-pukulannya tidak bisa mcngeluarkan hasil yang me-muaskan. Maka itu, ia lantas saja mengubah siasat. Ia sekarang hanya membela diri, tanpa mcnyerang, dan sambii mengcgos kc sana sini, ia mengatur jalan pernapasannya.

Di lain pihak, Sesudah mencecar Iawannya de-ngan puluhan serangan hcbat, Bu-tim belum juga mendapat hasil, sehingga ia jadijcngkeldan berkata dalam hatinya "Apakah scsudah sepuluh tahun tidak datang di Tionggoan, kepandaianku sudah banyak mundur? Apakah aku sudah terlalu tua dan tidak bcrguna lagi?" Ia tak tahu, bahwa sedang ia mcrasa tidak sabaran, Iawannya lagi kebingungan, sebab hampir tidak dapat mempertahankan diri lagi dari serangan yang menyambar-nyambar bagaikan hujan dan angin. Dalam kalangan pemerintahan Boan, Teh-pu mempunyai nama besar dan keduduk-an tinggi. Ia mempunyai baju Ma-kwa kuning hadiah kaisar, ia berkedudukan sebagai Cong-koan, atau pemimpin, dari delapan belas jago utama istana kaisar dan ia pun dikenal sebagai orang gagah bangsa Boan yang noraor satu. Kalau ia sampai dijatuhkan oleh si imam, di mana ia mau menaruh muka? Memikir begitu, jantungnya berdebar keras dan keringat dingin mengucur dari dahinya.

Makin lama Bu-tim jadi makin jengkel. Ia me-lihat, bahwa dengan bertangan kosong Ouw Hui dapat meladeni empat Iawannya, tapi ia sendiri masih belum mempcroieh kemenangan dalam pertandingan satu lawan satu. Ia adalah seorang yang beradat tak mau kalah terhadap siapa pun juga.

Makin tua adat itu makin menjadi-jadi. Dalam jcngkelnya, sambil menggigit gigi ia mengempos scmangat dan memutar pedangnya bagaikan kitiran, sehingga bagian-bagian tubuhnya yang lemah ter-tutup dengan sinar pedang yang kadang-kadang menyambar ke arah lawan dengan dahsyatnya.

Pakaian Teh-pu sudah basah dengan keringat. Berulang kali ia niat berteriak "serbn ramai-ramai", tapi ia selalu mengurungkan mat itu karena mcrasa malu. Sebisa-bisanya ia coba mempertahankan diri untuk menunggu lelahnya Bu-tim. Ia menganggap, bahwa sebagai seorang yang sudah lanjut usianya, imam itu tentu kalah ulet dari dia sendiri.

Para Sie-wie menyaksikan pertempuran itu de¬ngan mata membelalak. Sinar pedang berkelebat-kelebat sedemikian cepatnya, sehingga mercka tak tahu lagi, siapa yang mcnyerang dan siapa yang membela diri. Orang-orang yang berkumpul di atas tanah tinggi juga menonton tanpa mengcluarkan scpatah kata. Dengan girang mercka mendapat kenyalaan, bahwa Bu-tim sudah bcrada di atas angin. Mercka merasa kagurn akan orang tua itu yang sampai sckarang niasih tctap gagah sepcrti di waktu muda.

Tiba-tiba Bu-tim berteriak "Kena!" Scccpat kilat, pedangnya menikam dada Teh pu Tapi... "Tak!" pedang itu patah dual Ternyala, di dada Teh-pu dipasang lembaran baja tipis, sehingga biarpun tcr-tikam, bukan saja ia sendiri tidak terluka, malah senjata lawan yang menjadi rusak. Bu-tim terkesiap. Pada detik itu, Teh-pu menikam dan ujung pedang  mengenai tcpat di pundak Bu-tim.

Orang-orang yang berkumpul di tanah tinggi kaget bukan main, dua antaranya segera berlari-lari untuk memberi pertolongan.

"Hidung kerbau! Sambut tempulingku!" bentak Bu-tim sambil mcnimpuk dcngan potongan pedang yang mampir jitu di tenggorokan Teh-pu. Sambil bcrtcriak keras, jago bangsa Boan itu roboh ter-guling.

Bu-tim tcrtawa tcrbahak-bahak. "Apa kau yang menang atau aku yang mcnang?" serunya.

"Kau yang nu'nang," jawabnya dengan suara perlahan.

"Kau sudah bisa mclayani aku begitu lama dan jtiga sudah dapat mclukai pundakku," kata Bu-tim scraya tcrtawa. "Itulah bukannya gampang. Baiklah. Dengan mengingat tikamanmu yang berhasil, aku mengampuni jiwamu!" Dua orang Sie-wie menghampiri dan mengang-kat pemimpin mereka.

Bu-tim merasa girang sekali. Meskipun lukanya tidak enteng, ia tidak memperdulikan dan lalu mcn-daki tanah tinggi dengan tindakan pelahan. Be-berapa orang lantas saja membuka bajunya dan membalut lukanya.

Sementara itu, sesudah menjalankan perna-pasannya beberapa saat, tenaga Ouw Hui sudah pulih kembaii. Sehabis menyedot napas dalam-da-lam, tiba-tiba ia balas inenyerang dengan dahsyat-nya. Dalam sekejap, empat macam senjata golok, marlil pecut dan tombak terbang ke tengah udara, diiringi dengan teriakan-teriakan kesakitan. Di lain saat dua orang Sie-wie sudah roboh tertendang, yang ketiga pingsan karena kena tinju, sedang yang keempat muntah darah akibat pukulan telapak ta-ngan.

Orang-orang yang berkumpul di tanah tinggi bersorak sorai. "Ouw Hui kecil!" teriak Bu-tim. "Kau sungguh lihay!" Belum habis orang bersorak sorai, lima orang Sie-wie sudah menghampiri Ouw Hui. "Marilah! Tangan kosong melawan tangan kosong," kata salah seorang.

"Baiklah," kata Ouw Hui. Baru saja perkataan "baiklah" keluar dari mulutnya, mendadak kedua kakinya dipeluk, sedang seorang lain, yang me-nubruk dari belakang, memeluk lehernya. Hampir berbareng, orang ketiga memeluk pinggang dan dua orang menarik kedua tangannya.

Dalam usaha untuk menangkap orang, Teh-pu membawa "delapan belas jago utama dari istana kaisar". Kedelapan belas jago itu terdiri dari empat orang Boan, lima orang Mongol dan sembilan pen-deta Lhama dari Tibet. Sesudah mendapat pe-lajaran pahit dari Ang-hoa-hwee, Kaisar Kian-liong tidak percaya lagi orang Han dan sebagai pengawal pribadinya, ia belakangan hanya menggunakan orang-orang Boan, Mongol dan Tibet. Yang sekarang menyerang Ouw Hui adalah kelima Sie-wie Mongol yang sangat pandai dalam ilmu gulat.

Ketika baru dipeluk, Ouw Hui kaget, tapi ia lantas saja merasa girang, karena ilmu Kin-na Chiu-hoat (ilmu menangkap dan membanting, semacam Yudo merupakan salah satu andalan dalam ilmu silat keluarga Ouw. Dengan cepat ia melenggakkan kepala dan badannya ke belakang, seperti orang  mau jatuh, dan berbareng, sambil mengerahkan Lweekang, ia membetot dan merangkap kedua ta-ngannya. Dibetot begitu, kedua Sie-wie yang me-narik tangan Ouw Hui lantas saja terhuyung dan kepala mereka terbentur keras satu sama lain, se-hingga tanpa ampun lagi, mereka roboh dalam keadaan pingsan.

Begitu lekas kedua tangannya terbebas, Ouw Hui mencengkeram tangan musuh yang memeluk batang lehernya. "Krckkk!" tulang pergelangan ta ngan orang itu telah menjadi patah. Sesudah itu, bagaikan kilat ia mematahkan tulang lengan dari Sie-wie yang memeluk pinggangnya.

Kelima jago gulat itu sangat terkenal namanya dan di seluruh Tiongkok mereka jarang menemui tandingan. Menurut peraturan gulat, orang hanya boleh membanting dan menindih musuh, tapi tidak boleh mematahkan tulang. Maka itu, kedua orang yang tulangnya patah merasa sangat gusar dan ber-teriak: "Bangsat! Kau melanggar peraturan." Ouw Hui tertawa. "Melanggar peraturan?" ia menegas. "Dalam perkelahian, mana orang mem-perlihatkan peraturan lagi? Kamu berlima mem-bokong dan mengerubuti aku. Apa itu tidak me¬langgar peraturan?" Dijawab begitu, kedua Sic wie itu tidak bisa bicara lagi.

Sementara itu, Sie-wie yang memeluk masih terus berusaha untuk menggulingkan pemuda itu. "Mau lepas tidak?" bentak Ouw Hui.

"Tidak," jawabnya.

Melihat kebandelannya, Ouw Hui segera me-notok jalan darah toa-tui-hiat di punggung orang itu, yang badannya lantas saja tidak bisa beikutik lagi. Sesudah itu, ia mengangkat tubuh pecundang-nya dan sambil mengerahkan Lweekang, ia me-lontarkannya. Tubuh orang itu "terbang" beberapa tombak jauhnya dan "byur!" dia jatuh di sebuah kobakan yang penuh alang-alang. Dengan kepala pusing dan badan penuh lumpur, dia berteriak-teriak mencaci Ouw Hui.

Kemenangan Ouw Hui yang didapat dalam tem¬po sangat pendek dan ditutup dengan peristiwa menggelikan itu, sudah mengakibatkan gelak ter¬tawa dari orang-orang yang berkumpul di alas tanah tinggi.

Tiba-tiba, sebelum suara tertawa mereda, di tengah udara berkelebat-kelebat sinar merah dan sembilan pendeta Lhama yang mengenakan jubah merah sudah mengurung Ouw Hui.

Mereka memegang macam-macam senjata, go-lok, tongkat dan Iain-lain, beberapa antaranya sen¬jata anch. Mereka tidak mengeluarkan sepatah kata, tapi dilihat dari gerakan dan cara bcrdirinya, Ouw Hui tahu, bahwa ia sedang dikurung oleh semacam tin (barisan).
 Karena tidak bersenjata, Ouw Hui merasa bi-ngung juga. Dalam otaknya lantas saja berkelebat niat untuk meminta senjata dari Leng So, tapi sebelum ia membuka mulut, salah seorang yang berdiri di tanah tinggi sudah melontarkan sebilah golok sambil berteriak: "Saudara kecil, sambutlah!" Golok itu terbang dengan mengeluarkan suara nyaring suatu tanda, bahwa orang yang melempar-kannya memiliki Lweekang yang sangat tinggi. Ouw Hui kagum dan berkata dalam hatinya: "Sahabat-sa-habat Tio Samko sungguh-sungguh lihay. Melemparkan golok seperti itu tak akan dapat dilakukan olehku." Dua Lhama yang berdiri paling depan tidak berani menyambut golok itu dengan senjata mereka dan dengan berbareng, mereka melompat ke sam-ping.

Pada detik itu, mendadak saja Ouw Hui mcn-dapat satu ingatan" "Aku tidak tahu cara memecah-kan barisan ini yang mungkin lihay sekali. Inilah kesempatan baik. Biarlah aku mengacau barisan mereka." Sesaat itu, golok sudah tiba di hadapannya. Dengan cepat ia mengerahkan Lweekang dan me-mentil gagang golok itu, yang lantas saja terpental ke atas.

Kcsembilan pendeta Lhama itu merasa sangat hcran dan tanpa merasa, mereka mendongak dan mengawasi golok tersebut yang meluncur ke atas dengan kecepatan kilat.

Itulah saat yang ditunggu Ouw Hui! Sekali melompat ia sudah berhasil merebut sebilah golok dan dengan ilmu Ouw-kee Kway-to, dalam kece¬patan yang sukar dilukiskan ia membacok dan mem-babat. Dalam sekejap mata, sembilan musuh itu sudah terluka semua ada yang terbacok dadanya, ada yang putus lengannya, putus kakinya dan scba-gainya. Mereka sebenarnya ahli-ahli silat yang ber-kepandaian tinggi, tapi karena lengah, mereka kena dirobohkan secara begitu mengecewakan. Bagi Ouw Hui, itulah kemenangan gilang-gemilang! Tepat, sesudah semua musuhnya roboh, golok yang tadi terbang ke atas sudah turun kembali. Ouw Hui segera melemparkan golok si pendeta Lhama dan lalu menyambuti senjata yang turun dari atas itu. Golok itu ternyata sangat berat, banyak lebih berat daripada senjata biasa. Dengan bantuan sinar rembulan, ia dapat membaca tiga huruf yang terukir di gagang golok: "Pun-lui-chiu." (Si tangan geledek).

Kegirangan Ouw Hui meluap-luap. "Terima ka-sih atas bantuan Bun Sie-ya!" teriaknya.

Sekonyong-konyong, hampir berbareng dengan teriakan itu, di belakangnya terdengar bentakan seorang tua: "Sambutlah pedangku!" Dari sambaran angin, ia tahu bahwa si penyerang lihay luar biasa. Tanpa memutar badan, ia mengibaskan golok ke belakang, tapi ia menangkis angin, karena pedang sudah ditarik pulang. Di lain saat, pedang tersebut kembali menikam dan Ouw Hui menangkis pula, tapi untuk kedua kalinya, ia menangkis tempat kosong.

Ia berusaha untuk memutar badan supaya bisa berhadapan dengan pembokong itu tapi tak berhasil karena terus dicecar dengan tikaman-tikaman kilat.

Ouw Hui terkesiap. Dengan menjejak tanah, ia melompat setombak lebih dan selagi kaki kirinya hinggap di tanah, ia coba memutar badan. Tapi penyerang itu terus mengikuti seperti bayangan dan sebelum ia sempat mewujudkan niatnya, punggung-nya sudah ditikam lima kali beruntun dan lima kali pula goloknya menangkis angin.

Tapi Ouw Hui adalah seorang yang bisa berpikir dengan cepat sekali. Dalam menghadapi bahaya, ia bisa bertindak dengan mengimbangi salatan. Demi-kianlah, ketika pedang menyambar lagi, ia tidak coba menangkis, tapi melompat ke depan dan meng-gulingkan badan di tanah. Begitu lekas ia telentang menghadapi langit, goloknya menyambar dan menangkis tikaman lawan.

"Bagus!" mcmuji sang lawan yang segera me-rangsck dan menepuk dada Ouw Hui dengan te-lapak tangan. Ouw Hui menangkis dengan tangan kirinya dan begitu kedua tangan kebentrok, ia me rasakan benturan tenaga lunak, tapi dalam keluna-kan itu mengandung "isi" yang sangat hebat. Tiba-tiba saja ia ingat suatu kejadian dan ia bcrteriak: "Kalau begitu kau!" "Kalau begitu kau!" sang lawan bertcriak de¬ngan berbareng.

Ternyata pada waktu beradu tangan, kedua belah pihak mengetahui, bahwa mereka adalali orang-orang yang sudah menolong Sim Hie dalam gedung Hok Kong An. Sehabis berteriak, dengan berbareng mereka melompat mundur. Dengan mat a mcmbelalak Ouw Hui mengawasi orang tua itu yang jenggotnya putih, mukanya a'neh dan memegang pedang panjang, karena ia bukan lain daripada Bu-ceng-cu, Ciangbunjin Bu-tong-pay. Ia bingung sebab tak tahu, apakah si kakek seorang kawan atau lawan.

Bu-tim Toojin tertawa. "Saudara Hui Ceng," katanya, "Bagaimana pendapatmu? Bukankab ilmu silat saudara kecil itu sangat lihay?" Si kakek turut tertawa dan menjawab: "Dalam dunia yang lebar ini, hanya beberapa orang saja yang bisa melayani Bu-tim Toojin dalam lima ratus jurus. Pengetahuanku sungguh cetek, tak tahu, bahwa dalam Rimba Persilatan muncul seorang pemuda yang begitu gagah." Sehabis berkata begitu ia me-masukkan pedangnya ke dalam sarung dan menarik tangan Ouw Hui dengan ramah tamah. Sikap dan gerak-geriknya berbeda jauh dengan apa yang di-perlihatkannya dalam Ciangbunjin Tayhwee. Ia se-karang angker dan gagah, tidak seperti di dalam gedung Hok Kong An, di mana ia membawa lagak seperti manusia penyakitan.

"Saudara kecil," kata Bu-tim, "Pada sebelum menjadi imam, si hidung kerbau ini bernama Liok Hui Ceng, yang bergelar Bian-lie-ciam (Jarum di dalam kapas). Kau panggil saja 'Liok Toako' ke-padanya." Ouw Hui terkejut. Sudah lama ia mendengar nama "Bian-lie-ciam Liok Hui Ceng," yang pada beberapa puluh tahun berselang, sudah menggetar-kan Rimba Persilatan. Dengan tersipu-sipu, ia me-nekuk kedua lututnya seraya berkata: "Boanpwee Ouw Hui memberi hormat kepada Tootiang." "Menurut tingkat, kau memang seorang boan¬pwee (seorang yang tingkalannya lebih rendah)," Mendadak terdengar suara seorang di belakangnya. "Tapi, saudara Ouw, ia juga salah seorang saudara angkatku." Ouw Hui bangun sambil melompat dan me-mutar badan. Di belakangnya berdiri seorang ge-muk yang mengenakan baju ma-kwa dan orang itu bukan lain daripada Cian-pie Jie-lay Tio Poan San! Bertahun-tahun Ouw Hui rindu kepada kakak angkatnya itu. Ia melompat dan memeluknya. "Aduh Samko!" teriaknya. "Siawtee kangen sungguh akan kau." Sambil mengawasi muka si adik, Poan San ber¬kata: "Dik kau sekarang sudah besar. Malam ini bukan main rasa bangga kakakmu, karena dengan mata sendiri, aku dapat menyaksikan bagaimana kau merobohkan delapan belas jago utama dari istana kaisar." Ouw Hui segera menarik tangan Leng So dan lalu memperkenalkannya dengan Bu-tim, Poan San dan Iain-lain.

"Mari aku perkenalkan kalian dengan Cong-tocu kami," kata Poan San.

Ouw Hui terkejut. "Tan Cong-tocu? Apa beliau juga datang di sini?" tanyanya.

Bu-tim tersenyum. "Begitu tiba di Pakkhia, ia telah dicaci habis-habisan olehmu," katanya. "Ha-ha...! Selama hidupnya, mungkin Tan Cong-tocu belum pernah dimaki begitu hebat." Ouw Hui kaget tak kepalang. Dengan mata membelalak ia berkata: "Ia... ia.... Hok Kong An...?" "Wajah Cong-tocu sangat mirip dengan Hok Kong An," Liok Hui Ceng menerangkan sambil tertawa. "Jangankan kau, sedang orang-orang yang sudah mengenalnya pun masih bisa salah mata." Bu-tim mengangguk dan menyambungi: "Ya, misalnya dahulu waktu kami menolong Bun Sietee, Cong-tocu telah menyamar sebagai Hok Kong An dan kami telah berhasil menawan Ong Wie Yang...." "Samko," kata Ouw Hui dengan hati berde-baran, "Hayolah antar aku kepada Tan Cong-tocu untuk meminta maaf." Sambil menggandeng tangan adiknya, perla-han-lahan Poan San mendaki tanah tinggi itu.

"Sesudah membentur tanganmu, Cong-tocu me-muji tinggi silatmu," kata Poan San, "Ia pun me¬ngatakan, bahwa kau seorang ksatria dan ia telah memberi pujian tinggi sekali kepadamu." Melihat kedatangan Poan San dan Ouw Hui, dengan mengajak saudara-saudara angkatnya, Tan Kee Lok berbagai turun dari tanah tinggi itu. Begitu berhadapan, Ouw Hui segera berlutut dan berkata: "Mata siauwjin tak ada bijinya dan siauwjin berdosa besar terhadap Cong-tocu Siauwjin harap...." Sebelum Ouw Hui selesai bicara, Kee Lok sudah membangunkannya dan berkata dengan le-mah lembut: "Seorang laki-laki tulen hanya ter¬hadap seorang kuncu, dia tak nanti gentar terhadap kawanan budak. Hari ini, begitu tiba di Pakkhia aku mendengar kata-kata itu. Saudara kecil, perkataan-mu itu saja sudah membuat perjalananku ke mari tidak cuma-cuma." Tio Poan San segera memperkenalkan adiknya kepada semua jago Ang-hoa-hwee. Sudah lama sekali Ouw Hui mendengar nama besar mereka dan bahwa malam ini ia bisa bertemu dengan orang-orang gagah itu sungguh-sungguh menggirangkan hatinya. Kepada Bun Tay Lay yang melontarkan golok dan kepada Lok Peng yang menghadiahkan si putih, ia menghaturkan banyak terima kasih. Di lain pihak, Sim Hie menghaturkan terima kasih kepadanya untuk bantuan yang diberikan dalam gedung Hok Kong An.

Antara begitu banyak orang, Bu-timlah yang paling bergembira. Tidak habis-habisnya ia mence-ritakan pertempurannya melawan Ouw Hui dan Teh-pu. Ia mengatakan bahwa selama hidupnya jarang sekali ia bertemu dengan tandingan yang begitu setimpal.

Selagi semua orang beromong-omong dengan gembira, adalah Leng So yang terpencil sendiri. Tiba-tiba Liok Hui Ceng berkata sambil tertawa.

"Tootiang, mengenai ilmu silat, saudara kecil me-mang sangat lihay. Tapi sclain ia, masih ada seorang gagah lain yang terlebih lihay lagi. Kita semua tak akan dapat menandinginya." Bu-tim girang bercampur penasaran. "Siapa? Siapa?" tanyanya dengan tergesa-gesa. "Di mana adanya orang itu?" Hui Ceng menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kau tak akan menang," katanya. "Lebih baik kau jangan coba cari padanya." "Fui!" bentak Bu-tim. "Bertahun-tabun kita ti-dak pernah bertemu muka. Begitu bertemu, kau lantas saja main gila kepadaku. Tidak! Aku tidak percaya, bahwa di dalam dunia ada manusia yang selihay itu." "Semalam, dalam gedung Hok Kong An ber-kumpul para Ciangbunjin dari beberapa partai yang masing-masing memiliki kepandaian istimewa," kata Liok Hui Ceng. "Apakah kau setuju dengan pengutaraanku ini?" "Ya, habis bagaimana?" kata Bu-tim. "Dalam usahanya untuk mengacau, Sim Hie Lautee telah tertangkap," kata Hui Ceng. "Tio Sam-tee yang begitu lihay hanya dapat merebut sebuah cangkir giok. Seecoan Sianghiap, kedua pendekar saudara Siang, hanya dapat menolong dua orang. Tapi apa yang telah dilakukan oleh orang gagah itu jauh lebih hebat daripada yang diperbuat oleh sau-dara-saudara kita, Dalam sekejap mata, ia telah dapat merampas seluruh cangkir dari tangan tujuh ahli silat kelas utama dan menghancurkan semua cangkir itu. Dengan beberapa kepulan asap saja, ia sudah menghancurkan seluruh Ciangbunjin Tayhwee. Bu-tim Tootiang, sekarang katakanlah de¬ngan sejujurnya: Apakah kalian dapat menandingi orang gagah itu?" Leng So mengerti, bahwa yang sedang dibicara-kan si kakek adalah dirinya sendiri. Paras mukanya lantas saja berubah merah dan ia bersembunyi di belakang Ouw Hui. Tapi semua orang tidak mem-perhatikannya, karena mereka tengah memusatkan perhatian kepada Liok Hui Ceng.

"Suhu," kata seorang nyonya muda, "Aku telah mendengar, Ciangbunjin Tayhwee dikacau orang, tapi tak tahu bagaimana kejadiannya. Hayolah, beri-tahukanlah lekas-lekas!" Nyonya itu adalah Lie Goan Cie, isteri Kim-tiok Siucay Ie Hie Tong.

Liok Hui Ceng segera menceritakan sepak ter-jang "orang gagah" itu. Ia menceritakan bagaimana enghiong tersebut menghancurkan tujuh cangkir giok, bagaimana ia mengepulkan asap beracun se-hingga semua hadirin sakit perut dan bagaimana seluruh Ciangbunjin Tayhwee menjadi gagal dan berakhir dengan suatu kekacauan hebat. Mende¬ngar penuturan yang sangat menarik itu, semua merasa sangat kagum.

"Liok-heng," kata Bu-tim dengan tidak sabar, "Kau sudah bicara banyak sekali, tapi kau belum memberitahukan kami, siapa adanya orang gagah itu." Hui Ceng tersenyum. "Kalau dikata jauh, ia berada di ujung langit, kalau dikata dekat, ia berdiri di hadapan kita," katanya. "Orang gagah itu bukan lain daripada Thia Kouwnio." Semua orang mengeluarkan seruan tertahan dan serentak mereka berpaling ke arah Leng So. Mereka hampir tak percaya, bahwa seorang wanita yang kelihatannya begitu lemah sudah bisa meng-gagalkan usaha Hok Kong An. Tapi Liok Hui Ceng adalah seorang tua yang terpandang tinggi dan pasti tak akan berdusta, sehingga perkataannya boleh tak usah disangsikan lagi.

Liok Hui Ceng adalah salah seorang pentolan partai Bu-tong-pay. Kira-kira sepuluh tahun ber-selang, partai tersebut tengah gelap bintangnya. Ma Giok, kakak seperguruan Hui Ceng, dan Thio Tiauw Tiong, adik seperguruannya, dengan berun-tun telah menemui ajalnya secara menyedihkan. Lantaran terpaksa, akhirnya ia setuju untuk me-megang tampuk pimpinan dari Bu-tong-pay. Karena khawatir mendapat gangguan pemerintah Boan, maka ia segera menjadi toosu dan menggunakan nama Bu-ceng-cu. Selama sepuluh tahun ia ber-sembunyi dan bebas dari kecurigaan.

Waktu akan mengadakan Ciangbunjin Tay-hwee, karena mengingat bahwa Bu-tong-pay adalah salah satu partai persilatan terbesar yang namanya berendeng dengan Siauw-lim-sie dan mengingat pula jaga-jaga Thio Tiauw Tiong untuk kerajaan Ceng. maka Hok Kong An mengundang Bu-ceng-cu dan meminta supaya orang tua itu suka menjadi wash dalam kedudukannya sebagai salah seorang "Ciangbunjin besar" dalam pertemuan itu. Ia tentu saja tak tahu siapa sebenarnya Bu-ceng-cu.

Liok Hui Ceng sendiri, biarpun sudah berusia lanjut, masih mempunyai semangat muda. Ia me-ngerti, bahwa Ciangbunjin Tayhwee pasti mem¬punyai maksud yang tidak baik bagi seluruh Rimba Persilatan. Kalau ia menolak Hok Kong An pasti akan bercuriga. Karena itu, ia segera menerima baik  undangan tersebut dan datang di kota raja seorang diri. Ia telah mengambil keputusan untuk menye-lidiki maksud pertemuan itu dan akan bertindak dengan mengimbangi keadaan, Pada waktu Sim Hie ditawan Tong Pay, dengan diam-diam ia sudah mem-berikan pertolongan.

Kedatangan Tan Kee Lok, Hok Ceng Tong dan jago-jago lain dari Ang-hoa-hwee di Pakkhia adalah untuk bersembahyang di kuburan Hiang-hiang Kongcu berhubung dengan ulang tahun ke sepuluh dari meninggalnya Puteri Harum itu. Hok Kong An bukan manusia tolol. Begitu melihat munculnya orang-orang An-hoa-hwee dalam Ciangbunjin Tay¬hwee, ia segera dapat menebak maksud kedatangan mereka di Pakkhia. Tapi ia tidak tahu di mana letaknya kuburan puteri itu. Ia segera memerin-tahkan delapan belas pengawal utama dari istana kaisar, yang dipimpin oleh Teh-pu, untuk meronda di luar kota dan membekuk segala orang yang mencurigakan. Tak dinyana, sebelum Tan Kee Lok bergerak, delapan belas jago itu sudah dirobohkan.

Sesudah semua kaici tangan Hok Kong An kabur, Tan Kee Lok dan saudara-saudaranya yang mengenal baik kebiasaan dalam kalangan pembesar Ceng bersikap tenang-tenang saja dan terus ber-omong-omong tanpa khawatir diserang lagi. Me¬reka tahu, bahwa sebegitu lama mereka belum menyatroni dan mengacau istana kaisar, para Sie-wie yang keok itu pasti tak akan memberi laporan yang sebenarnya, bahwa telah dihajar kucar kacir di To-jian-teng.

Selagi mereka beromong-omong, tiba-tiba ter-dengar dua tepukan tangan di tempat yang agak  jauh. Sesaat kemudian, pula tiga tepukan. Si kate kurus yaitu Bu-cu-kat Cie Thian Hong segcra menjawab dengan tiga tepukan dan sejenak ke¬mudian, ia mengulanginya lagi dua kali beruntun.

"Ngotee dan Liokteesudah datang," kata Bu-tim.

Tak lama kemudian terlihat berkelebatnya dua bayangan manusia yang bertubuh jangkung kurus dan setelah datang dekat, muka mereka kelihatannya menakutkan sekali. Ouw Hui lantas saja mengenali, bahwa mereka bukan lain daripada Seecoan Siang-hiap, Siang Pek Cie dan Siang Hek Cie, yang pernah dilihatnya dalam gedung Hok Kong An. Di belakang mereka mengikuti dua orang lain yang masing-masing mendukung seorang anak kecil. Ouw Hui dan Leng So kaget. Kedua orang itu ialah Nie Put Toa dan Nie Put Siauw sedang kedua anak kecil yang didukung mereka adalah putera Ma It Hong.

Sebagaimana diketahui dalam Ciangbunjin Tay-hwee kedua saudara kembar Nie itu coba merebut kedua bocah tersebut dari tangan Hok Kong An dan hampir-hampir mereka kehilangan jiwa, jika tidak keburu ditolong oleh Siang-sie Hengtee. Se-sudah terlolos dari bahaya, kepada kedua saudara Siang mereka menyatakan hasrat mereka yang su-kar tertahan untuk mendapatkan kedua bocah itu. Siang-sie Hengtee pun saudara kembar dan hati mereka lantas saja tergerak. Tak lama kemudian Ciangbunjin Tayhwee kacau balau dan para Wie-su repot bertempur atau mencari obat untuk memu-nahkan racun. Dengan menggunakan kesempatan tersebut, dua pasang saudara kembar itu lantas saja menerjang masuk pula ke gedung Hok Kong An. Dengan kepandaian yang sangat tinggi, dalam se kejap Siang-sie Hengtee sudah merobohkan tujuh-delapan Wie-su yang melindungi kedua putera Hok Kong An yang lalu direbutnya.

Begitu melihat kedua anak itu, Ouw Hui lantas saja ingat Ma It Hong yang ketika itu sudah hampir meninggal dunia. Tanpa merasa, air matanya keluar ia girang bercampur sedih. Mendadak saja dalam otaknya berkelebat suatu ingatan. Sambil menjura kepada Tan Kee Lok ia berkata: "Tan Cong-tocu, aku yang rendahmendapatsatu ingatan yang bukan-bukan dan ingin mengajukan permohonan yang tidak-tidak." "Saudara Ouw, Jc,au boleh bicara tanpa sangsi-sangsi," kata Kee Lok sambil tersenyum. "Biarpun kita baru bertemu muka, pendirian dan cita-cita kita adalah cocok satu sama lain. Asal saja permintaan-mu itu dapat dilakukan olehku, aku pasti akan melakukannya." .

Beberapa saat Ouw Hui membungkam. Ia keli¬hatannya merasa tidak enak untuk mengucapkan kata-kata yang mau diucapkannya. "Aku mendapat suatu pikiran yang aneh dan tidak pantas," katanya akhirnya. "Aku khawatir kalian akan tertawa, jika aku mengutarakan pikiran itu." Kee Lok tersenyum. "Saudara Ouw," katanya dengan suara halus. "Di mata orang lain, setiap perbuatan orang-orang sebangsa kita selalu aneh dan tidak pantas kelihatannya. Katakanlah. Kau tak usaha merasa sangsiJ'; "Jika Cong-tocu tidak menjadi gusar... baiklah," kata Ouw HM,i,;Sarn,bil menunjuk kedua bocah itu, ia berkata pula: "Kedua anak itu adalah putera Hok Kong An dan pada saat ini, ibu mereka sedang  menghadapi maut." Sehabis berkata begitu, dengan ringkas ia lalu menuturkan segala kejadian me-ngenai Ma It Hong sedari ia bertemu dengan nyonya itu di Siang-kee-po sampai kejadian pada malam itu, dan kini Ma It Hong sedang menunggu ajalnya. Mendengar cerita itu, semua jago Ang-hoa-hwee jadi gusar tak kepalang. Jika kemauan Bu-tim diluluskan, malam itu juga ia ingin balik ke dalam kota untuk mengambil jiwa Hok Kong An.

"Sesudah terjadi kekacauan dalam Ciangbunjin Tayhwee, kita tidak boleh masuk lagi ke dalam kota," kata Cie Thian Hong.

"Kalau kita menerjang bahaya, mungkin sekali sebaliknya dari berhasil membunuh Hok Kong An, kitalah yang menjadi korban." Tan Kee Lok manggutkan kepalanya. "Aku merasa pasti, bahwa waktu ini gedung Hok Kong An dijaga keras luar biasa," katanya. "Bagaimana kita bisa turun tangan? Jangankan menyatroni ge¬dung itu untuk masuk ke dalam kota pun sudah tidak gampang. Apalagi maksud kedatangan kita sekali ini ialah hanya untuk bersembahyang. Maka kita tidak boleh mengorbankan jiwa saudara-sau-dara kita hanya untuk melampiaskan nafsu amarah. Saudara Ouw, permintaan apa yang ingin diajukan olehmu?" "Cong-tocu dari tempat berlaksa li jauhnya, kau datang ke mari untuk bersembahyang di kuburan seorang wanita," kata Ouw Hui dengan suara per-lahan. "Rasa cinta dan pribudi itu sangat langka dalam dunia ini. Dahulu, di waktu masih kecil, aku pernah menerima budi Ma Kouwnio. Hatiku merasa sangat tidak enak, karena aku tidak dapat membalas  budi itu. Sekarang ia sedang menghadapi kematian dan di dalam hatinya terdapat dua harapan, yang jika belum dipenuhi, ia tidak bisa mati dengan mata meram. Harapan pertama ialah ia ingin sekali ber¬temu dengan kedua puteranya. Atas belas kasihan Tuhan, Siang-sie Siang-hiap sudah berhasil merebut pulang kedua bocah itu. Harapan kedua ialah ia ingin sekali bertemu muka dengan bangsat Hok Kong An. Bahwa sehingga pada detik penghabisan ia masih juga belum tersadar, adalah suatu kejadian lucu yang menyedihkan. Untuk itu, ia harus di-kasihani. Akan tetapi, cinta adalah...." Ia tak dapat meneruskan perkataannya dan dengan air mata berlinang-linang ia mengawasi Tan Kee Lok.

"Aku mengerti!" kata Kee Lok dengan suara perlahan. "Kau tentu ingin aku menyamar sebagai Hok Kong An yang kejam untuk menghibur nyonya itu supaya ia bisa berpulang ke alam baka dengan hati puas. Bukankah begitu?" "Benar," jawabnya sambil menunduk.

Semua orang gagah agak terkejut. Permintaan pemuda itu memang juga permintaan yang tidak-tidak. Tapi mereka turut merasakan, bahwa per¬mintaan itu diajukan atas dorongan rasa ksatria yang sangat luhur. Keadaan sunyi senyap, tak se¬orang pun membuka mulut.
 Untuk beberapa saat Tan Kee Lok mengawasi ke tempat jauh dan paras mukanya diliputi keduka-an. "Kalau waktu mau berpulang ke alam baka, ia bisa bertemu denganku, ia tentu akan merasa girang sekali," katanya dengan suara parau. Sesaat kemu-dian, ia menengok ke arah Ouw Hui seraya berkata: "Baiklah! Aku akan pergi menemui Ma Kouwnio."  Sehabis berkata begitu, ia segera turun dari tanah tinggi, diikuti oleh semua orang.

Bukan main rasa terima kasih Ouw Hui. Tan Kee Lok adalah seorang pemimpin besar dalam kalangan Rimba Persilatan, sedang ia sendiri hanya-lah seorang boanpwee yang tidak dikenal. Dalam pertemuan pertama, ia sudah mengajukan permin-taan yang gila-gila itu. Tapi, tanpa ragu-ragu sedikit pun jua, Kee Lok sudah segera meluluskan. Bagi Ouw Hui, budi itu adalah budi yang tak mungkin dapat dibalas. Diam-diam ia berjanji dalam hatinya, bahwa jika di kemudian hari, Tan Kee Lok me-merlukan bantuannya, biarpun mesti menerjang lautan api, ia tak akan menolak.

Dengan Ouw Hui sebagai penunjuk jalan, rom-bongan Ang-hoa-hwee menuju ke Yo-ong-bio. Menjelang fajar, mereka tiba di situ.

Sambil menuntun kedua putera Ma It Hong, Ouw Hui mengajak Kee Lok masuk ke dalam ke-lenteng. Mereka pergi ke kamar samping, di mana terdapat sebuah pelita yang apinya sebesar kacang dan minyaknya sudah hampir kering. Bersama kedua bocah itu, Ouw Hui segera bertindak masuk. Nyonya muda itu, yang rebah di atas pembaringan batu, ternyata masih bernapas. Sekonyong-konyong kedua anak itu melompat seraya berteriak. "Ibu...! Ibu...!" Ma It Hong membuka kedua matanya. Begitu melihat puteranya, semangatnya pulih dan entah dari mana, tenaganya pun kembali lagi. Ia memeluk anaknya erat-erat dan berkata dengan suara lemah: "Nak...! Ibumu sangat memikirkan kamu...." Lama juga mereka berpelukan. Tiba-tiba It Hong melihat Ouw Hui dan ia lantas saja berkata:  "Anak, mulai dari sekarang kamu harus mengikut Ouw Siok-siokdan kamu harus dengar kata. Kamu... kamu... harus mengangkat Ouw Siok-siok sebagai... sebagai... ayah...." "Baiklah," kata Ouw Hui. "Aku menerima me¬reka sebagai anak angkat. Ma Kouwnio, legakanlah hatimu!" Nyonya itu tersenyum. "Lekas... lekaslah ber-lutut," katanya sambil mendorong kedua puteranya.

Kedua bocah itu lantas saja berlutut di hadapan Ouw Hui yang membiarkan mereka berlutut sampai empat kali. Sesudah itu, sambil mengangkat me¬reka, ia berkata dengan suara perlahan: "Ma Kouw¬nio, pesan apa lagi yang ingin diberikan olehmu?" "Sesudah aku mati, aku harap kau suka mengu-burkan mayatku di samping... di samping... suami-ku.... Cie Ceng," jawabnya. "Kasihan dia! Sedari kecil dia sudah mencintai aku, tapi... tapi aku sendiri tidak... mencintainya." "Baiklah, aku akan memenuhi keinginanmu," kata Ouw Hui. Ia tak nyana, bahwa pada saat penghabisan, Ma It Hong ingat kepada suaminya. Ia sangat membenci Hok Kong An dan bahwa nyonya itu tidak menyebut-nyebut lagi lelaki ke-parat itu, sangat menyenangkan hatinya. Tapi di luar dugaan, tiba-tiba It Hong menghela napas dan berkata dengan suara hampir tidak kedengaran: "Hok Kongcu.... Hok Kongcu... aku sungguh ingin bertemu muka denganmu...." Ketika itu, Tan Kee Lok berdiri di luar pintu, sehingga It Hong belum melihatnya. Ouw Hui menggeleng-gelengkan kepala dan sambil mendu-kung kedua bocah itu, ia bertindak ke luar. Dengan  tindakan perlahan, Kee Lok Lalu masuk ke kamar itu.

Baru berjalan belasan tindak, Ouw Hui sudah mendengar teriakan, "Ah!" yang keluar dari mulut Ma It Hong. Teriakan itu penuh dengan nada bahagia, girang dan penuh cinta. Akhirnya, ia ber-temu juga dengan orang yang dicintai....

Sesudah berada di luar kelenteng, tiba-tiba Ouw Hui mendengar merayunya suara seruling yang ditiup oleh Kim-tiok Siu-cay Ie Hie Tong sambil duduk di bawah pohon. Jantung Ouw Hui berdebar keras. Ia segera ingat, bahwa banyak tahun berselang, waktu berada di Siang-kee-po, ia telah mendengar suara seruling yang semerdu itu. Suara seruling itu yang ditiup oleh Hok Kong An dalam taman bunga untuk memancing Ma It Hong sudah berakhir dengan pe-ristiwa yang sangat mengenaskan.

Bagaikan terpaku, semua orang mendengarkan suara seruling itu yang merayu di antara kesunyian dan yang seolah-olah sedang menuturkan sebuah cerita percintaan yang penuh dengan kehangatan, kedukaan dan penderitaan. Setiap orang ingat akan pengalamannya sendiri di masa yang sudah silam. Bahkan Bu-tim Tootiang juga ingat pengalamannya pada beberapa puluh tahun berselang dengan se¬orang nona she Kwan dan percintaan itu berakhir dengan kegagalan, sehingga ia memutuskan satu lengannya dan ia sendiri menjadi toosu....

Beberapa lama kemudian, di antara suara se¬ruling yang mengalun dengan perlahan, Tan Kee Lok bertindak ke luar dengan paras sedih dan begitu melihat Ouw Hui, ia manggutkan kepalanya. Pe-muda itu mengerti, bahwa anggukan kepala itu  berarti Ma It Hong sudah berpulang ke alam abadi dengan hati terhibur, karena ia sudah bisa berjumpa dengan kedua putera dan "kecintaannya". Kecuali Tan Kee Lok tiada seorang pun tahu apa yang dikatakan oleh nyonya muda itu. Apa yang semua orang tahu ialah Tan Kee Lok dan Ouw Hui sudah berbuat apa yang seorang manusia bisa lakukan untuk meringankan penderitaan sesama manusia yang hampir meninggalkan dunia yang fana ini.

Karena masih mempunyai tugas untuk mengu-bur jenazah Ma It Hong, Ouw Hui tidak bisa meng-ikut rombongan Ang-hoa-hwee pulang ke wilayah Hwee. Maka itu, ia meminta pertolongan kedua saudara Siang dan saudara Nie untuk membawa dan merawat kedua putera Ma It Hong. Ia berjanji, bahwa begitu lekas penguburan selesai, ia akan segera menyusul mereka ke Hweekiang.

Demikianlah, dengan rasa berat, para orang gagah Ang-hoa-hwee lalu berpamit kepada Ouw Hui dan Leng So, kemudian lantas berangkat be-ramai-ramai.

Dalam pertemuan dengan rombongan Ang-hoa-hwee ada suatu hal yang mengherankan Ouw Hui, yaitu baik Tio Poan San, maupun Lok Peng atau yang Iain-lain tak pernah menyebut-nyebut Wan-seng. Apakah Wan-seng sudah menemui me¬reka dan meminta supaya mereka jangan menyebut-nyebut namanya lagi? Sesudah kawan-kawan Ang-hoa-hwee tak keli-hatan bayang-bayangannya lagi, Ouw Hui dan Leng So lalu masuk kembali ke dalam kelenteng. Jenazah Ma It Hong rebah di atas pembaringan dengan bibir tersungging senyuman dan paras yang mencermin kan rasa bahagia. "Jie-moay," kata Ouw Hui dengan air mata berlinang-linang. "Dia minta kita mengubur jenazahnya di samping kuburan suaminya, tapi di-waktu sekarang, permintaan itu sukar dilakukan karena kaki tangan Hok Kong An tentu sedang mencari kita. Jika kita membawa peti mati dalam perjalanan yang begitu jauh, kita akan menimbul-kan kecurigaan orang. Menurut pendapatku, paling baik kita membakar saja jenazahnya dan membawa abunya untuk dikuburkan." "Benar," kata Leng So sambil mengangguk.

Ouw Hui segera membungkuk untuk memon-dong jenazah Ma It Hong. Mendadak Leng So menjambret dan menarik lengannya. "Tahan!" bisik-nya dengan suara memburu.

Ouw Hui terkesiap. Dengan cepat ia menarik pulang tangannya dan mundur setindak. "Ada apa?" tanyanya. Sebelum nona Thia menjawab, kupingnya sudah dapat menangkap suara napas manusia. Ia memutar badan dan mengawasi ke arah suara itu. Ternyata, di belakang pintu bersembunyi dua orang, yang satu perempuan bongkok, yang lain lelaki jangkung, dan mereka itu adalah Sie Kiauw dan Boh-yong Keng Gak, Samsuci dan Toasuheng se-perguruan perempuan yang ketiga. (Toasuheng = kakak seperguruan lelaki paling tua).

Sesaat itu, Leng So mengayun tangannya dan melepaskan bubuk kalajengking merah ke kolong ranjang.

"Di kolong ranjang pasti bersembunyi musuh lihay," kata Ouw Hui dalam hatinya.

Selagi Leng So menimpuk, Sie Kiauw mendo-rong daun pintu dan coba melompat ke luar. Tapi  Ouw Hui mendului dengan kegesitan luar biasa. Setelah memeluk pinggang adiknya dengan lengan kanan, sekali melompat saja ia sudah berada di luar pintu. Hampir berbareng, kakinya menendang daun pintu yang lantas saja menjeblak ke belakang, se¬hingga kedua orang itu terpukul dan tergencet di antara daun pintu dan tembok. Boh-yong Keng Gak masih tak apa, tapi Sie Kiauw harus merasakan kesakitan hebat sebab punggungnya yang meleng-kung terpukul keras sekali.

Baru saja kedua kaki Ouw Hui hinggap di lantai, dari kolong ranjang menghembus ke luar serupa uap merah, suatu tanda, bahwa tepung kalajengking telah dipukul kembali oleh orang yang bersembunyi di situ. Sesaat kemudian dari kolong ranjang muncul tubuh manusia yang segera melompat dan meng-hantam kepala Ouw Hui dengan tongkatnya. Ouw Hui segera mengenali, bahwa orang itu adalah Cio Ban Tin yang mengaku sebagai "Tok-chiu Yo-ong".

"Jangan menyentuh badan dan senjatanya!" te-riak Leng So.

Sambil melompat ke samping, Ouw Hui meng-hunus goloknya dan menyabet dengan pukulan Lian-ko-hwi-kiam. Karena pukulan itu cepat luar biasa dan lidak keburu dikelit lagi, Cio Ban Tin lalu menangkis dengan tongkatnya, "Trang!" berbareng mereka me¬lompat ke belakang dengan badan terhuyung.

Sementara itu Boh-yong Keng Gak dan Sie Kiauw sudah keluar dari kamar dan berdiri di be¬lakang Cio Ban Tin. Sesudah menjajal tenaga dan merasakan lihaynya Ouw Hui, sehingga lengannya kesemutan, si orang she Cio tidak menyerang lagi. Ia mengawasi pemuda itu dengan rasa heran. Di  lain pihak, Ouw Hui pun tak kurang herannya. la mendapat kenyataan, bahwa lawannya bukan saja pandai menggunakan racun, tapi juga memiliki ilmu silat yang sangat tinggi.

"Thia Sumoay, mengapa kau tidak berlutut di hadapan Susiok (paman guru)?" kata Boh-yong Keng Gak.

"Susiok dari mana?" tanya nona Thia dengan suara dingin.

"Apakah kau belum pernah mendengar nama Tok-chiu Sin-siauw (Si kokok belok malaikat)?" tanya Cio Ban Tin dengan mendongkol. "Apakah gurumu belum pernah menyebut nama itu?" Nona Thia terkejut. "Tok-chiu Sin-siauw?" ia menegas. "Ya! Suhu memang pernah mengatakan, bahwa dahulu ia mempunyai seorang sutee. Tapi karena perbuatan adik seperguruan itu menyele-weng dan banyak membinasakan manusia yang tidak berdosa, maka Suhu sudah mengusir dia. Cio Cian-pwee, apa kau Tok-chiu Sin-siauw?" Cio Ban Tin tersenyum tawar. "Hm!" ia menge-luarkan suara di hidung. "Golongan kita mempe-lajari penggunaan racun dan sesudah main-main dengan racun, perlu apa kita berlagak sebagai orang baik? Aku si orang she Cio, biarpun dicaci sebagai manusia rendah, sungkan mengikuti jejak gurumu yang berpura-pura menjadi manusia baik." Leng So naik darahnya. "Kapankah guruku per¬nah mencelakakan manusia yang tidak berdosa?" bentaknya.

"Apakah gurumu tidak membinasakan banyak sekali manusia?" Cio Ban Tin balas tanya. "Dia mengatakan, bahwa yang dibinasakannya adalah  manusia-manusia jahat yang pantas mendapat hu-kuman mati. Tapi di mata orang lain, alasan itu belum tentu dapat diterima baik. Keluarga orang yang dibinasakan belum tentu menyetujui pikiran gurumu yang mulia." Ouw Hui kaget. Ia merasa, bahwa perkataan si tua ada juga benarnya.

"Benar!" kata Leng So, "Guruku juga merasa menyesal, bahwa ia telah mencelakakan terlalu ba¬nyak manusia dan itulah sebabnya, mengapa be-lakangan beliau mencukur rambut dan menjadi pen-deta. Beliau telah memesan kami berempat saudara seperguruan, supaya kalau bukan terlalu terpaksa, kami tidak boleh sembarangan melukai orang. Selama hidup, boanpwee belum pernah membinasa¬kan manusia." Cio Ban Tin tertawa dingin. "Hm! Apa gunanya berpura-pura menjadi orang mulia?" katanya de¬ngan nada mengejek. "Kulihat kau adalah seorang pandai dalam kalangan kita. Sepak terjangmu dalam Ciangbunjin Tayhwee bagus sekali, sehingga aku sendiri yang menjadi Susiokmu hampir-hampir kena disengkilit." "Kau sungguh berani mati," kata Leng So. "Kau menggunakan nama Tok-chiu Yo-ong dan menama-kan diri sendiri sebagai Susiok. Seorang Tok-chiu Yo-ong yang tulen mana bisa kena dikelabui oleh-ku? Begitu lekas tangannya memegang Giok-liong-pwee, ia pasti sudah mengetahui, bahwa pada cang-kir itu terdapat racun Cek-kiat-hun. Seorang Tok-chiu Yo-ong mana boleh tak tahu waktu aku me-ngepulkan asap Sam-go Ngo-mo-yan." (Sam-go Ngo-mo-yan = Asap beracun dari tiga macam kelabang dan lima macam kodok buduk).

Disemprot begitu, muka Cio Ban Tin lantas saja berubah merah. Untuk beberapa saat ia mengawasi nona Thia dengan rasa gusar dan malu, tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata.

Dahulu, di waktu masih muda, Cio Ban Tin belajar bersama-sama Bu-tin Taysu yang dijuluki orang sebagai Tok-chiu Yo-ong. Karena ia sering menggunakan racun secara serampangan dan ba-nyak mengambil jiwa manusia yang tidak berdosa, ia diusir oleh gurunya. Selama beberapa puluh tahun, beberapa kali ia menyatroni dan bertempur melawan Bu-tin. Tapi setiap kali ia selalu jatuh di bawah angin. Kalau Bu-tin tak ingat sumpahnya di hadapan Sang Buddha, bahwa ia tak akan meng¬ambil lagi jiwa manusia, ia tentu sudah membinasa-kan saudara seperguruan itu. Biarpun begitu dalam pertempuran yang paling belakang, kedua mata Ban Tin telah menjadi buta sebab rumput Toan-chung-co. Dia kabur ke Gunung Orang Hutan di Birma dan dengan menggunakan benang Lawa-lawa Perak perlahan-lahan dia berhasil menarik ke luar racun rumput itu, sehingga akhirnya dia bisa melihat lagi. Tapi biarpun tertolong, matanya tetap lamur. Maka itu, tepung kalajengking merah yang melekat di cangkir giok tak dapat dilihat olehnya dan warna asap beracun yang dikepulkan Leng So juga tak dapat dibedakannya.

Di samping itu, Leng So sudah berhasil me-nanam pohon Cit-sim Hay-tong, raja dari semua tumbuh-tumbuhan yang mengandung racun. De¬ngan mencampur Cek-kiat-hun dan Sam-go Ngo-mo-yan dengan tepung daun Cit-sim Hay-tong, ke dua racun itu jadi hilang baunya dan bertambah besar kekuatannya.

Sesudah berdiam sepuluh tahun di Gunung Orang Hutan barulah Cio Ban Tin berhasil me-nyembuhkan kedua matanya. Sepulangnya di Tiong-goan ia mendengar tentang meninggalnya Bu-tin Taysu. Ia merasa girang, karena menurut anggapan-nya ia sekarang sudah bisa menjagoi dalam lapangan penggunaan racun. Tapi di luar perhitungannya, sang Suheng mempunyai seorang "murid penutup" (murid yang diterima paling belakang) yang se-demikian lihay. Maka itu, dengan menyamar sebagai seorang nenek, Leng So mengepulkan asap pipa. Mimpi pun ia tak pernah mimpi bahwa asap pipa itu akan merobohkannya.

Melihat si tua membungkam Boh-yong Keng Gak segera berkata: "Sumoay, kau sungguh bernyali besar. Sesudah berdosa terhadap Susiok, kau tidak buru-buru berlutut untuk memohon ampun. Jika beliau marah, kau akan mati tanpa mempunyai kuburan. Aku dan Sie Sumoay sekarang sudah men¬jadi muridnya. Kalau sekarang kau menyerahkan Yo-ong Sin-pian mungkin sekali dalam girangnya beliau sudi menerima kau sebagai murid." Nona Thia gusar bukan main. Dalam Rimba Persilatan, mengkhianati partai sendiri dan masuk ke partai lain merupakan suatu dosa besar dan hukuman-nya adalah hukuman mati. Tapi biarpun darahnya meluap, muka si nona sedikit pun tidak berubah. "Kalau begitu kalian sudah menjadi murid Cio Cian¬pwee," katanya. "Dengan lain perkataan, jika Cio Cianpwee tak suka menerima siauwmoay sebagai murid maka siauwmoay tidak berhak memanggil kali an sebagai Suheng dan Suci. Ke mana Kiang Suko? Apakah ia juga sudah menjadi murid Cio Cianpwee?" "Kiang Sutee tidak mengerti urusan dan tak mau menerima nasihat baik," jawab Boh-yong Keng Gak. "Dia sudah dihukum mati oleh guru kami." Hati Leng So mencelos, hampir-hampir ia me-ngucurkan air mata. Kiang Tiat San adalah seorang yang jujur dan di antara ketiga saudara seperguruan, ialah yang paling baik. Tak dinyana, saudara seper¬guruan itu telah dibinasakan oleh Cio Ban Tin.

"Sie Samci, di mana adanya puteramu, Siauw Tiat?" tanya pula Leng So. "Apa ia baik?" "Sudah mati," jawabnya dengan dingin. "Mati karena penyakit apa?" tanya pula nona Thia. "Dia anakku, tak usah kau campur-campur," kata Sie Kiauw dengan suara aseran.

"Benar, memang benar siauwmoay tak berhak untuk mencampuri urusan puteramu," kata Leng So. "Aha! Kulupa memberi selamat kepada kalian. Lagi kapan Boh-yong Toako menikah dengan Sam-suci? Kalian sungguh keterlaluan. Mengapakah ti¬dak mengundang siauwmoay untuk turut minum arak kegirangan?" Hubungan antara Boh-yong Keng Gak, Kiang Tiat San dan Sie Kiauw adalah hebat dan me-nyeramkan. Semula, Sie Kiauw mencintai Boh-yong Keng Gak, tapi Boh-yong Keng Gak menikah de¬ngan wanita lain. Dalam gusarnya, dia meracuni saingan itu sehingga mati. Boh-yong Keng Gak lantas saja bertindak untuk membalas sakit hati isterinya. Dengan menggunakan racun, dia merusak muka dan badan Sie Kiauw, sehingga ia itu menjadi  perempuan bongkok yang bermuka jelek.

Di lain pihak, sudah lama Kiang Tiat San jatuh cinta kepada sumoaynya. Biarpun Sie Kiauw sudah menjadi perempuan bongkok, rasa cintanya tidak berubah dan ia lalu mengambilnya sebagai isterinya.

Di luar dugaan, sesudah Kiang Tiat San dan Sie Kiauw menikah dan mempunyai seorang putera, rasa cinta Boh-yong Keng Gak terhadap Sie Kiauw tiba-tiba timbul. Dia ingat kebaikan-kebaikan su-moay itu pada jaman yang lampau. Dengan tim-bulnya rasa cinta, tak henti-hentinya dia coba meng-ganggu Sie Kiauw, sehingga dia bermusuhan dengan Kiang Tiat San.

Untuk mencegah serangan Toasuheng mereka, Kiang Tiat San dan Sie Kiauw pernah membuat sebuah rumah besi yang dikitari pohon-pohon be-racun Hiat-ay-lie. Siapa nyana, akhirnya Kiang Tiat San telah dibinasakan oleh Cio Ban Tin dan Boh-yong Keng Gak sendiri menikah dengan Sie Kiauw.

Leng So mengetahui, bahwa dalam peristiwa itu terdapat latar belakang yang berliku-Iiku. Ia men-duga, bahwa dibinasakannya Kiang Tian San oleh Cio Ban Tin adalah karena Jiesuko itu menolak untuk mengkhianati guru sendiri. Tapi dalam hal itu, mungkin sekali Boh-yong Keng Gaklah yang menjadi gara-gara dan secara licik menjalankan tipu busuknya. Karena Sie Kiauwsudah menikah dengan Toasuko itu, maka bukan tak bisa jadi, si bongkok juga turut berdosa dalam kematian suaminya. (Jie¬suko = kakak seperguruan lelaki yang kedua).

Memikir begitu, Leng So lantas saja menghela napas dan berkata: "Waktu Siauw Tiat keracunan, siauwmoay telah berusaha sedapat mungkin untuk  menolongnya. Siapa sangka ia akhirnya mati juga karena Tho-hoa-ciang (racun bunga tho). Ya! Mungkin memang sudah nasibnya harus mati ka¬rena racun." Paras Boh-yong Keng Gak lantas saja berubah pucat dan ia berkata dengan suara terputus-putus: "Kau... bagaimana... kau tahu...." Ia tidak menerus-kan perkataannya dan hanya mengawasi Sie Kiauw.

"Siauwmoay sebenarnya tak tahu, hanya men-duga-duga saja," kata Leng So.

Nona Thia sudah sengaja menyebutkan "Tho-hoa-ciang", karena ia tahu, bahwa Toasuheng itu mempunyai racun tersebut yang paling diandalkan-nya. Boh-yong Keng Gak mendapatkan Tho-hoa-ciang di daerah perbatasan antara Inlam dan Kwi-ciu: kemudian, dengan menggunakan itu, dia mem-buat peluru beracun yang sangat hebat. Sesudah bertahun-tahun bermusuh dengan Toasuheng me-reka, Kiang Tiat San dan Sie Kiauw berhasil mem-buat semacam obat untuk memunahkannya.

Karena pikirannya sedang kusut dan perkataan Leng So diucapkan secara di luar dugaan, maka Boh-yong Keng Gak lantas saja terjebak dan meng-akui kedosaannya.

Leng So jadi makin gusar. "Samsuci benar-benar kejam," pikirnya. "Jiesuko telah memperlakukannya begitu baik, tapi dia tega bersekutu dengan Toasuko, sehingga Jiesuko dan puteranya jadi binasa." Nona Thia berpikir begitu, sebab ia tahu, bahwa Sie Kiauw mempunyai obat pemunah yang bisa digunakan untuk menolong Siauw Tiat yang ke-racunan Tho-hoa-ciang. Terhadap puteranya sen-diri dia sudah begitu tega, maka Leng So menarik  kesimpulan, bahwa meskipun Sie Kia uw tidak turun tangan sendiri, dia tur^ut berdosa dalam persekutuan mengambil jiwa ayah dan anak itu.

Dari sini dapatlah dibayangkan betapa pintar-nya nona Thia. Dari beberapa perkataan yang ter-lepas dari mulut Boh-yong Keng Gak, ia sudah bisa melihat latar belakang dari pembunuhan kejam itu. Biar bagaimanapun jua, Sie Kiauw merasa je-ngah karena ingat perbuatannya yang terkutuk. Buru-buru ia coba membelokkan pembicaraan de¬ngan berkata: "Sumoay, guruku menaruh belas ka-sihan dan bersedia untuk menerimamu sebagai mu-rid. Inilah nasibmu yang baik. Mengapa kau tidak lantas berlutut?" "Jika aku tidak mengangkat dia sebagai guru, bukankah aku akan bernasib seperti Jiesuko?" tanya Leng So.

"Bukan begitu," kata Boh-yong Keng Gak. "Ka-lau kau menolak rejeki, orang lain tentu tak dapat memaksanya. Tapi sekarang menurut pantas kau harus segera menyerahkan Yo-ong Sin-pian. Guru¬ku adalah seorang yang mulia. Jika kau menye¬rahkan kitab itu, dosamu terhadap beliau dalam Ciangbunjin Tayhwee boleh tak usah diperhitung-kan lagi." Nona Thia manggut-manggutkan kepalanya. "Tak salah perkataan Toasuko," katanya. "Tapi Yo-ong Sin-pian adalah sejilid kitab yang ditulis sendiri oleh Bu-tin Taysu. Manakala kita bertiga saudara seperguruan sudah mengangkat Cio Cianpwee se¬bagai guru, kita harus membuang semua pelajaran Siansu (mendiang guru yaitu Bu-tin Taysu) dan harus mempelajari ilmu Cio Cianpwee. Kuyakin ilmu Cio Cianpwee berbeda dengan ilmu Siansu dan meskipun belum tentu bisa mengalahkan ilmu Sian¬su, masing-masing mempunyai keunggulan sendiri-sendiri. Kalau Cio Cianpwee tidak punya ilmu isti-mewa, kalian berdua sudah pasti tak akan meng-angkat beliau sebagai guru. Di samping itu, Toasuko pun telah menyebut-nyebut hal 'rejeki' yang kata-nya, kalau ditolak olehku, orang lain tentu tidak dapat memaksanya. Dengan demikian, Yo-ong Sin-pian sudah tidak berguna lagi dan Siauwmoay lebih baik membakarnya." Seraya berkata begitu, ia me-ngeluarkan sejilid kitab yang kertasnya sudah ber-warna kuning. Ia menyalakan bahan api yang kemu-dian lalu digunakan untuk membakar kitab itu.

Waktu baru mendengar perkataan Leng So, Cio Ban Tin tertawa dalam hatinya. Yo-ong Sin-pian ditulis oleh Bu-tin Taysu sendiri. Mana bisa jadi Leng So membakarnya? Sesudah nona Thia menya-lakannya dia masih tersenyum-senyum, sebab men-duga, bahwa yang dibakar itu adalah kitab palsu. Setelah kitab tersebut terbuka lembarannya, sebab kena hawa panas, dan dia mengenali huruf-hu-rufnya sebagai tulisan tangan Bu-tin Taysu, barulah dia icaget. "Celaka! Budak itu tentu sudah meng-hafal isinya dan hilangnya kitab itu tidak menjadi soal baginya," pikirnya. Karenanya ia lantas saja berteriak: "Tahan!" Ia mengirim pukulan dan angin pukulan itu dalam sekejap sudah memadamkan api.

"Eh-eh, aku benar-benar tidak mengerti," kata Leng So. "Kalau ilmu Cio Cianpwee lebih unggul daripada guruku, perlu apa ia membaca kitab Sian¬su. Jika ilmu Cio Cianpwee lebih rendah daripada Siansu, mengapa beliau berani menerima aku sebagai murid?" "Ilmu Suhu mamang tidak berada di sebelah bawah Siansu," kata Boh-yong Keng Gak. "Tapi Yo-ong Sin-pian adalah hasil jerih payah Siansu selama bertahun-tahun. Ada baiknyajuga jika Suhu membacanya sambil lalu, supaya beliau bisa menun-jukkan kesalahan-kesalahan dan kekurangan-ke-kurangan dalam kitab itu." Leng So manggut-manggutkan kepalanya. "Toa¬suko, makin lama pengetahuanmu jadi makin ting-gi," katanya dengan nada mengejek. "Ha-ha! Dua orang bersembunyi di belakang pintu, yang ketiga di kolong ranjang, untuk membokong Ouw Toako dan aku. Cio Cianpwee, boanpwee ingin minta penjelasanmu mengenai suatu hal. Jika Cianpwee bisa memberikan keterangan yang memuaskan, maka dengan kedua tangan boanpwee akan me-nyerahkan Yo-ong Sin-pian. Selain itu, boanpwee pun akan memohon supaya Cianpwee sudi me¬nerima boanpwee sebagai murid." Cio Ban Tin terkejut. Ia tahu, bahwa per-tanyaan yang akan diajukan itu pasti pertanyaan sulit yang belum tentu dapat dijawabnya. Tapi ka-rcna melihat Yo-ong Sin-pian berada dalam tangan Leng So yang bisa segera memusnahkannya, maka ia tak mau menggunakan kekerasan yang dapat menggusarkan nona itu. "Soal apa yang mau di¬ajukan olehmu?" tanyanya.

Nona Thia tersenyum dan berkata: "Di antara suku Biauw di propinsi Kwiciu terdapat serupa racun yang dinamakan Pek-cam Tok-kouw...." (Pek-cam Tok-kouw = Kupu-kupu beracun dari ulat sutera hijau).

 ilmu Cio Cianpwee berbeda dengan ilmu Siansu dan meskipun belum tentu bisa mengalahkan ilmu Sian¬su, masing-masing mempunyai keunggulan sendiri-sendiri. Kalau Cio Cianpwee tidak punya ilmu isti-mewa, kalian berdua sudah pasti tak akan meng-angkat beliau sebagai guru. Di samping itu, Toasuko pun telah menyebut-nyebut hal 'rejeki' yang kata-nya, kalau ditolak olehku, orang lain tentu tidak dapat memaksanya. Dengan demikian, Yo-ong Sin-pian sudah tidak berguna lagi dan Siauwmoay lebih baik membakarnya." Seraya berkata begitu, ia me-ngeluarkan sejilid kitab yang kertasnya sudah ber-warna kuning. Ia menyalakan bahan api yang kemu-dian lalu digunakan untuk membakar kitab itu.

Waktu baru mendengar perkataan Leng So, Cio Ban Tin tertawa dalam hatinya. Yo-ong Sin-pian ditulis oleh Bu-tin Taysu sendiri. Mana bisa jadi Leng So membakarnya? Sesudah nona Thia menya-lakannya dia masih tersenyum-senyum, sebab men-duga, bahwa yang dibakar itu adalah kitab palsu. Setelah kitab tersebut terbuka lembarannya, sebab kena hawa panas, dan dia mengenali huruf-hu-rufnya sebagai tulisan tangan Bu-tin Taysu, barulah dia icaget. "Celaka! Budak itu tentu sudah meng-hafal isinya dan hilangnya kitab itu tidak menjadi soal baginya," pikirnya. Karenanya ia lantas saja berteriak: "Tahan!" Ia mengirim pukulan dan angin pukulan itu dalam sekejap sudah memadamkan api.

"Eh-eh, aku benar-benar tidak mengerti," kata Leng So. "Kalau ilmu Cio Cianpwee lebih unggul daripada guruku, perlu apa ia membaca kitab Sian¬su. Jika ilmu Cio Cianpwee lebih rendah daripada Siansu, mengapa beliau berani menerima aku se bagai murid?" "Ilmu Suhu mamang tidak berada di sebelah bawah Siansu," kata Boh-yong Keng Gak. "Tapi Yo-ong Sin-pian adalah hasil jerih payah Siansu selama bertahun-tahun. Ada baiknyajuga jika Suhu membacanya sambil lalu, supaya beliau bisa menun-jukkan kesalahan-kesalahan dan kekurangan-ke-kurangan dalam kitab itu." Leng So manggut-manggutkan kepalanya. "Toa¬suko, makin lama pengetahuanmu jadi makin ting-gi," katanya dengan nada mengejek. "Ha-ha! Dua orang bersembunyi di belakang pintu, yang ketiga di kolong ranjang, untuk membokong Ouw Toako dan aku. Cio Cianpwee, boanpwee ingin minta penjelasanmu mengenai suatu hal. Jika Cianpwee bisa memberikan keterangan yang memuaskan, maka dengan kedua tangan boanpwee akan me-nyerahkan Yo-ong Sin-pian. Selain itu, boanpwee pun akan memohon supaya Cianpwee sudi me¬nerima boanpwee sebagai murid." Cio Ban Tin terkejut. Ia tahu, bahwa per-tanyaan yang akan diajukan itu pasti pertanyaan sulit yang belum tentu dapat dijawabnya. Tapi ka-rcna melihat Yo-ong Sin-pian berada dalam tangan Leng So yang bisa segera memusnahkannya, maka ia tak mau menggunakan kekerasan yang dapat menggusarkan nona itu. "Soal apa yang mau di¬ajukan olehmu?" tanyanya.

Nona Thia tersenyum dan berkata: "Di antara suku Biauw di propinsi Kwiciu terdapat serupa racun yang dinamakan Pek-cam Tok-kouw...." (Pek-cam Tok-kouw = Kupu-kupu beracun dari ulat sutera hijau).

 Mendengar "Pek-cam Tok-kouw", paras Cio Ban Tin lantas saja berubah.

Sementara itu, Leng So meneruskan perkataan-nya: "Dengan menggilas telur kupu-kupu itu, sehingga menjadi tepung, suku Biauw membuat semacam ra-cun yang sangat hebat. Jika racun itu disebar di pakaian atau di perabot makan, maka orang yang menyentuhnya akan segera keracunan. Racun itu adalah salah satu dari tiga macam racun terhebat dari suku Biauw. Cio Cianpwee, bukankah begitu?" "Benar," jawabnya sambil mengangguk. "Budak kecil, kau mempunyai pengetahuan yang agak luas."  * * *  Sekembalinya di Tionggoan dari Gunung Orang Hutan, Cio Ban Tin segera mendengar, bahwa Bu-tin Taysu sudah meninggal dunia. karena belum dapat membalas sakit hati, maka ia lalu mencari murid-murid Bu-tin untuk melampiaskan nafsu amarahnya.

Apa mau, yang ditemuinya paling dulu adalah Boh-yong Keng Gak, manusia berjiwa kecil yang bersifat licik. Begitu dijatuhkan, si orang she Boh-yong lalu meminta-minta. ampun dan mengatakan, bahwa mendiang gurunya meninggalkan sejilid ki-tab Yo-ong Sin-pian yang jatuh ke dalam tangan Leng So. Ia menyatakan bersedia untuk meng-angkat Cio Ban Tin sebagai guru dan berjanji akan berlaku sebagai penunjuk jalan untuk mencari Leng  So dan merampas kitab tersebut.

Cio Ban Tin sangat membenci suhengnya, tapi ia pun jeri terhadap kelihayan kakak seperguruan itu. Mendengar Bu-tin meninggalkan sejilid kitab, ia merasa pasti, bahwa kitab itu berisi pelajaran yang luar biasa. Oleh sebab itu, ia lantas saja menerima Boh-yong Kong Gak sebagai murid.

Belakangan atas anjuran murid baru itu, ia menyerang rumah besi Kiang Tiat San dan mem-bunuhnya sekalian. Sie Kiauw menakluk kepadanya dan dia juga diterima sebagai murid.

Sebelum Boh-yong Keng Gak dan Sie Kiauw menakluk serta Kiang Tiat San dibunuh, Cio Ban Tin pernah bertempur dengan ketiga murid Bu-tin itu. Ia merasa, bahwa ilmu silat ketiga orang itu tidak seberapa tinggi, sedang ilmu mereka dalam menggunakan racun juga kalah jauh dari Bu-tin Taysu. Ia mendengar bahwa murid Bu-tin yang keempat, yaitu Thia Leng So, adalah seorang wanita yang baru berusia delapan belas atau sembilan belas tahun. Dengan mengukur kepandaian ketiga murid Bu-tin yang lain, ia sedikit pun tidak memandang kepandaian nona Thia. Ia menganggap, bahwa se-kali ia menggerakkan tangan, nona itu akan segera bisa dibekuk.

Tapi dalam Ciangbunjin Tayhwee, ia dijatuhkan oleh nona Thia. Ia gu§ar dan merasa penasaran. Ia menganggap, bahwa kekalahannya adalah karena lamurnya, sehingga ia tidak dapat melihat racun Cek-kiat-hun dan Sam-go Ngo-mo-yan. Tapi ia jeri terhadap Ouw Hui yang tinggi ilmu silatnya. Karena itu, ia hanya berani menguntit dengan diam-diam. Ketika Ouw Hui dan Leng So pergi ke To-jian-teng  untuk menemui Bu-tim Tootiang, bersama kedua muridnya, ia bersembunyi dalam kelenteng Sin-long-bio itu. Tujuan mereka yang terutama adalah merebut Yo-ong Sin-pian.

Melihat banyaknya orang-orang Ang-hoa-hwee, mereka terus bersembunyi di ruangan belakang dan tak berani muncul. Waktu rombongan Tan Kee Lok berangkat pulang dan berpamit dari Ouw Hui dan Leng So di luar kelenteng, mereka lantas masuk dan bersembunyi dalam kamar Ma It Hong. Sesudah menyebar racun, mereka menunggu Ouw Hui dan Leng So yang mau dijadikan korban. Tapi di luar dugaan, nona Thia sangat lihay dan pada detik yang sangat berbahaya, ia dapat mengendus jebakan yang dipasang.

 * *  Mendengar "Pek-cam Tok-kouw", Cio Ban Tin kaget dan heran. Ia tak pernah menduga, bahwa nona itu sedemikian luas pengetahuannya. Ia segera mengawasi Leng So dengan penuh kewaspadaan dan menunggu pertanyaan yang akan diajukan de¬ngan jantung berdebar keras-keras.

Leng So berkata pula: "Kalau tepung telur Pek-cam Tok-kouw disebar di perabot makan atau barang-barang lain, maka racun itu tidak mem-perlihatkan warna dan juga tidak mengeluarkan bau, sehingga sukar diketahui oleh calon korban. Tapi, untuk bisa membunuh manusia, racun itu  harus masuk ke dalam badan lewat darah dan da-ging. Dalam dunia ini tiada yang sempurna. Begitu menyentuh daging, racun tersebut lantas saja mem-perlihatkan warna hijau.

"Cio Cianpwee, jika kau hanya menyebar racun Pek-cam Tok-kouw di pakaian jenazah Ma Kouw-nio, siapa pun jua tak akan mengetahuinya. Tapi kau ingin bekerja lebih sempurna dan sudah menye-barnya juga di muka dan tangannya." Mendengar itu, Ouw Hui baru mengerti. Siasat itu sungguh busuk dan kejam. Kalau mata si adik tidak cukup jeli, ia pasti sudah keracunan, sebab tepat dengan perhitungan Cio Ban Tin, ia mesti memondong jenazah Ma It Hong untuk mengubur-kannya. "Bangsat tua!" ia mencaci. "Kau mau men-celakakan orang, tapi mungkin kau sendiri yang akan celaka." Si tua tidak menggubris cacian Ouw Hui. Sambil mengibaskan tongkatnya, ia berkata: "Budak kecil! Matamu lihay. Kau sudah bisa mengenali Pek-cam Tok-kow. Di antara orang Han, hanya aku dan kau yang mengenal itu. Bagus! Kau sungguh lihay! Se-mua saudara seperguruanmu tak ada yang bisa menandingi kau." "Cianpwee memuji terlalu tinggi," kata Leng So seraya membungkuk. "Mana bisa boanpwee menan¬dingi Suheng dan Suci? Dalam hal racun Pek-cam Tok-kouw, ada sesuatu yang boanpwee masih ku-rang paham. Dalam Yo-ong Sin-pian disebutkan, bahwa sebenarnya tidak sukar untuk menghilang-kan warna hijau racun itu di kulit manusia. Aku tak mengerti, mengapa Cianpwee tidak menggunakan cara itu?"  Cio Ban Tin mendelik. "Omong kosong!" ben-taknya. "Suku Biauw adalah leluhur Pek-cam Tok-kouw, tapi mereka sendiri belum mampu meng-hilangkan warna racun di kulit manusia. Gurumu belum pernah datang di daerah suku Biauw. Tahu apa dia?" "Kalau Cianpwee mengatakan begitu, boan-pwee tentu tidak bisa tidak percaya," kata Leng So. Tapi dalam buku yang ditulis Siansu memang ter-dapat petunjuk mengenai itu. Ku tak tahu siapa yang benar, apa Cianpwee atau guruku." "Bagaimana caranya?" tanya si tua. "Coba beri-tahukan kepadaku." "Jika boanpwee hanya memberitahukan dengan mulut, Cianpwee belum tentu percaya," jawabnya. Tapi kalau dijajal, benar tidaknya segera bisa ter-bukti." "Bagaimana menjajalnya?" tanya pula Cio Ban Tin.

"Cianpwee boleh menaruh sedikit Pek-cam Tok-kouw di tangan seseorang dan boanpwee sen¬diri sesuai dengan petunjuk Siansu, akan menaruh obat di tangan itu," jawab Leng So. "Kita nanti lihat, apa benar warna hijau di tangan orang itu bisa menghilang." Si tua sangat bersangsi, ia setengah percaya, setengah tidak. Sesudah berdiam sejenak, karena didorong dengan keinginan mendapat tahu benar tidaknya keterangan Leng So, ia lantas saja bertanya pula: "Tapi tangan siapa yang harus digunakan untuk menjajalnya?" "Terserah kepada Cianpwee," jawabnya.

Sekali lagi Cio Ban Tin bersangsi. "Kalau di taruh di tanganmu, kau tentu akan menolak," pi-kirnya. "Jika ditaruh di tangan pemuda yang galak itu, lebih-lebih tak bisa kejadian." Sesudah memikir beberapa saat, ia berpaling kepada Boh-yong Keng Gak seraya berkata: "Keluarkan tangan kirimu!" Murid itu melompat bahna kagetnya. Dengan mata terbuka lebar, ia berkata: "Ini... ini Suhu...

jangan kena diakali oleh perempuan busuk itu!" Sang guru lantas saja gusar. "Keluarkan tangan kirimu!" bentaknya.

Melihat kegusaran gurunya Boh-yong Keng Gak tidak berani membantah lagi. Dengan bergeme-taran ia mengangsurkan tangan kirinya. Tapi segera ia ingat, bahwa meskipun belum tentu mati, ia pasti bakal mengalami penderitaan hebat dan mengingat begitu, tanpa merasa ia menarik pulang lagi tangan-nya.

"Baiklah!" kata Cio Ban Tin sambil tertawa dingin. "Kalau kau tidak menurut perintah guru, terserah!" Mendengar perkataan itu, paras muka Boh-yong Keng Gak berubah pucat pasi. Pada waktu mau mengangkat guru, ia telah bersumpah, bahwa ia akan menurut segala perintah Cio Ban Tin dan manakala ia tidak menurut perintah, ia rela me-nerima hukuman. Kata-kata "menerima hukuman" kedengarannya sederhana sekali, tapi sebagai orang-orang yang biasa menggunakan racun, perkataan itu mengandung arti yang sangat hebat, sehingga oleh karenanya, Boh-yong Keng Gak lantas saja meng-gigil sekujur badannya.

Baru saja ia mau mengangsurkan lagi tangan-nya, tiba-tiba Sie Kiauw berkata: "Suhu, biar aku  saja yang mencoba-coba." Seraya berkata. begitu, dengan tenang ia melonjorkan tangan kirinya.

"Tidak! Aku tak perlu kau," bentak sang guru. "Aku mau lihat apa sebagai lelaki dia punya nyali atau tidak." "Suhu aku bukan takut," Boh-yong Keng Gak coba membela diri. "Tapi karena kutahu sumoay itu banyak akalnya dan dia tentu tidak mengandung maksud baik, maka kita harus berhati-hati, jangan sampai terjebak.

"Toasuko memang lihay," kata Leng So sambil manggut-manggutkan kepalanya. "Dulu, Siansu pun kadang-kadang naik darah sebab sepak terjangmu. Sekarang, sesudah mempunyai guru baru, kau meng-ulangi lakon murid lebih pintar daripada guru." Cio Ban Tin mengerti, bahwa Leng So coba merenggangkan perhubungan antara guru dan mu¬rid. Tapi sebab Boh-yong Keng Gak memang benar sudah membantah perintahnya, maka dengan sorot mata mendongkol ia terus mengawasi murid itu, yang dengan ketakutan perlahan-lahan mengang-surkan pula tangannya.

Dari sakunya si tua lalu mengeluarkan sebuah kotak emas, yang ketika dibuka, di dalamnya ter-nyata berisi tiga ulat sutera warna hijau yang ber-gerak-gerak tak hentinya. Dengan menggunakan satu sendok kecil, yang terbuat daripada emas, ia menyendok sedikit bubuk hijau yang lalu ditaruh di telapak tangan muridnya. Lengan kiri Boh-yong Keng Gak bergemetaran makin keras, paras muka-nya menunjukkan perasaan takut, gusar dan mem-benci, sedang matanya mengeluarkan sinar mata binatang buas, yang seolah-olah mau menerkam  korbannya.

"Biar bagaimanapun jua, tindakan Jie-moay ini sudah menanam bibit permusuhan hebat antara guru dan murid itu," kata Ouw Hui di dalam hati. "Kalau ada kesempatan, Boh-yong Keng Gak pasti akan membalas sakit hati ini." Dalam sekejap, bubuk hijau itu meresap masuk kc dalam daging dan di atas kulit telapak tangan tcrlihat sedikit warna hijau.

"Bocah! Sekarang kau boleh coba menghilang-kan warna hijau itu," kata Cio Ban Tin.

Leng So tidak meladeni. Ia menengok kepada Ouw Hui dan berkata: "Toako, waktu kita baru bertemu di kelenteng Pek-ma-sie, di tepi telaga Tong-teng, aku telah ajukan tiga permintaan ke-padamu. Apa sekarang kau masih ingat tiga syarat itu?" "Ingat," jawabnya. Ia ingat, bahwa si adik telah minta supaya ia tidak bicara, tidak bertempur dan tidak terpisah dari Leng So lebih tiga tindak.

"Baguslah jika Toako masih ingat," kata Leng So. "Hari ini kau harus memperhatikan ketiga syarat itu." Ouw Hui lantas saja mengangguk.

"Cio Cianpwee," kata Leng So, "Antara Iain-lain racun, kau pasti membawa juga Ho-teng-hong dan Kong-ciak-tan *) Jika kedua racun itu digunakan bersama-sama Pek-cam Tok Kouw, maka warna hijau yang terdapat di kulit Toasuko akan meng-hilang, karena ketiga racun itu saling menentang *) Ho-teng-hong = Bagian merah di atas burung Ho. Kong-ciak-tan = Nyali burung merak. Menurut kepercayaan kedua-duanya dapat diolah menjadi racun.

 dan juga saling membantu. Jika Cianpwee tidak percaya bacalah lebih dulu apa yang tertulis dalam Yo-ong Sin-pian." Seraya berkata begitu, ia mem-buka halaman kitab itu dan lalu mengangsurkannya kepada Cio Ban Tin.

Si tua lantas saja membaca sebaris huruf yang berbunyi: "Jika Ho-teng-hong dan Kong-ciak-tan digunakan bersama-sama telur Pek-cam, maka war-na dan baunya lantas saja hilang, hanya bekerjanya terlebih perlahan." Ia mau membaca terus, tapi nona Thia sudah menutupnya.

"Bangsat Bu-tin benar-benar luas pengetahuan-nya," caci Cio Ban Tin dalam hatinya. "Hal ini harus dijajal olehku. Kalau terbukti kebenarannya, maka Yo-ong Sin-pian itu bukan kitab palsu." Selama hidupnya Cio Ban Tin mempelajari soal racun dan hampir dua puluh tahun ia membuat penyelidikan dan percobaan secara mati-matian, dalam usaha untuk mengalahkan kakak sepergu-ruannya. Ia jadi keranjingan racun. Sekarang, de-ngan timbulnya dugaan, bahwa kitab yang diper-lihatkan Leng So bukan kitab palsu, maka baginya, kitab itu adalah lebih berharga daripada harta apa-pun juga di dalam dunia. Di samping sifatnya yang kejam, antara dia dan Bo-yong Keng Gak sama sekali tak ada kecintaan guru dan murid. Selain itu, ia pun mengerti, bahwa sesudah menyebar Pek-cam Tok-kouw di tangan murid itu, jika mendapat ke-sempatan, Bohyong Keng Gak tentu akan mem-berontak terhadapnya. Maka itu, ia segera meng¬ambil keputusan untuk menjajal ketiga macam ra¬cun itu di badan Boh-yong Keng Gak.

Dengan sekali mementil kuku telunjuk tangan  kanannya, semacam uap merah lantas saja masuk ke telapak tangan Boh-yong Keng Gak. Hampir berbareng, ia mementil jari tengah dan kali ini yang masuk ke tangan muridnya adalah uap yang ber-warna hitam.

Melihat si tua bisa menyebar racun dengan hanya mementil kuku, Leng So jadi kagum bukan main. Tapi dengan memperhatikan gerak-gerik si tua, ia segera bisa menebak rahasianya. Ia mendapat kenyataan, bahwa ikat pinggang Cio Ban Tin dijahit begitu rupa, sehingga terbagi jadi kotakan-kotakan dan pada ikat pinggang itu terdapat kira-kira tujuh puluh atau delapan puluh kotakan. Ia menduga, bahwa di dalam setiap kotakan tersimpan serupa racun. Dengan latihan yang seksama, sekali ta-ngannya bergerak, tanpa diketahui manusia, ia su¬dah mengambil sedikit racun yang diinginkannya dengan kukunya.

Demikianlah, tahu-tahu kedua racun itu sudah masuk ke dalam telapak tangan Boh-yong Keng Gak. Sebenarnya, sesudah mendengar pembicaraan antara Cio Ban Tin dan Leng So, dia segera meng¬ambil keputusan untuk melawan. Ia lebih suka menakluk kepada Leng So dan mereka bertiga bersatu padu untuk melawan guru kejam itu, dari¬pada menderita penderitaan yang lebih hebat. Ta"pi di luar dugaan, sebelum bergerak, Ho-teng-hong dan Kong-ciak-tan sudah masuk ke tangannya.

Benar saja, begitu lekas uap merah dan hitam itu meresap masuk, warna hijau yang tadi melekat di telapak tangan lantas saja menghilang.

"Bagus!" seru si tua dengan suara girang dan tangannya menjambret Yo-ong Sin-pian yang di cekal Leng So. Nona Thia tidak menarik pulang tangannya, ia hanya tersenyum simpul. Tapi, se-belum lima jarinya menyentuh kitab itu, dalam otak si tua mendadak berkelebat serupa ingatan. "Cela-ka! Apa bisa jadi di kitab itu tidak tersembunyi sesuatu yang hebat?" pikirnya. Cepat bagaikan kilat, ia menarik pulang tangannya. "Cio Ban Tin, Cio Ban Tin!" ia mengeluh dalam hatinya. "Jika kau me-mandang rendah bocah itu, biarpun kau punya sepuluh jiwa, kau akan mampus dalam tangannya." Sementara itu, telapak tangan Boh-yong Keng Gak sudah mulai baal dan gatal. Rasa gatal menusuk sampai di jantung, seolah-olah berlaksa semut menggigit isi perutnya.

"Siauwsumoay," katanya dengan suara berge-metar. "Lekas keluarkan obat pemunah." "E-eh, Toasuko, apakah kau lupa pesan Sian¬su?" tanya Leng So. "Apa adanya sembilan macam racun yang tidak boleh digunakan, sebab tidak ada obat pemunahnya?" Boh-yong Keng Gak mengeluarkan keringat dingin. "Ho-teng-hong dan Kong.... Kong-ciak-tan juga... juga termasuk dalam sembilan macam racun itu," katanya. "Sumoay, mengapa... mengapa kau meracuni aku dengan kedua racun itu? Bukankah kau melanggar pesan Suhu?" "Toasuko, bahwa kau masih ingat Suhu dan masih ingat pula pesan Suhu sungguh-sungguh di-luar dugaanku," kata nona Thia dengan suara tawar. "Adakah Pek-cam Tok-kouw disebar olehku? apa¬kah Ho-teng-hong dan Kong-ciak-tan ditaruh oleh¬ku di badanmu? Siansu telah memesan, bahwa orang-orang dari golongan kita, biarpun sedang  menghadapi bahaya mati hidup, sekali-kali tidak boleh menggunakan racun yang tak ada obat pe¬munahnya. Inilah larangan terutama dari partai kita. Cio Cianpwee, Toasuko dan Samsuci yang sudah keluar dari partai kita, tentu saja boleh tak usah memperhatikan larangan itu. Tapi Siauwmoay sendiri tak boleh melupakannya." Selama Leng So bicara, dengan tangan kanan Boh-yong Keng Gak menekan nadi kirinya untuk menahan naiknya racun. Muka dan badannya me¬ngeluarkan keringat dan ia tidak dapat mengeluar¬kan sepatah kata lagi.

Sie Kiauw buru-buru mencabut golok pendek dan membuat goresan tapak jalak di telapak tangan suaminya, supaya sebagian racun bisa mengalir ke¬luar bersama-sama darah. Ia mengerti, bahwa go¬resan itu tidak dapat menolong jiwa, tapi sedikitnya bisa mengurangi kehebatan racun. "Siauwsumoay apa yang ditulis dalam kitab Suhu?" tanyanya. "Se-sudah menyebutkan cara menggunakan tiga macam racun itu, beliau tentulah juga menulis tentang cara memunahkannya." "Suhu yang mana?" tanya Leng So. "Apakah Suhu Siauwmoay yang bernama Bu-tin Taysu, atau-kah Suhu kalian yaitu, Cio Cianpwee?" Mendengar ejekan itu, Sie Kiauw sangat gusar, tapi demi kepentingan suaminya, sebisa-bisa ia me¬nekan hawa amarahnya. "Kami berdua memang pantas mendapat hukuman mati," katanya dengan suara gemetar. "Tapi, aku mengharap, dengan mengingat kecintaan dahulu hari dan dengan me-mandang muka siansu, Siauwsumoay sudi menolong selembar jiwanya.

 Leng So segera membalik-balik lembaran Yo-ong Sin-pian dan sambil menunjuk dua baris huruf, ia berkata: "Sucie, lihatlah sendiri. Dalam hal ini, kau tidak dapat menyalahkan aku." Sie Kiauw mengawasi yang ditunjuk Leng So dan membaca huruf-huruf yang berbunyi begini: Kalau Pek-cam Tok-kouw, Ho-teng-hong dan Kong-clak-tan digunakan bersama-sama maka tak ada obat yang dapat memunahkannya. Racun itu tidak boleh digunakan, tidak boleh digunakan." Sie Kiauw marah besar. Ia menengok kepada Cio Ban Tin dan berkata dengan suara keras. "Suhu! Dalam kitab itu ditulis terang-terang, bahwa ketiga racun itu tak ada obat pemunahnya. Mengapa kau masih menjajalnya di badan Keng Gak?" Ia masih memanggil "Suhu," tapi suaranya kaku dan matanya berapi-api. Dua baris huruf itu sebenarnya tidak dapat dibaca oleh Cio Ban Tin, tapi andaikata dia membacanya, dia pun tak akan bersangsi untuk menyebar racunnya di telapak tangan Boh-yong Keng Gak.

Mendengar teguran muridnya, tentu saja ia sungkan mengaku salah. "Berikan buku itu kepada-ku," katanya. "Aku mau lihat ada keanehan apa lagi yang ditulis di situ." Sie Kiauw gusar tak kepalang. Ia mengerti, bahwa jika ia bersangsi-sangsi, jiwa suaminya tak akan bisa ditolong lagi. Dengan cepat ia mengayun golok dan mengutungkan lengan Boh-yong Keng Gak sebatas pundak.

Ketiga racun itu bukan main hebatnya, tapi karena digunakan bersama-sama maka bekerjanya agak perlahan. Selain begitu, karena masuk dari  telapak tangan yang tak terluka, maka racun tidak masuk ke dalam pembuluh darah, sehingga dengan kutungan lengannya, jiwa Boh-yong Keng Gak da¬pat ditolong.

Sebagai murid Bu-tin Taysu, Sie Kiauw mem-punyai kepandaian tinggi dalam mengobati luka. Dengan cepat dan secara ahli, ia menaruh obat dan membalut luka suaminya.

Sesudah luka Boh-yong Keng Gak selesai di-balut, dengan paras sungguh-sungguh Leng So ber¬kata: "Toasuko, Samsuci, aku bukan sengaja ingin mencelakakan kau. Kamu berdua berdosa besar. Dengan mengkhianati partai sendiri dan mengang-kat seorang musuh guru kita sebagai guru, kamu berdua sudah pantas untuk mendapat hukuman mati. Di samping itu, kamu juga sudah membinasa-kan Jiesuko dan puteranya. Itulah perbuatan yang sangat terkutuk, sehingga bukan saja manusia, tapi malaikat pun mengutuk kamu. Siauwmoay adalah ahli waris dari partai kita. Jika aku tidak meng¬hukum kamu, apakah aku boleh membiarkan nama besarnya Siansu dirusak oleh musuhnya dan mu¬ridnya sendiri? Sesudah Jiesuko dan puteranya bi-nasa dalam keadaan yang mengenaskan, jika Siauw¬moay tidak menghukum kamu, apakah Siauwmoay boleh membiarkan roh Jiesuko dan puteranya te-rus-menerus merasa penasaran di dunia baka?" Leng So adalah seorang wanita yang lemah dan kurus badannya, sedang usianya pun masih sangat muda. Tapi waktu mengucapkan perkataan itu, sua¬ranya berpengaruh dan sikapnya angker sekali. Ouw Hui manggut-manggutkan kepalanya dan berkata dalam hatinya: "Memang, mereka memang pantas  dihukum mati." Sesudah berdiam sejenak, nona Thia berkata pula dengan suara lebih halus: "Akan tetapi, biarpun kalian sudah mengkhianati partai, kalian adalah kakak seperguruanku. Seumur hidup Siauwmoay belum pernah membunuh orang dan Siauwmoay tak ega untuk membinasakan saudara seperguruan sendiri. Biarpun lengan Toasuko sudah dikutung-kan, tapi sebab racun itu sudah naik ke jantung, maka di dalam tempo sebulan, racun akan meng-amuk dan tidak dapat diobati lagi. Sekarang aku ingin memberikan tiga butir Seng-seng Cauw-hoa-tan kepada Toasuko. Pel ini adalah hasil jerih payah Siansu selama beberapa tahun. Dengan memberani-kan hati, Siauwmoay mewakili Siansu untuk meng-hadiahkan ketiga pel itu kepada Toasuko. Setiap butir dapat memperpanjang umur selama tiga ta¬hun. Sesudah menelannya kuharap kau ingat budi Siansu yang sangat besar. Kuharap juga kau akan menanya diri sendiri: Siapa yang memperlakukan kau terlebih baik, apa guru lama atau guru baru?" Sehabis berkata begitu, ia mengeluarkan tiga butir pel merah dari sakunya.

Selagi Sie Kiauw mau menyambuti, Cio Ban Tin tertawa dingin dan berkata: "Lengan sudah kutung, mana bisa racun menyerang jantung? Kalau pel pembetot jiwa itu ditelan, barulah racun menyerang jantung." "Kalau kalian percaya omongan guru yang baru, pel ini boleh tak usah digunakan," kata Leng So. Tangannya bergerak untuk memasukkannya ke dalam saku.

"Tidak...! Tidak!" teriak Boh-yong Keng Gak  tergesa-gesa. "Sumoay, berikaniah kepadaku." Sie Kiauw mendekati sumoaynya dan seraya mengambil ketiga pel itu, ia berkata: "Terima kasih atas kebaikan Sumoay. Mulai dari sekarang, kami berdua akan mengambil jalan yang lurus." Seko-nyong-konyong tubuh Sic Kiauw bcrgoyang-goyang dan berteriak dengan suara gusar: "Cio Ban Tin...! Kau sungguh kejam...!" Hampir berbareng dengan teriakannya, ia roboh terguling.

Leng So dan Ouw Hui kagct. Mereka tak lihat gerakan Cio Ban Tin. Bagaimana dia menyebar racunnya? Leng So membungkuk dan coba mem-balikkan si bongkok untuk memeriksa apa dia masih bisa ditolong. Mendadak, di luar dugaan, perge-langan tangan kanannya diccngkeram Sie Kiauw. Leng So terkesiap ia tahu, bahwa ia sudah terjebak. Ia mau menghantam kepala manusia curang itu, tapi badannya sudah lemas dan ia tak bisa bergerak lagi.

Sambil menempelkan ujung golok di dada nona Thia, Sie Kiauw membentak: "Scrahkan Yo-ong Sin-pian!" Leng So sangat berduka. Karena baik hati, ia celaka. Dengan apa bolch buat, ia melemparkan kitab itu di tanah.

Ouw Hui mau menerjang, tapi ia tak berani scbab ujung golok menempel di dada adiknya, se-hingga kalau ia bergerak, si adik pasti akan binasa terlebih dahulu.

Sambil mencekal tangan nona Thia erat-erat, Sic Kiauw berkata: "Suhu, teecu baniu kau merebut Yo-ong Sin-pian. Coba Suhu menaiuh Pek-cam Tok-kouw, Ho-teng-hong dan Kong-ciak-tan di ta¬ngan perempuan hina ini. Aku mau lihat apa dia  tak akan menolong jiwanya sendiri." Cio Ban Tin tertawa girang. "Murid yang baik, siasatmu sungguh bagus," ia memuji. la mengeluar-kan kotak emas dan mengambil sedikit tepung Pek-cam Tok-kouw dan lalu bergcrak untuk menye-barnyadi tangan LengSo. Ho-teng-hongdan Kong-ciak-tan sudah berada dalam kukunya.

Itulah detik yang sangat, berbahaya bagi jiwa¬nya Leng So! Ketika itu, Boh-yong Keng Gak sedang men-derita kcsakitan hebat. Ia tahu, bahwa detik itu sangat pcnting bagi jiwanya. Scsudah kena racun, jika memiliki obat pemunah, Leng So tentu akan segera mengeluarkan obat tersebut. Dia mengambil keputusan untuk merebut obat itu dari tangan nona Thia. Andaikata Leng So benar tak punya obat pemunah, ia boleh merasa puas juga, sebab hal itu berarti pembalasan sakit hati. Memikir begitu, sam bil menahan sakit ia menghampiri dan menghadang di depan Ouw Hui untuk mencegah pertolongan pemuda itu.

Tapi Ouw Hui sudah mata gelap. Bagaikan kilat, tinjunya menyambar dan menghantam muka Boh-yong Keng Gak. Dia coba menangkis, tapi dalam nekatnya, mana Ouw Hui mau memberi kesempatan kepadanya. Tinjunya berkelebat dan mampir tepat di dada Boh-yong Keng Gak yang lantas saja terpental dan menubruk Sie Kiauw. Ditubruk begitu, Sie Kiauw terguling, tapi tangan-nya masih tetap mencekal pergelangan tangan Leng So. Ouw Hui melompat dan menendang punggung Sie Kiauw yang bongkok, sehingga sambil menge¬luarkan teriakan hebat, dia melepaskan cekaiannya.

 Kejadian itu sudah terjadi dalam sekejapan mata saja.

Hampir berbareng tangan Cio Ban Tin sudah menyambar. Sebab khawatir tangan si tua yang tentu sudah menggenggam racun menyentuh tubuh adiknya. buru-buru Ouw Hui mendorong pundak-nya. Cio Ban Tin membalik tangannya dan coba mencengkeram tangan kanan Ouw Hui. "Mundur!" teriak Leng So. Kalau Ouw Hui menyambut dengan mengguna-kan Kin-na-chiu, ia bisa mematahkan tangan si tua. Tapi mana ia berani? Ia tahu, bahwa di kuku ma-nusia itu tersimpan racun hebat. Buru-buru ia me¬lompat ke belakang.

Melihat cengkeramannya gagai, Cio Ban Tin segera menimpuk dengan sendok emasnya yang berisi racun Pek-cam Tok-kouw dan berbareng, ia mementil kukunya. Bagaikan nap, bubuk-bubuk racun itu menyambar belakang tangan Ouw Hui.

Pemuda itu, yang masih tak tahu bahwa dirinya sudah kena racun, lantas saja membasmi ketiga manusia jahat itu. Ia menyerang bagaikan harimau edan dan tidak main sungkan-sungkan lagi. Cio Ban Tin coba melawan dengan tongkatnya. Tiba-tiba ia mengeluarkan teriakan tertahan, ia merasakan ke-sakitan hebat dan darah menyembur dari tangannya sebab tiga jerijinya kena dibabat putus. Hatinya mencelos dan sekali lagi ia mementil kukunya yang lantas saja mengeluarkan semacam uap. "Toako mundur!" teriak pula Leng So. Ouw Hui berdiri di depan adiknya dan meng-awasi ketiga manusia itu yang kabur secepat-ce-patnya.

 Scsaat kcmudian, dengan hati seperti disayat ribuan pisau, Lcng So mcncckal tangan kakaknya. Ia sendiri terlolos dari kebinasaan, tapi sang kakak dalam usaha untuk mcnolong jiwanya, sudah kena racun. Ia tahu, bahwa belakang tangan Ouw Hui sudah kena Pek-cam Tok-kouw, Ho-teng-hong dan Kong-ciak-tan yang tidak dapat dipunahkan dengan obat apa punjua. Apakah ia harusmengikuticontoh Sie Kiauw mengutungkan lengan sang kakak dan kcmudian membcrikannya beberapa Seng-seng Tiauw-hoa-tan, supaya jiwanya bisa disambung de¬ngan beberapa tahun? Apa ia harus berbuat begitu? Dalam dunia yang lebar ini, Ouw Hui adalah manusia satu-satunya yang dicintainya dengan se-genap jiwa raga. Sesudah berkumpul beberapa lama, ia sudah menaruh kepentingan Ouw Hui di atas kepentingannya sendiri. Apakah manusia yang sedemikian mulia hanya akan hidup di dunia be¬berapa tahun lagi sembilan tahun lagi, dengan pertolongan tiga butir Seng-seng Tiauw-hoa-tan? Leng So tak perlu memikirkan panjang-pan-jang. Dalam sekejap ia sudah mengambil keputusan apa yang harus dilakukannya.

Ia mengeluarkan sebutir pel warna putih dan sambil menaruhnya di mulut sang kakak, ia berkata dengan suara gemctar: "Telanlah!" Ouw Hui segera menelannya. Mengingat pcng-alaman tadi, ia berkata: "Sungguh berbahaya! Jic-moay, sungguh berbahaya!" Sambil mengawasi Yo-ong Sin-pian yang menggeletak di tanah dan yang beberapa lembarannya bergoyang-goyang karena ditiup angin musim rontok, ia berkata pula: "Jie-moav. sungguh sayang mereka terlolos, tapi untung  juga buku itu tidak kena dirampas mereka. Jic-uioay. kalau kau kena tiga racun, ceiakalah!" Leng So merasa seolah-olah ususnya dipotong-potong. Ia mau menangis, ia mau sesambal, tapi air matanya kering, mulutnya tidak bisa mengeluarkan scpatah kata.

Melihat muka adiknva pucat pasi, Ouw Hui berkata dengan suara lemah lembut: "Jie-moay, kau capai. Mengasolah!" Si nona jadi terlebih duka lagi dan berkata: "Aku... aku...." Tiba-tiba Ouw Hui merasa belakang tangan kanannya agak baa! dan gatai. Selagi ia mau meng-garuknya, Leng So mencekal tangan kirinya dan berkata dengan suara gemetar: "Jangan!" "Jie-moay mengapa kau?" tanya Ouw Hui de¬ngan rasa heran sebab merasa tangan adiknya dingin bagaikan es. Baru saja ia berkata begitu, sekonyong-konyong matanya gelap dan ia roboh terjengkang.

Biarpun tidak bisa berkutik, otak Ouw Hui tetap lerang. Ia merasa belakang tangan kanannya makin baal dan gatal dan ia kaget bukan main. "Apa aku kena racun...?" tanyanya.

Air mata Leng So mengucur deras dan jatuh menetes di pakaian kakaknya. Perlahan-lahan tan-pa mengeluarkan sepatah kata, ia manggut rnang gutkan kepalanya. Melihat kesedihan adiknya, Ouw Hui mengerti, bahwa racun yang berada dalam tubuhnya tak dapat dipunahkan lagi. Sesaat itu, di clepan matanya terbayang pula kejadian-kejadian pada masa yang sudah silam pertemuannya dengan Tio Poan San di Siang-kee-poyang berakhir dengan angkal saudara, peristiwa mengenaskan di kelen teng Pak-tee-bio di Hud-san-tin, pertemuan dengan Wan Cie Ie, pertemuan dengan Leng So, Ciang-bunjin Tayhwee, rombongan Ang-hoa-hwee, Cio Ban Tin... semua berkelebat-kelebat di depan mata-nya.

Sesaat kemudian. badannya mulai kaku, sedang ujung tangan dan ujung kaki mulai dingin. "Jie-moay, hidup atau mati adalah takdir dan kau tak usah terlalu berduka," katanya dengan perlahan. "Aku hanya menyesal. bahwa kau akan hidup sendiri di dalam dunia dan sebagai kakak, aku tak dapat melihat-lihat kau lagi. Meskipun Kim-bian-hud Biauw Jin Hong seorang musuhku yang telah mem-bunuh ayahku, tapi menurut pendapatku, ia seorang gagah yang jujur dan bersih. Sesudah aku mati, kau harus pergi kepadanya untuk melindungi diri...." Berkata sampai di situ, lidahnya kaku dan ia tak dapat bicara terus.

Sambil berlutut di samping kakaknya, si nona berkata: "Toako, kau jangan takut. Kau kena tiga macam racun yang sangat hebat, tapi aku masih mempunyai daya untuk memunahkannya. Bahwa kau tak bisa bergerak dan tak bisa bicara adalah akibat pel putih yang tadi diberikan olehku." Mendengar perkataan si adik, Ouw Hui jadi eirang.

Leng So segera mengeluarkan sebatang jarum emas yang lalu digunakan untuk menusuk pem-buluh darah di belakang tangan kakaknya. Sesudah itii tanpa merasa sangsi sedikit pun jua, ia meng-hisapnya.

Ouw Hui terkesiap. "Dengan menghisap darah beracun, bukankah kau sendiri akan kena racun  juga?" katanya di dalam hati. Ia ingin memberontak, tapi tak bisa berkutik, sedang hawa dingin perlahan-lahan naik ke atas.

Nona Thia menghisap dan membuang darah beracun di lantai. Sesudah mengulangi kira-kira cmpat puluh kali, darah yang dihisap sudah ber-warna merah dan hatinya baru menjadi lega. Ia membuang nafas dan berkata dengan suara halus. "Toako, kau dan aku sama-sama harus dikasihani. Kau mencintai Wan Kouwnio, tapi ia mencukur rambut, sedang aku... aku...." Sambil mengawasi Ouw Hui dengan sinar mata penuh kecintaan, perlahan-lahan ia bangun berdiri dan mengeluarkan dua rupa obat bubuk yang lalu diusapkan di belakang tangan kakaknya. Sesudah ilu ia mengambil sebutir pel warna kuning dan memasukkannya ke dalam mulut Ouw Hui. "Toako," bisiknya, "Suhu mengatakan, bahwa orang yang kena tiga rupa racun itu, tak bisa ditolong lagi. Beliau mengatakan begitu karena di dalam dunia tak ada tabib yang rela mengorbankan jiwa sendiri untuk menolong si sakit. Toako, beliau tak tahu, bahwa aku... aku bisa berkorban untukmu...." Sehabis berkata begitu, si nona lalu membuka buntalannya dan mengeluarkan Giok-hong (bu-rung-burungan hong yang terbuat daripada batu giok) yang telah diberikan kepadanya oleh Wan-scng. Sesudah mengawasi perhiasan itu dengan sorot mata duka, ia rnembungkusnya dengan sapu tangan dan kemudian memasukkannya ke dalam saku Ouw Hui. Ia mengeluarkan sebatang lilin yang lalu ditancapkan di ciak-tay yang berada di atas meja sembahyang. Di lain saat, ia kelihatannya mendapat  lain ingatan. la mengeluarkan bahan api dan me-nyulul tilin itu dan kcmudian, sesudah lilin tersebut terbakar sebagian, ia membawa balik, menaruh ciak-tay di atas meja sembahyangdan mencabut lilin itu yang lalu dilctakkan di samping ciak-tay. Akhir-nya ia mengeluarkan lilin baru dan menancapkan-nya di ciak-tay.

Dengan rasa heran Ouw Hui menyaksikan tin-dakan adiknya. Ia tak tahu apa maksudnya itu semua.

"Toako," kata Leng So. "Ada sesuatu yang se-benarnya aku sungkan menyebut-nyebut karena khawatir kau berduka. Tapi pada saat kita hampir berpisahan, tak dapat tidak aku mesti membuka mulut. Waktu Susiokku yang jahat bertemu dengan lian Kui Longdalam Ciangbunjin Tayhwee, apakah Toako melihat sesuatu yang mencurigakan? Dari sikap mereka, aku merasa pasti. bahwa meieka kenalan lama. Aku menduga, bahwa Toan-chung-co vang digunakan Tian Kui Long untuk membutakan mata Biauw Jin Hong adalah pemberian Cio Ban Fin. Aku juga menaksir, bahwa racun yang di-kenakan kepada kedua orang tuatnu, adalah racun dari Cio Ban Tin." Ouw Hui terkesiap. "Benar!" teriaknya di dalam hati.

"Pada waktu ayah dan ibumu meninggal dunia, siauwmoay belum dilahirkan," kata pula Leng So. Beberapa saudara seperguruanku pun belum be-lajar pada Siansu. Pada waktu itu, manusia yang pandai menggunakan racun hanyalah Siansu dan Cio Ban Tin sendiri. Biauw Tayhiap menduga, bah¬wa racun itu diberikan oleh guruku dan oleh karena  adanya dugaan itu, ia bertempur dengan Siansu. Tapi kalau guruku mengatakan 'tidak' tentulah ti¬dak. Sudah lama aku menaruh kecurigaan atas did Susiok itu, tapi aku tidak mempunyai bukti. Se-benarnya, perlahan-lahan aku ingin menyelidiki dan kalau benar, aku akan berusaha untuk membalas sakit hatimu. Tapi sekarang, sesudah keadaan men-jadi begini, biar bagaimanapun jua, aku harus mem-binasakan dia...." Tiba-tiba racun yang mengeram dalam badannya mengamuk, badannya bergoyang-goyang dan ia roboh di samping Ouw Hui.

Dengan hati seperti disayat ribuan pisau, Ouw Hui melihat adiknya pelan-pelan menutup mata dan dari mulutnya keluar sedikit darah. "Jie-moay! Jie-moay!" ia sesambat di dalam hati.

Jenazah Leng So dan Ouw Hui rebah beren-deng di lantai, dari pagi sampai sore dan dari sore sampai magrib. Tiga rupa racun itu memang hebat luar biasa. Biarpun Leng So sudah menghisap dan mengeluarkan darah yang beracun, tapi sebab racun itu sudah masuk ke dalam badan, maka tubuh Ouw Hui akan terus kaku selama satu hari dan satu malam. Betapa hebat penderitaan dan kedukaan pemuda itu sukar dilukiskan.

Cuaca mulai gelap. Ouw Hui coba melihat je¬nazah adiknya, tapi kepalanya tak bisa bergerak. Selang beberapa jam, di sebelah kejauhan seko-nyong-konyong terdengar suara burung kokok be-luk yang sangat menyeramkan. Beberapa lama ke-mudian, kupingnya menangkap suara tindakan be¬berapa orang, yang dengan indap-indap mendekati kelenteng itu. "Sie Kiauw, coba kau masuk lebih dulu," tiba-tiba terdengar suara seseorang, yang  bukan lain daripada Cio Ban Tin.

Hati Ouw Hui mencelos, "Sudahlah!" pikirnya. "Aku tak bisa bergerak, aku harus menerima nasib. Jie-moay! Jie-moay!" Untukku kau telah mengorban-kan jiwa. Tapi kau telah memberi obat yang terlalu keras, sehingga, sedang musuh sudah datang, aku masih belum bisa bergerak. Sekarang tak bisa lain daripada mengikut kau ke alam baka. Aku bukan takut mati, hanya aku merasa menyesal, sakit hati ini tidak bisa dibalas lagi." Ia tak tahu bahwa tenaga obat yang diberikan Leng So sudah habis dan kaku tubuh-nya disebabkan oleh tiga rupa racun itu.

Perlahan-lahan Sie Kiauw masuk ke halaman kelenteng. Ia bersembunyi di belakang pintu dan mengawasi ke dalam. Ruangan itu gelap gulita, tapi ia tidak berani menyalakan api. Ia memasang ku-ping, tapi tak dengar suara apa pun juga. Ia keluar lagi dan lalu memberi laporan kepada gurunya.

Cio Ban Tin manggut-manggutkan kepalanya. "Bocah she Ouw itu sudah kena tiga rupa racun yang sangat hebat," katanya. "Kalau dia tidak mampus, lengannya tentu sudah dikutungkan. Sekarang ha¬nya ketinggalan perempuan hina itu dan kita boleh tak usah merasa khawatir." Biarpun bicaranya cu-kup gagah, hatinya masih keder. Sambil melintang-kan tongkat di depan dadanya, indap-indap ia ber-tindak masuk.

Waktu tiba di ruangan sembahyang, lapat-lapat ia melihat dua sosok tubuh yang menggeletak di lantai. Ia tidak berani mendekati, lalu mengambil sebutir batu dan menimpuknya. Dua orang itu tidak bergerak. Hatinya jadi lebih besar dan lalu me¬nyalakan bahan api. Segera juga ia mendapat ke nyataan, bahwa kedua sosok tubuh itu adalah je-nazah Ouw Hui dan Leng So yang kaku.

Si tua girang tak kepalang. Jenazah Leng So sudah dingin dan waktu ia memeriksa Ouw Hui, pemuda itu menahan napas. Cio Ban Tin ternyata cukup berhati-hati. Untuk mendapat kepastian, ia mengeluarkan sebatang jarum emas dan menusuk telapak tangan Leng So dan Ouw Hui. Leng So memang sudah mati, sedang Ouw Hui biarpun masih hidup, kaku otot-ototnya, sehingga meskipun ia sendiri merasakan kesakitan hebat, otot-ototnya tidak memberi reaksi apa pun jua.

Boh-yong Keng Gak mengeluarkan suara di hi-dung. "Perempuan hina itu telah menghisap da-rah beracun dari kecintaannya," katanya dengan suara membenci. "Tapi dia bukan saja tidak berhasil menolong kecintaannya, malah ia sendiri turut mengantarkan jiwa." Dengan menggunakan segulung kertas yang menyala Cio Ban Tin berusaha mencari Yo-ong Sin-pian.

Sesudah mencari beberapa lama, gulungan ker¬tas itu sudah hampir terbakar habis, maka ia segera menghampiri ciak-tay untuk menyulut lilin. Tapi sebelum api menyentuh sumbu, ia menarik pulang tangannya dan berkata dalam hatinya: "Ah! Lilin ini lilin baru, mungkin sekali bukan lilin wajar." Tiba-tiba ia melihat sebatang lilin yang sudah terbakar sebagian, di bawah ciak-tay. "Nah, lilin ini, yang sudah digunakan, pasti bukan lilin beracun," pi¬kirnya. Ia lantas saja mencabut lilin baru dan meng¬ambil lilin bekas itu yang sesudah ditancapkan di ciak-tay, lalu disulut.

 Ruangan sembahyang lantas saja berubah te-rang benderang dan mereka segera melihat, bahwa Yo-ohg Sin-pian mengggeletak di lantai. Cio Ban Tin lalu merobek tangan bajunya dan dengan tangan di alas robekan itu, ia mengambil kitab tersebut. Di bawah sinar lilin, ia membalik-balik lembarannya dan membacanya sepintas lalu. Ternyata, kitab itu memang kitab tulen, tapi di dalamnya sebagian besar terisi dengan cara-cara mengobati berbagai penyakit dan keterangan mengenai sifatnya macam-macam obat. Mengenai racun hanya terdapat kete¬rangan singkat tentang cara mengobatinya. Kete¬rangan tentang cara menggunakan racun menanam rumput beracun dan memiara binatang beracun, sangat ringkas dan pendek.

Pada waktu menulis kitab itu, di dalam hati Bu-tin Taysu penuh dengan rasa menyesal, bahwa dengan racun, ia telah mencelakakan terlalu banyak manusia, sehingga dalam dunia Kang-ouw, ia di-juluki sebagai "Tok-chiu Yo-ong". Maka itu, di dalam kitab Yo-ong Sin-pian yang hendak diturun-kan kepada muridnya, ia sengaja menulis ilmu peng-obatan untuk menolong sesama manusia.

Dalam usaha untuk merebut Yo-ong Sin-pian, Cio Ban Tin, Boh-yong Keng Gak dan Sie Kiauw membayang-bayangkan, bahwa kitab itu adalah se-jilid Tok-keng (kitab mengenai racun) yang lengkap dan luar biasa. Sekarang, begitu mengetahui, bahwa Yo-ong Sin-pian adalah kitab ilmu ketabiban, Cio Ban Tin merasa sangat kecewa, karena biarpun isinya merupakan ilmu pengobatan yang sangat tinggi, bukan itu yang dicarinya dan baginya, kitab tersebut dapat dikatakan tiada faedahnya.

 Sesudah berdiam beberapa saat, ia menengok kepada Sie Kiauw seraya berkata: "Coba kau periksa sakunya. Bisa jadi masih ada lain buku. Buku ini hanya berisi ilmu ketabiban yang tidak begitu ber-guna." Sambil berkata begitu, ia melemparkan Yo-ong Sian-pian di atas meja.

Sie Kiauw segera menggeledah semua saku Leng So, tapi ia tidak menemukan lain buku. "Tak ada," lapornya.

Mendadak, Boh-yong Keng Gak ingat sesuatu dan ia segera berkata: "Suhu bisa menulis huruf-huruf yang bersembunyi apa tak bisa jadi...." Ia tidak meneruskan perkataannya, karena baru mengata-kan begitu, ia sudah merasa sangat menyesal. "Ce-laka!" ia mengeluh di dalam hati. "Mengapa aku begitu tolol? Mengapa aku tidak membiarkan dia menganggap buku itu tidak berguna? Alangkah baiknya jika aku bisa membawa pulang kitab itu dan memeriksanya seorang diri. Benar-benar aku go-blok." Tapi Cio Ban Tin bukan seorang bodoh. Ia lantas saja tersadar dan berkata: "Kau benar." Sam¬bil berkata begitu, ia mengambil lagi Yo-ong Sin-pian dari atas meja.

Pada saat itulah, sekonyong-konyong Boh-yong Keng Gak dan Sie Kiauw merasa badan mereka lemas luar biasa. Di lain saat, perlahan-lahan lutut mereka menekuk, muka mereka seperti orang se-dang tertawa, tapi bukan tertawa, dan paras muka mereka kelihatannya sangat aneh.

Cio Ban Tin mencelos hatinya. "Mengapa?" tanyanya dengan mata membelalak. "Celaka! Ah! Cit-sim Hay-tong? Cit-sim Hay-tong? Apa perem-puan hina itu sudah berhasil menanam Cit-sim  Hay-tong? Lilin...! Lilin itu...!" Bagaikan kilat, dalam otaknya berkelebat satu kejadian pada masa yang lampau. Pada suatu ma-lam, waktu ia masih muda dan berguru bersama-sama Bu-tin Taysu, guru mereka telah memberi keterangan tentang semacam racun yang dikenal sebagai rajanya semua racun. Sang guru mengata-kan, bahwa Ho-teng-hong, Kong-ciak-tan, liur ular berbisa dan Iain-lain racun hebat tak bisa menan-dingi raja racun itu, yang dinamakan Cit-sim Hay-tong. Karena tak berwarna dan tak berbau, maka orang yang sangat berhati-hati pun dapat diro-bohkan dengan mudah saja. Pada paras muka kor-ban Cit-sim Hay-tong selalu terlukis senyuman, seolah-olah ia mati dengan rasa bahagia. Dari se-berang lautan, guru mereka pernah membawa bibit pohon racun itu. Tapi sesudah dicoba dengan ber-bagai cara, bibit itu tak juga tumbuh. Pada malam itu, sang Suheng dan ia sendiri masing-masing minta sembilan biji-biji bibit Cit-sim Hay-tong untuk di-tanam. Sambil menyerahkan bibit itu, sang guru berkata: "Baik juga Cit-sim Hay-tong sukar tumbuh. Kalau bukan begitu, manusia di dalam dunia tentu tak bisa hidup tentram." Melihat paras muka Boh-yong Keng Gak dan Sie Kiauw yang tersungging dengan senyuman, Cio Ban Tin lantas saja ingat kejadian pada malam itu. Cepat-cepat ia menahan napas dan menekap hi-dung. Baru saja ia ingin menyelidiki dari mana datangnya racun, mendadak kedua matanya gelap, tak bisa melihat apa pun jua. Semula ia masih menduga, bahwa kegelapan itu adalah akibat pa-damnya lilin. Tapi di lain saat ia mengerti, bahwa  matanya sudah menjadi buta.

Ia tahu, bahwafjiwanya terlolos dari kebinasaan, karena sebelum masuk ke dalam kelenteng, ia sudah menelan pel untuk memunahkan racun, sehingga racun Cit-sim Hay-tong tidak bisa masuk ke dalam isi perutnya. Tapi kedua matanya ternyata tidak dapat bertahan terhadap racun yang sangat hebat itu.

Ouw Hui, yang sudah lebih dulu diberikan obat pemunah oleh adiknya, dapat menyaksikan segala kejadian. Bermula ia lihat robohnya Boh-yong Keng Gak dan Sie Kiauw, kemudian ia lihat Cio Ban Tin memukul-mukul udara dengan kedua tangannya, kemudian kabur sambil berteriak-teriak: "Cit-sim Hay-tong...!" Di tengah malam buta jeritan itu ke-dengaran sangat menyeramkan. Makin lama suara itu makin jauh dan sesaat kemudian menghilang dari penderangan.

Api lilin berkedip-kedip, sebentar gelap, se-bentar terang, menurut tiupannya angin. Ouw Hui sekarang berada di antara tiga jenazah, yang satu orang yang tercinta, yang dua adalah orang-orang yang hidup tersesat dan mengalami nasib buruk. Dengan hati tertindih kedukaan hebat, ia rebah di situ....

Akhirnya, lilin terbakar habis. Tiba-tiba terang-benderang dan "pesss!" semua gelap.

"Jie-moay adalah seperti sebatang lilin," kata Ouw Hui di dalam hati. "Sesudah terbakar habis, sesudah memancarkan sinar terang, dia padam de¬ngan mendadak. Jie-moay sungguh pintar. Ia sudah menghitung segala apa secara jitu. Ia tahu, bahwa ketiga manusia itu bakal datang lagi. Ia tahu, bahwa sebagai seorang yang sangat berhati-hati, Cio Ban  I'm pasti tak akan berani menyulut lilin yang baru, sehingga, untuk menjebaknya, ia lebih dulu mem-bakar sebagian lilin Cit-sim Hay-tong yang lalu ditaruh di bawah ciak-tay. Ya! Selama hidup, Jie-moay belum pernah mengambil jiwa manusia. Se¬sudah mati, barulah ia membersihkan rumah per-guruannya dan membalas sakit hatinya.

Jie-moay sangat mencintai aku, sangat mem-perhatikan aku. Apakah kebaikanku? Dan akhirnya ia mengorbankan jiwa sendiri untuk menolong jiwa-ku. Hai! Sebenarnya, ia tak usah berbuat begitu. Ia boleh mengutungkan lenganku dan dengan me-nelan pel dari gurunya, aku masih bisa hidup selama sembilan tahun. Bukankah, selama sembilan tahun itu, kita bisa hidup bersama-sama dengan bahagia? "Tapi... bahagia? Apa benar aku bisa hidup bahagia dengannya selama sembilan tahun? Jie-moay tahu, bahwa aku mencintai Wan Kouwnio dan meskipun aku sudah tahu dia seorang pendeta, rasa cintaku masih belum berubah. Apakah... apakah... hari ini ia sengaja mengorbankan jiwa, karena itu?" Dalam kegelapan, rupa-rupa pikiran meng-amuk dalam otak Ouw Hui. Banyak sekali yang diingatnya. Setiap gerak-gerik Leng So yang tidak diperhatikannya, sekarang diingatnya pula. Baru sekarang, ia bisa melihat, bahwa setiap gerak-gerik itu mengandung rasa cinta yang tiada batasnya. Baru sekarang ia mengerti....

Fajar menyingsing... tak lama kemudian, mata-hari musim rontok mulai memancarkan sinarnya yang gilang gemilang. Dunia mulai hangat, tapi hati Ouw Hui dingin bagaikan es.

Akhirnya, otot-ototnya mulai lemas lagi. Per lahan-lahan ia dapat menggerakkan kaki tangannya. Perlahan-lahan ia rperangkak bangun. Dengan mata yang berwarna merah, ia mengawasi jenazah si adik. Lama sekali ia berdiri terpaku. Tiba-tiba darah dalam dadanya bergolak-golak. "Sudahlah!" katanya di dalam hati. "Perlu apa aku hidup lebih lama lagi di dalam dunia? Jie-moay mencintai aku begitu sangat, tapi aku sendiri memperlakukannya secara tidak berbudi. Sudahlah! Paling baik aku menyusul Jie-moay ke dunia lain!" Tapi di lain saat, ia melihat jenazah Boh-yong Keng Gak dan Sie Kiauw dan pada saat itu juga, ia mendapat pikiran lain. "Sakit hati kedua orang tuaku masih belum terbalas," pikirnya. "Cio Ban Tin, yang mencelakakan Jie-moay, masih hidup. Jika aku mati sekarang, apakah jalan itu jalan yang diambil oleh laki-laki yang bertanggung jawab?" Memang, memang jarang ada manusia sepintar Leng So. Perubahan dalam pikiran Ouw Hui juga adalah berkat tindakannya yang sudah diperhitung-kan secara sangat tepat.

Ia sudah menduga, bahwa scbclum masuk ke dalam kelenteng, Cio Ban Tin pasti akan menelan dulu obat penjagaan. Tapi obat itu tidak berguna jika menggunakan lilin istimewa. Maka itu, ia hanya menggunakan lilin yang racunnya tidak begitu keras, supaya Cio Ban Tin tidak sampai binasa. Ia sudah menghitung, bahwa sebegitu lama musuh itu belum binasa, Ouw Hui pasti tak akan membunuh diri. Ia juga tahu, bahwa sesudah paman guru itu buta, Ouw Hui boleh tak usah merasa jeri lagi terhadapnya.

Sebelum meninggal dunia, nona Thia sudah sengaja mengatakan, bahwa racun yang mencelaka kan kedua orang tuanya Ouw Hui, mungkin sekali diberikan oleh Cio Ban Tin. Dugaan itu bisa jadi benai, bisa jadi juga hanya tebakan belaka. Tapi dengan mengatakan begitu, Leng So mengingat-kannya pula sakit hati kedua orang tuanya, sehingga dengan demikian, ia tentu tak akan gampang-gam-pang membunuh diri sendiri.

Thia Leng So bisa menghitungsegala apa. Hanya satu saja yang tak dapat diperhitungkan olehnya, yaitu: Pada detik berbahaya, Ouw Hui melanggar janji dan menyerang musuh. Sebagaimana diketahui, Ouw Hui telah berjanji untuk tidak bicara, tidak bertempur dan tidak berpisah jauh dari adiknya. Dan karena melanggar janji, ia sudah kena racun.

Tapi mungkin sekali, bahkan hal itu juga sudah diperhitungkan oleh nona Thia. Ia tahu bahwa Ouw Hui tidak mencintai dia seperti dia mencintainya. Maka itu, bukankah lebih baik mati secara begitu? Mati dengan mengorbankan diri, dengan menghisap racun dari badan sang kecintaan. Memang benar, kejadian itu adalah kejadian yang sangat menduka-kan. Tapi, bukankah lebih baik mati secara begitu? Kalau benar hal itu sudah diperhitungkan Leng So, sungguh-sungguh tak kecewa dia menjadi murid Tok-chiu Yo-ong. Sungguh-sungguh tidak kecewa dia menjadi majikan Cit-sim Hay-tong, raja dari scmua racun! Hati wanita memang sukar ditcbak. Hati wanita seperti Leng So lebih-lebih sukar ditebak.

***
Sesaat itu, barulah Ouw Hui mengerti, mengapa Tan Cong-to-cu mengucurkan air mala di To-jian teng. Pada malam itu, dalam hati kecilnya ia mencela Tan KeeLok yang dianggapnya seperti seorang nenek atau bocah yang masih suka menangis. Tapi sekarang. sekarang ia mengerti, betapa pedihnya ditinggal oleh seseorang yang dicintai untuk sclama-lamanya.

Sesudah kenyang memeras air mata, ia segera memondong jenazah Leng So dan Ma K Hong ke pekarangan belakang, mengumpulkan kayu-kavu kering dan menumpuknya di dua tempat dan lalu membakar kedua jenazah itu. Dengan hati kosong melompong, ia mengawasi api yang bcrkobar-kobar, seolah-olah badannya sendiri akan turut dibakar menjadi abu. Lama ia berdiri tcrpaku, seperti orang hilang ingatan. Kemudian, sesudah mengucurkan lagi banyak air mata, ia menggali sebuah lubang yang besar dan mengubur jenazah Boh-yong Keng Gak dan isterinya.

Biarpun sudah tak makan sehari dan semalam, perutnya tetap kenyang. Pada waktu matahari men-doyong ke barat, kedua jenazah sudah menjadi abu. Ouw Hui lalu mencari dua buyung dan mengisinya dengan abu dan (ulang.

"Aku akan menanam abu Jic-moay di samping kuburan kedua orang tuaku," pikirnya. "Biarpun ia bukan adik kandung, tapi kecintaannya melebihi kecintaan saudara kandung sendiri. Sesudah itu, aku harus pergi ke Kongsui, propinsi Ouwpak. untuk menanam abu Ma Kouwnio di dekat kuburan suaminya." Ia balik ke kamar samping dan melihat buntalan Leng So, sekali lagi ia menangis segak-seguk.  Selang beberapa lama barulah ia membuka buntalan itu dan melihat alat-alat penyamaran, ia berkata dalam hatinya: "Jika aku berjalan tanpa menyamar, belum sehari mungkin aku sudah dicegat oleh kaki tangan Hok Kong An. Biarpun belum tentu aku merasa takut, tapi kalau diganggu terus-menerus, aku bakal berabe sekali." Memikir begitu, ia lantas saja meng-gunakan obat untuk mengubah warna dan me-masang jenggot palsu. Sesudah selesai berdandan, sambil menggendong kedua buyung yang berisi abu dan tulang, ia segera meninggalkan kelenteng itu.

Dengan penuh kedukaan, Ouw Hui berjalan ke jurusan selatan. Tengah hari itu ia tiba di Tin-koan-tun dan karena perutnya lapar, ia mampir di sebuah rumah makan. Baru saja ia duduk, di luar terdengar suara tindakan sepatu dan di lain saat, empat orang perwira kerajaan Ceng bertindak masuk. Yang pa¬ling dulu seorang yang bertubuh tinggi besar dan Ouw Hui segera mengenali, bahwa ia bukan lain daripada Can Tiat Yo, tokoh Eng-jiauw Gan-heng-bun. Ouw Hui kaget, buru-buru ia miringkan ke-palanya.

Walaupun sudah menyamar, ia khawatir si orang she Can masih mengenaiinya. Para pelayan lantas saja repot melayani keempat tamu itu.

"Mungkin sekali perjalanan mereka bersangkut paut denganku," kata Ouw Hui di dalam hati. "Coba-lah aku mendengari pembicaraan mereka." Tapi sesudah memasang kuping beberapa lama, ia tidak mendengar hal yang penting, sehingga ia merasa sebal dan berniat segera berlalu.

Tapi sebelum ia berbangkit, sekonyong-konyong terdengar suara ketukan tongkat di sepanjang jalan, vang menandakan, bahwa seorang buta sedang mendatangi.

Begitu lekas orang itu masuk, jantung Ouw Hui memukul keras, karena dia adalah Cio Ban Tin yang sedang dicarinya. Pakaian musuh itu compang-camping, mukanya pucat, sedang tangannya men-cekal tongkat yang biasa dibawa oleh seorang tabib keliling.

Dengan meraba-raba, Cio Ban Tin menemukan sebuah kursi yang perlahan-lahan Ialu didudukinya. "Pelayan, berikan aku sebotol arak," serunya.

Melihat pakaiannya yang seperti pengemis, se¬orang pelayan merasa sangsi dan bertanya: "Apa kau punya uang?" Cio Ban Tin merogoh saku dan mengeluarkan scpotong perak yang lalu ditaruh di atas meja.

"Baiklah, tunggu sebentar," kata si pelayan sam¬bil tersenyum.

Begitu lekas Cio Ban Tin masuk, Can Tiat Yo dan kawan-kawannya saling memberi isyarat untuk membekuknya.

Sebagaimana diketahui, karena perbuatan Leng So, Ciangbunjin Tayhwee menjadi kacau dan semua orang sakit perut.

Para orang gagah menduga, bah¬wa sakit perut itu disebabkan racun yang disebar oleh Hok Kong An, sedang pihak Hok Kong An sendiri menaksir, bahwa kejadian itu adalah karena perbuatan "Tok-chiu Yo-ong".

Maka itulah, pem-besar tersebut kemudian mengirim sejui.ilah per¬wira dan Wie-su ke Tiongkok Selatan untuk men-jalankan tiga tugas: Tugas pertama yang paling penting, ialah me-nangkap orang-orang Ang-hoa-hwee, Ouw Hui, Thia Leng So dan Ma It Hong serta merebut pulang kedua puteranya.

Tugas ke dua mcnangkap Cio Ban Tin yang dianggap sudah mengacau dan membubarkan Ciangbunjin Tayhwee dalam keadaan kalang kabut.

Tugas ke tiga ialah mcnangkap Tong Pay dan Wan-scng yang sudah mcngetahui rahasia Hok Kong An.

Melihat Cio Ban Tin sudah menjadi buta, Can Tiat Yo jadi sangat girang. Sebab khawatir "Tok-i hiu Yo-ong" bcrpura-pura, ia lantas saja berbang-kit dan berkata: "Pelayan, mengapa meja kursi be-gitu sedikit? Di mana aku bisa duduk?" Sambil berkata begitu, ia memberi isyarat supaya si pelayan jangan membantah.

"Thio Ciangkui, selamat bertemu!" menyam-bungi seorang pcrwira.

"Dagang apa kau sekarang? Ada urusan apa kau datang di Tin-koan-tun?" (Ciangkui = Kuasa Toko).

"Aha! Lie Ciangkui bagaimana kau?" kata Can Tiat Yo. "Banyak untung? Aku sekarang berdagang berat." "Untung apa?" kata perwira itu. "Cukup saja untuk melewati hari." Sesudah omong kosong beberapa saat, Can Tiat Yo berkata: "Semua meja penuh. Biarlah kita duduk bersama-sama Tayhu (tabib)." Sehabis berkata begitu ia menarik kursi lalu duduk pada meja Cio Ban Tin.

Melihat Cio Ban Tin berdiam saja, hati Can Tiat Yo dan rekan-rekannya jadi makin besar. Sekarang tcrbukti, bahwa si tua benar-benar buta. Sambil mcnggapai kedua kawannya, Can Tiat Yo berkata: "Tio Ciangkui, Ong Ciangkui, mari duduk di sini! Kali ini siauwtee menjadi tuan rumah." "Baik, baiklah," jawab mereka yang lalu meng-hampiri dan duduk di dekat Cio Ban Tin.

Meskipun matanya buta, kecerdasan si tua tidak berkurang.

Dari nada suara keempat orang itu, ia tahu, bahwa mereka adalah penduduk Pakkhia.

Dari pembicaraan mereka ia sudah bisa menebak siapa adanya mereka itu. Ia lantas saja berbangkit dan berkata: "Pelayan perutku mendadak sakit. Sudahlah! Takjadi aku makan minum." Ia segera berbangkit, tapi Can Tiat Yo menekan pundaknya seraya berkata sambil tertawa: "Tayhu, jangan pergi dulu. Sesudah minum, baru kau boleh pergi." Si tua tahu, bahwa ia tak bisa meloloskan diri lagi. Sambil tertawa dingin, ia lalu duduk lagi.

Beberapa saat kemudian, pelayan pelayan meng-antarkan sayur-sayur dan arak. Sesudah menuang secawan arak, Can Tiat Yo berkata: "Tayhu, mari kita minum." "Bagus, bagus!" kata si tua yang lalu menceguk kering cawan yang diangsurkan kepadanya. "Aku pun ingin mengajak kalian minum," katanya seraya mengangkat poci arak dengan tangan kanannya, sedang tangan kirinya meraba-raba cawan keempat perwira itu. Selagi menuang arak, ia mementii kuku-nya dan racun lantas saja turul masuk ke dalam cawan. Gerakan tangannya cepat dan wajar, se-hingga tak dapat dilihat oleh manusia biasa.

Tapi, sesudah menyaksikan kelihayan "Tok-chiu Yo-ong", Can Tiat Yo dan rekan-rekannya tentu saja tak berani minum arak yang disuguhkan oleh si tua. Perlahan-lahan Can Tiat Yo meng¬angkat cawannya dan menukarnya dengan cawan si tua. Perbuatan itu dilihat oleh semua orang, kecuali Cio Ban Tin sendiri.

Ouw Hui menghela napas dan berkata dalam hatinya: "Sesudah buta, kau masih juga mau men-celakakan manusia. Sekarang aku tak perlu turun tangan lagi." Ia segera berbangkit dan membayar uang makanan.

"Hayolah, keringkan cawan!" mengajak Can Tiat Yo sambil tertawa.

"Hayolah!" menyambungui ketiga kawannya, tapi tangan mereka tidak menyentuh cawan. Cio Ban Tin, yang tidak menyangka jelek, lantas saja mengangkat cawan yang berisi racun dan lalu men-ceguknya sehingga kering. Sesudah minum, pada kedua bibirnya tersungging senyuman menyeram-kan karena ia merasa pasti, bahwa sebentar lagi keempat orang itu akan menjadi mayat.

Melihat begitu, Ouw Hui berduka. Pada detik penghabisan, ia merasa kasihan terhadap orang tua yang jahat itu, tapi yang bernasib sangat buruk. Dengan tindakan lebar ia segera bertindak ke luar.

 * *  Beberapa hari kemudian, tibalah Ouw Hui di Cong-ciu, di mana kedua orang tuanya dikuburkan. Di waktu masih kecil, beberapa tahun sekali Peng Sie-siok mengajaknya ke situ untuk berziarah. Pada tiga tahun berselang, ia pun datang ke situ.

Setiap kali berkunjung, untuk beberapa hari, berjam-jam ia berdiri terpaku di depan kuburan, dengan pikiran melayang-layang.

Betapa beruntungnya jika sekarang kedua orang tuanya masih hidup... jika kedua orang tua itu bisa menunggu sampai dia besar... jika mereka bisa menyaksikan ilmu silatnya yang sudah begitu tinggi Hari itu, waktu ia tiba di kuburan, cuaca sudah mulai gelap.

Dari sebelah kejauhan ia melihat se-orang wanita yang mengenakan pakaian warna hijau muda, berdiri di samping kuburan. Karena di sekitar itu tidak terdapat kuburan lain, maka wanita ter-sebut sudah pasti datang untuk berziarah di kuburan kedua orang tuanya. "Apa dia sanak ayah ibuku?" tanyanya di dalam hati.

Dengan rasa heran, perlahan-lahan ia men-dekati.

Ternyata wanita itu seorang setengah tua yang berparas sangat cantik. Mukanya potongan kwaci, hanya sayang, muka yang seayu itu keli-hatannya sangat pucat, seolah-olah tidak ada da-rahnya. Melihat Ouw Hui, ia pun kaget dan sambil mendongak, ia mengawasi pemuda itu.

Tiongciu terpisah jauh dari Pakkhia dan sebab tak khawatir pengejaran, Ouw Hui sudah tidak mengenakan alat penyamaran lagi.

Tapi sesudah melalui perjalanan jauh, pakaiannya sangat kotor dan mukanya berdebu.

Melihat seorang pemuda yang tak dikenal, wa¬nita itu tidak memperdulikan lagi dan lalu memutar kepalanya. Ouw Hui terkesiap. Ia segera mengenali, bahwa dia bukan lain daripada isteri Biauw Jin Hong yang lari mengikuti Tian Kui Long. Banyak tahun berselang, di Siang-kee-po, ia turut menyaksikan peristiwa yang menyayat hati. Ia telah menyaksikan cara bagaimana puteri Biauw Jin Hong berteriak-teriak memanggil-manggil "ibu" dan minta digen-dong, tapi wanita itu tidak meladeni dan lalu me¬mutar kepalanya. Cara dia memutar kepala yang tak dapat dilupakan Ouw Hui.

"Biauw Hujin, bikin apa kau di sini seorang diri?" tanyanya dengan suara dingin.

Mendengar perkataan "Biauw Hujin", nyonya itu menggigil. Dengan paras muka terlebih pucat, ia memutar badan dan berkata dengan suara geme-tar: "Kau...! Bagaimana kau tahu...." Ia menunduk dan tak dapat meneruskan perkataannya.

"Baru saja aku terlahir liga hari, ayah dan ibuku sudah mengaso di sini untuk selama-lamanya." kata Ouw Hui dengan suara parau. "Seumur hidup aku tak mengenal kecintaan orang tua, tapi biarpun begitu... meskipun begitu, aku banyak lebih berun-lung daripada puterimu. Hari itu, di Siang-kee-po, aku telah menyaksikan kerasnya hatimu. Kau cukup tega untuk menolak permintaan puterimu yang ber-teriak-teriak minta didukung.... Benar! Aku banyak lebih beruntung daripada puterimu." Tubuh Lam Lan bergoyang-goyang, seakan-akan ia mau jatuh terjungkal. "Kau... siapa kau?" tanyanya.

Sambil menunjuk kuburan, Ouw Hui menja-wab: "Aku datang di sini untuk memanggil 'ayah! ibu!' Tapi mereka tak dapat bicara denganku, tak bisa mendukung aku." "Apakah kau... putera Tayhiap Ouw It To?" tanya pula nyonya itu.

"Benar," jawabnya. "Aku she Ouw bernama Hui. Aku pernah bertemu dengan Kim-bian-hud Biauw Tayhiap. Aku juga pernah bertemu dengan puteri¬mu." "Apa mereka... mereka baik?" tanya Lam Lan dengan suara hampir tidak kedengaran.

"Tidak!" jawabnya.

Lam Lan mundur setindak. "Kenapa mereka?" tanyanya. "Ouw Siangkong, kumohon... kumohon kau sudi memberitahukan kepadaku." "Biauw Tayhiap telah dicelakakan oleh manusia busuk, sehingga kedua matanya buta," katanya de¬ngan suara mendongkol. "Biauw Kouwnio hidup tanpa rawatan." Lam Lan terkejut dan berkata dengan mata membelalak: "Ilmu silatnya begitu tinggi.... Bagai¬mana ia bisa...." Ouw Hui naik darahnya. "Di hadapanku kau masih coba berpura-pura!" bentaknya. "Tipu keji yang dijalankan oleh Tian Kui Long apa bukan keluar dari otakmu? Sungguh mujur kau berada di depan kuburan kedua orang tuaku. Kalau bukan begitu, dengan sekali tebas, aku akan mengambil jiwamu! Pergilah!" "Dengan sebenar-benarnya aku tak tahu," kata Lam Lan. "Ouw Siangkong, apa matanya dapat disembuhkan?" Melihat paras muka nyonya itu yang penuh kcdukaan tercampur dengan sorot mohon dika-sihani, hati Ouw Hui jadi lemas. Tapi di lain saat ia ingat, bahwa perempuan semacam Lam Lan pandai sekali berpura-pura dan mengingat begitu, sesudah mengeluarkan suara di hidung, ia segera memutar badan dan berjalan pergi.

"Ouw Siangkong...!" Lam Lan sesambat. "Matanya buta.... Bagaimana dengan Lanjie...! Lan-jie...! Kau sungguh tak beruntung...." Tiba-tiba kedua matanya gelap dan ia roboh tanpa ingat orang lagi.

Mendengar suara gedubrakan, Ouw Hui kaget dan menengok.

Ia bersangsi sejenak, tapi akhirnya ia kembali dan memegang nadi nyonya itu. Ia men-dapat kenyataan, bahwa Lam Lan bukan berlagak pingsan.

Ketukan nadi sangat lemah dan jika tidak ditolong, ia bisa scgera binasa. Itulah kejadian yang tidak disangka-sangka.

Buru-buru Ouw Hui me-nekan bibir Lam Lan dan mengurut iganya. Selang beberapa lama, barulah dia tersadar. "Ouw Siang-kong," katanya dengan suara lemah, "Mati hidupku tak menjadi soal. Aku hanya ingin memohon supaya kau sudi memberitahukan sebenar-benarnya, apa yang sudah terjadi atas dirinya dan atas diri Lanjie." "Apa benar kau masih memikir mereka?" tanya Ouw Hui.

"Pengakuanku mungkin tak dipercaya olehmu," jawabnya. "Tapi selama beberapa tahun, siang dan malam aku selalu ingat mereka. Aku tahu, bahwa aku tidak bisa hidup lama lagi di dalam dunia ini. Aku hanya mengharap, supaya pada sebelum me-nutup mata, aku bisa bertemu lagi dengan mereka. Tapi, mana aku punya muka untuk pergi menemui mereka? Hari ini aku datang ke mari, sebab dulu, waktu baru menikah, Biauw Tayhiap telah meng-ajak aku berziarah di kuburan ini, untuk bersem-bahyang di hadapan mendiang ayah dan ibumu. Biauw Toako mengatakan, bahwa selama hidupnya, orang yang dikaguminya hanya Ouw tayhiap berdua isterinya. Dulu, waktu berada di sini, dia telah bicara banyak sekali denganku...." Sekarang Ouw Hui yakin, bahwa Lam Lan tidak berpura-pura. Sebagai seorang mulia yang hatinya lembek, rasa kasihannya lantas saja muncul. "Baik-lah," katanya, "Aku akan meneceritakan apa yang terjadi atas diri Biauw Tayhiap dan puterinya." Ia segera menuturkan cara bagaimana kedua mata Biauw Jin Hong kena racun, cara bagaimana musuh-musuhnya dipukul mundur dan sebagainya. Me-ngenai perannya yang sudah menolong pendekar itu, ia hanya memberitahukan sepintas lalu.

Sehabis ia bercerita, Lam Lan segera meng-hujani dengan rupa-rupa pertanyaan. Bagaimana makan pakainnya ayah dan anak itu? Lan-jie me-ngenakan pakaian apa? Apa sutera, apa kain kasar? Apa pakaian itu dibeli dari toko atau dibuat oleh penjahit? Ouw Hui menghela napas. "Mana aku tahu?" katanya. "Jika kau begitu memikiri mereka, me-ngapa...." Ia lantas saja berbangkit dan berkata: "Sekarang aku mau cari rumah penginapan. Hari ini sebenarnya aku ingin mengubur abu dan tulang Jie-moayku. Tapi karena sudah magrib, biarlah be-sok saja aku datang lagi." "Baiklah, besok aku pun akan datang lagi ke mari," kata nyonya itu.

"Jangan," Ouw Hui mencegah, "Tak ada apa-apa lagi yang bisa diberitahukan kepadamu." Ia berdiam sejenak seperti orang berpikir dan kemudian ber-tanya: "Biauw Hujin, apakah kedua orang tuaku binasa dalam tangan Biauw Jin Hong?" Lam Lan mengangguk. "Dia pernah memberi¬tahukan hal itu kepadaku..." katanya.

Sesaat itu tiba-tiba terdengar teriakan orang: A-lan...! A-lan...! Di mana kau?" paras muka Ouw Hui lantas saja berubah, karena orang yang ber-tcriak adalah Tian Kui Long.

"Dia cari aku!" kata Lam Lan. "Besok lohor harap kau datang ke mari. Aku akan menceritakan hal kedua orang tuamu!" "Baiklah, besok lohor kita bertemu lagi di sini," kata Ouw Hui Karena sungkan bertemu dengan si orang she Tian, ia segera menyembunyikan diri di belakang kuburan. "Besok aku akan menyelidiki sebab musabab kematian ayah dan ibu," katanya di dalam hati. "Jika Tian Kui Long turut tersangkut, aku pasti tak akan mengampuni dia. Mungkin Biauw Hujin akan coba melindunginya. Tapi dengan pe-nvelidikan seksama, kupercaya aku akan bisa me-ngorek rahasia. Apa perlunya Tian Kui Long datang di Congciu?" Sementara itu, Lam Lan sudah berjalan pergi, tapi tindakannya tidak ditujukan ke arah Tian Kui Long, yang masih terus memanggil-manggil. Se-sudah berjalan beberapa puluh tombak, barulah ia menjawab: "Di sini!" "Ah!" demikian terdengar suara si orang she Tian yang lalu menghampiri Lam Lan dengan ber-Iari-lari.

"Jalan-jalan saja tidak boleh," kata Biauw Hujin. Mengapa kau menilik aku begitu keras?" "Siapa yang menilik kau?" demikian sayup-sa-vup terdengar suara Tian Kui Long. "Karena, Se¬sudah menunggu lama, kau masih juga belum mun-ul. aku memikir keselamatanmu. Tempat ini sangat scpi..." Mereka berjalan pergi dan pembicaraan mereka tidak kedengaran lagi.

"Ah, lebih baik aku menemani ayah dan ibu semalaman," pikir Ouw Hui. "Kalau menginap di kota, mungkin aku bertemu dengan manusia she Tian itu." Ia segera membuka buntalannya dan mengambil makanan kering untuk menangsal perut.

Sambil memeluk lutut, ia duduk di samping kuburan dengan pikiran melayang-layang.

Angin musim ron-tok meniup dengan kerasnya, sehingga ia merasa sangat dingin dan daun-daun kuning jatuh menimpa tubuhnya sesudah menari-nari di tengah udara.

Tak lama kemudian, sang retnbulan muncul dan ia lalu merebahkan badan di pinggir kuburan.

Kira-kira tengah malam, tiba-tiba ia disadarkan oleh suara kaki kuda yang mendatangi dari tempat jauh. "Siapa yang datang di tengah malam buta?" tanyanya di dalam hati. Kuda itu dikaburkan dengan kecepatan luar biasa, tapi sesudah beiada dalam jarak dua tiga li, suara tindakannya berubah lambat, menghampiri kuburan setindak-setindak.

Mungkin sekali si penunggang kuda sudah turun dari tung-gangannya dan sedang mencari sesuatu sambil me-nuntun binatang itu.

Karena suara tindakan menuju ke arahnya, maka Ouw Hui segera menyembunyi¬kan diri di antara alang-alang.

Tak lama kemudian, dengan bantuan sinar bu-lan sisir, ia melihat bayangan manusia yang ber-tubuh langsing kecil, yang mendatangi sambil me-nuntun kuda.

Waktu orang itu beiada dalam jarak belasan tombak, mendadak jantung Ouw Hui me-mukul keras, karena orang yang rnengenakan jubah pertapaan itu bukan lain daripada Wan-seng.

Dengan hati berdebaran, ia mengawasi si nona. Ia ingin memanggilnya, tapi lidahnya seperti terkancing. "Perlu apa ia datang ke sini?" tanyanya di dalam hati. "Apa ia tahu aku berada di sini? Apa ia datang untuk mencari aku?" Beberapa saat kemudian, Wan-seng berdiri te-gak di depan kuburan dan dengan suara perlahan ia membaca huruf-huruf di atas batu nisan: "Ku¬buran Liao-tong Tayhiap Ouw It To bersama isteri". Sesudah berdiam sejenak, ia berkata pula: "Di de-pan kuburan tidak terdapat abu kertas. Kalau begitu ia belum datang di sini...." Mendadak ia batuk-batuk, batuknya keras dan tak henti-hentinya.

Ouw Hui terkejut, "Dia sakit. Sakit berat," katanya di dalam hati.

Sesudah batuk itu mereda dan kemudian ber-henti, Wan-seng menghela napas berulang-ulang dan berkata dengan suara perlahan: "Kalau dulu aku tidak bersumpah di hadapan Suhu, selama hidup aku bisa mengikuti kau, bersama-sama me-ngelilingi dunia untuk menolong sesama manusia. Ah! Kalau bisa kejadian begitu, sungguh beruntung diriku ini. Ouw Toako, kau menderita, tapi kau tak tahu, bahwa penderitaanku, sepuluh kali lebih he-bat daripada kau." Dalam beberapa kali pertemuan dengan Ouw Hui, Wan-seng selalu memperlihatkan sikap yang sukar ditebak. Kalau bukan berada di tempat yang sepi itu di tengah malam buta, si nona pasti tak akan mengeluarkan rahasia hatinya. Sesudah berkata be¬gitu, ia batuk-batuk lagi dan coba mempertahankan din dengan memegang batu nisan.

Sampai di sini Ouw Hui tak dapat menahan sabar lagi. Ia melompat ke luar dari tempat sem-bunyi dan berkata dengan suara halus: "Mengapa kau datang ke sini? Kau harus bisa menjaga diri." Wan-seng kaget tak kepalang. Ia mundur se-tindak, kedua telapak tangannya dilintangkan di depan dada. Begitu melihat pemuda itu, paras mukanya lantas saja berubah merah. "Kau...!" ben-taknya dengan suara gusar. "Berani sungguh kau bersembunyi dan mendengari pembicaraan orang!" Dengan rasa cinta yang meluap-luap, Ouw Hui jadi nekat dan ia segera berkata dengan suara nyaring: "Wan Kouwnio, bahwa aku mencintai kau dengan segenap jiwa dan raga, adalah hal yang sudah diketahui olehmu. Perlu apa kau menderita sendirian? Marilah kita bersama-sama pergi mene-mui gurumu dan menceritakan segala apa kepada beliau, supaya kau bisa kembali lagi ke dunia biasa. Dengan demikian, kita akan bisa hidup bersama-sama sampai di hari tua. Apakah kau setuju?" Sekali lagi Wan-seng batuk-batuk, lebih keras daripada tadi. Ia membungkuk sampai memegang batu nisan. Bukan main rasa kasihannya Ouw Hui.

Ia mendekati dan berkata dengan suara lemah Iem-but: "Sudahlah! Kau jangan bersusah hati...." Men¬dadak, diiring dengan batuk, si nona muntahkan darah! Ouw Hui terkesiap. "Kau terluka?" tanyanya.

"Dilukai oleh bangsat Tong Pay,", jawabnya.

"Di mana dia sekarang?" tanya p/ula Ouw Hui. "Sekarang juga aku akan cari padanya." "Dia sudah dibinasakan olehku," kata Wan-seng.

Pemuda itu girang. "Aku memberi selamat, bah¬wa kau sudah dapat membalas sakit hati," katanya. Sejenak kemudian, ia bertanya lagi: "Di bagian mana kau terluka? Mengasolah." Scsudah Wan-seng duduk, Ouw Hui berkata pula: "Sesudah terluka, sepantasnya kau harus ba-nyak mengaso. Mengapa di tengah malam buta kau datang ke mari dengan menunggang kuda?" Wan-seng memutar kepala dan mengawasi pe-muda itu. Di dalam hati ia berkata: "Aku memang perlu mengaso. Kedatanganku ke mari adalah untuk kepentinganmu." Sesudah mengawasi dengan mata tajam, tiba-tiba ia bertanya: "Mana adik Thia? Me¬ngapa ia tidak bersama-sama kau?" Air mata Ouw Hui lantas saja mengucur. "Dia... dia;.. sudah meninggal dunia," jawabnya terputus-putus.,. ., ,:, Wan-seng kaget tak kcpalang. Sambil bangkit, ia menegas: "Meninggal dunia? Bagaimana... bisa begitu?" : Dengan suara parau Ouw Hui menuturkan se-gala kejadian, cara bagaimana Leng So sudah me-ngorbankan. jiwa untuk mcnolong dirinya. Mcn-dengar cerita itu, air mata si nona mengalir turun dari kedua pipinya yang pucat. Lama mereka berdiri terpaku tanpa mengeluarkan sepatah kata. Dalam otak mereka berkelcbat-kelcbat pula kejadian-kc-jadian di masa lampau, mereka ingat pula sepak tcrjang nona Thia yang penuh dengan jiwa seorang ksatria.

Makin lama hawa jadi makin dingin. Waktu angin meniup keras, Wan-seng menggigil. Ouw Hui segera membuka jubah luarnya dan mcnyelimuti punggung si nona. "Kau tidurlah," bisiknya.

"Tidak," kata Wan-seng, "Sesudah bicara, aku... aku akan segera berlalu." "Kau mau pergi ke mana?" tanya Ouw Hui dengan suara kaget.

Sambil menatap wajah pemuda itu, si nona berkata: "Ouw Toako, kita tidak boleh berdiam lama-lama di sini. Di tengah jalan aku mendapat warta dan buru-buru kudatang ke mari." "Warta apa?" tanya Ouw Hui.

"Waktu Tong Pay kabur dari Ciangbunjin Tay-hwee, aku lalu mengejarnya," ia menerangkan. "Bangsat itu sangat lihay, aku tak berhasil me-nyusulnya. Aku ingat, bahwa sesudah digusari Hok Kong An, dia tentu akan buru-buru pulang ke rumahnya di Ouwpak untuk menyuruh keluarganya kabur ke tempat lain." "Bagus, kau bisa memikir tepat sekali," memuji Ouw Hui.

Wan-seng tersenyum dan berkata pula: "Sebagai seorang yang bergelar Kam-lim-hui-cit-seng, dia tentu mempunyai banyak sekali kenalan. Tapi kuanggap, karena pada hakekatnya dia manusia licik, belum tentu dia mempunyai sahabat scjati. Dalam bahaya, belum tentu ada orang yang berani menolongnya. Maka itu, menurut pendapatku, dia sendiri mesti pulang untuk menyampaikan warta kepada keluarganya dan mengatur segala sesuatu. Demikian aku lalu mengejar ke jurusan barat daya.

Tiga hari kemudian, di Ceng-hong-tiam aku berhasil mcnyusul dia. Kita bertempur di sawah kaoliang dan aku telah dapat membinasakannya, tapi aku sendiri terluka." Ouw Hui menghela napas.

Sesudah berdiam sejenak, si nona melanjutkan penuturannya: "Beberapa hari aku mengaso di sebuah rumah penginapan untuk mengobati luka. Apa mau, aku bertemu dengan beberapa busu Hok Kong An yang juga kebetulan menginap di situ dan di-antara mereka terdapat Ciu Tiat Jiauw. Aku segera menegurnya dan menjanjikan satu tempat untuk bicara dengannya." "Kau terluka, apa kau takut?" tanya Ouw Hui sambil tersenyum.

"Aku menghadiahkannya dengan sebuah jasa yang sangat besar." jawab si nona. "Andaikata ia masih membenci aku, dengan diberikannya hadiah itu, kebenciannya akan segera menghilang. Aku memberitahukan kuburan Tong Pay kepadanya. Dengan memenggal kepala si orang she Tong dan membawanya kepada Hok Kong An, bukankah dia membuat sebuah jasa besar? Benar saja ia merasa sangat berterima kasih. Kata aku: 'Ciu Toaya, jika kau menangkap aku, kau memang akan mendapat pahala. Tapi Ouw Toako pasti tak akan berpeluk tangan dan segala rahasiamu akan pecah.' Dia be-nar-benar seorang pintar. 'Aku merasa takluk ter-hadap Ouw Toako," katanya. 'Sudan pasti aku tak akan berani membuat kedosaan terhadapnya. Ku-harap kau suka memberitahukan Ouw Toako, bah-wa bersama tiga puluh lebih jagoan istana, Tian Kui Long akan datang di Ciongcu untuk coba menang-kapnya di kuburan kedua orang tuanya.' Sesudah begitu, ia lantas berlalu." Ouw Hui kaget bukan main. "Mereka mau coba menangkap aku di sini?" ia menegas.

Si nona mengangguk. "Benar," katanya. "Aku merasa bingung karena khawatir tidak keburu mem¬beritahukan kau. Hai! Atas berkah Tuhan, akhirnya aku bertemu dengan kau di sini...." Sambil mengawasi muka Wan-seng yang kurus dan pucat, Ouw Hui berkata dalam hatinya: "Untuk menolong jiwaku, entah berapa hari dan malam ia tak tidur." "Bagaimana Tian Kui Long tahu kuburan kedua orang tuamu berada di sini?" tanya Wan-seng. "Juga, bagaimana dia tahu bahwa kau bakal datang ke mari. Ouw Toako, seorang gagah tak dapat melawan musuh yang berjumlah terlalu besar. Maka itu, untuk sekarang sebaiknya kau menyingkir dulu." "Siang tadi aku bertemu dengan Biauw Hujin dan aku telah berjanji untuk bertemu pula besok lohor," kata Ouw Hui.

"Siapa Biauw Hujin?" tanya si nona.

Dengan ringkas Ouw Hui segera menceritakan riwayat Lam Lan.

"Ouw Toako, perempuan itu tak boleh diper-caya," kata Wan-seng dengan suara khawatir. "Sua-mi dan puterinya sendiri, ia tak perdulikan. Kau harus menyingkir secepat mungkin." Ouw Hui segera memberitahukan, bahwa me-nurut pendapatnya, Lam Lan tidak main gila.

Di samping itu, ia pun sangat ingin tahu sebab musabab dari kebinasaan kedua orang tuanya. Karena itu, demikian katanya, ia ingin bertemu lagi dengan nyonya itu.

"Ouw Toako, Tian Kui Long sudah berada di sekitar tempat ini, sehingga mungkinkah Biauw Hujin tidak memberitahukannya tentang pertemu-an antara dia dan kau," kata Wan-seng dengan suara jengkel. "Ouw Toako, mengapa kau tak mau dengar perkataanku. Malam-malam aku datang di sini.

 Apakah kau tidak memandang aku, sedikit pun jua?" Ouw Hui kaget dan buru-buru ia bcrkata: "Kau bcnar. Akulah yang salah." "Aku bukan ingin kau mcngaku bcrsalah," kata si nona.

Ouw Hui scgera menghampiri tunggangan Wan seng dan sambil mencckal lcs, ia bcrkata: "Baiklah. Kau naiklah. Kita pergi ke jurusan barat." Sebelum Wan-seng mclompat kc punggung kuda, tiba-tiba di empat penjuru tcrdengar suara teriakan dan sorak-sorak.

Sudah kasep! Musuh ternyata sudah mengu-rung kuburan itu.

"Perempuan itu ternyata sudah mcnjual aku," kata Ouw Hui dcngan gusar. "Mari kita mcncrjang ke barat." Di dalam hati ia merasa bingung, sebab didengar dari suara teriakan-teriakan itu, jumlah musuh pasti bukan keciL Jika Wan-seng tidak ter-luka, dengan mudah mereka akan dapat meloloskan diri. Tapi sekarang ia merasa keder.

"Ouw Toako, kau menerjang saja ke arah barat, tak usah perdulikan aku," kata si nona. "Aku sendiri mempunyai akal untuk meloloskan diri." Darah Ouw-Hui bergolak. "Jangan rewel!" ben-taknya. "Mali atau hidup kita bersama-sama. Ikut aku!" Dibentak begitu si nona malah merasa berun-tung. Karena tak kuat menggunakan senjata pe-cutnya, maka ia lantas saja mengedut les dan meng-ikuti pemuda itu dari belakang.

Baru saja mereka lari beberapa tombak, di sebelah depan sudah menghadang lima musuh. "Kalau mau selamat, aku tidak bolch sungkan-sungkan lagi," kata Ouw Hui di dalam hati. Dengan waspada dan tangan mencckal golok, ia maju terus.

Di lain saat, dua orang busu dari gedung Hok Kong An, yang satu bcrscnjata pccut besi, yang lain Kwie-tauw-to (golok kcpala setan), menerjang dari kiri dan kanan. Begitu melihat gerakan mereka, Ouw Hui tahu, bahwa mcreka bukan lawan enteng dan kalau sampai bertcmpur, paling sedikit ia harus mclayani dalam dclapan jurus,: Biarpun menang, mereka tentu sudah dikurung oleh lebih banyak musuh dan sukar meloloskan diri lagi.

Maka itu, sambil mclompat tinggi, ia membacok musuh yang berdiri di ujung kiri.

Busu itu, yang bcrsenjata pedang, lantas saja mengangkat senjata-nya untuk menangkis.

Sclagi badannya masih ber-ada di tengah udara, Ouw Hui mengerahkan Lwee-kang ke badan golok dan bcrbareng, bagaikan kilat ia mencndang dada busu yang kcempat, yang begitu kcna, lantas saja tcrpcntal dan muntahkan darah. Busu yang bcrsenjata pedang begitu lckas pe-dangnya kebentrok dengan golok Ouw Hui tiba-tiba merasakan tckanan scmacam tenaga yang sa-ngat hebat, dari lengan tcrus ke jantungnya, seolah-olah disodok toya besi, sehingga tanpa mengeluar-kan suara, ia roboh pingsan.

Mclihat lihaynya pemuda itu, semua busu jadi kagum dan kedcr. "Ouw Toaya!" bentak busu yang bcrsenjata golok Kwie-tauw-to. "Aku, Sutouw Lui, meminta pengajaran." "Cia Put Tong juga memohon petunjuk dari Ouw Toaya," menyambungi kawannya yang bcr¬senjata pccut besi.

"Bagus!" kata Ouw Hui sambil memutar go-loknya dan mengirim tiga serangan dengan berun-tun-runtun. Kedua musuh itu tidak berani menang-kis, mereka menyelamatkan diri dengan berkelit dan melompat mundur.

"Ouw Toaya!" teriak busu yang ketiga. "Aku Koan...." la tak dapat meneruskan perkataannya, karena belakang golok Ouw Hui sudah keburu mampir di batok kepalanya yang jadi remuk dan dia roboh tanpa berkutik lagi.

Sutouw Lui dan Cia Put Tong melompat mun¬dur beberapa kali, tapi mereka tetap menghadang di depan Ouw Hui. Di lain saat, dengan diiring teriakan-teriakan, empat busu lainnya sudah berdiri di belakang Sutouw Lui dan Cia Put Tong.

Sejenak kemudian, jumlah musuh bertambah lebih besar.

Ouw Hui mengeluh.

Dengan jurus Ya-cian Pat-hong Cong-to-sit, yaitu dengan menggunakan kaki kiri sebagai as, sambil memutar golok, ia memutar badan beberapa kali.

Dengan beberapa putaran itu, ia sudah menghitung jumlah musuh: Di sebelah barat, enam orang, sebelah timur tiga orang, sebelah selatan dan utara masing-masing lima orang, se-hingga semuanya sembilan belas orang.

Sekonyong-konyong terdengar tertawa yang panjang dan nyaring, diikuti dengan suara seorang: "Saudara Ouw, selamat bertemu! Makin lama ke-pandaianmu makin tinggi. Tak salah kata orang, kalau mau cari jago, carilah di antara orang-orang muda!" Orang yang bicara itu bukan lain daripada Tian Kui Long.

Biarpun hatinya panas, Ouw Hui tidak mela-deni. Dengan mata tajam, ia mengawasi enam musuh yang berdiri di sebelah barat. Empat orang lantas saja memperkenalkan diri: "Aku yang rendah Thio Leng!" "Touw Bun Houw meminta pengajaran!" "Ouw Toaya, untuk kedua kalinya Teng Bun Cim bertemu denganmu!" "Huh-huh! Loohu Tan Keng Thian!" Cepat bagaikan kilat, Ouw Hui menerjang. Se-belum berhadapan dengan keenam musuh itu, men-dadak ia membclok ke utara.

Dengan jeriji tangan kiri, ia menotok dada busu kedua yang berdiri di sebelah utara.

Orang yang bersenjata Poan-koan-pit itu adalah ahli tiam-hiat (ilmu menotok jalan darah). Melihat sambaran jari tangan, ia menda-hului menotok jalan darah Coat-pee-hiat, di bahu kanan Ouw Hui, dengan Poan-koan-pityangdicekal dalam tangan kanannya.

Itulah jurus lihay, membela diri dengan menyerang. Ouw Hui menyerang lebih dulu, tapi karena Poan-koan-pit lebih panjang, maka senjata itu sudah mendahului menotok bahu-nya.

Di luar dugaan, pada saat ujung pit baru menyentuh kulit, sekonyongkonyong Ouw Hui membalik tangannya dan mencengkeram badan pit yang lalu disodokkan ke depan. Dengan menge-luarkan suara "huh!" senjata makan tuan, pit itu amblas di tenggorokan majikannya.

Hampir berbareng di belakang Ouw Hui ter¬dengar suara dua orang yang memperkenalkan diri. "Aku Oey Ciauw!" "Ngo Kong Coan minta pelajaran!" Angin menyambar dan dua batang golok me-luncur ke punggung Ouw Hui. Dengan cepat pe-muda itu melompat ke depan, sehingga kedua senjata itu membacok angin. Sambil memutar badan, Ouw Hui membabat, dari bawah ke atas, untuk memutuskan pergelangan tangan Oey Ciauw.

Ba-batan itu adalah salah satu jurus terlihay dari Ouw-kee To-hoat dan sukar dapat dielakkan biarpun oleh seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi.

Apa mau, Oey Ciauw adalah ahli dalam ilmu Toa-kin-na-chiu (ilmu menangkap dan mencengkeram). Di samping itu, ia mempunyai mata yang sangat jeli dan otaknya bisa berpikir cepat. Demikianlah, be-gitu melihat sambaran golok ke arah pergelangan tangannya, dalam keadaan kesusu, ia segera me-lemparkan goloknya, membalik tangannya dan men¬cengkeram belakang golok Ouw Hui.

Muka Oey Ciauw tak karuan macam kumisnya seperti kumis tikus, kepalanya kecil, matanya sipit.

Tapi si muka jelek sangat lihay, gerakannya malah lebih cepat dari gerakan Ouw Hui.

Sebelum Ouw Hui tahu apa yang terjadi, belakang goloknya sudah dicengkeram dengan lima jeriji yang seperti cakar ayam. Dengan mengandalkan tenaganya yang besar, ia membacok terus.

Tapi tenaga Oey Ciauw tak kurang be-sarnya. Bukan main kagetnya Ouw Hui, karena goloknya tidak bergerak.

Bahna kagetnya, untuk sejenak pemuda itu berdiri terpaku. Dalam tempo yang sependek itu, tiga musuh sudah menyerang dari belakang.

Pada saat yang sangat berbahaya, Ouw Hui menghitung-hitung apa yang harus diperbuatnya.

Sebelum ketiga musuh yang menyerang dari bela¬kang bisa melukai dirinya, ia masih mempunyai tempo sedetik dua detik. Ia masih mempunyai tem¬po "membereskan" Oey Ciauw. Ia mengerti, bahwa dirinya sedang menghadapi bahaya besar, dikurung olch banyak orang. Musuh yang berada di depannya. yaitu Oey Ciauw, adalah musuh berat.

Kalau ia dapat merobohkannya, tekanan atas dirinya jadi banyak berkurang.

Memikir begitu, ia lantas saja melepaskan go¬loknya yang dicengkeram dan menghantam dada musuh dengan kedua telapak tangannya. "Buk!" tubuh Oey Ciauw bergoyang-goyang, tapi ia tak sampai jatuh, hanya golok terlepas dari cengke-ramannya.

Dengan cepat Ouw Hui menangkap ga-gang golok, memutar tubuh dan menangkis tiga scnjata yang sudah menyambar punggungnya.

Ketiga busu itu ialah Ngo Kong Coan, Tan Keng Thian dan seorang lagi yang bertubuh tinggi besar dan bersenjata toya lembaga, yang beratnya empat puluh kali lebih.

Begitu goloknya kebentrok dengan tiga senjata musuh, Ouw Hui merasa dadanya me-nyesak dan baru saja ia mau melompat ke samping, dari kiri kanan sudah menerjang dua musuh lain.

Dalam kerepotan mengurung Ouw Hui, para busu tidak memperhatikan Wan-seng yang menung-gang kuda. Dengan hati berdebar-debar Wan-seng memperhatikan jalannya pertempuran.

Begitu me¬lihat keadaan Ouw Hui yang sangat berbahaya, ia segera mengedut Ies dan selagi tunggangannya lorn-pat menerjang, ia mengayun cambuk dan meng¬hantam leher seorang busu. Musuh itu justru sedang menyerang sambil memperkenalkan dirinya: "Aku Him It Lek minta...." Ia tidak bisa meneruskan perkataannya, sebab lehernya keburu dilibat cam¬buk. Biarpun bertenaga besar, tapi karena napasnya mcnyesak dan tak dapat menahan terjangan kuda, ia segera roboh terjengkang dan diinjak tunggangan Wan-seng. Thio Leng yang berada di dekatnya juga turut terpelanting.

Sesudah dua musuh roboh, Ouw Hui menye¬rang hebat dan dengan beruntun ia menjatuhkan Touw Bun Houw dan Teng Bun Cim. Baru saja ia mau melompat untuk menyerang lain musuh, se-konyong-konyong di belakangnya menyambar ke-siuran angin yang sangat hebat.

Tanpa memutar badan, ia menangkis dengan goloknya dengan jurus Go-houw Koay-bong Hoan-sin (Harirnau dan ular besar membalik badan). "Trang!" ia merasa senjata-nya berubah enteng kena dibabat putus dengan senjata musuh yang seketika itu sudah membacok lagi! Ia terkesiap, kaki kirinya menolol bumi dan tubuhnya lantas saja melesat setombak lebih jauh-nya. Tapi meskipun begitu, pundak kirinya sakit dan ia tahu bahwa senjata musuh sudah menggores badannya.

Begitu lekas kaki kanannya hinggap di bumi, tangan kirinya menepuk, tangan kanannya meng-gaet dan ia sudah berhasil merebut sebilah golok dari tangan seorang busu. ltulah gcrakan dari ilmu Kong-chiu Jip-pek-to (Dengan tangan kosong ma-suk dalam rimba golok) yang dijalankan dengan kecepatan luar biasa. Sedikit saja ia terlambat, punggungnya tentu sudah kena dibacok dengan golok mustika Tian Kui Long yang terus mengejar dari belakang.

Di lain detik, ia sudah memutar badan untuk menghadapi manusia busuk itu.

Tentu saja ia tidak berani mengadu senjata dengan golok mustika si orang she Tian yang dikenal sebagai mustika partai Thian-liong-bun. Sambil melompat ke sana sini dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan, ia melayani jago Thian-liong-bun itu.

Baru saja bertempur tujuh delapan jurus, belasan musuh sudah meluruk dan menge-pungnya, sedang tiga musuh lainnya menyerang Wan-seng. Karena memikiri keselamatan si nona. perhatian Ouw Hui jadi tcrpecah dan "Trang!" golok yang dicekalnya kembali terbabat putus.

Si orang she Tian jadi girang sekali. Dengan tekad untuk mengambil jiwa pemuda itu, ia menye¬rang makin hebat, dibantu olch kaki tangan Hok Kong An.

Ouw Hui berkelahi mati-matian tapi keadaannya makin lama jadi makin jelek. "Cres!" pundak kirinya kembali digores pedang seorang busu.

"Orang she Ouw lekas menakluk!" teriak se¬orang.

"Kau seorang gagah perlu apa kau mengorban-kan jiwa secara cuma-cuma?" menyambungi yang lain.

Beberapa busu lain, yang rupanya merasa sa-yang akan kegagahan Ouw Hui, juga coba mem-bujuk. Tapi Tian Kui Long sendiri terus menyerang sehebat-hebatnya tanpa mengeluarkan sepatah kata.

Semangat Ouw Hui mulai runtuh. Ia merasa, bahwa ajalnya sudah tiba.

Mendadak, mendadak saja, dari sebelah kejauh-an terdengar seruan seorang wanita: "Tian Toako, jangan binasakan jiwa pemuda itu!" Ouw Hui me-ngertak gigi karena ia segera mengenali, bahwa orang yang berteriak itu adalah Lam Lan.

"Tak perlu kau berlagak mulia!" bentaknya.

Hampir berbareng, karena lengah, pinggangnya kena ditendang. Ia gusar tak kcpaiang, tangan ka-nannya menyambar bagaikan kiiat dan menangkap kaki musuh yang menendang itu.

Dengan gemas ia memutar badan musuh yang digunakan sebagai sen-jata, sehingga kawan-kawannya tidak berani terlalu mendesak. Orang itu adalah Thio I eng, yang sebab dibulang-balingkan, sudah tak ingat orang lagi.

Sementara itu, Wan-scng pun berada dalam bahaya besar. Ia menerjang kian ke mari dan kuda-nya yang sudah kena beberapa bacokan meringkik tak henti-hentinya. Sambil menentcng Thio Leng, Ouw Hui menerjang dan mendekati si nona. "Ikul aku," katanya.

Wan-seng melompat turun dari tunggangannya dan mereka lari ke kuburan Ouw It l'n.

Di samping kuburan terdapat sebuah pohon pek yang sudah tua dan dengan membelakangi pohon itu, mereka mem-pertahankan diri. Untuk sementara musuh tidak bisa berbuat banyak.

Sambil mengangkat tubuh Thio Leng tinggi-tinggi, Ouw Hui membentak: "Hei! Kamu mau kawanmu ini mampus atau hidup? Katakan saja!" Selagi para busu bersangsi, si orang she Tian berteriak: "Siapa yang dapat membinasakan peng-khianat Ouw Hui akan mendapat hadiah besar dari Hok Thayswee!" Dengan berkata begitu, ia ingin menunjukkan, bahwa mati hidupnva Thio Leng tidak menjadi soal. Tapi busu-busu itu yang se-dikitnya masih mempunyai rasa setia kawan, tetap bersangsi untuk segera menyerang. Melihat begitu, sambil memutar goloknya Tian Kui Long mulai membuka serangan.

Ouw Hui terkejut. Ancamannya sudah tidak berguna lagi. Ia tahu, bahwa jalan satu-satunya untuk meloloskan diri ialah coba menangkap Biauw Hujin untuk dijadikan semacam "barang tanggung-an". Tapi nyonya itu berdiri jauh, terpisah belasan tombak dari tempat berdirinya. Melihat kedatangan Tian Kui Long, ia segera meraba-raba tubuh Thio Leng untuk mencari senjata. Tiba-tiba tangannya menyentuh kanlong piauw. Dengan tangan kiri ia menotok jalan darah busu itu, sedang tangan ka-nannya mencopot kantong piauw. Ia mengambil sebatang piauw dan sambil mengerahkan Lweekang ia menirnpuk kempungan si orang she Tian sekeras-kerasnya.

Senjata rahasia itu menyambar dengan kece-patan luar bias,! dan waktu Kui Long tahu dirinya diserang, piauw Mjdah berada dalam jarak setengah kaki dari kempungannya. Secepat kilat ia menyam-pok dengan goloknya dan piauw itu terbabat putus jadi dua potong. Tapi potongan piauw menyambar terus dan menggores betis kanannya. Sesaat itu terdengar teriakan menyayat hati dan seorang busu terjengkang dengan sebatang piauw menancap di lehernya.

"Bangsat kecil!" caci Kui Long dengan gusar. "Aku mau lihat apa hari ini kau masih bisa melolos¬kan diri." Tapi biarpun begitu, untuk sementara ia tidak berani terlalu mendesak dan hanya meme-rintahkan supaya semua busu mengurung dari se-belali kejauhan.

Busu yarsg dikirim oieh Hok Kong An untuk membinasakan Ouw Hui semuanya berjumlah dua puluh dua orang. Dalam pertempuran tadi yang sangat dahsyat, sembilan antaranya sudah mati atai terluka, sedang Ouw Hui sendiri pun terluka berat. Sampai pada saat itu, yang mengurung Ouw Hui dan Wan-seng adalah tiga belas busu. Di antara mereka ada beberapa yang merasa sayang akan kegagahan pemuda itu dan beberapa kali mereka menganjurkan supaya Ouw Hui menakluk.

Dalam keadaan putus asa, Ouw Hui mencekal tangan Wan-seng dan berkata: "Wan Kouwnio, biar-lah kita binasa bersama-sama di samping kuburan kedua orang tuaku." Perlahan-lahan Wan-seng menarik tangannya. "Aku... aku... seorang pertapaan," katanya terputus-putus. "Jangan memanggil aku Wan Kouwnio. Aku bukan she Wan.

Pemuda itu sangat berduka. la merasa, bahwa nona yang dicintainya itu terlalu keras kepala. Pada detik menghadapi kebinasaan, ia masih bersikap begitu keras.

Sementara itu, sambil memutar golok bagaikan kitiran, seorang busu maju mendekati. Ouw Hui menjumput sebutir batu dan menimpuk sinar putih yang berkelebat-kelebat. Busu itu menangkis batu dengan goloknya. Tanpa menyia-nyiakan kesem-patan baik, Ouw Hui mengayun tangannya dan sebatang piauw menancap tepat di dada busu itu.

Tian Kui Long jadi lebih gusar. "Kawan-kawan bangsat kecil itu terlalu kurang ajar!" teriaknya. "Man kita serbu bersama-sama dengan berbareng. Aku mau lihat apa dia mempunyai tiga kepala enam lengan." "Inilah saatnya!" mengeluh Ouw Hui. Ia mendo-ngak dan mengawasi bintang-bintang di langit. Ia merasa, bahwa di lain saat, ia akan bertempur untuk penghabisan kali, ia akan membinasakan tiga atau empat orang dan sesudah itu.... Oh, bintang-bin¬tang! Selamat tinggal! Dengan serentak di bawah pimpinan Tian Kui Long, para busu bergerak.

Tapi, sebelum mereka menerjang, mendadak, mendadak saja Biauw Hujin maju sambil berteriak: "Tian Toako, tahan! Ada beberapa perkataan yang kuingin sampaikan kepada pemuda itu." Kui Long mengerutkan alisnya. "A-lan, mun-dur!" katanya. "Bangsat kecil itu sudah gila. Kau bisa celaka dalam tangannya." Tapi Biauw Hujin sangat kukuh. "Dia bakal lantas mati," katanya. "Halangan apa jika aku bicara beberapa patah dengannya?" Kui Long tak bisa Tnembantah lagi. "Baiklah," katanya. "Katakanlah apa yang ingin dikatakan olehmu." "Ouw Siangkong," kata Lam Lan. "Apakah kau rela mati sebelum mengubur abu dalam guci itu?" "Jangan campur urusanku!" bentak Ouw Hui. "Aku tak bisa mencaci seorang wanita. Pergilah!" Tapi Lam Lan sangat bandel. "Aku sudah ber-janji untuk memberitahukan persoalan ayahmu," katanya pula. "Apakah kau masih mau mendengar-nya, sebelum mati?" "A-lan, jangan rewel!" bentak si orang she Tian. "Tahu apa kau?" Tapi Lam Lan tidak meladeni. "Aku hanya akan bicara tiga patah perkataan," katanya lagi. "Per-kataan-perkataan itu ada sangkut pautnya dengan ayahmu. Apa kau mau dengar?" "Ya," jawab Ouw Hui. "Memang, aku tidak boleh binasa sebelum mengetahui teka-teki itu. Katakanlah!" "Aku hanya bisa memberitahukan kepada kau seorang, lain orang tidak boleh mendengarnya," kata Lam Lan. "Tapi kau tidak boleh menggunakan kesempatan untuk menawan aku dan menjadikan aku sebagai barang tanggungan. Apakah kau suka berjanji? Kalau kau tidak memberi janji, aku tak akan memberitahukan hal itu kepadamu." "Bahwa kau sudah sudi untuk membuka teka-teki itu pada sebelum aku mati, aku sudah merasa sangat berterima kasih," kata Ouw Hui. "Mana bisa aku berbalik mencelakakanmu? Di dalam dunia masih terdapat banyak laki-laki. Apakah kau kira semua manusia sama busuknya seperti Tian Kui Long.?" Paras muka Kui Long jadi lebih tak enak ke-lihatannya.

la tak tahu apa yang mau dikatakan oleh Lam Lan, tapi ia sudah tidak dapat mencegahnya. "Tak perduli apa yang bakal dikatakannya, pasti tak baik bagi diriku," pikirnya. "Memang lebih baik jika tidak didengar oleh orang lain." Sementara itu Lam Lan sudah mendekati Ouw Hui dan lalu bicara bisik-bisik di dekat kupingnya: "Tanamlah guci itu dalam jarak tiga kaki di belakang batu nisan. Galilah tanahnya dalam-dalam. Kau akan menemukan sebatang golok mustika." Sehabis berkata begitu, ia segera berlalu dan sambil ber-jalan, ia berkata pula dengan suara nyaring; "Hal itu hanya bersangkut paut dengan Kim-bian-hud Biauw Jin Hong. Sesudah kau mengetahui rahasia itu, kau bisa mati tanpa penyesalan. Tanamlah guci itu, supaya yang sudah mati bisa mengaso dengan tcnteram. Dan kau sendiri, sesudah mewujudkan niatanmu, bisa mati dengan hati senang." Ouw Hui jadi bingung.

Ia tak mengerti apa maksudnya bisikan Lam Lan.

Tapi ia merasa, bahwa nyonya itu tidak main gila. "Tak perduli bagai-manapun jua, paling benar aku mengubur dulu abunya Jie-moay," pikirnya. Memikir begitu, dengan menggunakan tangan, ia segera menggali tanah sesuai dengan petunjuk Biauw Hujin, yaitu dalam jarak tiga kaki di belakang batu nisan.

Tian Kui Long mengawasi Ouw Hui sambil tersenyum-senyum.

Ia menduga, bahwa dengan bi¬sikan itu, Lam Lan memberitahukan, bahwa ayah-nya pemuda itu telah dibinasakan oleh Biauw Jin Hong.

Selagi Ouw Hui menggali, enam belas busu mengawasi sambil mencekal senjata erat-erat. Be¬gitu lekas Ouw Hui selesai menanam guci, mereka akan segera menerjang.

Sementara itu, sambil mcmbaca doa dan me-rangkap kedua tangannya, Wan-seng berlutut di samping Ouw Hui dengan tnenghadapi lubang yang sedang digali.

Sambil menahan sakit, Ouw Hui terus menggali dengan kedua tangannya. Melihat Wan-seng ber¬lutut sambil membaca doa, tiba-tiba ia tersadar. "Sesudah ia rela mengabdi kepada Sang Buddha secara mutlak, mana bisa aku memaksanya untuk kembali menjadi orang biasa?" katanya di dalam hati. "Untung juga ia menolak. Jika tidak, dalam tnenghadapi kebinasaan, hati kita berdua bisa ku-rang tenteram." Mendadak, kedua tangannya menyentuh se-suatu yang keras dingin dan dalam otaknya lantas saja berkelebat perkataan Lam Lan: "Golok mus¬tika".

Dengan paras tak berubah. ia meraba-raba. Benar! Sebilah golok di dalam sarung. Ia segera mencekal gagangnya dan menarik kira-kira satu dim. Golok itu ternyata tidak berkarat. "Biauw Hujin mengatakan, bahwa hal ini bersangkut paut dengan Biauw Jin Hong," katanya di dalam hati. Apakah golok ini ditanam oieh Biauw Tayhiap, sebagai peringatan untuk mendiang ayahku?" Ouw Hui tidak menebak salah.

Tapi ia tak tahu, bahwa Biauw Jin Hong dan Biauw Hujin telah menikah karena golok itu. Ia pun tak tahu, bahwa terpecah belahnya suami isteri itu juga karena gara-gara golok tersebut.

Ditanamnya golok itu di ku-buran Ouw It To hanya diketahui oleh Lam Lan seorang. Dalam dunia ini, tak ada orang lain yang mengetahuinya.

Sambil mencekal gagang golok, Ouw Hui meng-awasi Biauw Hujin. Nyonya itu menghela napas dan berkata seorang diri: "Tidak mudah untuk dapat menyelami hati orang lain!" Seraya berkata begitu, ia berjalan terus dengan tindakan perlahan.

"A-lan!" teriak Tian Kui Long. "Tunggu aku di rumah penginapan. Sesudah aku membunuh bang-sat kecil itu, ramai-ramai kita makan minum." Lam Lan tidak menyahut, ia berjalan terus tanpa me-ladeni manusia busuk itu.

Tian Kui Long menengok kepada Ouw Hui dan membentak: "Bangsat kecil! Lekas tanam gucimu! Kami tidak bisa menunggu terlalu lama!" "Baiklah, aku pun tidak dapat menunggu terlalu lama!" jawabnya.

Mendadak, mendadak saja sehelai sinar hijau berkelebat dan dalam tangan pemuda itu sudah bertambah sebilah golok! Kagetnya Tian Kui Long dan para busu bagaikan disambar petir. Ouw Hui sungkan menyia-nyiakan kesempatan baik.

Selagi semua orang tertegun, ia menerjang bagaikan kilat. "Trang! Trang! Trang...." tiga senjata tersebut putus dan dua orang busu ter-luka. Tian Kui Long mengangkat goloknya dan mem-bacok. Kali ini, sambil mengerahkan Lweekang. Ouw Hui menampik golok itu dengan senptanya. 'Trang...!" suara bentrokan golok nyaring luar biasa dan kedua lawan melompat mundur dengan berbareng.

Dengan bantuan sinar rembulan, mereka memeriksa senjata sendiri.

Ternyata kedua-duanya tetap utuh golok mustika bertemu dengan golok mustika.

Semangat Ouw Hui terbangun.

Sekarang ia tak usah takuti lagi senjata musuh.

Bagaikan seekor harimau yang tumbuh sayap, ia segera menyerang dengan menggunakan Ouw-kee To-hoat dan dalam sckejap, ia sudah melukai tiga busu lagi.

Dilain saat, ia sudah bertempur dengan Tian Kui Long.

Biarpun senjata si orang she Tian tidak kalah dari senjata Ouw Hui, tapi ilmu silat goloknya kalah jauh dari Ouw-kee To-hoat.

Andaikata ia menggunakan pedang mustika, ia masih belum bisa menandingi pemuda itu.

Apalagi sekarang, ia meng¬gunakan golok yang tidak biasa digunakannya, se-dang Ouw Hui sendiri menggunakan senjata yang cocok bagi dirinya. Demikianlah baru saja bertem¬pur beberapa jurus, lengan dan betis si orang she Tian sudah digores golok dan kalau tidak dilindungi oleh para busu, siang-siang ia sudah binasa dalam tangan pemuda itu yang menyerang seperti harimau edan.

Scsudah bertempur beberapa lama, jumlah busu yang masih bisa berkelahi sudah tidak se-berapa lagi, antaranya beberapa orang sudah tidak bersenjata lagi.

Karena sungkan melukai terlalu banyak orang, Ouw Hui berseru: "Tuan-tuan adalah orang-orang gagah dari Rimba Persilatan. Perlu apa kalian mengantarkan jiwa dengan cuma-cuma?" Melihat gelagat kurang baik, Tian Kui Long yang licik buru-buru kabur, diikuti oleh kawan-kawannya. Sesudah berada di ternpat yang selamat, tak satu pun yang tahu, dari mana Ouw Hui men-dapat golok mustika itu.

Mulai dari waktu itu, di dalam dunia Rimba Persilatan Ouw Hui mendapat julukan "Hui-ho" (si Rase Terbang), sebagai pujian untuk pemuda itu yang lihay luar biasa dan tidak dapat ditaksir gerak-geriknya.

Sesudah musuh tak kelihatan mata hidungnya lagi, dengan rasa terima kasih yang sangat besar, Ouw Hui memasukkan golok mustika ke dalam sarungnya dan kemudian menguburkannya iagi, supaya senjata tersebut terus mengawani kedua orang tuanya.

Sesudah itu, dengan air mata berlinang-linang, ia mengubur guci yang berisi abunya Leng So.

Selagi ia mengangkat guci sambil merangkap kedua tangannya, Wan-seng membaca doa: 

Budi dan kecintaan membuat pertemuan.
Dalam dunia tak ada yang abadi,
Dalam penghidupan banyak kekhawatiran.
Jiwa manusia bagaikan setetes embun pagi
Cinta menimbulkan kejengkelan,
Cinta menyebabkan ketakutan,
Dengan meninggalkan cinta,
Terbebaslah dari kejengkelan dan ketakutan."

Sehabis mcndoa, tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, ia segera melompat ke atas punggung tunggangannya yang lalu dilarikan ke jurusan barat.

Ouw Hui berdiri terpaku. Dengan mata me-ngembang air, ia mengawasi bayangan Wan-seng yang makin lama jadi jauh. Ia mengawasi bagaikan orang hilang ingatan, sedang dalam kupingnya terus berkumandang doa yang barusan diucapkan oleh si jiwa hati.

 TAMAT

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar