Kisah Si Rase Terbang (Hoei Ho Gwa Toan) Jilid 9

Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
----------------------------

Jilid 9

"Oh, begitu?" kata Tiauw Leng. Di lain saat, Thio Hui Hiong sudah memutarkan badan dan berjalan pergi.

Mendengar itu, bukan main girangnya Ouw Hui. la berlari-lari ke luar sembari berteriak: "Di mana tempat tinggal Tok-chiu Yo-ong?"

"la hidup menyembunyikan diri di pinggir telaga Tong-teng," Tiauw Eng menerangkan. "Tapi... tapi...."

"Tapi kenapa?" tanya Ouw Hui.

"Meminta pertolongan orang aneh itu, bukan-nya gampang," jawabnya dengan suara perlahan.

"Biar bagaimana juga, kita mesti mengundang dia datang ke sini," kata Ouw Hui dengan bernafsu. "Kita berikan apa saja yang dimintanya."

Tiauw Eng menggeleng-gelengkan kepala sem¬bari menarik napas. "Yang paling sukar, orang itu sama sekali tidak memerlukan sesuatu apa," kata-nya.

"Jika tak bisa dengan jalan halus, kita boleh menggunakan jalan kasar," kata pula Ouw Hui.

Tiauw Eng berdiam sambil menunduk.

"Kita tidak boleh terlambat sedikitpun juga," Ouw Hui mendesak. "Sekarang juga siauwtee akan berangkat. Untuk sementara waktu, aku meng-harap, supaya Samwie berdiam di sini dulu, untuk menjaga kalau manusia keji itu mengirim pula kaki tangannya."

la berlari-lari ke kamar Biauw Jin Hong dan berkata: "Biauw Tayhiap! Aku mau pergi untuk mengundang tabib."

Kim-bian-hud menggelengkan kepala dan ber¬kata dengan suara perlahan: "Kau mau mencari Tok-chiu Yo-ong? Ah! Kau hanya membuang-buang tenaga secara percuma. Tak usah, kau tak usah pergi!"

"Tidak!" kata Ouw Hui dengan suara tetap. "Dalam dunia ini tak ada apa-apa yang tidak bisa dilakukan." Tanpa menunggu jawaban, ia memutar-kan badan dan berjalan ke luar dari kamar Kim-bian-hud.

"Ciong Toa-ya," ia berseru. "Siapa nama Yo-ong itu? Jalan apa yang harus diambil untuk pergi ke tempat tinggalnya?"

"Sudahlah!" kata Ciong Tiauw Bun. "Begini saja: Aku mengawani kau untuk pergi bersama-sama! Tentang orang aneh itu, baik kita bicarakan perlahan-lahan di sepanjang jalan."

Demikianlah, tanpa berkata suatu apa lagi, ke¬dua orang gagah itu lantas saja berlari-lari ke ju-rusan utara dengan menggunakan ilmu mengen-tengkan badan. Di waktu pagi, mereka tiba di se-buah kota kecil dan segera membeli dua ekor kuda yang lalu dikaburkan sekeras-kerasnya. Sesudah berjalan beberapa belas li, mereka tiba di jalan yang

bercagak tiga. Mereka agak bingung, tapi baik juga, di sebidang kebun sayur terdapat seorang petani tua yang sedang menggarap tanah. Mereka lalu menanyakan jalan ke Thogoan dan begitu mendapat petunjuk, kedua tunggangan itu lalu dibedal pula.

Demikianlah, untuk menolong seorang ksatria, terus-menerus Tiauw Bun dan Ouw Hui membedal kuda. Kecuali memberi rumput dan air kepada tunggangannya, mereka tak berani mengaso, bah-kan tak berani masuk di rumah makan untuk me-nangsal perut. Jika merasa lapar, mereka berhenti turun dari pelana.

Tak lama kemudian, mereka sudah melalui enam puluh li lebih. Tiauw Bun dan Ouw Hui adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi dan ber-tubuh kuat. Jika perlu, mereka bisa berjalan dua hari dua malam terus-menerus. Tapi, sedang sang penunggang masih cukup kuat, adalah tunggangan mereka yang sudah kepayahan. Sesudah lari lagi beberapa jauh, kedua hewan itu tersengal-sengal dan tindakan mereka jadi semakin limbung.

"Saudara kecil," kata Tiauw Bun. "Kurasa, ke¬dua hewan ini mesti diberi ketika untuk mengaso juga."

"Baiklah," kata Ouw Hui.

Mengingat kuda, tanpa merasa ia jadi ingat kepada si putih, tunggangan Wan Cie Ie. "Kalau aku menunggang kuda putih nona Wan, sekarang mungkin aku sudah tiba di telaga Tong-teng," kata-nya di dalam hati. Mengingat Wan Cie Ie, ia me-rogoh sakunya dan mengusap-usap Giok-hong (bu-rung Hong dari giok), pemberian si nona. Ia rae-rasakan betapa hangatnya batu giok itu dan ke-

hangatan itu terus menembus sampai di hatinya.

Mereka lalu duduk mengaso di pinggir jalan, di bawah pohon liu yang besar. Tunggangan mereka makan rumput dan turut mengaso di tegalan. Ciong Tiauw Bun duduk temenung tanpa mengeluarkan sepatah kata. Kedua alisnya berkerut dan mukanya kelihatan masgul. Ouw Hui mengetahui, bahwa kejengkelan kawan itu, disebabkan oleh kekha-watiran, bahwa perjalanan mereka akan mengalami kegagalan.

"Ciong Toaya," ia menegur. "Orang apakah, sebenarnya Tok-chiu Yo-ong?"

Tiauw Bun tak menjawab, seolah-olah tak men-dengar pertanyaan Ouw Hui. Lewat sejenak, ia kelihatan terkejut dan berbalik menanya: "Apa kau kata?"

Ouw Hui mengerti apa yang barusan dipikirkan Ciong Tiauw Bun. Ia tentu sedang memikirkan keadaan Biauw Jin Hong. Diam-diam Ouw Hui merasa kagum terhadap orang she Ciong itu, yang meskipun wajahnya menakutkan, mempunyai hati yang sangat muiia. Dengan Biauw Jin Hong, se¬benarnya ia mempunyai ganjalan yang tidak kecil. Tapi sekarang, dengan melupakan segala sakit hati¬nya, tanpa mengenal lelah, ia rela melakukan suatu perjalanan yang mungkin penuh dengan bahaya. Memikir begitu, Ouw Hui segera berkata: "Ciong Toaya, setiap mengingat kesalahanku kemarin, aku jadi merasa sangat malu. Jika boanpwee menge¬tahui, bahwa Samwie adalah ksatria-ksatria yang berbudi tinggi, biarpun mempunyai nyali yang ba-gaimana besar juga, boanpwee tentu tak akan be-rani melanggar Samwie."

Tiauw Bun tertawa terbahak-bahak. "Jangan rewel," katanya sembari mengawasi Ouw Hui de¬ngan sorot mata simpatik. "Biauw Tayhiap adalah seorang ksatria besar pada jaman ini. Jika melihat ia menghadapi bahaya, kami tak menolong, kami bertiga sungguh bukan manusia lagi. Saudara kecil! Kalau dibanding-banding, pribudimu masih lebih luhur daripada kami. Walaupun tak pernah meng-ikat tali persahabatan dengan Biauw Tayhiap, kami sudah pernah bertemu satu kali. Tapi kau sendiri? Dimasa yang lalu, belum pernah kau bertemu de¬ngan beliau."

Ciong Tiauw Bun tidak mengetahui, bahwa beberapa tahun berselang, Ouw Hui sudah pernah melihat wajah Kim-bian-hud di Siang-kee-po. Tapi dalam pertemuan itu, meskipun Ouw Hui tahu siapa sebenarnya Biauw Jin Hong, Biauw Jin Hong sendiri sama sekali tidak memperhatikannya, seorang bo-cah kurus kering.

Ciong Tiauw Bun lebih-lebih tidak mengetahui, bahwa delapan belas tahun berselang, ketika Ouw Hui baru saja berusia satu hari, Biauw Jin Hong pernah melihatnya di dalam sebuah rumah pengi-napan kecil di kota Ciang-ciu, propinsi Hopak. Pertemuan itu masih diingat oleh Kim-bian-hud, tapi tentu saja tidak diketahui oleh Ouw Hui sendiri. Dan Biauw Jin Hong sendiri tentu tidak pernah bermimpi, bahwa ksatria muda yang sedang ber-usaha untuk menolong dirinya, adalah bayi itu yang pernah dilihatnya delapan belas tahun berselang.

Ouw Hui menunduk, ia merasa agak jengah mendengar pujian kawannya itu. Beberapa saat kemudian, Ciong Tiauw Bun menanya pula: "Eh,

kau tanya apa tadi?"

"Aku menanyakan hal Tok-chiu Yo-ong," jawab Ouw Hui. "Dia itu, sebenarnya manusia bagai-mana?"

"Secara terus terang: Aku tak tahu," sahut Tiauw Bun.

"Tak tahu?" Ouw Hui menegas.

"Dalam kalangan Kang-ouw, aku mempunyai banyak sekali kawan," kata Tiauw Bun. "Tapi di antara mereka itu, tak satu pun mengetahui, orang apa sebenarnya Tok-chiu Yo-ong."

Ouw Hui jadi merasa masgul. Tadinya ia men-duga, bahwa Ciong Tiauw Bun mengetahui asal usul si Raja Racun. Jika bukan begitu, ia tentu sudah menanyakan terlebih jelas kepada Thio Hui Hiong.

Ciong Tiauw Bun seperti juga dapat membaca pikirannya, karena ia segera berkata: "Kurasa, Thio Hui Hiong pun tak tahu."

"Oh," kata Ouw Hui yang tak berkata suatu apa lagi.

"Orang hanya tahu, bahwa Tok-chiu Yo-ong bertempat tinggal di Pek-ma-sie (Kelenteng kuda putih), di pinggir telaga Tong-teng," Tiauw Bun menerangkan.

"Pek-ma-sie?" Ouw Hui menegas. "Dia tinggal di kelenteng?"

"Bukan," jawabnya. "Pek-ma-sie adalah nama sebuah kota kecil."

"Mungkin sekali orang tidak mengenal ia, ka¬rena ia tak pernah ke luar dari kelenteng itu," Ouw Hui menduga-duga.

Tiauw Bun menggelengkan kepala seraya ber¬kata: "Salah! Banyak orang pernah bertemu dengan

dia. Dan justru, karena itu tak ada yang mengetahui. ia sebenarnya manusia bagaimana. Orang tak tahu, apakah ia gemuk atau kurus, cakap atau jelek, she Thio atau she Lie."

Ouw Hui jadi semakin tak mengerti.

"Ada yang mengatakan, bahwa Tok-chiu Yo-ong adalah seorang sastrawan yang berparas cakap sekali," kata pula Tiauw Bun. "Katanya, ia bertubuh jangkung dan gerak-geriknya seperti seorang siu-cay. Tapi ada juga yang bercerita, bahwa Tok-chiu Yo-ong berbadan kate gemuk, seperti tukang po-tong babi. Di lain pihak, sejumlah orang berani bersumpah, bahwa si Raja Racun sebenarnya se¬orang hweeshio tua, tua sekali, dan usianya hampir seratus tahun." Sesaat Tiauw Bun memandang Ouw Hui dan kemudian menyambung lagi perkataannya: "Tapi perbedaan keterangan belum habis sampai di situ. Beberapa orang malah menyatakan, bahwa Tok-chiu Yo-ong adalah seorang wanita, wanita bongkok!"

Benar-benar Ouw Hui "ubanan". Ia kepingin tertawa, tapi tertawanya tak bisa ke luar.

"Orang itu bergelar Yo-ong atau Raja Obat," kata pula Tiauw Bun. "Kenapa ia dikatakan seorang wanita? Tapi yang mengatakan begitu, adalah se¬orang ternama dalam Rimba Persilatan yang pasti tak berdusta. Orang-orang lain, yang mengatakan si Raja Obat sebagai seorang sastrawan, sebagai tu¬kang potong babi atau hweeshio, rata-rata adalah orang-orang gagah yang mulutnya boleh dipercaya. Pikirlah! Aneh, tidak?"

Di waktu berangkat dari rumah Biauw Jin Hong, Ouw Hui yakin seyakin-yakinnya, bahwa ia

tak akan menghadapi banyak kesulitan. Asal bisa bertemu dengan Tok-chiu Yo-ong, biar bagaimana juga, ia akan berusaha supaya si Raja Obat bisa datang ke rumah Biauw Jin Hong untuk mengobati kedua mata ksatria itu. Paling sialnya, ia akan mem-bawa pulang obat pemunah racun.

Tapi sekarang, sesudah mendengar penuturan Tiauw Bun, sebagian besar pengharapannya lantas saja menjadi hilang. Kepada siapa ia harus mencari keterangan? Sesudah bengong beberapa saat, ia berkata: "Agaknya orang itu pandai menyamar. Ia selalu ke luar dengan penyamaran yang berubah-ubah, sehingga orang tak bisa mengenal rupanya yang sejati."

"Kawan-kawan dalam kalangan Kang-ouw juga beranggapan begitu," kata Tiauw Bun. "Mungkin sekali, gara-gara racunnya yang tiada bandingannya dalam dunia, ia mempunyai banyak sekali musuh dan terpaksa menyamar berganti-ganti supaya orang tak dapat mencarinya. Hanya satu hal aku tidak mengerti: Ia bertempat tinggal di Pek-ma-sie, satu tempat yang tidak terlalu sepi. Sebenarnya, tidak terlalu sukar untuk orang pergi menemuinya."

"Berapa banyak orang sudah binasa karena ra¬cunnya?" tanya Ouw Hui.

"Rasanya banyak sekali," sahut Tiauw Bun. "Ha¬nya, menurut apa yang kudengar, orang-orang yang binasa dalam tangannya, semua memang pantas mendapat kebinasaan itu. Mereka semua terdiri dari penjahat-penjahat besar, jagoan-jagoan yang sewenang-wenang terhadap rakyat atau hartawan-hartawan kejam. Belum pernah aku mendengar ia membinasakan orang-orang gagah yang baik-baik.

Tapi karena namanya terlalu besar, di mana saja ada orang yang binasa akibat racun hebat, dialah yang dituduh. Misalnya dua orang yang masing-masing tempat tinggalnya terpisah jauh, satu dengan yang lain, satu di Inlam, satu di Liaotong, mati berbareng akibat racun, maka orang di Hunlam lantas saja mengatakan Tok-chiu Yo-ong datang ke Hunlam, sedang orang di Liaotong pun menyata-kan, bahwa si Tangan beracun sudah menyatroni daerah Liaotong. Maka itu, kau lihat, seseorang yang namanya sudah terlalu besar, harus menerima segala akibat nama besar itu. Segala perbuatan jahat atau perbuatan baik semuanya ditumpahkan di atas kepalanya. Sudah lama aku tak pernah mendengar nama Tok-chiu Yo-ong disebut-sebut orang. Tak dinyana, kecelakaan yang menimpa diri Biauw Tay-hiap juga bersangkut paut dengan dia. Hai! Jika racun itu benar adalah racun Yo-ong, aku kha-watir... aku khawatir...." Ia tak dapat meneruskan perkataannya, ia hanya menggelengkan kepala.

Mendengar penuturan itu, Ouw Hui jadi sangat berduka. Ia berotak sangat cerdas, tapi sekali ini ia tak dapat memikirkan jalan yang sempurna. Bebe¬rapa saat kemudian, Tiauw Bun berbangkit seraya berkata: "Hayolah kita berangkat! Saudara kecil, sekarang aku ingin memesan suatu hal yang tak boleh diabaikan. Begitu tiba di daerah Pek-ma-sie, dalam jarak tiga puluh li dari tempat tinggal Yo-ong, kau tak boleh minum atau makan apa juga. Biar bagaimana haus, biar bagaimana lapar, secegluk air atau sebutir nasi tidak boleh masuk ke dalam mulut-mu."

Melihat paras orang yang sungguh-sungguh,

Ouw Hui lantas saja manggutkan kepalanya. Sesaat itu, ia ingat bahwa ketika mereka mau berangkat dari rumah Biauw Jin Hong, wajah Tiauw Eng dan Tiauw Leng bukan saja menunjuk rasa khawatir tapi juga rasa takut. Sekarang ia baru yakin, bahwa Tok-chiu Yo-ong benar-benar disegani orang dan perjalanan mereka adalah perjalanan yang penuh bahaya. Saat itu ia baru merasa, bahwa sebagai seorang yang kurang pengalaman, ia sudah terlalu memandang enteng segala urusan.

Segera ia bangkit juga dan sembari menuntun kuda, ia berkata: "Tujuan kita, hanya untuk meng-undang ia mengobati Biauw Tayhiap atau meminta obatnya. Terhadap ia, sama sekali kita tak mem-punyai maksud kurang baik. Paling banyak ia me-nolak dan kita pun tidak dapat memaksanya. Perlu apa ia mencelakakan jiwa kita?"

"Saudara kecil," kata Tiauw Bun. "Usiamu masih sangat muda dan kau belum mengerti cara-cara orang Kang-ouw. Kau kata, kau tidak mempunyai maksud jahat. Tapi, ia belum pernah mengenal kau. Bagaimana ia bisa percaya, bahwa kau tidak me-ngandung maksud kurang baik? Lihatlah contoh yang baru saja terjadi. Lauw Ho Cin sedikit pun tidak mempunyai maksud jahat terhadap Biauw Tayhiap. Tapi akhirnya, di luar keinginannya sen-diri, ia sudah menjadi gara-gara."

Ouw Hui tak berkata suatu apa, ia merasa perkataan Tiauw Bun sangat beralasan. Sesudah berdiam sejenak, Tiauw Bun berkata pula: "Sebagai-mana diketahui, Tok-chiu Yo-ong mempunyai ba¬nyak sekali musuh, antaranya terdapat orang-orang yang tiada sangkut pautnya dengan itu. Bagaimana

ia bisa mengetahui, bahwa kau bukan murid atau sahabat dari musuhnya? Orang itu beradat aneh dan tangannya sangat beracun. Jika tak begitu, ia tentu tidak mendapat gelaran sebagai Tok-chiu Yo-ong."

"Benar," kata Ouw Hui. "Perkataan Ciong Toa-ya memang benar sekali."

"Saudara kecil," kata Tiauw Bun. "Kalau kau benar-benar menghargai aku dan tidak mencela kepandaianku yang sangat cetek, mulai dari se¬karang, janganlah kau menggunakan istilah 'Toaya' (tuan besar). Aku akan merasa syukur jika kau sudi menganggap diriku sebagai saudaramu."

"Ah!" kata Ouw Hui dengan paras muka ber-semu merah. "Kau adalah seorang gagah dari ting-katan lebih atas, sedang aku hanya seorang dari tingkatan bawah, cara...."

"Fui! Saudara kecil!" Tiauw Bun memotong perkataan Ouw Hui dengan suara keras. "Untuk bicara sejujurnya, kami bertiga sangat mengagumi kau, sesudah kita bertempur. Tapi, sudahlah! Jika kau tidak menganggap aku sebagai sahabat, aku pun tak bisa berbuat suatu apa."

Ouw Hui adalah seorang yang beradat polos dan jujur. Melihat kesungguhan Tiauw Bun, lantas saja ia tertawa berkakakan dan berseru: "Ciong Toako! Jika kau tidak menganggap aku sebagai anak kurang ajar, biarlah aku menurut segala ke-inginanmu!"

Tiauw Bun menjadi girang sekali dan segera melompat naik ke atas punggung kuda. "Jika kedua binatang ini tidak ngadat di tengah jalan, di waktu magrib kita sudah akan tiba di daerah Pek-ma-sie," katanya. "Saudara kecil, jangan lupa pesanku. Ja-



ngankan dalam hal makan minum, sedang mengusap sumpit saja, kau harus berhati-hati. Saudara kecil, sungguh sayang jika kau, yang mempunyai kepan-daian begitu tinggi, mesti binasa dengan badan berwarna hitam."

Ouw Hui insyaf, bahwa dengan berkata begitu, Ciong Tiauw Bun bukan hendak menakut-nakuti ia. la yakin, bahwa sebagai seorang kenamaan dalam Rimba Persilatan, Tiauw Bun tidak bernyali kecil. Bahwa ia sudah memesan secara begitu, adalah suatu bukti, bahwa Tok-chiu Yo-ong benar-benar tidak boleh dibuat gegabah.

Sesudah mengaso, tunggangan mereka menjadi segar lagi dan kembali bisa lari cukup keras. Benar saja, di waktu magrib, mereka sudah tiba di kota Pek-ma-sie. Oleh karena sempitnya jalan dan kha-watir menubruk orang yang berlalu lintas, mereka segera turun dan berjalan sambil menuntun kuda. Ciong Tiauw Bun berjalan dengan kepala tegak, tak berani ia menengok ke kiri kanan. Tapi Ouw Hui bersikap tenang, ia mengawasi warung-warung dan toko-toko yang berjajar di kedua tepi jalan. Ketika tiba di suatu tikungan ia melihat sebuah toko obat yang memasang merek "Cee-sie-tong Loo-tiam". Sekonyong-konyong, ia menarik ke luar golok ber-sama-sama sarungnya yang terselip di pinggangnya. "Ciong Toako," katanya. "Mana Poan-koan-pitmu? Berikanlah kepadaku."

Tiauw Bun terkesiap. Apa Ouw Hui sudah gila? Kenapa dia mengeluarkan senjata? Tapi karena berada di daerah berbahaya, dimana tentu terdapat banyak sekali mata-mata Yo-ong, ia tak berani menanya dan segera mengeluarkan senjatanya yang

lantas diserahkan kepada Ouw Hui. "Hati-hati!" ia berbisik. "Jangan membikin gara-gara."

Ouw Hui manggut dan lantas saja berjalan masuk ke dalam toko obat itu. Ia mendekati meja tinggi yang biasa digunakan untuk menimbang obat, dan berkata: "Tuan! Kami berdua ingin menemui Chungcu (majikan) dari Yo-ong-chung. Karena me-rasa tak pantas membawa-bawa senjata pergi men-jumpai beliau, kami mohon ijin tuan untuk me-nitipkan senjata ini di sini. Sesudah menemui Chungcu, kami akan mengambilnya kembali."

Muka si orang tua yang duduk di belakang meja, lantas saja menunjukkan perasaan heran. "Kalian mau pergi ke Yo-ong-chung?" ia menegas.

Tanpa memperdulikan, ia meluluskan atau ti¬dak, buru-buru Ouw Hui meletakkan senjata-sen-jata itu di atas meja, mengangkat kedua tangannya dan segera berjalan ke luar.

Setiba di luar kota yang sepi, Tiauw Bun meng-acungkan jempolnya dan berkata: "Saudara kecil! Siasatmu tadi sungguh luar biasa. Aku si orang she Ciong merasa kagum sekali."

"Ya," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Aku terpaksa berbuat begitu, karena tak ada jalan lain yang lebih baik." Harus diketahui, bahwa Ouw Hui telah menduga, bahwa toko obat di dalam kota itu tentu mempunyai hubungan rapat dengan Tok-chiu Yo-ong, si Raja Obat Tangan Beracun. Tindakan-nya tadi, yang membuktikan, bahwa mereka tidak mengandung maksud kurang baik terhadap Yo-ong, tentu akan segera dilaporkan kepada orang aneh itu. Dengan melepaskan senjata, bahaya yang sudah besar, akan menjadi lebih besar lagi. Tapi, jika

ditimbang-timbang dalam keseluruhannya, risiko itu ada harganya untuk diambil.

Dengan mengikuti jalan raya, mereka terus menuju ke utara. Selagi mencari-cari penduduk di situ untuk menanyakan jalanan ke Yo-ong-chung, tiba-tiba mereka melihat satu tebing di atas gunung sebelah barat dan di atas tebing itu terdapat seorang tua yang sedang menggali rumput obat dengan pacul. Setelah datang lebih dekat, mata Ouw Hui yang sangat tajam segera dapat melihat, bahwa penggali itu adalah seorang setengah tua yang ber-tubuh jangkung kurus dan mengenakan pakaian sastrawan.

Hati Ouw Hui berdebar. "Apakah dia Tok-chiu Yo-ong?" ia menanya dirinya sendiri. Buru-buru ia menghampiri dan Sesudah memberi hormat, ia ber-kata dengan suara nyaring: "Aku mohon petunjuk Siangkong (tuan), jalan mana harus diambil untuk pergi ke Yo-ong-chung. Kami berdua ingin mene-mui Chungcu untuk memohon pertolongan."

Orang itu tetap menunduk dan terus memacul. Berapa kali Ouw Hui menanya tanpa diladeni, agak-nya orang itu tuli.

Selagi Ouw Hui mau menanya lagi, Tiauw Bun memberi tanda dengan lirikan mata, sehingga pe-muda itu mengurungkan niatnya dan bersama Tiauw Bun, ia berjalan pergi. Sesudah berjalan kurang lebih satu li, Ouw Hui berkata: "Ciong Toako, kurasa orang itu adalah Yo-ong. Bagaimana pendapatmu?"

"Aku pun menduga begitu," jawabnya. "Tapi kita tak boleh bicara sembarangan, kecuali, kalau dia mengaku sendiri. Dalam kalangan Kang-ouw,

sembarang menerka nama seseorang, merupakan pelanggaran besar. Sekarang, tak ada jalan lain daripada pergi ke Yo-ong-chung."

Sesudah menikung beberapa kali, tiba-tiba me¬reka melihat sebidang taman bunga yang terpisah beberapa puluh tombak dari pinggir jalan. Di te-ngah-tengahnya terdapat seorang wanita dusun yang mengenakan pakaian hijau dan sedang me-rawat bunga sambil membungkuk. Ouw Hui men-dapat kenyataan, bahwa di belakang taman itu ber-diri tiga rumah atap dan di sekitar tempat itu, tidak terdapat lagi rumah lain.

Ia maju menghampiri dan berkata sembari me-nyoja: "Nona, tolong tanya, jalan mana yang harus diambil untuk pergi ke Yo-ong-chung?"

Nona itu mengangkat kepala dan memandang Ouw Hui dengan kedua matanya. Ouw Hui terkejut, karena kedua mata itu dengan biji mata yang hitam jengat, bersinar tajam luar biasa. "Ah!" kata Ouw Hui dalam hatinya. "Kenapa sinar matanya begitu luar biasa?" Ouw Hui mengawasi sejenak dan men-dapat kenyataan bahwa nona itu bukan seorang wanita yang berparas cantik.

Kulitnya kering-kuning dan mukanya agak pu-cat, seperti kekurangan makan. Rambutnya juga kekuning-kuningan dan tumbuhnya jarang, kedua pundaknya tinggi dan tubuhnya kurus, semua itu menunjukkan, bahwa nona itu adalah seorang gadis miskin dari daerah pedusunan. Dilihat dari muka¬nya, ia kira-kira berusia enara belas atau tujuh belas tahun, tapi karena tubuhnya kurus kecil, kelihatan-nya seperti kanak-kanak yang baru berusia tiga belas atau empat belas tahun.

"Nona," kata Ouw Hui pula. "Numpang tanya, ke mana jalannya kalau mau pergi ke Yo-ong-chung, ke timur laut atau ke barat laut?"

"Tak tahu," jawabnya dengan suara dingin dan ia segera menundukkan kepala.

Melihat sikap itu yang agak kasar, Tiauw Bun jadi mendongkol. Akan tetapi, mengingat, bahwa tempat itu sangat berdekatan dengan Yo-ong-chung, sebisa-bisanya, ia menahan jengkelnya. "Sau-dara kecil," katanya. "Hayolah kita berangkat! Yo-ong-chung adalah tempat terkenal di Pek-ma-sie. Biar bagaimanapun juga, kita pasti akan dapat men-carinya."

Tapi Ouw Hui tidak sependapat dengan kawan-nya. Melihat, bahwa hari sudah menjadi sore dan mereka mungkin menemui kejadian yang tidak enak jika sampai salah jalan di waktu malam, dengan sabar ia menanya pula: "Nona, apakah ayah dan ibumu di rumah? Mereka tentu mengetahui jalan yang menuju ke Yo-ong-chung." Gadis itu tetap tidak meladeni. Ia terus mencabut rumput sembari menunduk.

Hati Ciong Tiauw Bun jadi semakin panas. Dengan kedua lututnya, ia menjepit perut kuda yang lantas saja mulai bertindak ke depan. Oleh karena sempitnya jalanan, kedua kaki kanan kuda itu menginjak jalan, tapi kedua kakinya yang se-belah kiri telah menginjak tanaman bunga. Tiauw Bun tidak jahat, tapi ia beradat kasar. Ditambah dengan rasa mendongkolnya dan keinginan untuk berangkat selekas mungkin, ia sama sekali tidak menghiraukan, bahwa tunggangannya menginjak tanaman kembang si nona.



Melihat sebaris tanaman itu akan segera ter-injak hancur, buru-buru Ouw Hui menjambret les yang lalu ditariknya. "Hati-hati!" katanya. Karena itu, tanaman bunga tersebut jadi terhindar dari kehancuran.

"Saudara kecil, hayolah!" kata Tiauw Bun. "Guna apa berdiam lama-lama di sini?" Sembari berkata begitu, ia mengeprak tunggangannya yang lantas saja lari dengan cepat.

Sebagai seorang yang semenjak kecil hidup dalam penderitaan, di dalam hati Ouw Hui terdapat rasa kasihan yang wajar terhadap orang-orang mis-kin. Maka sebaliknya dari gusar, ia merasa kasihan kepada nona itu. Ia merasa, bahwa tanaman bunga itu adalah mata pencarian keluarga si gadis. Dengan adanya perasaan itu, perlahan-lahan ia menuntun kudanya, supaya hewan itu tidak menginjak ta¬naman. Sesudah berada di luar kebun, baru ia melompat ke atas punggung kudanya.

Tiba-tiba. gadis itu mengangkat kepala dan menanya: "Untuk apa kau pergi ke Yo-ong-chung?"

Ouw Hui menahan les dan menjawab: "Seorang sahabatku telah buta kedua matanya karena ter-kena racun. Kami sengaja datang ke mari untuk memohon obat dari Yo-ong."

"Aku hanya pernah mendengar namanya, tapi belum pernah bertemu muka dengan orang tua itu," kata si nona. "Apakah kau kenal kepadanya!"

"Tidak," jawab Ouw Hui sembari menggeleng-kan kepala.

Perlahan-lahan si nona melempangkan badan-nya dan memandang Ouw Hui dengan matanya yang bersinar sangat tajam.

"Bagaimana kau tahu, bahwa ia akan suka mem-beri obat kepadamu?" tanya si nona. Wajah Ouw Hui lantas saja menjadi guram. "Ya, aku hanya menduga begitu," jawabnya sembari menghela na-pas. Di lain saat, ia mendapat suatu ingatan. "Ka-rena bertempat tinggal di sini, dia mungkin me-ngenal adat Yo-ong," pikirnya. Memikir begitu, Ouw Hui lantas saja turun dari tunggangannya dan berkata sembari menyoja: "Nona, itulah sebabnya, kenapa aku memohon petunjukmu." Kata "petun-juk" ia mengandung dua maksud, yaitu minta keterangan tentang jalan ke Yo-ong-chung dan minta petunjuk tentang cara-cara untuk memohon obat.

Gadis itu tak menyahut. Ia mengawasi Ouw Hui dari kepala sampai di kaki. Berselang beberapa lama, tiba-tiba ia menuding dua tahang air seraya berkata: "Pergi ke kolam air, isikan setengah tahang, bawa tahang itu ke selokan dan isi penuh dengan air. Sesudah itu, siramlah petakan ini!"

Ouw Hui terkesiap kata-kata itu sungguh di luar dugaannya, terlebih pula sebab perkataan si nona merupakan perintah seorang majikan terhadap kuli-nya. Biarpun melarat, sedari kecil Ouw Hui belum pernah mengerjakan pekerjaan itu.

Sesudah memberi perintah, gadis tersebut lalu membungkuk dan terus mencabuti rumput lagi.

Sesudah hilang kagetnya, dalam hati Ouw Hui lantas saja saja timbul rasa kasihan. "Dia begitu kurus kering, memang juga, mana kuat dia meng-angkat tahang yang begitu besar," pikirnya. "Se¬orang laki-laki yang kuat memang harus menolong yang lemah. Biarlah, aku membantunya." Ia me-

nambat kudanya pada pohon liu dan segera me-lakukan apa yang diperintahkan si nona.

Sementara itu, sesudah melarikan kudanya be¬berapa puluh tombak dan Ouw Hui belum juga muncul, Ciong Tiauw Bun segera menengok ke belakang. Ia heran melihat pemuda itu sedang menghampiri selokan sembari memikul sepasang tahang tahi. "Saudara kecil, kau sedang mengerja¬kan apa?" ia berseru.

"Membantu nona itu melakukan sedikit peker¬jaan," sahut Ouw Hui dengan suara nyaring. "Ciong Toako! Jalan saja duluan, sebentar aku menyusul."

Tiauw Bun menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia benar-benar pusing menghadapi seorang muda yang selagi menjalankan tugas begitu penting, masih sempat mencampuri urusan orang lain. Tanpa ber¬kata suatu apa, ia segera melarikan kudanya per-lahan-lahan.

Sesudah mengisi kedua tahang itu dengan air selokan, Ouw Hui segera kembali dan menyiram tanaman kembang yang ditunjuk, dengan meng-gunakan gayung kayu. Baru saja ia menyiram satu dua kali, si nona mendadak berkata: "Salah! Terlalu kental. Kembangnya bisa lantas layu."

Ouw Hui mengawasi si nona dengan bengong, ia tak tahu harus berbuat bagaimana.

"Sekarang kau pergi lagi ke kolam, tuang isinya dan tinggalkan saja separuh," perintah gadis itu. "Sesudah itu, kau tambahkan lagi air selokan sampai penuh. Dengan campuran begitu, barulah sedang encernya."

Ouw Hui jadi agak mendelu, tapi ia menahan sabar dengan mengingat, bahwa jika ingin meno-

long, harus menolong sampai di akhirnya. Maka itu, lantas saja ia melakukan perintah si nona.

"Awas!" kata si nona selagi ia menyiram. "Bu-nganya dan daunnya jangan sampai terkena air!"

"Baiklah," sahut Ouw Hui. Sembari menyiram pelan-pelan, ia memperhatikan bunga itu yang ber-warna biru dan tua dan harum luar biasa, tapi ia tak tahu, bunga apakah itu. Tak lama kemudian, isi kedua tahang itu sudah habis digunakan.

"Bagus," kata si nona. "Coba tolong sepikul lagi."

Ouw Hui berbangkit dan berkata dengan suara halus: "Sahabatku sedang menunggu aku dan ia tentu merasa sangat tidak sabar. Begini saja: Se-pulangnya aku dari Yo-ong-chung, aku akan mam-pir lagi di sini untuk membantu kau."

"Lebih baik kau berdiam di sini untuk menyiram bunga," kata si nona. "Karena melihat, bahwa kau seorang baik, baru aku meminta kau menyiram pohon-pohon itu."

Mendengar kata-kata yang aneh itu, Ouw Hui jadi semakin heran. Sesudah terlanjur terlambat, ia segera mengambil putusan untuk membantu terus. Demikianlah ia memikul lagi dua tahang air kotoran dan dengan sabar ia menyiram, sehingga semua tanaman di kebun itu sudah disiramnya.

Sementara itu, matahari sudah turun di balik gunung, tapi sinarnya yang berwarna kuning emas masih menyoroti bunga-bunga biru itu, sehingga memberikan pemandangan yang indah luar biasa. "Sungguh bagus bunga itu," puji Ouw Hui berulang-ulang.

Selagi si nona hendak bicara, mendadak keli-

hatan Ciong Tiauw Bun mendatangi dengan me-ngaburkan tunggangannya, "Saudara kecil!" ia ber-teriak sesudah datang cukup dekat. "Belum juga kau berangkat?"

"Ya," balas Ouw Hui berteriak. "Sekarang! Se-karang juga!" Sehabis berkata begitu, ia mengawasi gadis dusun itu dengan sorot mata memohon.

Wajah gadis itu lantas saja berubah keren. "Kau membantu aku dengan maksud meminta petunjuk, bukan?" tanyanya.

Ditanya begitu, Ouw Hui lantas saja berkata di dalam hatinya. "Memang, memang aku membutuh-kan petunjukmu. Tapi bantuanku yang diberikan barusan, adalah karena merasa kasihan. Sudahlah! Jika aku memohon sekarang, seperti juga aku me-nagih budi." Memikir begitu, ia tertawa seraya ber¬kata: "Ah! Indah benar bunga-bunga itu, bukan?" Ia lalu membuka tambatan kudanya dan meloncat ke punggungnya.

"Tahan!" kata si nona.

Ouw Hui menengok dengan rasa tak sabar. Gadis itu membungkuk dan memetik dua kuntum bunga. "Kau kata, bunga ini indah sekali," katanya sembari melemparkan kedua bunga itu. "Nih, kuberi dua tangkai."

"Terima kasih," kata Ouw Hui yang lalu me-nyambuti dan memasukkan kedua-duanya ke dalam sakunya.

"Dia she Ciong, kau she apa?" tanya gadis dusun itu.

"She Ouw," jawabnya.

Si nona mengangguk dan berkata: "Jika kalian mau ke Yo-ong-chung, lebih baik mengambil jalan

ke timur laut."

Tadi, Ciong Tiauw Bun mengambil jalan ke barat laut. Sesudah menunggu lama dan Ouw Hui tak muncul-muncul, ia menjadi jengkel dan segera kembali. Tapi begitu mendengar perkataan si nona, kejengkelannya lantas saja menjadi hilang. "Saudara kecil," ia berbisik sembari tertawa. "Baik juga ada kau, sehingga aku tak usah menyasar terlalu jauh."

Tapi sebaliknya, Ouw Hui sendiri merasa cu-riga. "Jika rumah Yo-ong berada di sebelah timur laut, sebenarnya ia dapat menerangkannya secara tegas," katanya di dalam hati. "Kenapa ia meng-gunakan 'lebih baik mengambil jalan ke utara ti¬mur'?" Tapi, walaupun bercuriga, ia sungkan men-desak lebih jauh dan segera berangkat bersama Tiauw Bun dengan mengambil jalan yang ditunjuk si nona.

Baru saja berjalan enam tujuh li, di hadapan mereka menghadang sebuah telaga yang sangat luas. Jalan satu-satunya yang terdapat di situ adalah sebuah jalan kecil yang menjurus ke sebelah barat.

"Kurang ajar perempuan itu!" Tiauw Bun me-maki. "Kalau ia tak suka memberitahukan, kita juga tidak memaksa. Biarlah! Kalau lewat lagi di situ, kita hajar dia!"

Ouw Hui juga merasa heran. Setelah ia berbuat baik, kenapa wanita itu masih mempermainkannya? "Ciong Toako," katanya. "Kurasa wanita itu mempu-nyai hubungan dengan Yo-ong-chung."

"Apakah kau melihat tanda-tanda mencuriga-kan?" tanya Tiauw Bun.

"Kedua matanya bersemangat dan bersinar luar biasa," sahutnya. "Aku merasa, bahwa ia bukan



seorang wanita dusun yang belum pernah melihat dunia."

"Benar," kata Tiauw Bun. "Lebih baik kau me-lemparkan dua tangkai kembang pemberiannya itu."

Ouw Hui merogoh sakunya dan mengeluarkan kedua bunga itu. Melihat warnanya yang sangat indah, tak tega ia membuangnya. "Kembang yang begini indah belum tentu bisa mencelakakan orang," pikirnya. Ia memasukkan lagi bunga-bunga itu ke dalam sakunya sambil melarikan tunggangannya ke jurusan barat.

"Hei! Hati-hati sedikit!" seru Tiauw Bun sem¬bari menyusul dari belakang. Ouw Hui mengiakan sambil mencambuki kudanya yang lantas saja kabur seperti terbang.

Waktu itu sudah magrib. Sedari tiba di Pek-ma-sie, hati mereka selalu kebat-kebit. Di siang hari masih mending, tapi di waktu siang sudah berganti malam, hati mereka semakin kedat-kedut. Sesudah berjalan lagi beberapa lama, mereka mendapat ke-nyataan, bahwa semakin jauh, pohon-pohon dan rumput-rumput jadi semakin berkurang, sehingga akhirnya mereka tiba di suatu tempat yang tanahnya gundul sama sekali. Jantung Ouw Hui memukul keras dan sembari menahan les, ia berkata: "Ciong Toako, coba lihat! Selembar rumput tak terdapat di tempat ini. Sungguh mengherankan!"

"Benar," sahut Tiauw Bun. "Andaikata semua tumbuh-tumbuhan di sini dibabat manusia, sedikit-nya masih kelihatan bekas-bekasnya. Aku khawa-tir...." Ia tidak meneruskan perkataannya, kedua matanya mengawasi Ouw Hui dengan sorot mata khawatir. Sesaat kemudian, ia berbisik: "Tempat

tinggal Yo-ong tentu berada dekat dari sini. Mung-kin sekali, ialah yang menyebar racun, sehingga tak selembar rumput tumbuh di sini."

Ouw Hui mengangguk, ia menjadi lebih takut. Tiba-tiba ia membuka buntalannya dan mengeluar-kan beberapa helai kain yang lalu digunakan untuk membebat mulut kuda Tiauw bun dan tunggangan-nya sendiri. Tiauw Bun mengawasi dengan rasa kagum terhadap pemuda itu yang ternyata sangat hati-hati. Ia mengerti, bahwa Ouw Hui berbuat begitu karena khawatir, jika kedua hewan itu akan makan rumput beracun.

Dengan waspada, mereka lalu meneruskan per-jalanan. Tak lama kemudian, jauh-jauh mereka me-lihat sebuah bangunan atau sebuah rumah, yang bentuknya aneh sekali. Rumah itu seperti juga sebuah kuburan besar, tanpa pintu dan tanpa jen-dela, sedang warnanya hitam mulus, sehingga ke-lihatannya menyeramkan sekali. Dalam jarak be¬berapa tombak, itu dikitari pohon-pohon kate yang daunnya berwarna merah darah, seperti daun pohon Hong di musim rontok.

Ciong Tiauw Bun adalah seorang jago yang sudah kenyang mengalami kejadian-kejadian me¬nyeramkan di kalangan Kang-ouw. Pakaian dan senjata Ciong-sie Sam-hiong sendiri sudah cukup menakutkan. Akan tetapi, pada saat itu, Tiauw Bun yang bernyali besar tak urung mengeluarkan juga keringat dingin. "Bagaimana pikiranmu?" ia ber-bisik.

"Kita memohon secara sopan santun," jawab Ouw Hui, "Dan melihat perkembangan selanjut-nya." Ia majukan kudanya sampai di dekat pohon-

pohon merah itu. Kemudian ia melompat turun dan sembari mencekal les, ia berteriak: "Ciong Tiauw Bun dari Ouwpak utara dan Ouw Hui, seorang yang tingkatannya rendah dari Liaotong ingin menyam-paikan hormat kepada Yo-ong."

Ia mengeluarkan suara itu dengan mengerah-kan tenaga dalamnya. Suaranya tidak seberapa ke-ras, tapi "tajam" sekali, sehingga pasti akan dapat didengar oleh siapa juga yang berada di dalam rumah itu.

Rumah itu tetap sunyi senyap, tak terdengar suara apa pun juga dari dalamnya. Ouw Hui ber¬teriak lagi beberapa kali, tapi ia tetap tidak mem-peroleh jawaban. Pemuda itu jadi agak mendongkol dan ia segera berteriak sekuat suaranya. "Kim-bian-hud Biauw Tayhiap terkena racun hebat! Racun itu telah dicuri dari rumah Cianpwee oleh seorang jahat. Maka itu, kami memohon Cianpwee sudi memberikan obat." Tapi teriak itu pun berhasil nihil.

Cuaca jadi semakin gelap. "Ciong Toako, tin-dakan apa harus diambil?" bisik Ouw Hui.

"Apakah kita mesti pulang dengan tangan ko-song dan membiarkan Biauw Tayhiap buta untuk selama-lamanya?" kata Tiauw Bun.

"Benar," kata Ouw Hui dengan bersemangat. "Biar mesti terjun ke dalam sarang naga atau ke gua harimau, kita harus berdaya upaya." Sesaat itu, dalam hati mereka lantas saja timbul keinginan untuk menggunakan kekerasan. Mereka mengang-gap, bahwa meskipun Yo-ong lihay dalam hal meng¬gunakan racun, ilmu silatnya belum tentu terlalu tinggi. Memikir begitu, sesudah melepaskan tung-

gangan mereka, Tiauw Bun dan Ouw Hui lalu mendekati pohon-pohon merah itu. Ternyata, po-hon-pohon tersebut sangat lebat cabang dan daun-nya, sehingga tak dapat diterobos dengan begitu saja.

Tanpa berpikir panjang, Tiauw Bun segera ber-gerak untuk melompati pagar pohon itu. Selagi badannya masih berada di tengah udara, tiba-tiba ia mengendus bau wangi. Sesaat itu juga, kedua matanya gelap, kepalanya pusing dan ia roboh di antara pohon-pohon itu. Ouw Hui terkejut bukan main dan segera melompat menyusul. Seperti Tiauw Bun, ia juga mengendus bau wangi itu dan dadanya lantas saja dirasakan sesak. Begitu kedua kakinya hinggap di bumi, buru-buru ia membangunkan Tiauw Bun memeriksa keadaannya. Kedua mata Tiauw Bun tertutup rapat, tangan dan mukanya dingin, tapi ia masih bernapas.

Ouw Hui menjadi bingung tercampur duka. "Ah," ia mengeluh di dalam hati. "Sedang obat untuk Biauw Tayhiap belum didapat, Ciong Toako juga sudah terkena racun. Aku sendiri pun sudah me-ngisap hawa beracun dan tinggal tunggu tempo saja." Karena pikiran itu, ia menjadi nekat dan lalu mendekati rumah aneh itu.

"Yo-ong Cianpwee!" ia berteriak. "Dengan ta¬ngan kosong, boanpwee datang ke sini untuk me-mohon pertolongan. Sama sekali boanpwee tidak mengandung maksud yang kurang baik. Jika Cian¬pwee tetap tak sudi menemui boanpwee, boanpwee terpaksa bertindak secara kurang ajar."

Sambil berteriak, ia meneliti keadaan bangunan itu. Ia mendapat kenyataan, bahwa dari atas sampai

di bawah, rumah tersebut berwarna hitam seluruh-nya. Seperti juga bukan terbuat dari bahan kayu. Di samping itu, ia pun mendapat kenyataan, bahwa bangunan itu bersih luar biasa, tanpa sepotong kayu atau sebutir batu. Untuk beberapa saat, ia berdiri bengong sembari mengasah otak. Tak berani ia menyentuh dinding rumah itu, karena khawatir akan racun. Sejenak kemudian, ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sepotong perak yang lalu di-gunakan untuk mengetuk dinding itu. Beberapa kali suara "tring" lantas terdengar dan sekarang ia men¬dapat kepastian, bahwa bangunan itu dibuat dari logam. Ia lalu memasukkan perak itu ke dalam sakunya lagi. Selagi berbuat begitu, ia menunduk dan seketika itu, serupa bau wangi yang sejuk me-nyambar kedua hidungnya. Dan... hampir berba-reng, dadanya lega dan otaknya menjadi lebih te-rang. Dengan terkejut, ia menunduk lagi dan sekali lagi, ia mengendus wangi-wangian yang menyegar-kan itu.

Ternyata bau wangi itu ke luar dari dua kuntum bunga biru pemberian si gadis dusun. "Ah!" kata Ouw Hui dalam hatinya. "Kalau begitu, bunga ini mempunyai khasiat untuk menolak racun. Sekarang terbukti, bahwa gadis itu adalah seorang penolong."

Sembari berpikir begitu, Ouw Hui berlari-lari mengitari rumah aneh itu. Ia mendapat kenyataan, bahwa jangankan pintu dan jendela, sedang lubang kecil saja tidak terdapat di seluruh bangunan itu. "Apakah benar-benar rumah ini tiada penghuni-nya?" tanyanya di dalam hati. "Tanpa hawa udara, manusia tentu tak bisa berdiam lama-lama di da-lamnya." Oleh karena tidak bersenjata, tentu saja



ia tidak berdaya terhadap bangunan yang terbuat dari logam itu. Sesudah bcrpikir sejcnak, ia segera mengeluarkan kedua bunga biru itu yang lalu di-tempelkan pada lubang hidung Tiauw Bun. Benar. Benar saja, berselang bcberapa saat, Tiauw Bun berbangkis dan mendusin.

Ouw Hui menjadi girang sckali dan lantas saja mengambil putusan untuk kembali kepada gadis dusun itu untuk memohon pctunjuk lebih jelas. Ia lalu menancapkan setangkai bunga biru di baju Tiauw Bun dan mencekal yang setangkai lagi, di dalam tangannya. Sesudah itu, sambil mendukung Tiauw Bun, ia segera melompati pohon-pohon me-rah yang sangat beracun itu.

Baru saja kedua kakinya hinggap di atas tanah, dari dalam rumah itu mendadak terdengar ben-takan: "Hei!" Suara itu yang sangat menyeramkan mengandung nada kegusaran.

Ouw Hui memutarkan badan dan menghadapi rumah itu. "Yo-ong Cianpwee!" ia berseru. "Apakah Cianpwee sudi menerima karni?" Pertanyaan itu tidak mendapat jawaban dan tetap tak mendapat jawaban, Sesudah ia mengulangi seruannya bebe-rapa kali.

Tiba-tiba kesunyian sang malam dipecahkan suatu bunyi: "bruk!", seolah-olah serupa benda be-rat jatuh di tanah. Ouw Hui menengok ke arah bunyi itu dan dengan hati mencclos, ia mendapat kc-nyataan bahwa kedua tunggangan mereka sudah roboh terguling. Dengan sekali menggenjot badan, ia sudah mendekati kedua hewan itu, yang sudah putus napasnya dengan mulut mengeluarkan liur warna hitam, tapi pada badannya tidak terdapat



tanda-tanda luka.

Sampai di situ, habislah keberanian kedua orang gagah itu. Sesudah berdamai dengan suara perlahan, mereka mengambil putusan untuk kem¬bali ke kebun si gadis dusun, untuk memohon pertolongan atau petunjuk-petunjuk.

Sesudah terkena raeun, kedua kaki Tiauw Bun agak lemas, sehingga mereka berjalan sembari se-bentar-sebentar mengaso. Kira-kira jam dua, lewat tengah malam, baru mereka tiba di depan gubuk si gadis dusun. Di antara kesunyian sang malam, bu-nga-bunga biru yang sedang mekar di tengah kebun, menyiarkan bau yang harum luar biasa. Mengendus itu, dada Tiauw Bun menjadi lega dan semangatnya dengan segera pulih kembali.

Sekonyong-konyong di jendela rumah gubuk itu muncul sinar penerangan. "Brak!" pintu terbuka dan si nona kelihatan muncul. "Jie-wie, masuklah," ia mengundang. "Di kampung yang melarat, aku tak dapat menyuguhkan santapan yang pantas kepada tamu. Paling banyak, teh yang tawar dan nasi yang kasar."

Buru-buru Ouw Hui merangkap kedua tangan¬nya dan berkata sembari membungkuk: "Kami sung-guh merasa malu, bahwa di tengah malam buta, kami terpaksa mengganggu nona."

Si nona mesem dan segera bertindak ke sam-ping, supaya kedua tetamunya bisa masuk. Begitu masuk, Ouw Hui mendapat kenyataan, bahwa gu¬buk itu diperaboti secara sangat sederhana sekali, tiada bedanya seperti rumah orang miskin. Tapi ada suatu hal yang aneh, yaitu: Seluruh ruangan luar biasa bersihnya, seolah-olah tak ada sekelumit

debunya. Jantung Ouw Hui memukul semakin ke-ras. Kebersihan gubuk ini mirip dengan kebersihan rumah aneh yang dikitari pohon beracun itu.

"Ciong-ya, Ouw-ya, duduklah," si nona mengun-dang sembari masuk. Beberapa saat kemudian, ia membawa ke luar dua mangkok kosong, dua pasang sumpit, tiga piring sayur, semangkok kuwah dan dua mangkok besar nasi putih yang masih mengepul. Tiga macam sayur itu adalah tahu-ca, rebung ca-tauge dan pehcay-ca, sedang semangkok kuwah adalah sayur asin dimasak kuwah. Semua santapan adalah santapan orang ciacay, tapi baunya sangat sedap sehingga menimbulkan nafsu makan.

Sesudah melalui perjalanan jauh, tak usah di-katakan lagi, mcreka berdua sudah merasa sangat lapar. "Terima kasih," kata Ouw Hui sembari ter-tawa dan lalu mengambil mangkok dan sumpit. Di lain saat, ia sudah makan dengan bernafsu sekali. Tapi Tiauw Bun tak berani bergerak, karena hatinya sangat bercuriga. "Semua makanan itu tentunya sudah disiapkan olehnya terlebih dulu," katanya di dalam hati. "Dia tentu sudah memastikan, bahwa kita berdua akan kembali. Hati orang Kang-ouw sukar dijajaki. Aku harus berhati-hati, lebih baik lapar daripada mampus diracuni orang."

Karena curiganya, selagi si nona pergi ke dapur, ia melirik Ouw Hui dan berbisik: "Saudara kecil, bukankah aku sudah memesan, supaya dalam jarak tiga puluh li dari rumah Yo-ong, kau tak boleh makan apa pun juga. Apakah kau lupa?"

Tapi Ouw Hui berpendapat lain. Ia mengang-gap, bahwa jika si nona mengandung maksud kurang baik, dia tentu tidak akan menghadiahkan dua bu-

nga itu. Di samping itu, jika makanan yang sudar, disediakan tidak dimakan, si nona tentu akan me¬rasa tersinggung. Selagi ia mau bicara, si gadis dusun sudah keburu ke luar lagi dengan membawa sebuah penampan kayu di atas mana terdapat tahang kayu kecil yang penuh dengan nasi putih.

Ouw Hui bangkit seraya berkata: "Terima kasih banyak untuk budi nona yang sangat besar. Bisakah kami memberi hormat kepada ayah dan ibu nona?"

"Kedua orang tuaku sudah meninggal dunia," jawabnya. "Aku hidup sebatang kara."

"Ah!" Ouw Hui mengeluarkan seruan tertahan. Tapi tanpa berkata suatu apa, ia lantas duduk pula dan terus makan lagi. Semua makanan itu dibuat dari sayur-mayur segar dan rasanya memang lezat sekali. Tanpa sangsi-sangsi, Ouw Hui makan segala apa yang disuguhkan dan untuk menyenangkan hati si nona, sembari makan, tak hentinya ia memuji santapan itu. Dengan menghela napas perlahan, Tiauw Bun mengawasi Ouw Hui yang makan terus tanpa mengenal bahaya. "Jika kau sungkan men-dengar nasihatku, aku juga tak dapat berbuat apa-apa," katanya di dalam hati. "Biar bagaimana juga sama mati dirobohkan orang." Untuk mencegah tersinggungnya perasaan si gadis dusun, ia berkata: "Nona, harap kau suka memaafkan aku. Karena tadi terkena racun, perutku rasanya tak enak sekali. Aku tak ingin makan apa-apa."

Si nona lalu menuang secangkir teh dan sambil mengangsurkan cangkir itu kepada Tiauw Bun, ia berkata: "Kalau begitu minum teh saja."

Tiauw Bun menyambut dan melirik air teh yang berwarna kehijau-hijauan. Ia sebenarnya haus se-

kali, tapi. Sesudah dicekal beberapa saat, ia me naruh cangkir itu di atas meja tanpa diminum.

Si gadis dusun bersikap tenang-tenang saja, sama sekali ia tidak menunjukkan perasaan jengkel. Melihat Ouw Hui makan seperti macan kelaparan, si nona jadi merasa girang dan kegirangannya ter-lihat pada sorot matanya. Ouw Hui adalah seorang yang cerdas luar biasa dan sorot mata si gadis dusun tidak terluput dari pengawasannya. Ia makan se¬sudah memperhitungkan untung ruginya. Sesudah mengambil putusan untuk makan, jika santapan itu mengandung racun, makan sedikit atau makan ba-nyak, akibatnya adalah sama. Maka, ia lalu "mem-buka perut" sebesar-besarnya, menghabiskan empat mangkok nasi dan menyikat semua santapan yang berada di atas meja. Sesudah ia selesai makan, si gadis dusun lalu bergerak untuk membenahkan piring mangkok kosong itu, tapi Ouw Hui men-dahuluinya. Ia menyusun semua perabot makan itu di atas penampan dan membawa semua itu ke dapur untuk kemudian dicucinya. Sesudah bersih, ia me-masukkan semua piring mangkok tersebut ke dalam lemari, sedang si nona sendiri lalu menyapu sisa makanan yang berantakan di atas lantai. Melihat, bahwa air dalam jambangan hanya tinggal sedikit, Ouw Hui lalu mengambil dua tahang dan pergi mengambil air di selokan kecil.

Sesudah mengisi air dalam jambangan itu, Ouw Hui kembali ke ruangan depan tadi. Ia mendapat kenyataan, bahwa Tiauw Bun sudah pulas nyenyak dengan mendekam di atas meja.

"Maaf, Ouw-ya," kata si nona. "Dalam rumahku ini tidak ada kamar tamu. Ouw-ya hanya bisa me-ngaso dengan merebahkan diri di atas bangku pan-jang."

"Nona, banyak terima kasih untuk segala budi-mu," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Jangan kau berlaku begitu sungkan."

Gadis dusun itu tidak berkata apa-apa lagi dan segera masuk ke ruangan dalam sesudah merapat-kan pintu yang tidak dikuncinya. Diam-diam Ouw Hui mengagumi gadis itu yang walaupun hidup seorang diri di tempat yang begitu sepi, masih berani menerima dua orang laki-laki menumpang. Per-lahan-lahan ia mendorong pundak Tiauw Bun dan berbisik: "Ciong Toako, pindahlah ke bangku pan-jang."

Di luar dugaan, begitu didorong, badan Tiauw Bun miring dan terguling di atas tanah. Dengan kaget, Ouw Hui buru-buru membangunkannya. Se¬gera juga ia mendapat kenyataan, bahwa muka Tiauw Bun panas seperti api. "Ciong Toako, kau kenapa?" tanyanya dengan perasaan bingung.

Buru-buru ia mengambil pelita dan meneliti keadaan kawannya itu. Selebar muka Tiauw Bun berwarna merah, seperti mabuk arak, sedang mulut-nya berbau arak. "Eh-eh!" kata Ouw Hui dalam hatinya. "Air teh saja ia tak berani minum. Kenapa bisa jadi mabuk arak?"

Sementara itu, dalam keadaan setengah sadar, Tiauw Bun mengoceh: "Tidak! Aku tidak mabuk. Mari, mari! Mari kita minum tiga mangkok lagi!"

Ouw Hui menduga, bahwa semua itu tentu juga perbuatan si gadis dusun yang mungkin tersinggung karena Tiauw Bun menolak makanan dan minuman-nya. Ia khawatir tercampur heran dan ia tidak tahu,

apa yang harus dilakukannya. Apakah ia harus membangunkan si nona untuk memohon pertolong-an, ataukah membiarkan saja sampai Tiauw Bun sadar sendiri. Di lain saat, ia mendapat pikiran lain. "Ah!" pikirnya. "Ciong Toako bukan mabuk se-wajarnya. Ia tentu terkena racun."

Selagi hatinya sangat bimbang, di kejauhan mendadak terdengar jeritan sekawanan binatang liar yang sangat menyeramkan. Dalam kesunyian sang malam, suara itu sudah membangunkan bulu romanya. Didengar dari bunyinya jeritan itu adalah jeritan kawanan serigala. Tapi, daerah di sekitar telaga Tong-teng adalah tanah datar, sehingga mes-kipun ada juga seekor dua ekor serigala, rombongan yanag besar jumlahnya tak mungkin terdapat di tanah datar itu. Dengan hati berdebar Ouw Hui memasang kuping. Semakin lama, pekikan-pekikan itu jadi semakin dekat, kadang-kadang tercampur dengan jeritan beberapa kambing hutan. Selagi ia mau menengok lagi keadaan Tiauw Bun, tiba-tiba pintu ruangan dalam terbuka dan si nona menam-pakkan diri dengan mencekal ciaktay (tempat me-nancapkan lilin) dan dengan paras yang agak ke-takutan. "Itulah kawanan serigala," katanya.

Ouw Hui mengangguk. Ia mengawasi gadis itu dan sambil menunjuk Tiauw Bun, ia berkata: "Nona...."

Di lain saat, jeritan-jeritan itu, sudah terdengar semakin dekat. Wajah Ouw Hui lantas saja berubah pucat. Tiauw Bun sedang berada dalam keadaan pingsan, sedang sikap nona itu masih diragukannya, belum terang, apakah dia lawan atau kawan. Apa¬kah yang harus dilakukannya? Selagi ia berada

dalam kebingungan, di antara jeritan itu terdengar juga bunyi tindakan kuda yang tengah mendatangi dengan kecepatan luar biasa.

Buru-buru Ouw Hui membungkuk dan Sesudah mendukung Tiauw Bun, ia melompat ke dapur untuk mencari golok. Tapi karena gelap gulita, golok itu tak gampang dicarinya.

"Apakah kau dari keluarga Beng?" demikian terdengar bentakan si gadis dusun. "Perlu apa kau datang di tengah malam buta?"

Mendengar bentakan itu yang sangat angker, hati Ouw Hui menjadi lebih lega. Sedikitnya ia mengetahui, bahwa si penunggang kuda bukan ka¬wan gadis dusun itu. Dengan cepat ia menerobos ke luar dan masuk di pekarangan belakang. Sesudah menjumput seraup batu-batu kecil, ia melompat ke atas sebuah pohon liu dan meletakkan tubuh Tiauw Bun di antara dua cabang besar.

Di bawah sinar bintang, ia melihat, bahwa se-orang laki-laki yang mengenakan pakaian abu-abu sudah memajukan kudanya sampai di depan pintu. Di belakangnya, sambil mengeluarkan geraman dan jeritan menyeramkan, datang belasan serigala itu, meluruk bagaikan kelaparan. Dilihat sekelebatan seperti juga orang itu sedang dikejar binatang-binatang buas itu. Tapi di lain saat, Ouw Hui men¬dapat kenyataan, bahwa orang itu menyeret seekor kambing putih yang terus menjerit-jerit di belakang kudanya.

Bukan main herannya Ouw Hui. Apakah dia seorang pemburu yang mau menangkap serigala dengan menggunakan tunggangannya ke dalam ke-bun bunga. Dengan dikejar oleh kawanan serigala

itu, dari timur ia melarikan kudanya ke barat dan dari barat ke timur. Dalam sekejap, seluruh ta-naman bunga itu sudah terinjak hancur. Orang itu sungguh pandai menunggang kuda, karena sesudah beberapa putaran, kawanan anjing itu masih belum bisa menerkam si kambing putih yang diseret di belakang kuda.

"Ah!" Ouw Hui mendusin. "Dilihat begini, orang itu agaknya memang sengaja mau merusak kebun bunga ini! Sekarang tak dapat aku berpeluk tangan." Dengan sekali mengenjot badan, kedua kakinya sudah hinggap di atas atap rumah.

Tapi, sebelum ia keburu berbuat apa-apa, men-dadak terdengar suara teriakan, "aduh!", disusul dengan kaburnya si penunggang kuda ke arah utara. Kambing itu yanag ketinggalan di tengah-tengah kebun, lantas saja diterkam, dirobek dan terus di-makan oleh kawanan serigala itu.

"Jahat benar orang itu," pikir Ouw Hui sembari menimpukkan dua butir batu. Dengan serentak, dua ekor anjing rubuh terguling dengan kepala hancur. Sekali lagi, Ouw Hui menyambit dengan dua butir batu. Kali ini, batu yang digunakannya agak kecil, yang sebutir mengenai perut seekor serigala dan yang sebutir lagi menghajar pundak seekor serigala lain. Meskipun tak sampai mati, kedua binatang itu lantas saja menjerit-jerit kesakitan.

Kawanan binatang buas itu agaknya mengerti, bahwa musuh mereka berada di atas atap rumah. Mereka mendongak dan menggeram sambil meng-awasi pemuda itu, dengan mata berapi. Melihat kegalakan kawanan binatang itu, Ouw Hui bergidik. Tanpa bersenjata ia merasa tak ungkulan melawan

kawanan serigala itu.

Sekali lagi ia mengayun tangannya untuk me-nimpuk seekor serigala jantan yang paling besar. Bagaikan kilat batu menyambar tenggorokan bi¬natang itu yang lantas sudah terguling-guling dan terkaing-kaing, akan kemudian kabur sekeras-ke-rasnya. Seekor serigala lain, yang perutnya sudah kenyang, lantas saja turut kabur, disusul oleh se¬rigala ketiga, keempat dan begitu seterusnya. Da¬lam sekejap mereka sudah kabur jauh meninggalkan kebun bunga yang sudah hancur. Ouw Hui segera melompat turun sembari berkata: "Sungguh sa-yang!"

Ia merasa sayang, bahwa capai lelahnya si nona menanam dan merawat tanaman-tanaman yang be¬gitu indah, telah dimusnahkan dalam sekejapan mata. Ia menduga, bahwa si gadis dusun tentu bukan main gusarnya.

Tapi di luar dugaan, si nona sama sekali tidak menyebut-nyebut kerusakan kebunnya dan berkata sembari tertawa: "Ouw Toako, terima kasih banyak untuk bantuanmu."

HAku sungguh merasa sangat malu," jawab Ouw Hui. "Aku sangat menyesal, bahwa aku tidak turun tangan terlebih siang. Jika tadi aku merubuhkan si penunggang kuda sebelum dia masuk kebun, ta-naman bunga itu tentu akan dapat diselamatkan."

Si nona bersenyum manis dan berkata dengan suara tenang: "Andaikata tidak dirusak anjing hu-tan, beberapa hari lagi bunga-bunga itu tentu akan layu sendiri."

Ouw Hui terkejut, karena ia merasa, bahwa gadis dusun itu sudah mengeluarkan kata-kata

aneh, yang seolah-olah merupakan ramalan. "Se-sudah menerima budi yang begitu besar, aku belum mengetahui she nona yang mulia," kata Ouw Hui dengan sikap menghormat.

Wajah si nona lantas saja berubah angker. "Aku she Thia," jawabnya. "Di hadapan orang lain, harap kau jangan menyebut-nyebut sheku itu." la meng-ucapkan kata-kata itu dengan nada seolah-olah Ouw Hui adalah anggota keluarganya sendiri.

Ouw Hui menjadi sangat girang dan ia maju setindak lagi.

"Tapi, apakah aku boleh mengetahui nama nona?" tanyanya lagi.

"Kau sangat baik," kata si nona. "Sudah terlanjur biarlah aku sekalian memberitahukan namaku ke-padamu. Aku bernama Leng So. Leng dari Leng-kie dan So dari So-bun."

Walaupun tidak mengetahui, bahwa Leng-kie dan So-bun adalah nama dua kitab obat, Ouw Hui merasa nama itu enak sekali didengarnya dan ia semakin yakin, bahwa gadis dusun itu bukan sem-barang orang.

"Kalau begitu," katanya sembari tertawa. "Biar¬lah aku panggil kau Leng Kouwnio (nona Leng)."

Si nona tertawa manis dan berkata: "Kau sung-guh ramah tamah." Jantung Ouw Hui mendadak berdebar keras. Gadis dusun itu bukan seorang gadis cantik. Akan tetapi, lagu bicaranya dan ter-tawanya yang manis mempunyai serupa daya pe-narik yang luar biasa.

Selagi ingin menanyakan keadaan Tiauw Bun, si nona sudah mendahului. "Keadaan Ciong Toako-mu sama sekali tidak berbahaya. Besok pagi, ia akan



sadar dari mabuk araknya. Sekarang aku ingin pergi menemui beberapa orang. Apakah kau mau turut?"

Sekali lagi Ouw Hui merasa heran. Siapa yang ingin dijumpainya di tengah malam buta? Ia tak berani menanyakannya. Satu hal ia memastikan: Tindakan si gadis dusun tentu mempunyai arti yang sangat penting. "Aku ikut," jawabnya tanpa berpikir panjang-panjang lagi.

"Baik," kata si nona. "Tapi sebelum kita berang-kat, kau harus membuat dulu tiga perjanjian. Pertama, kau tak boleh bicara dengan orang lain...."

"Akur," kata Ouw Hui. "Aku akan berlagak

gagu-"

"Tak usah," kata Leng So sembari tertawa.

"Dengan aku, tentu saja kau boleh bicara. Kedua,

kau tak boleh bertempur, tak boleh melepaskan

senjata rahasia atau menotok jalan darah orang.

Semua tak boleh. Ketiga, kau tidak boleh terpisah

lebih dari tiga tindak dari sampingku."

Dengan merasa sangat girang, Ouw Hui lantas saja mengiakan. Ia yakin, bahwa si nona akan mem-bawa dia kepada Tok-chiu Yo-ong. "Apakah kita berangkat sekarang?" tanyanya.

"Kita harus membawa sedikit barang," jawabnya sembari masuk ke dalam kamarnya. Lewat kira-kira seminuman teh, ia ke luar lagi dengan memikul dua keranjang bambu yang tertutup, sehingga tak dapat diketahui apa isinya.

"Biarlah aku yang memikulnya," kata Ouw Hui sembari mengambil pikulan itu yang segera dilin-tangkannya. Segera juga ia mendapat kenyataan, bahwa kedua keranjang itu tak mudah dipikulnya, karena yang sebelah sangat berat, kira-kira seratus

tujuh puluh kati beratnya, sedang yang lain sangat enteng. la heran, tapi tak mengatakan suatu apa.

Sebelum berangkat, ia menengok ke arah Tiauw Bun yang sedang menggeros dengan mengeluarkan hawa arak dari mulut dan hidungnya.

Sesudah Leng So mengunci pintu, mereka lalu berangkat dengan si nona berjalan di depan. "Leng Kouwnio," kata Ouw Hui. "Bolehkah aku menanya-kan suatu hal?"

"Boleh saja jika aku dapat menjawabnya," sahut si nona.

"Jika kau tak bisa, dalam dunia ini tiada orang lain yang bisa menjawabnya," kata Ouw Hui. "Kau sendiri tahu, Ciong Toako tidak minum setetes air atau menelan sebutir nasi. Tapi, kenapa dia sampai jadi mabuk begitu rupa?"

Gadis dusun itu tertawa geli. "Dia mabuk justru karena tak minum dan tak makan," jawabnya.

"Ah! Inilah benar-benar suatu hal, yang aku tak mengerti," kata pula Ouw Hui. "Ciong Toako adalah seorang yang sudah kawakan dalam dunia Kang-ouw. Kui-kian-ciu Ciong-sie Sam-hiong di Ouwpak utara adalah orang-orang yang terhitung mempu-nyai ilmu silat tinggi dalam Rimba Persilatan. Di lain pihak, aku adalah seorang yang berkepandaian sangat cetek. Tapi siapa nyana, sedang ia begitu berhati-hati, ia justru...." Ia tak bicara terus dan berhenti sampai di situ.

"Bicara saja terus terang," kata si nona. "Kau tentu ingin mengatakan, bahwa ia begitu berhati-hati, tapi tak urung dapat kurobohkan. Bukankah begitu? Apakah kau mengira, bahwa orang yang berhati-hati selamanya akan selamat? Justru orang

seperti kau, yang sukar mendapat bahaya."

"Kenapa begitu?" tanya Ouw Hui.

"Disuruh memikul tahi, kau pikul, disuruh ma¬kan, kau lantas makan," jawabnya sembari tertawa. "Terhadap bocah yang begitu menurut, mana oarng tega menurunkan tangan jahat?"

"Oh, kalau begitu, menjadi manusia harus men-dengar kata," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Tapi caramu mencelakakan orang benar-benar luar bia-sa. Sehingga sekarang, aku masih belum bisa me-nebak, bagaimana kau melakukannya."

"Baiklah, kepadamu, aku rela membuka ra-hasia," kata si nona. "Apakah kau melihat kembang putih kecil, yang berada di ruangan tengah?"

Karena bunga itu tidak menyolok mata dan agaknya hanya perhiasan belaka, Ouw Hui tidak memperhatikannya. Sekarang ia ingat bahwa di samping meja makan, terdapat sebuah meja kecil, di atas mana telah ditempatkan sebuah jambangan kembang, dengan sekuntum bunga putihnya.

"Bunga itu dinamakan Tek-ouw-hiang," si nona menerangkan. "Yang dapat memabukkan orang adalah baunya yang harum. Siapa juga yang me-ngendusnya, pasti akan roboh dengan tanda-tanda seperti orang mabuk arak. Dalam makanan dan air ten, aku sudah mencampurkan obat pemunahnya."

Mendengar keterangan itu, Ouw Hui menjadi kagum berbareng jeri. Menurut kebiasaan, cara meracuni orang adalah mencampurkannya ke dalam minuman atau makanan. Tapi cara si gadis dusun masih jauh lebih lihay sehingga seorang Kang-ouw kawakan seperti Ciong Tiauw Bun masih kena di-robohkan juga.

"Sebentar, begitu pulang, aku akan segera mem-berikan obat pemunahnya kepada kawanmu itu," kata Leng So. "Tak usah kau khawatir."

Perkataan si nona sudah membikin Ouw Hui teringat suatu hal. "Nona ini pandai menggunakan racun dan pandai pula menyembuhkan penyakit akibat racun," pikirnya. "Mungkin sekali, ia juga dapat menyembuhkan kedua mata Biauw Tayhiap. Jika benar begitu, tak usah aku capai-capai pergi menemui Tok-chiu Yo-ong." Memikir begitu, lantas saja ia menanya: "Leng Kouwnio, bisakah kau meng-obati penyakit akibat racun Toan-chung-co?"

"Sukar dikatakan," sahutnya.

Mendengar jawaban itu, Ouw Hui tak berani mendesak lagi. Sambil mengikuti di belakangnya, ia melihat bahwa tindakan si nona enteng luar biasa, tapi bukan karena menggunakan ilmu mengenteng-kan badan. Tak lama kemudian, mereka sudah melalui enam tujuh li. Ouw Hui mendapat ke-nyataan, bahwa mereka sedang menuju ke arah timur dan bukan ke jurusan Yo-ong-chung. Men-dadak, ia mengingat suatu hal dan lantas saja me¬nanya: "Leng Kouwnio, aku ingin mengajukan per-tanyaan lain. Tadi, sebelum aku dan Ciong Toako berangkat ke Yo-ong-chung, kau telah mengatakan, 'lebih baik jalan ke timur laut.' Kau sudah me-nyesatkan kami, sehingga kami mesti berjalan me-mutar, yang lebih panjang kira-kira dua puluh li daripada semestinya. Kenapa kau sudah berbuat begitu? Sampai sekarang aku masih belum me-ngerti."

Si nona tertawa. "Sudahlah! Janganlah menanya berbelit-belit," katanya. "Kau tentu ingin menanya:

Rumah Yo-ong terletak di barat daya, kenapa kita sekarang menuju ke timur? Bukankah itu yang kau ingin menanyakan?"

Muka Ouw Hui jadi bersemu merah. "Benar, kau telah menebak tepat sekali," katanya dengan suara perlahan.

"Kita tidak berjalan menuju ke Yo-ong-chung, karena kita memang bukan mau pergi ke Yo-ong-chung," kata gadis dusun itu.

Ouw Hui terkejut, karena pernyataan itu adalah di luar dugaannya. "Ah!" ia mengeluarkan seruan tertahan.

"Apakah kau tahu, kenapa siang tadi aku me-minta kau menyiram pohon-pohon bunga?" tanya Leng So. "Pertama, untuk mencoba-coba hatimu dan kedua, untuk memperlambat perjalananmu. Sesudah itu, aku sengaja menunjukkan jalan me-mutar yang lebih panjang kira-kira dua puluh li daripada semestinya. Dengan berbuat begitu, aku juga bermaksud untuk memperlambat perjalanan¬mu, supaya kau tiba di Yo-ong-chung di waktu malam. Kenapa aku berbuat begitu? Kau harus mengetahui, bahwa pohon-pohon merah yang me-ngitari Yo-ong-chung kurang beracunnya di waktu malam, sehingga bisa dilawan dengan bunga biru yang kuberikan kepadamu."

Mendengar penjelasan itu, bukan main kagum-nya Ouw Hui. Ia sekarang merasa takluk dan ber-terima kasih kepada nona dusun itu yang ternyata sudah menolong ia dengan sesungguh hati. Maka itu, tanpa menanya suatu apa lagi, ia segera meng¬ikuti Leng So berjalan ke arah timur.

Sesudah berjalan lagi lima enam li, mereka

masuk ke dalam hutan yang lebat. "Sudah tiba, tapi mereka belum datang," kata Leng So. "Biarlah kita menunggu di sini. Tolong, letakkan keranjang ini di bawah pohon itu." Sembari berkata begitu, Leng So menunjuk sebuah pohon besar. Ouw Hui lantas saja melakukan apa yang diminta.

Sesudah itu, si nona mendekati gerombolan rumput tinggi yang terpisah kira-kira sembilan tom-bak dari pohon besar tersebut.

"Tolong, bawalah ke mari keranjang yang satunya lagi," kata Leng So sembari masuk ke dalam gerombolan. Tanpa berkata suatu apa, Ouw Hui menenteng keranjang itu dan turut masuk ke dalam rumput-rumput tinggi tersebut. la mendongak, mengawasi langit dan memandang sang bulan yang sudah tenggelam di barat. Waktu sudah tengah malam, di dalam hutan yang sunyi hanya terdengar bunyi kutu-kutu kecil, diseling dengan suara bu-rung-burung malam.

Beberapa saat kemudian, si nona memberikan sebutir pel kepada Ouw Hui sambil berbisik: "Hi-saplah ini dalam mulutmu, jangan ditelan." Tanpa ragu-ragu, Ouw Hui memasukkan pel itu yang rasa-nya sangat pahit, ke dalam mulutnya.

Dengan menahan napas, mereka menunggu. Antara mereka berdua, adalah Ouw Hui yang tak mengetahui, apa atau siapa yang sedang ditunggu. la mengingat, bahwa selama sehari dan semalam, pengalamannya sungguh luar biasa. Dan dalam la-munannya, tiba-tiba ia teringat Wan Cie Ie. "Ah. Di mana ia sekarang?" ia menghela napas. "Jika se-karang yang berada di sampingku adalah dia, entah apa yang akan dikatakannya." Memikir begitu, tan-



pa merasa ia merogoh saku dan mengusap-usap burung Hong dari giok, pemberian nona Wan.

Sesudah menunggu kurang lebih setengah jam, tiba-tiba Leng So menarik ujung bajunya dan me-nuding ke suatu jurusan. Ouw Hui memandang ke jurusan itu dan melihat sinar teng (lentera) di kejauhan. Umumnya, api teng bersinar merah, tapi api itu hijau sinarnya. Teng itu bergerak cepat luar biasa dan dalam sekejap, sudah berada dalam jarak belasan tombak. Dari sinar api, Ouw Hui mendapat kenyataan, bahwa yang menenteng teng itu, adalah seorang wanita bongkok dan jalannya terpincang-pincang diikuti seorang laki-laki di belakangnya. Jantung Ouw Hui memukul keras. Ia ingat kete-rangan Tiauw Bun, bahwa Tok-chiu Yo-ong adalah seorang perempuan yang berbadan bongkok.

Ia melirik Leng So tapi dalam kegelapan malam, tak dapat ia melihat muka si nona. Apa yang dapat dilihatnya hanyalah sepasang matanya yang bersi¬nar, sedang mengawasi kedua orang itu, dengan sifat tegang. Pada detik itu, timbullah rasa ksatria dalam lubuk hati Ouw Hui. "Jika Tok-chiu Yo-ong meng-ganggu Leng Kouwnio, walaupun mesti mati, aku tentu akan menolong," katanya di dalam hati.

Kedua orang itu berjalan semakin dekat. Ter-nyata, meskipun bercacad, wanita itu berparas can-tik, tapi yang laki-laki beroman jelek dan sifatnya galak sekali. Usia mereka kira-kira sebaya, kurang lebih empat puluh tahun. Dengan pengalaman dan kepandaiannya yang tinggi, tak pernah Ouw Hui merasa keder, menghadapi jagoan yang bagaimana besar juga namanya. Tapi, pada saat itu, dalam suasana menyeramkan, hatinya berdebar-debar. Ia

merasa, bahwa terhadap orang-orang aneh itu, ia tak bisa mengandal kepada ilmu silatnya saja.

Ketika hanya tinggal terpisah tujuh delapan tombak dari tempat persembunyian Ouw Hui dan Leng So, kedua orang itu mendadak membelok ke kiri dan berjalan lagi, belasan tombak, akan ke-mudian menghentikan tindakannya. Yang laki-laki mendongak ke atas dan berseru dengan suara nya-ring: "Bok-yong Suheng! Menurut perjanjian. Kami berdua suami-isteri sudah tiba disini. Hayolah ke luar!"

Teriakan itu tak mendapat jawaban.

"Bok-yong Suheng!" seru si wanita bongkok dengan suara halus. "Jika kau sungkan menam-pakkan diri, kami terpaksa akan berlaku kurang ajar terhadapmu." Teriakan itu juga berhasil nihil.

Ouw Hui merasa geli dan berkata di dalam hatinya: "Inilah yang dinamakan balas membalas. Tadi kau tak meladeni aku, sekarang kau yang tak digubris."

Sesaat kemudian, wanita itu merogoh sakunya dan mengeluarkan seikat rumput yang lalu dinyala-kan di api teng. Dalam sekejap, di sekitar situ sudah penuh dengan asap putih yang berbau wangi.

Mendengar perkataan "terpaksa berlaku ku¬rang ajar", Ouw Hui mengetahui, bahwa asap itu tentulah asap beracun. Ia juga mengerti, bahwa ia tidak mendapat gangguan karena khasiat pel pem-berian si nona. Ia melirik Leng So yang kebetulan sedang memandang ke arahnya, dengan sorot mata penuh kekhawatiran. Besar sekali rasa terima kasih Ouw Hui. Ia tersenyum dan manggut beberapa kali.

Semakin lama, asap itu jadi semakin tebal.

Sekonyong-konyong, dari dalam keranjang yang berada di bawah pohon, terdengar suara orang berbangkis. Ouw Hui terkesiap, karena baru se¬karang ia mengetahui, bahwa tadi ia telah memikul seorang manusia hidup. Bahwa ia tidak mengenal soal-soal racun, adalah hal yang bisa dimengerti. Akan tetapi, dengan kepandaiannya yang cukup tinggi, sungguh ia tak mengerti, mengapa ia sudah memikul manusia hidup, tanpa mengetahuinya. Me¬nurut pantas, manusia hidup harus bernapas dan pernapasan itu mesti didengarnya.

Sementara itu, orang yang berada di dalam keranjang, sudah berbangkis beberapa kali dan di lain saat tutup keranjang itu terbuka, disusul ke-luarnya seorang laki-laki sambil melompat. Orang itu, yang mengenakan jubah panjang dan memakai ikat kepala sebagai sastrawan, ternyata bukan lain daripada si orang tua yang pernah diketemui Tiauw Bun dan Ouw Hui di atas gunung. Begitu kedua kakinya menginjak bumi, ia mengawasi kedua suami isteri itu dengan mata melotot dan membentak: "Bagus! Kiang Sutee, Sie Sumoay. Bertahun-tahun kita tak pernah bertemu dan kelihatannya, makin lama tanganmu jadi semakin kejam!"

Suami isteri itu mengawasi si orang tua yang pakaiannya tak rapi dan ikat kepalanya miring ke samping. "Kau mengatakan kami kejam?" kata yang laki-laki dengan suara dingin. Siapa yang tahu, kau bersembunyi di dalam keranjang? Bok-yong Su¬heng...."

Baru saja ia berkata begitu, si orang tua meng-endus-endus udara beberapa kali dengan wajah berubah dan buru-buru ia mengeluarkan sebutir pel

yang lalu dimasukkan ke dalam mulutnya.

Sementara itu, si wanita bongkok sudah mema-damkan rumput racunnya yang kemudian dimasuk¬kan kembali ke dalam sakunya. "Bok-yong Suheng!" katanya. "Sudah tak keburu lagi! Sudah terlambat!"

Wajah orang tua itu menjadi pucat bagaikan mayat, ia duduk di tanah dan berselang beberapa saat, baru ia berkata: "Baiklah, aku kalah. Mulai dari sekarang, aku tak akan membuntuti kamu lagi."

Laki-laki yang beroman jelek itu, segera me-ngeluarkan sebuah botol kecil yang berwarna me-rah. Ia mengacungkan botol itu seraya berkata: "Inilah obat pemunah untuk Toan-chung-co. Su-titmu (anak dari saudara seperguruan telah di-celakakan dengan racunmu. Maka itu, kau juga harus memberikan obat pemunahnya."

"Dusta!" bentak si orang tua. "Apakah kau maksudkan Siauw Tiat? Beberapa tahun aku tak pernah bertemu dengan ia. Jangan bicara sem-barangan."

"Apakah kau menjanjikan kami datang ke sini hanya untuk mengatakan begitu?" t-anya si wanita bongkok dengan suara gusar. Ia berpaling kepada suaminya dan berkata pula: "Tiat San, hayolah kita berangkat!" Ia memutarkan badan dan segera ber-jalan pergi.

Tiat San tak bergerak, ia kelihatan sangat ber-sangsi. "Siauw Tiat..." katanya.

Wanita bongkok itu menghentikan tindakannya dan menengok, "Dia sangat membenci kita," kata¬nya. "Dia agaknya lebih suka mati daripada meng-ampuni Siauw Tiat. Apakah kau masih belum bisa melihat kenyataan itu?"

Tiat San masih juga belum mau berlalu. Ia mengawasi si orang tua dan berkata: "Bok-yong Su¬heng, sudah dua puluh tahun kita saling mendendam. Apakah sekarang belum tiba waktunya untuk meng-hilangkan semua ganjalan itu? Siauwtee ingin meng-ajukan suatu usul, yaitu kita sekarang saling menukar obat dan mengakhiri segala permusuhan." Ia meng-ucapkan perkataan itu dengan suara memohon, se-hingga hati si orang tua terpengaruh juga.

"Sie Sumoay," katanya. "Siauw Tiat terkena racun apa?"

Si wanita bongkok tidak menjawab, ia hanya tertawa dingin.

"Bok-yong Suheng," kata pula Tiat San dengan suara mendongkol. "Sampai di sini, tak usah kita berpura-pura lagi. Siauwtee memberi selamat, bah-wa kau sudah menanam Cit-sim Haytong (bunga Haytong tujuh hati)...."

"Siapa menanam Cit-sim Haytong?" teriak si orang tua. "Apakah Siauw Tiat terkena racun Cit-sim Haytong? Bukan aku! Tentu saja bukan aku!" teriaknya penuh dengan suara ketakutan, sedang wajahnya menjadi pucat sekali.

"Sudahlah, Bok-yong Suheng," kata wanita itu. "Tak usah kita membicarakan yang tak perlu. Aku hanya ingin menanya: Untuk apa kau menjanjikan kami datang ke sini?"

"Tidak, sama sekali aku tak pernah minta kamu datang ke sini," jawabnya sembari menggelengkan kepala. "Aku sungguh tak mengerti. Kamu, yang sudah membawa aku ke mari, berbalik mengatakan akulah yang meminta kamu datang ke sini." Sesudah berkata begitu, dengan gusar ia menendang keran-

jang bambu itu yang lantas terpental beberapa tombak jauhnya.

"Apakah surat ini bukan ditulis olehmu?" tanya si wanita dengan suara mengejek. "Bok-yong Su-heng, mataku belum lamur. Aku cukup mengenal gaya tulisanmu." la merogoh sakunya dan menge-luarkan sehelai kertas yang lalu diangsurkannya kepada orang tua itu.

Selagi si orang tua mau menyambuti, tiba-tiba saja ia mendapat suatu ingatan dan lalu mengebas dengan telapakan tangannya, sehingga kertas itu terpental dan melayang-layang di tengah udara. Hampir berbareng dua jeriji tangan kirinya me-nyentil dan sebatang Touw-kut-teng (Paku pe-nembus tulang) menyambar dan memaku kertas itu di batang pohon.

Hati Ouw Hui berdebar. "Sungguh berbahaya berurusan dengan orang-orang begini," pikirnya. "Setiap detik kita harus berhati-hati. Si tua agaknya tak berani memegang kertas itu yang dikhawatirkan ada racunnya."

Si wanita bongkok mengangkat tinggi-tinggi teng yang dipegangnya. Di atas kertas itu terdapat dua baris huruf-huruf besar yang berarti seperti berikut:

Kiang dan Sie, kedua saudara. Harap datang di Hek-houw-lim (Hutan harimau hitam) sesudah jam tiga. Ada urusan penting yang ingin didamaikan.

Huruf-huruf itu berbentuk tinggi kurus, mirip sekali dengan bentuk badan si orang tua. "Ah!" ia mengeluarkan teriakan heran.

"Bok-yong Suheng, kenapa?" tanya si laki-laki jelek.

"Itu bukan tulisanku," jawabnya.

Kedua suami isteri itu saling memandang dan pada bibir mereka tersungging senyum menyindir.

"Heran, sungguh heran!" kata si orang tua, "Huruf-hurufnya memang mirip dengan tulisan¬ku." Ia mengusap-usap jenggotnya dan mendadak berteriak dengan suara gusar: "Binatang! Dengan maksud apa, kamu memasukkan aku ke dalam keranjang dan membawa aku ke mari? Aku sudah bersumpah, bahwa selama hidupku, tak sudi aku melihat lagi cecongormu!"

"Sudahlah, jangan berpura-pura!" si wanita bongkok balas membentak. "Siauw Tiat terkena racun Cit-sim Haytong. Katakan saja: Kau mau mengobati atau tidak?"

"Kau tahu pasti?" tanya si orang tua. "Kau tahu pasti, Cit-sim.... Cit-sim Haytong?" Ketika mengata-kan "Cit-sim Haytong", suaranya bergemetar seperti ketakutan.

Perlahan-lahan Ouw Hui mengerti duduknya persoalan. Ia menduga, bahwa seorang yang ber-kepandaian sangat tinggi memainkan peran dalam peristiwa ini. Tapi siapakah orang itu? Tanpa me-rasa ia melirik Leng So. Mungkinkah gadis kurus kering ini yang sudah mengerjakan semua itu?

Selagi Ouw Hui sangsi, sekonyong-konyong ter-dengar suara bentakan: "Uuh!" yang menyeramkan dan aneh kedengarannya. Ia berpaling dan men¬dapat kenyataan, bahwa suara tersebut dikeluarkan si orang tua dan kedua suami isteri itu sembari mendorong kedua tangan mereka ke depan. Dalam sekejap, kesunyian sang malam dipecahkan oleh suara, "uuh, uuh, uuh" yang tiada henti-hentinya.

Mendadak, suara-suara itu berhenti, disusul berkelebatnya suatu sinar dingin dan padamnya api teng. Ternyata, lilin teng itu telah dipadamkan dengan paku Touw-kut-teng yang dilepaskan oleh si tua. Di lain saat terdengar teriakan "aduh" dari si laki-laki bermuka jelek yang rupa-rupanya sudah dilukai dengan senjata rahasia si orang tua.

Ketika itu, dalam kegelapan, keadaan sungguh menyeramkan, seolah-olah setiap jengkal tanah da¬lam hutan Hek-how-lim diliputi bahaya besar. Tan-pa merasa, darah ksatria Ouw Hui meluap-luap. la mencekal tangan Leng So yang lalu ditariknya ke belakang, sedang ia sendiri maju ke depan, siap sedia untuk mengorbankan jiwanya guna gadis itu.

Sesudah teriakan lelaki itu, keadaan kembali sunyi senyap. Yang didengar Ouw Hui hanyalah bunyi kutu-kutu kecil dan suara "ku-ku" dari bu-rung-burung malam. Tiba-tiba, sebuah tangan kecil halus mencekal tangannya yang besar kasar. Ia terkejut. Tangan itu seolah-olah tangan seorang anak kecil yang sedang meminta perlindungan. Ba-rusan ia menduga, bahwa Leng So memainkan pe-ran dalam peristiwa ini. Tapi sekarang ia merasa, bahwa si nona sendiri berada dalam ketakutan.

Di antara kesunyian itu, sekonyong-konyong muncul dua gulung asap, segulung putih dan se-gulung berwarna abu-abu, yang seperti dua ekor ular, menyambar ke depan dari kiri dan kanan. Munculnya asap itu disusul dengan suara "fuh-fuh-fuh", seperti orang meniup api. Ouw Hui membuka kedua matanya lebar-lebar dan samar-samar, ia da-

pat melihat dua sinar api, di sebelah kiri dan kanan. Di belakang sinar api yang satu adalah si orang tua, sedang di belakang sinar yang lain adalah si wanita bongkok. Mereka sedang membungkuk sembari meniup-niup titik api itu yang mengeluarkan asap. Sekarang Ouw Hui mengerti, bahwa mereka tengah menggunakan asap serupa rumput beracun untuk saling merobohkan.

Semakin lama, sekitar tempat itu diliputi asap yang semakin tebal. Ouw Hui mencekal erat-erat tangan Leng So yang agak bergemetar. Men¬dadak, dari sebuah pohon terdengar suara aneh. Ouw Hui mendongak dan mengawasi. Ternyata pohon itu adalah pohon, dimana kertas tadi ter-paku dengan Touw-kut-teng. Ia terkesiap karena kertas itu mengeluarkan sinar terang dan dengan pertolongan sinar itu terlihatlah beberapa baris huruf.

Si orang tua dan si wanita juga sudah melihat perubahan aneh pada kertas itu. Mereka berhenti meniup api dan mengawasi. Dalam kegelapan, hu-ruf-huruf itu kelihatan tegas sekali dan terbaca seperti berikut:

Surat ini adalah untuk ketiga muridku, Bok-yong Keng Gak, Kiang Tiat San dan Sie Kiauw

Dengan melupakan kecintaan saudara seper-guruan, kamu saling mencelakakan. Kejadian itu sangat mendukakan aku.

Maka itu, mulai dari sekarang, kamu harus segera memperbaiki segala kekeliruanmu dan me-nuntut penghidupan sesuai dengan keinginanku. Se¬gala sesuatu mengenai berpulangnya aku ke alam baka, kamu bisa mengetahui dari muridku Leng So.

Pesan terakhir dari aku, si paderi Bu-tin.

Si orang tua dan si wanita mengeluarkan seruan kaget. "Apakah Suhu sudah wafat?" kata mereka serentak. "Thia Sumoay! Di mana kau?"

Dengan perlahan Leng So meloloskan tangan-nya dari genggaman Ouw Hui dan mengeluarkan sebatang lilin yang lalu dinyalakannya dengan bahan api. Sesudah itu, baru ia berjalan ke luar dengan tindakan tenang.

Paras muka si orang tua, yang bernama Bok-yong Keng Gak, dan si wanita bongkok, yang ber¬nama Sie Kiauw, lantas saja berubah. "Sumoay!" mereka membentak. "Mana Yo-pian (Kitab ma-laikat Yo-ong)? Kaulah yang menyimpannya?"

"Bok-yong Suheng, Sie Suci," kata Leng So sembari tertawa dingin. "Kamu sungguh tak mem-punyai perasaan. Budi Suhu yang sudah mengajar dan memelihara kamu adalah sebesar gunung. Se-baliknya dari memperhatikan mati hidup beliau, yang kamu ingat hanyalah peninggalan beliau. Kian Suheng! Bagaimana pendapatmu?"

Mendengar pertanyaan Leng So, Kiang Tiat San yang rebah sedari tadi, mengangkat kepalanya dan berteriak dengan suara gusar: "Lekas keluarkan Yo-ong Sin-pian! Siauw Tiat tentu kau yang me-lukai! Tak bisa salah lagi, segala kejadian sepanjang malam ini adalah kerjaanmu sendiri!"

Leng So mengawasi saudara seperguruannya tanpa mengeluarkan sepatah kata.

"Suhu memilih kasih," kata Bok-yong Keng Gak. "Sudah pasti, ia menyerahkan kitab itu kepadamu!"

"Sumoay keluarkanlah kitab itu," bujuk Sie Kiauw. "Marilah kita beramai-ramai mempelajari-nya."

Dengan kedua matanya yang sangat tajam, un-tuk beberapa lama Leng So mengawasi ketiga orang itu. "Benar," akhirnya ia berkata. "Memang benar, Suhu telah menghadiahkan Yo-ong Sin-pian ke-padaku." Ia merogoh sakunya dan berkata pula: "Inilah surat wasiat Suhu. Bacalah." Sembari ber¬kata begitu, ia mengangsurkan selembar kertas ke-pada Sie Kiauw yang lalu bergerak untuk menyam-butinya.

"Awas!" seru Kiang Tiat San.

Sie Kiauw sadar, ia melompat mundur sambil menuding satu pohon.

Leng So menghela napas dan mencabut se¬batang tusuk konde perak dari rambutnya. Ia me-nusuk kertas itu dan dengan sekali mengayun ta-ngan, ia membuat pantek konde itu dengan ker-tasnya sudah terpaku di pohon yang ditunjuk Sie Kiauw.

Ouw Hui kagum melihat timpukan itu. "Sung¬guh tak dinyana, gadis dusun yang kurus kering ini mempunyai kepandaian yang begitu tinggi," katanya di dalam hati. Ia mengawasi kertas yang terpaku di pohon itu dan dengan bantuan sinar lilin Leng So, dapatlah ia membaca tulisan itu yang berarti seperti berikut:

Surat wasiat ini diberikan kepada muridku Leng So. Sesudah aku meninggal dunia, kau boleh segera memberitahukan kejadian itu kepada Suheng dan Sucimu. Kau hanya boleh memperlihatkan Yo-ong Sin-pian kepada orang yang menunjukkan kecintaan seorang murid kepadaku, si paderi tua. Murid yang soma sekali tidak menunjukkan rasa duka dan rasa cinta, tak kuaku sebagai murid lagi, perhubungan antara aku dan dia sudah menjadiputus karenanya. lnilah pesanku kepadamu.

Surat terakhir dari gurumu, si paderi Bu-tin

Sesudah membaca surat wasiat itu, Keng Gak, Tiat San dan Sie Kiauw saling mengawasi dengan mulut ternganga. Tak dapat mereka membantah, bahwa kelakuan mereka barusan bukanlah kelaku-an yang pantas dari seorang murid terhadap guru-nya. Sesudah mengetahui, bahwa sang guru me-ninggal dunia, sedikit pun mereka tak berduka dan sepatah pun mereka tak menanyakan hal mening-galnya guru itu. Yang mereka ingat, hanyalah pe-ninggalan sang guru. Untuk beberapa saat, mereka seperti orang terkesima. Tiba-tiba, sambil berteriak, mereka menerjang dengan serentak.

"Leng Kouwnio, awas!" seru Ouw Hui sembari melompat dari tempat sembunyinya. Sesaat itu, kedua tangan Sie Kiauw sedang menyambar ke arah muka Leng So. Cepat bagaikan kilat, Ouw Hui menangkis dengan sebelah tangannya dan berba-reng dengan bunyi "plak!" tubuh Sie Kiauw ter-pental dua tombak jauhnya. Begitu berhasil, ia membalikkan tangannya dan menjambret perge-langan tangan Tiat San, dan kemudian, dengan menggunakan Loan-hoan-koat dari Thay kek-kun, ia mendorong dengan meminjam tenaga musuh.

Tubuh Tiat San yang tinggi besar lantas saja ter-pental beberapa tombak dan ambruk di atas tanah.

Sekarang ia mendapat kenyataan, bahwa kedua suami isteri itu yang lihay dalam menggunakan racun, tidak seberapa tinggi ilmu silatnya. Buru-buru ia memutarkan badan untuk menghadapi Bok-yong Keng Gak. Tapi, sebelum ia keburu bergerak, mcndadak badan orang tua itu bcrgoyang-goyang dan kemudian roboh sendiri terguling di atas tanah tanpa bergerak lagi.

"Sumoay," kata Sie Kiauw sembari meringis. "Benar lihay kawanmu. Siapa dia?"

"Aku she Ouw, bernama Hui," kata Ouw Hui dengan suara nyaring. "Jika kamu suami isteri me¬rasa penasaran, carilah aku saja...."

"Sudah! Jangan rewel!" bentak Leng So sembari membanting kaki. Ouw Hui terkejut dan tidak ber-kata suatu apa lagi. Sementara itu, Kiang Tiat San dan isterinya sudah berbangkit, dan setelah meng¬awasi Ouw Hui dengan sorot mata membenci, me¬reka segera berjalan pergi dengan tindakan cepat.

Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Leng So meniup lilinnya yang lalu dimasukkan ke dalam sakunya.

"Leng Kouwnio," kata Ouw Hui, "Kenapa Bok-yang Suhengmu rubuh?"

Si nona hanya menggerendeng. "Huh!" Ouw Hui menanya lagi, tapi tetap tak mendapat jawaban. Berselang beberapa saat, ia berkata dengan suara perlahan: "Kenapa? Apakah kau merasa tak senang terhadapku?"

"Ah!" Leng So menghela napas. "Semua pe¬sanku, tak satu pun yang kau perhatikan.



Ouw Hui kaget. la baru ingat tiga janjinya kepada Leng So dan yang semua sudah dilang-garnya. la berdiri terpaku dengan rasa jengah. "Ha-rap kau sudi memaafkan," katanya dengan suara memohon. "Karena melihat serangan ketiga orang itu yang sangat hebat, aku khawatir kau terluka dan dalam bingung, aku sudah melupakan semua pesan-mu."

"Fui!" bentak si nona sembari tertawa. "Kalau begitu, semua perbuatanmu itu adalah karena me-mikirkan aku. Pandai benar kau mencari-cari alasan! Kau sendiri yang bersalah, sekarang kau berbalik coba membebankan semua kesalahanmu di atas pundakku! Eh, Ouw Toako, kenapa kau memberitahukan namamu kepada mereka? Mereka pasti tak akan melupakan dendam ini dan tentu akan terus menyeterukan kau. Dalam pertarungan, mereka memang tak bisa menang. Tapi mereka akan berusaha untuk membokong kau dengan racun. Ouw Toako, mulai dari sekarang, kau harus berlaku sangat hati-hati." Leng So berkata begitu dengan suara lemah-lembut dan penuh kekhawatiran akan keselamatan pemuda itu.

Bulu roma Ouw Hui bangun semua. Tapi se-bagai ksatria sejati, segera juga ia dapat menetapkan hatinya.

"Kenapa kau memberitahukan she dan namamu kepada mereka?" Leng So mendesak.

Pertanyaan itu hanya dijawab dengan tertawa oleh Ouw Hui.

"Sesudah kau merobohkan mereka, kau kha¬watir, jika mereka akan menumpahkan kegusaran mereka kepadaku bukan?" tanya si nona. "Dan kau

sengaja memikul semua itu di atas pundakmu sen¬diri. Ouw Toako, kenapa kau begitu baik terhadap-ku?" Kata-kata yang terakhir ini diucapkannya de¬ngan suara terharu, sehingga Ouw Hui merasa sa¬ngat terpengaruh oleh kehalusan dan budi pekerti si nona. "Kau sendirilah yang terus memperhatikan keselamatanku," katanya dengan perasaan berte-rima kasih. "Berkat perlindunganmu, aku terlolos dari bahaya. Kita harus berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kita. Maka itu, sudah semestinya jika aku memandang kau sebagai sa-habatku."

Leng So menjadi girang bukan main. "Benar-kah, kau menganggap aku sebagai sahabatmu?" tanyanya sembari tertawa. "Kalau begitu, biarlah lebih dulu aku menolong selembar jiwamu."

"Apa?" Ouw Hui menegas.

"Nyalakan dulu penerangan," kata Leng So. "Mana teng itu?" Ia membungkuk untuk mencari tengloleng yang dilemparkan Sie Kiauw, tetapi ka¬rena gelap, ia tak dapat menemukannya.

"Bukankah dalam sakumu masih ada sebatang lilin?" tanya Ouw Hui.

"Kau mau mati?" kata si nona sembari tertawa. "Lilin itu dibuat dari Cit-sim Hay-tong.... Ah! Inilah dia." Ternyata ia sudah berhasil mendapatkan teng itu yang lalu dinyalakannya.

Sesudah mendengar pembicaraan antara suami isteri Kiang Tiat San dan Bok-yong Keng Gak, Ouw Hui yakin, bahwa Cit-sim Hay-tong adalah semacam racun yang sangat hebat. Sesaat itu, dengan per-tolongan sinar tengloleng, ia mendapat kenyataan, bahwa Bok-yong Keng Gak menggeletak di atas

tanah seperti mayat. Mendadak seperti baru men-dusin dari tidurnya, ia mengeluarkan seruan ter-tahan. "Aha!" katanya. "Sekarang baru aku me-ngerti! Jika aku tidak berlaku sembrono dan me-nerjang ke luar, Kiang Tiat San dan isterinya tentu sudah dapat kau taklukkan."

Leng So bersenyum seraya berkata: "Tapi tin-dakanmu itu telah didorong oleh maksud yang sa-ngat baik. Ouw Toako, biar bagaimanapun juga, aku merasa berhutang budi terhadapmu."

Ouw Hui mengawasi si nona yang bertubuh kurus kering itu dengan perasaan kagum dan malu. "Usianya masih lebih muda daripadaku, tapi otak-nya penuh dengan tipu daya," katanya di dalam hati. "Aku yang biasa menganggap diri sendiri pintar, sungguh harus merasa malu."

Sekarang ia sudah mengerti latar belakang ke-jadian tadi. Lilin Leng So sangat beracun dan se-sudah dinyalakan, hawa racun yang dikeluarkan lilin itu tidak berbau dan tidak berasap. Maka itu, ja-ngankan orang biasa, sedangkan Keng Gak dan suami isteri Kiang Tiat San, yaitu ahli-ahli dalam menggunakan racun, masih kena dikelabui. Jika ia tidak berlaku sembrono, dalam tembpo cepat, ke-dua suami isteri itu tentu juga sudah roboh seperti Bok-yong Keng Gak. Tapi, di lain saat, ia ingat, bahwa waktu itu Tiat San dan isterinya sudah me-nyerang dengan pukulan-pukulan kilat yang sangat hebat. Dari sebab itu, terdapat kemungkinan besar, bahwa Leng So sudah lebih dulu celaka, sebelum mereka berdua roboh.

Thia Leng So rupa-rupanya dapat membaca pikiran Ouw Hui. "Ouw Toako," katanya. "Coba kau

menotok pundakku dengan jerijimu."

Ouw Hui tak mengerti maksud si nona, tapi ia segera menotok pundak Leng So perlahan dengan telunjuknya. Begitu menyentuh pundak si nona, telunjuk itu dirasakannya panas seperti terbakar, sehingga dengan terkejut, Ouw Hui melompat mun-dur beberapa tindak.

Leng So tertaa cekikikan. "Lihatlah!" katanya. "Kedua suami isteri itu akan merasakan kepahitan yang sama, jika mereka menyentuh pakaianku."

"Benar hebat," kata Ouw Hui sembari menggo-yang-goyang telunjuknya yang pedas perih. "Racun apa yang kau gunakan?"

"Bukan barang luar biasa, hanya Cek-kiat-hun (Tepung kalajengking merah)," kata Leng So.

Dengan pertolongan sinar api teng, Ouw Hui mendapat kenyataan, bahwa jerijinya sudah me-lepuh. "Ah, baik juga tadi aku tidak menyentuh pakaiannya."

"Ouw Toako," kata si nona. "Aku bukan ingin menyakiti kau. Maksudku adalah supaya kau berhati-hati, jika di lain kali kau berpapasan dengan ketiga saudara seperguruanku. Dalam ilmu silat, kepandaianmu jauh lebih tinggi daripada mereka. Tapi, lihatlah telapakan tanganmu."

Ouw Hui mengawasi telapak tangannya, tapi tak melihat suatu apa yang luar biasa.

"Coba lihat di dekat api teng," kata Leng So.

Ouw Hui lantas saja jadi terkejut, karena men¬dapat kenyataan, bahwa pada telapakan tangannya terdapat sinar hitam. "Apa... apa mereka mem-punyai Tok-see-ciang (Tangan pasir beracun)?" tanyanya.

"Apakah kau kira muridnya Tok-chiu Yo-ong tidak mempelajari Tok-see-ciang?" kata si nona.

"Ah!" Ouw Hui mengeluarkan seruan tertahan. "Kalau begitu Bu-tin Thaysu adalah Tok-chiu Yo-ong yang tulen. Tapi kenapa kalian saudara-saudara seperguruan jadi saling cakar?"

Si nona tak menjawab pertanyaan itu, ia hanya menghela napas. Kemudian ia mencabut pantek kondenya dan paku Touw-kut-teng yang menancap di pohon dan melipat dua lembar surat peninggalan gurunya yang lalu dimasukkan ke dalam sakunya. Ketika itu, huruf-huruf yang bersinar terang pada surat pertama, sudah menghilang.

"Apakah surat itu ditulis olehmu?" tanya Ouw Hui.

"Benar," sahut si nona. "Di tempat Suhu ter-dapat sebuah kitab obat yang ditulis oleh Toa-suheng, sehingga aku paham dengan gaya tulisan-nya. Hanya tiruanku agak kurang sempurna, aku berhasil meniru bentuknya, tapi tak dapat menye-lami jiwanya. Tulisan Toasuheng yang tulen masih lebih indah dari tiruanku."

Ouw Hui adalah seorang yang tak paham ilmu surat, maka keterangan si nona mengenai ilmu menulis, tak dikomentari olehnya.

Sesudah berdiam sejenak, Leng So lalu berkata pula: "Surat wasiat Suhu ditulis dengan mengguna-kan larutan tanah, sehingga untuk membacanya, surat itu harus dipanggang di api. Belakangan, aku memoles huruf-huruf surat itu dengan sungsum harimau sehingga bersinar terang di tempat gelap. Kau lihatlah!" Sembari berkata begitu, ia mema-damkan api lilin dan benar saja, pada kertas itu

muncul sinar terang. Begitu lekas lilin itu dinyala-kan pula, sinar terang itu segera menghilang dan yang kelihatan hanyalah huruf-huruf tulisan Leng So sendiri, yang ditulis di antara huruf-huruf surat wasiat Bu Tin Thaysu. Dengan demikian, di atas selembar kertas itu terdapat dua rupa tulisan, dalam keadaan terang, terlihatlah tulisan Leng So, sedang dalam kegelapan, yang terlihat adalah tulisan Bu-tin Thaysu.

Sesudah diterangkan, hal itu memang juga tidak mengherankan. Akan tetapi, waktu tadi Bok-yong Keng Gak, Tiat San dan Sie Kiauw sedang ber-tempur, mereka kaget bukan main, ketika dengan mendadak mereka melihat surat wasiat gurunya di atas pohon. Berbareng dengan itu, Sesudah me-nyalakan lilin beracun, Leng So munculkan diri. Bok-yong Keng Gak bertiga yang tengah menum-pahkan perhatian mereka kepada persoalan kitab Yo-ong Sin-pian, scdikit pun tak menduga, bahwa sang Sumoay sedang melepaskan racun dengan lilin-nya.

Sesudah mengetahui latar belakang peristiwa tadi, Ouw Hui jadi girang sekali dan paras mukanya berseri-seri.

"Kenapa begitu kegirangan, sedang kau kena Tok-see-ciang?" tanya Leng So.

"Bukankah kau sudah berjanji akan menolong iiwaku," jawab Ouw Hui. "Dengan murid Yo-ong di sampingku, guna apa aku berkhawatir?"

Si nona tertawa dan mendadak ia meniup api lilin. sehingga keadaan kembali berubah gelap gu-lita. Sesudah itu, ia menghampiri keranjangbambu, di mana segera terdengar suara keresekan. Ouw Hui

tak tahu, ia sedang melakukan apa, tapi beberapa saat kemudian, ia kembali dan menyalakan lagi lilin teng.

Di bawah sinar lilin, Ouw Hui mendapat ke-nyataan, bahwa Leng So sudah bertukar pakaian. Sekarang ia mengenakan baju putih, celana biru.

"Di pakaianku ini tidak terdapat lagi tepung Cek-kiat-hun," katanya sembari tertawa. "Tak usah kau ketakutan lagi."

"Kau dapat memikirkan segala apa," kata Ouw Hui sembari menghela napas. "Usiaku lebih tua daripada kau, tapi aku tua, tua kejemur. Aku sudah bersyukur jika mempunyai sepersepuluh kecer-dasanmu."

Leng So mengawasi pemuda itu dan berkata dengan suara jengkel: "Sesudah belajar mengguna-kan racun, apa yang setiap had dipikiri olehku adalah bagaimana harus menyebarkan racun tanpa diketahui orang dan bagaimana harus melindungi diri sendiri. Coba kau pikir, apa enaknya orang hidup begitu? Mana aku bisa menyayangi kau yang hidup bebas di alam yang bebas pula." Ia menghela napas panjang sebagai tanda dari kedukaan hatinya.

Sesaat kemudian, ia menarik tangan Ouw Hui dan menusuk setiap jeriji tangan itu dengan pantek konde peraknya. Kemudian ia mengurut telapakan tangan Ouw Hui dengan menggunakan dua jempol tangan. Di lain saat, dari lubang-lubang bekas tusuk-an pantek konde itu, ke luar darah yang bersemu ungu.

Waktu jerijinya ditusuk, Ouw Hui sama sekali tidak merasa sakit dan beberapa saat kemudian, darah yang mengalir dari jarinya sudah tidak ber-warna ungu lagi.

Sesaat itu, tubuh Bok-yong Keng Gak yang menggeletak di tanah tiba-tiba bergerak. "Dia men-dusin!" kata Ouw Hui.

"Tak mungkin!" kata si nona. "Paling sedikit masih ada tiga jam lagi."

"Tadi, waktu aku memikulnya, sedikit pun dia tidak bergerak, sehingga aku tidak mengetahui, bahwa aku sedang memikul manusia hidup," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Benar-benar aku tolol."

Leng So tersenyum simpul seraya berkata: "Hm! Orang yang mengatakan dirinya tolol, biasanya jus-tru seorang yang pintar sekali."

Ouw Hui tak menjawab, ia hanya tertawa. Se¬saat kemudian, barulah ia berkata pula: "Eh, tadi mereka telah menanyakan Yo-ong Sin-pian. Apa-kah Yo-ong Sin-pian kitab obat-obatan?"

"Benar," jawab Leng So. "Kitab itu adalah hasil jerih payah guruku. Apakah kau ingin melihatnya?" Ia merogoh saku dan mengeluarkan satu barang kecil yang dibungkus kain. Dalam bungkusan kain itu terdapat bungkusan kertas minyak dan setelah kertas minyak itu dibuka, barulah terlihat sejilid kitab warna kuning yang panjangnya enam dim dan lebarnya empat dim. Dengan menggunakan pantek konde, si nona membuka lembaran-lembaran kitab yang tertulis penuh dengan huruf-huruf kecil. Tak usah dikatakan lagi, bahwa setiap lembaran kertas itu sangat beracun dan orang tentu akan celaka jika berani sembarang membukanya dengan jeriji ta-ngan.

Melihat kepercayaan Leng So yang begitu besar terhadap dirinya, Ouw Hui jadi merasa senang se-

kali. Sesudah membungkus rapi Yo-ong Sin-pian dan memasukkannya kembali ke dalam sakunya, si nona lalu mengeluarkan satu botol kecil dan me-nuang sedikit isinya, yaitu semacam bubuk warna ungu, yang lalu dipoleskan di jeriji-jeriji Ouw Hui yang tadi ditusuk dengan pantek konde. Ia meng-urut tulang-tulang jeriji itu beberapa kali dan bubuk itu lantas saja tersedot masuk dari lubang-lubang tusukan.

"Benar-benar lihay kau!" memuji Ouw Hui. "Seurnur hidupku, belum pernah aku menyaksikan tabib yang seperti kau."

"Kepandaianku sama sekali tak ada artinya," si nona merendahkan diri. "Jika kau menyaksikan kepandaian guruku, membelek dada dan perut serta menyambung tulang, barulah benar-benar kau akan merasa kagum."

"Benar," kata Ouw Hui. "Di samping mahir dalam menggunakan racun, gurumu tentu juga pandai mengobati penyakit. Jika tak begitu, ia tentu tak akan mendapat julukan Yo-ong (Raja Obat)."

"Jika Suhu masih hidup, ia tentu akan merasa girang mendengar perkataanmu itu," kata si nona. "Hanya sayang... ia sekarang sudah tak ada lagi di dunia ini." Kata-katanya yang terakhir dikeluarkan dengan suara duka dan kedua matanya kelihatan mengembang air.

"Sucimu tadi mengatakan, bahwa gurumu me-milih kasih dan hanya menyayang murid yang paling kecil," kata Ouw Hui. "Aku rasa, perkataannya ada benarnya juga. Memang juga, hanya kau seorang yang sangat mencintai gurumu."

"Suhu mempunyai empat murid yang semuanya

sudah diketemui olehmu pada malam ini," kata Leng So. Bok-yong Keng Gak adalah Toasuheng, Kiang Tiat San Jiesuheng, sedang Sie Kiauw adalah Sam-suci. Sesudah mempunyai tiga murid, sebenarnya suhu tak ingin menerima murid lagi. Akan tetapi, sesudah melihat, bahwa ketiga saudara seper-guruanku itu bermusuhan keras dan karcna kha-watir, sesudah ia meninggal dunia, tak ada orang yang akan dapat menaklukkan mereka, maka dalam usianya yang sudah lanjut, ia mengambil aku sebagai muridnya yang keempat."

Sesudah berdiam sejenak, si nona berkata pula: "Mereka bertiga sebenarnya bukan orang jahat. Hanya karena Samsuci menikah dengan Jiesuheng, maka Toasuheng jadi merasa sakit hati dan mereka jadi bermusuh, sehingga akhirnya tak dapat dibaik-kan lagi."

Ouw Hui manggutkan kepalanya. "Toasuheng-mu juga mencintai Samsucimu, bukan?" tanyanya.

"Urusan itu sudah terjadi lama sekali, sehingga aku pun tak tahu terang bagaimana sebenarnya." Menerangkan si nona. "Aku hanya mengetahui, bahwa dulu Toasuko mempunyai isteri. Karena me-nyukai Toasuko, Samsuci telah meracuni Suko, se¬hingga menjadi matinya."

Ouw Hui mengeluarkan seruan tertahan, bulu romanya bangun semua. Ia merasa bahwa seorang yang pandai menggunakan racun, jadi kejam hatinya dan sedikit-sedikit lantas saja menggunakan racun.

"Dalam gusarnya, Toasuko juga lantas meracuni Samsuci, sehingga Suci bercacad, ia menjadi bong-kok berbareng pincang," kata Leng So pula. "Di lain pihak, Jiesuko yang mencintai Samsuci, tak menjadi

kurang cintanya, karena bercacadnya Suci. Dengan demikian, mereka lalu menikah. Entah bagaimana, sesudah pernikahan itu, Toasuko ingat lagi ke-baikan-kebaikan Samsuci di waktu dulu dan ia lalu mengganggu Suci. Suhu jadi sangat jengkel dan beberapa kali ia telah menasehati mereka, tapi tak ada hasilnya, malah permusuhan mereka makin lama jadi makin hebat. Jiesuko adalah seorang baik dan kecintaan terhadap isterinya tetap tidak ber-ubah. Belakangan, mereka membuat Yo-ong-chung, yang dibuat dari besi, di tepi telaga Tong-teng, sedang di sekitar rumah itu, mereka menanam Hiat-ay-lie (nama pohon merah yang sangat beracun). Semula rumah itu dan Hiat-ay-lie adalah untuk menjaga-jaga kedatangan Toasuheng. Tapi bela¬kangan, karena musuh mereka jadi semakin banyak, maka Yo-ong-chung jadi berubah tempat bersem-bunyi Jiesuko dan Samsuci."

"Oh, kiranya begitu?" kata Ouw Hui, sambil manggut-manggutkan kepalanya. "Tak heran jika dalam kalangan Kang-ouw terdapat banyak sekali cerita yang berbeda-beda mengenai Tok-chiu Yo-ong. Ada yang berkata, bahwa Tok-chiu Yo-ong adalah seorang sastrawan, ada yang mengatakan, bahwa ia seorang lelaki yang bertubuh tinggi besar, ada pula yang mengatakan, bahwa ia adalah seorang wanita bongkok dan sebagainya."

"Kami sendiri juga tidak tahu siapa sebenarnya yang berhak mendapat julukan itu," kata Leng So. "Satu hal yang sudah pasti adalah guruku tidak menyukai gelaran itu. Katanya: 'Dipergunakannya racun olehku adalah untuk menolong orang. Tapi aku merasa malu dan tak dapat menerima gelaran



Yo-ong (Raja Obat). Mengenai julukan Tok-chiu (Tangan Beracun), aku menolak sekeras-kerasnya. Apakah orang mengira, bahwa Bu-tin, si hweeshio tua, adalah manusia yang suka membunuh orang secara scrampangan?' Akan tetapi, oleh karena racun kami memang benar sangat lihay dan juga sebab ketiga saudara seperguruanku sering sekali menggunakan itu secara sembarangan, sehingga be berapa orang baik tak luput menjadi korban, maka dalam kalangan Kang-ouw, julukan Tok-chiu Yo-ong jadi sangat kesohor. Di samping itu, guruku juga melarang ketiga saudara seperguruanku mem-perkenalkan diri dan nama mereka di dunia luar. Itulah sebabnya kenapa dalam setiap peristiwa yang mempunyai sangkut-paut dengan racun, orang lan-tas saja menuding kepada Tok-chiu Yo-ong. Ouw Toako, cobalah kau pikir: Penasaran atau tidak?"

"Tapi kenapa gurumu tak mau menampakkan diri untuk membersihkan nama?" tanya Ouw Hui.

"Aah, sukar, hal itu sukar dilakukan," kata si nona. "Orang akan semakin salah mengerti atau tak mau mengerti...." Berkata sampai di situ, peng-obatan tangan Ouw Hui Sudan selesai. Si nona bangkit seraya berkata: "Malam ini masih ada dua urusan yang harus dikerjakan. Pertama, kita harus mengambil obat untuk memunahkan racun Toan-chung-co dan kedua, mengobati Siauw Tiat, putera Jiesuko. Jika tidak...." la tersenyum dan tidak me neruskan perkataannya.

"Jika tidak dirintangi oleh kebandelanku, dua urusan itu akan jauh lebih gampang dibereskannya," menyambungi Ouw Hui. "Bukankah kau ingin me-ngatakan begitu?"

"Ya," kata si nona. "Baguslah jika kau tahu. Mari kita berangkat sekarang!"

"Apakah dia harus dimasukkan lagi ke dalam keranjang?" tanya Ouw Hui sembari menuding Bok-yong Keng Gak yang menggeletak di atas tanah.

"Benar, kau tolonglah," jawabnya.

Ouw Hui segera mengangkat tubuh Keng Gak dan memasukkannya ke dalam keranjang bambu yang lalu dipanggul di punggungnya.

Leng So berjalan ke jurusan selatan daya dan sesudah melalui kira-kira tiga li, tibalah mereka di depan sebuah rumah kecil.

"Ong Toasiok (paman Ong), hayolah!" berteriak si nona.

Pintu terbuka, dan dari dalam ke luar seorang lelaki yang kulitnya hitam dan memikul satu pi-kulan.

"Hm! Lagi-lagi satu manusia aneh!" kata Ouw Hui dalam hatinya, tapi ia tak berani menanyakan siapa adanya orang itu. Tanpa mengeluarkan se-patah kata, ia mengikuti si nona dalam jarak tiga tindak, sedang Leng So sendiri sekali dua kali menengok ke belakang sembari tertawa, sebagai tanda, bahwa ia sekarang merasa puas karena Ouw Hui mendengar kata. Si lelaki yang kulitnya hitam juga mengikuti di belakang mereka tanpa menge¬luarkan sepatah kata.

Dari rumah Ong Toasiok, Leng So membelok ke jurusan utara. Kira-kira jam empat pagi, mereka tiba di depan Yo-ong-chung.

Leng So lalu mengeluarkan tiga ikat bunga biru dari dalam keranjang, seikat diberikan kepada Ouw Hui, seikat kepada si lelaki kulit hitam dan seikat

lagi dipegangnya sendiri. Sesudah mereka melom-pati Hiat-ay-lie, ia berteriak: "Jiesuko! Samsuci! Apakah kamu mau membuka pintu atau tidak?" Tiga kali ia menanya, tapi tak mendapat jawaban.

Sesudah menunggu beberapa saat lagi, Leng So lalu manggutkan kepala kepada si lelaki kulit hitam. Orang itu segera meletakkan pikulannya di atas tanah dan mengeluarkan alat-alat tukang besi, se-perti hongshio (alat penyemprot angin), dapur ke-cil, besi hancuran dan sebagainya. Ia menyalakan api dan mulai menarik hongshio untuk melumerkan besi hancuran itu. Sesudah besi itu menjadi lumer, ia lalu menyolder bagian-bagian yang renggang di atas rumah bundar itu. Ouw Hui lantas saja me-ngetahui, bahwa ia sedang menutup pintu dan jen-dela dari rumah besi tersebut. Rupanya, karena tak ungkulan melawan Sumoay mereka yang sangat lihay, Kian Tiat San dan Sie Kiauw tak berani ke luar untuk merintangi.

Setelah si tukang besi selesai dengan pekerjaan-nya, sehingga orang-orang yang berada di dalam rumah itu tak akan bisa ke luar lagi, Leng So menggapai Ouw Hui. Sesudah melompati Hiat-ay-lie, dengan diikuti Ouw Hui, Leng So berjalan ke jurusan barat laut sambil menghitung setiap tin-dakannya. Sesudah berjalan puluhan tombak, ia membelok ke timur beberapa tindak pula.

"Di sinilah!" kata si nona sembari menyalakan lilin teng. Ouw Hui mendapat kenyataan, bahwa di antara dua batu besar terdapat satu lubang yang besarnya kira-kira sama dengan mangkok nasi dan yang atasnya ditedengi dengan satu batu.

"Inilah lubang untuk mereka bernapas," ber-

bisik Leng So sambil mengeluarkan lilin racun yang lalu disulut dan ditaruh di mulut lubang. Dibantu dengan tiupan angin, perlahan-lahan asap lilin itu masuk ke dalam.

Melihat tindakan Leng So yang dianggapnya sangat kejam, Ouw Hui jadi bergidik dan berbareng merasa kasihan pada orang-orang yang terkurung dalam rumah besi itu. Apakah ia harus mengawasi saja dengan berpeluk tangan?

Beberapa saat kemudian, si nona mengeluarkan satu kipas bundar yang berbentuk kecil dan lalu mulai mengipas lilin itu, sehingga semua asapnya masuk ke dalam lubang. Ouw Hui tak dapat ber-sabar lagi dan ia berdiri seraya berkata: "Leng Kouwnio, apakah dengan Suheng dan Sucimu, kau mempunyai dendam yang tak dapat didamaikan lagi?"

"Tidak," jawabnya dengan tawar.

"Apakah gurumu memberi perintah untuk kau membersihkan rumah tanggamu?" tanya pula Ouw Hui. (Membersihkan rumah tangga berarti menghu-kum murid atau anggota partai yang berdosa).

"Belum sampai begitu jauh," sahutnya.

"Tapi... tapi..." kata Ouw Hui dengan suara terputus-putus, karena ia tak tahu, bagaimana harus menerangkan isi hatinya.

Leng So mendongak dan menanya dengan suara dingin: "Kenapa kau jadi begitu bingung?"

"Jika Suko dan Sucimu mempunyai kedosaan yang sangat besar, biarlah sekali ini kau memberi-kan kesempatan agar mereka bisa merubah sifat mereka yang jelek dan menebus dosa," kata Ouw Hui sesudah menetapkan hatinya yang bergoncang.

"Ya," kata si nona. "Guruku pun pernah me-ngatakan begitu." la berdiam sejenak dan kemudian berkata pula: Sayang sekali sekarang guruku sudah berada di alam baka. Jika ia masih hidup, ia tentu akan merasa cocok dengan segala pendapatmu." Sedang mulutnya berkata begitu, tangannya terus mengipas api lilin itu.

Ouw Hui menggaruk-garuk kepala. Ia menun-juk lilin dan berkata: "Asap beracun itu... asap beracun itu.... Bukankah asap itu membinasakan manusia?"

"Ah! Kalau begitu Ouw Toako yang berhati mulia sedang menduga-duga, bahwa aku mau meng-ambil jiwa manusia," kata si nona sembari tersenyum simpul. Paras muka Ouw Hui lantas saja berubah merah, karena sekali lagi ia sudah menunjukkan kekonyolannya. Akan tetapi, walaupun masih ber¬ada dalam kegelapan, hatinya merasa lega sebab ia mengetahui, bahwa tindakan Leng So itu bukan bertujuan untuk membinasakan orang.

Sementara itu, dengan kuku jerijinya, si nona menggores batang lilin. "Ouw Toako," katanya. "Coba tolong menggantikan aku, tapi jagalah jangan sampai lilin ini menjadi padam. Kau boleh memadamkan lilin itu, jika apinya sudah membakar sampai di goresan." Sesudah menyerahkan kipas itu kepada Ouw Hui, ia berdiri dan mengawasi keadaan di sekitarnya sembari memasang kuping. Tanpa berkata suatu apa, Ouw Hui lantas saja mengerja-kan apa yang diperintah.

Sesudah mendengarkan beberapa lama dan mendapat kenyataan, bahwa tidak ada apa-apa yang luar biasa, Leng So segera duduk di atas satu batu

besar, di dekat Ouw Hui. "Orang yang telah meng-hancurkan kebunku, adalah Siauw Tiat, putera Jie-suko," menerangkan Leng So.

"Ah!" Ouw Hui mengeluarkan seruan kaget. Apakah dia juga berada dalam rumah itu?"

"Benar," jawabnya sembari tertawa. "Apa yang kita lakukan sekarang, adalah untuk menolong dia. Lebih dulu kita harus merubuhkan Suko dan Suci, supaya mereka tidak merintangi pekerjaan kita."

Sekali lagi Ouw Hui mengeluarkan seruan "ah!". "Oh, begitu?" katanya di dalam hati.

"Jiesuko dan Samsuci mempunyai satu musuh, seorang she Beng,' menerangkan si nona. "Musuh itu sudah berada di tempat ini kira-kira setengah tahun, tapi dia masih belum mampu menerjang Yo-ong-chung, karena belum bisa memunahkan racun Hiat-ay-lie. Bunga biru yang ditanam olehku, adalah pemunah racun itu. Jiesuko dan Samsuci tidak mengetahuinya, sampai aku memberikan bu¬nga itu kepada kau dan Ciong-ya. Tak usah di-katakan lagi, bahwa mereka jadi sangat terkejut ketika mengetahui, bahwa dengan membawa bunga biru itu, kalian tidak takut lagi kepada racun Hiat-ay-lie...."

"Benar," Ouw Hui memotong perkataan Leng So. "Ketika aku dan Ciong Toako datang di sini, lapat-lapat aku mendengar suara teriakan kaget tercampur gusar dari dalam rumah itu."

Leng So mengangguk lalu berkata pula: "Racun Hiat-ay-lie sebenarnya tak dapat dipunahkan de¬ngan obat apa pun juga. Akan tetapi, orang bisa menjadi kebal terhadap racun itu, jika ia sering makan buah dari pohon tersebut. Untung juga,

meskipun besar bahayanya, tanda-tanda Hiat-ay-lie gampang sekali dikenali orang. Jika satu pohon itu tumbuh di satu tempat, maka di sekitar tempat itu, dalam jarak lingkaran beberapa puluh tombak, tak akan terdapat seekor semut atau sebatang rumput."

"Benar," kata Ouw Hui. "Tadinya aku merasa heran sekali, kenapa di sekitar Yo-ong-chung tidak terdapat tumbuh-tumbuhan. Dua ekor kuda kami tidak terluput dari serangan racun. Jika kau tidak menghadiahkan bunga biru itu...." Berkata sampai di situ, ia bergidik karena mengingat pengalaman-nya pada malam itu bersama Ciong Tiauw Bun.

"Bunga itu adalah jenis baru yang baru saja berhasil ditanam," menerangkan Leng So. "Aku merasa syukur kalian cukup menghargai dan tidak melemparkannya di tengah jalan."

"Bunga itu sangat indah," kata Ouw Hui.

"Karena indah, maka kau tidak membuangnya, bukan?" kata Leng So.

Ouw Hui jadi tergugu, ia mendehem beberapa kali, tak tahu bagaimana harus menjawabnya. "Jika bunga itu tidak indah, apakah aku akan terus me-nyimpannya dalam sakuku?" ia tanya dirinya sendiri. "Apakah karena keindahannya, bunga itu sudah menolong jiwaku dan jiwa Ciong Toako?"

Selagi ia melamun, angin mendadak meniup keras dan memadamkan api lilin. "Aduh!" berseru Ouw Hui sembari mengeluarkan bahan api dari sakunya.

"Sudahlah!" mencegah Leng So. "Kira-kira su¬dah cukup."

Mendengar suara si nona yang agak kurang senang, Ouw Hui jadi merasa jengah, karena segala

apa yang diminta oleh Leng So selalu berakhir dengan ketidak-beresan, seolah-olah dia sengaja tak memperhatikannya. "Maaf," katanya. "Entah kenapa, malam ini pikiranku kusut sekali."

Leng So tidak menyahut.

"Tadi aku sedang berpikir dan tiba-tiba angin meniup," kata pula Ouw Hui. "Leng Kouwnio, apa yang dipikir olehku adalah begini: Waktu kau mem¬berikan bunga biru itu, sedikit pun aku tak me-ngetahui, bahwa bunga itu adalah penolong jiwa. Akan tetapi, sebagai hadiah yang aku terima, aku berkewajiban menyimpannya baik-baik."

Perkataan Ouw Hui yang bernada memohon, hanya disambut dengan "hm!".

Dalam gelap gulita, mereka duduk berhadapan. Lewat beberapa saat, Ouw Hui berkata pula: "Se-menjak kecil aku sudah tidak mempunyai ayah bunda. Jarang sekali orang memberikan apa-apa kepadaku."

"Ya," kata Leng So. "Aku pun begitu. Tapi toh bisa menjadi besar." Sehabis berkata begitu, ia me-nyalakan lilin teng dan lalu mengambil satu batu yang digunakan untuk menutup mulut lubang. "Hayo-lah," katanya.

Ouw Hui lantas saja mengikuti, tanpa berani menanyakan apa pun juga. Ketika mereka tiba di depan Yo-ong-chung, si tukang besi sedang duduk di atas tanah, sambil merokok.

"Ong Toasiok, tolong buka itu," kata Leng So sembari menunjuk bagian rumah yang tadi disolder. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia lalu meng¬ambil martil dan pahat dan mengerjakan apa yang diperintah. Kira-kira sepenanakan nasi, semua SOlderan sudah selesai dipahat.

"Bukalah pintu!" perintah si nona.

Si tukang besi lalu mengetuk-ngetuk beberapa kali dan menyontek dengan martilnya. Dengan sua-ra berkerontangan, sepotong papan besi menjeblak ke bawah dan terbukalah satu pintu yang tingginya enam kaki dan lebarnya tiga kaki. Si tukang besi ternyata paham benar akan alat-alat rumah ter-sebut. la menarik serupa alat dan dari dalam lantas saja muncul satu tangga kecil yang terus naik sampai di pintu.

"Taruh semua bunga biru di luar," kata Leng So. Mereka segera melemparkan bunga-bunga itu di atas tanah. Selagi mau naik tangga, mendadak si nona mengendus-endus beberapa kali. "Ouw Toa-ko," katanya. "Pada badanmu masih ada bunga. Jangan dibawa masuk."

"Oh!" kata Ouw Hui sembari merogoh sakunya dan mengeluarkan satu bungkusan kain yang lalu dibuka. "Hidungmu benar tajam," katanya. "Dalam bungkusan masih dapat diketahui olehmu."

Dalam bungkusan itu terdapat kitab ilmu silat dari keluarga Ouw dan beberapa rupa barang lain. Bunga biru itu yang sudah layu lalu ditaruh olehnya di pinggir pintu.

Melihat caranya menyimpan bunga itu, Leng So mengetahui, bahwa Ouw Hui benar-benar meng-hargai pemberiannya dan ia jadi merasa girang sekali. Ia menengok dan berkata sembari tertawa: "Kau tidak berdusta!"

Ouw Hui kaget. "Untuk apa aku berdusta?" katanya di dalam hati.

Sementara itu, sembari menuding ke dalam, si nona berkata pula: "Orang-orang yang berada di dalam, tak bisa mempertahankan diri terhadap bu-nga biru itu, karena mereka biasa makan buah Hiat-ay-lie." Sehabis berkata begitu, sambil me-nenteng tengloleng, ia lalu naik ke tangga, diikuti Ouw Hui dan si tukang besi.

Setibanya di kaki tangga, mereka berada di satu terowongan yang sangat sempit. Sesudah membelok dua kali, mereka masuk ke dalam satu ruangan kecil yang dindingnya penuh dengan lukisan dan lian serta diperaboti dengan kursi meja yang terbuat dari bambu. Ouw Hui terperanjat sebab sama sekali ia tidak menduga, bahwa Kiang Tiat San yang macam-nya begitu kasar mempunyai rumah yang diperaboti seperti rumah seorang sastrawan.

Leng So terus berjalan ke belakang. Di lain saat, mereka sudah tiba di bagian dapur dan apa yang terlihat di situ sangat mengejutkan Ouw Hui.

Kiang Tiat San dan isterinya sudah menggeletak di atas lantai, entah sudah mati atau masih hidup. Tapi kejadian itu tidak mengherankan, karena Ouw Hui sudah menduga, bahwa asap lilin Cit-sim Hay-tong bakal mengakibatkan begitu. Apa yang meng¬herankan adalah direbusnya seorang lelaki muda dalam satu kuali besar! Bagian atas badannya tidak memakai baju, sedang air yang memenuhi kuali tak hentinya mengebulkan uap. Meskipun belum ber-golak, air itu sudah pasti panas sekali. Ouw Hui mempercepat tindakannya dan mengangkat kedua tangannya untuk mengeluarkan orang itu dari kuali.

"Jangan diganggu!" mencegah si nona. "Coba lihat... apa ia memakai pakaian."

Ouw Hui melongok ke dalam kuali dan men-

jawab: "Dia memakai celana."

Muka Leng So bersemu dadu dan sembari manggutkan kepala, ia menghampiri kuali itu. "Coba tambah kayu bakar!" ia memerintah.

Ouw Hui terkesiap. Ia mengawasi dan lantas saja mengenali, bahwa pemuda itu adalah orang yang sudah merusak kebun si nona. Kedua matanya tertutup rapat, mulutnya terbuka dadanya turun naik dengan perlahan. Meskipun belum mati, se-dikitnya ia sudah pingsan. "Bukankah dia Siauw Tiat, putera mereka?" tanya Ouw Hui.

"Benar," jawabnya.

"Suko dan Suci ingin mengeluarkan racun yang mengeram dalam badannya, dengan merebus dia. Tapi, tanpa bubuk bunga dari Cit-sim Hay-tong, dia tak akan menjadi sembuh."

Ouw Hui jadi lega dan tanpa ragu-ragu lagi, ia segera masukkan sepotong kayu bakar ke dalam dapur. Ia tak berani menambah terlalu banyak, karena khawatir Siauw Tiat tak bisa tahan.

"Tambah lagi beberapa potong, dia tak akan menjadi mati," kata Leng So sembari tertawa.

Ouw Hui tak membantah dan lalu memasukkan pula dua potong kayu ke dalam dapur.

Sesudah mencelup tangannya ke dalam air un¬tuk mengetahui berapa panasnya, si nona lalu me¬ngeluarkan satu botol kecil dari dalam sakunya. Ia menuang sedikit bubuk berwarna kuning yang lalu dimasukkan ke dalam lubang hidung Kiang Tiat San dan Sie Kiauw. Lewat beberapa saat, mereka ber-bangkis dan membuka mata. Sesaat itu, dengan menggunakan gayung, Leng So menyendok air men-didih yang lalu dibuangnya dan kemudian menyen-

dok air dingin yang lalu ditambahkan ke dalam kuali.

Melihat begitu, paras mukanya Kiang Tiat San suami isteri yang tadinya gusar lantas saja berubah girang. Mereka mengetahui, bahwa si nona sedang menolong Siauw Tiat. Mereka segera bangun dan berdiri mengawasi tanpa mengeluarkan sepatah kata, dengan perasaan bimbang. Terang-terang, pu-tera mereka sudah kena racunnya Leng So, tapi sekarang sang Sumoay berbalik memberi perto¬longan. Mereka yakin, bahwa guru mereka telah memilih kasih dan menurunkan lebih banyak pe-lajaran kepada si nona yang dalam semalaman saja, sudah merubuhkan mereka beberapa kali.

Sementara itu, Leng So terus bekerja. Setiap kali air sudah mendidih, ia menyendok dengan menggunakan gayung dan membuangnya, akan ke-mudian menambahkan lagi dengan segayung air dingin. Direbus cara begitu, racun yang mengeram dalam badan Siauw Tiat, terhisap ke luar dengan perlahan. Selang beberapa saat, tiba-tiba Leng So berpaling kepada si tukang besi dan berkata: "Ong Toasiok, hayolah turun tangan! Mau tunggu sampai kapan lagi?"

"Baiklah!" jawab si tukang besi sembari meng-ambil sepotong kayu bakar yang lalu dihantamkan ke kepala Kiang Tiat San.

"Bikin apa kau?" membentak Tiat San dengan gusar sekali, sembari mengambil sepotong kayu. Tapi, baru saja ia mau balas menyerang, isterinya sudah membentak: "Tiat San! Hari ini kita sangat perlu pertolongan Sumoay. Beberapa pukulan itu tak menjadi soal."

Tiat San tercengang dan mengawasi isterinya

dengan mata melotot. "Baiklah!" kata ia akhirnya dengan suara gusar. Ia melemparkan kayu itu dan membiarkan dirinya dihajar oleh si tukang besi.

"Anjing!" caci si orang she Ong sembari meng-gebuk. "Kau sudah merampas sawahku dan memak-sa aku membuat rumah besi ini. Belum puas dengan itu, kau malahan sudah menggebuk aku, sehingga tiga tulang igaku menjadi patah dan harus rebah di ranjang setengah tahun lamanya. Anjing! Tak di-nyana, kita bakal berpapasan hari ini."

Sembari memaki, tangannya terus menghantam Tiat San. Walaupun tak mengerti ilmu silat, pukulan si tukang besi hebat luar biasa, karena setiap hari ia berlatih dengan memukul besi. Menggebuk be¬lum berapa lama, potongan kayu itu sudah menjadi patah.

Tiat San tetap tak menangkis atau berkelit. Sambil menggertak gigi, ia menerima pukulan-pu-kulan itu. Mendengar cacian itu, Ouw Hui me¬ngetahui, bahwa kedua suami isteri itu pernah me-nyakiti si tukang besi yang hari ini bisa juga me-lampiaskan sakit hatinya dengan pertolongan Leng So. Ia jadi girang dan mengawasi pertunjukan itu sambil bersenyum simpul.

Dalam tempo cepat, tiga potong kayu yang digunakan untuk menggebuk, sudah menjadi patah. Muka dan kepala Tiat San sudah babak belur dan mengeluarkan darah. Biar bagaimanapun juga, si tukang besi adalah seorang baik. Melihat begitu, ia tak tega untuk memukul lagi dan lalu melemparkan potongan kayu yang sedang dicekal olehnya. "Thia Kouwnio," katanya sembari menyoja. "Hari ini kau sudah membantu aku untuk membalas sakit hati.

Budi yang sangat besar ltu tak dapat aku mem-balasnya."

"Ong Toasiok," jawab si nona. "Tak usah kau berlaku begitu sungkan." la berpaling kepada Sie Kiauw dan berkata pula: "Samsuci, pulangkanlah sawahnya Ong Toasiok. Dengan memandang muka siauwmoay, aku harap kalian jangan mempersakiti ia lagi. Maukah kalian berjanji begitu?"

"Selama hidup, kami tak akan menginjak lagi wilayah Ouwlam," jawab Sie Kiauw dengan suara mendongkol. "Tapi kau tak dapat memaksa supaya kami melupakan kejadian di had ini."

"Baiklah," kata Leng So. "Ong Toasiok, kau pulanglah lebih dulu. Urusan di sini tak ada sangkut-pautnya lagi dengan kau."

Dengan paras muka berseri-seri, si tukang besi memungut sepotong kayu yang sudah patah sebagai akibat gebukan tadi. "Orang jahat itu telah meng-hajar aku hebat sekali," katanya. "aku ingin me-nyimpan potongan kayu ini yang berlepotan darah, sebagai peringatan." Sehabis berkata begitu, ia memberi hormat kepada Leng So dan Ouw Hui dan lalu berjalan pergi.

Melihat paras mukanya si tukang besi yang kegirangan seperti anak kecil, jantung Ouw Hui memukul keras, karena ia ingat pengalamannya di Pak-tee-bio, di mana Ciong A-sie dan keluarganya telah dibinasakan secara mengenaskan sekali. Ke-kejaman suami isteri Kiang Tiat San mungkin tak kalah dengan kebuasan Hong Jin Eng. Mungkin sekali, begitu lekas Leng So berlalu, mereka akan turunkan tangan jahat terhadap si tukang besi. Memikir begitu, lantas saja ia mengejar dan ber-teriak: "Ong Toasiok, tunggu dulu! Aku mau bi-cara."

Si tukang besi menghentikan tindakannya dan menengok ke belakang.

"Ong Toasiok," kata Ouw Hui. "Menurut aku, suami isteri she Kiang itu bukan manusia baik-baik. Aku menasehati supaya kau buru-buru menjual sawahmu dan segera menyingkirkan diri. Jangan lama-lama berdiam di tempat ini. Aku khawatir, tangan mereka sangat beracun."

Si orang she Ong kelihatan terkejut. la merasa berat untuk meninggalkan kampung kelahirannya yang ia cinta. "Tapi mereka toh sudah berjanji akan tidak menginjak lagi wilayah Ouwlam," katanya.

"Omongan manusia semacam itu tak bisa di-percaya habis," kata Ouw Hui.

Si tukang besi kelihatan seperti orang baru mendusin dari tidurnya. "Benar, kau benar!" kata¬nya. "Baiklah, aku akan menyingkir secepat mung-kin!" Sehabis berkata begitu, ia lalu bertindak ke luar, tapi baru saja tiba di ambang pintu, ia me-mutarkan badan dan menanya: "Kau she apa?"

"She Ouw," jawab Ouw Hui.

"Ouw-ya, terima kasih dan sampai bertemu pula," katanya dengan suara terharu. "Selama hi-dupmu, perlakukanlah Thia Kouwnio baik-baik."

Sekarang giliran Ouw Hui yang merasa kaget. "Apa kau kata?" tanyanya.

Si orang she Ong tertawa berkakakan. "Ouw-ya," katanya. "Aku, si tukang besi, bukan manusia yang terlalu tolol. Apakah kau kira aku tak dapat melihat? Thia Kouwnio adalah seorang gadis cilik yang sangat pintar, hatinya mulia dan kepandaian-

nya tak usah dibicarakan lagi. Sikapnya terhadapmu adalah sikap yang setulus hati. Ouw-ya, kau harus dengar kata terhadapnya!" Sekali lagi ia tertawa berkakakan dan melangkah ke luar pintu.

Tentu saja Ouw Hui mengerti, apa artinya per-kataan itu. Ia merasa sangat jengah dan hanya berkata: "Sampai ketemu lagi."

"Ouw-ya, sampai ketemu lagi," kata si tukang besi sembari membereskan perabotnya yang lalu dipikul dan tanpa menengok lagi, sembari menya-nyi-nyanyi, ia berangkat pulang ke rumahnya.

Ouw Hui menghela napas dan dengan tindakan perlahan, ia balik ke dapur.

Ketika itu, Siauw Tiat sudah sadar dari ping-sannya dan sudah berdiri di atas lantai dengan badan dikercbongi dengan satu jubah panjang.

Tcrhadap Leng So, keluarga Kiang mengiri dan membenci, tapi tcrhadap kepandaian si nona dalam menggunakan obat dan racun, mau tak mau, mereka merasa sangat kagum. Mereka bertiga berdiri tegak dengan sikap dingin, tanpa mengeluarkan sepatah kata terima kasih.

Leng So juga rupanya tidak memperdulikan sikap yang dingin itu. Di lain saat, ia merogoh saku dan mengeluarkan tiga ikat rumput obat kering yang berwarna putih. Sambil meletakkan itu di atas meja, ia berkata: "Begitu kau orang berlalu dari rumah ini, orang-orang dari keluarga Beng tentu akan mengejar dan coba mencegat kau orang. Ini adalah Tck-ouw-hio yang dibuat dengan menggunakan Cit-sim Hay-long dan aku rasa sudah cukup untuk mundurkan mereka. Tapi aku pesan, kau jangan mengambil jiwa manusia, supaya permusuhan tidak



jadi semakin mendalam."

Paras muka Kiang Tiat San lantas saja berubah berseri-seri. "Thia Sumoay," katanya. "Banyak te-rima kasih untuk segala perhatianmu."

"Hm! Dia menolong puteramu, kau tidak meng-haturkan terima kasih," kata Ouw Hui dalam hati-nya. "Sesudah ia membantu kau untuk mundurkan musuh, baru kau menyatakan terima kasih. Dari sini dapat dilihat, bahwa musuh itu adalah musuh yang sangat lihay. Siapakah orang she Beng itu?"

Sesudah suaminya menghaturkan terima kasih, dari sakunya Sie Kiauw mengeluarkan satu botol kecil yang lalu diserahkan kepada Leng So. "Inilah obat pemunah racun Toan-chung-co," katanya. "Su¬moay sendiri tentu dapat membuatnya, hanya me-minta tempo dan mungkin tak keburu untuk me¬nolong orang."

Mendengar perkataan 'obat pemunah racun Toan-chung-co", Ouw Hui jadi girang sekali.

Leng So lalu membuka tutup botol dan mengen-dusnya dari jarak yang agak jauh. "Terima kasih, Suci," katanya sembari menutup botol itu yang kemudian diserahkan kepada Ouw Hui.

"Siauw Tiat!" kata pula si nona dengan suara angker. "Kenapa kau memberikan Toan-chung-co kepada orang luar?"

Siauw Tiat terkesiap, karena ia tak mengerti, bagaimana Leng So bisa mengetahui hal itu. "Aku... aku..." jawabnya dengan tergugu.

"Sumoay," kata Tiat San. "Siauw Tiat memang sudah berbuat kesalahan besar dan aku sudah hajar dia." Sembari berkata begitu, ia menghampiri pu-teranya dan membuka jubah panjangnya Siauw Tiat,

yang badannya lalu dipuar. Ternyata, punggung Siauw Tiat penuh dengan bekas sabetan cambuk yang mengembang darah. Tadi, Leng So sendiri sebenarnya sudah melihat bekas cambuk itu, akan tetapi, karena perbuatan Siauw Tiat, yaitu mem¬berikan racun kepada orang luar, merupakan satu kedosaan besar dalam kalangan Tok-chiu Yong-ong, maka ia merasa berkewajiban untuk mene-gurnya. Timbulnya dugaan, bahwa Toan-chung-co diberikan oleh Siauw Tiat, adalah karena melihat bekas sabetan itu.

Sesaat itu Leng So ingat pula pesanan mendiang gurunya. Kata guru itu: 'Jika kau sendiri yang me¬racuni orang, andaikata kau kesalahan meracuni orang baik, kau bisa lantas memberi pertolongan. Akan tetapi, jika racun itu diberikan kepada orang luar yang lalu menggunakannya untuk mencelaka-kan orang baik-baik, maka orang baik-baik itu tak akan bisa ditolong lagi. Kedosaan ini adalah sepuluh kali lipat lebih besar daripada meracuni orang de¬ngan tangan sediri.' Leng So merasa pasti, bahwa larangan itu sudah sering diberitahukan kepada Siauw Tiat oleh kedua orang tuanya. Kenapa dia masih melanggar juga? Sebenarnya si nona ingin menanyakan lebih terang, tapi ia merasa malu hati, karena anak itu sudah dihajar keras oleh Suko dan Sucinya. Maka iu, ia hanya berkata sembari mem-bungkuk: "Suko, Suci maafkan yang had ini siauw-moay telah berbuat banyak kesalahan terhadap kalian. Sampai ketemu lagi."

Kiang Tiat San membalas hormat, tapi Sie Kiauw tak memperdulikan dan hanya menggeren-deng, "Hm!" Leng So memberi tanda dengan isyarat

mata kepada Ouw Hui dan mereka berdua lantas bertindak ke luar.

Baru saja mereka mau melangkah pintu, Kiang Tiat San mengejar sembari berseru: "Siauw-su-moay!"

Leng So menengok dan begitu melihat paras mukanya yang guram dan penuh kcsangsian, ia sudah mengetahui, apa yang diinginkan oleh sang Suko, "Jiesuko, ada apa?" ia tanya sembari tertawa.

"Tiga Tek-ouw-hio itu memerlukan tiga orang yang Lweekangnya sepantaran untuk mundurkan musuh," jawab Tiat San. "Lweckang Siauw Tiat masih terlalu cetek, maka aku ingin memohon...." Ia tak dapat meneruskan perkataannya, mungkin karena merasa malu hati.

Si nona mesem dan berkata sambil menuding keranjang bambu yang menggeletak di luar pintu: "Toasuko berada dalam keranjang itu. Bubuk bunga Cit-sim Hay-tong yang ditinggalkan oleh siauwmoay sudah cukup untuk memunahkan racun yang me-ngeram dalam tubuh Toasuko. Jiesuko, kenapa kau tak mau menggunakan kesempatan ini untuk mem-perbaiki perhubungan dengan Toasuko? Dengan menolong ia, kau juga akan mendapat bantuannya yang diperlukan."

Mendengar itu, bukan main girangnya Tiat San. Untuk banyak tahun, ia merasa jengkel sekali, sebab permusuhannya dengan Bok-yong Keng Gak se-makin lama jadi semakin mendalam. Ia sama sekali tak menduga, bahwa Sumoay kecil itu sudah meng-atur suatu siasat yang mempunyai dua kebaikan, yaitu mengundurkan musuh dan memperbaiki per¬hubungan dengan kakak seperguruannya. Demi-



kianlah, sesudah menghaturkan terima kasih ber-ulang-ulang, ia segera mengambil keranjang bambu itu.

Sementara itu, Ouw Hui sudah memungut lagi bunga biru yang tadi ditaruh olehnya di pinggir pintu. Leng So melirik padanya dan kemudian, sembari mengulapkan tangan ke arah Tiat San, ia berkata: "Jiesuko, kepala dan mukamu mengeluar-kan darah, tapi dengan begitu, hawa racun yang mengeram dalam badanmu juga turut ke luar. Aku berharap, kau jangan menaruh dendam atas per-buatanku yang kurang ajar."

Lagi-lagi Tiat San terkejut, seperti orang yang baru mendusin dari tidurnya. "Sekarang baru aku mengetahui, bahwa perintahnya supaya si tukang besi menggebuk aku, di samping hukuman untuk kedosaanku, juga mengandung maksud yang baik," pikirnya. "Racun dalam badan Kiauw-moay belum hilang dan aku harus mengeluarkan sedikit darahnya." Memikir begitu, ia merasa takluk terhadap kepintaran sang Sumoay yang jauh lebih unggul daripada dirinya sendiri. Dengan begitu, hilanglah juga segala keinginannya untuk merampas Yo-ong Sin-pian.

Waktu Leng So dan Ouw Hui kembali di rumah gubuk, Ciong Tiauw Bun masih pulas nyenyak. Mereka sudah bekerja berat, tak tidur semalam suntuk dan ketika itu, fajar sudah menyingsing. Leng So segera mengeluarkan obat untuk Tiauw Bun dan memberikannya kepada Ouw Hui.

Sesudah Tiauw Bun diberi obat, tanpa mengaso lagi, mereka lalu mengambil cangkul untuk me-nanara pula pohon-pohon bunga biru yang belum



rusak. "Semula, waktu melihat kawanan anjing hu-tan itu, aku kira yang datang menyerang adalah orang-orang keluarga Beng," kata si nona. "Be-lakangan setelah melihat di leher orang itu ter-gantung seikat rumput obat, barulah aku menge-tahui, bahwa dia itu adalah Siauw Tiat."

"Bagaimana ia bisa kena racun Cit-sim Hay-tong?" tanya Ouw Hui. "Dalam kegelapan aku tak bisa melihat tegas."

"Aku serang dia dengan paku Touw-kut-teng," jawab Leng So. "Selain itu, pada paku tersebut diikatkan surat Toasuko yang dipalsukan olehku. Touw-kut-teng adalah senjata rahasia Toasuko yang tentu saja dikenali oleh Jiesuko. Itulah sebabnya, kenapa Jiesuko tidak bersangsi lagi."

"Tapi dari mana kau mendapatkan senjata ra¬hasia Toasukomu?" tanya pula Ouw Hui.

"Coba kau tebak-tebak," kata si nona sembari tertawa.

Ouw Hui berdiam sejenak dan kemudian ber-kata dengan suara nyaring: "Ah! Sekarang aku tahu. Waktu itu, Toasukomu sudah dibekuk dan dima-sukkan ke dalam keranjang. Tentu saja, dengan mudah kau dapat mengambil senjata rahasianya."

"Benar," kata Leng So. "Melihat bunga biru itu, Toasuko sudah bercuriga. Sesudah kau menanya-kan jalanan, ia segera mengikuti dan akhirnya ma-suk ke dalam keranjang."

Selagi kedua orang muda itu bicara dengan gembira sembari tertawa-tawa, di belakang mereka mendadak terdengar suara orang menanya: "Apa sih yang begitu menggelikan hati?" Mereka mene-ngok dan melihat Ciong Tiauw Bun sedang berdiri



di depan gubuk dengan muka merah, seperti orang mabuk arak.

Melihat kawan itu, Ouw Hui terkejut karena ia lantas saja ingat akan tugasnya. "Leng Kouwnio," katanya. "Biauw Tayhiap mendapat luka berat dan kami harus segera berangkat. Bagaimana cara menggunakan obat pemunah itu?"

"Biauw Tayhiap mendapat luka di mata, yaitu di bagian yang paling halus dan paling lemah dari tubuh manusia," kata Leng So. "Banyak sedikitnya obat yang harus digunakan, mesti dipertimbangkan masak-masak. Apa kau tahu, berapa beratnya luka itu?"

Ouw Hui terperanjat, tak dapat ia menjawab pertanyaan itu. Ia sekarang mengetahui, bahwa jalan satu-satunya adalah memohon pertolongan Leng So, agar nona itu sudi datang ke rumah Biauw Jin Hong untuk memberi pertolongan. Akan tetapi, karena baru saja mengenal gadis itu, ia merasa berat untuk membuka mulut.

Si nona dapat membaca apa yang dipikir Ouw Hui. Ia bersenyum seraya berkata: "Jika diminta, aku bersedia untuk pergi sama-sama kalian. Tapi lebih dulu, kau harus meluluskan satu permintaan-ku."

Ouw Hui kegirangan. "Pasti, pasti aku melulus¬kan." katanya terburu-buru. "Permintaan apa?"

Si nona tertawa geli. "Sekarang belum ada," katanya. "Tapi begitu ada, aku akan segera meng-ajukan kepadamu. Aku hanya khawatir kau akan mungkir janji."

"Jika mungkir, aku bukan manusia lagi," kata Ouw Hui.

"Baiklah," kata Leng So. "Aku ingin membawa sedikit pakaian untuk tukaran dan kita boleh lantas berangkat."

Melihat tubuh Leng So yang kurus, Ouw Hui jadi merasa kasihan. "Leng Kouwnio," katanya de-ngan suara perlahan. "Semalam suntuk kau tak tidur. Apa tidak terlalu capai?"

Tapi Leng So tak membcri jawaban dan dcngan tindakan gesit, ia lalu masuk ke ruangan dalam.

Ciong Tiauw Bun yang tidur nyenyak seluruh malam, tak mengetahui, bahwa malam itu sudah terjadi banyak sekali kejadian aneh. Waktu itu, Ouw Hui tidak bisa menuturkan sejelas-jelasnya. Ia ha-nya memberitahukan, bahwa obat pemunah racun sudah didapat dan bahwa Thia Leng So, satu ahli yang berkepandaian tinggi, sudah meluluskan untuk berkunjung ke rumah Biauw Jin Hong guna meng-obati kedua mata ksatria itu.

Baru saja Tiauw Bun ingin menanya lebih te-rang, Leng So sudah ke luar dengan menggendong satu bungkusan kecil di punggungnya dan membawa satu paso pohon bunga dengan kedua tangannya. Daun pohon itu tiada beda seperti daun pohon Hay-tong yang biasa, tapi daun bunganya berwarna biru tua dan pada setiap daun bunga terdapat tujuh titik merah.

"Apa ini Cit-sim Hay-tong yang kesohor?" tanya Ouw Hui.

Leng So mengangsurkan paso itu kepadanya, sehingga Ouw Hui loncat mundur dengan terkesiap. Si nona tertawa bergelak-gelak dan berkata: "Ba-tang, daun dan bunga pohon ini memang sangat beracun. Tapi jika tidak diolah, itu semua tak bisa

mencelakakan manusia. Kalau kau tak makan dia, dia juga tak bisa membinasakan kau."

Ouw Hui juga tertawa, "Apa kau anggap aku sebagai kerbau yang makan rumput?" katanya sem-bari menyambuti paso bunga itu.

Sesudah Leng So mengunci pintu, mereka ber-tiga lantas saja berangkat. Waktu tiba di Pek-ma-sie, lebih dulu Ouw Hui pergi ke toko obat untuk mengambil pulang senjata mereka yang dititipkan. Ciong Tiauw Bun sendiri segera pergi membeli tiga ekor kuda. Mereka tak berani berayal dan lalu meneruskan perjalanan secepat mungkin.

Pek-ma-sie adalah satu kota kecil dan untuk mencari tiga ekor kuda sebenarnya sudah tak gam-pang. Maka itu, kuda yang dibeli tentu saja bukan kuda jempolan. Berjalan sampai malam, mereka hanya melalui kira-kira dua ratus li. Apa mau, sedang seluruh jagat sudah menjadi gelap dan me¬reka sudah lelah bukan main, di sekitar itu tak terdapat rumah penduduk. Apa boleh buat, mereka segera turun dari tunggangan untuk melewati ma¬lam itu di tengah-tengah satu hutan kecil.

Leng So rupanya sudah tak dapat menahan capainya lagi. Begitu turun dari kudanya, ia segera merebahkan diri dan beberapa saat kemudian, ia sudah menggeros. Tiauw Bun lantas saja minta supaya Ouw Hui mengaso dengan mengatakan, bahwa malam itu ia yang akan bertugas sebagai penjaga.

Kira-kira tengah malam, lapat-lapat terdengar suara mengaumnya harimau. Ouw Hui tersadar dari tidurnya, tapi suara harimau itu semakin lama jadi semakin jauh. Sesudah mendusin, ia sukar pulas

lagi. "Ciong Toako," katanya. "Pergilah kau tidur. Aku sudah tak bisa pulas lagi. Biarlah aku yang menjaga."

Tak lama kemudian, ia mendengar suara meng-gerosnya Tiauw Bun dan Leng So yang sating sahut. Sembari memeluk dengkul, ia duduk terpekur dan rupa-rupa ingatan masuk ke dalam otaknya. "Ah, kali ini sebab mencampuri urusan orang lain, aku jadi terlambat beberapa hari," katanya di dalam hati. "Sekarang tak mungkin aku bisa menyusul lagi Hong Jin Eng. Apakah dia pergi ke Pakkhia untuk meng-hadiri pertemuan para Ciangbunjin?"

Dengan hati pepat, ia memikir bulak-balik. Per-lahan-lahan ia merogoh saku dan mengeluarkan satu bungkusan yang lalu dibuka dan kemudian membungkus lagi, sesudah memasukkan bunga biru ke dalamnya. Melihat bunga itu, ia lantas saja ingat perkataan si tukang besi.

Selagi melamun, mendadak ia dengar suara tertawanya Leng So. "Eh, ada mustika apa dalam bungkusan itu?" tanya si nona. "Bolehkah aku li-hat?"

Ouw Hui menengok dan ternyata, nona itu sudah duduk di atas rumput.

"Apa yang dianggap mustika olehku, sama se-kali tidak berharga bagimu," kata Ouw Hui sembari membuka lagi bungkusannya yang lalu diangsurkan kepada Leng So. "Inilah pisau bambu, pemberian Peng Sie-siok ketika aku masih kecil," ia mene-rangkan. "Inilah sepotong emas, hadiah Tio Samko, saudara angkatku. Aku sengaja menyimpan sepo¬tong, sebagai peringatan. Dan ini adalah kitab ilmu silat dan ilmu golok, warisan leluhurku...." Waktu

menunjuk burung Hong yang terbuat dari batu pualam, ia agak tergugu dan berkata: "Inilah barang permainan pemberian satu sahabat." Di bawah sinar rembulan, Hong pemberian Wan Cie Ie itu me¬ngeluarkan sinar terang yang indah sekali. Men¬dengar suara Ouw Hui yang agak luar biasa, Leng So dongak seraya berkata: "Sahabat, satu nona, bukan?"

Paras muka Ouw Hui lantas saja berubah me-rah. "Benar!" jawabnya.

"Ah, inilah mustika yang tak ternilai harganya!" kata pula si nona dengan suara menggoda. Ia ter-tawa dan membungkus pula bungkusan itu yang lalu dipulangkan kepada Ouw Hui. Pemuda itu me-nyambuti dengan perasaan yang sukar dilukiskan, ia tak tahu, apa ia harus bergirang atau berduka.

Besok paginya, mereka meneruskan perjalanan dan kira-kira lohor, barulah tiba di depan rumah Biauw Jin Hong. Mereka kaget karena di depan rumah tertambat tujuh ekor kuda yang kelihatannya garang sekali.

"Kalian tunggu di sini," Tiauw Bun berbisik. "Aku pergi dulu untuk menyelidiki!" Sehabis ber¬kata begitu, ia pergi ke belakang rumah dengan mengambil jalan memutar. Dari situ, ia mendengar suara bicara yang keras dari beberapa orang. Per-lahan-lahan ia menghampiri jendela dan mengintip ke dalam. Ternyata, dengan kedua mata diikat kain, Biauw Jin Hong sedang berdiri tegak di depannya, di mulut pintu ruangan tengah, berdiri beberapa orang lelaki yang romannya bengis dan masing-masing mencekal senjata.

Tiauw Bun kaget berbareng berkhawatir, ka-

rena Tiauw Eng dan Tiauw Leng yang bertugas melindungi Biauw Jin Hong, tak kelihatan mata hidungnya. Apa mereka telah ditawan musuh?

"Biauw Jin Hong!" membentak salah seorang yang rupanya menjadi kepala dari lima orang itu. "Kedua matamu sekarang sudah buta, hidup lebih lama dalam dunia hanya memperpanjang penderi-taanmu. Dengarlah nasehatku! Lebih baik kau menggorok leher supaya tuan-tuan besarmu tak usah banyak berabe."

Biauw Jin Hong tak menjawab, ia hanya menge-luarkan suara "hm!" dari hidungnya.

"Biauw Jin Hong," kata seorang lain dengan suara mengejek. "Kau digelari sebagai Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu, sebagai seorang yang tiada tandingannya di kolong langit. Puluhan tahun kau malang melintang dengan leluasa dalam kalangan Kang-ouw. Tapi hari ini kau bertemu dengan kami. Jika kau bisa melihat gelagat dan berlutut beberapa kali di hadapan tuan-tuan besarmu, mungkin sekali kami akan merasa kasihan dan membiarkan kau hidup lagi beberapa tahun."

"Mana Tian Kui Long?" membentak Biauw Tay-hiap dengan suara angker. "Kenapa dia tidak berani menemui aku untuk bicara sendiri?"

Lelaki yang menjadi kepala rombongan tertawa terbahak-bahak. "Untuk membereskan satu manu-sia buta, apakah perlu Tian Toaya turun tangan sendiri?" tanya ia dengan suara temberang.

"Tian Kui Long tak berani datang?" tanya Biauw Jin Hong dengan suara tenang. "Apa dia tak mem-punyai nyali untuk membunuh aku?"

Pada sesaat itu, Tiauw Bun mendadak merasa-

kan pundaknya ditepuk orang. Dengan terkejut ia menengok dan mendapat kenyataan, bahwa di be-lakangnya berdiri Ouw Hui bersama Leng So.

"Ciong Jieko dan Samko berada di sana, kena dirubuhkan oleh kawanan bangsat," berbisik Ouw Hui sembari menuding ke arah barat. "Pergilah Toako menolong mereka, sedang aku sendiri akan melindungi Biauw Tayhiap."

Karena mengetahui Ouw Hui berkepandaian tinggi dan juga sebab memikiri keselamatan kedua saudaranya, tanpa membantah lagi, Tiauw Bun se-gera berlari-lari ke jurusan barat sembari menge-luarkan Poan-koan-pit.

Gerakan Tiauw Bun lantas saja diketahui oleh orang-orang yang berada di dalam rumah. "Siapa di luar!" membentak seorang antaranya.

"Yang satu sinshe (tabib) yang satu lagi tukang potong!" sahut Ouw Hui sembari tertawa.

"Jangan main gila!" dia membentak dengan sua¬ra gusar. "Apa itu sinshe dan tukang potong!?"

"Sinshe adalah untuk mengobati kedua mata Biauw Tayhiap sedang tukang potong adalah untuk menyembelih kawanan babi dan anjing!" jawab Ouw Hui.

Dengan kegusaran yang meluap-luap, orang itu segera bergerak untuk melompat ke luar, tapi lantas dicegah oleh pemimpin rombongan yang berkata dengan suara perlahan: "Jangan kena ditipu dengan siasat Tiauw-houw-lie-san (Memancing harimau ke luar dari gunung). Tian Toaya hanya memerintah kita untuk membinasakan Biauw Jin Hong. Urusan lain tak usah kita campur-campur."

Orang itu menggerendeng, tapi tak berani

membantah. Memang juga, tujuan Ouw Hui adalah untuk memancing mereka ke luar supaya ia sendiri yang menghadapi lima orang itu. Walaupun menge-tahui, bahwa Biauw Jin Hong mempunyai kepandai-an yang sangat tinggi, akan tetapi hatinya masih berkhawatir, karena kedua mata Biauw Tayhiap tak bisa melihat. Ia merasa menyesal karena lima orang itu tak kena dipancing.

"Saudara kecil, kau sudah pulang?" tanya Biauw Tayhiap.

"Benar, aku sudah berhasil mengundang Tok-chiu Yo-ong datang ke sini," jawabnya dengan suara nyaring, "Matamu pasti akan sembuh. Tak usah kau berkhawatir lagi."

Tak usah dikatakan lagi, kata-kata "Tok-chiu Yo-ong" adalah untuk menggertak musuh. Benar saja, kelima orang itu jadi terkejut dan menengok ke jurusan Ouw Hui. Tapi apa yang dilihat adalah seorang muda yang berbadan kasar dan satu nona yang badannya kurus kering. Hati mereka jadi lega, karena tak percaya nona itu adalah Tok-chiu Yo-ong yang kesohor namanya.

"Saudara kecil, aku masih sanggup menghadapi kawanan anjing ini," kata Kim-bian-hud dengan suara tenang. "Pergilah bantu Ciong-sie Sam-hiong. Jumlah musuh tak kecil, mereka ingin membasmi kita dengan mengandalkan jumlahnya yang besar."

Sebelum Ouw Hui sempat menjawab, di bela-kangnya mendadak terdengar suara tindakan ba-nyak orang. "Dugaan Biauw Tayhiap tepat sekali," kata seorang dengan suara nyaring. "Memang juga kami ingin membasmi kau dengan mengandalkan jumlah orang yang banyak."

Begitu menengok, Ouw Hui terkesiap. Belasan lelaki bersenjata sedang menghampiri dengan tin¬dakan perlahan dan di belakang mereka terdapat belasan orang lain yang mencekal obor. Apa yang paling mengejutkan adalah tertawannya Ciong-sie Sam-hiong yang sedang digusur dengan terikat ke¬dua tangannya. Sesaat kemudian, seorang lelaki yang berusia pertengahan dan pada pinggangnya tergantung sebatang pedang panjang, maju ke de-pan. Orang itu berparas cakap dan Ouw Hui lantas saja mengenali, bahwa dia itu bukan lain daripada Tian Kui Long yang ia pernah bertemu di Siang-kee-po pada beberapa tahun berselang. Waktu itu Ouw Hui masih merupakan satu bocah cilik yang kurus kering, sehingga Tian Kui Long tentu saja tidak kenali itu.

Kim-bian-hud dongak dan tertawa terbahak-ba-hak. "Tian Kui Long!" ia membentak. "Aku tahu, sebegitu lama kau belum mengambil jiwaku, se-begitu lama juga kau tak bisa enak tidur. Ha-ha-ha! Hari ini kau membawa banyak sekali orang!"

"Kami adalah rakyat baik-baik, mana berani kami mengambil jiwa manusia," kata Kui Long de¬ngan suara tenang. "Aku datang ke sini hanya untuk mengundang Biauw Tayhiap untuk beristirahat be¬berapa hari di rumahku. Siapa kata, kami mem¬punyai niatan yang kurang baik?"

Ia mengeluarkan kata-kata itu dengan nada seperti seorang yang menang perang. Ia meng-anggap bahwa Biauw Jin Hong sudah masuk ke dalam jaring dan tak akan bisa meloloskan diri lagi. Ciong-sie Sam-hiong yang namanya kesohor sudah kena ditawan, sedang Ouw Hui dan Leng So yang



berdiri di pintu tak dipandang sebelah mata oleh-nya. Kegirangannya meluap-luap, ia merasa sudah memperoleh kemenangan total.

Sementara itu, Ouw Hui mengasah otak untuk mencari jalan ke luar. Ia mengerti, bahwa pihaknya berada dalam keadaan terjepit. Jumlah musuh ba-nyak lebih besar dan di antara mereka tentulah terdapat banyak jago-jago yang berkepandaian ting-gi. Di pihaknya, Ciong-sie Sam-hiong yang boleh diandali, sudah kena ditawan musuh.

Dengan mata tajam, ia mengawasi barisan mu¬suh. Di belakang Tiang Kui Long berdiri dua wanita, seorang tua yang berbadan kurus kering dan se¬orang lelaki setengah tua yang mencekal sepasang tameng. Mata kedua orang itu bersinar terang dan sudah bisa diduga, bahwa mereka bukan lawan enteng. Di samping itu, terdapat pula tujuh delapan orang lelaki yang mencekal dua rantai besi yang sangat panjang dan halus. Semula, Ouw Hui tak mengetahui kegunaan rantai itu, tapi sesudah me-mikir sejenak, ia mendusin. "Mereka tentu ingin melibat kaki Biauw Tayhiap," katanya di dalam hati. "Mereka tentu menganggap, karena sudah buta, Biauw Tayhiap pasti akan rubuh jika ditarik oleh tujuh delapan orang." Sembari berpikir begitu, ia mengawasi Tian Kui Long dan begitu melihat muka-nya manusia itu, darahnya lantas saja mendidih. "Bangsat!" ia mencaci dalam hatinya. "Sesudah me-rampas isteri orang, kau rupanya belum puas kalau belum membinasakan juga suaminya."

Tapi keadaan yang sebenarnya adalah, Tian Kui Long yang sangat busuk tak terluput dari pen-deritaan batin yang sangat hebat. Semenjak mem-

bawa kabur Lam Lan, isteri Biauw Jin Hong, tak pernah ia enak makan dan enak tidur, karena ia tak dapat melupakan bahwa wanita yang dibawa lari itu adalah isteri seorang ahli silat yang tiada tandingan-nya di kolong langit. Setiap berkrisiknya rumput mengejutkan hatinya, sebab ia selalu berkata, bah¬wa suara itu adalah tanda, dari kedatangan Biauw Jin Hong.

Semula, Lam Lan memang tergila-gila dan me-nyerahkan seluruh kecintaannya terhadap Kui Long. Tapi belakangan, setelah melihat lelaki itu ketakutan siang malam, harga Tian Kui Long lantas saja merosot di matanya Lam Lan. Dalam anggapan nyonya itu, yang selalu memandang rendah bekas suaminya, Biauw Jin Hong adalah seorang yang tak perlu ditakuti. Di samping itu, Lam Lan juga ber-pendapat, bahwa jika mereka berdua sungguh-sung-guh saling mencintai, kebinasaan bersama-sama di ujung pedang Kim-bian-hud tak merupakan soal besar yang mesti ditakuti sampai begitu. Dengan demikian Lam Lan segera mendapat kenyataan, bahwa Tian Kui Long lebih menghargai jiwanya sendiri daripada kecintaannya seorang wanita yang sudah meninggalkan suaminya, yang meninggalkan juga puterinya dan yang sudah rela dicaci orang untuk mengikuti dia.

Karena selalu diliputi ketakutan, Kui Long tak dapat n layani lagi perempuan itu seperti biasanya. Ia tak h.>.a menungkuli Lam Lan dengan tetabuan khim, dengan main tiokie atau menyusun syair. Mau tak mau, sebagian besar waktunya digunakan untuk main pedang atau berlatih Lweekang guna menjaga kedatangan Kim-bian-hud. Apa mau, wanita itu

justru paling tak suka orang berlatih silat.

Tian Kui Long adalah seorang jahat yang ber-otak pintar. la mengetahui, bahwa sebegitu lama Biauw Jin Hong masih hidup, segala rencananya akan berakhir dengan kegagalan. Segala harta ke-kayaan yang diimpi-impikan olehnya akan hanya merupakan satu bayangan rembulan di muka air.

Sementara itu, Leng So yang berdiri di samping Ouw Hui, terus mengawasi tanpa mengeluarkan sepatah kata. Seperti Ouw Hui, ia pun sedang menimbang-nimbang bagaimana harus merubuhkan musuh. Perlahan-lahan ia merogoh saku, menge¬luarkan potongan lilin racunnya dan mengeluarkan juga bahan api. Begitu lekas lilin disulut, dalam tempo cepat, semua orang pasti akan rubuh pingsan. Dengan mata tajam, ia mengawasi semua orang dan setelah melihat, bahwa mereka tidak memperhati-kan, ia segera menyalakan bahan api dan menyulut lilin itu. Bahwa di malam yang gelap seseorang menyalakan lilin, adalah kejadian yang tidak luar biasa.

Tapi, sebelum lilin tersulut, mendadak terde-ngar menyambarnya senjata rahasia yang mengenai tepat pada lilin itu yang lantas saja jadi kutung dua dan jatuh di lantai.

Leng So terkejut dan menengok ke jurusan menyambarnya senjata rahasia itu. Ia mendapat kenyataan, bahwa orang yang melepaskan senjata rahasia adalah satu nona kecil yang baru berusia kira-kira lima belas tahun. "Jangan main gila kau!" membentak nona itu. Mata semua orang sekarang ditujukan kepada Leng So yang sudah mengetahui, bahwa senjata rahasia yang digunakan oleh nona

itu adalah sebatang Tiat-tui (pusut besi). Ia merasa agak jengah dan berkata dengan suara tawar: "Main gila apa?" Ia merasa sangat tidak mengerti, bagai¬mana gadis cilik itu bisa mengetahui rahasianya, sehingga sekarang adalah sukar untuk ia turunkan tangan.

Tian Kui Long hanya melirik dan tidak menaruh perhatian terhadap kejadian itu. "Biauw Toako," katanya. "Hayolah ikut kami!"

Hampir berbareng, satu gundalnya Tian Kui Long mendorong pundak Ouw Hui sembari mem¬bentak: "Siapa kau? Minggir! Di sini bukan ton-tonan." Dia menganggap, bahwa Leng So dan Ouw Hui adalah tetangga Biauw Jin Hong yang datang menengoki. Ouw Hui sengaja berlagak tolol, ia lantas minggir tanpa mengeluarkan sepatah kata.

"Saudara kecil," kata Kim-bian-hud. "Pergilah menyingkir! Jangan perdulikan aku lagi. Jika kau bisa menolong Ciong-sie Sam-hiong, aku Biauw Jin Hong sudah merasa berterima kasih tak habisnya."

Mendengar kata-kata itu, ketiga saudara Ciong dan Ouw Hui merasa terharu sekali. Mereka kagum akan kesatriaan Biauw Tayhiap yang dalam bahaya besar, masih ingat kepentingan orang lain, tanpa mengingat kepentingan sendiri.

Kui Long yang selalu berwaspada, lantas saja jadi terkejut. Ia melirik Ouw Hui dan berkata dalam hatinya: "Apakah bocah ini mempunyai kepandaian tinggi?" Ia mengambil putusan untuk tidak menyia-nyiakan tempo lagi dan lantas membentak: "Harap Biauw Tayhiap lantas berangkat!"

Berbareng dengan perkataan itu, lima gundal¬nya Tian Kui Long lantas menyerang Kim-bian-hud

dengan senjatanya. Ruangan itu sangat sempit dan diserang secara begitu, Biauw Jin Hong kelihatan-nya tak akan bisa meloloskan diri lagi. Tapi di luar dugaan, dengan sekali mengebas dengan kedua tangannya, ia sudah berhasil meloloskan diri dari antara dua musuh dan semua senjata yang ditujukan kepadanya, jatuh di tempat kosong.

Di lain saat, Kiam-bian-hud memutar badan dan dengan paras muka angker, ia berdiri di tengah-tengah pintu. Dengan tangan kosong dan kedua mata diikat, Kim-bian-hud mencegat jalan ke luar lima musuhnya. Tadinya, Ouw Hui ingin lantas menerjang untuk membantu, akan tetapi, begitu melihat gerakan Biauw Jin Hong, ia segera menge-tahui, bahwa meskipun belum tentu menang, Kim-bian-hud pasti tak akan bisa dirubuhkan dengan mentah-mentah.

Di lain pihak, kelima musuhnya mendongkol bukan main. Jika mereka berlima masih belum bisa merubuhkan satu Biauw Jin Hong yang sudah buta matanya, sungguh-sungguh mereka tak ada muka untuk berkelana lagi di dunia Kang-ouw.

"Saudara kecil," kata Kim-bian-hud. "Jika se-karang kau tak mau lari mau tunggu sampai kapan lagi?"

"Biauw Tayhiap, jangan kau khawatir," jawab Ouw Hui. "Kalau baru kawanan anjing semacam itu, belum bisa mereka menghalang-halangi aku."

"Bagus!" kata Biauw Jin Hong. "Saudara kecil, sungguh besar nyalimu." Hampir berbareng dengan perkataannya itu, ia menerjang lima musuhnya.

Lima lawan itu juga bukan sembarang orang. Melihat serangan Kim-bian-hud yang sangat dah-



syat, mereka lantas loncat mundur dan main petak di sepanjang dinding, akan kemudian menyerang, jika ada kesempatan bagus. Dalam sekejap kursi meja sudah jadi rusak dan penerangan menjadi padam. Dua gundalnya Tian Kui Long lantas saja mendekati pintu dan mengangkat obor tingg-tinggi. Bagi Biauw Jin Hong, ada penerangan atau tidak adalah sama saja. Tapi bagi lima orang itu, adanya penerangan merupakan satu keuntungan besar.

Sesudah bertempur beberapa saat, sembari membentak keras satu orang menikam kempungan Kim-bian-hud dengan tombaknya. Biauw Jin Hong mementang kaki kanannya dan coba merampas tombak yang sedang menyambar itu. Tapi tanpa diketahui olehnya, satu musuh yang berjongkok sedari tadi di sebelah tenggara, mendadak mem-babat dengan goloknya yang mengenai tepat pada dengkul Biauw Jin Hong. Si pembokong itu adalah manusia yang sangat licik. Ia mengetahui, bahwa Kim-bian-hud berkelahi dengan mengandalkan ku-pingnya. Sambil menahan napas, ia segera ber¬jongkok di satu sudut untuk menunggu kesempatan baik. Waktu Biauw Jin Hong mementang kakinya di dekat dia, secara mendadak dia membacok, se-hingga biarpun sangat lihay, Kim-bin-hud tak dapat mengelakkan lagi serangan itu.

Melihat Biauw Tayhiap terluka, semua kawan-nya Tian Kui Long lantas saja bersorak-sorak gi-rang.

"Saudara kecil!" membentak Tiauw Eng. "Lekas menolong! Jika terlambat, mungkin tak keburu lagi!" Pada saat itu, pundak kiri Biauw Jin Hong kembali kena dibacok.



Sampai di situ, Kim-bian-hud jadi keder juga. "Tanpa bersenjata, aku sukar menoblos ke luar dari kepungan," pikirnya.

Ouw Hui yang bermata sangat tajam, juga me-ngetahui, bahwa apa yang diperlukan oleh Biauw Jin Hong adalah senjata. Jika ia memberikan go-loknya kepada Biauw Jin Hong, ia sendiri bisa berbahaya, karena musuh yang berada di luar pintu berjumlah besar. Untuk sejenak, ia bingung dan bimbang. Tapi, sebab melihat keadaan mendesak, tanpa memikir panjang-panjang lagi, ia lantas saja berseru: "Biauw Tayhiap, sambutlah golok ini!" Ber-bareng dengan seruannya, ia melontarkan golok itu dengan menggunakan Lweekang. Ia sudah meng-hitung pasti, bahwa dengan menggunakan Lwee¬kang yang dahsyat, hanya Biauw Jin Hong yang akan dapat menyambuti goloknya itu. Jika di antara lima orang itu ada yang mau mencoba, tangannya sendiri yang akan tertebas kutung.

Pada saat itu, Biauw Jin Hong sendiri sedang memancing musuh yang tadi membokongnya. Ia sengaja melonjorkan tangan kirinya ke jurusan tenggara. Melihat kesempatan, orang itu kembali membacok. Cepat bagaikan kilat, Kim-bian-hud membalik tangannya dan di lain saat, ia sudah merebut golok musuh. Pada detik itulah, ia men-dengar sambaran goloknya Ouw Hui. Ia segera memapaki belakang golok Ouw Hui dengan be-lakang golok yang dicekal olehnya. Trang! lelatu api berhamburan dan golok Ouw Hui terpental balik ke luar pintu!

"Saudara kecil!" berseru Biauw Jin Hong. "Kau sendiri memerlukan senjata! Lihatlah! Lihat aku, si



buta, membasmi kawanan bangsat ini!" Dengan mencekal senjata, Kim-bian-hud seakan-akan se-ekor harimau yang tumbuh sayap. Goloknya me-nyambar-nyambar dengan dahsyatnya, sehingga lima musuhnya terpaksa main petak lagi sambil mepet-mepet di dinding ruangan itu.

Kelima musuh itu mengetahui, bahwa Biauw-kee Kiam-hoat (ilmu pedang keluarga Biauw) lihay bukan main. Akan tetapi, seorang yang pandai menggunakan pedang, jarang sekali bisa mengguna¬kan golok. Maka itu, mereka menduga, bahwa wa-laupun sudah bersenjata, Kim-bian-hud tak akan bisa berbuat banyak, karena senjata yang digunakan olehnya bukan senjata yang biasa digunakan. Maka itu, dengan hati lebih tabah, sembari membentak keras, mereka kembali mengurung terlebih rapat.

Mendadak, dari luar berkelebat satu sinar te-rang dan terbang masuk sebilah golok yang di-lontarkan untuk orang yang tadi goloknya kena direbut oleh Biauw Jin Hong. Begitu memperoleh senjata, dengan geregetan dia menyerang Kim-bian-hud untuk menebus malu.

Sesaat itu, dengan kupingnya yang sangat tajam, Biauw Jin Hong mengetahui, bahwa dari depan menyambar golok dan dari samping kiri menyambar cambuk. Ia tetap berdiri tegak, tidak berkelit dan juga tidak coba menangkis. Pada waktu, kedua senjata itu hanya terpisah kira-kira setengah kaki dari badannya, bagaikan kecepatan arus listrik, Biauw Tayhiap memutar badan sembari membacok tangan musuh yang mencekal cambuk. Bacokan itu mengena jitu, sehingga tulang tangan musuh putus dan cambuknya terlempar jatuh di atas lantai. Orang

yang bersenjata golok kaget bukan main dan buru-buru loncat mundur, akan kemudian mengguling-kan diri di lantai untuk menyingkir sejauh mungkin.

Melihat pukulan Kim-bian-hud, Ouw Hui ter-pcranjat. "Ah! Itulah pukulan Yo-cu-hoan-sin (Elang memutar badan)," katanya di dalam hati. "Terang-terang, pukulan itu adalah pukulan dari Ouw-kee To-hoat (ilmu golok keluarga Ouw). Ba-gaimana Biauw Tayhiap bisa menggunakannya se-cara begitu bagus?"

Pemuda itu tentu saja tidak mengetahui, bahwa waktu dulu mendiang ayahnya, Ouw It To, pie-bu (bertanding) dengan Biauw Jin Hong, kedua ksatria itu saling menghargai dan lalu saling menurunkan ilmu silat masing-masing. Sebagai orang berkepan-daian tinggi, setelah mendapat petunjuk langsung dari Ouw It To, Biauw Jin Hong lantas saja dapat menyelami inti sarinya Ouw-kee To-hoat, sehingga dapat dimengerti, jika pengetahuannya mengenai ilmu golok itu ada banyak lebih mendalam daripada pengetahuan Ouw Hui yang hanya menarik pe-lajaran dari kitab peninggalan mendiang ayahnya. Demikianlah, dengan sekali gebrak saja, ia sudah berhasil merubuhkan satu musuh yang tangguh.

Empat musuh lainnya tentu saja kaget dan menjadi keder. "Awas!" berteriak satu antaranya. "Si buta pandai menggunakan golok!"

Mendengar itu, Tian Kui Long lantas saja ingat peristiwa di tempo dulu, kapan Ouw It To dan Biauw Jin Hong saling menurunkan ilmu. "Dia menggunakan Ouw-kee To-hoat!" berteriak Kui Long. "Semua orang harus berhati-hati!"

"Benar," kata Kim-bian-hud. "Hari ini kawanan

tikus boleh berkenalan dengan lihaynya Ouw-kee To-hoat." Ia maju dua tindak dan memapas dengan goloknya dengan menggunakan pukulan Hway-tiong-po-goat (Memeluk rembulan di depan dada). Tapi pukulan itu hanyalah pukulan gertakan yang segera disusul dengan Geng-bun-po-bun-tiat-san (Bertindak menghampiri pintu dan menutup daun pintu besi), golok menyodok dan membabat dan kembali satu musuh rubuh terguling, dengan ping-gang tertebas golok.

"Benar, benar!" kata Ouw Hui dalam hatinya dengan kegirangan yang meluap-luap. "Biauw Tay¬hiap memang benar menggunakan Ouw-kee To-hoat. Sekarang baru aku mengetahui, bahwa dua pukulan itu, yang satu gertakan dan yang lain se-rangan sesungguhnya, dapat digunakan secara begitu."

Sesudah mendapat angin, Biauw Jin Hong tak kasih hati pada sisa musuhnya dan terus menyerang dengan ilmu golok keluarga Ouw. "See-ceng-pay-Hud (See Ceng menyembah Sang Buddha)!" ia berteriak dan satu musuh terbacok pundaknya, se-dang tombaknya terpapas kutung.

"Siang-po-cek-seng-to (ilmu golok memetik bintang)!" berteriak pula Biauw Tayhiap dan lagi-lagi goloknya berhasil mengutungkan kakinya satu musuh yang lantas saja rubuh tak bisa bangun lagi.

Tian Kui Long bingung. "Cian Sutee!" ia ber¬teriak. "Ke luar, lekas ke luar!"

Ketika itu dalam ruangan tersebut hanya ke-tinggalan satu musuh yang dipanggil "Cian Sutee" (Adik seperguruan she Cian) oleh Tian Kui Long. Orang she Cian itu mengerti, bahwa meskipun ia

mengirim bala bantuan ke ruangan tersebut, belum tentu Biauw Jin Hong bisa dirubuhkan. Maka itu, ia segera mengambil putusan untuk memancing Kim-bian-hud ke luar dari ruangan tersebut untuk dibekuk dengan menggunakan rantai besi. Tapi, dengan Biauw Tayhiap selalu menghadang di se-kitar mulut pintu, orang she Cian itu tak gampang-gampang bisa meloloskan diri. Biauw Jin Hong mengetahui, bahwa orang she Cian itu adalah orang yang sudah membokong dan melukai dengkulnya, sehingga dengan geregetan ia terus mengirim se-rangan-serangan hebat. Dalam sekejap ia sudah mendesak musuhnya sampai di pojok ruangan, akan kemudian, dengan pukulan Coan-chiu-cong-to (Melonjorkan tangan menyembunyikan golok), ia membacok, Trang! golok musuh terbang ke tengah udara. Tapi orang she Cian itu, lantas saja meng-gulingkan diri di atas lantai untuk coba menoblos ke luar dari bawah meja. Tapi Biauw Tayhiap yang sudah mata merah, sungkan memberi kesempatan pada manusia licikitu. Iamenjumputsatukursiyang lantas ditimpukkan ke orang itu. Sesaat itu, ia justru sedang bergulingan ke luar dari bawah meja. Prak! kursi menyambar tepat pada dadanya. Timpukan Biauw Tayhiap yang disertai Lweekang, hebat bu-kan main. Kursi hancur, tulang dada orang she Cian itu patah dan ia menggeletak tanpa bergerak lagi. Begitulah, dengan seorang diri Biauw Tayhiap sudah merubuhkan lima musuhnya yang sangat tangguh. Dalam pada itu, ia mengetahui, bahwa walau bagaimanapun, orang-orang itu hanya me-rupakan alat Tian Kui Long dan sama sekali tidak mempunyai permusuhan dengan dirinya sendiri.

Maka itu, menurunkan tangan, ia tidak berlaku kejam. Ia membatasi diri, hanya melukai, tapi tidak mengambil jiwa musuh-musuhnya itu.

Sementara itu, tak usah dikatakan lagi, Tian Kui Long dan konco-konconya jadi kaget tak ke-palang. Sekarang baru mereka mengakui, bahwa gelaran Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu sungguh-sungguh bukan gelaran kosong. Jika Biauw Jin Hong bisa melihat, siang-siang mereka tentu sudah terpukul mundur. Sesudah bisa menetapkan hati-nya, Tian Kui Long yang busuk lantas saja tertawa dan berkata dengan suara nyaring: "Biauw Toako! Semakin lama, ilmu silatmu jadi semakin tinggi. Siauwteesungguh merasa kagum. Mari, mari! Siauw-tee ingin menggunakan Kiam-hoat Thian-liong-pay untuk belajar kenal dengan Ouw-kee To-hoat." Sembari berkata begitu, dengan lirikan mata, ia memberi isyarat kepada kaki tangannya yang men-cekal rantai panjang. Mereka lantas maju ke depan dan yang lainnya lantas mundur ke belakang.

"Baiklah," jawab Biauw Jin Hong dengan pend-ek. Ia mengerti, bahwa tantangan Tian Kui Long mesti ada buntutnya yang berbahaya, meskipun begitu, sebagai seorang jago tulen, tak mau ia men-olak tantangan itu.

Tapi, sebelum ia bergerak, Ouw Hui sudah mendahului. "Tahan!" katanya sembari mengha¬dang di depan pintu. "Jika kau ingin belajar kenal dengan Ouw-kee To-hoat, tak perlu Biauw Tayhiap yang turun tangan sendiri. Aku sendiri sudah cukup untuk memberi satu dua petunjuk kepadamu!"

Tadi, setelah melihat Ouw Hui melemparkan dan menyambuti golok, Kui Long sudah menge-

tahui, bahwa pemuda itu bukan orang sembarangan. Akan tetapi, biar bagaimana juga, ia sama sekali tak memandang sebelah mata kepada Ouw Hui yang masih berusia begitu muda. Ia tertawa dingin dan menanya: "Siapa kau? Sungguh besar nyalimu, be-rani mementang bacot di hadapan Tian Toaya."

"Aku adalah sahabat Biauw Tayhiap," jawabnya. "Sesudah menyaksikan Ouw-kee To-hoat, aku telah menghafalkan satu dua pukulan dan sekarang justru aku ingin mencoba-coba. Hayolah!"

Muka Tian Kui Long menjadi merah padam, bahna gusarnya. Tapi, sebelum ia bisa membuka mulut lagi, Ouw Hui sudah membentak. "Jagalah golokku!" Berbareng dengan bentakannya, ia menyerang dengan pukulan Coan-chiu-cong-to, yaitu pukulan yang tadi digunakan Biauw Tayhiap terhadap "Cian Sutee". Kui Long mengangkat pe-dangnya dan menangkis. Trang! kedua senjata itu beradu keras. Badan Kui Long bergoyang-goyang, sedang Ouw Hui sendiri mundur setindak.

Tian Kui Long adalah Ciangbunjin (pemimpin) dari partai Thian-liong-bun. Ilmu pedang Thian-liong Kiam-hoat sudah diyakinkannya kira-kira em-pat puluh tahun dan tenaga dalamnya jauh lebih kuat daripada Ouw Hui. Maka itu, dalam peraduan Lweekang, Ouw Hui kalah setingkat. Akan tetapi, bahwa pemuda itu hanya terhuyung setindak dan paras mukanya sama sekali tidak berubah, adalah di luar dugaan Kui Long. Melihat usia Ouw Hui yang masih begitu muda ia menduga, bahwa dalam bentrokan senjata tadi, golok Ouw Hui pasti akan terbang ke udara dan pemuda itu akan memun-tahkan darah, atau sedikitnya, mendapat luka di

dalam.

Dengan mengandalkan ketajaman kupingnya, Biauw Jin Hong yang berdiri di belakang pintu, sudah mengetahui bagaimana kesudahan gebrakan tadi. "Saudara kecil," katanya. "Kau sudah meng-gunakan Coan-chiu-cong-to dengan bagus sekali. Akan tetapi, kelihayan Ouw-kee To-hoat terletak pada pukulan-pukulannya yang sangat luar biasa dan bukan mengandalkan tenaga untuk melawan tenaga. Saudara kecil, kau minggirlah! Lihatlah, bagaimana aku si buta membereskan dial"

Kata-kata Biauw Tayhiap itu bagaikan sinar terang yang tiba-tiba muncul di tempat gelap. Ouw Hui lantas saja mengerti, bahwa dengan caranya, tenaga melawan tenaga, ia sebagai juga mengguna-kan kelemahannya sendiri untuk menyerang bagian musuh yang kuat. Memikir begitu, lantas saja ia berseru: "Sabar! Ouw-kee To-hoat yang tadi di-perlihatkan oleh Biauw Tayhiap, baru saja dijajal satu pukulannya olehku. Masih ada beberapa puluh pukulan lain yang belum kucoba." Ia memutarkan badan dan berkata kepada Tian Kui Long: "Ba¬gaimana? Apakah kau sudah merasakan lihaynya Coan-chiu Cong-to?"

"Anak kurang ajar!" bentak Kui Long. "Hayo minggir!"

"Jangan memandang rendah kepadaku," kata Ouw Hui. "Jika aku tak bisa mengalahkan kau dengan Ouw-kee To-hoat, aku bersedia untuk ber-lutut di hadapanmu. Tapi bagaimana jika kau yang keok?"

Tian Kui Long merasakan dadanya seperti mau meledak. "Aku juga akan berlutut di hadapanmu!"



ia berteriak.

"Tak usah," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Sudan cukup jika kau melepaskan Ciong-sie Sam-hiong. Ilmu silat ketiga saudara itu masih jauh lebih unggul daripada kau. Jika satu melawan satu, mana kau bisa menempil dibandingkan dengan mereka? Kemenanganmu selalu didapatkan dari pcngero-yokan. Cis! Tak tahu malu!" Ouw Hui sengaja berkata begitu untuk memancing amarah Tian Kui Long dan membantu melampiaskan kegusaran Ciong-sie Sam-hiong. Ketiga saudara itu yang ter-ikat tangannya, merasa berterima kasih mendengar perkataan pemuda itu.

Sebenarnya Tian Kui Long adalah seorang yang dalam kelicikannya selalu berlaku hati-hati. Tapi ejekan Ouw Hui sudah membikin ia tak bisa mem-pertahankan lagi ketenangannnya. "Hm! Jika kalah, kau ingin berlutut?" pikirnya, dengan hati panas. "Hari ini, kau tak akan bisa terlolos dari pedangku." Sebelum menyerang, ia maju tiga tindak sembari mengcbaskan tangan kirinya dan mencekal pedang-nya erat-erat dalam tangan kanan. Walaupun so dang gusar, ia tidak berlaku ceroboh dan begitu menyerang, ia segera mengeluarkan ilmu pedang Thian-liong-bun yang sangat lihay.

Melihat pemimpinnya sudah mulai bergebrak, semua kaki tangannya segera mundur sembari mengangkat obor mereka tinggi-tinggi guna mene-rangi gelanggang pertempuran.

"Hway-tiong-po-goat! Geng-bun-po-pit-bun-tiat-san!" seru Ouw Hui sembari membuka dua serangan, yang pertama adalah serangan gertakan, yang kedua baru serangan sungguh-sungguh. Sebagaimana dike-



tahui, dua pukulan itu telah digunakan tadi oleh Biauw Jin Hong.

Tian Kui Long berkelit dan balas menikam.

"Biauw Tayhiap!" seru Ouw Hui. "Bagaimana pukulan yang berikutnya? Aku sudah tak kuat menghadapi dia!"

Waktu Ouw Hui berseru "Hway-tiong-po-goat" dan "Geng-bun-po-pit-bun-tiat-san", Kim-bian-hud sama sekali tak dapat mendengar apa juga yang luar biasa. Ouw Hui tak membuat kesalahan, gerakan-nya adalah sesuai dengan kemestiannya. Dilihat luarnya, Ouw-kee To-hoat hampir tiada bedanya degan ilmu-ilmu golok lain. Keistimewaannya ter-letak pada perubahannya yang aneh dan tak dapat diduga terlebih dulu. Dalam Ouw-kee To-hoat, setiap serangan mengandung pembelaan diri dan dalam setiap gerakan membela diri tersembunyi serangan.

Sesaat itu, mendengar pertanyaan Ouw Hui, alis Biauw Tayhiap berkerut. "See-ceng-pay-Hud!" ia menjawab.

Ouw Hui lantas saja menyerang dengan pu¬kulan See-ceng-pay-Hud. Kui Long mengegos dan berbareng mengirim serangan balasan. Sebelum ujung pedang itu mendekati pergelangan tangan Ouw Hui, Biauw Jin Hong sudah berteriak: "Yo-cu-hoan-sin!"

Cepat bagaikan kilat, Ouw Hui membacok de¬ngan gerakan Yo-cu-hoan-sin. Kui Long meloncat mundur dengan hati mencelos, tapi tak urung, ujung bajunya kena dirobek juga oleh golok Ouw Hui.

Muka orang she Tian itu lantas saja berubah merah, karena malu dan keder. Sembari mengem-



pos semangatnya, ia segera mengirimkan tiga se-rangan berantai, yang cepat luar biasa. "Aku mau melihat, apakah Biauw Jin Hong masih keburu memberikan petunjuk," katanya di dalam hati.

"Celaka!" Kim-bian-hud mengeluarkan seruan tertahan, karena ia tahu, bahwa tiga serangan itu dahsyatluar biasa.

Tapi di lain detik, dengan hati lega, ia men-dengar gelak tertawa Ouw Hui. "Biauw Tayhiap," kata pemuda itu. "Aku sudah terlolos dari serangan-nya. Sekarang bagaimana aku harus balas menye-rang?"

"Kwan-peng-hian-in," jawab Kim-bian-hud.

"Baik!" kata Ouw Hui sembari menyerang de¬ngan pukulan Kwan-peng-hian-in (Kwan Peng mempersembahkan cap kebesaran).

Bacokan itu hebat sekali, tapi karena Biauw Jin Hong sudah memberitahukan lebih dulu, Tian Kui Long dapat menyingkir dengan mudah. Tapi Ouw Hui tak berhenti sampai di situ, Kwan-peng-hian-in disusul dengan pukulan Ya-ca-tam-hay (Setan jahat menyelam ke laut). Selagi goloknya menyambar, Biauw Jin Hong pun berteriak: "Ya-ca-tam-hay!"

Baru bergerak belasan jurus, Tian Kui Long sudah jadi repot dan berada di bawah angin. Semua kawannya yang menyaksikan pertempuran itu men-jadi khawatir. Dengan geregetan, Kui Long me-rubah cara bersilatnya, pedangnya menyambar-nyambar membabat dan menikam bagaikan kilat. Ouw Hui lantas saja mengeluarkan seantero ke-pandaiannya untuk menghadapi kecepatan dengan kecepatan. Sementara itu, Biauw Jin Hong tiada hentinya memberi komando dan setiap pukulan

yang disebutnya tidak bcrbeda dengan pukulan yang dilakukan Ouw Hui. Melihat begitu, mau tak mau. para kaki tangan Tian Kui Long menjadi kagum tercampur heran.

Tapi sebenar-benarnya, kejadian itu tak begitu mengherankan seperti dianggap orang. Harus dike-tahui, bahwa pada akhir kerajaan Beng dan per-mulaan dynasti Ceng, ilmu silat dari keluarga Ouw. Biauw, Hoan dan Tian menjagoi di seluruh Tiong-kok. Sebagai seorang pendekar besar pada jaman itu, Biauw Jin Hong mengenal berbagai macam ilmu pedang dan paham benar akan ilmu pedang Thian-liong-bun. Dalam pertempuran antara Tian Kui Long dan Ouw Hui, walaupun matanya tak bisa melihat, tapi dengan mendengar kesiuran anginnya saja, ia sudah mengetahui, apa yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Sesaat itu, Ouw Hui sedang bertempur dengan menggunakan seluruh kepan-daiannya dan dapat dibayangkan, bahwa gerakan-gerakannya cepat bagaikan kilat. Dalam gerakan-gerakan yang secepat itu, tak mungkin lagi baginya untuk menunggu komando Biauw Jin Hong.

Tapi kenapa komando Biauw Jin Hong selalu cocok dengan pukulan-pukulannya?

Sebagaimana diketahui, Ouw-kee To Hoat yang dipelajari Ouw Hui adalah sama dengan Ouw-kee To-hoat yang dipelajari Kim-bian-hud. Sebagai ahli-ahli silat kelas utama pada jaman itu, jalan pikiran dan pendapat kedua orang tersebut juga tak ber-beda. Apa yang dipikirkan Ouw Hui, terpikir juga oleh Biauw Jin Hong. Itulah sebabnya, mengapa mereka bisa mencapai suatu persesuaian yang total dan di mata orang banyak, kejadian itu menghe-

rankan tak habisnya.

Makin lama, Tian Kui Long jadi semakin bi-ngung. "Apakah bocah ini murid Biauw Jin Hong?" ia menanya dirinya sendiri. "Apakah Biauw Jin Hong hanya pura-pura buta dan bisa melihat dengan tegas lewat lapisan kain itu?"

Sedang hatinya semakin keder, serangan Ouw Hui jadi semakin cepat. Ketika itu, Biauw Jin Hong sendiri sudah tak dapat membedakan serangan-serangan mereka dan ia sudah menghentikan ko-mandonya. Ia berdiam dan banyak pertanyaan mun-cul di dalam hatinya: "Siapakah pemuda itu? Ba-gaimana ia bisa begini mahir dalam Ouw-kee To-hoat? Siapa gurunya?"

Jika kedua matanya bisa melihat, ia tentu lantas saja menduga, bahwa pemuda itu adalah ahli waris tulen dari Liao-tong Tayhiap Ouw It To!

Sementara itu, gelanggang pertempuran, se¬makin lama sudah jadi semakin luas, karena semua orang mundur semakin jauh, khawatir kesambar senjata. Suatu ketika, selagi memutarkan badan, Ouw Hui melihat, bahwa Thia Leng so sedang berdiri di dalam gelanggang dan mengawasi dirinya dengan sorot mata penuh kekhawatiran. Entah ba-gaimana, pada detik itu, ia ingat perkataan si tukang besi dan tanpa merasa, ia menengok kepada si nona sembari bersenyum.

Mendadak, ia membentak sembari menyerang: 'Hway-tiong-po-goat sebenarnya satu serangan ger¬takan!" Hampirberbareng, dengan satusuaratrang! pedang Tian Kui Long terlempar jatuh di lantai, sedang lengannya menyemburkan darah. Ia ter-huyung beberapa tindak dan mulutnya memun-



tahkan darah.

Kenapa bisa terjadi begitu?

Sebagaimana diketahui, Hway-tiong-po-goat memang juga adalah serangan gertakan yang selalu disusul dengan pukulan Geng-bun-po-pit-bun-tiat-san, yaitu pukulan yang sesungguhnya. Kedua pu¬kulan itu sudah digunakan satu kali oleh Biauw Jin Hong dan satu kali lagi oleh Ouw Hui sendiri. sehingga Tian Kui Long sudah mengenalnya.

Maka itu, begitu lekas ia mendengar bentakan "Hway-tiong-po-goat sebenarnya satu serangan ger¬takan", secara otomatis ia segera bersiap untuk menyambut Geng-bun-po-pit-bun-tiat-san. Tapi ia tidak mengetahui bahwa kelihayan Ouw-kee To-hoat justru terletak pada perubahannya yang tak diduga-duga. Setiap pukulan gertakan bisa berubah menjadi pukulan sungguh-sungguh dan begitu juga sebaliknya. Demikianlah, Hway-tiong-po-goat ber¬ubah menjadi pukulan sungguh-sungguh dan golok Ouw Hui tepat mengenai pergelangan tangan Tian Kui Long. Hampir berbareng dengan terlukanya musuh, tangan kiri Ouw Hui menyambar dan mam-pir telak pada orang she Tian itu.

"Ah! Kenapa kau begitu terburu nafsu?" tanya Ouw Hui dengan suara mengejek. "Tadi aku belum sclesai bicara. Sebetulnya aku ingin mengatakan begini: Hway tiong-po-goat sebenarnya satu se¬rangan gertakan, tapi bisa juga berubah menjadi serangan sungguhan. Rupanya kau merasa tak sabar untuk mendengar bagian terakhir dari omonganku itu!"

Tian Kui Long tak bisa meladeni lagi ejekan itu. Kepalanya pusing, dadanya sesak, seperti juga

mau memuntahkan darah lagi. Ia mengetahui, bah-wa sekali ini ia sudah menampak kegagalan dan mendapat malu besar. Di samping itu, ia pun men-duga, bahwa Biauw Jin Hong hanya berlagak buta.

Maka itulah, sembari mengerahkan Lweekang-nya untuk coba mempertahankan diri, ia menuding ke arah Ciong-sie Sam-hiong dan memberi isyarat dengan gerakan tangan, supaya ketiga saudara Ciong itu segera dilepaskan. Sesudah itu, sambil mengebaskan tangan, ia memutarkan badan untuk mengangkat kaki. Sesaat itu dadanya menyesak hebat dan "Uwa!" ia memuntahkan darah lagi.

Nona cilik yang tadi melepaskan pusut kepada Leng So, menubruk dan berkata dengan suara duka: "Ayah, marilah kita berangkat!" Ia itu adalah puteri Tian Kui Long yang didapatnya dari isteri pertama. Kui Long menghela napas dan memanggut-mang-gutkan kepalanya. Sesudah pemimpinnya diroboh-kan, walaupun berjumlah banyak, kaki tangan orang she Tian itu jadi kuncup nyalinya.

Biauw Jin Hong sendiri lalu masuk ke ruangan tadi dan melemparkan ke luar lima musuhnya yang terluka, yang lalu disambut oleh kawan-kawan me¬reka.

Sebelum rombongan musuh itu mengangkat kaki, mendadak terdengar seruan Leng So: "Nona kecil, ambil pulanglah Tiat-tuimu!" ia mengayunkan tangannya dan pusut besi itu terbang ke arah puteri Kui Long. Tanpa menengok, dengan gerakan yang indah dan lincah nona cilik itu menyambuti pusut-nya. Tapi, baru tercekal, ia sudah melemparkan lagi pusut itu sembari melompat tinggi.

Ouw Hui tertawa bergelak-gelak. "Cek-kiat-

hun!" katanya.

Leng So menengok dan juga tertawa. Memang juga, sebagai pembalasan budi, ia telah memoles senjata rahasia itu dengan bubuk Cek-kiat-hun.

Dalam tempo sekejap, Tian Kui Long dan gun-dal-gundalnya sudah berlalu dari rumah Biauw Jin Hong dan keadaan kembali berubah sunyi.

"Biauw Tayhiap," kata Ciong Tiauw Eng dengan suara nyaring.

"Kawanan penjahat sudah mabur dan mereka tentu tidak berani menyatroni lagi. Kami bertiga saudara merasa malu sekali, karena tak dapat me-lindungi kau. Kami hanya berharap supaya kedua matamu akan segera men jadi sembuh." Ia berpaling kepada Ouw Hui dan berkata pula: "Saudara kecil, kami merasa beruntung sekali, bahwa kita telah bisa mengikat tali persahabatan. Jika di lain kali, kau memerlukan tenaga kami, biarpun mesti mati, kami pasti akan membantu dengan sekuat tenaga." Se-habis Tiauw Eng berkata begitu, mereka bertiga lantas saja memberi hormat, kemudian berlalu de¬ngan tindakan cepat.

Ouw Hui mengetahui, bahwa sebab kena di-tawan, mereka hilang muka dan merasa malu untuk berdiam lama-lama lagi. Maka itu, ia tidak men-cegah dan hanya balas memberi hormat. Biauw Jin Hong yang tidak suka banyak bicara, juga hanya mengangkat kedua tangannya sebagai pernyataan terima kasih untuk budinya ketiga saudara itu. Ia mengetahui, bahwa rombongan Tian Kui Long per-gi ke jurusan utara, sedang Ciong-sie Sam-hiong berjalan ke arah selatan.

Sesaat kemudian, Leng So tertawa seraya ber-

kata: "Kalian berdua memiliki ilmu silat yang luar biasa tinggi. Scumur hidup, belum pernah aku me-lihat kepandaian seperti itu. Biauw Tayhiap, mari-lah masuk. Aku ingin memeriksa kedua matamu."

Mereka lantas saja masuk ke dalam dan Ouw Hui lalu membereskan meja kursi yang kalang kabut serta menyalakan lampu. Leng So sendiri lalu mem-buka ikatan mata Biauw Jin Hong dan mulai me¬meriksa mata itu dengan teliti.

Hati Ouw Hui berdebar-debar. Kedua matanya mengawasi muka si nona untuk mencari tahu, apa mata Biauw Tayhiap masih bisa ditolong. Tapi muka nona Thia hanya memperlihatkan paras sungguh-sungguh, sama sekali tidak menunjuk kejengkelan atau kegirangan, sehingga ia sukar meraba-raba.

Biauw Jin Hong adalah seorang yang bernyali besar. Tapi pada saat itu, tak urung jantungnya memukul lebih keras. Sesudah lewat beberapa lama, Leng So masih terus memeriksa, tanpa mengeluar-kan sepatah kata.

"Nona," kata Kim-bian-hud sembari tertawa. "Racun itu sudah lama sekali mengeram di mataku. Jika sukar ditolong, nona boleh memberitahukan saja tanpa ragu-ragu."

"Tak sukar untuk menyembuhkan mata itu se¬hingga bersamaan mata orang biasa," sahut si nona. Tapi Biauw Tayhiap bukan orang biasa."

"Kenapa begitu?" tanya Ouw Hui dengan pe-rasaan heran.

"Biauw Tayhiap adalah seorang yang bergelar Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu," menerangkan si nona. "la mempunyai ilmu silat yang sangat tinggi dan kedua matanya tentu saja berbeda dengan mata

kebanyakan orang. Selain itu, seorang yang me¬miliki Lweekang tinggi, kedua matanya bersinar terang, bersemangat dan bersorot angker. Bukan-kah sayang sekali, jika aku tak dapat memulihkan sinar dan keangkeran mata itu?"

Biauw Tayhiap tertawa bergelak-gelak. "Perka-taanmu sangat luar biasa dan kepandaianmu tentu juga luar biasa pula," katanya. "Apakah aku boleh mendapat tahu, pernah apakah kau dengan It-tin Thaysu?"

Si nona kelihatan agak terperanjat dan segera menjawab: "Kalau begitu, Biauw Tayhiap adalah sahabat dari mendiang guruku...."

"Apakah It-tin Thaysu sudah berpulang ke alam baka?" tanya Kim-bian-hud dengan suara kaget.

"Benar," jawabnya sembari mengangguk.

Mendadak, Biauw Jin Hong berbangkit dan berkata: "Tunggu dulu. Aku ingin bicara dengan nona."

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar