Kisah Si Rase Terbang (Hoei Ho Gwa Toan) Jilid 6

Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
----------------------------

Jilid 6

Tiba-tiba, sorot matanya yang seperti kilat mcngawasi Tan Ie. "Tan Suhu," katanya. "Harap kau suka mengikut aku keluar untuk membicarakan suatu urusan." Tan Ie tercengang dan segera menjawab: "Aku dan Tio Samya belum pernah saling mengenal. Ada urusan apa yang mau dibicarakan? Semua orang yang berada di sini adalah bangsa ksatria. Kalau ada sesuatu, baiklah Tio Samya bicara di sini saja." Tio Poan San tertawa dingin dana berkata: "Urusan yang mau dibicarakan adalah urusan yang memalukan partai Thay-kek-bun. Guna apa orang luar turut mendengar?" Paras muka Tan Ie berubah pucat. la mundur setindak dan berkata dengan nyaring: "Kau adalah orang dari Thay-kek di Oenciu, sedang aku adalah dari Thay-kek di Kongpeng. Kita hanya separtai dan bukan secabang. Aku tidak boleh campur tangan dalam urusanmu, sedang kau pun tak boleh men-campuri urusanku." "Karena tangan Tan-heng terlalu lihay dan dalam kalangan Thay-kek-bun di Kongpeng, tak ada orang yang berani keluar, maka tanpa memperdulikan perjalanan laksaan li, dari Huikiang aku datang ke sini," kata Tio Poan San. "Lebih dulu siauwtee pergi ke Pakkhia dan mendengar Tan-heng pergi ke Shoatang, maka aku segera menyusul. Benar juga orang kata, bahwa jala langit besar sekali." Mendengar perkataan "jala langit besar sekali", semua orang jadi terkejut dan menanya di dalam hati, kedosaan apa yang sudah dilakukan Tan Ie, sehingga Tio Samya mencarinya dari tempat yang begitu jauh.

Tan Ie yang bertubuh jangkung kurus, mem-punyai kepandaian yang cukup tinggi dan sudah lama mendapat nama besar dalam kalangan Kang-ouw. Walaupun namanya tidak semashur Tio Poan San, tapi ia adalah salah seorang tokoh terkemuka dari Thay-kek-bun cabang Utara. Ditambah dengan Hok Kongcu sebagai sanderanya, sedikit pun ia tidak merasa keder terhadap Tio Samya.

Maka itu, lantas saja ia membentak: "Tio Poan San! Aku menghormati kau sebab usiamu yang lebih tua. Kau dan aku, dari cabang Selatan dan Utara, masing-masing mempunyai keunggulan sendiri. Ja-ngan kau coba-coba menggencet aku." Berbareng dengan perkataannya, ia menghantam pundak Tio Poan San dengan pukulan Dewi Menenun Kain. Pukulan Thay-kek cabang Utara itu, yang dalam "kelembekan" mengandung "kekerasan", memang hebat luar biasa. Tapi ketika itu, ilmu silat Tio Poan San sudah dilatih sampai di puncak kesempurnaan. Begitu tangan musuh menyambar, ia berjongkok  dan menyambut dengan pukulan In-chiu (Tangan awan). Ia menangkap pergelangan tangan Tan Ie yang lantas dibetot ke sebelah kanan. Pada saat itu juga, Tan Ie tak bisa berdiri tegak, separuh badannya kesemutan.

Antara jago-jago Hok Kongcu, adalah In Tiong Shiang yang mempunyai perhubungan paling rapat dengan Tan Ie. Sedan Tan Ie dan Tio Poan San bertengkar, ia sudah menghunus pedangnya dan berwaspada. Demikianlah, berbareng dengan ru-buhnya si kawan, sembari membentak "lepas"! ia meloncat dan menikam punggung Tio Poan San. Tanpa menengok, pada detik yang tepat, Tio Samya menghunus pedang Tan Ie yang segera disabetkan ke belakang. Dengan suatu suara "trang"! pedang si pembokong sudah kutung dua! Melihat Tan Ie sudah dirubuhkan dalam sejurus saja dan pedang In Tiong Shiang dipatahkan dengan sekali menyampok, paras muka jago-jago Hok Kongcu menjadi pucat bagaikan mayat.

"Bagaimana sekarang?" Poan San menanya Tan Ie. "Kau ikut atau tidak?" Orang she Tan itu tidak menyahut, mukanya sebentar merah, sebentar biru.

Selagi semua mata mengawasi Tio Poan San dan pecundangnya, tiba-tiba tujuh buah Kimpiauw dengan berkeredepan menyambar saling susul ke arah Ouw Hui.

Ternyata, tujuh Kimpiauw itu dilepaskan oleh Siang Loo-tay. Melihat semua orang, terhitung Ouw Hui, sedang memperhatikan Tio Poan San dan Tan Ie, nyonya Siang sungkan menyia-nyiakan kesem-patan yang baik ini dan lantas saja melepaskan tujuh  piauw itu dengan kedua tangannya. Jarak antara Ouw Hui dan Siang Loo lay hanyalah kira-kira lima kaki dan senjata rahusia itu dilepaskan di Suar dugaan, sehingga biarpun seorang yang berkepan-daian lebih tinggi daripada Ouw Hui, jangan harap bisa meloloskan diri dari ketujuh piauw itu.

Dalam usahanya membalaskan sakit hati suami-nya, Siang Loo-tay mengetahui, bahwa Biauw Jin Hong dan Ouw It To mempunyai kepandaian yang luar biasa tingginya, sehingga dalam pertempuran berhadapan satu lawan satu, sukar sekali ia bisa memperoleh kemenangan. Maka itu, setiap rnata Kimpiauw sudah lebih du!u dipoles dengan racun yang sangat hebat.

"Celaka!" teriak Ouw Hui sembari membuang diri. Gerakan itu yang cepat iuar biasa, dapat meng-egos tiga buah piauw yang menyambar di sebclah atas, tapi empat piauw yang terbang ke arah kem-pungan dan kedua kakinya tak akan dapat di-elakkannya lagi.

Pada detik yang sungguh-sungguh berbahaya itu, Tio Poan San mendadak mengulurkan tangan¬nya. Dan sekali tangannya bergerak, tujuh buah piauw itu sudah berada dalam tangannya! Tio Poan San mcndapai julukan Cian-chiu. Jielay. Julukan "Jielay atau Jielay-hud (Sang Bud¬dha) diberikan kepadanya oleh karena mukanya yang simpatik dan hatinya yang sangat mulia. Ge-iaran "Cian-chiu" (Seribu tangan) didapatnya ka¬rena mempunyai kepandaian istimewa dalam me-nyambut rupa-rupa senjata rahasia.

Dibawah sinar iilin, ia melihat, bahwa setiap mata piauw berwarna merah tua. Ia mencium dan benar saja, mengendus bau-bauan wangi, yang me-nandakan, bahwa piauw tersebut mengandung ra¬cun. Sebagai seorang ahli senjata rahasia, Tio Poan San paling membenci orang yang menggunakan senjata beracun. Dalam kalangan Rimba Persilatan terdapat perkataan yang berarti begini "Senjata rahasia adalah senjata terhormat. Meski bentuknya yang kecil, senjata ini dapat menghantam musuh yang berada di jarak jauh. Maka itu di samping kaki tangan dan senjata biasa, senjata rahasia merupakan salah satu dari Tiga Alat Persilatan. Hanya karena ada orang-orang rendah yang membubuhkan racun kepada senjata rahasia, maka belakangan senjata itu dipandang rendah." Demikian komentar dalam Rimba Persilatan, mengenai senjata rahasia.

Dengan sorot mala gusar, Tio Poan San melirik Siang Loo-tay dan berkata: "Ong Wie Yang adalah seorang ksatria. Apakah mengajarkan orang meng¬gunakan senjata beracun? Apakah ia mengajarkan orang membokong musuh? Apa pula musuh itu tak lebih dari seorang bocah!" Kala-kata itu yang di-keluarkan dengan bernafsu, sudah membikin kedua saudara Ong malu sekali.

Melihat Ong-sie Heng-tee (dua saudara Ong) menundukkan kepalanya, nyonya Siang lantas saja berteriak: "Siapa kau? Berani menghina orang di Siang-kee-po! Sayang! Sungguh sayang, suamiku sudah meninggal dunia, sehingga dalam Pat-kwa-bun tidak terdapat lagi orang yang dimalui. Yang ketinggalan adalah anak setengah piatu dan janda tua. Biarlah! Biarlah kami mcnelan segala hinaan!" Mendadak ia menangis keras. "Ah! Siang Kiam Beng!" ia berteriak. "Sesudah kau mati, dalam Pat-kwa-bun hanya ketinggalan sekawanan anjing yang hanya tahu bagaimana harus membungkuk terha-dap orang luar. Tak ada lagi manusia yang mem-punyai tulang punggung, yang bisa membela partai kita. Siang Kiam Beng! Mulai besok, aku akan menyuruh anakmu masuk Thay-kek-bun, supaya jangan dihina orang seumur hidup. Ah, Siang Kiam Beng! Dulu, kau begitu gagah perkasa. Jika kutahu bakal mengalami kejadian seperti hari ini, aku tentu sudah masukkan Pat-kwa-to ke dalam peti matimu!" Sembari sesambat, ia mencaci dan lalu melem-parkan Pat-kwa-to, yang kemudian diinjak-injak dan diludahinya. Muka kedua saudara Ong menjadi merah padam, bahna gusar dan malu, akan tetapi mereka tak berani bertengkar dengan Siang Loo-tay di hadapan orang banyak.

Sebenarnya, Tio Poan San ingin lekas-lekas berlalu dengan membawa Tan Ie. Tapi, Sesudah menyaksikan kekejaman Siang Loo-tay terhadap Ouw Hui, ia yakin, bahwa begitu lekas ia berlalu, bocah itu tentu celaka. walaupun ia tidak mengenal bocah itu, tapi, sebagai ksatria, mana bisa ia tak menolong? Demikianlah, sembari menyoja kepada Ong-sie Heng-tee, ia berkata: "Aku juga ingin mem¬bawa bocah itu. Biarlah di lain hari, aku meng-. haturkan terima kasih pula atas kebaikan kedua saudara." Sebelum Kiam Eng menjawab, Siang Loo-tay sudah sesambat lagi. "Oh, Siang Kiam Beng!" ia berteriak. "Baik juga kau mati siang-siang, supaya tak usah melihat kejadian yang memalukan. Sutee-mu adalah pentolan Pat-kwa-bun, tapi bocah be-lasan tahun saja, dia masih belum mampu rubuhkan.

 Lebih celaka lagi, goloknya sampai kena direbut orang! Suhengmu (dimaksudkan Ong Kiam Eng) lebih takut lagi terhadap anak itu. Dia mengharap-kan, supaya bocah itu lekas-lekas pergi, lebih lekas. lebih baik...." "Diam!" bentak Ong Kiam Eng yang sudah tak dapat menahan amarahnya lagi. Ia berpaling kepada Tio Poan San dan berkata: "Tio Samya, kurasa kau sudah mendengar semua perkataan Tee-huku. Hari ini, bukan aku tak sudi memberi muka kepada Tio Samya. Akan tetapi, jika bocah itu diijinkan berlalu dengan begitu saja, Pat-kwa-bun sukar menancap kaki lagi dalam dunia Kang-ouw, sedang kami ber-dua juga tak mempunyai muka lagi untuk menjadi manusia." Tio Poan San menganggap perkataan Ong Kiam Eng memang ada benarnya. Ia menengok kepada Ouw Hui seraya berkata: "Bocah, kedosaan apakah yang kau sudah lakukan terhadap kedua suhu ini? Lekaslah berlutut untuk meminta maaf dan ke¬mudian ikut aku pergi." Tio Poan San sudah mempunyai banyak peng-alaman, tapi sekali ini, ia salah raba. Ia tidak tahu. bahwa bocah kecil kurus itu mempunyai darah pah-lawan yang tak nanti mau gampang-gampang tun-duk terhadap siapapun juga. "Tio-ya," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Sungguh menyesal, tak dapat aku meluluskan permintaanmu untuk berlutut terhadap dia." Mendengar jawaban itu, Tio Poan San jadi tercengang.

Di pihaknya, Ong Kiam Eng sudah menghitung, bahwa begitu lekas Ouw Hui meminta maaf, ia akan  segera cuci tangan. Tapi jawaban si bocah sudah menggusarkan hatinya.

"Saudara kecil," katanya. "Ilmu silatmu memang tinggi dan tak heran, jika kau jadi lupa daratan. Mari, mari! Aku Ong Kiam Eng meminta peng-ajaranmu." Dengan sekali mengenjot badan, Ouw Hui sudah berada di tengah ruangan dan meng¬hantam hidung Ong Kiam Eng dengan tinjunya. Sembari mesem, Kiam Eng menyambut serangan itu dan membaias menyerang.

Diwaktu telapakan tangan Ong Kiam Eng baru turun, pukulan itu kelihatannya enteng sekali. Tapi di tengah jalan, pukulan itu berubah berat dan menghantam muka Ouw Hui dengan kesiuran angin yang dahsyat.

Tio Poan San terkejut. "Orang she Ong ini benar lihay," pikirnya, sembari siap sedia untuk menolong jika perlu. Tapi di luar dugaan, gerakan badan Ouw Hui sungguh-sungguh mengherankan. Dengan miringkan badannya sedikit, ia telah mem-buat tangan Ong Kiam Eng jatuh di tempat kosong. Tapi orang she Ong itu adalah ahli terutama dari Pat-kwa-bun. Begitu tangan kirinya meleset, tangan kanannya sudah membabat. Ouw Hui menyambut dengan kedua tinjunya dan.... "Plak!" telapakan tangan Ong Kiam Eng jatuh lepat di atas tinju.

"Aduh!" teriak Ouw Hui. Sekonyong-konyong, dengan gerakan Tin-ciu-kin-na (Menurunkan sikut dan menangkap), ia coba mencengkeram jalan da-rah Kie-tie-hiat di tangan kiri Ong Kiam Eng. Pukulan ini adalah salah satu pukulan aneh dari ilmu silat keluarga Ouw. Ong Kiam Eng terkesiap dan meloncat mundur beberapa tindak.

 Siang Loo-tay dan Ma Heng Kong saling meng-awasi. Mereka merasa heran, kenapa bocah itu juga memiliki pukulan tersebut. Harus diketahui, bahwa Tin-ciu-kin-na adalah salah satu dari belasan pu¬kulan yang dipunyai oleh Giam Kie. Pada waktu bertempur melawan Ma Heng Kong, berulang kali Giam Kie telah menggunakan pukulan tersebut.

Begitu mundur, Ong Kiam Eng segera maju menyerang pula. Dengan gerakan sebagai seekor harimau, ia menubruk dan menghantam lengan kiri Ouw Hui. Sembari memutarkan badan, Ouw Hui mengirimkan tendangan hebat dengan gerakan Kauw-tui-hoan-tui (Menekuk lutut menendang ke belakang). Tendangan itu juga merupakan tendang¬an rahasia yang hanya dimiliki oleh keluarga Ouw. Dengan demikian, bukan saja Ma Heng Kong dan yang Iain-lain, tapi malah Tio Poan San yang ber-pengalaman, juga turut merasa heran.

Melihat pukulan-pukulan Ouw Hui yang aneh agaknya mengandung ejekan, Ong Kiam Eng jadi mendongkol. "Jika kau tidak diberi sedikit hajaran, orang bisa memandang rendah partai Pat-kwa-bun," pikirnya.

Harus diketahui, bahwa dalam pertandingan itu, sama sekali ia tidak memandang sebelah mata kepada lawannya. Setiap gerakannya dan setiap pukulannya adalah untuk diperlihatkan kepada Tio Poan San, seorang ahli yang mempunyai nama sa-ngat besar. Maka itu saban gcrakannya dilakukan dengan hati-hati, agar sesuai dengan derajat se¬orang ahli silat ternama.

Dengan adanya pikiran begitu, tujuan dari pu-kulan-pukulannya adalah untuk memperlihatkan  keindahan dan kesempurnaan dan bukan untuk membinasakan musuh. Dari sebab dapat, tak dapat ia merubuhkan Ouw Hui dalam tempo cepat.

Di lain pihak, Siang Po Cin yang mengawasi pertempuran itu, jadi merasa gusar. Ia melihat pa-man gurunya hanya mempergunakan pukulan-pu-kulan Pat-kwa-ciang yang paling cetek dan ia segera menarik kesimpulan, bahwa, karena takut terhadap Tio Poan San, sang Supeh sungkan bersungguh-sungguh dalam usaha membalaskan sakit hati men-diang ayahnya.

Siang Po Cin tentu saja, tidak mengetahui, bahwa berlaku latihan puluhan tahun, dengan pu-kulan-pukulan yang biasa itu, Ong Kiam Eng ingin merubuhkan lawannya dengan perlahan. Dalam tempo tidak terlalu lama, Ouw Hui sudah tertindih di bawah "angin pukulan". Ketika itu, jika mau, dengan mudah Ong Kiam Eng bisa melukai Ouw Hui. Tapi ia bukan bermaksud begitu.

Dengan disaksikan oleh Tio Poan San, ia ingin menghabiskan tenaga Ouw Hui, sehingga anak itu berlutut memohon ampun, sedang ia sendiri tetap segar dan tenang, seolah-olah sedikit pun tidak pernah membuang tenaga.

Memang juga, dalam ilmu silat, yang paling. sukar dipelajari adalah: Mengangkat barang berat seperti mengangkat barang enteng dan mengguna-kan tenaga seperti juga tidak menggunakan tenaga. Setiap ahli silat ternama harus mempunyai kepan¬daian begitu. Seorang yang bertempur dengan na-pas tersengal-sengal dan keringat mengucur, bukan seorang yang dinamakan ahli silat.

Tio Poan San yang dapat membaca pikiran Ong Kiam Eng, tidak khawatir lagi akan keselamatan bocah itu dan sekarang ia justru ingin mengetahui, sampai di mana Ouw Hui bisa mempertahankan diri.

Beberapa saat kemudian, Ouw Hui kelihatan sudah payah benar. Sekonyong-konyong, sesudah jungkir balik, dengan tangan kanan menekan lantai, ia menyapu dengan kedua kakinya. Sapuan itu juga merupakan suatu pukulan aneh. Baru saja Ong Kiam Eng ingin meloncat mundur, Ouw Hui sudah duduk di atas lantai, sedang kedua kakinya menen-dang ke atas secara berantai. Dalam sekejap, ia sudah mengirim tujuh delapan tendangan kilat, se¬hingga Ong Kiam Eng menjadi repot.

Ma Heng Kong dan Siang Loo-tay kembali saling mengawasi. Tendangan berantai itu tidak dimiliki oleh Giam Kie dan sekarang ternyata, bo¬cah itu mempunyai kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada perampok she Giam itu.

Sesudah menendang, dengan sekali memutar-kan badan, ia berdiri dan kedua sikutnya menyikut ke belakang. Pada saat itu, punggungnya berhadap-hadapan dengan punggung Ong Kiam Eng. Oleh karena badannya kate, kedua sikutnya itu meng-hantam pantat Ong Kiam Eng, sehingga semua penonton tidak dapat menahan tertawanya lagi.

Ong Kiam Eng menjadi gusar bukan main. Sembari memutarkan badan, ia menghajar dada Ouw Hui dengan pukulan yang sangat hebat. Se¬karang ia sudah tidak memperdulikan lagi derajat dan keagungannya. Kalau dapat, dengan sekali me-mukul, ia ingin membinasakan si bocah cilik yang dianggapnya kurang ajar sekali.

Melihat begitu, Tio Poan San menghela napas.

"Ah! Putera Wie-cin Ho-sok Ong Wie Yang dalam banyak hal masih belum dapat menyamai ayahnya!" katanya di dalam hati.

Sementara itu, selama memperhatikan pertem-puran itu, ia selalu mengawasi Tan Ie untuk menjaga jangan sampai dia merat.

Melihat musuhnya sekarang menyerang bagai-kan angin dan hujan, Ouw Hui menjadi gentar. Dengan mengandalkan pukulan-pukulan yang di-dapatkannya dalam Kun-keng (kitab ilmu silat), untuk sementara waktu ia dapat mempertahankan diri. Sebenarnya, pukulan-pukulan aneh itu hanya untuk digunakan dalam latihan. Pukulan-pukulan untuk bertempur tercatat di bagian belakang dari kitab tersebut. Karena latihan dan tenaga Ouw Hui belum mencukupi, maka sampai sebegitu jauh, ia belum dapat menyelami pukulan-pukulan yang ter¬catat di bagian belakang kitab itu. Maka itu, dalam menghadapi musuh, ia hanya dapat memperguna-kan pukulan-pukulan aneh yang sebenarnya di-gubah untuk latihan. Dapat dimengerti, bahwa se-bagai seorang Tayhiap (pendekar besar), Ouw It To tentu sungkan menggunakan pukulan-pukulan se-perti lelucon yang bisa ditertawai orang.

Sesudah bertempur lagi belasan jurus, Ouw Hui mulai terhuyung kian kemari. Mendadak, sambil mengegos ke kanan untuk mengelit pukulan Ouw Hui, Ong Kiam Eng membabat dengan tangan ka-nannya dengan gerakan Yoe-kong-tam-jiauw (Men-cengkeram di udara), semacam pukulan yang sangat hebat. Buru-buru Ouw Hui membungkuk, sehingga tenaga pukulan itu berkurang tujuh bagian. Tapi walaupun begitu, begitu kena, ia lantas terguling di atas lantai.

Tanpa merasa semua penonton mengeluarkan teriakan tertahan. Ong Kiam Eng yang belum me¬rasa puas, segera menghantam lagi dengan telapak-an tangannya.

Tio Poan San gusar bukan main. Sebagai ahli kenamaan, tidak pantas ia menurunkan tangan ja-hat terhadap seorang bocah yang sudah rubuh. Dalam gusarnya, Tio Poan San siap sedia untuk menolong pada detik yang terakhir.

Tiba-tiba berbareng dengan berkelebatnya se-sosok sinar hijau, Ong Kiam Eng menarik pulang tangannya dan meloncat mundur beberapa tindak. Ternyata, di waktu terguling, Ouw Hui menemukan pedang In Tiong Shiang yang kutung. Dalam ke-adaan terdesak, ia menjumput senjata itu yang lalu digunakan untuk memapaki tangan Ong Kiam Eng. Kalau Ong Kiam Eng tidak berlaku cepat, telapakan tangannya tentu sudah ditobloskan senjata itu.

Begitu berhasil dengan pukulannya, Ouw Hui yang cerdik segera menggulingkan badan, men¬jumput serupa benda dari atas lantai dan kemudian memotong ujung bajunya yang digunakan untuk membungkus ujung mata pedang yang tajam.

"Ong Toaya," katanya sembari tertawa. "Ta-nganku pendek, tanganmu panjang, sehingga per-tempuran ini jadi agak pincang. Maka itu, aku menyambung tangan kananku supaya menjadi lebih panjang. Jika kau takut, pergilah ambil Pat-kwa-to." Semenjak Hui-thian Ho-lie (si Rase Terbang) muncul dalam Rimba Persilatan, di setiap jaman, jago-jago keluarga Ouw semua terdiri dari orang-orang yang mempunyai kecerdasan luar biasa. Ouw Hui mengetahui, bahwa dengan tangan kosong, tak dapat ia menandingi musuhnya. Maka itu, ia meng-ambil keputusan untuk menggunakan senjata yang diapatnya secara kebetulan. Tapi ia khawatir Ong Kiam Eng juga menggunakan senjata dan ia men-duluinya dengan kata-kata mengejek. Sebagai se-orang ternama, Ong Kiam Eng tentu saja sungkan kehilangan muka di hadapan banyak orang. Tanpa menyahut, ia segera menyerang dengan kedua ta¬ngan kosongnya.

Dengan bantuan senjata kutung itu, Ouw Hui lalu mulai membela diri lagi. Selagi terputar-putar melayani musuh, tangan kirinya sekonyong-konyong membuka topinya. "Tangan kananku memegang pe-dang, tangan kiri mencekal tameng," katanya sem-bari tertawa. "Aku mau melihat, apakah kau masih bisa mendesak diriku." Sembari berkata begitu, ia mengangkat tangannya yang mencekal topi kulit itu untuk memapaki serangan musuh.

"Anak bau!" Ong Kiam Eng memaki dalam hatinya. "Dengan memapaki begitu, pergelangan tanganmu pasti akan patah." Ia mengempos se-mangatnya untuk menambah tenaga dalamnya dan menghantam! Mendadak, begitu pukulannya mampir di atas topi, Ong Kiam Eng berteriak: "Ah!" Teriakan itu adalah teriakan kesakitan dan kegusaran. Sembari berteriak, ia loncat mundur setombak lebih.

Semua orang kaget dan memandangnya dengan heran. Ternyata, telapakan tangan kirinya menge-luarkan sedikit darah. Semua penonton menjadi bingung, mereka tak tahu, sebab apa Ong Kiam Eng mendapat luka.

 Ong Kiam Eng gusar bukan main. "Kau... kau!" ia berteriak sambil menuding. "Apa yang kau sem-bunyikan di bawah topi?" Ouw Hui meletakkan pula topinya di kepala dan mengacungkan tangan kirinya. Yang berada di tangannya itu, ternyata adalah sebatang Kimpiauw! "Inilah senjata rahasia Pat-kwa-bunmu!" jawab-nya sembari menyengir. "Bukan aku yang mem-bawa-bawa kemari. Barusan aku memungutnya dari lantai untuk dibuat main. Salahmu sendiri! Siapa suruh kau mencari tahu isi topiku. Baiklah! Apa bagusnya Kimpiauw ini?" Sembari berkata begitu, ia mengayunkan tangannya ke arah dada Ong Kiam Eng.

Ong Kiam Eng berkelit ke samping dan meng-ulurkan tangannya untuk menyambuti senjata ra¬hasia itu. Bahwa ia lebih dulu berkelit, membukti-kan yang jago tua itu segani si bocah cilik. Ia khawatir Ouw Hui mempunyai ilmu menimpuk yang aneh, sehingga jika sambutannya meleset, Kim¬piauw itu bisa mengenai dadanya. Tapi... ia menangkap angin. Tak ada piauw yang menyambar dia.

Ternyata, selagi mengayunkan tangan ke de-pan, Ouw Hui mengerahkan tenaga dalamnya ke jeriji dan menyentil piauw itu ke belakang.

Siang Loo-tay yang sedang berdiri di belakang Ouw Hui, jadi terkesiap melihat menyambarnya suatu sinar kuning. Secepat mungkin, ia menun-dukkan kepalanya, tapi tak urung, piauw itu me-nancap di kondenya! Siang Po Cin meloncat me-nubruk ibunya seraya menanya dengan suara ge-metar: "Ibu! Apakah kau terluka?" Melihat cara-cara si bocah cilik yang aneh-aneh dan bagaimana nyonya Siang lolos dari lubang ja-rum, semua orang jadi terperanjat. Tio Poan San mesem sembari memelintir kumisnya. la juga mahir daiam ilmu melepaskan senjata rahasia yang baru-san diperlihatkan oleh Ouw Hui. Kalau ia yang melepaskannya, sepuluh Siang Loo-tay juga tentu sudan binasa. Akan tetapi, cara anak itu yang dalam kelucuannya mengandung kecerdikan luar biasa, tak dapat ditiru olehnya sendiri.

Sesudah dapat menetapkan hatinya, Siang Loo-tay lantas saja berteriak: "Toasuheng, pencet nadi-mu! Piauw itu beracun!" "Aku ambil obat!" seru Siang Po Cin sembari lari ke ruangan dalam.

Sifat Ong Kiam Eng yang telengas, tidak banyak berbeda dengan mendiang ayahnya. Buru-buru ia merobek bajunya yang lalu digunakan untuk meng-ikat nadinya. Melihat begitu, Ong Kiam Kiat segera mendekati untuk membantu.

"Minggir!" bentak saudara tua itu sembari men-dorong keras, sehingga Kiam Kiat terhuyung be-berapa tindak.

"Toako...!" seru si adik.

Kiam Eng tidak menyahut. Sembari meloncat, ia menghantam kepala Ouw Hui dengan pukulan Pat-kwa Yoe-sin-ciang. la sekarang sudah lupa da-ratan. Jika mungkin, dengan sekali pukul, ia ingin mengambil jiwa bocah yang licik itu.

Semenjak belajar silat, baru di Siang-kee-po Ouw Hui mendapat pengalaman dalam pertem-puran yang sesungguhnya. Pertama, ia bergebrak dengan Siang Po Cin, kemudian dengan Siang Loo-tay dan Ong Kiam Kiat dan sekarang dengan Ong Kiam Eng, ahli nomor satu dalam Pat-kwa-bun. Dalam empat kali bertempur, semakin lama hatinya jadi semakin mantap. Dengan ilmunya yang luar biasa, ia berusaha menambal kekurangan tenaganya.

Yoe-sin Pat-kwa-ciang sudah dikenalnya, se-lama ia bertempur melawan Ong Kiam Kiat. Dalam pertempuran itu, hampir-hampir ia binasa. Tapi sekarang, ia sudah mengetahui kelihayan ilmu ter-sebut yang menyerang dengan berputar-putar. Ia mengetahui, jika ia turut berputar-putar, silatnya akan menjadi kalut dan matanya berkunang-ku-nang. Sekonyong-konyong ia ingat, bahwa dalam Kun-keng terdapat semacam ilmu yang dinamakan Su-siang-po (Tindakan empat penjuru), yang mes-kipun sederhana, rasanya dapat digunakan untuk menghadapi Yoe-sin Pat-kwa-ciang. Ia tak sempat memikir lama-lama lagi, sebab Ong Kiam Eng sudah berada di belakangnya. Dengan cepat ia maju se-tindak dan pada detik itu, tangan Ong Kiam Eng sudah menyambar punggungnya.

Melihat bagian belakang Ouw Hui terbuka, semua orang jadi khawatir. Tapi di luar dugaan, pukulan Ong Kiam Eng jatuh di tempat kosong, karena tindakan majunya Ouw Hui.

Yoe-sin Pat-kwa-ciang adalah pukulan berantai yang dilancarkan susul menyusul sembari berlari-lari. Tak perduli pukulan itu mengenai sasaran atau tidak, yang memukul itu terus lari berputar-putar, sembari melancarkan pukulan berantai. Di lain de¬tik, Ong Kiam Eng sudah berada di sebelah kanan Ouw Hui. Pada detik itu, Ouw Hui maju setindak  ke sebelah kiri. Gerakan tersebut tepat sekali de¬ngan menyambarnya pukulan Ong Kiam Eng, yang untuk kedua kalinya, jatuh pula di tempat kosong.

Harus diketahui, bahwa Su-siang-po dan Pat-kwa-ciang keluar dari sumber yang sama. Dalam Kun-keng, Su-siang-po adalah ilmu untuk melatih gerakan kaki dan bukan untuk melukakan musuh.

Semakin lama, Ouw Hui semakin mahir meng-gunakan ilmu tersebut, sampai akhirnya, ia dapat melayani musuh sambil menoiak pinggang dengan kedua tangannya. Kedua matanya yang jeli hanya mengawasi gerakan kaki Ong Kiam Eng, tanpa memperdulikan segala pukulannya. Begitu musuh-nya berada di kiri, ia maju setindak ke kanan, kalau musuhnya berada di depan, ia mundur setindak ke belakang dan begitu seterusnya. Pulang pergi, ia hanya menggunakan empat tindakan, yaitu: Se¬tindak ke depan, setindak ke belakang, setindak ke kiri dan setindak ke kanan. Apa yang luar biasa, gerakan Su-siang-po sangat cocok dengan gerakan Pat-kwa-ciang. Setiap pukulan Pat-kwa-ciang me¬nyambar tepat pada saat yang sama dengan tindakan Su-siang-po.

Bagian pertama dari Yoe-sin Pat-kwa-ciang berisi tiga puluh dua macam pukulan. Dalam ke-gagalannya itu, semakin lama Ong Kiam Eng jadi semakin bingung.

Melihat cara berkelahinya Ong Kiam Eng, diam-diam Tio Poan San menghela napas panjang. "Dalam mewarisi ilmu ayahnya, Ong Kiam Eng hanya mengenai ilmu yang mati," katanya di dalam hati. "Diwaktu menghadapi musuh yang tangguh, sama sekali dia tidak dapat membuat perubahan  untuk menyesuaikan diri. Sungguh sayang! Keli-hayan Ong Wie Yang kelihatannya tiada yang mewarisi." Dengan cepat, bagian pertama Yoe-sin Pat-kwa-ciang sudan digunakan seanteronya.

Pada saat itu, Siang Po Cin keluar dengan membawa obat. "Toasupeh!" ia berseru. "Makan obat dulu, baru bereskan bocah itu." Ketika itu, lengan kiri Ong Kiam Eng sudah tidak menurut perintah lagi dan racun sudah be-kerja hebat. Lantas saja ia meloncat ke luar dari gelanggang untuk makan obat dulu.

"Ong-heng," kata Tio Poan San. "Aku lihat...." Poan San tak dapat meneruskan kata-katanya, oleh karena Kiam Eng sudah menggoyangkan ta-ngan dan menerjang pula. Ia mengetahui, bahwa Tio Poan San tentu bemaksud untuk mendamaikan dan jika ia sampai mesti menolak permintaan Cian-chiu Jielay, ia seolah-olah tidak mau "memberi muka" kepada Tio Samya. Maka itu baru Poan San membuka mulut, ia sudah mendahului menerjang.

Sekarang Ong Kiam Eng mengubah cara ber-silatnya dan menyerang dengan tindakan-tindakan yang sangat pendek, sedang setiap pukulannya be-rat luar biasa. Itulah Lwee Pat-kwa Ciang-hoat (Pukulan Pat-kwa Dalam) yang paling lihay dari Pat-kwa-bun. Sebagaimana diketahui, tanpa meng-gunakan kedua tangannya, dengan hanya meng-gunakan tindakan-tindakan Lwee Pat-kwa Ciang-hoat, Ong Kiam Kiat sudah membikin Siang Po Cin tidak berdaya. Dan sekarang, sudah Yoe-sin Pat-kwa-ciang dipunahkan dengan Su-siang-po, mau tak mau, Ong Kiam Eng terpaksa menggunakan ilmu  simpanan itu. Baru saja menyambut tiga pukulan. Ouw Hui sudah merasa tak tahan lagi.

"Celaka!" ia mengeluh. Ia menunduk dan me-lihat kaki lawannya sedang bergeser ke kiri. Dengan berani, ia menjejak kaki kiri Ong Kiam Eng.

"Apa kau mau cari mampus!" bentak Kiam Eng sembari menarik pulang kakinya. Dengan berbuat demikian, kaki kanannya tidak menginjak lagi ga-risan Pat-kwa.

Di waktu mengajar kedua puteranya, Ong Wie Yang berlaku bengis sekali. Setiap tindakan dan setiap pukulan tak boleh salah sedikit pun. Dengan mendapat didikan begitu, ditambah lagi dengan sifatnya yang sangat kukuh, dalam pertempuran, Ong Kiam Eng sangat memperhatikan kedudukan kedua kakinya dan ia tak akan mengirimkan pu¬kulan, jika kedua kakinya tidak berada di kedu¬dukan yang tepat. Dan di waktu kedua kakinya sudah menginjak pula garis Pat-kwa, Ouw Hui kem-bali menjejak salah satu kakinya. Diganggu secara begitu ilmu silat Ong Kiam Eng segera menjadi kacau.

Melihat kesempatan baik itu, dengan meng¬gunakan seantero tenaganya, Ouw Hui menghan-tam kempungan musuh.

"Bagus!" seru Kiam Eng sembari menyambut dengan kedua tangannya.

Itulah sambutan keras melawan keras. Ouw Hui merasakan sekujur badannya bergoncang keras, tapi tangan kirinya menahan terus kedua telapakan tangan musuh, yang semakin lama jadi semakin berat. Pada detik itu, sedikit saja ia mundur, isi perutnya akan mendapat luka hebat. Karena itu,  dengan mati-matian ia mempertahankan diri.

Melihat si bocah sudah kalah dan jiwanya ber-ada dalam bahaya, Tio Poan San tertawa seraya berkata: "Anak, kau sudah kalah. Guna apa mati-matian?" Sembari berkata begitu, ia menepuk pundak Ouw Hui. Heran sungguh, bagaikan arus listrik, semacam tenaga yang luar biasa mengalir dari ta-ngan Poan San ke tubuh Ouw Hui. Dan pada saat itu juga, Ong Kiam Eng merasakan kedua tangannya kesemutan dan dadanya sesak, sehingga buru-buru ia meloncat mundur.

"Ong-heng," kata Tio Poan San. "Tenaga da-lammu jauh lebih tinggi daripada bocah itu. Guna apa bertanding terus?" Sehabis berkata begitu, ia menepuk-nepuk pun¬dak Ouw Hui seraya berkata pula: "Sungguh hebat! Dalam tempo lima enam tahun lagi, aku pun sudah bukan tandinganmu lagi." Dengan perkataan lain, pada waktu itu, Ong Kiam Eng lebih-lebih bukan tandingan Ouw Hui.
 Muka Ong Kiam Eng menjadi merah seperti kepiting direbus. Ia ingin sekali mengucapkan be-berapa perkataan untuk menolong sedikit mukanya, tapi ia tak tahu, apa yang harus dikatakannya. Maka itu, ia hanya berdiri bengong tanpa mengeluarkan sepatah kata.

Melihat telapakan tangan kiri kakaknya ber-warna hitam akibat racun, Ong Kiam Kiat berpaling ke arah Siang Loo-tay dan menanya: "Apakah tak ada obat luar?" Nyonya Siang tak menyahut, ia hanya meng-geleng-gelengkan kepalanya.

 Dari sakunya, Tio Poan San segera menge¬luarkan sebuah botol kecil yang berwarna merah dan berkata sembari membuka tutupnya: "Secara kebetulan aku membawa obat bubuk ini yang agak manjur." Ong Kiam Kiat menjadi girang sekali. Ia tahu, bahwa Tio Poan San adalah ahli senjata rahasia, sehingga obat itu tentu juga bukan obat semba-rangan. Buru-buru ia menyodorkan telapak tangan¬nya dan Poan San lalu menuang sedikit obat bubuk itu di atas telapaknya.

Sesudah menerima budi itu, menurut peraturan dalam kalangan Kang-ouw, Ong-sie Heng-tee tak boleh mengganggu lagi Ouw Hui yang berada di bawah perlindungan Tio Poan San.

Sesudah memberi obat, sembari menggendong kedua tangannya, Poan San berjalan mundar-man-dir di ruangan itu. "Kita yang belajar ilmu silat, ada yang lebih tinggi kepandaiannya dan ada juga yang lebih rendah," katanya dengan suara nyaring. "Bagi seorang manusia, yang terutama adalah hati yang mulia dan perbuatan yang baik. Jika kita dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang tak mem-bikin kita malu terhadap Langit dan Bumi, maka tinggi ceteknya ilmu silat tidak menjadi soal. Mem-punyai kepandaian tinggi, tentu saja sangat baik, tapi walaupun kita hanya mempunyai kepandaian cetek, kita toh akan tetap dihormati orang. Aku, si orang she Tio, paling membenci perbuatan yang tak mengenal malu, paling membenci manusia rendah yang menjual sahabat untuk memperoleh ke-mewahan." Suaranya semakin keras, sedang kedua matanya mengawasi Tan Ie yang terus menunduk  untuk menghindari bentrokan mata.

Selagi menunduk, sekonyong-konyong Tan Ie terkesiap bagaikan dipagut ular dan bulu romanya bangun semua. Kenapa? Ternyata, sesudah menyambut tujuh piauw yang dilepaskan oleh Siang Loo-tay, Tio Poan San melemparkan semua piauw itu di atas lantai. Salah satu di antara benda-benda itu diambil Ouw Hui untuk melukai Ong Kiam Eng, sedang enam yang lainnya masih tetap berhamburan. Di waktu ber-jalan mundar-mandir, Tio Poan San sengaja me-ngerahkan tenaga dalamnya ke dua kakinya dan menginjak enam buah piauw itu yang lantas saja melesak masuk ke dalam ubin! Itulah lantarannya Tan Ie jadi bergidik. Dengan berbuat begitu, Tio Poan San bermaksud memperingatkan Siang Loo-tay supaya dia jangan menggunakan lagi senjata beracun dan memperingatkan semua orang supaya jangan mencampuri urusannya dengan Tan Ie.

Tan Ie mengawasi ke sekitar ruangan. Ong-sie Heng-tee sedang repot membungkus luka, Siang Loo-tay dan Siang Po Cin berdiri bengong dengan muka pucat, Ma Heng Kong tengah memanggut-manggutkan kepalanya, sedang In Thiong Shiang menggertak gigi dengan paras muka ketakutan.

Ia mengerti bahwa sudah tak ada kawan yang berani membantu padanya. Dalam bingungnya, ia menjadi nekat. "Baiklah!" ia berteriak. "Dalam wak¬tu senang, banyak saudara, banyak sahabat. Tapi had ini, selagi aku si orang she Tan didesak oleh seorang bangsat besar, tak seorang sahabat yang berani muncul. Orang she Tio! Kita tak usah pergi  ke luar. Di sini saja kita bergebrak." Baru saja Tio Poan San ingin menjawab "baik", sekonyong-konyong ia merasakan suatu kesiuran angin di belakangnya. Ia tahu, itulah sambaran senjata rahasia. "Bagus!" Ia berseru dan tanpa me-nengok, sebelah tangannya diulur ke belakang. Di lain detik, dua jerijinya sudah menjepit sebatang Huito (golok terbang) yang kecil. Ketika sedang menjepit, ia merasakan sambaran tenaga Yang-kong (tenaga "keras" dan sesudah menjepit, Huito itu agak tergetar di antara kedua jerijinya. Itulah timpukan yang agak berbeda dari timpukan Siauw-lim-pay di Hokkian.

"Sahabat!" katanya sembari tertawa. "Ternyata kau adalah Siauw-lim-sie di Siongsan. Siapakah gurumu?" Orang yang menimpuk itu benar saja adalah Ouw Poan Jiak, seorang ahli silat dari Siauw-lim-pay di Siong-san! Bahwa tanpa menengok dan tanpa melihat penimpuknya, Tio Poan San sudah dapat menangkap Huito itu dan mengetahui siapa yang melepasnya, benar-benar sudah mengejutkan se¬mua orang.

Setelah dibokong, Tio Poan San jadi berpikir. "Baru saja Ang-hoa-hwee menyingkir ke Hui-kian beberapa tahun, namanya sudah tak begitu ce-merlang lagi seperti dulu," pikirnya. "Dalam usaha melindungi seorang bocah dan mengajak keluarnya seseorang, aku terus dihalang-halangi. Jika tidak memperlihatkan ke-angkeran, bisa-bisa orang akan memandang rendah seluruh Ang-hoa-hwee." Memikir begitu, lantas saja ia berseru: "Sa¬habat! Berdirilah biar tegak dan jangan bergerak!"  Sebelum Ouw Poan Jiak sempat menyahut, Tio Poan San mengayun kedua tangannya beberapa kali, kemudian memutarkan badannya dan meng-ayunkan pula tangannya berulang-ulang. Dan... ber-bareng dengan terayunnya tangan itu, macam-ma-cam senjata rahasia, seperti Huito, Kimpiauw, pa-nah tanah, batu Hui-hong-sek, Thie-lian-cie, Kim-chie-piauw dan sebagainya, menyambar-nyambar ke arah Ouw Poan Jiak! Ong Kiam Eng terperanjat. "Tio-heng!" ia ber-teriak. "Jangan menurunkan tangan yang kejam!" "Benar," sahutnya. "Aku pun tidak ingin berlaku kejam." Ketika semua mata ditujukan ke arah Ouw Poan Jiak, semua orang jadi terpaku dan ternganga. Ternyata, Ouw Poan Jiak berdiri mepet di tembok dan di sekitar tubuhnya tertancap macam-macam senjata rahasia itu, tapi tidak satu pun yang me-ngenakan kulit badannya. Ouw Poan Jiak sendiri jadi terbang semangatnya dan sesudah beberapa saat, barulah ia menyingkir dari tembok itu. Ketika menengok, ia melihat puluhan senjata rahasia itu yang menancap di tembok, merupakan peta badan manusia.

Sukar sekali dilukiskan perasaan Ouw Poan Jiak diwaktu itu, Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia menyoja dalam-dalam di hadapan Tio Poan San dan kemudian, ia keluar dari pintu dengan tindakan lebar, tanpa meminta did dari siapa pun juga.

Kejadian itu sekaan-akan merupakan keputus-an hukuman mati untuk Tan Ie. Siapa lagi yang berani membantu dia? Setelah mengetahui jiwanya tak akan tertolong lagi, Tan Ie menjadi nekat.

"Sedari dulu, pembesar negeri dan kawanan pe-rampok memang tak dapat menginjak bumi ber-sama-sama," katanya dengan suara keras. "Biarlah aku mati untuk membalas budi Hok Kongcu." Tio Poan San menjadi gusar sekali. Ia me¬nengok ke arah Ong Kiam Eng dan berkata: "Bahwa dalam Thay-kek-bun muncul manusia keji, itu ada-lah suatu kejadian yang sangat memalukan bagi partai kami. Sebenarnya-benarnya, urusan ini hen-dak kuselesaikan secara diam-diam, tanpa diketahui oleh orang luar. Tapi binatang itu agaknya mau mendesak supaya aku berterus terang terhadap dunia luar." Dengan sebenarnya, Tan Ie sendiri tidak me¬ngetahui, kedosaan apa yang telah dibuatnya ter¬hadap Tio Poan San. Dia adalah seorang yang berhati-hati dan sangat licik, tak gampang-gampang mau menanam permusuhan dengan siapapun juga. Maka itu, lantas saja ia menyambungi: "Benar! Dalam dunia, yang paling terutama adalah keadilan. Biarlah kau menyebutkan segala kesalahanku, su¬paya semua orang dapat mempertimbangkannya." "Hm!" gerendeng Cian-chiu Jielay sembari me-nunjuk gadis cilik yang dibawanya. "Apakah kau kenal adik kecil ini?" tanyanya.

Tan Ie menggelengkan kepalanya, "Tak kenal, belum pernah aku bertemu dengan dia," jawabnya.

"Tapi kau tentu kenal ayahnya," kata pula Tio Poan San. "Dia adalah puteri Lu Hie Hian, di Kongpeng." Begitu tiga perkataan "Lu Hie Hian" itu keluar dari mulut Tio Poan San, paras muka Tan Ie menjadi pucat seperti kertas. "Oh!" kata beberapa orang dan semua mata segera ditujukan kepada gadis itu.

Gadis itu bam saja berusia dua belas atau tiga belas tahun, tapi parasnya diliputi awan pende-ritaan. la menuding Tan Ie dan berteriak: "Kau tak kenal aku? Tapi aku kenal kau! Malam itu, ketika kau membunuh saudaraku, ayahku, aku mengintip di luar jendela. Setiap malam dalam mimpi, aku selalu melihat cecongormu!" Setiap perkataan yang keluar dari mulut si nona, tandas setandas-tan-dasnya. Sebagai orang yang berdosa, Tan Ie hanya dapat mengeluarkan beberapa perkataan, "Ah"!.

Tio Poan San lalu menyoja kepada semua ha-dirin dan berkata dengan suara nyaring: "Apa yang dikatakan oleh manusia she Tan ini, adalah tepat sekali. Dalam dunia, yang paling terutama adalah keadilan. Sekarang, ijinkanlah aku menuturkan se-gala kejadian dari kepala sampai di buntut, agar sekalian saudara dapat mempertimbangkannya. Se¬bagai kalian tahu, di antara tiga Suheng-tee (sau¬dara seperguruan) dari Thay-kek-bun di Kongpeng, adalah Lu Hie Hian, yang paling kecil, yang mem-punyai kepandaian paling tinggi. Eh, orang she Tan! Pernah apakah kau dengan Lu Hie Hian?" Tan Ie menunduk dan menjawab dengan suara perlahan: "Susiokku!" (paman guru. Sembari men¬jawab begitu, ia mengasah otak untuk mencari jalan kabur).

"Benar," kata Tio Poan San. "Lu Hie Hian adalah Susioknya. Aku sendiri tidak kenal padanya. Dia adalah Kauwcu-ya (tuan guru) dari Cin-ong-hu (gedung raja muda) di Pakkhia. Kami, orang-orang dusun, mana bisa berkenalan dengan orang-orang besar?" kata-katanya mengesankan, bahwa di dalam hatinya, ia merasa sangat tidak senang. Akan tetapi, sebagai se orang mulia, dengan memandang muka si gadis cilik, ia hanya berkata sampai di situ.

Sesudah berdiam beberapa saat, Poan San me-nyambung penuturannya: "Semenjak hidup meng-asingkan diri di Huikiang, aku tidak mengetahui pula segala sengketa dalam Rimba Persilatan di daerah Tiong-goan. Tapi, pada suatu hari, nona ini datang kepadaku dan sembari berlutut serta me-nangis, ia meminta bantuanku. Nona! coba ke-luarkan dua rupa barang itu supaya dapat dilihat oleh para paman." Gadis itu segera menurunkan sebuah bung-kusan yang digendong di punggungnya. Dengan hati-hati ia membuka bungkusan itu. Begitu bung-kusan itu terbuka, semua orang jadi terkejut. Di bawah sinar lilin, mereka melihat sepasang tangan manusia yang sudah kering dan selembar kain putih dengan tulisan darah! "Coba ceritakan segala kejadiannya, supaya bisa diketahui oleh semua orang," kata Poan San pula dengan suara kasihan.

Sembari mencekal kedua tangan manusia yang kering itu, air mata si nona mengucur deras. "Pada suatu malam," ia mulai. "Selagi ayahku rebah di pembaringan dengan menderita sakit, manusia she Tan itu datang dengan mengajak tiga kawan yang bertubuh tinggi besar. Ia mengatakan, bahwa atas perintah Ongya (raja muda), ia ingin mendapatkan rahasia Kiu-toa-koat (sembilan teori) dari Thay-kek-kun. Entah bagaimana, mereka jadi bertengkar. Adik lelakiku menangis karena ketakutan. Manusia she Tan itu segera mencengkeram adikku dan sam bil membaling-balingkan pedangnya, ia menggentak ayah. Katanya, jika ayah tak meluluskan permin-taannya, ia akan membinasakan adik. Ayah menge-luarkan beberapa perkataan yang tidak dimengerti olehku. Dan... dia... dia lantas membunuh adik!" Kata-kata itu ditutup dengan suara sesambat yang memilukan hati.

"Manusia begini jahat, kenapa tidak lantas di-mampuskan!" teriak Ouw Hui tanpa merasa.

Sesudah menyusut air matanya, si nona berkata pula: "Belakangan, ayah bertempur dengan mereka. Tapi, karena mereka berjumlah lebih besar, ayahku kalah dan dibinasakan. Belakangan lagi, Sun Peh-peh datang berkunjung dan aku lalu mencerita-kan...." "Sun Pehpeh itu adalah Sun Kong Hong, Ciang-bunjin (Pemimpin) dari Thay-kek-bun di Kong-peng," celetuk Tio Poan San. Sun Kong Hong adalah nama yang tidak kecil dan dikenal oleh semua orang, yang lantas saja memanggut-manggut-kan kepala mereka.

"Sesudah berpikir beberapa hari," si nona me-nyambut penuturannya. "Sun Pehpeh memanggil aku. Mendadak, dengan golok ia membacok putus tangan kirinya. Dengan darahnya sendiri, ia menulis surat di atas kain putih itu. Sesudah itu, ia rae-letakkan golok itu di atas meja dan membenturkan tangan kanannya ke mata golok, sehingga tangan itu menjadi putus. Ia... ia menyuruh aku pergi ke Huikiang untuk mempersembahkannya kepada Tio Pehpeh. Ia berkata... dalam Thay-kek-bun, hanya Tio Pehpeh seorang yang bisa menolong mem-balaskan sakit hati itu...."  Semua orang jadi saling mengawasi dengan mulut ternganga. Itulah kejadian yang hebat dan menyedihkan, mereka semua merasa kasihan ter-hadap gadis cilik itu.

"Sun Kong Hong memang kukenal," kata Tio Poan San. "Dulu, karena memandang rendah ke-padaku, ia pernah datang di Unciu untuk mengadu silat. Tak dinyana, pertandingan itu sudah mem-bikin ia ingat akan diriku." Dari keterangan ter¬sebut, orang bisa menarik kesimpulan, bahwa Sun Kong Hong sudah dirubuhkan dalam pertandingan tersebut.

"Dalam surat darahnya, Sun Kong Hong mem-beritahukan, bahwa ia adalah Ciangbun (pemimpin) dari Thay-kek-bun di Pakkhia," Tio Poan San me-nerangkan pula. "Ia mengatakan, bahwa kepan-daiannya tidak cukup tinggi untuk memberi hu-kuman kepada murid murtad she Tan itu. Dari sebab itu, ia mengutungkan kedua tangannya untuk dipersembahkan kepadaku, si orang she Tio. Akhir-nya, dengan disertai pujian, ia meminta bantuanku. Hm! Sesudah menerima sepasang tangan itu dan sebuah topi besar (pujian), walaupun andaikata, aku tak mengenal padanya, aku masih membantu juga." Muka Tan Ie pucat seperti kertas, tapi ia masih coba membela diri: "Surat darah itu belum tentu ditulis oleh Sun Supeh. Coba kulihat." Sembari berkata begitu, ia menghampiri Nona Lu untuk meneliti surat darah tersebut.

Mendadak, di luar dugaan semua orang, ba-gaikan kilat ia menghunus sebilah pisau belati yang lantas saja ditodongkan ke punggung si nona. "Baiklah kita mampus bersama-sama!" ia berseru.

Ituiah perubahan yang benar-benar mengejut-kan. Tio Poan San meloncat untuk menolong, tapi Tan Ie mencengkeram erat-erat leher Lu Siauw Moay dan membentak: "Maju lagi setindak, kaulah yang membinasakan jiwa anak ini." Diluar kehendaknya, Poan San mundur setin¬dak. Ia bingung, tak tahu harus berbuat apa. "Ah! Jika Cit-tee (adik ketujuh) berada di sini, ia tentu tahu, tindakan apa yang harus diambil," katanya di dalam hati. Harus diketahui, bahwa sebagai manusia yang berhati tulus, Tio Poan San kebanyakan kalah jika berhadapan dengan kaum siauwjin (manusia rendah). Maka itu, dalam bingungnya, ia ingat ke¬pada adik ketujuhnya Bu Cukat Cie Thian Hong (karena pintarnya, Cie Thian Hong mendapat ge-laran Bu Cukat, yaitu Cukat Liang yang kesohor pandai di jaman Samkok).

Tan Ie menekankan pisaunya, sehingga me-robek baju Lu Siauw Moay dan mata pisau mengenai kulit anak itu. Dengan demikian Tio Poan San tidak dapat memukul jatuh pisau itu dengan senjata rahasianya.

Kemudian sembari mengawasi Poan San, ia berkata: "Tio Samya, kau dan aku sebenarnya tidak mempunyai ganjalan suatu apa. Meskipun kau me-nimpuk kedua mataku dengan senjata rahasia, aku tak akan membalasnya." Ketika itu, Poan San mencekal dua buah piauw dalam tangannya dan memang benar ia sedang menimbang-nimbang untuk menimpuk kedua mata Tan Ie. Asal Tan Ie mengegos atau menyampok, ia bisa membarenginya begerak untuk menolong Lu Siauw Moay. Tapi, tak dinyana, orang she Tan itu sudah dapat membaca pikirannya.

Sesaat itu, seluruh ruangan menjadi sunyi senyap.

Dengan kedua mata tetap mengawasi Tio Poan San, Tan Iebicara kepada kedua saudara Ong. "Ong Jieko," katanya. "Apakah kalian tahu, sebab apa hari ini Tio Samya mendesak aku sampai begitu hebat?" Sebagai rekan yang bekerja kepada satu ma-jikan, meskipun tidak bisa dikatakan bersahabat, kedua saudara Ong itu mempunyai hubungan yang baik juga dengan Tan Ie.

Kalau bukan karena merasa jeri, sedari tadi juga mereka tentu sudah coba membujuk.

Maka itu, mendengar pertanyaan Tan Ie, Ong Kiam Eng lantas saja berkata: "Menurut keterangan Tio Samya, ia pun diminta tolong oleh orang lain. Belum tentu, ia sendiri mengetahui duduknya per-soalan sejelas-jelasnya. Memang mungkin sekali, dalam hal ini terselip salah mengerti." Tan Ie tertawa dingin. "Salah mengerti sih tak ada," katanya. "Ong Toako, sebagaimana kau tahu, sebelum bekerja pada Hok Kongcu, lebih dulu aku bekerja di gedung Heng Cin-ong." "Benar," kata Ong Kiam Eng. "Adalah Heng Cin-ong yang memujikan kau kepada Hok Kongcu." Tan Ie manggutkan kepalanya dan berkata pula: "Seperti yang dikatakan Tio Samya, memang benar aku sudah melukai ayah nona itu. Akan tetapi, aku berbuat begitu atas perintah Ongya. Kau dan aku sama-sama menjadi kuli orang. Jika majikan memerintah, apakah kau bisa membantah?" "Ah, kalau begitu, tak bisa terlalu menyalahkan  kau," Kiam Eng membantu.

Harus diketahui, bahwa sesudah menerima su-rat darah, bersama Lu Siauw Moay, Tio Poan San segera pergi ke Kongpeng. Oleh karena tidak dapat mencari Sun Kong Hong di kota itu, mereka terus menuju ke kota raja. Sesudah menyelidiki sekian lama, baru Poan San mendengar, bahwa Tan Ie turut mengiring Hok Kongcu ke Tiongkok Selatan.

Kuda yang ditunggangi Poan San adalah kuda Lok Peng, yaitu Gin-song Tui-tian-kauw (si Arus listrik berwarna perak) yang larinya cepat luar biasa. Dalam dua hari saja, dari Pakkhia ia sudah mengejar sampai di Siang-kee-po. Maka itu, duduknya per-soalan yang sejelas-jelasnya, ia masih belum tahu. Di tengah jalan, beberapa kali ia coba mencari tahu dari Lu Siau Moay. Tapi, baru mengucapkan be¬berapa patah, gadis cilik itu yang tidak pandai menurut, sudah keburu menangis, sehingga Poan San tidak tega menanya terlalu terbelit-belit.

Sekarang, mendengar Tan Ie bersedia untuk memberikan penjelasan, hatinya merasa senang. "Baiklah," katanya. "Kau tadi berkata, bahwa dalam dunia ini, yang paling terutama adalah keadilan. Kau sudah mengakui, bahwa Lu Hie Hian adalah paman gurumu. Sepantasnya, biarpun ia berdosa besar, tak boleh kau membinasakan padanya." Sesaat itu, keberanian Tan Ie sudah pulih kem-bali. Ia merasa pasti, bahwa dihari ini, ia akan bisa meloloskan diri. Akan tetapi, ia yakin, bahwa jika hatinya tidak dibikin puas, Tio Poan San tentu akan merasa penasaran dan akan terus mengejar-ngejar dirinya. Maka itu, tujuannya yang terutama adalah memuaskan Tio Poan San, supaya ia tidak me rupakan bahaya lagi di hari kemudian.

"Tio Samya," katanya. "Kau adalah seorang ksa-tria yang tulus dan bersih. Terus-terang aku ingin memberitahukan, bahwa sekali ini kau sudah kena ditipu Sun Kong Hong!" Tio Poan San terkejut. "Apa?" ia menegas.

"Dulu," Tan Ie menerangkan. "Sun Couwsu (kakek guru) dari Thay-kek-bun di Kongpeng mem-punyai tiga orang murid. Sun Supeh murid pertama, ayahku murid kedua, sedang Lu Susiok murid ke-tiga. Mereka bertiga tidak akur. Aku rasa, Tio Samya sudah mengetahui hal ini." Sebenarnya Tio Poan San tidak mengetahui, tapi sebagai orang yang sudah mencampuri urusan itu, ia merasa jengah untuk mengakuinya. Maka itu, ia hanya berkata: "Habis bagaimana?" "Lu Susiok adalah pentolan Thay-kek-bun ca-bang Utara," Tan Ie meneruskan penuturannya. "Aku sendiri sangat mengagumi kepandaiannya. Ia menjadi guru silat di gedung Heng-ong, tapi rahasia Thay-kek-kun sedikit juga ia tidak turunkan kepada Ongya (raja muda). Heng-ong adalah seorang yang suka sekali kepada ilmu silat. Melihat liciknya Lu Susiok, raja muda itu jadi merasa mendongkol. Beberapa kali ia mendesak dan oleh karena terlalu didesak, Lu Susiok lantas saja minta berhenti. Maka itu, Heng-ong telah mencari aku dan minta aku menjelaskan arti Loan-hoan-koat dan Im-yang-koat (dua teori silat) dari Thay-kek-kun. Hanya sungguh menyesal, mendiang ayahku tidak mempunyai ke-pandaian yang tinggi dan siang-siang sudah me-ninggal dunia, sehingga bisa dikatakan, bahwa ia sama sekali tidak mewariskan kepandaian apa-apa  kepadaku. Heng-ong lantas saja memerintahkan, supaya aku meminta penjelasan dari Lu Susiok." Tio Poan San manggut-manggutkan kepalanya. "Menurut peraturan Thay-kek-bun cabang Selatan dan cabang Utara, rahasia ilmu silat dari partai tersebut tidak boleh diturunkan kepada orang bang-sa Boan," katanya di dalam hati. "Bahwa Lu Hie Hian sungkan menurunkan rahasia itu kepada Heng-ong, adalah keterangan yang rasanya benar." Sembari menarik paras muka sungguh-sungguh. Tan Ie melanjutkan penuturannya: "Sesudah men-dapat perintah, bersama tiga sahabat, aku berkun-jung ke rumah Lu Susiok. Waktu itu, Lu Susiok sedang sakit berat dan ia jadi berangasan sekali. Sesudah bertengkar sedikit, mendadak ia memukul dengan pukulan yang membinasakan. Tio Samya, coba kau pikir: Dengan ilmu silatku yang sangat cetek, mana mungkin aku dapat mencelakakan ahli silat nomor satu dari Thay-kek-kun di Kongpeng?" "Tapi kenapa ia jadi mati?" tanya Tio Poan San.

"Sebagaimana Tio Samya mengetahui, Lu Su¬siok memang lagi sakit," jawabnya. "Dalam per-cekcokan itu, secara tidak sengaja, aku sudah me-ngeluarkan kata-kata yang agak berat. Ia menjadi sangat gusar, diwaktu mau menyerang, kakinya ter-peleset dan lantas jatuh. Aku coba menolong, tapi sudah tidak keburu." Kentara sekali, bahwa dalam karangan Tan Ie terdapat bagian-bagian yang lemah. Baru saja Tio Poan San ingin mendamprat, Lu Siauw Moay sudah berteriak sekuat suaranya: "Ayahku binasa dipukul olehnya! Ayahku...." Ia tak bisa meneruskan per-kataannya, karena lehernya dipencet keras oleh  Tan le.

Tio Poan San menjadi gusar bukan main. "Dusta!" ia membentak. "Di satu pihak, kau mengatakan Susiokmu sedang menderita penyakit berat, tapi dilain pihak, kau mengaku tak bisa menandingi Susiokmu yang sedang sakit berat. Apakah mungkin begitu? Disamping itu, apakah dosa anak kecil itu yang sudah dibinasakan juga olehmu? Hayo, lepas!" "Tio Samya," kata Tan le. "Kau bertempat ting-gal di tempat yang jauhnya laksaan li. Mana kau tahu urusan dalam kalangan kita? Aku merasa, paling baik kita masing-masing mengurus urusan sendiri." Sembari bicara, perlahan-lahan ia mendekati pintu. Kedua mata Tio Poan San seolah-olah me-ngeluarkan api bahna gusarnya, tapi ia tidak berani merintangi karena khawatir Lu Siauw Moay dilukai.

Harus diketahui, bahwa sesudah melalui perja-lanan begitu jauh dengan bersama-sama menung-gang seekor kuda, Tio Poan San sudah memandang gadis cilik itu seperti puterinya sendiri. Walaupun masih berusia sangat muda, Lu Siauw Moay mem-punyai adat yang keras dan kukuh. Seorang diri, tanpa memperdulikan segala penderitaan, ia pergi ke Huikiang untuk mencari Tio Poan San. Ke-sukaran-kesukaran yang dialaminya dalam perjalan-an, jangankan seorang gadis cilik, malah seorang lelaki gagah pun belum tentu dapat mengatasinya. Bahwa Tio Poan San sudah bersedia untuk men-campuri urusan itu, sebagian tentu saja disebabkan oleh dua tangan manusia itu, tapi sebagian lagi disebabkan oleh kebaktian Lu Siauw Moay. Dan  semakin lama bergaul, semakin besar cintanya ter-hadap gadis cilik itu.

Sementara itu, jika Tan le mundur lagi berapa tindak, ia akan sudah berada di luar pintu. Kedua kantong Tio Poan San terisi penuh dengan rupa-rupa senjata rahasia, tapi sebatang pun ia tidak berani melepaskan. Sedari tadi, ia menimbang-nim-bang untuk menimpuk kepala Tan le dengan pusut kepala ular yang paling berat. Pusut itu sudah pasti akan mengambil jiwa Tan le, tapi jika sebelum mati, ia mendorong tangannya, Lu Siauw Moay juga akan turut menjadi korban.

Lagi-lagi Tan le mundur setindak.

Pada saat itu, suatu "kembang lilin" mendadak meletus, sehingga penerangan lilin mendadak men¬jadi guram dan di lain saat begitu api lilin sudah menyala lagi sepergi biasa, di belakang Tan le kelihatan berdiri seorang tua.

Orang itu mengenakan jubah panjang warna hijau, kedua matanya dalam, paras mukanya pucat dan apa yang mengejutkan adalah kedua tangannya buntung. Ketika Tan le menengok, orang itu meng-angkat lengannya yang tidak bertangan, sehingga, dalam kagetnya, Tan le meloncat mundur setindak sembari berteriak, "Sun Supeh, kau!" Orang itu tidak menyahut, ia maju beberapa tindak dan segera berlutut di hadapan Tio Poan San. "Tio Samya," katanya dengan suara terharu. "Budimu yang sangat besar, biarlah aku Sun Kong Hong membalasnya dilain penitisan." Tio Poan San segera membalas hormat, tapi matanya terus mengincar Tan le.

"Kau sudah mengambil jiwa, dua orang dari  keluarga Lu," kata Sun Kong Hong. "Aku si orang she Sun sudah tidak memikir untuk hidup terus." la menengok kepada Tio Poan San dan meneruskan perkataannya: "Tio Sam-ya, apa yang dikatakan oleh manusia ini, sudah kudengar semua. Semuanya dusta belaka. Lu sutee telah binasa, gara-gara Loan-hoan-koat dan Im-yang-koat." Tio Poan San melirik Tan Ie dan berkata: "Kalau begitu, Tan-ya sudah mahir dalam kedua Pit-koat (teori ilmu silat) itu. Aku ingin sekali menerima pengajaranmu." "Bukan, bukan begitu," kata Sun Kong Hong. "Dia belum memiliki kedua Pit-koat itu. Dia me-ngetahui, bahwa dalam Thay-kek-kun terdapat sem-bilan Pit-koat dan Loan-hoan-koat serta Im-yang-koat merupakan bagian yang terpenting. Hanya sayang, siang-siang ayahnya sudah meninggal dunia sehingga tidak keburu mewariskan Pit-koat itu ke-padanya. Dengan menggunakan rupa-rupa akal, dia membujuk aku dan Lu Sutee supaya suka me-nurunkan pelajaran itu kepadanya. Akan tetapi, kami selalu menolak karena mengetahui, bahwa dia adalah seorang busuk. Belakangan, dia coba meng¬gunakan pengaruh Heng-ong-ya untuk memaksa, tapi Lu Sutee tetap tak sudi memberikannya. Akhir* nya, selagi Lu Sutee sakit, malam-malam dia me-nyatroni dan mengancam akan membunuh anak Lu Sutee, jika permintaannya tidak diluluskan. Dan secara luar biasa kejamnya, ia membacok anak yang tidak berdosa itu.... Orang she Tan! Katakanlah: Aku bicara benar atau tidak!" Muka Tan Ie menjadi biru keungu-unguan, sepatah pun ia tidak menyahut. Bukan main menyesalnya, bahwa pada detik ia hampir dapat me-loloskan diri, Sun Kong Hong sudah menghadang di tengah jalan.

Sementara itu, Sun Kong Hong sudah berkata pula: "Demikianlah seorang bocah yang mungil, sudah menjadi korban goloknya. Dalam sakitnya, Lu Sutee sudah melawan dia mati-matian dan akhir-nya ia roboh binasa diserang ilmu In-chiu (Tangan awan). Tio Samya, sungguh aku merasa malu, se-bagai Ciangbun, aku tak mempunyai kemampuan, sedang dalam Thay-kek-bun, cabang Utara tidak terdapat orang berkepandaian tinggi. Maka itu, dengan menebalkan muka, aku memohon bantuan cabang Selatan." Ia berpaling kepada Tan Ie dan menyambung perkataannya: "Tan Toaya, bilanglah: Apakah dalam keteranganku ada bagian yang mem-fitnah kau?" Darah Tio Poan San naik tinggi. Ia maju be-berapa tindak seraya membentak: "Dari dulu sampai sekarang, siapa yang ingin memperdalam ilmu, ha-rus berusaha sendiri untuk mencari guru yang pan-dai. Belum pernah aku mendengar adanya manusia vang berhati binatang seperti kau ini!" "Jangan bergerak!" teriak Tan Ie sembari me-mencet dan Lu Siauw Moay lantas saja berteriak kesakitan.

Benar saja Tio Poan San tidak berani bergerak pula.

"Orang she Tio," kata Tan Ie pula. "Jika kau mau mencari aku, datanglah di gedung Hok Ong-hu. Hari ini, kau mesti memerintahkan dia minggir." Tio Poan San berdiam beberapa saat dan akhir-nya, dengan sangat terpaksa, ia berkata: "Sun Su-heng, kau minggirlah!" Sun Kong Hong menjadi bingung. "Kau... kau mau mengampuni dia?" tanyanya dengan suara ter-putus-putus.

"Sun Suheng, legakanlah hatimu," Tio Poan San membujuk. "Sesudah aku mencampuri urusan ini, aku tentu akan mencampuri dari kepala sampai di buntut." Sun Kong Hong jadi semakin bingung, mukanya pucat. "Kau... kau..." katanya.

"Minggirlah," kata pula Poan San. "Jika aku tidak dapat membereskan urusan ini, aku akan mengutungkan kedua tanganku sendiri dan mem-bayarnya kepada kau." Perkataan itu dikeluarkan dengan nada tak bisa berubah lagi, sehingga mau tak mau, Sun Kong Hong segera menyingkir dari tengah pintu sembari mengawasi Tan Ie dengan sorot mata membenci dan gusar.

Pada paras muka Tan Ie lantas saja terlihat sinar kegirangannya. la sudah mengambil keputusan, bahwa begitu terlolos, ia akan kabur ke tempat jauh dan menyembunyikan diri. ia mengawasi Tio Poan San dan berkata: "Tio Samya, tak salah apa yang dikatakan oleh Sun Supeh. Dengan sesungguhnya, aku ingin sekali mempelajari Loan-hoan-koat dan Im-yang-koat dari Thay-kek-bun kita. Jika kau da-tang di Pakkhia, aku akan minta kau memberi petunjuk-petunjuk." Tio Poan San tidak menyahut, tapi mendengar ejekan itu, tentu saja ia merasa panas sekali.

Tan Ie tidak berani memutarkan badan. Setin-dak demi setindak ia mundur sambil menyeret Lu Siauw Moay. Ketika melewati Sun Kong Hong, ia mesem-mesem secara mengejek.

Semua kejadian itu tentu saja diperhatikan oleh Ouw Hui yang turut merasa gusar melihat kelicikan Tan Ie. "Tio Samya telah menolong aku dan se-karang, aku pun tak dapat melihat saja sambil berpeluk tangan," pikirnya. Ia cerdik dan nakal. Dalam sekejap, ia sudah mendapatkan suatu daya bagus.

Pada saat Tan Ie tiba di pintu, ia menghampiri sambil menyeret kursi. "Tan Ie," ia memanggil. "Ada suatu urusan yang ingin kubicarakan dengan kau." Tan Ie terkejut sejenak, tapi demi melihat yang memanggilnya adalah Ouw Hui, hatinya menjadi lega dan ia tidak meladeni.

Ouw Hui mendorong kursi itu, loncat ke atas-nya, menyingsing celana dan lantas kencing! Air kencingnya ditujukan ke arah mata Tan Ie.

Dapat dibayangkan kegusaran Tan Ie pada wak-tu itu. Dalam kalapnya, ia tak dapat berpikir pan-jang-panjang. Sembari menedengi matanya dengan tangan kiri, ia menikam dada Ouw Hui dengan pisaunya yang dicekal di tangan kanan. Sebelum kencing, Ouw Hui sudah menghitung masak-masak apa yang harus dibuatnya. Begitu pisau itu ber-kelebat, kedua tangannya mencekal belakang kursi dan sekali ia melompat, badannya sudah berada di tengah udara, sedang kursi itu menimpa kepala Tan Ie.

"Bangsat!" bentak Tan Ie, sembari menyampok kursi itu dengan tangan kirinya.

Sebelum hinggap di atas lantai, Ouw Hui sudah menubruk Lu Siauw Moay dan dengan sekali menggulingkan diri, ia sudah terpisah kira-kira setengah tombak dari Tan Ie.

Tan Ie terbang semangatnya. Bagaikan kalap, ia menerjang. Tapi Ouw Hui, yang sudah siap sedia, lantas memapakinya dengan suatu tendangan hebat sembari meloncat bangun. Hampir disaat itu juga, dengan ilmu Kong-chiu Jip-pe-to (Dengan tangan kosong masuk di ratusan goiok), ia merebut pisau Tan Ie.

Tan Ie pecah nyalinya. Ia memutarkan badan dan lari ngiprit ke pintu. Tapi... dengan kedua tangan menolak pinggang, Tio Poan San sudah berdiri di tengah-tengah pintu! Ouw Hui tertawa terbahak-bahak. "Kencingku belum habis!" katanya.

Apa yang dilakukan oleh Ouw Hui benar-benar diluar dugaan. Perbuatan Ouw Hui sudah menam-bah kebencian Siang Loo-tay, memperdalam rasa cemburu Ong-sie Heng-tee, membikin malu Ma Heng Kong dan menggusarkan In Tiong Shiang. Tapi, tak perduli bagaimana reaksi mereka, dalam hati kecilnya, semua orang merasa kagum akan kecerdikan bocah nakal itu.

Besar sekali rasa terima kasih Tio Poan San terhadap Ouw Hui, akan tetapi, ia tidak mem-perlihatkan perasaan itu. Ia berpaling kepada Tan Ie dan berkata dengan suara tawar: "Hanya gara-gara Loan-hoan-koat dan Im-yang-koat, kau sudah membinasakan dua manusia. Sebenarnya, tak usah kau berbuat begitu. Kedua Ko-koat (teori ilmu silat yang digubah seperti sajak lagu) itu belum terhitung mustika yang terlalu berharga dalam partai Thay-kek-bun. Meskipun bukan seorang pintar, aku ma sih dapat menghafalkannya. Tadi, kau mengatakan ingin belajar dariku, bukan? Baiklah, sekarang saja aku menurunkan kedua Ko-koat itu." Semua orang menjadi terperanjat. Mereka be¬nar-benar tidak mengerti maksud Tio Samya.

"Sekarang lebih dulu aku menghafal Loan-hoan-koat," katanya. "Dengarkanlah dengan hati-hati." Sehabis berkata begitu, benar saja ia lantas menghafal Ko-koat itu dengan suara nyaring: Ilmu Loan-hoan paling sukar dimengerti, atas bawah bisa bersatu, kelihayannya tiada batasnya, (jika) musuh masuk ke dalam barisan Loan-hoan, tenaga empat tail dapat melontarkan tenaga seribu kati. Tangan kaki maju berbareng, yang lurus menghantam yang miring. Dalam gerakan Loan-hoan, pukulan tak pernah jatuh di tempat kosong. Jika ingin me-nyelami intisari ilmu ini, seseorang harus mengerti titik bergerak dan titik turun." Sun Kong Hong dan Tan Ie saling mengawasi tanpa mengeluarkan sepatah kata. Mereka tahu. bahwa apa yang diucapkan oleh Tio Poan San, memang benar adalah Loan-hoan-koat dari Thay-kek-bun. Diwaktu kecil, Tan Ie pernah mendengar Ko-koat tersebut dari mulut ayahnya, tapi sedikit pun ia tidak mengerti apa maksudnya. dan ia tak nyana, bahwa pada hari itu, ia akan dapat men¬dengar pula Ko-koat tersebut dari mulut Tio Poan San.

Demikianlah, tanpa menghiraukan lagi soal mati hidupnya, lantas saja ia menanya: "Apakah Tio Samya sudi memberi petunjuk mengenai maksud dari Ko-koat itu?"  "Dalam ilmu silat partai Thay-kek-kun kita, setiap pukulan merupakan lingkaran (hoan)," Tio Poan San mulai dengan penjelasannya. "Itulah se-babnya, mengapa teori (ko-koat) ini dinamakan Loan-hoan-koat (Teori lingkaran kalut, Loan ber-arti kalut, Hoan berarti lingkaran dan Koat berarti teori). Harus diketahui, bahwa meskipun pukulan-nya mempunyai bentuk yang tertentu, tapi, per-ubahannya tergantung kepada kecerdasan orang (yang melakukan pukulan itu). Begitu juga, wa-laupun setiap gerakan tangan merupakan lingkaran, akan tetapi, dalam lingkaran itu, terdapat perbe-daan tinggi rendah, maju mundur, keluar masuk, menyerang dan membela. Di samping itu, juga ter¬dapat lingkaran besar, lingkaran kecil, lingkaran rata, lingkaran berdiri, lingkaran miring, lingkaran yang mempunyai bentuk dan lingkaran yang tiada bentuknya. Dalam menghadapi musuh, kita harus bisa merubuhkan yang besar dengan yang kecil, menjatuhkan yang lurus dengan yang miring dan menaklukkan yang berbentuk dengan yang tidak berbentuk. Setiap pukulan yang dikeluarkan, harus mengandung tenaga dalam yang melingkar." Sembari memberi keterangan, ia memberi con-toh-contoh dari macam-macam lingkaran.

Sesudah berdiam beberapa saat, ia segera me-nyambung keterangannya: "Dalam pertempuran, kita menggunakan tenaga yang berbentuk bundar untuk mendorong musuh ke dalam garisan kita yang tiada bentuknya. Sesudah musuh masuk ke dalam garisan tersebut, kita mau dia ke kiri, dia lantas ke kiri, kita mau dia ke kanan dia lantas ke kanan. Sesudah itu barulah dengan menggunakan tenaga  empat tail, kita menghantam musuh yang bertenaga seribu kati. Intisari ilmu silat Thay-kek-kun adalah: Mencari titik gerakan lawan dan menghantam titik turunnya musuh." Semua orang yang berada di dalam ruangan itu, adalah ahli-ahli silat. Keterangan tipis yang disertai dengan contoh-contoh, didengarkan oleh semua hadirin dengan penuh perhatian. Harus diketahui. bahwa ceramah tentang ilmu silat yang seperti itu sungguh-sungguhjarang terdapat dalam Rimba Per-silatan. Apa yang diuraikan oleh Tio Poan San adalah teori dari ilmu silat Thay-kek. Bermula, Ong-sie Heng-tee Siang Loo-tay dan yang Iain-lain tidak begitu memperhatikan, karena Thay-kek-kun adalah berlainan dengan ilmu silat mereka. Tapi, semakin lama mereka jadi semakin ketarik, sebab banyak bagian ceramah Tio Poan San sudah mem-buka pikiran mereka.

Sesudah selesai menerangkan Loan-hoan-koat, Tio Poan San segera berkata: "Kouw-koat (teori yang diucapkan secara lisan) tidak panjang-panjang, ringkas saja. Tapi, apakah bisa menggunakan itu atau tidak, tergantung kepada latihan kita. Apakah kau mengerti?" Bertahun-tahun Tan Ie mengilar, baru sekarang keinginannya terkabul. Bukan saja ia sudah menda-patkan Kouw-koat itu, tapi ia juga mengerti mak-sudnya, berkat penjelasan Tio Poan San. Ia yakin, dengan memiliki Kouw-koat tersebut, bahwa dalam belasan tahun saja, ia sudah akan menjadi guru besar dalam Rimba Persilatan.

Bukan main girang hatinya dan buru-buru ia memohon pula: "Bisakah Tio Samya memberi pen jelasan tentang Im-yang-koat?" "Im-yang-koat juga terdiri dari delapan sajak," kata Tio Poan San. "Dengarlah." Antara para hadirin, In Tiong Shianglah yang mencurahkan perhatiannya kepada uraian itu. la mendengarkan Tio Poan San seperti sedang men-dengarkan gurunya sendiri. Maka itu, ketika Tio Poan San menanya, tanpa merasa ia menjawab: "Baik. Teecu (murid) akan memperhatikannya." Be-gitu mengucapkan perkataan tersebut, ia terkesiap dan paras mukanya menjadi merah. Tapi, karena yang Iain-lain juga sedang memusatkan perhatian mereka kepada Tio Poan San, terpelesetnya lidah In Tiong Shiang tiada yang memperhatikannya.

"Dengarkanlah!" Tio Poan San mulai. "Im-yang dari Thay-kek sedikit sekali dipelajari orang. Di antara menelan-memuntahkan membuka-menutup terdapat kekerasan dan kelembekan. Tengah-su-dut, menerima-melepas boleh sesuka hati. Perubah-an dalam bergerak-berdiam, tak usah dipikirkan. Menghidupkan dan membinasakan, kedua ilmu, di-gunakan dengan berbareng. Berkelit maju dilaku-kan diwaktu bergerak. Tapi bagaimana dengan be-rat-enteng, berisi-kosong? Dalam berat kelihatan enteng dapat dipertahankan lama." Im-yang-koat adalah suatu teori yang Tan Ie belum pernah mendengar dari siapapun juga. Tapi ia sekarang sudah tidak sangsi lagi dan terus men¬dengarkan dengan penuh perhatian.

Sesudah menghafal Kouw-koat, sembari mem-beri contoh dengan gerakan-gerakannya, Tio Poan San berkata pula: "Dalam segala apa di dunia ini terdapat dua  unsur: Im dan Yang. Im-yang dalam dunia silat adalah lembek-keras, lurus-bengkok, atas-bawah, kiri-kanan, depan-belakang dan sebagainya (Im-yang berarti negatif positif). Lurus adalah Yang, bengkok adalah Im, atas adalah Yang, bawah adalah Im. Jika memencarkan tangan, yang paling penting adalah Tun-hoat (Ilmu menelan). Kita mengguna-kan tenaga keras untuk memukul, seperti cara-cara seekor ular menelan mangsanya. Jika merangkap-kan tangan, yang paling penting adalah Touw-hoat (ilmu memuntahkan). Kita menghantam musuh de¬ngan tenaga lembek, seperti seekor kerbau me¬muntahkan rumput. Leng (dingin), Kie (cepat). Koay (lincah, gesit) dan Cui (getas, nyaring) adalah empat bagian dari Chia-hong (tengah-tengah). Hie berarti empat sudut atau empat pinggiran. Maka itu, dalam pertempuran, kita harus menghantam bagian Hie (pinggiran atau sudut) dari musuh de¬ngan menggunakan Chia (tengah-tengah) kita. Jika Chia dilawan dengan Chia, yaitu artinya kekerasan dilawan dengan kekerasan, seorang yang masih ber-usia muda dan belum cukup tenaganya, tentu akan mendapat kekalahan." Mendengar keterangan Poan San yang terakhir, Ouw Hui terkesiap. "Apakah perkataannya itu di-tujukan kepadaku?" tanyanya di dalam hatinya. "Apakah tak mungkin, ia ingin menunjukkan ke-keliruanku, bahwa dalam pertempuran melawan Ong Kiam Eng, sebenarnya tak boleh aku meng¬gunakan kekerasan untuk melawan kekerasan?" Tapi mata Tio Poan San sama sekali tidak melirik-lirik Ouw Hui dan dengan sikap tenang, ia terus memberi penjelasan-penjelasan dengan con toh-contohnya.

Kata Poan San: "Jika kita menggunakan Sudut untuk melawan Sudut, maka dalam ilmu silat, cara itu dilukiskan dengan kata-kata begini: Enteng la-wan enteng, semua gagal. Maka itu, apa yang kita harus lakukan adalah: Dengan Berat kita memukul keentengan musuh, dengan Enteng kita mengelit Beratnya musuh. Mengenai San-cin (berkelit maju) dapatlah dijelaskan seperti berikut: Di waktu kita mengelit serangan musuh, dengan berbareng, kita harus maju menyerang. Begitu juga, di waktu kita maju menyerang, dengan berbareng kita juga harus berkelit dari majunya (serangan) musuh. Inilah yang dinamakan: Hong-san-pit-cin, Hong-cin-pit-san (Berkelit sembari maju, maju sembari berkelit). Demikianlah dapat dikatakan, Berkelit adalah Maju, Maju adalah Berkelit. Seseorang yang sudah dapat membedakan arti menyerang dan membela diri, adalah seorang yang sudah memperoleh ilmu silat kelas utama." Mendengar penjelasan itu, Ouw Hui seolah-olah baru mendusin dari tidurnya. "Jika aku sudah mengetahui intisari ilmu silat itu, belum tentu aku dikalahkan oleh kedua saudara Ong," katanya di dalam hati.

Tio Poan San yang agaknya sedang bergembira, lantas saja menyambung ceramahnya: "Dalam ilmu silat, Tenaga (Lek) mempunyai laksaan perubahan. Tapi, dalam garis besarnya, ada tiga macam tenaga, yaitu enteng, berat dan kosong. Lebih baik meng¬gunakan tenaga enteng daripada yang berat, lebih baik menggunakan tenaga kosong daripada tenaga enteng. Dalam Kun-koat terdapat kata-kata seperti  berikut: Sepasang berat, jalan buntu. Satu berat, selalu berhasil.

"Apakah artinya itu? Sepasang berat berarti tenaga diadu dengan tenaga, atau dengan perkataan lain, kedua belah pihak menggunakan tenaganya yang sebesar-besarnya. Dalam pertandingan sema-cam itu, orang yang bertenaga lebih besar tentu akan dapat mengalahkan lawannya yang bertenaga lebih kecil. Satu berat mempunyai arti begini: De¬ngan menggunakan tenaga kita yang kecil, kita menghantam bagian musuh yang tidak ada tenaga¬nya. Memukul secara begitu, setiap pukulan tentu mesti berhasil. Seorang ahli silat adalah, seorang yang bisa membikin tenaga musuh yang besar selalu jatuh di tempat kosong." Dengan teliti, Tio Poan San memberi contoh-contoh, antaranya banyak sekali pukulan dan ge-rakan yang digunakan dalam pertempuran antara Ong Kiam Eng dan Ouw Hui. la memberi contoh, dengan cara apa, pukulan musuh dapat digagalkan dan bagaimana dengan suatu pukulan, musuh dapat dirubuhkan.

Mendengar dan melihat sampai di situ, Ouw Hui mendadak sadar. la sekarang yakin, bahwa Tio Poan San sebenarnya sedang menurunkan pelajar-an kepadanya.

Memang juga, adalah sangat ganjil jika benar Poan San mau menurunkan rahasia ilmu silat Thay-kek-kun kepada seorang murid murtad seperti Tan Ie. Ketika menyaksikan pukulan-pukulan Ouw Hui, ia segera mengetahui, bahwa, biarpun bocah itu mempunyai pukulan-pukulan aneh, sedalam-dalam-nya ia belum dapat menyelami pokok dasar ilmu  silat. la menduga, bahwa bocah itu belum mendapat petunjuk-petunjuk guru yang pandai.

Dalam Rimba Persilatan terdapat banyak sekali peraturan, misalnya, seorang ahli silat tak akan mau memberikan petunjuk kepada murid partai lain atau cabang. Lantarannya adalah bahwa guru dari murid tersebut bisa merasa tersinggung dan sebagai aki-batnya, sering sekali terjadi ganjalan atau ben-trokan.

Tio Poan San tentu saja tidak mengetahui, bahwa Ouw Hui tidak mempunyai guru dan seluruh kepandaiannya didapatkan berkat usahanya sendiri dengan mempelajari Kun-keng yang diwariskan oleh mendiang ayahnya. Hati Tio Poan San yang mulia merasa sayang sekali, bahwa ibarat batu giok, Ouw Hui adalah giok yang belum digosok. Maka dengan menggunakan kesempatan itu, yang muncul dari permintaan Tan Ie, ia segera memberikan penjelasan mengenai Loan-hoan-koat dan Im-yang-koat.

Setiap perkataannya dan setiap gerakannya di-tujukan kepada Ouw Hui. Ia menduga, bahwa se¬bagai orang yang cerdas, Ouw Hui tentu dapat menangkap maksudnya. Dan dugaannya tidak me-leset. Mengenai Ong Kiam Eng, Ma Heng Kong dan yang Iain-lain, ia merasa, bahwa berhubung dengan usia mereka yang sudah lanjut, belum tentu mereka bisa menarik banyak keuntungan dari ke-terangan itu.

Dengan adanya petunjuk itu, dikemudian hari Ouw Hui menjadi ahli silat kelas utama dalam jamannya.

Sesudah selesai, Tio Poan San segera berkata  kepada Tan Ie: "Bagaimana? Apakah keteranganku benar?" "Sesudah diberi petunjuk, otakku jadi terbuka," jawabnya. "Jika siang-siang aku mengetahui bakal terjadi kejadian seperti di hari ini, aku tentu tak akan memohon-mohon kepada Sun Supeh dan Lu Susiok." "Ya," kata Tio Poan San dengan suara tawar. "Jika kau sudah tahu siang-siang, kau tentu tak merasa perlu untuk mengambil jiwa dua orang ma-nusia." Tan Ie terkesiap. Perkataan itu seolah-olah segayung air dingin yang mengguyur punggungnya. "Barusan baik-baik ia menurunkan ilmu kepadaku, kenapa ia menimbulkan lagi soal itu?" ia menanya diri sendiri. Ia mengawasi Ong-sie Heng-tee, In Tiong Shiang dan yang Iain-lain, tapi mereka itu tidak memberi sambutan apapun juga.

"Tan-ya," kata Poan San. "Kedua Kun-koat itu telah diturunkan kepadamu olehku sendiri. Aku khawatir kau belum mengerti, bagaimana cara menggunakannya. Maka itu, marilah kita tui-chiu (adu tangan, berlatih)." Tui-chiu adalah semacam latihan yang biasa digunakan oleh orang-orang partai Thay-kek-bun. Tan Ie merasa takut, tapi ia tidak berani menolak. "Tio Samya," katanya. "Ilmu silatku adalah ilmu pasaran. Harap kau suka berlaku murah hati." Paras muka Tio Poan San lantas saja berubah menyeramkan. "Lu Hie Hian, ahli nomor satu dari Thay-kek-bun cabang Utara, sudah binasa dalam tangan tuan," katanya. "Bagaimana bisa dikatakan, ilmu tuan adalah ilmu pasaran. Siaplah!" Sembari  berkata begitu, ia menyerang dengan pukulan Chiu-hui-pipee (Dengan tangan menabuh pipee, sema-cam alat musik seperti gitar).

Buru-buru Tan Ie membela diri, tapi baru saja beberapa jurus, silatnya sudah kena ditindih. Meski-pun dalam Thay-kek-bun terdapat perbedaan ca-bang, yaitu cabang Utara dan cabang Selatan, akan tetapi, pada pokoknya kedua cabang itu berakar satu, sehingga menang kalahnya kedua orang itu diputuskan oleh tinggi rendahnya keahlian mereka. Lewat lagi beberapa jurus, kedua tangan Tan Ie seolah-olah sudah "lengket" di tangan Tio Poan San.

Ketika itu, Sun Kong Hong merasa lega sekali, seolah-olah sebuah batu besar yang menindih ulu hatinya sudah disingkirkan.

"Sun-heng," kata Tio Poan San. "Kau kata, Lu Hie Hian binasa karena serangan In-chiu, bukan?" "Benar," jawabnya. "Ketika memeriksa jenazah Lu Sutee, aku mendapat kenyataan, bahwa ia binasa sebab kehabisan tenaga." Tan Ie jadi semakin ketakutan. "Tio Samya," katanya dengan suara gemetar. "Aku bukan tan-dinganmu. Berhentilah saja." "Baiklah," kata Poan San. "Sambut lagi satu seranganku." Sembari berkata begitu, ia membuat suatu ling¬karan besar dengan tangan kirinya dan pada saat itu juga, lantas muncul semacam tenaga berputar di sekitarnya. Itulah ilmu In-chiu dari Thay-kek-bun yang gerakannya susul menyusul, lingkaran demi lingkaran. Itulah pukulan yang digunakan Tan Ie untuk mengambil jiwa Lu Hie Hian. Pada detik itu, di depan mata Tan Ie terbayang penderitaan paman  gurunya sebelum binasa. Lu Hie Hian telah me-mohon belas kasihan berulang-ulang, tapi ia tidak menggubris dan mendesak terus, sehingga akhirnya paman guru itu menghembuskan napasnya yang penghabisan karena kehabisan tenaga. Mengingat itu, keringat Tan Ie lantas saja mengucur bagaikan hujan.

Melihat paras ketakutan yang terlukis di muka manusia keji itu, Tio Poan San yang berhati mulia lantas saja merasa tidak tega. Ia mengendorkan tekanan tenaganya dan berkata dengan suara halus: 'Seorang laki-laki berani berbuat harus berani juga menanggung segala akibatnya. Perbuatan jahat ten-tu akan mendapat pembalasan yang jahat pula. Pikirlah baik-baik." Untuk kekejamannya, Tan Ie memang harus dihukum mati, tetapi ia merasa tidak tega untuk membinasakannya dengan cara Tan Ie sendiri, ketika mengambil jiwa Lu Hie Hian.

Ia segera menghentikan serangannya dan se-sudah memutarkan badan, sambil menggendong kedua tangannya, ia mendongak dan berkata: "Mes-kipun tidak mampu membantu tanah air dan bangsa, seorang yang belajar silat harus melakukan per-buatan-perbuatan baik dan menolong sesama ma¬nusia. Jika dengan ilmu silat seseorang melakukan kejahatan, lebih baik dia jangan belajar silat dan hidup miskin sebagai petani." Kata-kata itu sebenarnya ditujukan kepada Ouw Hui. Ia khawatir, bahwa dikemudian hari, hocah itu akan menyeleweng karena kepandaiannya Jan kecerdasannya. Selama hidup, belum pernah ia nertemu dengan bocah yang mempunyai sifat-sifat •^egitu mulia seperti Ouw Hui dan dalam hatinya  timbul rasa sayang terhadap anak itu. Ia berdiam di tempat yang sangat jauh dan belum tentu bisa bertemu lagi. Maka itu, Sesudah memberi petunjuk dalam ilmu silat, ia mengeluarkan kata-kata itu sebagai bekal Ouw Hui di hari nanti.

Ouw Hui cerdas luar biasa, tentu saja ia dapat menangkap maksud Poan San. "Orang she Tan!" ia membentak. "Biarpun tidak dihukum, sesudah me-lakukan kejahatan, seorang manusia seharusnya menggorok lehernya sendiri untuk menebus dosa, agar tidak menodakan nama baik leluhurnya." Kata-kata itu pun ditujukan kepada Tio Poan San.

Tio Poan San girang sekali, ia melirik si bocah dengan sorot mata menyayang. Ouw Hui juga me¬lirik, sehingga dua pasang mata mereka lantas ke-bentrok. Sorot mata Ouw Hui penuh dengan rasa terima kasih.

Selagi kedua pendekar seorang tua dan se¬orang muda mengutarakan rasa cinta mereka tanpa bicara, Tan Ie melihat suatu kesempatan baik. Ketika itu, punggung Tio Poan San terbuka dan jarak antara Tan Ie dan Poan San belum cukup dua kaki jauhnya. "Kalau kau tidak mampus, akulahyang mati," kata Tan Ie di dalam hatinya. Ia segera mengerahkan seantero tenaga dalamnya ke lengan kanannya dan meninju punggung Tio Poan San sekeras-kerasnya. Pukulan itu adalah pukulan ne-kat. Tan Ie mengerti, jika Tio Poan San tidak binasa karena satu pukulan itu, dialah yang akan mati.

Pada detik yang sungguh-sungguh berbahaya itu, mendadak saja Tio Poan San membungkuk dengan gerakan Hay-tee-loo-goat (Didasar laut menjumput bulan) dan tinju Tan Ie jatuh di tempat  kosong! Dengan sekali menggoyangkan pinggang. Tio Poan San memutarkan badannya dan men-dorong dengan kedua tangannya. Sesaat itu juga, tenaga tangan Tan Ie sudah tertindih.

Tan Ie lantas saja mengerahkan seantero te-naganya untuk bertahan. Ketika menyambut do-rongan tangan Tio Poan San, ia merasakan, bahwa tenaga musuh tidak begitu besar. Tapi begitu lekas ia menambah tenaga, tekanan musuh lantas saja bertambah dua kali lipat. Dalam kagetnya, ia me-ngendorkan tenaganya dan tenaga Tio Poan San juga lantas berkurang. Tapi, dengan menggunakan cara apapun, tak bisa ia terlolos dari "kurungan" kedua tangan Tio Poan San.

Sambil mengingat-ingat Loan-hoan-koat dan Im-yang-koat yang barusan diturunkan kepadanya, Ouw Hui memperhatikanjalannyapertempuran itu. Ia mendapat kenyataan, bahwa setiap serangan Tan Ie biar bagaimana hebat pun dengan mudah saja dapat dipunahkan, sedang Tan Ie sendiri tidak bisa menyingkir dari "kurungan". Ia mengerti, bahwa keadaan itu adalah apa yang dikatakan: Menarik musuh ke dalam garisan Loan-hoan, tenaga empat tail dapat melontarkan tenaga seribu kati.

Sesudah memperhatikan beberapa saat lagi, lantas saja ia berkata sembari tertawa: "Tan Ie Loo-heng, kau sekarang sudah masuk ke dalam garisan Loan-hoan. Kurasa, hari ini kau bakal pu-lang ke dunia baka!" Tan Ie yang sedang memusatkan seluruh per-hatiannya kepada pertempuran itu, seolah-olah ti¬dak mendengar perkataan Ouw Hui. Sesudah lewat satu dua jurus, Tan Ie membuat kesalahan dalam gerakannya.

"Tio Pehpeh, dadanya terbuka, kenapa tidak dihantam!" seru Ouw Hui.

"Benar," jawab Poan San sembari tertawa dan lantas mengirimkan pukulan ke dada Tan le.

Buru-buru Tan le berkelit.

"Hajar pundak kanannya!" teriak Ouw Hui.

"Baik!" kata Poan San sembari menghantam pundak kanan Tan le.

Tan le miringkan pundaknya dan menyampok dengan tangannya.

"Sekarang bagaimana?" tanya Poan San.

"Tendang pinggangnya!" seru Ouw Hui.

Benar-benar Poan San menendang pinggang lawan.

Demikianlah, Poan San melancarkan serangan-serangannya menurut komando si bocah.

"Saudara kecil, komandomu benar-benar te-pat!" puji Poan San.

Mendadak Ouw Hui berteriak. "Hantam punggungnya!" Pada saat itu, kedua belah pihak justru sedang berhadap-hadapan. Poan San kaget. "Ah, kali ini dia salah," pikirnya. "Aku sedang berhadapan de¬ngan musuh bagaimana bisa memukul punggung-nya?" Ia bersangsi, tapi segera juga mendusin. "Ah, anak nakal! Agaknya dia mau mencoba aku dengan suatu teka-teki sulit," katanya di dalam hati.

Ia miringkan badannya dan menyabet dengan tangan kanannya. Tan le juga mencenderungkan badan untuk menyambutnya. Begitu musuh ber-gerak, Poan San mendorong dengan tangan kirinya, sehingga tubuh musuh lebih miring beberapa de rajat dan punggungnya terbuka. Tanpa menyia-nyiakan waktu, bagaikan kilat Poan San menepuk punggung Tan le. Untung juga, ia tidak meng-gunakan banyak tenaga. Sedikit saja ia menambah tenaganya, Tan le tentu sudah binasa. Dalam ka-getnya, Tan le memutarkan badannya dan mukanya menjadi pucat seperti kertas.

"Benar tidak?" tanya Poan San sembari ber-paling ke arah Ouw Hui.

Si bocah bertepuk tangan dan berteriak: "Ba-gus! Sungguh indah!" Sesudah terlolos dari lubangjarum, jantungTan le memukul keras. Tapi sebagai seorang ahli, ia segera dapat melihat, bahwa diwaktu bicara dengan Ouw Hui, bagian bawah Tio Poan San agak terbuka. "Biarlah aku melakukan dua serangan mati-matian dan kemudian melarikan diri," pikirnya.

Memikir begitu, ia lantas menendang dengan gerakan Coan-sin-teng-kak (Menendang sambil memutar badan). Poan San miringkan badannya dan mundur setindak. Tan le membentak dan mengi¬rimkan pukulan Chiu-hui-pipee ke arah pundak kiri Tio Poan San. Kedua serangan itu dilanjutkan susul menyusul dan hebatnya luar biasa. Tujuan Tan le bukan untuk melukai Poan San, tapi untuk men-desak musuhnya mundur lagi setindak, agar ia bisa kabur. Ia merasa, bahwa dengan usianya yang lebih muda, ia bisa lari lebih cepat daripada musuhnya yang berbadan gemuk.

Tapi, begitu dirinya ditendang, Poan San sudah menduga maksud musuh. Maka, ketika diserang Jcngan pukulan Chiu-hui-pipee, sebaliknya dari mundur, ia maju setindak dan menyerang, juga  dengan pukulan Chiu-hui-pipee. Itulah kekerasan melawan kekerasan.

Dalam Thay-kek-bun adu tenaga seperti itu sangat tidak disuka, karena pihak yang kalah tenaga tentu akan rubuh. Tapi, diluar dugaan, dengan sekali membalikkan tangan, tangan kiri Tan le sudah mencengkeram pergelangan tangan kanan Tio Poan San dan sekali ia menggentak, tubuh Poan San terangkat naik.

"Celaka!" seru Sun Kong Hong dan Lu Siauw Moay.

Sedang tubuhnya masih di tengah udara, Poan San berkata di dalam hatinya: "Tak heran, jika Thay-kek cabang Utara semakin lama jadi semakin meluas. Sun Kong Hong adalah Ciangbun (Pe-mimpin) suatu cabang persilatan, tapi pengetahuan-nya masih belum dapat menandingi pengetahuan bocah cilik." Bukan main girangnya Tan le. Bermimpi pun ia tak pernah, bahwa ia akan berhasil mengangkat tubuh Tio Poan San. Tapi... dilain detik, begitu dibalikkan dengan suatu gerakan kilat tangan Tio Poan Sanlah yang berbalik mencengkeram perge¬langan tangan Tan le!
 Tan le terkesiap dan memukul dengan tangan kanannya. Dari atas, Poan San memapaki dengan tangan kirinya dan, setelah beradu, kedua tangan itu lantas melekat, satu pada yang lain, seperti dilem.

Umumnya, seorang yang tubuhnya berada di tengah udara tidak dapat mengerahkan tenaga be¬gitu besar, seperti orang yang menginjak bumi. Tapi Poan San adalah seorang yang mengenal diri sendiri  dan mengenal pula keadaan musuhnya. Ia sudah menghitung masak-masak, bahwa tenaga dalamnya banyak lebih unggul daripada Tan le. Itulah se-babnya, kenapa ia berani menghadapi bahaya. Tujuannya yang terutama adalah untuk memper-lihatkan dan memberi petunjuk kepada Ouw Hui tentang ilmu silat kelas utama.

Demikianlah, tangan kiri Poan San melekat pada tangan kanan Tan le, sedang tangan kanannya menempel di tangan kiri musuh. Dengan meng-gunakan rupa-rupa cara, Tan le coba melontarkan musuhnya, tapi mana ia bisa berhasil? Berat badan Tio Poan San yang gemuk, hampir dua ratus kati dan berat badan itu menekan kedua lengan Tan le. Bermula, Tan le tidak begitu berat merasakannya, tapi semakin lama tekanan itu jadi semakin berat. Dengan tubuh di tengah udara, kedua kaki Poan San jadi merdeka dan kedua kaki itu kadang-kadang menendang muka Tan le.

Lewat beberapa saat lagi, keringat Tan le mulai mengucur. Mendadak ia maju beberapa tindak, ke arah sebuah tiang. Ia mengerahkan seantero te-naganya dan membenturkan badan musuh ke tiang itu. Tapi Poan San bukan anak kemarin dulu. Ia melonjorkan kaki kanannya dan menekan tiang tcrsebut.

Selagi seluruh tubuhnya berada di tengah udara, Poan San hanya dapat menindih Tan le dengan berat badannya. Tapi sekarang, dengan sebelah kaki menekan tiang, tindihannya lantas saja bertambah berlipat ganda. Sesaat itu juga, Tan le merasakan seolah-olah gunung Thaysan menindih-nya, sehingga tulang-tulangnya mengeluarkan suara  krotokan. "Celaka!" ia berseru, sembari menyingkir dari tiang itu.

Keringatnya mengucur terus, sehingga pakaian-nya menjadi basah kuyup.

Melihat betapa lihaynya Tio Poan San, Ouw Hui girang berbareng kagum. Sementara itu, keri¬ngatnya terus mengucur, sehingga lantai di ba-wahnya menjadi basah.

Berkeringatnya Tan Ie, dianggap Ouw Hui se-bagai kejadian biasa saja, yaitu karena kecapaian. Tapi Ma Heng Kong, Ong Kiam Eng dan beberapa ahli lainnya mengetahui, bahwa setiap tetes ke-ringat yang keluar itu berarti musnahnya sebagian kepandaian orang she Tan itu. Begitu lekas ke-ringatannya habis, bagaikan pelita yang kehabisan minyak, dia akan binasa.

Tan Ie sendiri, tentu saja tahu nasib apa yang sedang dihadapinya. Ia merasakan seluruh badan-nya lemas dan dadanya seakan-akan kosong me-lompong. Sesaat itu, disaat ia hampir menebus dosa, di depan matanya terbayang penderitaan Lu Hie Hian yang telah dibinasakannya dengan ilmu silat In-chiu juga. Yang disaat itu dirasakannya, ke-takutannya dan penderitaannya, tentu juga telah dirasakanoleh Lu Hie Hian. Itulahyangdinamakan: Hutangjiwa membayar jiwa.

Mengetahui bahwa jiwanya tak akan bisa di-tolong lagi, habislah sudah seantero keberaniannya. Tiba-tiba saja ia menekuk kedua lututnya seraya berkata, dengan suara gemetar: "Tio Samya... am-punilah aku!" Begitu lawannya menyerah, Tio Poan San me-lompat dan berdiri tegak di atas lantai. "Manusia  semacam kau tak ada gunanya dibiarkan hidup lebih lama lagi," katanya sembari mengulurkan tangan kanannya untuk menepuk kepala Tan Ie. Tapi, sebelum tangannya menghantam, ia melihat paras muka Tan Ie yang pucat pias disebabkan ketakutan.

Sebagaimana diketahui, Tio Poan San adalah seorang yang berhati mulia. Semenjak berkelana di ka-langan Kang-ouw, ia selalu memusuhi manusia-manusiajahat. Akan tetapi, jika orang itu sadar akan kekeliruannya dan memohon ampun, kebanyakan ia melepaskan orang itu sesudah diberi nasehat.

Demikianlah, melihat paras muka Tan Ie, di dalam hatinya segera timbul rasa kasihannya. Ke¬pandaian orang she Tan itu sudah musnah se-anteronya, tak beda dengan seorang bercacad. An-daikata dia tak dapat mengubah hatinya yang buruk, tapi tanpa ilmu silat, ia tak akan dapat mencela-kakan manusia lain. Mengingat itu, tangannya ber-henti di tengah udara.

Ia menengok kepada Sun Kong Hong seraya berkata: "Sun-heng, ilmu silatnya sudah musnah sama sekali. Kau boleh menghukum sesukamu, siauwtee hanya mempunyai satu permintaan, yaitu: Biarlah dia hidup terus." Tanpa menyahut, Sun Kong Hong mengawasi Tio Poan San dan kemudian mengawasi juga Tan Ie. Ia bersangsi, tak tahu hams berbuat bagaimana. Ketika ia menengok kepada Lu Siauw Moay, ia melihat sepasang mata anak itu berapi-api dan tengah mengawasi Tan Ie dengan penuh kebencian.

Mendadak Sun Kong Hong membuang diri di atas lantai dan berlutut di hadapan Poan San. "Tio Samya," katanya. "Hari ini kau sudah membereskan rumah tangga Thay-kek-bun cabang Utara. Budi itu tak akan dilupakan olehku selama-lamanya." Sem-bari berkata begitu, ia manggutkan kepalanya ber-ulang-ulang.

Buru-buru Tio Poan San turut berlutut untuk membalas penghormatan yang sangat besar itu. "Sun-heng," katanya. "Jangan kau memakai terlalu banyak peradatan. Menghunus senjata untuk mem-bereskan keganjilan, adalah tugas orang-orang se-bangsa kita. Apa pula kau adalah sesama anggota separtai. Maka itu, tak usah Sun-heng mengucap-kan terima kasih." Sun Kong Hong berbangkit, mulutnya meng-gigit sebilah pisau tajam.

Tio Poan San lantas turut bangun. Ia terkejut melihat pisau itu.

Pisau itu adalah pisau Tan Ie yang telah di-gunakan untuk mengancam Lu Siauw Moay. Di-waktu turun tangan, Ouw Hui merebut pisau itu yang kemudian dilemparkannya di atas lantai. Ka-rena munculnya beberapa kejadian yang susul me-nyusul dengan cepat tadi, ia tak sempat mengambil pulang senjatanya itu.

Sebagaimana diketahui, Sun Kong Hong tidak mempunyai tangan dan ia menggigit pisau itu di. waktu manggutkan kepala di atas lantai. Sekarang ia menghampiri Lu Siauw Moay dan menyodorkan senjata tajam itu kepada si nona. Siauw Moay yang tak mengerti maksudnya, lantas saja mengulurkan tangannya dan mengambil pisau itu dari mulutnya.

"Tio Samya," kata Sun Kong Hong. "Apa juga yang dikatakan olehmu, tak berani aku memban-tahnya. Tapi, ayah Lu Siauw Moay telah dibinasakan oleh bangsat itu, adiknya juga dibunuh tangan manusia jahat itu. Menurut pendapatku, di dalam dunia ini, dia adalah orang satu-satunya yang dapat memutuskan: Apakah orang she Tan itu boleh diberi ampun atau tidak. Tio Samya, bagaimana pendapatmu?" Poan San menghela napas panjang, ia meng-angguk beberapa kali.

Sesudah mendapat persetujuan itu, Sun Kong Hong segera berkata pula dengan suara keras: "Siauw Moay! Jika kau mau membalas sakit hati, kalau kau berani, bunuhlah dia! Kalau kau takut, lepaskan padanya!" Semua mata dengan serentak mengawasi si nona cilik.

Sekujur badan Siauw Moay bergemetar, tapi di dalam hatinya tak terdapat kesangsian apapun juga. Dengan nekat, ia menghampiri musuh besarnya. Karena Tan Ie bertubuh tinggi besar, tak dapat ia me-nikam dada manusia itu. Ia mengangkat pisau itu dan menikam kempungan orang.

Melihat sambaran senjata itu, sembari menge-luarkan teriakan ketakutan, Tan Ie memutarkan badan dan terus kabur dengan tindakan sempo-yongan. Begitu tikamannya jatuh di tempat kosong dan musuhnya melarikan diri, si nona lantas saja mengejar.

Tan Ie lari ke arah pintu. Tiba-tiba, ia ber-hadapan dengan pintu tertutup! Buru-buru, dengan kedua tangannya, ia mendorong pintu itu. Tapi... begitu tangannya menempel pada daun pintu, be¬gitu juga terdengar suara "ceesss"! dibarengi dengan keluarnya asap putih dan... kedua tangannya terus melekat pada pintu itu! Ternyata, pintu tersbut panas bagaikan api! dalam kagetnya, sekuat te-naganya ia coba menarik pulang sepasang tangan-nya itu. Tapi, karena sudah tak bertenaga sedi-kitpun, ia jadi sempoyongan dan... badannya jatuh, melekat pada pintu! Sekali ia berteriak perlahan dan selanjutnya ia terus diam.

Itulah kejadian yang tak diduga-duga. Semua orang jadi kesima, mereka mengawasi dengan mulut ternganga. Asap putih mengepul dari badan Tan Ie dan hidung mereka mengendus bau daging dibakar! Pintu itu ternyata adalah pintu besi, entah siapa yang membakarnya dari luar.

Sesudah mengetahui apa yang terjadi, rasa ka-get mereka lantas saja bertambahkan rasa ketakut-an.

"Teehu!" teriak Ong Kiam Eng. "Apakah akhir-nya ini?" Tapi Siang Loo-tay tidak menjawab dan, ketika Kiam Eng menengok, ia tidak mendapatkan Siang Loo-tay di antara mereka lagi. Bukan saja Siang Loo-tay dan puteranya, tapi semua pelayan juga sudah tak kelihatan mata hidungnya. Ong Kiam Eng segera berlari-lari ke ruangan dalam. Ia menjadi lebih kaget karena pintu ruangan daiam juga sudah ditutup. Pintu itu yang di tengah-tengahnya dihiasi dengan lukisan Pat-kwa, hitam warnanya, seperti warna besi.

Sesudah melihat contoh Tan Ie, tak berani Kiam Eng sembarangan mendorong pintu itu. Ia maju beberapa tindak lagi dan mendadak ia merasa-kan hawa yang sangat panas. Pintu itu juga sudah dibakar dari luar!  "Teehu!" ia berteriak. "Jangan main gila! Lekas keluar!" Suara Kiam Eng keras dan kedengarannya lebih keras lagi, karena kumandangnya. Tanpa merasa, semua orang mendongak. Sekarang, baru mereka tahu, bahwa ruangan itu tidak berjendela. Sesudah pintu depan dan pintu belakang ditutup, hawa udara tidak mengalir lagi dan biarpun seekor lalat, tak nanti bisa terbang keluar! Semua orang saling memandang dengan mata mencerminkan ketakutan hebat.

Ternyata, di waktu membuat ruangan itu, Siang Kiam Beng mempunyai maksud tertentu. Ruangan itu tidak berjendela, pintunya pintu besi dan tem-boknya tebal luar biasa. Ma Heng Kong mengangkat sebuah bangku panjang dan sembari mengerahkan tenaga dalamnya, ia menghantam dinding sekuat tenaganya. Bangku itu patah dua, kapur tembok rontok dan ternyata tembok itu terbuat dari batu-batu gunung.

Semua orang bingung bukan main. Kiam Eng dan Kiam Kiat tiada hentinya berteriak-teriak me-manggil Siang Loo-tay, tapi tak mendapat jawaban apa pun juga. Semua orang mengasah otak untuk mencari jalan keluar, tapi mereka tak tahu harus berbuat bagaimana.

Pada waktu itu, sembilan orang berada dalam ruangan tersebut, yaitu Tio Poan San, Ouw Hui, Sun Kong Hong, Lu Siauw Moay, kedua saudara Ong, Ma Heng Kong, Cie Ceng dan In Tiong Shiang. Selain mereka, terdapat mayat Tan Ie. Kecuali Lu Siauw Moay, mereka semua adalah ahli-ahli. Tapi, bagaimana tinggi pun kepandaian mereka, pada saat  itu kepandaian itu tak berguna. Mereka hanya dapat saling memandang, tanpa mengetahui harus ber-buat bagaimana.

Tiba-tiba, dari sebelah luar terdengar suatu suara menyeramkan yang masuk dari lubang di bawah. Suara itu adalah suara Siang Loo-tay. "Hei! Orang-orang gagah!" ia berteriak. "Hari ini kamu jangan bermimpi bisa meloloskan diri dari Siang-kee-po. Ruangan besi ini dibuat oleh mendiang suamiku, Siang Kiam Beng. Walaupun sudah lama meninggal dunia, ia masih bisa membinasakan kamu semua. Apakah sekarang kamu menyerah kalah?" Sehabis berkata begitu, ia tertawa terbahak-bahak.

Semua orang bergidik, bulu roma mereka ba-ngun semua. Mereka mendapat kenyataan, bahwa suara Siang Loo-tay masuk dari lubang anjing, di kaki tembok.

Ong Kiam Eng berlutut dan melongok keluar lewat lubang itu. "Teehu!" ia berseru. "Kami berdua saudara dengan Kiam Beng Sutee adalah saudara seperguruan. Kita tidak mempunyai ganjalan apa pun juga. Tapi kenapa kau juga mengurung kami di dalam ruangan ini?"
 Siang Loo-tay kembali tertawa berkakakan. Di luar lapat-lapat terdengar merotoknya kayu kering yang sedang dibakar.

"Suamiku Kiam Beng sudah dibunuh oleh bang-sat Ouw It To," Siang Loo-tay berseru pula. "Jika kamu benar-benar saudara seperguruannya, siang-siang kamu harus berusaha membalaskan sakit hati-nya. Tapi, malam ini bertemu anak musuh itu, kamu hanya berpeluk tangan karena takut terhadap orang luar. Guna apa manusia yang tak berbudi seperti  kamu, hidup lama-lama di dunia?" Gusar dan bingung, Ong Kiam Eng menumbuk-numbuk lantai. Selagi ia mau membuka suara, dari lubang anjing itu, mendadak kelihatan sebatang anak panah menyambar musuh.

Untung juga Ong Kiam Kiat keburu menendang pergi panah itu, sehingga Kiam Eng terluput dari bahaya.

Sedari pedangnya dipatahkan Tio Poan San, In Tiong Shiang tak mengucapkan sepatah kata. Ia mengeluh, hatinya penasaran, bahwa ia harus turut membuang jiwa, sedang ia sendiri sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan urusan itu. "Siapa yang mau dicelakakan oleh Siang Kiam Beng dalam ruangan ini?" tanyanya.

"Sedari masih belajar ilmu silat kepada men¬diang ayahku, manusia itu memang bukan orang baik," kata Kiam Eng dengan suara gusar. "Hanya orang yang berhati busuk, akan mau membuat ruangan seperti ini." "Siang Kiam Beng tentunya membuang ruangan ini untuk mencelakakan ayahku karena ia merasa tak ungkulan melawan ayahku," kata Ouw Hui di dalam hatinya. "Tak tahunya, ia toh mampus juga dalam tangan ayahku." Hatinya memikir begitu, tapi ia tidak berkata suatu apa.

Apa yang dipikir Ouw Hui, hanya benar se-bagian. Siang Kiam Beng sama sekali tidak me-ngenal Ouw It To. Ia mempunyai permusuhan besar dengan Biauw Jin Hong dan ia pun mengetahui, bahwa Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu adalah se-orang yang berkepandaian sangat tinggi. Ia merasa, bahwa suatu waktu Biauw Jin Hong tentu akan  mencari ia. Dengan mempunyai ruangan itu, kalau kalah dalam pertandingan, ia berniat akan me-mancing Biauw Jin Hong ke dalam ruangan tersebut untuk dianiaya. Tapi siapa sangka, yang mencari ia adalah Ouw It To. Siang Kiam Beng yang sangat sombong, sedikit pun tak memandang pendekar Liaotong itu. Tapi dalam pertempuran, sebelum sempat menggunakan ruangan besinya, ia sudah dibinasakan di bawah golok Ouw It To.

Sakit hati itu belum pernah dilupakan oleh nyonya Siang. Di luar dugaan, Ouw It To sudah meninggal dunia, sedang anak musuh itu juga mem¬punyai kepandaian yang luar biasa tingginya. Dalam jengkelnya, selagi semua orang memperhatikan per¬tempuran antara Tio Poan San dan Tan Ie, diam-diam ia keluar bersama puteranya dan orang-orang-nya. Ia segera menutup kedua pintu besi itu dan memerintahkan orang-orangnya membakar ruang¬an tersebut.

Bagaikan kawanan harimau dalam kerangkeng, orang-orang itu jalan mundar-mandir di dalam ruangan. Untung juga ruangan itu sangat luas, se¬hingga biarpun dua-dua pintu besi itu sudah ter-bakar merah, masih dapat mereka mempertahankan diri.

"Saudara-saudara," kata Tio Poan San. "Tak bisa kita mandah mati dengan berpeluk tangan. Marilah kita beramai-ramai menggali terowongan." "Bagaimana bisa?" kata In Tiong sembari mengerutkan alisnya. "Tak ada cangkul, tak ada sekop." Cie Ceng yang sedang kebingungan memikir-kan jiwa dan keselamatan tunangannya, lantas saja  berteriak: "Tio Samya, benar katamu! Lebih baik mencoba daripada menerima mati secara konyol." Ia menghunus goloknya dan mengorek ubin.

Mendadak, hawa panas menghembus ke atas, sehingga ia buru-buru loncat menyingkir. Dengan goloknya, ia memukul ke tempat keluarnya hawa panas itu. "Tang!" suara logam beradu. Semua orang menjadi heran sekali.

"Apakah di bawah ubin ini terdapat lapisan besi?" tanya Ong Kiam Eng.

Sehabis berkata begitu, dengan Pat-kwa-tonya ia mengorek beberapa ubin yang terbuat dari batu hijau.

Dugaan Ong Kiam Eng tidak meleset, di bawah ubin terdapat lapisan besi. Dengan demikian, usah dicoba lagi. Apa yang membikin semua orang men¬jadi lebih kaget adalah menghebatnya hawa panas yang keluar dari lantai besi.

"Bangsat!" teriak Cie Ceng. "Di bawah lantai juga dibakar! Ruangan ini seperti sebuah kuali raksasa." "Benar," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Bang-sat tua itu mau memanggang kita sembilan orang untuk digegares." Ong Kiam Eng kembali berlutut di depan lu-bang anjing tadi dan berteriak: "Teehu! Lepas-kanlah kami. Kami dua saudara akan membantu kau mengambil jiwa anak capcay itu." Mendengar itu, Ouw Hui segera mendupak pantat Ong Kiam Eng. Baik juga Tio Poan San keburu membentot tangannya, sehingga dupakan itu jatuh di tempat kosong. "Sekarang kita harus bersatu padu, tak boleh bertengkar dengan kawan sendiri," Poan San berbisik.

"Jiwa si anak capcay sudah berada dalam ta-nganku, tak perlu kau berlagak baik hati," kata Siang Loo-tay. "Lagi setengah jam, kamu semua akan menjadi arang! Ha-ha! Anak capcay! Bangsat tua she Ma! Nikmatilah sejuknya hawa!" Ma Heng Kong tidak menjawab. Sesudah ter-tawa terbahak-bahak, Siang Loo-tay berteriak pula: "Hei, tua bangka she Ma! Anakmu akan diurus olehku. Jangan khawatir. Aku bisa menolong men-carikan seribu atau selaksa menantu yang baik!" Hati Ma Heng Kong seperti diiris-iris. la sudah berusia lanjut, jiwanya sendiri, ia tak pikirkan. Tapi ia hanya mempunyai seorang puteri dan jika anak itu sampai disiksa oleh Siang Loo-tay, benar-benar ia penasaran.

Sementara itu, Ong Kiam Eng mendekati adik-nya dan bicara bisik-bisik, sedang Kiam Kiat meng-angguk beberapa kali. Sesudah itu, Kiam Eng meng-hampiri Tio Poan San dan berkata sembari menyoja: Tio Samya, dalam saat sama-sama menderita, aku mohon mengeluarkan kata-kata yang mungkin ku-rang enak didengarnya." Poan San menarik tangan Ouw Hui dan ber¬kata: "Segala apa, kecuali satu, aku bersedia me-nurut perkataan Ong Toako. Jika kau ingin men-celakakan saudara kecil ini, aku menentang." Begitu melihat kedua saudara Ong berkasak-kusuk, Poan San sudah menduga, bahwa mereka ^erniat membinasakan Ouw Hui untuk menolong iwa mereka sendiri.

Paras muka Ong Kiam Eng lantas saja berubah rnenyeramkan. "Tio Samya!" ia membentak. "Musuh Siang Loo-tay hanya seorang, yaitu bocah she Ouw ini. Siapa berhutang harus membayar. Tak adil jika kita semua harus turut mampus, gara-gara seorang anak kecil." la berpaling kepada semua orang dan berteriak: "Bagaimana pikiran sekalian saudara-saudara?" "Kecuali bocah itu, kita semua tidak ada sang-kut pautnya dengan urusan ini," jawab In Tiong Shiang.

"Ma Loopiauwtauw, bagaimana pendapatmu?" tanya Kiam Eng.

Antara Ma Heng Kong dan Siang Loo-tay ter-dapat ganjalan hati, sehingga belum tentu nyonya itu suka melepaskan dia dan muridnya. Akan tetapi, dalam keadaan mendesak, yang terutama adalah coba meloloskan diri dari ruangan itu. Jika orang mau mengorbankan Ouw Hui, sedikit pun ia tidak merasa berkeberatan. Maka itu lantas saja ia me-nyahut: "Benar. Dengan orang lain, urusan ini tak ada sangkut pautnya." "Sun Toako, bagaimana pikiranmu?" tanya Ong Kiam Eng. "Orang she Tan itu sudah binasa, sakit hatimu dan Lu Siauw Moay sudah terbalas impas.

Sun Kong Hong menganggap perkataan itu sangat beralasan, tapi ia merasa tidak enak terhadap Tio Poan San yang sudah membuang budi besar terhadapnya. Maka itu, ia segera coba membujuk: "Tio Samya, bukan aku tidak mengenal pribudi. Tapi...." "Tutup mulut!" bentak Poan San dengan gusar sekali. "Kamu berenam, kami berdua. Lihat saja! Apa kami si orang she Tio dan orang she Ouw yang mati lebih dulu, atau kamu enam orang yang lebih dulu mampus!" Sembari berkata begitu, ia mengha-dang di depan Ouw Hui, paras mukanya angker, siap sedia untuk bertempur.

Ong-sie Heng-tee tidak berani lantas mener-jang. Mereka merasa jeri terhadap Cian-chiu Jielay yang berkepandaian tinggi dan mereka juga merasa malu terhadap diri sendiri karena sudah memper-lihatkan sikap seorang rendah. Tapi, dalam saat-saat berbahaya itu, manusia sukar menutup sifat-sifatnya yang asli.

Semakin lama, lantai menjadi semakin panas, sehingga semua orang tidak dapat menginjak lantai itu lagi. Mereka berdiri di atas bangku atau kursi.

Tiba-tiba, Ong Kiam Kiat mengebaskan Pat-kwa-tonya sambil berseru: "Tio Samya! Hari ini aku terpaksa harus membentur kau!" Ia mengulapkan tangan kirinya ke arah In Tiong Shiang, Ma Heng Kong dan Cie Ceng sembari berseru: "Hayolah!" Ia yakin, bahwa Sun Kong Hong tidak membantu pihaknya, tapi ia merasa, bahwa dengan berlima, pihaknya sudah cukup kuat untuk merubuhkan Tio Poan San dan Ouw Hui.

Jantung Ouw Hui yang kecil memukul keras. "Ah! Karena gara-garaku beberapa orang akan menjadi korban," pikirnya. "Mampusnya Ong-sie Heng-tee dan yang Iain-lain tak usah dibuat sayang. Tapi Tio Samya adalah ksatria sejati. Bagaimana aku bisa membiarkan dia mati konyol. Andaikata Tio Samya dan aku dapat membinasakan mereka semua, akhirnya kita berdua toh akan binasa juga. Benar juga. Hanya jika aku sudah binasa dalam tangan Siang Loo-tay, baru jiwa Tio Samya bisa tertolong."  Sesaat itu, suasana sudah tegang bukan main. Kedua belah pihak belum bergebrak karena masing-masing sungkan turun tangan lebih dulu.

Sesudah mengambil keputusan, Ouw Hui se-gera berteriak: "Jangan bertempur!" Ia meloncat ke lubang anjing itu, berlutut dan menyesapkan ke-palanya ke dalam lubang. "Siang Loo-tay!" ia ber¬teriak. "Hayo hantam aku dengan piauw dan ke-mudian lepaskan Tio Samya!" Siang Loo-tay mendongak dan tertawa ber-gelak-gelak. "Kiam Beng! Kiam Beng! Hari ini de¬ngan tangan sendiri aku membalas sakit hatimu!" ia berseru sembari mengayun tangannya dan melepas-kan sebatang Kimpiauw ke arah lubang anjing itu. Ouw Hui meramkan kedua matanya. Hatinya rela dan puas! Dengan perbuatannya itu, ia dapat menolong jiwa Tio Samya.

Tapi... pada detik yang sangat berbahaya itu, mendadak saja Ouw Hui merasakan kakinya dibetot keras dan badannya menggelantung di tengah udara, akan kemudian diturunkan pula dengan perlahan. Ternyata, yang merebut kembali jiwanya adalah Tio Poan San sendiri yang sebelah tangannya sudah mencekal sebatang Kimpiauw.

Bukan main gusarnya Ong Kiam Eng. "Orang she Tio!" ia membentak. "Urusan ini tak ada sangkut pautnya dengan kau. Dia sendiri rela binasa, kenapa masih saja kau mencampuri urusan mereka?" Tio Poan San bersenyum, tetapi tidak menya-hut. Ia berpaling kepada Ouw Hui dan menanya: "Saudara kecil, bukankah tadi kepalamu sudah bisa keluar lubang?" "Benar," jawabnya. Melihat ketenangan dan paras girang yang terlukis di muka Tio Poan San, Ouw Hui merasa orang gagah itu sudah mempunyai daya yang baik. "Tio Pehpeh," katanya. "Perintah apa yang kau hendak berikan kepadaku?" "Kepala adalah keras, tak dapat diperkecil," kata Tio Poan San. "Pundak dan badan adalah lembek." Ouw Hui yang cerdas lantas saja dapat me-nangkap maksud Tio Poan San. "Benar!" ia ber-teriak. "Kepala sudah bisa keluar, badan pun mesti bisa." Ia membuka baju kapasnya dan menggulung baju itu yang kemudian diikatkan di atas kepalanya untuk menjaga serangan Siang Loo-tay.

"Mundur dulu," kata Poan San. "Biar aku mem¬buka jalan." "Mana bisa?" kata Cie Ceng. "Badanmu begitu gemuk, mana bisa kau molos ke luar?" Tio Poan San tak menggubris orang tolol itu, ia hanya tertawa geli. Sembari membungkuk, ia mengayun tangannya dan sebatang panah tanah menyambar keluar lubang. "Aduh! Kakiku!" teriak seorang pegawai Siang-kee-po. Agaknya, kakinya kena dilanggar panah itu. Poan San mengayun ta¬ngan kirinya dan Kimpiauw Siang Loo-tay melesat keluar.

Sekali ini tak terdengar teriakan, mungkin sekali semua orang sudah menyingkir dari muka mulut lubang.

"Tutup saja mulut lubang!" seru seorang.

"Tidak!" bentak Siang Loo-tay. "Aku mau men-dengarkan teriakan-teriakan mereka sebelum mam-pus. Kamu minggir saja. Senjata tak bisa mem-belok."  Tio Poan San mengayun kedua tangannya ber-turut-turut dan belasan senjata rahasia menyambar-nyambar keluar lubang. Sesudah melepaskan ku-rang lebih dua puluh senjata rahasia, Poan San mendorong Ouw Hui yang lantas saja berlutut di mulut lubang dan mendorong keluar baju kapasnya yang sudah digulung.

Di bawah sinar api, begitu melihat munculnya sebuah benda hitam, Siang Loo-tay segera mem-bacok dengan Pat-kwa-tonya. Tapi yang dibacoknya adalah benda empuk. Ia kaget dan menarik pulang goloknya. Tapi Ouw Hui sudah mendahuluinya. Tangan kanannya menyambar dan mencengkeram pergelangan tangan Siang Loo-tay dan berbareng dengan itu, kepalanya sudah molos ke luar dari lubang.

Siang Loo-tay menjerit. Siang Po Cin memburu dan membacok! Pada detik itu, pundak Ouw Hui sudah molos keluar, tapi karena sempitnya lubang itu, tangan kiri dan dadanya masih terjepit. Sungguh besar nyali putera Liaotong Tayhiap Ouw It To. Dalam detik berbahaya itu, ia tak menjadi bingung. Sambil mengerahkan tenaga dalamnya, ia mendo¬rong tangan Siang Loo-tay yang dicekalnya. "Trang!" Golok ibu dan anak itu beradu. Itulah ilmu "Me-minjam tenaga melawan tenaga" yang ia baru saja dapat dari Tio Poan San. Sebagai orang yang cerdas luar biasa, begitu mendapat, ia lantas bisa meng-gunakannya di dalam praktek.

Mendengar bunyi bentrokan senjata itu dan melihat Ouw Hui belum bisa molos ke luar, Poan San segera mengerahkan tenaga "lembek"nya dan mendorong lutut bocah itu. Begitu didorong, badan  Ouw Hui lantas saja melesat ke luar, justru, pada saat bacokan Siang Po Cin yang kedua tengah menyambar. Siang Po Cin telah menghantam de-ngan seantero tenaganya, tapi untung, badan Ouw Hui telah lebih dulu melesat keluar, sehingga golok itu menghantam tembok.

Melihat musuhnya seakan-akan lolos dari lu-bang jarum, dada Siang Loo-tay seperti mau me-ledak dan dengan mata merah melotot, ia me-nyerang kalang kabutan. Dengan ilmu Kong-chiu-jip-pek-to (tangan kosong masuk antara ratusan golok), Ouw Hui membalas menyerang secara tidak kurang hebatnya. Di lain saat, dengan suatu ben-takan keras, Siang Po Cin sudah menerjang untuk membantu ibunya.

Ouw Hui bingung bukan main. Ia tahu, bahwa ruangan besi itu semakin lama jadi semakin panas dan dalam tempo cepat, jiwa Tio Poan San dan yang Iain-lain akan tidak dapat ditolong lagi. Ia mengerti, bahwa jiwa delapan orang itu tergantung kepada kemampuannya merubuhkan Siang Loo-tay dan ka-wan-kawan dalam tempo secepat mungkin. Dalam bingungnya, lantas saja ia menyerang secara nekat-nekatan. Di lain pihak, Siang Loo-tay dan puteranya juga yakin, bahwa pertempuran itu adalah pertem-puran untuk menentukan mati hidup mereka dan oleh sebab itu mereka menyerang secara mati-matian. Di dalam ruangan, Ong-sie Heng-tee dan yang Iain-lain menempelkan kuping mereka di ping-gir lubang untuk mendengarkan jalannya pertem¬puran. Kedua saudara Ong itu sangat membenci Ouw Hui, tapi sekarang, harapan mereka tiada bedanya dengan harapan Tio Poan San, yaitu supaya  Siang Loo-tay dan puteranya lekas dapat dibinasa-kan.

Sementara itu, hawa di dalam ruangan itu juga sudah semakin panas. Hampir berbareng dengan lumernya semua lilin, gambar-gambar dan lukisan-lukisan perhiasan tembok terbakar seanteronya! "Saudara Ouw!" Kiam Eng mendadak berteriak. "Seranglah bagian bawah Siang Loo-tay!" Sebagai seorang ahli Pat-kwa-to yang mempunyai latihan puluhan tahun, dengan mendengar suara sabetan golok saja, ia sudah mengetahui kelemahan Siang Loo-tay.

Mendengar petunjuk itu, Ouw Hui menjadi girang dan sembari membungkuk, ia meninju lutut nyonya Siang. Sebaliknya dari berkelit, Siang Loo-tay bahkan menghantam punggung Ouw Hui de¬ngan Pat-kwa-tonya. Dalam nekatnya, ia tak meng-hiraukan lagi pembelaan diri, ia rela binasa ber-sama-sama. Ouw Hui mengegos, mengelit bacokan itu, tapi bacokan kedua sudah menyusul. Mengha-dapi seorang nekat, untuk sementara si bocah men¬jadi repot juga.

Perlahan-lahan, walaupun dikerubuti berdua, Ouw Hui berada di atas angin, tapi merubuhkan kedua lawan itu bukan pekerjaan gampang.

Sementara itu, dari dalam Ong Kiam Eng tak hentinya berteriak-teriak untuk memberi petunjuk-petunjuk kepada Ouw Hui. Bukan main gusarnya Siang Loo-tay yang menganggap Ong Kiam Eng mengkhianati orang separtai, tapi ia tak ingat, bah¬wa orang she Ong itu sudah terpaksa membantu Ouw Hui untuk menolong jiwanya sendiri. Dalam gusarnya, Siang Loo-tay berkata di dalam hatinya:  "Anak capcay ini berkepandaian tinggi dan mungkin akan sukar untuk aku membunuh dia. Biarlah aku membinasakan saja manusia-manusia pengkhianat itu untuk memuaskan sedikit rasa mendeluku." Me-mikir begitu, lantas saja ia meneriaki orang-orang-nya untuk menambah bahan bakar secepat dan sebanyak mungkin.

Di sebelah dalam, delapan orang itu sudah seperti semut digoreng. In Tiong Shiang mem-banting-banting kaki, mengatakan Ouw Hui tiada berguna.

"Tio Samya," kata Ong Kiam Eng. "Coba kau membantu dengan senjata rahasia." Sedari tadi, Tio Poan San memang sudah meng-genggam belasan senjata rahasia dalam kedua ta¬ngannya. Akan tetapi, karena mereka bertempur di pinggir lubang, Poan San tak dapat menggunakan senjata rahasia yang tak bisa terbang membelok. Selain itu, setiap senjata rahasia yang dilepaskannya mungkin akan mengenai Ouw Hui, karena mereka bertiga bertempur dengan rapat. Sebagai anak cerdik, Ouw Hui pun sudah memikirkan bantuan senjata rahasia. Beberapa kali ia coba memancing Siang Loo-tay ke tempat yang berhadapan dengan lubang, tapi nyonya itu, yang juga takut akan senjata rahasia Tio Poan San, tidak kena dipancing.

Hawa panas semakin menghebat, rambut, ku-mis dan jenggot sudah mulai menjadi kering! Lu Siauw Moay jatuh pingsan, sedang Cie Ceng me-numbuk-numbuk tembok dengan kedua tinjunya, seperti orang edan.

"Aha!" Ong Kiam Kiat mendadak berseru, se¬perti orang baru mendusin dari tidurnya. "Jika Ouw Hui mempunyai senjata, Siang Loo-tay lebih mudah dirubuhkan. Kenapa aku tak ingat sedari tadi?" Ia membungkuk dan menjumput goloknya yang ia lemparkan ke lantai. Tapi, begitu mencekal ga-gang, begitu ia melepaskan lagi sembari berteriak kesakitan. Ternyata, golok itu panas bukan main. Buru-buru ia merobek ujung baju yang lalu di-gunakan untuk membungkus gagang golok. "Ouw Hui!" ia berteriak. "Senjata datang! Sambutlah!" Sembari berteriak, ia melontarkan Pat-kwa-tonya keluarlubang.

Ouw Hui loncat, disusul oleh Siang Po Cin yang juga ingin merebutnya. Tiba-tiba, hampir berbareng mereka menjerit dan dua batang golok serentak jatuh di tanah. Ternyata, golok yang dilemparkan oleh Ong Kiam Kiat, sudah direbut lebih dulu oleh Ouw Hui. Tapi, begitu menangkap gagangnya, ia menjerit dan melepaskannya lagi, karena gagang itu panas bukan main. Di lain pihak, begitu Siang Po Cin meloncat ke depan lubang, sebatang piauw yang dilepaskan oleh Tio Poan San, menancap di per-gelangan tangannya, sehingga dia juga, sembari menjerit melepaskan goloknya.

Di lain saat, golok Siang Loo-tay sudah meng-ancam punggung Ouw Hui. Buru-buru Ouw Hui meloncat ke arah Siang Po Cin dan bagaikan kilat, tangan kanannya menyambar leher pemuda itu. Siang Po Cin jatuh berlutut. Sembari mengerahkan tenaga dalamnya, Ouw Hui menekan terus. Jika ia melawan, tulang lehernya pasti akan patah, maka, mau tak mau, kepalanya terus menunduk dan ia jadi mencium tanah, atau lebih benar mencium golok Ong Kiam Kiat. Berbareng dengan suara "cess!"  Siang Po Cin menjerit keras dan sebagian mukanya yang cakap sudah menjadi hangus! Jeritan itu sangat menggirangkan hati semua orang. Mereka tahu, Siang Po Cin sudah dilukakan. Pada detik itu, Siang Loo-tay agak ragu-ragu. Mana yang lebih berat: Membalaskan sakit hati suaminya atau menolong jiwa anaknya. Jika ia me-nyerang, puteranya yang sudah dicengkeram Ouw Hui bisa lantas binasa. Dalam sedetik itu, ia sudah mengambil keputusan. Tanpa menghiraukan ke-selamatan puteranya, ia mengayun Pat-kwa-tonya dan membacok pundak Ouw Hui.

Tangan Ouw Hui bergerak dan suatu sinar golok berkelebat "Trang!" dua golok telah beradu keras. Ternyata, golok yang digunakan Ouw Hui untuk menangkis, adalah golok Siang Po Cin.

Dalam kegelapan dan dalam keadaan setengah mati, suara bentrokan golok itu memberi harapan kepada orang-orang yang terkurung di dalam ruang-an itu. Mereka mengetahui, bahwa Ouw Hui sudah bersenjata dan sudah mulai melakukan serangan pembalasan.

"Bacok pundak kanannya! Pundak kanan!" te-riak Ong Kiam Eng.

"Bunuh dulu orang-orang yang menambah kayu bakar!" seru Ma Heng Kong.

"Jangan bertempur terus-terusan!" Sun Kong Hong mengeluh.

"Paling penting cari jalan untuk membuka pintu." "Aduh! Panas! Pa... nas!" Cie Ceng menjerit.

Demikian mereka berteriak-teriak.

Tentu saja Ouw Hui mengetahui, bahwa tugas nya yang terpenting adalah membuka pintu. Tapi ia "diikat" erat-erat oleh Siang Loo-tay yang bertem¬pur mati-matian. Dalam keadaan yang luar biasa itu, dalam usianya yang masih begitu muda, ia sukar bisa berkelahi dengan hati tetap. Beberapa kali, ia mendapat kesempatan baik untuk merubuhkan mu-suh, tapi Siang Loo-tay selalu dapat menolong diri dengan caranya yang nekat.

Sesudah bertempur lagi tujuh delapan jurus, Siang Loo-tay berkelahi sembari mundur. Semen-tara itu, Siang Po Cin sudah menerjang pula dengan golok yang diambilnya dari tangan seorang pe-gawainya.

Melihat sang majikan terdesak mundur dengan rambut teriap-riap, sembari berteriak-teriak para pcgawai Siang-kee-po segera lurut mengepung Ouw Hui. Walaupun mereka tidak mempunyai ke-pandaian yang tinggi dan dalam sekejap sudah ada beberapa orang yang mendapat luka, mereka ter¬nyata bandel sekali dan sungkan mundur. Suara teriakan, suara beradunya senjata dan suara me-rotoknya kayu bakar bercampur aduk menjadi satu.

Mendengar itu, hampir semua orang yang ber-ada di dalam ruangan besi, jadi putus harapan. Ada yang mencaci, ada yang menghela napas dan ada juga yang mengucurkan air mata. Mereka meng-anggap, biar bagaimana gagah pun adanya, Ouw Hui sebagai anak kecil, ia tak akan dapat melayani seluruh anggota Siang-kee-po.

"Ouw Hui, dengar!" mendadak terdengar te¬riakan Tio Poan San. "Dengan Im-yang-koat, se-ranglah musuh yang terutama! Dengan Loan-koan-koat, serang semua pengikutnya!" Di antara suara ramai, setiap perkataan itu terdengar nyata sekali. Mendengar petunjuk Tio Poan San, Ouw Hui yang sedang kepayahan lantas saja terbangun se-mangatnya. Ia mengerahkan tenaganya dan mengi-rimkan tiga bacokan beruntun ke dada Siang Loo-tay. Golok yang digunakan olehnya adalah golok Siang Po Cin yang sudah menjadi gompal ketika membacok tadi. Tapi biarpun gompal, jika kena, Siang Loo-tay pasti akan terjungkal. Melihat sam-baran golok itu yang sangat hebat, buru-buru Siang Loo-tay menangkis. Dua kali beruntun, kedua golok mereka kebentrok. Ketika membacok untuk ketiga kalinya, dari mengerahkan tenaga "keras", Ouw Hui berbalik menggunakan tenaga "lembek" dan secara mendadak, pergelangan tangannya membuat tiga lingkaran.

Baru saja ia memutarkan tangannya dua kali, Siang Loo-tay sudah tak dapat menahan lagi sakit di lengannya dan mau tak mau, Pat-kwa-tonya terlepas dari tangannya.

Sesudah berhasil dengan Im-yang-koat, Ouw Hui segera membacok pundak Siang Loo-tay.

Di waktu goloknya tinggal terpisah kira-kira setengah kaki dari pundak nyonya itu, melihat ram-but Siang Loo-tay yang sudah putih terurai di pun-daknya, sedang mukanya berlepotan darah, Ouw Hui jadi merasa tak tega.

"Sungguh kasihan nyonya tua ini," pikirnya. "Bagaimana aku bisa membinasakannya?" Buru-buru ia membalikkan tangannya dan hanya meng-hantam dengan belakang golok itu.

Tapi, di luar dugaan, Siang Loo-tay yang sudah tidak memikir untuk hidup dan ingin mati bersama sama dengan musuhnya, ia terus menyeruduk tanpa coba berkelit daripada bacokan itu. Dengan sebelah tangannya, ia mencengkeram jalan darah Sin-hong-hiat di dada musuhnya, sedang tangannya yang sebelah lagi mencengkeram jalan darah Tiong-cu-hiat di kempungan Ouw Hui.

Si bocah terkesiap, belakang goloknya meng-hantam pundak Siang Loo-tay yang tulangnya lantas saja hancur. Nyonya itu mengeluarkan suara "heh!" tapi tanpa menghiraukan kesakitan hebat itu, ia mencengkeram terus dan menggait dengan kaki tangannya, sehingga dengan berbareng, mereka berdua rubuh di atas lantai. Baru sekarang Ouw Hui tahu, bahwa dalam keadaan nekat seseorang dapat melakukan perbuatan yang tidak dinyana-nyana. Ia berontak sekuat tenaganya, sedang Siang Loo-tay menggigit bajunya di bagian dada. Mereka ber-gulingan ke arah tumpukan api! "Lepas!" teriak Ouw Hui. "Apa kau mau mam-pus?" Dalam bingungnya, ia melupakan ilmu Kin-na-chiu-hoat untuk meloloskan diri. Sesudah ber-gulingan lagi dua tiga kali, masuklah mereka ke dalam api.

"Ibu!" teriak Siang Po Cin sembari memburu dan menghantam kepala Ouw Hui dengan gagang golok. Si bocah menolong diri dengan memiringkan kepala, tapi tak urung gagang golok itu masih juga mengenai dagunya, sehingga hampir-hampir ia jadi pingsan. Karena khawatirkan keselamatan ibunya, dengan cepat Siang Po Cin menyeret mereka keluar dari tumpukan api, kemudian ia membacok pung-gung Ouw Hui.

 Pada saat yang sangat berbahaya itu, putera Liaotong Tayhiap Ouw It To tidak kehilangan ke-cerdasan otaknya. la menendang pergelangan ta-ngan Siang Po Cin. Ketika sesaat lagi tendangan kedua menyusul, badan Siang Po Cin terpental lima enam tombak jauhnya, untuk sementara pemuda she Siang itu tak bisa bangun lagi.

Dengan pakaian menyala dan dagu dirasakan sakit bukan main, sembari membentak keras, Ouw Hui berontak dan kali ini, ia berhasil. la bergulingan untuk memadamkan api di bajunya, sedang Siang Loo-tay sudah rebah dalam keadaan pingsan.

Sementara itu para pegawai Siang-kee-po pada memburu untuk menolong majikan mereka. De¬ngan hati mendongkol atas kegoblokannya sendiri, ia menyerbu. "Ah, sungguh tolol!" pikirnya. "Dalam pertempuran untuk menentukan mati hidup, aku masih main kasihan. Bahwa tadi aku tidak sampai mampus, adalah semata-mata karena masih dilin-duhgi Tuhan." Demikian, tanpa sungkan-sungkan lagi, ia merebut sebatang golok dan menyerang sehebat-hebatnya. Terjangan Ouw Hui, seperti juga terjangan seekor harimau kepada kawanan kam-bing. Dalam sekejap, para pegawai Siang-kee-po sudah kabur tunggang langgang, tanpa ada seorang yang ketinggalan.

Ouw Hui buru-buru memungut sebatang gaitan yang menggeletak di lantai dan dengan itu, secepat mungkin ia menyingkirkan potongan-potongan kayu yang berkobar-kobar di depan pintu.

Di lain saat, ia terkejut bukan main, karena pintu besi itu sudah berwarna merah. "Celaka," ia mengeluh. "Jika kedua daun pintu itu melekat men jadi satu, tak dapat aku membukanya lagi." Tanpa berpikir lama-lama lagi, ia mengerahkan seantero tenaganya dan membacok kunci pintu ter¬sebut. Dengan berbunyi nyaring, kunci itu jatuh di lantai tapi goloknya sudah menjadi bengkok. Ia melemparkan senjata itu dan dengan gaitan tadi ia menggait gelang-gelangan pintu itu. Kembali ia harus mengerahkan tenaga dalamnya untuk mem-betot. Tapi kedua daun pintu masih juga tidak bergerak! Jantung Ouw Hui memukul keras. Sambil me-mohon kepada Tuhan Yang Maha Esa, sekali lagi ia mengerahkan tenaga dalamnya dan membetot dengan seantero tenaganya. "Kree... kek...."sebelah daun pintu terbuka dengan perlahan... dibarengi dengan keluarnya asap dan api dari mulut pintu! Sedikit pun ia tak menduga, bahwa ruangan itu terbakar begitu hebat.

"Tio Pehpeh!" ia berteriak. "Lekas keluar!" Dari antara asap yang menggolak, segera keli-hatan seorang meloncat keluar. Orang itu adalah Ong Kiam Eng, diikuti oleh In Tiong Shiang, Cie Ceng, Ma Heng Kong dan Sun Kong Hong. Yang muncul paling belakang adalah Tio Poan San yang mendukung Lu Siauw Moay. Pakaian mereka ha-ngus di sana sini dan tak usah dikatakan lagi, ke¬adaan mereka sungguh-sungguh menyedihkan.

Sesaat itu, segala apa yang berada di dalam ruangan tersebut, seperti balok-balok dan kursi meja, sudah terbakar. Pertolongan Ouw Hui datang pada saat yang tepat sekali dan jika terlambat sedikit saja, mereka tentu sudah tidak bernyawa lagi. Melihat Tio Poan San keluar dengan selamat,  Ouw Hui jadi kegirangan seperti orang kalap. la menubruk serabari berteriak dengan suara meng-harukan. "Tio Pehpeh...! Tio Pehpeh...!" Kumis dan alis Poan San sudah setengah ha-ngus, tapi paras mukanya tetap tenang. la mesem dan berkata: "Anak! Sungguh mulia hatimu?!" Per-kataan ksatria itu terhenti di tengah jalan, karena terharunya.

Mendadak, terdengar teriakan Ong Kiam Eng: "Kiam Kiat! Dimana kau?!" Poan San memandang ke sekitarnya dan benar saja, Ong Kiam Kiat tidak di antara mereka. "Apa-kah belum keluar?" ia menanya dengan kaget.

"Belum!" Kiam Eng berteriak pula. "Saudaraku belum keluar!" Di saat itu, sebuah balok penglari jatuh dengan berkobar-kobar. Meskipun Kiam Eng merasa jeri untuk menerjang masuk. Ia hanya berteriak-teriak di luar: "Kiam Kiat! Kiam Kiat! Lekas keluar!" "Kalau dia bisa keluar sendiri masakah dia tidak keluar?" demikian pikir Poan San dan Ouw Hui. Kemuliaan kedua orang itu adalah kemuliaan yang wajar. Sesaat itu, tanpa berpikir lagi, hampir ber-bareng mereka meloncat masuk ke dalam lautan api! Karena lantai ruangan itu sudah demikian pa-nasnya, Ouw Hui melompat-lompat tak hentinya. "Anak," kata Poan San dengan suara menyayang. "Kau keluarlah." "Tidak, Tio Pehpeh," sahutnya. "Pehpeh keluar¬lah, biar aku mencarinya sendiri." Di lain saat, ia berseru: "Di sini!" Ia membungkuk, menarik tubuh Kiam Kiat yang lalu diseretnya sembari lari ke luar.

 Ternyata, Kiam-kiat tak tahan merasakan hawa panas, tadi Kiam Kiat memasukkan kepalanya ke dalam lubang anjing untuk menyedot hawa yang lebih segar. Tapi mendadak ia disambar asap dan lantas jatuh pingsan.

Sembari batuk-batuk, Ouw Hui menyeret tubuh Kiam Kiat keluar pintu. Selagi ia mendekati pintu, semua orang yang berada di luar, sekonyong-ko-nyong mengeluarkan teriakan kaget. Ternyata, se-kerat balok yang berkobar-kobar sedang melayang ke bawah, ke arah kepala Ouw Hui. Bocah itu mempercepat tindakannya, tapi untuk dapat me-nyingkir, agaknya sudah tidak keburu lagi.

Pada detik yang sangat berbahaya itu, tanpa bersangsi sedikit pun juga, Poan San meloncat dan menahan jatuhnya balok itu dengan tangan ka-nannya. Berat balok itu tidak kurang dari lima ratus kati dan ditambah dengan tenaga jatuhnya serta hawa panasnya, dapatlah dibayangkan kehebatan-nya. Tapi kuda-kuda Tio Poan San sedikit pun tidak bergeming. Begitu balok itu sampai di tangan ka-nannya, ia mendorong ke atas, tangan kirinya mem-bantu mendorong dengan sekuat tenaganya. Ba-gaikan seekor naga api, balok itu terpental belasan tombak dan jatuh gedubrakan.

Semua orang jadi kesima. Mereka ternganga, akan kemudian bersorak-sorai. Para pegawai Siang-kee-po juga turut merasa kagum, mereka bertepuk tangan dan bersorak dari kejauhan.

Dengan perasaan sangat malu, Kiam Eng me-nolong saudaranya dan memadamkan api yang ber¬kobar-kobar di baju Kiam Kiat.

Begitu terlolos dari neraka ruangan besi itu, Ma  Heng Kong dan Cie Ceng segera celingukan men-cari It Hong yang tidak kelihatan mata hidungnya. "Tak bisa salah lagi, dia tentu main gila dengan bocah she Siang itu," kata Cie Ceng dalam hatinya. "Suhu, biar aku mencarinya," katanya sembari ber-lari-lari ke arah hutan.

Bukan main lelahnya Ma Heng Kong, badannya lemas dan matanya berkunang-kunang. Ia lalu me-nuju ke tempat yang lebih adem untuk mengaso. Tapi, baru saja berjalan beberapa tindak, mendadak ia merasakan kesiuran angin tajam di belakangnya. Itulah suatu pukulan yang sangat dahsyat. Karena tidak keburu menangkis atau berkelit lagi, ia me-nahan napas untuk menyambut pukulan itu di pung-gungnya. "Buk!" badannya bergoyang-goyang, mata¬nya gelap dan badannya lemas. Pukulan itu disusul dengan tendangan dan tubuh Ma Heng Kong ter-pental masuk ke dalam lautan api! Sayup-sayup, ia mendengar suara tertawa dan teriakan Siang Loo-tay. "Kiam Beng! Akhirnya da-pat juga aku membalaskan sedikit sakit hatimu...!" Sesudah itu, ia tak tahu suatu apa lagi....

Tio Poan San yang sedang menolong Lu Siauw Moay, menyaksikan bokongan Siang Loo-tay ter-hadap Ma Heng Kong, tapi ia sudah tak dapat menolong lagi. Di lain saat, ia melihat nyonya itu masuk ke dalam ruangan besi yang sudah seakan-akan sebuah dapur raksasa itu.

"Keluar! Apakah kau mau mencari mampus?" teriak Poan San tanpa merasa.

Baru saja ia berteriak begitu, kembali sekerat balok besar jatuh bergedubrakan dan menutupi pintu. Sembari memeluk Pat-kwa-tonya dan dengan  wajah tertawa, Siang Loo-tay duduk di tengah-tengah api. Pakaian dan rambutnya sudah dijilat api, tapi ia seolah-olah tidak merasakan panas.... Ia tertawa berkakakan dan berseru: "Kiam Beng! Aku sudah berada dekat sekali dengan kau...." Tio Poan San menghela napas. Ia melengos agar tidak menyaksikan kejadian yang seram serta me-ngenaskan itu. Di samping harus mengalami bebe¬rapa kejadian yang menjengkelkan, ia menganggap perjalanannya sekali ini tidak tersia-sia, karena ia bisa berkenalan dengan seorang ksatria sejati. Se-lagi orang lain repot, ia berpaling kepada Ouw Hui seraya berkata: "Saudara kecil, mari kita berangkat." "Baiklah," jawab Ouw Hui dan mereka berdua lantas saja meninggalkan neraka Siang-kee-po.

Malam itu, banyak sekali Ouw Hui si kecil mendapat pengalaman. Sembari berjalan bergan-dengan tangan dengan Tio Poan San, di depan matanya terbayang segala kejadian, segala bahaya, yang baru dialaminya. Sesudah melalui kira-kira satu li, mereka menengok dan melihat sinar api yang berkobar-kobar menjulang ke atas. Tanpa merasa, mereka menghela napas berulang-ulang.

"Saudara kecil," kata Tio Poan San. "Kejadian sepanjang hari ini sangat menyedihkan, bukan? Adat Siang Loo-tay... ah!" Ia menggeleng-geleng-kan kepala dan tidak meneruskan perkataannya. "Tio Pehpeh..." kata si bocah. Tio Poan San menengok dan berkata dengan suara sungguh-sungguh: "Saudara kecil, hari ini, secara kebetulan sekali kita bisa bertemu. Kita sama-sama mengetahui, bahwa jiwa kita berdua adalah cocok sekali. Walaupun aku berusia lebih  tua, tapi melihat pribudimu yang sangat tebal, sung-guh-sungguh aku merasa kagum. Di kemudian hari, aku berani memastikan, namamu akan menggetar-kan seluruh dunia. Guna apa aku mengagulkan diri sebagai seorang yang lebih tua." Ketika itu, fajar mulai menyingsing dan di se-belah timur sudah terlihat sinar yang terang ke-merah-merahan. Ouw Hui si kecil mendongak. la melihat paras muka Tio Poan San yang angker dan bersungguh-sungguh.

Mendengar kata-kata ksatria itu, muka Ouw Hui yang kotor dan berlepotan darah, lantas saja menjadi merah. "Tio Pehpeh..." katanya.

Tio Poan San menggoyangkan tangan seraya berkata: "Saudara kecil, mulai saat ini, Tio Pehpeh, tiga perkataan janganlah keluar lagi dari mulutmu! Biarlah sekarang juga kita mengangkat saudara! Bagaimana pikiranmu?" Bayangkanlah! Bayangkanlah. Chian-chiu Jie-lay Tio Poan San, seorang kenamaan yang ber-kedudukan tinggi yang namanya telah meng-getarkan seluruh Rimba Persilatan, menawarkan diri untuk mengangkat saudara dengan seorang bocah yang baru berusia belasan tahun! Tio Poan San bukan mengagumi ilmu silat Ouw Hui, tapi menghormati jiwa ksatria dalam tubuh bocah itu yang rela berkorban apapun juga, untuk menolong sesama manusia. Ouw Hui masih kanak-kanak, tapi perbuatannya tidak berbeda dengan saudara-sau-daranya dari Ang-hoa-hwee.

Mendengar tawaran itu, bukan main terharunya hati Ouw Hui. Kedua matanya menjadi merah dan air matanya mengucur deras. Tiba-tiba ia mem buang diri di atas tanah dan berlutut sambil berkata: "Tio.... Tio...." Tio Poan San segera berlutut seraya berkata: "Hiantee (adik), mulai sekarang kau panggil saja Samko (kakak ketiga)." Demikianlah kedua ksatria itu, seorang tua dan seorang muda, di tengah-tengah belukar, menjalankan upacara mengangkat saudara dengan menggunakan cabang-cabang kering seba¬gai hio yang ditancapkan di atas tanah.

Girang sekali hati Poan San. Sesudah beres mengangkat saudara, ia bersiul panjang dan nyaring. Di lain saat, seekor kuda putih mendatangi seperti terbang.

"Sungguh bagus kuda itu," puji Ouw Hui.

"Sungguh sayang kuda ini bukan milikku, tapi milik Su-tee-hu yang menyayangnya seperti me-nyayang jiwanya sendiri," katanya di dalam hati. "Kalau bukan begitu, aku tentu sudah mengha-diahkannya kepada adikku." Ia mesem dan menanya: "Hiantee, apakah kau masih mempunyai urusan yang belum dibereskan?" "Biarlah aku memberi kabar dulu kepada Peng-sie-siok," jawabnya. "Sesudah itu barulah aku meng-antar Samko sampai berapa jauh." Poan San yang juga merasa berat untuk segera berpisah dengan saudaranya itu, lantas saja berkata: "Baiklah." Dan sembari menuntun kuda, ia jalan berendeng dengan Ouw Hui si kecil.

Sesudah membelok di suatu tanjakan, di se-belah jauh, di belakang pohon kui, kelihatan se-seorang yang sedang melongok-longok, seperti te-ngah mengintip apa-apa.

"Cie Ceng!" Ouw Hui berbisik, yang merasa  heran sekali melihat lagak pemuda itu. "Biar aku lihat," katanya sembari menghampiri dengan tindak-an perlahan. Cie Ceng yang sedang menumplek perhatiannya ke jurusan depan, tidak mengetahui, bahwa dirinya juga sedang diintip orang.

Di lain saat, Ouw Hui mengetahui apa yang sedang diincar oleh Cie Ceng. Terpisah kira-kira dua puluh tombak dari pohon kui itu, di bawah sebuah pohon yang-liu, seorang lelaki dan seorang wanita sedang bercinta-cintaan. la segera menge-nali, bahwa yang lelaki adalah Hok Kongcu, sedang yang perempuan ternyata bukan lain daripada Ma It Hong, yang sedang merebahkan diri di atas pang-kuan Hok Kongcu dengan lagak aleman.

"Bangsat! Aku mampuskan kau!" mendadak Cie Ceng berteriak sambil menghunus goloknya dan memburu ke arah kedua kecintaan itu.

Tak usah dikatakan lagi, kedua orang muda itu jadi terkejut bukan main dan bangun dengan se-rentak.

Begitu berhadapan, Cie Ceng segera mengayun goloknya dan membacok sekuat tenaganya. Hok Kongcu yang tidak mngerti ilmu silat, meloncat mundur secepat mungkin dan golok Cie Ceng am-blas di pangkal pohon.

"Kenapa kau? Kenapa kau?" tanya Ma It Hong dengan gugup.

"Kenapa aku? Aku mau mampuskan bocah bangsat itu!" teriak Cie Ceng. Sembari memaki, ia membetot goloknya sekuat tenaganya. Karena menggunakan tenaga terlalu besar, di waktu golok¬nya tercabut, golok itu menghantam janggutnya sendiri.

 "Hati-hati! Sakit?" tanya Ma It Hong.

"Jangan berlagak baik hati!" bentak Cie Ceng sembari mengangkat goloknya dan memburu Hok Kongcu.

Ma It Hong biasanya sangat disegani oleh Cie Ceng dan perkataannya belum pernah dibantah.

Tapi sekarang, Suheng itu yang sudah menjadi kalap, tak takut lagi kepadanya. Dengan perasaan malu tercampur bingung, Ma It Hong menyelak di depan Hok Kongcu dan berkata semban menolak pinggang: "Suko, jika kau mau membunuh orang, bunuhlah aku lebih dulu." Melihat si nona melindungi Hok Kongcu, Cie Ceng menjadi semakin kalap. "Dia lebih dulu, baru aku mampuskan kau!" ia berteriak, sembari men-dorong pundak Ma It Hong yang jadi terhuyung dan hampir-hampir terguling di atas tanah. Buru-buru It Hong menjumput sebatang kayu yang lalu di-gunakan untuk menangkis golok Cie Ceng. Ia me-nengok kepada Hok Kongcu dan berkata: "Lekas lari!" Si kongcu "mahal" yang tidak mengetahui, bah¬wa It Hong adalah tunangan Cie Ceng, segera lari ngiprit sembari berteriak: "Hati-hati! Orang itu manusia edan!" Menahan dua tiga bacokan, kayu yang dicekal It Hong sudah patah. "Jika kau tidak minggir, aku tak akan berlaku sungkan lagi!" bentak Cie Ceng.

It Hong lalu melemparkan potongan kayu yang masih dicekalnya dan sembari memanjangkan leher, ia berkata: "Suko, biar bagaimanapun juga, aku tak bisa menjadi isterimu. Jika kau mau bunuh, bunuh¬lah!"  "Kau... kau...!" teriak Cie Ceng, tangan kirinya mencengkeram pundak si nona. Dalam kalapnya, ia tak bisa berkata-kata lagi.

Melihat keadaan genting itu, Ouw Hui khawatir Cie Ceng turun tangan. Sekali melompat, ia sudah berada di antara mereka dan kemudian mendorong dada Cie Ceng dengan tangan kirinya. Begitu di-dorong, Cie Ceng terhuyung ke belakang beberapa tindak.

"Cie Toako," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Siapa juga yang ingin melanggar sehelai rambut Nona Ma, lebih dulu dia mesti membinasakan aku." Cie Ceng terkejut. "Kau... kau, anakyang masih berbau susu, juga main gila dengan dia?" ia menanya dengan mata melotot.

"Plok!" pipi Cie Ceng digampar telak oleh si nona.

Ouw Hui menjadi bingung. Ia tak mengerti maksud perkataan Cie Ceng dan juga tidak me¬ngerti, kenapa Ma It Hong menjadi marah. Bahwa dia harus menolong si nona, oleh Ouw Hui dianggap sebagai suatu kewajiban mutlak untuk membalas budi. Sebagaimana diketahui, diwaktu Ouw Hui digantung oleh Siang Po Cin, It Hong pernah ber-usaha untuk menolong dirinya. Meskipun per-tolongan itu sebenarnya tidak perlu, tapi sebagai ksatria, Ouw Hui tak dapat melupakan kebaikan orang.

Sesudah menyaksikan pertempuran antara Ouw Hui dan Ong-sie Heng-tee, Cie Ceng me-ngetahui, bahwa kepandaiannya masih kalah terlalu jauh jika dibandingkan dengan bocah itu. Tapi dalam kalapnya, mana ia ingat lagi soal menang atau  kalah. Sambil menggereng, ia lantas saja membacok kalang kabutan.

Baru saja beberapa gebrakan Ouw Hui sudah mencengkeram pergelangan tangan Cie Ceng dan terus merebut goloknya, yang kemudian diserahkan kepada Ma It Hong.

Cie Ceng yakin, tak guna ia melawan terus. Ia menghela napas dan mendadak mengeluarkan te-riakan yang menyayatkan hati: "Suhu! Sungguh me-ngenaskan cara kebinasaanmu!" Ia memutarkan ba-dan dan terus berlalu dengan tindakan lebar.

"Apa kau kata?" tanya Ma It Hong dengan hati terkesiap.

Si nona memburu, tapi Cie Ceng tidak me-nyahut dan berjalan terlebih cepat.

"Kenapa ayahku? Mali?" seru It Hong yang terus mengejar.

Hok Kongcu yang berdiri agak jauh, tidak dapat menangkap apa yang dikatakan mereka, tapi me¬lihat si nona mengejar terus, ia lantas saja berteriak: "Hong-moay! Hong-moay! Balikjanganladenidia!" Tapi Ma It Hong yang sedang khawatirkan nasib ayahnya, tidak menggubris. Melihat golok sudah dicekal oleh kecintaannya, hati Hok Kongcu jadi lebih mantap dan segera turut mengejar.

Tapi, baru saja ia mengejar belasan tindak, dari belakang sebuah pohon besar tiba-tiba muncul sese-orang yang berusia kira-kira lima puluh tahun dan berbadan agak gemuk. Begitu melihat orang tersebut, yang bukan lain daripada Cian-chiu Jielay Tio Poan San, paras muka Hok Kongcu lantas berubah pucat.

"Hok Kongcu! Selamat bertemu!" Poan San menegur.

Dengan apa boleh buat, Hok Kongcu menyoja segera berkata: "Tio Samya, selamat bertemu." Se-habis berkata begitu, tanpa memperdulikan lagi Ma It Hong, ia memutarkan badan dan terus lari secepat mungkin. Ia lari ke arah utara, sedang Cie Ceng dan Ma It Hong menuju ke selatan. Dalam tempo se-kejap, mereka sudah tak kelihatan bayang-bayangannya lagi.

"Samko," kata Ouw Hui. "Kau kenal Hok Kong¬cu? Dia kelihatannya sangat takut kepadamu." "Benar," jawabnya sembari tertawa. "Dia pernah jatuh ke dalam tangan kami dan pernah merasakan sedikit asam garam." Hok Kongcu, atau Hok Kong An, adalah orang yang paling dicinta oleh Kaisar Kianliong. Menurut kabar angin, pemuda itu sebenarnya adalah putera kaisar tersebut. Untuk memaksa Kianliong mem-perbaiki gereja Siauw-lim-sie dan tidak menyeteru-kan lagi Ang-hoa-hwee, orang-orang gagah perkumpulan tersebut pernah menawan Hok Kong An. Peristiwa itu sudah terjadi beberapa tahun berselang dan sekarang secara tiba-tiba ia bertemu dengan pemimpin ketiga dari Ang-hoa-hwee. Ia beranggapan, bahwa orang-orang gagah Ang-hoa-hwee kembali meluruk ke wilayah Tionggoan dan meskipun ia dilindungi oleh ahli-ahli silat kelas satu, ia merasa jago-jagonya bukan tandingan orang-orang Ang-hoa-hwee. Itulah sebabnya, mengapa ia jadi ketakutan setengah mati dan tak berani men-cari-cari Ma It Hong lagi. Begitu berkumpul dengan Ong Kiam Eng dan Iain-lain, buru-buru ia kembali ke Pakkhia.

 Dengan jalan berendeng Tio Poan San dan Ouw Hui lalu meneruskan perjalanan mereka. Sesudah berjalan kurang lebih satu li, mereka tiba di sebuah warung teh.

"Hiantee," kata Poan San, "Orang sering me-ngatakan, bahwa dalam mengantar orang, biarpun kita mengantar seribu li, akhirnya kita mesti ber-pisah juga. Maka itu, biarlah di sini saja kita ber-pisah." Ouw Hui merasa berat sekali untuk berpisah dengan kakaknya itu, tapi sebagai seorang gagah, lantas saja ia berkata: "Baiklah. Samko, beberapa tahun lagi, Sesudah aku lebih besar, aku tentu akan pergi ke Huikiang untuk menyambangi kau." Tio Poan San mengangguk dan berkata: "Biar¬lah aku menunggu kedatanganmu." Sehabis berkata begitu, ia mengeluarkan sekun-tum bunga merah yang dibuat dari sutera dan tali merah.

"Hiantee," katanya, "Orang-orang gagah di se-luruh kalangan Kang-ouw, semua mengenal bunga ini sebagai milik kakakmu. Jika kau menemui urus-an penting yang memerlukan bantuan tenaga ma-nusia atau uang, gunakanlah bunga ini untuk me-minta bantuan dari kawan-kawan." Ouw Hui menerima hadiah itu dengan perasaan kagum. Ia merasa, bahwa dikemudian hari, baginya tidak terlalu sukar untuk menyusul kepandaian ka¬kaknya, tapi untuk mempunyai pergaulan yang be¬gitu luas benar-benar bukannya gampang.

Tio Poan San lalu menuang dua mangkok teh, semangkok diangsurkan kepada Ouw Hui. "Hian¬tee, biarlah teh ini menggantikan arak," katanya.

 "Marilah kita meminumnya kering sebagai selamat berpisah." Sesudah masing-masing minum teh itu, Poan San lantas saja berdiri untuk segera berangkat. Sebelum menyemplak tunggangannya, ia berkata pula: "Hiantee, sebelum berpisah, kakakmu ingin mengajukan satu pertanyaan." "Pertanyaan apa?" tanya Ouw Hui si kecil. "Selain keluarga Siang, apakah Hiantee mem-punyai musuh lain yang lihay?" tanyanya.

Ouw Hui terkejut. "Musuh yang membunuh ayahku adalah Tah-pian Thian-hee Bu-tek-chiu," pikirnya. "Jika aku memberitahukan Samko, tentu-lah juga ia akan mencari Biauw Jin Hong untuk coba membalaskan sakit hatiku. Sakit hati serupa itu tak boleh dibalaskan oleh lain orang dan di samping itu, Biauw Jin Hong berkepandaian sangat tinggi, se-hingga tak bisa aku membiarkan Samko menempuh bahaya." Ouw Hui masih kanak-kanak, tapi ia mempunyai keangkuhan. Maka itu, sembari mendongak, ia segera menyahut: "Samko tak usah buat pikiran.

Andaikata ada musuh, siauwtee masih bisa melayaninya." Poan San tertawa terbahak-bahak. "Bagus!" katanya sambil mengangkat jempol. Ia loncat ke punggung kuda dan mengedut les. Baru jalan belasan tindak, mendadak ia berpaling sembari berseru: "Hiantee! Bungkusan kecil di atas batu adalah pemberian kakak¬mu untuk kau." Ouw Hui menengok dan benar saja, di atas sebuah batu besar terdapat sebuah bungkusan kecil. Ia membuka bungkusan itu yang isinya ternyata adalah dua puluh potong emas masing-masing dari dua puluh tail, atau semuanya empat ratus tail.

Ouw Hui tertawa besar. "Aku miskin, Samko kaya," katanya di dalam hati. "Pemberian itu tak bisa ditolak. Samko agaknya khawatir, jika aku menolak, tapi dengan berlaku begitu, benar-benar ia meng-anggap aku sebagai anak kecil." Demikianlah sembari bernyanyi-nyanyi, ia se¬gera meneruskan perjalanannya dengan tindakan lebar.

Ouw Hui membagi dua ratus tail emas kepada Peng Ah Sie dengan permintaan supaya dia suka berdiam di Ciangciu untuk mengurus kuburan ayah-nya. Sesudah itu, ia sendiri berkelana ke berbagai tempat dengan setiap had terus melatih ilmu silat-nya.

 * * *  Dalam beberapa tahun saja, tubuhnya yang kurus kecil sudah berubah menjadi tinggi besar, sedang kecerdasannya dan ilmu silatnya juga men-dapat kemajuan yang berimbang. Di sepanjang ja¬lan, tak hentinya ia melakukan perbuatan mulia, menolong sesama manusia yang perlu mendapat pertolongan.

Tangannya sangat terbuka dan dalam tempo yang tidak terlalu lama, dua ratus tail emas itu sudah digunakan habis.

Ia sering mendengar cerita orang, bahwa pro pinsi Kwitang adalah tempat yang kaya raya dan banyak orang gagahnya. Maka itu, pada suatu hari, dengan menunggang seekor kuda kurus, seorang diri ia menuju ke kota Leng-lam.

Sesudah berjalan beberapa lama, ia tiba di kota Hud-san-tin, salah satu empat kota terbesar di wi-layah Tiongkok. (Tiga lainnya adalah Cui-sian-tin, Keng-tek-tin dan Hankow).

Ouw Hui masuk ke dalam kota kira-kira tengah hari dan ia merasa lapar sekali. Selagi mencari-cari tempat menangsal perut, ia melihat sebuah restoran besar di pinggir jalanan yang ramai dan memasang merek Eng-hiong-lauw (Restoran orang gagah) de¬ngan huruf-huruf emas yang besar. "Merek restoran itu agak luar biasa," kata Ouw Hui di dalam hatinya. Ia meraba sakunya ternyata hanya mempunyai se-ratus lebih uang tembaga, tak cukup untuk makan dan minum arak. "Biarlah aku makan saja semang-kok mie," pikirnya sembari menambat tunggangan-nya pada tambatan kuda.

Sesudah itu, dengan menggondol bungkusan-nya, perlahan-lahan ia naik ke loteng. Melihat baju pemuda itu yang butut, seorang pelayan lantas saja menghadang di tengah jalan seraya berkata: "Tuan tamu, makanan di atas loteng mahal sekali!" Ouw Hui lantas saja naik darah. Mendadak ia tertawa besar dan berkata dengan suara nyaring: "Asal makanan enak dan arak sedap, berapa mahal aku tak hiraukan!" Si pelayan minggir dan dengan rasa sangsi, ia mengawasi Ouw Hui yang terus mendaki tangga loteng.

Ruangan loteng itu besar, bersih dan diperlengkapi dengan perabotan yang halus dan indah. Para tamu yang sedang makan minum, hampir rata-rata berpakaian mentereng, sebagai tanda bahwa me-reka itu adalah orang-orang beruang. Seperti ka-wannya yang menghadang di bawah loteng, pelayan di atas loteng pun memandang rendah kepada Ouw Hui yang berpakaian compang-camping. Sesudah beberapa lama duduk di situ, masih saja tak seorang pelayan datang menghampirinya.

Ouw Hui jadi semakin mendongkol. Selagi ia memikirkan harus berbuat bagaimana, di tengah jalan tiba-tiba terdengar suara ribut, disusul dengan suara tertawa seorang wanita.

Ouw Hui yang duduk di pinggir jendela, lantas saja melongok ke bawah. Ia melihat seorang pe-rempuan dengan rambut terurai dengan muka serta pakaian berlepotan darah, sedang menandak-nan-dak di tengah jalan sambil mencekal sebatang golok, sebentar menangis dan sebentar tertawa. "Ah, orang gila," kata Ouw Hui dalam hati.

Lalu lintas terhenti, banyak orang menonton dari sebelah jauh, ada yang ketakutan, ada pula yang kelihatannya merasa kasihan, tapi tak seorang pun yang berani mendekati perempuan edan itu.

Mendadak ia menuding merek Eng-hiong-lauw dan bertepuk tangan sembari tertawa terpingkal-pingkal. "Hong Looya!" ia berteriak. "Biarlah kau berusia seratus tahun, kaya dan mulia lengkap se-muanya. Aku si tua berlutut di sini, supaya Langit yang mempunyai mata, melindungi kau seumur hi-dup." Ia berlutut dan membenturkan kepalanya di atas tanah, sehingga jidatnya mengeluarkan darah. Tapi agaknya sedikit pun ia tak merasa sakit.

 la terus manggut-manggutkan kepala sembari berteriak-teriak: "Hong Looya! Diwaktu siang, biar-lah kau mendapat segantang emas, diwaktu malam segantang perak. Kaya besar, kaya raya, ratusan anak, ribuan cucu." Dari dalam restoran itu sekonyong-konyong keluar seorang lelaki yang tangannya memegang sebatang huncwee (pipa panjang). Dilihat dari ge-rak-geriknya, lelaki itu mestinya pengurus rumah makan.

"Ciong Sie-so!" ia membentak. "Kalau mau jual lagak gila, pergilah ke tempatmu. Pergi! Jangan mengacau di sini." Wanita itu tak menggubris bentakan orang, ia masih terus berlutut sembari sesambatan. Si pe¬ngurus restoran mengulapkan tangannya dan dari rumah makan itu lantas saja keluar dua orang lelaki yang bertubuh kekar. Seorang merebut golok Ciong Sie-so, sedang yang seorang lagi mendorongnya dengan keras, sehingga wanita itu berjumpalitan ke tepi jalan.

Ia berdiri terpaku dengan mulut ternganga, untuk sementara tak mengeluarkan sepatah kata. Mendadak ia memukul dadanya dengan tinjunya dan berteriak sembari menangis: "Oh! Mustikaku yang ketiga! Sungguh menyedihkan cara kebina-saanmu. Langit mempunyai Mata. Kau tidak men-curi dan gegares daging angsa orang!" "Kubacok kau, jika kau masih terus rewel!" bentak si lelaki yang barusan merampas goloknya.

Ciong Sie-so tak menjadi jeri, ia menangis semakin keras. Si pengurus restoran melirik semua penonton dan ia mendapat kenyataan, bahwa mereka semua menunjukkan wajah tak puas. Ia meng-hisap huncweenya dan sesudah mengebulkan asap beberapa kali dari mulutnya, ia mengulapkan ta¬ngannya dan masuk kembali ke dalam Eng-hiong-lauw bersama dua kaki tangannya.

Melihat dua lelaki gagah menghina seorang wanita lemah, Ouw Hui sebenarnya sudah ingin menyelak. Akan tetapi, mengingat wanita itu adalah seorang gila, sedapat mungkin ia menahan sabar.

Sekonyong-konyong ia mendengar pembicara-an antara dua tamu yang duduk pada meja sebelah belakang. "Dalam urusan ini, Hong Looya keter-laluan," kata seorang antaranya dengan perlahan. "Apakah dia merasa enak hati, sesudah mengambil jiwa manusia yang tewas karena gencatannya?" Ouw Hui terkejut.

"Tak dapat kita terlalu menyalahkan Hong Loo¬ya," kata seorang lain. "Jika seorang kehilangan apa-apa, tentu saja ia akan menanyakannya. Siapa suruh perempuan itu berotak miring, membelek perut anaknya sendiri?" Ouw Hui tak dapat menahan sabar lagi. Men¬dadak ia menengok ke belakang dan kedua orang itu lantas saja berhenti bicara.

Mereka itu, yang satu gemuk dan yang lain kurus, mengenakan thungsha sutera yang mahal harganya dan dilihat dari dandanan mereka, mereka adalah orang-orang hartawan.

Ouw Hui mengetahui, bahwa kaum pedagang paling sungkan banyak urusan dan jika ia menanya secara biasa, mereka tentu tak mau memberikan keterangan. Memikir begitu, ia segera berdiri dan berkata sembari memberi hormat: "Sedari berpisah an di Kwiciu, sudah berapa tahun kita tak pernah bertemu muka. Apa selama itu, Jie-wie (kedua tuan) memperoleh banyak keuntungan?" Tentu saja mereka merasa heran, karena me-reka memang tak mengenal Ouw Hui. Tapi se-bagaimana biasa, seorang pedagang selalu bersikap ramah tamah. Maka itu, lantas saja mereka mem-balas hormat. "Boleh juga, terima kasih," jawab mereka.

"Kali ini siauwtee datang di Hud-san dengan membawa selaksa tail perak," kata pula Ouw Hui. "Tujuanku adalah untuk membeli barang, tapi ka¬rena belum mempunyai kenalan, sedang aku sendiri sangat asing dengan keadaan di sini, aku masih merasa sangsi. Sekarang sungguh kebetulan, aku bertemu dengan kalian, sehingga aku dapat minta pertolongan." Mendengar "selaksa tail perak", wajah kedua orang itu lantas saja berseri-seri. "Tentu saja, tentu saja!" kata mereka, yang lalu mengundang Ouw Hui pindah meja untuk makan minum bersama.

Ouw Hui tak berlaku sungkan-sungkan lagi. "Barusan ketika Jie-wie bercakap-cakap, aku men¬dengar kata-kata tentang mengambil jiwa manusia karena gencatan," kata Ouw Hui sembari men-cegluk cawannya. "Bolehkah aku mengetahui, urus-an apakah itu?" Paras muka mereka lantas saja berubah. Selagi mereka mau menolak, Ouw Hui sudah mengulurkan kedua tangannya dan memencet tangan mereka. Hampir berbareng, kedua orang itu mengeluarkan teriakan tertahan, sedang muka mereka jadi pucat pias. Mendengar teriakan itu, beberapa pelayan dan  tetamu segera menengok ke arah mereka.

"Tertawa!" bentak Ouw Hui dengan suara per-lahan. Mereka tak berani membantah dan lantas tertawa meringis. Melihat, bahwa di situ tidak ter-jadi apa-apa yang luar biasa, semua orang tidak memperhatikan mereka lagi.

Kedua orang itu mengeluarkan keringat dingin, tangan mereka seolah-olah dijepit dengan jepitan besi.

"Dulu, aku sebenarnya adalah seorang peram-pok besar yang bisa membunuh manusia tanpa berkesip," kata Ouw Hui dengan suara bengis. "Se¬karang aku sudah menjadi orang baik-baik dan ingin berusaha secara halal. Aku memerlukan selaksa tail perak untuk membeli barang, tapi sayang aku tak mempunyai uang. Maka itu, aku ingin meminjam dari Jie-wie, seorang lima ribu tail." Mereka terperanjat. "Aku... aku... tak punya!" jawab mereka hampir berbareng.

"Baiklah," kata Ouw Hui. "Tapi kalian harus menceritakan kepadaku, bagaimana manusia itu yang dipanggil Hong Looya mengambil jiwa orang dengan menggunakan gencatan. Siapa yang menc¬eritakan paling jelas, aku membebaskannya dari tugas meminjamkan uang. Aku akan mencari orang lain sebagai gantinya." "Baiklah, baiklah," jawabnya, terburu-buru.

Ouw Hui mesem, hatinya geli bukan main. Melihat si gemuk agak lebih pandai bicara, ia lantas saja berkata: "Yang gemuk bicara lebih dulu, baru yang kurus. Siapa yang ceritanya tidak jelas, ialah yang harus meminjamkan uang kepadaku." Sehabis berkata begitu, ia melepaskan cengke ramannya dan membuka bungkusannya, yang antara lain berisi sebilah golok yang bersinar berkere-depan. la mengambil sepasang sumpit gading dari atas meja dan sekali ketukan pada mata golok, sumpit itu sudah menjadi empat potong.

Kedua orang itu saling mengawasi dengan mu-lut ternganga dan hati berdebar-debar. Sesudah menggertak begitu, perlahan-lahan Ouw Hui mem-bungkus pula goloknya.

"Siauwya," kata si saudagar gemuk, "Jangan khawatir, aku akan menceritakan seterang-terang-nya. Tanggung... tanggung lebih jelas dari dia...." "Mana bisa," memotong si kurus. "Kasihlah aku yang menceritakan lebih dulu." "Diam!" membentak Ouw Hui. "Lebih dulu aku mau dengar ceritanya, mengerti kau?" "Baik, baik," kata si kurus ketakutan. "Kau harus dihukum karena sudah melanggar perintahku!" kata Ouw Hui dengan suara menye-ramkan.

Semangat si kurus terbang, sedang kawannya kelihatan senang sekali.

"Bukan begini caranya orang menghormat te-tamu," kata Ouw Hui. "Makanannya tak enak, arak-nya seperti air tawar. Lekas perintahkan pelayan menyediakan semeja santapan kelas satu." Mendengar hukuman yang enteng, si kurus jadi girang dan buru-buru dia memanggil pelayan untuk memesan makanan semeja dan arak kelas satu se-harga lima tail perak.

Ketika melihat Ouw Hui pindah ke meja dua saudagar itu si pelayan merasa sangat heran. Tapi mendengar pesanan istimewa ia menjadi girang dan  menyampingkan rasa herannya.

Ouw Hui melongok ke bawah. Ia melihat Ciong Sie-so sedang duduk di tepi seberang jalan dan sembari mendongakkan kepala, mulutnya kemak-kemik, seperti seorang sedang berdoa.

"Siauwya," kata si gemuk. "Biarlah aku mulai. Tapi aku mengharap, supaya ceritaku dirahasiakan, jangan sampai diketahui oleh orang lain." "Jika kau takut, sudahlah! Biar dia saja yang bercerita," kata Ouw Hui. Sembari berkata begitu, ia berpaling kepada si kurus.

"Cerita, aku cerita..." kata si gemuk dengan suara gugup. "Orang yang biasa dipanggil Hong Looya itu bernama Hong Jin Eng, orang paling kaya dalam kota Hud-san-tin ini. Dia mempunyai juluk-an, yaitu...." "Lam-pa-thian," celetuk si kurus.

"Siapa suruh kau bicara?" Ouw Hui membentak dengan suara bengis.

Si kurus menundukkan kepalanya dan tidak berani membuka suara lagi.

"Di Hud-san-tin, ia membuka rumah gadai be¬sar, yang dinamakan Pegadaian Enghiong," si ge¬muk melanjutkan ceritanya. "Disamping itu, ia membuka sebuah rumah makan, yaitu rumah makan ini yang diberi nama Eng-hiong-lauw dan sebuah tempat judi yang dikenal sebagai Enghiong Hwee-koan. Ia adalah seorang kaya yang berpengaruh besar, luas pergaulan dan dianggap sebagai ahli silat nomor satu di seluruh propinsi Kwitang. Dalam kota ini banyak orang berbisik-bisik, bahwa setiap bulan ia menerima uang kehormatan dari Kwitang timur, Kwitang barat dan Kwitang utara. Katanya dia ada lah Ciangbunjin (pemimpin) dari Ngo-houw-pay (Partai lima harimau) dan anggota-anggota yang beruang dari partai itu, harus membagi sedikit hartanya kepada Hong Looya. Tapi hal itu adalah soal kalangan Kang-ouw, yang tidak begitu dime-ngerti olehku." "Ya, aku mengerti," kata Ouw Hui. "Dia kaya raya dan dia juga perampok besar." Kedua saudagar itu saling mengawasi. "Benar, kau adalah rekannya!" kata mereka di dalam hati.

Ouw Hui sudah dapat membaca pikiran mereka. "Orang sering berkata, sama-sama sepencarian ber-arli musuh," katanya sembari tertawa. "Aku dan Hong Looya bukan sahabat. Dia baik, katakan baik. Dia jahat, katakan jahat. Tak usah kau coba-coba menyembunyikan."
 "Gedung Hong Looya sebenarnya sudah cukup besar dan luas," si gemuk melanjutkan penuturan-nya. "Tapi belakangan ini, sesudah mempunyai gun-dik yang ketujuh, ia ingin mendirikan sebuah ge¬dung pula yang diberi nama Cit-hong-lauw (Rang-gon tujuh Hong), untuk dijadikan tempat tinggal gundik ke tujuh itu. Ia berniat mendirikan gedung baru itu di belakang gedungnya yang sudah ada dan tanah yang ia penuju adalah kebun sayur Ciong Sie-so. Kebun sayur itu adalah warisan dari kakek moyangnya dan luasnya kira-kira tiga bauw. Kebun itu adalah satu-satunya sumber mencari nafkah Ciong A-sie dan keluarganya yang berjumlah lima orang. Hong Looya telah memanggil Ciong A-sie dan mengatakan, bahwa mau membeli tanah itu dengan lima tail perak. Tentu saja Ciong A-sie menolak. Hong Looya menambah dan menambah  lagi jumlah uang itu sampai sepuluh tail, tapi ia tetap menolak. Menurut ia, uang adalah sangat manis, biar seratus tail, sebentar saja akan habis dimakan. Tapi kebun sayur tak habis. Asal mau mengeluarkan tenaga, keluarganya tak akan mati kelaparan. Hong Looya menjadi gusar dan mengusir dia. Dan ke-marin muncullah peristiwa mencuri angsa." "Peristiwa itu adalah seperti berikut: Di pekarangan belakang gedung Hong Looya, dipiara sepuluh ekor angsa. Kemarin, ia telah ke-hilangan salah seekor. Bujang-bujang Hong Looya mengatakan, bahwa pencuri angsa itu adalah Siauw-jie-cu (putera kedua) dan Siauw-sam-cu (putera ketiga) dari keluarga Ciong. Mereka mencari di kebun sayur dan benar saja, di situ kedapatan ba-nyak bulu angsa.

Mentah-mentah Ciong Sie-so menolak tuduhan itu. Ia mengatakan, bahwa kedua puteranya adalah anak-anak baik dan tak mungkin, mereka mencuri barang orang lain. Ia balas menuduh, bahwa bulu angsa itu sudah sengaja dilemparkan dari dalam tembok gedung Hong Looya." "Orang-orang Hong Looya lantas saja mencari Siauw-jie-cu dan Siauw-sam-cu, tapi mereka tak mengaku mencuri angsa. 'Eh, apakah pagi ini kau sudah makan?' tanya Hong Looya. Siauw-sam-cu manggut-manggut dan menjawab dengan suara pe-lo: 'Cia-o -cia-o.' (Cia-o bisa berarti: Makan angsa) 'Anak itu sudah mengaku, kau masih berkeras me¬ngatakan: tidak!' teriak Hong Looya sembari meng-gebrak meja. Lantas saja ia mengadu kepada Tie-koan di Lamhay, yang lantas memerintahkan be-berapa opas menangkap Ciong A-sie.

 "Ciong Sie-so yang yakin seyakin-yakinnya, bah-wa kedua puteranya tak nanti mencuri angsa itu, lantas pergi ke gedung Hong Looya untuk mencari keadilan. Tapi apa yang ia dapat adalah tendangan dari Hong Looya. Ia lalu pergi kepada Tiekoan di Lamhay untuk mencari keadilan, tapi paduka Tie¬koan, yang sudah makan uang suapan, malah ber-balik menyiksa Ciong A-sie dengan alat mengom-pes.

"Dengan susah payah, Ciong Sie-so bisa juga menengok suaminya di penjara. Suami itu berle-potan darah, sekujur badannya babak belur dan sudah tak dapat bicara lagi sebagaimana biasa. "Ja... ngan jual... jangan... tidak... curi... tidak," katanya dengan suara tak jelas.

Ciong Sie-so jadi mata gelap. Begitu pulang, dengan membawa Siauw-sam-cu dan sebilah golok sayur, sambil memanggil tetangga-tetangganya, ia pergi ke kuil leluhur. Tetangga-tetangga yang men-duga nyonya itu ingin bersumpah dan ingin minta mereka menjadi saksi, lantas saja mengikut.

"Di depan patung Malaikat Pak-tee-ya, Ciong Sie-so berlutut dan manggut-manggutkan kepala-nya. 'Pak-tee Ya-ya,' katanya. 'Anakku tak nanti mencuri barang orang, tahun ini dia baru berumur empat tahun. Dia masih belum bica bicara betul, suaranya masih pelo, di depan tuan besar dia me-ngatakan: Cia-o, Cia-o. Aku sekeluarga tidak bisa mencuci hinaan ini, sedang Tiekoan yang sudah makan sogokan, tidak berlaku adil. Maka itu, jalan satu-satunya adalah memohon keadilan dari Pak-tee Ya-ya.' Sehabis berkata begitu, ia membelek perut Siauw-sam-cu!"  Ouw Hui mendengarkan penuturan itu dengan hati panas. Ketika si gemuk menutur sampai di situ, tak dapat ia menahan sabar lagi. Ia menumbuk meja dengan tinjunya, sehingga piring mangkok terbalik semua.

"Apakah benar begitu kejadiannya?" ia me-nanya dengan mata mendelik.

Melihat keangkeran Ouw Hui, kedua saudagar itu jadi gemetar sekujur badannya. "Cerita itu se-dikit pun tidak menyimpang dari kejadian yang sebenarnya," jawabnya.

Ouw Hui berbangkit. Dengan kaki kiri di lantai loteng dan kaki kanan di atas bangku, mendadak ia menghunus goloknya yang lalu ditancapkan di atas meja.

"Cerita terus!" ia membentak. "Ke... ja... dian itu tak... tidak ada... sangkut pautnya dengan aku," kata si gemuk terputus-putus. Roman Ouw Hui yang bengis menakutkan se¬mua tetamu. Beberapa antaranya yang bernyali ke-cil, buru-buru makan dan turun dari loteng. Para pelayan hanya mengawasi dari kejauhan, tak berani mendekati.

"Bilanglah!" bentak Ouw Hui. "Apakah dalam perut Siauw-sam-cu terdapat daging angsa?" "Tidak," jawab si gemuk. "Yang kedapatan ada¬lah daging keong. Keluarga itu keluarga miskin dan kedua bocah itu pagi-pagi mencari keong di sawah untuk dimakannya. Dia kata: cia-o, cia-o (makan angsa), sebenarnya dimaksudkan: Cia-lo (makan keong). Kasihan! Anak yang tidak berdosa itu mesti binasa secara begitu rupa. Mulai saat itu, Ciong Sie-so menjadi gila."  "Di mana rumah orang she Hong itu?" tanya Ouw Hui.

Sebelum si saudagar sempat menjawab, dari sebelah jauh mendadak terdengar suara menyalak-nya anjing.

"Gila! Benar-benar gila!" kata si saudagar kurus sembari menghela napas.

"Ada apa lagi?" tanya Ouw Hui.

"Itulah kaki tangan Hong Looya yang sedang mengejar-ngejar Siauw-jie-cu dengan membawa an-jing-anjing galak," sahutnya.

Darah Ouw Hui naik semakin tinggi. "Satu jiwa sudah menjadi korbannya, dia mau apa lagi?" kata-nya.

"Menurut Hong Looya, kalau bukan Siauw-sam-cu yang makan, angsa itu tentu dimakan Siauw-jie-cu," si kurus menerangkan. "Maka itu, Hong Looya mau menangkap Siauw-jie-cu untuk diperik-sa lebih jauh, katanya. Beberapa tetangga yang merasa kasihan, sudah mengisiki, supaya Siauw-jie-cu kabur. Hari ini, kaki tangan Hong Looya sudah pergi ke beberapa tempat untuk mencari bocah itu." Sesudah menahan hawa amarahnya, Ouw Hui segera berkata: "Keterangan Jie-wie cukup jelas. Selaksa tail perak aku akan minta dari Hong Looya." Sehabis berkata begitu, ia mengangkat ciu-hu (tempat arak) dan menenggak isinya. Dalam se-kejap ia sudah menghabiskan tiga ciu-hu, lalu ia berteriak untuk minta ditambah lagi.

Di saat itu, gonggongan kawanan anjing itu terdengar lebih keras dan beberapa saat kemudian, anjing-anjing itu kedengarannya sudah tiba di ujung jalan. Ouw Hui melongok ke bawah. Ia melihat  seorang bocah yang berusia kira-kira dua belas tahun, sedang kabur sekeras-kerasnya, dengan pa-kaian robek-robek dan berlepotan darah, bekas gigitan anjing. Di belakang bocah itu, dalam jarak kira-kira delapan tombak, mengejar belasan anjing galak.

Ketika itu, si bocah yang bernama Ciong Siauw Jie, sudah lelah sekali. Melihat ibunya, ia berteriak: "Ibu?" Kedua lututnya mendadak lemas dan ia ru-buh, tak bisa bangun lagi.

Walaupun gila, Ciong Sie-so masih mengenal puteranya. Dengan sekali lompat, ia sudah meng-hadang di tengah jalan, menghadapi kawanan anjing galak yang tengah mengejar itu. Didorong rasa cinta seorang ibu kepada anaknya, ia berdiri tegak de¬ngan paras muka angker dan kedua matanya yang berapi mengawasi kawanan anjing itu.

Anjing-anjing itu, yang biasa mengikut Hong Looya berburu, galak bukan main. Jangankan ma-nusia, harimau sekalipun mereka berani terjang. Tapi, melihat keangkeran Ciong Sie-so mereka agak sangsi.

Kaki tangan Hong Looya segera memberi ko-mando, supaya anjing-anjing itu menyerang.

Di lain saat, dua ekor anjing sudah menubruk Siauw Jie. Sembari berteriak, Ciong Sie-so me¬nubruk puteranya dan menggunakan badannya sen-diri untuk menutupi tubuh anaknya. Anjing per-tama lantas menggigit pundak Ciong Sie-so, yang kedua mencakup lutut si bocah. Kaki tangan Hong Looya berteriak-teriak menghasut anjing-anjing-nya. Tapi sang ibu terus mendekam di atas tubuh puteranya, seolah-olah tidak merasakan sakit digigit  anjing.

Sementara itu, Ciong Siauw Jie molos ke luar dari pelukan ibunya dan sembari menangis, ia meng-gebuk kalang kabutan dengan kedua tinjunya yang kecil. Dalam sekejap, belasan anjing galak itu sudah mengurung ibu dan anak itu.

Orang banyak berkerumun dan menonton dari kejauhan. Tak satu pun yang berani menolong, karena semua orang merasa jeri akan kebuasan Hong Looya.

Semua kejadian itu sudah disaksikan oleh Ouw Hui dari atas loteng. Ia tidak mau lantas turun tangan, karena ingin mendapat bukti lebih dulu benar tidaknya cerita kedua saudagar itu. Ia tak mau sembarangan turun tangan dan mencelakakan orang yang tidak berdosa.

Selagi si saudagar gemuk menuturkan kejadian itu, amarahnya sudah naik tinggi. Tapi, mendengar bagian terakhir dari cerita itu tentang kekejaman Hong Looya yang melewati batas, Ouw Hui sangsi-kan kebenarannya. Dan sesudah menyaksikan se-rangan kawanan anjing itu, barulah kesangsian Ouw Hui lenyap seluruhnya.

Sesaat itu, pada detik yang berbahaya bagi jiwa si ibu dan anak, ia menjumput tiga pasang sumpit. dan menimpuk sembari mengerahkan tenaga da-lamnya.

Kawanan anjing yang sedang memperlihatkan kebuasannya, mendadak terkuing-kuing dan enam antaranya rubuh binasa, dengan kepala berlubang ditembus sumpit. Anjing-anjing yang masih hidup berhenti menunjukkan kegarangannya, mereka agak ragu-ragu. Ketika itu, di atas loteng Ouw Hui  sudah menimpuk lagi dengan tiga cawan arak. Tim-pukan itu jitu sekali, setiap cawan mampir di hidung seekor anjing. Hampir berbareng, tiga ekor rebah di tanah, tanpa bisa bangun lagi. Sisanya beberapa ekor lagi jadi kuncup dan buru-buru kabur sembari menghimpit buntut.

Kaki tangan Hong Looya yang menggiring an¬jing berjumlah enam orang. Dengan mengandalkan pengaruh sang majikan, mereka sudah biasa berlaku sewenang-wenang di Hud-san-tin. Melihat sembilan ekor anjing itu dibinasakan secara begitu, tanpa mengenal mati, mereka lantas berteriak: "Hei! Sia-pa yang berani menjual lagak di Hud-san-tin? An¬jing Hong Looya harus diganti dengan jiwamu!" Sehabis berteriak, dengan golok terhunus dan men-cekal rantai besi, mereka naik ke loteng restoran.

Melihat gelagat tak baik, para tamu lantas saja lari serabutan. Rumah makan itu dibuka oleh Hong Jin Eng, sehingga dari pengurus sampai pelayan semua adalah kaki tangan hartawan kejam itu. Me¬lihat enam rekannya mau membekuk orang, mereka lantas saja mengambil macam-macam senjata untuk membantu.

Ouw Hui mengawasi mereka sembari mesem, ia tak bergerak dari kursinya.

Sembari mengebaskan rantai, orang yang men-jadi kepala lantas memaki: "Hei! Anak bau! Ikut tuan besarmu!" Ouw Hui menghela napas melihat kegalakan orang itu yang membawa-bawa rantai, seolah-olah dia alat negara. Tanpa berkisar dari tempatnya, tangan Ouw Hui menyambar dan tepat sekali meng-hajar pipi orang tersebut. Sesudah menggampar ia  menotok jalan darah Cie-kiong-hiat dan Hong-hu-hiat di leher si galak, yang lantas saja tak dapat bergerak lagi.

Dua kawannya yang tak mengenal bahaya, se-gera menyerang dari kiri kanan dengan mengguna-kan golok. Mereka ternyata pandai ilmu silat dan dari sini bisa ditarik kesimpulan, bahwa Hong Looya benar-benar seorang manusia jahat yang mempu-nyai banyak tukang pukul. Tapi tentu saja, ke-pandaian dua tukang pukul itu, tidak dipandang sebelah mata oleh Ouw Hui. Tangannya bergerak bagaikan kilat dan mereka berdua seperti kawan¬nya, lantas saja berdiri terpaku.

Tiga tukang pukul lainnya jadi ketakutan. Salah seorang dari mereka lantas memutarkan badan un-tuk melarikan diri, sedang seorang lagi berteriak: Hong Cit-ya, ilmu siluman apakah ini?" Orang yang dipanggil Hong Cit-ya masih terikat t'amili jauh dengan Hong Jin Eng dan dia diangkat sebagai pengurus rumah makan. Ilmu silatnya tidak seberapa, tapi dia licin sekali. Melihat Ouw Hui bukan sembarang orang, buru-buru ia menghampiri.

"Aku tak tahu hari ini seorang gagah datang berkunjung," katanya sembari merangkap kedua tangannya. "Benar-benar aku mempunyai mata tak bisa melihat gunung Thaysan yang besar." Melihat tiga tukang pukul Hong Looya per-lahan-lahan mendekati mulut loteng untuk kabur, Ouw Hui segera mengambil rantai besi dari tangan si tukang pukul yang sudah tak dapat bergerak lagi. Sekali Ouw Hui menyabet, rantai itu melibat enam kaki ketiga orang itu dan kemudian, sekali digentak, mereka bertigajatuh terguling. Dengan tenangdan  tanpa meladeni Hong Cit-ya, Ouw Hui mengikat erat-erat kedua ujung rantai dan ia sendiri lalu mulai minum arak lagi.

Meskipun Ouw Hui sudah memperlihatkan ke-pandaiannya, tapi para pegawai restoran masih te-rus mengurung dengan mata beringas. Mereka ha-nya mertunggu komando Hong Cit-ya untuk me¬nyerang. Mereka menganggap, bahwa dengan se¬orang diri pemuda itu tentu bisa dirubuhkan dengan beramai-ramai.

"Eh, Hong Jin Eng, masih pernah apa dengan kau?" tanya Ouw Hui sembari mencegluk isi cawan-nya.

"Saudara sekaum," jawabnya. "Apa tuan kenai Hong Looya?" "Tidak," kata Ouw Hui. "Pergi, panggil dia un¬tuk menemui aku." Hong Cit-ya mendongkol, tapi paras mukanya terus berseri-seri. "Bolehkah aku mengetahui she dan nama tuan yang mulia?" tanyanya. "Supaya aku bisa melaporkan kepada Hong Looya." "Baiklah," jawabnya dan tertawa. "Aku she Pat, Pat yang berarti cabut, seperti mencabut bulu ayam." "Kenapa shenya begitu aneh?" pikir Hong Cit-ya yang lantas saja tertawa dan berkata: "Oh, kalau begitu aku sedang berhadapan dengan Pat-ya! She Pat-ya jarang sekali terdapat di daerah Selatan. Inilah yang dikatakan, bahwa apa yang langka, ber-harga mahal." "Benar," kata Ouw Hui. "Memang juga, apa-apa yang aneh dan jarang terdapat selalu berharga ting-gi. Kau tahu apa artinya Hong-mo Lin-kak (Bulu  burung Hong, tanduk Kielin)? Namaku adalah Hong Mo." Paras muka Hong Cit-ya lantas saja berubah gusar. Perkataan "Pat Hong Mo", yang berarti "Mencabut bulu burung Hong" terang-terangan mengejek Hong Looya. (Hong dari Hong Jin Eng berarti burung Hong).

"Tuan ini siapa sebenarnya?" tanyanya dengan suara keras. "Ada urusan apa tuan datang ke Hud-san-tin?" "Sudah lama aku mendengar, bahwa di sini terdapat seekor burung Hong jahat," jawabnya. "Oleh karena sudah keteianjur aku bernama Pat Hong Mo, maka aku sengaja datang kemari untuk mencabut bulu Hong itu." Hong Cit-ya mundur setindak sembari meraba pinggangnya dan dilain saat, ia sudah mencekal seutas Joanpian (pecut). Ia mengebaskan tangan kirinya sebagai tanda supaya semua orang berhati-hati dan kemudian, sembari melompat, ia meng-hantam Ouw Hui dengan pecutnya.

Ouw Hui yakin, bahwa kejahatan Hong Jin Eng sudah menjadi-jadi karena mendapat bantuan dari tukang-tukang pukulnya. Maka itu, sedari tadi, ia sudah mengambil putusan untuk menurunkan ta¬ngan tanpa sungkan-sungkan lagi.

Begitu pecut itu menyambar, dengan mudah Ouw Hui dapat menangkapnya. Ia membetot dan selagi Hong Cit-ya terhuyung, ia menepuk pundak pengurus restoran itu, yang lantas jatuh berlutut, karena kedua lututnya mendadak lemas.

"Jangan terlalu hormat!" kata Ouw Hui sembari tertawa. Kemudian dengan menggunakan pecut, ia  melibat badan Hong Cit yang lalu diikatkan ke kaki meja.

Melihat kejadian itu, para pegawai restoran tidak berani turun tangan lagi.

"Eh, serahkan golok sayur itu kepadaku," kata Ouw Hui sambil menuding seorang koko gemuk. Si gemuk tak berani membantah dan lalu menyerah-kan apa yang diminta.

"Eh," kata pula Ouw Hui. "Kalau masak daging tulang punggung, kau mengambil daging apa?" "Daging babi," jawabnya. "Diambil dari kiri ka-nan tulang punggung babi. Boleh masak asam manis, boleh masak pakai lada dan garam, semuanya lezat sekali. Apa Siauwya mau?" Dengan bengis, Ouw Hui merobek baju Hong Cit. "Di sini?" tanyanya sembari mengusap-usap tulang punggung orang. Koki itu terkesiap, ia hanya mengawasi dengan mulut ternganga dan tak dapat memberi jawaban.

"Ampun Siauw-ya!" Hong Cit memohon.

Memang bukan maksud Ouw Hui untuk meng¬ambil jiwa Hong Cit. Ia hanya ingin memberi sedikit hajaran, supaya manusia itu merasakan sedikit pen-deritaan. Ia mengangkat golok itu dan menggores punggung Hong Cit.

"Cukup setengah kati?" tanyanya.

"Cu... kup..." jawabnya, gemetar.

Hong Cit terbang semangatnya. Ia merasakan kesakitan luar biasa di punggungnya dan menduga, bahwa dagingnya benar-benar sudah dipotong.

"Bahan apa kau menggunakan untuk memasak hati babi goreng dan otak babi masak kuwah?" tanya pula Ouw Hui.

 Sekujur badan Hong Cit jadi bergemetar, tak hentinya ia membenturkan jidat di lantai loteng. "Siauwya!" ia merintih. "Perintahlah aku, jika kau ingin memerintah, tapi ampunilah selembar jiwaku." Sampai di situ, Ouw Hut merasa manusia itu sudah cukup mendapat hajaran. "Apakah kau masih berani membantu Hong Jin Eng melakukan ke-jahatan?" tanyanya dengan bengis.

"Tidak, tidak berani," jawabnya dengan cepat.

"Baiklah," kata Ouw Hui. "Sekarang lekas kau gebah semua tamu yang tadi makan di loteng, tapi tetamu yang makan di bawah, seorang pun tak boleh keluar." "Anak-anak," seru Hong Cit, "Lekas lakukan perintah Siauw-ya!" Para tamu yang bersantap di atas loteng, rata-rata adalah kaum beruang. Begitu melihat terjadi-nya perkelahian, buru-buru mereka turun untuk berlalu, tapi pinlu depan dijaga oleh pegawai res¬toran yang bersenjata. Maka itu, perintah Ouw Hui sudah disambut oleh mereka dengan kegirangan besar. Orang-orang yang makan di ruangan besar, di bawah loteng, sebagian besar adalah kaum miskin yang sedikit banyak sudah pernah dipersakiti oleh Hong Jin Eng. Melihat ada orang berani membentur Hong Jin Eng, mereka jadi gembira dan ingin me-nyaksikan sampai di mana pemuda itu akan mem-beri hajaran.

"Hari ini aku mengadakan pesta besar!" teriak Ouw Hui. "Semua arak dan makanan yang diroakan oleh sahabat-sahabat, akan dibayar olehku. Tak boleh kau menerima uang sepeser pun dari mereka. Lekas keluarkan guciguci arak dan masak sayur sayur yang paling enak. Potong sembilan anjing jahat itu dan masak dagingnya." Hong Cit yang sudah mati kutu mengiyakan atas sesuatu perintah dan para pegawai restoran pun tak ada yang berani berlaku ayal-ayalan.

Melihat kegarangan pemuda itu, hati enam tukang pukul Hong Jin Eng berdebar-debar, me¬reka tak tahu Ouw Hui akan rnenjatuhkan hukuman apa terhadap mereka.

Sesudah semua perintahnya diturut, dengan tindakan lebar Ouw Hui turun ke bawah loteng. Ia menuang semangkok arak dan berkata dengan sua-ra nyaring: "Saudara-saudara, hari ini siauwtee mengundang sekalian untuk minum. Apa yang kali¬an ingin minum, apa yang kalian ingin makan, minta saja, jangan sungkan. Jika orang-orang di sini berani mernbandel, dengan sebuah obor aku nanti mem-bakar seluruh rumah makan ini." Undangan itu disambut dengan tampik sorak oleh para hadirin yang lantas saja mencegluk cawan arak mereka.


DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar