-------------------------------
----------------------------
Jilid 12
Hasil itu menyadarkan Ouw Hui.
Jalan paling baik untuk mcngundurkan musuh adalah meng-gunakan senjata rahasia,
hanya sayang ia tidak mem-bekalnya. Sesudah mendapat pelajaran pahit, para
.Wie-su tidak berani menyerang lagi dengan senjata rahasia.
Ouw Hui jadi semakin bingung.
Perjalanan ke Soan-bu-bun masih jauh, sedang teriakan-teriakan orang-orang itu
sudah pasti akan menarik perhatian serdadu peronda. Dalam bingungnya ia ingat
mang¬kok yang berada dalam sakunya. Ia segera meremas mangkok itu hanya pantat mangkok yang tidak
dihancurkan dan mencekal
kepingan-kepingan persolen dalam tangannya. Dengan sekali meng-ayun tangan
kiri, lima Wie-su rubuh disambar ke-pingan mangkok pada jalan darahnya, sedang
tiga Wie-su lainnya yang berkepandaian lebih tinggi, dapat menyampok
"senjata rahasia" itu dengan go-lok mereka. Beberapa orang lantas
saja melompat turun dari tunggangannya untuk menolong kawan-kawannya yang
rubuh, sedang yang lainnya tidak berani datang terlalu dekat lagi.
Ouw Hui bernapas lebih lega.
la girang ketika mendapat kenyataan, bahwa Ma It Hong masih bernapas dan
kadang-kadang mengeluarkan rintih-an perlahan. Sementara itu, ia sudah hampir
tiba di gedungnya. Waktu tiba di jalan bercabang, ia mem-belokkan kereta ke
jurusan barat, sedang gedung¬nya berada di sebelah timur. Sesudah membelok lagi
di sebuah tikungan, sambil mendukung It Hong, ia mencambuk kuda beberapa kali,
sedang ia sendiri melompat ke atas sebuah rumah. Kereta itu kabur terus ke arah
barat dengan dikejar oleh para Wie-su.
Sesudah para pengejar pergi
jauh, barulah Ouw Hui kembali ke gedungnya dengan mengambil jalan dari atas
atap rumah-rumah penduduk. Baru ia melompati tembok gedungnya, sudah terdengar
suara Leng So: "Toako, kau kembali! Kau dikejar orang?" "Ma
Kouwnio kena racun hebat, coba periksa," kata sang kakak. Sambil mendukung
It Hong, Ouw Hui masuk ke ruangan tengah dan Leng so me-nyulut lilin. Sambil
menggelengkan kepala, si nona mengawasi muka nyonya itu yang bersorot abu-abu.
Ia memijit jari-jari tangan It Hong, ternyata da-gingnya tetap melesak, tidak
membal ke atas lagi. "Kena racun apa?" tanyanya.
Dari dalam sakunya Ouw Hui
mengeluarkan pantat mangkok, "Kena racun yang ditaruh di dalam
somthung," jawabnya. "Inilah pantat mangkok som-thung itu." Leng
So mencium pantat mangkok itu. Sebagai ahli urusan racun, ia lantas saja
berkata dengan suara kaget: "Hebat! Inilah racun Ho-teng-hong."
"Masih bisa ditolong?" tanya Ouw Hui.
Sebelum menyahut, Leng so
memegang dada It Hong. "Kalau bukan orang kaya raya, tak nanti mempunyai
racun yang mahal itu," katanya.
"Benar," kata Ouw
Hui dengan suara gusar, "Yang menaruh racun adalah nyonya Siang-kok
(perdana menteri), ibunya Peng-po Siang-sie." Leng So mengangguk, kedua
matanya meng¬awasi It Hong dengan penuh perhatian. Melihat paras muka adiknya
yang tidak memperlihatkan sinar putus harapan, hati Ouw Hui agak lega. Se¬sudah
mengawasi beberapa saat, Leng So membuka kelopak mata It Hong. Mendadak ia
mengeluarkan seruan tertahan: "Aha!" Ouw Hui terkesiap. "Mengapa?"
tanyanya.
"Di samping Ho-teng-hong,
terdapat juga Hoan-bok-pie," jawabnya.
Ouw Hui tidak berani menanya,
"Bisa ditolong atau tidak?" Sambil mengawasi adiknya, ia bertanya:
"Bagaimana menolongnya?" Alis si nona berkerut: "Dengan adanya
dua macam racun itu, kita jadi lebih berabe," jawabnya. Ia masuk ke kamar
dan mengambil dua butir yo-wan putih. Sambil memasukkan obat itu ke dalam mulut
It Hong, ia berkata: "Kita harus menaruhnya di dalam sebuah kamar yang
sunyi, menusuk tiga belas jalanan darahnya dengan jarum emas dan kemudian
memasukkan obat ke dalam tubuhnya dari jalan darah. Sebenarnya, dengan
menggunakan jarum, kita dapat menolongnya dengan segera, akan tetapi, selama
dua belas jam ia tidak boleh bergerak sedikit pun jua." "Kita tidak
dapat menggunakan jarum di sini, karena Wie-su Hok Kong An akan segera
datang," kata Ouw Hui. "Kita harus cari sebuah rumah di kampung yang
sepi." "Kalau begitu kita harus berangkat sekarang juga," kata
Leng So. "Dua butir yo-wan itu dapat mempertahankan jiwanya selama satu
jam." la menghela napas dan berkata pula: "Walaupun ke-jam,
pengetahuan tentang racun dari nyonya Siang-kok itu masih sangat rendah. Dengan
mencampur dua macam racun dan menaruhnya di dalam som-thung, tenaga racun itu
menjadi lemah. Kalau bukan begitu, jiwa Ma Kouwnio tentu sudah melayang."
Cepat-cepat Ouw Hui berkemas. "Pada jaman ini, siapakah yang dapat
menandingi ilmunya Tok-chiu Yo-ong?" katanya.
Leng So tersenyum. Selagi ia
mau menjawab, tiba-tiba terdengar suara kaki kuda yang menda-tangi dari sebelah
kejauhan. Ouw Hui menghunus golok dan berkata: "Kita terpaksa mesti
bertempur." Ia bingungdan berkata pula: "Semakin lama jumlah musuh
tentu semakin banyak. Kalau bahaya terlalu besar, paling banyak aku bisa
menolong Jie-moay. Bagaimana kita dapat menolong Ma Kouwnio?" "Dalam
kota raja, tak dapat kita menggunakan kekerasan," kata si adik.
"Toako, coba kau me-nyusun kursi meja sampai merupakan sebuah ra-ngon
tinggi." Ouw Hui tak mengerti maksudnya, tapi karena tahu kepintarannya si
adik, tanpa menanya lagi, ia lalu menyusun semua meja dan kursi yang berada
dalam ruangan itu.
Sambil menuding satu pohon
besar yang tum-buh di luar jendela, Leng so berkata: "Bersama Ma Kouwnio,
kau bersembunyi dalam pohon itu." Ouw Hui segera memasukkan goloknya ke
da¬lam sarung dan buru-buru mendukung Ma It Hong. Dengan sekali mengenjot
badan, ia hinggap di atas satu dahan dan lalu menyembunyikan nyonya itu di
antara daun-daun yang rindang.
Sementara itu, dengan
melompati tembok, be-berapa Wie-su sudah masuk ke dalam pekarangan gedung dan
dengan membentak-bentak, ia mena-nyakan keterangan dari pengurus rumah.
Leng So meniup lilin dan dari
sakunya ia me-ngeluarkan sebatang lilin lain yang lalu disulutnya dan
ditancapkan di sebuah ciak-tay. Sesudah me-nutup jendela dan pintu, barulah ia
melompat naik ke pohon itu dan berdiri di samping kakaknya.
"Semuanya ada tujuh
orang," bisik Ouw Hui.
"Tenaga obat lebih dari
cukup!" jawab si adik.
Sekarang Ouw Hui mengetahui,
bahwa lilin yang dipasang oleh adiknya adalah lilin racun.
Para Wie-su itu sudah mulai
menggeledah. Di antara suara mereka, Ouw Hui kenali, bahwa salah seorang adalah
In Tiong Shiang.
Karena jeri terhadap Ouw Hui
dan juga sebab Wan Cie Ie masih berada dalam gedung itu, mereka tidak berani
berlaku sembrono dan tidak berani menggeledah dengan berpencaran.
Sambil menyerahkan sebutir
batu ke dalam tangan Ouw Hui, Leng So berbisik: "Toako, ru-buhkan sebuah
kursi dengan batu ini!" "Bagus!" kata sang kakak sambil tertawa
dan lalu menimpuk. Batu itu mengena tepat pada kursi yang di tengah-tengah dan
dengan satu suara ge-debrukan, beberapa kursi meja yang berada di atas nya
terguling di lantai.
"Di sini! Di sini!"
teriak para Wie-su. Beramai-ramai mereka meluruk ke ruangan itu. Tapi, kecuali
kursi meja yang jatuh berhamburan, dalam ruangan itu tak terdapat bayangan
manusia. Mendadak me¬reka merasa puyeng dan tak ampun lagi ambruk di lantai.
Dengan cepat Leng So melompat
masuk lagi ke dalam ruangan itu, meniup lilin yang lalu dimasuk-kan ke dalam
sakunya. "Ayo berangkat!" katanya seraya menggapai Ouw Hui.
Ouw Hui lantas saja mendukung
Ma It Hong dan bersama adiknya, ia melompati tembok. Belum jalan beberapa jauh,
ia mengeluh, karena di sebelah depan terlihat barisan tentara yang sedang
melang-kah melakukan penggeledahan dengan membawa obor dan tengloleng.
Buru-buru mereka membelok ke selatan, tapi belum setengah li, mereka sudah
bertemu pula dengan sepasukan tentara yang me-ronda. "Pembunuhan dalam
gedung Hok Thayswee rupanya sudah diketahui," kata Ouw Hui di dalam hati. "Bagaimana
baiknya? Tak mudah untuk me-loloskan diri ke luar kota." Sekonyong-konyong
ia dengar suara ribut-ribut di belakangnya dan se¬pasukan tentara kelihatan
mendatangi dari sebelah belakang. Ouw Hui bingung, musuh mendatangi dari depan
dan dari belakang. Sambil memberi isyarat kepada Leng so, ia melompati tembok
pe-karangan sebuah gedung, diturut oleh adiknya.
Mereka hinggap di atas rumput
yang empuk dari sebuah taman. Tiba-tiba mereka terkesiap, karena taman itu
terang-benderang dan tak jauh dari tempat mereka berdiri, kelihatan berkumpul
banyak orang. Hampir berbareng, di luar tembok terdengar suara ramai, sebagai
tanda, bahwa kedua pasukan tadi yang datang dari depan dan dari be¬lakang,
sudah bertemu satu sama lain, sehingga mereka tak akan dapat melarikan diri lagi
dari jalanan itu. Untung juga, Ouw Hui lihat sebuah gunung-gunungan yang
teraling dengan pohon-po-hon bunga. Dengan cepat ia melompat ke belakang
gunung-gunungan itu untuk menyembunyikan diri.
Mendadak, sehelai sinar putih
berkelebat dan sebatang golok menyambar dada. Ouw Hui kaget bukan main, sedikit
pun ia tidak menduga, bahwa di belakang gunung-gunungan itu bersembunyi mu¬suh.
Mau tidak mau, ia melepaskan Ma It Hong yang menengkurap di punggungnya, tangan
kirinya menyanggah sikut orang itu, tangan kanannya balas menyerang. Orang itu
pun tak kurang lihaynya. Ia mengegos dan goloknya kembali menyambar, se¬dang
tangan kirinya coba menangkap pergelangan tangan Ouw Hui dengan ilmu Kin-na
Chiu-hoat. Apa yang luar biasa, dia memakai topeng kain kuning dan menyerang
tanpa bersuara. "Bagus juga dia menutup mulut, pikir Ouw Hui. "Sekali
dia berteriak, tentara yang berada di luar tembok pasti akan segera
meluruk." Mereka lantas saja bertempur dengan hebat-nya. Kepandaian orang
itu tidak berada di sebelah bawah Cin Nay Cie dan dengan bersenjata, ia
me-narik banyak keuntungan atas Ouw Hui yang ber-kelahi dengan tangan kosong.
Pada jurus ke sem-bilan, barulah Ouw Hui berhasil menotok jalan darah
Kiu-bwee-hiat, di dada orang itu. Tapi dia ternyata gagah sekali.
Biarpun sudah kena ditotok, ia
masih dapat menendang. Sesudah Ouw Hui menotok jalan darah Tiong-touw-hiat, di
tumit kakinya, barulah ia rubuh.
Sesudah musuh rubuh, Leng So
menyentuh pundak kakaknya dan sambil menuding ke tempat yang banyak lampunya,
ia berbisik: "Toako, ke-lihatannya bakal ada pertunjukan wayang." Ouw
Hui mendongak dan melihat sebuah pang¬gung wayang yang berdiri di dalam
pekarangan yang luas, sedang di depan panggung berderet-deret kur-si yang sudah
penuh dengan penonton, tapi per¬tunjukan belum dimulai. Jaman itu adalah jaman
Kaisar Kian-liong yang sangat makmur dan di kota raja, setiap kali pembesar
negeri atau hartawan mengadakan pesta, mereka tentu memanggil wa¬yang yang main
sampai beberapa had, siang malam tiada putusnya.
Sambil mengangguk, Ouw Hui
membungkuk dan mencopotkan kain kuning yang menutupi muka lawan yang sudah
rubuh itu. Remang-renang, ia lihat muka yang kasar dari seorang berusia
kira-kira empat puluh tahun. "Mungkin dia pencuri," katanya dengan
suara perlahan.
"Kurasa bukan buaya
kecil," kata Leng So.
Ouw Hui tertawa. "Siapa
tahu? Dalam kota raja, penjahat kecil pun bisa memiliki kepandaian
tinggi," katanya. Tapi di dalam hati, ia mengakui, bahwa dilihat dari
kepandaiannya tak mungkin orang itu penjahat biasa.
"Apa tidak baik kita cari
sebuah kamar yang terpencil dan sepi dalam gedung yang besar ini, untuk
bersembunyi dua belas jam lamanya?" bisik si nona.
"Ya, itu memang jalan
satu-satunya," jawab sang kakak. "Dengan berkumpulnya begitu banyak
orang, kita pasti tak bisa keluar tanpa diketahui orang.
Baru saja ia berkata begitu,
tirai di atas pang¬gung mendadak terbuka dan muncul seseorang yang mengenakan
ma-kwa linen. Ia memberi hormat dan segera berkata dengan suara nyaring:
"Para Supeh, Susiok dan saudara-saudara seperguruan!" Mendengar
kata-kata pembukaan itu, Ouw Hui mengerti, bahwa panggung tersebut bukan
pang¬gung wayang.
Orang itu melanjutkan
pembicaraannya: "Seka-rang fajar sudah menyingsing dan tiga hari lagi,
kita akan menghadapi pertemuan besar antara para Ciangbunjin. Tapi sampai pada
detik ini, See-gak Hoa-kun-bun belum mempunyai Ciangbunjin. Urusan ini tidak
dapat ditunda-tunda lagi dan bagai-mana harus diselesaikannya, aku menyerahkan
ke-pada para Cianpwee dari berbagai pay." (pay = partai) Seorang tua yang
mengenakan ma-kwa hitam, yang duduk di bawah panggung, lantas saja bangun
berdiri. Ia batuk-batuk beberapa kali, dan lalu ber¬kata: "Hoa-kun
Su-sip-pat, Gee-seng-heng-thian-hee. Sedari tiga abad yang lalu, See-gak
Hoa-kun-bun terpecah menjadi lima partai, yaitu Partai Gee, Seng, Heng, Thian
dan Hee. Semenjak tiga abad, memang kita tidak pernah mempunyai Cong ciang-bun
(pemimpin besar). Kelima partai itu telah maju dengan makmurnya. Akan tetapi,
semua saudara-saudara hanya memperhatikan partai masing-ma-sing. Setiap orang
mengatakan: "Aku dari Gee-cie-pay (partai huruf Gee), aku dari
Seng-cie-pay (partai huruf Seng) dan sebagainya. Mereka tidak ingat, bahwa di
mata orang luar mereka semua dianggap sebagai anggota See-gak Hoa-kun-bun.
Anggota partai kita sangat
besar jumlahnya dan ilmu yang diturunkan oleh Loo-couw (kakek guru) juga bukan
ilmu sembarangan, akan tetapi, kita tak bisa menandingi Siauw-lim, Bu-tong,
Thay-kek, Pat-kwa dan Iain-lain partai. Mengapa? Karena kita terpecah-pecah dan
karena perpecahan itu, kita jadi lemah.
Ya! Apa mau dikata?" la
batuk-batuk beberapa kali, menghela napas dan kemudian berkata pula:
"Kalau bukan Hok Thayswee mengadakan pertemu-an para Ciangbunjin, entah
sampai kapan See-gak Hoa-kun-bun baru punya Ciangbunjin. Untung juga terjadi
kejadian begini, sehingga mau tak mau, kita mesti juga mengangkat seorang
Ciong-ciang-bun. Hari ini, aku si tua, ingin mengutarakan pendapat-ku:
Ciangbunjin yang akan dipilih oleh kita sekrang, bukan saja harus membikin
terang muka See-gak Hoa-kun-bun dalam pertemuan itu, tapi juga harus
membereskan urusan di dalam partai, supaya kelima cabang itu, kembali kepada
asalnya yang semula, agar kita beramai-ramai, dengan bersatu padu, da-pat
menonjolkan nama See Gak-kun-bun dalam Rimba Persilatan." Pembicaraan
orang tua itu disambut dengan sorak-sorai dan tepuk tangan oleh para hadirin.
Sekarang Ouw Hui baru mengerti
maksud ber-kumpulnya orang-orang itu. la memandang ke em-pat penjuru dengan
niatan mencari tempat yang agak sepi untuk menyingkirkan diri. Tapi semua
jalanan berada di bawah sinar lampu dan dalam taman itu berkumpul kira-kira dua
ratus orang, sehingga begitu keluar dari tempat bersembunyi, mereka pasti
dilihat orang, Ouw Hui jadi bingung. la hanya berdoa, supaya pemilihan
Ciangbunjin itu bisa selesai secepat mungkin.
"Perkataan Coa Supeh
merupakan nasehat yang sangat berharga," kata orang yang berdiri di atas
panggung. "Sebagai pemimpin Gee-cie-pay, dengan memberanikan hati boanpwee
mewakili para sau-dara separtai, memilih Ciangbunjin, maka kami se¬mua dengan
satu hati, akan menutut segala perintah Ciangbunjin tersebut. Apa yang
dikatakan oleh pemimpin kita itu, tak akan dibantah oleh orang-orang
Gee-cie-pay." "Bagus!" teriak seorang dengan suara nyaring.
Pemimpin Gee-cie-pay itu
tersenyum dan ber¬kata: "Bagaimana pendapat Iain-lain pay?" Salah
seorang yang berada di bawah panggung bangun berdiri dan menjawab dengan suara
nyaring: "Kami dari Seng-cie-pay juga tak akan menentang segala
perintahnya Ciangbunjin baru." Dengan beruntun-runtun, beberapa orang
ba¬ngun berdiri.
"Perintah dari
Ciangbunjin kita akan diturut seanteronya oleh Heng-cie-pay."
"Hee-cie-pay adalah partai yang paling bungsu, kalau kakak jalan, adik tak
bisa tidak menurut." "Bagus!" kata orang yang berdiri di atas
pang¬gung. "Semua golongan bersatu padu dan kita tidak bisa mengharapkan
yang lebih baik daripada ini. Sekarang para tetua dari berbagai partai, para
Su¬peh dan Susiok sudah berada di sini dan yang masih belum tiba hanyalah Kie
Supeh dari Thian-cie-pay.
Orang tua itu telah mengirim
sepucuk surat yang memberitahukan, bahwa ia telah mengirimkan pu-teranya, yaitu
Kie Suheng, untuk mewakilinya da-lam pertemuan kita ini. Tapi ditunggu sampai
se-karang, Kie Suheng belum juga muncul. Kudengar Suheng ini agak luar biasa
dan di antara kita, siapa pun juga belum pernah bertemu dengannya. Mung-kin
sekali ia sudah berada di sini dan menyem-bunyikan diri, entah di
mana...." Berkata sampai di situ, ia disambut dengan gelak tertawa.
"Apakah kau she
Kie?" Ouw Hui tanya pecun-dangnya.
Orang itu mengangguk, ia
kelihatan bingung ka-rena tak tahu siapa adanya Ouw Hui dan Leng So.
"Sesudah menunggu hampir
semalam suntuk dan Kie Suheng belum juga datang, kita sekarang tidak dapat
menunggu lebih lama lagi," kata pula orang yang berdiri di atas panggung.
Di belakang hari, Kie Supeh tentu tak bisa marahi kita. Kini aku memohon
petunjuk para Cianpwee, Supeh, Susiok, cara bagaimana kita harus memilih
Ciangbunjin." Mendengar perkataan itu, semua orang yang sudah menunggu
lama dengan tidak sabar, lantas saja jadi bersemangat dan mereka berlomba-lomba
mengajukan usul.
"Adu ilmu silat!"
"Memang! Kalau bukan adu silat, mau adu apa?" "Kita harus
gunakan senjata tulen!" Di antara teriakan-teriakan itu, si orang she Coa
kembali bangun berdiri dan batuk-batuk bebe-rapa kali. "Sebenarnya, dalam
memilih Ciangbunjin, kita harus lebih mengutamakan pribudi daripada kepandaian
silat," katanya. "Anak-anak muda se¬karang, betapapun tinggi ilmu
silatnya, tak akan dapat menandingi para Cianpwee yang pribudinya luhur dan
dihormati orang." Ia berdiam sejenak dan kedua matanya yang tajam menyapu
para hadirin. "Tapi kita sekarang tengah menghadapi keadaan luar
biasa," katanya pula. "Pertemuan para Ciang¬bunjin yang bakal
diadakan merupakan pertemuan para orang gagah dan secara wajar, mereka
masing-masing akan mengeluarkan kepandaian. Andaikata See-gak Hoa-kun-bun
memilih seorang tua bangka yang luhur pribudinya, dalam pertemuan tersebut,
belum tentu orang dapat menghargai pribudi tua bangka itu...." Para hadirin
tertawa berkakakan, sedang Leng so cekikikan sambil menutup mulutnya dengan
sapu tangan.
Sesudah gelak tertawa mereda,
si tua berkata pula: "Hoa-kun Su-sip-pat, Gee-seng-heng-thian-hee. Hanya
sayang, selama beberapa ratus tahun, tak pernah ada seorang pun dapat memahami
se-luruh ilmu silat Hoa-kun-bun yang mempunyai em-pat puluh delapan jalan. Di
hari ini, siapa yang memiliki kepandaian paling tinggi, dialah yang akan
menjadi Ciangbunjin kita." Pembicaraan si tua disambut dengan sorak sorai.
Tiba-tiba pintu depan digedor
keras. Semua orang terkejut.
"Apa Kie Suheng?"
tanya seorang. Beberapa orang lantas membuka pintu dan begitu pintu ter-buka,
segera menerobos masuk sejumlah serdadu yang membawa obor dan tengloleng.
Dengan tangan kanan mencekal
golok, tangan kiri Ouw Hui memegang tangan Leng So dan me-reka saling mengawasi
sambil tersenyum. Dalam menghadapi bahaya, hati kedua orang muda itu lebih
bersatu padu. Tapi di lain saat, si nona me-nunduk dan paras mukanya berubah
duka.
Perwira yang memimpin rombongan
serdadu itu, segera menanyakan keterangan dari beberapa orang. Begitu
mengetahui, bahwa orang-orang itu berkumpul untuk memilih Ciangbunjin dari
See-gak Hoa-kun-bun, sikapnya lantas saja berubah hormat, tapi dengan
menggunakan obor dan tengloleng, ia dan tentaranya lantas saja menyuluhi muka
setiap orang dan menyelidiki di seputar taman itu.
Ouw Hui dan Leng So siap
sedia. Jika tentara itu menyatroni sampai di belakang gunung-gunung-an, tiada
lain jalan daripada menyerang.
Tiba-tiba, selagi sinar obor
mendekati gunung-gunungan, orang yang berdiri di atas panggung sudah berkata
pula: "Siapa yang ilmu silatnya paling tinggi, dialah yang menjadi
Ciangbunjin. Hal ini sudah didengar dan disetujui oleh kita semua. Maka itu,
para Supeh, Susiok, Suheng-tee dan Suci-moay boleh segera naik ke sini untuk
memperlihatkan kepandaian yang paling istimewa." Undangan itu disusul
dengan melompat naik seorang wanita muda yang mengenakan baju warna dadu.
"Ko In, murid Heng-cie-pay, meminta pelajar-an dari para Supeh, Susiok dan
saudara-saudara," katanya dengan suara merdu.
Melihat ilmu mengentengkan
badan nona itu yang sangat bagus, ditambah dengan pakaiannya yang indah dan
parasnya yang cantik, para hadirin menyambutnya dengan tepuk tangan dan
sorakan. Serdadu-serdadu yang tengah menghampiri, gunung-gunungan itu jadi
kagum bukan main dan habislah kegembiraan mereka untuk melanjutkan
penggele-dahan.
Baru habis si nona
memperkenalkan diri, se¬orang pemuda sudah melompat ke atas. "Thio Hok
Liong, murid Gee-cie-pay, ingin meminta pelajaran dari Ko Suci," katanya
seraya memberi hormat. "Thio Suheng tak usah berlaku sungkan," kata
nona Ko. Ia menekuk sedikit betis kanan, melonjorkan betis kiri, melintangkan
telapak tangan kanan dan membengkokkan tangan kiri. Itulah pukulan per-tama
dari Hoa-kun, Cut-sit Kwa-houw See-gak-toan (pukulan menunggang harimau). Thio
Hok Liong mengangkat lututnya dan mengirim pukulan dengan telapak tangannya
dalam gerakan San-yang Teng-kie Kak-tok-hian (Kambing hinggap di dahan pohon,
kakinya menggelantung). Mereka lantas saja bertempur dengan hebatnya, dengan
masing-ma-sing menggunakan ilmu silat Hoa-kun-bun. Sesudah lewat kira-kira dua
puluh jurus, bagaikan kilat, nona Ko menyerang dengan pukulan Hui-tauw
Bong-goat Hong-tian-cie (Mernutar kepala melihat rem-bulan, burung Hong membuka
sayap), kakinya me¬lompat, tangannya menyambar, sehingga tak ampun lagi, Thio
Hok Liong rubuh ke bawah panggung.
"Bagus!" teriak si
perwira, "Sungguh lihay nona itu." Di lain saat, seorang lelaki yang
bertubuh kasar sudah melompat ke atas panggung dan sehabis mengucapkan
kata-kata merendahkan diri, mereka lantas saja bertempur. Kali ini, Ko In-lah
yang rubuh ke bawah, karena kakinya
terpelescl.
"Sayang! Sayang
sungguh!" seru si perwira. Se-sudah nona itu rubuh, ia tidak mempunyai
kegem-biraan untuk menonton terus dan sambil mengajak anak buahnya, ia segera
meninggalkan gedung itu, untuk menjalankan tugas di tempat lain.
Melihat rombongan serdadu
sudah berlalu, hati Leng So jadi agak lega. Tapi sesudah beberapa lama, hatinya
jadi jengkel dan tidak sabar, karena pertem-puran berlangsung terus tak
henti-hentinya, yang satu turun, yang lain naik dan begitu seterusnya. Sampai
kapan baru mereka berhasil memilih Ciang-bunjin? Ia melirik Ouw Hui yang
ternyata sedang memperhatikan jalan pertandingan dengan sepe-nuh perhatian. Si
nona heran dan berkata dalam hatinya: "Biarpun kepandaian mereka tidak
dapat dikatakan rendah, tapi mereka bukan ahli silat kelas satu. Mengapa Toako
memperhatikan sampai ter-longong-longong?" Ia menyentuh tangan kakaknya
dan berbisik: "Toako, sekarang sudah lewat lebih dari setengah jam. Kita
harus berdaya untuk me-nolong Ma Kouwnio secepat mungkin. Kalau ter-lambat,
mungkin jiwanya melayang." Ouw Hui ha-nya menyahut dengan suara
"hm", tapi matanya tetap mengawasi panggung.
Beberapa saat kemudian, salah
seorang jatuh, disusul dengan naiknya seorang lain yang lantas saja mulai
bertanding dengan orang yang menang.
Dalam pertandingan itu,
meskipun mereka orang sekaum, akan tetapi yang bertempur adalah murid-murid
dari partai yang berlainan. Kalah menang mereka mengenakan langsung kepada nama
partai masing-masing, sehingga dengan demikian, mereka berkelahi dengan sungguh-sungguh. Dilihat
dari jalan pertandingan, pentolan-pentolan kelima par¬tai Hoa-kun-bun belum ada
yang muncul dan hal itu lebih-lebih menjengkelkan Leng So, karena tak dapat
diramalkan lagi, sampai kapan pertandingan bisa selesai.
Melihat kakaknya memperhatikan
pertempur-an itu seperti orang kehilangan semangat, si nona berkata dalam hatinya:
"Hm! Toako adalah seorang yang tergila-gila dengan ilmu silat. Begitu
lihat orang pie-bu, ia melupakan segala apa." Sambil menepuk pundak Ouw
Hui, ia berkata dengan suara perlahan: "Kita sudah tak mempunyai banyak
tempo lagi. Paling benar kita coba keluar dari sini. Me-nurut pendapatku,
sebagai orang-orang gagah dari Rimba Persilatan, belum tentu mereka
mencelaka¬kan kita dengan melaporkan kepada pembesar ne-geri." Ouw Hui
menggelengkan kepala. "Urusan lain masih tidak apa, tapi dalam urusan yang
mengena¬kan Hok Thayswee, mana bisa mereka tinggal diam saja?" katanya.
"Dengan mencelakakan kita, mereka mendapat kesempatan untuk memperoleh
pahala.
"Kalau begitu,
untung-untungan di sini saja kita niengobati Ma Kouwnio," kata pula Leng
So. "Tapi celakanya, di siang hari, bersembunyinya kita di tempat ini
pasti diketahui orang." Waktu meng-ucapkan kata-kata itu, nadanya bingung
sekali. Da¬lam keadaan terdesak, nona Thia yang cerdas dan tenang jadi putus
asa.
Tapi Ouw Hui hanya menyahut
dengan "hm", sedang kedua matanya tetap mengawasi kedua ang-gota
Hoa-kun-bun yang sedang bertanding di atas panggung. Leng So menghela napas.
"Jika sebenta Ma Kouwnio tidak dapat ditolong lagi, jangan kau salahkan
aku," bisiknya.
Mendadak Ouw Hui berkata:
"Baiklah! Walau-pun aku belum bisa menangkap seluruhnya, biarlah kita
menempuh bahaya dan mencoba-coba." "Apa?" tanya si adik yang
tidak mengerti mak-sud kakaknya.
"Aku ingin merebut kursi
Ciangbunjin dari See-gak Hoa-kun-bun," jawabnya. "Jika, dengan berkah
Tuhan, aku berhasil, mereka akan dengar semua perintahku." Si nona jadi
girang bukan main. Sambil me-nepuk-nepuk pundak kakaknya beberapa kali, ia
berkata: "Kau pasti berhasil! Pasti berhasil! Orang-orang itu bukan
tandinganmu." "Jie-moay, kau tak tahu kesukarannya," kata Ouw
Hui sambil tersenyum. "Yang paling sukar adalah aku mesti berkelahi dengan
menggunakan ilmu silat Hoa-kun-bun. Dalam tempo yang begitu pendek, mana aku
bisa ingat semua pukulan-pukul-an? Menghadapi orang-orang yang berkepandaian
rendah masih tak apa. Tapi kalau berhadapan de¬ngan pentolan-pentolannya,
topengku pasti akan terlucut karena aku belum biasa menggunakan ilmu silat itu.
Celakanya, jika aku tidak diakui sebagai murid Hoa-kun-bun, biarpun menang,
mereka tentu tak sudi mengangkat aku sebagai Ciangbunjin." Ber¬kata sampai
di situ, mau tak mau ia ingat Wan Cie Ie, yang paham dengan ilmu silat dari
berbagai cabang dan partai persilatan. Jika nona Wan yang maju, kemungkinan
berhasil banyak lebih besar.
Mendadak terdengar teriakan
"Aduh!" dan se orang terpelanting ke bawah panggung.
"Kurang ajar! Mengapa
memukul begitu he-bat?" tcriak seorang.
"Sesudah bertempur, mana
ada berat enteng?" bentak seorang lain. "Jika kau mempunyai
kepan-daian, naiklah!" Beberapa orang di bawah panggung lantas saja bertengkar
dengan sengit.
"Jie-moay," bisik
Ouw Hui. "Kalau temponya tiba dan aku belum dapat merebut Ciangbunjin, kau
boleh segera mengobati Ma Kouwnio di sini." "Baiklah," kata si
adik sambil tersenyum. "Orang lain sudah berhasil menjadi Ciong-ciang-bun
dari tiga belas partai. Masakah satu saja kau tak mampu merebutnya?"
Dengan "orang lain" si nona maksud-kan Wan Cie Ie. Melihat kakaknya
maju ke depan panggung dengan tindakan lebar, hati Leng So girang, kagum,
bercampur duka.
Sebelum Ouw Hui keburu
melompat ke atas panggung, seorang lain yang barusan bercekcok sudah
mcndahului. "Kalau tunggu sampai salah satu ada yang kalah, aku kembali
menyia-nyiakan tempo yang berharga dan keadaan Ma Kouwnio jadi se-inakin
berbahaya," pikirnya. Memikir begitu, lantas saja ia mengenjot badan dan
selagi tubuhnya masih berada di tengah udara, tangannya sudah menyam-bar
punggung orang itu seraya berkata: "Suheng tahan dulu. Biar aku yang
mencoba lebih dulu." Dalam cengkeramannya itu, Ouw Hui mengguna¬kan ilmu
Toakin-na Chiu-hoat dari keluarga Ouw. Jempolnya menekan jalan darah
Siok-ciat-hiat, se-dang kelingkingnya menotok jalanan darah Sin-to-hiat,
sehingga orang itu tak bisa bergerak lagi.
Berbareng dengan hinggapnya di
atas panggung, tangannya mengebas dan tubuh orang itu melayang ke bawah dan
jatuh duduk, tepat persis di sebuah kursi yang kosong.
Kepandaian yang luar biasa itu
sudah mengejut-kan semua orang, sehingga beberapa antaranya dengan serentak
bangun berdiri untuk bisa melihat-nya secara lebih tegas. Tapi Ouw Hui mengenakan
topeng kain kuning, sehingga para hadirin merasa kecewa. Hanya dengan melihat
taocangnya yang besar dan hitam jengat, mereka dapat menebak-nebak, bahwa jago
yang lihay itu bukan seorang tua. Pentolan-pentolan Hoa-kun-bun yang banyak
pengalaman jadi semakin heran, karena hampir tak dapat dipercaya, bahwa seorang
yang berusia muda bisa memiliki Lweekang yang begitu tinggi.
Sambil merangkap kedua
tangannya, Ouw Hui berkata kepada orang yang berdiri di hadapannya. "Murid
Thian-cie-pay, Thia Leng Ouw, ingin me-minta pengajaran dari Suheng,"
katanya.
Mendengar perkataan "Thia
Leng Ouw," Leng So tersenyum, tapi di lain saat, parasnya berubah duka.
"Kalau benar-benar aku mempunyai kakak kandung seperti dia, aku boleh tak
usah merasakan banyak kedukaan seperti sekarang," katanya di da-lam hati.
Sebelum bergebrak, lawan Ouw
Hui sudah me¬rasa keder. la membalas hormat seraya berkata: "Kepandaian
siauwtee masih sangat cetek, maka siauwtee mohon Suheng menaruh belas
kasihan." "Bagus! Bagus!" kata Ouw Hui yang tanpa
sung-kan-sungkan lagi karena ia perlu memburu tempo, lantas saja menyerang
dengan pukulan Cut-sit Kwa houw See-gak-toan. Orang itu buru-buru meng-angkat
lututnya dan menangkis dengan kedua te-Iapak tangan dalam gerakan Pek-wan
Tao-tho Pay-thian-teng (Kera putih mencuri buah tho, menyem-bah Langit), yaitu
semacam pukulan yang lebih mengutamakan pembelaan diri daripada penye-rangan.
Ouw Hui melompat dan menyerang pula dengan pukulan Gouw-ong Sit-kiam
Pek-giok-coan (Gouw Ong mencoba pedang menebas giok). Orang itu tetap tidak
berani menyambut kekerasan dengan kekerasan.
Buru-buru ia melompat ke
belakang untuk me-nyingkir dari serangan itu. Ouw Hui sungkan mem-beri
kesempatan lagi kepadanya. Sambil melompat ia meninju dengan pukulan Sia-sin
Lan-bun Ca-tiat-soan (Miringkan badan berdiri di pintu memasang tapal). Orang
itu coba menangkis, tapi dengan se-kali mengerahkan Lweekang, Ouw Hui
melontar-kannya ke bawah panggung.
Hampir berbareng, di bawah
panggung ter-dengar bentakan keras dan orang yang pertama dilemparkan Ouw Hui,
coba melompat naik. "Bang-sat! Jangan kurang ajar kau!" cacinya. Ouw
Hui meloncat ke pinggir panggung dan menghantam dengan pukulan Kim-peog Tian
Cie Teng-tiong-can (Garuda emas membuka sayap berdiri di tengah ruangan), sehingga
orang itu lantas saja jatuh lagi ke bawah. Karena mendongkol atas caciannya,
Ouw Hui memukul dengan menggunakan tiga bagian tenaga dan orang itu ambruk di
atas dua kursi yang jadi hancur berkeping-keping.
Sesudah rubuhnya dua orang
itu, para hadirin lantas saja bicara bisik-bisik satu sama lain dan banyak sekali yang menanyakan murid-murid
Thian-cie-pay tentang asal usulnya jago bertopeng itu yang mengaku sebagai
murid partai tersebut. Tapi tak seorang pun yang dapat memberi keterangan.
"Me-nurut penglihatanku, dia tidak begitu paham de-ngan ilmu silat partai
kita," kata seorang Cianpwee dari Gee-cie-pay. "Kalau tidak salah,
dia baru ber-guru pada tetua Thian-cie-pay sesudah mcmiliki ilmu silat dari
partai lain. Sepuluh sembilan dia adalah murid baru dari Kie Loosam."
"Kalau benar begitu, itulah salahnya Kie Loo¬sam sendiri," menyambung
seorang tua dari Seng-cie-pay. "Bahwa seorang murid coba merebut
ke-dudukan Ciangbunjin dengan menggunakan ilmu silat lain partai, sebenarnya
sangat menurunkan derajat ilmu silat partai kita." Orang yang dipanggil
"Kie Loosam" adalah te¬tua dari Thian-cie-pay. Dalam kalangan See-gak
Hoa-kun, dapat dikatakan ialah yang memiliki ke-pandaian palirq tinggi, hanya
sayang, semenjak pu-luhan tahun hers.' -;;, kedua kakinya lumpuh. Se-karang,
walaupun ia sendiri tidak menghadiri per-temuan, tapi karena namanya sangat
besar, orang-orang sekaum masih tetap mengindahkannya. Me-lihat kelihayan Ouw
Hui, sedang putera Kie Loosam belum juga datang, maka banyak orang menduga,
bahwa orang yang bertopeng itu adalah murid Kie Loosam. Mereka tentu saja tak
pernah mimpi, bah¬wa Kie Siau Hong putera Kie Loo-sam sedang rebah di belakang
gunung-gunungan akibat totokan Ouw Hui.
Sebagai seorang yang memiliki
kepandaian tinggi, Kie Loosam mempunyai satu cacad, yaitu adatnya yang agak
sombong dan ia tidak meman-dang scbelah mata kepada saudara-saudara
separ-tainya yang agak sombong dan ia menutup pintu dan sungkan menemui siapa
pun jua, sedang se-antero kepandaiannya ia turunkan kepada putera-nya. Untuk
menghadiri pertemuan memilih Ciang¬bunjin, See-gak Hoa-kun-bun, ia mengirim
putera-nya itu, yang merasa pasti, bahwa kursi Ciangbunjin akan dapat
direbutnya.
Meskipun ilmu silatnya sudah
hampir menan-dingi ayahnya, sifat Kie Siauw Hong tidak sejujur orang tua itu.
Diam-diam ia bersembunyi di be¬lakang gunung-gunungan dengan niat mempelajari
dulu kepandaian orang lain dan kemudian barulah turun tangan. Tidak dinyana,
seperti diantar ma-laikat, Ouw Hui dan Leng So yang membawa Ma It Hong datang
ke situ dan akhirnya ia rebah tanpa bisa berkutik lagi.
Tapi, walaupun tubuhnya tidak
berdaya, ku-pingnya dapat mendengar setiap perkataan dari pembicaraan antara
Ouw Hui dan Leng So. Hatinya panas karena ia menduga, bahwa Ouw Hui adalah
seorang pentolan dari lain partai yang sengaja da¬tang untuk merubuhkannya guna
merebut kedu-dukan Ciangbunjin. Waktu ditotok, ia sama sekali belum mendapat
kesempatan untuk mengeluarkan kepandaiannya. Maka itu, ia jadi semakin gusar.
Sesudah mendengar rubuhnya beberapa orang, ia menganggap bahwa dalam See-gak
Hoa-kun-bun, hanyalah ia seorang yang dapat menandingi Ouw Hui. Memikir begitu,
ia segera mengempos se-mangat untuk coba menjalankan aliran darah yang sena
ditotok.
Akan tetapi, ilmu menotok Ouw
Hui didapat dari leluhurnya dan sangat berbeda dengan ilmu yang dimiliki Siauw
Hong. Andaikata Siauw Hong mengerahkan Lweekang dengan pikiran tenang, belum
tentu ia bisa membuka jalan darahnya. De¬ngan kegusaran meluap-luap, ia
mengempos se-mangat dengan menggunakan seantero tenaganya dan baru selang
beberapa saat, hatinya mencelos karena napasnya tiba-tiba menyesak dan tak
ampun lagi ia pingsan.
Kejadian yang serupa itu sudah
lebih dulu di-alami ayahnya. Dalam usahanya untuk mendapat kemajuan secepat
mungkin, pada suatu hari, ketika sedang melatih Lweekang, Kie Loosam telah
mem-buat kesalahan, sehingga "api" dalam tubuhnya te¬lah
"membakar" dirinya sendiri dan kakinya menjadi lumpuh. Keadaan Siauw
Hong pada saat itu adalah lebih berbahaya daripada apa yang telah dialami oleh ayahnya.
Sementara itu, dengan penuh
perhatian, Leng So mengawasi jalan pertempuran di atas panggung. Ia mendapat
kenyataan, bahwa setiap pukulan yang dikeluarkan Ouw Hui adalah pukulan
Hoa-kun-bun yang baru saja dipelajarinya. "Toako sungguh ber-bakat,"
ia memuji di dalam hati. "Hoa-kun-bun adalah ilmu silat yang sulit, tapi
dengan melihat sekelebatan saja, ia sudah dapat memahaminya." Pada saat
itulah, kupingnya tiba-tiba menang-kap suara "huh" dari orang yang
sedang rebah di tanah. Mendengar nada luar biasa, ia melirik dan lantas saja ia
terkejut, karena mata orang itu ter-tutup, lidahnya melelet keluar, sedang
bibirya me-ngeluarkan darah dan badannya bergemetaran se perti orang demam.
Sebagai seorang yang mahir
dalam ilmu peng-obatan, si nona segera mengerti sebab musababnya. Jika tidak
lekas ditolong, Siauw Hong bisa jadi gila, atau paling sedikitnya, ilmu
silatnya akan musnah sama sekali. "Aku dan dia sama sekali tidak ada
bermusuhan," pikirnya. "Adalah tidak benar, jika dalam usaha menolong
satu manusia, lain manusia jadi celaka." Buru-buru ia mengeluarkan jarum
emas dan menusuk jalan darah Liam-coan, Thian-tou. Kie-bun dan Thay-hun. Selang
bebcrapa saal, Siauw Hoong tersadar. Melihat dirinya ditolong oleh si nona, ia
berkata dengan suara perlahan: "Banyak terima kasih untuk pertolongan
nona." Leng So buru-buru menaruh jari tangannya di bibir untuk melarang ia
bicara.
Mendadak terdengar suara Ouw
Hui: "Peratur-an merebut kedudukan Ciangbunjin sudah ditetap-kan, tapi
kalau bertanding secara begini, sampai kapan baru bisa selesai? Jika para
Supeh, Susiok dan saudara-saudara masih ingin memberi pelajaran kepadaku,
naiklah beramai-ramai, tiga empat orang juga boleh. Jika kalah, sedikit pun
siauwtee tidak merasa menyesal." Mendengar perkataan itu yang
kedengarannya sombong sekali, orang-orang dari keempat partai jadi gusarbukan
main. Memangjuga jika satu lawan satu, tiada seorang pun yang berani naik lagi.
Sc-sudah mendapat tantangan begitu, tanpa sungkan-sungkan lagi beberapa orang
lantas melompat ke atas dan mengerubuti Ouw Hui.
Tapi sebenarnya Ouw Hui bukan
sombong atau memandang rendah ilmu silat Hoa-kun-bun. Ia mc nantang begitu
karena terpaksa. Sebagaimana di-ketahui, ia belum mahir dalam ilmu silat itu
dan ia mengerti, bahwa jika bertanding satu lawan satu, lama-lama rahasianya
akan terbuka. Dalam pertem-puran beramai-ramai, ia dapat menggunakan tipu dan
orang sukar melihat gerakan gerakannya. Di-samping itu, dengan melayani
orang-orang itu terus-menerus, biarpun memiliki Lweekang yang sangat tinggi,
lambat laun ia akan menjadi lelah. Tapi apa yang paling penting ialah
dilangsungkannya per-tempuran dalam tempo lama akan mengakibatkan celakanya Ma
It Hong.
Dengan mengamuk seperti
harimau edan, da¬lam sekejap ia sudah merubuhkan sejumlah orang. Dalam
pertempuran itu, murid-murid Thian-cie-pay tidak turut serta, karena mereka
menganggap, bah¬wa Ouw Hui adalah murid Kie Loosam. Dalam keempat partai
lainnya, orang-orang muda semua sudah dirubuhkan, sedang pentolan-pentolan yang
sudah berusia lanjut tidak berani sembarangan maju, sebabjika dijatuhkan,
habislah nama besar mereka yang sudah dipertahankan selama banyak tahun.
Sekonyong-konyong si orang tua
she Coa ba-ngun berdiri. "Thia Suheng," katanya, "Ilmu silatmu
memang sangat tinggi dan aku merasa sangat ka-gum. Akan tetapi menurut
penglihatan mataku yang tua, pukulan-pukulanmu itu agak berbeda dan ilmu silat
dari partai kami...." Ouw Hui terkejut, sebab memang benar, mes-kipun ia
menggunakan pukulan-pukulan See-gak Hoa-kun-bun, tapi setiap kali merubuhkan
lawan, Lweekang yang digunakan adalah Lweekang ke-luarga Ouw.
See-gak Hoan-kun-bun adalah
semacam ilmu silat Gwa-kee yang terkenal di seluruh Tiongkok. Dalam tempo yang
begitu pendek, bagaimana ia dapat memahami sampai di dasar-dasarnya? Men-dengar
perkataan si tua, ia terpaksa mengambil sikap kepala batu. "Hoa-kun
Su-sip-pat, Gee-seng-heng-thia-hee," katanya dengan suara nyaring.
"Kata-kata itu membuktikan, bahwa dalam mempelajari ilmu silat kita,
sesudah berhasil, kepandaian setiap orang agak berbeda-beda. Kalau bukan begitu,
cara bagaimana kaum kita bisa terbagi dari lima buah partai? Dalam ilmu silat,
memang tidak ada per-aturan yang pasti. Kepandaian Thian-cie-pay mung-kin
sedikit berbeda dari yang lain." Dengan berkata begitu, ia bermaksud
menarik orang-orang Thian-cie-pay untuk menyokongnya. Benar saja, sesudah
mendengar alasan Ouw Hui yang merupakan pujian untuk partai mereka, murid-murid
Thian-cie-pay merasa senang sekali.
Si orang she Coa
menggeleng-gelengkan ke¬pala. "Thia Suheng, apakah kau murid Kie
Loo-sam?" tanyanya. "Kedua mataku belum lamur. Meli-hat
gerakan-gerakanmu, sepuluh sembilan kau bu¬kan orang dari kaum kami."
"Coa Supeh, kau salah," jawab Ouw Hui. "Kalau kaum kita ingin
turut merebut kedudukan tinggi dalam pertemuan para Ciangbunjin dan bertanding
dengan partai-partai besar lainnya, seperti Siauw-lim, Bu-tong, Thay-kek,
Pat-kwa dan sebagainya, maka kita harus mengeluarkan kepandaian yang istimewa,
yang lain dari yang lain. Coa Supeh, jika kau menganggap kepandaian teecu masih
rendah, kau merdeka untuk naik ke sini guna memberi petunjuk." Orang tua
itu kelihatan bersangsi, "Bahwa kaum kita mempunyai seorang yang
berkepandaian begitu tinggi seperti Thia Suheng, adalah kejadian yang sangat
menggirangkan," katanya. "Terang-terang aku mengakui, bahwa kepandaianku
masih tidak dapat menandingi kau. Tapi aku tetap bersangsi. Begini saja: Aku
minta kau menjalankan pokok-pokok dari ilmu silat Hoa-kun-bun.
Beberapa belas saudara kita
yang lebih tua akan menjadi juru pemutus. Jika Lauwtee benar orang dari kaum
kita, akulah yang akan paling dulu me-milih kau sebagai Ciangbunjin." Ouw
Hui terkesiap. Dalam pertempuran, de¬ngan pukulan-pukulan yang cepat, ia masih
bisa mengelabui mata orang. Tapi jika ia mesti men¬jalankan ilmu silat pokok
dari Hoa-kun-bun, to-pengnya pasti akan terlucut. Ia berotak cerdas, tapi
mendengar tuntutan si orang she Coa, ia bergetar.
Selagi ia mengasah otak untuk
coba menolak-nya, tiba-tiba terdengar teriakan di belakang gu-nung-gunungan:
"Coa Supeh! Mengapa kau selalu menyukarkan Thian-cie-pay? Thia Suheng
adalah murid ayahku yang paling utama dan ia sudah be-lajar enam belas tahun
lamanya. Apa Coa Supeh anggap ia masih belum mampu menjalankan ilmu silat kaum
kita?" Semua orang menengok dan ternyata, bahwa orang yang berkata begitu
dan yang sedang meng-hampiri panggung bukan lain daripada Kie Siauw Hong,
seorang yang sering mewakili ayahnya dalam berbagai urusan dan pada umumnya
sudah dianggap sebagai tetua Thian-cie-pay.
Begitu tiba di depan panggung,
Siauw Hong mengenjot badan dan hinggap di atas papan dengan gerakan yang indah.
Sambil merangkap kedua ta-ngannya, ia berkata: "Ayahku menutup pintu dan
mengasingkan diri dan telah menurunkan semua kepandaiannya kepada Thia Suko.
Enam belas ta-hun lamanya Thia Suko melatih diri dan kepan-daiannnya sepuluh
kali lebih tinggi dari pada aku. Kalian sudah menyaksikan dengan mata kepala
sendiri dan aku boleh tak usah bicara panjang-panjang." Mendengar
keterangan itu, kesangsian semua orang lantas saja lenyap. Mereka tahu, bahwa
Kie Loosam mempunyai adat aneh dan memang sangat mungkin, diam-diam ia mengajar
seorang murid berbakat untuk dimajukan secara tidak diduga juga. Mereka
mengenal Kie Siauw Hong sebagai seorang yang tidak mau kalah terhadap siapa pun
jua dan bahwa sekarang pemuda itu mengaku kalah lebih-lebih menghilangkan
kesangsian orang.
Baru saja si orang she Coa mau
membuka mulut, Kie Siauw Hong sudah mendahului dengan suara nyaring: "Jika
Coa Supeh ingin lihat ilmu silat Thian-cie-pay, biarlah aku yang mewakili Thia
Su-heng." Sebelum si tua keburu menjawab, ia sudah mulai bersilat. Cut-sit
Kwa-houw See-gak-toan, Kim-peng Tian-cie Teng-tiong-can... sejurus demi
sejurus... kedua tangannya memperlihatkan dua be¬las macam Chiu-hoat (pukulan
tangan), setiap ge-rakannya teguh mantap bagaikan gunung dan lincah gesit
seperti sambaran elang atau larinya kelinci. Para hadirin adalah
anggota-anggota See-gak Hoa-kun-bun yang mengerti ilmu silat itu, akan tetapi,
mereka semua mengawasi silat Kie Siauw Hong dengan rasa kagum. Bahkan
pentolan-pentolan yang sudah berusia lanjut manggut-manggutkan kepala-nya dan
memberi pujian tinggi.
Begitu lekas Siauw Hong
berhenti bersilat, tam-pik sorak gemuruh terdengar di seluruh lapangan.
Munculnya Siauw Hong sangat
mengherankan hati Ouw Hui karena ia tak tahu dengan jalan apa Leng So sudah
menaklukkan tokoh Thian-cie-pay itu, yang sudah menolong dirinya dari keadaan
terjepit.
Sehabis Siauw Hong jalankan
ilmu silatnya, ia juga memuji di dalam hati: "See-gak Hoa-kun-bun benar
hebat. Jika ia memperkuat ilmunya dengan tenaga Lweekang, ia bisa menjadi
seorang ahli silat yang sungguh-sungguh lihay." Tapi begitu selesai
bersilat, napas Siauw Hong tersengal-sengal dan badannya agak bergemetaran,
seperti orangyang belum sembuh dari sakitnya atau baru saja mendapat luka berat
dan keringat mem-basahi bajunya. Itu semua bukan menunjukkan tan-da-tanda dari
seorang yang berkepandaian tinggi. Untung juga, kecuali Ouw Hui yang berdiri
dekat. para hadirin yang duduk di bawah panggung tidak lihat gejala itu.
Sesudah menentramkan semangatnya,
Siauw Hong berkata pula: "Jika di antara Supeh, Susiok dan saudara-saudara
ada yang masih ingin menjajal kepandaian Suko, naiklah." Sesudah
mengulangi pertanyaan itu tiga kali, tiada seorang pun yang melompat ke atas.
Murid-murid Thian-cie-pay
lantas saja berso-rak-sorai dan berteriak-teriak: "Kionghi (selamat) Thia Suko menjadi Ciangbunjin See-gak
Hoa-kun-bun!" Orang-orang dari empat partai lainnya lalu turut bersorak
dan memberi selamat, sehingga de-ngan demikian, Ouw Hui terpilih sebagai
pemimpin besar dari See-gak Hoa-kun-bun.
Kie Siauw Hong merangkap kedua
tangannya dan berkata: "Kionghi! Kionghi!" Waktu membalas hormat, Ouw
Hui mendapat kenyataan, bahwa pe-muda itu mengawasinya dengan sorot mata
ber-gusar. Tapi karena sedang memikirkan keselamatan Ma It Hong, tanpa
menggubris itu semua, ia lantas saja berkata: "Kie Sutee, coba kau minta
disediakan sebuah kamar supaya kedua Sumoay bisa mengaso." Siauw Hong
mengangguk dan lalu melompat turun ke bawah. Heran sungguh, waktu hinggap di tanah,
ia terhuyung, sehingga hampir-hampir jatuh ter guling.
Ouw Hui segera maju sampai ke
pinggir pang-gung dan seraya menyoja, ia berkata: "Para Supeh, Susiok dan
saudara-saudara tentu sudah sangat letih dan sekarang kita bubar saja untuk
mengaso. Se-bentar malam kita berunding supaya nama See-gak Hoa-kun-bun bisa
diangkat naik dalam pertemuan para Ciangbunjin." Apa yang dikatakannya
keluar dari hati yang jujur. Ia merasa sangat berterima kasih kepada partai
itu, karena tanpa adanya pe-milihan Ciangbunjin Hoa-kun-bun, bukan saja jiwa Ma
It Hong sukar dapat ditolong, tapi jiwanya sendiri bersama Leng So pun bisa
melayang.
Begitu mendengar perkataan Ouw
Hui, semua orang lantas saja bangun berdiri dan bubar sambil beromong-omong
dengan kawan-kawan sendiri ten-tang kelihayan Ouw Hui, keanehan Kie Loosam,
kepandaian Kie Siauw Hong dan sebagainya. Me-reka semua merasa puas dan
bergirang. Beberapa Cianpwee menghampiri Ouw Hui untuk diajak omong-omong, tapi
pemuda itu buru-buru meng-angkat kedua tangannya dan lalu mengikuti Kie Siauw
Hong masuk ke dalam gedung.
Gedung itu adalah miliknya
seorang Boan yang menjadi anggota Hoa-kun-bun. Tak usah dikatakan lagi, tuan
rumah berlaku sangat hormat kepada Ciangbunjin baru itu. Ouw Hui tetap
mengenakan topengnya dan sesudah berada dalam sebuah kamar bersama Siauw Hong,
Leng So dan It Hong, barulah ia mencopotkan kain kuning itu. "Kie Toako,
ba-nyak terima kasih atas bantuanmu," katanya seraya menyoja.
"Sesudah urusan beres, aku akan segera menyerahkan kedudukan Ciangbunjin
ini kepada-mu." Siauw Hong tidak menjawab, ia hanya me-ngeluarkan suara di
hidung.
Dengan penuh kekhawatiran, Ouw
Hui segera menengok Ma It Hong. Paras muka nyonya itu yang sudah pingsan,
berbaring hitam dan napasnya lemah sekali. Buru-buru Leng So merebahkannya di
atas pembaringan dan lalu mengeluarkan sejumlah ja-rum emas dan tanpa membuka
pakaian It Hong. lalu menancapkannya di tiga belas jalanan darah.
Setiap buntut jarum dibungkus
dengan kapas dan si nona melakukan tugasnya dengan paras te-nang, sehingga Ouw Hui
bernapas lebih lega.
Selang kira-kira seminuman
teh, darah hitam mulai mengalir keluar dari buntut jarum dan me-resap di kapas
itu. Ternyata, jarum-jarum itu ber-lubang di tengah-tengahnya dan darah
mengandung racun keluar dari lubang itu.
Paras muka Leng So kelihatan
girang dan sam-bil tersenyum ia mengeluarkan beberapa butir yo-wan biru dari
peles obat. Sambil menyerahkan pel itu kepada Siauw Hong, ia berkata: "Kie
Toako, pergilah kau mengaso dalam kamarmu. Sesudah menelan sepuluh butir yo-san,
semua racun yang mengeram dalam tubuhmu akan hilang." Tanpa mengeluarkan
sepatah kata, Siauw Hong menyam-buti pel itu dan lalu berjalan ke luar.
Sekarang baru Ouw Hui
mengerti, bahwa si adik tclah menggunakan racun untuk memaksa pemuda itu. Ia
tertawa dan berkata: "Dengan menggunakan racun, kau sudah berbuat kebaikan
untuk sesama manusia. Dalam hal ini, mungkin sekali kau malah lebih menang dari
pada gurumu." Leng So hanya tersenyum. Sebagaimana diketa hui, ia
sebenarnya bukan semata-mata mengguna¬kan racun, tapi sudah menaklukkannya
dengan mem-buang budi kepada pemuda itu waktu dia sedang menghadapi bahaya.
Sesudah itu, barulah ia meng¬gunakan sedikit obat yang menimbulkan rasa gatal,
tapi tidak berbahaya. Yowan yang barusan diberi-kannya kepada Siauw Hong juga
bukan obat pe-munah racun, tapi hanya pel untuk menyegarkan badan. Tapi Siauw
Hong sendiri menduga, bahwa rasa gatal itu adalah akibat racun yangsangat hebat
dan oleh karenanya, ia tidak berani membantah segala perintah si nona.
Sambil tersenyum, Leng So
berkata dalam hati-nya: "Aku sudah bersumpah kepada Suhu, bahwa selama
hidup, aku tak akan menggunakan racun untuk mencelakakan manusia, supaya orang
tahu, bahwa biarpun Tok-chiu Yo-ong lihay luar biasa, ia belum pernah melakukan
perbuatan berdosa." Dengan menggunakan jepitan, Leng So lalu menukar kapas
yang sudah berwarna hitam. "Toa-koko," bisiknya. "Kau sudah
letih sekali, menga-solah. Biar aku saja yang mengobati Ma Kouwnio. Legakanlah
hatimu." Ouw Hui memang sudah cape sekali dan tanpa sungkan-sungkan, ia
segera merebahkan diri di atas dipan. "Ciang-bun Loo-suhu, aku harap kau
suka niemperhatikan sedikit pesananku," kata Leng So. "Selama dua
belas jam, Ma Kouwnio tidak boleh diganggu dan ia pun tidak boleh bicara. Jika
hawa di dalam tubuhnya buyar, maka racun tidak akan hisa keluar seanteronya.
Kalau sedikit saja keting-galan dalam badannya, semua ilmu silat yang
di-milikinya akan musnah seluruhnya." "Ciangbunjin dari See-gak
Hoa-kun-bun yang bernama Thia Leng Ouw menerima baik perintah Thay-siang Ciangbunjin
Thia Leng So," kata sang kakak sembari tertawa. "Semua perintah akan
di-perhatikan betul dan tidak akan dilanggar." (Thay-siang berarti maha).
Si nona tertawa geli.
"Apa benar aku menjadi Thay-siang Ciangbunjin?" tanyanya.
"Bagaimana de¬ngan nona.... Ia tidak meneruskan perkataannya dan segera
membungkuk untuk melihat keadaan Ma It Hong.
Selang beberapa saat, Leng So
menengok. Ouw Hui belum pulas, ia mengawasi jendela dengan mata mcndelong.
"Toakoko, kau lagi pikir
apa?" tanyanya.
"Aku sedang memikirkan
pertemuan besok de ngan orang-orang Hoa-kun-bun," jawabnya. "Begitu
melihat wajahku, mereka tentu akan curiga. Usiaku yang masih terlalu muda tidak
cocok untuk menjadi suheng Kie Siauw Hong. Alasan apa yang harus diberikan
olehku? Untung juga, Ma Kouwnio hanya memerlukan tempo dua belas jam. Hatiku
merasa sangat tidak enak, tapi karena terpaksa, paling baik... paling
baik...." "Paling baik kabur dengan melompat tembok," kata Leng
So sambil tertawa.
"Benar!" kata sang
kakak seraya tersenyum. "Kita masuk dengan melompati tembok dan keluar pun
dengan melompati tembok." Si nona mengawasi muka Ouw Hui dan seperti orang
yang sudah mengambil serupa keputusan, ia berkata: "Begitu sajalah."
"Apa?" menegas Ouw Hui.
"Kita pernah menyamar dan
sekarang biar kita menyamar lagi," jawabnya. "Aku akan memasang
jenggot (janggut) pada dagumu dan memberi sedikit warna pada jenggot itu. Aku
tanggung usiamu akan kelihatan lebih tua dua puluh tahun. Dengan me-megang
peranan sebagai kakak seperguruan Kie Siauw Hong, kau harus berusia kira-kira
empat puluh tahun." Ouw Hui jadi girang bukan main. "Bagus!"
kata-nya. "Yang dibuat jengkel olehku adalah soal ini. Sesudah bermusuhan
dengan Hok Kong An, sukar sekali aku dapat menghadiri pertemuan para Ciang-bunjin.
Jie-moay, jika kau dapat mengubah paras mukaku sampai begitu rupa, sehingga
orang tak akan dapat mengenalinya lagi wajahku yang asli, maka sebagai
Ciangbunjin See-gak Hoa-kun-bun, dapatlah aku turut serta dalam pertemuan yang
ramai itu." "Perlu apa Toako menghadiri pertemuan itu?" tanya si
adik. "Asal kita bisa mempertahankan diri di tempat ini sampai besok,
sampai Ma Kouwnio terlolos dari bahaya, kita sudah harus merasa puas. Perlu apa
Toako menempuh bahaya?" Tapi Ouw Hui yang semangatnya sedang me-luap-luap
lantas saja bertanya: "Jie-moay, jawab pertanyaanku: Apakah sesudah
mengenakan alat penyamaran, orang masih bisa kenali aku atau tidak?"
"Apa sukarnya menyamar sebagai seorang yang lebih tua?" si adik balas
tanya. "Yang sulit adalah gerak-gerik dan cara bicara. Cara-caranya orang
tua bereda dengan orang muda. Dalam hal ini, Toako harus dapat menyesuaikan
diri." "Kakakmu akan berusaha sedapat mungkin," kata Ouw Hui.
"Kita hanya perlu mengabui mereka untuk sementara waktu."
"Baiklah, mari kita coba-coba," kata Leng So. "Toako, jika kau
ingin juga menyaksikan pertemuan para Ciangbunjin, bolehlah dan aku akan
mengikut dengan menyamar sebagai seorang nenek." Ouw Hui menepuk-nepuk
tangan. "Bagus! Ba¬gus, Jie-moay, aku senang rnendengar
perkataan-mu," katanya. "Memang juga kita tidak boleh me-nyia-nyiakan
kesempatan yang begitu baik." "Sst! Perlahan sedikit," kata si
adik sambil me-naruh jari tangan di mulutnya.
Ma It Hong kelihatan bergerak
sedikit, untung juga ia tidak tersadar.
"Aku benar gila,"
kata Ouw Hui dengan suara menyesal.
Leng So lantas saja
mengeluarkan bungkusan alat-alat menjahit dan mengambil gunting yang lalu
digunakan untuk menggunting secekal rambutnya. Sesudah itu ia mengeluarkan
semacam obat bubuk, menaruhnya ke dalam semangkok air teh dan lalu merendam rambutnya
di dalam air itu. "Kau menga-solah sebentar," katanya. "Sesudah
rambutku bet-ubah kaku seperti jenggot, aku akan panggil kau" Ouw Hui
segera meramkan kedua matanya. Mengingat kepintaran matanya. Mengingat
kepin-taran adik angkatnya, hatinya girang bercampur syukur. Karena terlalu
capai, tak lama kemudian ia pulas, tapi sesudah mengalami banyak ketegangan di
siang hari, dalam pulasnya ia mendapat rupa-rupa impian. Ia mimpi Ma It Hong
mati dalam keadaan mengenaskan, ia mimpi menyatroni Iagi gedung Hok Kong An
untuk membalas sakit hati, mimpi ditangkap oleh para Wie-su....
Tiba-tiba ia dengar suara
orang memanggil di kupingnya: "Toako, kau mimpi apa?" Ia melompat
bangun dan Leng So berdiri di depannya sambil tersenyum. "Jie-moay, pergi
mengaso, biar aku yang mengawasi Ma Kouwnio," katanya dengan suara
kasihan.
"Sebelum memasang alat
penyamaran di muka-mu, hatiku belum enak," kata si adik yang lalu
mengambil rambutnya dari dalam mangkok, selcni-bar demi selembar, dan
memasangnya di bawah dagu Ouw Hui dengan menggunakan semacam lem. Pekerjaan itu
meminta tempo dan kesabaran. Ber selang kira-kira satu jam, sesudah sinar
matahari masuk dari jendela, barulah ia selrsai.
Ouw Hui segera menghampiri
kaca dan begitu lihat mukanya, ia tertawa. Bahkan ia sendiri masih tak bisa
mengenali Iagi wajahnya yang berjenggot dan paras mukanya yang kelihatan
terlebih angker. "Jie-moay, aku senang sekali melihat mukaku ini,"
katanya. "Di kemudian hari aku tentu akan meme-lihara jenggot."
Sesudah tak tidur semalam suntuk, Leng So tak tahan Iagi. Ia menungkurup di
meja dan lantas saja pulas.
Dengan rasa terharu, Ouw Hui
mengambil seli-mut dan menyelimuti tubuh adiknya yang kemudian dipondong dan
direbahkan di atas dipan. Kemudian, sesudah memakai Iagi topeng kain kuning, ia
pergi ke kamar Kie Siauw Hong.
"Kie-heng, kau sudah
bangun?" ia memanggil.
"Siapa? Ada urusan
apa?" tanya Siauw Hong.
Ouw Hui mendorong pintu dan
bertindak ma¬suk. Siauw Hong kaget dan buru-buru bangun ber¬diri.
"Kie-heng, kedatanganku
ini adalah untuk meng-haturkan maaf," kata Ouw Hui.
Siauw Hong tidak menjawab,
tapi pada kedua matanya terlihat sorot penasaran dan kegusaran.
Sambil mengawasi pemuda itu,
Ouw Hui ber-kata pula: "Ada suatu hal yang ingin kuterangkan kepadamu.
Siauwtee sebenarnya tidak berniat un¬tuk merebut Ciangbunjin dari See-gak
Hoa-kun-bun. Hanyalah karena terjadinya suatu kejadian luar biasa dan sebab tak
ada lain jalan Iagi, maka mau tak mau, siauwtee sudah terpaksa merusak urusan
Kie-heng." Sesudah berkata begitu, terang-terangan ia menceriterakan
halnya Ma It Hong dan segala pengalamannya, dari kepala sampai di bun-tut.
Hanya suatu hal yang disembunyikannya, yaitu nama Hok Kong An. la tidak
memberitahukan, siapa yang meracuni Ma It Hong dan siapa yang mau menangkap
mereka.
Mendengar penuturan Ouw Hui,
perlahan-la-han paras muka Siauw Hong berubah sabar. Be-berapa kali ia
mengeluarkan suara "hm", tapi tidak mengatakan suatu apa.
Sehabis menutur, dengan suara
sungguh-sung-guh Ouw Hui berkata: "Kie-heng, perkataan se-orang laki-laki
berat bagaikan gunung. Jika dalam tempo sepuluh hari, aku belum menyerahkan
ke-dudukan Ciangbunjin kepadamu, biarlah aku binasa di bawah senjata tajam dan
sesudah binasa, biarlah aku dicaci oleh orang-orang gagah dalam kalangan
Kang-ouw." Dalam Rimba Persilatan, soal mati dianggap sebagai soal remah.
Akan tetapi, dicaci oleh orang-orang gagah adalah kejadian yang dipandang
paling memalukan. Mendengar sumpah Ouw Hui yang sangat berat itu, Siauw Hong
lantas saja berkata: "Kedudukan Ciangbunjin itu tak usah kau yang
menyerahkannya. Aku tahu, kepandaianmu sepu¬luh kali lipat lebih tinggi dari
pada aku. Tapi kau bukan orang partai kami dan kau tak dapat menjadi
Ciangbunjin." "Benar," kata Ouw Hui. "Sesudah pertemuan
para Ciangbunjin berakhir, aku akan mengakui se¬gala apa dan akan meminta maaf
di hadapan para tetua dari partaimu. Kemudian kalian dapat me-milih pula
seorang Ciangbunjin dengan jalan pie-bu (adu silat). Apa kau setuju dengan
rencanaku itu?" Mendengar itu, Siauw Hong senang. Ia meng-anggap, bahwa
dalam Hoa-kun-bun, tiada seorang-pun yang dapat menandingi kepandaiannya.
Merebut Ciangbunjin dalam sebuah pertandingan terbuka, banyak lebih terhormat
dari pada menerimanya sebagai hadiah. Ia segera mengangguk dan berkata:
"Aku setuju. Tapi Thia Toako...." Ouw Hui tertawa dan memutuskan
perkataan orang: "Aku she Ouw. Orang yang she Thia adalah adik
angkatku." Seraya berkata begitu, ia membuka topengnya.
Melihat jenggot yang
hitam-kasar dan paras muka yang angker, Siauw Hong merasa kagum. "Ouw
Toako, beberapa Cianpwee dari kaum kami sangat sukar diajak bicara,"
katanya. "Kalau nanti kau mengakui kesalahanmu, aku khawatir bakal timbul
gelombang hebat. Walaupun benar kau me-miliki kepandaian tinggi, akan tetapi,
tenaga satu orang sukar bisa melawan tenaga banyak orang. Dalam urusan besar,
orang-orang See-gak Hoa-kun-bun selamanya bersatu padu." Ouw Hui tertawa.
"Hal itu sudah dipikir oleh-ku," katanya. "Dalam pertemuan para
Ciangbunjin, aku akan berusaha sedapat mungkin untuk merebut kedudukan
tertinggi, supaya dengan pahala aku dapat menebus dosa." Siauw Hong
manggut-manggutkan kepalanya dan kemudian menghela napas. "Sungguh sayang,
karena mengeramnya racun hebat dalam tubuhku, aku tak berani menggunakan
terlalu banyak tena¬ga," katanya dengan suara menyesal. "Kalau tidak
begitu, aku dapat menjalankan ilmu silat Hoa-kun-bun untuk diperlihatkan kepada
Ouw Toako, su paya dalam pertempuran nanti, rahasia Toako tak sampai
terbuka." Ouw Hui tertawa terbahak-bahak. la bangun berdiri dan menyoja
sambil membungkuk. "Kie-heng, aku mewakili Gie-moay untuk menghaturkan
maaf kepadamu," katanya.
Siauw Hong membalas hormat
dengan perasaan mendongkol.
"Kurang ajar! Aku kena
racun, bukan lelucon," katanya di dalam hati. Dalam kemendongkolannya,
parasnya lantas saja berubah.
"Kie-heng, boleh aku
lihat lukamu?" tanya Ouw Hui.
Pemuda itu segera menggulung
tangan bajunya dan pada lengannya terdapat bengkak sebesar telur itik yang
berwarna hitam, sedang di bagian yang terluka mengembang darah hitam.
"Dalam menggunakan obat,
Jie-moay sungguh-sungguh jarang tandingan," kata Ouw Hui dalam hatinya.
"Jika aku mendapat luka begitu, aku pun tak akan enak makan dan enak
tidur." la tersenyum dan bertanya pula: "Bagaimana dirasakan
olehmu?" "Baal, bebas dari rasa sakit," jawabnya.
Sekarang Ouw Hui baru tahu,
bahwa adiknya telah menggunakan obat yang menimbulkan rasa baal. Tanpa
mengeluarkan sepatah kata, ia men-cekal lengan Siauw Hong dan mengisap luka
itu.
Siauw Hong kaget tak kepalang.
"Hei! Apa kau mau mati?" teriaknya. Ia coba memberontak, tapi cekalan
Ouw Hui keras bagaikan jepitan besi.
Sesudah mengisap beberapa kali
dan mem-buang ludah, Ouw Hui tertawa bekakakan: "Kie-heng jangan takut,
racun itu racun palsu," katanya.
"Apa?" menegas Siauw
Hong.
"Dengan Kie-heng, adikku
sama sekali tidak mempunyai ganjelan," jawabnya. "Tak nanti ia
men-celakakan manusia dengan sembarangan. Ia hanya menggunakan obat baal.
Lihatlah, aku mengisap tanpa takut-takut. Legakanlah hatimu." Pemuda itu
kaget bercampur girang. Tapi dalam kegirangan itu masih terdapat kesangsian.
Sambil mengawasi Ouw Hui, ia berkata: "Ouw-heng... kau... kau bicara
begitu... apakah kau khawatir aku tidak akan menurut perintahmu?" "Di
dalam pergaulan, seorang lelaki berpegang kepada kepercayaan," jawabnya dengan
suara sung-guh-sungguh. "Sesudah mendapat kenyataan, bah¬wa Kie-heng
adalah seorang yang mempunyai pri-budi luhur, aku merasa tak pantas jika
membiarkan kau khawatir lebih lama lagi." Bukan main girangnya Siauw Hong.
Sambil menepuk meja, ia berkata: "Ouw-heng, mulai detik ini, kau adalah
sahabatku. Andaikata kau berdosa terhadap kaisar, sedikit pun aku tak akan
ragu-ragu untuk memberi bantuan." "Terima kasih," kata Ouw Hui.
"Orang yang dilanggar olehku, biarpun bukan kaisar, mempunyai kekuasan
yang tidak banyak bedanya dari pada kaisar sendiri. Kie-heng, dalam silatmu
semalam terdapat satu pukulan yang tidak begitu dimengerti olehku. Kau memutar
tubuh, mengangkat lutut, memukul dengan telapak tangan dan kemudian melompat
maju. Waktu melompat, sedang badanmu berada di tengah udara, mengapa arah
gerakanmu berubah sedikit?" Pukulan yang dimaksudkan Ouw Hui adalah Ya-ma
Hui-siang Coan-tek-heng (Kuda liar pulang ke kampung halaman), serupa pukulan
yang sangat sulit.
Mendengar pertanyaan Ouw Hui,
Siauw Hong terkesiap. la tak nyana, sahabat baru itu mempunyai mata yang begitu
tajam. Memang juga, waktu me-lompat, tiba-tiba ia ingat racun yang mengeram
dalam tubuhnya dan dalam jengkelnya, perhatian-nya terpecah dan gerakannya agak
berubah. "Ouw-heng, aku merasa takluk akan ketajaman matamu," katanya
dengan suara kagum. "Memang benar pu¬kulan itu tidak begitu tepat
dijalankannya." Sehabis berkata begitu, ia lantas saja mengulangi Ya-ma
Hui-siang Coan-tek-heng.
Ouw Hui manggut-manggutkan
kepala. "Begitu baru benar," katanya. "Kalau semalam Kie-heng
berhadapan dengan musuh, kesalahanmu itu dapat berakibat jelek." Sesudah
tahu, bahwa dirinya tidak kena racun, semangat Kie Siauw Hong terbangun dan ia
segera jalankan, dari bermula sampai di akhirnya, dua belas rupa pukulan
See-gak Hoa-kun-bun. Ouw Hui memperhatihan dengan seksama dan biarpun dalam
tempo cepat ia tak dapat ingat semua pukulan-pukulan itu, tapi sebagai seorang
ahli, ia segera dapat menangkap intisari dari ilmu silat itu. "Ilmu silat
partaimu sangat dalam dan jika dipelajari serta diselidiki lebih lanjut,
kemungkinan-kemungkinan-nya tak ada batasnya," katanya. "Menurut
pen-dapatku, jika seseorang bisa menyelami sampai ke dasar-dasarnya satu saja
dari dua belas rupa ilmu pukulan itu, ia sudah bisa menjagoi dalam Rimba
Persilatan." Mendengar pujian itu, senang sekali hati Kie Siauw Hong.
"Benar," katanya. "Dalam kaum kami terdapat kata-kata yang
berbunyi begini: 'Hoa-kun Su-sip-pat, Gee-seng-heng-thian-hee.' Empat pu-luh
delapan pukulan itu terbagi seperti berikut: Delapan belas pukulan bagian
pertama, dua belas pukulan bagian atas dan delapan belas pukulan bagian
menggunakan senjata. Dalam See-gak Hoa-kun-bun, hanya beberapa orang saja yang
paham akan empat puluh delapan rupa pukulan itu." Semakin berunding
tentang ilmu silat, dengan disertai latihan, mereka merasa semakin cocok dan
tanpa merasa, mereka sudah beromong-omong sam¬pai tengah hari. Beberapa kali
tuan rumah me-merintahkan pelayan pergi mengundang Ouw Hui untuk bersantap,
akan tetapi, karena melihat kedua tetamu itu sedang beromong-omong sambil
berlatih silat, pelayan tersebut tidak berani membuka mulut. Selagi Kie Siauw
Hong menyapu dengan kakinya sambil melompat tinggi, tiba-tiba terdengar seruan:
"Sungguh indah Hong-coan Pek-lek Siang-Kie-thian (Angin memutar, geledek menyambar
naik sampai di sembilan lapisan langit) itu!" Ouw Hui menengok dan
melihat, bahwa orang yang memuji adalah si kakek she Coa. Buru-buru ia
merangkap kedua tangannya dan lalu menggapai sambil ter-tawa.
Orang tua she Coa itu, yang
bernama Wie, mempunyai kedudukan tinggi dalam See-gak Hoa-kun-bun. Melihat Ouw
Hui sudah melepaskan to-pengnya, dengan sorot mata tajam ia mengawasi muka
pemuda itu yang penuh jenggot kasar dan kelihatannya angker sekali. "Aku
ingin melaporkan kepada Ciangbun, bahwa Hok Thayswee telah me ngirim surat," katanya.
Ouw Hui terkejut, tapi dengan
paras tidak berubah, ia menanya: "Surat apa?" "Surat itu
dialamatkan kepadaku dan menanya-kan soal pemilihan Ciangbunjin kita,"
menerangkan Coa Wie. "Di dalam surat dilampirkan empat lembar undangan
dengan permintaan, supaya pada harian Tiong-chiu, Ciangbunjin kita menghadiri
Thian-hee Ciangbunjin Tayhwee dengan mengajak tiga orang murid." Ouw Hui
lega hatinya. Semula ia menduga rahasianya bocor dan Hok Kong An menulis surat
untuk membekuk dirinya. Ia adalah seorang yang hati-hati dan lalu mengambil
surat itu dari tangan Coa Wie dan membacanya beberapa kali. "Kalau begitu,
biarlah Coa Supeh dan Kie Sutee yang mengikuti aku," katanya.
"Bersama Sumoayku, kita berempat menghadiri pertemuan para Ciangbunjin
itu." Coa Wie dan Kie Siauw Hong girang sekali. Mereka menghaturkan terima
kasih berulang-ulang untuk kehormatan yang diberikannya.
Sesudah mereka selesai bicara,
seorang pelayan yang menunggu di pinggiran, segera mendekati dan berkata: "Thia-ya,
Coa-ya dan Kie-ya diundang un¬tuk bersantap." Ouw Hui manggutkan
kepalanya, tapi baru saja ia hendak memanggil Leng So, tiba-tiba terdengar
suara si adik: "Toako, coba ke mari!" "Jie-wie pergi duluan, aku
akan menyusul," kata Ouw Hui yang buru-buru pergi ke kamar Leng So, karena
mendengar nada suara kebingungan dari adiknya. Begitu menyingkap tirai, ia
dengar suara Ma It Hong: "Mana anakku? Mana.... Aku ingin bertemu dengan
mereka...." Alis Leng So berkerut: "Sedari tadi ia me-nyebut-nyebut
kedua puteranya," bisiknya. "Ia bisa celaka." "Kedua anak
itu berada dalam tangan perem-puan kejam," kata Ouw Hui. "Untuk
merebutnya, kita tidak boleh bertindak secara ceroboh." "Ma Kouwnio
tidak sabaran," kata pula Leng So. "Jika ia berteriak-teriak, racun
yang masih me-ngeram dalam tubuhnya dapat mengambil jiwa-nya...." Ouw Hui
berpikir sejenak dan kemudian ber¬kata: "Coba aku membujuk dia."
"Menurut penglihatan, Ma Kouwnio was-was dan ia sukar dapat disadarkan
dengan bujukan," kata si adik. "Jika ia bersedih, racun tidak bisa
keluar seanteronya dari badannya dan obatku tak akan bisa masuk ke semua bagian
tubuhnya." Ouw Hui bingung bukan main, ia tak dapat lihat jalan yang baik.
Selang beberapa saat, ia berkata: "Jalan satu-satunya adalah menyatroni lagi
gedung Hok Kong An dan coba merebut kedua anak itu dengan kekerasan. Tapi
paling cepat kita harus menunggu sampai malam ini." Leng So terkesiap.
"Menyatroni lagi gedung Hok Kong An?" ia menegaskan. "Apa kau
mau cari mati?" Sang kakak tertawa getir. Ia bukan tidak tahu, bahwa
sesudah terjadi peristiwa semalam, gedung itu pasti dijaga luar biasa keras.
Menerjang masuk ke gedung itu dapat dikatakan suatu kemustahilan Kalau ia
mempunyai sejumlah kawan yang berke pandaian tinggi, mungkin juga masih bisa
berhasil Tapi sekarang, ia hanya seorang
diri dan ditambah dengan adiknya serta Kie Siauw Hong, paling ba-nyak hanya
tiga orang, yang sudah pasti tidak akan bisa berhasil.
Untuk beberapa lama, ia
menundukkan kepala dan mengasah otak. Sementara itu, Ma It Hong terus menerus
memanggil-manggil puteranya. Ia mengerutkan alis dan berkata dengan suara
kha-watir: "Jie-moay, bagaimana baiknya?" "Jika ia terus berada
dalam keadaan begini, tiga had lagi racun yang masih mengeram dalam tubuh-nya
akan mengamuk," jawabnya. "Seorang manusia hanya bisa berusaha
sedapat mungkin. Manakala kita gagal menolong jiwanya... ya! apa mau dikata?
Itulah sudah nasib, kita harus menunduk terhadap takdir." "Mari kita
bersantap dulu, sebentar baru kita berdamai lagi," kata Ouw Hui.
Sesudah makan, Leng So
memberikan obat pula kepada It Hong. Sekarang nyonya itu memanggil-manggil Hok
Kong An: "Kong-ko.... Kong-ko... me-ngapa kau tidak meladeni aku? Kamu
membawa anakku... di mana adanya mereka? Ayo... bawa ke mari...." Ouw Hui
gusar bercampur duka, sehingga paras mukanya merah padam. Leng So menarik
tangan kakaknya dan mengajaknya ke sebuah kamar yang kecil. "Toako,"
katanya dengan paras muka sung-guh-sungguh. "Apakah aku pernah bicara
main-main denganmu?" Ouw Hui heran dan sambil mengawasi adiknya, ia menggelengkan
kepala. "Tidak, belum pernah," jawabnya.
"Baiklah," kata si
adik. "Sekarang aku ingin memberitahukan suatu hal kepadamu. Dengarlah!
Jika kau pergi ke gedung Hok Kong An untuk merebut kedua anaknya Ma Kouwnio,
maka kau harus mengundang lain tabib dan aku sendiri akan segera berangkat
pulang ke Selatan." Ouw Hui terkejut, tapi belum sempat ia bicara, adiknya
sudah meninggalkan kamar itu. Ia mengerti, bahwa si nona mengeluarkan ancaman
karena kha-watir ia menyatroni gedung Hok Kong An dan mengantarkan jiwa. Akan
tetapi, apa yang sudah terjadi menyentuh jiwa ksatrianya. Di depan mata-nya
kembali terbayang kejadian pada dahulu hari, di Siang-kee-po, pada waktu Ma It
Hong berusaha untuk menolong dirinya yang sedang digantung dan dipukuli. Ada
budi tidak dibalas, bukan perbuatan laki-laki sejati. Ia sebenarnya sudah
mengambil keputusan untuk menempuh bahaya, akan tetapi, tiba-tiba Leng So
mengeluarkan ancaman itu. Jika ia menyatroni gedung Hok Kong An dan si adik
benar-benar meninggalkannya, jiwa Ma It Hong tetap sukar ditolong.
Dengan pikiran kusut dan hati
bersangsi, ia berjalan keluar sambil menundukkan kepala. Ia berjalan terus
tanpa juntrungan. Tanpa merasa, kedua kakinya membawanya ke dekat gedung Hok
Kong An. Ia mendapat kenyataan, bahwa setiap lima sampai sepuluh tindak, dijaga
oleh dua orang, Wie-su yang bersenjata lengkap. Penjagaan adalah sedemikian
keras, sehingga, jangankan masuk, se-dangkan mendekati saja gedung itu orang
bisa di-tangkap.
Ouw Hui tidak berani berdiam
iama-lama di situ. Dengan pikiran
bingung, ia berjalan terus dan sesudah membelok di dua tikungan, ia bertemu
dengan sebuah ciu-lauw (restoran berloteng). Ia masuk dan minta makanan kecil
serta arak untuk menghibur hatinya yang berduka. Baru saja men-ceguk beberapa
gelas, tiba-tiba ia dengar suara orang bicara di ruangan sebelah. "Ong
Toako, cu-kuplah, kita tidak boleh minum terlalu banyak," kata seorang.
"Sebentar kita harus bertugas dan jika muka merah lantaran arak, kita bisa
mendapat celaan." Seorang lain tertawa terbahak-bahak seraya berkata:
"Baiklah. Kita minum lagi tiga cawan dan sesudah itu, kita boleh lantas
makan nasi." Ouw Hui segera mengenali, bahwa orang itu adalah Ong Tiat
Gok. "Hm... dalam dunia ini me-mang sering terjadi kejadian kebetulan,"
katanya di dalam hati. "Tak dinyana, aku bisa bertemu de-ngannya di tempat
ini." "Ong Toako," kata pula orang yang pertama. "Kau
mengatakan, bahwa kau kenal Ouw Hui. Ma-nusia bagaimana sih dia?"
Mendengar orang menyebut namanya, Ouw Hui terkejut dan lalu memasang kuping terlebih
terang. Tiat Gok menghela napas panjang dan berkata dengan suara perlahan:
"Ouw Hui benar-benar se¬orang luar biasa. Dalam usia yang masih begitu
muda, dia bukan saja memiliki kepandaian yang sangat tinggi, tapi juga sangat
pandai bergaul, se hingga tidaklah salah jika dikatakan, bahwa ia ada¬lah
seorang gagah. Tapi mengapa dia bermusuhan dengan Hok Thayswee dan semalam dia
masuk ke gedung Thayswee untuk melakukan pembunuhan?" Kawannya tertawa.
"Ong Toako, andaikata se¬sudah makan kita bertemu dengan Ouw Hui dan
berhasil membekuknya, kita pasti mendapat hadiah yang berharga," katanya.
Ong Tiat Gok tertawa
bekakakan. "Ha-ha-ha! Enak sungguh kau menggoyang lidah!?" katanya
dengan suara menjengeki. "Orang yang berkepan-daian seperti Thio Hek, dua
puluh Thio Hek masih belum tentu dapat menangkapnya." Thio Hek mendongkol.
"Dan kau?" tanyanya. "Berapa banyak Ong Tiat Gok baru bisa
mem¬bekuknya?" "Aku lebih-lebih lagi, empat puluh Ong Tiat Gok tak
usah harap bisa menyentuh tubuhnya." jawabnya.
"Apa dia memiliki tiga
kepala enam tangan, sehingga kau jadi begitu jeri?" tanya Thio Hek sambil
tertawa dingin.
Mendengar pembicaraan itu,
tiba-tiba saja Ouw Hui mendapat serupa ingatan dan tanpa memikir
panjang-panjang lagi, ia segera pergi ke ruangan sebelah. "Ong Toako!"
serunya. "Sungguh kebetul¬an, kau pun berada di sini, bersama-sama Thio
Toako. Siauw Jie? Siauw Jie! Bawa makanan dan arakku ke mari." Melihat
masuknya Ouw Hui, Tiat Giok dan Thio Hek terkesiap. Mereka tak kenal orang yang
berjenggot itu, tapi samar-samar Tiat Gok merasa, bahwa suara si jenggot tidak
asing lagi bagi kuping-nya. "Di Kie Eng Lauw aku pernah bertemu dengan Ciu
Tiat Ciauw Toako dan Can Tiat Yo Jieko, sedang kita berdua pernah makan-minum
bersama-sama," kata Ouw Hui.
Ong Tiat Gok mengangguk dan
terus mengasah otak, tapi tak dapat ia menebak siapa adanya orang itu. Didengar
dari perkataannya, orang itu menge-nal baik kedua kakak seperguruannya dan ia
sendiri. Tapi mengapa ia tak ingat siapa orang itu? Sementara itu, pelayan
rumah makan sudah memindahkan makanan dan arak Ouw Hui ke ruangan itu.
"Sudah lama aku tidak
makan-minum dengan Ong Toako dan Thio Toako, biarlah hari ini aku yang menjadi
tuan rumah," kata Ouw Hui seraya melemparkan sepotong perak yang beratnya
se-puluh tahil ke atas meja dan berkata pula seraya menengok kepada pelayan
restoran: "Kau pegang uang itu. Bawa kemari sayur-sayur yang paling lezat
dan arak yang paling baik." Melihat keroyalan tamu itu, si pelayan jadi
girang dan sambil manggut-manggut berulang-ulang, ia berjalan ke luar untuk
memenuhi pesanan itu. Tak lama kemudian, di atas meja sudah diatur makanan dan
arak yang sedap-wangi.
Ouw Hui beromong-omong sambil
tertawa-tawa. I a menyebut-nyebut Cin Nay Cie, In Tiong Shiang, Ong Kiam Eng,
Ong Kiam Kiat dan sebagainya, seperti juga ia bersahabat baik dengan
orang-orang itu, sebentar ia bicara tentang ilmu silat, sebentar tentang judi.
Ong Tiat Gok jengkel dan bingung. Si jenggot bicara seperti seorang sahabat
lama dan jika ia menanyakan namanya, ia melanggar adat istiadat. Tapi jika
tidak menanya, sungguh-sungguh ia tak ingat siapa adanya orang itu. Di lain
pihak, Thio Hek menganggap, bahwa Ouw Hui adalah sahabat Tiat Gok dan melihat
keroyalan serta cara-cara yang terbuka dari sahabat baru itu, ia jadi gembira
dan turut bicara secara bebas.
Sesudah makan-minum beberapa
lama, Ong Tiat Gok tak dapat menahan sabar lagi. Dengan suara terputus-putus,
ia segera berkata: "Toako... harap... harap kau suka maafkan aku... aku
benar-benar seorang... edan...!" Ia menabok mukanya yang bersemu merah dan
berkata pula: "Aku tak ingat she dan nama Toako... aku minta dimaafkan...
aku benar-benar gila...!" Ouw Hui tertawa. "Orang yang mempunyai
ba-nyak pekerjaan, memang sangat pelupaan," kata-nya. "Bukankah semalam
Toako turut bersantap dalam rumahku? Hanya sayang, Pay-kiu tidak
di-teruskan." Bukan main kagetnya Tiat Gok. "Kau...! kau...!"
serunya dengan suara tertawan.
"Siauwtee memang Ouw
Hui!" jawabnya seraya tersenyum.
Tiat Gok dan Thio Hek serentak
melompat bangun, mereka mengawasi dengan mata membe-lalak, tanpa dapat
mengeluarkan sepatah kata. Ke-jadian semalam sudah menggemparkan seluruh kota
raja dan malam-malam telah diadakan razia besar-besaran. Hampir setiap penduduk
— apa pula Wie-su — sudah tahu, bahwa dengan seorang diri Ouw Hui telah
menyatroni gedung Hok Kong An untuk coba membunuh pembesar itu.
"Mengapa kalian begitu
kaget?" kata Ouw Hui sambil tersenyum. "Siauwtee hanya memakai
jeng¬got." "Sst! Perlahan!" bisik Tiat Gok. "Ouw Toako,
semua orang sedang coba cari kau. Kau sungguh bernyali besar. Bagaimana kau
masih berani datang ke sini untuk makan-minum?" "Takut apa?" Ouw
Hui balas menanya. "Ong Toako saja masih tidak dapat mengenali aku. Apa
lagi orang lain?" "Di kota Pakkhia kau tidak boleh menaruh kaki
lagi," kata Tiat Gok dengan suara khawatir. "Le-kaslah berlalu."
"Terima kasih atas perhatian Ong Toako ter-hadap keselamatanku," kata
Ouw Hui yang diam-diam memuji kebaikan hatinya orang she Ong itu.
Tapi paras muka Thio Hek
lantas saja berubah. la menundukkan kepala dan tidak turut bicara.
"Had ini di pintu-pintu
kota diadakan peme-riksaan yang sangat keras," kata Tiat Gok. "Kalau
mau keluar kota, kau harus sangat berhati-hati. Paling baik biarlah aku dan
Thio Toako yang mengantarkan kau. Mana Thia Kouwnio?" Ouw Hui menggelcngkan
kepalanya. "Untuk sementara aku tidak akan keluar dari kota ini ka-rena
masih ada perhitungan yang belum dibereskan dengan Hok Thayswee," katanya
dengan tenang.
Paras muka Thio Hek semakin
berubah.
"Ouw Toako," kata
Tiat Gok. "Kepandaianku kalah jauh dengan kepandaianmu, tapi sekarang aku
ingin mengutarakan isi hatiku. Hok Thayswee mempunyai kekuasaan besar dan kau
pasti tak akan dapat melawannya. Aku makan nasinya dan me-nurut pantas, tak
dapat aku mengambil pihakmu. Hari ini, dengan menempuh bahaya, aku bersedia
untuk mengantarkan kau keluar kota. Dengarlah nasihatku dan lekaslah singkirkan
diri." "Tai bisa, Ong Toako, tak bisa aku berlalu sekarang,"
kata Ouw Hui. "Apakah kau tahu, sebab apa aku jadi bermusuhan dengan Hok
Thayswee?" "Tak tahu, aku justru ingin menanyakan," jawab-nya.
Ouw Hui lantas saja menuturkan
dari kepala sampai di buntut cara
bagaimana pada belasan tahun yang lalu, Hok Kong An telah bertemu de¬ngan Ma It
Hong di Siang-kee-po, cara bagaimana mereka mendapat dua orang putera dan cara
bagai¬mana Ma It Hong telah diracuni oleh ibu Hok Kong An, sedang kedua
puteranya dirampas oleh nyonya itu. Akhirnya, ia memberitahukan, bahwa ia telah
mengambil putusan pasti untuk merampas pulang kedua anak itu untuk dikembalikan
kepada Ma It Hong.
Semakin mendengar cerita itu,
semakin panas hati Ong Tiat Gok. Sehabis Ouw Hui menutur ia menumbuk meja
seraya berkata: "Aku tak nyana, manusia bisa berlaku begitu kejam, Ouw
Toako, kau benar-benar seorang gagah yang harus dikagumi orang. Tapi gedung Hok
Thayswee dijaga sangat keras oleh banyak sekali orang pandai, sehingga kau tak
usah harap bisa berhasil. Jalan satu-satunya adalah menunggu sampai keadaan
mereda dan se-sudah penjagaan kendor, barulah kau boleh coba-coba menyatroni
lagi gedung itu." "Tapi aku mempunyai serupa rencana," kata Ouw
Hui. "Aku ingin meminjam seragam Thio Toa¬ko dan masuk ke gedung itu
dengan menyamar sebagai Wie-su. Untuk bisa masuk, aku ingin me-mohon
pertolongan Ong Toako." Paras muka Thio Hek lantas saja berubah gusar, sedang
tangannya meraba gagang golok. Tapi Ouw Hui tetap bersikap tenang. Dengan
tangan kiri ia mengangkat cawan arak dan menceguk separuh isinya, sedang tangan
kanannya mengangkat sumpit untuk menyumpit sayur. Mendadak, mendadak saja,
tangan kirinya diayunkan dan arak menyambar muka Thio Hek, yang, sambil
mengeluarkan seruah ter-tahan, segera mengusap muka. Hampir berbareng, sumpit
Ouw Hui menyambar dadanya dan menotok jalanan darah Sin-cong dan
Tiong-teng-hiat. Sesaat itu juga, Thio Hek tidak berdaya dan badannya rubuh di
kursi.
Mendengar seruan Thio Hek,
pelayan restoran masuk ke kamar makan. "Tuan ini mabuk, aku harus cari
rumah penginapan supaya ia dapat mengaso," kata Ouw Hui.
"Lima rumah dari sini
terdapat rumah pengi¬napan An Wan," kata si pelayan. "Biar aku yang
menggendong." Ouw Hui jadi girang dan memberi sepotong perak kepadanya. Si
pelayan segera menggendong Thio Hek ke rumah penginapan itu, dengan diikuti Ouw
Hui dan Ong Tiat Gok. Ouw Hui minta sebuah kamar yang paling baik dan sesudah
mengunci pin-tu, ia kembali menotok tiga jalanan darah Thio Hek, sehingga dalam
tempo dua belas jam, ia tak akan bisa berkutik.
Ong Tiat Gok bingung bukan
main, ia merasa seolah-olah disiram dengan setahang air dingin. Sepak terjang
dan keberanian Ouw Hui dalam me-nolong sesama manusia, mengagumkan sangat
hati-nya. Tapi, mengingat bahayanya pekerjaan itu, bulu romanya berdiri semua.
Dengan tenang Ouw Hui membuka pakaian luarnya dan seragam Thio Hek, akan
kemudian, sesudah memakaikan pakaiannya di tubuhnya Wie-su itu, ia berdiri
mengenakan seragam tersebut. Untung juga besar badannya ti¬dak berbeda dengan
besar badan Thio Hek.
"Aku bertugas pada
Sin-sie (antara jam tiga dan lima sore)," menerangkan Tiat Gok.
"Temponya sudah hampir sampai." "Ong Toako, aku minta kau
melaporkan, bahwa Thio Toako sakit dan tidak dapat bertugas," kata Ouw
Hui. "Aku menunggu di sini dan sebentar kira-kira tengah malam, aku minta
kau datang untuk mengajak aku masuk ke gedung Hok Thayswee." Tiat Gok
mengawasi pemuda itu dengan mata mendelong. Ia tak dapat segera mengambil
ke-putusan. Ia mengerti, bahwa sepatah kata yang diucapkannya dapat mengubah
seluruh penghi-dupannya, bahkan bersangkut paut dengan soal mati-hidupnya. Jika
ia mau jadi seorang gagah, seorang ksatria sejati, maka ia harus mencoret
se-tiap impian untuk memperoleh pangkat dan harta. Jika ia ingin tetap menjadi
pengikut Hok Thayswee yang setia, ia harus melaporkan kejadian itu.
Ouw Hui mengerti apa yang
dipikir Tiat Gok. "Ong Toako," katanya. "Urusan ini memang
sangat sulit dan kau tak usah mengambil keputusan se-karang juga." Ong
Tiat Gok manggut-manggutkan kepalanya dan lalu meninggalkan rumah penginapan
itu. Ouw Hui segera merebahkan dirinya di atas pembaringan untuk mengaso. Ia
tahu, bahwa ia sekarang sedang berjudi dan taruhannya adalah jiwanya sendiri.
Dengan penuh kesangsian, ia
merenungkan ke-mungkinan-kemungkinan. Mungkin sekali sebentar tengah malam, Ong
Tiat Gok akan datang seorang diri dan mengajaknya masuk ke dalam gedung Hok
Kong An. Akan tetapi, jika begitu, ia menempatkan dirinya dalam kedudukan yang
sangat berbahaya. Dengan dia dan Ma It Hong, Tiat Gok tidak mem-punyai hubungan
rapat. Apakah ia sudi memper-taruhkan jiwanya untuk kepentingan dua orang yang
tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya sendiri? Kemungkinan itu kecil, apa
pula jika di-ingat, bahwa ia sudah bekerja lama di bawah Hok Kong An dan pada
umumnya, manusia sangat ke-maruk akan pangkat dan harta.
Jika Tiat Gok ingin mendapat
pahala, maka sebentar malam, hotel itu tentu akan dikurung dan ia bakal
membuang jiwa.
Ouw Hui mengerti, bahwa bagi
Ong Tiat Gok tidak ada jalan sama tengah. Jika ia tidak me-laporkan, Thio Hek
tentu bakal melaporkan soal itu. Bagi Tiat Gok hanya terbuka dua jalan:
Mem-bantu Ouw Hui demi keadilan atau bersetia kepada Hok Kong An.
Ya! Ia memang sedang memegang
beberapa lembar kartu Pay-kiu. Kalau kalah ia harus mem-bayar dengan jiwanya.
Menang kalahnya tergantung atas keputusan Ong Tiat Gok. Ia yakin, Tiat Gok
bukan seorang jahat, tapi bahaya benar-benar ter-lalu besar, sedang dari
dirinya, Tiat Gok sedikit pun tidak dapat mengharap balasan apa-apa.
Tapi sebagai orang yang
bernyali luar biasa besar, Ouw Hui segera juga dapat menenteramkan hatinya dan
tak lama kemudian, ia pulas.
Sesudah pulas beberapa lama,
dalam keadaan setengah sadar, ia dengar suara ribut-ribut. Dengan cepat ia
melompat bangun. "Benar, aku ingin cari seorang perwira yang memakai tanda
Hian," de-mikian terdengar suara seseorang. "Kalau tidak salah, ia di
sini. Sekarang ada perintah penting untuknya. Coba kau tengok." Mendengar
suara itu bukan suara Ong Tiat Gok, Ouw Hui terkesiap, "Huh-huh! Sekali
ini aku kalah," katanya di dalam hati dan sambil mencekal golok, ia
melongok ke luar jendela. Di luar gelap gulita dan sunyi senyap. Dengan cepat
ia melompat ke atas genteng dan memasang kuping.
Karena Tiat Gok tidak datang
sendiri, ia lantas saja menduga, bahwa orang she Tiat itu sudah mengkhianati
dirinya. Tapi ia merasa heran, me-ngapa rumah penginapan itu tidak dikurung
musuh. Biar bagaimanapun jua, hatinya merasa agak lega.
Sementara itu, ia lihat
seorang pelayan sudah menghampiri kamarnya dengan tangan mencekal ciak-tay.
"Kun-ya (tuan perwira), ada orang cari kau," katanya sambil mengetuk
pintu.
Buru-buru Ouw Hui melompat
masuk lagi ke kamarnya dengan ambil jalan dari jendela. "Siapa?
Masuklah," katanya.
Si pelayan lantas saja membuka
pintu, ber-tindak masuk dan menaruh ciak-tay di atas meja. "Apa Kun-ya itu
belum tersadar?" tanyanya. "Kalau belum sadar, apa perlu kubuat
semangkok obat untuk menyadarkannya?" "Tak usah!" kata Ouw Hui,
matanya melirik si perwira yang berdiri di belakang pelayan itu. Per¬wira itu
berusia kira-kira empat puluh tahun dan paras mukanya tenang luar biasa.
"Lihay sungguh orang ini!" kata Ouw Hui di dalam hati. "Ia
berani masuk ke dalam kamarku seorang diri dan parasnya sedikit pun tidak
berubah. Apa dia mempunyai kepandaian luar biasa dan tidak memandang aku
sebelah mata?" "Apa Toako Thio Toako?" tanya Wie-su itu.
"Kita belum pernah bertemu. Aku she Jim, namaku Thong Bu dari Pasukan
Keempat." "Oh, Jim Toako, aku merasa beruntung hari ini bisa
berkenalan dengan Toako," kata Ouw Hui. "Memang karena dalam pasukan
terdapat banyak sekali orang, kita belum mendapat kesempatan un-tuk
berkenalan." "Benar," kata Thong Bu. "Atasanku telah me-merintahkan
aku membawa sepucuk surat perintah untuk Thio Toako." Sambil berkata
begitu, dari sakunya ia mengeluarkan sebuah amplop.
Ouw Hui menyambuti amplop itu
yang dicap dengan empat huruf merah "Peng-po Ceng-tong" (Departemen
Peperangan) di sudut kiri atas. Di tengah-tengah amplop itu terdapat tulisan
yang berbunyi: "Untuk Thio Hek, Pasukan Ketiga, di rumah penginapan An
Wan." Sesudah mendapat pengalaman getir di gedung Hok Kong An, di mana
kedua tangannya dijepit dengan perkakas rahasia, kali ini Ouw Hui berlaku lebih
hati-hati. Lebih dulu ia memijit amplop itu dan sesudah mendapat ke-nyataan,
bahwa di dalamnya tidak disembunyikan alat rahasia, ia segera merobeknya dan
mengeluar¬kan selembar kertas dari dalamnya. Dengan per-tolongan sinar lilin,
ia segera membaca tulisan di kertas itu. Tiba-tiba jantungnya memukul lebih
ke-ras dan hatinya penuh kesangsian. Mengapa? Ka¬rena di atas kertas itu tidak
ada tulisannya dan hanya terdapat sebuah lukisan tiauw-sie-kwie (setan dari
orang yang mati di gantung) yang sedang meng-gapai-gapai seorang manusia,
supaya dia turut naik ke tiang penggantungan. Menurut ketahayulan pada jaman
itu jika seseorang mati digantung maka roh-nya akan menjadi setan yang akan
menggunakan segala daya upaya untuk membujuk seorang ma¬nusia lain menggantung
diri guna menggantikannya sebagai setan. Sesudah mempunyai pengganti, baru-lah
setan yang pertama bisa dilahirkan lagi ke dalam dunia sebagai manusia.
Sesudah berpikir sejenak, Ouw
Hui bertanya: "Jim Toako apa malam ini kau yang bertugas dalam gedung Hok
Thayswee?" "Benar," jawabnya. "Siauwteesekarang mau pergi
ke situ." Ia memutar badan dan segera bertindak ke luar.
"Tunggu dulu. Aku minta
tanya, siapa yang menyuruh Toako menyampaikan surat perintah ini
kepadaku?" tanya Ouw Hui.
"Lim Twie-thio,"
jawabnya. (Twie-thio = Ke-pala Pasukan).
Sekarang Ouw Hui dapat menebak
latar be-lakang lukisan itu. Rupanya, karena tidak dapat mengambil keputusan
sendiri Ong Tiat Gok telah berdamai dengan Toasukonya, yaitu Ciu Tiat Ciauw.
Mungkin sekali, karena mengingat budi Ouw Hui yang sudah memulihkan tulangnya
yang copot dan memulangkan Tong-eng Tiat-gan-pay, maka Ciu Tiat Ciauw sudah
mengatur serupa akal yang sangat sagus. Dengan akal itu, Ong Tiat Gok boleh tak
usah menempuh bahaya dan tugas mengajak Ouw Hui masuk ke dalam gedung Hok Kong
An di gantikan oleh satu setan pengganti. Dengan demi-kian tak perduli Ouw Hui
berhasil atau gagal. Su-teenya tak akan kerembet-rembet. Di atas kertas itu, ia
tidak menulis huruf apa pun jua, sehingga andaikata rahasia bocor, ia tak akan
terseret. Ia memasukkan amplop tersebut ke dalam segabung surat lainnya yang
harus diserahkan kepada pe-mimpin Pasukan Keempat dan sebelum sampai di tangan
Lim Twie-thio, surat-surat itu lebih dulu diantar ke satu dan lain tangan, sehingga
sukar sekali orang dapat mengusut, dari mana datangnya surat perintah itu. Di
lain pihak, begitu melihat cap "Peng-po Ceng-tong", Lim Twie-thio
tidak berani berlaku ayal dan segera memerintahkan sebawahan-nya untuk
menyampaikannya kepada alamatnya. Tiat Ciauw tahu bahwa yang menjaga gedung Hok
Thayswee pada malam itu adalah Wie-su Pasukan Keempat, sehingga siapa pun juga
yang diperintah Lim Twie-thio, Ouw Hui pasti akan dapat meng-ikutinya.
Itulah tebakan Ouw Hui yang
cukup jitu, mes-kipun tidak tepat seluruhnya. Diam-diam ia tertawa dalam
hatinya dan menganggap Ciu Tiat Ciauw sebagai manusia yang amat licin. Sebagai
seorang yang sudah berdiam di kota raja selama puluhan tahun, orang tua itu
mempunyai pengalaman luas dan cara bekerjanya lain daripada yang lain, Ouw Hui
yakin, bahwa Tiat Ciauw berusaha untuk mem-bantunya dengan setulus hati dan
untuk itu semua, ia merasa sangat berterima kasih.
Demikianlah, melihat Jim Thong
Bu memutar badan, buru-buru ia berkata: "Atas perintah atasan, malam ini
aku harus bantu menjaga gedung Hok Thayswee." Ia berdiam sejenak dan
kemudian ber¬kata pula dengan suara mendongkol. "Gila sungguh! Malam ini
sebenarnya giliran aku mengaso. Menga-pa malam-malam aku dipanggil juga?"
Jim Thong Bu tertawa. "Gedung Hok Thayswee disatroni pembunuh, sehingga
sudah sejamaknya kalau kita bekerja lebih keras," katanya. "Untuk
pekerjaan itu kita pasti akan mendapat hadiah yang setimpal." Ouw Hui
turut tertawa. "Jim Toako, aku baru saja dapat uang," katanya. "Mari
kita makan minum sekadarnya. Aku jadi tuan rumah. Jim Toako, apa kcsukaanmu
yang terutama? Suka judi? Arak?" Perwira itu tertawa berkakakkan.
"Semua suka, semua aku suka," jawabnya sambil menyeringai.
Sambil menepuk pundak Jim
Thong Bu secara hangat, Ouw Hui berkata; "Jim-heng kita berdua sangat
cocok. Sayang baru sekarang kita bertemu muka. Siauw Jie! Ambil arak?"
Perwira itu kelihatan sangsi. "Malam ini aku bertugas," katanya.
"Jika Twie-thio tahu aku minum arak, mungkin ia akan menegur."
"Kita hanya minum tiga cawan, mana dia tahu?" bisik Ouw Hui.
Di lain saat, pelayan sudah
datang dengan mem-bawa arak dan sepiring daging sapi asin. Sesudah minum tiga
cawan, Ouw Hui melemparkan sepo-tong perak ke atas meja seraya berkata:
"Ambil lebihnya!" Melihat persenan yang besar itu, si pelayan girang
bukan main, tapi sebelum ia keburu meng-haturkan terima kasih, Jim Thong Bu
sudah men-dului mengambil perak itu. "Thio Toako, tanganmu terlalu
terbuka," katanya. "Apa kita yang bekerja pada Hok Thayswee, mesti
merogoh saku untuk beberapa cawan arak saja? Hayo berangkat!" De¬ngan
tangan kirinya ia menarik Ouw Hui, sedang tangan kanannya memasukkan potongan
perak itu ke dalam sakunya sendiri! Si pelayan mengawasi dengan mata mendelik,
tapi tak berani mengeluar-kan sepatah kata.
Ouw Hui tertawa. Melihat
kerakusan orang itu, ia merasa girang karena terhadap orang semacam itu, ia
dapat menjalankan peranan terlebih mudah. Dengan bergandengan tangan mereka
berjalan ke-luar dari rumah penginapan. Baru belasan tombak, kuping Ouw Hui
yang sangat tajam mendadak men-dengar suara kresekan di atas genteng. Ia tahu
suara itu suara kaki manusia. "Jim Toako, tunggu dulu di sini,"
katanya. "Aku kelupaan membawa serupa barang. Tunggulah sebentar. Ia
memutar badan dan kembali ke kamarnya. Dalam kegelapan, samar-samar ia lihat
berkelebatnya badan manusia yang kurus kecil keluar jendela. Dengan gerakan
yang gesit luar biasa. Dilihat dari potongan badan dan gerakannya orang itu
seperti juga Ciu Tiat Ciauw. "Perlu apa dia menyatroni kamarku?"
tanya Ouw Hui di dalam hati. Ia menyingkap kelambu dan meraba hidung Thio Hek.
Benar saja Thio Hek sudah tidak bernyawa lagi! Ia binasa karena to-tokan, Ouw
Hui bergidik dan berkata dalam batin-nya: "Orang itu licin, pintar dan
kejam. Memang, jika Thio Hek tidak disingkirkan rahasia pasti akan bocor. Hanya
aku tidak menduga, baru aku me-langkah pintu, dia sudah berani turun
tangan." Biar bagaimanapun juga, sekarang hatinya jadi lebih lega, karena
ia yakin bahwa dengan setulus hati Ciu Tiat Ciauw ingin membantu sahabatnya. Ia
segera membalikkan tubuh Thio Hek supaya meng-hadap ke dalam dan sesudah
menyelimutinya, ia keluar lagi dari kamarnya dan menghampiri Jim Thong Bu.
"Jim Toako, maaf kau mesti menunggu lama," katanya.
"Hayolah." "Thio Toako, dengan kawan sendiri jangan kau berlaku
begitu sungkan." kata Thong Bu. Dengan berendeng pundak, mereka segera
menuju ke ge-dung Hok Kong An.
Depan gedung dijaga belasan
Wie-su yang ber-senjata lengkap. Begitu mereka mendekati pintu, pemimpin
pasukan membentak: "Wie-tin...!" ".... Su-hay!" menyambungi,
Thong Bu.
Pemimpin itu mengangguk.
"Malam ini kita harus menjaga hati-hati sekali," katanya.
"Tentu," kata Thong
Bu.
"Twie-thio," kata
Ouw Hui. "Apa malam ini penjahat bakal menyatroni lagi?" Pemimpin itu
tertawa.
"Mungkin kalau dia sudah
makan nyali hari-mau," jawabnya.
Ouw Hui tertawa terbahak-bahak
dan lalu ma-suk ke dalam.
Setibanya di pintu tengah,
wakil pemimpin pa¬sukan yang menjaga di situ membentak dengan suara perlahan.
"Wie-tin...." ".... Coat-shia!" menyambungi Jim Thong Bu.
"Jim Thong Bu, siapa
orang itu?" tanya Wie-su itu. "Aku tidak kenal." "Thio
Toako, dari Pasukan Ketiga," jawabnya.
"Hm... jenggotnya sangat
keren," kata si wakil pemimpin.
Sambil tersenyum mereka
berjalan terus mem-belok ke kiri dan sesudah melewati dua pintu sam-ping,
mereka tiba di taman bunga.
Pintu taman dijaga oleh
seorang wakil pemim¬pin yang menegur dengan kata-kata "Wie-tin" juga.
".... Cian-chiu," jawab Thong Bu. Diam-diam Ouw Hui merasa syukur,
bahwa ia datang bersama-sama Jim Thong Bu, sebab kalau bukan begitu, ia pasti
tak akan bisa masuk ke gedung yang dijaga sedemikian keras dengan menggunakan
kata-kata rahasia yang berbeda-beda.
Begitu masuk di dalam taman
Ouw Hui segera mengenali jalan-jalan yang pernah dilaluinya. Un-tuk
menenteramkan hati It Hong dan Leng So, ia segera mengambil keputusan untuk
bekerja selekas mungkin, dan dengan tindakan cepat, ia menuju ke gedung ibu Hok
Kong An.
"Thio Toako, mau ke mana
kau?" tanya Thong Bu dengan perasaan heran.
"Aku mendapat perintah
untuk melindungi Tayhujin," jawabnya.
"Oh begitu?" kata
Thong Bu. Sesaat itu dua Wie-su menghampii i. "Siapa kau?" tanya
salah seorang. "Jim Thong Bu dari Pasukan Keempat." "Thio Hek
dari Pasukan Ketiga." Ouw Hui memperkenalkan diri.
Wie-su itu mengeluarkan seruan
terlalian clan meraba gagang golok. "Apa? Siapa namamu!" bentaknya.
Ouw Hui terkejut. Ia mengerti,
bahwa pengawal itu mengenal Thio Hek dan rahasianya sudah ter buka. Ia maju
setindak dan berbisik. "Namaku Ouw Hui." Wie-su itu kaget tak
kepalang, ia mengawasi dengan mata membelalak. Sebelum ia sempat ber-gerak,
jalan darahnya sudah ditotok Ouw Hui yang dengan sekali menggerakkan sikutnya,
sudah meru-buhkan pula Wie-su yang satunya lagi.
Jim Thong Bu menggigil bahna
kaget dan takut. "Kau... kau..." katanya dengan suara terputus-putus.
"Laki-laki tidak menukar
she atau mengubah nama," kata Ouw Hui dengan suara dingin. "Aku
adalah Ouw Hui." Sambil berkata begitu, ia me-nyeret tubuh kedua Wie-su
itu ke dalam gerom-bolan pohon-pohon bunga.
Sementara itu, sesudah dapat
menenteramkan hatinya, Thong Bu menghunus golok. "Semua orang sudah lihat,
bahwa kaulah yang mengajak aku ke sini," kata Ouw Hui. "Perlu apa kau
ribut-ribut? Paling selamat kau menutup mulut." Thong Bu menggigil, rasa
kaget dan takutnya semakin menjadi-jadi.
"Kalau kau masih kepingin
hidup ikutlah aku!" bisik Ouw Hui. Dalam kebingungan yang sangat hebat,
Jim Thong Bu tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Melihat lihaynya Ouw Hui, ia
me¬ngerti, bahwa jika melawan, jiwa bisa melayang.
Kedatangan Ouw Hui pasti
mengandung mak-sud kurang baik, sehingga ia yang sudah mengajak pemuda itu
masuk ke gedung Hok Kong An, pasti kerembet. Dalam ketakutannya itu, bagaikan
se¬orang Hnglung, ia segera mengikuti Ouw Hui.
Dengan cepat Ouw Hui
menghampiri pintu depan gedung Nyonya Siangkok yang ternyata di jaga oleh
tujuh-delapan Wie-su. Ia bersangsi, ka-rena jika ia menggunakan kekerasan,
belum tentu ia dapat merubuhkan mereka dalam tempo lekas. Mendadak ia mendapat
serupa ingatan dan sambil mengajak Jim Thong Bu, ia segera pergi ke samping
gedung. Tiba-tiba ia berteriak. "Jim Thong Bu! Perlu apa kau datang ke
sini? Mau memberontak?" Thong Bu terkesiap. "Aku... aku..."
katanya terputus-putus.
"Tahan! Hei! Jangan
bergerak kau!" teriak pula Ouw Hui.
Mendengar teriakan itu, karuan
saja tujuh-de¬lapan pengawal yang menjaga di pintu dengan lantas meiuruk ke
belakang. Ouw Hui mengangkat tubuh Jim Thong Bu dan melemparkannya ke jendela
dan lantas saja menjadi hancur. "Tangkap! Lekas tang-kap!" teriaknya.
Bagaikan kawanan harimau, para
Wie-su menu-bruk dan membekuk si orang she Jim.
"Jangan mengagetkan
Tayhujin," kata Ouw Hui seraya melompat ke dalam kamar dari jendela yang
berlubang.
"Ada apa?" tanya ibu
Hok Kong An sambil memeluk kedua puteranya Ma It Hong yang sudah menangis keras
dan sudah memanggil-manggil ibu-nya.
"Ada pembunuh!"
jawab Ouw Hui. "Siauwjin sengaja datang untuk melindungi Tayhujin dan
ke¬dua Kongcu. Di sini penuh bahaya kalau perlu segera menyingkir ke tempat
yang lebih selamat." Nyonya itu kaget bukan main, tapi sebagai seorang
yang berpengalaman, dia lantas saja ber-curiga. "Siapa kau? Di mana adanya
pembunuh itu?" tanyanya.
Ouw Hui mengerti, bahwa dia
tak dapat meng-hilangkan tempo. Mengingat kekejaman nyonya tua itu, darahnya
agak meluap dan sambil melompat, ia mengayun telapak tangannya.
Nyonya besar itu adalah isteri
seorang perdana menteri dan kecintaan kaisar, sedang ketiga putera¬nya semua
berpangkat tinggi dan dua orang me-nantunya adalah puteri kaisar. Selama
hidupnya, ia selalu diliputi kekuasaan dan kemewahaan dan be¬lum pernah ia
menerima hinaan yang begitu besar. Di lain pihak, karena hatinya mendongkol,
waktu menggaplok Ouw Hui sudah menggunakan seba-gian tenaganya, sehingga begitu
kena, pipi nyonya itu lantas saja bengkak dan dua giginya rontok. Dalam
kegusaran yang melampaui batas, hampir-hampir si nyonya pingsan.
"Mari ikut aku untuk
menemui ibumu," kata Ouw Hui sambil membungkuk dan memeluk kedua bocah itu
dengan lengan kirinya.
Pada saat itu, dua orang
Wie-su sudah masuk ke dalam kamar. Ouw Hui mengerti bahwa tanpa menggunakan
siasat, tak gampang-gampang ia da¬pat ke luar dari gedung itu. Sambil
mencengkeram baju Tayhujin, ia membentak: "Tayhujin berada dalam tanganku.
Majulah! Mari kita mampus ber-sama-sama." Seraya berkata begitu, ia
melompat keluar dengan menenteng nyonya tua itu.
Dengan mata membelalak, para
Wie-su meng-awasi Ouw Hui menerjang ke luar sambil men-dukung kedua puteranya
Ma It Hong dan menyeret tangan Tayhujin. Pengawal-pengawal dari Iain-lain
bagian gedung mulai memburu ke situ. Mereka mengurung dari sebelah kejauhan dan
meskipun kedua tangan Ouw Hui tidak dapat memberi per-lawanan karena yang satu
mendukung dua bocah itu dan yang lain mencekal Tayhujin mereka masih belum
berani turun tangan. Ouw Hui bingung bukan main. la mengerti, bahwa semakin
lama jumlah Wie-su yang mengepung akan jadi semakin besar dan keadaannya
semakin berbahaya. Setindak demi setindak ia maju terus sambil mengasah otak.
la tahu bahwa sekali ini ia harus mempertaruhkan jiwanya.
Mendadak, baru saja ia
mengambil putusan nekat menerjang mati-matian, di sebelah kiri ter-lihat
mengepulnya asap dan berkobarnya api sedang di antara suara ribut terdengar
teriakan: "Awas! Penjahat coba membunuh Kongcu! Penjahat mem-bakar gedung
Kongcu!" Ouw Hui kaget. Ia kenali bahwa suara itu suara Ciu Tiat Ciauw.
Kongcu adalah puteri kandung kaisar Kian-liong dan jika sang puteri binasa
dalam tangan penjahat, seantero Wie-su dalam gedung Hok Kong An akan mendapat
hukuman mati. Maka itu, teriakan Ciu Tiat Ciauw sudah mengejutkan sangat
hatinya semua orang.
"Kalian semua pergi
padamkan api dan lindungi Kongcu biar aku sendiri yang menolong Tayhujin,"
demikian terdengar pula teriakan Ciu Tiat Ciauw. Dalam kalangan pengawal Hok
Kong An, Ciu Tiat Ciauw mempunyai kedudukan tinggi dan di-sayang oleh menteri
itu, sehingga ia sangat disegani oleh kawan-kawannya. Maka itu, begitu
mendengar perintahnya, para Wie-su lantas saja meninggalkan Ouw Hui dan memburu
ke tempat kebakaran.
Ouw Hui mengerti, bahwa Ciu
Tiat Ciauw telah menggunakan tipu "memancing harimau keluar gu-nung"
untuk menolong dirinya dan ia merasa sangat berterima kasih. Di lain saat,
Tiaut Ciauw sudah membacok sambil berteriak keras. Ouw Hui ber-kelit seraya
mendorong Tay Hujin yang jatuh teng-kurep di tanah. Tiat Ciauw buru-buru
membangun-kan dan menggendong nyonya tua itu yang lalu dibawa pulang ke
gedungnya. Ouw Hui sungkan menyia-nyiakan kesempatan baik dan segera kabur
dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan.
"Jumlah penjahat tidak
sedikit!" demikian ter¬dengar pula teriakan Tiat Ciauw. "Semua orang
tetap pada tempat penjagaannya. Lindungi Hok Thayswee dan Jie-wie Kuncu! Jangan
kena diakali dengan tipu memancing harimau keluar dari gu-nung," mendengar
teriakan itu, semua wie-su tidak berani sembarangan mengejar.
Sambil mendukung kedua bocah,
Ouw Hui lari ke belakang taman. Dengan cepat ia sudah tiba di tembok pekarangan
dan dengan sekali mengenjot tubuh, kedua kakinya hinggap di atas tembok.
Tiba-tiba ia mengeluh sebab di sebelah timur dan barat dijaga oleh sejumlah
besar Wie-su! Buru-buru ia melompat turun dan melewati sebidang tanah la-pang
secepat-cepatnya, akan kemudian masuk ke sebuah lorong.
Pada saat itulah terdengar
teriakan orang: "Tangkap! Tangkap pembunuh!" Diiring dengan
teriakan-teriakan, sejumlah Wie-su mengejar dari belakang. Setibanya di ujung
lorong, Ouw Hui mera-belok ke sebuah jalan raya dan mendadak hatinya girang
karena di pinggir jalan kelihatan berhenti sebuah kereta keledai. Cepat-cepat
ia melompat naik ke dalam kereta sambil berkata pada si kusir: "Lekas!
Hayo lekas! Aku akan memberi hadiah besar." Di tempat duduk kusir duduk
dua orang dan begitu mendengar perkataan Ouw Hui, orang yang duduk di sebelah
kanan, yang tubuhnya kurus, lan-tas saja mengedut les dan keledai lantas saja
lari.
Begitu duduk di dalam kereta,
Ouw Hui meng-endus bebauan yang tak enak. Setelah memper-hatikan ia mendapat
kenyataan bahwa bebauan itu keluar dari beberapa tahang kotoran manusia. Ia
kini mengerti bahwa kereta itu adalah kereta yang biasa mengumpulkan kotoran
manusia dari rumah-rumah penduduk untuk dijadikan pupuk. Semen-tara itu suara
teriakan semakin hebat kedengaran-nya.
Ia menengok dan melihat
pengejar-pengejar-nya sudah datang sangat dekat.
Tiba-tiba ia mendapat pikiran
baik. Ia meng-angkat sebuah tahang dan sambil mengerahkan Lweekang,
melemparkannya ke belakang. Dua Wie-su yang paling depan rubuh terjengkang
dengan tubuh penuh kotoran, sedang kawan-kawannya lan¬tas saja berhenti
mengejarnya. Mereka itu adalah orang-orang pilihan yang bernyali besar, tapi
meng-hadapi kotoran manusia, mereka jadi keder juga.
Kereta terus dilarikan
secepatnya tapi tak lama kemudian di sebelah belakang kembali terdengar
teriakan dan sejumlah Wie-su sudah mengejar pula. Hok Kong An adalah seorang
Peng-po Siang-sie (menteri pertahanan) yang berkuasa angkatan pe-rang seluruh
kerajaan Ceng. Dapat dimengerti, bahwa pengawal-pengawal pribadinya bukan
sembarang orang dan dipilih dari orang-orang ternama dalam Rimba Persilatan,
sehingga pengacauan Ouw Hui selama dua malam berturut-turut dianggap mereka
sebagai suatu hinaan besar yang sangat memalukan. Maka itu, seusainya menolong
kedua kawan yang rubuh, mereka segera mengejar pula dengan kegusaran
meluap-luap.
Ouw Hui mulai bingung lagi.
"Jika mereka masih mengejar, aku tentu tidak boleh pulang," katanya
di dalam hati. "Ma Kouwnio masih belum sembuh dan setan-setan itu tak
boleh tahu tempat bersembunyinya. Tapi kalau tidak pulang, ke mana aku harus
pergi?" Sementara itu, para Wie-su sudah hampir dekat dan hanya karena
takut dihantam dengan tahang kotoran, mereka belum berani ter-lalu mendesak.
Mereka rupanya tahu, bahwa de¬ngan membuntuti dari kejauhan, Ouw Hui pasti
tidak akan bisa keluar dari kota Pakkhia.
Beberapa saat kemudian, kereta
itu tiba di sebuah jalan yang bercagak tiga dan di tengah-tengah jalan itu
berhenti sebuah kereta keledai lain. Begitu lekas kereta yang diduduki Ouw Hui
ber-dempetan dengan kereta itu, si kusir menggapai seraya berkata:
"Pindah!" Ia melompat ke kereta itu, diturut oleh Ouw Hui yang
mendukung putera-nya Ma It Hong.
Sebagaimana diketahui, di
kereta pertama ter-dapat dua orang kusir. Begitu lekas kusir pertama dan Ouw
Hui berpindah ke kereta lain, kusir kedua segera mengedut les dan mengaburkan
kereta itu ke jurusan barat, sedang kereta yang ditumpangi Ouw Hui dilarikan ke
arah timur.
Dilain pihak, setibanya di
jalan bercagak, para Wie-su jadi bingung sebab dua kereta yang bentuk dan
warnanya bersamaan lari ke dua jurusan. Me-reka tak tahu kereta yang mana
memuat orang yang sedang dikejar. Sesudah berdamai sebentar, rom-bongan dipecah
dua yang masing-masing mengejar ke barat dan ke timur.
Mendengar suara dan pula cara
melompatnya si kusir kurus, bukan main girangnya Ouw Hui, sebab ia segera
mengenali, bahwa kusir itu bukan lain daripada adiknya sendiri. "Aduh
Jie-moay! Sungguh aku tak duga!" katanya dengan suara kagum.
Leng So hanya mengeluarkan
suara di hidung.
"Bagaimana keadaan Ma
Kouwnio?" "Tak tahu!" jawab si adik.
Ouw Hui tahu si adik sedang
mendongkol. "Jie-moay, aku mengaku salah dan kuharap kau sudi
memaafkan," katanya dengan suara yang halus.
"Aku tak akan menarik
pulang perkataanku," kata si nona. "Aku tetap tak akan mengobati
pada-nya. Apa kau kira omonganku bukan perkataan manusia?" Selagi Leng So
berkata begitu kembali kereta tiba di jalan bercagak dan di tengah jalan
terdapat sebuah kereta yang lain. Kali ini si nona tidak menukar kereta. Dengan
sekali berseru dan meng-ulapkan tangan, kedua kereta itu berpencaran de¬ngan
berbareng, yang satu ke selatan yang lain ke utara.
Waktu menyusul sampai di jalan
bercagak itu, para Wie-su itu jadi lebih kaget dan gusar. Mereka tak dapat
berbuat lain daripada memecah lagi rom-bongan untuk mengejar kedua kereta itu.
Semenjak Pakkhia menjadi
ibukota negara pada jaman Kerajaan Goan, jalan-jalan dalam kota itu dibuat
dalam bentuk garis-garis papan catur, yaitu membujur dari selatan sampai ke
utara dan me-lintang dari timur ke barat. Dari sebab itulah, kereta yang
ditumpangi Ouw Hui dan Leng So lagi-lagi bertemu dengan jalan bercagak dan di tengah-tengah
jalan terdapat pula kereta lain yang ben-tuknya sama. Kejadian itu
berulangkali. Kalau para pengejar sudah datang dekat sebab khawatir di-kenali,
Leng So tidak menukar kereta hanya me-merintahkan supaya kedua kereta itu
berpencaran dengan berbareng dan lari ke dua jurusan. Tapi kalau
pengejar-pengejar masih agak jauh mereka pindah kereta supaya dapat lari
terlebih cepat de¬ngan keledai yang masih segar. Demikianlah setiap kali
bertemu dengan jalan bercabang, jumlah pe¬ngejar berkurang separuh sehingga
pada akhirnya, mereka hanya dikejar oleh lima enam Wie-su yang sudah cape lelah
dan napasnya tersengal-sengal.
"Jie-moay, sungguh lihay
tipumu ini," memuji Ouw Hui. "Jika kau tidak menggunakan kereta
pengumpul kotoran, kereta itu bisa dicurigai oleh tentara peronda."
"Biar dicurigai," kata si adik dengan suara di-ngin. "Kau tidak
menyayang jiwa dan memang pan-tas kalau kau mati dalam tangan tentara
negeri." "Aku memang pantas mati," kata Ouw Hui sambil
tersenyum. "Hanya jika aku mati, bakal ada seorang nona yang bersedih
hati." "Hmmm," Leng So mengeluarkan suara di hi¬dung. "Kau
tak dengar omonganku dan kalau kau sampai mengantarkan jiwa, siapa pun boleh
tak usah bersedih... kecuali nona Wan yang cantik manis.
Tapi mengapa ia sekarang tidak
menolong kau?" "la tidak tahu, bahwa aku sudah begitu tolol untuk
menyatroni gedung Hok Thayswee," kata sang kakak. "Di kolong langit
hanya ada seorang gadis yang tahu ketololanku dan hanya ia yang dapat menolong
jiwaku pada saat yang berbahaya." Mendengar pujian itu, Leng So merasa
sangat senang, tapi paras mukanya masih tetap dingin dan ia hanya mengeluarkan
suara di hidung. "Karena dulu Ma Kouwnio pernah menolong kau, maka kau
tidak dapat melupakan budinya dan bertekad untuk membalas budi itu, bukankah
begitu?" tanya si nona.
"Mengenai budi, mana Ma
Kouwnio dapat di-rendengkan dengan adikku?" kata Ouw Hui.
Di tengah gelap Leng So
tersenyum, tetapi suaranya masih tetap kaku. "Huh! Karena masih memerlukan
bantuanku untuk mengobati Ma Kouwnio, kau sudah mengeluarkan perkataan
ma-nis-manis," katanya. "Sesudah kau tidak perlu lagi dengan
tenagaku, segala omonganku pasti lebih-lebih tidak digubris lagi olehmu."
"Jika aku bicara tidak setulus hati, biarlah aku mati dengan jalan yang
tidak baik." Ouw Hui ber-sumpah.
"Kalau benar ya sudah,
perlu apa kau ber-sumpah," kata si nona dengan suara terlebih lunak.
Sesudah melewati sebuah jalan
bercagak lagi, Wie-su yang mengejar hanya ketinggalan dua orang.
"Jie-moay," kata Ouw Hui sambil tertawa. "Coba kau tahan larinya
keledai sebentar, aku ingin mem-perlihatkan sebuah pertunjukan." Leng So
menarik les dan keledai itu lantas saja menghentikan tin-dakannya. Di lain
saat, kedua pengejar sudah ham pir menyusul dan waktu mereka hanya terpisah
beberapa tombak dari kereta, mendadak Ouw Hui mengangkat sebuah tahang kosong
yang lalu di-lontarkan dan masuk tepat di kepala salah seorang Wie-su. Kawannya
mengeluarkan teriakan kaget dan memutar badan, akan kemudian lari lintang
pukang.
Melihat pertunjukan yang lucu
itu, Leng So tertawa geli dan sisa kedongkolannya lantas saja hilang seperti
disapu angin.
Tak lama kemudian kereta sudah
tiba di depan gedung di mana mereka menginap. Leng So segera menyerahkan les
kepada si kusir dan menghadiah-kan beberapa tahil perak. Sesudah itu, dengan masing-masing
mendukung seorang bocah, mereka4 masuk dengan melompati tembok. Siapa pun tak
pernah mimpi, bahwa dua orang itu baru saja me-ngacau di rumah menteri
pertahanan.
Melihat kedua puteranya, bukan
main girang-nya Ma It Hong memeluk kedua bocah itu erat-erat dan air matanya
mengucur deras. Kedua bocah itu pun balas memeluk ibu mereka dengan penuh
ke-cintaan.
Leng So terharu dan berbisik:
"Toako sekarang aku tidak menyalahkan kau lagi. Memang kita harus merampas
pulang kedua bocah itu, supaya ibu dan anak dapat berkumpul kembali."
"Tapi hatiku tetap merasa kurang enak, sebab aku sudah tidak dengar
perkataanmu," kata sang kakak.
Leng So menjebik dan berkata
sambil tertawa: "Huh! Toako memang pandai bicara. Waktu kita pertama
bertemu, kau sudah tak dengar omongan ku. Aku minta kau jangan berpisah dari
sampingku dan jangan turun tangan tapi semua permintaanku tidak digubris
olehmu." Sesudah bertemu dengan kedua puteranya, Ma It Hong sembuh dengan
cepat sekali. Setelah Leng So "menciam" (menusuk dengan jarum emas)
lagi beberapa kali dan memberi beberapa macam obat, racun yang mengeram dalam
tubuhnya telah dapat dikeluarkan seanteronya. Sesudah ingatannya kem-bali, ia
menanyakan sebab musabab mengapa me¬reka berada dalam gedung itu dan mengapa
Hok Kong An tak pernah datang menyambanginya, tapi baik Ouw Hui maupun Leng So
sungkan memberi keterangan.
Sedang beberapa had tibalah
harian Tiong-chiu. Pada hari itu dengan mengajak Leng So, Coa-wie dan Kie Siauw
Hong, Ouw Hui pergi ke gedung Hok Kong An guna menghadiri pertemuan para
Ciangbunjin.
Penyamaran Ouw Hui pada hari
itu agak ber-lainan dari biasanya. Ia mencukur sebagian jeng-gotnya dan
mengenakan pakaian sulam yang sangat indah sedang tangan kirinya mencekal pipa
pit-yan-hu dan tangan kanannya memegang kipas berwarna emas, sehingga orang
yang tak tahu pasti akan menduga, bahwa ia adalah seorang hartawan besar. Leng
So sendiri menyamar sebagai seorang wanita setengah tua dengan badan agak
bongkok dan muka kisut-kisut.
Setibanya di depan gedung
Siang-kok-hu, me¬reka mendapat kenyataan, bahwa semua Sie-wie sudah ditarik
mundur dan di depan pintu berdiri delapan orang yang bertugas sebagai penyambut
tetamu.
Ouw Hui segera menyerahkan
surat undangan. Melihat pakaiannya yang mewah dan mengetahui, bahwa tamu itu
adalah Ciangbunjin dari Hoa-kun-bun, dengan sikap hormat lantas saja
mengantarkan mereka ke sebuah meja di sebelah timur, di mana sudah duduk empat
tetamu lain. Mereka segera berkenalan dan tetamu yang datang lebih dulu itu
adalah orang-orang Kauw-kun Tay-seng-bun (par-tai ilmu silat kera). Pemimpin
partai itu seorang tua yang kepalanya lancip, mulutnya monyong dagunya merah
dan lengannya sangat panjang sehingga me-nyerupai seekor kera. Melihat begitu,
Leng So merasa geli di dalam hatinya.
Dalam ruangan yang luas itu,
sudah berkumpul banyak orang dan tamu-tamu yang baru datang masuk dengan
berturut-turut. Mereka dilayani oleh perwira-perwira di bawah perintah Hok Kong
An.
Dengan matanya yang sangat
tajam Ouw Hui menyapu seluruh ruangan. Tiba-tiba ia lihat masuk-nya Ciu Tiat
Ciauw dan Ong Tiat Gok yang me¬ngenakan pakaian perwira dan dilihat dari
topinya mereka baru mendapat kenaikan pangkat. Waktu lewat di samping meja Ouw
Hui, mereka tidak mengenali pemuda itu.
Dua orang perwira menyambut
mereka dan berkata sambil tertawa: "Selamat Ciu Toako, se-lamat Ong Toako!
Semalam kalian telah membuat jasa yang sangat besar." Ong Tiat Gok tertawa
lebar. "Jasa apa? Hanya kebetulan saja," katanya dengan merendahkan
diri.
Seorang perwira lain
menghampiri seraya ber¬kata: "Yang satu menjadi Thong-peng yang lain
menjadi Hu-ciang. Sungguh hebat! Di antara pah-lawan-pahlawan Hok Thayswee,
kalianlah yang naik pangkat paling cepat." "Peng Toako, jangan kau
guyon-guyon," kata Ciu Tiat Ciauw dengan suara tawar. "Kami berdua mendapat
hadiah tanpa berjasa. Mana bisa kami dibandingkan dengan Peng Toako yang sudah
mem-buat pahala besar di medan perang?" Perwira itu merasa agak jengah dan
ia segera berkata pula dengan paras sungguh-sungguh: "Ciu Toako telah
menolong Siang-kok Hujin sedang Ong Toako melindungi Kongcu. Bansweeya sendiri
yang sudah memberi pangkat kepada kalian. Mana dapat siauwtee berendeng dengan
Jie-wie Toako?" Dengan beruntun-runtun kedua saudara itu mendapat
pemberian selamat dari para perwira. Dapat dimengerti jika tamu-tamu jadi
merasa heran dan mereka lalu mencari keterangan dari beberapa orang yang lantas
saja menceritakan peristiwa yang terjadi semalam di gedung Hok Thayswee,
ditambah dengan bumbu yang sedap. Cerita itu juga didengar Ouw Hui dan
kawan-kawannya.
Ternyata, dengan perhitungan
lihay dan tin-dakan tepat, bukan saja Ciu Tiat Ciauw sudah dapat mengelakkan
mara bahaya, tapi juga sudah menarik keuntungan besar untuk dia dan saudara
angkatnya. Dengan dia sendiri "menolong" Siangkok Hujin dan Ong Tiat
Gok "melindungi" Kongcu, di mata Kaisar Kian-liong, mereka berdua
telah berjasa sangat besar, lebih besar dari pada pahala orang yang menang
peang. Mereka bukan saja telah mendapat kenaikan pangkat tiga tingkat, tapi
juga sudah mem-peroleh hadiah emas-perak-mutiara dari Siangkok Hujin, Kongcu
dan Hok Kong An sendiri.
Untuk kepentingan sendiri,
para Wie-su me-niup-niup kejadian semalam dengan mengatakan, bahwa penjahat
yang menyatroni berjumlah ratusan orang dan bahwa, hanya sesudah bertempur
mati-matian, barulah mereka berhasil memukul mundur kawanan pengacau itu.
Meskipun merasa mendong-kol karena hilangnya kedua putera itu, tapi meng-ingat
pengalamannya waktu ditawan oleh orang-orang Ang-hoa-hwee pada sepuluh tahun
berse-lang, Hok Kong An diam-diam bersyukur, bahwa kali ini kawanan penyerang
dapat dimundurkan dan ia terlepas dari bahaya. Maka itulah, ia sudah ber-laku
royal dan memberi persenan besar kepada para pcngawalnya.
Melihat cara-cara orang-orang
itu, Ouw Hui dan Leng So merasa geli dan saling melirik sambil tersenyum.
Tak lama kemudian, puluhan
meja perjamuan sudah penuh dengan tetamu. Diam-diam Ouw Hui menghitung. Semua
ada enam puluh dua meja, setiap meja delapan orang, jumlah tetamu empat ratus
sembilan puluh enam dan jika setiap partai mengirim empat orang wakil, maka
jumlah Ciang-bunjin yang hadir dalam ruangan itu ada seratus dua puluh empat.
Sekarang baru ia tahu, bahwa di scluruh Tiongkok terdapat begitu banyak partai
alau cabang persilatan. Di samping meja-meja yang sudah penuh, juga terdapat
meja-meja yang hanya diduduki oleh empat orang dan yang masih kosong. Tanpa
merasa, ia ingat Wan Cie Ie. "Dia sudah merebut dua belas kedudukan
Ciangbun dan meja-meja yang kosong rupanya disediakan untuk orang orang dari
partai-partai yang sudah digebah kabur olehnya," katanya di dalam hati.
"Tapi di mana adanya dia sekarang?" Melihat kakaknya termenung dengan
sorot mata penuh rasa cinta, Leng So yang sangat cerdas segera dapat menebak,
bahwa Ouw Hui sedang memikir-kan Wan Cie Ie. la menghela napas dan hatinya
sedih. Tiba-tiba otot-otot pipi Ouw Hui bergerak, paras mukanya berubah dan
sinar matanya seolah-olah mengeluarkan api. Si nona segera memandang ke jurusan
yang sedang diawasi kakaknya dan ia lantas saja mengetahui sebab musabab
perubahan itu. Di sebelah barat, pada meja keempat, duduk seorang lelaki yang
badannya tinggi besar dan ta¬ngannya mencekal dua Tiat-tan dan orang itu bukan
lain dari pada Hong Jin Eng, Ciangbunjin Ngo-houw-bun.
Buru-buru Leng So menarik
tangan baju ka¬kaknya yang lantas saja tersadar dan cepat-cepat melengos ke
lain jurusan.
Sementara itu, tamu-tamu yang
berniat datang rupanya sudah tiba semua, karena dari luar sudah tidak muncul
tamu-tamu baru. Ouw Hui memper-hatikan ruangan yang luas itu. Di tengah-tengah
tergantung sehelai kain sulam dengan tulisan: "De¬ngan ilmu silat mengikat
persahabatan, orang-orang gagah menjadi tuan rumah." Di bawah kain sulam
itu berjejer empat buah kursi indah dengan alas kulit harimau, tapi semua kursi
masih kosong dan rupanya disediakan untuk orang-orang yang ber-pangkat tinggi.
"Mengapa ia belum juga
datang?" bisik Leng So. Ouw Hui mengerti, bahwa "ia" dimaksudkan
Wan Cie Ie, tapi ia berlagak pilon. "Siapa?" tanya-nya.
Si adik tidak menjawab
langsung, tapi berka'a pada dirinya sendiri: "Sebagai Cong-ciang-bun dua
belas partai, dia tak bisa tak datang." Beberapa saat kemudian, seorang
perwira tim.'-katan kedua bangun berdiri dan berseru dengan suara nyaring:
"Harap keempat Tay-ciangbunjin (Ciangbunjin besar) masuk ke dalam ruangan
per-temuan!" Seruan itu disambut oleh Iain-lain Wie-su: "Harap
keempat Tay-ciangbunjin masuk ke dalam ruangan pertemuan!" Semua jago
kaget bercampur heran. Semua orang yang berkumpul di situ, di samping
murid-murid berbagai partai dan para petugas pihak tuan rumah, adalah
Ciangbunjin, atau pemimpin, partai-partai persilatan. Mengapa orang sudah
mengguna-kan istilah "besar"? Apa ada Ciangbunjin "besar"
dan Ciangbunjin "kecil"? Seluruh ruangan jadi sunyi senyap dan mata
semua orang mengawasi pintu samping di sebelah timur, dari mana muncul dua
orang perwira ting-katan ketiga yang mendahului masuknya emp; t orang ke dalam
ruangan itu. Setibanya di bawah kain sulaman itu, dengan sikap sangat hormat,
me-reka mempersilakan keempat orang tersebut duduk di kursi yang dialas dengan
kulit harimau.
Antara keempat tetamu itu,
yang berjalan pa¬ling dulu adalah seorang pendeta tua yang alisnya putih dan
tangannya mencekal sebatang Sian-thung dari kayu Yang-bok yang berwarna kuning.
Dilihat dari paras mukanya yang welas asih, pendeta tua itu paling sedikitnya
sudah berusia sembilan puluh ta-hun. Yang kedua adalah seorang Toojin yang
kira-kira berusia tujuh puluh tahun, dengan muka mu-ram berwarna hitam dan mata
separuh tertutup separuh terbuka. Kedua orang itu — yang satu Hweeshio dan yang
lain Toojin — sangat berbeda satu sama lain. Si hweeshio tua bertubuh tinggi
besar dan berparas angker, sehingga sekelebatan saja, orang segera tahu, bahwa
ia seorang beribadat yang berilmu tinggi. Tapi si Toojin tiada bedanya seperti
imam biasa yang sering memperdayai orang dengan menjual surat jimat atau
obrolan lain. Tapi rru ngapa dia termasuk salah seorang dari empat Ciangbunjin
"besar"? Yang ketiga adalah seorang tua berusia enam puluh tahun
lebih yang kelihatan-nya bersemangat sekali, dengan sepasang matanya yang
berkilat-kiiat dan kedua Tay-yang-hiat yang menonjol ke atas, suatu tanda,
bahwa ia memiliki Lweekang yang sangat tinggi. Begitu masuk, sambil
tersenyum-senyum, ia manggut-manggut dan di an-tara seratus lebih Ciangbunjin
itu, tak kurang dari sembilan puluh yang mengenalnya. Mereka meng-gunakan
panggilan "Tong Toako" atau "Tong Tay¬hiap" dan hanya
beberapa pentolan yang sudah berusia lanjut menggunakan istilah "Kam
Lim-heng".
Ouw Hui agak terkejut.
"Ah! Orang itu tentu bukan lain dari pada Kam-lim-hui-cit-seng Tong Pay
Tong Tayhiap!" katanya di dalam hati. "Ibu Wan Kouwnio telah ditolong
olehnya dan ia dikenal sebagai seorang pendekar yang berpribudi tinggi. Sungguh
tak dinyana hari ini ia kena ditarik oleh Hok Kong An." Tong Pay tidak
lantas duduk, tapi menghampiri dan memberi salam kepada sejumlah Ciangbunjin
yang dikenalnya. Sikapnya yang ramah tamah me-nimbulkan rasa hormat dalam hati
setiap orang. Waktu tiba di meja Ouw Hui, sambil menarik tangan Ciangbunjin
dari Tay-seng Kauw-kun-bun, ia ber¬kata: "Kera tua! Kau juga datang?
Mengapa tuan rumah tidak menyuguhkan sepiring buah tho ke-padamu?" Orang
itu membungkuk secara hormat sekali dan berkata seraya tertawa: "Tong
Tayhiap, sudah tujuh tahun aku tidak pernah'mengunjungi kau untuk menanya keselamatanmu.
Semakin lama ku-lihat Tayhiap semakin gagah." Tong Pay tertawa.
"Bagaimana dengan anak cucu kera dalam guha Sui-liam-tong gunung
Hoa-ko-san?" tanyanya sambil menepuk pundak orang.
"Dengan bersandar kepada
Tong Tayhiap, me¬reka semua baik-baik saja." jawabnya.
Tong Pay tertawa
terbahak-bahak. Ia berpaling kepada Kie Siauw Hong dan bertanya: "Apa Kie
Loosam tidak datang?" Pemuda itu buru-buru memberi hormat seraya menjawab:
"Ayah tidak datang. Siang-malam ayah selalu ingat Tong Tayhiap dan sering
mengatakan, bahwa sesudah menelan Jin-som Yang-eng-wan pemberian Tayhiap,
kesehatannya mendapat ba-nyak kemajuan." "Apa kau menginap di gedung
In Pweecu?" tanya pula Tong Pay. "Baiklah, besok aku akan memberi
beberapa pel lagi untuk ayahmu." Kie Siauw Hong membungkuk lagi dan
meng-haturkan terima kasih berulang-ulang. Sesudah manggut-manggutkan kepalanya
kepada Ouw Hu;.
Leng So dan Coa Wie, Tong Pay
segera pergi ke lain meja.
"Tong Tayhiap bergelar
Kam-lim-hui-cit-seng, tapi sebenar-benarnya, pengaruhnya melampaui tu-juh
propinsi," kata Ciangbunjin Kauw-kun-bun de¬ngan suara kagum. "Tahun
itu, piauw seharga de-lapan belas laksa tahil perakyang dilindungi olehku telah
hilang di jalan Kamliang. Karena gusar dan jengkel, hampir-hampir aku mencemplungkan
diri ke dalam sumur. Kalau bukan Tong Tayhiap yang turun tangan dengan
menggunakan jalan lembek dan keras, sehingga ia sampai mengangkat senjata, mina
mau Ciu-coan Sam-houw memulangkan piauw tersebut?" (Tiga harimau dari
Ciu-coan) Secara bernafsu dan dengan rasa berterima kasih yang sangat besar, ia
segera menuturkan segala kejadian-nya. Sebagai seorang yang menanggung budi
besar, setiap ada kesempatan, ia selalu menceritakan per-tolongan Tong Pay
kepadanya.
Orang yang keempat mengenakan
seragam per-wira dengan topi tingkat keempat. Ia masuk dengan tindakan mantap
dan sikap angker, sehingga seke-lebatan saja, orang akan lantas bisa lihat,
bahwa ia adalah pentolan dalam Rimba Persilatan. Ia berusia kurang lebih lima
puluh tahun, mukanya persegi, kupingnya lebar, kedua matanya bersinar tajam dan
dengan sikap luar biasa tenang, ia duduk di kursi keempat.
"Ah! Dia juga seorang
yang sangat lihay," kata Ouw Hui dalam hatinya. Waktu baru tiba di gedung
itu, pemuda itu tidak memandang sebelah mata kepada Ciangbun Tayhwee yang
dihimpunkan oleh Hok Kong An. Tapi begitu melihat keempat Ciang bunjin itu,
hatinya lantas saja keder. "long Tayhiap dan perwira itu saja belum tentu
dapat dijatuhkan olehku," pikirnya. "Si hweeshio dan Toojin yang
duduk 1i kursi yang lebih tinggi, sudah tentu me-miliki kepandaian yang lebih
lihay. Hari ini aku harus berhati-hati dan rahasiaku tidak boleh bocor."
Memikir begitu, ia tidak berani menengok ke sana-sini lagi, karena khawaiir
dikenali oleh kaki tangan Hok Kong An dan lalu meraup kwacie yang lalu
dimakannya perlahan-lahan.
Sesudah bersalaman dengan
orang-orang yang dikenalnya, Tong Pay Tayhiap barulah duduk di kursinya. Begitu
ia duduk, orang-orang yang ting-katannya lebih muda dengan beruntun-runtun
menghampiri dan memberi hormat dengan ber-lutut. Tong Pay adalah seorang
hartawan yang ta-ngannya sangat terbuka. Dalam kunjungannya ke pertemuan itu,
murid-muridnya membawa banyak angpauw (bungkusan merah berisi uang). Kepada
setiap orang muda yang baru memberi hormat ke¬padanya dengan berlutut, ia
menghadiahkan lima tahil perak sebagai tanda mata untuk perkenalan itu. Selang
beberapa lama barulah pemberian-pem-berian hormat kepada Tong Tayhiap selesai.
Sesaat kemudian, seorang
perwira tingkat ke¬dua bcrteriak: "Tuang arak!" Semua pelayan yang
bertugas di berbagai meja lantas saja menuang arak. Sambil mengangkat cawan
tinggi-tinggi, perwira itu berkata dengan suara nyaring: "Para Ciangbun
dan Busu dari berbagai partai! Hok Thayswee menyam-but dengan gembira
kedatangan kalian di ibu kata. Sekarang terlebih dulu siauwtee menghaturkan
se-lamat datang kepada kalian dengan secawan arak ini. Sebentar, Hok Thayswee
sendiri akan meng-angkat cawan dengan kalian." Sehabis berkata be-gitu, ia
menceguk cawannya, diikuti oleh para ha-dirin.
Sehabis minum, perwira itu
berkata pula: "Hari ini, yang hadir dalam ruangan ini adalah orang-orang
gagah dari Rimba Persilatan - suatu kejadian yang langka dalam sejarah
persilatan. Apa yang paling menggirangkan Hok Thayswee ialah beliau berhasil
mengundang juga empat Ciangbunjin be-sar. Dengan menggunakan kesempatan ini,
siauw-tee ingin memperkenalkan keempat Ciangbunjin besar itu kepada
kalian." la menunjuk Hweeshio yang alisnya putih dan melanjutkan
perkataannya: "Yang itu adalah Taytie Siansu, Hong-thio kelen-teng
Siauw-lim-sie di gunung Siongsan, propinsi Holam. Selama lebih dari seribu
tahun, Siauw-lim-sie selalu dianggap sebagai sumber dari ilmu silat. Hari ini,
dalam pertemuan para Ciangbunjin di kolong langit, sudah sepantasnya saja jika
Tay-tie Siansu menduduki kursi pertama." Para hadirin lantas saja
bersorak-sorai sambil menepuk-nepuk tangan. Siauw-lim-sie mempunyai sangat
banyak cabang, sehingga dapat dikatakan, bahwa ilmu silat dari sedikitnya
sepertiga orang-orang yang hadir di situ masih bersangkut paut dengan kelenteng
itu. Maka itu, dapat dimengerti jika pertemuan dengan pemimpin Siauw-lim-sie
su¬dah menggirangkan sangat banyak orang-orang ga¬gah itu.
Sambil menunjuk Toojin yang
duduk di kursi kedua, perwira itu berkata pula: "Di samping Siauw-lim-pay
adalah Bu-tong-pay yang namanya sangat cemerlang. Yang itu adalah Bu-ceng-cu
Tootiang. ketua kuil Giok-hie-kiong di gunung Bu-tong-san." Bu-tong-pay
adalah leluhur dari ilmu silat Lweekang (ilmu silat "dalam") yang
terkenal di seluruh Tiongkok. Akan tetapi, mendengar, bahwa Toojin yang mukanya
mesum itu adalah Ciang¬bunjin Bu-tong-pay, semua orang merasa heran. Apa yang
mereka tahu, ialah semenjak sepuluh tahun berselang, sedari Ciangbunjin Ma Giok
me-ninggal dunia dan Thio Ciauw Tong, seorang pen-tolan Bu-tong, binasa di
Huikiang, Bu-tong-pay belum mempunyai Ciangbunjin lagi. Nama Bu-ceng-cu yang
barusan diperkenalkan, belum dikenal da¬lam kalangan Rimba Persilatan.
Sementara itu, perwira
tersebut sudah menun¬juk Tong Pay dan melanjutkan perkataannya: "Yang itu
adalah Kam-lim-hui-cit-seng Tong Tayhiap, Ciangbunjin dari partai Sam-cay-kiam.
Nama Tong Tayhiap yang menggetarkan seluruh Rimba Per¬silatan, kurang boleh tak
usah diperkenalkan lagi." Kata-kata itu disambut dengan sorak-sorai gegap
gempita, yang berbeda jauh dengan sambutan yang diberikan kepada Bu-ceng-cu
atau bahkan kepada Tay-tie Siansu sendiri.
Sesudah tampik sorak mereda,
perwira itu lalu berkata lagi sambil menunjuk orang yang keempat: "Yang
itu adalah orang gagah dari Boan-ciu, Hay Lan Pit Tayjin, Sam-leng atau
pemimpin tangsi Yauw-kie-eng dari pasukan Bendera Kuning dan Ciangbunjin dari
partai Hek-liong-bun di propinsi Liaotong." Waktu diperkenalkan, karena
pangkatnya lebih rendah dari pada perwira yang memperkenalkan nya, maka Hay Lan
Pit bangun dari tempat duduk-nya dan berdiri tegak.
"Hek-liong-bun? Partai
apa itu?" bisik seorang tua yang duduk di dekat meja Ouw Hui. "Nama
itu tidak dikenal dalam Rimba Persilatan. Hrn! Dia diangkat menjadi Ciangbunjin
besar, sebab dia se¬orang Boan-ciu. Memang, kalau semua Ciangbunjin terdiri
dari bangsa Han, muka Hok Thayswee tidak begitu terang. Menurut penglihatanku,
Hay Tayjin itu paling banyak mempunyai tenaga besar. Mana dia dapat berendeng
dengan jagojago bangsa Han?" "Pendapat Susiok tepat sekali,"
kata seorang pemuda.
Mendengar itu, Ouw Hui tertawa
dalam hati-nya. Sesudah melihat sikap dan gerak-gerik orang Boan itu, ia
mengerti, bahwa pemimpin Hek-liong-bun tersebut bukan sembarang orang.
Sesudah diperkenalkan, keempat
Ciangbunjin besar itu segera bangun berdiri untuk memberi hormat kepada para
hadirin dengan secawan arak dan kemudian masing-masing mengucapkan kata-kata
merendahkan diri. Tay-tie Siansu bicara de¬ngan sikap agung, sesuai dengan
kedudukannya yang sangat tinggi. Tong Pay yang pandai berpidato, telah
mengucapkan kata-kata yang membangkitkan gelak tertawa. Bu-ceng-cu dan Hay Lan
Pit yang tidak biasa bicara dihadapan orang banyak, hanya mengucapkan sepatah
dua patah dengan suara ter-putus-putus. Bu-ceng-cu bicara dalam dialek Ouw-pak
yang tidak dimengerti oleh banyak orang.
"Mengapa suara imam itu
tidak cukup ber-tenaga?" tanya Ouw Hui di dalam hati dengan perasaan
heran. "Bagaimana dia bisa menjadi Ciang bunjin dari Bu-tong-pay? Mungkin
sekali ia dicintai oleh para anggota partai, sehingga walaupun ilmu silatnya
tidak tinggi, ia diangkat menjadi Ciang-bunjin." Sesudah beres perkenalan,
perjamuan segera dimulai. Perjamuan seorang menteri besar seperti Hok Thayswee
tentu saja berlainan dengan per¬jamuan biasa. Jangankan santapannya, sedangkan
araknya saja, yaitu arak Cong-boan Ang-tin-siauw, sudah merupakan minuman yang
langka. Ouw Hui tidak berlaku sungkan-sungkan dan dengan ber-untun ia sudah
minum kurang lebih dua puluh cawan. Leng So mengawasi kakaknya sambil
ter-senyum-senyum dan kadang-kadang melirik Hong Jin Eng, untuk melihat apa
manusia busuk itu masih berada di tempatnya.
Sesudah dikeluarkan
tujuh-delapan macam sa-yur, tiba-tiba terdengar teriakan: "Hok Thayswee
tiba!" Semua perwira, petugas dan pelayan dengan serentak berdiri tegak,
diikuti oleh semua tetamu. Sesaat kemudian, dari luar terdengar suara scpatu
dan beberapa orang masuk ke dalam.
"Memberi hormat kepada
Hok Thayswee!" te-riak semua perwira sambil membungkuk dan me-nekuk satu
lututnya.
Hok Kong An mengebas tangannya
seraya ber-kata: "Sudah! Bangunlah!" "Terima kasih, Hok
Thayswee!" teriak pula para perwira itu.
Melihat tata tertib yang
angker dan rapih itu, Ouw Hui merasa kagum. "Hok Kong An benar-benar bukan
sembarang orang," pikirnya. "Tak he ran jika saban kali keluar
berperang, ia selalu mem-peroleh kemenangan." Melihat paras muka pembesar
itu yang berseri-seri, Ouw Hui berkata pula di dalam hatinya: "Ma¬nusia
tak punya isi perut! Dua anaknya hilang, tapi dia tidak memperdulikan."
Hok Kong An segera memerintahkan orang menuang arak. "Para Busu,"
katanya sambil meng-angkat cawan. "Dengan jalan ini aku memberi se-lamat
datang kepada kalian. Keringkan cawan!" Ia menceguk isi cawan diikuti oleh
para hadirin, kecuali Ouw Hui yang hanya menempelkan pinggir cawan di bibirnya.
Pemuda itu sungkan minum bersama-sama Thayswee yang sangat kejam itu.
"Pertemuan para
Ciangbunjin telah diketahui juga oleh Bansweeya (kaisar)," kata pula
pembesar itu. "Barusan Hongsiang (kaisar) telah memanggil aku dan
menghadiahkan dua puluh empat buah cangkir yang harus dibagikan kepada dua
puluh empat Ciangbunjin." Ia mengangkat tangannya dan beberapa orang
lantas saja menghampiri dengan membawa tiga kotak sulam. Seorang perwira segera
menggelar sehelai taplak sutera sulam di atas meja dan dari dalam kotak, ia
mengeluarkan cangkir-cangkir yang lalu ditaruh di atas meja itu.
Ternyata, dalam kotak pertama
terisi delapan buah cangkir giok, dalam kotak kedua delapan cangkir emas,
sedang dalam kotak ketiga delapan cangkir perak. Tiga rupa cangkir itu diatur
jadi tiga baris di atas meja. Dengan sinarnya yang gilang-gemilang, semua
cangkir diukir dengan gambar-gambar yang indah luar biasa. Dengan rasa kagum,
semua orang mengawasi cangkir-cangkir itu, karya seniman-seniman pilihan dari istana kaisar.
"Cangkir giok dengan
ukiran gambar naga di-beri nama Giok-liong-pwee," kata pula Hok Kong An
sesudah semua cangkir diatur beres. "Cangkir giok itu adalah yang paling
berharga. Yang emas, dengan ukiran burung hong, diberi nama Kim-hong-pwee,
sedang cangkir perak, dengan ukiran ikan gabus meletik, adalah
Gin-lee-pwee." Mendengar keterangan itu, semua orang jadi merasa kurang
enak. Dalam ruangan tersebut ter-dapat seratus lebih Ciangbunjin, sedang jumlah
cangkir hanya dua puluh empat buah. Siapa yang akan mendapat cangkir-cangkir
itu? Di samping itu, cangkir-cangkir tersebut juga berbeda-beda. Cang¬kir giok
tentu saja banyak lebih berharga daripada cangkir perak. Siapa yang akan
memperoleh cangkir giok dan siapa yang akan memperoleh perak? Sementara itu, Hok
Kong An sudah mengambil empat buah cangkir giok dan ia sendiri lalu
menye-rahkannya kepada empat Ciangbunjin besar. "Kali¬an adalah
pemimpin-pemimpin Rimba Persilatan dan setiap orang mendapat sebuah cangkir
giok," katanya. Tay-tie Siansu dan ketiga Ciangbunjin lain-nya lantas saja
menerima hadiah itu sambil meng-haturkan terima kasih.
"Sekarang masih ada dua
puluh cangkir," kata pula Hok Kong An, "Aku ingin meminta supaya
kalian memperlihatkan kepandaian dan empat orang yang ilmu silatnya paling
tinggi akan dihadiahkan dengan empat buah cangkir giok. Mereka berempat akan
mempunyai kedudukan yang berendeng de¬ngan Ciangbunjin dari Siauw-lim, Bu-tong,
Sam-cay-kiam dan Hek-liong-bun, sehingga dengan de mikian, kedelapan Ciangbunjin itu dapat
dinama-kan sebagai Giok-liong Pat-bun (Delapan partai yang mendapat cangkir
Giok-liong-pwee). Kede¬lapan partai tersebut akan dikenal sebagai partai-partai
terbesar dan terkuat dalam Rimba Persilatan. Sesudah itu, berdasarkan
kepandaian yang dimiliki-nya, delapan Ciangbunjin akan menerima cangkir emas
dan mereka akan dikenal sebagai Kim-hong Pat-bun. Paling akhir, delapan orang
lain, yang akan menjadi Gin-lee Pat-bun, akan menerima cangkir perak.
Sesudah ada penetapan
tingkatan, maka di be-lakang hari dalam Rimba Persilatan boleh tidak usah
terjadi pula sengketa-sengketa yang tidak di-ingini. Dalam pertemuan ini, aku
mengangkat Tay-tie Siansu, Bu-ceng-cu, Tong Tayhiap dan Hay Som-leng sebagai
juru pemimpin (juri) yang akan menetapkan tinggi rendah ilmu silat setiap orang.
Apakah kalian setuju?" Keterangan Hok Kong An itu disambut dengan rasa
terkejut oleh sejumlah Ciangbunjin yang mem¬punyai pemandangan luas. Cara
menteri besar itu tiada bedanya seperti mengadu domba orang-orang gagah dalam
Rimba Persilatan. Tapi di hadapan Hok Kong An, siapa yang berani mengeluarkan
pendapat lain? Maka itu, biarpun di dalam hati sangat tidak setuju, mereka
terpaksa ikut menepuk-nepuk tangan.
Sementara itu, begitu
mendengar penjelasan Hok Kong An, Ouw Hui segera ingat keterangan Wan Cie Ie
mengenai maksud tujuan pembesar itu dalam menghimpunkan pertemuan para
Ciangbun¬jin. "Semula aku menduga, bahwa dengan mengum pulkan orang-orang gagah di kolong langit, ia
ber-maksud untuk menggunakan mereka guna kepen-tingannya sendiri." katanya
di dalam hati. "Tapi dilihat begini, ia mengandung maksud yang sangat
jahat. Ia ingin mengadu domba para ahli silat supaya mereka saling bunuh dalam
perebutan nama ko-song, agar mereka tidak mempunyai tenaga lagi untuk menentang
pemerintahan Boan-ceng." Me-mikir sampai di situ, ia lihat Leng So
mencelup jari tangannya ke dalam cangkir teh dan menulis huruf "jie"
(dua) serta "tho" (buah tho), di atas meja. Sesudah menulis, si nona
lalu menghapus kedua huruf itu dengan tangannya.
Ouw Hui manggut-manggutkan
kepalanya. "jie-moay sungguh pintar," pikirnya. "Ia sudah dapat
menebak siasat busuk dari Hok Kong An yang menyerupai dengan tipu An Eng yang
sudah mem-bunuh tiga orang gagah dengan menggunakan dua buah tho." Dengan
rasa duka, ia menyapu seluruh ruangan dengan matanya. Ia mendapat kenyataan,
bahwa sebagian besar jago-jago muda kelihatan bergembira sekali dan siap sedia
untuk segera turun ke dalam gelanggang, tapi di antara para Ciang-bunjin yang
berusia lebih tua banyak yang berparas lesu dan masgul, karena seperti juga Ouw
Hui dan Leng So, mereka sudah melihat bencana yang te-ngah dihadapi oleh Rimba
Persilatan.
Sementara itu, semua orang
segera merunding-kan keterangan Hok Thayswee, sehingga ruangan itu jadi ramai
sekali dengan suara manusia. "Ong Loo-ya-cu," demikian terdengar
suara seorang yang duduk di dekat meja Ouw Hui. "Ilmu silat Sin-kun-bun
lihay bukan main dan Loo-ya-cu pasti akan
dapat mengantongi sebuah cangkir Giok-liong." "Cangkir
Giok-liong aku tidak berani harap-kan," kata orang yang dipanggil "Ong
Loo-ya-cu" dengan suara merendahkan diri.
"Aku sudah merasa
beruntung jika dapat mem-perlihatkan cangkir emas kepada anak-anakku."
Seorang lain tertawa dan berkata dengan suara perlahan: "Aku hanya
khawatir, dia masih tak mam-pu merebut cangkir perak." Mendengar ejekan
itu, si orang she Ong jadi gusar bukan main dan mengawasi orang yang
meng-ejeknya dengan mata melotot. Demikianlah, di se-tiap meja jago-jago itu
ramai bicara, bisik-bisik atau tertawa-tawa.
Tiba-tiba seorang perwira yang
berdiri di sam-ping Hok Kong An, menepuk tangannya tiga kali dan berseru:
"Tuan-tuan harap tenang sebentar, Hok Thayswee ingin bicara lagi."
Suara ramai itu perlahan-lahan mereda, tapi karena orang-orang itu tidak biasa
dengan disiplin milker, maka untuk sementara, masih terdengar suara orang
bicara. Sesudah lewat beberapa saat, barulah ruangan itu menjadi sunyi.
"Sekarang aku mengundang
tuan-tuan bersan-tap dan sesudah makan minum, barulah kalian mem-perlihatkan
kepandaian," kata Hok Kong An. "Me-ngenai peraturan pie-bu (adu
silat), sebentar Ang Teetok akan memberi penjelasan." Seorang perwira Boan
yang berdiri di samping pembesar itu, lantas saja berkata: "Hayolah!
Kalian boleh makan dan minum sepuas hati. Sehabis per-jamuan, aku akan memberi
penjelasan. Hayolah! Sekarang aku memberi hormat kepada kalian de ngan secawan
arak." Sambil berkata begitu, ia me-nuang arak ke sebuah cawan besar dan
lalu men-ceguk kering isinya.
Sebagian besar jago-jago yang
hadir di situ adalah "gentong-gentong" arak, tapi karena sedang menghadapi
pertempuran, mereka tidak berani mi-num terlalu banyak.
Sesudah perjamuan selesai,
perwira yang tadi kembali menepuk tangan tiga kali. Sejumlah pe-layan segera
menaruh delapan kursi Thay-su-ie di ruangan tengah, delapan kursi di ruangan
samping sebelah timur dan delapan kursi pula di ruangan samping sebelah barat.
Pada kursi-kursi di ruangan tengah ditaruh alas dengan sulaman benang emas,
pada kursi di ruangan timur ditaruh alas sutera merah, sedang pada kursi di
ruangan barat ditaruh alas sutera hijau. Sesudah itu, tiga orang Wie-su
masing-masing membawa Giok-liong-pwee, Kim-hong-pwee dan Gin-lee-pwee yang lalu
ditaruh di atas meja teh di ruangan tengah, ruangan timur dan ruangan barat.
Sesudah cangkir-cangkir diatur
beres, An Tee-tok segera berkata dengan suara nyaring: "Had ini kita
mengikat persahabatan dengan ilmu silat dan begitu lekas salah satu pihak kena
dicolet, per-tandingan harus segera dihentikan. Siapa pun jua tidak boleh
mendendam sakit hati. Dalam pertan-dingan, sebaiknya jangan sampai melukai
lawan. Akan tetapi, sebagaimana kalian tahu, di dalam setiap pertempuran selalu
terdapat kemungkinan kesalahan tangan. Maka itu, Hok Thayswee telah menetapkan,
bahwa orang yang mendapat luka en-teng akan diberi uang obat sebanyak lima
puluh tahil perak, yang luka berat diberi tiga ratus tahil perak, sedang kalau
sampai ada yang meninggal dunia, keluaganya akan mendapat seribu tahil pe¬rak.
Orang yang karena salah tangan, sudah melukai atau mcmbinasakan lawannya, tidak
akan dituntut." Semua orang terkejut. Penjelasan itu terang-te-rangan
menganjurkan supaya jago-jago itu bertem-pur mati-matian.
Sesudah berdiam sejenak,
perwira itu berkata pula: "Kami mengundang empat Ciangbunjin besar
mengambil tempat duduknya." Empat orang Wie-su lantas saja menghampiri dan
mempersilahkan Taytie Siansu, Bu-ceng-cu, Tong Pay dan Hay Lan Pit maju ke
tengah-tengah ruangan untuk duduk di empat kursi Thay-su-ie. Sesudah mereka
berduduk, masih ada empat kursi kosong, dua di sebelah kiri dan dua lagi di
sebelah kanan.
Perwira itu tersenyum dan
berkata pula dengan suara nyaring: "Para Ciangbunjin sekarang boleh
memperhhatkan kepandaiannya di hadapan Hok Thayswee. Mereka yang menganggap
kepandaian¬nya cukup tinggi untuk memiliki cangkir Gin-lee-pwee boleh duduk di kursi
di ruangan barat, sedang mereka yang menganggap kepandaiannya cukup tinggi
untuk memperoleh Kim-hong-pwee, boleh duduk di kursi di ruangan timur. Dan
mereka yang merasa dapat berendeng dengan empat Ciangbunjin besar, boleh duduk
di kursi di ruangan tengah, bersama-sama keempat Ciangbunjin besar itu.
Sesudah dua puluh Ciangbunjin
menduduki dua puluh kursi itu, siapa yang merasa tidak puas boleh menantang
orang yang menduduki kursi. Yang kalah mundur, yang menang duduk di kursi itu.
Per-tandingan baru dihentikan sampai tidak ada orang yang menantang lagi.
Bagaimana pendapat tuan-tuan?" Pertanyaan itu disambut dengan teriakan
"se-tuju!" oleh jago-jago muda yang berdarah panas dan yang
menganggap, bahwa peraturan itu sesuai de¬ngan kebiasaan pie-bu, siapa kuat siapa
menang. Di lain pihak, orang-orang yang tidak setuju dengan cara mengadu domba
itu, tentu saja tidak berani membuka suara.
Waktu itu, Hok Kong An sendiri
duduk di sebelah kursi Thay-su-ie yang ditaruh di sebelah kiri ruangan itu,
dengan diapit oleh delapan Wie-su pilihan, antaranya Ciu Tiat Ciauw dan Ong
Kiam Eng.
Leng So menyentuh tangan
kakaknya dengan jerijinya sambil monyongkan mulutnya ke atas. Ouw Hui dongak
dan lihat sejumlah Busu berdiri berjejer di atas genteng dengan senjata
terhunus, sedang di luar ruangan itu pun dikurung dengan sepasukan tentara
pilihan. Pada saat itu, penjagaan di gedung Peng-po Siang-sie mungkin lebih
hebat daripada di istana kaisar sendiri.
"Aku sudah merasa puas,
bahwa hari ini aku bertemu dengan Hong Jin Eng," kata Ouw Hui di dalam
hati. "Yang paling penting, rahasiaku tidak boleh bocor. Sebentar aku akan
coba merebut se-buah cangkir perak supaya tidak menyia-nyiakan harapan Saudara
Kie. Tapi sebaiknya aku turun belakangan, supaya tidak menarik terlalu banyak perhatian."
Di luar dugaan, niatan Ouw Hui untuk maju belakangan, juga dipunyai oleh
jago-jago lainnya. Ouw Hui berniat begitu karena khawatir rahasianya bocor,
tapi jago-jago yang lain menggenggam niatan itu, sebab ingin menarik
keuntungan. Mereka ingin menunggu sampai orang lain letih dalam
pertan-dingan-pertandingan pendahuluan. Maka itulah, se-sudah perwira itu
mengundang beberapa kali, tak seorang yang maju untuk menduduki dua puluh kursi
itu.
Mengenai ilmu silat terdapat
sebuah pepatah yang tepat sekali, yaitu: "Bun-bu-tee-it,
Bu-bu-tee-jie" (Ilmu surat tidak ada nomor satu, Ilmu silat tidak ada
nomor dua). Kata-kata itu berarti, bahwa seorang sasterawan tidak pernah
menganggap, bah¬wa karangannya atau syairnya adalah nomor satu di dalam dunia,
sedang seorang ahli silat kecuali
beberapa gelintir pentolan yang sudah mengundur-kan diri dari pergaulan biasanya sungkan duduk di bawah orang.
Harus diingat, bahwa
tokoh-tokoh yang hadir dalam pertemuan itu adalah Ciangbunjin, atau pe-mimpin,
dari sebuah partai atau cabang persilatan. Maka itu, walaupun ada sejumlah
orang merasa tawar dalam hatinya, tapi mereka juga tidak mau menjatuhkan nama
partai sendiri. Semua orang mengerti, bahwa sekali salah tangan, ratusan atau
ribuan muridnya tak akan bisa mengangkat kepala lagi dalam dunia Kang-ouw dan
kedudukannya se-bagai Ciangbunjin juga sukar dapat dipertahankan lagi.
Pada saat itu, berdasarkan
kebiasaan dalam Rimba Persilatan, dalam alam pikiran semua orang terdapat
sebuah kesimpulan yang bersamaan, yaitu:
Kalau mau turun, yang dituju adalah cangkir Giok-liong-pwee. Cangkir
emas dan cangkir perak, yang berarti kedudukan kedua dan ketiga, sama sekali
tidak diperhatikan orang. Maka itu, semua mata ditujukan kepada ruangan tengah,
sedang ruangan timur dan barat sama sekali tidak dilirik orang.
Sesudah lewat beberapa saat,
sambil tertawa mengejek, perwira itu berkata: "Mengapa tuan-tuan berlaku
begitu sungkan? Apa kalian ingin maju paling belakang, sesudah semua orang
kecapaian? Jika benar begitu sikap itu tidaklah sesuai dengan sikapnya seorang
gagah." Benar saja sesudah diejek, dua orang segera maju dengan berbareng
dan duduk di dua kursi yang kosong. Yang satu bertubuh tinggi besar seperti
pagoda dan waktu ia duduk, kursi Thay-su-ie yang kekar kuat mengeluarkan suara
"kretek-kretek". Yang satunya lagi berbadan sedang-sedang saja dan di
bawah dagunya tumbuh jenggot yang berwarna kuning. "Lao-hia," katanya
seraya tertawa. "Kita menghadapi banyak sekali jago-jago dan cangkir
Giok-liong belum tentu dapat direbut oleh kita. Maka itu, jangan kau merusakkan
kursi itu." Si raksasa tidak menjawab, ia hanya mengeluarkan suara di
hidung.
Seorang perwira yang memakai
topi tingkatan keempat lantas saja maju ke depan dan berteriak sambil menunjuk
si raksasa: "Tuan-tuan! Yang itu adalah Ciangbunjin dari partai
Jie-long-kun, Oey Hie Kiat Oey Loosu." Kemudian ia menunjuk si jenggot
kuning dan berkata pula: "Yang itu ialah Auwyang Kong Ceng, Auwyang Loosu,
Ciangbunjin Yan-ceng-kun." Seorang
tua yang duduk di dekat meja Ouw Hui lantas saja berbisik: "Aha! Cian-lie
Tok-heng-hiap Auwyang Kong Ceng juga ingin merebut cangkir!" (Pendekar
yang berjalan sendirian dalam perjalan-an ribuan li).
Mendengar itu, Ouw Hui agak
terkejut. Gelar Cian-lie Tok-heng-hiap telah ditempelkan pada namanya oleh
Auwyang Kong Ceng sendiri, seorang perampok tanpa kawan yang namanya tidak
begitu harum dalam kalangan Rimba Persilatan, tapi harus diakui, ia memang
mempunyai kepandaian tinggi.
Sesudah kedua orang itu, maju
pula seorang imam, yaitu See-leng Toojin, Ciangbunjin dari Kun-lun-to. Ia sama
sekali tidak membawa senjata dan duduk di kursi Thay-su-ie sambil tersenyum.
Semua orang merasa heran, karena sebagai pemimpin Kun-lun-to, ia tidak membekal
golok.
Seluruh ruangan berubah sunyi
senyap dengan semua mata ditujukan kepada kursi terakhir yang masih kosong.
"Masih ada sebuah
Giok-liong-pwee," kata pula perwira itu. "Apa tidak ada yang
mau?" Pertanyaan itu disambut dengan teriakan se¬orang: "Baiklah!
Tinggalkan cangkir itu untuk aku, si setan arak!" Hampir berbareng,
seorang pria yang bertubuh jangkung kurus bertindak ke luar dengan tindakan
sempoyongan, dengan satu tangan men-cekal poci arak dan lain tangan memegang
cawan. Begitu tiba di tengah-tengah ruangan, ia membuat dua putaran seperti
orang mabuk arak dan ke¬mudian, ia terjengkang ke belakang dan jatuh duduk di
kursi Thay-su-ie yang terakhir. Gerakan yang sangat lincah dan enteng itu
memperlihatkan ke pandaian yang tinggi,
sehingga tanpa merasa bebe-rapa hadirin berseru: "Bagus!" Orang itu
adalah Ciangbunjin dari partai Cui-pat-sian, namanya Bun Cui Ong, bergelar
Cian-pwee Kie-su (Tuan dari ribuan cawan arak).
"Aku menghaturkan selamat
kepada keempat Loosu," kata An Teetok. "Sekarang, siapa yang
menganggap kepandaiannya melebihi keempat Loosu itu, boleh tampil ke muka dan
mengajukan tantangan. Jika tidak ada yang menantang, maka Jie-Iong-kun,
Yan-Ceng-kun, Kun-lun-to dan Cui-pat-sian akan termasuk dalam Giok-liong
Pat-bun." Hampir berbareng, dari sebelah timur keluar seorang yang
berjalan dengan tindakan lebar. "Siauwjin bernama Ciu Liong," ia
memperkenalkan diri. "Aku ingin meminta pengajaran dari Cian-lie
Tok-heng-hiap Auwyang Loosu." Orang itu ber-tubuh kate dengan otot-otot
yang menonjol keluar, sehingga bentuk badannya menyerupai seekor ker-bau.
Ouw Hui tidak banyak mengenal
orang-orang Rimba Persilatan, tapi baik juga, si kakek yang duduk di dekat
mejanya mempunyai pengalaman luas dan ialah yang tanpa diminta selalu
mencerita-kan asal usul setiap orang yang tampil ke muka. "Dia itu adalah
Ciangbunjin dari Lo-cia-kun dan Cong-piauw-tauw Liong-hin Piauw-kiok di
Tay-tong-hu, propinsi Shoasay," bisik si kakek kepada ka-wannya.
"Kudengar Auwyang Kong Ceng pernah merebut piauw yang dilindungi olehnya,
sehingga ia menaruh dendam. Menurut pendapatku, ia turun ke gelanggang bukan
untuk merebut cangkir Giok-liong."
"Ya, dalam Rimba Persilatan memang banyak tersembunyi dendam sakit
hati," kata Ouw Hui dalam hatinya. "Seperti aku, kedatanganku di sini
terutama untuk menyelidiki tempat bersembunyi-nya Hong Jin Eng." Mengingat
begitu, tanpa merasa ia melirik orang she Hong itu yang sedang meng-usap-usap
Tiat-tannya dengan paras muka tenang. Sesudah dua malam berturut-turut terjadi
keribut-an, Hong Jin Eng menganggap musuhnya sudah kabur ke lain tempat. Mimpi
pun ia tak pernah mimpi, bahwa Ouw Hui justru berada dalam ruang-an itu.
Sementara itu, sambil tertawa
haha-hihi, Auw¬yang Kong Ceng sudah bangun dari kursinya seraya berkata:
"Ciu Cong-piauw-tauw, selamat bertemu! Bagaimana dengan perusahaanmu? Aku
percaya kau telah mendapat banyak keuntungan." Mendengar ejekan itu, darah
Ciu Liong me-luap. Pada tahun yang lalu, karena perampokan yang dilakukan oleh
Auwyang Kong Ceng, ia mesti mengganti piauw yang berharga lima laksa tahil
perak, sehingga simpanan yang dikumpul olehnya selama puluhan tahun, habis
seluruhnya. Maka itu, tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia segera me-nyerang
secara nekat. Dalam sekejap, mereka sudah mulai bertempur mati-matian. Ciu
Liong bertenaga besar dan kedua kakinya mantap, sedang Auwyang Kong Ceng gesit
gerakan-gerakannya. Dalam per-tandingan itu, dengan mengandalkan tenaga dan
latihannya, Ciu Liong tidak menghiraukan pukulan musuh dan walaupun dadanya
sudah tertinju tiga kali beruntun, ia seperti juga tidak merasakan pu¬kulan
itu. Tiba-tiba sambil membentak keras, ia menghantam dengan pukulan
Geng-hong-tah. Auwyang Kong Ceng berkelit seraya menendang dan tendangan itu
mengena tepat di lutut musuhnya yang lantas saja rubuh terguling. Tapi, sesudah
bergulingan beberapa kali, Cong-piauw-tauw yang kedot itu sudah lantas bangun
berdiri lagi.
Sesudah bertanding kira-kira
lima puluh jurus, belasan pukulan sudah mampir di tubuh Ciu Liong. Beberapa
saat kemudian, waktu tidak berwaspada, tinju musuh mengenai tepat di hidungnya,
yang lantas saja mengucurkan darah. "Ciu Loosu," kata Auwyang Kong
Ceng dengan suara mengejek, "Aku hanya merampas piauwmu dan bukan merebut
is-terimu atau membunuh ayahmu. Sudahlah! Kita menyudahi saja permusuhan
ini." Ciu Liong yang sudah jadi kalap, terus mener-jang bagaikan harimau
edan. Dengan mengandal-kan ilmu ringan badan, Auwyang Kong Ceng kelit serangan
membabi buta itu sambil mengejek.
Selang beberapa jurus lagi,
kempungan Ciu Liong kena ditendang, tapi sebaliknya daripada menyerah, sambil
memegang kempungan dengan tangan kiri, ia melompat dan mengirim tinju dengan
seantero tenaganya. Diserang secara begitu men-dadak, Auwyang Kong Ceng yang
sedang tergirang-girang melihat musuhnya sudah hampir rubuh, tidak keburu
berkelit lagi. "Buk!" tinju Ciu Liong me¬ngena tepat di dadanya,
sehingga beberapa tulang-nya patah! Tubuh perampok itu bergoyang-goyang dan
mulutnya menyemburkan darah.
Ia mengerti, bahwa musuhnya
yang mendendam sakit hati hebat, pasti akan menyerang pula. Maka itu, sambil
meringis-ringis, ia mundur seraya berkata: "Kau... kau menang...."
Tapi Ciu Liong tidak mau mengerti dan terus lompat mengejar. Untung juga Tong
Pay keburu mencegah: "Ciu Loosu, kau sudah memperoleh kemenangan dan tidak
boleh turun tangan lagi. Duduklah di sini." Ciu Liong tidak berani membantah
dan seraya merangkap kedua tangannya, ia berkata: "Siauwjin tidak berani
merebut Giok-liong-pwee!" Ia me-mutar badan dan kembali pada tempat
duduknya yang tadi.
Para hadirin yang mengenai
asal usul Auwyang Kong Ceng merasa girang melihat robohnya pe¬rampok jahat itu.
Dengan paras muka pucat karena sakit dan malu, orang she Auwyang itu tidak
berani meninggalkan gedung Hok Kong An. Ia tahu, bahwa ia mempunyai terlalu
banyak musuh dan dalam keadaan terluka berat, begitu keluar dari gedung itu,
musuh-musuhnya pasti akan mengikutinya un-tuk membalas sakit hati. Maka itu,
dengan tidak memperdulikan ejekan-ejekan, ia mengeluarkan obat luka dan
menelannya dengan secawan arak, akan kemudian duduk di salah sebuah kursi,
tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Diam-diam Ouw Hui memuji
kepintaran Ciu Liong. Dengan kepandaiannya yang tidak seberapa tinggi, memang
ia tak usah harap bisa memperoleh cangkir giok itu. Dengan mengundurkan diri
secara suka rela, meskipun tidak dapat berdiri sebagai anggota Giok-liong
Pat-bun, nama Lo-cia-kun su¬dah naik tinggi.
"Jika Ciu Loosu tidak
ingin turut merebut cang¬kir giok, kami mempersilahkan lain sahabat maju ke
mari," kata Tong Pay.
Hampir berbareng dengan
undangan itu, dua orang yang satu dari kiri dan yang lain dari kanan, dengan
berbareng maju ke depan. Jarak antara mereka dan kursi Thay-su-ie kira-kira
bersamaan dan siapa yang lebih cepat, dialah yang akan tiba lebih dulu. Apa mau,
kedua orang itu maju dengan kecepatan bersamaan dan begitu tiba di depan kursi,
pundak mereka beradu keras, sehingga ke-dua-duanya terpental. Pada detik
itulah, sekonyong-konyong seorang lain melompat tinggi dan bagaikan seekor
elang, tubuhnya melayang jatuh di atas kursi! Itulah suatu ilmu mengentengkan
badan yang sa-ngat tinggi, sehingga para hadirin serentak ber-sorak-sorai.
Kedua orang yang berbenturan
itu segera meng-awasi orang yang merebut kursi. Tiba-tiba mereka berseru dengan
berbareng: "Ah! Kau!" Begitu ber-teriak, begitu mereka menerjang.
Tanpa bergerak dari kursi, orang itu menendang dengan kaki kirinya dan
penyerang yang di sebelah kiri lantas saja jatuh terpelanting. Hampir
berbareng, tangan kanannya menyambar leher baju penyerang yang di sebelah kanan
dan lalu menyentaknya, sehingga orang itu pun rubuh di lantai.
Para hadirin bersorak-sorai.
Mereka tak duga orang itu begitu lihay.
An Teetok yang tidak mengenal
orang itu lantas saja menghampiri seraya bertanya: "Apakah aku boleh
mendapat tahu she dan nama tuan yang mulia serta partai mana yang dipimpin
tuan?" Tapi sebelum orang itu keburu menjawab, ke¬dua orang yang barusan
rubuh sudah melompat bangun dan lalu menyerang pula sambil mencaci dengan
perkataan-perkataan kotor. Dari cacian itu, ternyata waktu berada dalam
perjalanan, mereka berdua telah dipermainkan oleh orang yang duduk di kursi.
Tapi ilmu silat orang yang
duduk di kursi banyak lebih unggul daripada kedua lawannya dan dengan mudah, ia
kembali berhasil merubuhkan mereka.
"Cee Loojie!" teriak
orang yang di sebelah kiri. "Urusan kita ditunda saja sampai di lain hari.
Hari ini, kita harus lebih dulu membereskan bangsat ini."
"Benar!" kata orang yang di sebelah kanan sambil mencabut sebilah
pisau dari pinggangnya.
Si kakek yang duduk di dekat
meja Ouw Hui, menghela napas dan berkata: "Semenjak Hoan-kang-houw
(Belibis membalik sungai) meninggal dunia, murid-murid Ap-heng-bun (Partai
gerakan bebek) benar-benar tidak berharga." Karena sangat kepingin tahu,
Ouw Hui lantas saja bangun dari kursinya dan menghampiri kakek itu. Sambil
mengangkat kedua tangannya, ia ber¬kata: "Aku mohon menanya, apakah kedua
orang itu murid-murid dari Ap-heng-bun?" Si tua tertawa seraya berkata:
"Kalau tidak salah, kita belum pernah bertemu muka. Apakah aku boleh
mendapat tahu she dan nama tuan yang besar?" Sebelum Ouw Hui menjawab, Coa
Wie yang sudah bangun berdiri, lantas mendului: "Biarlah aku yang
memperkenalkan kalian. Yang ini adalah Ciangbunjin yang baru dari partai kami,
Thia Leng Ouw, Thia Loosu. Loosu ini ialah Ciangbunjin Sian-thian-kun. Kwee
Giok Tong, Kwee Loosu." Si kakek
mengenal Coa Wie dan juga tahu, bahwa Hoa-kun-bun adalah salah sebuah partai
yang besar di Tiongkok Utara. Maka itu, ia lantas saja bangun berdiri dan
mengundang Ouw Hui untuk duduk bersama-sama.
Sian-thian-kun adalah sebuah
partai yang sudah berusia tua dan didirikan pada jaman kerajaan Tong. Dulu,
partai itu mempunyai nama yang sangat cemerlang. Hanya sayang, setiap pemimpin
partai tidak mau menurunkan seantero kepandaiannya kepada murid-muridnya dan
selalu menyimpan satu dua pukulan untuk menjaga diri. Maka itulah, se-sudah
melalui jangka waktu berabad-abad, ilmu silat Sian-thian-kun tidak lagi
menonjol ke depan. Pada waktu itu, yaitu jaman kerajaan Ceng, partai
Siang-thian-kun hanya sebuah partai kecil yang tidak begitu dipandang orang.
Kwee Giok Tong cukup tahu diri. Ia mengerti, bahwa kepandaiannya tidak cukup
untuk turut merebut cangkir dan ia duduk di situ hanya untuk menikmati makanan
dan minuman Hok Kong An yang luar biasa.
Mendengar pertanyaan Ouw Hui,
ia lantas saja berkata: "Ilmu silat Ap-heng-kun agak aneh. Kuda-kudanya
kate, kuat di bagian kaki dan terutama lihay dalam ilmu berenang. Pada waktu
Hoan-kang-houw masih hidup, partai itu menjagoi di wilayah Ho-tauw. Ia meninggal
dunia dengan meninggalkan dua orang murid. Yang mencekal pisau adalah Cee Pek
Cin, sedang yang memegang pusut bernama Tan Ko Po. Semenjak sepuluh tahun,
mereka ber-dua berebut kedudukan Ciangbunjin dan sampai sekarang belum ada
keberesannya. Dan sekarang, muka mereka cukup tebal untuk datang ke mari bersama-sama." Ouw Hui tersenyum. Dalam
Rimba Persilatan memang banyak terjadi kejadian yang aneh-aneh.
Sementara itu, dengan
masing-masing mence¬kal senjata pendek, Cee Pek Cin dan Tan Ko Po menyerang
dari kiri dan kanan. Tanpa berkisar dari kursinya, orang itu membentak:
"Bocah goblok! Di Lan-ciu aku sudah memperingati supaya kamu ja-ngan
datang ke mari. Tapi kamu tetap tidak me-ladeni." Semua mata lantas saja
ditujukan kepada orang aneh itu, yang berusia kira-kira lima puluh tahun,
memakai tutup mata hitam dan mengisap sebatang pipa, sedang di atas bibirnya
terdapat kumis warna kuning seperti kumis tikus. Apa yang luar biasa adalah
cara berkelahinya. Dengan sembarangan, ia menggerakkan kaki tangannya, tapi
pukulan-pu-kulannya itu yang agaknya tidak bertenaga, selalu berhasil
merubuhkan kedua lawannya.
"Kwee Loosu, siapa
Cianpwee itu?" tanya Ouw Hui.
Kwee Giok Tong mengerutkan
alisnya dan ber¬kata: "Dia... dia...." Paras mukanya berubah merah,
karena ia tak tahu siapa adanya orang aneh itu.
"Bocah kurang ajar!"
bentak pula si tutup mata hitam. "Kalau bukan memandang muka
Hoan-kang-houw, aku pasti tak sudi campur-campur lagi urusanmu. Hoan-kang-houw
adalah seorang gagah yang patut dihormati. Aku tak nyana, murid-murid¬nya
sebangsa manusia rendah yang rakus. Eh! Kamu mau pulang atau tidak?"
"Suhu pasti tidak mempunyai sahabat bau se¬perti kau!" bentak Tan Ko
Po. "Aku berguru lima enam tahun,
tapi belum pernah lihat muka bang-kotanmu!" "Anak celaka!" caci
si tutup mata. "Hoan-kang-houw kawan mainku, kawan main lumpur dan
me-nangkap kutu. Kau tahu?" Tiba-tiba tangan kirinya menyambar dan
"Plok!" mengena tepat di kuping Tan Ko Po. Sesaat itu, Cee Pek Cin
menubruk dari sebelah kanan. Si tua mengangkat kakinya yang kena jitu di muka
Pek Cin. "Sesudah gurumu me-ninggal, biar aku yang menghajar kau!"
bentaknya.
Melihat pertunjukan yang lucu
itu, semua orang tertawa geli. Tapi Cee Pek Cin dan Tan Ko Po benar-benar
manusia tolol. Mereka sedikit pun tak bisa lihat, bahwa kepandaian mereka masih
kalah terlalu jauh dari si tutup mata.
"Bocah, kau
dengarlah!" bentak si tua lagi. "Hok Thayswee mengundang kamu datang
di sini, apa kau kira dia mempunyai maksud baik? Hm! Dia mau mengadu domba kamu
semua! Huh! Huh! untuk mendapat cangkir yang tidak cukup untuk memuat kencing,
kamu saling geragot dan saling bunuh!" Mendengar perkataan itu, semua
orang kaget bukan main. Ouw Hui manggut-manggutkan ke-palanya dengan perasaan
kagum akan ketabahan orang tua itu.
Sekarang An Teetok tidak dapat
menahan sa-bar lagi. "Siapa kau?" bentaknya. "Kau mau me-ngacau
di sini?" Karena masih memandang muka para orang gagah, sedapat-dapat ia
menahan ama-rah dan tidak lantas turun tangan.
Si tutup mata tertawa dan
berkata dengan suara tenang: "Aku sedang mengajar cucu-cucuku dan tidak
ada sangkut pautnya dengan kau." Sehabis
berkata begitu, bagaikan kilat pipanya berkelebat. Hampir berbareng
pisau dan pusut yang dicekal Cee Pek Cin dan Tan Ko Po jatuh di lantai. Sesudah
menyelipkan pipanya di pinggang, tangan kanannya menyambar ke kuping kiri Cee
Pek Cin, sedang tangan kirinya menyambar ke kuping kanan Tan Ko Po. Ia bangun
dan bertindak ke luar sambil menje-wer kuping kedua pemuda itu. Heran sungguh,
tanpa mengeluarkan sepatah kata, dengan meringis seperti orang kesakitan,
mereka mengikuti. Ter-nyata, sedang jempol dan telunjuk orang tua itu menjewer
kuping, tiga jerijinya menekan jalan da-rah Kiang-kan-hiat dan Hong-hu-hiat
yang terletak di belakang otak, sehingga kaki tangan kedua pe¬muda itu menjadi
lemas dan tidak dapat melawan lagi.
Ouw Hui dan Leng So
menyaksikan perbuatan si tua dengan rasa kagum dan menghormat.
"Binatang!" caci An
Teetok. "Apa kau mau cari mampus...?" Kata-kata itu terhenti di
tengah jalan, karena serupa benda bundar mendadak menyambar ke dalam mulutnya
dan terus turun di tenggo-rokannya. Meskipun hidungnya mengendus bebau-an
daging dan lidahnya merasakan rasa daging, seperti juga benda yang masuk ke
dalam perutnya adalah sebuah bakso, tapi ia tidak dapat mene-tapkan apakah
benar, benda bundar itu bakso ada-nya. Di samping itu, ia juga tak tahu siapa
yang sudah menimpuknya. Maka itu, dengan paras muka pucat, ia berdiri bengong
seperti patung.
Tong Pay yang duduk di
belakang An Teetok tidak dapat melihat kejadian itu. "Dalam dunia Kang-ouw
memang terdapat banyak sekali orang orang gagah yang hidup mengasingkan
diri," kata-nya sesudah orang aneh itu berlalu.
"Karena Cianpwee yang
tadi sungkan bergaul dengan manusia biasa, maka kita pun tidak dapat berbuat
apa-apa. Sekarang Loosu manakah yang ingin mengisi kursi yang kosong ini?"
"Aku!" demikian terdengar satu suara. Orang heran, sebab ada suara,
tiada orangnya. Beberapa saat kemudian, dari antara orang banyak barulah muncul
seorang kate yang tinggi tubuhnya hanya tiga kaki lima enam dim, sedang mukanya
yang berjenggot kelihatan angker sekali. Melihat si kate, beberapa jago muda
tidak tahan untuk tidak ter-tawa. Tiba-tiba orang kate itu menengok dan
meng-awasi dengan sorot mata angker, sehingga orang-orang yang tertawa lantas
saja bungkam.
Si kate berhenti di depan
kursi Oey Hie Kiat dan mengawasi raksasa itu dari kepala sampai di kaki dan
dari kaki sampai di kepala lagi. Melihat lagak orang yang aneh, Hie Kiat
menegur: "Eh, lihat apa kau? Apa kau mau menjajal kepandaian de-nganku?"
Orang kate itu tidak menjawab, ia hanya menge-luarkan suara di hidung sambil
berjalan ke belakang kursi. Karena khawatir dibokong, Hie Kiat memutar tubuhnya
dan si kate kembali ke depan kursi, sedang matanya terus mengawasi muka orang.
"Loosu itu adalah Cong
Hiong, Cong Loosu, Ciangbunjin dari Tee-tong-kun di propinsi Siam-say,"
kata An Teetok.
Sebab diawasi secara begitu,
darah Hie Kiat lantas saja meluap dan ia bangun berdiri. "Cong
Loosu!" bentaknya. "Aku ingin meminta pelajaran dari ilmu silat
Tee-tong-kun." Di luar dugaan, tanpa mengeluarkan sepatah kata, Cong Hiong
menotol lantai dengan kakinya dan badannya lantas saja melesat ke kursi yang
kosong.
Oey Hie Kiat tertawa
terbahak-bahak seraya berkata: "Jika kau tidak ingin bertempur denganku, baiklah!"
Sehabis berkata begitu, ia duduk lagi di kursinya.
Tapi sungguh aneh, begitu
lekas si raksasa duduk, si kate bangun dan berdiri pula di depan kursi Oey Hie
Kiat sambil menatap wajah orang.
"Eh, lihat apa kau!"
bentak Hie Kiat dengan suara gusar.
"Tadi, waktu minum arak,
mengapa kau meng¬awasi aku sambil tertawa-tawa?" tanya Cong Hiong.
"Kau mentertawai badanku kate, bukan?" "Badanmu kate, ada
sangkut paut apakah de¬nganku?" kata si raksasa seraya menyengir.
Cong Hiong jadi gusar.
"Binatang! Kau menarik keuntungan secara tidak halal atas diriku!"
teriak-nya.
"Menarik keuntungan tidak
halal?" menegas Hie Kiat dengan heran.
"Kau mengatakan, bahwa
katenya badanku tia¬da sangkut pautnya denganmu," jawabnya. "Huh
-huh. Aku bertubuh kate memang hanya bersangkut paut dengan ayahku. Dan dengan
mengatakan be¬gitu, bukankah kau sengaja mengejek ayahku?" Mendengar
perkataan itu, semua orang tertawa besar
Hok Kong An menyemburkan teh yang baru masuk ke dalam mulutnya. Thia
Leng So meneng-kurep di meja sambil memegang perut, sedang Ouw Hui sedapat
mungkin menahan tertawa, sebab kha-watir jenggot palsunya jatuh.
Hie Kiat pun tertawa geli.
"Tidak berani, tidak berani aku mengejek ayah Cong Loosu," katanya.
Tanpa mengeluarkan sepatah
kata lagi, Cong Hiong segera meninju kempungan orang. Meskipun bertubuh tinggi
besar, Oey Hie Kiat ternyata cukup gesit dan dengan sekali menekan lengan
kursi, tubuhnya sudah melesat ke samping. Hampir ber-bareng terdengar suara
gedubrakan dan kursi Thay-su-ie itu hancur jadi puluhan potong! Gelak tertawa
terhenti serentak. Semua orang kaget, karena me-reka tak duga, Cong Hiong yang
berbadan kate kecil mempunyai tenaga yang sedemikian hebat.
Begitu tinjunya melesat, Cong
Hiong segera bergulingan di lantai dan menyerang bagian bawah dengan
menggunakan ilmu silat Tee-tong-kun. De¬ngan beruntun-runtun. Oey Hie Kiat
membela diri dengan tendangan Sauw-tong-tui. Tui-po-kwa-houw-sit. Tiauw-cian-po
dan Iain-lain, tapi ia masih tetap kewalahan. Ilmu silat Jie-long-kun
menguta-makan pukulan tangan dan tidak begitu memper-hatikan ilmu menendang.
Jika bertemu dengan la-wan biasa, dengan menggunakan Jie-long-tan-san-ciang,
Kay-ma-sam-kun dan Iain-lain pukulan, di-tambah lagi dengan tenaganya yang
sangat besar, dengan mudah ia dapat merubuhkan lawan itu. Apa celaka, ia
sekarang bertemu dengan si kate yang menyerang dengan bergulingan. Ilmu
menendang vang dimilikinya adalah untuk menendang tubuh atau kepala musuh. Maka
itu, dalam menghadapi Cong Hiong, bukan saja tinjunya tidak berguna, tapi kakinya
pun selalu menendang ke tempat kosong.
Untuk membela diri, jalan
satu-satunya ialah me-lompat kian ke mari.
Sesudah bertempur puluhan
jurus, Hie Kiat sudah kena beberapa tendangan dan sesaat ke-mudian, kedua kaki
Cong Hiong mengena tepat di kedua lututnya, sehingga, tanpa ampun lagi, ia
ru-buh di atas lantai.
Dengan girang, si kate lalu
menubruk. Tapi di luar dugaan, biarpun sudah rubuh, Hie Kiat masih keburu
mengirim tinju dengan sekuat tenaga. "Buk!" Cong Hiong terpental
setombak lebih! Tapi begitu jatuh, begitu ia bangun dan terus menerjang pula.
Sambil berlutut, Hie Kiat melayani musuhnya dan dalam kedudukan begitu, ia
dapat melawan si kate yang menyerang dengan bergulingan.
Mereka berdua adalah bangsa
kedot yang tahan sakit dan biarpun keduanya sudah kena pukulan-pukulan hebat,
pergulatan masih dilangsungkan te¬rus. Sesudah Iewat sekian jurus lagi,
sekonyong-konyong Cong Hiong menghatam dada Hie Kiat dengan kedua tinjunya. Hie
Kiat mengegos sambil menjambret leher si kate dan dengan sekali mem-balik
tubuh, ia menindih badan lawan dengan ba-dannya yang seperti raksasa. Si kate
coba mem-berontak sekuat tenaga, tapi tidak bergeming, ka¬rena Hie Kiat yang
sudah berada di atas angin, terus menindih dan memeluknya secara mati-matian.
Be¬berapa saat kemudian, paras muka Cong Hiong berubah pucat dan tenaga
memberontaknya se-makin lemah.
Melihat perkelahian pcluk
banting itu yang tidak mirip-miripnya dengan pertandingan antar dua
Ciangbunjin, para hadirin menggeleng-geleng kan kepala.
Mendadak, dari antara orang
banyak melompat ke luar seorang lelaki yang bertubuh tinggi besar dan yang,
segera menghantam punggung Oey Hie Kiat.
"Mundur!" bentak An
Teetok. "Tidak boleh mengerubuti!" Tapi orang itu tidak meladeni dan
tinjunya mengena tepat di punggung si raksasa yang dalam kesakitannya terpaksa
melepaskan cekalannya. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan baik, Cong Hiong
memberontak dengan seantero tenaganya dan melompat bangun.
Tiba-tiba seorang lelaki lain
kembali melompat ke luar dan tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia meninju lelaki
yang bertubuh tinggi besar itu. Ter-nyata mereka itu adalah murid kepala Cong
Hiong dan putera Oey Hie Kiat. Di lain saat, dalam ge-langgang berlangsung
perkelahian antara dua pa-sang musuh dan para tamu membantu keramaian itu dengan
bersorak-sorai dan menepuk-nepuk ta¬ngan. Dengan demikian, apa yang tertampak
lebih banyak menyerupai tontonan wayang daripada pie-bu antara
pentolan-pentolan Rimba Persilatan.
Sesudah mendapat pengalaman
getir, Cong Hiong tidak berani berlaku sembrono lagi dan ia berkelahi dengan
hati-hati, sehingga pertempuran antara si kate dan si raksasa jadi berimbang.
Di lain pihak, putera Oey Hie Kiat yang belum berpeng-alaman sudah terjungkal
beberapa kali dan ke-mudian, dalam gusarnya, ia mencabut sebilah golok pendek
yang disembunyikan di kaos kaki. Murid Cong Hiong kaget dan sebab tidak
membekal sen jata, buru-buru ia menjambret kursi Thay-su-ie yang kosong, yang
lalu digunakan untuk menangkis sen-jata musuh. Semakin lama pie-bu itu jadi
semakin kacau dan merosot martabatnya.
"Pie-bu apa ini? Semua
mundur!" teriak An Teetok.
Tapi keempat orang itu yang
sedang meluap darahnya, tidak menggubris.
Sekonyong-konyong Hay Lan Pit
bangun ber-diri dan membentak: "Eh! Apa kamu tak dengar pcrkataan An
Teetok?" Sesaat itu, putera Oey Hie Kiat tengah mem-bacok musuhnya yang
dengan sekali berkelit, dapat menyelamatkan diri. Pada detik golok membacok
tempat kosong, tangan Hay Lan Pit menyambardan mencengkeram dada puteranya Hie
Kiat yang lalu dilontarkan keluar gelanggang. Hampir berbareng, tangannya yang
lain menjambret murid Cong Hiong yang juga lantas dilemparkan sampai di cimhee.
Semua orang terkejut. Di lain saat, kedua tangan Hay Lan Pit sudah mencekal Hie
Kiat dan Cong Hiong yang segera dilemparkan dengan berbareng. Apa yang lucu
adalah keempat orang itu jatuh di satu tempat dengan bersusun tindih. Begitu
jatuh, begilu mereka saling gcbuk lagi dan perkelahian baru berhenti sesudah
mereka dipisahkan oleh be¬berapa Wie-su.
Kepandaian yang diperlihatkan
Hay Lan Pit mengejutkan semua orang. Biarpun Cong Hiong dan Oey Hie Kiat bukan
ahli-ahli silat kelas utama, tapi mereka adalah jago-jago yang mempunyai nama
dalam Rimba Persilatan. Bahwa mereka telah di¬lontarkan secara begitu rupa oleh
pcrwira Boan itu, adalah kejadian di luar dugaan semua orang.
Sesudah mcnghentikan
pcrkelahian itu, Hay Lan Pit segera mendekati An Teetok dan bicara dalam bahasa
Boan.
"Kepandaian Hay Tayjin
benar-benar tinggi dan tidak dapat disusul oleh kami semua," mcmuji Tong
Pay sesudah perwira itu kembali ke tempat duduk-nya. Terhadap pujian itu, Hay
Lan Pit segera me-ngeluarkan kata-kata merendahkan diri. Sesaat ke-mudian
seorang pelayan keluar dengan nicmbawa sebuah kursi Thay-su-ie untuk ditukar
dengan kursi yang hancur.
Sementara itu, sesudah
menyaksikan kepandai¬an Hay Lan Pit, See-leng Toojin, Ciangbunjin dari
Kun-lun-to merasa tidak enak dalam hatinya, ka-rena diam-diam ia mengakui,
bahwa ilmu silatnya masih kalah jauh jika dibandingkan dengan perwira Boan itu.
Tapi Bun Cui Ong, Ciangbunjin Cui-pat-sian, tetap tenang-tenang saja dengan
kadang-ka-dang menceguk cawan arak.
Sesudah ketenangan pulih, An
Teetok berkata pula sesudah batuk-batuk beberapa kali. "Hok Thayswee
mengundang kalian datang ke mari ada¬lah untuk menetapkan kepandaian masing-masing.
Maka itu, aku mengharap, bahwa kejadian barusan yang sangat memalukan tidak
terulang lagi. Di sini masih terdapat dua kursi kosong yang kuharap akan diisi
oleh orang-orang gagah yang benar-benar mempunyai kepandaian tinggi."
"Hei! Jangan mengejek kau! Apa kau kira aku bukan orang gagah tulen?"
mengomel Cong Hiong dengan suara gusar.
Tapi semua orang tidak
memperdulikan lagi omelan si kate, karena mata mereka sudah di-tujukan kepada
dua kursi Thay-su-ie yang sekarang sudah terisi. Ternyata, di satu kursi sudah
duduk seorang pendetayangmengenakanjubah pertapaan warna putih dan yang
diperkenalkan oleh An Tee¬tok sebagai Hachi Taysu dari Mongolia, sedang di
kursi yang satunya lagi duduk dua orang yang muka dan dandanannya tidak berbeda
satu sama lain. Alis mereka turun, mata mereka seperti mata ayam jantan yang
sedang berkelahi dengan biji mata yang terletak dekat dengan batang hidung dan
dengan sekelebatan saja, orang lantas menduga, bahwa me¬reka adalah saudara
kembar.
Sambil tersenyum-senyum, An
Teetok berkata: "Dua orang gagah yang duduk di kursi itu adalah kedua
Ciangbunjin dari Song-cu-bun di propinsi Kwiciu, yaitu Nie Put Toa dan Nie Put
Siauw, Nie Loosu." (Nie Put Toa = Nie Tidak Besar. Nie Put Siauw = Nie
Tidak Kecil).
Melihat dua saudara itu yang
seakan-akan pi-nang dibelah dua, semua orang jadi merasa gembira dan mereka
saling menduga-duga, bahkan ada yang berlaruh, yang mana kakak, yang mana adik.
Bukan saja para tamu, malah Hok Kong An sendiri meng-awasi kedua orang itu
sambil tersenyum.
Selagi orang ramai bicara,
tiba-tiba satu ba-yangan berkelebat dan seorang wanila berdiri di tengah
gelanggang. Nona itu yang berusia kira-kira dua puluh tahun dan mengenakan baju
kuning dengan kun hijau, berparas sangat cantik.
"San Hui Hong, San Kouwnio,
Ciangbunjin dari Ngo-ouw-bun di Hong-yang-hu!" seru An Teetok.
Melihat turunnya seorang
wanita cantik, para hadirin jadi lcbih bcrsemangat.
"Murid-murid Ngo-ouw-bun
biasanya mencari nafkah dalam dunia Kang-ouw dengan menjual silat dan
obat-obatan," menerangkan Kwee Giok Tong kepada Ouw Hui. "Menurut
kebiasaan partai itu yang menjadi Ciangbunjin harus seorang wanita. Meskipun
mempunyai kepandaian tinggi, seorang pria tidak dapat memimpin Ngo-ouw-bun.
Tapi apa nona yang berusia begitu muda mempunyai kepan¬daian tinggi?" Di
lain saat, San Hui Hong sudah berada di hadapan kedua saudara Nie dan sambil
menolak pinggang, ia menegur: "Bolehkah aku mendapat tahu, di antara
kalian berdua, siapa kakak dan siapa adik?" Kedua orang itu tidak menjawab,
mereka hanya menggelengkan kepala.
Nona San tersenyum dan berkata
pula: "Walau-pun kalian saudara kembar, tapi dalam pcrsau-daraan kembar,
ada yang terlahir lebih dulu. ada vang belakangan." Kedua saudara kembar
itu tetap menggeleng-gelengkan kepala.
"Ah! Aku sungguh tak
mengerti sikapmu," kata pula si nona. Sambil menunjuk kepada orang yang
duduk di sebelah kiri, ia berkata lagi: "Apa kau yang lcbih tua?' Orang
itu menggelengkan kepala. Hui Hong menunjuk yang di sebelah kanan dan me-nanya
pula: "Kalau begitu, kaulah yang lebih tua, bukan?" Dia pun
menggoyang-goyangkan kepala.
Hui Hong mengerutkan alisnya.
"Loosu, sikap¬mu sungguh mengherankan," katanya dengan suara
mendongkol. "Kita, orang-orang Rimba Persilatan biasanya tidak pernah
berdusta." "Apa kau kata?" bentak yang duduk di sebelah kanan.
"Siapa berdusta? Aku bukan kakaknya dan dia pun bukan kakakku."
"Apakah kalian bukan saudara satu sama lain?" tanya si nona.
Dengan berbareng, lagi-lagi
mereka meng-geleng-gelengkan kepala.
Semua orang heran bukan main.
Dilihat dari rupa dan pakaian, terang-terangan mereka adalah saudara kembar.
Tapi mengapa mereka bersikap begini aneh? San Hui Hong mengeluarkan suara di
hidung. "Dengan menggelengkan kepala, kalian sudah ber¬dusta,"
katanya. "Kalau orang mengatakan, bahwa kalian bukan saudara kembar,
biarpun dipotong kepala, aku tak akan percaya. Hayolah! Yang mana Nie Put Toa
Loosu." "Aku Nie Put Toa," jawab yang di sebelah kiri.
"Bagus," kata si
nona. "Siapa yang terlahir lebih dulu, apa kau, apa dia?" Nie Put Toa
mengerutkan alisnya. "Nona, me¬ngapa kau begitu rewel?" tanyanya
dengan suara mendongkol. "Kau bukan ingin mengikat famili dengan kami
berdua saudara, perlu apa kau begitu melit?" Hui Hong menepuk-nepuk tangan
dan tertawa geli. "Aha! Sekarang kau sudah mengaku, bahwa kalian berdua
adalah saudara," katanya.
"Benar, memang benar kami
bersaudara, tapi bukan saudara kembar," kata Nie Put Siauw.
"Aku tidak percaya,"
kata Hui Hong.
"Terserah," kata Nie
Put Toa.
Tapi si nona masih saja tidak
merasa puas. "Persaudaraan kembar sedikit pun tiada jeleknya. Mengapa kau
terus menyangkalnya?" katanya.
Kedua saudara itu berdiam
sejenak dan kemu-dian Nie Put Siauw berkata: "Kalau kau sangat ingin tahu
hal ihwalnya kami, kami pun berscdia untuk mcmberitahukannya. Tapi kami
mcmpunyai serupa peraturan. Siapa saja yang sudah mendengar rahasia kelahiran
kami, dia harus menerima tiga pukulan dari aku dan saudaraku. Jika dia tidak
mau dipukul, boleh juga ditukar dengan berlutut tiga kali di hadapan kami
berdua." Karena didorong dengan rasa heran yang sangat besar, si nona jadi
nekat dan berkata seraya meng-angguk. "Baiklah, kalian beritahukanlah
kepadaku," katanya.
Kedua saudara itu bangun
berdiri dengan ge-rakan yang sangat bersamaan. "Aha! Lihatlah!"seru
Hui Hong. "Setan pun tidak percaya, bahwa kalian bukan saudara
kembar." Sekonyong-konyong kedua saudara itu menge-luarkan tangan mereka
dari dalam tangan baju dan dengan serentak terlihat berkelebat-kelebatnya
si-nar emas. Ternyata, dua puluh jari mereka disarung-kan dengan bidal-bidal
emas yang panjang tajam dan dapat digunakan sebagai senjata untuk men-cengkeram
musuh. Mendadak, tangan mereka me-nyambar ke arah Hui Hong yang jadi kaget
bukan main dan buru-buru melompat ke samping. "Bikin apa kau?"
membentak si nona.
Semenjak dilahirkan, kedua
saudara itu belum pernah berpisahan dan dalam ilmu silat, mereka dapat
bekerjasama seerat-eratnya, yang satu mem bantu yang lain dalam pembelaan diri
dan serangan-serangan yang sudah dilalih selama bertahun-tahun. Maka itu,
tidaklah heran, dalam sekejap San Hui Hong sudah jaluh di bawah angin. la hanya
dapat membela diri, tanpa mainpu membuat serangan membalas.
Para penonton lantas saja
mulai berteriak-tc-riak.
"Tidak adil! Tak malu!
Dua lelaki mengerubuti satu perempuan!" teriak seorang.
"Si nona tangan kosong.
kau berdua mengguna-kan senjata. Ah! Lebih-Iebih tak tahu malu," seru yang
lain.
"Saudara kccil! Bantulah
nona itu. Mungkin ia akan sangat berterima kasih kepadamu. Ha-ha-ha!"
teriak orang ketiga.