Kisah Si Rase Terbang (Hoei Ho Gwa Toan) Jilid 12

Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
----------------------------

Jilid 12

Hasil itu menyadarkan Ouw Hui. Jalan paling baik untuk mcngundurkan musuh adalah meng-gunakan senjata rahasia, hanya sayang ia tidak mem-bekalnya. Sesudah mendapat pelajaran pahit, para .Wie-su tidak berani menyerang lagi dengan senjata rahasia.

Ouw Hui jadi semakin bingung. Perjalanan ke Soan-bu-bun masih jauh, sedang teriakan-teriakan orang-orang itu sudah pasti akan menarik perhatian serdadu peronda. Dalam bingungnya ia ingat mang¬kok yang berada dalam sakunya. Ia segera meremas mangkok itu  hanya pantat mangkok yang tidak dihancurkan  dan mencekal kepingan-kepingan persolen dalam tangannya. Dengan sekali meng-ayun tangan kiri, lima Wie-su rubuh disambar ke-pingan mangkok pada jalan darahnya, sedang tiga Wie-su lainnya yang berkepandaian lebih tinggi, dapat menyampok "senjata rahasia" itu dengan go-lok mereka. Beberapa orang lantas saja melompat turun dari tunggangannya untuk menolong kawan-kawannya yang rubuh, sedang yang lainnya tidak berani datang terlalu dekat lagi.

Ouw Hui bernapas lebih lega. la girang ketika mendapat kenyataan, bahwa Ma It Hong masih bernapas dan kadang-kadang mengeluarkan rintih-an perlahan. Sementara itu, ia sudah hampir tiba di gedungnya. Waktu tiba di jalan bercabang, ia mem-belokkan kereta ke jurusan barat, sedang gedung¬nya berada di sebelah timur. Sesudah membelok lagi di sebuah tikungan, sambil mendukung It Hong, ia mencambuk kuda beberapa kali, sedang ia sendiri melompat ke atas sebuah rumah. Kereta itu kabur terus ke arah barat dengan dikejar oleh para Wie-su.

Sesudah para pengejar pergi jauh, barulah Ouw Hui kembali ke gedungnya dengan mengambil jalan dari atas atap rumah-rumah penduduk. Baru ia melompati tembok gedungnya, sudah terdengar suara Leng So: "Toako, kau kembali! Kau dikejar orang?" "Ma Kouwnio kena racun hebat, coba periksa," kata sang kakak. Sambil mendukung It Hong, Ouw Hui masuk ke ruangan tengah dan Leng so me-nyulut lilin. Sambil menggelengkan kepala, si nona mengawasi muka nyonya itu yang bersorot abu-abu. Ia memijit jari-jari tangan It Hong, ternyata da-gingnya tetap melesak, tidak membal ke atas lagi. "Kena racun apa?" tanyanya.

Dari dalam sakunya Ouw Hui mengeluarkan pantat mangkok, "Kena racun yang ditaruh di dalam somthung," jawabnya. "Inilah pantat mangkok som-thung itu." Leng So mencium pantat mangkok itu. Sebagai ahli urusan racun, ia lantas saja berkata dengan suara kaget: "Hebat! Inilah racun Ho-teng-hong." "Masih bisa ditolong?" tanya Ouw Hui.

Sebelum menyahut, Leng so memegang dada It Hong. "Kalau bukan orang kaya raya, tak nanti mempunyai racun yang mahal itu," katanya.

"Benar," kata Ouw Hui dengan suara gusar, "Yang menaruh racun adalah nyonya Siang-kok (perdana menteri), ibunya Peng-po Siang-sie." Leng So mengangguk, kedua matanya meng¬awasi It Hong dengan penuh perhatian. Melihat paras muka adiknya yang tidak memperlihatkan sinar putus harapan, hati Ouw Hui agak lega. Se¬sudah mengawasi beberapa saat, Leng So membuka kelopak mata It Hong. Mendadak ia mengeluarkan seruan tertahan: "Aha!" Ouw Hui terkesiap. "Mengapa?" tanyanya.

"Di samping Ho-teng-hong, terdapat juga Hoan-bok-pie," jawabnya.

Ouw Hui tidak berani menanya, "Bisa ditolong atau tidak?" Sambil mengawasi adiknya, ia bertanya: "Bagaimana menolongnya?" Alis si nona berkerut: "Dengan adanya dua macam racun itu, kita jadi lebih berabe," jawabnya. Ia masuk ke kamar dan mengambil dua butir yo-wan putih. Sambil memasukkan obat itu ke dalam mulut It Hong, ia berkata: "Kita harus menaruhnya di dalam sebuah kamar yang sunyi, menusuk tiga belas jalanan darahnya dengan jarum emas dan kemudian memasukkan obat ke dalam tubuhnya dari jalan darah. Sebenarnya, dengan menggunakan jarum, kita dapat menolongnya dengan segera, akan tetapi, selama dua belas jam ia tidak boleh bergerak sedikit pun jua." "Kita tidak dapat menggunakan jarum di sini, karena Wie-su Hok Kong An akan segera datang," kata Ouw Hui. "Kita harus cari sebuah rumah di kampung yang sepi." "Kalau begitu kita harus berangkat sekarang juga," kata Leng So. "Dua butir yo-wan itu dapat mempertahankan jiwanya selama satu jam." la menghela napas dan berkata pula: "Walaupun ke-jam, pengetahuan tentang racun dari nyonya Siang-kok itu masih sangat rendah. Dengan mencampur dua macam racun dan menaruhnya di dalam som-thung, tenaga racun itu menjadi lemah. Kalau bukan begitu, jiwa Ma Kouwnio tentu sudah melayang." Cepat-cepat Ouw Hui berkemas. "Pada jaman ini, siapakah yang dapat menandingi ilmunya Tok-chiu Yo-ong?" katanya.

Leng So tersenyum. Selagi ia mau menjawab, tiba-tiba terdengar suara kaki kuda yang menda-tangi dari sebelah kejauhan. Ouw Hui menghunus golok dan berkata: "Kita terpaksa mesti bertempur." Ia bingungdan berkata pula: "Semakin lama jumlah musuh tentu semakin banyak. Kalau bahaya terlalu besar, paling banyak aku bisa menolong Jie-moay. Bagaimana kita dapat menolong Ma Kouwnio?" "Dalam kota raja, tak dapat kita menggunakan kekerasan," kata si adik. "Toako, coba kau me-nyusun kursi meja sampai merupakan sebuah ra-ngon tinggi." Ouw Hui tak mengerti maksudnya, tapi karena tahu kepintarannya si adik, tanpa menanya lagi, ia lalu menyusun semua meja dan kursi yang berada dalam ruangan itu.

Sambil menuding satu pohon besar yang tum-buh di luar jendela, Leng so berkata: "Bersama Ma Kouwnio, kau bersembunyi dalam pohon itu." Ouw Hui segera memasukkan goloknya ke da¬lam sarung dan buru-buru mendukung Ma It Hong. Dengan sekali mengenjot badan, ia hinggap di atas satu dahan dan lalu menyembunyikan nyonya itu di antara daun-daun yang rindang.

Sementara itu, dengan melompati tembok, be-berapa Wie-su sudah masuk ke dalam pekarangan gedung dan dengan membentak-bentak, ia mena-nyakan keterangan dari pengurus rumah.

Leng So meniup lilin dan dari sakunya ia me-ngeluarkan sebatang lilin lain yang lalu disulutnya dan ditancapkan di sebuah ciak-tay. Sesudah me-nutup jendela dan pintu, barulah ia melompat naik ke pohon itu dan berdiri di samping kakaknya.

"Semuanya ada tujuh orang," bisik Ouw Hui.

"Tenaga obat lebih dari cukup!" jawab si adik.

Sekarang Ouw Hui mengetahui, bahwa lilin yang dipasang oleh adiknya adalah lilin racun.

Para Wie-su itu sudah mulai menggeledah. Di antara suara mereka, Ouw Hui kenali, bahwa salah seorang adalah In Tiong Shiang.

Karena jeri terhadap Ouw Hui dan juga sebab Wan Cie Ie masih berada dalam gedung itu, mereka tidak berani berlaku sembrono dan tidak berani menggeledah dengan berpencaran.

Sambil menyerahkan sebutir batu ke dalam tangan Ouw Hui, Leng So berbisik: "Toako, ru-buhkan sebuah kursi dengan batu ini!" "Bagus!" kata sang kakak sambil tertawa dan lalu menimpuk. Batu itu mengena tepat pada kursi yang di tengah-tengah dan dengan satu suara ge-debrukan, beberapa kursi meja yang berada di atas nya terguling di lantai.

"Di sini! Di sini!" teriak para Wie-su. Beramai-ramai mereka meluruk ke ruangan itu. Tapi, kecuali kursi meja yang jatuh berhamburan, dalam ruangan itu tak terdapat bayangan manusia. Mendadak me¬reka merasa puyeng dan tak ampun lagi ambruk di lantai.

Dengan cepat Leng So melompat masuk lagi ke dalam ruangan itu, meniup lilin yang lalu dimasuk-kan ke dalam sakunya. "Ayo berangkat!" katanya seraya menggapai Ouw Hui.

Ouw Hui lantas saja mendukung Ma It Hong dan bersama adiknya, ia melompati tembok. Belum jalan beberapa jauh, ia mengeluh, karena di sebelah depan terlihat barisan tentara yang sedang melang-kah melakukan penggeledahan dengan membawa obor dan tengloleng. Buru-buru mereka membelok ke selatan, tapi belum setengah li, mereka sudah bertemu pula dengan sepasukan tentara yang me-ronda. "Pembunuhan dalam gedung Hok Thayswee rupanya sudah diketahui," kata Ouw Hui di dalam hati. "Bagaimana baiknya? Tak mudah untuk me-loloskan diri ke luar kota." Sekonyong-konyong ia dengar suara ribut-ribut di belakangnya dan se¬pasukan tentara kelihatan mendatangi dari sebelah belakang. Ouw Hui bingung, musuh mendatangi dari depan dan dari belakang. Sambil memberi isyarat kepada Leng so, ia melompati tembok pe-karangan sebuah gedung, diturut oleh adiknya.

Mereka hinggap di atas rumput yang empuk dari sebuah taman. Tiba-tiba mereka terkesiap, karena taman itu terang-benderang dan tak jauh dari tempat mereka berdiri, kelihatan berkumpul banyak orang. Hampir berbareng, di luar tembok terdengar suara ramai, sebagai tanda, bahwa kedua pasukan tadi yang datang dari depan dan dari be¬lakang, sudah bertemu satu sama lain, sehingga mereka tak akan dapat melarikan diri lagi dari jalanan itu. Untung juga, Ouw Hui lihat sebuah gunung-gunungan yang teraling dengan pohon-po-hon bunga. Dengan cepat ia melompat ke belakang gunung-gunungan itu untuk menyembunyikan diri.

Mendadak, sehelai sinar putih berkelebat dan sebatang golok menyambar dada. Ouw Hui kaget bukan main, sedikit pun ia tidak menduga, bahwa di belakang gunung-gunungan itu bersembunyi mu¬suh. Mau tidak mau, ia melepaskan Ma It Hong yang menengkurap di punggungnya, tangan kirinya menyanggah sikut orang itu, tangan kanannya balas menyerang. Orang itu pun tak kurang lihaynya. Ia mengegos dan goloknya kembali menyambar, se¬dang tangan kirinya coba menangkap pergelangan tangan Ouw Hui dengan ilmu Kin-na Chiu-hoat. Apa yang luar biasa, dia memakai topeng kain kuning dan menyerang tanpa bersuara. "Bagus juga dia menutup mulut, pikir Ouw Hui. "Sekali dia berteriak, tentara yang berada di luar tembok pasti akan segera meluruk." Mereka lantas saja bertempur dengan hebat-nya. Kepandaian orang itu tidak berada di sebelah bawah Cin Nay Cie dan dengan bersenjata, ia me-narik banyak keuntungan atas Ouw Hui yang ber-kelahi dengan tangan kosong. Pada jurus ke sem-bilan, barulah Ouw Hui berhasil menotok jalan darah Kiu-bwee-hiat, di dada orang itu. Tapi dia ternyata gagah sekali.

Biarpun sudah kena ditotok, ia masih dapat menendang. Sesudah Ouw Hui menotok jalan darah Tiong-touw-hiat, di tumit kakinya, barulah ia rubuh.

Sesudah musuh rubuh, Leng So menyentuh pundak kakaknya dan sambil menuding ke tempat yang banyak lampunya, ia berbisik: "Toako, ke-lihatannya bakal ada pertunjukan wayang." Ouw Hui mendongak dan melihat sebuah pang¬gung wayang yang berdiri di dalam pekarangan yang luas, sedang di depan panggung berderet-deret kur-si yang sudah penuh dengan penonton, tapi per¬tunjukan belum dimulai. Jaman itu adalah jaman Kaisar Kian-liong yang sangat makmur dan di kota raja, setiap kali pembesar negeri atau hartawan mengadakan pesta, mereka tentu memanggil wa¬yang yang main sampai beberapa had, siang malam tiada putusnya.

Sambil mengangguk, Ouw Hui membungkuk dan mencopotkan kain kuning yang menutupi muka lawan yang sudah rubuh itu. Remang-renang, ia lihat muka yang kasar dari seorang berusia kira-kira empat puluh tahun. "Mungkin dia pencuri," katanya dengan suara perlahan.

"Kurasa bukan buaya kecil," kata Leng So.

Ouw Hui tertawa. "Siapa tahu? Dalam kota raja, penjahat kecil pun bisa memiliki kepandaian tinggi," katanya. Tapi di dalam hati, ia mengakui, bahwa dilihat dari kepandaiannya tak mungkin orang itu penjahat biasa.

"Apa tidak baik kita cari sebuah kamar yang terpencil dan sepi dalam gedung yang besar ini, untuk bersembunyi dua belas jam lamanya?" bisik si nona.

"Ya, itu memang jalan satu-satunya," jawab sang kakak. "Dengan berkumpulnya begitu banyak orang, kita pasti tak bisa keluar tanpa diketahui orang.

Baru saja ia berkata begitu, tirai di atas pang¬gung mendadak terbuka dan muncul seseorang yang mengenakan ma-kwa linen. Ia memberi hormat dan segera berkata dengan suara nyaring: "Para Supeh, Susiok dan saudara-saudara seperguruan!" Mendengar kata-kata pembukaan itu, Ouw Hui mengerti, bahwa panggung tersebut bukan pang¬gung wayang.

Orang itu melanjutkan pembicaraannya: "Seka-rang fajar sudah menyingsing dan tiga hari lagi, kita akan menghadapi pertemuan besar antara para Ciangbunjin. Tapi sampai pada detik ini, See-gak Hoa-kun-bun belum mempunyai Ciangbunjin. Urusan ini tidak dapat ditunda-tunda lagi dan bagai-mana harus diselesaikannya, aku menyerahkan ke-pada para Cianpwee dari berbagai pay." (pay = partai) Seorang tua yang mengenakan ma-kwa hitam, yang duduk di bawah panggung, lantas saja bangun berdiri. Ia batuk-batuk beberapa kali, dan lalu ber¬kata: "Hoa-kun Su-sip-pat, Gee-seng-heng-thian-hee. Sedari tiga abad yang lalu, See-gak Hoa-kun-bun terpecah menjadi lima partai, yaitu Partai Gee, Seng, Heng, Thian dan Hee. Semenjak tiga abad, memang kita tidak pernah mempunyai Cong ciang-bun (pemimpin besar). Kelima partai itu telah maju dengan makmurnya. Akan tetapi, semua saudara-saudara hanya memperhatikan partai masing-ma-sing. Setiap orang mengatakan: "Aku dari Gee-cie-pay (partai huruf Gee), aku dari Seng-cie-pay (partai huruf Seng) dan sebagainya. Mereka tidak ingat, bahwa di mata orang luar mereka semua dianggap sebagai anggota See-gak Hoa-kun-bun.

Anggota partai kita sangat besar jumlahnya dan ilmu yang diturunkan oleh Loo-couw (kakek guru) juga bukan ilmu sembarangan, akan tetapi, kita tak bisa menandingi Siauw-lim, Bu-tong, Thay-kek, Pat-kwa dan Iain-lain partai. Mengapa? Karena kita terpecah-pecah dan karena perpecahan itu, kita jadi lemah.

Ya! Apa mau dikata?" la batuk-batuk beberapa kali, menghela napas dan kemudian berkata pula: "Kalau bukan Hok Thayswee mengadakan pertemu-an para Ciangbunjin, entah sampai kapan See-gak Hoa-kun-bun baru punya Ciangbunjin. Untung juga terjadi kejadian begini, sehingga mau tak mau, kita mesti juga mengangkat seorang Ciong-ciang-bun. Hari ini, aku si tua, ingin mengutarakan pendapat-ku: Ciangbunjin yang akan dipilih oleh kita sekrang, bukan saja harus membikin terang muka See-gak Hoa-kun-bun dalam pertemuan itu, tapi juga harus membereskan urusan di dalam partai, supaya kelima cabang itu, kembali kepada asalnya yang semula, agar kita beramai-ramai, dengan bersatu padu, da-pat menonjolkan nama See Gak-kun-bun dalam Rimba Persilatan." Pembicaraan orang tua itu disambut dengan sorak-sorai dan tepuk tangan oleh para hadirin.

Sekarang Ouw Hui baru mengerti maksud ber-kumpulnya orang-orang itu. la memandang ke em-pat penjuru dengan niatan mencari tempat yang agak sepi untuk menyingkirkan diri. Tapi semua jalanan berada di bawah sinar lampu dan dalam taman itu berkumpul kira-kira dua ratus orang, sehingga begitu keluar dari tempat bersembunyi, mereka pasti dilihat orang, Ouw Hui jadi bingung. la hanya berdoa, supaya pemilihan Ciangbunjin itu bisa selesai secepat mungkin.

"Perkataan Coa Supeh merupakan nasehat yang sangat berharga," kata orang yang berdiri di atas panggung. "Sebagai pemimpin Gee-cie-pay, dengan memberanikan hati boanpwee mewakili para sau-dara separtai, memilih Ciangbunjin, maka kami se¬mua dengan satu hati, akan menutut segala perintah Ciangbunjin tersebut. Apa yang dikatakan oleh pemimpin kita itu, tak akan dibantah oleh orang-orang Gee-cie-pay." "Bagus!" teriak seorang dengan suara nyaring.

Pemimpin Gee-cie-pay itu tersenyum dan ber¬kata: "Bagaimana pendapat Iain-lain pay?" Salah seorang yang berada di bawah panggung bangun berdiri dan menjawab dengan suara nyaring: "Kami dari Seng-cie-pay juga tak akan menentang segala perintahnya Ciangbunjin baru." Dengan beruntun-runtun, beberapa orang ba¬ngun berdiri.

"Perintah dari Ciangbunjin kita akan diturut seanteronya oleh Heng-cie-pay." "Hee-cie-pay adalah partai yang paling bungsu, kalau kakak jalan, adik tak bisa tidak menurut." "Bagus!" kata orang yang berdiri di atas pang¬gung. "Semua golongan bersatu padu dan kita tidak bisa mengharapkan yang lebih baik daripada ini. Sekarang para tetua dari berbagai partai, para Su¬peh dan Susiok sudah berada di sini dan yang masih belum tiba hanyalah Kie Supeh dari Thian-cie-pay.

Orang tua itu telah mengirim sepucuk surat yang memberitahukan, bahwa ia telah mengirimkan pu-teranya, yaitu Kie Suheng, untuk mewakilinya da-lam pertemuan kita ini. Tapi ditunggu sampai se-karang, Kie Suheng belum juga muncul. Kudengar Suheng ini agak luar biasa dan di antara kita, siapa pun juga belum pernah bertemu dengannya. Mung-kin sekali ia sudah berada di sini dan menyem-bunyikan diri, entah di mana...." Berkata sampai di situ, ia disambut dengan gelak tertawa.

"Apakah kau she Kie?" Ouw Hui tanya pecun-dangnya.

Orang itu mengangguk, ia kelihatan bingung ka-rena tak tahu siapa adanya Ouw Hui dan Leng So.

"Sesudah menunggu hampir semalam suntuk dan Kie Suheng belum juga datang, kita sekarang tidak dapat menunggu lebih lama lagi," kata pula orang yang berdiri di atas panggung. Di belakang hari, Kie Supeh tentu tak bisa marahi kita. Kini aku memohon petunjuk para Cianpwee, Supeh, Susiok, cara bagaimana kita harus memilih Ciangbunjin." Mendengar perkataan itu, semua orang yang sudah menunggu lama dengan tidak sabar, lantas saja jadi bersemangat dan mereka berlomba-lomba mengajukan usul.

"Adu ilmu silat!" "Memang! Kalau bukan adu silat, mau adu apa?" "Kita harus gunakan senjata tulen!" Di antara teriakan-teriakan itu, si orang she Coa kembali bangun berdiri dan batuk-batuk bebe-rapa kali. "Sebenarnya, dalam memilih Ciangbunjin, kita harus lebih mengutamakan pribudi daripada kepandaian silat," katanya. "Anak-anak muda se¬karang, betapapun tinggi ilmu silatnya, tak akan dapat menandingi para Cianpwee yang pribudinya luhur dan dihormati orang." Ia berdiam sejenak dan kedua matanya yang tajam menyapu para hadirin. "Tapi kita sekarang tengah menghadapi keadaan luar biasa," katanya pula. "Pertemuan para Ciang¬bunjin yang bakal diadakan merupakan pertemuan para orang gagah dan secara wajar, mereka masing-masing akan mengeluarkan kepandaian. Andaikata See-gak Hoa-kun-bun memilih seorang tua bangka yang luhur pribudinya, dalam pertemuan tersebut, belum tentu orang dapat menghargai pribudi tua bangka itu...." Para hadirin tertawa berkakakan, sedang Leng so cekikikan sambil menutup mulutnya dengan sapu tangan.

Sesudah gelak tertawa mereda, si tua berkata pula: "Hoa-kun Su-sip-pat, Gee-seng-heng-thian-hee. Hanya sayang, selama beberapa ratus tahun, tak pernah ada seorang pun dapat memahami se-luruh ilmu silat Hoa-kun-bun yang mempunyai em-pat puluh delapan jalan. Di hari ini, siapa yang memiliki kepandaian paling tinggi, dialah yang akan menjadi Ciangbunjin kita." Pembicaraan si tua disambut dengan sorak sorai.

Tiba-tiba pintu depan digedor keras. Semua orang terkejut.

"Apa Kie Suheng?" tanya seorang. Beberapa orang lantas membuka pintu dan begitu pintu ter-buka, segera menerobos masuk sejumlah serdadu yang membawa obor dan tengloleng.

Dengan tangan kanan mencekal golok, tangan kiri Ouw Hui memegang tangan Leng So dan me-reka saling mengawasi sambil tersenyum. Dalam menghadapi bahaya, hati kedua orang muda itu lebih bersatu padu. Tapi di lain saat, si nona me-nunduk dan paras mukanya berubah duka.

Perwira yang memimpin rombongan serdadu itu, segera menanyakan keterangan dari beberapa orang. Begitu mengetahui, bahwa orang-orang itu berkumpul untuk memilih Ciangbunjin dari See-gak Hoa-kun-bun, sikapnya lantas saja berubah hormat, tapi dengan menggunakan obor dan tengloleng, ia dan tentaranya lantas saja menyuluhi muka setiap orang dan menyelidiki di seputar taman itu.

Ouw Hui dan Leng So siap sedia. Jika tentara itu menyatroni sampai di belakang gunung-gunung-an, tiada lain jalan daripada menyerang.

Tiba-tiba, selagi sinar obor mendekati gunung-gunungan, orang yang berdiri di atas panggung sudah berkata pula: "Siapa yang ilmu silatnya paling tinggi, dialah yang menjadi Ciangbunjin. Hal ini sudah didengar dan disetujui oleh kita semua. Maka itu, para Supeh, Susiok, Suheng-tee dan Suci-moay boleh segera naik ke sini untuk memperlihatkan kepandaian yang paling istimewa." Undangan itu disusul dengan melompat naik seorang wanita muda yang mengenakan baju warna dadu. "Ko In, murid Heng-cie-pay, meminta pelajar-an dari para Supeh, Susiok dan saudara-saudara," katanya dengan suara merdu.

Melihat ilmu mengentengkan badan nona itu yang sangat bagus, ditambah dengan pakaiannya yang indah dan parasnya yang cantik, para hadirin menyambutnya dengan tepuk tangan dan sorakan. Serdadu-serdadu yang tengah menghampiri, gunung-gunungan itu jadi kagum bukan main dan habislah kegembiraan mereka untuk melanjutkan penggele-dahan.

Baru habis si nona memperkenalkan diri, se¬orang pemuda sudah melompat ke atas. "Thio Hok Liong, murid Gee-cie-pay, ingin meminta pelajaran dari Ko Suci," katanya seraya memberi hormat. "Thio Suheng tak usah berlaku sungkan," kata nona Ko. Ia menekuk sedikit betis kanan, melonjorkan betis kiri, melintangkan telapak tangan kanan dan membengkokkan tangan kiri. Itulah pukulan per-tama dari Hoa-kun, Cut-sit Kwa-houw See-gak-toan (pukulan menunggang harimau). Thio Hok Liong mengangkat lututnya dan mengirim pukulan dengan telapak tangannya dalam gerakan San-yang Teng-kie Kak-tok-hian (Kambing hinggap di dahan pohon, kakinya menggelantung). Mereka lantas saja bertempur dengan hebatnya, dengan masing-ma-sing menggunakan ilmu silat Hoa-kun-bun. Sesudah lewat kira-kira dua puluh jurus, bagaikan kilat, nona Ko menyerang dengan pukulan Hui-tauw Bong-goat Hong-tian-cie (Mernutar kepala melihat rem-bulan, burung Hong membuka sayap), kakinya me¬lompat, tangannya menyambar, sehingga tak ampun lagi, Thio Hok Liong rubuh ke bawah panggung.

"Bagus!" teriak si perwira, "Sungguh lihay nona itu." Di lain saat, seorang lelaki yang bertubuh kasar sudah melompat ke atas panggung dan sehabis mengucapkan kata-kata merendahkan diri, mereka lantas saja bertempur. Kali ini, Ko In-lah yang rubuh  ke bawah, karena kakinya terpelescl.

"Sayang! Sayang sungguh!" seru si perwira. Se-sudah nona itu rubuh, ia tidak mempunyai kegem-biraan untuk menonton terus dan sambil mengajak anak buahnya, ia segera meninggalkan gedung itu, untuk menjalankan tugas di tempat lain.

Melihat rombongan serdadu sudah berlalu, hati Leng So jadi agak lega. Tapi sesudah beberapa lama, hatinya jadi jengkel dan tidak sabar, karena pertem-puran berlangsung terus tak henti-hentinya, yang satu turun, yang lain naik dan begitu seterusnya. Sampai kapan baru mereka berhasil memilih Ciang-bunjin? Ia melirik Ouw Hui yang ternyata sedang memperhatikan jalan pertandingan dengan sepe-nuh perhatian. Si nona heran dan berkata dalam hatinya: "Biarpun kepandaian mereka tidak dapat dikatakan rendah, tapi mereka bukan ahli silat kelas satu. Mengapa Toako memperhatikan sampai ter-longong-longong?" Ia menyentuh tangan kakaknya dan berbisik: "Toako, sekarang sudah lewat lebih dari setengah jam. Kita harus berdaya untuk me-nolong Ma Kouwnio secepat mungkin. Kalau ter-lambat, mungkin jiwanya melayang." Ouw Hui ha-nya menyahut dengan suara "hm", tapi matanya tetap mengawasi panggung.

Beberapa saat kemudian, salah seorang jatuh, disusul dengan naiknya seorang lain yang lantas saja mulai bertanding dengan orang yang menang.

Dalam pertandingan itu, meskipun mereka orang sekaum, akan tetapi yang bertempur adalah murid-murid dari partai yang berlainan. Kalah menang mereka mengenakan langsung kepada nama partai masing-masing, sehingga dengan demikian, mereka  berkelahi dengan sungguh-sungguh. Dilihat dari jalan pertandingan, pentolan-pentolan kelima par¬tai Hoa-kun-bun belum ada yang muncul dan hal itu lebih-lebih menjengkelkan Leng So, karena tak dapat diramalkan lagi, sampai kapan pertandingan bisa selesai.

Melihat kakaknya memperhatikan pertempur-an itu seperti orang kehilangan semangat, si nona berkata dalam hatinya: "Hm! Toako adalah seorang yang tergila-gila dengan ilmu silat. Begitu lihat orang pie-bu, ia melupakan segala apa." Sambil menepuk pundak Ouw Hui, ia berkata dengan suara perlahan: "Kita sudah tak mempunyai banyak tempo lagi. Paling benar kita coba keluar dari sini. Me-nurut pendapatku, sebagai orang-orang gagah dari Rimba Persilatan, belum tentu mereka mencelaka¬kan kita dengan melaporkan kepada pembesar ne-geri." Ouw Hui menggelengkan kepala. "Urusan lain masih tidak apa, tapi dalam urusan yang mengena¬kan Hok Thayswee, mana bisa mereka tinggal diam saja?" katanya. "Dengan mencelakakan kita, mereka mendapat kesempatan untuk memperoleh pahala.

"Kalau begitu, untung-untungan di sini saja kita niengobati Ma Kouwnio," kata pula Leng So. "Tapi celakanya, di siang hari, bersembunyinya kita di tempat ini pasti diketahui orang." Waktu meng-ucapkan kata-kata itu, nadanya bingung sekali. Da¬lam keadaan terdesak, nona Thia yang cerdas dan tenang jadi putus asa.

Tapi Ouw Hui hanya menyahut dengan "hm", sedang kedua matanya tetap mengawasi kedua ang-gota Hoa-kun-bun yang sedang bertanding di atas panggung. Leng So menghela napas. "Jika sebenta Ma Kouwnio tidak dapat ditolong lagi, jangan kau salahkan aku," bisiknya.

Mendadak Ouw Hui berkata: "Baiklah! Walau-pun aku belum bisa menangkap seluruhnya, biarlah kita menempuh bahaya dan mencoba-coba." "Apa?" tanya si adik yang tidak mengerti mak-sud kakaknya.

"Aku ingin merebut kursi Ciangbunjin dari See-gak Hoa-kun-bun," jawabnya. "Jika, dengan berkah Tuhan, aku berhasil, mereka akan dengar semua perintahku." Si nona jadi girang bukan main. Sambil me-nepuk-nepuk pundak kakaknya beberapa kali, ia berkata: "Kau pasti berhasil! Pasti berhasil! Orang-orang itu bukan tandinganmu." "Jie-moay, kau tak tahu kesukarannya," kata Ouw Hui sambil tersenyum. "Yang paling sukar adalah aku mesti berkelahi dengan menggunakan ilmu silat Hoa-kun-bun. Dalam tempo yang begitu pendek, mana aku bisa ingat semua pukulan-pukul-an? Menghadapi orang-orang yang berkepandaian rendah masih tak apa. Tapi kalau berhadapan de¬ngan pentolan-pentolannya, topengku pasti akan terlucut karena aku belum biasa menggunakan ilmu silat itu. Celakanya, jika aku tidak diakui sebagai murid Hoa-kun-bun, biarpun menang, mereka tentu tak sudi mengangkat aku sebagai Ciangbunjin." Ber¬kata sampai di situ, mau tak mau ia ingat Wan Cie Ie, yang paham dengan ilmu silat dari berbagai cabang dan partai persilatan. Jika nona Wan yang maju, kemungkinan berhasil banyak lebih besar.

Mendadak terdengar teriakan "Aduh!" dan se orang terpelanting ke bawah panggung.

"Kurang ajar! Mengapa memukul begitu he-bat?" tcriak seorang.

"Sesudah bertempur, mana ada berat enteng?" bentak seorang lain. "Jika kau mempunyai kepan-daian, naiklah!" Beberapa orang di bawah panggung lantas saja bertengkar dengan sengit.

"Jie-moay," bisik Ouw Hui. "Kalau temponya tiba dan aku belum dapat merebut Ciangbunjin, kau boleh segera mengobati Ma Kouwnio di sini." "Baiklah," kata si adik sambil tersenyum. "Orang lain sudah berhasil menjadi Ciong-ciang-bun dari tiga belas partai. Masakah satu saja kau tak mampu merebutnya?" Dengan "orang lain" si nona maksud-kan Wan Cie Ie. Melihat kakaknya maju ke depan panggung dengan tindakan lebar, hati Leng So girang, kagum, bercampur duka.

Sebelum Ouw Hui keburu melompat ke atas panggung, seorang lain yang barusan bercekcok sudah mcndahului. "Kalau tunggu sampai salah satu ada yang kalah, aku kembali menyia-nyiakan tempo yang berharga dan keadaan Ma Kouwnio jadi se-inakin berbahaya," pikirnya. Memikir begitu, lantas saja ia mengenjot badan dan selagi tubuhnya masih berada di tengah udara, tangannya sudah menyam-bar punggung orang itu seraya berkata: "Suheng tahan dulu. Biar aku yang mencoba lebih dulu." Dalam cengkeramannya itu, Ouw Hui mengguna¬kan ilmu Toakin-na Chiu-hoat dari keluarga Ouw. Jempolnya menekan jalan darah Siok-ciat-hiat, se-dang kelingkingnya menotok jalanan darah Sin-to-hiat, sehingga orang itu tak bisa bergerak lagi.

Berbareng dengan hinggapnya di atas panggung, tangannya mengebas dan tubuh orang itu melayang ke bawah dan jatuh duduk, tepat persis di sebuah kursi yang kosong.

Kepandaian yang luar biasa itu sudah mengejut-kan semua orang, sehingga beberapa antaranya dengan serentak bangun berdiri untuk bisa melihat-nya secara lebih tegas. Tapi Ouw Hui mengenakan topeng kain kuning, sehingga para hadirin merasa kecewa. Hanya dengan melihat taocangnya yang besar dan hitam jengat, mereka dapat menebak-nebak, bahwa jago yang lihay itu bukan seorang tua. Pentolan-pentolan Hoa-kun-bun yang banyak pengalaman jadi semakin heran, karena hampir tak dapat dipercaya, bahwa seorang yang berusia muda bisa memiliki Lweekang yang begitu tinggi.

Sambil merangkap kedua tangannya, Ouw Hui berkata kepada orang yang berdiri di hadapannya. "Murid Thian-cie-pay, Thia Leng Ouw, ingin me-minta pengajaran dari Suheng," katanya.

Mendengar perkataan "Thia Leng Ouw," Leng So tersenyum, tapi di lain saat, parasnya berubah duka. "Kalau benar-benar aku mempunyai kakak kandung seperti dia, aku boleh tak usah merasakan banyak kedukaan seperti sekarang," katanya di da-lam hati.

Sebelum bergebrak, lawan Ouw Hui sudah me¬rasa keder. la membalas hormat seraya berkata: "Kepandaian siauwtee masih sangat cetek, maka siauwtee mohon Suheng menaruh belas kasihan." "Bagus! Bagus!" kata Ouw Hui yang tanpa sung-kan-sungkan lagi karena ia perlu memburu tempo, lantas saja menyerang dengan pukulan Cut-sit Kwa houw See-gak-toan. Orang itu buru-buru meng-angkat lututnya dan menangkis dengan kedua te-Iapak tangan dalam gerakan Pek-wan Tao-tho Pay-thian-teng (Kera putih mencuri buah tho, menyem-bah Langit), yaitu semacam pukulan yang lebih mengutamakan pembelaan diri daripada penye-rangan. Ouw Hui melompat dan menyerang pula dengan pukulan Gouw-ong Sit-kiam Pek-giok-coan (Gouw Ong mencoba pedang menebas giok). Orang itu tetap tidak berani menyambut kekerasan dengan kekerasan.

Buru-buru ia melompat ke belakang untuk me-nyingkir dari serangan itu. Ouw Hui sungkan mem-beri kesempatan lagi kepadanya. Sambil melompat ia meninju dengan pukulan Sia-sin Lan-bun Ca-tiat-soan (Miringkan badan berdiri di pintu memasang tapal). Orang itu coba menangkis, tapi dengan se-kali mengerahkan Lweekang, Ouw Hui melontar-kannya ke bawah panggung.

Hampir berbareng, di bawah panggung ter-dengar bentakan keras dan orang yang pertama dilemparkan Ouw Hui, coba melompat naik. "Bang-sat! Jangan kurang ajar kau!" cacinya. Ouw Hui meloncat ke pinggir panggung dan menghantam dengan pukulan Kim-peog Tian Cie Teng-tiong-can (Garuda emas membuka sayap berdiri di tengah ruangan), sehingga orang itu lantas saja jatuh lagi ke bawah. Karena mendongkol atas caciannya, Ouw Hui memukul dengan menggunakan tiga bagian tenaga dan orang itu ambruk di atas dua kursi yang jadi hancur berkeping-keping.

Sesudah rubuhnya dua orang itu, para hadirin lantas saja bicara bisik-bisik satu sama lain dan  banyak sekali yang menanyakan murid-murid Thian-cie-pay tentang asal usulnya jago bertopeng itu yang mengaku sebagai murid partai tersebut. Tapi tak seorang pun yang dapat memberi keterangan. "Me-nurut penglihatanku, dia tidak begitu paham de-ngan ilmu silat partai kita," kata seorang Cianpwee dari Gee-cie-pay. "Kalau tidak salah, dia baru ber-guru pada tetua Thian-cie-pay sesudah mcmiliki ilmu silat dari partai lain. Sepuluh sembilan dia adalah murid baru dari Kie Loosam." "Kalau benar begitu, itulah salahnya Kie Loo¬sam sendiri," menyambung seorang tua dari Seng-cie-pay. "Bahwa seorang murid coba merebut ke-dudukan Ciangbunjin dengan menggunakan ilmu silat lain partai, sebenarnya sangat menurunkan derajat ilmu silat partai kita." Orang yang dipanggil "Kie Loosam" adalah te¬tua dari Thian-cie-pay. Dalam kalangan See-gak Hoa-kun, dapat dikatakan ialah yang memiliki ke-pandaian palirq tinggi, hanya sayang, semenjak pu-luhan tahun hers.' -;;, kedua kakinya lumpuh. Se-karang, walaupun ia sendiri tidak menghadiri per-temuan, tapi karena namanya sangat besar, orang-orang sekaum masih tetap mengindahkannya. Me-lihat kelihayan Ouw Hui, sedang putera Kie Loosam belum juga datang, maka banyak orang menduga, bahwa orang yang bertopeng itu adalah murid Kie Loosam. Mereka tentu saja tak pernah mimpi, bah¬wa Kie Siau Hong putera Kie Loo-sam sedang rebah di belakang gunung-gunungan akibat totokan Ouw Hui.

Sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi, Kie Loosam mempunyai satu cacad, yaitu adatnya yang agak sombong dan ia tidak meman-dang scbelah mata kepada saudara-saudara separ-tainya yang agak sombong dan ia menutup pintu dan sungkan menemui siapa pun jua, sedang se-antero kepandaiannya ia turunkan kepada putera-nya. Untuk menghadiri pertemuan memilih Ciang¬bunjin, See-gak Hoa-kun-bun, ia mengirim putera-nya itu, yang merasa pasti, bahwa kursi Ciangbunjin akan dapat direbutnya.

Meskipun ilmu silatnya sudah hampir menan-dingi ayahnya, sifat Kie Siauw Hong tidak sejujur orang tua itu. Diam-diam ia bersembunyi di be¬lakang gunung-gunungan dengan niat mempelajari dulu kepandaian orang lain dan kemudian barulah turun tangan. Tidak dinyana, seperti diantar ma-laikat, Ouw Hui dan Leng So yang membawa Ma It Hong datang ke situ dan akhirnya ia rebah tanpa bisa berkutik lagi.

Tapi, walaupun tubuhnya tidak berdaya, ku-pingnya dapat mendengar setiap perkataan dari pembicaraan antara Ouw Hui dan Leng So. Hatinya panas karena ia menduga, bahwa Ouw Hui adalah seorang pentolan dari lain partai yang sengaja da¬tang untuk merubuhkannya guna merebut kedu-dukan Ciangbunjin. Waktu ditotok, ia sama sekali belum mendapat kesempatan untuk mengeluarkan kepandaiannya. Maka itu, ia jadi semakin gusar. Sesudah mendengar rubuhnya beberapa orang, ia menganggap bahwa dalam See-gak Hoa-kun-bun, hanyalah ia seorang yang dapat menandingi Ouw Hui. Memikir begitu, ia segera mengempos se-mangat untuk coba menjalankan aliran darah yang sena ditotok.

Akan tetapi, ilmu menotok Ouw Hui didapat dari leluhurnya dan sangat berbeda dengan ilmu yang dimiliki Siauw Hong. Andaikata Siauw Hong mengerahkan Lweekang dengan pikiran tenang, belum tentu ia bisa membuka jalan darahnya. De¬ngan kegusaran meluap-luap, ia mengempos se-mangat dengan menggunakan seantero tenaganya dan baru selang beberapa saat, hatinya mencelos karena napasnya tiba-tiba menyesak dan tak ampun lagi ia pingsan.

Kejadian yang serupa itu sudah lebih dulu di-alami ayahnya. Dalam usahanya untuk mendapat kemajuan secepat mungkin, pada suatu hari, ketika sedang melatih Lweekang, Kie Loosam telah mem-buat kesalahan, sehingga "api" dalam tubuhnya te¬lah "membakar" dirinya sendiri dan kakinya menjadi lumpuh. Keadaan Siauw Hong pada saat itu adalah lebih berbahaya daripada apa yang telah dialami oleh ayahnya.

Sementara itu, dengan penuh perhatian, Leng So mengawasi jalan pertempuran di atas panggung. Ia mendapat kenyataan, bahwa setiap pukulan yang dikeluarkan Ouw Hui adalah pukulan Hoa-kun-bun yang baru saja dipelajarinya. "Toako sungguh ber-bakat," ia memuji di dalam hati. "Hoa-kun-bun adalah ilmu silat yang sulit, tapi dengan melihat sekelebatan saja, ia sudah dapat memahaminya." Pada saat itulah, kupingnya tiba-tiba menang-kap suara "huh" dari orang yang sedang rebah di tanah. Mendengar nada luar biasa, ia melirik dan lantas saja ia terkejut, karena mata orang itu ter-tutup, lidahnya melelet keluar, sedang bibirya me-ngeluarkan darah dan badannya bergemetaran se perti orang demam.

Sebagai seorang yang mahir dalam ilmu peng-obatan, si nona segera mengerti sebab musababnya. Jika tidak lekas ditolong, Siauw Hong bisa jadi gila, atau paling sedikitnya, ilmu silatnya akan musnah sama sekali. "Aku dan dia sama sekali tidak ada bermusuhan," pikirnya. "Adalah tidak benar, jika dalam usaha menolong satu manusia, lain manusia jadi celaka." Buru-buru ia mengeluarkan jarum emas dan menusuk jalan darah Liam-coan, Thian-tou. Kie-bun dan Thay-hun. Selang bebcrapa saal, Siauw Hoong tersadar. Melihat dirinya ditolong oleh si nona, ia berkata dengan suara perlahan: "Banyak terima kasih untuk pertolongan nona." Leng So buru-buru menaruh jari tangannya di bibir untuk melarang ia bicara.

Mendadak terdengar suara Ouw Hui: "Peratur-an merebut kedudukan Ciangbunjin sudah ditetap-kan, tapi kalau bertanding secara begini, sampai kapan baru bisa selesai? Jika para Supeh, Susiok dan saudara-saudara masih ingin memberi pelajaran kepadaku, naiklah beramai-ramai, tiga empat orang juga boleh. Jika kalah, sedikit pun siauwtee tidak merasa menyesal." Mendengar perkataan itu yang kedengarannya sombong sekali, orang-orang dari keempat partai jadi gusarbukan main. Memangjuga jika satu lawan satu, tiada seorang pun yang berani naik lagi. Sc-sudah mendapat tantangan begitu, tanpa sungkan-sungkan lagi beberapa orang lantas melompat ke atas dan mengerubuti Ouw Hui.

Tapi sebenarnya Ouw Hui bukan sombong atau memandang rendah ilmu silat Hoa-kun-bun. Ia mc nantang begitu karena terpaksa. Sebagaimana di-ketahui, ia belum mahir dalam ilmu silat itu dan ia mengerti, bahwa jika bertanding satu lawan satu, lama-lama rahasianya akan terbuka. Dalam pertem-puran beramai-ramai, ia dapat menggunakan tipu dan orang sukar melihat gerakan gerakannya. Di-samping itu, dengan melayani orang-orang itu terus-menerus, biarpun memiliki Lweekang yang sangat tinggi, lambat laun ia akan menjadi lelah. Tapi apa yang paling penting ialah dilangsungkannya per-tempuran dalam tempo lama akan mengakibatkan celakanya Ma It Hong.

Dengan mengamuk seperti harimau edan, da¬lam sekejap ia sudah merubuhkan sejumlah orang. Dalam pertempuran itu, murid-murid Thian-cie-pay tidak turut serta, karena mereka menganggap, bah¬wa Ouw Hui adalah murid Kie Loosam. Dalam keempat partai lainnya, orang-orang muda semua sudah dirubuhkan, sedang pentolan-pentolan yang sudah berusia lanjut tidak berani sembarangan maju, sebabjika dijatuhkan, habislah nama besar mereka yang sudah dipertahankan selama banyak tahun.

Sekonyong-konyong si orang tua she Coa ba-ngun berdiri. "Thia Suheng," katanya, "Ilmu silatmu memang sangat tinggi dan aku merasa sangat ka-gum. Akan tetapi menurut penglihatan mataku yang tua, pukulan-pukulanmu itu agak berbeda dan ilmu silat dari partai kami...." Ouw Hui terkejut, sebab memang benar, mes-kipun ia menggunakan pukulan-pukulan See-gak Hoa-kun-bun, tapi setiap kali merubuhkan lawan, Lweekang yang digunakan adalah Lweekang ke-luarga Ouw.

See-gak Hoan-kun-bun adalah semacam ilmu silat Gwa-kee yang terkenal di seluruh Tiongkok. Dalam tempo yang begitu pendek, bagaimana ia dapat memahami sampai di dasar-dasarnya? Men-dengar perkataan si tua, ia terpaksa mengambil sikap kepala batu. "Hoa-kun Su-sip-pat, Gee-seng-heng-thia-hee," katanya dengan suara nyaring. "Kata-kata itu membuktikan, bahwa dalam mempelajari ilmu silat kita, sesudah berhasil, kepandaian setiap orang agak berbeda-beda. Kalau bukan begitu, cara bagaimana kaum kita bisa terbagi dari lima buah partai? Dalam ilmu silat, memang tidak ada per-aturan yang pasti. Kepandaian Thian-cie-pay mung-kin sedikit berbeda dari yang lain." Dengan berkata begitu, ia bermaksud menarik orang-orang Thian-cie-pay untuk menyokongnya. Benar saja, sesudah mendengar alasan Ouw Hui yang merupakan pujian untuk partai mereka, murid-murid Thian-cie-pay merasa senang sekali.

Si orang she Coa menggeleng-gelengkan ke¬pala. "Thia Suheng, apakah kau murid Kie Loo-sam?" tanyanya. "Kedua mataku belum lamur. Meli-hat gerakan-gerakanmu, sepuluh sembilan kau bu¬kan orang dari kaum kami." "Coa Supeh, kau salah," jawab Ouw Hui. "Kalau kaum kita ingin turut merebut kedudukan tinggi dalam pertemuan para Ciangbunjin dan bertanding dengan partai-partai besar lainnya, seperti Siauw-lim, Bu-tong, Thay-kek, Pat-kwa dan sebagainya, maka kita harus mengeluarkan kepandaian yang istimewa, yang lain dari yang lain. Coa Supeh, jika kau menganggap kepandaian teecu masih rendah, kau merdeka untuk naik ke sini guna memberi petunjuk." Orang tua itu kelihatan bersangsi, "Bahwa kaum kita mempunyai seorang yang berkepandaian begitu tinggi seperti Thia Suheng, adalah kejadian yang sangat menggirangkan," katanya. "Terang-terang aku mengakui, bahwa kepandaianku masih tidak dapat menandingi kau. Tapi aku tetap bersangsi. Begini saja: Aku minta kau menjalankan pokok-pokok dari ilmu silat Hoa-kun-bun.

Beberapa belas saudara kita yang lebih tua akan menjadi juru pemutus. Jika Lauwtee benar orang dari kaum kita, akulah yang akan paling dulu me-milih kau sebagai Ciangbunjin." Ouw Hui terkesiap. Dalam pertempuran, de¬ngan pukulan-pukulan yang cepat, ia masih bisa mengelabui mata orang. Tapi jika ia mesti men¬jalankan ilmu silat pokok dari Hoa-kun-bun, to-pengnya pasti akan terlucut. Ia berotak cerdas, tapi mendengar tuntutan si orang she Coa, ia bergetar.

Selagi ia mengasah otak untuk coba menolak-nya, tiba-tiba terdengar teriakan di belakang gu-nung-gunungan: "Coa Supeh! Mengapa kau selalu menyukarkan Thian-cie-pay? Thia Suheng adalah murid ayahku yang paling utama dan ia sudah be-lajar enam belas tahun lamanya. Apa Coa Supeh anggap ia masih belum mampu menjalankan ilmu silat kaum kita?" Semua orang menengok dan ternyata, bahwa orang yang berkata begitu dan yang sedang meng-hampiri panggung bukan lain daripada Kie Siauw Hong, seorang yang sering mewakili ayahnya dalam berbagai urusan dan pada umumnya sudah dianggap sebagai tetua Thian-cie-pay.

Begitu tiba di depan panggung, Siauw Hong mengenjot badan dan hinggap di atas papan dengan gerakan yang indah. Sambil merangkap kedua ta-ngannya, ia berkata: "Ayahku menutup pintu dan mengasingkan diri dan telah menurunkan semua kepandaiannya kepada Thia Suko. Enam belas ta-hun lamanya Thia Suko melatih diri dan kepan-daiannnya sepuluh kali lebih tinggi dari pada aku. Kalian sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri dan aku boleh tak usah bicara panjang-panjang." Mendengar keterangan itu, kesangsian semua orang lantas saja lenyap. Mereka tahu, bahwa Kie Loosam mempunyai adat aneh dan memang sangat mungkin, diam-diam ia mengajar seorang murid berbakat untuk dimajukan secara tidak diduga juga. Mereka mengenal Kie Siauw Hong sebagai seorang yang tidak mau kalah terhadap siapa pun jua dan bahwa sekarang pemuda itu mengaku kalah lebih-lebih menghilangkan kesangsian orang.

Baru saja si orang she Coa mau membuka mulut, Kie Siauw Hong sudah mendahului dengan suara nyaring: "Jika Coa Supeh ingin lihat ilmu silat Thian-cie-pay, biarlah aku yang mewakili Thia Su-heng." Sebelum si tua keburu menjawab, ia sudah mulai bersilat. Cut-sit Kwa-houw See-gak-toan, Kim-peng Tian-cie Teng-tiong-can... sejurus demi sejurus... kedua tangannya memperlihatkan dua be¬las macam Chiu-hoat (pukulan tangan), setiap ge-rakannya teguh mantap bagaikan gunung dan lincah gesit seperti sambaran elang atau larinya kelinci. Para hadirin adalah anggota-anggota See-gak Hoa-kun-bun yang mengerti ilmu silat itu, akan tetapi, mereka semua mengawasi silat Kie Siauw Hong dengan rasa kagum. Bahkan pentolan-pentolan yang sudah berusia lanjut manggut-manggutkan kepala-nya dan memberi pujian tinggi.

Begitu lekas Siauw Hong berhenti bersilat, tam-pik sorak gemuruh terdengar di seluruh lapangan.

Munculnya Siauw Hong sangat mengherankan hati Ouw Hui karena ia tak tahu dengan jalan apa Leng So sudah menaklukkan tokoh Thian-cie-pay itu, yang sudah menolong dirinya dari keadaan terjepit.

Sehabis Siauw Hong jalankan ilmu silatnya, ia juga memuji di dalam hati: "See-gak Hoa-kun-bun benar hebat. Jika ia memperkuat ilmunya dengan tenaga Lweekang, ia bisa menjadi seorang ahli silat yang sungguh-sungguh lihay." Tapi begitu selesai bersilat, napas Siauw Hong tersengal-sengal dan badannya agak bergemetaran, seperti orangyang belum sembuh dari sakitnya atau baru saja mendapat luka berat dan keringat mem-basahi bajunya. Itu semua bukan menunjukkan tan-da-tanda dari seorang yang berkepandaian tinggi. Untung juga, kecuali Ouw Hui yang berdiri dekat. para hadirin yang duduk di bawah panggung tidak lihat gejala itu.

Sesudah menentramkan semangatnya, Siauw Hong berkata pula: "Jika di antara Supeh, Susiok dan saudara-saudara ada yang masih ingin menjajal kepandaian Suko, naiklah." Sesudah mengulangi pertanyaan itu tiga kali, tiada seorang pun yang melompat ke atas.

Murid-murid Thian-cie-pay lantas saja berso-rak-sorai dan berteriak-teriak: "Kionghi (selamat)  Thia Suko menjadi Ciangbunjin See-gak Hoa-kun-bun!" Orang-orang dari empat partai lainnya lalu turut bersorak dan memberi selamat, sehingga de-ngan demikian, Ouw Hui terpilih sebagai pemimpin besar dari See-gak Hoa-kun-bun.

Kie Siauw Hong merangkap kedua tangannya dan berkata: "Kionghi! Kionghi!" Waktu membalas hormat, Ouw Hui mendapat kenyataan, bahwa pe-muda itu mengawasinya dengan sorot mata ber-gusar. Tapi karena sedang memikirkan keselamatan Ma It Hong, tanpa menggubris itu semua, ia lantas saja berkata: "Kie Sutee, coba kau minta disediakan sebuah kamar supaya kedua Sumoay bisa mengaso." Siauw Hong mengangguk dan lalu melompat turun ke bawah. Heran sungguh, waktu hinggap di tanah, ia terhuyung, sehingga hampir-hampir jatuh ter guling.

Ouw Hui segera maju sampai ke pinggir pang-gung dan seraya menyoja, ia berkata: "Para Supeh, Susiok dan saudara-saudara tentu sudah sangat letih dan sekarang kita bubar saja untuk mengaso. Se-bentar malam kita berunding supaya nama See-gak Hoa-kun-bun bisa diangkat naik dalam pertemuan para Ciangbunjin." Apa yang dikatakannya keluar dari hati yang jujur. Ia merasa sangat berterima kasih kepada partai itu, karena tanpa adanya pe-milihan Ciangbunjin Hoa-kun-bun, bukan saja jiwa Ma It Hong sukar dapat ditolong, tapi jiwanya sendiri bersama Leng So pun bisa melayang.

Begitu mendengar perkataan Ouw Hui, semua orang lantas saja bangun berdiri dan bubar sambil beromong-omong dengan kawan-kawan sendiri ten-tang kelihayan Ouw Hui, keanehan Kie Loosam, kepandaian Kie Siauw Hong dan sebagainya. Me-reka semua merasa puas dan bergirang. Beberapa Cianpwee menghampiri Ouw Hui untuk diajak omong-omong, tapi pemuda itu buru-buru meng-angkat kedua tangannya dan lalu mengikuti Kie Siauw Hong masuk ke dalam gedung.

Gedung itu adalah miliknya seorang Boan yang menjadi anggota Hoa-kun-bun. Tak usah dikatakan lagi, tuan rumah berlaku sangat hormat kepada Ciangbunjin baru itu. Ouw Hui tetap mengenakan topengnya dan sesudah berada dalam sebuah kamar bersama Siauw Hong, Leng So dan It Hong, barulah ia mencopotkan kain kuning itu. "Kie Toako, ba-nyak terima kasih atas bantuanmu," katanya seraya menyoja. "Sesudah urusan beres, aku akan segera menyerahkan kedudukan Ciangbunjin ini kepada-mu." Siauw Hong tidak menjawab, ia hanya me-ngeluarkan suara di hidung.

Dengan penuh kekhawatiran, Ouw Hui segera menengok Ma It Hong. Paras muka nyonya itu yang sudah pingsan, berbaring hitam dan napasnya lemah sekali. Buru-buru Leng So merebahkannya di atas pembaringan dan lalu mengeluarkan sejumlah ja-rum emas dan tanpa membuka pakaian It Hong. lalu menancapkannya di tiga belas jalanan darah.

Setiap buntut jarum dibungkus dengan kapas dan si nona melakukan tugasnya dengan paras te-nang, sehingga Ouw Hui bernapas lebih lega.

Selang kira-kira seminuman teh, darah hitam mulai mengalir keluar dari buntut jarum dan me-resap di kapas itu. Ternyata, jarum-jarum itu ber-lubang di tengah-tengahnya dan darah mengandung racun keluar dari lubang itu.

Paras muka Leng So kelihatan girang dan sam-bil tersenyum ia mengeluarkan beberapa butir yo-wan biru dari peles obat. Sambil menyerahkan pel itu kepada Siauw Hong, ia berkata: "Kie Toako, pergilah kau mengaso dalam kamarmu. Sesudah menelan sepuluh butir yo-san, semua racun yang mengeram dalam tubuhmu akan hilang." Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Siauw Hong menyam-buti pel itu dan lalu berjalan ke luar.

Sekarang baru Ouw Hui mengerti, bahwa si adik tclah menggunakan racun untuk memaksa pemuda itu. Ia tertawa dan berkata: "Dengan menggunakan racun, kau sudah berbuat kebaikan untuk sesama manusia. Dalam hal ini, mungkin sekali kau malah lebih menang dari pada gurumu." Leng So hanya tersenyum. Sebagaimana diketa hui, ia sebenarnya bukan semata-mata mengguna¬kan racun, tapi sudah menaklukkannya dengan mem-buang budi kepada pemuda itu waktu dia sedang menghadapi bahaya. Sesudah itu, barulah ia meng¬gunakan sedikit obat yang menimbulkan rasa gatal, tapi tidak berbahaya. Yowan yang barusan diberi-kannya kepada Siauw Hong juga bukan obat pe-munah racun, tapi hanya pel untuk menyegarkan badan. Tapi Siauw Hong sendiri menduga, bahwa rasa gatal itu adalah akibat racun yangsangat hebat dan oleh karenanya, ia tidak berani membantah segala perintah si nona.

Sambil tersenyum, Leng So berkata dalam hati-nya: "Aku sudah bersumpah kepada Suhu, bahwa selama hidup, aku tak akan menggunakan racun untuk mencelakakan manusia, supaya orang tahu, bahwa biarpun Tok-chiu Yo-ong lihay luar biasa, ia belum pernah melakukan perbuatan berdosa." Dengan menggunakan jepitan, Leng So lalu menukar kapas yang sudah berwarna hitam. "Toa-koko," bisiknya. "Kau sudah letih sekali, menga-solah. Biar aku saja yang mengobati Ma Kouwnio. Legakanlah hatimu." Ouw Hui memang sudah cape sekali dan tanpa sungkan-sungkan, ia segera merebahkan diri di atas dipan. "Ciang-bun Loo-suhu, aku harap kau suka niemperhatikan sedikit pesananku," kata Leng So. "Selama dua belas jam, Ma Kouwnio tidak boleh diganggu dan ia pun tidak boleh bicara. Jika hawa di dalam tubuhnya buyar, maka racun tidak akan hisa keluar seanteronya. Kalau sedikit saja keting-galan dalam badannya, semua ilmu silat yang di-milikinya akan musnah seluruhnya." "Ciangbunjin dari See-gak Hoa-kun-bun yang bernama Thia Leng Ouw menerima baik perintah Thay-siang Ciangbunjin Thia Leng So," kata sang kakak sembari tertawa. "Semua perintah akan di-perhatikan betul dan tidak akan dilanggar." (Thay-siang berarti maha).

Si nona tertawa geli. "Apa benar aku menjadi Thay-siang Ciangbunjin?" tanyanya. "Bagaimana de¬ngan nona.... Ia tidak meneruskan perkataannya dan segera membungkuk untuk melihat keadaan Ma It Hong.

Selang beberapa saat, Leng So menengok. Ouw Hui belum pulas, ia mengawasi jendela dengan mata mcndelong.

"Toakoko, kau lagi pikir apa?" tanyanya.

"Aku sedang memikirkan pertemuan besok de ngan orang-orang Hoa-kun-bun," jawabnya. "Begitu melihat wajahku, mereka tentu akan curiga. Usiaku yang masih terlalu muda tidak cocok untuk menjadi suheng Kie Siauw Hong. Alasan apa yang harus diberikan olehku? Untung juga, Ma Kouwnio hanya memerlukan tempo dua belas jam. Hatiku merasa sangat tidak enak, tapi karena terpaksa, paling baik... paling baik...." "Paling baik kabur dengan melompat tembok," kata Leng So sambil tertawa.

"Benar!" kata sang kakak seraya tersenyum. "Kita masuk dengan melompati tembok dan keluar pun dengan melompati tembok." Si nona mengawasi muka Ouw Hui dan seperti orang yang sudah mengambil serupa keputusan, ia berkata: "Begitu sajalah." "Apa?" menegas Ouw Hui.

"Kita pernah menyamar dan sekarang biar kita menyamar lagi," jawabnya. "Aku akan memasang jenggot (janggut) pada dagumu dan memberi sedikit warna pada jenggot itu. Aku tanggung usiamu akan kelihatan lebih tua dua puluh tahun. Dengan me-megang peranan sebagai kakak seperguruan Kie Siauw Hong, kau harus berusia kira-kira empat puluh tahun." Ouw Hui jadi girang bukan main. "Bagus!" kata-nya. "Yang dibuat jengkel olehku adalah soal ini. Sesudah bermusuhan dengan Hok Kong An, sukar sekali aku dapat menghadiri pertemuan para Ciang-bunjin. Jie-moay, jika kau dapat mengubah paras mukaku sampai begitu rupa, sehingga orang tak akan dapat mengenalinya lagi wajahku yang asli, maka sebagai Ciangbunjin See-gak Hoa-kun-bun, dapatlah aku turut serta dalam pertemuan yang ramai itu." "Perlu apa Toako menghadiri pertemuan itu?" tanya si adik. "Asal kita bisa mempertahankan diri di tempat ini sampai besok, sampai Ma Kouwnio terlolos dari bahaya, kita sudah harus merasa puas. Perlu apa Toako menempuh bahaya?" Tapi Ouw Hui yang semangatnya sedang me-luap-luap lantas saja bertanya: "Jie-moay, jawab pertanyaanku: Apakah sesudah mengenakan alat penyamaran, orang masih bisa kenali aku atau tidak?" "Apa sukarnya menyamar sebagai seorang yang lebih tua?" si adik balas tanya. "Yang sulit adalah gerak-gerik dan cara bicara. Cara-caranya orang tua bereda dengan orang muda. Dalam hal ini, Toako harus dapat menyesuaikan diri." "Kakakmu akan berusaha sedapat mungkin," kata Ouw Hui. "Kita hanya perlu mengabui mereka untuk sementara waktu." "Baiklah, mari kita coba-coba," kata Leng So. "Toako, jika kau ingin juga menyaksikan pertemuan para Ciangbunjin, bolehlah dan aku akan mengikut dengan menyamar sebagai seorang nenek." Ouw Hui menepuk-nepuk tangan. "Bagus! Ba¬gus, Jie-moay, aku senang rnendengar perkataan-mu," katanya. "Memang juga kita tidak boleh me-nyia-nyiakan kesempatan yang begitu baik." "Sst! Perlahan sedikit," kata si adik sambil me-naruh jari tangan di mulutnya.

Ma It Hong kelihatan bergerak sedikit, untung juga ia tidak tersadar.

"Aku benar gila," kata Ouw Hui dengan suara menyesal.

Leng So lantas saja mengeluarkan bungkusan alat-alat menjahit dan mengambil gunting yang lalu digunakan untuk menggunting secekal rambutnya. Sesudah itu ia mengeluarkan semacam obat bubuk, menaruhnya ke dalam semangkok air teh dan lalu merendam rambutnya di dalam air itu. "Kau menga-solah sebentar," katanya. "Sesudah rambutku bet-ubah kaku seperti jenggot, aku akan panggil kau" Ouw Hui segera meramkan kedua matanya. Mengingat kepintaran matanya. Mengingat kepin-taran adik angkatnya, hatinya girang bercampur syukur. Karena terlalu capai, tak lama kemudian ia pulas, tapi sesudah mengalami banyak ketegangan di siang hari, dalam pulasnya ia mendapat rupa-rupa impian. Ia mimpi Ma It Hong mati dalam keadaan mengenaskan, ia mimpi menyatroni Iagi gedung Hok Kong An untuk membalas sakit hati, mimpi ditangkap oleh para Wie-su....

Tiba-tiba ia dengar suara orang memanggil di kupingnya: "Toako, kau mimpi apa?" Ia melompat bangun dan Leng So berdiri di depannya sambil tersenyum. "Jie-moay, pergi mengaso, biar aku yang mengawasi Ma Kouwnio," katanya dengan suara kasihan.

"Sebelum memasang alat penyamaran di muka-mu, hatiku belum enak," kata si adik yang lalu mengambil rambutnya dari dalam mangkok, selcni-bar demi selembar, dan memasangnya di bawah dagu Ouw Hui dengan menggunakan semacam lem. Pekerjaan itu meminta tempo dan kesabaran. Ber selang kira-kira satu jam, sesudah sinar matahari masuk dari jendela, barulah ia selrsai.

Ouw Hui segera menghampiri kaca dan begitu lihat mukanya, ia tertawa. Bahkan ia sendiri masih tak bisa mengenali Iagi wajahnya yang berjenggot dan paras mukanya yang kelihatan terlebih angker. "Jie-moay, aku senang sekali melihat mukaku ini," katanya. "Di kemudian hari aku tentu akan meme-lihara jenggot." Sesudah tak tidur semalam suntuk, Leng So tak tahan Iagi. Ia menungkurup di meja dan lantas saja pulas.

Dengan rasa terharu, Ouw Hui mengambil seli-mut dan menyelimuti tubuh adiknya yang kemudian dipondong dan direbahkan di atas dipan. Kemudian, sesudah memakai Iagi topeng kain kuning, ia pergi ke kamar Kie Siauw Hong.

"Kie-heng, kau sudah bangun?" ia memanggil.

"Siapa? Ada urusan apa?" tanya Siauw Hong.

Ouw Hui mendorong pintu dan bertindak ma¬suk. Siauw Hong kaget dan buru-buru bangun ber¬diri.

"Kie-heng, kedatanganku ini adalah untuk meng-haturkan maaf," kata Ouw Hui.

Siauw Hong tidak menjawab, tapi pada kedua matanya terlihat sorot penasaran dan kegusaran.

Sambil mengawasi pemuda itu, Ouw Hui ber-kata pula: "Ada suatu hal yang ingin kuterangkan kepadamu. Siauwtee sebenarnya tidak berniat un¬tuk merebut Ciangbunjin dari See-gak Hoa-kun-bun. Hanyalah karena terjadinya suatu kejadian luar biasa dan sebab tak ada lain jalan Iagi, maka mau tak mau, siauwtee sudah terpaksa merusak urusan Kie-heng." Sesudah berkata begitu, terang-terangan ia menceriterakan halnya Ma It Hong dan segala pengalamannya, dari kepala sampai di bun-tut. Hanya suatu hal yang disembunyikannya, yaitu nama Hok Kong An. la tidak memberitahukan, siapa yang meracuni Ma It Hong dan siapa yang mau menangkap mereka.

Mendengar penuturan Ouw Hui, perlahan-la-han paras muka Siauw Hong berubah sabar. Be-berapa kali ia mengeluarkan suara "hm", tapi tidak mengatakan suatu apa.

Sehabis menutur, dengan suara sungguh-sung-guh Ouw Hui berkata: "Kie-heng, perkataan se-orang laki-laki berat bagaikan gunung. Jika dalam tempo sepuluh hari, aku belum menyerahkan ke-dudukan Ciangbunjin kepadamu, biarlah aku binasa di bawah senjata tajam dan sesudah binasa, biarlah aku dicaci oleh orang-orang gagah dalam kalangan Kang-ouw." Dalam Rimba Persilatan, soal mati dianggap sebagai soal remah. Akan tetapi, dicaci oleh orang-orang gagah adalah kejadian yang dipandang paling memalukan. Mendengar sumpah Ouw Hui yang sangat berat itu, Siauw Hong lantas saja berkata: "Kedudukan Ciangbunjin itu tak usah kau yang menyerahkannya. Aku tahu, kepandaianmu sepu¬luh kali lipat lebih tinggi dari pada aku. Tapi kau bukan orang partai kami dan kau tak dapat menjadi Ciangbunjin." "Benar," kata Ouw Hui. "Sesudah pertemuan para Ciangbunjin berakhir, aku akan mengakui se¬gala apa dan akan meminta maaf di hadapan para tetua dari partaimu. Kemudian kalian dapat me-milih pula seorang Ciangbunjin dengan jalan pie-bu (adu silat). Apa kau setuju dengan rencanaku itu?" Mendengar itu, Siauw Hong senang. Ia meng-anggap, bahwa dalam Hoa-kun-bun, tiada seorang-pun yang dapat menandingi kepandaiannya. Merebut Ciangbunjin dalam sebuah pertandingan terbuka, banyak lebih terhormat dari pada menerimanya sebagai hadiah. Ia segera mengangguk dan berkata: "Aku setuju. Tapi Thia Toako...." Ouw Hui tertawa dan memutuskan perkataan orang: "Aku she Ouw. Orang yang she Thia adalah adik angkatku." Seraya berkata begitu, ia membuka topengnya.

Melihat jenggot yang hitam-kasar dan paras muka yang angker, Siauw Hong merasa kagum. "Ouw Toako, beberapa Cianpwee dari kaum kami sangat sukar diajak bicara," katanya. "Kalau nanti kau mengakui kesalahanmu, aku khawatir bakal timbul gelombang hebat. Walaupun benar kau me-miliki kepandaian tinggi, akan tetapi, tenaga satu orang sukar bisa melawan tenaga banyak orang. Dalam urusan besar, orang-orang See-gak Hoa-kun-bun selamanya bersatu padu." Ouw Hui tertawa. "Hal itu sudah dipikir oleh-ku," katanya. "Dalam pertemuan para Ciangbunjin, aku akan berusaha sedapat mungkin untuk merebut kedudukan tertinggi, supaya dengan pahala aku dapat menebus dosa." Siauw Hong manggut-manggutkan kepalanya dan kemudian menghela napas. "Sungguh sayang, karena mengeramnya racun hebat dalam tubuhku, aku tak berani menggunakan terlalu banyak tena¬ga," katanya dengan suara menyesal. "Kalau tidak begitu, aku dapat menjalankan ilmu silat Hoa-kun-bun untuk diperlihatkan kepada Ouw Toako, su paya dalam pertempuran nanti, rahasia Toako tak sampai terbuka." Ouw Hui tertawa terbahak-bahak. la bangun berdiri dan menyoja sambil membungkuk. "Kie-heng, aku mewakili Gie-moay untuk menghaturkan maaf kepadamu," katanya.

Siauw Hong membalas hormat dengan perasaan mendongkol.

"Kurang ajar! Aku kena racun, bukan lelucon," katanya di dalam hati. Dalam kemendongkolannya, parasnya lantas saja berubah.

"Kie-heng, boleh aku lihat lukamu?" tanya Ouw Hui.

Pemuda itu segera menggulung tangan bajunya dan pada lengannya terdapat bengkak sebesar telur itik yang berwarna hitam, sedang di bagian yang terluka mengembang darah hitam.

"Dalam menggunakan obat, Jie-moay sungguh-sungguh jarang tandingan," kata Ouw Hui dalam hatinya. "Jika aku mendapat luka begitu, aku pun tak akan enak makan dan enak tidur." la tersenyum dan bertanya pula: "Bagaimana dirasakan olehmu?" "Baal, bebas dari rasa sakit," jawabnya.

Sekarang Ouw Hui baru tahu, bahwa adiknya telah menggunakan obat yang menimbulkan rasa baal. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia men-cekal lengan Siauw Hong dan mengisap luka itu.

Siauw Hong kaget tak kepalang. "Hei! Apa kau mau mati?" teriaknya. Ia coba memberontak, tapi cekalan Ouw Hui keras bagaikan jepitan besi.

Sesudah mengisap beberapa kali dan mem-buang ludah, Ouw Hui tertawa bekakakan: "Kie-heng jangan takut, racun itu racun palsu," katanya.

"Apa?" menegas Siauw Hong.

"Dengan Kie-heng, adikku sama sekali tidak mempunyai ganjelan," jawabnya. "Tak nanti ia men-celakakan manusia dengan sembarangan. Ia hanya menggunakan obat baal. Lihatlah, aku mengisap tanpa takut-takut. Legakanlah hatimu." Pemuda itu kaget bercampur girang. Tapi dalam kegirangan itu masih terdapat kesangsian. Sambil mengawasi Ouw Hui, ia berkata: "Ouw-heng... kau... kau bicara begitu... apakah kau khawatir aku tidak akan menurut perintahmu?" "Di dalam pergaulan, seorang lelaki berpegang kepada kepercayaan," jawabnya dengan suara sung-guh-sungguh. "Sesudah mendapat kenyataan, bah¬wa Kie-heng adalah seorang yang mempunyai pri-budi luhur, aku merasa tak pantas jika membiarkan kau khawatir lebih lama lagi." Bukan main girangnya Siauw Hong. Sambil menepuk meja, ia berkata: "Ouw-heng, mulai detik ini, kau adalah sahabatku. Andaikata kau berdosa terhadap kaisar, sedikit pun aku tak akan ragu-ragu untuk memberi bantuan." "Terima kasih," kata Ouw Hui. "Orang yang dilanggar olehku, biarpun bukan kaisar, mempunyai kekuasan yang tidak banyak bedanya dari pada kaisar sendiri. Kie-heng, dalam silatmu semalam terdapat satu pukulan yang tidak begitu dimengerti olehku. Kau memutar tubuh, mengangkat lutut, memukul dengan telapak tangan dan kemudian melompat maju. Waktu melompat, sedang badanmu berada di tengah udara, mengapa arah gerakanmu berubah sedikit?" Pukulan yang dimaksudkan Ouw Hui adalah Ya-ma Hui-siang Coan-tek-heng (Kuda liar pulang ke kampung halaman), serupa pukulan yang sangat sulit.

Mendengar pertanyaan Ouw Hui, Siauw Hong terkesiap. la tak nyana, sahabat baru itu mempunyai mata yang begitu tajam. Memang juga, waktu me-lompat, tiba-tiba ia ingat racun yang mengeram dalam tubuhnya dan dalam jengkelnya, perhatian-nya terpecah dan gerakannya agak berubah. "Ouw-heng, aku merasa takluk akan ketajaman matamu," katanya dengan suara kagum. "Memang benar pu¬kulan itu tidak begitu tepat dijalankannya." Sehabis berkata begitu, ia lantas saja mengulangi Ya-ma Hui-siang Coan-tek-heng.

Ouw Hui manggut-manggutkan kepala. "Begitu baru benar," katanya. "Kalau semalam Kie-heng berhadapan dengan musuh, kesalahanmu itu dapat berakibat jelek." Sesudah tahu, bahwa dirinya tidak kena racun, semangat Kie Siauw Hong terbangun dan ia segera jalankan, dari bermula sampai di akhirnya, dua belas rupa pukulan See-gak Hoa-kun-bun. Ouw Hui memperhatihan dengan seksama dan biarpun dalam tempo cepat ia tak dapat ingat semua pukulan-pukulan itu, tapi sebagai seorang ahli, ia segera dapat menangkap intisari dari ilmu silat itu. "Ilmu silat partaimu sangat dalam dan jika dipelajari serta diselidiki lebih lanjut, kemungkinan-kemungkinan-nya tak ada batasnya," katanya. "Menurut pen-dapatku, jika seseorang bisa menyelami sampai ke dasar-dasarnya satu saja dari dua belas rupa ilmu pukulan itu, ia sudah bisa menjagoi dalam Rimba Persilatan." Mendengar pujian itu, senang sekali hati Kie Siauw Hong. "Benar," katanya. "Dalam kaum kami terdapat kata-kata yang berbunyi begini: 'Hoa-kun Su-sip-pat, Gee-seng-heng-thian-hee.' Empat pu-luh delapan pukulan itu terbagi seperti berikut: Delapan belas pukulan bagian pertama, dua belas pukulan bagian atas dan delapan belas pukulan bagian menggunakan senjata. Dalam See-gak Hoa-kun-bun, hanya beberapa orang saja yang paham akan empat puluh delapan rupa pukulan itu." Semakin berunding tentang ilmu silat, dengan disertai latihan, mereka merasa semakin cocok dan tanpa merasa, mereka sudah beromong-omong sam¬pai tengah hari. Beberapa kali tuan rumah me-merintahkan pelayan pergi mengundang Ouw Hui untuk bersantap, akan tetapi, karena melihat kedua tetamu itu sedang beromong-omong sambil berlatih silat, pelayan tersebut tidak berani membuka mulut. Selagi Kie Siauw Hong menyapu dengan kakinya sambil melompat tinggi, tiba-tiba terdengar seruan: "Sungguh indah Hong-coan Pek-lek Siang-Kie-thian (Angin memutar, geledek menyambar naik sampai di sembilan lapisan langit) itu!" Ouw Hui menengok dan melihat, bahwa orang yang memuji adalah si kakek she Coa. Buru-buru ia merangkap kedua tangannya dan lalu menggapai sambil ter-tawa.

Orang tua she Coa itu, yang bernama Wie, mempunyai kedudukan tinggi dalam See-gak Hoa-kun-bun. Melihat Ouw Hui sudah melepaskan to-pengnya, dengan sorot mata tajam ia mengawasi muka pemuda itu yang penuh jenggot kasar dan kelihatannya angker sekali. "Aku ingin melaporkan kepada Ciangbun, bahwa Hok Thayswee telah me  ngirim surat," katanya.

Ouw Hui terkejut, tapi dengan paras tidak berubah, ia menanya: "Surat apa?" "Surat itu dialamatkan kepadaku dan menanya-kan soal pemilihan Ciangbunjin kita," menerangkan Coa Wie. "Di dalam surat dilampirkan empat lembar undangan dengan permintaan, supaya pada harian Tiong-chiu, Ciangbunjin kita menghadiri Thian-hee Ciangbunjin Tayhwee dengan mengajak tiga orang murid." Ouw Hui lega hatinya. Semula ia menduga rahasianya bocor dan Hok Kong An menulis surat untuk membekuk dirinya. Ia adalah seorang yang hati-hati dan lalu mengambil surat itu dari tangan Coa Wie dan membacanya beberapa kali. "Kalau begitu, biarlah Coa Supeh dan Kie Sutee yang mengikuti aku," katanya. "Bersama Sumoayku, kita berempat menghadiri pertemuan para Ciangbunjin itu." Coa Wie dan Kie Siauw Hong girang sekali. Mereka menghaturkan terima kasih berulang-ulang untuk kehormatan yang diberikannya.

Sesudah mereka selesai bicara, seorang pelayan yang menunggu di pinggiran, segera mendekati dan berkata: "Thia-ya, Coa-ya dan Kie-ya diundang un¬tuk bersantap." Ouw Hui manggutkan kepalanya, tapi baru saja ia hendak memanggil Leng So, tiba-tiba terdengar suara si adik: "Toako, coba ke mari!" "Jie-wie pergi duluan, aku akan menyusul," kata Ouw Hui yang buru-buru pergi ke kamar Leng So, karena mendengar nada suara kebingungan dari adiknya. Begitu menyingkap tirai, ia dengar suara Ma It Hong: "Mana anakku? Mana.... Aku ingin bertemu dengan mereka...." Alis Leng So berkerut: "Sedari tadi ia me-nyebut-nyebut kedua puteranya," bisiknya. "Ia bisa celaka." "Kedua anak itu berada dalam tangan perem-puan kejam," kata Ouw Hui. "Untuk merebutnya, kita tidak boleh bertindak secara ceroboh." "Ma Kouwnio tidak sabaran," kata pula Leng So. "Jika ia berteriak-teriak, racun yang masih me-ngeram dalam tubuhnya dapat mengambil jiwa-nya...." Ouw Hui berpikir sejenak dan kemudian ber¬kata: "Coba aku membujuk dia." "Menurut penglihatan, Ma Kouwnio was-was dan ia sukar dapat disadarkan dengan bujukan," kata si adik. "Jika ia bersedih, racun tidak bisa keluar seanteronya dari badannya dan obatku tak akan bisa masuk ke semua bagian tubuhnya." Ouw Hui bingung bukan main, ia tak dapat lihat jalan yang baik. Selang beberapa saat, ia berkata: "Jalan satu-satunya adalah menyatroni lagi gedung Hok Kong An dan coba merebut kedua anak itu dengan kekerasan. Tapi paling cepat kita harus menunggu sampai malam ini." Leng So terkesiap. "Menyatroni lagi gedung Hok Kong An?" ia menegaskan. "Apa kau mau cari mati?" Sang kakak tertawa getir. Ia bukan tidak tahu, bahwa sesudah terjadi peristiwa semalam, gedung itu pasti dijaga luar biasa keras. Menerjang masuk ke gedung itu dapat dikatakan suatu kemustahilan Kalau ia mempunyai sejumlah kawan yang berke pandaian tinggi, mungkin juga masih bisa berhasil  Tapi sekarang, ia hanya seorang diri dan ditambah dengan adiknya serta Kie Siauw Hong, paling ba-nyak hanya tiga orang, yang sudah pasti tidak akan bisa berhasil.

Untuk beberapa lama, ia menundukkan kepala dan mengasah otak. Sementara itu, Ma It Hong terus menerus memanggil-manggil puteranya. Ia mengerutkan alis dan berkata dengan suara kha-watir: "Jie-moay, bagaimana baiknya?" "Jika ia terus berada dalam keadaan begini, tiga had lagi racun yang masih mengeram dalam tubuh-nya akan mengamuk," jawabnya. "Seorang manusia hanya bisa berusaha sedapat mungkin. Manakala kita gagal menolong jiwanya... ya! apa mau dikata? Itulah sudah nasib, kita harus menunduk terhadap takdir." "Mari kita bersantap dulu, sebentar baru kita berdamai lagi," kata Ouw Hui.

Sesudah makan, Leng So memberikan obat pula kepada It Hong. Sekarang nyonya itu memanggil-manggil Hok Kong An: "Kong-ko.... Kong-ko... me-ngapa kau tidak meladeni aku? Kamu membawa anakku... di mana adanya mereka? Ayo... bawa ke mari...." Ouw Hui gusar bercampur duka, sehingga paras mukanya merah padam. Leng So menarik tangan kakaknya dan mengajaknya ke sebuah kamar yang kecil. "Toako," katanya dengan paras muka sung-guh-sungguh. "Apakah aku pernah bicara main-main denganmu?" Ouw Hui heran dan sambil mengawasi adiknya, ia menggelengkan kepala. "Tidak, belum pernah," jawabnya.

"Baiklah," kata si adik. "Sekarang aku ingin memberitahukan suatu hal kepadamu. Dengarlah! Jika kau pergi ke gedung Hok Kong An untuk merebut kedua anaknya Ma Kouwnio, maka kau harus mengundang lain tabib dan aku sendiri akan segera berangkat pulang ke Selatan." Ouw Hui terkejut, tapi belum sempat ia bicara, adiknya sudah meninggalkan kamar itu. Ia mengerti, bahwa si nona mengeluarkan ancaman karena kha-watir ia menyatroni gedung Hok Kong An dan mengantarkan jiwa. Akan tetapi, apa yang sudah terjadi menyentuh jiwa ksatrianya. Di depan mata-nya kembali terbayang kejadian pada dahulu hari, di Siang-kee-po, pada waktu Ma It Hong berusaha untuk menolong dirinya yang sedang digantung dan dipukuli. Ada budi tidak dibalas, bukan perbuatan laki-laki sejati. Ia sebenarnya sudah mengambil keputusan untuk menempuh bahaya, akan tetapi, tiba-tiba Leng So mengeluarkan ancaman itu. Jika ia menyatroni gedung Hok Kong An dan si adik benar-benar meninggalkannya, jiwa Ma It Hong tetap sukar ditolong.

Dengan pikiran kusut dan hati bersangsi, ia berjalan keluar sambil menundukkan kepala. Ia berjalan terus tanpa juntrungan. Tanpa merasa, kedua kakinya membawanya ke dekat gedung Hok Kong An. Ia mendapat kenyataan, bahwa setiap lima sampai sepuluh tindak, dijaga oleh dua orang, Wie-su yang bersenjata lengkap. Penjagaan adalah sedemikian keras, sehingga, jangankan masuk, se-dangkan mendekati saja gedung itu orang bisa di-tangkap.

Ouw Hui tidak berani berdiam iama-lama di  situ. Dengan pikiran bingung, ia berjalan terus dan sesudah membelok di dua tikungan, ia bertemu dengan sebuah ciu-lauw (restoran berloteng). Ia masuk dan minta makanan kecil serta arak untuk menghibur hatinya yang berduka. Baru saja men-ceguk beberapa gelas, tiba-tiba ia dengar suara orang bicara di ruangan sebelah. "Ong Toako, cu-kuplah, kita tidak boleh minum terlalu banyak," kata seorang. "Sebentar kita harus bertugas dan jika muka merah lantaran arak, kita bisa mendapat celaan." Seorang lain tertawa terbahak-bahak seraya berkata: "Baiklah. Kita minum lagi tiga cawan dan sesudah itu, kita boleh lantas makan nasi." Ouw Hui segera mengenali, bahwa orang itu adalah Ong Tiat Gok. "Hm... dalam dunia ini me-mang sering terjadi kejadian kebetulan," katanya di dalam hati. "Tak dinyana, aku bisa bertemu de-ngannya di tempat ini." "Ong Toako," kata pula orang yang pertama. "Kau mengatakan, bahwa kau kenal Ouw Hui. Ma-nusia bagaimana sih dia?" Mendengar orang menyebut namanya, Ouw Hui terkejut dan lalu memasang kuping terlebih terang. Tiat Gok menghela napas panjang dan berkata dengan suara perlahan: "Ouw Hui benar-benar se¬orang luar biasa. Dalam usia yang masih begitu muda, dia bukan saja memiliki kepandaian yang sangat tinggi, tapi juga sangat pandai bergaul, se hingga tidaklah salah jika dikatakan, bahwa ia ada¬lah seorang gagah. Tapi mengapa dia bermusuhan dengan Hok Thayswee dan semalam dia masuk ke gedung Thayswee untuk melakukan pembunuhan?" Kawannya tertawa. "Ong Toako, andaikata se¬sudah makan kita bertemu dengan Ouw Hui dan berhasil membekuknya, kita pasti mendapat hadiah yang berharga," katanya.

Ong Tiat Gok tertawa bekakakan. "Ha-ha-ha! Enak sungguh kau menggoyang lidah!?" katanya dengan suara menjengeki. "Orang yang berkepan-daian seperti Thio Hek, dua puluh Thio Hek masih belum tentu dapat menangkapnya." Thio Hek mendongkol. "Dan kau?" tanyanya. "Berapa banyak Ong Tiat Gok baru bisa mem¬bekuknya?" "Aku lebih-lebih lagi, empat puluh Ong Tiat Gok tak usah harap bisa menyentuh tubuhnya." jawabnya.

"Apa dia memiliki tiga kepala enam tangan, sehingga kau jadi begitu jeri?" tanya Thio Hek sambil tertawa dingin.

Mendengar pembicaraan itu, tiba-tiba saja Ouw Hui mendapat serupa ingatan dan tanpa memikir panjang-panjang lagi, ia segera pergi ke ruangan sebelah. "Ong Toako!" serunya. "Sungguh kebetul¬an, kau pun berada di sini, bersama-sama Thio Toako. Siauw Jie? Siauw Jie! Bawa makanan dan arakku ke mari." Melihat masuknya Ouw Hui, Tiat Giok dan Thio Hek terkesiap. Mereka tak kenal orang yang berjenggot itu, tapi samar-samar Tiat Gok merasa, bahwa suara si jenggot tidak asing lagi bagi kuping-nya. "Di Kie Eng Lauw aku pernah bertemu dengan Ciu Tiat Ciauw Toako dan Can Tiat Yo Jieko, sedang kita berdua pernah makan-minum bersama-sama," kata Ouw Hui.

Ong Tiat Gok mengangguk dan terus mengasah otak, tapi tak dapat ia menebak siapa adanya orang itu. Didengar dari perkataannya, orang itu menge-nal baik kedua kakak seperguruannya dan ia sendiri. Tapi mengapa ia tak ingat siapa orang itu? Sementara itu, pelayan rumah makan sudah memindahkan makanan dan arak Ouw Hui ke ruangan itu.

"Sudah lama aku tidak makan-minum dengan Ong Toako dan Thio Toako, biarlah hari ini aku yang menjadi tuan rumah," kata Ouw Hui seraya melemparkan sepotong perak yang beratnya se-puluh tahil ke atas meja dan berkata pula seraya menengok kepada pelayan restoran: "Kau pegang uang itu. Bawa kemari sayur-sayur yang paling lezat dan arak yang paling baik." Melihat keroyalan tamu itu, si pelayan jadi girang dan sambil manggut-manggut berulang-ulang, ia berjalan ke luar untuk memenuhi pesanan itu. Tak lama kemudian, di atas meja sudah diatur makanan dan arak yang sedap-wangi.

Ouw Hui beromong-omong sambil tertawa-tawa. I a menyebut-nyebut Cin Nay Cie, In Tiong Shiang, Ong Kiam Eng, Ong Kiam Kiat dan sebagainya, seperti juga ia bersahabat baik dengan orang-orang itu, sebentar ia bicara tentang ilmu silat, sebentar tentang judi. Ong Tiat Gok jengkel dan bingung. Si jenggot bicara seperti seorang sahabat lama dan jika ia menanyakan namanya, ia melanggar adat istiadat. Tapi jika tidak menanya, sungguh-sungguh ia tak ingat siapa adanya orang itu. Di lain pihak, Thio Hek menganggap, bahwa Ouw Hui adalah sahabat Tiat Gok dan melihat keroyalan serta cara-cara yang terbuka dari sahabat baru itu, ia jadi gembira dan turut bicara secara bebas.

Sesudah makan-minum beberapa lama, Ong Tiat Gok tak dapat menahan sabar lagi. Dengan suara terputus-putus, ia segera berkata: "Toako... harap... harap kau suka maafkan aku... aku benar-benar seorang... edan...!" Ia menabok mukanya yang bersemu merah dan berkata pula: "Aku tak ingat she dan nama Toako... aku minta dimaafkan... aku benar-benar gila...!" Ouw Hui tertawa. "Orang yang mempunyai ba-nyak pekerjaan, memang sangat pelupaan," kata-nya. "Bukankah semalam Toako turut bersantap dalam rumahku? Hanya sayang, Pay-kiu tidak di-teruskan." Bukan main kagetnya Tiat Gok. "Kau...! kau...!" serunya dengan suara tertawan.

"Siauwtee memang Ouw Hui!" jawabnya seraya tersenyum.

Tiat Gok dan Thio Hek serentak melompat bangun, mereka mengawasi dengan mata membe-lalak, tanpa dapat mengeluarkan sepatah kata. Ke-jadian semalam sudah menggemparkan seluruh kota raja dan malam-malam telah diadakan razia besar-besaran. Hampir setiap penduduk — apa pula Wie-su — sudah tahu, bahwa dengan seorang diri Ouw Hui telah menyatroni gedung Hok Kong An untuk coba membunuh pembesar itu.

"Mengapa kalian begitu kaget?" kata Ouw Hui sambil tersenyum. "Siauwtee hanya memakai jeng¬got." "Sst! Perlahan!" bisik Tiat Gok. "Ouw Toako, semua orang sedang coba cari kau. Kau sungguh bernyali besar. Bagaimana kau masih berani datang ke sini untuk makan-minum?" "Takut apa?" Ouw Hui balas menanya. "Ong Toako saja masih tidak dapat mengenali aku. Apa lagi orang lain?" "Di kota Pakkhia kau tidak boleh menaruh kaki lagi," kata Tiat Gok dengan suara khawatir. "Le-kaslah berlalu." "Terima kasih atas perhatian Ong Toako ter-hadap keselamatanku," kata Ouw Hui yang diam-diam memuji kebaikan hatinya orang she Ong itu.

Tapi paras muka Thio Hek lantas saja berubah. la menundukkan kepala dan tidak turut bicara.

"Had ini di pintu-pintu kota diadakan peme-riksaan yang sangat keras," kata Tiat Gok. "Kalau mau keluar kota, kau harus sangat berhati-hati. Paling baik biarlah aku dan Thio Toako yang mengantarkan kau. Mana Thia Kouwnio?" Ouw Hui menggelcngkan kepalanya. "Untuk sementara aku tidak akan keluar dari kota ini ka-rena masih ada perhitungan yang belum dibereskan dengan Hok Thayswee," katanya dengan tenang.

Paras muka Thio Hek semakin berubah.

"Ouw Toako," kata Tiat Gok. "Kepandaianku kalah jauh dengan kepandaianmu, tapi sekarang aku ingin mengutarakan isi hatiku. Hok Thayswee mempunyai kekuasaan besar dan kau pasti tak akan dapat melawannya. Aku makan nasinya dan me-nurut pantas, tak dapat aku mengambil pihakmu. Hari ini, dengan menempuh bahaya, aku bersedia untuk mengantarkan kau keluar kota. Dengarlah nasihatku dan lekaslah singkirkan diri." "Tai bisa, Ong Toako, tak bisa aku berlalu sekarang," kata Ouw Hui. "Apakah kau tahu, sebab apa aku jadi bermusuhan dengan Hok Thayswee?" "Tak tahu, aku justru ingin menanyakan," jawab-nya.

Ouw Hui lantas saja menuturkan dari kepala sampai di buntut  cara bagaimana pada belasan tahun yang lalu, Hok Kong An telah bertemu de¬ngan Ma It Hong di Siang-kee-po, cara bagaimana mereka mendapat dua orang putera dan cara bagai¬mana Ma It Hong telah diracuni oleh ibu Hok Kong An, sedang kedua puteranya dirampas oleh nyonya itu. Akhirnya, ia memberitahukan, bahwa ia telah mengambil putusan pasti untuk merampas pulang kedua anak itu untuk dikembalikan kepada Ma It Hong.

Semakin mendengar cerita itu, semakin panas hati Ong Tiat Gok. Sehabis Ouw Hui menutur ia menumbuk meja seraya berkata: "Aku tak nyana, manusia bisa berlaku begitu kejam, Ouw Toako, kau benar-benar seorang gagah yang harus dikagumi orang. Tapi gedung Hok Thayswee dijaga sangat keras oleh banyak sekali orang pandai, sehingga kau tak usah harap bisa berhasil. Jalan satu-satunya adalah menunggu sampai keadaan mereda dan se-sudah penjagaan kendor, barulah kau boleh coba-coba menyatroni lagi gedung itu." "Tapi aku mempunyai serupa rencana," kata Ouw Hui. "Aku ingin meminjam seragam Thio Toa¬ko dan masuk ke gedung itu dengan menyamar sebagai Wie-su. Untuk bisa masuk, aku ingin me-mohon pertolongan Ong Toako." Paras muka Thio Hek lantas saja berubah gusar, sedang tangannya meraba gagang golok. Tapi Ouw Hui tetap bersikap tenang. Dengan tangan kiri ia mengangkat cawan arak dan menceguk separuh isinya, sedang tangan kanannya mengangkat sumpit untuk menyumpit sayur. Mendadak, mendadak saja, tangan kirinya diayunkan dan arak menyambar muka Thio Hek, yang, sambil mengeluarkan seruah ter-tahan, segera mengusap muka. Hampir berbareng, sumpit Ouw Hui menyambar dadanya dan menotok jalanan darah Sin-cong dan Tiong-teng-hiat. Sesaat itu juga, Thio Hek tidak berdaya dan badannya rubuh di kursi.

Mendengar seruan Thio Hek, pelayan restoran masuk ke kamar makan. "Tuan ini mabuk, aku harus cari rumah penginapan supaya ia dapat mengaso," kata Ouw Hui.

"Lima rumah dari sini terdapat rumah pengi¬napan An Wan," kata si pelayan. "Biar aku yang menggendong." Ouw Hui jadi girang dan memberi sepotong perak kepadanya. Si pelayan segera menggendong Thio Hek ke rumah penginapan itu, dengan diikuti Ouw Hui dan Ong Tiat Gok. Ouw Hui minta sebuah kamar yang paling baik dan sesudah mengunci pin-tu, ia kembali menotok tiga jalanan darah Thio Hek, sehingga dalam tempo dua belas jam, ia tak akan bisa berkutik.

Ong Tiat Gok bingung bukan main, ia merasa seolah-olah disiram dengan setahang air dingin. Sepak terjang dan keberanian Ouw Hui dalam me-nolong sesama manusia, mengagumkan sangat hati-nya. Tapi, mengingat bahayanya pekerjaan itu, bulu romanya berdiri semua. Dengan tenang Ouw Hui membuka pakaian luarnya dan seragam Thio Hek, akan kemudian, sesudah memakaikan pakaiannya di tubuhnya Wie-su itu, ia berdiri mengenakan seragam tersebut. Untung juga besar badannya ti¬dak berbeda dengan besar badan Thio Hek.

"Aku bertugas pada Sin-sie (antara jam tiga dan lima sore)," menerangkan Tiat Gok. "Temponya sudah hampir sampai." "Ong Toako, aku minta kau melaporkan, bahwa Thio Toako sakit dan tidak dapat bertugas," kata Ouw Hui. "Aku menunggu di sini dan sebentar kira-kira tengah malam, aku minta kau datang untuk mengajak aku masuk ke gedung Hok Thayswee." Tiat Gok mengawasi pemuda itu dengan mata mendelong. Ia tak dapat segera mengambil ke-putusan. Ia mengerti, bahwa sepatah kata yang diucapkannya dapat mengubah seluruh penghi-dupannya, bahkan bersangkut paut dengan soal mati-hidupnya. Jika ia mau jadi seorang gagah, seorang ksatria sejati, maka ia harus mencoret se-tiap impian untuk memperoleh pangkat dan harta. Jika ia ingin tetap menjadi pengikut Hok Thayswee yang setia, ia harus melaporkan kejadian itu.

Ouw Hui mengerti apa yang dipikir Tiat Gok. "Ong Toako," katanya. "Urusan ini memang sangat sulit dan kau tak usah mengambil keputusan se-karang juga." Ong Tiat Gok manggut-manggutkan kepalanya dan lalu meninggalkan rumah penginapan itu. Ouw Hui segera merebahkan dirinya di atas pembaringan untuk mengaso. Ia tahu, bahwa ia sekarang sedang berjudi dan taruhannya adalah jiwanya sendiri.

Dengan penuh kesangsian, ia merenungkan ke-mungkinan-kemungkinan. Mungkin sekali sebentar tengah malam, Ong Tiat Gok akan datang seorang diri dan mengajaknya masuk ke dalam gedung Hok Kong An. Akan tetapi, jika begitu, ia menempatkan dirinya dalam kedudukan yang sangat berbahaya. Dengan dia dan Ma It Hong, Tiat Gok tidak mem-punyai hubungan rapat. Apakah ia sudi memper-taruhkan jiwanya untuk kepentingan dua orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya sendiri? Kemungkinan itu kecil, apa pula jika di-ingat, bahwa ia sudah bekerja lama di bawah Hok Kong An dan pada umumnya, manusia sangat ke-maruk akan pangkat dan harta.

Jika Tiat Gok ingin mendapat pahala, maka sebentar malam, hotel itu tentu akan dikurung dan ia bakal membuang jiwa.

Ouw Hui mengerti, bahwa bagi Ong Tiat Gok tidak ada jalan sama tengah. Jika ia tidak me-laporkan, Thio Hek tentu bakal melaporkan soal itu. Bagi Tiat Gok hanya terbuka dua jalan: Mem-bantu Ouw Hui demi keadilan atau bersetia kepada Hok Kong An.

Ya! Ia memang sedang memegang beberapa lembar kartu Pay-kiu. Kalau kalah ia harus mem-bayar dengan jiwanya. Menang kalahnya tergantung atas keputusan Ong Tiat Gok. Ia yakin, Tiat Gok bukan seorang jahat, tapi bahaya benar-benar ter-lalu besar, sedang dari dirinya, Tiat Gok sedikit pun tidak dapat mengharap balasan apa-apa.

Tapi sebagai orang yang bernyali luar biasa besar, Ouw Hui segera juga dapat menenteramkan hatinya dan tak lama kemudian, ia pulas.

Sesudah pulas beberapa lama, dalam keadaan setengah sadar, ia dengar suara ribut-ribut. Dengan cepat ia melompat bangun. "Benar, aku ingin cari seorang perwira yang memakai tanda Hian," de-mikian terdengar suara seseorang. "Kalau tidak salah, ia di sini. Sekarang ada perintah penting untuknya. Coba kau tengok." Mendengar suara itu bukan suara Ong Tiat Gok, Ouw Hui terkesiap, "Huh-huh! Sekali ini aku kalah," katanya di dalam hati dan sambil mencekal golok, ia melongok ke luar jendela. Di luar gelap gulita dan sunyi senyap. Dengan cepat ia melompat ke atas genteng dan memasang kuping.

Karena Tiat Gok tidak datang sendiri, ia lantas saja menduga, bahwa orang she Tiat itu sudah mengkhianati dirinya. Tapi ia merasa heran, me-ngapa rumah penginapan itu tidak dikurung musuh. Biar bagaimanapun jua, hatinya merasa agak lega.

Sementara itu, ia lihat seorang pelayan sudah menghampiri kamarnya dengan tangan mencekal ciak-tay. "Kun-ya (tuan perwira), ada orang cari kau," katanya sambil mengetuk pintu.

Buru-buru Ouw Hui melompat masuk lagi ke kamarnya dengan ambil jalan dari jendela. "Siapa? Masuklah," katanya.

Si pelayan lantas saja membuka pintu, ber-tindak masuk dan menaruh ciak-tay di atas meja. "Apa Kun-ya itu belum tersadar?" tanyanya. "Kalau belum sadar, apa perlu kubuat semangkok obat untuk menyadarkannya?" "Tak usah!" kata Ouw Hui, matanya melirik si perwira yang berdiri di belakang pelayan itu. Per¬wira itu berusia kira-kira empat puluh tahun dan paras mukanya tenang luar biasa. "Lihay sungguh orang ini!" kata Ouw Hui di dalam hati. "Ia berani masuk ke dalam kamarku seorang diri dan parasnya sedikit pun tidak berubah. Apa dia mempunyai kepandaian luar biasa dan tidak memandang aku sebelah mata?" "Apa Toako Thio Toako?" tanya Wie-su itu. "Kita belum pernah bertemu. Aku she Jim, namaku Thong Bu dari Pasukan Keempat." "Oh, Jim Toako, aku merasa beruntung hari ini bisa berkenalan dengan Toako," kata Ouw Hui. "Memang karena dalam pasukan terdapat banyak sekali orang, kita belum mendapat kesempatan un-tuk berkenalan." "Benar," kata Thong Bu. "Atasanku telah me-merintahkan aku membawa sepucuk surat perintah untuk Thio Toako." Sambil berkata begitu, dari sakunya ia mengeluarkan sebuah amplop.

Ouw Hui menyambuti amplop itu yang dicap dengan empat huruf merah "Peng-po Ceng-tong" (Departemen Peperangan) di sudut kiri atas. Di tengah-tengah amplop itu terdapat tulisan yang berbunyi: "Untuk Thio Hek, Pasukan Ketiga, di rumah penginapan An Wan." Sesudah mendapat pengalaman getir di gedung Hok Kong An, di mana kedua tangannya dijepit dengan perkakas rahasia, kali ini Ouw Hui berlaku lebih hati-hati. Lebih dulu ia memijit amplop itu dan sesudah mendapat ke-nyataan, bahwa di dalamnya tidak disembunyikan alat rahasia, ia segera merobeknya dan mengeluar¬kan selembar kertas dari dalamnya. Dengan per-tolongan sinar lilin, ia segera membaca tulisan di kertas itu. Tiba-tiba jantungnya memukul lebih ke-ras dan hatinya penuh kesangsian. Mengapa? Ka¬rena di atas kertas itu tidak ada tulisannya dan hanya terdapat sebuah lukisan tiauw-sie-kwie (setan dari orang yang mati di gantung) yang sedang meng-gapai-gapai seorang manusia, supaya dia turut naik ke tiang penggantungan. Menurut ketahayulan pada jaman itu jika seseorang mati digantung maka roh-nya akan menjadi setan yang akan menggunakan segala daya upaya untuk membujuk seorang ma¬nusia lain menggantung diri guna menggantikannya sebagai setan. Sesudah mempunyai pengganti, baru-lah setan yang pertama bisa dilahirkan lagi ke dalam dunia sebagai manusia.

Sesudah berpikir sejenak, Ouw Hui bertanya: "Jim Toako apa malam ini kau yang bertugas dalam gedung Hok Thayswee?" "Benar," jawabnya. "Siauwteesekarang mau pergi ke situ." Ia memutar badan dan segera bertindak ke luar.

"Tunggu dulu. Aku minta tanya, siapa yang menyuruh Toako menyampaikan surat perintah ini kepadaku?" tanya Ouw Hui.

"Lim Twie-thio," jawabnya. (Twie-thio = Ke-pala Pasukan).

Sekarang Ouw Hui dapat menebak latar be-lakang lukisan itu. Rupanya, karena tidak dapat mengambil keputusan sendiri Ong Tiat Gok telah berdamai dengan Toasukonya, yaitu Ciu Tiat Ciauw. Mungkin sekali, karena mengingat budi Ouw Hui yang sudah memulihkan tulangnya yang copot dan memulangkan Tong-eng Tiat-gan-pay, maka Ciu Tiat Ciauw sudah mengatur serupa akal yang sangat sagus. Dengan akal itu, Ong Tiat Gok boleh tak usah menempuh bahaya dan tugas mengajak Ouw Hui masuk ke dalam gedung Hok Kong An di gantikan oleh satu setan pengganti. Dengan demi-kian tak perduli Ouw Hui berhasil atau gagal. Su-teenya tak akan kerembet-rembet. Di atas kertas itu, ia tidak menulis huruf apa pun jua, sehingga andaikata rahasia bocor, ia tak akan terseret. Ia memasukkan amplop tersebut ke dalam segabung surat lainnya yang harus diserahkan kepada pe-mimpin Pasukan Keempat dan sebelum sampai di tangan Lim Twie-thio, surat-surat itu lebih dulu diantar ke satu dan lain tangan, sehingga sukar sekali orang dapat mengusut, dari mana datangnya surat perintah itu. Di lain pihak, begitu melihat cap "Peng-po Ceng-tong", Lim Twie-thio tidak berani berlaku ayal dan segera memerintahkan sebawahan-nya untuk menyampaikannya kepada alamatnya. Tiat Ciauw tahu bahwa yang menjaga gedung Hok Thayswee pada malam itu adalah Wie-su Pasukan Keempat, sehingga siapa pun juga yang diperintah Lim Twie-thio, Ouw Hui pasti akan dapat meng-ikutinya.

Itulah tebakan Ouw Hui yang cukup jitu, mes-kipun tidak tepat seluruhnya. Diam-diam ia tertawa dalam hatinya dan menganggap Ciu Tiat Ciauw sebagai manusia yang amat licin. Sebagai seorang yang sudah berdiam di kota raja selama puluhan tahun, orang tua itu mempunyai pengalaman luas dan cara bekerjanya lain daripada yang lain, Ouw Hui yakin, bahwa Tiat Ciauw berusaha untuk mem-bantunya dengan setulus hati dan untuk itu semua, ia merasa sangat berterima kasih.

Demikianlah, melihat Jim Thong Bu memutar badan, buru-buru ia berkata: "Atas perintah atasan, malam ini aku harus bantu menjaga gedung Hok Thayswee." Ia berdiam sejenak dan kemudian ber¬kata pula dengan suara mendongkol. "Gila sungguh! Malam ini sebenarnya giliran aku mengaso. Menga-pa malam-malam aku dipanggil juga?" Jim Thong Bu tertawa. "Gedung Hok Thayswee disatroni pembunuh, sehingga sudah sejamaknya kalau kita bekerja lebih keras," katanya. "Untuk pekerjaan itu kita pasti akan mendapat hadiah yang setimpal." Ouw Hui turut tertawa. "Jim Toako, aku baru saja dapat uang," katanya. "Mari kita makan minum sekadarnya. Aku jadi tuan rumah. Jim Toako, apa kcsukaanmu yang terutama? Suka judi? Arak?" Perwira itu tertawa berkakakkan. "Semua suka, semua aku suka," jawabnya sambil menyeringai.

Sambil menepuk pundak Jim Thong Bu secara hangat, Ouw Hui berkata; "Jim-heng kita berdua sangat cocok. Sayang baru sekarang kita bertemu muka. Siauw Jie! Ambil arak?" Perwira itu kelihatan sangsi. "Malam ini aku bertugas," katanya. "Jika Twie-thio tahu aku minum arak, mungkin ia akan menegur." "Kita hanya minum tiga cawan, mana dia tahu?" bisik Ouw Hui.

Di lain saat, pelayan sudah datang dengan mem-bawa arak dan sepiring daging sapi asin. Sesudah minum tiga cawan, Ouw Hui melemparkan sepo-tong perak ke atas meja seraya berkata: "Ambil lebihnya!" Melihat persenan yang besar itu, si pelayan girang bukan main, tapi sebelum ia keburu meng-haturkan terima kasih, Jim Thong Bu sudah men-dului mengambil perak itu. "Thio Toako, tanganmu terlalu terbuka," katanya. "Apa kita yang bekerja pada Hok Thayswee, mesti merogoh saku untuk beberapa cawan arak saja? Hayo berangkat!" De¬ngan tangan kirinya ia menarik Ouw Hui, sedang tangan kanannya memasukkan potongan perak itu ke dalam sakunya sendiri! Si pelayan mengawasi dengan mata mendelik, tapi tak berani mengeluar-kan sepatah kata.

Ouw Hui tertawa. Melihat kerakusan orang itu, ia merasa girang karena terhadap orang semacam itu, ia dapat menjalankan peranan terlebih mudah. Dengan bergandengan tangan mereka berjalan ke-luar dari rumah penginapan. Baru belasan tombak, kuping Ouw Hui yang sangat tajam mendadak men-dengar suara kresekan di atas genteng. Ia tahu suara itu suara kaki manusia. "Jim Toako, tunggu dulu di sini," katanya. "Aku kelupaan membawa serupa barang. Tunggulah sebentar. Ia memutar badan dan kembali ke kamarnya. Dalam kegelapan, samar-samar ia lihat berkelebatnya badan manusia yang kurus kecil keluar jendela. Dengan gerakan yang gesit luar biasa. Dilihat dari potongan badan dan gerakannya orang itu seperti juga Ciu Tiat Ciauw. "Perlu apa dia menyatroni kamarku?" tanya Ouw Hui di dalam hati. Ia menyingkap kelambu dan meraba hidung Thio Hek. Benar saja Thio Hek sudah tidak bernyawa lagi! Ia binasa karena to-tokan, Ouw Hui bergidik dan berkata dalam batin-nya: "Orang itu licin, pintar dan kejam. Memang, jika Thio Hek tidak disingkirkan rahasia pasti akan bocor. Hanya aku tidak menduga, baru aku me-langkah pintu, dia sudah berani turun tangan." Biar bagaimanapun juga, sekarang hatinya jadi lebih lega, karena ia yakin bahwa dengan setulus hati Ciu Tiat Ciauw ingin membantu sahabatnya. Ia segera membalikkan tubuh Thio Hek supaya meng-hadap ke dalam dan sesudah menyelimutinya, ia keluar lagi dari kamarnya dan menghampiri Jim Thong Bu. "Jim Toako, maaf kau mesti menunggu lama," katanya. "Hayolah." "Thio Toako, dengan kawan sendiri jangan kau berlaku begitu sungkan." kata Thong Bu. Dengan berendeng pundak, mereka segera menuju ke ge-dung Hok Kong An.

Depan gedung dijaga belasan Wie-su yang ber-senjata lengkap. Begitu mereka mendekati pintu, pemimpin pasukan membentak: "Wie-tin...!" ".... Su-hay!" menyambungi, Thong Bu.

Pemimpin itu mengangguk. "Malam ini kita harus menjaga hati-hati sekali," katanya.

"Tentu," kata Thong Bu.

"Twie-thio," kata Ouw Hui. "Apa malam ini penjahat bakal menyatroni lagi?" Pemimpin itu tertawa.

"Mungkin kalau dia sudah makan nyali hari-mau," jawabnya.

Ouw Hui tertawa terbahak-bahak dan lalu ma-suk ke dalam.

Setibanya di pintu tengah, wakil pemimpin pa¬sukan yang menjaga di situ membentak dengan suara perlahan. "Wie-tin...." ".... Coat-shia!" menyambungi Jim Thong Bu.

"Jim Thong Bu, siapa orang itu?" tanya Wie-su itu. "Aku tidak kenal." "Thio Toako, dari Pasukan Ketiga," jawabnya.

"Hm... jenggotnya sangat keren," kata si wakil pemimpin.

Sambil tersenyum mereka berjalan terus mem-belok ke kiri dan sesudah melewati dua pintu sam-ping, mereka tiba di taman bunga.

Pintu taman dijaga oleh seorang wakil pemim¬pin yang menegur dengan kata-kata "Wie-tin" juga. ".... Cian-chiu," jawab Thong Bu. Diam-diam Ouw Hui merasa syukur, bahwa ia datang bersama-sama Jim Thong Bu, sebab kalau bukan begitu, ia pasti tak akan bisa masuk ke gedung yang dijaga sedemikian keras dengan menggunakan kata-kata rahasia yang berbeda-beda.

Begitu masuk di dalam taman Ouw Hui segera mengenali jalan-jalan yang pernah dilaluinya. Un-tuk menenteramkan hati It Hong dan Leng So, ia segera mengambil keputusan untuk bekerja selekas mungkin, dan dengan tindakan cepat, ia menuju ke gedung ibu Hok Kong An.

"Thio Toako, mau ke mana kau?" tanya Thong Bu dengan perasaan heran.

"Aku mendapat perintah untuk melindungi Tayhujin," jawabnya.

"Oh begitu?" kata Thong Bu. Sesaat itu dua Wie-su menghampii i. "Siapa kau?" tanya salah seorang. "Jim Thong Bu dari Pasukan Keempat." "Thio Hek dari Pasukan Ketiga." Ouw Hui memperkenalkan diri.

Wie-su itu mengeluarkan seruan terlalian clan meraba gagang golok. "Apa? Siapa namamu!" bentaknya.

Ouw Hui terkejut. Ia mengerti, bahwa pengawal itu mengenal Thio Hek dan rahasianya sudah ter buka. Ia maju setindak dan berbisik. "Namaku Ouw Hui." Wie-su itu kaget tak kepalang, ia mengawasi dengan mata membelalak. Sebelum ia sempat ber-gerak, jalan darahnya sudah ditotok Ouw Hui yang dengan sekali menggerakkan sikutnya, sudah meru-buhkan pula Wie-su yang satunya lagi.

Jim Thong Bu menggigil bahna kaget dan takut. "Kau... kau..." katanya dengan suara terputus-putus.

"Laki-laki tidak menukar she atau mengubah nama," kata Ouw Hui dengan suara dingin. "Aku adalah Ouw Hui." Sambil berkata begitu, ia me-nyeret tubuh kedua Wie-su itu ke dalam gerom-bolan pohon-pohon bunga.

Sementara itu, sesudah dapat menenteramkan hatinya, Thong Bu menghunus golok. "Semua orang sudah lihat, bahwa kaulah yang mengajak aku ke sini," kata Ouw Hui. "Perlu apa kau ribut-ribut? Paling selamat kau menutup mulut." Thong Bu menggigil, rasa kaget dan takutnya semakin menjadi-jadi.

"Kalau kau masih kepingin hidup ikutlah aku!" bisik Ouw Hui. Dalam kebingungan yang sangat hebat, Jim Thong Bu tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Melihat lihaynya Ouw Hui, ia me¬ngerti, bahwa jika melawan, jiwa bisa melayang.

Kedatangan Ouw Hui pasti mengandung mak-sud kurang baik, sehingga ia yang sudah mengajak pemuda itu masuk ke gedung Hok Kong An, pasti kerembet. Dalam ketakutannya itu, bagaikan se¬orang Hnglung, ia segera mengikuti Ouw Hui.

Dengan cepat Ouw Hui menghampiri pintu depan gedung Nyonya Siangkok yang ternyata di jaga oleh tujuh-delapan Wie-su. Ia bersangsi, ka-rena jika ia menggunakan kekerasan, belum tentu ia dapat merubuhkan mereka dalam tempo lekas. Mendadak ia mendapat serupa ingatan dan sambil mengajak Jim Thong Bu, ia segera pergi ke samping gedung. Tiba-tiba ia berteriak. "Jim Thong Bu! Perlu apa kau datang ke sini? Mau memberontak?" Thong Bu terkesiap. "Aku... aku..." katanya terputus-putus.

"Tahan! Hei! Jangan bergerak kau!" teriak pula Ouw Hui.

Mendengar teriakan itu, karuan saja tujuh-de¬lapan pengawal yang menjaga di pintu dengan lantas meiuruk ke belakang. Ouw Hui mengangkat tubuh Jim Thong Bu dan melemparkannya ke jendela dan lantas saja menjadi hancur. "Tangkap! Lekas tang-kap!" teriaknya.

Bagaikan kawanan harimau, para Wie-su menu-bruk dan membekuk si orang she Jim.

"Jangan mengagetkan Tayhujin," kata Ouw Hui seraya melompat ke dalam kamar dari jendela yang berlubang.

"Ada apa?" tanya ibu Hok Kong An sambil memeluk kedua puteranya Ma It Hong yang sudah menangis keras dan sudah memanggil-manggil ibu-nya.

"Ada pembunuh!" jawab Ouw Hui. "Siauwjin sengaja datang untuk melindungi Tayhujin dan ke¬dua Kongcu. Di sini penuh bahaya kalau perlu segera menyingkir ke tempat yang lebih selamat." Nyonya itu kaget bukan main, tapi sebagai seorang yang berpengalaman, dia lantas saja ber-curiga. "Siapa kau? Di mana adanya pembunuh itu?" tanyanya.

Ouw Hui mengerti, bahwa dia tak dapat meng-hilangkan tempo. Mengingat kekejaman nyonya tua itu, darahnya agak meluap dan sambil melompat, ia mengayun telapak tangannya.

Nyonya besar itu adalah isteri seorang perdana menteri dan kecintaan kaisar, sedang ketiga putera¬nya semua berpangkat tinggi dan dua orang me-nantunya adalah puteri kaisar. Selama hidupnya, ia selalu diliputi kekuasaan dan kemewahaan dan be¬lum pernah ia menerima hinaan yang begitu besar. Di lain pihak, karena hatinya mendongkol, waktu menggaplok Ouw Hui sudah menggunakan seba-gian tenaganya, sehingga begitu kena, pipi nyonya itu lantas saja bengkak dan dua giginya rontok. Dalam kegusaran yang melampaui batas, hampir-hampir si nyonya pingsan.

"Mari ikut aku untuk menemui ibumu," kata Ouw Hui sambil membungkuk dan memeluk kedua bocah itu dengan lengan kirinya.

Pada saat itu, dua orang Wie-su sudah masuk ke dalam kamar. Ouw Hui mengerti bahwa tanpa menggunakan siasat, tak gampang-gampang ia da¬pat ke luar dari gedung itu. Sambil mencengkeram baju Tayhujin, ia membentak: "Tayhujin berada dalam tanganku. Majulah! Mari kita mampus ber-sama-sama." Seraya berkata begitu, ia melompat keluar dengan menenteng nyonya tua itu.

Dengan mata membelalak, para Wie-su meng-awasi Ouw Hui menerjang ke luar sambil men-dukung kedua puteranya Ma It Hong dan menyeret tangan Tayhujin. Pengawal-pengawal dari Iain-lain bagian gedung mulai memburu ke situ. Mereka mengurung dari sebelah kejauhan dan meskipun kedua tangan Ouw Hui tidak dapat memberi per-lawanan karena yang satu mendukung dua bocah itu dan yang lain mencekal Tayhujin mereka masih belum berani turun tangan. Ouw Hui bingung bukan main. la mengerti, bahwa semakin lama jumlah Wie-su yang mengepung akan jadi semakin besar dan keadaannya semakin berbahaya. Setindak demi setindak ia maju terus sambil mengasah otak. la tahu bahwa sekali ini ia harus mempertaruhkan jiwanya.

Mendadak, baru saja ia mengambil putusan nekat menerjang mati-matian, di sebelah kiri ter-lihat mengepulnya asap dan berkobarnya api sedang di antara suara ribut terdengar teriakan: "Awas! Penjahat coba membunuh Kongcu! Penjahat mem-bakar gedung Kongcu!" Ouw Hui kaget. Ia kenali bahwa suara itu suara Ciu Tiat Ciauw. Kongcu adalah puteri kandung kaisar Kian-liong dan jika sang puteri binasa dalam tangan penjahat, seantero Wie-su dalam gedung Hok Kong An akan mendapat hukuman mati. Maka itu, teriakan Ciu Tiat Ciauw sudah mengejutkan sangat hatinya semua orang.

"Kalian semua pergi padamkan api dan lindungi Kongcu biar aku sendiri yang menolong Tayhujin," demikian terdengar pula teriakan Ciu Tiat Ciauw. Dalam kalangan pengawal Hok Kong An, Ciu Tiat Ciauw mempunyai kedudukan tinggi dan di-sayang oleh menteri itu, sehingga ia sangat disegani oleh kawan-kawannya. Maka itu, begitu mendengar perintahnya, para Wie-su lantas saja meninggalkan Ouw Hui dan memburu ke tempat kebakaran.

Ouw Hui mengerti, bahwa Ciu Tiat Ciauw telah menggunakan tipu "memancing harimau keluar gu-nung" untuk menolong dirinya dan ia merasa sangat berterima kasih. Di lain saat, Tiaut Ciauw sudah membacok sambil berteriak keras. Ouw Hui ber-kelit seraya mendorong Tay Hujin yang jatuh teng-kurep di tanah. Tiat Ciauw buru-buru membangun-kan dan menggendong nyonya tua itu yang lalu dibawa pulang ke gedungnya. Ouw Hui sungkan menyia-nyiakan kesempatan baik dan segera kabur dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan.

"Jumlah penjahat tidak sedikit!" demikian ter¬dengar pula teriakan Tiat Ciauw. "Semua orang tetap pada tempat penjagaannya. Lindungi Hok Thayswee dan Jie-wie Kuncu! Jangan kena diakali dengan tipu memancing harimau keluar dari gu-nung," mendengar teriakan itu, semua wie-su tidak berani sembarangan mengejar.

Sambil mendukung kedua bocah, Ouw Hui lari ke belakang taman. Dengan cepat ia sudah tiba di tembok pekarangan dan dengan sekali mengenjot tubuh, kedua kakinya hinggap di atas tembok. Tiba-tiba ia mengeluh sebab di sebelah timur dan barat dijaga oleh sejumlah besar Wie-su! Buru-buru ia melompat turun dan melewati sebidang tanah la-pang secepat-cepatnya, akan kemudian masuk ke sebuah lorong.

Pada saat itulah terdengar teriakan orang: "Tangkap! Tangkap pembunuh!" Diiring dengan teriakan-teriakan, sejumlah Wie-su mengejar dari belakang. Setibanya di ujung lorong, Ouw Hui mera-belok ke sebuah jalan raya dan mendadak hatinya girang karena di pinggir jalan kelihatan berhenti sebuah kereta keledai. Cepat-cepat ia melompat naik ke dalam kereta sambil berkata pada si kusir: "Lekas! Hayo lekas! Aku akan memberi hadiah besar." Di tempat duduk kusir duduk dua orang dan begitu mendengar perkataan Ouw Hui, orang yang duduk di sebelah kanan, yang tubuhnya kurus, lan-tas saja mengedut les dan keledai lantas saja lari.

Begitu duduk di dalam kereta, Ouw Hui meng-endus bebauan yang tak enak. Setelah memper-hatikan ia mendapat kenyataan bahwa bebauan itu keluar dari beberapa tahang kotoran manusia. Ia kini mengerti bahwa kereta itu adalah kereta yang biasa mengumpulkan kotoran manusia dari rumah-rumah penduduk untuk dijadikan pupuk. Semen-tara itu suara teriakan semakin hebat kedengaran-nya.

Ia menengok dan melihat pengejar-pengejar-nya sudah datang sangat dekat.

Tiba-tiba ia mendapat pikiran baik. Ia meng-angkat sebuah tahang dan sambil mengerahkan Lweekang, melemparkannya ke belakang. Dua Wie-su yang paling depan rubuh terjengkang dengan tubuh penuh kotoran, sedang kawan-kawannya lan¬tas saja berhenti mengejarnya. Mereka itu adalah orang-orang pilihan yang bernyali besar, tapi meng-hadapi kotoran manusia, mereka jadi keder juga.

Kereta terus dilarikan secepatnya tapi tak lama kemudian di sebelah belakang kembali terdengar teriakan dan sejumlah Wie-su sudah mengejar pula. Hok Kong An adalah seorang Peng-po Siang-sie (menteri pertahanan) yang berkuasa angkatan pe-rang seluruh kerajaan Ceng. Dapat dimengerti, bahwa pengawal-pengawal pribadinya bukan sembarang orang dan dipilih dari orang-orang ternama dalam Rimba Persilatan, sehingga pengacauan Ouw Hui selama dua malam berturut-turut dianggap mereka sebagai suatu hinaan besar yang sangat memalukan. Maka itu, seusainya menolong kedua kawan yang rubuh, mereka segera mengejar pula dengan kegusaran meluap-luap.

Ouw Hui mulai bingung lagi. "Jika mereka masih mengejar, aku tentu tidak boleh pulang," katanya di dalam hati. "Ma Kouwnio masih belum sembuh dan setan-setan itu tak boleh tahu tempat bersembunyinya. Tapi kalau tidak pulang, ke mana aku harus pergi?" Sementara itu, para Wie-su sudah hampir dekat dan hanya karena takut dihantam dengan tahang kotoran, mereka belum berani ter-lalu mendesak. Mereka rupanya tahu, bahwa de¬ngan membuntuti dari kejauhan, Ouw Hui pasti tidak akan bisa keluar dari kota Pakkhia.

Beberapa saat kemudian, kereta itu tiba di sebuah jalan yang bercagak tiga dan di tengah-tengah jalan itu berhenti sebuah kereta keledai lain. Begitu lekas kereta yang diduduki Ouw Hui ber-dempetan dengan kereta itu, si kusir menggapai seraya berkata: "Pindah!" Ia melompat ke kereta itu, diturut oleh Ouw Hui yang mendukung putera-nya Ma It Hong.

Sebagaimana diketahui, di kereta pertama ter-dapat dua orang kusir. Begitu lekas kusir pertama dan Ouw Hui berpindah ke kereta lain, kusir kedua segera mengedut les dan mengaburkan kereta itu ke jurusan barat, sedang kereta yang ditumpangi Ouw Hui dilarikan ke arah timur.

Dilain pihak, setibanya di jalan bercagak, para Wie-su jadi bingung sebab dua kereta yang bentuk dan warnanya bersamaan lari ke dua jurusan. Me-reka tak tahu kereta yang mana memuat orang yang sedang dikejar. Sesudah berdamai sebentar, rom-bongan dipecah dua yang masing-masing mengejar ke barat dan ke timur.

Mendengar suara dan pula cara melompatnya si kusir kurus, bukan main girangnya Ouw Hui, sebab ia segera mengenali, bahwa kusir itu bukan lain daripada adiknya sendiri. "Aduh Jie-moay! Sungguh aku tak duga!" katanya dengan suara kagum.

Leng So hanya mengeluarkan suara di hidung.

"Bagaimana keadaan Ma Kouwnio?" "Tak tahu!" jawab si adik.

Ouw Hui tahu si adik sedang mendongkol. "Jie-moay, aku mengaku salah dan kuharap kau sudi memaafkan," katanya dengan suara yang halus.

"Aku tak akan menarik pulang perkataanku," kata si nona. "Aku tetap tak akan mengobati pada-nya. Apa kau kira omonganku bukan perkataan manusia?" Selagi Leng So berkata begitu kembali kereta tiba di jalan bercagak dan di tengah jalan terdapat sebuah kereta yang lain. Kali ini si nona tidak menukar kereta. Dengan sekali berseru dan meng-ulapkan tangan, kedua kereta itu berpencaran de¬ngan berbareng, yang satu ke selatan yang lain ke utara.

Waktu menyusul sampai di jalan bercagak itu, para Wie-su itu jadi lebih kaget dan gusar. Mereka tak dapat berbuat lain daripada memecah lagi rom-bongan untuk mengejar kedua kereta itu.

Semenjak Pakkhia menjadi ibukota negara pada jaman Kerajaan Goan, jalan-jalan dalam kota itu dibuat dalam bentuk garis-garis papan catur, yaitu membujur dari selatan sampai ke utara dan me-lintang dari timur ke barat. Dari sebab itulah, kereta yang ditumpangi Ouw Hui dan Leng So lagi-lagi bertemu dengan jalan bercagak dan di tengah-tengah jalan terdapat pula kereta lain yang ben-tuknya sama. Kejadian itu berulangkali. Kalau para pengejar sudah datang dekat sebab khawatir di-kenali, Leng So tidak menukar kereta hanya me-merintahkan supaya kedua kereta itu berpencaran dengan berbareng dan lari ke dua jurusan. Tapi kalau pengejar-pengejar masih agak jauh mereka pindah kereta supaya dapat lari terlebih cepat de¬ngan keledai yang masih segar. Demikianlah setiap kali bertemu dengan jalan bercabang, jumlah pe¬ngejar berkurang separuh sehingga pada akhirnya, mereka hanya dikejar oleh lima enam Wie-su yang sudah cape lelah dan napasnya tersengal-sengal.

"Jie-moay, sungguh lihay tipumu ini," memuji Ouw Hui. "Jika kau tidak menggunakan kereta pengumpul kotoran, kereta itu bisa dicurigai oleh tentara peronda." "Biar dicurigai," kata si adik dengan suara di-ngin. "Kau tidak menyayang jiwa dan memang pan-tas kalau kau mati dalam tangan tentara negeri." "Aku memang pantas mati," kata Ouw Hui sambil tersenyum. "Hanya jika aku mati, bakal ada seorang nona yang bersedih hati." "Hmmm," Leng So mengeluarkan suara di hi¬dung. "Kau tak dengar omonganku dan kalau kau sampai mengantarkan jiwa, siapa pun boleh tak usah bersedih... kecuali nona Wan yang cantik manis.

Tapi mengapa ia sekarang tidak menolong kau?" "la tidak tahu, bahwa aku sudah begitu tolol untuk menyatroni gedung Hok Thayswee," kata sang kakak. "Di kolong langit hanya ada seorang gadis yang tahu ketololanku dan hanya ia yang dapat menolong jiwaku pada saat yang berbahaya." Mendengar pujian itu, Leng So merasa sangat senang, tapi paras mukanya masih tetap dingin dan ia hanya mengeluarkan suara di hidung. "Karena dulu Ma Kouwnio pernah menolong kau, maka kau tidak dapat melupakan budinya dan bertekad untuk membalas budi itu, bukankah begitu?" tanya si nona.

"Mengenai budi, mana Ma Kouwnio dapat di-rendengkan dengan adikku?" kata Ouw Hui.

Di tengah gelap Leng So tersenyum, tetapi suaranya masih tetap kaku. "Huh! Karena masih memerlukan bantuanku untuk mengobati Ma Kouwnio, kau sudah mengeluarkan perkataan ma-nis-manis," katanya. "Sesudah kau tidak perlu lagi dengan tenagaku, segala omonganku pasti lebih-lebih tidak digubris lagi olehmu." "Jika aku bicara tidak setulus hati, biarlah aku mati dengan jalan yang tidak baik." Ouw Hui ber-sumpah.

"Kalau benar ya sudah, perlu apa kau ber-sumpah," kata si nona dengan suara terlebih lunak.

Sesudah melewati sebuah jalan bercagak lagi, Wie-su yang mengejar hanya ketinggalan dua orang. "Jie-moay," kata Ouw Hui sambil tertawa. "Coba kau tahan larinya keledai sebentar, aku ingin mem-perlihatkan sebuah pertunjukan." Leng So menarik les dan keledai itu lantas saja menghentikan tin-dakannya. Di lain saat, kedua pengejar sudah ham pir menyusul dan waktu mereka hanya terpisah beberapa tombak dari kereta, mendadak Ouw Hui mengangkat sebuah tahang kosong yang lalu di-lontarkan dan masuk tepat di kepala salah seorang Wie-su. Kawannya mengeluarkan teriakan kaget dan memutar badan, akan kemudian lari lintang pukang.

Melihat pertunjukan yang lucu itu, Leng So tertawa geli dan sisa kedongkolannya lantas saja hilang seperti disapu angin.

Tak lama kemudian kereta sudah tiba di depan gedung di mana mereka menginap. Leng So segera menyerahkan les kepada si kusir dan menghadiah-kan beberapa tahil perak. Sesudah itu, dengan masing-masing mendukung seorang bocah, mereka4 masuk dengan melompati tembok. Siapa pun tak pernah mimpi, bahwa dua orang itu baru saja me-ngacau di rumah menteri pertahanan.

Melihat kedua puteranya, bukan main girang-nya Ma It Hong memeluk kedua bocah itu erat-erat dan air matanya mengucur deras. Kedua bocah itu pun balas memeluk ibu mereka dengan penuh ke-cintaan.

Leng So terharu dan berbisik: "Toako sekarang aku tidak menyalahkan kau lagi. Memang kita harus merampas pulang kedua bocah itu, supaya ibu dan anak dapat berkumpul kembali." "Tapi hatiku tetap merasa kurang enak, sebab aku sudah tidak dengar perkataanmu," kata sang kakak.

Leng So menjebik dan berkata sambil tertawa: "Huh! Toako memang pandai bicara. Waktu kita pertama bertemu, kau sudah tak dengar omongan ku. Aku minta kau jangan berpisah dari sampingku dan jangan turun tangan tapi semua permintaanku tidak digubris olehmu." Sesudah bertemu dengan kedua puteranya, Ma It Hong sembuh dengan cepat sekali. Setelah Leng So "menciam" (menusuk dengan jarum emas) lagi beberapa kali dan memberi beberapa macam obat, racun yang mengeram dalam tubuhnya telah dapat dikeluarkan seanteronya. Sesudah ingatannya kem-bali, ia menanyakan sebab musabab mengapa me¬reka berada dalam gedung itu dan mengapa Hok Kong An tak pernah datang menyambanginya, tapi baik Ouw Hui maupun Leng So sungkan memberi keterangan.

Sedang beberapa had tibalah harian Tiong-chiu. Pada hari itu dengan mengajak Leng So, Coa-wie dan Kie Siauw Hong, Ouw Hui pergi ke gedung Hok Kong An guna menghadiri pertemuan para Ciangbunjin.

Penyamaran Ouw Hui pada hari itu agak ber-lainan dari biasanya. Ia mencukur sebagian jeng-gotnya dan mengenakan pakaian sulam yang sangat indah sedang tangan kirinya mencekal pipa pit-yan-hu dan tangan kanannya memegang kipas berwarna emas, sehingga orang yang tak tahu pasti akan menduga, bahwa ia adalah seorang hartawan besar. Leng So sendiri menyamar sebagai seorang wanita setengah tua dengan badan agak bongkok dan muka kisut-kisut.

Setibanya di depan gedung Siang-kok-hu, me¬reka mendapat kenyataan, bahwa semua Sie-wie sudah ditarik mundur dan di depan pintu berdiri delapan orang yang bertugas sebagai penyambut tetamu.

Ouw Hui segera menyerahkan surat undangan. Melihat pakaiannya yang mewah dan mengetahui, bahwa tamu itu adalah Ciangbunjin dari Hoa-kun-bun, dengan sikap hormat lantas saja mengantarkan mereka ke sebuah meja di sebelah timur, di mana sudah duduk empat tetamu lain. Mereka segera berkenalan dan tetamu yang datang lebih dulu itu adalah orang-orang Kauw-kun Tay-seng-bun (par-tai ilmu silat kera). Pemimpin partai itu seorang tua yang kepalanya lancip, mulutnya monyong dagunya merah dan lengannya sangat panjang sehingga me-nyerupai seekor kera. Melihat begitu, Leng So merasa geli di dalam hatinya.

Dalam ruangan yang luas itu, sudah berkumpul banyak orang dan tamu-tamu yang baru datang masuk dengan berturut-turut. Mereka dilayani oleh perwira-perwira di bawah perintah Hok Kong An.

Dengan matanya yang sangat tajam Ouw Hui menyapu seluruh ruangan. Tiba-tiba ia lihat masuk-nya Ciu Tiat Ciauw dan Ong Tiat Gok yang me¬ngenakan pakaian perwira dan dilihat dari topinya mereka baru mendapat kenaikan pangkat. Waktu lewat di samping meja Ouw Hui, mereka tidak mengenali pemuda itu.

Dua orang perwira menyambut mereka dan berkata sambil tertawa: "Selamat Ciu Toako, se-lamat Ong Toako! Semalam kalian telah membuat jasa yang sangat besar." Ong Tiat Gok tertawa lebar. "Jasa apa? Hanya kebetulan saja," katanya dengan merendahkan diri.

Seorang perwira lain menghampiri seraya ber¬kata: "Yang satu menjadi Thong-peng yang lain menjadi Hu-ciang. Sungguh hebat! Di antara pah-lawan-pahlawan Hok Thayswee, kalianlah yang naik pangkat paling cepat." "Peng Toako, jangan kau guyon-guyon," kata Ciu Tiat Ciauw dengan suara tawar. "Kami berdua mendapat hadiah tanpa berjasa. Mana bisa kami dibandingkan dengan Peng Toako yang sudah mem-buat pahala besar di medan perang?" Perwira itu merasa agak jengah dan ia segera berkata pula dengan paras sungguh-sungguh: "Ciu Toako telah menolong Siang-kok Hujin sedang Ong Toako melindungi Kongcu. Bansweeya sendiri yang sudah memberi pangkat kepada kalian. Mana dapat siauwtee berendeng dengan Jie-wie Toako?" Dengan beruntun-runtun kedua saudara itu mendapat pemberian selamat dari para perwira. Dapat dimengerti jika tamu-tamu jadi merasa heran dan mereka lalu mencari keterangan dari beberapa orang yang lantas saja menceritakan peristiwa yang terjadi semalam di gedung Hok Thayswee, ditambah dengan bumbu yang sedap. Cerita itu juga didengar Ouw Hui dan kawan-kawannya.

Ternyata, dengan perhitungan lihay dan tin-dakan tepat, bukan saja Ciu Tiat Ciauw sudah dapat mengelakkan mara bahaya, tapi juga sudah menarik keuntungan besar untuk dia dan saudara angkatnya. Dengan dia sendiri "menolong" Siangkok Hujin dan Ong Tiat Gok "melindungi" Kongcu, di mata Kaisar Kian-liong, mereka berdua telah berjasa sangat besar, lebih besar dari pada pahala orang yang menang peang. Mereka bukan saja telah mendapat kenaikan pangkat tiga tingkat, tapi juga sudah mem-peroleh hadiah emas-perak-mutiara dari Siangkok Hujin, Kongcu dan Hok Kong An sendiri.

Untuk kepentingan sendiri, para Wie-su me-niup-niup kejadian semalam dengan mengatakan, bahwa penjahat yang menyatroni berjumlah ratusan orang dan bahwa, hanya sesudah bertempur mati-matian, barulah mereka berhasil memukul mundur kawanan pengacau itu. Meskipun merasa mendong-kol karena hilangnya kedua putera itu, tapi meng-ingat pengalamannya waktu ditawan oleh orang-orang Ang-hoa-hwee pada sepuluh tahun berse-lang, Hok Kong An diam-diam bersyukur, bahwa kali ini kawanan penyerang dapat dimundurkan dan ia terlepas dari bahaya. Maka itulah, ia sudah ber-laku royal dan memberi persenan besar kepada para pcngawalnya.

Melihat cara-cara orang-orang itu, Ouw Hui dan Leng So merasa geli dan saling melirik sambil tersenyum.

Tak lama kemudian, puluhan meja perjamuan sudah penuh dengan tetamu. Diam-diam Ouw Hui menghitung. Semua ada enam puluh dua meja, setiap meja delapan orang, jumlah tetamu empat ratus sembilan puluh enam dan jika setiap partai mengirim empat orang wakil, maka jumlah Ciang-bunjin yang hadir dalam ruangan itu ada seratus dua puluh empat. Sekarang baru ia tahu, bahwa di scluruh Tiongkok terdapat begitu banyak partai alau cabang persilatan. Di samping meja-meja yang sudah penuh, juga terdapat meja-meja yang hanya diduduki oleh empat orang dan yang masih kosong. Tanpa merasa, ia ingat Wan Cie Ie. "Dia sudah merebut dua belas kedudukan Ciangbun dan meja-meja yang kosong rupanya disediakan untuk orang orang dari partai-partai yang sudah digebah kabur olehnya," katanya di dalam hati. "Tapi di mana adanya dia sekarang?" Melihat kakaknya termenung dengan sorot mata penuh rasa cinta, Leng So yang sangat cerdas segera dapat menebak, bahwa Ouw Hui sedang memikir-kan Wan Cie Ie. la menghela napas dan hatinya sedih. Tiba-tiba otot-otot pipi Ouw Hui bergerak, paras mukanya berubah dan sinar matanya seolah-olah mengeluarkan api. Si nona segera memandang ke jurusan yang sedang diawasi kakaknya dan ia lantas saja mengetahui sebab musabab perubahan itu. Di sebelah barat, pada meja keempat, duduk seorang lelaki yang badannya tinggi besar dan ta¬ngannya mencekal dua Tiat-tan dan orang itu bukan lain dari pada Hong Jin Eng, Ciangbunjin Ngo-houw-bun.

Buru-buru Leng So menarik tangan baju ka¬kaknya yang lantas saja tersadar dan cepat-cepat melengos ke lain jurusan.

Sementara itu, tamu-tamu yang berniat datang rupanya sudah tiba semua, karena dari luar sudah tidak muncul tamu-tamu baru. Ouw Hui memper-hatikan ruangan yang luas itu. Di tengah-tengah tergantung sehelai kain sulam dengan tulisan: "De¬ngan ilmu silat mengikat persahabatan, orang-orang gagah menjadi tuan rumah." Di bawah kain sulam itu berjejer empat buah kursi indah dengan alas kulit harimau, tapi semua kursi masih kosong dan rupanya disediakan untuk orang-orang yang ber-pangkat tinggi.

"Mengapa ia belum juga datang?" bisik Leng So. Ouw Hui mengerti, bahwa "ia" dimaksudkan Wan Cie Ie, tapi ia berlagak pilon. "Siapa?" tanya-nya.

Si adik tidak menjawab langsung, tapi berka'a pada dirinya sendiri: "Sebagai Cong-ciang-bun dua belas partai, dia tak bisa tak datang." Beberapa saat kemudian, seorang perwira tim.'-katan kedua bangun berdiri dan berseru dengan suara nyaring: "Harap keempat Tay-ciangbunjin (Ciangbunjin besar) masuk ke dalam ruangan per-temuan!" Seruan itu disambut oleh Iain-lain Wie-su: "Harap keempat Tay-ciangbunjin masuk ke dalam ruangan pertemuan!" Semua jago kaget bercampur heran. Semua orang yang berkumpul di situ, di samping murid-murid berbagai partai dan para petugas pihak tuan rumah, adalah Ciangbunjin, atau pemimpin, partai-partai persilatan. Mengapa orang sudah mengguna-kan istilah "besar"? Apa ada Ciangbunjin "besar" dan Ciangbunjin "kecil"? Seluruh ruangan jadi sunyi senyap dan mata semua orang mengawasi pintu samping di sebelah timur, dari mana muncul dua orang perwira ting-katan ketiga yang mendahului masuknya emp; t orang ke dalam ruangan itu. Setibanya di bawah kain sulaman itu, dengan sikap sangat hormat, me-reka mempersilakan keempat orang tersebut duduk di kursi yang dialas dengan kulit harimau.

Antara keempat tetamu itu, yang berjalan pa¬ling dulu adalah seorang pendeta tua yang alisnya putih dan tangannya mencekal sebatang Sian-thung dari kayu Yang-bok yang berwarna kuning. Dilihat dari paras mukanya yang welas asih, pendeta tua itu paling sedikitnya sudah berusia sembilan puluh ta-hun. Yang kedua adalah seorang Toojin yang kira-kira berusia tujuh puluh tahun, dengan muka mu-ram berwarna hitam dan mata separuh tertutup separuh terbuka. Kedua orang itu — yang satu Hweeshio dan yang lain Toojin — sangat berbeda satu sama lain. Si hweeshio tua bertubuh tinggi besar dan berparas angker, sehingga sekelebatan saja, orang segera tahu, bahwa ia seorang beribadat yang berilmu tinggi. Tapi si Toojin tiada bedanya seperti imam biasa yang sering memperdayai orang dengan menjual surat jimat atau obrolan lain. Tapi rru ngapa dia termasuk salah seorang dari empat Ciangbunjin "besar"? Yang ketiga adalah seorang tua berusia enam puluh tahun lebih yang kelihatan-nya bersemangat sekali, dengan sepasang matanya yang berkilat-kiiat dan kedua Tay-yang-hiat yang menonjol ke atas, suatu tanda, bahwa ia memiliki Lweekang yang sangat tinggi. Begitu masuk, sambil tersenyum-senyum, ia manggut-manggut dan di an-tara seratus lebih Ciangbunjin itu, tak kurang dari sembilan puluh yang mengenalnya. Mereka meng-gunakan panggilan "Tong Toako" atau "Tong Tay¬hiap" dan hanya beberapa pentolan yang sudah berusia lanjut menggunakan istilah "Kam Lim-heng".

Ouw Hui agak terkejut. "Ah! Orang itu tentu bukan lain dari pada Kam-lim-hui-cit-seng Tong Pay Tong Tayhiap!" katanya di dalam hati. "Ibu Wan Kouwnio telah ditolong olehnya dan ia dikenal sebagai seorang pendekar yang berpribudi tinggi. Sungguh tak dinyana hari ini ia kena ditarik oleh Hok Kong An." Tong Pay tidak lantas duduk, tapi menghampiri dan memberi salam kepada sejumlah Ciangbunjin yang dikenalnya. Sikapnya yang ramah tamah me-nimbulkan rasa hormat dalam hati setiap orang. Waktu tiba di meja Ouw Hui, sambil menarik tangan Ciangbunjin dari Tay-seng Kauw-kun-bun, ia ber¬kata: "Kera tua! Kau juga datang? Mengapa tuan rumah tidak menyuguhkan sepiring buah tho ke-padamu?" Orang itu membungkuk secara hormat sekali dan berkata seraya tertawa: "Tong Tayhiap, sudah tujuh tahun aku tidak pernah'mengunjungi kau untuk menanya keselamatanmu. Semakin lama ku-lihat Tayhiap semakin gagah." Tong Pay tertawa. "Bagaimana dengan anak cucu kera dalam guha Sui-liam-tong gunung Hoa-ko-san?" tanyanya sambil menepuk pundak orang.

"Dengan bersandar kepada Tong Tayhiap, me¬reka semua baik-baik saja." jawabnya.

Tong Pay tertawa terbahak-bahak. Ia berpaling kepada Kie Siauw Hong dan bertanya: "Apa Kie Loosam tidak datang?" Pemuda itu buru-buru memberi hormat seraya menjawab: "Ayah tidak datang. Siang-malam ayah selalu ingat Tong Tayhiap dan sering mengatakan, bahwa sesudah menelan Jin-som Yang-eng-wan pemberian Tayhiap, kesehatannya mendapat ba-nyak kemajuan." "Apa kau menginap di gedung In Pweecu?" tanya pula Tong Pay. "Baiklah, besok aku akan memberi beberapa pel lagi untuk ayahmu." Kie Siauw Hong membungkuk lagi dan meng-haturkan terima kasih berulang-ulang. Sesudah manggut-manggutkan kepalanya kepada Ouw Hu;.

Leng So dan Coa Wie, Tong Pay segera pergi ke lain meja.

"Tong Tayhiap bergelar Kam-lim-hui-cit-seng, tapi sebenar-benarnya, pengaruhnya melampaui tu-juh propinsi," kata Ciangbunjin Kauw-kun-bun de¬ngan suara kagum. "Tahun itu, piauw seharga de-lapan belas laksa tahil perakyang dilindungi olehku telah hilang di jalan Kamliang. Karena gusar dan jengkel, hampir-hampir aku mencemplungkan diri ke dalam sumur. Kalau bukan Tong Tayhiap yang turun tangan dengan menggunakan jalan lembek dan keras, sehingga ia sampai mengangkat senjata, mina mau Ciu-coan Sam-houw memulangkan piauw tersebut?" (Tiga harimau dari Ciu-coan) Secara bernafsu dan dengan rasa berterima kasih yang sangat besar, ia segera menuturkan segala kejadian-nya. Sebagai seorang yang menanggung budi besar, setiap ada kesempatan, ia selalu menceritakan per-tolongan Tong Pay kepadanya.

Orang yang keempat mengenakan seragam per-wira dengan topi tingkat keempat. Ia masuk dengan tindakan mantap dan sikap angker, sehingga seke-lebatan saja, orang akan lantas bisa lihat, bahwa ia adalah pentolan dalam Rimba Persilatan. Ia berusia kurang lebih lima puluh tahun, mukanya persegi, kupingnya lebar, kedua matanya bersinar tajam dan dengan sikap luar biasa tenang, ia duduk di kursi keempat.

"Ah! Dia juga seorang yang sangat lihay," kata Ouw Hui dalam hatinya. Waktu baru tiba di gedung itu, pemuda itu tidak memandang sebelah mata kepada Ciangbun Tayhwee yang dihimpunkan oleh Hok Kong An. Tapi begitu melihat keempat Ciang bunjin itu, hatinya lantas saja keder. "long Tayhiap dan perwira itu saja belum tentu dapat dijatuhkan olehku," pikirnya. "Si hweeshio dan Toojin yang duduk 1i kursi yang lebih tinggi, sudah tentu me-miliki kepandaian yang lebih lihay. Hari ini aku harus berhati-hati dan rahasiaku tidak boleh bocor." Memikir begitu, ia tidak berani menengok ke sana-sini lagi, karena khawaiir dikenali oleh kaki tangan Hok Kong An dan lalu meraup kwacie yang lalu dimakannya perlahan-lahan.

Sesudah bersalaman dengan orang-orang yang dikenalnya, Tong Pay Tayhiap barulah duduk di kursinya. Begitu ia duduk, orang-orang yang ting-katannya lebih muda dengan beruntun-runtun menghampiri dan memberi hormat dengan ber-lutut. Tong Pay adalah seorang hartawan yang ta-ngannya sangat terbuka. Dalam kunjungannya ke pertemuan itu, murid-muridnya membawa banyak angpauw (bungkusan merah berisi uang). Kepada setiap orang muda yang baru memberi hormat ke¬padanya dengan berlutut, ia menghadiahkan lima tahil perak sebagai tanda mata untuk perkenalan itu. Selang beberapa lama barulah pemberian-pem-berian hormat kepada Tong Tayhiap selesai.

Sesaat kemudian, seorang perwira tingkat ke¬dua bcrteriak: "Tuang arak!" Semua pelayan yang bertugas di berbagai meja lantas saja menuang arak. Sambil mengangkat cawan tinggi-tinggi, perwira itu berkata dengan suara nyaring: "Para Ciangbun dan Busu dari berbagai partai! Hok Thayswee menyam-but dengan gembira kedatangan kalian di ibu kata. Sekarang terlebih dulu siauwtee menghaturkan se-lamat datang kepada kalian dengan secawan arak ini. Sebentar, Hok Thayswee sendiri akan meng-angkat cawan dengan kalian." Sehabis berkata be-gitu, ia menceguk cawannya, diikuti oleh para ha-dirin.

Sehabis minum, perwira itu berkata pula: "Hari ini, yang hadir dalam ruangan ini adalah orang-orang gagah dari Rimba Persilatan - suatu kejadian yang langka dalam sejarah persilatan. Apa yang paling menggirangkan Hok Thayswee ialah beliau berhasil mengundang juga empat Ciangbunjin be-sar. Dengan menggunakan kesempatan ini, siauw-tee ingin memperkenalkan keempat Ciangbunjin besar itu kepada kalian." la menunjuk Hweeshio yang alisnya putih dan melanjutkan perkataannya: "Yang itu adalah Taytie Siansu, Hong-thio kelen-teng Siauw-lim-sie di gunung Siongsan, propinsi Holam. Selama lebih dari seribu tahun, Siauw-lim-sie selalu dianggap sebagai sumber dari ilmu silat. Hari ini, dalam pertemuan para Ciangbunjin di kolong langit, sudah sepantasnya saja jika Tay-tie Siansu menduduki kursi pertama." Para hadirin lantas saja bersorak-sorai sambil menepuk-nepuk tangan. Siauw-lim-sie mempunyai sangat banyak cabang, sehingga dapat dikatakan, bahwa ilmu silat dari sedikitnya sepertiga orang-orang yang hadir di situ masih bersangkut paut dengan kelenteng itu. Maka itu, dapat dimengerti jika pertemuan dengan pemimpin Siauw-lim-sie su¬dah menggirangkan sangat banyak orang-orang ga¬gah itu.

Sambil menunjuk Toojin yang duduk di kursi kedua, perwira itu berkata pula: "Di samping Siauw-lim-pay adalah Bu-tong-pay yang namanya sangat cemerlang. Yang itu adalah Bu-ceng-cu Tootiang. ketua kuil Giok-hie-kiong di gunung Bu-tong-san." Bu-tong-pay adalah leluhur dari ilmu silat Lweekang (ilmu silat "dalam") yang terkenal di seluruh Tiongkok. Akan tetapi, mendengar, bahwa Toojin yang mukanya mesum itu adalah Ciang¬bunjin Bu-tong-pay, semua orang merasa heran. Apa yang mereka tahu, ialah semenjak sepuluh tahun berselang, sedari Ciangbunjin Ma Giok me-ninggal dunia dan Thio Ciauw Tong, seorang pen-tolan Bu-tong, binasa di Huikiang, Bu-tong-pay belum mempunyai Ciangbunjin lagi. Nama Bu-ceng-cu yang barusan diperkenalkan, belum dikenal da¬lam kalangan Rimba Persilatan.

Sementara itu, perwira tersebut sudah menun¬juk Tong Pay dan melanjutkan perkataannya: "Yang itu adalah Kam-lim-hui-cit-seng Tong Tayhiap, Ciangbunjin dari partai Sam-cay-kiam. Nama Tong Tayhiap yang menggetarkan seluruh Rimba Per¬silatan, kurang boleh tak usah diperkenalkan lagi." Kata-kata itu disambut dengan sorak-sorai gegap gempita, yang berbeda jauh dengan sambutan yang diberikan kepada Bu-ceng-cu atau bahkan kepada Tay-tie Siansu sendiri.

Sesudah tampik sorak mereda, perwira itu lalu berkata lagi sambil menunjuk orang yang keempat: "Yang itu adalah orang gagah dari Boan-ciu, Hay Lan Pit Tayjin, Sam-leng atau pemimpin tangsi Yauw-kie-eng dari pasukan Bendera Kuning dan Ciangbunjin dari partai Hek-liong-bun di propinsi Liaotong." Waktu diperkenalkan, karena pangkatnya lebih rendah dari pada perwira yang memperkenalkan nya, maka Hay Lan Pit bangun dari tempat duduk-nya dan berdiri tegak.

"Hek-liong-bun? Partai apa itu?" bisik seorang tua yang duduk di dekat meja Ouw Hui. "Nama itu tidak dikenal dalam Rimba Persilatan. Hrn! Dia diangkat menjadi Ciangbunjin besar, sebab dia se¬orang Boan-ciu. Memang, kalau semua Ciangbunjin terdiri dari bangsa Han, muka Hok Thayswee tidak begitu terang. Menurut penglihatanku, Hay Tayjin itu paling banyak mempunyai tenaga besar. Mana dia dapat berendeng dengan jagojago bangsa Han?" "Pendapat Susiok tepat sekali," kata seorang pemuda.

Mendengar itu, Ouw Hui tertawa dalam hati-nya. Sesudah melihat sikap dan gerak-gerik orang Boan itu, ia mengerti, bahwa pemimpin Hek-liong-bun tersebut bukan sembarang orang.

Sesudah diperkenalkan, keempat Ciangbunjin besar itu segera bangun berdiri untuk memberi hormat kepada para hadirin dengan secawan arak dan kemudian masing-masing mengucapkan kata-kata merendahkan diri. Tay-tie Siansu bicara de¬ngan sikap agung, sesuai dengan kedudukannya yang sangat tinggi. Tong Pay yang pandai berpidato, telah mengucapkan kata-kata yang membangkitkan gelak tertawa. Bu-ceng-cu dan Hay Lan Pit yang tidak biasa bicara dihadapan orang banyak, hanya mengucapkan sepatah dua patah dengan suara ter-putus-putus. Bu-ceng-cu bicara dalam dialek Ouw-pak yang tidak dimengerti oleh banyak orang.

"Mengapa suara imam itu tidak cukup ber-tenaga?" tanya Ouw Hui di dalam hati dengan perasaan heran. "Bagaimana dia bisa menjadi Ciang bunjin dari Bu-tong-pay? Mungkin sekali ia dicintai oleh para anggota partai, sehingga walaupun ilmu silatnya tidak tinggi, ia diangkat menjadi Ciang-bunjin." Sesudah beres perkenalan, perjamuan segera dimulai. Perjamuan seorang menteri besar seperti Hok Thayswee tentu saja berlainan dengan per¬jamuan biasa. Jangankan santapannya, sedangkan araknya saja, yaitu arak Cong-boan Ang-tin-siauw, sudah merupakan minuman yang langka. Ouw Hui tidak berlaku sungkan-sungkan dan dengan ber-untun ia sudah minum kurang lebih dua puluh cawan. Leng So mengawasi kakaknya sambil ter-senyum-senyum dan kadang-kadang melirik Hong Jin Eng, untuk melihat apa manusia busuk itu masih berada di tempatnya.

Sesudah dikeluarkan tujuh-delapan macam sa-yur, tiba-tiba terdengar teriakan: "Hok Thayswee tiba!" Semua perwira, petugas dan pelayan dengan serentak berdiri tegak, diikuti oleh semua tetamu. Sesaat kemudian, dari luar terdengar suara scpatu dan beberapa orang masuk ke dalam.

"Memberi hormat kepada Hok Thayswee!" te-riak semua perwira sambil membungkuk dan me-nekuk satu lututnya.

Hok Kong An mengebas tangannya seraya ber-kata: "Sudah! Bangunlah!" "Terima kasih, Hok Thayswee!" teriak pula para perwira itu.

Melihat tata tertib yang angker dan rapih itu, Ouw Hui merasa kagum. "Hok Kong An benar-benar bukan sembarang orang," pikirnya. "Tak he ran jika saban kali keluar berperang, ia selalu mem-peroleh kemenangan." Melihat paras muka pembesar itu yang berseri-seri, Ouw Hui berkata pula di dalam hatinya: "Ma¬nusia tak punya isi perut! Dua anaknya hilang, tapi dia tidak memperdulikan." Hok Kong An segera memerintahkan orang menuang arak. "Para Busu," katanya sambil meng-angkat cawan. "Dengan jalan ini aku memberi se-lamat datang kepada kalian. Keringkan cawan!" Ia menceguk isi cawan diikuti oleh para hadirin, kecuali Ouw Hui yang hanya menempelkan pinggir cawan di bibirnya. Pemuda itu sungkan minum bersama-sama Thayswee yang sangat kejam itu.

"Pertemuan para Ciangbunjin telah diketahui juga oleh Bansweeya (kaisar)," kata pula pembesar itu. "Barusan Hongsiang (kaisar) telah memanggil aku dan menghadiahkan dua puluh empat buah cangkir yang harus dibagikan kepada dua puluh empat Ciangbunjin." Ia mengangkat tangannya dan beberapa orang lantas saja menghampiri dengan membawa tiga kotak sulam. Seorang perwira segera menggelar sehelai taplak sutera sulam di atas meja dan dari dalam kotak, ia mengeluarkan cangkir-cangkir yang lalu ditaruh di atas meja itu.

Ternyata, dalam kotak pertama terisi delapan buah cangkir giok, dalam kotak kedua delapan cangkir emas, sedang dalam kotak ketiga delapan cangkir perak. Tiga rupa cangkir itu diatur jadi tiga baris di atas meja. Dengan sinarnya yang gilang-gemilang, semua cangkir diukir dengan gambar-gambar yang indah luar biasa. Dengan rasa kagum, semua orang mengawasi cangkir-cangkir itu, karya  seniman-seniman pilihan dari istana kaisar.

"Cangkir giok dengan ukiran gambar naga di-beri nama Giok-liong-pwee," kata pula Hok Kong An sesudah semua cangkir diatur beres. "Cangkir giok itu adalah yang paling berharga. Yang emas, dengan ukiran burung hong, diberi nama Kim-hong-pwee, sedang cangkir perak, dengan ukiran ikan gabus meletik, adalah Gin-lee-pwee." Mendengar keterangan itu, semua orang jadi merasa kurang enak. Dalam ruangan tersebut ter-dapat seratus lebih Ciangbunjin, sedang jumlah cangkir hanya dua puluh empat buah. Siapa yang akan mendapat cangkir-cangkir itu? Di samping itu, cangkir-cangkir tersebut juga berbeda-beda. Cang¬kir giok tentu saja banyak lebih berharga daripada cangkir perak. Siapa yang akan memperoleh cangkir giok dan siapa yang akan memperoleh perak? Sementara itu, Hok Kong An sudah mengambil empat buah cangkir giok dan ia sendiri lalu menye-rahkannya kepada empat Ciangbunjin besar. "Kali¬an adalah pemimpin-pemimpin Rimba Persilatan dan setiap orang mendapat sebuah cangkir giok," katanya. Tay-tie Siansu dan ketiga Ciangbunjin lain-nya lantas saja menerima hadiah itu sambil meng-haturkan terima kasih.

"Sekarang masih ada dua puluh cangkir," kata pula Hok Kong An, "Aku ingin meminta supaya kalian memperlihatkan kepandaian dan empat orang yang ilmu silatnya paling tinggi akan dihadiahkan dengan empat buah cangkir giok. Mereka berempat akan mempunyai kedudukan yang berendeng de¬ngan Ciangbunjin dari Siauw-lim, Bu-tong, Sam-cay-kiam dan Hek-liong-bun, sehingga dengan de  mikian, kedelapan Ciangbunjin itu dapat dinama-kan sebagai Giok-liong Pat-bun (Delapan partai yang mendapat cangkir Giok-liong-pwee). Kede¬lapan partai tersebut akan dikenal sebagai partai-partai terbesar dan terkuat dalam Rimba Persilatan. Sesudah itu, berdasarkan kepandaian yang dimiliki-nya, delapan Ciangbunjin akan menerima cangkir emas dan mereka akan dikenal sebagai Kim-hong Pat-bun. Paling akhir, delapan orang lain, yang akan menjadi Gin-lee Pat-bun, akan menerima cangkir perak.

Sesudah ada penetapan tingkatan, maka di be-lakang hari dalam Rimba Persilatan boleh tidak usah terjadi pula sengketa-sengketa yang tidak di-ingini. Dalam pertemuan ini, aku mengangkat Tay-tie Siansu, Bu-ceng-cu, Tong Tayhiap dan Hay Som-leng sebagai juru pemimpin (juri) yang akan menetapkan tinggi rendah ilmu silat setiap orang. Apakah kalian setuju?" Keterangan Hok Kong An itu disambut dengan rasa terkejut oleh sejumlah Ciangbunjin yang mem¬punyai pemandangan luas. Cara menteri besar itu tiada bedanya seperti mengadu domba orang-orang gagah dalam Rimba Persilatan. Tapi di hadapan Hok Kong An, siapa yang berani mengeluarkan pendapat lain? Maka itu, biarpun di dalam hati sangat tidak setuju, mereka terpaksa ikut menepuk-nepuk tangan.

Sementara itu, begitu mendengar penjelasan Hok Kong An, Ouw Hui segera ingat keterangan Wan Cie Ie mengenai maksud tujuan pembesar itu dalam menghimpunkan pertemuan para Ciangbun¬jin. "Semula aku menduga, bahwa dengan mengum  pulkan orang-orang gagah di kolong langit, ia ber-maksud untuk menggunakan mereka guna kepen-tingannya sendiri." katanya di dalam hati. "Tapi dilihat begini, ia mengandung maksud yang sangat jahat. Ia ingin mengadu domba para ahli silat supaya mereka saling bunuh dalam perebutan nama ko-song, agar mereka tidak mempunyai tenaga lagi untuk menentang pemerintahan Boan-ceng." Me-mikir sampai di situ, ia lihat Leng So mencelup jari tangannya ke dalam cangkir teh dan menulis huruf "jie" (dua) serta "tho" (buah tho), di atas meja. Sesudah menulis, si nona lalu menghapus kedua huruf itu dengan tangannya.

Ouw Hui manggut-manggutkan kepalanya. "jie-moay sungguh pintar," pikirnya. "Ia sudah dapat menebak siasat busuk dari Hok Kong An yang menyerupai dengan tipu An Eng yang sudah mem-bunuh tiga orang gagah dengan menggunakan dua buah tho." Dengan rasa duka, ia menyapu seluruh ruangan dengan matanya. Ia mendapat kenyataan, bahwa sebagian besar jago-jago muda kelihatan bergembira sekali dan siap sedia untuk segera turun ke dalam gelanggang, tapi di antara para Ciang-bunjin yang berusia lebih tua banyak yang berparas lesu dan masgul, karena seperti juga Ouw Hui dan Leng So, mereka sudah melihat bencana yang te-ngah dihadapi oleh Rimba Persilatan.

Sementara itu, semua orang segera merunding-kan keterangan Hok Thayswee, sehingga ruangan itu jadi ramai sekali dengan suara manusia. "Ong Loo-ya-cu," demikian terdengar suara seorang yang duduk di dekat meja Ouw Hui. "Ilmu silat Sin-kun-bun lihay bukan main dan Loo-ya-cu pasti akan  dapat mengantongi sebuah cangkir Giok-liong." "Cangkir Giok-liong aku tidak berani harap-kan," kata orang yang dipanggil "Ong Loo-ya-cu" dengan suara merendahkan diri.

"Aku sudah merasa beruntung jika dapat mem-perlihatkan cangkir emas kepada anak-anakku." Seorang lain tertawa dan berkata dengan suara perlahan: "Aku hanya khawatir, dia masih tak mam-pu merebut cangkir perak." Mendengar ejekan itu, si orang she Ong jadi gusar bukan main dan mengawasi orang yang meng-ejeknya dengan mata melotot. Demikianlah, di se-tiap meja jago-jago itu ramai bicara, bisik-bisik atau tertawa-tawa.

Tiba-tiba seorang perwira yang berdiri di sam-ping Hok Kong An, menepuk tangannya tiga kali dan berseru: "Tuan-tuan harap tenang sebentar, Hok Thayswee ingin bicara lagi." Suara ramai itu perlahan-lahan mereda, tapi karena orang-orang itu tidak biasa dengan disiplin milker, maka untuk sementara, masih terdengar suara orang bicara. Sesudah lewat beberapa saat, barulah ruangan itu menjadi sunyi.

"Sekarang aku mengundang tuan-tuan bersan-tap dan sesudah makan minum, barulah kalian mem-perlihatkan kepandaian," kata Hok Kong An. "Me-ngenai peraturan pie-bu (adu silat), sebentar Ang Teetok akan memberi penjelasan." Seorang perwira Boan yang berdiri di samping pembesar itu, lantas saja berkata: "Hayolah! Kalian boleh makan dan minum sepuas hati. Sehabis per-jamuan, aku akan memberi penjelasan. Hayolah! Sekarang aku memberi hormat kepada kalian de ngan secawan arak." Sambil berkata begitu, ia me-nuang arak ke sebuah cawan besar dan lalu men-ceguk kering isinya.

Sebagian besar jago-jago yang hadir di situ adalah "gentong-gentong" arak, tapi karena sedang menghadapi pertempuran, mereka tidak berani mi-num terlalu banyak.

Sesudah perjamuan selesai, perwira yang tadi kembali menepuk tangan tiga kali. Sejumlah pe-layan segera menaruh delapan kursi Thay-su-ie di ruangan tengah, delapan kursi di ruangan samping sebelah timur dan delapan kursi pula di ruangan samping sebelah barat. Pada kursi-kursi di ruangan tengah ditaruh alas dengan sulaman benang emas, pada kursi di ruangan timur ditaruh alas sutera merah, sedang pada kursi di ruangan barat ditaruh alas sutera hijau. Sesudah itu, tiga orang Wie-su masing-masing membawa Giok-liong-pwee, Kim-hong-pwee dan Gin-lee-pwee yang lalu ditaruh di atas meja teh di ruangan tengah, ruangan timur dan ruangan barat.

Sesudah cangkir-cangkir diatur beres, An Tee-tok segera berkata dengan suara nyaring: "Had ini kita mengikat persahabatan dengan ilmu silat dan begitu lekas salah satu pihak kena dicolet, per-tandingan harus segera dihentikan. Siapa pun jua tidak boleh mendendam sakit hati. Dalam pertan-dingan, sebaiknya jangan sampai melukai lawan. Akan tetapi, sebagaimana kalian tahu, di dalam setiap pertempuran selalu terdapat kemungkinan kesalahan tangan. Maka itu, Hok Thayswee telah menetapkan, bahwa orang yang mendapat luka en-teng akan diberi uang obat sebanyak lima puluh tahil perak, yang luka berat diberi tiga ratus tahil perak, sedang kalau sampai ada yang meninggal dunia, keluaganya akan mendapat seribu tahil pe¬rak. Orang yang karena salah tangan, sudah melukai atau mcmbinasakan lawannya, tidak akan dituntut." Semua orang terkejut. Penjelasan itu terang-te-rangan menganjurkan supaya jago-jago itu bertem-pur mati-matian.

Sesudah berdiam sejenak, perwira itu berkata pula: "Kami mengundang empat Ciangbunjin besar mengambil tempat duduknya." Empat orang Wie-su lantas saja menghampiri dan mempersilahkan Taytie Siansu, Bu-ceng-cu, Tong Pay dan Hay Lan Pit maju ke tengah-tengah ruangan untuk duduk di empat kursi Thay-su-ie. Sesudah mereka berduduk, masih ada empat kursi kosong, dua di sebelah kiri dan dua lagi di sebelah kanan.

Perwira itu tersenyum dan berkata pula dengan suara nyaring: "Para Ciangbunjin sekarang boleh memperhhatkan kepandaiannya di hadapan Hok Thayswee. Mereka yang menganggap kepandaian¬nya cukup tinggi untuk memiliki cangkir Gin-lee-pwee boleh duduk di kursi di ruangan barat, sedang mereka yang menganggap kepandaiannya cukup tinggi untuk memperoleh Kim-hong-pwee, boleh duduk di kursi di ruangan timur. Dan mereka yang merasa dapat berendeng dengan empat Ciangbunjin besar, boleh duduk di kursi di ruangan tengah, bersama-sama keempat Ciangbunjin besar itu.

Sesudah dua puluh Ciangbunjin menduduki dua puluh kursi itu, siapa yang merasa tidak puas boleh menantang orang yang menduduki kursi. Yang kalah mundur, yang menang duduk di kursi itu. Per-tandingan baru dihentikan sampai tidak ada orang yang menantang lagi. Bagaimana pendapat tuan-tuan?" Pertanyaan itu disambut dengan teriakan "se-tuju!" oleh jago-jago muda yang berdarah panas dan yang menganggap, bahwa peraturan itu sesuai de¬ngan kebiasaan pie-bu, siapa kuat siapa menang. Di lain pihak, orang-orang yang tidak setuju dengan cara mengadu domba itu, tentu saja tidak berani membuka suara.

Waktu itu, Hok Kong An sendiri duduk di sebelah kursi Thay-su-ie yang ditaruh di sebelah kiri ruangan itu, dengan diapit oleh delapan Wie-su pilihan, antaranya Ciu Tiat Ciauw dan Ong Kiam Eng.

Leng So menyentuh tangan kakaknya dengan jerijinya sambil monyongkan mulutnya ke atas. Ouw Hui dongak dan lihat sejumlah Busu berdiri berjejer di atas genteng dengan senjata terhunus, sedang di luar ruangan itu pun dikurung dengan sepasukan tentara pilihan. Pada saat itu, penjagaan di gedung Peng-po Siang-sie mungkin lebih hebat daripada di istana kaisar sendiri.

"Aku sudah merasa puas, bahwa hari ini aku bertemu dengan Hong Jin Eng," kata Ouw Hui di dalam hati. "Yang paling penting, rahasiaku tidak boleh bocor. Sebentar aku akan coba merebut se-buah cangkir perak supaya tidak menyia-nyiakan harapan Saudara Kie. Tapi sebaiknya aku turun belakangan, supaya tidak menarik terlalu banyak perhatian." Di luar dugaan, niatan Ouw Hui untuk maju belakangan, juga dipunyai oleh jago-jago lainnya. Ouw Hui berniat begitu karena khawatir rahasianya bocor, tapi jago-jago yang lain menggenggam niatan itu, sebab ingin menarik keuntungan. Mereka ingin menunggu sampai orang lain letih dalam pertan-dingan-pertandingan pendahuluan. Maka itulah, se-sudah perwira itu mengundang beberapa kali, tak seorang yang maju untuk menduduki dua puluh kursi itu.

Mengenai ilmu silat terdapat sebuah pepatah yang tepat sekali, yaitu: "Bun-bu-tee-it, Bu-bu-tee-jie" (Ilmu surat tidak ada nomor satu, Ilmu silat tidak ada nomor dua). Kata-kata itu berarti, bahwa seorang sasterawan tidak pernah menganggap, bah¬wa karangannya atau syairnya adalah nomor satu di dalam dunia, sedang seorang ahli silat  kecuali beberapa gelintir pentolan yang sudah mengundur-kan diri dari pergaulan  biasanya sungkan duduk di bawah orang.

Harus diingat, bahwa tokoh-tokoh yang hadir dalam pertemuan itu adalah Ciangbunjin, atau pe-mimpin, dari sebuah partai atau cabang persilatan. Maka itu, walaupun ada sejumlah orang merasa tawar dalam hatinya, tapi mereka juga tidak mau menjatuhkan nama partai sendiri. Semua orang mengerti, bahwa sekali salah tangan, ratusan atau ribuan muridnya tak akan bisa mengangkat kepala lagi dalam dunia Kang-ouw dan kedudukannya se-bagai Ciangbunjin juga sukar dapat dipertahankan lagi.

Pada saat itu, berdasarkan kebiasaan dalam Rimba Persilatan, dalam alam pikiran semua orang terdapat sebuah kesimpulan yang bersamaan, yaitu:  Kalau mau turun, yang dituju adalah cangkir Giok-liong-pwee. Cangkir emas dan cangkir perak, yang berarti kedudukan kedua dan ketiga, sama sekali tidak diperhatikan orang. Maka itu, semua mata ditujukan kepada ruangan tengah, sedang ruangan timur dan barat sama sekali tidak dilirik orang.

Sesudah lewat beberapa saat, sambil tertawa mengejek, perwira itu berkata: "Mengapa tuan-tuan berlaku begitu sungkan? Apa kalian ingin maju paling belakang, sesudah semua orang kecapaian? Jika benar begitu sikap itu tidaklah sesuai dengan sikapnya seorang gagah." Benar saja sesudah diejek, dua orang segera maju dengan berbareng dan duduk di dua kursi yang kosong. Yang satu bertubuh tinggi besar seperti pagoda dan waktu ia duduk, kursi Thay-su-ie yang kekar kuat mengeluarkan suara "kretek-kretek". Yang satunya lagi berbadan sedang-sedang saja dan di bawah dagunya tumbuh jenggot yang berwarna kuning. "Lao-hia," katanya seraya tertawa. "Kita menghadapi banyak sekali jago-jago dan cangkir Giok-liong belum tentu dapat direbut oleh kita. Maka itu, jangan kau merusakkan kursi itu." Si raksasa tidak menjawab, ia hanya mengeluarkan suara di hidung.

Seorang perwira yang memakai topi tingkatan keempat lantas saja maju ke depan dan berteriak sambil menunjuk si raksasa: "Tuan-tuan! Yang itu adalah Ciangbunjin dari partai Jie-long-kun, Oey Hie Kiat Oey Loosu." Kemudian ia menunjuk si jenggot kuning dan berkata pula: "Yang itu ialah Auwyang Kong Ceng, Auwyang Loosu, Ciangbunjin Yan-ceng-kun."  Seorang tua yang duduk di dekat meja Ouw Hui lantas saja berbisik: "Aha! Cian-lie Tok-heng-hiap Auwyang Kong Ceng juga ingin merebut cangkir!" (Pendekar yang berjalan sendirian dalam perjalan-an ribuan li).

Mendengar itu, Ouw Hui agak terkejut. Gelar Cian-lie Tok-heng-hiap telah ditempelkan pada namanya oleh Auwyang Kong Ceng sendiri, seorang perampok tanpa kawan yang namanya tidak begitu harum dalam kalangan Rimba Persilatan, tapi harus diakui, ia memang mempunyai kepandaian tinggi.

Sesudah kedua orang itu, maju pula seorang imam, yaitu See-leng Toojin, Ciangbunjin dari Kun-lun-to. Ia sama sekali tidak membawa senjata dan duduk di kursi Thay-su-ie sambil tersenyum. Semua orang merasa heran, karena sebagai pemimpin Kun-lun-to, ia tidak membekal golok.

Seluruh ruangan berubah sunyi senyap dengan semua mata ditujukan kepada kursi terakhir yang masih kosong.

"Masih ada sebuah Giok-liong-pwee," kata pula perwira itu. "Apa tidak ada yang mau?" Pertanyaan itu disambut dengan teriakan se¬orang: "Baiklah! Tinggalkan cangkir itu untuk aku, si setan arak!" Hampir berbareng, seorang pria yang bertubuh jangkung kurus bertindak ke luar dengan tindakan sempoyongan, dengan satu tangan men-cekal poci arak dan lain tangan memegang cawan. Begitu tiba di tengah-tengah ruangan, ia membuat dua putaran seperti orang mabuk arak dan ke¬mudian, ia terjengkang ke belakang dan jatuh duduk di kursi Thay-su-ie yang terakhir. Gerakan yang sangat lincah dan enteng itu memperlihatkan ke  pandaian yang tinggi, sehingga tanpa merasa bebe-rapa hadirin berseru: "Bagus!" Orang itu adalah Ciangbunjin dari partai Cui-pat-sian, namanya Bun Cui Ong, bergelar Cian-pwee Kie-su (Tuan dari ribuan cawan arak).

"Aku menghaturkan selamat kepada keempat Loosu," kata An Teetok. "Sekarang, siapa yang menganggap kepandaiannya melebihi keempat Loosu itu, boleh tampil ke muka dan mengajukan tantangan. Jika tidak ada yang menantang, maka Jie-Iong-kun, Yan-Ceng-kun, Kun-lun-to dan Cui-pat-sian akan termasuk dalam Giok-liong Pat-bun." Hampir berbareng, dari sebelah timur keluar seorang yang berjalan dengan tindakan lebar. "Siauwjin bernama Ciu Liong," ia memperkenalkan diri. "Aku ingin meminta pengajaran dari Cian-lie Tok-heng-hiap Auwyang Loosu." Orang itu ber-tubuh kate dengan otot-otot yang menonjol keluar, sehingga bentuk badannya menyerupai seekor ker-bau.

Ouw Hui tidak banyak mengenal orang-orang Rimba Persilatan, tapi baik juga, si kakek yang duduk di dekat mejanya mempunyai pengalaman luas dan ialah yang tanpa diminta selalu mencerita-kan asal usul setiap orang yang tampil ke muka. "Dia itu adalah Ciangbunjin dari Lo-cia-kun dan Cong-piauw-tauw Liong-hin Piauw-kiok di Tay-tong-hu, propinsi Shoasay," bisik si kakek kepada ka-wannya. "Kudengar Auwyang Kong Ceng pernah merebut piauw yang dilindungi olehnya, sehingga ia menaruh dendam. Menurut pendapatku, ia turun ke gelanggang bukan untuk merebut cangkir Giok-liong."  "Ya, dalam Rimba Persilatan memang banyak tersembunyi dendam sakit hati," kata Ouw Hui dalam hatinya. "Seperti aku, kedatanganku di sini terutama untuk menyelidiki tempat bersembunyi-nya Hong Jin Eng." Mengingat begitu, tanpa merasa ia melirik orang she Hong itu yang sedang meng-usap-usap Tiat-tannya dengan paras muka tenang. Sesudah dua malam berturut-turut terjadi keribut-an, Hong Jin Eng menganggap musuhnya sudah kabur ke lain tempat. Mimpi pun ia tak pernah mimpi, bahwa Ouw Hui justru berada dalam ruang-an itu.

Sementara itu, sambil tertawa haha-hihi, Auw¬yang Kong Ceng sudah bangun dari kursinya seraya berkata: "Ciu Cong-piauw-tauw, selamat bertemu! Bagaimana dengan perusahaanmu? Aku percaya kau telah mendapat banyak keuntungan." Mendengar ejekan itu, darah Ciu Liong me-luap. Pada tahun yang lalu, karena perampokan yang dilakukan oleh Auwyang Kong Ceng, ia mesti mengganti piauw yang berharga lima laksa tahil perak, sehingga simpanan yang dikumpul olehnya selama puluhan tahun, habis seluruhnya. Maka itu, tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia segera me-nyerang secara nekat. Dalam sekejap, mereka sudah mulai bertempur mati-matian. Ciu Liong bertenaga besar dan kedua kakinya mantap, sedang Auwyang Kong Ceng gesit gerakan-gerakannya. Dalam per-tandingan itu, dengan mengandalkan tenaga dan latihannya, Ciu Liong tidak menghiraukan pukulan musuh dan walaupun dadanya sudah tertinju tiga kali beruntun, ia seperti juga tidak merasakan pu¬kulan itu. Tiba-tiba sambil membentak keras, ia menghantam dengan pukulan Geng-hong-tah. Auwyang Kong Ceng berkelit seraya menendang dan tendangan itu mengena tepat di lutut musuhnya yang lantas saja rubuh terguling. Tapi, sesudah bergulingan beberapa kali, Cong-piauw-tauw yang kedot itu sudah lantas bangun berdiri lagi.

Sesudah bertanding kira-kira lima puluh jurus, belasan pukulan sudah mampir di tubuh Ciu Liong. Beberapa saat kemudian, waktu tidak berwaspada, tinju musuh mengenai tepat di hidungnya, yang lantas saja mengucurkan darah. "Ciu Loosu," kata Auwyang Kong Ceng dengan suara mengejek, "Aku hanya merampas piauwmu dan bukan merebut is-terimu atau membunuh ayahmu. Sudahlah! Kita menyudahi saja permusuhan ini." Ciu Liong yang sudah jadi kalap, terus mener-jang bagaikan harimau edan. Dengan mengandal-kan ilmu ringan badan, Auwyang Kong Ceng kelit serangan membabi buta itu sambil mengejek.

Selang beberapa jurus lagi, kempungan Ciu Liong kena ditendang, tapi sebaliknya daripada menyerah, sambil memegang kempungan dengan tangan kiri, ia melompat dan mengirim tinju dengan seantero tenaganya. Diserang secara begitu men-dadak, Auwyang Kong Ceng yang sedang tergirang-girang melihat musuhnya sudah hampir rubuh, tidak keburu berkelit lagi. "Buk!" tinju Ciu Liong me¬ngena tepat di dadanya, sehingga beberapa tulang-nya patah! Tubuh perampok itu bergoyang-goyang dan mulutnya menyemburkan darah.

Ia mengerti, bahwa musuhnya yang mendendam sakit hati hebat, pasti akan menyerang pula. Maka itu, sambil meringis-ringis, ia mundur seraya berkata: "Kau... kau menang...." Tapi Ciu Liong tidak mau mengerti dan terus lompat mengejar. Untung juga Tong Pay keburu mencegah: "Ciu Loosu, kau sudah memperoleh kemenangan dan tidak boleh turun tangan lagi. Duduklah di sini." Ciu Liong tidak berani membantah dan seraya merangkap kedua tangannya, ia berkata: "Siauwjin tidak berani merebut Giok-liong-pwee!" Ia me-mutar badan dan kembali pada tempat duduknya yang tadi.

Para hadirin yang mengenai asal usul Auwyang Kong Ceng merasa girang melihat robohnya pe¬rampok jahat itu. Dengan paras muka pucat karena sakit dan malu, orang she Auwyang itu tidak berani meninggalkan gedung Hok Kong An. Ia tahu, bahwa ia mempunyai terlalu banyak musuh dan dalam keadaan terluka berat, begitu keluar dari gedung itu, musuh-musuhnya pasti akan mengikutinya un-tuk membalas sakit hati. Maka itu, dengan tidak memperdulikan ejekan-ejekan, ia mengeluarkan obat luka dan menelannya dengan secawan arak, akan kemudian duduk di salah sebuah kursi, tanpa mengeluarkan sepatah kata.

Diam-diam Ouw Hui memuji kepintaran Ciu Liong. Dengan kepandaiannya yang tidak seberapa tinggi, memang ia tak usah harap bisa memperoleh cangkir giok itu. Dengan mengundurkan diri secara suka rela, meskipun tidak dapat berdiri sebagai anggota Giok-liong Pat-bun, nama Lo-cia-kun su¬dah naik tinggi.

"Jika Ciu Loosu tidak ingin turut merebut cang¬kir giok, kami mempersilahkan lain sahabat maju ke mari," kata Tong Pay.

Hampir berbareng dengan undangan itu, dua orang yang satu dari kiri dan yang lain dari kanan, dengan berbareng maju ke depan. Jarak antara mereka dan kursi Thay-su-ie kira-kira bersamaan dan siapa yang lebih cepat, dialah yang akan tiba lebih dulu. Apa mau, kedua orang itu maju dengan kecepatan bersamaan dan begitu tiba di depan kursi, pundak mereka beradu keras, sehingga ke-dua-duanya terpental. Pada detik itulah, sekonyong-konyong seorang lain melompat tinggi dan bagaikan seekor elang, tubuhnya melayang jatuh di atas kursi! Itulah suatu ilmu mengentengkan badan yang sa-ngat tinggi, sehingga para hadirin serentak ber-sorak-sorai.

Kedua orang yang berbenturan itu segera meng-awasi orang yang merebut kursi. Tiba-tiba mereka berseru dengan berbareng: "Ah! Kau!" Begitu ber-teriak, begitu mereka menerjang. Tanpa bergerak dari kursi, orang itu menendang dengan kaki kirinya dan penyerang yang di sebelah kiri lantas saja jatuh terpelanting. Hampir berbareng, tangan kanannya menyambar leher baju penyerang yang di sebelah kanan dan lalu menyentaknya, sehingga orang itu pun rubuh di lantai.

Para hadirin bersorak-sorai. Mereka tak duga orang itu begitu lihay.

An Teetok yang tidak mengenal orang itu lantas saja menghampiri seraya bertanya: "Apakah aku boleh mendapat tahu she dan nama tuan yang mulia serta partai mana yang dipimpin tuan?" Tapi sebelum orang itu keburu menjawab, ke¬dua orang yang barusan rubuh sudah melompat bangun dan lalu menyerang pula sambil mencaci dengan perkataan-perkataan kotor. Dari cacian itu, ternyata waktu berada dalam perjalanan, mereka berdua telah dipermainkan oleh orang yang duduk di kursi.

Tapi ilmu silat orang yang duduk di kursi banyak lebih unggul daripada kedua lawannya dan dengan mudah, ia kembali berhasil merubuhkan mereka.

"Cee Loojie!" teriak orang yang di sebelah kiri. "Urusan kita ditunda saja sampai di lain hari. Hari ini, kita harus lebih dulu membereskan bangsat ini." "Benar!" kata orang yang di sebelah kanan sambil mencabut sebilah pisau dari pinggangnya.

Si kakek yang duduk di dekat meja Ouw Hui, menghela napas dan berkata: "Semenjak Hoan-kang-houw (Belibis membalik sungai) meninggal dunia, murid-murid Ap-heng-bun (Partai gerakan bebek) benar-benar tidak berharga." Karena sangat kepingin tahu, Ouw Hui lantas saja bangun dari kursinya dan menghampiri kakek itu. Sambil mengangkat kedua tangannya, ia ber¬kata: "Aku mohon menanya, apakah kedua orang itu murid-murid dari Ap-heng-bun?" Si tua tertawa seraya berkata: "Kalau tidak salah, kita belum pernah bertemu muka. Apakah aku boleh mendapat tahu she dan nama tuan yang besar?" Sebelum Ouw Hui menjawab, Coa Wie yang sudah bangun berdiri, lantas mendului: "Biarlah aku yang memperkenalkan kalian. Yang ini adalah Ciangbunjin yang baru dari partai kami, Thia Leng Ouw, Thia Loosu. Loosu ini ialah Ciangbunjin Sian-thian-kun. Kwee Giok Tong, Kwee Loosu."  Si kakek mengenal Coa Wie dan juga tahu, bahwa Hoa-kun-bun adalah salah sebuah partai yang besar di Tiongkok Utara. Maka itu, ia lantas saja bangun berdiri dan mengundang Ouw Hui untuk duduk bersama-sama.

Sian-thian-kun adalah sebuah partai yang sudah berusia tua dan didirikan pada jaman kerajaan Tong. Dulu, partai itu mempunyai nama yang sangat cemerlang. Hanya sayang, setiap pemimpin partai tidak mau menurunkan seantero kepandaiannya kepada murid-muridnya dan selalu menyimpan satu dua pukulan untuk menjaga diri. Maka itulah, se-sudah melalui jangka waktu berabad-abad, ilmu silat Sian-thian-kun tidak lagi menonjol ke depan. Pada waktu itu, yaitu jaman kerajaan Ceng, partai Siang-thian-kun hanya sebuah partai kecil yang tidak begitu dipandang orang. Kwee Giok Tong cukup tahu diri. Ia mengerti, bahwa kepandaiannya tidak cukup untuk turut merebut cangkir dan ia duduk di situ hanya untuk menikmati makanan dan minuman Hok Kong An yang luar biasa.

Mendengar pertanyaan Ouw Hui, ia lantas saja berkata: "Ilmu silat Ap-heng-kun agak aneh. Kuda-kudanya kate, kuat di bagian kaki dan terutama lihay dalam ilmu berenang. Pada waktu Hoan-kang-houw masih hidup, partai itu menjagoi di wilayah Ho-tauw. Ia meninggal dunia dengan meninggalkan dua orang murid. Yang mencekal pisau adalah Cee Pek Cin, sedang yang memegang pusut bernama Tan Ko Po. Semenjak sepuluh tahun, mereka ber-dua berebut kedudukan Ciangbunjin dan sampai sekarang belum ada keberesannya. Dan sekarang, muka mereka cukup tebal untuk datang ke mari  bersama-sama." Ouw Hui tersenyum. Dalam Rimba Persilatan memang banyak terjadi kejadian yang aneh-aneh.

Sementara itu, dengan masing-masing mence¬kal senjata pendek, Cee Pek Cin dan Tan Ko Po menyerang dari kiri dan kanan. Tanpa berkisar dari kursinya, orang itu membentak: "Bocah goblok! Di Lan-ciu aku sudah memperingati supaya kamu ja-ngan datang ke mari. Tapi kamu tetap tidak me-ladeni." Semua mata lantas saja ditujukan kepada orang aneh itu, yang berusia kira-kira lima puluh tahun, memakai tutup mata hitam dan mengisap sebatang pipa, sedang di atas bibirnya terdapat kumis warna kuning seperti kumis tikus. Apa yang luar biasa adalah cara berkelahinya. Dengan sembarangan, ia menggerakkan kaki tangannya, tapi pukulan-pu-kulannya itu yang agaknya tidak bertenaga, selalu berhasil merubuhkan kedua lawannya.

"Kwee Loosu, siapa Cianpwee itu?" tanya Ouw Hui.

Kwee Giok Tong mengerutkan alisnya dan ber¬kata: "Dia... dia...." Paras mukanya berubah merah, karena ia tak tahu siapa adanya orang aneh itu.

"Bocah kurang ajar!" bentak pula si tutup mata hitam. "Kalau bukan memandang muka Hoan-kang-houw, aku pasti tak sudi campur-campur lagi urusanmu. Hoan-kang-houw adalah seorang gagah yang patut dihormati. Aku tak nyana, murid-murid¬nya sebangsa manusia rendah yang rakus. Eh! Kamu mau pulang atau tidak?" "Suhu pasti tidak mempunyai sahabat bau se¬perti kau!" bentak Tan Ko Po. "Aku berguru lima  enam tahun, tapi belum pernah lihat muka bang-kotanmu!" "Anak celaka!" caci si tutup mata. "Hoan-kang-houw kawan mainku, kawan main lumpur dan me-nangkap kutu. Kau tahu?" Tiba-tiba tangan kirinya menyambar dan "Plok!" mengena tepat di kuping Tan Ko Po. Sesaat itu, Cee Pek Cin menubruk dari sebelah kanan. Si tua mengangkat kakinya yang kena jitu di muka Pek Cin. "Sesudah gurumu me-ninggal, biar aku yang menghajar kau!" bentaknya.

Melihat pertunjukan yang lucu itu, semua orang tertawa geli. Tapi Cee Pek Cin dan Tan Ko Po benar-benar manusia tolol. Mereka sedikit pun tak bisa lihat, bahwa kepandaian mereka masih kalah terlalu jauh dari si tutup mata.

"Bocah, kau dengarlah!" bentak si tua lagi. "Hok Thayswee mengundang kamu datang di sini, apa kau kira dia mempunyai maksud baik? Hm! Dia mau mengadu domba kamu semua! Huh! Huh! untuk mendapat cangkir yang tidak cukup untuk memuat kencing, kamu saling geragot dan saling bunuh!" Mendengar perkataan itu, semua orang kaget bukan main. Ouw Hui manggut-manggutkan ke-palanya dengan perasaan kagum akan ketabahan orang tua itu.

Sekarang An Teetok tidak dapat menahan sa-bar lagi. "Siapa kau?" bentaknya. "Kau mau me-ngacau di sini?" Karena masih memandang muka para orang gagah, sedapat-dapat ia menahan ama-rah dan tidak lantas turun tangan.

Si tutup mata tertawa dan berkata dengan suara tenang: "Aku sedang mengajar cucu-cucuku dan tidak ada sangkut pautnya dengan kau." Sehabis  berkata begitu, bagaikan kilat pipanya berkelebat. Hampir berbareng pisau dan pusut yang dicekal Cee Pek Cin dan Tan Ko Po jatuh di lantai. Sesudah menyelipkan pipanya di pinggang, tangan kanannya menyambar ke kuping kiri Cee Pek Cin, sedang tangan kirinya menyambar ke kuping kanan Tan Ko Po. Ia bangun dan bertindak ke luar sambil menje-wer kuping kedua pemuda itu. Heran sungguh, tanpa mengeluarkan sepatah kata, dengan meringis seperti orang kesakitan, mereka mengikuti. Ter-nyata, sedang jempol dan telunjuk orang tua itu menjewer kuping, tiga jerijinya menekan jalan da-rah Kiang-kan-hiat dan Hong-hu-hiat yang terletak di belakang otak, sehingga kaki tangan kedua pe¬muda itu menjadi lemas dan tidak dapat melawan lagi.

Ouw Hui dan Leng So menyaksikan perbuatan si tua dengan rasa kagum dan menghormat.

"Binatang!" caci An Teetok. "Apa kau mau cari mampus...?" Kata-kata itu terhenti di tengah jalan, karena serupa benda bundar mendadak menyambar ke dalam mulutnya dan terus turun di tenggo-rokannya. Meskipun hidungnya mengendus bebau-an daging dan lidahnya merasakan rasa daging, seperti juga benda yang masuk ke dalam perutnya adalah sebuah bakso, tapi ia tidak dapat mene-tapkan apakah benar, benda bundar itu bakso ada-nya. Di samping itu, ia juga tak tahu siapa yang sudah menimpuknya. Maka itu, dengan paras muka pucat, ia berdiri bengong seperti patung.

Tong Pay yang duduk di belakang An Teetok tidak dapat melihat kejadian itu. "Dalam dunia Kang-ouw memang terdapat banyak sekali orang orang gagah yang hidup mengasingkan diri," kata-nya sesudah orang aneh itu berlalu.

"Karena Cianpwee yang tadi sungkan bergaul dengan manusia biasa, maka kita pun tidak dapat berbuat apa-apa. Sekarang Loosu manakah yang ingin mengisi kursi yang kosong ini?" "Aku!" demikian terdengar satu suara. Orang heran, sebab ada suara, tiada orangnya. Beberapa saat kemudian, dari antara orang banyak barulah muncul seorang kate yang tinggi tubuhnya hanya tiga kaki lima enam dim, sedang mukanya yang berjenggot kelihatan angker sekali. Melihat si kate, beberapa jago muda tidak tahan untuk tidak ter-tawa. Tiba-tiba orang kate itu menengok dan meng-awasi dengan sorot mata angker, sehingga orang-orang yang tertawa lantas saja bungkam.

Si kate berhenti di depan kursi Oey Hie Kiat dan mengawasi raksasa itu dari kepala sampai di kaki dan dari kaki sampai di kepala lagi. Melihat lagak orang yang aneh, Hie Kiat menegur: "Eh, lihat apa kau? Apa kau mau menjajal kepandaian de-nganku?" Orang kate itu tidak menjawab, ia hanya menge-luarkan suara di hidung sambil berjalan ke belakang kursi. Karena khawatir dibokong, Hie Kiat memutar tubuhnya dan si kate kembali ke depan kursi, sedang matanya terus mengawasi muka orang.

"Loosu itu adalah Cong Hiong, Cong Loosu, Ciangbunjin dari Tee-tong-kun di propinsi Siam-say," kata An Teetok.

Sebab diawasi secara begitu, darah Hie Kiat lantas saja meluap dan ia bangun berdiri. "Cong Loosu!" bentaknya. "Aku ingin meminta pelajaran dari ilmu silat Tee-tong-kun." Di luar dugaan, tanpa mengeluarkan sepatah kata, Cong Hiong menotol lantai dengan kakinya dan badannya lantas saja melesat ke kursi yang kosong.

Oey Hie Kiat tertawa terbahak-bahak seraya berkata: "Jika kau tidak ingin bertempur denganku, baiklah!" Sehabis berkata begitu, ia duduk lagi di kursinya.

Tapi sungguh aneh, begitu lekas si raksasa duduk, si kate bangun dan berdiri pula di depan kursi Oey Hie Kiat sambil menatap wajah orang.

"Eh, lihat apa kau!" bentak Hie Kiat dengan suara gusar.

"Tadi, waktu minum arak, mengapa kau meng¬awasi aku sambil tertawa-tawa?" tanya Cong Hiong. "Kau mentertawai badanku kate, bukan?" "Badanmu kate, ada sangkut paut apakah de¬nganku?" kata si raksasa seraya menyengir.

Cong Hiong jadi gusar. "Binatang! Kau menarik keuntungan secara tidak halal atas diriku!" teriak-nya.

"Menarik keuntungan tidak halal?" menegas Hie Kiat dengan heran.

"Kau mengatakan, bahwa katenya badanku tia¬da sangkut pautnya denganmu," jawabnya. "Huh -huh. Aku bertubuh kate memang hanya bersangkut paut dengan ayahku. Dan dengan mengatakan be¬gitu, bukankah kau sengaja mengejek ayahku?" Mendengar perkataan itu, semua orang tertawa besar  Hok Kong An menyemburkan teh yang baru masuk ke dalam mulutnya. Thia Leng So meneng-kurep di meja sambil memegang perut, sedang Ouw Hui sedapat mungkin menahan tertawa, sebab kha-watir jenggot palsunya jatuh.

Hie Kiat pun tertawa geli. "Tidak berani, tidak berani aku mengejek ayah Cong Loosu," katanya.

Tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, Cong Hiong segera meninju kempungan orang. Meskipun bertubuh tinggi besar, Oey Hie Kiat ternyata cukup gesit dan dengan sekali menekan lengan kursi, tubuhnya sudah melesat ke samping. Hampir ber-bareng terdengar suara gedubrakan dan kursi Thay-su-ie itu hancur jadi puluhan potong! Gelak tertawa terhenti serentak. Semua orang kaget, karena me-reka tak duga, Cong Hiong yang berbadan kate kecil mempunyai tenaga yang sedemikian hebat.

Begitu tinjunya melesat, Cong Hiong segera bergulingan di lantai dan menyerang bagian bawah dengan menggunakan ilmu silat Tee-tong-kun. De¬ngan beruntun-runtun. Oey Hie Kiat membela diri dengan tendangan Sauw-tong-tui. Tui-po-kwa-houw-sit. Tiauw-cian-po dan Iain-lain, tapi ia masih tetap kewalahan. Ilmu silat Jie-long-kun menguta-makan pukulan tangan dan tidak begitu memper-hatikan ilmu menendang. Jika bertemu dengan la-wan biasa, dengan menggunakan Jie-long-tan-san-ciang, Kay-ma-sam-kun dan Iain-lain pukulan, di-tambah lagi dengan tenaganya yang sangat besar, dengan mudah ia dapat merubuhkan lawan itu. Apa celaka, ia sekarang bertemu dengan si kate yang menyerang dengan bergulingan. Ilmu menendang vang dimilikinya adalah untuk menendang tubuh atau kepala musuh. Maka itu, dalam menghadapi Cong Hiong, bukan saja tinjunya tidak berguna, tapi kakinya pun selalu menendang ke tempat kosong.

Untuk membela diri, jalan satu-satunya ialah me-lompat kian ke mari.

Sesudah bertempur puluhan jurus, Hie Kiat sudah kena beberapa tendangan dan sesaat ke-mudian, kedua kaki Cong Hiong mengena tepat di kedua lututnya, sehingga, tanpa ampun lagi, ia ru-buh di atas lantai.

Dengan girang, si kate lalu menubruk. Tapi di luar dugaan, biarpun sudah rubuh, Hie Kiat masih keburu mengirim tinju dengan sekuat tenaga. "Buk!" Cong Hiong terpental setombak lebih! Tapi begitu jatuh, begitu ia bangun dan terus menerjang pula. Sambil berlutut, Hie Kiat melayani musuhnya dan dalam kedudukan begitu, ia dapat melawan si kate yang menyerang dengan bergulingan.

Mereka berdua adalah bangsa kedot yang tahan sakit dan biarpun keduanya sudah kena pukulan-pukulan hebat, pergulatan masih dilangsungkan te¬rus. Sesudah Iewat sekian jurus lagi, sekonyong-konyong Cong Hiong menghatam dada Hie Kiat dengan kedua tinjunya. Hie Kiat mengegos sambil menjambret leher si kate dan dengan sekali mem-balik tubuh, ia menindih badan lawan dengan ba-dannya yang seperti raksasa. Si kate coba mem-berontak sekuat tenaga, tapi tidak bergeming, ka¬rena Hie Kiat yang sudah berada di atas angin, terus menindih dan memeluknya secara mati-matian. Be¬berapa saat kemudian, paras muka Cong Hiong berubah pucat dan tenaga memberontaknya se-makin lemah.

Melihat perkelahian pcluk banting itu yang tidak mirip-miripnya dengan pertandingan antar dua Ciangbunjin, para hadirin menggeleng-geleng kan kepala.

Mendadak, dari antara orang banyak melompat ke luar seorang lelaki yang bertubuh tinggi besar dan yang, segera menghantam punggung Oey Hie Kiat.

"Mundur!" bentak An Teetok. "Tidak boleh mengerubuti!" Tapi orang itu tidak meladeni dan tinjunya mengena tepat di punggung si raksasa yang dalam kesakitannya terpaksa melepaskan cekalannya. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan baik, Cong Hiong memberontak dengan seantero tenaganya dan melompat bangun.

Tiba-tiba seorang lelaki lain kembali melompat ke luar dan tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia meninju lelaki yang bertubuh tinggi besar itu. Ter-nyata mereka itu adalah murid kepala Cong Hiong dan putera Oey Hie Kiat. Di lain saat, dalam ge-langgang berlangsung perkelahian antara dua pa-sang musuh dan para tamu membantu keramaian itu dengan bersorak-sorai dan menepuk-nepuk ta¬ngan. Dengan demikian, apa yang tertampak lebih banyak menyerupai tontonan wayang daripada pie-bu antara pentolan-pentolan Rimba Persilatan.

Sesudah mendapat pengalaman getir, Cong Hiong tidak berani berlaku sembrono lagi dan ia berkelahi dengan hati-hati, sehingga pertempuran antara si kate dan si raksasa jadi berimbang. Di lain pihak, putera Oey Hie Kiat yang belum berpeng-alaman sudah terjungkal beberapa kali dan ke-mudian, dalam gusarnya, ia mencabut sebilah golok pendek yang disembunyikan di kaos kaki. Murid Cong Hiong kaget dan sebab tidak membekal sen jata, buru-buru ia menjambret kursi Thay-su-ie yang kosong, yang lalu digunakan untuk menangkis sen-jata musuh. Semakin lama pie-bu itu jadi semakin kacau dan merosot martabatnya.

"Pie-bu apa ini? Semua mundur!" teriak An Teetok.

Tapi keempat orang itu yang sedang meluap darahnya, tidak menggubris.

Sekonyong-konyong Hay Lan Pit bangun ber-diri dan membentak: "Eh! Apa kamu tak dengar pcrkataan An Teetok?" Sesaat itu, putera Oey Hie Kiat tengah mem-bacok musuhnya yang dengan sekali berkelit, dapat menyelamatkan diri. Pada detik golok membacok tempat kosong, tangan Hay Lan Pit menyambardan mencengkeram dada puteranya Hie Kiat yang lalu dilontarkan keluar gelanggang. Hampir berbareng, tangannya yang lain menjambret murid Cong Hiong yang juga lantas dilemparkan sampai di cimhee. Semua orang terkejut. Di lain saat, kedua tangan Hay Lan Pit sudah mencekal Hie Kiat dan Cong Hiong yang segera dilemparkan dengan berbareng. Apa yang lucu adalah keempat orang itu jatuh di satu tempat dengan bersusun tindih. Begitu jatuh, begilu mereka saling gcbuk lagi dan perkelahian baru berhenti sesudah mereka dipisahkan oleh be¬berapa Wie-su.

Kepandaian yang diperlihatkan Hay Lan Pit mengejutkan semua orang. Biarpun Cong Hiong dan Oey Hie Kiat bukan ahli-ahli silat kelas utama, tapi mereka adalah jago-jago yang mempunyai nama dalam Rimba Persilatan. Bahwa mereka telah di¬lontarkan secara begitu rupa oleh pcrwira Boan itu, adalah kejadian di luar dugaan semua orang.

Sesudah mcnghentikan pcrkelahian itu, Hay Lan Pit segera mendekati An Teetok dan bicara dalam bahasa Boan.

"Kepandaian Hay Tayjin benar-benar tinggi dan tidak dapat disusul oleh kami semua," mcmuji Tong Pay sesudah perwira itu kembali ke tempat duduk-nya. Terhadap pujian itu, Hay Lan Pit segera me-ngeluarkan kata-kata merendahkan diri. Sesaat ke-mudian seorang pelayan keluar dengan nicmbawa sebuah kursi Thay-su-ie untuk ditukar dengan kursi yang hancur.

Sementara itu, sesudah menyaksikan kepandai¬an Hay Lan Pit, See-leng Toojin, Ciangbunjin dari Kun-lun-to merasa tidak enak dalam hatinya, ka-rena diam-diam ia mengakui, bahwa ilmu silatnya masih kalah jauh jika dibandingkan dengan perwira Boan itu. Tapi Bun Cui Ong, Ciangbunjin Cui-pat-sian, tetap tenang-tenang saja dengan kadang-ka-dang menceguk cawan arak.

Sesudah ketenangan pulih, An Teetok berkata pula sesudah batuk-batuk beberapa kali. "Hok Thayswee mengundang kalian datang ke mari ada¬lah untuk menetapkan kepandaian masing-masing. Maka itu, aku mengharap, bahwa kejadian barusan yang sangat memalukan tidak terulang lagi. Di sini masih terdapat dua kursi kosong yang kuharap akan diisi oleh orang-orang gagah yang benar-benar mempunyai kepandaian tinggi." "Hei! Jangan mengejek kau! Apa kau kira aku bukan orang gagah tulen?" mengomel Cong Hiong dengan suara gusar.

Tapi semua orang tidak memperdulikan lagi omelan si kate, karena mata mereka sudah di-tujukan kepada dua kursi Thay-su-ie yang sekarang sudah terisi. Ternyata, di satu kursi sudah duduk seorang pendetayangmengenakanjubah pertapaan warna putih dan yang diperkenalkan oleh An Tee¬tok sebagai Hachi Taysu dari Mongolia, sedang di kursi yang satunya lagi duduk dua orang yang muka dan dandanannya tidak berbeda satu sama lain. Alis mereka turun, mata mereka seperti mata ayam jantan yang sedang berkelahi dengan biji mata yang terletak dekat dengan batang hidung dan dengan sekelebatan saja, orang lantas menduga, bahwa me¬reka adalah saudara kembar.

Sambil tersenyum-senyum, An Teetok berkata: "Dua orang gagah yang duduk di kursi itu adalah kedua Ciangbunjin dari Song-cu-bun di propinsi Kwiciu, yaitu Nie Put Toa dan Nie Put Siauw, Nie Loosu." (Nie Put Toa = Nie Tidak Besar. Nie Put Siauw = Nie Tidak Kecil).

Melihat dua saudara itu yang seakan-akan pi-nang dibelah dua, semua orang jadi merasa gembira dan mereka saling menduga-duga, bahkan ada yang berlaruh, yang mana kakak, yang mana adik. Bukan saja para tamu, malah Hok Kong An sendiri meng-awasi kedua orang itu sambil tersenyum.

Selagi orang ramai bicara, tiba-tiba satu ba-yangan berkelebat dan seorang wanila berdiri di tengah gelanggang. Nona itu yang berusia kira-kira dua puluh tahun dan mengenakan baju kuning dengan kun hijau, berparas sangat cantik.

"San Hui Hong, San Kouwnio, Ciangbunjin dari Ngo-ouw-bun di Hong-yang-hu!" seru An Teetok.

Melihat turunnya seorang wanita cantik, para hadirin jadi lcbih bcrsemangat.

"Murid-murid Ngo-ouw-bun biasanya mencari nafkah dalam dunia Kang-ouw dengan menjual silat dan obat-obatan," menerangkan Kwee Giok Tong kepada Ouw Hui. "Menurut kebiasaan partai itu yang menjadi Ciangbunjin harus seorang wanita. Meskipun mempunyai kepandaian tinggi, seorang pria tidak dapat memimpin Ngo-ouw-bun. Tapi apa nona yang berusia begitu muda mempunyai kepan¬daian tinggi?" Di lain saat, San Hui Hong sudah berada di hadapan kedua saudara Nie dan sambil menolak pinggang, ia menegur: "Bolehkah aku mendapat tahu, di antara kalian berdua, siapa kakak dan siapa adik?" Kedua orang itu tidak menjawab, mereka hanya menggelengkan kepala.

Nona San tersenyum dan berkata pula: "Walau-pun kalian saudara kembar, tapi dalam pcrsau-daraan kembar, ada yang terlahir lebih dulu. ada vang belakangan." Kedua saudara kembar itu tetap menggeleng-gelengkan kepala.

"Ah! Aku sungguh tak mengerti sikapmu," kata pula si nona. Sambil menunjuk kepada orang yang duduk di sebelah kiri, ia berkata lagi: "Apa kau yang lcbih tua?' Orang itu menggelengkan kepala. Hui Hong menunjuk yang di sebelah kanan dan me-nanya pula: "Kalau begitu, kaulah yang lebih tua, bukan?" Dia pun menggoyang-goyangkan kepala.

Hui Hong mengerutkan alisnya. "Loosu, sikap¬mu sungguh mengherankan," katanya dengan suara mendongkol. "Kita, orang-orang Rimba Persilatan biasanya tidak pernah berdusta." "Apa kau kata?" bentak yang duduk di sebelah kanan. "Siapa berdusta? Aku bukan kakaknya dan dia pun bukan kakakku." "Apakah kalian bukan saudara satu sama lain?" tanya si nona.

Dengan berbareng, lagi-lagi mereka meng-geleng-gelengkan kepala.

Semua orang heran bukan main. Dilihat dari rupa dan pakaian, terang-terangan mereka adalah saudara kembar. Tapi mengapa mereka bersikap begini aneh? San Hui Hong mengeluarkan suara di hidung. "Dengan menggelengkan kepala, kalian sudah ber¬dusta," katanya. "Kalau orang mengatakan, bahwa kalian bukan saudara kembar, biarpun dipotong kepala, aku tak akan percaya. Hayolah! Yang mana Nie Put Toa Loosu." "Aku Nie Put Toa," jawab yang di sebelah kiri.

"Bagus," kata si nona. "Siapa yang terlahir lebih dulu, apa kau, apa dia?" Nie Put Toa mengerutkan alisnya. "Nona, me¬ngapa kau begitu rewel?" tanyanya dengan suara mendongkol. "Kau bukan ingin mengikat famili dengan kami berdua saudara, perlu apa kau begitu melit?" Hui Hong menepuk-nepuk tangan dan tertawa geli. "Aha! Sekarang kau sudah mengaku, bahwa kalian berdua adalah saudara," katanya.

"Benar, memang benar kami bersaudara, tapi bukan saudara kembar," kata Nie Put Siauw.

"Aku tidak percaya," kata Hui Hong.

"Terserah," kata Nie Put Toa.

Tapi si nona masih saja tidak merasa puas. "Persaudaraan kembar sedikit pun tiada jeleknya. Mengapa kau terus menyangkalnya?" katanya.

Kedua saudara itu berdiam sejenak dan kemu-dian Nie Put Siauw berkata: "Kalau kau sangat ingin tahu hal ihwalnya kami, kami pun berscdia untuk mcmberitahukannya. Tapi kami mcmpunyai serupa peraturan. Siapa saja yang sudah mendengar rahasia kelahiran kami, dia harus menerima tiga pukulan dari aku dan saudaraku. Jika dia tidak mau dipukul, boleh juga ditukar dengan berlutut tiga kali di hadapan kami berdua." Karena didorong dengan rasa heran yang sangat besar, si nona jadi nekat dan berkata seraya meng-angguk. "Baiklah, kalian beritahukanlah kepadaku," katanya.

Kedua saudara itu bangun berdiri dengan ge-rakan yang sangat bersamaan. "Aha! Lihatlah!"seru Hui Hong. "Setan pun tidak percaya, bahwa kalian bukan saudara kembar." Sekonyong-konyong kedua saudara itu menge-luarkan tangan mereka dari dalam tangan baju dan dengan serentak terlihat berkelebat-kelebatnya si-nar emas. Ternyata, dua puluh jari mereka disarung-kan dengan bidal-bidal emas yang panjang tajam dan dapat digunakan sebagai senjata untuk men-cengkeram musuh. Mendadak, tangan mereka me-nyambar ke arah Hui Hong yang jadi kaget bukan main dan buru-buru melompat ke samping. "Bikin apa kau?" membentak si nona.

Semenjak dilahirkan, kedua saudara itu belum pernah berpisahan dan dalam ilmu silat, mereka dapat bekerjasama seerat-eratnya, yang satu mem bantu yang lain dalam pembelaan diri dan serangan-serangan yang sudah dilalih selama bertahun-tahun. Maka itu, tidaklah heran, dalam sekejap San Hui Hong sudah jaluh di bawah angin. la hanya dapat membela diri, tanpa mainpu membuat serangan membalas.

Para penonton lantas saja mulai berteriak-tc-riak.

"Tidak adil! Tak malu! Dua lelaki mengerubuti satu perempuan!" teriak seorang.

"Si nona tangan kosong. kau berdua mengguna-kan senjata. Ah! Lebih-Iebih tak tahu malu," seru yang lain.

"Saudara kccil! Bantulah nona itu. Mungkin ia akan sangat berterima kasih kepadamu. Ha-ha-ha!" teriak orang ketiga.


DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar