Kisah Si Rase Terbang (Hoei Ho Gwa Toan) Jilid 13

Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
----------------------------

Jilid 13
Tiba-tiba, sambil mcngcluarkan seruan terta-han, kcdua saudara itu mclompat keluar dari ge-langgang dan mereka mengawasi ke arah Hok Kong An, dengan sorot mata girang dan kagum. Semua orang lantas saja menengok ke jurusan yang diawasi mereka. Ternyata, dengan paras muka berseri-seri, Menteri Pertahanan itu sedang bicara bisik-bisik dengan dua bocah yang dicekal dengan kedua ta-ngannya. Tak bisa salah lagi, kedua bocah itu, yang mukanya tampan dan mirip satu sama lainnya, ada-lah saudara kembar. Dengan demikian dalam ruang-an itu terdapat dua pasang saudara kembar, yang sepasang tampan, yang lain jelek.

Melihat begitu, kecuali dua orang, para tamu jadi merasa gembira sekali. Dua orang yang tidak lurut bergembira bahkan kaget dan berkhawatir -adalah Ouw Hui dan Leng So yang segera me-ngenali, bahwa kedua bocah itu bukan lain daripada putera-puteranya Ma It Hong! Mereka mengerti, bahwa dengan direbut pulangnya kedua anak itu, rahasia mereka sudah menjadi bocor.

Dengan lirikan mata Leng So memberi isyarai kepada kakaknya, supaya mereka segera meng-angkat kaki. Ouw Hui manggut-manggutkan kepala sambil berkata dalam hatinya. "Jika rahasia sudah bocor, musuh tentu sudah siap sedia. Jalan satu-satunya ialah bertindak dengan mengimbangi se-latan."
Sementara itu, Nie Put Toa dan Nie Put Siauw mengawasi kedua bocah tersebut dengan mata ter-longong-longong.

Nona San tertawa seraya berkata, "Kedua bocah itu manis sekali. Apa kalian mau mengambil mereka sebagai murid?" Pertanyaan itu kena betul di hati mereka. Dalam Rimba Persilatan, murid memilih guru, tapi gurupun memilih murid untuk mengang-kat naik derajat rumah perguruan atau partai. Da¬lam kalangan Song-cu-bun, untuk mendapat hasil yang sebaik-baiknya, ilmu silat partai tersebut harus digunakan oleh dua orang yang dengan bekerja sama seerat-eratnya. Memang benar, seorang guru Song-cu-bun dapat memilih dua murid bukan sau-dara dan kemudian melatih mereka bersama-sama. Tapi sebaiknya jika bisa didapat dua saudara, apa-lagi dua saudara kembar yang jalan pikirannya ham-pir bersamaan, supaya dalam pertempuran kerja sama itu dapat tercapai sebaik-baiknya. Maka itu-lah, semenjak dulu, partai Song-cu-bun selalu men-cari dua saudara kembar untuk dijadikan murid yang akan mcwarisi dan memimpin partai tersebut. De-mikianlah begitu melihat kedua putera Hok Kong An, yang berparas tampan dan menunjuk bakat luar biasa, Nie Put Toa dan Nie Put Siauw jadi seperti orang kesima dan sesaat itu juga, mereka segera
mengambil keputusan untuk merebut kedua bocah itu guna dijadikan murid.

Di lain pihak, sambil tersenyum-senyum, Hok Kong An berbisik di kuping kedua puteranya: "Li-hatlah kedua Suhu itu. Mereka pun saudara kem¬bar. Lihatlah, muka mereka sangat bersamaan satu sama lain. Apa kau bisa menebak, yang mana kakak, yang mana adik?"
Sesudah berhasil merebut pulang kedua putera¬nya, Hok Kong An girang bukan main dan melihat kedua saudara Nie itu, dalam gembiranya, ia segera memerintahkan seorang Wie-su untuk mengajak kedua puteranya datang ke ruangan perjamuan, supaya mereka pun dapat menyaksikari macamnya kedua saudara Nie.

Mendengar pertanyaan sang ayah, sesudah meng¬awasi beberapa saat, kedua anak itu menggeleng-gelengkan kepalanya.

Sekonyong-konyong, sambil membentak keras, kedua saudara Nie itu menerjang ke arah Hok Kong An dari kiri dan kanan. Hok Kong An terkesiap, sedang dua Wie-su yang berdiri di sampingnya se¬gera melompat untuk menyambut musuh. Tapi ge-rakan kedua saudara itu aneh dan cepat luar biasa. Selagi lari menerjang, Nie Put Toa yang di sebelah kiri mendadak membelok ke sebelah kanan, sedang Nie Put Siauw yang di sebelah kanan membelok ke kiri. Dengan membelok begitu, kedua Wie-su yang coba menyambutnya jadi ketinggalan di belakang dan mereka terus menerjang Hok Kong An. Begitu berhadapan, dengan berbareng mereka menendang kaki kursi, sehingga menteri itu lantas saja jatuh terguling bersama-sama kursinya. Dalam sekejap
keadaan jadi kacau. Para Wie-su kaget dan gugup ada yang coba mencegat musuh, ada yang me-nubruk untuk membangunkan majikan mereka dan ada pula yang berdiri di depan Hok Kong An, siap sedia untuk menyambut lain serangan. Dalam ke¬adaan yang kacau itu, cepat bagaikan kilat, kedua saudaraNiemasing-masingmemondongsatubocah dan lalu melompat untuk melarikan diri.

Keadaan dalam ruangan itu jadi semakin kacau balau. Dengan beruntun terdengar suara gedubrak-an dan empat Wie-su yang coba mencegat telah ditendang rubuh oleh kedua saudara itu, yang sam-bil mendukung kedua bocah itu, berlari-lari ke arah pintu. Mendadak, dua bayangan berkelebat dan dua orang mengejar secepat kilat. Mereka itu bukan lain daripada Hay Lan Pit dan Tong Pay. Begitu me-nyusul, Hay Lan Pit menepuk leher Nie Put Siauw, sedang Tong Pay membabat pinggang Nie Put Toa dengan pukulan Bian-ciang yang mengandung te-naga "keras" dan "lembek". Mendengar sambaran angin dahsyat, kedua saudara itu segera menangkis. Berbareng dengan suara "buk!", badan Nie Put Siauw bergoyang-goyang, dukungannya terlepas dan sesudah terhuyung beberapa tindak, ia muntahkan darah. Nie Put Toa pun mengalami nasib yang hampir bersamaan dan putera Hok Kong An ter¬lepas dari pelukannya.

Sesaat itu, Ong Kiam Eng dan Ciu Tiat Ciauw sudah menerjang dan merebut pulang kedua bocah itu.

Sesudah menenteramkan hatinya, dengan ke-gusaran meluap-luap Hok Kong An berteriak: "Bi-natang! Nyalimu sungguh besar. Bekuk mereka!"
Hay Lan Pit dan Tong Pay melompat dengan berbareng dan menyerang dengan ilmu Kin-na-chiu. Kedua saudara itu yang sudah mendapat luka di dalam, tak dapat melawan lagi.

Sesudah berhasil membekuk kedua orang itu, Hay Lan Pit dan Tong Pay segera memutar badan untuk menyeret tawanan itu ke hadapan Hok Kong An. Pada detik itulah, dari atas payon rumah men¬dadak melayang turun dua orang. Begitu lekas kaki mereka hinggap di lantai, lilin-lilin bergoyang-go¬yang dan semua orang bangun bulu romanya, se-akan-akan mereka bertemu setan memedi di tengah hutan belukar.

Mengapa? Karena macamnya kedua orang itu, tiada bedanya seperti setan. Mereka bertubuh jang-kung dan kurus luar biasa, dengan alis yang turun ke bawah dan muka kurus panjang, seolah-olah macamnya setan Bu-siang-kwie yang biasa men-cabut nyawa manusia. Apa yang lebih mengheran-kan lagi, muka dan potongan badan mereka tiada bedanya satu sama lain, sehingga dapat ditarik ke-simpulan, bahwa mereka berdua juga saudara kem-bar.

Dengan gerakan secepat arus kilat, yang satu menyerang Hay Lan Pit, yang lain menghantam Tong Pay. Begitu empat lengan kebentrok, tubuh Hay Lan Pit dan Tong Pay bergoyang-goyang. Se¬saat itu, keadaan yang barusan kalut berubah de¬ngan mendadak dan ruangan itu menjadi sunyi senyap, karena semua mata ditujukan kepada dua orang aneh itu.

Tiba-tiba, kesunyian dipecahkan dengan teriak-an Bun Cui Ong yang tajam dan menakutkan:
"Hek-bu-siang...! Pek-bu-siang...?"
Dengan lengan mereka terus menempel dengan lengan Hay Lan Pit dan Tong Pay, kedua orang itu mengawasi Bun Cui Ong dengan mata setajam kilat. "Kedosaanmu sudah luber, apa hari ini kau masih mengharap bisa melarikan diri?" kata orang yang di sebelah kiri dengan suara dingin. Mendadak, de¬ngan berbareng mereka mendorong keras, sehingga Hay Lan Pit dan Tong Pay terhuyung ke belakang beberapa tindak dan cekalannya terhadap kedua saudara Nie jadi terlepas.

Tong Pay dan Hay Lan Pit ingin menyerang pula, tapi kedua orang itu sudah menghadang di depan kedua saudara Nie dan orang yang berdiri di sebelah kanan berkata dengan suara nyaring: "Kami berdua sebenarnya tidak mempunyai sangkutan apa pun jua dengan kedua saudara ini, tapi mengingat sama-sama anak kembar, kami turun tangan untuk menolong mereka."
Hampir berbareng, orang yang berdiri di se¬belah kiri mengangkat kedua tangannya seraya ber-seru: "Kakak beradik Siang Hek Cie dan Siang Pek Cie dari Ang-hoa-hwee memberi hormat kepada orang-orang gagah di kolong langit."
Hay Lan Pit dan Tong Pay sebenarnya ingin menyerang pula, tapi begitu lekas mendengar dua nama itu, mereka terkesiap dan lantas mengurung-kan niatnya. Dilain saat, dengan sekali menotol lantai dengan kaki mereka, kedua saudara itu sudah melompat ke genteng sambil memondong Nie Put Toa dan Nie Put Siauw. Kaburnya mereka disusul dengan beberapa jeritan kesakitan di atap gedung dan semua orang tahu, bahwa jeritan itu keluar dari
mulutnya para Wie-su yang telah dirubuhkan oleh kedua jago Ang-hoa-hwee itu.

Beberapa saat kemudian, Hay Lan Pit dan Tong Pay merasa telapak tangan mereka gatal-gatal sakit dan begitu melihat, mereka mengeluarkan seruan tertahan, karena telapak tangan mereka sudah ber-warna ungu hitam. Dengan segera mereka ingat, bahwa pukulan Hek-see-ciang (Pukulan pasir hi¬tam) dari See-coan Song-hiap (Dua pendekar dari Sec-coan barat) bukan main lihaynya. Nama Hek-bu-siang dan Pek-bu-siang sudah didengar mereka selama puluhan tahun, tapi baru sekarang mereka bertemu muka.

Dalam mengadakan pertemuan para Ciang-bunjin, salah satu tujuan Hok Kong An adalah untuk menghadapi orang-orang gagah dari Ang-hoa-hwee. Tapi di luar dugaan, Siang-sie Heng-tee sudah keluar masuk selama pertemuan masih di-langsungkan, seperti juga gedung Hok Kong An tidak ada manusianya. Maka itu, dapatlah dibayang-kan rasa gusar dan kecewanya pembesar itu. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, dengan mata melotot ia mengawasi orang-orang yang duduk di kursi Thay-su-ie. Tay-tie Siansu tetap duduk sambil menunduk dengan sikap tenang, Bu-ceng-cu juga tidak ber-gerak, sedang Bun Cui Ong berdiri tegak dengan mata mengawasi ke tempat jauh. Dari parasnya yang pucat pias, dapat dilihat bahwa ia sedang berada dalam ketakutan yang sangat hebat.

Semua kejadian itu sudah disaksikan Ouw Hui dengan rasa syukur dan girang. Nama "Ang-hoa-hwee" sudah membuat jantungnya memukul lebih keras dan dengan rasa kagum, ia melihat cara ba-
gaimana kedua saudara Siang itu malang melintang sesuka hati dalam ruangan pertemuan, sehingga tanpa merasa, ia berkata dengan suara perlahan: "Itulah baru orang gagah!"
San Hui Hong menonton peristiwa itu dengan berdiri di pinggiran. Sesudah kedua saudara Siang berlalu, dengan rasa heran ia mengawasi Bun Cui Ong yang masih berdiri seperti orang kesima. Ia merasa geli dan lalu mendekati. "Kau duduklah," katanya sambil tertawa dan mendorong orang she Boan itu. "Setan Bu-siang-kwie sudah kabur jauh!" Sungguh tak dinyana, begitu tersentuh, begitu tu-buh Bun Cui Ong rubuh di lantai, tanpa bergerak lagi. Nona San terkesiap dan buru-buru berjongkok untuk menyelidiki. Dan hatinya mencelos, karena Bun Cui Ong ternyata sudah putus jiwa! "Mati! Dia mati lantaran kaget!" teriaknya.

Karuan saja keadaan lantas berubah kalut dan semua orang bangun dari tempat duduknya untuk melihat "orang gagah" itu.

"Kwee Cianpwee, apakah Bun Cui Ong seorang jahat?" tanya Ouw Hui.

"Jahat, sangat jahat," jawabnya. "Menipu, me-rampok, memperkosa wanita baik-baik dan Iain-lain perbuatan terkutuk. Sebenarnya tak pantas aku bicara jelek tentang orang yang sudah meninggal dunia. Tapi bukti kejahatannya sudah terlalu ba-nyak dan sedari dulu, aku memang sudah merasa, bahwa ia tak akan mati dengan baik-baik. Hanya tidak dinyana, dia mampus karena ketakutan. Ha-ha-ha!"
"Mungkin sekali kedua saudara Siang itu sudah mencari dia dalam tempo lama," menyelak seorang lain.

"Ya," kata si kakek. "Hampir boleh dipastikan orang she Bun itu dulu pernah dihajar oleh Siang-sie Heng-tee dan diampuni sesudah dia bersumpah. Dan hari ini mereka bertemu lagi."
Selagi mereka beromong-omong, sekonyong-konyong berjalan ke luar seorang tua yang pada pinggangnya tergantung sebuah kantong tembakau yang berwarna hitam. Ia menghampiri jenazah Bun Cui Ong dan berkata sambil menangis: "Bun Jie-tee, tidak dinyana hari ini kau binasa dalam tangannya sebangsa tikus."
Mendengar See-coan Song-hiap dinamakan se-bagai "sebangsa tikus", Ouw Hui mendongkol dan berbisik: "Kwee Cianpwee, siapa orang itu?"
"Dia she Siangkoan bernama Tiat Seng, Ciang-bunjin partai Hian-cie-bun di Kay-hong-hu," jawab si kakek. "Dia memberi gelar Yan-hee Sanjin ke-pada dirinya sendiri dan bersama Bun Cui Ong, mereka menggunakan gelar Yan-ciu Jie-sian (Dua dewa, tembakau dan arak)!"
Ouw Hui mengawasi orang itu yang pakaiannya kotor dan pinggangnya terselip sebatang pipa pan-jang (huncwee) yang aneh buatannya dengan kepala pipa sebesar mangkok. "Dewa apa?" kata Ouw Hui sambil tertawa. "Lebih tepat jika dinamakan Setan tembakau."
Sesudah menangis beberapa lama sambil me-meluk jenazah Bun Cui Ong, Siangkoan Tiat Seng bangun berdiri dan mengawasi San Hui Hong de¬ngan mata melotot. "Mengapa kau binasakan Bun Jie-tee?" bentaknya.

Si nona jadi gelagapan. "Eh-eh! Mengapa kau
kata begitu? Terang-terangan dia mati karcna kc-takutan."
"Omong kosong!" teriak si tua. "Mana bisa orang segar bugar mati lantaran ketakutan. Huh-huh! Tak salah lagi, kaulah yang sudah turunkan tangan jahat terhadap adikku."
Sebab musabab mengapa Siangkoan Tiat Seng sudah menuduh membuta tuli adalah karena jika sampai tersiar warta, bahwa Bun Cui Ong binasa lantaran ketakutan, partai Cui-pat-sian tidak dapat mengangkat kepala lagi dalam Rimba Persilatan. Di lain pihak, jika seseorang binasa dalam tangan la-wan, kejadian itu sama sekali tidak menurunkan derajat partainya.

Hui Hong yang belum mempunyai banyak pengalaman, tidak mengerti latar belakang fit-nahan itu dan dalam gusarnya, ia berteriak: "Aku dan dia sama sekali tidak mempunyai permusuhan apa pun jua. Ribuan mata dalam ruangan ini menjadi saksi, bahwa adikmu mati lantaran kaget atau ketakutan."
Baru habis si nona membela diri, Hachi Tay-su yang sedari tadi duduk di kursi Thay-su-ie tanpa mengeluarkan sepatah kata, tiba-tiba menyelak: "Tidak, nona itu memang tidak turunkan tangan jahat terhadap adikmu. Aku telah menyaksikan dengan mata sendiri. Begitu lekas kedua setan itu datang, aku dengar Bun-ya berteriak: 'Hek-bu-siang! Pek-bu-siang!"'
la bicara dengan suara luar biasa nyaring dan waktu mengucapkan perkataan 'Hek-bu-siang, Pek-bu-siang', suaranya seolah-olah menggetarkan selu-ruh ruangan. Semua orang tertegun dan kemudian
tertawa terbahak-bahak.

Hachi yang tidak mengerti mengapa mereka tertawa, lantas saja berteriak: "Apa aku bicara sa¬lah? Roman kedua setan Bu-siang itu sangat me-nakutkan dan tidak heran jika ada orang mati ka¬rena kaget. Kalian tidak boleh menyalahkan nona itu."
"Nah! Dengarlah apa yang dikatakan oleh Tay-su itu," kata San Hui Hong. "Dia mati sebab kaget dan sedikit pun tiada sangkut pautnya dengan aku."
Sementara itu, Siangkoan Tiat Seng sudah men-cabut sebatang huncwee (pipa panjang) dari ping-gangnya, memasukkan tembakau di kepala pipa dan kemudian menyulutnya. Ia mengisapnya beberapa kali dan mendadak, mengepulkan asap tembakau ke arah nona San. "Perempuan hina!" bentaknya. "Terang-terang kau yang membunuh orang. Tapi kau masih tetap coba menyangkal."
Si nona buru-buru melompat mundur, tapi hi-dungnya sudah mengendus sedikit asap dan kepala-nya lantas saja pusing. Mendengar cacian "perem¬puan hina", ia tak dapat menahan sabar lagi. "Setan tua!" bentaknya. "Apa kau kira aku takut padamu? Kau menuduh aku yang membunuh dia. Baiklah. Aku akan mengambil juga jiwamu." Seraya berkata begitu, sambil mengirim pukulan gertakan dengan tangan kirinya, ia menendang pinggang Siangkoan Tiat Seng.

"Tua bangka!" teriak Hachi Hweeshio. "Jangan kau menuduh membuta tuli! Bun-ya mati karcna kedua setan itu...."
Mendengar pendeta itu, yang pada hakekat-nya seorang jujur dan polos, tak hentinya meng-
gunakan istilah "setan" untuk See-coan Song-hiap, Ouw Hui jadi mendongkol dan ingin sekali mendapat kesempatan untuk memberi sedikit ajaran kepadanya.

Tiba-tiba, selagi Ouw Hui mengasah otak, dari sebelah barat ruangan itu muncul seorang saste-rawan muda yang langsung menuju ke arah Han-chi. la berusia kira-kira dua puluh lima tahun, badannya kurus kecil, dandanannya rapi dan ta-ngan kanannya mencekal kipas. Begitu berha-dapan dcngan si pendeta, ia lantas saja berkata: "Toaweeshio, kau sudah membuat kesalahan da-lam menggunakan satu perkataan dan kuharap kau suka mengubahnya."
"Salah apa?" tanyanya.

"Kedua orang tadi bukan 'setan', tapi dua sau-dara Siang yang dikenal sebagai See-coan Song-hiap," jawabnya. "Walaupun berwajah aneh, mereka berkepandaian tinggi dan berhati mulia, sehingga mereka sangat dihormati orang dalam dunia Kang-
ouw."
Ouw Hui girang bukan main dan dalam hatinya lantas saja timbul ingatan untuk berkenalan dengan pemuda itu.

"Bukankah Bun-ya memanggil mereka sebagai 'Hek-bu-siang dan Pek-bu-siang'? tanya Hachi. "Dan Hek-bu-siang serta Pek-bu-siang bukan lain dari-pada setan-setan jahat."
"Tidak, bukan begitu," membantah pemuda itu. "Mereka she Siang dan dalam nama mereka ter-dapat huruf 'hek' dan huruf 'pek'. Maka itu, secara guyon-guyon beberapa Cianpwee telah memanggil mereka sebagai Hek-bu-siang dan Pek-bu-siang.


Sepanjang tahuku, kecuali beberapa Cianpwee yang jumlahnya sangat terbatas, orang lain tak berani menggunakan julukan itu untuk alamatnya See-coan Song-hiap."
Selagi mereka saling sahut, Siangkoan Tiat Seng dan San Hui Hong sudah mulai bertempur.

Tadi, waktu melawan kedua saudara Nie, San Hui Hong agak keteter karena ilmu silat Song-cu-bun berdasarkan kerja sama antara dua orang me-mang lihay luar biasa. Tapi sekarang, dengan satu melawan satu, ia dapat melayani Siangkoan Tiat Seng dengan sempurna.

Di lain pihak, huncwee Siangkoan Tiat Seng terbuat daripada baja dan biasa digunakan sebagai senjata untuk menotok tiga puluh enam jalan darah. Tapi sebab gerakan Hui Hong sangat gesit, maka untuk sementara waktu, pipa panjang itu masih belum dapat menemui sasarannya. Sambil bertem¬pur, Tiat Seng kadang-kadang menghisap pipanya dan menyemburkan asap tembakau dari mulutnya. Perlahan-lahan kepala pipa menjadi sangat panas dan berubah merah, sehingga lantas saja merupakan senjata yang sangat berbahaya. Sebelum tersentuh pipa, Hui Hong sudah merasakan hawa panas dan dalam kebingungan, silatnya mulai kalut. Sesudah lewat beberapa jurus lagi, mendadak asap yang disemburkan Siangkoan Tiat Seng menyambar muka si nona dan di lain saat, badannya bergoyang-go-yang, akan kemudian rubuh di lantai. Ternyata, dalam tembakau pipa tercampur bie-yo (obat lupa) dan Siangkoan Tiat Seng dapat menghisapnya tanpa kurang suatu apa, karena ia sudah biasa dan juga sebab di dalam mulut dan hidungnya sudah terdapat obat pemunah.

Si pemuda dan Hachi Hweeshio yang sedang mengadu lidah, tidak memperhatikan jalan pertem-puran itu. Tiba-tiba, hidung pemuda itu mengendus bcbauan wangi dan sebagai seorang yang berpeng-alaman, ia lantas saja mengerti, bahwa wangi itu adalah bie-yo yang biasa digunakan oleh kawanan perampok. Dengan gusar ia menengok ke gelang-gang pertempuran. Sesaat itu, Siangkoan Tiat Seng tengah menotok lutut si nona dengan huncweenya. Hui Hong mengeluarkan teriakan kesakitan dan kunnya berlubang. Sekali lagi Siangkoan Tiat Seng mengangkat lagi pipanya untuk menotok pinggang nona San.

"Tahan!" bentak si sasterawan muda. Siangkoan Tiat Seng terkejut dan huncweenya berhenti di tengah jalan. Hampir berbareng, sambil membung-kuk pemuda itu sudah mencopot kedua sepatu Hachi Hweeshio yang lalu digunakan untuk men-jepit huncwee.

Dengan sekali menyentak, ia sudah merebut pipa panjang itu dan lalu mengebasnya ke lengan Siangkoan Tiat Seng, yang melompat sambil ber-teriak kesakitan dan tangan bajunya sudah menjadi hangus. Sesudah melemparkan kedua sepatu ber-sama huncwee, si sastrawan lalu menghampiri San Hui Hong yang rebah dengan mata meram.

Karena dilontarkan secara sembarangan, ke¬dua sepatu itu jatuh di atas meja perjamuan se-hingga beberapa mangkok sayur terbalik, sedang huncwee itu menyambar ke arah Kwee Giok Tong. "Celaka!" seru si kakek seraya coba menying-kirkan diri. Tapi, ia tidak keburu bergerak lagi,
sebab pipa itu menyambar dengan kecepatan luar biasa. Pada detik yang sangat berbahaya, bagaikan kilatOuwHui mengangkat sumpit dan menjepitnya.

Semua kejadian itu, yang harus dituturkan agak panjang lebar, telah terjadi dalam sekejap mata. Para hadirin lebih dulu mengawasi dengan mulut ternganga dan kemudian bersorak-sorai.

Si sasterawan tertawa dan manggut-manggut-kan kepalanya kepada Ouw Hui, sebagai pernyata-an terima kasih, bahwa berkat pertolongannya, ia tak sampai mencelakakan orang yang tidak berdosa. Sesudah itu, ia mengawasi Hui Hong dengan alis berkerut, karena tak tahu bagaimana harus me-nolongnya.

Di lain saat, dengan sorot mata gusar ia me-natap wajah Siangkoan Tiat Seng dan membentak: "Keluarkan obat pemunah! Di sini orang mengadu ilmu silat, bukan mengadu racun."
Siangkoan Tiat Seng tahu, bahwa kepandaian pemuda itu banyak lebih tinggi daripadanya, se-hingga ia tidak berani mengumbar nafsu. "Siapa menggunakan racun?" ia berlagak pilon. "Perem-puan itu terlalu lemah. Baru berputaran beberapa kali, ia sudah mabuk. Kau tidak boleh menyalahkan aku."
Sekonyong-konyong, dari sebelah barat ruang-an itu muncul seorang wanita setengah tua yang punggungnya bongkok dan tangan mencekal se-cawan arak. Sambil menghampiri ia menghirup arak dan begitu berhadapan dengan Hui Hong, ia me-nyemburkan arak itu ke muka si nona.

"Apa itu obat pemunah?" tanya si sasterawan.

Tanpa menjawab, wanita itu menyembur pula.


Waktu ia menyembur ketiga kali, nona San per-lahan-lahan membuka kedua matanya.

"Aha! Coba kau lihat," seru Siangkoan Tiat Seng. "Bukankah dia sudah tersadar? Kau tidak boleh menuduh orang secara membabi buta."
Si sasterawan mengangkat tangannya dan meng-gaplok. "Kau mesti dihajar!" bentaknya. Siangkoan Tiat Seng buru-buru menunduk dan gaplokan itu lewat di atas kepalanya.

Sementara itu, seraya mengusap-usap mata, San Hui Hong melompat bangun. "Bangsat! Kau menggunakan racun untuk mencelakakan nona-mu!" teriaknya seraya menghantam dada Tiat Seng, yang dengan cepat lalu melompat ke belakang. Siangkoan Tiat Seng gusar dan heran, karena ia tidak mengerti, cara bagaimana wanita bongkok itu bisa mempunahkan bie-yonya yang sangat lihay.

Sesudah gagal menghajar musuh, nona San mengawasi si sasterawan seraya manggutkan ke-pala beberapa kali, sebagai pernyataan terima kasih. Tapi si sasterawan sendiri lalu menunjuk wanita bongkok itu seraya berkata: "Yang me-nolong nona bukan aku, tapi Liehiap (pendekar wanita) itu."
"Aku tidak bisa menolong orang," kata wanita itu dengan suara tawar. Ia menghampiri meja Ouw Hui, mengambil sumpit yang dicekal pemuda itu dan lalu menjepit huncwee yang segera dipulangkan kepada Siangkoan Tiat Seng.

Semua orang jadi heran. Siapa wanita bongkok itu? Mengapa, sesudah menolong Hui Hong, ia mengembalikan huncwee Siangkoan Tiat Seng? Wanita itu yang rambutnya dauk, mukanya kisut
dan badannya lemah, kelihatannya bukan seorang yang memiliki ilmu silat tinggi. Dilain saat, ia sudah kembali ke mejanya dan bicara bisik-bisik dengan Ouw Hui.

Wanita bongkok itu bukan lain dari pada Thia Leng So. Kalau bukan murid Tok-chiu Yo-ong, ia pasti tak akan dapat mempunahkan bie-yo Siang¬koan Tiat Seng yang istimewa.

Di lain pihak, Hachi Tay-su yang tidak ber-sepatu berteriak-teriak: "Hei! Pulangkan sepatuku! Pulangkan sepatuku!"
"Toahweeshio, sepatumu sudah terbakar," kata si sasterawan sembil tertawa.

Dengan paras muka merah, Hachi turun dari kursi dan menghampiri meja di mana kedua se-patunya jatuh. Ternyata, sepatu itu sudah ha-ngus separuh dan penuh kuah sayur. Karena tak ada jalan lain, apa boleh buat ia memakai juga sepatu itu dan kemudian coba mencari si sas¬terawan, tapi pemuda itu sudah tidak kelihatan mata hidungnya.

Sementara itu, Siangkoan Tiat Seng dan San Hui Hong sudah mulai bertempur lagi.

Sesudah gagal mencari si sasterawan, Hachi duduk kembali di kursi Thay-su-ie. "Bangsat! Hari ini aku sungguh sial," ia mencaci. "Sesudah bertemu dengan Bu-siang-kwie, aku diganggu oleh Siu-cay-kwie." Sambil menonton pertempuran, mulutnya Tienyomel panjang pendek.

Sekonyong-konyong para hadirin tertawa ter-•^ahak-bahak. Hachi mengawasi ke seluruh ruang-an. tapi ia tak melihat sesuatu yang menggelikan. !a heran karena semua orang mengawasi dirinya.

la meraba-raba pakaian, tapi kecuali kedua se-patunya yang basah, tak ada apa pun jua yang luar biasa.

"Hei! Mengapa kamu tertawa?" teriaknya.

Suara tertawa jadi makin ramai.

"Kura-kura! Tertawa apa? Gila! Sudahlah! Aku tak usah perduli," teriaknya dengan mata melotot.

Suara tertawa tetap tidak mereda, bahkan San Hui Hong, yang sedang berkelahi mati-matian, turut tertawa!
Hachi jadi makin bingung.

Tiba-tiba nona San berseru: "Toahweeshio, coba menengok ke belakang!"
Dengan terkejut ia melompat turun dari kursi dan memutar badan. Ternyata si sasterawan nakal sedang duduk di belakang Thay-su-ie sambil meng-gerak-gerakkan kaki tangannya seperti seorang
gagu.

"Siu-cay-kwie! Berani benar kau mengganggu aku!" bentaknya dengan gusar.

Si sasterawan menggoyang-goyangkan kedua tangan.

"Tapi mengapa kau duduk di situ?"
"Si gagu" menunjuk delapan Giok-liong-pwee yang terletak di atas meja, seperti juga ingin me-ngatakan, bahwa ia ingin mengantongi cangkir-cangkir itu.

"Kau mau turut merebut cangkir?" tanya pula si pendeta.

Pemuda itu mengangguk.

"Di sini masih ada kursi kosong, mengapa kau tak mau duduk di situ?"
Si sasterawan membuat gerakan-gerakan yang
memperlihatkan, bahwa ia takut dihajar orang.

"Kalau kau takut duduk di situ, mengapa kau berani duduk di belakang kursiku?"
Si sasterawan menendang dengan kakinya, ke-mudian badannya merosot ke bawah dan ia lalu duduk di kursi Hachi. Ia ingin mengunjuk, bahwa ia tidak takut terhadap pendeta itu yang ingin ditendang olehnya dan direbut kursinya.

Suara tertawa jadi makin ramai, ditambah de¬ngan tepukan tangan.

Melihat pertemuan para Ciangbunjin yang be-gitu digembar-gemborkan berubah menjadi sebuah lelucon, bukan main mendongkolnya Hok Kong An. Ia segera memerintahkan Ong Kiam Eng dan Ong Kiam Kiat mengantar kedua puteranya ke ruangan dalam.

"Orang itu memiliki ilmu mengentengkan badan dan sangat tinggi," bisik Leng So di kuping kakak-nya.

"Benar, aku belum pernah lihat gerakan yang segesit itu," kata Ouw Hui.

"Ia rupanya sengaja mengacau," kata pula nona Thia.

Ouw Hui mengangguk.

Sekarang, sejumlah orang juga sudah dapat melihat maksud sebenarnya dari sasterawan itu. Ia bukan semata-mata mau menggoda Hachi, tapi tu-juan yang sesungguhnya ialah mengubah pertemuan para Ciangbunjin yang sangat angker menjadi se-rupa lelucon.

Sementara itu, si sasterawan mengacungkan kipasnya seraya berkata: "Hachi Hweeshio, kau tak boleh berlaku kurang ajar terhadapku. Lihatlah! Di
atas kipasku ini terdapat leluhurmu."
Hachi mengawasi, tapi tak melihat sesuatu yang luar biasa. "Aku tak percaya omongan gilamu!" katanya dengan melotot.

Si sasterawan segera membuka kipasnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi "Kau tak percaya? Li-hatlah!" teriaknya.

Suara tertawa gemuruh memenuhi seluruh ruangan. Beberapa orang terpingkal-pingkal seraya memegang perut. Ada apa di kipas itu? Tak lain dari pada gambar seekor kura-kura yang rebah telentang, sambil mengulur leher dalam usaha mem-balik badannya!
Sambil tertawa Ouw Hui melirik adiknya. Me¬reka tidak bersangsi lagi, bahwa pemuda itu me-mang sengaja datang untuk mengacau. Diam-diam mereka merasa kagum, karena tempat itu adalah seperti sarang harimau.

Hachi gusar tak kepalang. "Kau maki aku se-bagai kura-kura?" teriaknya. "Binatang! Benar-be-nar kau sudah bosan hidup!"
Tapi pemuda itu tetap tenang. "Apa jeleknya menjadi kura-kura?" katanya sembil tersenyum. "Kura-kura panjang umurnya. Maksudku ialah un¬tuk mendoakan supaya kau berumur panjang."
"Fui!" Hachi membuang ludah. "Jangan kau berlagak pilon. Apa kau tak tahu, bahwa perem-puan yang mencuri lelaki barulah dinamakan kura-kura?"
"Aha! Maaf, maaf!" kata si sasterawan seraya menyoja. "Kalau begitu, Toahweeshio juga boleh mempunyai istri?"
Hachi tak dapat menahan sabar lagi. Bagaikan
kilat tangannya menyambar punggung sasterawan nakal itu. Kali ini, si sasterawan tak keburu berkelit — punggungnya dicengkeram dan ia dilemparkan di lantai.

Hachi Taysu adalah seorang ahli dalam ilmu menyengkeram dan membanting di wilayah Mo¬ngolia, di mana ilmu itu terbagi jadi tiga partai, yaitu Toajiauw, Tiongjiauw dan Siauwjiauw. Pen-deta itu adalah Ciangbunjin dari Tiongjiauwbun dan kekuatannya yang terutama terletak pada punggung dan lututnya. Dalam menyengkeram dada dan punggung musuh, ia belum pernah meng-alami kegagalan.

Begitu si sasterawan dibanting, semua orang mengawasi dengan menahan napas. Mereka merasa pasti, pemuda itu, yang dibanting hebat, akan men-dapat luka berat. Tapi di luar dugaan, badan si sasterawan bisa membal bagaikan karet, begitu tu-buhnya menyentuh lantai, begitu ia melompat dan berdiri di atas kedua kakinya! Ia tertawa haha-hihi seraya berkata: "Toahweeshio, kau tak akan mampu merubuhkan aku."
"Sekali lagi," teriak Hachi.

"Boleh," jawabnya seraya menghampiri. Men-dadak ia mengangsurkan kedua tangannya untuk menyengkeram dada pendeta itu.

Para hadirin heran bukan main. Si pendeta bertubuh tinggi besar, sedang ia sendiri kurus kecil. Hachi adalah ahli dalam ilmu menyengkeram dan membanting. Bagaimana ia berani menyerang mu¬suh dengan cengkeraman?
Sambil menyeringai si sasterawan menyengke¬ram pundak lawan dan menubruk terus dan me-

meluk leher si pendeta, seraya menendang dengan kedua kaki. Tendangan itu mengenakan tepat pada jalanan darah di lutut dan tanpa ampun lagi, Hachi jatuh berlutut. Tapi sebagai jago, dalam kekalahan, ia tak bingung. Dengan cepat, ia membalik tangan, menyengkeram punggung pemuda itu yang lalu dibanting dan ditindih dengan tubuhnya yang se-perti raksasa.

"Aduh! Aduh!" teriak si sasterawan sambil me-leletkan lidah dan membuat muka yang lucu-lucu. Tong Pay, Hay Lan Pit dan yang Iain-lain se-karang insyaf, bahwa pemuda itu adalah seorang ahli yang berkepandaian tinggi dan yang bertujuan untuk mengacau pertemuan Ciangbunjin.

Sementara itu, San Hui Hong terus melayani Siangkoan Tiat Seng dengan hebatnya. Sebagai pentolan Ngo-ouw-bun di Hong-yang-hu, kepan-daian San Hui Hong yang paling disegani adalah Thie-lian-kang (Ilmu teratai besi), yaitu ilmu me¬nendang dengan sepatu yang berujung besi tajam. Dengan pengalaman puluhan tahun, Siangkoan Tiat Seng tahu kelihayan lawannya. Maka itu, setiap kali kaki nona San bergerak, buru-buru ia melompat mundur atau ke samping. Tapi, dalam pada itu, diam-diam ia merasa sangat malu, sebab, sebagai seorang kenamaan dalam dunia Kang-ouw, ia masih belum dapat merubuhkan seorang wanita muda, sesudah bertempur hampir seratus jurus. Di lain pihak, makin lama Hui Hong menendang makin gencar dan kakinya selalu ditujukan ke bagian-bagian tubuh lawan yang berbahaya. Tiat Seng jadi bingung dan segera mengambil keputusan untuk menggunakan pula huncweenya.

Tiba-tiba ia melompat mundur dan tertawa ber-kakakan. "Tendangan-tendanganmu sama sekali tiada harganya," katanya, mengejek, dan terus meng-hisap pipa.

Hui Hong buru-buru melompat mundur.

Tiba-tiba, pada paras muka Tiat Seng terjadi perubahan aneh. Matanya mendelik dan ia meng-awasi si nona dengan sorot mata seekor anjing gila. Sesaat kemudian, seraya berteriak keras, ia me-nyeruduk bagaikan kerbau edan. Melihat begitu, si nona jadi keder dan secepat kilat meloncat ke samping. Tiat Seng menyelonong terus, menerjang ke arah Hok Kong An. Can Tiat Yo yang berdiri di belakang pembesar itu, buru-buru melompat ke depan, menangkap tangan Tiat Seng dan men-dorongnya, sehingga sesudah terhuyung, ia rubuh di lantai. Tapi dengan lekas ia bangun berdiri dan menyeruduk pula ke meja lain. Semua orang ter-kejut. Dilihat cara-caranya, ia ternyata gila men-dadak.

Ouw Hui melirik adiknya sambil tersenyum. Ia mengerti, bahwa kejadian itu adalah pekerjaan Leng So. Tadi, waktu mengembalikan huncwee, diam-diam si nona menaruh semacam racun di ke-pala pipa, sehingga, begitu dihisap, racun itu lantas saja bekerja. Di lain saat, Siangkoan Tiat Seng bergulingan di lantai, menubruk dan memeluk satu kaki meja yang lalu digeragotinya, seperti caranya seekor anjing gila. Semua orang menyaksikan de-r.gan mulut ternganga dan bulu mereka bangun >emua.

Sedang yang lain membungkam, Hachi seorang :erus mencaci. "Binatang kecil! Siucay bangsat! Ini
semua gara-garamu!" tenaknya.

"Kura-kura nyali kecil! Lebih baik kau tutup mulut," si sasterawan mengejek.

"Kalau aku mau maki kau, mau apa kau, Siucay bangsat!" teriak Hachi.

"Kau hanya berani terhadap aku, huh!" ejek si sasterawan. "Apa kau berani terhadap Thayswee? Jika kau manusia bernyali, coba katakan, Thayswee bangsat."
Si pendeta yang sudah setengah kalap, lantas saja berteriak: "Thayswee bangsat!" Baru saja per-kataan itu keluar dari mulutnya, ia terkesiap dan insyaf, bahwa lidahnya terpeleset. "Aku... aku... sebenarnya mau mencaci kau," katanya, terputus-putus.

Si sasterawan tertawa nyaring. "Aku bukan Thayswee," katanya. "Aku sudah kata, nyalimu nyali cecurut!"
Dalam bingungnya karena khawatir mendapat hukuman, Hachi segera menubruk. Pemuda itu mengegos dan mendorongnya, sehingga ia rubuh terguling dan apa mau, ia jatuh menindih Siangkoan Tiat Seng yang sedang menggeragoti kaki meja.

Tiat Seng berbalik dan memeluknya, akan ke-mudian membuka mulut untuk menggigit kepala-nya. Ia coba memberontak, tapi pelukan itu bagai-kan lingkaran besi dan di lain saat, kepalanya sudah digigit sehingga berlumuran darah.

"Bagus! Bagus!" seru si sasterawan seraya me-nepuk-nepuk tangan. Perlahan-lahan ia mende-kati meja Giok-liong-pwee dan mendadak tangan¬nya menyambar dua buah cangkir. Ia menengok ke arah San Hui Hong, mengangsurkan sebuah
cangkir dan berkata: "Cangkir sudah didapat, mari kitaberlalu!"
Si nona terkejut. Ia belum mengenal pemuda itu, tapi mengapa dia begitu manis terhadapnya? Tapi ia tak sempat memikir panjang-panjang. Ia mengangguk, menyambuti cangkir itu dan lalu mengikuti dari belakang.

Enam Wie-su yang melindungi Hok Kong An, lantas saja berteriak-teriak: "Tangkap! Tangkap mata-mata! Tangkap pencuri cangkir!" Seraya ber¬teriak-teriak, mereka mengejar.

Tadi, sesudah Siang Hek Cie dan Siang Pek Cie menolong kedua saudara Nie, jumlah Wie-su yang menjaga di luar pintu lantas saja ditambah. Se-karang, mendengar teriakan di dalam, mereka lan¬tas saja menerjang masuk sambil menghunus sen-jata. Dipimpin oleh An Teetok, mereka segera mengurung si sastrawan dan San Hui Hong.

Si sasterawan tersenyum. "Kalau kamu maju setindak lagi, aku akan segera membanting cangkir ini," katanya seraya mengangkat tangannya yang memegang cangkir.

Para Wie-su bersangsi dan serentak mereka menghentikan tindakan.

Melihat bahaya besar, San Hui Hong me-ngeluh dan menyesalkan kebodohannya sendiri. Ia menghadiri Ciangbunjin Tayhwee hanyalah un¬tuk melihat-lihat keramaian dan sama sekali tidak mempunyai maksud lain. Ia menyesal dan merasa tidak mengerti, mengapa ia mengikuti pemuda itu.

Ouw Hui khawatir sangat dan melirik adiknya. Leng So menggeleng-gelengkan kepala untuk mela-
rang kakaknya bergerak. Memang juga, dalam menghadapi begitu banyak musuh, jika turun ta-ngan, mereka hanya akan membuang jiwa secara
cuma-cuma.

Sementara itu, Hay Lan Pit sudah bangun ber-diri dan menghampiri dengan tindakan lebar. Se-mua orang mengawasi dengan hati berdebar-debar. Mereka yakin, bahwa sekali turun tangan, Hay Lan Pit akan dapat merubuhkan kedua orang muda itu. "San Kouwnio, sekarang kita harus mengubah sikap," kata si sasterawan sambil tertawa. "Jika cangkir ini dibanting, mungkin sekali, sebelum ja-tuh, sudah ada orang yang menyangganya. Begini saja: Aku akan meneriakkan satu, dua, tiga dan berbareng dengan perkataan 'tiga', kita meremuk¬kan di dalam tangan."
Memang juga Hay Lan Pit ingin menangkap cangkir itu waktu dibanting dan oleh karenanya, begitu mendengar perkataan si sasterawan, ia se¬gera menghentikan tindakannya.

Melihat begitu, Kam-lim-hui-cit-seng Tong Pay tertawa terbahak-bahak dan lalu menghampiri. "Sau¬dara kecil," katanya sesudah berhadapan dengan si sasterawan, "Boleh aku mendapat tahu she dan namamu yang besar? Hari ini kau telah mendapat muka terang. Kau telah menggetarkan seluruh Rimba Persilatan. Maka itu, mana boleh kau tidak meninggalkan she dan nama?"
Pemuda itu tersenyum. "Tak perlu," jawabnya. "Pertama, kudatang bukan untuk merebut nama dan kedua, bukan untuk menarik keuntungan. Melihat cangkir giok yang indah itu, aku merasa suka dan ingin membawanya pulang untuk dibuat main. Se-
sudah merasa bosan, aku akan segera mengem-balikannya."
Tong Pay tertawa. "Saudara kecil, ilmu silatmu sangat luar biasa," katanya pula. "Sesudah mem-perhatikan beberapa lama, belum juga aku dapat menebak asal-usul ilmu silatmu dan siapa adanya gurumu. Mungkin sekali, antara kita masih terdapat ikatan erat. Saudara kecil, orang muda suka main-main adalah kejadian lumrah. Dengan memandang mukaku, Hok Thayswee pasti tidak akan merasa gusar. Saudara kecil, lebih baik kau masuk lagi dan makan minum pula sambil menonton keramaian." Ia berpaling ke arah para Wie-su seraya berkata: "Mundurlah! Saudara kecil ini sahabat kita. Ia hanya guyon-guyon dan tak perlu kalian menghunus sen-jata."
Mendengar perkataan itu, semua wie-su lantas saja mundur.

"Orang she Tong, aku sungkan masuk dalam perangkapmu," kata si sasterawan sambil terse¬nyum. "Kalau kau maju setindak lagi, aku akan segera meremukkan cangkir ini. Kalau benar kau laki-laki, pinjamkanlah cangkir ini kepadaku. Aku akan membawanya pulang dan main-main tiga hari lamanya. Sesudah lewat tiga hari, aku akan me-ngembalikannya."
Dengan hati berdebar-debar, semua orang mengawasi Tong Pay.

Kam-lim-hui-cit-seng tertawa terbahak-bahak. "Urusan kecil," katanya. "Tapi, saudara kecil, cang¬kir yang berada dalam tanganmu belum ada pemilik-nya. Sebagaimana kau tahu, dengan baik hati Hok Thayswee telah menghadiahkan sebuah cangkir ke-
padaku. Begini saja: Aku akan meminjamkan cang-kirku itu. Kau boleh bermain-main dalam tempo yang tidak terbatas dan nanti, sesudah bosan, baru-lah kau memulangkannya kepadaku. Bagaimana? Apa kau setuju?"
Sehabis berkata begitu, ia menghampiri meja cangkir, mengambil sehelai sutera sulam dan lalu menaruh cangkirnya sendiri di dalam sutera itu. Kemudian, dengan sikap hormat, ia mengangsur-kannya kepada si sasterawan seraya berkata: "Sau-dara kecil, kau ambillah!"
Itulah kejadian yang tidak diduga-duga. Se-mua orang menganggap, bahwa Tong Pay tengah menggunakan siasat untuk merebut pulang kedua cangkir itu. Tapi di luar dugaan, ia ternyata tidak berdusta.

Bukan saja yang lain, tapi si sasterawan sendiri pun merasa heran. "Kau bergelar Kam-lim-hui-cit-seng, benar saja tanganmu sangat terbuka," katanya. "Cangkir-cangkir ini tiada bedanya, sehingga tidak perlu ditukar pergi-datang. Cangkir San Kouwnio, kita andaikan saja telah dipinjamkan oleh Hay Tay-jin. Tong Tayhiap, kau harus jadi penanggung. Hay Tayjin, kau tak usah khawatir. Selewatnya tiga hari, jika cangkirmu belum juga kembali, kau boleh rae-mintanya dari Tong Tayhiap."
"Baiklah," kata Tong Pay. "Aku tangungjawab segala-galanya. San Kouwnio, kau jangan menyu-karkan aku." Sambil berkata begitu, ia bertindak mendekati Hui Hong.

Si nona gugup. Ia melirik si sasterawan seraya berkata dengan suara terputus-putus: "Aku... aku...."
Tiba-tiba, tiba-tiba saja, Tong Pay menggentus
pergelangan tangan Hui Hong dengan sikutnya. "Celaka!" seru nona San dan cangkir yang dicekal-nya terbang ke atas. Hampir berbareng, tangan kanan Tong Pay menjemput cangkir yang berada di dalam sutera, sedang tangan kirinya mengebas su¬tera itu yang lantas saja menggulung tangan si sasterawan. Sesaat itu juga, telunjuk tangan kanan-nya menotok jalanan darah In-bun, Kie-tie dan Hap-kok, sedang tangan kirinya menyangga cangkir Hui Hong yang sedang melayang turun. Dengan sekali menendang, nona San dibuatnya rubuh di lantai. In-bun-hiat terletak di pundak, Kie-tie-hiat di sikut dan Hap-kok-hiat di antara jempol dan telunjuk. Begitu lekas ketiga jalanan darah itu ter-totok, seluruh lengan dan tangan si sasterawan lemas dan ia tidak bertenaga lagi untuk meremuk-kan cangkir yang dicekalnya.

Semua kejadian itu terjadi dalam sekejap mata. Sebelum orang bisa melihat tegas, Hui Hong dan si sasterawan sudah rebah di lantai, sedang Tong Pay sendiri sudah menaruh tiga buah cangkir itu di atas meja, akan kemudian kembali ke kursi Thay-su-ie dengan sikap tenang.

Sesaat kemudian, ruangan itu seolah-olah ter-getar karena tampik sorak yang gemuruh.

Kwee Giok Tong, yang duduk bersama-sama Ouw Hui, mengurut-urut jenggotnya seraya ber¬kata dengan suara perlahan: "Benar-benar lihay! Tong Tayhiap bukan saja sudah merubuhkan ke¬dua orang muda itu dalam tempo begitu pendek, tapi juga berhasil merebut cangkir dalam keadaan utuh. Salah sedikit saja, cangkir itu tentu akan hancur atau rusak. Tapi di samping kelihayan
TongTayhiap,kitaharuslebihmengagumibesarnya nyali kedua orang muda itu. Thia Lauwtee, bagaimanapendapatmu?"
Ouw Hui manggut-manggutkan kepalanya. "He-bat, benar-benar hebat," katanya.

Sementara itu, beberapa Wie-su sudah meng-ikat Hui Hong dan si sasterawan yang lalu digusur ke hadapan Hok Kong An.

"Tahan saja dulu, kita boleh memeriksa me-reka belakangan," kata pembesar itu. "Kita tidak boleh memadamkan kegembiraan para tamu kita. An Teetok, mintalah mereka meneruskan pertan-dingan."
"Baiklah," kata An Teetok yang segera meng-umumkan, bahwa pertandingan akan segera dilan-jutkan.

Ouw Hui menonton pertandingan-pertanding-an dengan pikiran kusut. Ia khawatir sangat akan keselamatan Ma It Hong, karena kedua anak itu sudah direbut pulang oleh ayahnya.

Mendadak, selagi pertandingan berlangsung, terdengar teriakan seorang Wie-su yang menjaga di luar: "Sengcie (firman kaisar) datang!"
Semua tetamu terkejut, tapi Hok Kong An dan para pembesar tidak jadi kaget, karena datangnya firman di tengah malam buta bukan kejadian luar biasa. Hioto (meja sembahyang) lantas saja dipa-sang dan Hok Kong An menerima firman sambil berlutut, diikuti oleh semua pembesar dan para orang gagah. Mau tak mau, Ouw Hui terpaksa turut berlutut.

Yang membawa firman adalah seorang Thay-kam tua. Lauw Cie Hie, yang dikenal Hok Kong An
dan di belakang Thaykam itu mengikuti empat orang Sie-wie. Begitu tiba di depan pintu, Lauw Cie Hie menghentikan tindakannya, membuka firman dan lalu membacanya: "Ditujukan kepada Pengpo Siangsie Hok Kong An. Seorang penjahat lelaki dan seorang penjahat perempuan yang barusan ditawan, harus segera diserahkan untuk dibawa ke keraton. Firman kaisar."
Hok Kong An terkejut. "Apa bisa Hongsiang mendapat warta mengenai kejadian di sini secara begitu cepat?" tanyanya di dalam hati. "Perlu apa Hongsiang mengambil kedua penjahat itu?" Se-sudah menghaturkan terima kasih, ia bangun berdiri dan mengawasi Thaykam itu. Hatinya jadi semakin curiga. Biji mata Lauw Cie Hie memain dan paras mukanya pucat. Di samping itu, ada sesuatu yang sangat luar biasa. Menurut peraturan, seorang Thay¬kam yang membawa firman harus membacanya di ruangan tengah dan menghadap ke selatan. Tapi kali ini ia membacanya di ambang pintu dan meng¬hadap ke dalam rumah. Lauw Cie Hie adalah se¬orang Thaykam tua dan tidak mungkin ia tak tahu atau sengaja mau melanggar peraturan itu. Me-mikir begitu, Hok Kong An segera mengetahui, bahwa dalam hal itu terselip sesuatu yang luar biasa.

"Lauw Kongkong, masuklah dan minum teh," katanya sambil tersenyum. "Kongkong boleh se-kalian melihat-lihat pertandingan antara para orang gagah."
"Bagus! Bagus!" kata si Thaykam. Tapi di lain saat, alisnya berkerut dan ia berkata pula: "Terima kasih atas undangan Thayswee. Tapi aku tidak dapat
berdiam lama-lama karena Hongsiang sedang me-
nunggu."
Hok Kong An lantas saja mengerti, bahwa fir¬man itu adalah firman palsu dan keempat Sie-wie yang berdiri di belakang Lauw Cie Hie juga palsu. Dengan paras muka tidak berubah, ia tersenyum dan berkata pula: "Lauw Kongkong, siapa adanya saudara-saudara Sie-wie yang mengiringi kau. Aku belum pernah melihat mereka."
Lauw Cie Hie tergugu. Sesaat kemudian baru-lah ia dapat menjawab: "Mereka... mereka... orang baru dari lain propinsi."
Sekarang Hok Kong An mendapat kepastian, bahwa keempat Sie-wie itu adalah Sie-wie palsu. Mengapa? Karena jabatan Sie-wie, yaitu pengawal pribadi kaisar Ceng, hanya diberikan kepada bangsa Boanciu atau orang-orang yang leluhurnya telah banyak berjasa kepada kerajaan Ceng. Ia mengerti, bahwa tindakan sekarang yang paling penting ada¬lah memisahkan keempat orang itu dari Lauw Cie Hie. Maka itu, sambil menunjuk Hui Hong dan si sasterawan, ia berkata: "Kalau begitu, Sie-wie Toa-ko boleh membawa mereka!"
Salah seorang Sie-wie lantas saja maju men-dekati si sasterawan. Tiba-tiba Hok Kong An mem-bentak: "Tunggu dulu! Boleh aku mendapat tahu she Sie-wie Toako itu yang mulia?"
Menurut kebiasaan memang Hok Kong An selalu berlaku hormat kepada Sie-wie keraton dan selalu memanggil mereka dengan panggilan "Sie-wie Toako". Tapi, oleh karena kedudukan Sie-wie jauh lebih rendah dari pada pembesar itu, maka menurut adat-istiadat, jika ditanya, ia haruslah
menghampiri dan menjawabnya sambil membung-kuk. Tapi Sie-wie itu hanya menjawab: "Aku she Thiol"
"Sudan berapa lama Thio Toako berada di keraton?" tanya pula pembesar itu. "Mengapa kita belum pernah bertemu?"
Sebelum dia keburu menjawab, mendadak se¬orang Sie-wie yang berbadan gemuk dan berdiri di belakang Lauw Cie Hie, mengayunkan tangannya dan serupa senjata rahasia yang bentuknya me-nyerupai alat-alat tenun dan sinarnya putih ber-kelebatan menyambar meja Giok-liong-pwee. Sam-baran Gin-so (alat-alat tenun dari perak) hebat luar biasa, dan kalau kena, semua cangkir pasti akan hancur. Sambil mengeluarkan teriakan kaget, se-jumlah Wie-su segera melepaskan senjata rahasia mereka. Hampir berbareng, Thie-lian-cie dan se-bagainya, kira-kira tujuh-delapan senjata rahasia, menyambar ke arah Gin-so. Tapi Sie-wie gemuk itu pun segera mengayun kedua tangannya dan tujuh-delapan senjata rahasia terbang menyusul.

Di lain saat, terdengar suara "tring-trang-tring..." dan semua senjata rahasia para Wie-su terpukul jatuh oleh senjata rahasia si gemuk, sedang Gin-so sudah tiba di atas meja. Dan sungguh aneh, begitu menggaet salah sebuah cangkir, senjata rahasia itu terbang balik dan akhirnya kembali di tangan si Sie-wie gemuk!
Untuk sejenak seluruh ruangan sunyi senyap. Semua mata mengawasi pertunjukan menakjubkan itu dengan mata membelalak dan mulut ternganga. Sekonyong-konyong kesunyian dipecahkan dengan teriakan: "Thio Samko!" Orang yang berteriak ialah
Ouw Hui.

Ternyata, yang menyamar sebagai Sie-wie ge-muk bukan lain dari pada Tio Poan San, sedang Sie-wie yang mau menolong si sasterawan juga seorang tokoh Ang-hoa-hwee, yaitu Kui-cian-ciu Cio Siang Eng. Sudah lama jago-jago Ang-hoa-hwee itu menanti di luar gedung Hok Kong An. Pada waktu si sasterawan tertangkap, Thaykam Lauw Cie Hie kebetulan lewat di depan gedung. Mereka lalu membekuknya dan menulis sebuah firman palsu.

Hanya sayang, karena tidak mengerti per-aturan keraton, maka begitu menjalankan siasat, rahasia mereka segera ketahuan. Melihat kecu-rigaan Hok Kong An, Tio Poan San segera men-dahului melepaskan Hui-yan Gin-so berhasil me-rebut sebuah cangkir Giok-liong-pwee. Senjata rahasia itu yang berbentuk setengah lingkaran dan yang bisa terbang balik ke tangan yang melepas-kannya, adalah senjata istimewa buatan Tio Poan San sendiri.

Hampir berbareng dengan direbutnya Giok-liong-pwee, Poan San mendengar seruan "Tio Sam-ko". la kaget, karena seruan itu bernada penuh kecintaan dan kegirangan. Dengan matanya yang sangat tajam, ia menyapu seluruh ruangan, tapi ia tidak bisa menebak siapa yang berteriak begitu. Sebagaimana diketahui, semenjak Ouw Hui ber-pisahan dengan Tio Poan San, banyak tahun telah berlalu sehingga roman dan potongan badan Ouw Hui sudah berubah banyak. Jangankan ia sekarang menyamar, sekalipun tidak, Tio Poan San tentu tak akan dapat mengenalinya.

Dalam keadaan berbahaya, Poan San tidak bisa membuang-buang tempo lagi untuk mencari orang yang menyebutkan namanya. Di lain saat, kedua tangannya bergerak-gerak, diiring dengan suara me-nyambarnya senjata-senjata rahasia. Setiap senjata rahasia memadamkan sebatang lilin dan dalam se-kejap mata, ruangan itu sudah menjadi gelap gulita. "Hok Kong An, jaga piauw!" ia berteriak. Dua orang mengeluarkan teriakan kesakitan rupanya me¬reka kena senjata rahasia. Sementara itu sudah terdengar suara bentrokan senjata, sebab seorang Wie-su yang berkepandaian tinggi mulai bertempur melawan Cio Siang Eng.

"Angkat kaki!" demikian terdengar pula seruan Tio Poan San. Ia mengerti, bahwa di tempat itu, di mana berkumpul banyak sekali kaki tangan Hok Kong An yang berkepandaian tinggi, ia dan kawan-kawannya tidak boleh berdiam terlalu lama. Kalau sampai dikurung, pihaknya bisa celaka.

Tapi pada saat itu, Cio Siang Eng sudah ber¬tempur hebat dengan seorang Wie-su dan dua ka-wannya sudah turut menerjang.

Pada waktu si sasterawan dibekuk oleh Tong Pay, Ouw Hui sebenarnya sudah berniat turun ta¬ngan. Tapi karena melihat banyaknya musuh dan salah seorang dari keempat Ciangbunjin besar itu saja belum tentu dapat dijatuhkan olehnya, maka ia sudah menahan hati. Tapi sekarang, sesudah munculnya Tio Poan San dan semua lilin padam, ia lantas melompat ke sastrawan itu. Waktu Tong Pay menotok, ia sudah lihat, bahwa yang ditotok adalah In-bun-hiat, Kie-tie-hiat dan Hap-kok-hiat. Maka itu, begitu berdekatan, ia segera menepuk Thian-cong-hiat, di pundak si
sastrawan. Tepukan itu segera membuka In-bun-hiat yang tertotok. Sesudah itu, ia menekan Thian-tie-hiat si sasterawan. Mendadak, kesiuran angin telapak tangan menyambar.

Buru-buru Ouw Hui membalik tangan kirinya dan menyambut pukulan itu. Tiba-tiba ia terkesiap, karena tenaga lawan berat luar biasa dan waktu kedua telapak tangan kebentrok, badannya ber-goyang dan ia terpaksa mundur setengah tindak. Dengan cepat ia mengempos semangat dan me-nahan tekanan tenaga lawan dengan Lweekangnya. Di lain saat, ia mengeluh, sebab tenaga lawan me-nyerang dengan saling susul bagaikan gelombang samudera. Ia mengerti, bahwa keadaannya berba-haya sekali, sebab, begitu lekas lilin-lilin dinyalakan lagi, ia pasti akan kena dibekuk.

Kejadian di atas, yang harus dituturkan agak panjang lebar, sebenarnya terjadi dalam sekejap mata.

Sekonyong-konyong terdengar suara si saste¬rawan: "Terima kasih atas pertolonganmu." Sambil berkata begitu, ia melompat.

Begitu si sasterawan melompat, Ouw Hui lan-tas saja tersadar akan kekeliruannya. "Aku hanya membuka In-bun-hiat, sehingga Kie-tie dan Hap-kok-hiat tentu dibuka oleh orang yang sedang mengadu tenaga denganku," katanya di dalam hati. "Dengan demikian, dia bukan lawan, tapi kawan." Di lain pihak, orang itu pun memikir sedemikian. Ia hanya membuka Kie-tie dan Hap-kok-hiat, sehingga In-bun-hiat pasti dibuka oleh Ouw Hui. Maka itu, seraya tersenyum, kedua-duanya lantas menarik pulang Lweekang mereka
dan melompat mundur.

Si sasterawan segera mendukung San Hui Hong dan kemudian kabur secepat-cepatnya. "Hok Kong An sudah dibunuh olehku," teriaknya. "Orang-orang gagah dari Siauw-lim-pay, seranglah bagian timur! Orang-orang gagah Bu-tong-pay, seranglah bagian barat! Hayo, serang! Serang! Serang!" Di antara suara beradunya senjata, teriakan itu kedengaran-nya menyeramkan sekali.

Mendengar Hok Kong An dibinasakan, para Wie-su mengeluarkan keringat dingin. Di samping itu, teriakan si sasterawan juga mengejutkan banyak orang. Apa benar Siauw-lim-pay dan Bu-tong-pay memberontak?
Dalam keadaan kalut, tiba-tiba terdengar teriak¬an Tong Pay: "Hok Thayswee tidak kurang suatu apa! Jangan kena dikelabui kawanan penjahat!"
Waktu lilin-lilin sudah dinyalakan lagi, Tio Poan San, Cio Siang Eng, si sasterawan dan San Hui Hong sudah tak kelihatan mata hidungnya.

Hok Kong An kelihatan duduk tenang di kur-sinya dengan diapit oleh Tong Pay dan Hay Lan Pit, sedang di sekitarnya berdiri kurang lebih enam puluh Wie-su. Ciangbunjin Siauw-lim-pay, Tay-tie Siansu dan Ciangbunjin Bu-tong-pay, Bu-ceng-cu, juga masih duduk di kursi mereka.

Hok Kong An tersenyum seraya berkata: "Pen¬jahat telah berdusta dan kuharap Siansu serta Too-tiang jangan jadi jengkel."
Sehabis Hok Kong An bicara, An Teetok meng-hampiri dan berkata seraya membungkuk: "Aku tak punya kemampuan, sehingga kawanan penjahat bisa kabur. Harap Thayswee suka memaafkan."
Pembesar itu tertawa dan menggoyang-goyang-kan tangannya. "Bukan, itu bukan kesalahan kali¬an," katanya. "Kutahu, bahwa karena ingin melin-dungi aku, maka kalian tidak memperdulikan lagi beberapa penjahat kecil itu." la merasa senang sekali, sebab ia telah membuktikan, bahwa semua pengawalnya cukup setia terhadap dirinya. Sesudah berdiam sejenak, ia berkata pula: "Pengacauan be¬berapa bangsat kecil itu tidak berarti. Kehilangan sebuah cangkir... hm... juga tidak berarti banyak. Di hari kemudian, mungkin sekali ada seorang Ciang-bunjin yang dapat merebut pulang cangkir itu dan membekuk penjahatnya. Jika benar terjadi begitu, maka cangkir yang direbut pulang itu akan dihadiah-kan kepadanya. Untuk merebut pulang, orang bu¬kan saja harus mengadu ilmu silat, tapi juga harus mengadu kepintaran. Bukankah kejadian itu akan lebih menarik hati dari pada pertandingan yang dilangsungkan pada malam ini?"
Pernyataan pembesar itu disambut dengan so-rak sorai oleh para hadirin.

Hok Kong An benar-benar lihay. Ouw Hui meliriknya dan diam-diam ia pun memuji kepintaran pembesar itu yang bisa segera menggunakan setiap kesempatan untuk keuntungan dirinya sendiri. de¬ngan berkata begitu, Hok Kong An bukan saja sudah mengecilkan kedosaan akibat kehilangan cangkir, tapi juga melontarkan racun ke pihak Ang-hoa-hwee. Dalam Rimba Persilatan terdapat ba¬nyak sekali manusia-manusia yang haus akan harta dan pangkat. Mereka itu sudah pasti akan meng¬gunakan segala rupa jalan untuk merebut cangkir Giok-liong-pwee dari tangan Ang-hoa-hwee dan
dengan sendirinya, Ang-hoa-hwee harus mengha-dapi banyak lawan berat.

"Biarlah mereka melangsungkan pertandingan," kata pembesar itu kepada An Teetok.

"Baiklah," jawab An Teetok yang lalu bicara dengan suara nyaring. "Hok Thayswee telah me-merintahkan supaya pertandingan diteruskan untuk merebut ketiga Giok-liong-pwee."
Mendengar itu, orang-orang yang ingin turut dalam pertandingan lantas saja siap sedia. Dengan hati berdebar-debar, sebagian mengawasi tujuh cang¬kir yang berdiri di atas meja dan sebagian pula melirik empat kursi Thay-su-ie yang masih kosong. Mereka mendapat kenyataan, bahwa Ciangbunjin Kun-kun-to, See-leng Toojin, sudah meninggalkan kursi Thay-su-ie yang tadi didudukinya. Rupanya, karena merasa tidak ungkulan menghadapi begitu banyak lawan tangguh, ia mengundurkan diri supaya tidak mendapat malu.

Sementara itu, Ouw Hui merasa bingung karena di dalam hatinya muncul beberapa pertanyaan. Cara bagaimana kedua putera Hok Kong An direbut pulang? Ia menyamar sebagai Ciangbunjin Hoa-kun-bun. Apakah rahasianya terbuka? Apakah pi¬hak lawan sudah memasang jebakan, sehingga sam-pai sekarang mereka masih belum turun tangan? Siapakah yang tadi mengadu tenaga Lweekang de-ngannya?
Ia mengerti, bahwa makin lama dirinya jadi makin terancam. Akan tetapi, sebab pertama per-tanyaan-pertanyaan itu belum mendapat jawaban, kedua, sebab Hong Jin Eng berada di situ dan ia merasa tidak rela kalau sampai manusia kejam itu
bisa kabur lagi dan ketiga, lantaran ia sangat ke-pingin tahu siapa yang akan merebut ketiga cangkir giok itu, maka, biarpun sangat ingin berlalu, ia masih tetap duduk di situ.

Tapi sebab yang terutama ialah karena ia merasa, bahwa Wan Cie Ie pasti akan datang ke tempat itu. Itulah sebab yang sebenarnya, me-ngapa, meskipun menghadapi bahaya, ia masih tidak berkisar.

Sementara itu, dalam gelanggang sudah ber-tempur dua pasang Ciangbunjin yang semuanya menggunakan senjata. Dengan sekali melirik, Ouw Hui mengetahui, bahwa ilmu silat mereka banyak lebih tinggi dari pada orang-orang yang sudah turun ke gelanggang terlebih dahulu. Beberapa saat ke-mudian, seorang yang bersenjata Sam-ciat-kun kena dikalahkan. Pihak pemenang, seorang yang ber¬senjata Liu-seng-tui (bandering), ialah Tong Hway To dari Thay-goan-hu, yang bergelar Liu-seng Kan-goat (si Bandering mengejar bulan).

Ouw Hui lantas saja ingat, bahwa pada be¬berapa bulan yang lalu, ketika ia bertempur de¬ngan Ciong-sie Sam-hiong, mereka pernah me-nyebut-nyebut "Liu-seng Kan-goat Tong Loosu". Bandering Tong Hway To benar lihay. Dalam belasan jurus saja, ia sudah menjatuhkan orang yang bersenjata Sam-ciat-kun. Sesudah itu, maju lagi dua orang, tapi mereka pun dapat dikalahkan dengan mudah sekali.

Dalam pertandingan antara jago-jago silat, ke-cuali kalau mereka sedang mengadu tenaga Lwee-kang, dalam satu-dua gebrakan saja, mereka sudah tahu, siapa yang lebih kuat, siapa yang lebih lemah.


Orang-orang yang sekarang bertanding kebanyakan belum pernah mengenal satu sama lain dan pada hakekatnya, mereka sungkan menanam bibit per-musuhan. Maka itu, begitu lekas seseorang merasa kepandaiannya kalah, buru-buru ia mengundurkan diri. Orang-orang yang berkepandaian cetek diam-diam merasa kecewa, karena pertandingan-pertan-dingan yang sekarang berlangsung tidak sehebat per-tempuran yang tadi terjadi di antara San Hui Hong, Auwyang Kong Ceng, Hachi Hweeshio dan Iain-lain.

Akan tetapi, orang-orang yang berkepandaian tinggi mengetahui, bahwa makin lama jago-jago yang turun ke gelanggang makin tinggi kepandaian¬nya. Melihat begitu, beberapa Ciangbunjin yang semula ingin turut bertanding, jadi mundur dengan sendirinya.

Walaupun mereka semua berlaku hati-hati, tapi karena begitu turun ke gelanggang setiap orang berusaha untuk merebut kemenangan dan juga ka¬rena senjata tiada matanya, maka, sesudah pertan¬dingan berlangsung beberapa lama, tiga Ciangbun¬jin binasa dan tujuh orang lain terluka berat. Hanya sebab orang merasa jeri terhadap Hok Kong An, maka murid-murid korban-korban itu tidak berani mengumbar nafsu.

Tapi dalam Rimba Persilatan pada jaman itu, soal sakit hati sangat diutamakan dan dalam sejarah persilatan, banyak sekali manusia menjadi korban sebab gara-gara sakit hati. Demikianlah, Ciang¬bunjin Thayswee yang diadakan oleh Hok Kong An telah membawa akibat yang sangat buruk dalam Rimba Persilatan di wilayah Tionggoan.

Selama pemerintahan kaisar-kaisar Sun-tie,
Kong-hie dan Yong-ceng, orang-orang gagah dalam Rimba Persilatan berulang-ulang memberontak ter-hadap kekuasaan bangsa Boan-ciu. Seratus tahun lebih pemerintah Boan gagal dalam usaha untuk menindas mereka. Tapi sesudah kaisar Kian-liong, mereka saling bunuh membunuh dan tidak mem-punyai semangat lagi untuk turut serta dalam ge-rakan merobohkan pemerintahan Boan. Dengan demikian, suatu penyakit hebat di dalam perut kaisar-kaisar Boan telah dapat disingkirkan.

Dari sini dapatlah dilihat, bahwa meskipun tujuan Ciangbunjin Tayhwee tidak berhasil selu-ruhnya, akan tetapi maksud terutama dari Hok Kong An yaitu mengadu domba jago-jago silat -telah tercapai.

Belakangan sejumlah tokoh persilatan telah berdaya sekeras-kerasnya untuk mengakhiri per-musuhan. Untung juga, berkat usaha mereka, per-musuhan agak mereda, biarpun tidak habis sean-teronya. Orang-orang yang tidak mengerti busuk-nya siasat Hok Kong An, hanya menganggap, bahwa permusuhan dalam Rimba Persilatan adalah karena bangsa Boan masih besar rejekinya dan mereka tinggal berpeluk tangan.


* *
Sementara itu, Liu-seng Kan-goat Tong Hway To sudah merobohkan lima orang Ciangbunjin. Lain-lain orang yang tadinya ingin menyerbu, jadi
jeri sendirinya.

"Dia sahabat Ciong-sie Sam-hiong, biarlah dia memperoleh sebuah cangkir," kata Ouw Hui di dalam hati.

Pada saat itu dari luar tiba-tiba berjalan ma¬suk seorang perwira. la mendekati Hok Kong An dan bicara bisik-bisik Hok Kong An mengangguk beberapa kali dan perwira tersebut Iantas saja berjalan ke luar lagi. Setibanya di depan pintu, ia berseru: "Hok Thayswee mengundang masuk Tian Loosu, Ciangbunjin Thian-liong-bun bagian Uta-ra!"
Seorang perwira lain yang menjaga di luar pin¬tu, Iantas saja mengulangi undangan itu.

Ouw Hui dan Leng So saling melirik. Di dalam hati, mereka agak terkejut. Beberapa saat kemu-dian, Tian Kui Long bertindak masuk. Ia mengena-kan thungsha (jubah panjang) dan ma-kwa, paras mukanya tersenyum-senyum dan di belakangnya mengikuti delapan orang. Ia menghampiri Hok Kong An dan memberi hormat dengan membung-kuk.

Pembesar itu mengangkat kedua tangannya dan berkata sambil tertawa. "Tian Loosu, kau duduk-
lah!"
Semua jago mengawasi Tian Kui Long, banyak antaranya dengan rasa mendongkol. Nama Thian-liong-bun telah menggetarkan Rimba Persilatan dan selama lebih dari seratus tahun, sedang keluar-ga Tian berdiri berendeng dengan tiga keluarga lain, yaitu Ouw, Biauw dan Hoan. Dalam setiap turunan, keempat keluarga itu selalu mempunyai jago-jago yang dimalui orang. Orang she Tian itu masuk ke
dalam Ciangbunjin Tayhwee dengan lagak agung-agungan dan bahkan Hok Kong An sendiri mem-perlakukannya dengan segala kehormatan. Apakah ia benar-benar mempunyai "isi"? Menurut surat undangan, setiap partai yang menghadiri pertemuan itu hanya boleh datang dengan empat orang. Tapi Tian Kui Long membawa delapan pengikut. Di samping itu, untuk memperlihatkan bahwa dia ada-lah lain dari yang lain, dia datang sangat terlambat. Itulah beberapa sebab yang menerbitkan rasa men-dongkolnya banyak orang.

Sesudah memberi hormat kepada Hok Kong An, Tian Kui Long manggut-manggutkan kepalanya kepada Ciangbunjin Siauw-lim dan Bu-tong-pay. Rupanya mereka belum bersahabat. Tapi Kam-lim-hui-cit-seng Tong Pay menyambutnya dengan ha-ngat sekali. Sambil menepuk-nepuk pundak Kui Long, Tong Pay berkata: "Hiantee, aku sangat me-mikirkan kau. Aku bingung karena kau belum juga datang. Jika kau terlambat dan tidak keburu me¬ngantongi sebuah Giok-liong-pwee, mana enak aku membawa pulang cangkirku? Aku khawatir dikemudian hari kau akan meminta cangkirku. Kalau sampai kejadian begitu, aku hanya bisa menyerahkan kepada kau dengan kedua tangan." Sehabis berkata begitu, ia tertawa terbahak-ba-
hak.

Tian Kui Long turut tertawa. "Mana bisa aku menandingi Toako?" katanya. "Dengan memper-oleh perlindungan Toako, aku sudah merasa sangat girang jika bisa membawa pulang sebuah cangkir perak."
Pembicaraan itu menambah rasa mendongkol
dalam hatinya banyak orang. Meskipun kata-kata mereka sopan santun, tapi dalam kata-kata itu menggenggam arti, bahwa mereka menganggap, cangkir Giok-liong-pwee sudah berada di dalam saku. Hal ini dengan sendirinya merupakan sikap memandang rendah kepada Iain-lain Ciangbunjin. Tong Pay biasa berlaku manis terhadap semua orang. Tapi sikapnya terhadap Tian Kui Long luar biasa manis, seolah-olah mereka berdua adalah saudara-saudara angkat.

Antara orang yang naik darahnya adalah Ouw Hui sendiri. Mengingat perbuatannya Tian Kui Long yang sangat rendah terhadap Biauw Jin Hong, ia segera mengambil keputusan, bahwa andaikata si orang she Tian bisa mengantongi cangkir giok, ia akan segera turun tangan.

Waktu Tian Kui Long masuk, pertandingan terhenti untuk sementara waktu, tapi sekarang su¬dah dimulai lagi. Tian Kui Long tidak lantas turun ke gelanggang tapi duduk menonton sambil minum arak. Ia mengambil sikap acuh tak acuh, kadang-kadang tersenyum dan kadang-kadang berbisik-bi-sik dengan Tong Pay. Tapi semua orang sudah bisa menebak akal liciknya. Di luar dia mengambil sikap seperti jago jempolan yang sungkan mengadu ilmu dengan orang biasa. Tapi maksud sebenarnya, dia mau menunggu sampai yang Iain-lain lelah supaya bisa mengantongi kemenangannya dengan sekali pukul.

Sesudah menunggu beberapa lama di kursi Thay-su-ie dan belum ada orang yang menantang lagi, Liu-seng Kan-goat Tong Hway To sekonyong-ko-nyong melompat bangun dan menghampiri Tian Kui

Long. "Tian Loosu," katanya, "Aku si orang she Tong memohon pelajaran."
Semua orang terkejut. Menurut pantas, orang yang duduk di kursi Thay-su-ie yang ditantang. Tapi sekarang, ia berbalik menantang.

"Perlu apa terburu-buru?" kata Kui Longsambil tersenyum, sedang tangannya masih tetap mencekal cawan arak.

"Menurut pendapatku lebih cepat kita bertan-ding lebih baik lagi," kata Tong Hway To. "Sekarang, mumpung masih bertenaga, aku memohon pelajar¬an dari Tian Loosu. Janganlah Loosu menunggu sampai aku sudah lelah sekali."
Tong Hway To adalah seorang polos segala apa yang dipikirnya lantas saja keluar dari mulutnya. Perkataannya itu, yang melucuti topeng si orang she Tian, disambut dengan sorakan oleh sejumlah orang.

Sekarang Tian Kui Long tidak bisa menolak lagi. Ia tertawa terbahak-bahak dan berkata kepada Tong Pay: "Toako, sekarang aku terpaksa harus memperlihatkan kebodohanku."
"Aku memberi selamat kepada Hiantee dan kupercaya, begitu bergebrak, begitu kau merebut kemenangan," kata Tong Pay.

Tong Hway To menengok dan menatap wajah Tong Pay dengan mata mendelik. "Tong Loosu!" katanya dengan suara kasar. "Hok Thayswee telah menganggap kau sebagai seorang dari empat Ciang-bunjin besar dan mengundang kau datang ke sini sebagai wasit. Tapi kurasa, kenyataannya tidak se-suai dengan tugasmu."
Disemprot begitu, paras muka Tong Pay lantas

saja berubah merah. Dengan memaksakan diri un-tuk tertawa, ia berkata: "Di bagian mana yang aku berlaku kurang benar? Kuharap Tong Loosu suka memberi petunjuk."
"Sebelum aku bertempur dengan Tian Loosu, sebagai seorang wasit kau sudah mengeluarkan perkataanyang miringsebelah," jawabnya. "Orang gagah di kolong langit berkumpul di sini dan mereka semua mendengar apa yang diucapkan olehmu."
Bukan main rasa malu dan gusarnya Tong Pay. Selama beberapa tahun, jago-jago Rimba Persilat-an sangat menghormatinya dan selalu memanggil-nya dengan panggilan "Tong Tayhiap". Tak di-nyana, di hadapan orang banyak, ia telah disikat begitu pedas. Tapi ia seorang yang sangat cerdik. Biarpun gusar, ia masih bisa menahan sabar. Ia tersenyum seraya berkata: "Baiklah. Aku pun men-doakan agar Tong Loosu bisa memperoleh ke¬menangan."
Tian Kui Long melirik Tong Pay dengan sorot mata penuh arti, seolah-olah ia hendak mengata-kan, bahwa ia pasti akan menghajar yang tak tahu adat itu. Perlahan-lahan ia bertindak masuk ke dalam gelanggang dan berkata: "Tong Loosu, hayo-lah!"
Melihat Kui Long tidak membuka pakaian luar dan juga tidak membawa senjata, Tong Hway To jadi gusar. "Tian Loosu, apakah kau mau menyambut Liu-seng-tui dengan tangan kosong?" tanyanya.

Tian Kui Long adalah seorang licik yang sa¬ngat berhati-hati. Tadi, ia merasa, bahwa jika ia
bisa menjatuhkan lawannya dalam dua tiga ge-brakan, maka namanya akan naik tinggi. Tapi sekarang, melihat tubuh Tong Hway To yang kekar kokoh dan tindakannyayangsangat mantap, iaagak bersangsi. Maka itu, buru-buru ia memutar haluan dan berkata sambil tertawa: "Tong Loosu adalah seorang kenamaan dalam Rimba Persilatan. Di kalangan Kang-ouw, siapakah yang tidak mengenal ilmu Liu-seng Kan-goat. Meskipun menggunakan senjata, belum tentu aku bisa menandingi Loosu." Ia menggapai dan murid kepalanya, Co Hun Kie, segera menyerahkan se-batang pedang kepadanya.

Sambil mengibas dengan tangan kirinya, Kui Long berkata: "Hayolah!"
Melihat lawannya tidak menghunus pedang, Tong Hway To jadi makin mendongkol, tapi se¬karang, tanpa memperdulikan lagi, ia segera meng-gerakkan kedua bandringnya. Begitu digerakkan dengan mennggunakan Lweekang, rantai bandring lantas saja berdiri tegak, bagaikan toya. "Bagus!" banyak orang memuji sambil menepuk tangan.

Di lain saat, sedang bandring kiri masih berdiri tegak di tengah udara, bandring kanan sudah me¬nyambar dada Tian Kui Long. Tapi, waktu terpisah hanya setengah kaki dari dada Kui Long, bandring itu mendadak berhenti, disusul dengan bandring kiri yang menyambar kempungan. Ternyata, serangan bandring pertama hanya gertakan dan serangan yang kedua barulah serangan sesungguhnya. Itulah salah satu jurus dari ilmu bandring Liu-seng Kan-goat.

Kui Long agak terkejut sambil menggeser
kaki, ia mengangkat pedang yang masih berada dalam sarungnya untuk menangkis. Tong Hway To jadi makin gusar, karena perbuatan itu terang-terang menghina padanya. Sambil mengerahkan Lweekang, ia memutar kedua bandringnya dan me-nyerang bagaikan hujan dan angin. Kedua bandring itu menyambar-nyambar tak hentinya yang satu perlahan, yang lain cepat, yang satu serangan ger¬takan, yang lain serangan sesungguhnya, yang cepat belum tentu "berisi", yang perlahan belum tentu "kosong", kosong-kosong berisi dan berisi-berisi ko-song.

Tian Kui Long terus melayani dengan sarung pedang, dengan menggunakan pukulan-pukulan dari Thian-liong-kiam.

Sesudah bertempur tiga puluh jurus lebih, Tian Kui Long mulai dapat memahami ilmu bandring lawannya. Mendadak sarung pedangnya menyam¬bar lutut Tong Hway To. Serangan itu bukan meng¬gunakan ilmu pedang, tapi ilmu menotok lengan Poan-koan-pit. Tong Hway To kaget, buru-buru ia menarik kaki kirinya ke belakang. Kui Long segera melintangkan sarung pedang dan menyabet paha lawan. Kali ini ia menyerang dengan menggunakan ilmu silat gada. Dalam bingungnya Tong Hway To jadi nekat. Dengan sekali mengedut, bandring kiri naik ke atas dan kemudian, dengan sekali men-dorong dengan tangan kiri, bandring itu menyambar alis Tian Kui Long.

Itulah pukulan nekat yang bertujuan, biarlah celaka bersama-sama. Tian Kui Long sedikit pun tidak menduga, bahwa lawan akan bertindak begitu. Sarung pedangnya sudah hampir mengena pada

Tong Hway To, tapi bandring pun sudah dekat sekali dengan alisnya. Kalau sama-sama kena, Tong Hway To akan lumpuh satu kakinya, tapi ia sendiri akan binasa. Tapi dia sungguh lihay. Pada detik yang sangat berbahaya, ia masih keburu menyampok rantai bandring dengan sarung pedang. Sekarang, dari menyerang ia berbalik membela diri dan ke-dudukannyaberubahjelek. HampirberbarengTong Hway To mengedut Liu-seng-tui dan rantainya lan-tas saja melibat di sarung pedang. Ia membetot dan bandring kanan digunakan untuk menghantam lawan.

Semua orang mengawasi sambil menahan na-pas. Dengan senjata sudah terlibat, jika Tian Kui Long ingin menyelamatkan jiwa, tidak boleh tidak ia harus melepaskan pedangnya dan melompat mun-dur.

Tiba-tiba terdengar suara "srt!" sesosok sinar hijau berkelebat dan pedang Tian Kui Long yang sudah keluar dari sarungnya. Sekali menyambar, pergelangan tangan kanan Tong Hway To sudah terluka. Ternyata, karena sarungnya dibetot, secara kebetulan pedang itu terhunus dan Tian Kui Long yang tidak mau menyia nyiakan kesempatan baik, segera melukai lawannya. Ia maju dua tindak dan telunjuk tangan kirinya menotok tiga jalan darah di dada Tong Hway To, yang lantas saja tidak bisa bergerak lagi, sedang kedua bandringnya jatuh di lantai. Sambil tertawa Kui Long memasukkan pe¬dangnya ke dalam sarung. "Tong Loosu sudah me-ngalah!" katanya.

Meskipun menang, tapi sebab kemenangan itu diperoleh lantaran kebetulan, maka kecuali Tong

Pay dan beberapa orang lain, para hadirin tidak bersorak-sorai untuk memujinya.

Tanpa membuka jalan darah Tong Hway To, Kui Long segera duduk di kursi Thay-su-ie dan beromong-omong dengan Tong Pay sambil tertawa-tawa. Sedikit pun ia tidak menghiraukan bekas lawannya yang masih berdiri terus di tengah ge-langgang bagaikan patung. Di antara para tamu terdapat banyak ahli Tiam-hiat. Mereka merasa mendongkol akan sikap si orang she Tian, tapi mereka tahu, bahwa jika menolong Tong Hway To, mereka akan bermusuhan dengan Tian Kui Long dan Tong Pay. Si orang she Tian masih tidak apa, tapi nama Kam-lim-hui-cit-seng Tong Pay terlalu besar untuk disentuh. Maka itulah, mereka tidak berani mencari urusan.

Sekonyong-konyong di bagian barat ruangan perjamuan berdiri seorang pria yang bertubuh tinggi besar. Ia mencekal sebatang toya baja yang panjang dan besar dan dengan tindakan lebar ia mengham-piri Tian Kui Long.

"Orang she Tian!" bentaknya. "Mengapa kau membiarkan dia berdiri terus di situ?"
"Siapakah kau, Tuan?" tanya Kui Long.

"Aku Lie Teng Pa," jawabnya. "Hayo! Buka jalan darah Tong Loosu!" Suaranya keras dan nya-ring luar biasa, sehingga seluruh ruangan seolah-olah tergetar.

Mendengar nama "Lie Teng Pa", semua orang agak herna. Lie Teng Pa adalah murid kepala dari Ciangbunjin partai Ngo-tay-pay. Ia membuka se-buah piauw-kiok di Yan-an, propinsi Siam-say, dan toyanya yang diberi nama Ngo-long-kun telah men-
dapat nama besar dalam Rimba Persilatan, sedang Ngo-long Piauw-kiok sangat terkenal di tujuh pro¬pinsi Tiongkok Utara. Semua orang merasa agak heran, bahwa sebagai cong-piauw-tauw yang nama-nya kesohor, ia ternyata seorang kasar dan sem-brono.

Tian Kui Long tetap duduk di kursinya. Sebe-narnya ia sudah mendengar nama Lie Teng Pa, tapi ia berlagak pilon. "Tuan dari partai mana?" tanyanya dengan pura-pura heran.

Lie Teng Pa jadi gusar. "Apa kau belum pernah mendengar nama Ngo-tay-pay?" bentaknya.

Kui Long menggelengkan kepala. "Ngo-tay-pay?" ia menegas dengan nada mengejek. "Bukan Cit-tay, bukan Pat-tay?"
"Orang she Tian," kata pula Lie Teng Pa. "Kita sama-sama orang Rimba Persilatan. Bukalah jalan darah Tong Loosu."
"Apakah kau sahabat Tong Loosu?" tanyanya.

"Bukan," jawabnya. "Aku belum pernah me-ngenalnya. Tapi karena kau mempermainkan orang, aku merasa tak tega untuk melihatnya."
Kui Long mengerutkan alis. "Aku hanya bisa Tamhiat, guruku tidak mengajar aku membuka jalan darah yang tertotok," katanya dengan suara me-nyesal.

"Aku tidak percaya!" teriak si sembrono.

Sementara itu, Hok Kong An dan orang-orang sebawahannya menonton kejadian itu dengan ter-senyum-senyum. Mereka tahu, bahwa Tian Kui Long sedang mempermainkan bekas lawannya, tapi sesudah menonton banyak pertempuran, lelucon itu merupakan selingan yang menarik hati. Melihat
Hok Kong An tertawa-tawa, Kui Long jadi makin "mangkak". "Begini saja!" katanya. "Kau tendanglah lututnya. Sekali ditendang, jalan darahnya akan terbuka."
"Apa benar?" tanya Lie Teng Pa. "Itulah apa yang diajarkan oleh guruku, tapi aku sendiri belum pernah mencoba," jawabnya.

Si sembrono segera menghampiri Tong Hway to dan menendang salah satu lututnya. Tendangan itu tidak keras, tapi Tong Hway To roboh terguling dengan tak bisa bangun berdiri. Lie Teng Pa baru tahu, bahwa ia sudah diakali.

Hok Kong An tertawa terbahak-bahak, diturut oleh kaki tangannya. Beberapa orang gagah seb-enarnya ingin menegur Tian Kui Long untuk le-luconnya yang melewati batas, tapi melihat ke-gembiraan kawanan pembesar itu, mereka tidak berani membuka mulut.

Sekonyong-konyong, selagi suara tertawa be¬lum mereda, terdengar suara "tring!" tiga cawn arak terbang ke atas, berbentrok satu sama lain dan jatuh hancur di lantai.

Semua orang terkejut. Semua mata coba men-cari-cari orang yang melemparkan cawan-cawan itu dan kemudian mengawasi hancuran cawan di lantai. Di lain saat Tong Hway To sudah bangun berdiri dengan satu tangan mencekal sebuah cawan. "Sa-habat dari mana yang sudah menolong aku secara diam-diam?" tanyanya. "Tong Hway To tak akan melupakan budi yang besar itu." Ia memasukkan cawan itu, mengawasi Tian Kui Long dengan sorot mata gusar dan kemudian, dengan tindakan lebar ia meninggalkan ruangan perjamuan.

Sekarang semua orang mengerti, bahwa dilem-parkannya ketiga cawan itu, adalah untuk menyim-pangkan perhatian orang dan dengan berbareng, si penolong menimpuk dengan sebuah cawan lain untuk membuka jalan darah Tong Hway To.

Kecuali Tong Pay, semua orang kena dikelabui. Tanpa mengeluarkan sepatah kata Tong Pay me-nuang dua cawan arak dan dengan membawa kedua cawan itu, ia menghampiri meja Ouw Hui. "Sau-dara," katanya, "Aku belum pernah mengenal kau. Bolehkah aku mendapat tahu she dan nama saudara yang mulia. Aku merasa sangat kagum akan ilmu Kay-hiatmu."
Ouw Hui agak terkejut. Barusan, ia memberi pertolongan karena mengingat, bahwa Tong Hway To sahabat Ciong-sie Sam-hiong. Tak dinyana, tin-dakannya itu tidak terlolos dari mata Tong Pay yang sangat tajam.

Karena sungkan menarik perhatian, ia segera menjawab: "Aku yang rendah dari Hoa-kun-bun. Aku she Thia, bernama Leng Ouw. Perkataan Tong Tayhiap yang menyebut-nyebut soal Kay-hiat sung-guh tak dimengerti olehku."
Tong Pay tertawa terbahak-bahak. ^Janganlah saudara coba menyembunyikan did," katanya. "Ka-lau bukan saudara, mengapa jumlah cawan di meja ini berkurang dengan empat buah?"
Ouw Hui sekarang mengetahui, bahwa dugaan Tong Pay berdasarkan berkurangnya jumlah cawan. Ia berpaling kepada Kwee Giok Tong seraya ber-kata: "Kwee Loosu, kalau begitu kaulah yang telah menolong Tong Loosu. Aku sungguh merasa ka-gum.

Kwee Giok Tong yang bernyali kecil buru-buru berkata: "Bukan, bukan aku! Kau jangan omong sembarangan."
Tong Pay sudah mengenal Kwee Giok Tong lama dan ia tahu, bahwa orang she Kwee itu tidak mempunyai kepandaian yang begitu tinggi. Coa Wie memiliki nama besar, tapi ia pun tak akan mampu berbuat begitu. Maka itu, sambil tersenyum, ia mengangsurkan secawan arak kepada Ouw Hui seraya berkata: "Thia-heng, aku merasa syukur, bahwa hari ini kita bisa berkenalan. Ijinkanlah aku memberi hormat kepadamu dengan secawan arak." Seraya berkata begitu, ia menyentuh cawan yang dipegangnya dengan cawan Ouw Hui.

"Tring!" cawan Ouw Hui jatuh hancur dan arak membasahi dadanya. Ternyata, untuk menjajal Ouw Hui, pada waktu membenturkan cawan, ia menge-rahkan Lweekang. Tapi Ouw Hui yang cerdik sama sekali tidak melawan, sehingga Tong Pay menjadi bingung. "Maaf," katanya dan lalu kembali ke kursi-nya dengan perasaan sangsi.

Sementara itu Tian Kui Long sudah bertempur dengan Lie Teng Pa. Sekarang ia tidak berani mengunjuk lagak seperti tadi begitu bergerak, ia segera menggunakan pedang. Dengan bernafsu Lie Teng Pa menyerang dengan jurus-jurus Ngo-long Kun-hoat. Toya yang berat itu menyambar-nyambar bagaikan kilat, disertai dengan gerakan badannya yang gesit dan lincah. Semua orang menonton de¬ngan rasa kagum. Nama Cong-piauw-tauwdari Ngo-long Piauw-kiok ternyata bukan nama kosong. Tapi walaupun begitu, apa mau Tian Kui Long merupa-kan lawan yang sangat berat. Thian-liong Kiam-hoat

adalah salah satu ilmu pedang yang paling tersohor dalam Rimba Persilatan dan si orang she Tian pun memang memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Karena itu, sesudah bertempur puluhan jurus, per-lahan-lahan Tian Kui Long berada di atas angin, tapi untuk menjatuhkan lawannya dalam tempo cepat bukan pekerjaan mudah.

Mendadak selagi berkelahi hebat, Kui Long meraba pinggangnya dan menghunus sebilah golok pendek.

Begitu kena sinar lilin, golok itu berkeredepan, tiada bedanya seperti kaca atau es. Tiba-tiba Lie Teng Pa menjabat tangan toyanya, dengan meng¬gunakan pukulan To-hoan-kian-kun (Membalik la-ngit dan bumi). Kui Long mengibas dengan pe-dangnya dan Lie Teng Pa buru-buru menukar pu¬kulan dan menyodok dengan jurus Ceng-liong-cut-tong (Naga hijau keluar dari gua). Pukulan itu adalah salah satu jurus terhebat dari Ngo-long Kun-hoat yang harus digunakan oleh seorang bertenaga besar. Tapi Tian Kui Long tidak melompat atau berkelit. Toya yang menyambar dipapaki olehnya dengan golok pendek. "Trang!" toya baja yang besar itu kutung dua! Hampir berbareng, dia mendesak dan pedangnya menggores pergelangan tangan la-wan dan memutuskan urat-uratnya.

Sambil mengeluarkan teriakan keras, Lie Teng Pa melemparkan toyanya. Satu tangannya tak dapat digunakan lagi untuk selama-lamanya. Seumur hi-dupnya, ia hanya mempelajari ilmu silat toya Ngo-long-kun yang harus menggunakan kedua tangan. Rusaknya satu tangan berarti ia tidak bisa meng¬gunakan lagi toya. Pada detik itu, ia ingat, bahwa
nama besarnya yang telah didapat dengan susah payah sudah hancur dalam sekejap mata dan per-usahaan piauw-kioknya harus segera ditutup. Da¬lam tahun-tahun yang lalu, karena gampang men-dapat uang, ia hidup royal dan tak punya simpanan. Sekarang, secara mendadak, keluarganya mengha-dapi bahaya kelaparan. Ia pun ingat, bahwa karena beradat berangasan. Tapi sekarang, bagaimana ia bisa menghadapi musuh-musuh itu?
Ia seorang jujur dan polos. Pada detik itu, ia merasa, bahwa kebinasaan ada lebih baik daripada hidup terus untuk menerima hinaan. Ia jadi nekat. Dengan tangan kirinya ia mengambil potongan toya dan lalu menghantam batok kepalanya sendiri se-kuat-kuatnya. Demikianlah seorang gagah berpu-lang ke alam baka dalam keadaan yang menyedih-kan.

Para hadirin mengeluarkan seruan tertahan -dengan serentak mereka berbangkit. Barusan, ke-tika Lie Teng Pa mengambil potongan toya, semua orang menduga ia ingin bertempur lagi dengan mati-matian. Kenekatan Lie Teng Pa benar-benar di luar dugaan.

Sementara itu An Teetok segera memerintah-kan orang menyingkirkan mayat Lie Teng Pa.

Perbuatan Tian Kui Long menggusarkan ba-nyak orang. Jika Lie Teng Pa binasa dalam per-tempuran, tak seorang pun yang bisa merasa kurang senang. Tapi kekejaman Tian Kui Long terhadap Tian Kui Long terhadap lawan yang sudah kalah, adalah perbuatan yang keterlaluan.

Tiba-tiba di sudut tenggara ruangan itu berdiri seorang. "Tian Loosu!" teriaknya. "Sesudah me-
mutuskan toya, kau sudah mendapat kemenangan. Mengapa kau memotongjuga urat-urat pergelang-an tangan Lie Loosu?"
"Senjata tak ada matanya," jawab Tian Kui Long dengan suara tawar. "Kalau ilmu silatku kurang tinggi, bukankah aku pun bisa dihajar mampus dengan toyanya?"
Orang itu mengeluarkan suara di hidung. "De¬ngan lain perkataan, kau ingin mengatakan, bahwa ilmu silatmu tinggi sekali, bukan?" tanyanya.

"Bukan begitu," jawab Kui Long. "Kalau sau-dara merasa kurang senang, aku bersedia melayani saudara dalam gelanggang."
"Baiklah," kata orang itu.

Tanpa memperkenalkan diri, orang itu yang bersenjata pedang lantas saja menyerang dengan sengit. Tian Kui Long melayani dengan pedang dan golok mustika dan baru saja pertempuran berjalan tujuh delapan jurus, dengan satu suara "trang!" pedang orang itu terpapas putus dan dadanya ter-luka ditusuk pedang.

Dengan beruntun beberapa orang lain, yang naik darah, menantang Tian Kui Long. Mereka bukan ingin merebut cangkir, tapi mau menghajar si orang she tian. Tapi, apa mau dikata, golok mustika Kui Long terlalu hebat. Senjata apa pun jua, begitu tersentauh begitu putus. Beberapa sen¬jata berat, seperti roda Ngo-heng-lun dan Tok Kak Tong-jin (anak-anakan tembaga kaki satu), tidak terkeeuali.

"Tian Loosu," kata seorang. "Ilmu silatmu biasa saja dan kau memperoleh kemenangan dengan ha-nya mengandalkan golok mustika. Enghiong apa
kau? Jika kau mempunyai nyali, mari kita mengadu kepandaian dengan tangan kosong."
Tapi Tian Kui Long tidak kena "dibakar". la tertawa seraya berkata: "Golok ini adalah mustika turunan dari Thian-liong-bun. Hari ini Hok Thay-swee mengadakan pertemuan antara para Ciang-bunjin untuk mengukur tinggi rendahnya kepan¬daian mereka. Sebagai ciangbunjin Thian-liong-bun, jika tidak menggunakan golok ini, senjata apa yang harus digunakan olehku?"
Makin diejek, ia makin telengas. Goloknya me-mutuskan senjata, pedangnya melukai belasan orang telah dirobohkan dengan mendapat luka berat. Se-sudah itu, tak ada lagi yang berani maju, karena meskipun beberapa orang tidak takut akan ilmu silatnya, mereka merasa jeri terhadap golok yang luar biasa itu.

Melihat tak ada orang yang berani menantang lagi, Tong Pay tertawa terbahak-bahak. "Hiantee," katanya. "Hari ini kau telah mengangkat naik nama Thian-liong-bun dan sebagai kakak, aku turut me¬rasa girang. Mari, mari, aku memberi selamat de¬ngan secawan arak."
Ouw Hui melirik Leng So yang segera memberi isyarat dengan menggelengkan kepala. Si nona juga merasa sangat mendongkol terhadap Tian Kui Long. Tapi sebab adanya beberapa pertimbangan, ia mela-rang kakaknya turun tangan. Pertama, mereka tidak dapat membuka rahasia sendiri. Tadi, pada waktu Ouw Hui menolong Tong Hway To, hampir-hampir topeng mereka terlucut. Kedua golok Tian Kui Long memang benar-benar lihay. Jika Ouw Hui turun tangan, sebelum mengadu kepandaian, dalam
hal senjata, ia sudah jatuh di bawah angin. Sambil mengawasi orang she Tian, Ouw Hui berkata di dalam hati: "Hari itu waktu menyerang Biauw Jin Hong, mengapa dia tidak membawa golok mustika itu? Kalau dia menggunakan golok tersebut mung-kin sekali jiwaku sudah melayang."
Sementara itu, dengan muka berseri-seri, Kui Long mengangkat cawan arak. Tapi sebelum cawan menempel pada bibirnya tiba-tiba terdengar suara "srt!" dan sebutir Tiat-poo-tee menyambar cawan itu.

Si orang she Tian bersikap acuh tak acuh -cawan terus diangkat ke bibirnya.

"Suhu, hati-hati!" teriak Co Hun Kie.

Pada detik senjata rahasia itu hampir menyen-tuh cawan bagaikan kilat dia menyentil dengan jart tangannya, sehingga Tiat-poo-tee terpental ke luar pintu. Melihat kelihayan itu, tanpa merasa bebe¬rapa orang berteriak. "Bagus!"
Apa mau, dari luar bertindak masuk seorang dan senjata rahasia itu menyambar dadanya. Seraya menyentil dengan jari tangannya, orang itu berseru: "Hei! Apa ini caranya orang menyambut tamu?"
Sentilan itu mengejutkan semua orang, sebab Tiat-poo-tee menyambar balik ke arah Tian Kui Long dengan suara nyaring dan tajam suatu bukti, bahwa kepandaian orang itu banyak lebih tinggi daripada kepandaian si orang she Tian.

Dalam kagetnya Tian Kui Long tidak berani menyambuti senjata rahasia itu dan lalu mengegos ke kanan. Apa lacur, di belakangnya berdiri seorang Wie-su, yang sebab sudah tidak keburu berkelit lagi, buru-buru mengangkat tangannya untuk menang-
kap senjata rahasia itu. Hampir berbareng dcngan saura "tak", ia berteriak kesakitan, karena tulang pergelangan tangannya patah.

Semua orang terkesiap karena mematahkan tulang dengan sebutir Tiat-poo-tee yang begitu kecil adalah kepandaian yang sungguh hebat. Ham¬pir berbareng semua mata mengawasi orang itu. Dia bertubuh jangkung kurus, di pundaknya tergantung sebuah kantong obat-obatan, jubah panjangnya yang berwarna hijau sudah banyak luntur sebab terlalu sering dicuci, sedang kedua kakinya menyeret se-pasang sepatu kulit tua yang penuh lumpur. Dilihat dari dandanannya, ia menyerupai seorang tabib kelas rendah yang banyak terdapat di pasar-pasar. Apa yang luar biasa adalah sepasang matanya yang besar dan bersinar tajam, alisnya yang tebal, hi-dungnya yang besar, mulut dan kupingnya yang besar pula. Itulah muka, yang sekali lihat, tak dapat dilupakan lagi. Dengan rambut yang berwarna abu-abu, paling sedikit ia sudah berusia lima puluh tahun. Tapi kulit mukanya licin dan berisi, seperti juga kulit seorang kanak-kanak. Di belakangnya mengikuti dua orang mungkin murid atau pelayan-
nya.

Ouw Hui dan Leng So juga turut mengawasi orang jangkung itu. Tapi yang mengejutkan mereka adalah kedua orang yang mengikuti di belakang si jangkung, karena yang satu seorang sasterawan tua bukan lain daripada Boh-yong Keng Gak, Toasuheng Leng So, sedang yang lain seorang wanita bongkok yang kakinya pincang adalah Sie Kiauw, Sam-suci nona Thia.

Dengan rasa heran Ouw Hui melirik adik ang-
katnya. "Mengapa kedua musuh besar itu datang bersama-sama?" tanyanya di dalam hati. "Ke mana perginya Kiang Tiat san, suami Sie Kiauw? Siapa orang jangkung itu?" Leng So pun tidak kurang herannya. Ia balas melirik kakaknya sambil meng-gelengkan kepala.

Mendadak terdengar teriakan kesakitan yang menyayat hati dan Wie-su yang tulangnya patah bergulingan di lantai sambil mencekal tangannya. Semua orang merasa heran, sebab seorang Wie-su dari Hok Thayswee mestinya jago pilihan, sehingga tak bisa jadi ia berteriak-teriak begitu rupa hanya karena tulangnya patah. Di lain saat, mereka men-dapat kenyataan bahwa tangan yang tulangnya pa¬tah itu berwarna hitam dan sekarang mereka me-ngerti, bahwa Wie-su tersebut sudah kena senjata beracun.

Wie-su itu orang sebawahan Ciu Tiat Ciauw yang tentu saja turut merasa malu. Sambil me-ngerutkan alis, ia membentak: "Bangun!"
"Baik, baik," jawab Wie-su itu dengan ketakut-an. Ia berusaha untuk berbangkit, tapi mendadak ia terhuyung dan roboh dalam keadaan pingsan.

Tiat Ciauw kaget dan lalu mengambil sepasang sumpit yang segera digunakan untuk mengambil senjata rahasia itu. Pada Tiat-poo-tee itu ternyata terukir satu huruf "Kwa" dan paras muka Tiat ciauw lantas saja berubah. "Kwa Cu Yong Kwa Sam-ya dari Lan-ciu!" teriaknya dengan nyaring. "Makin lama kau maju makin pesat. Sekarang kau menaruh racun lihay pada Tiat-poo-teemu!"
Hampir berbareng, seorang pria yang bertubuh tinggi besar dan bermuka bopeng berbangkit dari
salah sebuah meja. "Ciu Looya, janganlah kau me-nyembur orang dengan darah," katanya dengan sua-ra mendongkol. "Tiat-poo-tee itu memang benar milikku. Aku hanya ingin menghancurkan cawan arak yang dipegang oleh manusia sombong. Dari satu turunan ke lain turunan, leluhur kami selalu melarang anak cucunya menggunakan senjata be-racun. Biarpun bukan seorang berbakti, Kwa Cu Yong pasti tak berani melanggar peraturan leluhur-ku."
Cu Tiat Ciauw adalah seorang yang berpeng-alaman luas dan ia tahu, bahwa leluhur keluarga Kwa, yang tersohor dalam menggunakan tujuh ma-cam senjata rahasia, selalu melarang anak cucunya menggunakan racun. Sesudah berpikir sejenak, ia berkata: "Sungguh mengherankan!"
"Coba aku periksa," kata Kwa Cu Yong yang lantas saja bertindak ke tengah ruangan dan meng-ambil Tiat-poo-tee yang menggeletak di lantai. "Be¬nar, memang benar senjata rahasiaku," katanya. Tapi mengapa ada racunnya...? Aduh...!" Seko-nyong-konyong ia berteriak sambil melontarkan Tiat-poo-tee itu dan mengibas-ibaskan tangan ka-nannya, seperti juga tangan itu menyentuh bara. Paras mukanya berubah pucat dan ia mengangkat tangannya untuk mengisap jerijinya.

"Jangan!" teriak Tiat Ciauw seraya menghantam lengan Kwa Cu Yong. Sesaat itu, jempol dan te-lunjuk Kwa Cu Yong sudah bengkak dan warnanya hitam, sedang badannya bergemetaran dan keringat sebesar-besar kacang hijau keluar dari dahinya.

Selagi orang kebingungan, si jangkung mene-ngok kepada Boh-yong Keng Gak dan berkata:
"Obati mereka."
Keng Gak mengangguk dan mengeluarkan ko-yo yang lalu ditempelkan pada tangan Kwa Cu Yong dan Wie-su yang patah tulang. Sesaat kemudian, Kwa Cu Yong sudah tidak bergemetaran lagi, se¬dang si Wie-su pun lantas saja tersadar. Sekarang baru orang tahu, bahwa yang menaruh racun pada Tiat-poo-tee adalah si jangkung. Bahwa racun itu dapat ditaruh selagi dia menyentil Tiat-poo-tee, benar-benar merupakan serupa kepandaian yang luar biasa. Karena itu, dalam hati beberapa orang lantas saja muncul satu pertanyaan: "Apakah dia Tok-chiu Yo-ong, si raja racun?"
Sementara itu, Ciu Tiat Ciauw sudah meng-hampiri si jangkung dan bertanya sambil merangkap kedua tangannya: "Bolehkah aku mendapat tahu she dan nama tuan yang mulia?"
Dia tidak menjawab dan hanya tersenyum.

"Aku yang rendah Boh-yong Keng Gak," kata Keng Gak. "Ini isteriku, Sie Kiauw." Ia berhenti sejenak dan kemudian berkata pula: "Ini guru kami, Cio Sinshe, yang dalam kalangan Kang-ouw dijuluki sebagai Tok-chiu Yo-ong."
Semua orang terkejut. Sudah lama mereka men-dengar, bahwa Tok-chiu Yo-ong adalah ahli racun pada jaman itu. Tapi yang paling kaget adalah Leng So dan Ouw Hui, lebih-lebih nona Thia yang ka-getnya tercampur juga dengan rasa gusar. Siapa adanya manusia itu yang berani menggunakan nama mendiang gurunya? Lebih celaka lagi, pengakuan itu diberikan oleh kakak seperguruannya sendiri. Lain halnya yang sangat mengherankan ialah soal Sie Kiauw. Samsuci itu adalah isteri Kian Tiat San,
Jie-suhengnya dan dari pernikahan itu mereka men-dapat seorang putera yang sekarang sudah dewasa. Mengapa Boh-yong Keng Gak memperkenalkan Sie Kiauw sebagai "isteriku"? Leng So adalah se¬orang cerdas yang sangat berhati-hati. la mengerti, bahwa peristiwa ini pasti mempunyai latar belakang yang luar biasa. Maka itu, ia tidak mengeluarkan sepatah kata dan hanya memperhatikan perkem-bangan yang selanjutnya.

Walaupun seorang jago, mendengar nama "Tok-chiu Yo-ong", paras muka Ciu Tiat Ciauw lantas saja berubah. Sambil membungkuk, ia ber-kata: "Sudah lama aku mendengar nama tuan yang besar."
Chio Sinshe tertawa, ia mengangsurkan tangan-nya seraya berkata: "Tuan she apa? Boleh aku mendapat tahu nama tuan yang besar?"
Ciu Tiat Ciauw mundur setindak. "Aku yang rendah Ciu Tiat Ciauw," jawabnya sambil merang-kap kedua tangannya. Biarpun bernyali besar, ia tidak berani menjabat tangan Tok-chiu Yo-ong.

Cio Sinshe tertawa terbahak-bahak. Ia lalu meng-hampiri Hok Kong An dan menyoja seraya mem¬bungkuk. "Orang dari pegunungan menghadap ke-pada Thayswee," katanya.

Melihat lihaynya orang itu dan sesudah me-ngetahui asal-usul Tok-chiu Yo-ong dari seorang Wie-su, buru-buru Hok Kong An berbangkit dan membalas hormat, seraya berkata sambil tersenyum. "Cio Sinshe, duduklah."
Bersama Boh-yong Keng Gak dan Sie Kiauw, dia segera duduk pada sebuah meja kosong. Begitu mereka duduk, jago-jago pada meja-meja di se-
kitarnya dan sambil berdiri di tempat yang jauhnya kira-kira lima kaki dari meja Cio Sinshe ia men-jelaskan pertaruan pie-bu (adu silat) dan perebutan cangkir yang dihadiahkan kaisar. Begitu selesai memberi keterangan, cepat-cepat ia bertindak mun¬dur.

"Boleh aku tanya she tuan yang mulia?" tanya Cio Sinshe.

"She Pa," jawabnya.

"Pa Looya," kata pula Cio Sinshe, "Mengapa kau begitu takut terhadapku? Loohu bergelar Tok-chiu Yo-ong dan di samping menggunakan racun, loohu juga pandai mengobati penyakit. Kulihat pada muka Pa Looya terdapat sinar hijau, suatu tanda, bahwa dalam perutmu mengeram beberapa ekor kelabang. Jika tidak cepat-cepat diobati, aku khawatir dalam tempo sepuluh hari Pa Looya akan berpulang ke alam baka."
Perwira itu kaget tak kepalang. "Mana bisa jadi?" katanya dengan suara sangsi.

"Apakah belakangan ini Pa Looya pernah ber-selisih atau bertempur?" tanya Cio Sinshe.

Bahwa seorang perwira di kota raja sering ber-cekcok atau berkelahi, adalah kejadian yang sangat lumrah. Maka itu, ia lantas saja menjawab dengan suara kaget: "Benar...! Apa... apakah bangsat anjing itu yang sudah turunkan tangan jahat terhadapku?"
Cio Sinshe segera mengeluarkan dua butir yo-wan hijau dari sakunya. "Kalau Pa Looya percaya, telanlah pel ini," katanya.

Perwira itu bangun bulu romanya dan sesaat itu juga ia merasa beberapa kelabang sedang bergerak-getak di dalam perutnya. Tanpa memikir panjang-
panjang lagi, ia segera menyambuti kedua yo-wan itu yang lalu ditelan dengan bantuan arak. Selang beberapa saat, perutnya sakit, ulu hatinya mual dan ia muntah-muntah.

Cio Sinshe mendekati dan mengurut-urut dada-nya. "Muntahkan semua!" bentaknya.

Perwira itu muntah lagi. Tiba-tiba ia melihat tiga ekor binatang kecil bergerak-gerak di antara sisa makanan. Binatang itu, yang kepalanya merah dan badannya hitam, memang bukan lain daripada kelabang! Dia terkesiap, hampir-hampir dia ping-san. Ia segera menekuk kedua lututnya dan meng-haturkan terima kasih untuk pertolongan Tok-chiu Yo-ong.

Beberapa pelayan segera membersihkan bekas muntahan itu. Hampir semua orang merasa kagum, tapi ada juga yang tidak percaya, antaranya Ouw Hui sendiri. "Jangankan kelabang yang kecil, sedang ular pun aku dapat mengeluarkan dari perutmu," bisik Leng So.

"Bagaimana?" tanya Ouw Hui. "Selagi memberi-kan pel muntah, aku sudah menyediakan binatang itu dalam tangan baju," jawabnya.

"Benar! Kau sungguh pintar," memuji sang ka-kak.

Leng So tersenyum. "Dia sengaja mengurut-urut dada penvira itu supaya orang percaya kepada-nya," kata nona Thia.

"Tapi kepandaian orang itu memang sangat tinggi," kata Ouw Hui. "Sebenarnya ia tak usah mengeluarkan permainan sulap itu."
"Toako," bisik Leng So dengan suara hampir tidak kedengaran, dalam ruangan ini, yang paling
disegani olehku adalah orang itu. Kau harus sangat berhati-hati."
Semenjak mengenal Leng So, Ouw Hui telah menyaksikan, bahwa nona itu pintar dan tabah dan belum pernah ia mendengar perkataan "takut" ke-luar dari mulutnya. Sekarang, dengan mengatakan begitu, si adik menunjukkan bahwa manusia yang menyamar sebagai Tok-chiu Yo-ong itu benar-be-nar tidak boleh dibuat gegabah.

Sementara itu, Cio Sinshe tertawa dan berkata: "Biarpun mempunyai beberapa murid, aku belum pernah mendirikan partai apa pun jua. Hari ini, dengan belajar dari para Cianpwee, biarlah aku membentuk sebuah partai yang diberi nama Yo-ong-bun. Jika bisa memperoleh sebuah cangkir pe-rak, aku dan murid-muridku sudah merasa berun-tung sekali." Sedang mulutnya berkata begitu, kaki-nya menghampiri kursi Thay-su-ie dan ia lalu duduk di samping Tian Kui Long. Dengan demikian, te-rang-terang ia menunjukkan bahwa tujuannya bu¬kan cangkir perak, tapi cangkir giok dan ia sendiri ingin berdiri di antara delapan Ciangbunjin yang terutama.

Dengan nama Tok-chiu Yo-ong yang sudah tersohor selama puluhan tahun dan dengan ke¬pandaian yang tadi diperlihatkannya, tak seorang pun di antara para hadirin yang berani menantang-nya.

Untuk beberapa saat, ruangan yang besar itu sunyi senyap. Tiba-tiba Tay-tie Siansu, Ciangbunjin Siauw-Iim-pay, menengok seraya bertanya: "Cio Sinshe, pernah apa antara kau dengan Bu-tin Hwee-

"Bu-tin?" menegas Cio Sinshe. "Tidak, aku tidak mengenalnya."
Tay-tie Siansu merangkap kedua tangannya dan memuji: "Omitohud!"
"Apa?" tanya Cio Sinshe.

"Omitohud!" kata pula Tay-tie.

Semenjak ketiga orang itu masuk, setiap gerak-gerik mereka tidak terlepas dari incaran mata Leng So. Sesaat itu, Boh-yong Keng Gak perlahan-lahan memutar kepalanya dan saling mengawasi dengan Tian Kui Long. Paras muka mereka tidak me-nunjukkan perasaan apa pun juga dan mereka ber-sikap seperti belum pernah bertemu satu sama lain. Tapi Leng So lantas saja dapat menebak rahasia mereka. "Hm! Mereka berpura-pura, tapi sebenar-nya mereka sudah mengenal satu sama Iain," kata-nya di dalam hati. "Tian Kui Long sudah tahu nama guruku. la sudah tahu, bahwa Bu-tin Taysu ialah Tok-chiu Yo-ong. Pendeta Siauw-lim itu juga rupa-nya sudah tahu hal tersebut." Tiba-tiba ia ingat serupa hal lain dan berkata pula di dalam hatinya: "Toan-chung-co yang digunakan Tian Kui Long untuk membutakan mata Biauw Jin Hong, tak salah lagi didapat dari Toasuko."
Sementara itu, di dalam gelanggang, pertem-puran sudah dilangsungkan pula untuk merebut Giok-liong-pwee yang terakhir. Pertandingan ber-jalan tenang-tenang saja yang satu roboh, yang lain menggantikan dan begitu seterusnya. Sesudah lewat beberapa lama, kentongan berbunyi empat kali, sebagai tanda, bahwa waktu itu sudah lewat tengah malam. Tadi, dalam gelanggang bertempur dua pasang lawan, tapi sekarang hanya ketinggalan
dua orang saja yang kelihatannya merupakan lawan setimpal.

Mereka itu serang menyerang dengan meng-gunakan Lweekang yang sangat tinggi dan apa yang diperlihatkan adalah ilmu silat kelas satu. Tapi di mata Hok Kong An yang sudah lelah dan ngantuk, pertandingan yang berlaru-larut itu sangat menye-balkan. Sesudah berbangkis beberapa kali, ia ber¬kata dengan suara perlahan: "Sungguh menyebal-kan!"
Di luar dugaan perkataan itu yang diucapkan separuh berbisik, telah didengar oleh kedua orang yang sedang bertempur. Paras muka mereka lantas saja berubah dan dengan berbareng, mereka me-lompat mundur. "Kita bukan sedang mempertun-jukkan lelucon kera dan kita tidak perlu dipuji orang, bukan?" kata yang satu.

"Benar! Lebih baik kita pulang dan menggen-dong anak," jawab yang lain.

Mereka tertawa berkakakan dan sambil bergan-dengan tangan, mereka berjalan ke luar dari ruang-an itu.

Ouw Hui manggut-manggutkan kepalanya. "Me¬reka berkepandaian sangat tinggi dan berpeman-dangan luas sekali," pikirnya. "Hanya sayang, aku tidak tahu nama mereka." Ia menanya Kwee Giok Tong, tapi si orang she Kwee pun tidak mengenal mereka. "Pada waktu mereka datang, An Teetok telah menanyakan nama dan partai mereka, tapi mereka hanya menjawab dengan tertawa," mene-rangkan si tua.

Ouw Hui menghela napas ia merasa kagum akan kedua orang itu, yang seperti naga, kelihatan
kepalanya tak memperlihatkan buntutnya.

Selagi ia bicara dengan Kwee Giok Tong, tiba-tiba Leng So menyentuh sikutnya. Ia mengangkat kepala dan segera mendengar seruan seorang per-wira: "Inilah Hong Jin Eng Loosu, Ciangbunjin dari Ngo-houw-bun!"
Hampir berbarcng, sambil mencekal scbatang toya tcmbaga, Hong Jin Eng menghampiri kursi Thay-su-ie yang masih kosong dan lalu menduduki nya. "Siapa yang ingin memberi pelajaran kepada-ku?" ia menantang.

Ouw Hui jadi girang. Akhirnya, kesempatan yang ditunggu-tunggu sudah tiba. Tapi ia merasa agak heran, karen,! ia tahu bahwa ilmu silat si orang she Hong belum mencapai tingkat kelas satu. "Cara bagaimana dia bcrani coba-coba merebut Giok-liong-pwec?" tanyanya di dalam hati. Ia segera meng-ambil keputusan untuk lebih dulu mempermainkan musuhnya dan kemudian barulah mengambil jiwa manusia kejam itu.

Dengan beruntun Hong Jin Eng sudah mero-bohkan tiga lawan. Kegirangannya meluap-luap -paras mukanya berseri-seri. Di lain saat, lawan keempat yang bersenjatakan golok, maju menan¬tang. Orang itu berkepandaian tinggi dan baru saja mereka bertempur tiga jurus, Ouw Hui sudah ber-kata: "Si orang she Hong bukan tandingannya."
Benar saja. baru saja lewat beberapa jurus lagi, sambil menggcram berulang-ulang. Hong Jin Eng berkelit kian KC mari untuk meloloskan diri dari serangan-serangan yang dahsyat. Tapi orang itu, tidak bermaksud jahat. Ia hanya mendesak supaya si orang she Hong menyerah kalah. Beberapa kali

ia mendapat kesempatan baik, tapi ia tidak me-ngirim jurus yang membinasakan. Sekarang Hong Jin Eng menukar siasat. Ia main mundur dan tidak mau mengaku kalah. Tiba-tiba ia mc^yapu dengan toyanya dan lawannya segera menunduk, sehingga toya lewat di atas kepalanya. Baru saja orang yang bersenjata golok itu mau balas menyerang, seko-nyong-konyong ia berteriak "aduh!" dan bergu-lingan di lantai. Dengan cepat ia melompat bangun, tapi begitu lekas menginjak lantai, kaki kanannya lemas dan ia roboh kembali. "Manusia tak mengenal malu! Kau menggunakan senjata rahasia!" bentak-nya dengan gusar.

Hong Jin Eng tertawa gelak. "Dalam peraturan pertempuran sama sekali tidak dilarang orang menggunakan senjata rahasia," katanya. "Sesudah masuk dalam gelanggang, orang masuk dalam ge-langgang, orang boleh menggunakan senjata apa pun."
Orang yang bersenjata golok itu segera meng-gulung kaki celananya dan melihat, bahwa di lutut-nya di jalan darah Tok-pit-hiat, tertancap sebatang jarum perak yang panjangnya kira-kira dua dim. Tok-pit-hiat terletak di sambungan antara tulang paha dan tulang betis, sehingga jika jalan darah itu terluka atau tertotok, kaki tidak dapat digunakan lagi. Semua orang merasa heran, sebab pada saat terlukanya orang itu, Hong Jin Eng yang sedang repot tdak akan bisa menggunakan senjata rahasia dan dia pun tidak pernah mengayun tangannya dalam gerakan melepaskan jarum perak itu. Cara bagaimana ia melepaskannya?
Sesudah orang yang bersenjata golok mundur,
seorang lain yang bersenjata cambuk besi maju menantang. Begitu berhadapan, ia segera menye-rang bagaikan hujan dan angin jurus yang satu lebih hebat dari jurus yang lain dan sedikit pun ia tidak mau memberi kesempatan kepada si orang she Hong. Ia tahu, bahwa ilmu silat Hong Jin Eng tidak seberapa tinggi dan yang harus dijaga adalah jarum perak itu yang entah dari mana datangnya. Maka itu, ia menyerang sehebat-hebatnya supaya Hong Jin Eng tidak sempat melepaskan senjata rahasia. Tapi sungguh di luar dugaan, baru saja bertempur dua puluh jurus lebih, tiba-tiba ia mengeluarkan teriakan kesakitan dan lalu melompat mundur. Dari kempungannya ia mencabut sebatang jarum perak dan dari lubang luka mulai keluar darah.

Keheranan orang makin bertambah. Cara Hong Jin Eng melepaskan senjata rahasia belum pernah dilihat atau didengar mereka. Memang mungkin dan dibantu oleh seorang kawannya secara diam-diam. Tapi, jika begitu, di bawah sorotan begitu banyak mata dari ahli-ahli silat ternama, bantuan itu sudah pasti dilihat orang. Kenyataannya ialah: Tak seorang pun melihat dari mana datangnya sen¬jata rahasia itu. Dari mana? Itulah pertanyaan yang tak dapat dijawab oleh segenap hadirin.

Beberapa orang yang merasa sangat penasaran dengan beruntun turun ke dalam gelanggang. Salah seorang, yang terlalu memusatkan perhatiannya ke¬pada jarum aneh itu, sudah terpukul toya Hong Jin Eng, sedang tiga orang lainnya dilukai dengan Bu-eng Gin-ciam (jarum perak yang tidak ada ba-yangannya).

Seluruh ruangan gempar. Semua orang saling
mengutarakan pendapat yang berbeda-beda. An¬tara mereka, Ouw Huilah yang paling bingung. "Dari mana dia belajar ilmu yang luar biasa itu? Bagaimana aku dapat membereskannya?" tanyanya di dalam hati.

Ouw Hui dan Leng So adalah orang-orangyang berotak cerdas dan bermata sangat tajam, tapi biar-pun mengawasi dengan sepenuh perhatian, mereka masih juga belum bisa memecahkan teka-teki itu. Tadi, Ouw Hui sudah menghitung-hitung untuk membinasakan manusia kejam itu pada waktu dia sedang tergirang-girang karena kemenangan-keme-nangan. Tapi sekarang, ia bersangsi untuk turun tangan. Ia mngerti, bahwa jika gagal, bukan saja ia akan mendapat hinaan, tapi jiwanya pun akan turut melayang.

Leng So ternyata bersamaan pendapat. Sambil menggelengkan kepala, ia berkata: "Sudahlah. Biar kita lepaskan saja Giok-liong-pwee itu."
Ouw Hui menengok kepada Coa wie dan Kie Siauw Hong seraya berkata: "Ilmu silat Hong Loosu tidak seberapa tinggi, hanya...."
"Benar," memutus Kie Siauw Hong, "Jarum yang dilepaskannya aneh sekali, dia seperti meng-gunakan ilmu siluman."
"Ya," menyambung Coa Wie. "Orang baru bisa melawan dia jika memakai topi tembaga dan me-ngenakan pakaian perang yang terbuat daripada besi."
Ia mengatakan begitu sebenarnya hanya untuk berguyon-guyon. Tapi di luar dugaan, di antara para perwira benar-benar ada seorang yang merasa sa¬ngat penasaran dan segera memerintahkan orang
sebawahannya mengambil pakaian perang. Sesudah mengenakan pakaian itu, dengan tangan mencekal sebuah kapak besar, ia masuk ke dalam gelanggang dan lalu menantang Hong Jin Eng.

Perwira itu yang bernama Bok Bun Cay adalah seorang panglima ternama dalam angkatan perang kerajaan Ceng dan pada waktu mengikut Hok Kong An menyerang Ceng-hay, ia telah membuat banyak pahala besar. Sekarang ia berdiri di tengah ge¬langgang dengan sikap angker dan mendapat te-pukan tangan riuh rendah dari para hadirin. Untuk menambah semangatnya, Hok Kong An sendiri memberi selamat kepadanya dengan secawan arak.

Begitu bergebrak, bentrokan senjata mereka seolah-olah menggetarkan seluruh ruangan. Kedua senjata berat itu menyambarnyambar dengan dah-syatnya, sehingga lilin berkedip-kedip, sebentar te-rang, sebentar gelap. Karena mengenakan pakaian yang sangat berat, gerakan Bok Bun Cay tidak segesit Hong Jin Eng. Tapi Hong Jin Eng sendiri merasa jeri akan tenaga panglima itu yang besar luar biasa. Seiagi mereka bertempur, Ciu Tiatciauw, Can Tiat Yo, Ong Kiam Eng dan Ong Kiam Kiat berdiri di seputar Hok Kong An, sebab mereka khawatir kalau-kalau salah sebuah senjata terlepas dan melukai majikan mereka.

Sesudah bertempur dua puluh jurus lebih, tiba-tiba Hong Jin Eng meyabet kepaia Bok Bun Cay dengan toyanya. Perwira itu menunduk dan balas menghantam kaki kanan lawannya. Mendadak ter-dengar salu suara "tak", disusul dengan seruan ter-tahan dari para hadirin. Di lain saat, kedua lawan itu melompat mundur dengan berbareng.

Apa yang sudah terjadi?
Di atas lantai menggeletak sebuah bola merah yang terbuat daripada benang wol dan pada bola itu tertancap sebatang jarum perak-bola benang wol itu adalah perhiasan di atas topi tembaga Bok Bun Cay. Rupanya, Hong Jin Eng melepaskan jarum pada waktu panglima itu menyabet kakinya.

Rasa kagum orang jadi semakin besar. Bola wol itu dilekatkan ke topi tembaga dengan mengguna-kan sebatang kawat halus. Bahwa Hong Jin Eng dapat memutuskan kawat itu, biarpun dari jarak yang sangat dekat, benar-benar merupakan kepan-daian yang sangat langka dalam Rimba Persilatan.

Sesudah hilang kagetnya, Bok Bun Cay mem-bungkuk sambil merangkap kedua tangannya. "Te-rima kasih atas belas kasihan Hong Loosu," katanya.

Hong Jin Eng membalas hormat. "Ilmu silat siauwjin (aku yang rendah) kalah jauh jika diban-dingkan dengan kcpandaian Bok Tayjin," katanya. "Dalam medan perang, ilmu melepaskan senjata rahasia tiada gunanya. Kalau kita bertanding de¬ngan menunggang kuda, siang-siang aku sudah binasa."
Mendengar perkataan Hong Jin Eng yang so-pan santun dan tidak bt rsikap sombong (erhadap jendralnya yang telah dipecundangi, Hok Kong an merasa senang sekali. "Hong Loosu memiliki ke-pandaian yang sang! tinggi," ia memuji dan sambil •Tienyerahkan pit-yan-hu (pipa) yang terbuat dari¬pada giok kepada Ciu Tiat Ciauw, ia berkata pula: Aku menghadiahkan ini kepada Hong Loosu."
Hong Jin Eng girang tak kepalang dan ia meng-naturkan terima kasih berulang-ulang.


Sesudah Bok Bun Cay mengundurkan diri dan selagi para hadirin ramai membicarakan pertan-dingan-pertandingan yang terjadi barusan, tiba-tiba salah seorang berbangkit dan berkata dengan suara nyaring: "Hong Loosu memiliki kepandaian sangat tinggi dalam melepaskan senjata rahasia. Akuyang rendah ingin meminta pengajaran."
Orang itu yang mukanya bopeng, bukan lain daripada Kwa Cu Yong yang tadi melepaskan Tiat-poo-tee. Sesudah tangannya ditempelkan ko-yo, ia terbebas dari racun. "Tok-chiu Yo-ong."
Keluarga Kwa di Lan-ciu mempunyai nama besar dalam ilmu melepaskan tujuh macam senjata rahasia dan mereka dikenal sebagai Kwa-sie Cit-ceng-bun. Tujuh senjata rahasia itu ialah panah tangan, batu Hui-hong-sek, Tiat-poo-tee, Tiat-kie-lee, golok terbang, piauw baja dan paku Song-bun-teng. Semua itu senjata rahasia biasa, yang luar biasa ialah cara melepaskannya. Anggota keluarga Kwa bisa melepaskan golok bersama batu, paku bersama piauw dan sebagainya. Di samping itu, mereka juga dapat melepaskan beberapa macam senjata di te-ngah udara, di mana senjata-senjata itu saling mem-bentur dan menyambar musuh dari berbagai ju-rusan. Jika pertempuran dilakukan di lapangan ter-buka, si musuh masih bisa melompat jauh kian ke mari. Tapi dalam sebuah gelanggang yang kecil dan tertutup, sambaran-sambaran tujuh macam senjata rahasia itu hampir tidak dapat dielakkan lagi.

Dengan sikap hormat Hong Jin Eng Iebih dulu membungkus pit-ya-hu dengan sapu tangannya dan kemudian memasukkannya ke dalam saku. Sesudah itu, ia berkata dengan suara nyaring. "Aku merasa

girang, bahwa Kwa Loosu ingin bertanding dengan-ku dalam ilmu melepaskan senjata rahasia. Akan tetapi, dalam ruangan yang sempit ini, aku khawatir ada senjata yang menyasar dan mengenai para Tayjin."
Ciu Tiat ciauw tertawa. "Hong Loosu tak usah berkhawatir," katanya. "Kau boleh mengeluarkan seantero kepandaianmu. Apakah Loosu kira para Wie-su makan gaji buta?"
"Maaf! Maaf!" kata Hong Jin Eng sambil ter-senyum.

Kwa Cu Yong segera membuka jubah luar dan terlihatlah pakaian dalamnya yang ringkas dan ber-warna hitam. Pakaian itu sangat luar biasa, karena penuh dengan saku-saku yang berisi macam-macam senjata rahasia saku-saku itu dipasang dari dada sampai di lutut, bahkan sampai di punggung. Hok Kong An tertawa terbahak-bahak. "Pakaian itu sungguh aneh," katanya.

Sesudah masuk ke dalam gelanggang, dari ba-wah bajunya Kwa cu Yong mencabut semacam senjata yang menyerupai gayung air. Gayung itu, yang mulutnya tajam bagaikan mata golok, adalah senjata turunan keluarga Kwa yang diberi nama Cio-sim Toa-hay (Batu tenggelam di lautan). Sen-ata itu dapat digunakan dalam dua cara: Pertama, seperti ilmu golok atau kampak yang mempunyai •iga puluh enam jurusdan kedua, untukmenangkap senjata dan bisa digunakan untuk balas menyerang. Cio-sim Toa-hay tidak termasuk dalam delapan be\as rupa senjata yang \azimnya dikenal da\am Rimba Persilatan dan sebagian orang Kang-ouw menamakannya sebagai "Ciat-cian-siauw" (Gayung
meminjam anak panah), dalam artian, bahwa sen-jata itu dapat digunakan untuk meminjam anak panah musuh.

Melihat Cio-sim Toa-hay yang tidak dikenal oleh sebagian hadirin, Hong Jin Eng tertawa. "Hari ini Kwa Loosu menambah pengalaman kami," kata-nya.

Melihat pakaian Kwa Cu Yong yang menyolok, banyak orang merasa sebal, antaranya Ouw Hui. "Tio samko pun seorang ahli dalam menggunakan senjata rahasia, tapi ia sangat sederhana," pikirnya. "Tidak pernah Samko memamerkan senjatanya. Jiwa orang she Kwa itu terlalu kecil."
Sementara itu, Kwa Cu Yong sudah menyerang
dengan gayungnya, tapi dalam gebrakan-gebrakan
pertama, ia belum menggunakan senjata rahasianya.

Sesudah bertempur belasan jurus, tiba-tiba ia
berteriak: "Awas piauw!" Hong Jin Eng berkelit.

"Hui-hong-sek, panah tangan!" teriak pula Kwa Cu Yong. Kali ini dua senjata rahasia menyambar dengan berbareng, tapi Hong Jin Eng dapat me-nyelamatkan diri dengan mudah sekali.

"Tiat-kie-lee menghantam pundak kirimu! Go-lok terbang menghajar lutut kananmu!" teriaknya lagi. Karena sudah diperingatkan, serangan ketiga pun dapat dielakkan dengan gampang oleh Hong Jin Eng.

Semua orang jadi heran. Mereka baru pernah mengalami, bahwa seorang penyerang lebih dulu memberitahukan serangannya. Tapi di luar dugaan. makin lama teriakan Kwa Cu Yong makin cepat dan menyambarnya senjata pun makin banyak. Seka-rang teriakan dan menyambarnya senjata tidak co-
cok lagi. Misalnya, ia berteriak, bahwa panah tangan akan menghantam mata kiri, tapi ia menimpuk dada dengan Hui-hong-sek. Hong Jin Eng jadi bingung, ia harus berhati-hati sekali. Apa yang lebih hebat ialah tidak semua teriakan bertentangan dengan menyambarnya senjata. Dalam lima kali menimpuk, empat kali cocok dengan teriakannya dan hanya satu kali yang tidak cocok. Dengan demikian, se-rangan-serangan itu jadi lebih sukar dielakkannya.

"Senjata rahasia Kwa-sie Cit-seng-bun benar-benar lihay," kata Kwee Giok Tong. "Kalau tidak salah, teriakan-teriakannya pun adalah hasil dari latihan yang lama."
"Tapi cara-caranya yang licik adalah sangat ti¬dak bagus," kata Coa Wie.

Sambil membuat main huncwee Yan-hee Sanjin,
Leng So berkata: "Mengapa Hong Loosu belum
melepaskan jarumnya? Kalau dia tidak segera turun
angan, mungkin sekali di dirobohkan oleh si orang she Kwa."
Tapi kuanggap si orang she Hong sudah mengatur siasatnya dengan sempurna sekali," menyelak Kiee Siauw Hong. "Ia hanya melepaskan jarum pada
saat yang tepat. Sebatang saja sudah cukup untuk
menjatuhkan lawannya."
Selagi mereka beromong-omong, senjata rahasia terus menyambar-nyambar dalam ruangan itu. Tiat Ciauw dan beberapa Wie-su kelas satu berdiri di sekitar Hok Kong An untuk menjaga keselamatan pembesar itu, sedang Iain-lain Wie-su mendampingi An Teetok serta pembesar-pembesar lain. Mereka bukan saja menjaga senjata rahasia Kwa Cu Yong, tapi juga memasang mata, kalau-
kalau ada musuh gelap yang menyerang Hok Kong An dengan menggunakan kesempatan itu.

Tiba-tiba Leng So berkata: "Si orang she Kwa menyebalkan sekali. Biarlah aku main-main sedikit dengannya."
"Tiat-kie-lee menghantam pundak kirimu!" te-riak Kwa Cu Yong.

"Bapauw daging menghantam mulutmu!" teriak Leng So dengan meniru suara Kwa Cu Yong. Ham-pir berbareng tangan kanannya menyentuh kepala pipa dan lalu melontarkan sebuah senjata rahasia, yang sangat enteng sebab menyambar tanpa ber-suara, tapi mengeluarkan beberapa letikan api.

Orang sering mengatakan, bahwa kalau "ba¬pauw daging digunakan untuk menimpuk anjing, bapauw itu tak akan kembali". Maka itulah, men-dengar teriakan Leng So yang seolah-olah meng-anggap Cu Yong sebagai seekor anjing banyak orang lantas saja tertawa.

Melihat menyambarnya senjata rahasia, Kwa Cu Yong segera menangkapnya dengan Ciat Cian-siauw. Sesudah itu, tangan kirinya merogoh mulut gayung untuk mengambil senjata rahasia itu guna dikirim balik kepada pemiliknya.

"Dak!" Semua orang terkesiap, sedang Kwa Cu Yong sendiri melompat tinggi. Di lain saat, ke-pingan-kepingan kertas terbang berhamburan dan ruangan itu penuh dengan batu belerang. Ternyata senjata rahasia itu hanyalah sebuah petasan. Semua orang tertegun, kemudian bersorak-sorai.

Meskipun gusar, Cu Yong yang sedang memu-satkan seantero perhatiannya untuk menjaga-jaga Bu-eng Gin-ciam, tidak berani memecah kewas-
padaannya untuk mencari orang yang melepaskan petasan dan ia hanya mencaci: "Binatang! Kalau kau mempunyai nyali, datanglah ke mari!"
Seraya tertawa haha-hihi, Leng So berjalan ke sebelah timur dan mengeluarkan pula sebutir pe¬tasan yang lalu disulutnya di kepala pipa panjang. "Batu besar menghantam Cit-cunmu!" teriaknya sambil melemparkan petasan itu.

Dengan berteriak begitu, nona Thia menyama-kan Cu Yong sebagai seekor ular. Bagian kematian seekor ular ialah "cit-cun" (tujuh dim), di sebelah bawah lehernya, sehingga orang sering mengatakan: "Kalau mau pukul ular, pukullah cit-cunnya." Se-perti yang pertama, teriakan itu juga disambut de¬ngan gelak tertawa.

Sesudah dikelabui satu kali, Kwa Cu Yong tidak menyambut lagi dengan Ciat-cian-siauw, tapi me¬nimpuk dengan sebatang paku Song-bun-teng, se¬hingga petasan itu meledak di tengah udara.

Untuk ketiga kalinya Leng So menimpuk de¬ngan petasan. "Batu hijau menghantam batokmu di punggung!" teriaknya. Kali ini ia menyamakan Cu Yong dengan seekor kura-kura. Si orang she Kwa menyambutnya lagi dengan Song-bun-teng dan pe¬tasan itu meledak pula di tengah udara.

Sambil tertawa An Teetok membentak: "Hai! Orang yang sedang bertanding tidak boleh digang-gu!" Melihat kedua petasan itu meledak di dekat meja Giok-liong-pwee, ia segera berkata kepada dua orang Wie-su yang berdiri di dekatnya. "Jaga cangkir-cangkir itu. Jangan sampai pecah terlanggar senjata rahasia." Kedua pengawal itu mengangguk dan lalu berdiri di depan meja.


Nona Thia tertawa geli dan segera kembali ke kursinya. "Dia sangat licin, sesudah diakali sekali, dia tidak mau menyambut lagi petasanku," katanya.

Diam-diam Ouw Hui merasa heran. "Jie-moay tahu, bahwa Hong Jin Eng adalah musuhku," kata¬nya di dalam hati. "Mengapa dia berbalik memper-mainkan Kwa Cu Yong?"
Sesudah dipermainkan dan ditertawakan orang, Kwa Cu Yong berusaha mengambil pulang kehor-matannya dengan melepaskan senjata rahasia se-cepat-cepatnya, sehingga Hong Jin Eng jadi repot sekali. Sekonyong-konyong si orang she Hong me-narik sesuatu di kepala toyanya. Cu Yong melompat mundur, sebab menduga bahwa musuhnya mau me¬lepaskan jarum. Tapi ternyata, apa yang ditariknya adalah suatu benda, yang dengan sekali dikibaskan, lantas saja terpentang lebar seperti payung dan ternyata adalah sebuah tameng yang lemas tipis dan berwarna hitam, sedang di atasnya terlukis lima kepala harimau. Melihat itu, semua orang baru mengetahui, bahwa nama Ngo-houw-bu" (Partai lima harimau) didapat dari lukisan tersebut.

Dengan toya dan tameng, Hong Jin Eng dapat menangkis semua senjata rahasia itu. Biarpun tipis, tak sebatang senjata yang dapat menembus tameng itu.

Sementara itu, Sesudah Hong Jin Eng me-ngeluarkan tamengnya, Ouw Hui baru tersadar. Sekarang ia mengerti, bahwa jarum perak orang itu disimpan di dalam toya yang diperlengkapi dengan alat rahasia. Begitu alatnya dipijit, jarum-jarum itu lantas menyambar musuh. Sesudah dapat meng-ungkap teka-teki itu, semangat Ouw Hui terbangun
dan rasa jerinya terhadap Bu-eng Gin-ciam lantas saja lenyap.

Kini Hong Jin Eng melayani lawannya sambil mundur ia mundur ke arah delapan kursi Thay-su-ie. Mendadak, tanpa diketahui sebabnya, Kwa Cu Yong mengeluarkan teriakan kesakitan, sedang si orang she Hong tertawa terbahak-bahak. Seraya memegang kempungannya, Cu Yong terhuyung beberapa tindak, kemudian jatuh berlutut. Dengan paras muka berseri-seri Hong Jin Eng duduk di kursi Thay-su-ie.

Dua orang Wie-su segera menghampiri dan membangunkan Kwa Cu Yong. Sambil merapatkan gigi, ia mencabut sebatang jarum dari kempungan¬nya. Meskipun jarum itu sangat kecil, tapi sebab yang tertusuk adalah jalan darah yang penting, maka lukanya tidak bisa dikatakan enteng. Dengan di-papah oleh kedua Wie-su itu, ia keluar dari ge-langgang.

Sekonyong-konyong Tong Pay mengeluarkan suara di hidung. "Yang melukai orang dengan anak panah gelap, bukan seorang gagah," katanya.

Hong Jin Eng menengok. "Apakah Tong Tay-hiap maksudkan aku?" tanyanya.

"Aku mengatakan, bahwa seorang yang meng-gunakan anak panah gelap bukan orang gagah," jawabnya. "Seorang laki-laki harus bertindak te-rang-terangan."
Tiba-tiba Hong Jin Eng bangkit. "Apakah aku bukan bertindak terang-terangan?" bentaknya. "Da¬lam pertandingan tadi sudah dinyatakan terang-terangan, bahwa kami bertanding dalam ilmu me¬lepaskan senjata rahasia. Apakah kurang terang?"

"Apakah Hong Loosu mau mencoba-coba de-ngan aku?" tanya Tong Pay dengan suara kaku.

"Nama Tong Tayhiap menggetarkan seluruh dunia, mana aku berani mencabut kumis harimau?" jawabnya. "Apakah orang she Kwa itu sahabat Tong Tayhiap?"
"Benar," terdengar pula jawaban Tong Pay yang kaku, "Keluarga Kwa di Lan-ciu mempunyai sedikit hubungan denganku."
"Kalau begitu, biarlah aku menyerahkan jiwa untuk melayani Tong Tayhiap," kata Hong Jin Eng dengan gusar. "Tong Tayhiap boleh memilih cara bertanding."
Melihat kedua orang itu bertengkar makin he-bat, Ouw Hui berkata dalam hatinya. "Biarpun dia berhubungan erat dengan pembesar negeri, ter-nyata Tong Pay bukan manusia jahat."
Tapi sebelum kedua jago itu masuk ke dalam gelanggang, An Teetok sudah mendekati dan ber¬kata sambil tertawa: "Hari ini Tong Tayhiap berlaku sebagai wasit dan ia tidak boleh turut bertanding. Beberapa hari lagi, siauwtee akan menjadi tuan rumah dan Tong Tayhiap dapat memperlihatkan kepandaiannya supaya kita semua bisa menambah pengalaman."
"Kalau begitu, lebih dahulu aku menghaturkan terima kasih kepada Teetok Tayjin," kata Tong Pay. Ia menengok dan mengawasi Hong Jin Eng dengan mata mendelik, akan kemudian mengangkat sebuah kursi Thay-su-ie dan mengetrukkannya di atas lan-tai. Sesudah itu, ia memindahkan kursinya supaya bisa duduk agak jauh dari Hong Jin Eng. Di lain saat, orang-orang yang duduk berdekatan melihat,
bahwa di atas lantai terdapat empat lubang, akibat ketrukan tadi. Mereka mengerti, bahwa pertun-jukan itu adalah hasil dari latihan Lweekang selama puluhan tahun dan tanpa merasa mereka bertepuk tangan. Orang-orang yang duduk di bagian belakang serentak bangkit untuk menyelidiki sebab musabab dari tepukan tangan itu.

Hong Jin Eng tertawa dingin. "Kepandaian Tong Tayhiap memang Iihay," katanya dengan suara mengejek. "Biarpun berlatih dua puluh tahun lagi, aku pasti tak akan bisa menandiftgi Tayhiap. Tapi di luar langit masih ada langit dan di atas manusia masih ada manusia. Dalam kalangan ahli-ahli kelas satu, kepandaian itu hanya kepandaiannya biasa saja."
"Benar," sahut Tong Pay. "Di mata pentolan-pentolan Rimba Persilatan, kepandaian itu memang tidak berharga sepeser buta. Tapi tak apa asal bisa menang dari Hong Loosu, hatiku sudah merasa puas."
"Sudahlah! Kedua Loosu jangan bertengkar lagi," kata An Teetok sambil tersenyum. "Fajar sudah menyingsing dan di antara tujuh buah cangkir giok, yang enam sudah ada pemiliknya. Sesudah Giok-liong-pwee selesai dibagi, besok malam kita akan membagi Kim-hong-pwee dan Gin-lee-pwee. Siapa lagi yang mau bertanding dengan Hong Loo¬su?" Sesudah berteriak tiga kali beruntun tanpa mendapat jawaban, ia berpaling kepada Hong Jin Eng seraya berkata: "Aku memberi selamat kepada Hong Loosu. Cangkir giok sekarang sudah jadi milikmu!"
"Tahan!" sekonyong-konyong terdengar teriak-
an seorang. "Aku ingin menjajal kepandaian Hong Jin Eng." Hampir berbareng dengan itu seorang berewokan yang bertangan kosong, melompat ma-suk ke dalam gelanggang.

Perwira yang bertugas lantas saja berseru: "Ciangbunjin See-gak Hoa-kun-bun Thia Leng Ouw, Thia Loosu!"
Hong Jin Eng segera berbangkit. "Senjata apa yang ingin digunakan Thia Loosu?" tanyanya.

"Sukardikatakan,"jawab Ouw Hui. "Senjata apa yang digunakan olehmu pada waktu kau membi-nasakan keluarga Ciong A-sie di kelenteng Hud-san-tin?"
Hong Jin Eng terkesiap. Sambil mencekal toya-nya erat-erat, ia bertanya: "Kau... kau...." Sebelum Hong Jin Eng dapat meneruskan perkataannya, bagaikan kilat Ouw Hui melompat ke hadapan Tian Kui Long, kedua jari tangannya dipentang dan disodokan ke mata si orang she Tian dengan ge-rakan Siang-liong-cio-cu. (Sepasang naga merebut mutiara).

Itulah kejadian yang tidak disangka-sangka. Da¬lam kagetnya, Tian Kui Long masih keburu meng-angkat kedua tangannya untuk menangkis serangan itu. Kui Long cepat, tapi Ouw Hui lebih cepat lagi. Sekali bergerak, kedua tangannya sudah menyeru-pai sebuah lingkaran dan coba menotok kedua Tay-yang-hiat dengan gerakan Hwa-tiong-pou-goat (Mendukung rembulan di dada). Kui Long menge-luarkan keringat dingin. Ia tidak keburu bangkit untuk menyambut musuh dan jalan satu-satunya ialah mengibaskan kedua tangannya untuk menang¬kis kedua pukulan yang berbareng itu.


"Hway-tiong-pou-goat sebenarnya serangan gertakan!" teriak Ouw Hui.

"Dengan Hway-tiong-pou-goat sebenarnya serangan gertakan," *) di rumah Biauw Jin Hong, Ouw Hui pernah menghantam Tian Kui Long sehingga dia muntah darah. Demi mendengar kata-kata itu, si orang she Tian terkejut dan berseru: "Kau...! Kau...."
Ouw Hui memang tidak berdusta. Pukulan Hway-tiong-pou-goat hanyalah pukulan gertakan. Selagi Kui Long mengibaskan kedua tangannya, sehingga bagian iganya kosong, dengan sekali mem-balik tangan, Ouw Hui sudah menghunus golok mustika yang terselip di pinggang Tian Kui Long. Di lain detik, ia sudah memutar tubuh melompat dan membacok toya tembaga Hong Jin Eng.

"Trang...! Trang...! Trang!" Sebelum Hong Jin Eng tahu apa yang terjadi, toyanya sudah jadi empat potong, kedua tangannya masing-masing mencekal sepotong yang panjangnya hanya kira-kira satu kaki.

Sekarang Hong Jin Eng sudah sadar, bahwa ia berhadapan dengan Ouw Hui. Dengan rasa kaget yang sukar dilukiskan, ia melompat beberapa tin-dak.

Pada detik itu, mendadak saja Ong Tiat Gok yang berdiri di ambang pintu berseru: "Cong-ciang-bun dari tiga belas partai tiba!"
Ouw Hui terkejut. Ia mengangkat kepalanya dan mengawasi ke arah pintu. Seorang niekouw (pendeta wanita) yang mengenakan jubah pertapa-an dan sepatu rumput, sedang sebelah tangannya

menggenggam kebutan, kelihatan melangkah masuk.

Ia bukan lain daripada Wan Cie Ie! Melihat kepala si nona yang gundul, mata Ouw Hui ber-kunang-kunang ia tidak percaya pada kedua mata-nya sendiri. Ia melangkah maju untuk melihat lebih tegas. Tapi tak salah, pendeta itu ialah Wan Cie Ie.

Ouw Hui merasa seolah-olah segala-gala ber-putar-putar, kepalanya puyeng. Dengan mata mem-belalak ia berkata dengan suara parau: "Kau... kau...!"
Bhiksuni itu merangkap kedua tangannya dan berkata: "Siauwnie (aku si pendeta kecil) Wan-seng."
Sekonyong-konyong, bagaikan seorang ling-lung, Ouw Hui merasa dua jalan darahnya di punggungnya sakit bukan main. Badannya ber-goyang-goyang dan ia roboh ke lantai.

"Tahan!" bentak Wan Cie Ie dengan suara gusar sambil melompat dan mengalingi tubuh Ouw Hui dengan badannya sendiri.

Semua kejadian itu terjadi dalam sekejap mata. Melihat kakaknya terluka, Leng So melompat un¬tuk memberikan pertolongan. Cie Ie sebenarnya sudah membungkuk untuk membangunkan Ouw Hui, tapi begitu melihat nona Thia, ia menarik pulang tangannya dan berbisik: "Bawalah ke ping-gir!" Mendadak ia menyabet ke belakang dengan kebutannya, seperti hendak menangkis suatu se-rangan.

Dengan air mata berlinang-linang, nona Thia mendukung Ouw Hui, "Toako, bagaimana keadaan-mu?" tanyanya.

Sang kakak tertawa getir. "Punggungku terkena senjata gelap, di jalan darah Sian-kie dan Beng-bun," jawabnya.

Tanpa menghiraukan perasaan malu lagi, Leng So segera membuka jubah luar dan baju Ouw Hui. Benar saja, di jalan darah Sian-kie dan Beng-bun terdapat dua lubang kecil yang mengeluarkan darah sedang jarumnya amblas ke dalam daging.

Cie Ie mendekati seraya berkata: "Jarum itu jarum perak, tidak beracun, kau tak usah khawatir." Ia menyingkap benang-benang kebutan dan men-cabut sebatang jarum dari kebutan itu. Kemudian ia menempelkan kebutan itu di jalan darah Sian-kie dan Beng-bun di punggung Ouw Hui dan menarik-nya perlahan-lahan. Leng So girang bukan main karena kedua jarum perak itu telah tertarik keluar. Ia tahu, bahwa dalam kebutan itu disembunyikan sesuatu yang mempunyai daya tarik terhadap logam-logam mulia sangat kuat.

Ouw Hui mengawasi Cie Ie dengan sorot mata berduka dan berkata: "Wan Kouwnio... kau...."
"Aku memang sangat kurang ajar," bisik nona Wan. "Aku mendustai kau." Sesudah berdiam s-ejenak ia berkata pula: "Sedari kecil aku sudah menjadi pendeta dengan menggunakan nama Wan-scng."
Ouw Hui menatap wajah si nona dengan pera¬saan yang sukar diiukiskan. Sesaat kemudian, ia berkata: "Tapi... tapi mengapa kau mendustai aku?"
Wan-seng menunduk dan menjawab dengan suara perlahan: "Atas titah Suhu dengan seorang diri, dari Hweekiang aku datang ke Tionggoan. Jika aku mengenakan pakaian pertapaan, di tengah jalan
aku mungkin bertemu dengan banyak rintangan. Maka, aku sudah menyamar sebagai orang biasa dan menggunakan rambut palsu. Tapi aku tetap tidak makan makanan berjiwa dan hal ini rupanya tidak diperhatikan olehmu."
Mendengar keterangan itu, Ouw Hui menghela napas panjang.

Tiba-tiba An Teetok berteriak dengan nyaring: "Siapa lagi yang mau bertanding dengan Hong Loosu?"
Dalam kedukaannya Ouw Hui tidak menghirau-kan teriakan pembesar itu. Sesudah berteriak tiga kali dan tak ada orang yang menjawabnya, An Teetok menghampiri Hok Kong An dan berkata: "Thayswee, apakah tujuh cangkir giok itu boleh diserahkan saja kepada ketujuh orang Loosu?"
"Baiklah," kata Hok Kong An.

Malam sudah berganti dengan siang dan dari jendela sudah menyorot masuk sinar matahari pagi. Sesudah berkutat semalam suntuk, pemilik ketujuh Giok-liong-pwee sudah terpilih. Seluruh ruangan jadi ramai semua orang berbincang-bincang dan berlomba-lomba menyatakan pendapat mengenai pertandingan-pertandingan yang telah terjadi dan mengenai Wan-seng yang diperkenalkan sebagai Cong-ciang-bun dari tiga belas partai. Mereka me-rasa heran karena tidak mengenai siapa adanya pendeta wanita yang luar biasa itu.

Sementara itu, An Teetok sudah menghampiri meja Giok-liong-pwee dan mengangkat dulang cangkir. la bertindak masuk ke dalam gelanggang dan berkata dengan suara nyaring: "Giok-liong-pwee hadiah Sri Baginda Kaisar sekarang diserah-
kan kepada Tay-tie Siansu, Ciangbunjin Siauw-lim-pay, Bu-ceng-cu Toojin, Ciangbunjin Bu-tong-pay, Tong Pay, Ciangbunjin Sam-cay-kiam, Hay Lan Pit, Ciangbunjin Hek-liong-bun, tkl, Ciangbunjin Thian-liong-bun...." la berhenti, lalu mendekati Cio Sinshe dan berbisik: "Cio Sinshe, boleh aku mendapat tahu nama dan partai Sinshe yang mulia?"
Cio Sinshe tersenyum. "Namaku Ban Tin," ja-wabnya. "Mengenai partaiku, kau katakan saja partai Yo-ong-bun."
An Teetok balik ke tengah gelanggang dan berkata pula:".... Cio Ban Tin, Ciangbunjin Yo-ong-bun, dan Hong Jin Eng, Ciangbunjin Ngo-houw-bun. Terima kasih kepada Sri Baginda Kaisar."
Mendengar kata-kata "terima kasih kepada Sri Baginda Kaisar", Hok Kong An, para pembesar dan sejumlah orang gagah yang mengerti peraturan ke-raton serentak bangkit. Sejumlah orang masih tetap duduk sehingga dibentak oleh beberapa Wie-su: "Bangun semua!" Tay-tie Siansu dan Bu-ceng-cu segera menjalankan kehormatan menurut agama masing-masing sedang Tong Pay dan yang Iain-lain menghaturkan terima kasih dengan berlutut.

Sesudah selesai upacara menghaturkan terima kasih kepada kaisar, An Teetok segera berkata: "Selamat! Aku menghaturkan selamat kepada kali¬an semua." la menghampiri ketujuh Ciangbunjin itu lalu mengangsurkan dulang cangkir. Tay-tie dan yang Iain-lain lalu mengambil cangkir seorang sebuah.

Mendadak, mendadak saja, terjadi sesuatu yang sungguh luar biasa. Memegang cangkir-cangkir itu, tangan ketujuh Ciangbunjin seperti juga mencekal
bara! Tak tahan! Mereka tak tahan! Dan... Prang!" semua cangkir jatuh di lantai dan hancur lebur!
Seluruh ruangan seunyi senyap. Suara "prang!" itu bagaikan halilintar di tengah hari bolong. Ta¬ngan ketujuh Ciangbunjin memegang cangkir, su-dah bengkak dan mereka menyusut-nyusutnya di pakaian mereka. Hay Lan Pit yang merasa tak tahan sudah memasukkan lima jarinya ke dalam mulut. Sesaat kemudian, ia berteriak-teriak kesakitan sam-bil meleletkan lidah.

Ouw Hui melirik Leng So dan manggutkan kepalanya dengan perlahan. Sekarang baru ia tahu, bahwa dalam tiga butir petasan itu terisi racun bubuk kalajengking dan karena dua antaranya mc-ledak di atas meja cangkir, maka semua cangkir telah keracunan. Tipu daya si adik sedemikian ha-Ius, sehingga kecuali oleh dia sendiri, tak dapat ditebak oleh siapa pun jua. Ia merasa kagum dan bangga.

Sementara itu, Leng So sudah mulai menghisap huncwee dan mengepul-ngepulkan asapnya. Setiap kali tembakau habis, ia lalu mengisi lagi. Parasnya tenang-tenang saja sedikit pun tidak berubah, tidak menunjukkan rasa girang karena siasatnya berhasil. Tangan kirinya mencekal empat butir yo-wan dan diam-diam ia memberikan dua butir kepada Ouw Hui dan dua butir pula kepada Wan-seng. "Telan-lah!" bisiknya. Ouw Hui dan Wan-seng segera me-nelannya. Gerakan Leng So tidak dilihat oleh siapa pun jua, karena pada saat itu, semua orang sedang memperhatikan peristiwa hancurnya Giok-liong-pwee.

Sekonyong-konyong Wan-seng bertindak ma-

suk ke tengah-tengah ruangan dan sambil menuding Tong Pay dengan kebutannya, ia membentak: "Tong Pay! Kau sungguh bernyali besar. Dengan tipu busuk, kau sudah menghancur leburkan cangkir-cangkir Giok-liong-pwee hadiah Sri Baginda Kaisar. Dengan bersekongkol dengan Ang-hoa-hwee, kau coba menggagalkan Ciangbunjin Tayhwee. Per-buatanmu itu tak dapat dibiarkan saja oleh segenap orang gagah." Ia mengucapkan tuduhan itu dengan suara nyaring dan tegas, sehingga Hok Kong An lantas saja menjadi gusar dan sekali ia mengibas tangan, Ong Kiam Eng, Ciu Tiat Ciauw dan Iain-lain Wie-su yang berkepandaian tinggi lantas saja me-ngurung Tong Pay.

Meskipun Tong Pay sudah kenyang mengalami gelombang, paras mukanya berubah pucat pasi, badannya bergemetaran ia kaget bercampur gusar. "Pendeicar siluman!" bentaknya. "Pendusta besar! Jangan kau ngaco belo!"
Wan-seng tertawa dingin. "Apa benar aku pen¬dusta besar?" tanyanya. Ia berpaling kepada Ong Kiam Eng seraya berkata: "Ong Loosu, Ciangbunjin Pat-kwa-bun." Kemudian ia menengok kepada Ciu Tiat Ciauw dan berkata pula: "Ciu Loosu, Ciang¬bunjin Eng-jiauw Gan-heng-bun. Kalian berdua su¬dah mengenal aku. Gelaran Cong-ciang-bun dari berbagai partai agak terlalu berat untuk diterima olehku. Tapi apakah aku seorang pendusta atau seorang yang bertanggung jawab atas segala per-kataannya? Mengenai pertanyaan ini, aku meng-harap pendapat kalian berdua."
Begitu Wan-seng tiba, Kiam Eng dan Tiat Ciauw lantas saja merasa tak tentram, karena me-
reka khawatir, kalau-kalau niekouw itu akan mem-buka rahasia, bahwa kedudukan Ciangbunjin me-reka telah direbut olehnya. Mereka adalah orang kepercayaan Hok Kong An dan berkedudukan ting¬gi. Jika rahasia itu sampai diketahui umum bagai-_ mana mereka bisa berdiam terus di kota raja? Tapi begitu mendengar perkataan Wan-seng, hati me¬reka lega. Pendeta itu bukan saja bicara dengan mereka dengan menggunakan istilah "Ciangbunjin", tapi juga mengatakan, bahwa "gelaran Cong-ciang-bun terlalu berat untuk diteirma" olehnya, sehingga hal itu berarti, bahwa dengan suka rela Wan-seng mengembalikan kedudukan Ciangbunjin yang su¬dah direbut kepada mereka. Selain begitu, Sesudah menyaksikan hancurnya Giok-liong-pwee dan men¬dengar tuduhan Wan-seng, mereka pun mencurigai Tong Pay.

Maka itulah, sambil membungkuk Ong Kiam Eng segera menjawab: "Loo-jin-kee memiliki ilmu silat yang sangat tinggi dan aku merasa sangat takluk. Di samping itu, Loo-jin-kee pun mempunyai jiwa besar dan hati yang mulia. Loo-jin-kee adalah seorang yang jarang terdapat dalam Rimba Per-silatan." (Loo-jin-kee ialah panggilan terhadap orang yang lebih tua atau yang sangat dihormati).

Sesudah dijatuhkan, Ciu Tiat Ciauw tentu saja merasa sakit hati terhadap Wan-seng. Tapi karena takut rahasianya dibuka, ia pun lantas saja berkata: "Aku percaya, bahwa setiap perkataan Loo-jin-kee adalah hal yang sebenarnya. Sebegitu jauh Loo-jin-kee selalu bersetia kawan terhadap sesama orang Rimba Persilatan dan kalau bukan terlalu terpaksa, Loo-jin-kee pasti tak akan membuka rahasia orang."
Dalam jawabannya itu, Ciu Tiat Ciauw sebenarnya bicara untuk kepentingannya sendiri. la bermaksud untuk mengatakan, bahwa sebagai seorang bersetia kawan terhadap sesama orang Rimba Persilatan, Wan-seng pasti tak akan membuka rahasianya.

Mendengar keterangan kedua orang keperca-yaannya yang bahkan sudah memanggil pendeta wanita itu dengan menggunakan istilah "Loo-jin-kee", Hok Kong An tidak bersangsi lagi. "Tangkap padanya!" ia membentak dengan suara keras.

Ong Kiam Eng, Ciu Tiat Ciauw dan Hay Lan Pit lantas saja bergerak. Sambil mengerahkan Lwee-kang dan mendorong ketiga orang itu, Tong Pay berteriak: "Tahan!" Ia berpaling kepada Hok Kong An dan berkata pula: "Hok Thayswee, siauwjin memohon supaya dipadu dengan dia. Kalau dia bisa memberi bukti-bukti yang kuat, siauwjin rela untuk menerima hukuman yang paling berat. Tapi jika siauwjin dihukum karena tuduhan membuta-tuli, siauwjin akan merasa sangat penasaran."
Pembesar itu yang mengenal Tong Pay sebagai seorang yang mempunyai narna besar, lantas saja berkata: "Baiklah."
Tong Pay mengawasi Wan-seng dengan mata mendelik. "Aku belum pernah mengenal kau, tapi mengapa kau sudah menuduh aku secara seram-pangan?" katanya dengan suara gusar. "Siapa kau?"
"Benar," jawab Wan-seng, "Aku tidak mengenal kau dan juga tidak mempunyai permusuhan dengan kau. Aku memang tidak berurusan dengan kau. Tapi oleh karena aku bermusuhan dengan Ang-hoa-hwee dan kau sudah bersekutu dengan perkumpulan itu untuk mengacau Ciangbunjin Tayhwee, maka aku
tidak bisa tidak melucuti topengmu. Bahwa kau mempunyai banyak sahabat dan kenalan, sama se-kali tidak da sangkut pautnya denganku. Tapi jika kau berserikat dengan Ang-hoa-hwee, aku tidak bisa berpeluk tangan."
Ouw Hui jadi heran sekali. Ia tahu, bahwa Wan-seng mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Ang-hoa-hwee dan ia pun tahu, bahwa hancurnya Giok-liong-pwee adalah "kerjaan" Leng So. Tapi mengapa ia memfitnah Tong Pay? Sudah memikir beberapa saat, tiba-tiba ia ingat, Wan-seng pernah memberitahukan, bahwa ibunya diusir dari Kwitang oleh Hong Jin Eng, orang tua itu pernah meneduh di rumah Tong Pay. Apakah kematian ibu Wan-seng ada sangkut pautnya dengan Tong Pay? Beberapa pertanyaan keluar dalam otaknya, tapi karena sedang berduka, ia tidak bisa memikir secara tenang.

Hok Kong An mempunyai sakit hati hebat terhadap Ang-hoa-hwee karena ia pernah ditawan oleh orang-orang gagah perkumpulan itu. Maksud terutama dari Ciangbunjin Tayhwee adalah untuk menghadapi Ang-hoa-hwee. Mengingat, bahwa Tong Pay adalah seorang tokoh Rimba Persilatan yang mempunyai hubungan sangat luas, ia merasa, bahwa tuduhan Wan-seng bukan hal yang meng-herankan.

Sementara itu, Tong Pay sudah berkata pula: "Kau menuduh, bahwa aku telah berhubungan de¬ngan penjahat Ang-hoa-hwee. Siapa saksinya? Mana buktinya?"
Wan-seng berpaling kepada An Teetok dan berkata: "Teetok Tayjin, aku tahu adanya sepucuk

surat yang dapat dijadikan bukti. Apakah Tayjin menyimpan surat Tong Pay yang dapat dicocokkan dengan surat itu?"
"Ada, ada!" jawab An Teetok yang lalu bicara beberapa patah dengan seorang sebawahannya. Orang itu segera menghampiri sebuah meja persegi, membuka-buka setumpukan surat dan mengambil beberapa di antaranya yaitu surat-surat Tong Pay kepada An Teetok untuk menerima baik undangan dan tugas menjadi wasit dalam Ciangbunjin Tayhwee.

Tapi Tong Pay tidak jadi keder, parasnya te-nang-tenang saja. la adalah seorang yang berhati-hati dan ia tidak mempunyai hubungan dengan Ang-hoa-hwee. Maka itu, menurut anggapannya, andaikata Wan-seng mengeluarkan surat palsu, ke-palsuannya akan segera terlihat jika dicocokannya suratnya sendiri.

"Kam-lim-hui-cit-seng Tong Pay, Tong tayhiap, apa yang disembunyikan di dalam kopiahmu?" tanya Wan-seng dengan suara dingin.

Tong Pay kaget. "Apa?" menegasnya. "Kopiah-ku?" Ia membuka kopiahnya, membolak-baliknya dan kemudian menyerahkannya kepada Hay Lan Pit, yang sesudah membolak-balik beberapa kali, lalu mengoperkannya kepada An Teetok. Untuk beberapa saat pembesar itu meneliti kopiah ter-sebut dan kemudian berkata: "Tidak ada jalan luar biasa...."
"Coba Tayjin buka jahitannya," kata Wan-seng.

Pada jaman kerajaan Ceng, dalam setiap per-jamuan besar selalu disediakan daging babi rebus yang diiris dengan pisau oleh orang yang hendak memakannya. Maka itu pada setiap perangkat
piring mangkok selalu terdapat sebilah pisau untuk maksudtersebut.Mendengarperkataan Wan-seng, An Teetok segera mengambil pisau dari atas meja dan memotong jahitan kopiah. Benar saja, di antara lapisan kain dan kapas terselip sepucuk surat. "Aha...!" seru pembesar itu sambil mencabutnya.

Paras muka Tong Pay lantas saja berubah pucat dan berkata dengan suara terputus-putus. "Itu... itu...." Ia mendekati An Teetok untuk melihat surat itu, tapi "srt!" Ong Kiam Eng dan Ciu Tiat Ciauw serentak menghunus golok dan menghadang di de-pannya.

An Teetok membuka surat itu lalu membaca dengan suara nyaring:
"Aku yang rendah Tong Pay mempersembahkan surat ini kepada Tan Congtocu. Aku akan menunai-kan tugas sebaik-baiknya guna membalas budi yang sangat besar. Di dalam pertemuan para Ciangbunjin sudah pasti akan diadakan penjagaan yang sangat keras. Jika gaga I, aku pasti akan mengorbankan jiwa di kota raja, secara kebetulan aku telah mendapat tahu...."
Membaca sampai di situ, An Teetok merandek lalu menyerahkan surat itu kepada Hok Kong An.

Hok Kong An segera membaca tanpa bersuara:
.... mendapat tahu segala rahasianya. Jika kita bisa bertemu muka, aku akan mencerilakan sejelas-jelasnya. Ah! Kapan kita bisa mengurung dia lagi di puncak pagoda Liok-hoa-tah dan menawan dia pula dalam kota terlarang. Kalau kejadian itu bisa terulang pula, bukankah kita akan merasa gembira sekali?"Makin membaca, paras muka Hok Kong An jadi makin tak enak dilihatnya. Kegusarannya meluap-luap dan ia merasa dadanya seperti mau meledak.

Mengapa?
Pada belasan tahun berselang, waktu pesiar di kota Hanciu dengan menyamar sebagai rakyat je-lata, Kaisar Kian-liong pernah ditawan oleh jago-jago Ang-hoa-hwee dan dikurung di puncak pagoda Liok-ho-tah. Belakangan Hok Kong An pun kena ditawan oleh Ang-hoa-hwee di dalam kota Pakkhia sendiri. Kedua peristiwa itu adalah kejadian yang paling memalukan dalam riwayat hidup Kian-liong dan Hok Kong An. Untuk membendung penyiaran warta, pembesar-pembesar dan pengawal-pengawal yang tahu kejadian yang paling memalukan dalam riwayat hidup Kian-liong dan Hok Kong An. Untuk membendung penyiaran warta, pembesar-pembesar dan pengawalpengawal yang tahu kejadian itu satu persatu sudah dibunuh Kian-liong. Oleh karena peristiwa tersebut mempunyai sangkut paut dengan pertalian riwayat hidup antara Kian-liong dan Tan Kee Lok (Pemimpin umum Ang-hoa-hwee), maka malah pihak Ang-hoa-hwee sendiri tidak pernah menyiarkan kejadian itu. Jumlah orang Kang-ouw yang tahu sangat sedikit dan dalam belasan tahun, sakit hati Hok Kong An pun sudah agak mereda. Di luar dugaan, surat Tong Pay telah menyentuh borok yang lama.

Membaca, "... secara kebetulan aku telah men-dapat tahu segala rahasianya,"
mata Hok Kong An berkunang-kunang bahna gusarnya. Sebagaimana diketahui, dia sebenarnya putera Kaisar Kian-liong dan "segala rahasianya" mempunyai arti yang luas sekali.

Dengan tangan bergemetar Hok Kong An me-nyambuti surat Tong Pay yang dialamatkan kepada An Teetok. Waktu dicocokkan, gaya tulisan antara kedua surat itu ternyata tidak berbeda.

Sementara itu, Tong Pay sudah menggigil. Ia mengerti, bahwa ia sudah "dikerjakan" oleh Wan-seng, tapi ia tidak berdaya, ia dapat menebak, bahwa kopiah dan surat itu telah disiapkan oleh Wan-seng yang kemudian menyuap salah seorang pelayan rumah penginapan untuk menukarnya dengan ko-piahnya sendiri. Tapi mana bisa ia membela diri? Waktu An Teetok berhenti membaca dan menye-rahkan surat itu kepada Hok Kong An, ia jadi makin ketakutan. Ia tahu, bahwa dalam surat itu tentulah juga ditulis kata-kata yang sangat hebat. Tapi dia memang jago yang berakal budi. Dalam keadaan terjepit, ia masih dapat menggunakan otaknya. "Ja-lan satu-satunya untuk membela diri ialah menye-lidiki asal usul perempuan bangsat itu," pikirnya.

Sesudah mengawasi Wan-seng beberapa saat, tiba-tiba ia terkejut. "Ah! Mukanya seperti tidak asing lagi," katanya di dalam hati. "Aku pernah bertemu dengannya. Tapi... kedosaan apa yang te¬lah diperbuat olehku? Aku merasa pasti, dahulu ia bukan seorang pendeta." Ia mengawasi pula dan sekonyong-konyong ia berteriak: "Kau...! Apa kau bukan anaknya Gin Kouw!"
Wan-seng tertawa dingi. "Akhirnya kau menge-nali juga," jawabnya.


"Hok Thayswee!" teriak pula Tong Pay. "Nie-kouw itu adalah musuh besar siauwjin. Dia telah mengatur tipu untuk mencelakakan siauwjin. Thay¬swee tidak boleh percaya segala pengaduannya."
"Benar," kata Wan-seng, "Aku adalah musuh besarmu. Dalam keadaan terlunta-lunta, ibuku te¬lah kesasar ke rumahmu. Kau manusia bertopeng, lagakmu seperti seorang mulia, hatimu bagaikan hati binatang buas. Melihat kecantikan ibuku, kau coba melanggar kehormatannya, sehingga ibuku mati menggantung diri. Coba kau jawab: Apakah tuduhanku tuduhan yang tidak-tidak?"
Tong Pay jadi serba salah. Kalau ia mengaku, hancurlah nama baiknya. Tapi ia sekarang sedang menghadapi mati atau hidup dan Sesudah memikir sejenak, di antara kedua jalan itu, ia memilih jalan hidup. Ia menghitung, bahwa jika ia mengaku, ke-percayaan Hok Kong An atas dirinya akan pulih kembali. Pembesar itu akan percaya, bahwa karena bermusuhan, Wan-seng sudah mengatur tipu untuk mencelakakan dirinya. Maka itu, ia lantas saja mengangguk seraya menjawab: "Benar. Memang benar sudah terjadi kejadian itu."
Semua orang terkejut. Ruangan itu lantas saja jadi ramai dengan suara orang yang berlomba-lomba mengutarakan pendapat ada yang menamakan dia sebagai "kuncu tetiron", ada yang mengejeknya se-bagai "manusia berhati binatang" sebagainya.

Sesudah suara biara mereda, Wan-seng ber-kata: "Aku sungguh ingin mencabut jiwa binatang-mu untuk membalas sakit hati ibuku, hanya sayang, karena ilmu silatmu terlalu tinggi, aku tak bisa mengalahkan kau. Maka itu, apa yang bisa diper-
buat olehku ialah siang-malam bersembunyi di ba-wah jendelamu untuk mengamat-amati setiap ge-rak-gerikmu. Ternyata Tuhan menaruh belas ka-sihan atas diriku. Secara kebetulan aku mendengar pembicaraanmu dengan Tio Poan San, dengan dua saudara Siang, dengan Cio Siang Eng dan Iain-lain penjahat dari Ang-hoa-hwee. Barusan si sasterawan muda yang coba merebut Giok-liong-pwee bukan lain daripada Sim Hie, kacung Tan Kee Lok, Cong-tocu dari Ang-hoa-hwee. Bukankah dia Sim Hie? Jawab kau!"
Mendengar disebutnya nama Sim Hie, Hok Kong An seperti orang baru mendusin dari tidurnya. "Benar, benar dia Sim Hie," katanya di dalam hati. "Dia sungguh berani mati. Apa dia tak takut aku akan mengenalinya?"
"Tidak aku tidak kenal dia!" bentak Tong Pay. "Kalau benar aku bersekutu dengan Ang-hoa-hwee, aku pasti tidak akan membekuk dia."
Wan-seng tertawa dingin. "Kau memang sangat pintar dan mengatur setiap siasat secara licin se-kali," katanya. "Kalau tidak kebetulan mendengar perundingan rahasia antara kau dan penjahat-pen-jahat Ang-hoa-hwee, aku pun pasti akan kena di-kelabui. Sekarang dengarlah keteranganku. Semua orang tahu, bahwa Tong Tayhiap memiliki ilmu Tiam-hiat yang sangat istimewa. Seseorang yang jalan darahnya ditotok olehmu tak akan bisa di-tolong oleh orang lain. Tadi, dengan Tiam-hiat yang luat biasa, kau sudah menotok jalan darah penjahat Ang-hoa-hwee itu. Sekarang jawablah pertanyaan-ku: Mengapa, selagi semua lilin padam, jalan darah penjahat itu terbuka dengan tiba-tiba dan dia bisa

melarikan diri? Mengapa? Jawab kau!"
Tong Pay tergugu. Sesaat kemudian, barulah ia bisa menjawab: "Itu... itu... mungkin dia ditolong orang lain."
"Jangan menyangkal kau!" bentak Wan-seng. "Di dalam dunia, kecuali Tong Pay, Tong Tayhiap, tidak ada orang lain yang bisa menolongnya."
Ouw Hui kagum bukan main. "Lidahnya sung-guh tajam, biarpun Tong Pay mempunyai seratus mulut, dia tak akan bisa melawan," pikirnya. "Jalan darah sasterawan itu terang-terang dibuka olehku. Tapi aku hanya membuka separuh, entah siapa yang membuka yang separuhnya lagi. Tapi orang itu pasti bukan Tong Pay."
Sementara itu, Wan-seng sudah berkata pula: "Hok Thayswee, Tong Pay dan penjahat-penjahat Ang-hoa-hwee sudah menentukan tipu daya yang sangat bagus. Pertama, sasterawan itu berlagak ter-tawan, supaya dia bisa ditempatkan di dekat Thay¬swee. Sesudah itu, rombongan penjahat yang lain memadamkan lilin, supaya, di dalam kekalutan, si sasterawan dapat membunuh kau. Tapi rejeki Thay¬swee sangat besar, sehingga bahaya itu berubah menjadi keselamatan. Semua Wie-su telah menun-jukkan kesetiaannya dan begitu lekas lilin padam, mereka berkumpul di sekitar Thayswee untuk me-lindungi, sehingga kawanan penjahat tidak bisa mencapai maksudnya yang busuk."
"Bohong! Dusta besar!" teriak Tong Pay ba-gaikan kalap.

Di depan mata Hok Kong An terbayang kejadi-an tadi dan tanpa merasa, ia berkata: "Sungguh berbahaya!" Sambil mengawasi Ong Kiam Eng dan
Ciu Tiat Ciauw, ia berkata pula: "Kamu berjasa besar dan aku akan menaikkan pangkatmu."
Wan-seng tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang baik itu. "Ong Tayjin, Ciu Tayjin, bukankah tipu busuk kawanan penjahat begitu adanya?" tanyanya.

Karena pertanyaan itu adalah untuk kebaikan mereka, maka Ong Kiam Eng lantas saja menjawab: "Sasterawan bangsat itu memang coba menerjang Thayswee, tapi untung juga percobaannya telah digagalkan oleh kami."
"Di dalam kegelapan kami diserang oleh se-orang yang berkepandaian sangat tinggi," menyam-bungi Ciu Tiat Ciauw. "Kami terpaksa melawan mati-matian... kami tak pernah menduga, bahwa musuh itu Tong Pay adanya. Sungguh berbahaya!"
Tong Pay merasa dadanya seperti mau meledak dan matanya berkunang-kunang. Otaknya yang cer-das tidak dapat bekerja lagi dan ia hanya berkata dengan suara terputus-putus: "Kau... kau... dusta! Tadi kau tidak berada di sini... bagaimana kau tahu?"
Wan-seng tidak meladeni. Sekarang i a meng¬awasi Hong Jin Eng, dari kepala sampai di kaki. Hong Jin Eng adalah ayahnya sendiri, tapi dia sudah mencelakakan ibunya, sehingga akhirnya sang ibu binasa menggantung diri. Ia pernah bersumpah, bahwa sesudah tiga kali memberi pertolongan, un¬tuk menunaikan tugas seorang anak kepada ayah-andanya, ia akan mengambil jiwa Hong Jin Eng. Sekarang, sesudah memfitnah Tong Pay, ia sebenar-nya bisa menyeret juga Hong Jin Eng. Akan tetapi, Sesudah mengawasi sejenak, ia merasa tak tega dan

bersangsi.

Tong Pay adalah seorang dorna besar yang sangat licin. Begitu melihat kesangsian Wan-seng, di dalam otaknya lantas saja berkelebat serupa ingatan dan ia menarik kesimpulan, bahwa fitnahan pendeta itu adalah "kerjaan" Hong Jin Eng. "Hong Jin Eng!" teriaknya. "Sekarang baru kutahu, ini semua kerjaanmu! Kau minta bantuanku supaya kau bisa merebut sebuah Giok-liong-pwee, tapi tidak dinyana, kau juga menyuruh anakmu mem-fitnah aku."
Jin Eng terkejut. Dengan suara bergemetar ia menanya: "Anakku? Dia... anakku?"
"Kau tak usah berlagak pilon," kata Tong Pay seraya tertawa dingin. "Lihatlah muka pendeta bangsat itu! Lihat mukanya! Ada apa bendanya dengan muka Gin-kouw?"
Dengan mata membelalak, si orang she Hong menatap wajah Wan-seng. Segera juga ia mcndapat kenyataan, bahwa ia seperti berhadapan dengan Gin Kouw dalam pakaian pendeta.

Dulu, dengan membawa puterinya dari Hud-san-tin Gin Kouw lari ke Ouw-pak di mana ia bekerja di rumah Tong Pay sebagai pembantu ru-mah tangga. Tong Pay adalah seorang manusia busuk yang pandai berpura-pura di luar dia ke-lihatan alim mulia, diam-diam dia sering melakukan perbuatan menyeleweng. Melihat Gin Kouw yang cantik, ia memaksa nyonya itu menyerahkan kehor-matannya, sehingga dalam malu dan gusar, Gin Kouw menghabiskan jiwanya sendiri dengan meng-gantung diri. Secara kebetulan kejadian itu dike-tahui oleh seorang niekouw dari Go-bie-pay yang

mempunyai kedudukan sangat tinggi. Ia menolong Wan-seng yang lalu dibawanya ke gunung Thian-san. Semenjak kecil Wan-seng telah dicukur ram-butnya dan diajar ilmu silat. Tempat tinggal pendeta tersebut tidak berjauhan dengan tempat tinggal Thian-tie Koay-hiap Wan Su Siauw dan orang-orang gagah Ang-hoa-hwee. Wan-seng sangat ber-bakat dan cerdas otaknya. Di bawah pimpinan se¬orang guru yang berkepandaian tinggi, ia memper-oleh kemajuan pesat. Di samping itu, ia juga sering datang kepada Wan Su Siauw dan minta diajari sejurus dua jurus. Dalam pergaulannya dengan jago-jago Ang-hoa-hwee, ia pun telah memperoleh pe-lajaran dan petunjuk-petunjuk yang sangat ber-harga. Tan Kee Lok, Hok Ceng Tong dan yang Iain-lain rata-rata telah memberikan ilmu-ilmu isti-mewa kepadanya, sehingga akhirnya ia dapat meng-gabung intisari daripada macam-macam ilmu silat berbagai partai dan menambal kekurangan tenaga dengan kecerdasan otaknya. Kalau bukan Lwee-kangnya masih cetek sebab usianya masih sangat muda, ia sudah boleh berendeng dengan ahli-ahli silat kelas satu pada jaman itu.

Tahun itu Wan-seng meminta permisi dari guru-nya untuk pergi ke Tionggoan guna membalas sakit hati mendiang ibunya. Waktu mau berangkat, Lok Peng menyerahkan kuda putih kepadanya dengan permintaan supaya kuda jempolan itu diserahkan kepada Ouw Hui. Tapi Tio Poan San telah membuat scdikit kesalahan ia memberi pujian terlalu tinggi kepada Ouw Hui, sehingga si nona merasa sangat penasaran dan mengambil keputusan untuk men-jajal kepandaian pemuda itu. Di luar dugaan, begitu
bertemu, mereka saling tertarik satu sama lain dan belakangan di dalam hati mereka mulai bersemi perasaan cinta. Waktu tersadar, Wan-seng men-dapat kenyataan, bahwa dirinya sudah terikat erat dengan tali asmara. Maka itu, dengan hati pedih, ia membatasi diri dan tidak berani terlalu sering ber¬temu muka dengan pemuda itu. Tapi diam-diam ia mengikuti dari belakang. Tak lama kemudian Ouw Hui bertemu dan bersahabat dengan Leng So. Hati-nya sangat terluka, tapi sebagai seorang manusia yang berhati mulia dan mencintai Ouw Hui dengan setulus hati, ia bahkan merasa syukur, bahwa pe¬muda itu telah bertemu dengan nona Thia. Tapi tanpa diketahui orang, ia telah mengucurkan ba-nyak air mata.

Dalam usahanya untuk membalas sakit hati, ia sebenarnya bisa membinasakan atau meracuni Kam-lim-hui-cit-seng Tong Pay. Tapi ia merasa, bahwa manusia itu yang selalu berpura-pura sebagai se¬orang mulia harus dilucuti topengnya di hadapan orang banyak. Jika ia bisa berbuat begitu, ia akan merasa lebih senang daripada membunuhnya secara diam-diam.

Kesempatan datang sendirinya. Hok Kong An ingin mengadakan Ciangbunjin Tayhwee dan telah mengirim surat undangan ke berbagai tempat. Wan-seng mengerti maksud-maksud pembesar itu. Ia tahu, bahwa pertama, Ciangbunjin Tayhwee ingin digunakan untuk mengumpulkan orang-orang ga-gah guna menghadapi Ang-hoa-hwee dan kedua, untuk memecah belah orang-orang Rimba Persilat-an supaya tenaga untuk melawan pemerintah Boan-ciu menjadi hancur atau sedikitnya menjadi lebih
lemah. Bagi Wan-seng, pertemuan Ciangbunjin itu merupakan kesempatan yang sangat baik untuk membuka topeng Tong Pay di hadapan segenap orang gagah.

Begitu tiba di Pakkhia, ia segera menyelidiki keadaan Tong Pay. Di Ouw-pak, dalam gedungnya sendiri, Tong Pay mempunyai banyak kaki tangan, sehingga tidaklah gampang untuk mengintip di ge-dung itu. Tapi di kota raja, dia hanya mengambil sebuah kamar di salah satu rumah penginapan kelas satu. Dengan menyamar sebagai seorang lelaki, Wan-seng bisa keluar masuk di rumah penginapan tersebut tanpa dicurigai oleh siapa pun jua. Dari pembicaraan-pembicaraan Tong Pay, ia mendapat tahu, bahwa manusia busuk itu ingin mengabdi kepada Hok Kong An untuk memanjat tangga ke-pangkatan dan kemewahan. Dengan cermat dan hati-hati, ia segera bekerja. Ia membuat surat palsu, menukar kopiah dan kejadiankejadian selanjutnya adalah sedemikian kebetulan, sehingga sekarang, biarpun mempunyai seratus mulut, Tong Pay tak akan bisa membela diri dari tuduhan yang hebat itu.

Sebenarnya, ia sudah menghitung untuk menye-ret juga Hong Jin Eng. Akan tetapi, antara ayah dan anak memang terdapat semacam ikatan yang sukar diputuskan dengan begitu saja. Biarpun ma¬nusia she Hong itu sangat jahat dan dia belum pernah melimpahkan rasa cintanya terhadap si anak, tapi perkataannya yang sudah berada di bibir Wan-seng sukar diucapkan.

Keadaan Tong Pay pada saat itu adalah seperti seorang yang sedang kelelap di dalam sungai. Apa saja, biarpun selembar rumput, akan dijambretnya
dan dicekalnya erat-erat. Demikianlah sambil me-nuding, dia segera berteriak: "Hong Jin Eng! Jawab pertanyaanku: Apa dia anakmu atau bukan?"
Hong Jin Eng mengangkat kepala dan lalu mengawasi Wan-seng dengan mata tidak berkedip.

"Hok Thayswee!" teriak pula Tong Pay. "Bapak dan anak itu telah mengatur tipu untuk mencelaka-kan siauwjin."
"Perlu apa aku mencelakakana kau?" tanya si orang she Hong dengan gusar.

"Karena perbuatanku, sehingga isterimu bina-sa," jawabnya.

Hong Jin Eng tertawa dingin. "Huh-huh...!" ia mengeluarkan suara di hidung. "Siapa kata pe-rempuan itu isteriku? Begitu kudapat, aku melem-parkannya lagi...." Tiba-tiba ia menggigil dan tidak dapat meneruskan perkataannya, karena kedua mata Wan-seng yang bersinar dingin dan tajam bagaikan pisau, menatap wajahnya.

"Baiklah," kata Tong Pay. "Keadaan sudah jadi sedemikian rupa, sehingga aku pun tidak perlu melindungi kau lagi. Sekarang jawablah pertanyaan¬ku: Siapa yang melepaskan Bu-eng Gin-ciam, kau atau aku? Jika kau mampu melepaskannya, coba-lah! Timpuklah aku dengan jarum itu!"
Pembukaan rahasia itu disambut dengan suara ramai dari para hadirin. Baru sekarang mereka tahu, bahwa jarum aneh itu sebenarnya dilepaskan oleh Tong Pay.

Sesudah punggungnya kena jarum, Ouw Hui tahu, bahwa yang melepaskannya bukan Hong Jin Eng, karena waktu itu ia berhadapan dengan lawan-nya. Tapi ia sedikit pun tidak menduga Tong Pay,
lantaran tadi si orang she Tong telah bertengkar dengan Hong Jin Eng. Yang diduga olehnya adalah Hay Lan Pit.

Latar belakang dari muslihat licik itu adalah begini: Waktu kabur dari Hud-san-tin dan lewat di Ouw-pak, Hong Jin Eng menginap beberapa malam di rumah Tong Pay. Secara kebetulan, ia mendengar pembicaraan antara dua orang pembantu rumah tangga yang berbincang-bincang mengenai keadaan di Hud-san-tin. Waktu Hong Jin Eng mendekati dan menanya ini itu, mereka memperlihatkan sikap yang mencurigakan. Sebagai orang buronan, Hong Jin Eng mendekati dan menanya ini itu, mereka mem¬perlihatkan sikap yang mencurigakan. Sebagai orang buronan, Hong Jin Eng selalu ketakutan dan berwaspada. Dengan menghadiahkan seorang lima puluh tahil perak, ia mendapat tahu peristiwa yang terjadi atas din Gin Kouw. Tapi ia tidak menjadi gusar, karena Gin Kouw dianggapnya sebagai ba-rang mainan belaka. Ia pun tidak menanyakan hal itu kepada Tong Pay.

Setibanya di Pakkhia, dengan mengeluarkan sejumlah besar uang, ia meminta bantuan Ciu Tiat Ciauw dan kawan-kawannya untuk mendamaikan sengketanya dengan Ouw Hui. Tapi pemuda itu ternyata laki-laki sejati yang tidak memandang se-gala harta dunia.

Ia ketakutan setengah mati. Ia mengerti, bahwa sebegitu lama Ouw Hui masih belum disingkirkan, ia tak akan bisa hidup tentram di dalam dunia. Ia segera berdamai dengan Tong Pay. Ia sengaja me-ngatakan, bahwa Ouw Hui pasti akan menghadiri Ciangbunjin Tayhwee untuk mengacau. Tapi Tong

Pay tidak mudah dibujuk. Akhirnya ia menyebutkan persoalan Gin Kouw. Dengan kata-kata halus, ia memberi isyarat, bahwa jika Tong Pay tidak mau menolong, ia akan membuka rahasia. Tapi jika jago itu bisa membinasakan Ouw Hui, sesudah kembali di Hud-san-tin, setiap tahun ia akan memberi se-laksa tahil perak kepadanya.

Dalam pergaulannya yang sangat luas, Tong Pay memerlukan banyak uang. Untuk mempertahankan "nama harumnya", ia tidak bisa bersepak terjang seperti Hong Jin Eng, misalnya membuka tempat judi, menguasai pelabuhan dan Iain-lain. Mende-ngar janji itu, hatinya tergerak juga. Dengan di-dorong oleh kekhawatiran mengenai rahasianya sendiri, ia segera menyanggupi. Tong Pay berotak sangat lihay. Ia segera membuat alat rahasia untuk melepaskan jarum dan memasang alat tersebut di dalam sepatunya. Selagi berjalan tumit sepatunya tidak menyentuh tanah, sebab begitu lekas, tumit itu tertekan, jarum perak lantas saja keluar me-nyambar. Muslihat itu memperoleh hasil luar biasa, sehingga orang-orang seperti Ouw Hui dan Leng So masih kena dikelabui.

Tapi siapa yang menyebar angin akan mendapat taufan. Mimpi pun ia tak pernah mimpi, bahwa puteri Gin Kouw bakal muncul di dalam Ciang-bunjin Tayhwee. Dalam bingungnya, mendadak ia dapat meraba, bahwa Wan-seng adalah puteri Hong Jin Eng dan ia segera membuka rahasia. Dalam pembukaan rahasia itu, ia pun mempunyai per-hitungan sendiri. Ia menganggap, bahwa kedosaan mencelakakan seorang wanita dan main gila dalam pertandingan Ciangbunjin Tayhwee, banyak lebih
enteng daripada kedosaan bersekutu dengan Ang-hoa-hwee, sehingga ia bisa mengharap untuk ter-lolos dari hukuman mati.

Tapi Hong Jin Eng pun bukan manusia tolol. Begitu diserang, ia segera mengerti maksud lawannya. "Binatang! Kau sungguh manusia busuk," teriaknya. "Sesudah aku tahu rahasiamu, rahasia persekutuanmu dengan Ang-hoa-hwee, kau sudah berusaha untuk membeli aku dengan memberi bantuan dalam per¬tandingan. Tapi Hong Jin Eng bukan seorang peng-khianat. Mana bisa kau membeli... aduh...!" Tiba-tiba ia berteriak kesakitan dan roboh di lantai. Ternyata, dalam gusarnya, Tong Pay menjejak kedua tumit sepatunya dan empat batang jarum menyambar ke-empat jalan darah si orang she Hong.

Wan-seng melompat dan berseru: "Ayah...!"
Sambil menangis Wan-seng mengangkat tubuh ayahnya dan meraba dadanya. Segera juga ia men¬dapat kenyataan, bahwa sang ayah sudah menghem-buskan napasnya yang penghabisan.

Keadaan dalam ruangan itu lantas saja berubah kacau.

Selagi orang berlomba-lomba bicara, Hok Kong An berpikir: "Tong Pay pasti mempunyai kawan dan niekouw itu pasti sudah tahu bunyinya surat, se¬hingga dia bisa membocorkan rahasia. Tak dapat aku membiarkan dia hidup terus." Memikir begitu, ia lantas saja berkata dengan suara perlahan kepada An Teetok: "Tutup semua pintu. Tak seorang pun boleh keluar."
Ouw Hui yang bermata sangat awas segera mengetahui, bahwa keadaan sudah sangat berba-haya. Ia melompat mendekati Wan-seng dan ber-
bisik: "Kita harus kabur selekasnya, kalau terlambat kita bisa celaka." Wan-seng mengangguk dan me¬reka lalu mendekati Leng So. Sekonyong-konyong tangan Wan-seng berkelebat dan jerijinya menotok jalan darah Coa Wie yang lantas saja terjungkal.

Ouw Hui terkejut dan mengawasi Wan-seng dengan sorot mata menanya: "Ouw Toako," kata Wan-seng. "Dialah yang telah membocorkan ra-hasia dan diam-diam mengantar pulang kedua anak-nya Hok Kong An."
"Ah! Betul-betul kurang ajar!" kata Ouw Hui dengan gusar dan lalu mengirim tendangan hebat. Tubuh Coa Wie terpental dan meskipun tidak menjadi mati, dia terluka berat dan ilmu silatnya musnah. Dalam kekalutan, dihajarnya Coa Wie tidak diperhatikan orang.

Tiba-tiba terdengar teriakan An Teetok: "Tuan-tuan! Duduklah! Jangan ribut!"
Sementara itu, Leng So sudah menghisap hunwee dan mengepul-ngepulkan asapnya. Ia pergi ke tengah ruangan, ke kiri dan kanan sambil me-ngepulkan asap.

Sekonyong-konyong terdengar teriakan se-orang: "Aduh...! Aduh!" Ia berteriak sambil me-megang perut. Teriakan itu disusul dengan teriakan seorang lain dan sesaat kemudian, ruangan itu se-olah-olah digetarkan oleh teriakan-teriakan "perut sakit" dan semua orang memegang perutnya. Seraya memberi isyarat dengan lirikan mata, Leng So pun turut berteriak, diturut oleh Ouw Hui dan Wan-seng.

Orang yang mengaku sebagai "Tok-chiu Yo-ong" juga tidak terluput dan sambil membungkuk
karena menahan sakit, ia mengeluarkan seikat rum-put dari sakunya dan lalu membakarnya. Ia me-ngerti, bahwa itu adalah akibat racun dan dengan rumput itu, ia berusaha untuk memunahkannya.

Melihat begitu, Leng So lantas berteriak: "Ce¬laka! Tok-chiu Yo-ong melepaskan racun! Lihat! Dia melepaskan racun!"
"Lekas! Tahan dia! Dia mau meracuni Hok Thayswee," menyambungi Ouw Hui.

Dalam bingungnya, para Wie-su tentu saja tak tahu dari mana datangnya racun. Tapi, karena Cio Ban Tin sudah dikenal sebagai si raja racun dan juga sebab dia sedang membakar rumput, maka mereka lantas saja percaya teriakan Ouw Hui. Di lain saat, puluhan senjata rahasia sudah menyambar ke arah Tok-chiu Yo-ong tetiron itu.

Tapi Cio Ban Tin memang bukan sembarang orang. Dalam bahaya, ia tak jadi bingung. Sekali membungkuk, ia mengangkat sebuah meja yang lalu digunakan sebagai tameng, sehingga semua senjata rahasia menancap di papan meja. "Hei! Jangan kamu menuduh buta-tuli," teriaknya. "Ada orang menaruh racun di air teh dan arak."
Di antara para hadirin ada banyak juga yang merasa curiga terhadap Hok Kong An, kalau-kalau Ciangbunjin Tayhwee mau digunakan untuk mem¬basmi orang-orang gagah dalam Rimba Persilatan. Semenjak dahulu, banyak raja atau menteri besar coba membasmi para sasterawan atau orang-orang gagah, jika mereka tidak bisa mendapat bantuan kaum sasterawan atau orang gagah itu. Di Tiongkok terdapat sebuah pepatah yang mengatakan begini. "Dengan ilmu surat, seorang sasterawan dapat me-
ngacaukan ketentraman dan dengan ilmu silat, se-orang gagah bisa mengacaukan keamanan." Jika sasterawan atau orang gagah tidak bisa ditaklukkan, mereka bisa mengacau, sehingga oleh karenanya, mereka harus dibasmi. Demikianlah kecurigaan yang dikandung oleh sebagian orang yang menghadiri Ciangbunjin Tayhwee itu.

Maka itulah, begitu mendengar teriakan Tok-chiu Yo-ong, bahwa, "ada orang menaruh racun di air teh dan arak", banyak orang jadi ketakutan. Mereka tentu saja tak tahu, bahwa Hok Kong An dan para Wie-su sendiri sedang sakit perutnya. Kekalutan makin menjadi-jadi.

"Lekas lari! Hok Thayswee mau meracuni kita!"
"Yang masih kepingin hidup lekas lari!"
"Mari!"
Berbareng dengan teriakan-teriakan itu, semua orang mulai bergerak ke arah pintu.

Sementara itu, Tong Pay dan Wan-seng sudah bertempur mati-matian. Yang satu coba meloloskan diri, yang lain bertekad untuk membalas sakit hati. Dalam pertempuran itu, Wan-seng berada di atas angin sebab, sesudah makan pel yang diberikan Leng So, ia terbebas dari sakit perut. Tapi biarpun bersenjatakan kebutan yang dapat menyedot jarum perak, ia masih merasa jeri terhadap Bu-eng Gin-ciam.

Maka itu, ia tidak berani terlalu mendesak dan menghantam dengan cambuknya dari sebelah kc-jauhan.

Sementara itu, dengan dilindungi oleh para Wie-su, Hok Kong An sudah masuk ke ruangan dalam dan segera mengeluarkan perintah untuk
menutup semua pintu dan melarang keluarnya siapa pun jua. Kemudian ia memanggil tabib untuk meng-obati perutnya.

Begitu melihat para Wie-su bergerak untuk menutup pintu, makin keras dugaan para hadirin, bahwa Hok Kong An menggenggam maksud tidak baik. Untuk menolong jiwa, sekarang mereka tidak memperdulikan lagi kedosaan "memberontak". De¬ngan serentak mereka menerjang ke pintu.

Dari ruangan pertandingan ke pintu luar ter-dapat tiga buah pintu. Di lain saat, di ruangan-ruangan itu sudah terjadi pertempuran hebat antara rombongan para Ciangbunjin dan kaki tangan Hok Kong An.

Dalam kekalutan, An Teetok buru-buru meng-hampiri kedelapan Ciangbunjin besar dan berkata: "Orang jahat sudah mengacau dan kuharap kalian tenang-tenang saja. Hok Thayswee sangat meng-hormati orang-orang pandai dan kalian jangan mempunyai kecurigaan apa pun jua."
"Kepala penjahat adalah Tong Pay dan kita harus lebih dulu membekuknya," kata Hay Lan Pit sambil mencabut kedua tongkatnya. Ia segera ber-tindak untuk bantu mengepung Tong Pay.

Melihat Wan-seng belum juga bisa menjatuh-kan musuhnya, Ouw Hui segera menghunus golok dan menerjang.

"Sambut jarumku!" teriak Tong Pay.

Ouw Hui, Wan-seng dan Hay Lan Pit terkejut dan mereka melompat mundur. Dengan mengguna-kan kesempatan itu, tiba-tiba Tong Pay menjejak kedua kakinya dan badannya melesat ke luar dari jendela. Ouw Hui dan Wan-seng mengejar, tapi
mereka dipapaki dengan sejumlah jarum. Dengan berjumpalitan Ouw Hui menolong diri, sedang Wan-seng menyambut senjata rahasia itu dengan kebutannya. Karena kelambatan itu, Tong Pay ke-buru kabur.

Di lain saat terdengar suara teriakan kesakitan dan tiga orang Wie-su jatuh dari atas genteng. Mereka ternyata sudah dirobohkan oleh Tong Pay.

"Hei!" teriak Leng So. "Mengapa kamu tidak mengejar penjahat yang sudah membinasakan Hok Thayswee dengan racun?"
Semua Wie-su terkesiap. Apa benar Hok Thay¬swee binasa?
Selagi orang kaget, Leng So menarik tangan Wan-seng dan Ouw Hui seraya berbisik: "Hayolah!" Waktu mau melangkah pintu, Wan-seng menengok ke belakang dan untuk penghabisan kali, melihat wajah mendiang ayahnya. "Kau sudah mencelaka-kan ibu, tapi, biar bagaimanapun juga, kau adalah ayahku," katanya di dalam hati.

Di ambang pintu, mereka dicegat oleh tiga orang Wie-su. Wan-seng merobohkan satu antara-nya dengan menggunakan cambuk, sedang Ouw Hui menghajar yang dua dengan tinju dan tendangan.

Ketika itu, langit sudah terang benderang dan bala bantuan dengan beruntun sudah tiba di luar gedung Hok Kong An. Dengan cepat Ouw Hui bertiga mencari jalan keluar dan kemudian kabur dengan melalui lorong-lorong kecil.

"Apa yang sudah terjadi atas diri Ma Kouwnio?" tanya Ouw Hui.

"Si tua she Coa telah memerintahkan kaki ta-ngannya untuk mengantarkan Ma Kouwnio dan
kedua puteranya ke gedung Hok Kong An," me-nerangkan Wan-seng. "Hal itu secara kebetulan telah diketahui olehku dan aku lalu mencegat me¬reka. Tapi sungguh menyesal, aku hanya berhasil menolong Ma Kouwnio seorang."
"Di mana kau menyembunyikannya?" tanya pula Ouw Hui.

"Dalam sebuah kelenteng rusak, di luar pintu kota barat," jawabnya. "Oleh karena itu, aku datang terlambat, sehingga bangsat she Tong itu bisa me-larikan diri." Kata-kata yang paling belakang itu diucapkannya dengan suara mendongkol.

"Tapi untuk sementara, kau harus merasa puas," membujuk Ouw Hui. "Penjahat itu sudah hancur namanya. Nona... sebagian dari sakit hatimu sudah dapat dibalas. Kita akan mencari dia dan kupercaya dia tak akan bisa terlolos."
Wan-seng tidak mengatakan suatu apa, tapi di dalam hati ia sangat berduka, karena ia tidak dapat berkumpul dengan Ouw Hui lebih lama lagi.

"Sesudah terjadi peristiwa hebat di gedung Hok Kong An, pintu-pintu kota pasti akan segera di-tutup," kata Leng So. "Kita tidak boleh berayal."
Ouw Hui dan Wan-seng membenarkan per-kataan Leng So dan dengan cepat mereka bertiga menuju ke pintu kota Soan-bu-bun. Untung juga penjaga pintu belum menerima perintah, sehingga mereka bisa keluar dengan selamat. Mereka kem-bali ke rumah Ouw Hui, berkemas secapat mungkin dan bersiap untuk berangkat dengan membawa si putih, hadiah Lok Peng.

"Ouw Toako," kata Leng So sambil tertawa, "gedung ini, yang telah kau peroleh dengan berjudi,
lebih baik dikembalikan saja kepada Ciu Tayjin."
Ouw Hui turut tertawa. "Dia telah membantu banyak kepada kita dan adalah sepantasnya saja, jawab dia mendapat kembali gedung ini," katanya. Biarpun ia bicara sambil tertawa-tawa, tapi ia tidak berani berbentrok mata dengan Wan-seng.

Dengan Wan-seng sebagai penunjuk jalan, me-reka menuju ke kelenteng rusak itu, yang terpisah jauh dari jalan raya. Patung malaikat yang dipuja dalam kelenteng itu bermuka hijau, dengan ping-gang terlibat oyot pohon dan tangan menggenggam rumput yang ditempelkan pada mulutnya, seperti sedang mencicipi rumput itu. Malaikat itu ialah Sin Liong Sie, seorang leluhur ilmu ketabiban di Tiong-kok.

"Thia Moay-moay," kata Wan-seng, "kau seperti pulang ke rumah sendiri. Kelenteng ini ialah kelen¬teng Yo-ong."
Mereka segera pergi ke kamar samping, di mana Ma It Hong sedang rebah di atas rumput kering. Napasnya sudah lemah sekali, ia tidak mengenali Ouw Hui dan mulutnya mengacau: "Anakku... mana anakku!" Suaranya hampir tidak kedengaran.

Leng So memegang nadi si sakit dan membuka kelopak matanya. Sesudah itu, mereka keluar dari kamar tersebut. Nona Thia menggelengkan kepala dan berkata: "Tak bisa ditolong lagi. Pukulan-pu-kulan itu terlampau berat untuknya. Andaikata Suhu hidup kembali, ia pun tak akan bisa berbuat apa-apa."
Tanpa diberitahu, Ouw Hui pun tahu, bahwa keadaan Ma It Hong sudah tidak memberi harapan lagi. Di depan matanya kembali terbayang kejadian
yang sudah lampau, kejadian di Siang-kee-po, di-mana ia bertemu dengan It Hong untuk pertama kalinya. Ia berduka bukan main dan air matanya mengucur deras.

Sedari bertemu pula dengan Wan Cie Ie, yang sudah berubah menjadi pendeta, hatinya memang sudah sangat sedih, tapi sebisa-bisa ia menguatkan hatinya. Sekarang, begitu air matanya mengalir ke¬luar, ia tak dapat menahannya lagi dan lantas saja ia menangis terisak-isak.

Leng So dan Wan-seng adalah orang-orang yang sangat pintar dan mereka lantas saja dapat menebak sebab musabab dari kedukaan Ouw Hui.

"Aku ingin menengok lagi Ma Kouwnio," kata Leng So sambil berlalu.

Sesudah nona Thia berlalu, dengan mata merah Wan-seng berkata: "Ouw Toako, terima kasih un¬tuk... untuk...." Ia tak dapat meneruskan perkataan-nya.

Dengan air mata berlinang-linang, Ouw Hui mengangkat kepalanya seraya berkata dengan suara terputus-putus: "Apakah... apakah kau tidak bisa kembali ke dunia pergaulan umum? Sesudah mem-binasakan manusia she Tong itu dan membalas sakit hati ibumu, kau jangan jadi pendeta lagi."
Wan-seng menggelengkan kepala. "Janganlah kau mengeluarkan perkataan begitu," katanya. "Da-hulu, aku telah bersumpah di hadapan Suhu untuk mengabdi kepada Sang Buddha. Kalau sekarang aku berubah pikiran, aku berdosa... apalagi... apalagi...." Ia menghela napas panjang-panjang dan menun-dukkan kepala.

Banyak sekali yang ingin diucapkan oleh kedua
orang muda itu, tapi tak sepatah kata keluar dari mulut mereka. Untuk beberapa lama mereka mem-bungkam. "Thia Kouwnio seorang baik," kata Wan-seng akhirnya, "kau harus memperlakukannya baik-baik. Mulai dari sekarang, kau jangan mengingat-ingat aku lagi dan aku pun tak akan ingat kau lagi."
Hati Ouw Hui pedih, bagaikan disayat pisau. "Tidak," katanya, "selama masih bernapas aku tak akan bisa melupakan kau... tak bisa melupakan kau."
"Guna apa?" kata Wan-seng. "Kau hanya akan lebih menderita." Sehabis berkata begitu, sambil menggigit bibir, ia memutar badan dan bertindak ke luar dari ruangan sembahyang.

"Kau mau ke mana?" tanya Ouw Hui dengan suara parau.

"Tak usah perdulikan aku," jawabnya. "Mulai saat ini, kita harus kembali pada satu tahun ber-selang, di waktu kau belum mengenal aku dan aku pun belum mengenalmu."
Ouw Hui berdiri bagaikan patung. Dengan mata membelalak, ia mengawasi bayangan Wan-seng yang berjalan terus tanpa menengok lagi.

Entah berapa lama ia berdiri di situ. Tiba-tiba ia terkejut karena kupingnya menangkap suara tin-dakan kuda. "Apakah dia kembali?" tanyanya di dalam hati. Tapi ia segera sadar, bahwa itu hanya harapan kosong, karena Wan-seng tidak menung-gang kuda, apa pula, didengar dari suaranya, yang datang itu bukan hanya seekor kuda. Beberapa saat kemudian, ia melihat delapan-sembilan penung-gang kuda muncul dari sebuah jalan kecil. Men-dadak jantungnya berdebar keras, sebab orang yang
terdepan, yang mukanya tampan dan berusia belum cukup empat puluh tahun, bukan lain dari pada Hok Kong An!
Darah Ouw Hui lantas saja meluap. "Manusia kejam itu mempunyai kekuasaan besar dan kedu-dukannya hanya setingkat lebih rendah dari pada Kian-liong sendiri," pikirnya. "Dia menjadi kepala dalam penindasan terhadap bangsa Han dan per-buatannya terhadap Ma Kouwnio kejam luar biasa. Hm...! sungguh kebetulan aku bertemu dengan dia di tempat yang begini sepi. Biarpun dia dilindungi oleh tukang-tukang pukul kelas satu dan walaupun aku hanya dibantu oleh Jie-moay, aku mesti me-nurunkan keangkerannya." Berpikir begitu, sambil menolak pinggang ia segera menghadang di tengah jalan.



DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar