-------------------------------
----------------------------
Jilid 7
Sesudah itu, Ouw Hui naik pula
ke atas loteng dan membuka jalan darah tiga tukang pukul Hong Jin Eng. la
mengambil enam rantai besi yang terus dilibatkan ke leher mereka dan ketiga
kawannya yang lain.
Kemudian, dengan mencekal
ujung rantai, ia menarik enam orang itu turun ke bawah loteng.
"Di mana rumah gadai Hong
Jin Eng?" tanya-nya. "Aku mau menggadaikan enam anjing jahat."
"Dari sini jalan terus ke
arah timur, sesudah melewati tiga persimpangan jalan, kau akan ber-temu dengan
sebuah gedung yang bertembok ting-gi," sahut seorang. "Itulah rumah
gadai Hong Looya."
"Terima kasih!" kata
Ouw Hui yang terus me-nyeret keenam tawanannya itu. Sejumlah orang lantas saja
mengikuti dari kejauhan untuk menyak-sikan, bagaimana pemuda itu menggadaikan
ma-nusia hidup.
Setibanya di depan Penggadaian
Enghiong, Ouw Hui lantas berteriak: "Hei! Enghiong (orang gagah)
menggadaikan anjing!" Sembari menyeret enam orang itu, ia menghampiri meja
tinggi tempat menerima gadaian. "Aku mau menggadaikan enam ekor anjing, setiap
ekor seribu tail perak," katanya.
Pegawai rumah gadai itu
terkejut bukan main. Semua orang di Hud-san-tin mengetahui, bahwa penggadaian
itu adalah milik Hong Jin Eng dan selama belasan tahun, belum pernah terjadi
kekacauan. Kenapa sekarang muncul orang gila yang mau menggadaikan manusia? Ia
mengawasi lebih teliti dan hatinya jadi lebih-lebih terkejut sebab ia mendapat
kenyataan, bahwa enam orang itu adalah kaki tangan majikannya sendiri.
"Kau... kau... mau
menggadaikan apa?" tanya-nya.
"Tuli kau!"
membentak Ouw Hui. "Aku mau menggadaikan enam anjing jahat, setiap ekor
seribu tail, seluruhnya berjumlah enam ribu tail."
Sekarang si pegawai
penggadaian mengetahui, bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang yang sengaja
mau mencari urusan. Ia segera membisiki seorang kawannya, supaya dia buru-buru
memberi-tahukan busu (ahli silat) yang melindungi rumah gadai tersebut.
Sesudah itu, dengan sikap
hormat ia berkata: "Menurut peraturan, rumah gadai kami tidak dapat
menerima gadaian berjiwa. Maka itu, harap tuan suka memaafkan aku."
"Baiklah," kata Ouw
Hui. "Jika kau menolak anjing hidup, aku akan menggadaikan anjing
mam-pus."
Enam orang itu mencelos
hatinya. "Jie Suya!" mereka berteriak. "Terimalah kami. Tolong
jiwa
kami."
Tapi pegawai itu mana mau gampang-gampang
mengeluarkan enam ribu tail perak? "Duduklah," katanya. "Apakah
tuan mau minum teh?"
"Sesudah anjing hidup
menjadi anjing mati, barulah aku minum tehmu," jawab Ouw Hui. Se-habis
berkata begitu, ia menghampiri pintu, men-cekal sebelah daun pintu tersebut
dengan kedua tangannya dan sekali ia mengangkat, daun pintu itu sudah copot
dari engselnya.
Melihat keadaan semakin
runyam, si pegawai lantas menegur: "Tuan, apa sih sebenarnya
mak-sudmu?"
Ouw Hui tak menyahut, tapi
menyapu beberapa kali dengan kakinya dan enam tawanannya lantas rubuh di atas
lantai. Tanpa berkata suatu apa, ia menindih badan mereka dengan daun pintu
itu.
"Sahabat!" kata si
pegawai dengan suara jeng-kel. "Sudahlah! Jangan mengacau di sini. Apa kau
tahu, ini tempat apa? Kau tahu rumah gadai ini milik siapa?"
Melihat muka manusia itu yang
seperti muka tikus, Ouw Hui mengetahui dia tentunya bukan manusia baik. Dengan
mulut tetap membungkam, ia menghampiri meja tempat menggadaikan sesuatu dan
menjambret thaucang orang itu, yang lalu di-angkat dan kemudian ditindih di
bawah daun pintu. Sesudah itu, dengan kedua tangannya, ia meng¬angkat sebuah
tambur batu besar yang terletak di pinggir pintu. Dengan tetap tak mengeluarkan
se-patah kata, ia melemparkan tambur itu ke atas daun pintu!
Jika orang mengetahui, bahwa
berat tambur itu
tidak kurang dari lima ratus
kati, dapatlah ia mem-bayangkan hebatnya timpukan itu. Dengan ber-bareng,
ketujuh orang itu tertindih di bawah daun pintu, mengeluarkan teriakan yang
menyayatkan hati. Orang-orang yang menonton di luar dan para pegawai
penggadaian juga mengeluarkan teriakan kaget.
Belum cukup dengan itu, Ouw
Hui kembali memondong sebuah tambur batu lain dan berseru: "Anjing jahat
belum mampus, harus ditambah lagi dengan sebuah tambur!" Sembari berseru
ia melem-parkan tambur itu ke atas! Sekali lagi semua orang mengeluarkan
teriakan kaget, sedang batu besar itu melayang turun ke arah daun pintu itu
dengan kecepatan luar biasa. Pada detik yang sangat ber-bahaya, mendadak Ouw
Hui mementang kedua tangannya dan batu itu berhenti dalam pelukannya! Di lain
saat, dengan perlahan ia meletakkan tambur tersebut di atas daun pintu tadi.
Sekarang berat tindihan sudah kira-kira seribu kati yang seluruhnya harus
dipikul oleh ketujuh orang itu.
"Hoohanya (orang gagah)
ampun!" teriak si orang she Jie. "Lekas ambil uang!"
Melihat kejadian itu,
kawan-kawannya tak bisa berbuat lain daripada mengeluarkan enam ribu tail perak
secepat mungkin. Dengan tenang Ouw Hui menumpuk kantong-kantong perak tersebut
di atas daun pintu itu.
"Enam ekor anjing laku
digadaikan enam ribu tail," kata Ouw Hui. "Sekarang ditambah lagi
dengan seorang pegawai rumah gadai. Masakah pegawai Rumah Gadai Enghiong yang
kesohor, berharga lebih rendah dari seekor anjing? Hm! Sedikitnya
tiga ribu tail." Berat
enam ribu tail perak ada kira-kira tiga ratus tujuh puluh kati lebih dan
dapatlah orang menaksir-naksir hebatnya penderitaan ke¬tujuh orang itu yang
ditindih dengan seribu tiga ratus kati lebih.
Selagi ribu-ribut, di luar
pintu tiba-tiba ter-dengar suara bentakan: "Manusia dari mana yang berani
mengacau di sini?"
Di lain saat, dua orang yang
bertubuh tinggi besar meloncat masuk ke dalam. Mereka berpa-kaian serba hitam
dengan kancing-kancing putih, yaitu pakaian seorang busu (ahli silat).
Dengan sekali meloncat, Ouw
Hui sudah ber-ada di belakang mereka dan kedua tangannya yang seperti besi
sudah mencengkeram leher kedua busu itu. Mereka itu adalah tukang-tukang pukul
rumah gadai, yang ketika Ouw Hui baru datang, sedang berjudi di sarang judi
Enghiong Hweekoan. Begitu mendapat laporan tentang kekacauan di rumah gadai,
buru-buru mereka kembali, tapi sebelum melihat tegas muka si pengacau, leher
mereka sudah kena dicengkeram.
Ouw Hui mengerahkan tenaganya
dan tubuh kedua orang itu terangkat naik. Ia menggoyang kedua tangannya dan
badan mereka terkocok pu-lang pergi di tengah udara. Hampir berbareng, beberapa
kartu Thiankiu jatuh dari badan seorang busu dan dua biji dadu terlepas dari
tangan busu yang lain.
"Bagus!" kata Ouw
Hui sembari tertawa. "Ter-nyata kamu adalah setan-setan judi!"
Sembari ber-kata begitu, ia melemparkan kedua tukang pukul itu di atas daun
pintu. Demikianlah, berat tindihan
jadi bertambah lagi dengan
kira-kira empat ratus kati.
Pengurus rumah gadai, yang
khawatir kawannya binasa, terpaksa menyoja kepada Ouw Hui ber-ulang-ulang dan
memerintah beberapa pegawai mengambil tiga ribu tail perak lagi. Hatinya merasa
heran sekali, kenapa Hong Jin Eng masih juga belum datang menolong.
Harus diketahui, bahwa dengan
mengacau di restoran dan di rumah gadai, Ouw Hui ingin me-mancing supaya Hong
Jin Eng muncul sendiri. Se-sudah mendapat pengalaman getir di Siang-kee-po, ia
selalu berlaku hati-hati.
la yakin bahwa sebagai orang
yang bergelar Lam-pa-thian (orang yang menguasai daerah Se-latan), gedung Hong
Jin Eng tentu lebih hebat persiapannya daripada Siang-kee-po. Maka itu, jika
menyatroni rumah Hong Jin Eng, ia khawatir ter-jebak. Dan ia sama sekali tidak
menduga, bahwa sesudah membikin ribut di dua tempat, orang she Hong itu masih juga
belum muncul.
Melihat beberapa pegawai rumah
gadai sudah mengeluarkan tiga ribu tail perak, lantas saja ia memerintah:
"Letakkan di atas daun pintu!"
Beberapa pegawai itu
mengetahui, bahwa dile-takkannya perak tersebut di atas daun pintu, berarti bertambahnya
tindihan dengan seratus delapan pu-luh kati. Tapi mereka tak berani membantah
dan lalu menumpuk bungkusan-bungkusan perak itu di tempat yang ditunjuk.
"Hei!" Ouw Hui
berteriak. "Apakah rumah ga¬dai ini dibuka oleh paduka Kaisar? Kenapa kamu
begitu tak tahu aturan?"
"Apa lagi yang diinginkan
tuan?" tanya si pe¬ngurus sembari membungkuk.
"Aku menggadai, kenapa
tidak diberikan surat gadai?" tanya Ouw Hui dengan mata melotot.
Si pengurus yang sedang
kebingungan, lantas saja berteriak: "Lekas tulis surat gadai." Para
pe¬gawai tak mengetahui apa yang harus ditulisnya. Tapi dalam keadaan terdesak,
mereka menulis saja seperti berikut:
"Digadaikan enam pegawai
gedung keluarga Hong dan satu pegawai rumah gadai. Kulit pecah, daging hancur,
kaki tangan tak lengkap. Digadaikan untuk sembilan ribu tail perak."
Menurut kebiasaan pada jaman
pemerintahan Boan, jika seseorang menggadaikan barang, mes-kipun barangnya itu
masih baru, akan tetapi dalam surat gadai selalu ditulis barang
"rusak". Maksud tulisan itu untuk mencegah percekcokan diwaktu barang
tersebut ditebus. Menggadaikan manusia hidup adalah kejadian yang baru pernah
mereka alami dan karena kebiasaan, pegawai rumah gadai sudah menambah kata-kata
"kulit rusak, daging hancur, kaki tangan tak lengkap".
Sembari mesem Ouw Hui menerima
surat gadai itu dari tangan si pengurus.
"Angkat kedua tambur batu
itu!" bentak Ouw Hui kepada dua busu itu.
Karena tak kuat mengangkat
sendiri, mereka berdua lalu menggotongnya dengan mengeluarkan banyak keringat.
"Bagus!" kata Ouw
Hui pula. "Sekarang marilah
kita jalan-jalan ke tempat
judi. Gotonglah modalku yang berada di atas daun pintu itu."
Kedua busu itu yang sudah
menjadi luar biasa jinaknya, lantas saja menurut perintah Ouw Hui dan mengikuti
pemuda itu dari belakang.
Rakyat menyaksikan, bagaimana
dengan tangan kosong, Ouw Hui sudah mengobrak-abrik rumah gadai terbesar di
Hud-san-tin, rata-rata merasa syu-kur dan girang hati. Tapi sebab takut
dimarahi Hong Looya, mereka tak berani mendekati pemuda gagah itu. Sekarang
mendengar Ouw Hui hendak pergi ke tempat judi, mereka jadi lebih bersemangat
dan jumlah orang yang mengikuti menjadi semakin besar.
Rumah judi itu dibuka dalam
kelenteng Kwan-tee-bio, di ujung kota. Di depan pintu terdapat empat huruf
besar yang berbunyi: Enghiong Hweekoan.
Dengan tindakan lebar, Ouw Hui
masuk ke dalam. Di ruangan besar kelihatan berkerumun sekelompok orang
mengelilingi meja dadu. Si ban¬dar judi, yang tebal alisnya dan besar matanya,
duduk di tengah-tengah meja. la mengenakan pa-kaian sutera hitam, keluaran
Hud-san-tin yang ter-kenal, dengan baju tidak terkancing, sehingga dada-nya
yang berbulu kelihatan menyolok sekali.
Melihat masuknya Ouw Hui
bersama kedua busu itu yang menggotong daun pintu dengan tum-pukan
kantong-kantong perak, si bandar terkejut dan menanya: "Coa-pie Thio (Thio
si Kulit ular), bikin apa kau?"
Orang she Thio itu monyongkan
mulutnya ke arah Ouw Hui, seraya berkata: "Hoohan-ya itu hendak main-main
di sini."
Hong Jin Eng adalah seorang
yang mempunyai pergaulan luas dan banyak sekali kawannya. Me¬lihat sikap
ketakutan Coa-pie Thio, bandar itu menduga, bahwa Ouw Hui adalah satu kawan
ma-jikannya.
"Bagus!" katanya di
dalam hati. "Orang kata. buka warung nasi tak takut akan tamu yang
pe-rutnya besar, buka rumah judi tak takut penjudi kaya. Dua daun pintu lagi,
aku masih bersedia menerima."
Memikir begitu, lantas saja ia
berkata sembari tertawa: "Sahabat, bolehkah aku mengetahui shemu yang
mulia? Duduk, duduklah."
"Aku she Pat, namaku Hong
Mo," jawab Ouw Hui sembari mengambil tempat duduknya.
Si bandar terkejut, ia
mengerti, bahwa pemuda itu mau cari gara-gara. Tapi sebagai orang yang sudah
sering menempuh badai, dengan tenang ia lantas mengocok mangkok dadu dan
meletakkannya di atas meja. Puluhan penjudi segera memasang taruhannya, ada
yang pasang di "besar", ada pula yang pasang di "kecil".
Ouw Hui yang sebenarnya sedang
menunggu keluarnya Hong Jin Eng, tidak turut memasang dan hanya menonton
sembari senyum simpul.
Si bandar lalu membuka mangkok
dan tiga dadu memperlihatkan sebelas mata. Mereka yang mema¬sang di
"besar" bersorak girang, sedang yang me¬masang "kecil" pada
meringis.
Tiga kali bandar itu membuka
mangkok dan tiga-tiganya nomor "besar".
Dalam judi banyak penipuan,
apalagi dalam
rumahjudi Hong Jin Eng yang
terkenal "jahat", kata Ouw Hui dalam hatinya. "Coba kuperhatikan
dan kalau terselip penipuan, biar aku membikin ribut sekali lagi."
Memikir begitu, matanya yang
jeli lantas saja mengincar mangkok dadu, sedang kupingnya yang tajam
mendengarkan bunyi jatuhnya dadu. Sesudah memasang kuping beberapa saat, ia
mendapat kenyataan, bahwa dadu itu adalah tulen, tidak dijejal timah.
Sebagai orang yang pernah
melatih kupingnya dengan ilmu Am-kee Teng-hong-sut (ilmu untuk mengetahui
serangan senjata rahasia dengan mendengar sambaran angin), kuping Ouw Hui
ta¬jam luar biasa. Meskipun ia diserang dengan senjata rahasia dalam gelap
gulita, dengan mendengar sam¬baran anginnya saja, ia sudah bisa mengetahui dari
mana menyambarnya senjata itu, macamnya senjata dan besarnya tenaga yang
digunakan untuk me-nimpuk. Sebagai contoh, diwaktu terjadi peristiwa di
Siang-kee-po, dengan hanya mendengar sam¬baran angin, Tio Poan San sudah bisa
menebak, bahwa yang membokong ia adalah murid Siauw-lim-sie dari Siong-san.
Biarpun kuping Ouw Hui masih belum dapat menandingi kuping Poan San, tapi
sesudah mendengarkan beberapa lama, ia sudah bisa menduga dengan jitu, berapa
jumlah mata tiga dadu yang celentang ke atas.
Sebagaimana diketahui, setiap
dadu mempu-nyai enam muka dengan jumlah mata yang ber-lainan, yaitu mata satu,
mata dua, mata tiga, mata empat, mata lima dan mata enam. Untuk orang biasa,
tentu saja tak akan dapat membedakan suara
jatuhnya dadu-dadu itu, karena
perbedaannya sa-ngat sedikit. Akan tetapi, untuk seorang ahli yang sudah mahir
dalam ilmu Am-kee Teng-hong-sut, tak terlalu sukar untuk membedakannya.
Sesudah mendengarkan lagi
beberapa kali dan setelah mempunyai pegangan yang pasti Ouw Hui segera berkata
sembari lertawa: "Saudara bandar, apakah uang pasangan dibatasi atau
tidak?"
"Seluruh propinsi Kwitang
mengetahui, bahwa rumah judi dari Lam-pa-thian belum pernah mem-batasi
pasangan!" seru si bandar dengan suara som-bong, "Kalau ada
pembatasan, guna apa dinamakan Enghiong Hweekoan?"
"Bagus!" puji Ouw
Hui sembari mengaeungkan jempolnya. "Kalau dibatasi, bisa-bisa orang
me-namakan Kauwhiong Hweekoan (Enghiong Hwee¬koan berarti Perkumpulan orang
gagah, sedang Kauwhiong Hweekoan adalah Perkumpulan kawan-an anjing)."
Ouw Hui segera memasang
kuping.
Mangkok dadu lalu dikocok.
"Coa-pie Thio, pasang di
'besar' seribu tail," Ouw Hui memerintah. Ia mengetahui, sekali ini tiga
dadu bermata dua belas.
Meskipun sudah mempunyai
pengalaman pu-luhan tahun, bandar itu belum bisa mengetahui lebih dulu, apakah
dadu yang bakal dibuka akan bermata "besar" atau "kecil".
Melihat pasangan se¬ribu tail, hatinya berdebar-debar juga. Dengan ta-ngan agak
gemetar, ia membuka mangkoknya.
Mukanya lantas saja menjadi
pucat karena tiga dadu yang celentang masing-masing memperlihat-kan empat mata,
semuanya dua belas mata, jadi
termasuk "besar".
Seorang pegawai segera menye-rahkan seribu tail perak kepada Ouw Hui.
Dalam kocokan yang berikutnya,
Ouw Hui tak ikut memasang sebab ia ragu-ragu. Yang dibuka adalah
"kecil" (delapan mata). Pada kocokan ketiga, Ouw Hui memasang dua
ribu tail di "kecil". Kali itu benar saja dibuka "kecil",
enam mata.
Demikianlah sesudah memasang
lima enam kali, Ouw Hui sudah mengantongi sebelas ribu tail perak. Si bandar
jadi semakin bingung, keringat dingin mengucur dari dahinya.
Dengan geregetan ia mengocok
dadu berulang-ulang dan meletakkannya di atas meja. Ouw Hui merasa pasti, tiga
dadu itu bermata empat belas. Ia berpaling kepada si busu seraya memerintah:
"Coa-pie Thio, pasang dua laksa tail di 'besar'!" Se-bungkus demi
sebungkus, kedua busu itu lalu me-letakkan uang Ouw Hui di atas meja judi.
Karena pasangan yang luar
biasa besarnya itu dan majikannya sudah menderita kerugian selaksa lebih,
bandar itu menjadi nekat dan coba meng-gunakan kelicikannya.
Ia berlagak mendorong mangkok
dadu dan ge-rakannya yang sudah terlatih, mangkok itu terbuka sedikit, tapi
sudah cukup untuk ia mengetahui,. bahwa ketiga dadunya bermata empat belas.
De¬ngan kelingkingnya ia menyontek sedikit mangkok itu dan sebiji dadu yang tadinya
memperlihatkan enam mata, lantas terbalik, sehingga empat belas mata berubah
jadi sembilan mata (kecil). Kepan-daian yang sangat lihay itu telah dimiliki
olehnya sesudah berlatih puluhan tahun.
Melihat Ouw Hui terus bersikap
tenang, se-
olah-olah tidak mengetahui,
bahwa dirinya sedang diliciki, si bandar jadi merasa girang sekali dan menduga
pasti, kali ini bukan saja ia akan mendapat pulang semua kekalahannya, tapi
juga akan men¬dapat keuntungan besar.
"Sudah?" ia menanya
dengan hati girang.
Ouw Hui mendorong tumpukan
uang sembari berkata: "Sudah! Kalau kau memang, boleh makan semua."
"Baik aku makan
semua," jawabnya menyeringai sembari membuka mangkok dadu.
Dilain saat, mulut bandar itu
ternganga, mata-nya melotot, sebab tiga dadu itu memperlihatkan dua belas mata!
Kali itu, semua penjudi tidak
turut memasang dan mereka mengawasi dengan hati berdebar-de-bar. Begitu dadu
dibuka "besar", dengan berbareng mereka berseru: "Ah!"
Mereka kaget, heran dan kagum, sebab seumur hidup, mereka belum pernah
menyaksikan pertaruhan yang begitu besar.
Ouw Hui tertawa berkakakan.
Dengan sebelah kaki dinaikkan ke atas kursi, ia berteriak: "Hayo,
keluarkan dua laksa tail!"
Bagaimana bisa terjadi begitu?
Ternyata, ke-licikan bandar itu sedikitpun tak dapat mengelabui mata Ouw Hui.
Walaupun tak dapat melihat terang cara main gilanya bandar itu, ia sudah dapat
me-mastikan, bahwa mata "Besar" telah dirubah men¬jadi mata
"kecil". Maka itu, selagi tangan kirinya mendorong bungkusan uangnya,
tangan kanannya dimasukkan ke bawah meja dan dari situ, ia me-nyentil ke atas,
ke arah mangkok dadu.
Sebelum disentil, kedudukan
dadu itu adalah:
Satu bermata tiga, satu
bermata satu dan satu lagi bermata lima, jadi semua sembilan mata. Sentilan Ouw
Hui yang disertai dengan tenaga dalam yang tepat, sungguh luar biasa! Dengan
serentak tiga dadu itu terbalik jumlah matanya berubah seperti berikut: Satu
bermata empat, satu bermata enam dan satu pula bermata dua, jadi total dua
belas mata "besar".
Muka si bandar menjadi pucat
bagaikan mayat. Tiba-tiba ia menumbuk meja sambil membentak: "Coa-pie
Thio, siapa dia? Kenapa kau membawa pengacau itu ke sini?"
"Aku... aku... tak...
tahu..." jawab yang ditanya dengan suara terputus-putus sembari meringis.
"Lekas bayar!" seru
Ouw Hui. "Dua laksa tail! Sudah cukup, Siauwya-mu tak mau berjudi
lagi!"
Sekali lagi, si bandar
menumbuk meja keras-keras. "Bangsat!" ia memaki. "Berani betul
kau main gila di sini! Kau kira aku tak tahu?"
"Baiklah," kata Ouw
Hui sembari tertawa. "Kau agaknya senang sekali menepuk meja. Jika kau
ingin bertaruh menepuk meja, aku pun bersedia meng-iringkannya." Sehabis
berkata begitu, ia menepuk ujung meja yang lantas saja somplak dan ketika ia
menepuk kedua kali, ujung meja yang sebelah lagi juga somplak.
Melihat ilmu Ouw Hui yang
sangat tinggi, si bandar tak berani menunjukkan kegarangannya lagi. Mendadak,
ia menendang meja dengan niatan kabur selagi meja itu terguling. Hampir
berbareng beberapa buaya darat lantas berteriak: "Rampas uangnya!"
Ouw Hui tetap bersikap tenang.
Bagaikan kilat,
ia menangkap kaki si bandar
yang tubuhnya lalu diangkat tinggi-tinggi dan kemudian kepalanya di-benturkan
ke atas meja. Benturan itu yang di-lakukan dengan bertenaga, sudah menobloskan
meja judi yang tidak seberapa tebal, sehingga kepala si bandar berada di bawah
meja, sedang tubuhnya, sebatas pundak, berada di atas meja! Kaki tangan bandar
itu lantas saja memukul kalang kabutan dan memperlihatkan pemandangan yang luar
biasa.
Semua orang mengeluarkan
seruan kaget dan pada mundur ke belakang. Sesaat itu, dari depan pintu
sekonyong-konyong menerobos masuk se-orang pemuda yang baru berusia kira-kira
sembilan belas tahun. Ia mengenakan thungsha sutera warna biru, sedang tangan
kanannya mencekal kipas.
"Sahabat dari mana yang
datang berkunjung?" tanya pemuda itu. "Aku tak dapat menyambut dari
jauh, harap sahabat suka memaafkannya."
Melihat tindakan orang itu
yang sangat enteng dan paras mukanya yang angker, Ouw Hui jadi agak terkejut.
"Bolehkah aku mengetahui
she dan nama sau¬dara yang mulia?" tanya pemuda itu sembari memberi
hormat.
Ouw Hui juga lantas menyoja
dan balas me-nanya: "Siapakah saudara?"
"Aku she Hong,"
jawabnya.
Ouw Hui mendelik dan tertawa
berkakakan. "Kalau begitu, she dan namaku agak berbentrok dengan she
saudara," katanya. "Aku she Pat, namaku Hong Mo. Pernah apakah
Looheng dengan Hong Jin Eng?"
"Ayahku," sahutnya.
"Kedatangan saudara sebe-
narnya harus disambut oleh
ayah sendiri. Akan tetapi, berhubung dengan adanya urusan penting, ia sudah
mengutus aku untuk mengundang saudara datang di rumah kita guna minum secangkir
arak tawar."
Sehabis berkata begitu, ia
berpaling kepada dua tukang pukulnya dan membentak: "Tentulah juga kau
yang berlaku kurang ajar terhadap Pat-ya, se-hingga ia menjadi gusar. Lekas
minta maaf!"
Kedua busu segera membungkuk
dan meng-ucapkan kata-kata meminta maaf. Ouw Hui tak berkata suatu apa, ia
hanya tertawa dingin.
Sementara itu, si bandar judi
terus berteriak-teriak. Pemuda itu lalu mencekal punggungnya dan membalikkan
tubuhnya, sehingga ia berdiri pula di atas lantai. Tapi, meja itu, dengan empat
kakinya terangkat ke atas, terus melekat di lehernya, se¬hingga memberi
pemandangan yang lucu sekali. Dengan kedua tangan menyanggah meja, bandar itu
berkata: "Toaya, untung benar kau keburu datang. Dia... dia...." Ia
mengawasi Ouw Hui dan tak berani melanjutkan perkataannya.
"Kau tak mau berjudi
lagi, bukan?" kata Ouw Hui. "Baiklah. Tapi mana uangku? Apa Enghiong
Hweekoan tidak mau bayar."
''Berapa kemenangan
Pat-ya?" tanya pemuda itu. "Lekas bayar! Kenapa
lambat-lambatan?" Ber-bareng dengan perkataannya, ia mencekal kedua ujung
meja dan sekali ia membeset, meja itu menjadi dua potong! Melihat kepandaian
itu, semua orang jadi bersorak.
Dengan munculnya majikan muda
itu, nyali si bandar menjadi besar lagi.
Ia mengawasi Ouw Hui dengan
sorot mata membenci dan berkata dengan suara keras: "Dia main gila!"
"Dusta!" bentak si
pemuda. "Tuan itu adalah seorang gagah sejati. Apakah uang tak cukup? Jika
tak cukup, ambillah di rumah gadai."
Melihat ilmu silat si pemuda
yang cukup tinggi dan sikapnya yang tidak sembrono, Ouw Hui jadi lebih
berwaspada.
"Aku memberi jaminan,
bahwa uang Pat-ya, sepeser pun tak akan dikurangkan," kata pula pe¬muda
itu. "Orang-orang di sini berpemandangan sangat cupat, belum pernah
bertemu dengan eng¬hiong sejati. Maka itu, aku memohon Pat-ya jangan menjadi
kecil hati dan sekarang, marilah mampir di rumahku."
Pemuda itu tentu saja
mengetahui, bahwa "Pat Hong Mo" bukan nama Ouw Hui yang sebenarnya
dan juga mengetahui, bahwa Ouw Hui memang sengaja mau mencari urusan. Tapi
sebagai orang yang berpemandangan jauh, ia menahan sabar sedapat mungkin. Ia
yakin, bahwa orang yang berani menantang keluarga Hong, tentulah bukan orang
sembarangan.
"Eh, aku menjadi bingung
karena di sini ter-dapat keliwat banyak Hong-hong (burung Hong)," kata Ouw
Hui, "Boleh aku mendapat tahu nama saudara?"
"Siauwtee bernama It
Hoa," jawab pemuda itu, seperti tak merasakan ejekan orang.
"Aku masih sangat ingin
berdiam di sini be-berapa jam lagi untuk berjudi terus," kata Ouw Hui.
"Paling benar undang ayahmu datang kemari untuk
menemui aku."
Mendengar Ouw Hui ingin
berjudi terus, muka si bandar menjadi terlebih pucat. "Jangan...
ja-ngan...!" ia berseru.
"Diam!" bentak It
Hoa, sembari menengok ke arah Ouw Hui dan berkata sembari tertawa.
"Ayahku selamanya belum
pernah berlaku ku-rang ajar terhadap sahabat-sahabat. Mendengar ke-datangan
saudara, ia girang bukan main. Tapi, ka¬rena hari ini dua Gie-cian Sie-wie
(ahli silat yang melindungi kaisar) datang berkunjung, ayahku tak dapat
meninggalkan rumah. Maka itu, aku meng-harap pat-ya sudi memaafkannya."
Ouw Hui tertawa dingin dan
berkata: "Gie-cian Tay-to Sie-wie! Aduh! Tinggi benar pangkat itu. Saudara
It Hoa, dalam kalangan Kang-ouw aku mempunyai satu gelaran yang mestinya sudah
di-ketahui olehmu."
Hong It Hoa yang sedang
kepingin tahu siapa sebenarnya Ouw Hui, menjadi girang mendengar ia menyebutkan
soal gelarannya. "Siauwtee tak tahu, mohon Pat-ya sudi
memberitahukannya," katanya. "Masakah, sebagai seorang dari Rimba
Per-silatan, kau belum pernah mendengar nama Sat-khoa Auw-su Pat Hong Mo (Pat
Hong Mo si tukang membunuh pembesar negeri dan menggebuk utus-an raja) yang
bgitu kesohor?" tanya Ouw Hui.
Hong It Hoa terkejut.
"Aah! Pat-ya main-main," katanya sembari meringis.
Sekonyong-konyong tangan kiri
Ouw Hui me-nyambar tangan baju It Hoa. "Hei! Besar benar nyalimu!" ia
membentak. "Mengapa kau berani ge-gares daging burung Hongku?"
Sampai di situ, putera Hong
Jin Eng tak dapat bersabar lagi. Tangan kanannya mengirimkan pu-kulan gertakan,
sedang tangan kirinya coba men-cengkeram pergelangan tangan Ouw Hui. Cepat
bagaikan kilat, Ouw Hui membalikkan tangannya yang terus menggampar pipi Hong
It Hoa, sedang tangan yang satunya lagi mencengkeram tangan kananHonglt Hoa.
"Bayar daging burung Hongku!" ia membentak dengan suara bengis.
Hong It Hoa adalah seorang
pemuda yang mem¬punyai kepandaian cukup tinggi, tapi ketika itu, ia merasakan
tangannya seperti dijepit jepitan besi dan rasa sakit meresap ke tulang-tulangnya.
Ia mengangkat dan mengirimkan tendangan hebat ke kempungan Ouw Hui. Sebelum
kaki musuh mampir di kempungannya. Ouw Hui sudah memapakinya dengan jejakan
kaki. "Aduh!" teriak It Hoa karena kakinya seperti diketok martil.
Selagi ia kesakitan, tangan Ouw Hui sudah melayang ke pipi kanannya, sehingga
kedua pipinya segera menjadi bengkak dan berwarna ungu, seperti hati babi.
"Saudara-saudara,
dengarlah!" kata Ouw Hui dengan suara nyaring. "Dari tempat yang
jauhnya ribuan lie, dari Utara aku datang ke Hud-san-tin, di mana aku telah
membeli sepotong daging burung Hong dari saudara Ciong A-sie. Tapi daging itu
sudah digegares oleh bocah ini. Bilanglah, apakah bocah ini harus digebuk atau
tidak?"
Semua orang yang berada di
situ saling meng-awasi, tanpa berani membuka suara.
Sekarang mereka mengetahui,
bahwa pemuda itu sedang membalaskan sakit hati Ciong A-sie. Hong It Hoa
sendiri, yang sudah dijejak kakinya
dan dicekal tangannya, tak
dapat bergerak lagi.
Sesaat itu, dari antara orang
banyak muncul seorang tua yang tangannya mencekal huncwee pendek. Orang itu
adalah pengurus Rumah Gadai Enghiong yang telah terpaksa menyerahkan sem-bilan
ribu tail perak kepada Ouw Hui. Sesudah mengirim orang untuk memberi laporan
kepada majikannya, ia sendiri mengikuti sampai di rumah judi untuk mengawasi
sepak terjang Ouw Hui.
Ia menghampiri dan berkata
sembari tertawa: 'Hoohan-ya, ia itu adalah putera tunggal Hong Looya dan Hong
Looya mencintainya seperti jiwa-nya sendiri. Jika Hoohan-ya menghendaki uang,
katakanlah jumlahnya, tapi kuharap, Hoohan-ya suka melepaskan ia ini."
"Tutup mulut!"
bentak Ouw Hui. "Daging bu-rung Hong adalah obat kuat nomor satu di dalam
dunia. Siapa yang makan, mukanya lantas berubah merah, dan kontan menjadi
gemuk. Lihatlah, sau-dara-saudara! Bukankah muka bocah ini sudah jadi merah dan
banyak lebih gemuk daripada tadi? Hm! Masih berani kau menyangkal sudah gegares
daging burung Hongku?"
"Ah! Hoohan-ya, jangan
guyon-guyon," kata si pengurus rumah gadai yang gusar bukan main, tapi tak
berani menunjukkan kegusarannya. "Sudah menggampar, kau masih
guyon-guyon."
"Saudara-saudara!"
Ouw Hui berteriak pula. "Sekarang aku mau tanya pendapatmu: "Apakah
bocah ini mencuri daging burung Hongku atau tidak?!"
Orang-orang yang berada di
situ sebagian ada¬lah kaki tangan Hong Jin Eng, sebagian lagi ka-
wanan buaya darat dan yang
lain adalah orang-orang miskin yang biasanya sangat takut akan kekejaman
hartawan itu. Mendengar pertanyaan Ouw Hui, beberapa orang lantas saja
mengatakan, bahwa tu-duhan Ouw Hui hanyalah lelucon, tidak mungkin putera Hong
Jin Eng mau mencuri daging.
"Bagus!" kata Ouw
Hui. "Jadi kamu hendak membela dia, bukan? Dia tidak gegares dagingku,
bukan? Bagus! Sekarang marilah kita bersama-sama pergi ke Pak-tee-bio untuk
mendapat keputusan!"
Perkataan Ouw Hui adalah
bagaikan halilintar di tengah hari bolong. Mereka semua mengetahui, apa
maksudnya dengan perkataan itu. Mereka se¬mua masih ingat akan peristiwa
membelek perut di kuil tersebut.
Si pengurus rumah gadai
bergemetar sekujur badannya dan menyoja kepada Ouw Hui tak henti-hentinya.
"Hoohan-ya benar, kami yang salah," katanya. "Majikan mudaku
memang sudah mencuri daging burung Hong. Apa juga yang Hoohan-ya inginkan
sebagai ganti kerugian, kami akan segera membayarnya."
"Jangan
putar-putar!" membentak Ouw Hui. "Enak benar kau menggoyang lidahmu!
Aku tahu, orang-orang di sini masih penasaran. Kalau se¬karang aku tak pergi ke
Pak-tee-bio, aku tak mempunyai muka lagi untuk bertemu dengan manusia di
kemudian hari."
Sehabis berkata begitu, sambil
mengempit Hong It Hoa, ia keluar dari rumah judi itu dengan tin-dakan lebar dan
dengan bertanya-tanya di sepan-jang jalan, ia menuju ke kuil Pak-tee-bio.
Pak-tee-bio adalah sebuah
kelenteng yang
besar dan indah sekali. Di
pekarangan depannya terdapat pengempang dan pengempang itu dihiasi dengan
kura-kuraan dan ular-ularan batu di tengah-tengahnya.
Dengan bengis, Ouw Hui
menyeret It Hoa ke ruangan sembahyang. Di situ, di depan patung ma-laikat
Pak-te, ia melihat tanda-tanda darah. Sesaat itu juga, di depan matanya
terbayang peristiwa yang menyedihkan itu. Darahnya lantas saja mendidih. Sekali
Ouw Hui mendorong, tubuh Hong It Hoa jatuh ngusruk di depan meja sembahyang.
Ia mengawasi patung Malaikat
Pak-tee dan berkata: "Pak-tee-ya, sebagai malaikat yang angker, aku
memohon supaya kau tolong membalaskan sakit hati rakyat kecil. Bangsat ini
sudah mencuri dan gegares daging burung Hongku, tapi banyak orang mengatakan
tidak...."
Belum habis perkataannya,
tiba-tiba ia merasa-kan kesiuran angin tajam dan sesaat itu juga, dua serangan
menyambar dari kiri kanan.
Ouw Hui menunduk dan
mengkeratkan ba-dannya. Selagi kedua orang itu menubruk angin, Ouw Hui
membarengi mendorong pundak mereka dan... "duk!" kepala mereka beradu
keras, kemudian dua-duanya rubuh dalam keadaan pingsan.
Di lain saat,
sekonyong-konyong terdengar ben-takan dan seorang musuh lagi menghantam dari
belakang. Dari tindakan kaki orang itu dan kesiuran angin serangannya, Ouw Hui
tahu, bahwa ia sedang menghadapi seorang lawan berat. Dengan cepat ia miringkan
badannya dan hampir berbareng dengan itu, suatu sinar golok berkelebat disusul
dengan lewatnya sesosok badan manusia sebesar kerbau.
Karena membacok angin, tubuh
orang itu ter-huyung ke depan dan goloknya terus menyambar ke arah kepala Hong
It Hoa.
Untung juga, orang itu
berkepandaian tinggi. sehingga pada detik terakhir, ia masih keburu mi¬ringkan
lengannya dan goloknya menghantam lan-tai, sehingga ia kenyuknyuk sendiri di
atas lantai.
"Bagus!" seru Ouw
Hui sembari menekan sikut orang itu dengan kakinya, sehingga mau tak mau, orang
itu harus melepaskan senjatanya sembari berteriak keras. Ouw Hui menyontek
dengan kaki¬nya dan golok itu meloncat ke atas, untuk kemudian disambuti dengan
sebelah tangannya. "Aku justru sedang bingung karena tidak mempunyai golok
un¬tuk membelek perut," katanya sembari tertawa. "Terima kasih untuk
jerih payahmu."
Orang itu gusar bukan main. Ia
berontak sekuat tenaganya dan berhasil melepaskan diri dari te-kanan kaki Ouw
Hui untuk kemudian loncat ba-ngun. Ouw Hui terkejut karena kakinya agak
ke-semutan. Ternyata, orang itu mempunyai tenaga yang luar biasa besarnya.
Dengan mata merah, jago Hong
Jin Eng ini mementang sepuluh jerijinya yang seperti gaitan besi dan menubruk
Ouw Hui. Dengan sekali me-mutarkan tubuh, Ouw Hui sudah berada di belakang
musuh itu. Dengan tangan kiri, ia menyambar pan-tat orang itu dan mendorongnya
ke atas seraya berseru: "Naik!"
Dorongan itu yang meminjam
tenaga orang tersebut yang sedang berlompat menubruk, ditam-bah dengan
tenaganya sendiri, dahsyat bukan main. Bagaikan bola, tubuh orang itu yang
sebesar kerbau
meleset ke atas dan dalam
sekejap, kepalanya sudah hampir membentur genteng. Semua penonton me-ngeluarkan
teriakan tertahan.
Dalam bingungnya, ia memeluk
sebuah balok besar yang melintang di bawah wuwungan. Bukan main kagetnya,
karena meskipun kepalanya sela-mat, tubuhnya bergelantungan di tengah udara!
Ketika ia melongok ke bawah,
ia bergidik sebab ia berada di tempat yang tingginya tak kurang dari tujuh
tombak. Orang itu, seorang ahli gwakee (ilmu luar) yang bertenaga besar, tidak
mempunyai ilmu mengentengkan badan dan oleh karenanya, tak berani ia loncat
turun. Dalam partai Ngo-houw-bun, ia menduduki kursi ke tiga dan merupakan kaki
tangan Hong Jin Eng yang paling diandalkan. Dia adalah manusia yang sangat
ditakuti oleh segenap penduduk Hud-san-tin. Tapi sekarang, dengan ba¬dan
bergelantungan di tengah udara, keadaannya sangat menyedihkan, naik dia tak
mampu, turun pun dia tak berani.
Sementara itu, dengan bengis
Ouw Hui rae-robek baju Hong It Hoa. Sembari mengusap-usap perut orang, ia
mengangkat goloknya.
"Sahabat-sahabat!"
teriak Ouw Hui. "Bukalah matamu lebar-lebar. Apakah dia sudah gegares
da-ging burungku, sekarang kamu bisa mendapat buk-tinya. Janganlah kamu
mengatakan, bahwa aku mem-bikin orang baik-baik jadi penasaran."
Melihat putera Hong Jin Eng
akan segera me-nemui ajalnya, empat lima orang yang macamnya seperti orang
hartawan, maju mendekati dan coba membujuk supaya Ouw Hui mengurungkan niatnya.
Ouw Hui mendongkol melihat lagak
orang-
orang itu. "Eh, aku mau
tanya," katanya. "Ketika Ciong Sie-so mau membelek perut anaknya,
kenapa kamu tidak coba menolong? Hm! Jiwa anak orang kaya memang berharga
besar. Tapi apakah jiwa si miskin tak berharga sepeser buta? Sekarang lekas kamu
pulang dan balik ke mari dengan masing-masing membawa anakmu sendiri. Awas!
Jika kamu tidak menurut perintah, ke ujung langit kau lari. aku bisa mencari
kamu!"
Mendengar itu, semangat mereka
terbang ke awang-awang. Dengan muka pucat, mereka menye-lesap di antara orang
banyak dan tidak berani membuka suara lagi. Sesaat itu, di luar pintu
ke-lenteng tiba-tiba terdengar suara ribut, disusul de¬ngan masuknya sejumlah
orang yang dikepalai se¬orang yang tubuhnya tinggi besar. Sekali ia
me-ngebaskan kedua tangannya, tujuh delapan penon¬ton sudah jatuh terguling.
Melihat sikap dan lagak orang itu, Ouw Hui berkata di dalam hatinya: "Aha!
Akhirnya dia datang juga."
Dengan mata tajam ia
memperhatikan orang itu, dari kepala sampai di kaki, dari kaki sampai di kepala.
Orang itu berusia kira-kira lima puluh ta-hun, kumisnya sudah berwarna abu-abu,
tangan kanannya memakai gelang batu giok dan tangan kirinya mencekal pipa
Pit-ya-hu. Dilihat dari roman dan dandannya, ia lebih mirip dengan seorang
har¬tawan besar daripada dengan seorang jago jahat dalam Rimba Persilatan.
Orang itu memang bukan lain
daripada Hong Jin Eng. Ciangbunjin (pemimpin) partai Ngo-houw-bun. Hari itu, ia
repot sekali melayani dua Sie-wie yang baru datang dari kota raja. Dengan
beruntun
ia mendapat laporan jelek,
akan tetapi, karena sungkan kehilangan muka, ia tetap tidak berkisar dari meja
perjamuan. Ia menganggap sepi gangguan itu dan merasa pasti, bahwa kaki
tangannya akan dapat membereskan si pengacau. Belakangan, se¬sudah mendengar,
bahwa puteranya sendiri kena dirubuhkan dan dibawa ke kelenteng Pak-tee-bio
untuk dibelek perutnya, baru ia benar-benar kaget dan buru-buru menyusul ke
kelenteng itu. Tadinya ia menduga, bahwa si pengacau adalah salah se¬orang
musuh besarnya. Akan tetapi, ia merasa agak heran ketika mendapat kenyataan,
bahwa seterunya itu adalah seorang muda yang sama sekali tak di-kenalnya.
Begitu masuk, tanpa berkata suatu apa, lebi dulu ia coba membangunkan
puteranya.
"Sombong benar lagak si
tua bangka," kata Ouw Hui di dalam hatinya, sembari menepuk pinggang Hong
Jin Eng.
Tanpa menengok, Hong Jin Eng
menyampok ke belakang dengan tangan kirinya. "Plak!" tubuh Hong Jin
Eng bergoyang-goyang, hampir-hampir ia rubuh di atas badan puteranya. Sekarang
ia me-ngetahui, bahwa musuhnya benar-benar tangguh. Ia segera mengurungkan
niatnya untuk menolong anak-nya dan sembari menggereng seperti harimau
ter-luka, ia menerjang Ouw Hui.
Melihat serangan orang yang
cepat dan ber-tenaga, Ouw Hui pun yakin, bahwa ia sedang meng-hadapi musuh yang
berkepandaian tinggi. Sesudah beberapa gebrakan, mendadak Ouw Hui menyabet
tinju Hong Jin Eng dengan goloknya. Walaupun hebat, bacokan itu dengan mudah
akan dapat di-elakkan, jika Hong Jin Eng menarik pulang tinju-
nya. Akan tetapi, jika ia
menarik pulang tinjunya, golok itu tentu akan menghantam puteranya yang rebah
di atas lantai.
Pada detik yang sangat
berbahaya itu, setelah tangan Hong Jin Eng menyambar taplak meja sem-bahyang,
yang setelah digulung cepat-cepat lalu digunakan menangkis golok Ouw Hui.
"Bagus!" seru Ouw
Hui sembari menangkap taplak itu dengan tangan kirinya. Mereka saling membetot
dan "brt", taplak itu putus menjadi dua.
Sekarang Hong Jin Eng tak
berani lagi meman-dang rendah kepada Ouw Hui. Ia meloncat, mundur setengah
tombak dan seorang muridnya lantas menyerahkan sebatang toya emas kepadanya.
Toya itu yang panjangnya sembilan kaki, seluruhnya terbuat dari emas tulen dan
merupakan salah satu senjata termahal dalam Rimba Persilatan.
Sesudah mengebaskan toyanya,
ia berkata de¬ngan suara nyaring: "Siapakah guru tuan? Kesa-lahan apa yang
aku, si orang she Hong, sudah lakukan terhadap tuan?"
"Sepotong daging burung
Hongku telah dicuri dan digegares oleh anakmu," jawab Ouw Hui. "Aku
sekarang menuntut untuk membelek perutnya guna memperoleh bukti."
Selama banyak tahun, dengan
sebatang toya tembaga, Hong Jin Eng tak pernah menemui tan-dingan di seluruh
wilayah Lenglam. Belakangan ia membentuk partai Ngo-houw-bun dan tinggal
me-netap di kota Hud-san-tin. Sesudah menjadi mak-mur dan kaya raya, toya
tembaga itu digantinya dengan toya emas. Dalam Rimba Persilatan, me-nurut
kebiasaan, panjang toya tidak boleh lebih dari
sebatas alis orang yang
menggunakannya. Toya se-macam itu dinamakan Cee-bie-kun (Toya sebatas alis),
paling pendek kira-kira lima kaki dan paling panjang tujuh kaki, menurut pendek
tingginya orang yang menggunakannya. Tapi panjang toya Hong Jin Eng sampai
sembilan kaki dan disamping itu, berat emas adalah kira-kira dua kali lipat
dari-pada berat logam sebangsa besi. Dari sini dapatlah orang membayangkan
bagaimana besar tenaga jago-an Hud-san-tin itu.
Mendengar jawaban Ouw Hui, ia
mengetahui, bahwa hari ini ia mesti bertempur juga. Dengan dua kali mengebaskan
toyanya, ia membuat dua batang lilin sembahyang lantas saja menjadi padam. "Se-menjak
dulu, belum pernah aku berlaku kurang hormat terhadap sahabat-sahabat,"
katanya dengan suara gusar. "Aku dan tuan belum pernah saling mengenal,
maka itu guna apa tuan merusak ke-akuran dalam kalangan Kang-ouw untuk seorang
bocah miskin? Sekarang, apakah tuan mau menjadi kawan atau menjadi lawan,
terserahlah kepada tuan."
Harus diketahui, bahwa toya
emas itu adalah senjata berat, tapi sekali ia mengebaskannya, ke-siuran angin
senjata itu sudah dapat memadamkan api lilin. Dengan memperlihatkan kepandaiannya
dan dengan perkataan yang dalam kelembekannya mengandung kekerasan, Hong Jin
Eng ingin men-desak supaya Ouw Hui mengundurkan did dan jangan campur tangan
dalam urusan orang.
"Benar, benar sekali
perkataanmu," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Begitu lekas kau
membayar daging burung Hong itu tanpa banyak rewel lagi,
aku akan segera meninggalkan
tempat ini."
Wajah Hong Jin Eng lantas saja
berubah me-nyeramkan. "Baiklah. Tak ada lain jalan daripada membereskan
urusan ini dengan senjata," katanya dengan suara gusar. Sehabis berkata
begitu, dengan menenteng toya, ia loncat ke pekarangan depan.
Ouw Hui menendang Hong It Hoa
dan men-campakkan goloknya di pinggir badan pemuda itu.
"Jika kau lari, ayahmu
yang mesti mengganti dengan jiwanya!" ia membentak dan segera berjalan ke
luar dengan tangan kosong.
"Hei! Pasang kupingmu
terang-terang!" ia ber-teriak. "Tuan besarmu tak pernah menukar she
dan berganti nama. Aku adalah Sat-khoa Auw-su Pat Hong Mo yang namanya kesohor
di seluruh dunia. Jika tak dapat mencabut bulu burung Hong, men-cabut bulu bau
juga boleh."
Baru habis ia mengucapkan
perkataannya, ta¬ngan kirinya mendadak menyambar toya Hong Jin Eng. Melihat
musuhnya tak bersenjata Hong Jin Eng jadi merasa girang dan begitu Ouw Hui
ber-gerak, ia menyapu leher pemuda itu dengan gerakan Leng-kong-sauw-goat. (Di
tengah udara menyapu rembulan). Cepat seperti kilat, Ouw Hui memutar-kan badan
mengikuti sambaran toya musuh, dan sesaat membalas dengan suatu pukulan
dahsyat.
Semua orang mengawasi
pertempuran hebat itu, sambil menahan napas. Di antara penonton tentu saja
terdapat banyak sekali kaki tangan Hong Jin Eng.
Akan tetapi, tanpa diperintah,
mereka tidak berani sembarang membantu sang majikan. Selain itu, bagi
orang-orang yang tidak mempunyai ke-
sebatas alis orang yang
menggunakannya. Toya se-macam itu dinamakan Cee-bie-kun (Toya sebatas alis),
paling pendek kira-kira lima kaki dan paling panjang tujuh kaki, menurut pendek
tingginya orang yang menggunakannya. Tapi panjang toya Hong Jin Eng sampai
sembilan kaki dan disamping itu, berat emas adalah kira-kira dua kali lipat
dari-pada berat logam sebangsa besi. Dari sini dapatlah orang membayangkan
bagaimana besar tenaga jago-an Hud-san-tin itu.
Mendengar jawaban Ouw Hui, ia
mengetahui, bahwa hari ini ia mesti bertempur juga. Dengan dua kali mengebaskan
toyanya, ia membuat dua batang lilin sembahyang lantas saja menjadi padam.
"Se-menjak dulu, belum pernah aku berlaku kurang hormat terhadap
sahabat-sahabat," katanya dengan suara gusar. "Aku dan tuan belum pernah
saling mengenal, maka itu guna apa tuan merusak ke-akuran dalam kalangan
Kang-ouw untuk seorang bocah miskin? Sekarang, apakah tuan mau menjadi kawan
atau menjadi lawan, terserahlah kepada tuan."
Harus diketahui, bahwa toya
emas itu adalah senjata berat, tapi sekali ia mengebaskannya, ke-siuran angin
senjata itu sudah dapat memadamkan api lilin. Dengan memperlihatkan
kepandaiannya dan dengan perkataan yang dalam kelembekannya mengandung
kekerasan, Hong Jin Eng ingin men-desak supaya Ouw Hui mengundurkan diri dan
jangan campur tangan dalam urusan orang.
"Benar, benar sekali
perkataanmu," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Begitu lekas kau
membayar daging burung Hong itu tanpa banyak rewel lagi,
aku akan segera meninggalkan
tempat ini."
Wajah Hong Jin Eng lantas saja
berubah me-nyeramkan. "Baiklah. Tak ada lain jalan daripada membereskan
urusan ini dengan senjata," katanya dengan suara gusar. Sehabis berkata
begitu, dengan menenteng toya, ia loncat ke pekarangan depan.
Ouw Hui menendang Hong It Hoa
dan men-campakkan goloknya di pinggir badan pemuda itu.
"Jika kau lari, ayahmu
yang mesti mengganti dengan jiwanya!" ia membentak dan segera berjalan ke
luar dengan tangan kosong.
"Hei! Pasang kupingmu
terang-terang!" ia ber-teriak. "Tuan besarmu tak pernah menukar she
dan berganti nama. Aku adalah Sat-khoa Auw-su Pat Hong Mo yang namanya kesohor
di seluruh dunia. Jika tak dapat mencabut bulu burung Hong, men-cabut bulu bau
juga boleh."
Baru habis ia mengucapkan
perkataannya, ta¬ngan kirinya mendadak menyambar toya Hong Jin Eng. Melihat
musuhnya tak bersenjata Hong Jin Eng jadi merasa girang dan begitu Ouw Hui
ber-gerak, ia menyapu leher pemuda itu dengan gerakan Leng-kong-sauw-goat. (Di
tengah udara menyapu rembulan). Cepat seperti kilat, Ouw Hui memutar-kan badan
mengikuti sambaran toya musuh, dan sesaat membalas dengan suatu pukulan
dahsyat.
Semua orang mengawasi
pertempuran hebat itu, sambil menahan napas. Di antara penonton tentu saja
terdapat banyak sekali kaki tangan Hong Jin Eng.
Akan tetapi, tanpa diperintah,
mereka tidak berani sembarang membantu sang majikan. Selain itu, bagi
orang-orang yang tidak mempunyai ke-
pandaian tinggi, jangankan
membantu, sedang ke-langgar angin pukulan saja mereka sudah akan merasa tak
tahan.
Selagi pertempuran itu berlangsung
dengan he-batnya, sekonyong-konyong dari luar menerobos tiga orang. Yang jalan
paling dulu adalah seorang wanita, rambutnya terurai dan berlepotan darah, ia
bukan lain daripada Ciong Sie-so, diikuti oleh sua-minya, Ciong A-sie, dan
puteranya, Ciong Siauw Jie. Begitu masuk, Ciong Sie-so berlutut dan ter-tawa
terbahak-bahak. "Hong Looya adalah seorang yang sangat mulia,"
katanya. "Pak-tee-ya tentu akan memberkahi kau, supaya banyak rejeki,
panjang umur dan banyak anak. Kau tentu akan diberkahi dengan emas dan batu
permata serta harta kekayaan yang berlimpah-limpah. Anakku Siauw-sam-cu te-lah
mengadu kepada Giam-loo-ong dan Giam-ong Looya mengatakan, bahwa kau adalah
seorang yang mempunyai rejeki sangat besar." Sembari berkata begitu, ia
menyoja-nyoja tak hentinya, sebentar menangis, sebentar tertawa. Suaminya
berdiri di sampingnya dengan paras muka pucat, tanpa me-ngeluarkan sepatah
kata.
Baru bertempur belasan jurus,
Hong Jin Eng sudah jatuh di bawah angin. Munculnya keluarga Ciong sangat
menggoncangkan hatinya dan silatnya lantas saja menjadi semakin kalut. Ia
mengetahui, bahwa dalam tempo cepat, ia akan dirubuhkan oleh pemuda itu. Dalam
bingungnya, dengan nekat ia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya di kedua lengan
dan menyabet janggut Ouw Hui dengan sekuat tenaganya.
Dahsyat sungguh sabetan toya
itu yang disertai
dengan kesiuran angin yang
sangan tajam. Tapi. sebaliknya dari berkelit atau meloncat mundur. Ouw Hui
mengangsurkan kedua tangannya dan menangkap toya musuh.
Hong Jin Eng terkesiap dan segera
menyodok dengan seantero tenaganya. Dengan mundur se-dikit, Ouw Hui sudah bisa
memunahkan tenaga dorongan si orang she Hong. Tapi Hong Jin Eng yang sudah
melatih ilmunya lebih dari tiga puluh tahun, tentu saja sungkan menyerah
mentah-men-tah. Dengan menggunakan tenaga Gwa-kang (te¬naga luar) yang paling
hebat, ia menyontek dan membetot toyanya. Entah bagaimana, demi sekali
berkelebat, tubuh Ouw Hui sudah maju ke depan dan tangannya menyambar ke arah
tenggorokan musuh, sedang toya musuh yang dirapati dan dicekal dengan sebelah
tangannya, tak dapat memukul diri-nya.
Hong Jin Eng terbang
semangatnya. Sembari menunduk, ia mengangkat sebelah tangannya untuk melindungi
lehernya. Tapi Ouw Hui menang cepat. Tangan kirinya sudah mendahului menepuk
kepala Hong Jin Eng dan mencopot topi batoknya, sedang tangan kanannya
menjambret ujung thaucang har-tawan kejam itu. "Sekali ini aku mengampuni
jiwa-mu!" Ouw Hui membentak dan tangan kirinya, yang masih mencekal topi
musuhnya, menjambret bagian atas thaucang itu: kemudian, sekali ia membetot
dengan kedua tangannya, thaucang Hong Jin Eng sudah ditariknya putus!
Paras muka manusia kejam itu
pucat pias de¬ngan mendadak. Buru-buru ia loncat menyingkir. Ouw Hui mengayun
tangan kirinya dan kopiah
Sekall mengayun tangan, Ouw
Hui melemparkan kopiah Hong Jin Eng yang Jatuh tepat dl kepala ular batu.
Sesudah ttu loncat dan sekall menghantam, kepala kura-kura batu sebatas leher
sudah menjadl putus.
Hong Jin Eng terbang keluar,
jatuh persis di atas kepala ular-ularan batu. Ia loncat ke arah pe-ngempang
sembari menghantam kepala kura-kura batu itu dengan tangannya. "Tak!"
kepala yang mendongak ke atas itu patah dan jatuh ke dalam air.
Ouw Hui tertawa berkakakan dan
melibatkan potongan thaucang Hong Jin Eng di leher kura-kuraan batu tersebut.
Sembari mengebut-ngebut debu di bajunya, ia menanya dengan tertawa: "Mau
lagi?"
Melihat ilmu silat yang begitu
tinggi, paras muka semua penonton jadi berubah. Mereka kaget berbareng kagum.
Hong Jin Eng sendiri menge-tahui, bahwa barusan pemuda itu masih berbelas
kasihan kepadanya. Jika ia memukul kepalanya dengan tenaga yang sebesar
digunakannya meng¬hantam kepala kura-kuraan batu tadi, jiwanya tentu sudah
melayang: Akan tetapi, pemutusan thaucang-nya yang kemudian dilibatkan ke leher
kura-kura dan pelemparan kopiahnya ke kepala ular, adalah hinaan besar yang tak
dapat ditelannya mentah-mentah. Maka dengan mata merah ia menerjang lagi dan
menyapu Ouw Hui dengan pukulan Ceng-liong-kian-wie (Naga hijau menyabet dengan
bun-tutnya). Sesaat itu, Hong Jin Eng sudah menjadi nekat dan ia menyerang
tanpa memperdulikan lagi keselamatan jiwanya.
Ouw Hui yang sudah mengambil
ketetapan untuk menyapu bersih muka hartawan kejam itu, lantas saja melayaninya
dengan bersemangat. Ia mendapat kenyataan, bahwa meskipun pukulan-pukulan orang
she Hong itu ada terlebih berat, tapi
gerakannya tidak begitu gesit
lagi. Sesudah be-berapa gebrakan, dengan pukulan Thie-gu-keng-tee (Kerbau besi
meluku tanah), Hong Jin Eng menyapu kaki musuhnya. Begitu ujung toya itu menyambar
ke bawah dan menyentuh tanah, de¬ngan berani Ouw Hui menjejak dengan kaki
kanannya. Hong Jin Eng terkesiap dan buru-buru menarik pulang toyanya. Tapi
sudah kasep! Hampir berbareng dengan jejakan itu kepada ujung toya, kaki kiri
Ouw Hui sudah menjejak batangnya dan pada saat itu juga, toya emas tersebut
terlepas dari kedua tangan Hong Jin Eng. Apa celaka, diwaktu jatuh, toya itu
menimpa kaki kanan Hong Jin Eng dan dua tulang jeriji kakinya lantas menjadi
remuk. Muka Hong Jin Eng menjadi pucat seperti kertas, tapi dengan mengertak
gigi, ia menahan
sakit.
"Aku sudah kalah dan tak
usah banyak bicara lagi," katanya dengan suara nyaring. "Mau bunuh,
boleh lantas bunuh."
Ketika itu, Ciong Sie-so masih
terus berlutut dan menyoja-nyoja. "Hong Looya," katanya sembari
menangis. "Coba bilang sekarang, apa benar anakku sudah makan daging
angsamu?"
Sebagai seorang yang berhati
mulia, Ouw Hui sebenarnya merasa tak tega untuk menghina Hong Jin Eng terlebih
jauh.
Tapi, melihat Ciong Sie-so
yang sudah menjadi gila dan penuh tanda-tanda darah, lantas saja ia ingat,
bahwa manusia yang bergelar Lam-pa-thian ini tentu juga sudah sering melakukan
perbuatan yang berada di luar batas kemanusiaan. Mengingat begitu, darahnya
kembali naik tinggi.
Dengan tindakan lebar ia masuk
ke ruangan sembahyang, menenteng Hong It Hoa dan men-cabut goloknya yang
barusan ditancapkan di atas lantai. Ia berpaling kepada Hong Jin Eng seraya
berkata: "Hong Looya, aku dan kau sebenarnya tak mempunyai permusuhan apa
pun juga. Akan tetapi, anakmu sudah makan daging burung Hongku, se-dang
orang-orang di Hud-san-tin coba melindungi-nya. Maka itu, oleh karena sukar
mendapat bukti, jalan satu-satunya adalah membelek perut anakmu. Hei!
Saudara-saudara! Sekarang buka matamu le-bar-lebar!"
Ia mengangkat goloknya yang
lalu diguratkan di atas perut Hong It Hoa. Sesaat itu juga, di kulit yang
berwarna putih itu tertampak darah yang ber-warna merah.
Meskipun Hong Jin Eng adalah
manusia yang banyak dosanya, tapi dapat juga ia memperlihatkan sikap laki-laki
dari seorang Kang-ouw. Sesudah rubuh dalam tangan Ouw Hui, ia tetap keras
kepala dan tidak menodai namanya sebagai Ciangbunjin suatu partai. Akan tetapi,
begitu lekas ia melihat goresan berdarah di atas perut putera tunggalnya,
habislah semua keangkerannya. "Tahan!" ia berseru sembari mengambil
sebilah golok dari tangan salah seorang pegawainya.
"Mau bertempur
lagi?" tanya Ouw Hui sembari tertawa.
"Siapa yang berbuat,
dialah yang harus memikul segala akibatnya," jawabnya dengan suara duka.
"Aku sudah melakukan perbuatan yang tidak benar, sehingga kau turun
tangan. Urusan ini tak ada sangkut pautnya dengan anakku. Aku tak berani
hidup terus di dalam dunia,
hanya aku mengharap supaya kau sudi mengampuni anakku."
Sehabis berkata begitu, ia
mengangkat golok-nya untuk menggorok lehernya sendiri.
"Hong Toako!"
mendadak terdengar teriakan orang. "Jangan!" Orang itu adalah si
lelaki tinggi besar yang sedang bergelantungan di balok dekat wuwungan.
Hong Jin Eng tertawa dan tetap
melaksanakan niatnya. Semua orang terperanjat, tapi tak seorang pun berani
membuka suara.
Pada detik yang terakhir,
mendadak terdengar suara "srr" dan sebuah senjata rahasia menyambar
dari pintu ruangan sembahyang. "Criing!" senjata itu membentur golok
yang lantas saja terpukul miring, tapi meskipun begitu, golok itu tak urung
menggores juga pundak Hong Jin Eng yang lantas saja mengucurkan darah.
Dengan matanya yang sangat
jeli. Ouw Hui segera melihat, bahwa senjata rahasia itu adalah sebatang tusuk
konde perak. Ia membungkuk dan memungut perhiasan wanita itu, yang ternyata
bu-kan saja kecil, tapi juga enteng sekali. Ouw Hui terkesiap. Bahwa dengan
senjata yang begitu kecil dan enteng, penimpuknya dapat memukul miring golok
Hong Jin Eng, adalah suatu kejadian yang hampir-hampir tak dapat dipercaya.
Tapi kejadian itu sudah merupakan suatu kenyataan, Ouw Hui merasa bukan main,
sedalam-dalamnya ia mengakui, bahwa kepandaian orang itu mungkin sekali berada
di sebelah atasnya.
Dengan cepat ia pergi ke
cimche dan dengan sekali mengenjot badan, ia sudah berada di atas
genteng. Sesaat itu, di
sebelah tenggara terlihat berkelebatnya bayangan manusia yang dalam se-detik,
sudah menghilang dari pemandangan.
Ouw Hui memburu ke jurusan
tenggara, tapi ia tak dapat menemukan suatu apa. "Dari belakang, orang itu
berbadan langsing, seperti potongan se¬orang wanita," pikirnya.
"Apakah mungkin, bahwa dalam dunia terdapat seorang perempuan yang
berkepandaian begitu tinggi?"
Karena khawatir Hong Jin Eng
dan puteranya akan melarikan diri, ia tak berani berdiam lama-lama di atas
genteng. Setibanya kembali di ruangan sembahyang, ia melihat ayah dan anak itu
sedang berpelukan sembari menangis. Sebagai seorang mu-lia, dalam hati pemuda
itu lantas timbul niatan untuk mengampuni kedua orang tersebut.
Melihat kedatangan Ouw Hui,
Hong Jin Eng segera melepaskan puteranya dan lalu berlutut di atas lantai.
"Jiwa tuaku sekarang sudah berada dalam tanganmu," katanya dengan
sedih. "Harapan-ku satu-satunya adalah supaya kau sudi meng¬ampuni jiwa
anakku."
"Tidak!" seru It Hoa.
"Bunuh saja aku. Biarlah aku yang mengganti jiwa bocah she Ciong
itu."
Ouw Hui sangsi bukan main, ia
tak tahu harus berbuat bagaimana. Jika mesti mengambil jiwa dua orang, ia
merasa tidak tega, tapi kalau mengampuni mereka secara begitu saja, ia juga merasa
tidak benar. Selagi bersangsi, Ciong A-sie mendadak menghampiri dan berkata
dengan suara terharu: "Hoohan-ya, kau sudah menolong jiwa isteriku dan
mencuci rasa penasaran keluarga kami. Budi yang sangat besar itu, dengan
sesungguhnya siauwjin tak
akan dapat membalasnya."
Sehabis berkata begitu, ia berlutut dan manggutkan kepalanya berulang-
ulang.
Buru-buru Ouw Hui membangunkan
orang itu dan mengucapkan beberapa perkataan menghibur. Sembari mengawasi Hong
Jin Engdengan paras muka merah padam bahna gusarnya, Ciong A-sie berkata:
"Hong Looya, hari ini di hadapan Pak-tee-ya, cobalah kau katakan terus
terang: Apakah anak-ku Siauw-sam-cu benar-benar sudah mencuri da-ging
angsamu?"
Hong Jin Eng menunduk dan
menjawab dengan suara perlahan: "Tidak. Akulah yang bersalah."
"Hong Looya," kata
pula Ciong A-sie. "Bilang-lah menurut liangsimmu (perasaan hati): Kau
sudah memenjarakan aku dan mendesak sehingga anakku binasa, apakah itu bukan
hanya untuk mengang-kangi kebun sayurku?"
Hong Jin Eng melirik. Ia mendapat
kenyataan, bahwa si petani miskin yang biasanya sangat takut kepadanya, disaat
itu memandangnya dengan sorot mata berapi-api dan paras muka menyeramkan.
Kembali ia menunduk dan tak dapat menjawab pertanyaan orang.
"Lekas bilang! Bukankah
begitu?" bentak Ciong A-sie dengan suara memburu.
Perlahan-lahan Hong Jin Eng
melongok. "Be-nar," sahutnya. "Hutang jiwa dibayar jiwa.
Bunuhlah
aku."
Sesaat itu, sekonyong-konyong
di luar terdengar suara cacian. "Hei! Bangsat kecil yang mengaku bernama
Pat Hong Mo!" teriak seseorang. "Apakah kau berani keluar untuk
bertempur de-
ngan tuan besarmu? Jangan
bersembunyi! Havo keluar!"
Semua orang jadi tercengang,
Ouw Hui juga kaget dan lantas meloncat ke luar. Di luar, ia melihat tiga
penunggang kuda sudah kabur ke arah barat.
"Kura-kura!" teriak
seorang antaranya sembari menengok ke belakang. "Apakah kau berani
ber¬tempur dengan tuan besarmu?"
Ouw Hui gusar bukan main. Pada
pohon di depan kelenteng kelihatan tertambat dua ekor kuda. Tanpa mengucapkan
sepatah kata, buru-buru ia membuka tambatan seekor antaranya dan me¬loncat ke
punggung hewan itu yang lantas dikabur-kan sekeras-kerasnya untuk mengejar
ketiga orang itu.
Jauh-jauh Ouw Hui melihat tiga
musuhnya ka¬bur di sepanjang tepi sungai. Kepandaian mereka menunggang kuda
tidak seberapa, tapi kuda mereka lebih bagus daripada tunggangan Ouw Hui.
Sesudah mengejar satu lie lebih, belum juga mereka dapat disusul, Ouw Hui
menjadi jengkel. Seperti caranya seorang akrobat, sedang tunggangannya
dikabur-kan terus, ia menjumput beberapa butir batu dari atas tanah. Sekali ia
mengayun tangannya, lima enam batu menyambar ke arah tiga orang itu.
"Aduh!" mereka berteriak. Hampir berbareng, batu-batu itu mengenai
punggung mereka. Dua antara¬nya terjungkal tanpa bisa bangun lagi, sedang yang
ketiga diseret-seret tunggangannya, karena kaki kirinya tersangkut pada
sanggurdi. Dilain saat, kuda itu sudah membelok dan bersama penunggangnya yang
diseret-seret ia lenyap dari pemandangan ka-
rena terhalang pohon-pohon.
Ouw Hui loncat turun. Dua
orang itu merintih sembari memegang-megang pinggang. Ouw Hui me-nendang dan
membentak: "Eh! Kau kata mau ber-tempur denganku. Hayo, bangun!"
Orang itu merangkak bangun dan
memaki: "Tak tahu malu, kau! Sudah tidak mau bayar hutang judi, masih
begitu galak! Suatu hari, Hong Looya, tentu akan membereskan kau."
Ouw Hui terkejut. "Aku
hutang judi?" tanyanya. Sekonyong-konyong, orang yang satunya lagi
menerjang dan meninju. Ouw Hui mesem, sebab ia mendapat kenyataan, bahwa orang
itu sama sekali tidak mengerti ilmu silat. Dengan sekali menyam-pok, ia membuat
orang itu berbalik menghantam hidung kawannya yang lantas saja mengeluarkan
kecap. Ia terkejut dan mengawasi dengan mulut ternganga.
"Anjing! Kau berani
memukul aku?" teriak orang yang kepukul, sembari menendang kawannya.
Dilain saat, mereka sudah berkelahi dan melupakan Ouw Hui yang berdiri menonton
di samping mereka. Melihat kedua orang itu sama sekali tidak me¬ngerti ilmu
silat, tapi toh sudah berani menantang padanya, Ouw Hui mengetahui, bahwa dalam
ha4 itu mesti terselip latar belakang lain. Sekali men-jambret dengan kedua
tangannya, ia memisahkan mereka. Kedua orang itu terus saling memaki, yang satu
mencaci lawannya sebagai pencuri lobak, yang lain menuduh musuhnya sebagai
pencuri ayam. Me¬reka itu ternyata adalah buaya-buaya darat dan Ouw Hui jadi
semakin bercuriga.
"Siapa yang menyuruh kau
mencaci aku?" ben-
tak Ouw Hui sembari menggaplok
dan pipi mereka lantas saja bengkak.
Si pencuri ayam, yang nyalinya
lebih kecil, lan¬tas saja meminta ampun.
"Jangan rewel! Jawab
pertanyaanku!" Ouw Hui membentak pula.
"Menurut kata Thio
Po-koan (bandar she Thio) dari Enghiong Hweekoan, kau hutang judi tak mau
membayarnya," si pencuri ayam menerangkan.
"Maka itu, ia menyuruh
kami bertiga menge-rubuti kau dengan menjanjikan upah lima tail perak untuk
setiap orang. Kuda itu juga adalah kuda Thio Po-koan. Apa kau hutang atau
tidak, sebenarnya bukan urusan kami...."
"Celaka!" Ouw Hui
mengeluh. "Kenapa aku begitu tolol? Aku sudah dipancing dengan tipu
memancing harimau keluar gunung."
Sembari memikir begitu, ia
mendorong kedua buaya kecil itu yang lantas saja jatuh terguling dan sesaat
kemudian ia buru-buru menyemplak kudanya yang lalu dikaburkan sekeras-kerasnya
ke arah ke-lenteng Pak-tee-ya.
"Sudah pasti Hong Jin Eng
dan anaknya akan menyembunyikan diri," katanya di dalam hati.
"Hud-san-tin begini luas, bagaimana aku harus mencari-nya? Tapi biarlah!
Bangsat itu mempunyai banyak sekali perusahaan. Biar aku mengaduk di setiap
perusahaannya. Aku mau melihat, apakah dia bisa bersembunyi terus."
Sebentar saja, ia sudah tiba
kembali di depan kelenteng. Hati Ouw Hui lantas saja merasa tidak enak. Keadaan
di situ sunyi senyap, orang-orang yang tadi berkerumunan sudah tak kelihatan
mata
hidungnya. "Ah!
Benar-benar Hong Jin Eng kabur," pikirnya sembari loncat turun dari
tunggangannya. Dengan tindakan lebar, ia memasuki pekarangan dan terus menuju
ke ruangan sembahyang. Begitu masuk, ia merasakan dadanya sesak...
hampir-ham-pir ia jatuh duduk!
Ternyata, di ruangan sembahyang
menggeletak tiga mayat, yaitu mayat Ciong A-sie, Ciong sie-so dan Ciong Siauw
Jie, yang semuanya penuh dengan
bacokan.
Ouw Hui berdiri terpaku,
darahnya bergolak-golak. Mendadak, ia melemparkan diri di depan meja sembahyang
dan menangis sedu sedan. "Ciong Sie-ko, Sie-so dan saudara Ciong,"
katanya dengan suara gentar. "Ouw Hui tolol sekali, sehingga kalian
menjadi korban."
Sesudah kenyang memeras air
mata, tiba-tiba ia meloncat bangun. Ia menuding patung malaikat dan berkata
dengan suara nyaring dan tetap, "Pak-tee Ya-ya! Hari ini aku motion kau
menjadi saksi: Jika aku, Ouw Hui, tak bisa membunuh Hong Jin Eng, bapak dan
anak, untuk membalaskan sakit hati keluarga Ciong, aku akan kembali ke sini
untuk menggorok leherku di hadapanmu!" Berbareng de¬ngan perkataannya, ia
menghantam ujung meja sembahyang yang lantas saja menjadi hancur dan dua
ciaktay (tempat tancap lilin) jatuh terguling di atas lantai.
Beberapa saat kemudian, ia
berjalan keluar dan masuk lagi dengan menuntun kuda. Ia mengangkat ketiga mayat
itu yang lalu diletakkan di atas pung-gung kuda. Bukan main rasa menyesalnya.
"Ah! Karena belum mempunyai pengalaman, aku sung-
guh luar biasa
gobloknya," katanya di dalam hati. "Tanpa mengerti seluk-beluk dan
kekejaman dunia Kang-ouw, aku sudah berani turun tangan, karena gara-garaku,
tiga jiwa jadi melayang. Biarpun rumah keluarga Hong merupakan rimba senjata,
hari ini akan kuterjang juga." Sambil menunduk, perlahan-lahan ia menuntun
kudanya dan menuju ke jalan raya.
Ketika itu, Hud-san-tin seolah-olah
sebuah kota mati. Semua pintu tertutup rapat, sedang di jalan tak terdapat
seorang manusia. Ketika melewati Ru¬mah Gadai Enghiong dan Rumah Makan
Enghiong, ia menendang pintu kedua rumah itu dan ternyata keadaan di kedua
tempat itu pun sunyi senyap seperti kuburan. Apa yang mengherankan adalah: Di
rumah gadai dan di restoran tertumpuk ramput dan kayu bakar. Ia tak dapat
menebak, untuk apa bahan bakar itu.
"Tak bisa salah lagi,
Hong Jin Eng sedang mempersiapkan jebakan untuk menghadapi aku," katanya
dalam hati. "Mereka berjumlah banyak, aku seorang diri. Aku harus
berhati-hati, supaya jangan kena diakali lagi."
Setindak demi setindak ia maju
dengan was-pada. Sesudah membelok beberapa kali, tibalah ia di depan gedung
keluarga Hong yang sungguh besar serta mentereng dan di depannya tergantung
se¬buah papan indah dengan tulisan : Lamhay Hongtee (Rumah keluarga Hong di
Lamhay). Di gedung itu, lagi-lagi Ouw Hui mendapatkan pemandangan yang luar
biasa. Semua pintu, besar dan kecil, semua jendela terpentang lebar, sedang di
gedung yang luas itu, tak kelihatan seorang manusia juga!
"Tak perduli jebakan
apapun juga, aku tak takut," Ouw Hui menggerendeng. "Biar kubakar gua
kura-kuramu. Aku mau lihat, apakah kau keluar atau tidak."
Tapi baru saja ia niat mencari
bahan bakar untuk melepaskan api, di belakang gedung seko-nyong-konyong
terlihat asap mengepul! Ouw Hui terkesiap, sekarang ia dapat menebak tindakan
Hong Jin Eng. "Lihay sungguh tangan Hong Jin Eng dan benar-benar dia
jagoan," pikirnya. "Dia rela membakar sarangnya sendiri. Dilihat
begini, dia dan keluarganya tentu akan kabur ke tempat jauh."
Sembari memikir begitu, ia
terus masuk ke kebun sayur dengan menuntun kudanya. Dengan sebuah pacul ia
menggali tanah dan mengubur tiga jenazah itu.
Di kebun itu, lobak dan pekcay
hijau tumbuh subur, sedang di antara galangan tanaman sayur terdapat topi anak
kecil dan sebuah anak-anakan tanah. Sedih hati Ouw Hui dan dalam kesedihannya,
hatinya kemudian menjadi panas bukan main. Ia berlutut di depan kuburan itu dan
mulutnya ber-kemak-kemik: "Ciong-heng dan Ciong Sie-so. Jika rohmu
mempunyai keangkeran, bantulah aku untuk membekuk batang leher manusia berdosa
itu."
Selagi bersembahyang, di jalan
raya tiba-tiba terdengar suara tindakan kaki puluhan orang, di-susul dengan
teriakan-teriakan.
"Tangkap pembunuh dan
pembakar rumah!" teriak seseorang.
"Cegat! Jangan kasih
bajak laut itu melarikan did!" seru seorang lain.
"Di sini! Di kebun
sayur!" teriak orang ketiga.
Ouw Hui meloncat ke atas
sebuah pohon besar dan memandang ke luar. Ternyata sejumlah opas dan serdadu
yang bersenjata busur dan anak panah serta Iain-lain, sedang berteriak-teriak
di depan gedung Hong Jin Eng, tapi tuan rumahnya sendiri tidak kelihatan mata
hidungnya.
"Hm! Manusia itu sekarang
menggunakan ta¬ngan pembesar negeri," menggerendeng Ouw Hui. Ia meloncat
turun dan menyemplak tunggangannya yang lalu dikaburkan ke luar kota dengan
meng-ambil jalan dari belakang gedung keluarga Hong, yang ternyata tidak
terjaga sama sekali.
Ouw Hui menahan kudanya dan
dari sebelah jauh, ia memandang ke arah kota. Di beberapa tempat, yaitu
kira-kira di gedung keluarga Hong, di rumah makan, di rumah gadai dan beberapa
tempat lainnya, kelihatan sinar api dan asap yang mengepul ke atas. Sekarang ia
mengetahui bahwa Hong Jin Eng telah memusnahkan seantero harta bendanya dengan
tangannya sendiri dan dia tentu tak akan kembali lagi ke kota Hud-san-tin.
Walaupun hatinya gusar dan ia membenci hartawan kejam itu, tak urung ia merasa
kagum.
"Ke mana aku mesti
mencarinya?" tanya Ouw Hui pada diri sendiri, sembari mengedut les.
Sayup-sayup ia masih bisa
mendengar suara teriakan ratusan manusia yang sedang coba mema-damkan api.
Perlahan-lahan Ouw Hui menjalankan kudanya sembari mengasah otak.
"Tadi ketika aku mengejar
tiga buaya darat itu, pergi pulang belum cukup satu jam," pikir Ouw Hui.
"Hong Jin Eng adalah seorang hartawan yang mem¬punyai perusahaan besar.
Dengan cara apa, dalam
tempo yang begitu pendek, ia
dapat membereskan semua urusannya? Tidak bisa salah lagi, jika malam ini ia
sendiri tidak pulang, tentulah juga ada orang kepercayaannya yang pergi ke
tempat sembunyinya, untuk minta petunjuknya. Paling benar aku berjaga-jaga di
jalan."
Ia menduga, bahwa diwaktu
siang pasti tak akan ada orang yang berani muncul. Maka itu, ia lantas pergi ke
tempat sepi dan memanjat sebuah pohon besar untuk mengaso.
Setelah siang berganti dengan
malam, ia pergi ke pinggir jalan raya dan menyembunyikan diri di antara
rumput-rumput yang tinggi. Ia membuka mata lebar-lebar dan mengawasi ke empat
penjuru. Beberapa jam telah lewat dengan percuma. Ia me-nunggu terus sehingga
fajar, tapi kecuali beberapa petani yang masuk ke kota dengan memikul sa-yuran,
tak ada orang lain keluar masuk Hud-san-tin. Selagi Ouw Hui uring-uringan
mendadak ter-dengar derap kaki kuda yang sedang mendatangi dari jurusan kota.
Beberapa saat kemudian, dari kejauhan muncul dua penunggang kuda yang
mengenakan pakaian militer, yaitu seragam Gie-cian Sie-wie.
Hati Ouw Hui berdebar-debar.
Ia ingat perkataan Hong It Hoa yang mengatakan, bahwa ayahnya tak bisa datang
karena sedang melayani dua orang Gie-cian Sie-wie. Di lain saat, mereka sudah
melewati tempat persembunyian Ouw Hui. Buru-buru ia menjumput sebuah batu tajam
dan menimpuk. Batu itu tepat mengenai lutut belakang salah seekor kuda yang
lantas rubuh dengan tulang patah.
Si penunggang kuda ternyata
berilmu tinggi, sebab dengan sekali mengenjot badannya, ia sudah hinggap dengan
selamat di pinggir jalan. Kuda itu yang menderita kesakitan hebat,
berbenger-benger tak hentinya. "Ah, celaka!" kata si penunggang kuda
sembari menghela napas berulang-ulang.
Dari jarak tujuh delapan
tombak, Ouw Hui dapat melihat, bahwa rambut orang itu berwarna abu-abu sedang
mukanya agak tidak asing baginya, tapi ia lupa dimana ia pernah bertemu dengan
orang itu.
Kawan Sie-wie itu menahan les
dan membelok-kan tunggangannya seraya menanya: "Kenapa?"
"Kudaku terpeleset dan
lututnya patah," jawab-nya. "Rasanya tak dapat ditunggang lagi."
Begitu mendengar suaranya,
begitu Ouw Hui ingat, bahwa orang itu bukan lain daripada Ho Sie Ho dengan
siapa ia pernah bertemu di Siang-kee-po beberapa tahun yang lalu.
"Paling baik kita balik
kembali ke Hud-san-tin untuk menukar kuda," si kawan mengusulkan.
"Hong Jin Eng tak
ketahuan ke mana perginya, sedang seluruh Hud-san-tin lagi kalang kabut,"
kata Ho Sie Ho. "Paling benar kita pergi ke Lam-hay-koan untuk meminta
seekor kuda." Sehabis berkata begitu, ia mencabut pisau dan menikam perut
kuda itu, supaya hewan itu jangan menderita terlalu lama.
"Biarlah kita berdua
menunggang kuda ini, ja-lankan saja perlahan-lahan," kata kawannya.
"Ho Toako. Bagaimana pendapatmu? Apakah sungguh-sungguh Hong Jin Eng tak
akan kembali lagi ke Hud-san-tin?"
"Ia menghancurkan rumah
tangganya untuk
menyingkirkan bencana," jawab
Ho Sie Ho. "Bagaimana dia bisa pulang kembali?"
"Hm!" kata kawan
itu. "Sekali ini kita pergi ke selatan, bukan saja tidak mendapat hasil
suatu apa, sebaliknya malah sudah hams mengorbankan kuda-mu yang bagus."
Ho Sie Ho menyemplak kuda
kawannya dan berkata: "Ah, belum tentu tak ada hasilnya. Per-himpunan
besar dari para Ciangbunjin (pemimpin partai silat) di kolong langit yang bakal
diadakan di gedung Hok Kongcu, adalah suatu kejadian yang sangat luar biasa.
Sebagai Ciangbun dari partai Ngo-houw-bun, belum tentu ia tak datang."
Sembari berkata begitu, ia menepuk punggung kuda itu yang lantas lari dengan
perlahan.
Mendengar perkataan itu, Ouw
Hui menjadi girang, sebab biar bagaimanapun juga, ia sudah mendapat endusan.
Andaikata Hong Jin Eng tidak datang di Pakkhia untuk menghadiri perhimpunan
itu, tapi dalam satu pertemuan antara jago-jago Rimba Persilatan, sedikit
banyak ia akan mendapat keterangan tentang orang she Hong itu. Tapi ada suatu
hal yang mengherankan Ouw Hui. Untuk apa Hok Kongcu menghimpunkan para
Ciangbunjin dari berbagai partai?
Sembari memikir begitu, ia
kembali ke bawah pohon dan segera menunggang kudanya yang di-jalankan ke arah
utara.
Di sepanjang jalan ia coba
menyelidiki tentang Hong Jin Eng dan partainya, tapi sedikitpun ia tidak
memperoleh hasil. Sesudah melewati Ngo-leng, ia masuk ke dalam wilayah propinsi
Ouw-lam. Tanah di situ adalah tanah merah dan segala pemandangan
agak berbeda dengan apa yang
dapat dilihat di Lenglam.
Sesudah melewati Ma-kee-po dan
selagi men-dekati penyeberangan Kie-hong, tiba-tiba di se¬belah belakangnya
terdengar tindakan kuda yang cepat luar biasa. Ouw Hui menengok dan melihat
seekor kuda putih sedang mendatangi bagaikan angin. Ia menahan les dan
minggirkan kudanya ke pinggir jalan. Dilain saat, berbareng dengan
ber-kesiurnya angin, bagaikan melesatnya anak panah, kuda putih itu melewati ia
dengan keempat kaki seolah-olah tidak menginjak tanah. Penunggang kuda itu
adalah seorang wanita yang mengenakan baju warna ungu, tapi ia tidak dapat
melihat terang mukanya, karena kuda itu lari terlalu cepat. Apa yang ia tahu,
adalah bahwa wanita itu berbadan langsing.
Ouw Hui terkejut. "Kuda
putih itu seperti juga tunggangan Tio Samko," katanya di dalam hati.
"Kenapa muncul lagi di Tionggoan?" Sebenarnya ia niat memanggil dan
mengejar, tapi untuk itu sudah tidak keburu lagi, karena kuda itu sudah kabur
terlalu jauh. Si wanita menengok ke belakang sekali dan beberapa saat kemudian,
ia dan tunggangannya sudah tidak kelihatan bayang-bayangannya lagi.
Akan tetapi, meskipun
mengetahui, bahwa ia tak akan dapat menyusul, Ouw Hui mengejar juga untuk
menghilangkan rasa penasarannya.
Pada hari ketiga, tibalah ia
di kota Hengyang, sebuah kota penting di Ouwlam selatan dekat gu-nung Hengsan,
yang dikenal sebagai Lam-gak. Baru saja masuk di pintu kota sebelah selatan,
tiba-tiba Ouw Hui melihat seekor kuda putih yang sangat
gagah di depan sebuah rumah
makan. Ia lantas saja mengenali, bahwa kuda itu adalah tunggangan si nona baju
ungu. Dengan girang, ia lantas masuk ke
rumah makan itu, tapi si nona
tidak berada di situ.
Tadinya ia ingin menanya
kepada pelayan, tapi lantas saja ia mengurungkan niatnya, karena kurang baik
untuk menanyakan hal seorang wanita yang
belum dikenalnya. Ia lalu
mengambil tempat duduk di dekat pintu dan minta makanan. Di Ouwlam, orang makan
dengan menggunakan sumpit yang
sangat panjang dan mangkok
yang sangat besar.
Setiap sayur pedas rasanya,
sedang bumbunya pun menyolok sekali, sehingga sifat makanan Ouwlam adalah
"gagah", cocok sekali dengan sifat Ouw Hui.
Ia bersantap sembari mengawasi
kuda putih itu, sedang otaknya diasah untuk mencari kata-kata yang cocok, jika
nanti ia bicara dengan si nona,
mendadak, ia ingat satu hal.
"Dengan menunggang kuda
itu, ia tentu mem-punyai hubungan yang sangat rapat dengan Tio Sam ko,"
pikirnya. "Kenapa aku tak mau meletakkan saja bunga merah pemberian Samko
di atas meja? De¬ngan melihat bunga tersebut, ia tentu akan mencari jalan untuk
menegur aku." Memikir begitu, ia me-raba meja untuk mengambil bungkusannya
dan... ia sangat terkejut ketika mendapat kenyataan, bahwa bungkusan itu sudah
tak berada lagi di tempatnya. Terang-terang ia ingat, bahwa tadi ia meletak¬kan
bungkusan itu di atas meja. Ke mana perginya? Ia menyapu seluruh ruangan dengan
matanya yang tajam, tapi ia tak dapat melihat orang yang bisa dicurigai.
"Jika manusia biasa yang mengambil bung-kusanku, tak mungkin aku tidak
mengetahui," kata-
nya di dalam hati.
"Dilihat gelagatnya, hari ini aku bertemu dengan orang yang mempunyai
kepan-daian luar biasa tingginya."
Mau tak mau, ia terpaksa
menanya seorang pelayan: "Eh, ke mana perginya bungkusanku yang tadi
kuletakkan di atas meja? Apakah kau melihat siapa yang mengambilnya?!"
Pelayan itu
menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata: "Barang tuan harus dijaga
sendiri. Kecuali barang itu dititipkan kepada kami, kami tidak bertanggung
jawab."
"Aku bukan menyuruh kau
bertanggung jawab," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Aku hanya
me¬nanya, apakah kau melihat, siapa yang mengambil¬nya?"
"Tidak, tentu saja
tidak," kata pula pelayan itu. "Mana bisa ada bangsat berkeliaran di
sini? Tuan janganlah bicara sembarangan."
Ouw Hui mengetahui, bahwa ia
tak perlu tarik urat dengan orang itu. Selagi ia memikirkan, ba-gaimana ia
harus bertindak, pelayan itu berkata pula: "Makanan dan arak yang tuan
makan semua-nya berharga tiga chie lima hun. Aku minta tuan suka membayarnya
sekarang."
Dalam bungkusannya, Ouw Hui
menyimpan beberapa ratus tail perak yang ia menangkan di rumah judi Hong Jin
Eng, tapi dalam sakunya sendiri tidak terdapat sepeser buta. Mendengar
perkataan si pelayan, ia terkejut dan paras mukanya lantas saja berubah merah.
"Jika tuan tidak membawa
uang, jangan me-ngatakan bungkusan hilang," kata pelayan itu sem¬bari
tertawa dingin.
Ouw Hui mendongkol mendengar
ejekan itu, tapi ia sungkan bertengkar. Tanpa berkata suatu apa, ia ke luar
untuk mengambil kudanya. Tiba-tiba mendapat kenyataan, bahwa kuda putih itu
sudah tidak berada lagi di tempat tambatannya. "Bung-kusanku dan kuda itu
tentu mempunyai sangkut paut yang sangat rapat," katanya di dalam hati.
Ia lalu menuntun kudanya dan
sembari menye-rahkan hewan itu kepada si pelayan, ia berkata: "Hewan ini
sedikilnya berharga delapan ataau sem-bilan tail perak. Untuk sementara aku
menitipkannya di sini. Sesudah memperoleh uang, aku akan datang
menebusnya."
Paras muka pelayan itu lantas
saja berubah manis. "Baiklah, baiklah," katanya sembari tertawa. Baru
Ouw Hui berjalan beberapa tindak, tiba-tiba pelayan itu sudah memburu seraya
berkata: "Tuan, jika kau tidak mempunyai uang, aku bisa memberi suatu
petunjuk dan tanggung kau bisa makan kenyang."
Ouw Hui mendongkol. Ia sudah
hendak mem-buka mulut untuk mendamprat, tapi ia mengurung-kan niatnya dan
manggutkan kepalanya.
"Kejadian ini mungkin
tidak terjadi sekali dalam seratus tahun," kata si pelayan sembari
tertawa. "Sebenarnya, untuk tuan bagus. Beberapa hari ber-selang, Ban
Loo-kun-su (guru silat she Ban) telah meninggal dunia dan hari ini adalah hari
sembah-yang Tauwcit (sembahyang tujuh hari)."
"Ada sangkut paut apakah
hal itu dengan aku?" tanya Ouw Hui.
"Ada, ada sangkut pautnya
yang sangat rapat," kata si pelayan yang lalu mengambil sepasang lilin
putih dan sebungkus hio dari
atas meja. Sesudah menyerahkan kedua rupa barang itu kepada Ouw Hui, ia berkata
pula: "Jika dari sini kau berjalan terus ke utara, belum cukup tiga lie,
kau akan tiba di sebuah rumah besar yang dikelilingi beberapa ratus pohon hong.
Rumah itu adalah Hong-yap-chung tempat tinggal Ban Loo-kun-su. Kau hanya perlu
bersembahyang dan berlutut beberapa kali dan aku berani memastikan, bahwa kau
akan bisa makan kenyang. Besok, di waktu mau berangkat, kau mengaku terus
terang tidak punya ongkos dan aku merasa pasti, bahwa akan diberikan setail dua
tail."
Mendengar kata-kata "Ban
Loo-kun-su", Ouw Hui mengetahui, bahwa yang meninggal dunia ten-tulah juga
seorang ternama dalam Rimba Persilat-an. Ia jadi merasa ketarik dan menanya:
"Kenapa Hong-yap-chung begitu manis budi terhadap te-tamu?"
"Di Ouwlam selatan,
siapakah yang tak me-ngenal Ban Loo-kun-su yang mempunyai pergaulan sangat
luas?" jawabnya. Di waktu hidupnya, ia ge-mar bergaul dengan orang-orang
gagah. Orang-orang seperti tuan yang tidak mengerti ilmu silat, bolehlah
menarik sedikit keuntungan sesudah ia meninggal dunia."
Ouw Hui panas perutnya, tapi
akhirnya ia jadi tertawa. "Terima kasih," katanya sembari menyoja.
"Apakah orang-orang gagah dan sahabat-sahabat Ban Loo-kun-su akan datang
berkunjung untuk menyatakan turut berduka cita?"
"Tentu saja," jawab
si pelayan. "Dengan pergi ke situ, tuan akan memperoleh pengalaman ber-
harga dan akan mengenal banyak
orang gagah."
Perkataan itu sangat penting
artinya bagi Ouw Hui. Maka itu, dengan gembira, ia lalu berangkat dengan
membawa lilin dan hio.
Sesuai dengan petunjuk pelayan
itu, belum cu-kup tiga lie, Ouw Hui tiba di depan sebuah rumah besar yang
dikitari pohon-pohon hong. Di depan rumah itu digantungkan teng putih, sedang
di pintu dipasangkan muilie (tirai) dari kaianbelacu. Begitu Ouw Hui melangkah
masuk, tambur dan pat-im (musik Tionghoa) lantas dibunyikan. Ruangan
sem-bahyang sangat besar dan di sekitarnya digantung¬kan banyak sekali lian dan
tiok.
Ia memasang hio dan berlutut
di depan meja sembahyang. "Tak perduli siapakah kau ini, kau adalah
seorang Cianpwee dari Rimba Persilatan," katanya di dalam hati. "Aku
merasa, bahwa kau cukup kuat untuk menerima hormatku ini."
Selagi ia berlutut, tiga
hauwlam (putera dari orang«yang meninggal) yang mengenakan pakaian kain belacu,
juga turut berlutut untuk membalas hormatnya itu. Sesudah Ouw Hui berbangkit
ketiga hauwlam itu lalu menyoja untuk menyatakan terima kasih mereka yang
dibalas sebagaimana mestinya oleh Ouw Hui.
Dua di antara mereka berbadan
kasar dan yang seorang lagi bertubuh kecil, sedang muka mereka berlainan satu
dengan yang lain. "Tiga putera ini rasanya bukan dilahirkan oleh satu
ibu," pikir Ouw
Hui.
Dalam ruangan tengah terdapat
banyak sekali tamu, sebagian penduduk di situ dan sebagian pula orang-orang
gagah dari Rimba Persilatan, Ouw Hui
menyapu dengan matanya dan
dapat kenyataan, bahwa Hong Jin Eng dan si nona baju ungu tidak berada di situ.
Tidak lama kemudian, para tamu
diundang un¬tuk bersantap. Kira-kira tujuh puluh meja dipasang di ruangan
tengah dan di ruangan timur dan barat. Ouw Hui mengambil tempat duduknya di suatu
pojok dan sembari makan, ia memperhatikan gerak-gerik para tamu itu.
Orang-orang yang berusia tua kelihatannya berduka, tapi para tamu yang berusia
muda kebanyakan bercakap-cakap dengan gembira.
Di lain saat, ia melihat di
meja utama ketiga hauwlam sedang melayani dua orang perwira de¬ngan sikap
menghormat. Ouw Hui agak terkejut karena kedua pembesar militer itu mengenakan
seragam Gie-cian Sie-wie, tapi mereka bukan Ho Sie Ho atau kawannya. Selain
mereka pada meja itu duduk juga tiga busu yang berusia lanjut.
Meskipun dari jarak jauh,
dengan memusatkan perhatinnya, Ouw Hui dapat menangkap pembi-caraan di meja
itu. Sesudah semua tamu mengambil tempat duduk, salah seorang hauwlam lalu
berdiri sambil mengangkat cawan untuk menghaturkan te¬rima kasih, disusul oleh
hauwlam ketiga.
Ouw Hui merasa heran sekali.
"Satu saja sudah
cukup," bisik seorang muda yang duduk bersama-sama dengan Ouw Hui.
"Jika Ban Loo-kun-su
mempunyai sepuluh pu¬tera, bukankah mereka akan menghaturkan terima kasih
sepuluh kali?"
"Jika Ban Hoo Seng
mempunyai seorang putera saja, ia tentu sudah kegirangan setengah mati,"
kata seorang busu yang berusia kira-kira empat puluh
tahun.
"Apa ketiga haulam itu
bukan puteranya?" ta-nya si pemuda.
"Kalau begitu, saudara
bukan sanak dan bukan kadang dari Ban Loo-kun-su," kata busu itu.
"Sung-guh jarang ada orang yang mau datang di rumah kematian tanpa
mengenal orang yang meninggal dunia."
Pemuda itu merah mukanya, ia
menunduk tan-pa berkata suatu apa. Ouw Hui jadi geli. "Ah! Saudara ini
seperti juga aku yang datang ke marL hanya untuk numpang makan," katanya
di dalam hati.
"Aku merasa ada baiknya
untuk memberi se-dikit keterangan kepadamu, supaya jika ditanya orang, kau
tidak jadi gelagapan," kata busu itu. "Ban Loo-kun-su adalah seorang
yang ternama dan kaya raya. Hanya sayang, ia tidak mempunyai anak. Ia mempunyai
tiga orang murid. Yang berbadan kecil bernama Sun Hok Houw, murid kepalanya.
Yang mukanya putih dan badannya kekar adalah murid-nya yang kedua, Oe-tie Lian
namanya. Yang muka¬nya merah adalah Yo Peng, murid ketiga. Ketiga orang itu
masing-masing telah mewarisi serupa ke-pandaian Ban Loo-kun-su dan mereka semua
mem¬punyai ilmu silat yang lumayan. Hanya sayang, se-bagai orang-orang kasar,
mereka tak begitu me¬ngenal adat istiadat. Sesudah si Toasuheng meng-haturkan
terima kasih, dua yang lain masih merasa perlu untuk menghaturkan terima kasih
lagi."
Busu itu tidak mengetahui,
bahwa penghaturan terima kasih mereka bertiga mempunyai latar be-lakang lain.
Beberapa saat kemudian, di
meja tamu sudah timbul pertengkaran antara tiga saudara seperguru-an itu. Asal
mula percekcokan itu muncul dari perkataan salah seorang Gie-cian Sie-wie.
Katanya, "Kami datang di sini atas perintah Hok Kongcu untuk mengundang
Ban Loo-kun-su menghadiri perhimpunan para Ciangbunjin di kota raja, agar ilmu
silat Siauw-lim Wie-to-bun jadi semakin ter-kenal. Hanya sayang Ban Loo-kun-su
sudah keburu meninggal dunia."
Sesudah beberapa orang
menghela napas, ka-wannya lalu menyambungi: "Meskipun Ban Loo-kun-su sudah
meninggal dunia, tapi sebagai suatu partai besar, Wie-to-bun tentu akan segera
mem¬punyai seorang Ciangbunjin baru. Siapakah yang akan mewarisi kedudukan
itu?"
Ketiga saudara seperguruan itu
saling meng-awasi tanpa mengeluarkan sepatah kata. Berselang beberapa saat,
barulah Yo Peng, yang bermuka merah, berkata: "Suhu meninggal dunia karena
ma-suk angin. Begitu kena, ia lantas pingsan dan tidak keburu meninggalkan
pesan lagi."
"Beberapa paman guru
bertempat tinggal di tempat jauh dan mereka belum diberi warta tentang
meninggalnya Suhu," sambung Oe-tie Lian.
"Kalau begitu, soal
mengangkat Ciangbun ma¬sih memerlukan tempo," kata Sie-wie itu.
"Perhim¬punan Ciangbunjin akan diadakan pada bulan Peh-gwee, Tiongchiu,
dari sekarang masih ada dua bulan lagi. Kami mengharap, partai tuan akan dapat
mem-bereskan soal itu terlebih siang."
"Semenjak dulu, warisan
orang tua diberikan kepada anak yang paling budiman atau anak yang
paling tua," celetuk
seorang busu tua. "Jika Ban Loo-kun-su tidak meningalkan pesan, kedudukan
Ciangbunjin haruslah diserahlah kepada Sun Su-heng." Sun Hok Houw tertawa,
paras mukanya kelihatan girang sekali.
"Menyerahkan warisan
kepada yang paling tua memang benar sekali," kata seorang busu lain.
"Akan tetapi, meskipun Sun Suheng berguru lebih dulu, tapi jika dihitung
usia, Oe-tie Suheng lebih tua setahun daripada Sun Suheng. Oe-tie Suheng adalah
seorang yang berkepandaian tinggi dan sa-ngat bijaksana. Jika kedudukan
Ciangbunjin dise-rahkan kepadanya, ia tentu akan mengangkat naik nama Siauw-lim
Wie-to-bun, sehingga di alam baka, arwah Ban Loo-kun-su akan merasa
terhibur."
Mendengar itu, Oe-tie Lian
menyusut kedua matanya dengan ujung baju, seperti juga merasa sedih karena
mengingat sang guru.
Baru saja perkataan itu habis
diucapkan, busu ketiga menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali.
"Tidak begitu," katanya. "Dalam keadaan biasa, aku sangat
menyetujui pendapat itu. Tapi sekarang lain persoalannya. Dalam pertemuan di
Pakkhia, berbagai Ciangbunjin tentu akan memperlihatkan kepandaiannya yang
paling tinggi. Jika Ciangbunjin dari Wie-to-bun tak bisa bersaing dengan
mereka, maka nama partai yang sudah gilang-gemilang se-lama beberapa ratus
tahun, akan menjadi runtuh. Dari sebab itu, menurut pendapatku, kita haruslah
mengangkat seorang Ciangbunjin yang mempunyai kepandaian paling tinggi dalam
kalangan Wie-to-bun."
Beberapa orang lantas saja
manggut-manggutkan
kepalanya dan mengiakan
pendapat busu tua itu. "Ketiga Suheng adalah murid-murid Ban Loo-kun-su
yang disayang dan masing-masing mempunyai kepandaian yang tinggi," kata
lagi busu itu. Akan tetapi, jika dibanding-banding dan ditimbang-tim-bang,
adalah Siauwsutee Yo Peng yang berkepan¬daian paling tinggi."
Busu pertama lantas saja
mengeluarkan suara di hidung. "Hm! Belum tentu begitu," katanya.
"Me¬nurut pelajaran ilmu silat, semakin lama seseorang berlatih, semakin
tinggi kepandaiannya. Walaupun Yo Suheng adalah seorang yang berotak cerdas,
akan tetapi dalam hal tenaga dalam ia masih kalah jauh dari Sun Suheng."
"Tapi aku berpendapat
lain," kata busu kedua. "Dalam menghadapi lawan, yang paling penting
adalah kecerdikan. Hal mengadu otak harus lebih diutamakan daripada mengadu
tenaga. Aku adalah orang luar. Akan tetapi, jika aku harus bicara menurut
perasaan hatiku, orang yang paling cerdik dan mempunyai paling banyak tipu daya
adalah Oe-tie Suheng."
Demikianlah ketiga orang itu
mulai berebut bicara. Bermula mereka masih sungkan-sungkan, tapi kemudian,
sesudah ketiga-tiganya menjadi pa-nas, suara mereka jadi semakin keras dan
aseran. Para tamu lantas saja berhenti makan minum untuk mendengarkan
pertengkaran itu.
Di antara tamu-tamu, kira-kira
seratus orang adalah anggota-anggota partai Wie-to-bun. Mereka itu sebagian
besar adalah cucu-cucu murid Ban Loo-kun-su, sehingga dapat dimengerti, jika mas¬ing-masing
menyokong gurunya sendiri. Demikian-
lah, tarik urat itu yang
dimulai dengan bisik-bisik lantas saja berubah menjadi percekcokan hebat.
Sejumlah orang berusaha untuk
meredakan suasana, tapi mana mereka bisa berhasil? Beberapa orang yang berdarah
panas lantas saja menepuk-nepuk meja dan mencaci maki. Suasana sangat tegang.
Sedang jenazah Ban Loo-kun-su masih be-lum dingin, murid-murid dan cucu
muridnya sudah siap untuk bertempur.
Kedua Sie-wie itu tidak
mengeluarkan sepatah kata. Mereka mengawasi meja sembahyang sembari mesem.
Tapi, setelah keributan memuncak, seorang antaranya mendadak berdiri.
"Saudara-saudara!" katanya dengan suara nyaring. "Harap
dengarkan dulu kata-kataku."
Karena mengindahkan
kedudukannya sebagai pembesar negeri, semua orang lantas saja menghen-tikan
percekcokan mereka.
Kata Sie-wie itu: "Apa
yang dikatakan oleh Loo-su ini cocok sekali dengan pendapatku. Me-mang juga,
seorang pemimpin Wie-to-bun harus mempunyai ilmu silat yang paling tinggi.
Bukankah saudara-saudara juga menyetujui pendapat ini?"
Para hadirin lantas saja
manggut-manggutkan kepala dan mengiyakan atas pendapat Sie-wie itu. "Dalam
ilmu silat, siapa tinggi, siapa rendah tak dapat diputuskan dengan omongan
belaka," katanya pula. "Hal itu hanya dapat dipastikan dengan jalan
mengadu kepandaian. Baik juga, Samwie (ketiga tuan) adalah saudara seperguruan,
sehingga me-nang kalah tak akan merusak keakuran. Selain itu, menang kalah juga
tak akan menurunkan derajat Wie-to-bun. Sekarang ini, menurut pendapatku,
jalan satu-satunya adalah
Samwie coba pibu (adu silat) di hadapan lengwie (hiolow atau papan nama yang
dipuja) Ban Loo-kun-su, agar dengan berkah roh beliau, soal Ciangbunjin bisa
dapat dipastikan secara adil dan memuaskan semua pihak."
Usui itu diterima dengan
sorak-sorai oleh para hadirin. Sejumlah orang berteriak-teriak untuk
me-nyatakan persetujuannya.
Mendengar usulnya mendapat
dukungan pe-nuh, paras muka Sie-wie itu jadi berseri-seri.
"Piebu di antara saudara
seperguruan adalah kejadian yang lumrah saja," katanya pula. "Tapi
sebelum Samwie mulai, lebih dulu aku ingin meng-ajukan suatu permintaan."
Antara ketiga orang itu,
adalah Oe-tie Lian yang paling cerdik. "Katakan saja, Tayjin,"
katanya. "Kami bertiga tentu akan meluluskannya."
"Sesudah mendapat persetujuan,
sekarang kita menetapkan, bahwa siapa yang ilmu silatnya paling tinggi, akan
menjadi Ciangbunjin," kata Sie-wie itu. "Sesudah ada keputusan, semua
pihak harus mene-rima dengan rela hati dan tidak boleh bertengkar lagi."
"Tentu saja, tentu saja,"
jawab mereka hampir berbareng.
Dalam ilmu silat ketiga
Suhengtee (saudara seperguruan) masing-masing mempunyai kepandai¬an istimewa.
Maka itu, biarpun mereka tidak berani memastikan akan mendapat kemenangan,
setiap pihak merasa ungkulan untuk merubuhkan lawan-nya.
"Kalau begitu, marilah
kita menyediakan suatu tempat yang cukup lebar di sini," kata lagi Sie-wie
itu.
Semua orang lantas saja repot
menggeser meja kursi dan dalam sekejap, di depan meja sembahyang itu terbuka
suatu kalangan luas yang sudah kosong. Sesaat itu, kecuali beberapa orang yang
terus me-rabu makanan, hampir semua tetamu tak mem-punyai kegembiraan lagi
untuk makan minum.
"Siapa yang maju lebih
dulu?" tanya Sie-wie itu. "Apa Sun Toako dan Oe-tie Toako?"
"Baiklah," sahut Sun
Hok Houw yang lantas saja menyambuti sebatang golok yang diangsurkan oleh
seorang muridnya. Sesudah berlutut di depan meja sembahyang, ia memutarkan
badan seraya berkata: "Oe-tie Sutee, hayolah!"
Oe-tie Lian adalah seorang
licik. Ia merasa, bahwa jika ia bertempur dalam babak pertama, sesudah menang,
ia masih harus melayani Suteenya. Jalan yang paling baik adalah membiarkan
Suheng dan Suteenya bertempur lebih dulu dan kemudian, barulah ia turun tangan.
Memikir begitu, lantas saja ia
menyoja seraya berkata: "Ilmu silatku tak bisa merendengi Suheng dan juga
tak dapat menandingi Sutee. Sebenarnya, tak berani aku mengikuti pertandingan
perebutan Ciangbunjin ini. Akan tetapi, untuk memenuhi pengharapan para Loo-su,
apa boleh buat aku akan melayani Suheng dan Sutee untuk beberapa jurus saja.
Sekarang, baiklah Yo Sutee yang maju terlebih
dulu."
Yo Peng adalah seorang yang
tidak sabaran. Mendengar begitu, lantas saja ia berteriak:
"Baik¬lah!" Sesudah mengambil golok dari tangan mu¬ridnya, dengan
tindakan lebar ia masuk ke dalam
gelanggang. Tanpa memberi
hormat dulu di ha-dapan meja sembahyang, lantas saja ia memasang kuda-kudanya.
Goloknya yang dicekal dengan
tangan kanan. dilintangkan di pundak kiri, tangan kirinya ditekuk seperti
gaetan, kaki kanannya berdiri tegak, sedang kaki kirinya sedikit dikeluarkan.
Itulah pasangan Hu-kian-to (Golok melindungi pundak) dari Liok-hap To-hoat
(Liok berarti enam, Hap berarti akur atau bersatu, tapi Liok-hap atau Enam
bersatu bisa berarti juga seluruh jagat atau dunia To-hoat ber¬arti ilmu
golok).
Dalam ilmu silat Siauw-lim
Liok-hap mem-punyai arti yang seperti berikut:
Semangat, hawa dan jiwa
dinamakan Lwee-sam-hap (Tiga hap dalam). Tangan, mata dan badan dinamakan
Gwa-sam-hap (Tiga hap luar). Dalam ilmu silat Liok-hap, mata harus bersatu
dengan hati, hati bersatu dengan hawa, hawa bersatu dengan badan, badan bersatu
dengan tangan, tangan ber¬satu dengan kaki dan kaki bersatu dengan
selang-kangan. Dengan demikian seluruh tubuh manusia, di dalam dan di luar,
merupakan kesatuan yang bersatu padu (Liok-hap atau seluruh jagat).
Di antara para tetamu banyak
terdapat ahli-ahli silat yang berkepandaian tinggi. Melihat pasangan Yo Peng
yang teguh dan bersemangat, diam-diam mereka jadi memuji di dalam hati.
Di lain pihak, Sun Hok Houw
pun sudah me¬masang kuda-kuda. Ia menyembunyikan goloknya di belakang lengan
kanan, sedang tangan kirinya dilonjorkan ke depart. "Sutee, hayolah!"
ia meng-undang.
Busu setengah tua itu yang
duduk semeja de-ngan Ouw Hui, agaknya ingin memperlihatkan pe-ngetahuannya
mengenai ilmu silat. la berpaling kepada si pemuda seraya berkata: "Kalau
kita ingin menilai kepandaian orang, perhatikanlah tangan-nya jika orang itu
bersenjatakan golok tunggal dan perhatikanlah kakinya, jika ia menggunakan
se-pasang golok. Seorang yang menggunakan golok tunggal, mencekal senjatanya
dengan tangan kanan dan tangan kirinya kosong. Dengan memperhatikan gerakan dan
pukulan tangan kirinya, dapatlah kita menilai ilmu goloknya. Coba lihat
pasangan tangan kiri Sun Suheng. Sikapnya membela diri itu me-ngandung
unsur-unsur persiapan serangan. Sung-guh hebat tenaga dalamnya."
Mendengar keterangan itu,
tanpa merasa Ouw Hui manggut-manggutkan kepalanya.
Selagi si busu berbicara,
kedua Suhengtee itu sudah mulai bergebrak. Pukulan dibalas dengan serangan,
golok beradu depan golok. Sesudah mengawasi beberapa saat, busu setengah tua
itu berkata pula: "Hm! Mereka mempergunakan enam huruf dari teori ilmu
golok, yaitu Tian, Mo, Kauw, Kan, Pek dan Tok. Gerakan mereka tepat
sekali." "Apakah artinya itu?" tanya si pemuda yang duduk di
samping Ouw Hui.
"Mata golok menghadap ke
luar dinamakan Tian," si busu menerangkan. "Menghadap ke dalam
dinamakan Mo. Membengkokkan gerakan golok ada-lah Kauw, menyabet di sebelah
atas adalah Kan, menebas ke bawah dengan menggunakan kedua tangan adalah Pek,
sedang memapas ke bawah dinamakan Tok."
Pemuda itu yang tidak mengerti
ilmu silat, ha-nya mengangguk dan terus menonton pertempuran yang sedang
berlangsung itu.
Meskipun Ouw Hui mahir dalam
ilmu golok, tapi dalam kitab warisan leluhurnya tidak dapat catatan tentang
perbedaan-perbedaan teknis yang begitu kecil. Apa yang tertulis dalam kitab itu
hanyalah pukulan-pukulan untuk membela diri dan merubuhkan musuh. Maka itu,
keterangan busu tersebut sedikit banyak sudah menambah juga pe-ngetahuannya.
Semakin lama kedua Suhengtee
itu bertempur semakin seru. Sun Hok Houw menang setingkat dalam hal kegesitan,
sedang Yo Peng lebih unggul dalam hal tenaga. Dengan adanya perimbangan
tersebut, untuk sementara belum ada yang keteter.
Selagi semua orang memusatkan
perhatiannya ke gelanggang pertandingan, dari luar mendadak masuk seorang yang
lantas saja berkata dengan suara nyaring. "Kenapa ilmu golok Wie-to-bun
di-pertunjukkan secara begitu tolol? Hayo, berhenti! Bikin malu saja, kau!"
Sun Hok Houw dan Yo Peng
terkejut, hampir berbareng mereka melompat mundur. Orang yang berkata begitu
adalah seorang wanita muda yang mengenakan baju warna ungu dan bertubuh
lang-sing kecil. Ouw Hui lantas saja mengenali, bahwa ia itu bukan lain daripada
si nona yang menunggang kuda bulu putih. Dan apa yang mengagetkan Ouw Hui,
bungkusan yang menggemblok di punggung wanita itu adalah bungkusannya sendiri
yang hilang di rumah makan. Nona itu bermuka potongan kwaci, kedua alisnya
panjang dan melengkung, kulitnya
agak hitam, tapi halus dan
bening dan dalam kese-luruhannya, ia adalah seorang wanita yang cantik
sekali.
Ouw Hui terperanjat.
"Usia wanita itu kira-kira bersamaan dengan aku," katanya di dalam
hatinya. "Apakah benar-benar ia mempunyai ilmu silat yang begitu tinggi,
sehingga ia bisa memungut buntalan-ku, tanpa aku merasa?"
Mendengar kata-kata yang
sombong itu, Sun Hok Houw dan Yo Peng lantas saja menjadi gusar. Tapi mereka
tercengang ketika mengetahui, bahwa yang berkata begitu adalah seorang wanita
muda. Mereka terpaku dan tak dapat mengeluarkan se-patah kata.
"Dalam menggunakan
Liok-hap To-hoat, orang harus memperhatikan empat huruf Hie-sit-kiauw-tah.
(Memukul dengan kecerdikan)." kata pula si nona. "Tapi kamu
menghantam kalang kabut seperti kerbau edan. Apakah itu ilmu silat Wie-to-bun?
Apa itu Liok-hap To-hoat? Hm! Aku tak nyana, Ban Loo-kun-su yang namanya begitu
cemerlang, mempunyai murid-murid begitu tolol seperti kamu." Jika yang
mengucapkan kata-kata itu seorang lelaki, Sun Hok Houw dan Yo Peng tentu sudah
turun tangan. Tapi mereka merasa sungkan untuk menyerang seorang wanita yang
kelihatannya be¬gitu lemah. Ada satu hal yang mereka tidak habis mengerti.
Hie-sit-kiauw-tah memang benar adalah Kouwkoat (teori) dari Liok-hap To-hoat. Dari
mana si nona mendapat empat huruf itu?
Sementara itu, Oe-tie Lian
sudah maju meng-hampiri dan menanya sembari merangkap kedua tangannya
"Bolehkah aku mendengar she dan nama
nona yang mulia?"
Wanita itu mengeluarkan suara
di hidung, ia tidak menjawab pertanyaan orang.
"Hari ini, di hadapan
meja abu mendiang guru kami, partai kami ingin memilih seorang Cianbung-jin
baru," kata pula Oe-tie Lian. "Jika nona senang, boleh nona turut
menonton." Ia mengangsurkan tangannya sebagai undangan supaya wanita itu mengambil
tempat duduk.
Kedua alis nona itu agak
berdiri. "Siauw-lim Wie-to-bun adalah suatu partai kenamaan dalam Rimba
Persilatan," katanya dengan suara nyaring. "Dengan memilih Ciangbun
dari antara orang-orang semacam ini, bukankah hanya akan menjatuhkan nama besar
Bu-siang Thaysu?"
Mendengar kata-kata itu,
beberapa ahli silat dari tingkatan tua jadi terkejut. Bu-siang Thaysu adalah
seorang paderi berilmu, seorang yang telah mempelajari Liok-hap Kun-hoat,
Couwsu (kakek guru) yang telah mendirikan partai Wie-to-bun.
"Cianpwee manakah yang
sudah menyuruh nona datang ke mari?" tanya pula Oe-tie Lian sembari
merangkap kedua tangannya. "Ada petunjuk apa¬kah yang nona hendak berikan
kepada partai kami?" Sedang Oe-tie Lian masih dapat berbicara manis-manis,
adalah Sun Hok Houw dan Yo Peng yang sudah merasa mendongkol sekali.
Mereka belum berani
memperlihatkan kegu-sarannya, karena kata-kata nona itu benar-benar sangat
mengejutkan.
"Aku senang datang, aku
datang," jawab nona itu dengan suara dingin. "Perlu apa mesti
mendapat perintah orang? Aku dan Wie-to-bun masih ada
sangkut pautnya dan karena
melihat terjadinya ke-kacauan, terpaksa aku mesti datang untuk me-ngeluarkan
sepatah dua patah."
Sampai di situ, Yo Peng tak
dapat menahan sabar lagi. "Ada hubungan apa antara kau dan
Wie-to-bun?" ia membentak. "Kami sedang meng-urus urusan penting,
harap kau suka minggir dan jangan menjadi rintangan." Ia berpaling kepada
Sun Hok Houw dan melanjutkan perkataannya: "Toasu-heng, marilah kita mulai
lagi." Sembari berkata begitu, ia menggeser kaki kirinya ke depan,
go-loknya dilintangkan di pinggang dan segera ber-gerak untuk membuka serangan.
"Itulah pukulan
Mo-sin-lan-yauw-cam (Meraba badan menebas pinggang)," kata si nona.
"Tapi tindakanmu yang seharusnya enteng terlalu berat, sedang tindakan
yang seharusnya berat, tak cukup teguh. Sorot kedua matamu tidak mengawasi
lawan secara langsung, tapi melirik ke arahku. Salah! Semua salah!"
Tiga murid Ban Loo-kun-su itu
tercengang bu-kan main. Perkataan si nona tiada bedanya dengan perkataan
mendiang guru mereka jika sedang meng-ajar silat. Apakah benar-benar ia paham
Liok-hap
To-hoat?
Selagi nona itu bicara dengan
Oe-tie Lian, Sie-wie yang duduk di meja utama, tidak menge-luarkan sepatah
kata. Tapi sekarang ia membuka
mulut.
"Untuk apa nona datang ke
sini?" tanyanya.
"Siapakah gurumu?"
Sebaliknya dari menjawab
pertanyaan itu, ia berbalik menanya: "Bukankah sekarang Siauw-lim
Wie-to-bun sedang memilih
Ciangbunjin?"
"Benar," jawab
Sie-wie itu.
"Asal orang separtai,
siapa juga boleh turut dalam perebutan ini, bukan?" tanya pula si nona.
"Tak salah,"
jawabnya.
"Aku datang untuk merebut
kursi Ciangbunjin!"
Melihat paras nona itu yang
sungguh-sungguh, semua orang jadi terkejut. Melihat kecantikannya itu, dalam
hati Sie-wie itu lantas saja timbul rasa sayang dan oleh karena itu, ia segera
berkata: "Jika nona mengerti ilmu silat, biarlah sebentar kau
mem-pertunjukkan kepandaianmu supaya kita bisa me-nambah pengalaman. Tapi
sekarang, biarkanlah mereka bertiga menguji kepandaian dulu. Apakah nona
setuju?"
Si nona mengeluarkan suara di
hidung dan berkata: "Mereka tak usah bertempur lagi. Satu persatu lawan
aku." Sehabis berkata begitu, ia ber¬paling kepada seorang murid
Wie-to-bun dan ber¬kata: "Coba kasih aku meminjam golokmu."
Si baju ungu berwajah cantik,
bertubuh kecil dan lemah lembut gerak-geriknya, tapi suara dan sikapnya
mempunyai semacam pengaruh yang sukar dilawan orang. Murid itu sangsi sejenak,
tapi akhir-nya ia mengangsurkan juga goloknya, hanya ber-beda dari kebiasaan,
ia tidak membalik senjata itu dan mengangsurkan ujungnya ke arah si nona. Si
baju ungu segera mementang dua jerijinya yang kecil lancip dan menjepit
belakang golok itu yang lalu diambilnya dengan suatu gerakan yang indah sekali.
"Apakah dua orang akan
maju berbareng?" ta¬nyanya dengan suara dingin.
Yo Peng adalah seorang kasar
yang biasanya memandang rendah kepada kaum wanita. Ia meng-anggap lelaki tidak
pantas bertempur dengan se¬orang perempuan. Lebih lagi, sesudah melihat lagak
si baju ungu yang otak-otakan, ia merasa lebih baik jangan meladeni wanita itu.
Demikianlah, sembari menenteng goloknya, ia mengundurkan diri dari gelanggang
seraya berkata: "Toasuko, biar kau saja yang mengusir dia!"
Sun Hok Houw juga tengah
bersangsi. "Tidak... tidak..." katanya. Belum habis ia mengucapkan
perkataannya, si nona sudah membuka serangan seraya berseru:
"Yan-cu-lik-sui (Walet mengebas air)!" Tangan kirinya yang ditekuk
seperti gaetan melindungi pergelangan tangan kanannya, goloknya menyontek ke
atas dari bawah, sedang tubuhnya agak mendoyong ke belakang. Itulah salah satu
pukulan hebat dari Liok-hap To-hoat! Sun Hok Houw tidak menduga, bahwa nona itu
bisa menyerang secara begitu cepat, tapi sebagai orang yang sudah berlatih dua
puluh tahun lebih, dengan mudah ia dapat memunahkan serangan itu dan membalas
dengan pukulan Kim-so-tui-tee (Kunci emas jatuh di tanah).
"Kwan-peng-hian-in (Kwan
Peng mempersem-bahkan cap kebesaran)!" seru pula nona itu, sembari
membalikkan golok yang lalu diacungkan ke atas. Menurut kebiasaan, Sesudah
Yan-cu-liak-sui, yaitu pukulan dari bawah menyontek ke atas, orang tidak dapat
menggunakan Kwan-peng-hian-in, serupa pukulan yang juga bergerak dari bawah ke
atas. Di luar dugaan, dengan miringkan sedikit badannya, dapat juga ia
menggunakan pukulan tersebut dan
goloknya menyambar ke kepala
lawan. Sun Hok Houw terkesiap, buru-buru ia menunduk untuk menolong kepalanya.
"Hong-hong-hian-o (Burung
Hong pulang ke sarang)!" teriak pula si baju ungu, tangan kirinya
menyambar dan menghantam pergelangan tangan orang, sedang goloknya menebas dari
atas ke bawah.
Trang! golok Sun Hok Houw
terlempar di atas lantai dan golok si nona menyambar ke lehernya yang sudah
tidak terjaga lagi!
"Ah!" beberapa orang
mengeluarkan teriakan tertahan. Mereka merasa bahwa kepala Sun Hok Houw akan
segera jatuh menggelinding, karena golok itu tengah menyambar dengan kecepatan
luar biasa. Tapi, pada detik yang terakhir, yaitu pada waktu mata golok tiba
menempel di leher Sun Hok Houw, si nona menahan gerakan senjatanya!
Jantung Ouw Hui memukul keras.
Ia menge-tahui, bahwa merubuhkan Sun Hok Houw dalam tiga jurus, bukan satu
pekerjaan sukar. Akan tetapi, menahan jalannya golok yang sedang menyambar
bagaikan kilat dan apalagi menahan secara begitu tepat, adalah di luar
kemampuannya sendiri.
Di lain pihak, Sun Hok Houw
membungkuk sembari menunduk, sehingga hampir-hampir jang-gutnya menyentuh
tanah. Tapi golok si nona meng-ikuti terus, sehingga biarpun ia mempunyai
kepan-daian yang tinggi, dengan mata golok ditandalkan di lehernya, ia tak
bergerak lagi.
Si baju ungu kemudian menyapu
seluruh ruang-an dengan matanya dan menarik pulang senjatanya.
"Apakah kau pernah
mempelajari Hong-hong-hian-o?" tanyanya.
"Sudah," jawab Sun
Hok Houw dengan menun-duk. Entah berapa ribu kali ia sudah berlatih dengan
pukulan itu, tapi ia sama sekali tidak mendusin, bahwa Hong-hong-hian-o dapat
digunakan secara demikian. Dengan perasaan sangsi, bingung dan malu, sambil
menenteng golok, ia berjalan ke luar dari gelanggang.
Melihat kakak seperguruannya
dirubuhkan da¬lam tiga jurus, Yo Peng jadi bercuriga. "Apakah ini bukan
akal bulus Toasuheng?" tanyanya di dalam hatinya. "Apakah tak
mungkin, untuk merebut Ciang-bun, ia sengaja bersekutu dengan perempuan
itu?"
Memikir begitu, lantas saja ia
menanya: "Toa-suko, aku heran sekali, kenapa dalam tiga jurus saja, kau
sudah mengalah. Apakah artinya ini? Apakah kau sudah tidak memperdulikan lagi
derajat Wie-
to-bun?"
Sun Hok Houw yang belum pulang
semangat-nya dan malah ia sendiri tidak mengerti, kenapa sudah kena dijatuhkan
dalam tiga jurus saja, men-jadi lebih bingung ketika mendengar pertanyaan
Suteenya.
"Aku... aku..."
jawabnya, tergugu dan terputus-
putus.
"Aku kenapa?" bentak
Yo Peng dengan suara gusar. Sembari mencekal golok, ia loncat dan me-nuding,
seraya berteriak: "Kau...."
Baru saja sepatah perkataan
itu ke luar dari mulutnya, suatu sinar putih berkelebat dan golok si baju ungu
sudah menyambar dari bawah ke atas. Gerakan itu luar biasa cepatnya dan dalam
kaget-nya, Yo Peng merasa, bahwa ia diserang dengan pukulan Yan-cu-liak-sui.
Secara otomatis, ia meno-
long diri dengan
Kim-so-tui-tee, suatu pukulan yang ia mahir sekali. Sebelum kedua golok itu
kebentrok. golok si nona kembali berkelebat dan menyabet ke atas dengan gerakan
Kwan-peng-hian-in. Yo Peng terkesiap dan tanpa merasa, ia berteriak:
"Hong-hong-hian-o!" Hampir berbareng dengan teriakan-nya, tangannya
sudah kesemutan, goloknya jatuh dan lehernya sudah ditandalkan golok!
Demikianlah, si baju ungu
telah menggunakan tiga pukulan yang sama untuk merubuhkan Yo Peng. Perbedaannya
adalah : Tempo yang diguna-kannya untuk menjatuhkan Yo Peng ada lebih pendek
daripada waktu merubuhkan Sun Hok Houw.
"Kau menyerah?"
tanya nona itu dengan suara dingin.
Darah Yo Peng mendidih.
"Tidak!" ia berteriak sekuat suaranya.
Si baju ungu menekan sedikit
senjatanya ke leher orang, tapi Yo Peng ternyata sangat berkepala batu.
"Biar kepalaku ditebas tak akan aku me¬nyerah," katanya. Sebaliknya
dari menunduk, ia mengangkat kepalanya, sehingga nona itu yang me-mang tidak
ingin mencelakakan dia, lantas saja mengangkat goloknya.
"Dengan cara apa baru kau
mau menyerah?" tanyanya.
"Dalam ilmu golok,
seperti juga dia mempunyai ilmu siluman," pikir Yo Peng. "Dalam ilmu
silat yang sesungguhnya, belum tentu aku kalah." Memikir begitu, lantas
saja ia menyahut: "Jika kau mem¬punyai nyali, mari kita bertempur dengan
meng¬gunakan tombak."
"Hong-hong-hlan-o!"
berterlak Yo Peng dengan terkejut. Belum habis teriakannya, pergelangan
tangannya kese-mutan dan goloknya jatuh dl atas lantal. Dalam tiga Jurus, ia
sudah dirubuhkan oleh si baju ungu.
"Baiklah," sahut
nona itu sembari melemparkan goloknya kepada murid Wie-to-bun yang tadi
me-minjamkannya. "Aku justru ingin menyaksikan, sampai di mana kau sudah
berlatih dengan Liok-hap Ciang-hoat (Ilmu tombak Liok-hap)."
Dalam gusarnya, muka Yo Peng
yang memang berwarna merah, jadi berubah ungu.
"Ambil tombak,
lekas!" ia berteriak.
Seorang muridnya segera pergi
ke Lian-bu-teng (ruangan tempat berlatih ilmu silat) dan kembali lagi dengan
membawa sebatang tombak. Yo Peng adalah seorang yang adatnya berapi. Tanpa
berkata suatu apa, ia menggampar dan berteriak: "Perem-puan itu mau
bertempur dengan aku dengan meng-gunakan tombak. Kau dengar tidak? Kenapa hanya
mengambil satu?"
Murid itu yang kepalanya
pusing dan matanya berkunang-kunang, jadi gelagapan. Seorang murid lain yang
khawatir sang guru akan memukul lagi, buru-buru menyelak seraya berkata:
"Biarlah aku saja yang mengambilnya." Ia berlari-lari dan kembali
dengan membawa sebatang tombak lain, yang lalu diserahkan kepada si nona.
Begitu menyambuti, ia menikam
sembari ber-seru: "Jagalah!" Pukulan yang digunakannya adalah
Su-ie-peng-hok (Empat suku bangsa menakluk), semacam pukulan yang paling lihay
dalam Liok-hap Ciang-hoat dan dianggap sebagai pukulan utama dari
Jie-cap-sie-sit (Dua puluh empat macam pu¬kulan). Ilmu tombak itu juga dikenal
sebagai Tiong-peng Ciang-hoat.
Walaupun Ouw Hui berkepandaian
sangat ting-gi, tapi apa yang ia pelajari hanyalah ilmu golok dan
ilmu silat tangan kosong. Ilmu
menggunakan sen-jata lain, tak begitu dikenalnya. Maka itu ia lantas saja
melirik si busu setengah tua dengan sorot mata minta petunjuk.
Sebenarnya, busu itu hanya
memiliki kepan-daian yang tidak seberapa. Tapi, berkat pergaulan-nya yang lama
dengan Ban Loo-kun-su, ia mengenal banyak sekali ilmu silat Liok-hap. maka itu,
begitu melihat sorot matanya Ouw Hui, lantas saja ia berkata:
"Tiong-peng-ciang adalah raja ilmu tom-bak. Tinggi, rendah, jauh, dekat,
tak menjadi soal... perginya bagaikan anak panah... datangnya bagai-kan
benang...." Apa yang dikatakan olehnya adalah Ko-koat (teori ilmu silat
yang disusun seperti sajak) dari ilmu tombak Tiong-peng-ciang. Belum habis ia
menghafal Ko-koat itu, untuk menyambut serangan Yo Peng, nona itu menekan ke
bawah dengan ujung tombaknya.
"Itulah pukulan
Bie-jin-jin-ciam (Wanita cantik mengenali jarum)," kata busu itu.
"Pukulan itu ada¬lah pukulan biasa saja. Mungkin sekali, ia tak akan dapat
menandingi kepandaian Yo Suheng...."
Tiba-tiba, wanita itu
berjongkok dan ujung tom¬baknya berhasil menindih senjata Yo Peng. Itulah
pukulan Leng-niauw-po-cie (kucing sakti mener-kam tikus) dari Ciang-hoat.
Pukulan tersebut juga dikenal sebagai Bu-tiong-seng-yu-ciang, yang ber-arti,
bahwa pukulan yang "kosong" dengan men-dadak bisa berubah menjadi
pukulan yang lihay.
Demikianlah, dalam tiga jurus
saja, Yo Peng sudah kena ditindih. Dengan sekuat tenaganya, ia berontak dari
tekanan lawan. Nona itu menyontek dengan senjatanya dan... "tak!"
kepala tombak Yo
Peng patah dan jatuh di atas
lantai. Bagaikan kilat, tombak itu berkelebat dan menuding kempungan Yo Peng.
"Bagaimana?" tanya si nona dengan suara perlahan.
Muka Yo Peng yang tadi ungu,
sekarang ber¬ubah menjadi pucat pias. "Sudahlah! Sudahlah!" ia
berseru sembari melemparkan gagang tombaknya dan segera berjalan ke luar dengan
tindakan lebar.
"Suhu! Suhu!"
panggil salah seorang muridnya sembari mengejar. Begitu si murid datang dekat,
ia berbalik dan menendang, sehingga murid itu rubuh terjungkal, dan kemudian,
tanpa menengok lagi, ia berlari-lari ke luar pintu.
Para hadirin, tanpa
terkecuali, merasa kaget dan kagum. Ilmu silat yang digunakan oleh wanita itu,
adalah ilmu silat Wie-to-bun tulen. Sun Hok Houw dan Yo Peng adalah jago-jago
partai ter¬sebut, tapi mereka berdua, baik menggunakan go-lok maupun tombak,
sudah dirubuhkan dalam hanya tiga jurus. Itulah suatu kejadian yang benar-benar
tak dapat dimengerti, tapi benar juga sudah terjadi.
Sekarang adalah giliran Oe-tie
Lian yang maju ke depan sambil merangkap kedua tangannya. "Ilmu silat nona
memang luar biasa tingginya," katanya. "Aku mengetahui, bahwa diriku
bukan tandingan-mu, tapi...."
Alis nona itu mengkerut.
"Kau terlalu rewel." katanya dengan suara tawar. "Aku tak sabar
men-dengarkan ucapan yang panjang lebar. Jika kau menyerah di mulut dan
menyerah di hati, lekaslah menyatakan sokonganmu kepadaku untuk menjadi Ciangbun.
Jika kau penasaran, hayolah kita bertem-pur."
Muka Oe-tie Lian jadi bersemu
merah. "Perem-puan ini hebat tangannya, hebat juga mulutnya," katanya
di dalam hati. Tapi ia dapat menahan sabar dan lantas saja berkata:
"Suheng dan Suteeku sudah rubuh dalam tanganmu. Maka itu, tak dapat tidak,
aku harus juga mempersembahkan ketidakbe-cusanku...."
"Baiklah," si nona
memotong perkataan orang. "Senjata apa yang kau ingin
menggunakannya?"
Kata Oe-ti Lian:
"Semenjak dulu, Wie-to-bun terkenal dalam ilmu silat tangan kosong, ilmu
golok dan ilmu tombaknya...."
Baru saja ia berkata sampai di
situ, si nona sudah melemparkan tombaknya. "Baik," katanya. "Kau
tentu ingin bertempur dengan tangan kosong. Hayo!"
"Kita boleh tak usah
mencoba lagi dalam Liok-hap-kun yang tulen," kata Oe-ti Lian. "Aku
pasti tak bisa mengalahkan nona. Jika mungkin, aku ingin sekali memohon
pengajaran dalam Cek-ko...."
Paras muka wanita itu lantas
berubah tidak senang. "Hm!" ia mengeluarkan suara di hidung.
"Kalau begitu, kau mahir sekali dalam Cek-ko Lian-kun. Bolehlah!"
Hampir berbareng dengan per-kataannya, ia menebas tulang pundak Oe-ti Lian
dengan tangan kanannya.
Cek-ko Lian-kun adalah salah
satu ilmu silat Wie-to-bun. Ilmu itu, yang mengambil Liok-hap-kun sebagai
pokoknya, agak mirip dengan Kauw-kun (Ilmu silat kera). Pukulan-pukulannya
terdiri dari serentetan Siauw-kin-na-chiu-hoat, yaitu ilmu menangkap dan
mencengkeram seperti jujitsu bang-sa Jepang. Setiap gerak serangan, jika bukan
me-
nangkap, mencengkeram,
menggaet atau mengunci, tentulah menotok jalan darah. Sesudah menyak-sikan
kelihayan nona itu dalam ilmu golok dan tombak, Oe-ti Lian merasa, bahwa
kemungkinan satu-satunya untuk memperoleh kemenangan ada¬lah bertempur dengan
ilmu Cek-kok Lian-kun. Ia menganggap, bahwa meskipun lihay, sebagai se-orang
wanita, tenaga si nona tentu tidak seberapa. Di samping itu, dalam pertempuran
dengan meng-gunakan Cek-ko Lian-kun yang mirip dengan orang bergulat, si nona
tentu akan merasa kikuk dan kekikukan itu akan memungkinkan ia mendapat
kemenangan.
Wanita itu agaknya sudah dapat
rnembaca jalan pikiran Oe-ti Lian, maka begitu bergerak, ia me¬nebas dengan
telapakan tangannya. Oe-ti Lian me-nyampok dengan tangan kirinya, yang ingin
di-teruskannya untuk menotok jalan darah Kian-ceng-hiat, sesudah berhasil menangkis
pukulan itu. Tapi, sebelum tangannya beradu dengan tangan lawan, si nona
mendadak membalikkan telapak tangannya dan sebuah jerijinya sudah menyambar ke
kiri, ke arah jalan darah Jin-tiong-hiat.
Oe-ti Lian girang melihat
munculnya kesem-patan baik ini. Sembari mencoba menangkap de¬ngan tangan
kanannya, tangan kirinya coba me-meluk pinggang orang. Tapi, secara tidak
diduga-duga, kaki kanan si nona mendadak menyepak dan hampir berbareng dengan
itu, Oe-ti Lian terpental jauh, akan kemudian jatuh ngusruk di atas lantai
cimche, dengan janggut berlumuran darah. Serang¬an si nona, adalah salah satu
tipu Cek-ko Lian-kun dan ia sudah berhasil merubuhlcan lawannya, tanpa
badannya sendiri kena ditowel.
Demikianlah, antara tiga saudara seperguruan, Oe-ti Lian yang men-derita paling
hebat.
Melihat lihaynya nona itu,
Sie-wie yang duduk di meja utama, menjadi girang bukan main. la menuang secawan
arak dan dengan sikap meng-hormat, mengangsurkan cawan itu kepada si baju ungu.
"Sungguh tinggi kepandaian nona," ia memuji. "Andaikata Ban
Loo-kun-su hidup kembali, belum tentu ia dapat memperlihatkan ilmu yang
sedemi-kian tingginya. Hari ini, nona mewarisi kedudukan Ciangbun dan kejadian
ini benar-benar suatu ke-jadian yang menggirangkan untuk Wie-to-bun. Maka itu,
dengan menggunakan kesempatan ini, aku ingin menghaturkan selamat."
Si nona menyambuti cawan arak
itu, tapi baru saja ia mengangkatnya untuk dicegluk, di suatu pojok mendadak
terdengar suara aneh. "Apa nona itu benar-benar anggota Wie-to-bun?"
kata suara itu. "Aku rasa bukan."
Si baju ungu menyapu seluruh
ruangan dengan matanya yang tajam, tapi ia tak bisa mengetahui, siapa yang
sudah mengeluarkan kata-kata itu. "Sia-pa yang penasaran, boleh maju
saja," katanya de¬ngan suara dingin.
Sesaat itu, seluruh ruangan
menjadi sunyi se-nyap.
"Sebagaimana sudah
ditetapkan terlebih dulu, kedudukan Ciangbun akan diserahkan kepada orang yang
berkepandaian paling tinggi," kata Sie-wie itu. "Semua orang sudah
menyaksikan, bahwa ilmu silat yang diperlihatkan oleh nona itu, adalah ilmu
silat Liok-hap-pay tulen. Baik dalam ilmu
golok, ilmu tombak, maupun
ilmu silat dengan ta-ngan kosong, nona itu sudah menggunakan pu-kulan-pukulan
dari Liok-hap-pay. Maka itu, me-nurut pendapatku, sekarang kita tidak bisa
me-nyangsikannya pula. Andaikata di antara saudara-saudara anggota Wie-to-bun
ada yang masih merasa penasaran, sekalian boleh turun ke dalam gelang-gang
untuk mencobanya. Atas perintah Hok Kong-cu aku mengunjungi berbagai tempat
untuk meng-undang jago-jago di seluruh negeri, guna meng-adakan pertemuan di
kota raja. Semakin tinggi kepandaian orang yang diundang olehku, semakin terang
mukaku. Dalam hal ini, sama sekali tidak ada soal memilih kasih." Sesudah
berkata begitu, ia lantas tertawa terbahak-bahak.
Ia menunggu beberapa saat dan
setelah tak ada yang menyahut, ia segera berkata pula: "Jika kalian tidak
mempunyai pendapat lain, maka kedudukan Ciangbun dengan sewajarnya harus
diserahkan ke¬pada nona itu. Dalam Rimba Persilatan, aku sudah mengenal banyak
juga orang gagah dan Ciang-bunjin. Tapi, sebegitu jauh, belum pernah aku
ber-temu dengan seorang Ciangbunjin yang begitu muda, yang begitu cantik...
he-he... seperti si nona. Inilah yang dikatakan: Enghiong muncul dari ka-langan
orang muda, seorang pandai tak perlu ber-usia tua. Aha! Aku sudah bicara
panjang lebar, tapi belum mengetahui she dan nama nona yang mulia."
Nona itu kelihatan sangsi
sejenak. Selagi ia mau membuka mulut, Sie-wie itu sudah berkata pula:
"Hari ini, di antara sepuluh, ada delapan atau sem-bilan murid Wie-to-bun
yang hadir dalam ruangan ini. Sebentar lagi, mereka harus memberi hormat
kepada Ciangbunjin yang baru
dan oleh karenanya, mereka harus mengetahui nama nona."
Si baju ungu manggutkan
kepalanya seraya ber-kata: "Benar. Aku she Wan... namaku Cie Ie."
Sie-wie itu adalah seorang
yang berpengalam-an. Melihat sikap nona tersebut yang agak sangsi, ia lantas
saja menduga, bahwa "Cie Ie" bukan nama yang benar. "Cie
Ie" berarti "Baju Ungu", yaitu baju yang sedang dipakainya. Tapi,
sebagai seorang ber-pengalaman, ia pun tak mau usilan. "Nona Wan,"
katanya sembari tertawa. "Duduklah di sini. Meja utama ini haruslah
diserahkan kepadamu."
Pangkat Sie-wie adalah pangkat
militer yang tidak kecil di kota raja. Di samping itu, ia juga merupakan tamu
terhormat dari Wie-to-bun. Ka-rena begitu, menurut kepantasan, walaupun
se-bentar Wan Cie Ie sudah menerima kedudukan Ciangbun, ia harus duduk di kursi
yang paling buntut untuk menemaninya. Tapi, beda dari ke-biasaan, begitu
Sie-wie tersebut bangun dari kur-sinya, tanpa sungkan-sungkan si nona lantas
duduk di kursi utama itu. Sekonyong-konyong dalam ruangan itu terdengar suara
tangisan! Sembari me-nangis, orang itu berkata: "Wie-to-bun pernah
men-jagoi di seluruh dunia. Kenapa sekarang begitu rendah dan dapat di hina seorang
bocah perempuah yang masih berbau susu? Sungguh menyedihkan! Hu-hu-hu!"
Didengar dari suaranya, tangisan itu adalah tangisan sungguh-sungguh dan sama
sekali bukan ejekan.
"Hei!" teriak Wan
Cie Ie. "Kau kata, aku masih berbau susu. Hayo ke luar! Mari kita lihat
siapa yang berkepandaian lebih tinggi!" Sekarang ia sudah
mengetahui, bahwa orang yang
berkata begitu, ada¬lah seorang tua yang berusia kira-kira enam puluh tahun,
badannya kurus kering, kepalanya ditutup dengan topi kecil, thaucangnya kecil
dan rambutnya sudah hampir putih semua, mendekam di atas meja dan menangis
sedih sekali.
"Ah, Ban Ho Seng! Ban Ho
Seng!" ia mengulun. "Orang kata, biar mati hidup kembali, tak dapat
kau menandingi nona yang begitu muda. Benar-benar, enghiong ke luar dari kalangan
orang muda. Ah, Ban Ho Seng!"
Tak usah diterangkan lagi,
kata-katanya yang terakhir merupakan sindiran untuk Sie-wie itu dan beberapa
orang lantas saja jadi tertawa.
Sementara itu, sembari
menangis, si tua sudah berkata pula: "Dalam Rimba Persilatan, tak sedikit
aku sudah menemui orang-orang gagah dari ber-bagai partai. Akan tetapi, belum
pernah aku ber-temu dengan seorang paduka pembesar negeri yang begitu tak
mengenal malu!"
Kata-kata itu adalah tantangan
terang-terang-an. "Tua bangka!" teriak Sie-wie itu yang sudah tak
dapat menahan sabar lagi. "Jika kau mempunyai nyali, ke luar! Jangan kau
sembunyi saja seperti kura-kura!"
Orang tua itu tak meladeni, ia
menangis terus. "Aku menerima perintah dari Giam-loo-ong untuk mengundang
paduka-paduka pembesar negeri ke dunia baka, guna menghadiri pertemuan
besar," katanya. "Semakin tinggi pangkat orang yang datang atas
undanganku, semakin terang mukaku ini."
Mendadak Sie-wie itu meloncat
bangun dan memburu ke pojok ruangan. Sesudah mengirimkan
WU HD fiU/A TfliN IIIM 7 ft Si
pukulan gertakan dengan tangan
kirinya, ia men-cengkeram leher orang tua itu dengan tangan ka-nannya. Orang
tua itu terus menangis. Sekonyong-konyong dari pojok ruangan itu
"terbang" sesosok bayangan hitam yang kemudian jatuh ambruk di
tengah-tengah gelanggang. Orang itu bukan lain daripada Sie-wie yang barusan
galak sekali. Semua hadirin terkesiap, mereka tak dapat melihat, dengan cara
apa perwira itu dilontarkannya.
Melihat kawannya dipecundangi
secara begitu mudah, Sie-wie yang lain lantas saja menghunus goloknya dan
menerjang orang tua itu. Seluruh ruangan sembahyang itu lantas menjadi kalut.
Tiba-tiba kembali terlihat melesatnya sesosok bayangan hitam dan di lain saat,
Sie-wie yang bersenjata golok itu sudah rebah di atas lantai.
Ouw Hui yang terus
memperhatikan gerak-gerik orang tua tersebut, mengetahui bahwa kedua Sie-wie
itu telah dilemparkan dengan pukulan Cek-ko Lian-kun. Tak bisa salah lagi,
orang tua itu adalah anggota partai Wie-to-bun dengan kepan-daian yang
berlipat-lipat kali lebih tinggi daripada Sun Hok Houw. Sebagai seorang yang
selalu merasa sebal terhadap pembesar-pembesar Boan, Ouw Hui merasa senang
sekali, melihat kedua Sie-wie itu dihajar rubuh.
Wan Cie Ie mengetahui, bahwa
ia sedang meng-hadapi lawan berat. Ia segera bangun dan berkata dengan suara
tenang: "Lekas katakan jika kau hen-dak memberi pengajaran kepadaku. Guna
apa kau sembunyi-sembunyi?"
Perlahan-lahan orang tua itu
maju mengham-pirinya. Tubuhnya kurus kering, kulit mukanya kisut
dan kedua tulang pipinya
menonjol ke atas, sehing¬ga kelihatannya seperti seorang penderita penyakit
paru-paru. Akan tetapi, di tubuh muka yang tak karuan macam itu, terdapat
sepasang mata yang bersinar terang dan berpengaruh. Si nona tak berani
memandang rendah, ia berwaspada sambil memu-satkan seluruh perhatiannya ke arah
lawan.
"Nona," kata orang
tua itu. "Kau bukan orang she Wan dan juga bukan anggota partai kita.
De¬ngan kau, Wie-to-bun tak mempunyai permusuhan apa pun juga. Tapi kenapa kau
sudah berlaku begitu jahil dan menghina kami?"
"Apakah kau sendiri
anggota Wie-to-bun?" ta-nya si nona. "Bolehkah aku mendengar she dan
namamu?"
"Aku she Lauw, namaku Ho
Cin," jawabnya. "Apakah kau pernah mendengar nama Wie-to Song-ho
(Sepasang ho dari partai Wie-to-bun)? Jika aku bukan orang Wie-to-bun,
bagaimana aku bisa menjadi salah seorang dari Wie-to Song-ho?"
Orang-orang Rimba Persilatan
dari tingkatan lebih tua, kebanyakan sudah pernah mendengar nama Wie-to
Song-ho. Akan tetapi, sebagian besar hanya mengenal Ban Ho Seng, pemimpin
Wie-to-bun dan seorang pendekar yang luas pergaulannya, sehingga mempunyai nama
harum dalam kalangan Kang-ouw. "Ho" yang satunya lagi sedikit sekali
dikenal orang.
Sekarang sesudah ia
memperkenalkan did se¬bagai salah seorang dari "sepasang Ho" itu dan
sesudah ia memperlihatkan kepandaiannya yang sangat tinggi, semua orang lantas
saja memper-hatikannya dan berbicara kasak-kusuk antara ka-
wan sendiri.
"Perduli apa sepasang Ho
(Ho berarti burung Ho) atau sepasang bebek," kata si nona sembari menggelengkan
kepala. "Tidak, aku belurn pernah mendengar nama itu. Apakah kau ingin
menjadi Ciangbun?"
"Bukan, tidak
sekali-kali," jawab Lauw Ho Cin. "Jangan sekali lagi kau mengeluarkan
kata-kata begitu. Aku adalah Suheng (kakak seperguruan), Ban Ho Seng adalah
Suteeku (adik seperguruan). Jika mau, sedari dulu aku sudah menjadi
Ciang-bunjin. Perlu apa menunggu sampai sekarang?"
Wan Cie Ie monyongkan mulutnya
dan berkata: "Jangan ngaco belo! Siapa percaya obrolanmu! Ha-bis, perlu
apa kau menyelak di sini!"
"Aku datang ke mari
justru untuk urusan Ciang-bunjin," jawabnya. "Pertama, kedudukan
Ciangbun-jin dari Wie-to-bun haruslah diduduki oleh murid partai kami yang
tulen. Kedua, tak perduli siapa yang menjadi Ciangbunjin, dia tak boleh pergi ke
kota raja untuk bergaul dengan orang-orang 'mahal'. Kita adalah orang-orang
kasar yang hanya mengenal ilmu silat. Maka itu, mana bisa kita bergaul dan
bersahabat dengan pembesar-pembesar negeri?" Sehabis berkata begitu, ia
berhenti sejenak dan kedua matanya yang berbentuk segi tiga, menyapu ke seluruh
ruangan. "Ketiga," ia menyambung per-kataannya. "Memilih
Ciangbun dengan hanya me-nilai ilmu silatnya, adalah cara memilih yang tak
dapat disetujui olehku. Menurut pendapatku, da-lam pemilihan demikian, kita
harus mengutamakan sifat-sifat mulia dari orang yang hendak dipilih itu.
Sekarang aku ingin menanya: Apakah kalian mau
memilih orang yang
berkepandaian sangat tinggi, tapi bersifat sangat rendah?"
Uraian tersebut disambut oleh
sejumlah orang dengan mengangguk. Mereka merasa, bahwa meski-pun orang tua itu
menunjukkan sikap dan sifat yang agak aneh, tapi perkataannya tepat sekali.
Wan Cie Ie tertawa dingin.
"Syaratmu yang pertama, yang kedua dan yang ketiga tak satupun yang dapat
diterima olehku," katanya. "Sekarang mau apa kau?"
"Mau apa?!" kata
Lauw Ho Cin. "Sudahlah! Biarlah sekarang aku mempersembahkan tulang-tulang
tuaku kepada nona, untuk dihajar!"
Ouw Hui mendengarkan
pembicaraan mereka dengan hati berdebar-debar. Semenjak kecil, ia sudah
berkelana di kalangan Kang-ouw dan selama itu, sering sekali menyaksikan
perbuatan sewenang-wenang dari pembesar-pembesar kerajaan Ceng terhadap rakyat
dan orang-orang yang lemah. Ia jadi membenci segala apa yang berbau pembesar
Boan. Maka ia merasa senang sekali melihat Lauw Ho Cin menghajar kedua Gie-cian
Sie-wie itu dan secara otomatis ia bersimpati kepada orang tua tersebut.
Diam-diam ia mengharapkan supaya orang tua itu menang dalam pertandingan
melawan nona itu, tapi ia khawatir karena si baju ungu lihay sekali.
Wan Cie Ie bersikap sombong,
seolah-olah tak memandang sebelah mata kepada Lauw Ho Cin. "Kau mau
bertempur dengan tangan kosong atau dengan senjata?" tanyanya dengan suara
dingin.
"Karena nona mengaku
sebagai murid Siauw-lim Wie-to-bu, sekarang marilah kita sama-sama mencoba-coba
ilmu mustika dari Wie-to-bun," ja-
wab Lauw Ho Cin.
"Mustika apa?" tanya
Wan Cie Ie. "Bicaralah terus terang. Aku paling benci kepada orang yang
bicara berputar-putar."
Lauw Ho Cin mendongak dan
tertawa berka-kakan. "Sedang mustika partai kita, kau masih be-lum
tahu," katanya. "Bagaimana kau bisa menjadi Ciangbunjin dari
Wie-to-bun?"
Untuk sejenak si nona
kelihatan jengah, tapi di lain saat, ia sudah tenang kembali. "Ilmu silat
dari partai kita, tak dapat dijajaki bagaimana dalamnya," katanya.
"Sesudah orang mencapai puncaknya yang paling tinggi, dengan menggunakan
pukulan yang paling rendah, kita bisa malang melintang di kolong langit. Maka
itu, baik Liok-hap-to maupun Liok-hap-ciang atau yang Iain-lain, yang mana juga
bisa dinamakan mustika dari partai kita."
Diam-diam Lauw Ho Cin merasa
takluk kepada kecerdikan nona itu. Ia mengetahui, bahwa Wan Cie Ie tidak
mengenal mustika dari partai Wie-to-bun, akan tetapi, dengan alasan-alasan yang
tak dapat dibantah, ia sudah dapat menolong diri dari keadaan terjepit.
Lauw Ho Cin mesem dan sembari
mengusap-usap jenggot dan kumisnya, ia berkata: "Baiklah, sekarang aku
membuka rahasia. Mustika partai kita adalah Thian-kong Bwee-hoa-chung (Pelatok
bu-nga Bwee). Apakah kau mengenal itu?"
"Hm!" sahut si nona
sembari tertawa dingin. "Mustika apa itu? Sekarang aku mau membuka
rahasia. Mengenai ilmu silat, yang paling berharga adalah ilmu silat yang
sejati. Segala Bwee-hoa-chung, barisan ini atau barisan itu, hanya merupa-
kan barang permainan untuk
menipu anak kecil. Jika kau tidak percaya, mari kita mencoba-coba. Dimana
Bwee-hoa-chungmu?"
Lauw Ho Cin tak menyahut. Ia
mengambil sebuah mangkok arak, mencegluk isinya dan me-lemparkan mangkok kosong
itu ke atas lantai. Se¬mua orang kaget, mereka menduga, bahwa mang¬kok itu akan
jatuh hancur. Tapi, di luar dugaan. tenaga yang digunakannya adalah sedemikian
tepat-nya, sehingga mangkok itu jatuh tengkurap di atas lantai dalam keadaan
utuh. Sesudah itu, ia meng¬ambil mangkok kedua, minum isinya dan melem-parkannya
juga ke lantai. Demikianlah, berturut-turut, ia mengulangi perbuatan itu. Satu
demi satu, tak perduli yang berisi penuh atau yang berisi se-paruh, diminum
kering isinya dan kemudian di-lemparkannya di atas lantai. Dan sungguh
menak-jubkan, semua mangkok itu jatuh tengkurap dan sebuah pun tiada yang
pecah.
Dalam sekejap, di atas lantai
sudah meng-geletak tiga puluh enam mangkok. Semua orang menjadi heran berbareng
kagum, bukan saja karena kepandaiannya, tapi juga karena kuatnya meminum arak.
Jika dihitung ia sudah menghabiskan tak ku-rang dari tujuh belas atau delapan
belas mangkok arak yang berisi penuh.
Semakin banyak ia minum,
mukanya yang ber-warna kuning jadi semakin kuning. Tiba-tiba badan-nya bergerak
dan kakinya sudah menginjak pantat sebuah mangkok. "Marilah! Aku minta
pengajaran-mu!" ia mengundang sembari menyoja.
Wan Cie Ie memang juga tidak
mengenal Thiankong Bwee-hoa-chung. Tapi, mengandalkan
ilmu mengentengkan badannya
yang sangat tinggi, sedikit pun ia tak menjadi keder. Sekali menjejak dengan
kaki kirinya, bagaikan seekor burung ia hinggap di atas pantat sebuah mangkok
lain. Ia mengangkat kedua tangannya dan memasang kuda-kuda. Tak berani ia
menyerang sembarangan, ia ingin menunggu serangan lawan.
Di lain saat, Lauw Ho Cin
meloncat sembari menjotoskan tinju kanannya dengan pukulan Sam-hoan-to-goat
(Tiga lingkaran membungkus rem-bulan). Berkat matanya yang sangat tajam, Wan
Cie le segera dapat melihat, bahwa tinju itu bukan berbentuk biasa. Empat
jerijinya yang ditekuk tidak rata merupakan buah lengkak segi tiga. Melihat
begitu, si nona lantas saja mengetahui, bahwa la-wannya adalah ahli menotok
jalan darah. Memang juga benar begitu. Pukulan-pukulan yang dikirim-kan dengan
tinju seperti itu, termasuk dalam Sha-kak Kun-hoat (Ilmu silat Segi tiga), yang
teris-timewa digunakan untuk menyerang jalan darah musuh.
Buru-buru Wan Cie le meloncat
mundur dan kemudian melayani lawannya dengan Sha-kak-kun juga.
Melihat gerakan badan, gerakan
kaki dan ge-rakan tangan si nona yang semuanya tidak menyimpang dari
ketentuan-ketentuan ilmu silat Wie-to-bun, Lauw Ho Cin menjadi heran bukan
main. Demikianlah, dengan kedua kaki bergerak-gerak di atas tiga puluh enam
mangkok itu, mereka saling serang menyerang dengan menggunakan Liok-hap
Kun-hoat yang mempunyai dua puluh empat jalan.
Dalam pertempuran di atas
Bwee-hoa-chung, tujuan masing-masing pihak adalah menduduki pe-latok
tengah-tengah untuk mendesak musuh ke pinggir dan supaya musuh jatuh ke bawah
pelatok. (Bwee-hoa-chung biasa dibuat dari pelatok-pelatok kayu atau bambu.
Tapi dalam pertempuran antara Lauw Ho Cin dan Wan Cie le ini, mangkok-mang-kok
arak telah digunakan sebagai pelatok).
Puluhan tahun lamanya Lauw Ho
Cin telah berlatih di atas pelatok Bwee-hoa-chung, maka ti¬dak mengherankan,
jika sesuatu tindakannya adalah tepat dan tetap. Baru saja lewat beberapa
jurus, ia sudah dapat menduduki pelatok tengah dan mulai mendesak si nona
dengan tenaga yang lebih besar. Tapi ia tidak berani berlaku ceroboh, karena
me¬ngetahui, bahwa lawannya berkepandaian sangat tinggi.
Sebagaimana diketahui, mangkok
adalah ba-rang yang gampang pecah dan dalam pertempuran itu, siapa yang
memecahkan sebuah saja, dia yang kalah. Maka itu, dalam melakukan
serangan-se-rangan, Wan Cie le tidak berani menggunakan tenaga terlalu besar,
karena khawatir akan me¬mecahkan mangkok. Melihat lawannya berdiri te-gak di
tengah-tengah dengan garis pembelaan yang sangat teguh, si nona menjadi
jengkel. Sembari mengempos semangatnya, ia mengeluarkan ilmu mengentengkan
badan yang paling tinggi dan lari berputar-putar untuk mencari bagian lemah
dari Lauw Ho Cin.
Tapi, Sesudah lewat tiga puluh
jurus, orang tua itu tetap berdiri teguh dan pukulan-pukulannya semakin lama
jadi semakin hebat.
utn u/-v r+\\t A t~r\ A ».■ ■>■*
J ■» ftO
Tiga puluh enam mangkok yang
disebar oleh Lauw Ho Cin, sama sekali tidak berbentuk bunga Bwee, sebagai
biasanya bentuk Bwee-hoa-chung. Penyebaran yang kalut itu, hanya dia yang
paham. Dengan latihan puluhan tahun, sembari meram ia dapat melompat pergi
datang di atas mangkok itu. Tapi tidaklah demikian dengan si nona. Setiap kali
bertindak atau melompat, ia harus melihat lebih dulu kedudukan mangkok yang mau
diinjaknya. Maka itu tidak heran, jika, sesudah bertempur agak lama,
perlahan-lahan Wan Cie Ie jatuh di bawah angin.
Lauw Ho Cin menjadi girang
sekali. Lantas saja ia mengirim serangan-serangan berantai dengan tenaga yang
lebih besar. Dalam sekejap si nona sudah jadi keteter. Mendadak, dalam keadaan
ber-bahaya, ia mengubah cara bersilatnya. Jika tadi ia memukul dengan telapak
tangan, sekarang ia me-nyodok dengan jeriji tangan kiri. Serangannya itu adalah
Su-ie-peng-hok dari ilmu tombak Liok-hap.
Lauw Ho Cin terkesiap,
buru-buru ia melompat minggir. Tapi di luar dugaan, si nona sudah menyu-sulkan
tebasan tangan kanannya. Itulah tebasan ilmu golok Lian-hoan-to (Ilmu golok
berantai) dari Liok-hap To-hoat.
Lauw Ho Cin jadi gelagapan.
Sedikit pun ia tidak menduga, bahwa dalam tempo sekejap, si nona sudah
menyerang menurut ilmu tombak dan ilmu golok dengan kedua tangannya. Dalam
kebingungan-nya, pundaknya kena tertebas, tapi masih untung, bahwa dengan
sedikit mengkeretkan tubuh, ia dapat memunahkan tujuh bagian tenaga lawan. Di
lain saat, Wan Cie Ie menyabet ke atas dengan tangan
kirinya dalam gerakan
Pek-wan-hian-tho (Kera pu-tih mempersembahkan buah tho), yaitu suatu pu-kulan
dari ilmu golok Liok-hap. Dalam sekejap itu serangannya sudah berubah lagi!
Kedua tangan Wan Cie Ie kembali menyerang menurut ilmu golok.
Lauw Ho Cin tak keburu
berkelit lagi, dadanya kena terpukul dan badannya bergoyang-goyang....
Selama pertempuran itu, Ouw
Hui selalu me-masang mata dengan penuh perhatian. Melihat orang tua itu
terpukul, ia merasa sangat sayang jika ahli yang kenamaan itu mesti rubuh
secara begitu mengecewakan. Maka itu pada saat yang bahaya, yaitu ketika kedua
kaki Lauw Ho Cin hampir meng-injak lantai, dengan cepat ia mengangkat dua buah
mangkok yang lalu dilontarkannya dengan tenaga yang sudah diperhitungkan. Kedua
mangkok itu menggelinding dan berhenti persis di bawah kaki Lauw Ho Cin!
Demikianlah, di waktu orang tua itu hampir jatuh, kedua kakinya menginjak dua
mang¬kok lain. Ia terkesiap dan segera mengetahui, bahwa seorang yang berilmu
tinggi telah membantu ke-padanya. Para hadirin yang sedang memusatkan perhatian
mereka kepada pertempuran, tak me¬ngetahui kejadian itu.
Sebagaimana diketahui, Wan Cie
Ie telah menggunakan jerijinya sebagai tombak dan telapak tangannya seperti
golok. Tapi, meskipun benar ia bersilat dengan ilmu Liok-hap-ciang dan
Liok-hap-to, sedari dulu sampai sekarang, dalam kalangan Wie-to-bun, belum
pernah ada orang yang ber¬tempur secara begitu.
Bukan main sangsinya hati Lauw
Ho Cin. Ia merangkap kedua tangannya dan berkata dengan
suara manis: "Kepandaian
nona yang begitu tinggi, dengan sesungguhnya aku belum pernah melihat. Bolehkah
aku mengetahui, nona termasuk dalam partai mana dan siapa guru nona?"
"Hm!" sahut Wan Cie
Ie. "Kau tentu masih belum percaya, bahwa aku benar-benar murid
Wie-to-bun. Baiklah! tapi bagaimana jika aku bisa me-ngalahkan kau dengan ilmu
silat Liok-hap-kun?"
Itulah justru apayang
diinginkan oleh Lauw Ho Cin. la membungkuk seraya berkata: "Jika nona
dapat merubuhkan aku dengan Liok-hap-kun, ke-jadian itu sungguh-sungguh
merupakan kejadian menggirangkan bagi Wie-to-bun. Andaikata aku harus
mengiringi nona sambil memegang pecut, aku pun akan merasa rela." Sehabis
berkata begitu, ia memutarkan badannya ke arah Ouw Hui dan ber¬kata sembari
menyoja: "Aku si tua minta permisi untuk mempersembahkan
kebodohanku." Menyo-janya itu adalah untuk menghaturkan terima kasih
kepada orang yang sudah menolong dirinya. Mes-kipun ia tidak mengetahui, siapa
yang telah mem-bantunya, akan tetapi ia tahu, dari jurusan mana kedua mangkok
itu dilemparkan.
Wan Cie Ie adalah seorang
wanita yang cerdas luar biasa. Selagi Lauw Ho Cin menanyakan partai dan
gurunya, ia sudah mendapat suatu siasat bagus untuk merubuhkan lawannya. Di
lain saat, mereka sudah mulai bertempur lagi dengan menggunakan Liok-hap-kun.
Baru saja bergebrak beberapa
jurus, Lauw Ho Cin sudah berada di atas angin lagi. Sesudah men¬dapat
pengalaman getir tadi, sekali ini ia berlaku sangat hati-hati dan selalu
berjaga-jaga, khawatir si
nona mengeluarkan pula
pukulan-pukulan yang aneh-aneh. Sesudah lewat lagi beberapa jurus dan ilmu
silat Wan Cie Ie tetap tidak berubah, barulah hatinya menjadi lebih lega.
Tiba-tiba Wan Cie Ie menyerang dengan pukulan Tah-houw-sit (Pukulan memukul
harimau). Dengan cepat, sembari me¬notol mangkok dengan kaki kanannya, Lauw Ho
Cin menyambut dengan pukulan Ouw-liong-tam-hay (Naga hitam selulup di laut).
Tiba-tiba ia terkesiap, karena
merasakan kaki-nya menotol benda yang luar biasa. Ia melirik dan menjadi lebih
kaget lagi! Ternyata, mangkok arak yang barusan masih tengkurap sekarang sudah
ce¬lentang. Masih untung baginya, bahwa barusan ia hanya menotol dengan
kakinya. Jika ia menginjak, mangkok itu pasti menjadi pecah dan kakinya akan
jatuh di lantai. Ketika ia melompat mundur, ke-ringat dingin mengucur dari
punggungnya.
Di lain saat, ia mengetahui
bahwa terbaliknya mangkok itu adalah akibat perbuatan si nona. Ke¬tika nona itu
mengangkat kakinya, kaki itu sekalian mengangkat mangkok. Entah bagaimana, di
waktu dilepaskan lagi ke atas lantai, mangkok itu sudah celentang. Selagi kaki
kirinya menotol mangkok yang sudah celentang, kaki kanannya membalikkan mangkok
yang berikutnya.
Lauw Ho Cin mengetahui, bahwa
biar bagai-manapun juga, ia tak akan dapat menandingi ilmu mengentengkan badan
si nona yang begitu tinggi. Kemungkinan satu-satunya untuk menang, adalah
merubuhkan Wan Cie Ie selekas mungkin. Memikir begitu, lantas saja ia menyerang
secara hebat.
Tapi si nona cukup cerdik.
Sekarang ia meng-
gunakan siasat gerilya dan
lari berputar-putar. Da lam tempo yang tidak terlalu lama, ia sudah mem
balikkan tiga puluh empat mangkok itu. Hanya dua mangkok yang sedang diinjak
Lauw Ho Cin, belum dapat dibalikkannya.
Sedang kedua kaki Wan Cie Ie
menotol pergi datang mangkok yang celentang itu, adalah Lauw Ho Cin berdiri
terpaku di atas kedua mangkok yang masih tengkurap itu. Tanpa memiliki ilmu
meng-entengkan badan yang setingkat dengan ilmu Wan Cie Ie, tak berani ia
meloncat ke atas mangkok yang celentang itu.
Untuk beberapa saat, ia
berdiri bagaikan pa¬tting. Akhir-akhirnya, ia berkata dengan suara duka:
"Nona, kaulah yang menang." Sehabis berkata be-gitu, ia turun ke atas
lantai. Mukanya yang kuning berubah pucat seperti kertas emas.
"Bukankah sekarang aku
boleh menjadi Ciang-bunjin?" tanya Wan Cie Ie dengan suara girang.
"Aku si tua sudah takluk,
tapi aku tak tahu bagaimana pendapat orang lain," kata Lauw Ho Cin.
Selagi Wan Cie Ie ingin
menanya para hadirin, tiba-tiba di luar terdengar derap kaki kuda yang kabur ke
arah utara dengan kecepatan luar biasa.
Paras muka si nona lantas saja
jadi berubah dan bccepat kilat, ia melompat ke luar. Dari derap kaki itu, ia
mengetahui, bahwa yang kabur bukan lain daripada kuda putihnya sendiri. Begitu
tiba di luar, ia melihat kudanya sedang membelok di hutan po-hon hong dengan
ditunggangi seorang lelaki yang mengenakan pakaian warna abu-abu. Segera juga
ia mengenali, bahwa orang itu bukan lain daripada Ouw Hui yang bungkusannya
telah dicurinya.
"Pencuri kuda!
Berhenti!" ia berteriak.
Ouw Hui menengok ke belakang.
Ia tertawa dan membalas: "Pencuri buntalan! Hayo kita tukar!" Ia
tertawa terbahak-bahak, kuda putih itu dikabur-kan semakin keras.
Bukan main gusarnya Wan Cie
Ie. Sembari mengempos semangatnya, ia mengejar. Biarpun mempunyai ilmu
entengkan badan yang sangat ting-gi, mana bisa ia menyusul kuda putih itu yang
bisa lari seribu lie dalam sehari? Semakin lama, ba-yangan yang dikejar itu
jadi semakin kecil dan akhirnya lenyap dari pemandangan.
Kejadian itu sudah menyapu
bersih seantero kegembiraannya yang didapatnya sesudah meru-buhkan empat jago
Wie-to-bun. Ia menjadi uring-uringan, jengkel berbareng heran. "Kuda itu
cerdik seperti juga manusia," katanya di dalam hati. "Ba¬gaimana ia
bisa membiarkan seorang bangsat kecil mencuri dirinya dan kemudian menurut
perintah tanpa melawan sama sekali?"
Sesudah berlari-lari beberapa
lie, tibalah Wan Cie Ie di sebuah kota kecil. Ia yakin, bahwa me¬ngejar terus
tak akan ada gunanya. Ia jalan per-lahan-Iahan untuk mencari warung teh, di
mana ia dapat menghilangkan dahaganya.
Sekonyong-konyong, ia
mendengar suara ber-bengernya seekor kuda dan segera ia mengenali, bahwa kuda
itu bukan lain daripada kudanya sen¬diri. Bagaikan terbang, ia memburu ke arah
suara itu. Baru saja ia membelok di suatu tikungan, ia melihat Ouw Hui, yang
menunggang si putih, me¬nengok ke belakang dan menggapai sembari ter¬tawa.
Wan Cie Ie naik darah. la
memungut sebutir batu kecil yang lalu ditimpukkan ke arah pemuda itu. Ouw Hui
membuka topinya, yang lalu diguna-kan untuk menanggapi batu itu.
"Kau mau bayar buntalanku
atau tidak?" tanya Ouw Hui sembari tertawa. Si nona tak menjawab. mendadak
ia melompat untuk coba merebut tung-gangannya. Ouw Hui mengayun tangannya dan
se-buah senjata rahasia menyambar. Ketika disambuti, senjata rahasia itu adalah
batu kecil tadi. Selagi si nona menangkap batu itu, Ouw Hui sudah menjepit pcrut
kuda yang lantas saja kabur sekeras-kerasnya. Si nona jadi seperti orang kalap.
Ia tak ingat kesalahannya sendiri, ia hanya ingat kesalahan orang lain.
Tiba-tiba matanya melihat seekor kuda yang tertambat di luar sebuah rumah.
Tanpa meng-hiraukan segala apa, ia menghampiri dan membuka tambatannya, lalu
menyemplak hewan itu yang lan¬tas dikaburkannya secepat mungkin. Di waktu
pe-miliknya mengetahui pencurian itu, ia sudah kabur jauh sekali.
Meskipun sudah mempunyai
tunggangan, ja-ngan harap ia bisa menyusul Ouw Hui. Ia sudah menyabet kalang
kabutan dan kuda itu sudah kabur sekeras-kerasnya, tapi ia masih juga
ketinggalan jauh. Sesudah mengejar beberapa lie, napas bina-tang itu sudah
tersengal-sengal dan tak dapat lari terlebih jauh.
Ketika mendekati hutan,
jauh-jauh ia melihat suatu benda putih dan setelah datang terlebih de-kat,
benda putih itu ternyata adalah kudanya sen¬diri.
Wan Cie Ie jadi kegirangan.
Tapi karena kha-
watir akan akal bulus Ouw Hui,
sebelum mendekati, lebih dulu ia meneliti keadaan di sekitar tung-gangannya.
Sesudah mendapat kenyataan, bahwa benar-benar Ouw Hui tidak berada di situ,
barulah ia menghampiri pohon siong itu, di mana kuda putihnya tertambat. Tapi,
ketika ia sudah berada dalam jarak hanya beberapa tombak dari si putih, sesosok
tubuh manusia sekonyong-konyong mela-yang turun dari alas pohon dan hinggap
tepat di atas punggung kuda putih itu. Itulah Ouw Hui!
"Nona Wan," katanya
sembari tertawa berka-kakkan. "Mari kita berlomba lagi!" Sekarang Wan
Cie Ie sungkan memberi hati lagi kepadanya. Sekali menjejak sanggurdi, tubuhnya
melesat ke atas dan bagaikan seekor elang, ia menubruk Ouw Hui.
Sedikit pun Ouw Hui tak
menduga, bahwa Wan Cie Ie berani melakukan perbuatan berbahaya itu. Jika ia
memapaki nona itu dengan suatu serangan, si nona pasti akan mendapat luka. Tapi
bukan begitu maksud Ouw Hui. Maka, jalan satu-satunya adalah mengedut les untuk
menyingkir. Tapi sekali ini, si putih melawan. Melihat Wan Cie Ie, bukan saja
dia tak mau minggir, sebaliknya, ia bahkan berbenger dan maju dua tindak.
Selagi badannya masih berada
di tengah udara, Wan Cie Ie menghantam kepala Ouw Hui dengan tangan kanannya
dan mencengkeram pundak orang dengan tangan kirinya. Selama hidup, belum pernah
Ouw Hui bertempur dengan soerang wanita muda. Kali ini, ia mencuri kuda itu
berdasarkan dua alasan. Pertama, ia mengenali, bahwa kuda itu adalah
tung¬gangan Tio Poan San. Ia ingin sekali mengetahui, kenapa si putih bisa
ditunggangi nona itu. Kedua,
ia sekedar hendak membalas
perbuatan Wan Cie Ie yang sudah mencuri buntalannya. Tapi sekarang melihat si
nona menyerang, paras mukanya lantas saja berubah merah. Cepat bagaikan kilat,
ia juga menjejak sanggurdi dan badannya melesat melewati Wan Cie Ie, untuk
kemudian hinggap di atas pung-gung kuda yang barusan ditunggangi nona itu.
Selagi berpapasan di tengah
udara, Ouw Hui mengangsurkan tangannya dan memutuskan tali yang mengikat
buntalannya pada punggung Wan Cie Ie. Di lain saat, Ouw Hui sudah mendapatkan
kembali bungkusannya, sedang si baju ungu pun sudah duduk di atas punggung si
putin.
Si nona yang masih belum
hilang amarahnya, lebih-lebih setelah melihat buntalan itu sudah pu-lang ke
tangan Ouw Hui lantas saja membcntak: "Ouw Hui kecil! Bagaimana kau berani
begitu ber-laku kurang ajar!"
"Dari mana kau bisa
mengetahui namaku?" ta-nya Ouw Hui dengan perasaan heran.
Wan Cie Ie monyongkan mulutnya
sedikit dan menyahut dengan suara tawar: "Tio Samsiok (pa-man Tio ketiga)
memuji kau sebagai enghiong jem-polan. Tapi menurut penglihatanku kau adalah
manusia pasaran."
Mendengar perkataan "Tio
Samsiok", Ouw Hui jadi girang sekali. "Kau kenal Tio Poan San. Tio
Samko?" tanyanya. "Di mana ia sekarang?"
Si nona jadi semakin gusar.
"Bocah she Ouw!" ia membentak. "Jangan main gila kau!"
"Kenapa main gila?"
tanya Ouw Hui, terce-ngang.
"Kenapa begitu aku
mengatakan Tio Samsiok,
kau lantas saja menggunakan
kata-kata Tio Samko," sahutnya. "Apa kau ingin menjadi orang
tingkatan-nya lebih daripada aku?"
Ouw Hui yang sifatnya suka
sekali guyon-gu-yon, segera meleletkan lidahnya dan berkata sem-bari tertawa:
"Tak berani! Mana aku berani? Apa benar kau memanggil ia Tio
Samsiok?"
"Siapa mendustai
kau?" kata si nona.
"Nan! Kalau begitu,
benar-benar aku lebih tua setingkat daripadamu," kata Ouw Hui dengan suara
keren. "Kau panggil saja Ouw Sioksiok. Eh, Cie Ie! Di mana adanya Tio
Samko?"
Wan Cie Ie adalah seorang yang
tak suka main-main. Sama sekali ia tidak mengetahui, bahwa me-mang benar Ouw
Hui telah mengangkat saudara dengan Tio Poan San. Maka itu, mendengar
per¬kataan Ouw Hui, darahnya lantas saja naik dan "srt!", ia mencabut
sebatang Joan-pian (pecut) dari pinggangnya. "Bocah!" ia membentak.
"Jangan nga-co! Biarlah aku beri pelajaran kepadamu."
Cambuk itu terbuat dari
anyaman benang perak dan pada ujungnya terdapat sebuah bola emas kecil, yang
berbentuk indah sekali. Ketika dikebaskan di tengah udara, bole emas dan cambuk
perak itu yang disoroti sinar matahari, berkelebat-kelebat. Sebe-narnya, Wan
Cie Ie niat bertempur di atas bumi, akan tetapi, karena khawatir kudanya
dirampas lagi oleh Ouw Hui yang banyak akalnya, ia mengurung-kan niatnya itu
dan segera majukan tunggangannya, sembari menyabet kepala si pemuda. Cambuk
itu, yang panjangnya setombak dan satu kaki, menyam-bar ke belakang Ouw Hui,
ujungnya membelok dan bola emas itu mengarah jalan darah Thay-tui-hiat,
di bagian punggung.
Di lain pihak, begitu cambuk
itu menyambar, Ouw Hui mendekam di punggung kuda dengan taksiran, bahwa senjata
itu akan segera lewat di atas punggungnya. Mendadak kupingnya yang tajam luar
biasa menangkap bunyi sesuatu yang aneh. "Cela-ka!" ia mengeluh
sembari menghunus goloknya dan tanpa menengok, ia menyabet ke belakang.
"Tring!" golok itu membentur bola emas di ujung cambuk Wan Cie Ie
sehingga terpental kembali.
Ternyata, selagi ujung cambuknya
menyambar jalan darah Thay-tui-hiat dipunggung Ouw Hui, dengan mendadak Wan Cie
Ie mengedut senjatanya dan bola emas itu lantas saja berubah haluan dan
menyambar jalan darah Kie-kut-hiat, di pundak kanan si pemuda. Si nona menduga,
bahwa sekali itu ia akan berhasil, karena Ouw Hui tengah men¬dekam di punggung
kuda dan takan bisa berkelit lagi. Tapi di luar dugaan, pemuda itu masih dapat
menolong diri, berkat kupingnya yang sangat tajam dan gerakannya yang cepat
luar biasa. Begitu golok dan bola emas itu kebentrok, Wan Cie Ie merasakan
lengannya agak kesemutan.
Ouw Hui mengawasi nona itu
sembari tertawa ha-ha-hi-hi, tapi hatinya kagum akan kelihayan nona itu. Bahwa
dengan Joan-pian yang lemas, ia bisa menotok jalan darah sudah merupakan suatu
keanehan dalam gelanggang persilatan. Tapi, meng-ubah arah serangan senjata itu
di tengah jalan adalah kejadian yang lebih luar biasa lagi.
Sebenarnya Ouw Hui hampir
celaka karena salahnya sendiri. Sesudah menyaksikan, bagaimana Wan Cie Ie
dengan mudah merubuhkan empat jago
Wie-to-bun, ia mengakui, bahwa
nona itu memang lihay sekali. Tapi, jika dibandingkan dengan kepan-daiannya
sendiri, si nona masih kalah setingkat. Karena mempunyai anggapan itu, ia agak
meman-dang rendah kepada si baju ungu. Di luar dugaan, dalam jurus pertama,
Joan-pian itu sedang me¬nyambar punggungnya bisa mendadak berubah haluan dan
menyambar pundaknya. Ia menduga, bahwa cambuk itu akan menotok jalan darah
Kie-kut-hiat dan ia berhasil dengan tangkisannya. Jika ilmu menotok si nona
tidak begitu jitu dan pecut itu bukan menghantam Kie-kut-hiat, bukankah
tangkisan Ouw Hui akan meleset? Sekali meleset, walaupun jalan darahnya tidak
kena tertotok, tak urung ia akan mendapat luka.
Melihat ketenangan pemuda itu,
Wan Cie Ie menjadi kaget berbareng kagum. "Terrr!" ia mem-bunyikan
pecutnya di tengah udara dan segera menghantam kepala Ouw Hui.
Mendadak, pemuda itu mendapat
suatu ingat-an. "Tujuanku yang terutama adalah mencari tahu hal Tio
Samko," pikirnya. "Nona ini beradat sangat angkuh dan jika ia tidak
diberi kemenangan, ia tentu sungkan memberitahukan hal Samko. Ah! Biarlah,
dengan memandang muka Tio Samko, aku me-ngalah sedikit."
Berpikir begitu, ia miringkan
kepalanya ke se-belah kiri untuk memapaki cambuk si nona. Dan sungguh tepat,
pecut itu lantas saja menggulung topinya.
Dengan kedua lututnya Ouw Hui
menjepit pe-rut kudanya yang lantas saja melompat setombak lebih. Sembari
masukkan goloknya ke dalam sarung,
ia tertawa seraya berkata:
"Ilmu Joan-pian nona sungguh lihay dan aku merasa takluk. Bagaimana
keadaan Tio Samko? Di mana ia berada sekarang, apakah di Huikiang atau di
Tionggoan?"
Jika Ouw Hui mengalah
sungguh-sungguh dan si nona senang hatinya sebab menduga benar-benar memperoleh
kemenangan, mungkin sekali ia akan menjadi jinak dan suka menceritakan hal Tio
Poan San. Hanya sayang, Ouw Hui pun adalah seorang pemuda yang selalu ingin
menang dan sungkan mengalah terhadap siapa pun juga. Maka itu, me¬ngalah memang
ia mengalah. Tapi cara mengalah-nya terlalu menyolok. Ia baru berkelit ketika
cam-buk si nona sudah hampir membentur kepalanya dan sesudah topinya kena
digulung, sebaliknya dari menunjukkan paras kemalu-maluan, ia malah ber-senyum,
seolah-olah seorang yang lebih tua tengah mempermainkan anak kecil.
Wan Cie Ie yang cerdas luar biasa,
tentu saja dapat melihat itu semua. "Hm!" katanya dengan suara
dingin. "Kau sengaja mengalah, apakah kau kira aku tak tahu? Nah! Aku
pulangkan topimu!" I a mengangkat pecutnya untuk mengembalikan pula topi
itu di kepala Ouw Hui.
"Jika ia bisa meletakkan
topiku di atas kepalaku dengan menggunakan Joan-pian, ilmunya sungguh-sungguh
lihay," pikir Ouw Hui. "jika aku menyam-buti dengan tangan,
kegembiraannya akan menjadi hilang." Memikir begitu, ia tidak bergerak dan
terus bersenyum simpul.
Dari setinggi dada, cambuk itu
dengan topinya naik ke atas. Karena gerakan naik itu agak perlahan, di waktu
topi itu tiba di batas tinggi muka, jiratan
ujung cambuk itu menjadi
kendor dan topi itu jatuh ke bawah. Buru-buru Ouw Hui mengangsurkan tangannya
untuk menyambutinya....
Mendadak kelihatan suatu sinar
putih berkele-bat. "Celaka!" Ouw Hui mengeluh. Matanya agak silau
terkena sinar itu dan pipinya sakit luar biasa. Ia tahu, bahwa sekali ini ia
kena dibokong.
Dengan cepat ia melepaskan
kedua kakinya dari sanggurdi dan menyembunyikan tubuhnya di bawah perut kuda.
Di lain saat terdengar suara "plak!", disusulnya dengan muncratnya
kepingan-kepingan kayu. Ternyata, pelana di mana ia barusan duduk, sudah
dihajar hancur lebur. Kuda itu ber-jingkrak dan berbenger keras.
Sembari menghunus goloknya,
Ouw Hui me-ngempos semangatnya dan loncat naik ke atas pung-gung kuda. Mendadak
ia merasakan pipi kanannya sakit luar biasa dan ketika diusap, tangannya penuh
darah.
Wan Cie Ie tertawa dingin
seraya berkata: "Apakah sekarang kau berani main-main lagi de¬ngan nama
seorang tua? Masih untung nonamu berlaku murah. Jika aku sungguh-sungguh,
belasan gigimu tentu sudah rontok."
Apa yang dikatakan si nona
memang bukan kesombongan belaka. Kalau ia menghantam dengan segenap tenaganya,
tulang rahang Ouw Hui tentu sudah menjadi hancur dan semua giginya di sebelah
kanan tentu sudah rontok. Walaupun tidak sampai terjadi begitu, bagi Ouw Hui,
itu merupakan ke-kalahan paling besar yang pernah dialaminya se-hingga saat
itu.
Darahnya lantas saja naik
tinggi dan dengan
mata melotot ia menerjang
dengan senjatanya. Si nona menjadi jeri karena ia mengetahui, bahwa lawan itu
bukannya lawan enteng. Lantas saja ia memutarkan cambuknya bagaikan titiran
supaya lawannya tidak berani datang terlalu dekat.
Selagi bertempur, tiba-tiba
terdengar suara ke-lenengan kuda dan di lain saat, tiga penunggang kuda
kelihatan mendatangi dengan perlahan. Dua antaranya mengenakan seragam Gie-cian
Sie-wie, sedang orang yang ketiga, yang bertubuh tinggi besar dan berusia
kira-kira empat puluh tahun mengenakan pakaian biasa. Melihat orang bertem¬pur,
mereka lantas saja menahan les untuk me-nonton.
Dalam pertempuran itu, selain
kalah senjata, tunggangan Ouw Hui pun kalah jauh dari tung-gangan lawannya.
Maka itu, sesudah lewat belasan jurus, belum bisa ia mendesak si nona. Dengan
jengkel, ia mengubah cara bersilatnya, tapi sebelum ia membuka serangan hebat,
mendadak terdengar suara salah seorang Sie-wie. "Nona itu cantik sekali
dan kepandaiannya pun cukup tinggi," kata dia.
"Co Toako," kata
kawannya. "Jika kau penuju, lebih baik turun tangan dulu. Jangan
membiarkan dirimu didahului bocah itu." Sehabis berkata begitu, ia tertawa
terbahak-bahak.
Ouw Hui mendongkol mendengar
perkataan yang kurang ajar itu dan ia melirik dengan sorot mata gusar. Dengan
menggunakan kesempatan itu, Wan Cie Ie menyabet dengan cambuknya, sedang Ouw
Hui buru-buru berkelit sambil menunduk. Tiba-tiba, pinggang si baju ungu
digoyang dan kuda¬nya mendadak melompat ke sebelah kiri.
Berbareng dengan berkelebatnya
suatu sinar putih, pundak Sie-wie Co itu sudah terkena sabetan cambuk. Senjata
itu berputar sekali dan segera menyambar kepala Ouw Hui yang buru-buru
me-nangkis dengan goloknya. Sesaat itu, si putih sudah melewati Sie-wie yang
seorang lagi. Selagi kudanya melompat, si nona mengulurkan tangannya dan
mencengkeram jalan darah Thian-cu-hiat, di leher Sie-wie itu. Dengan meminjam
tenaga kudanya yang sedang melompat ke depan, Wan Cie Ie meng-gentak dan
Sie-wie yang mulutnya usilan itu, lantas saja terjungkal di atas tanah. Hampir
berbareng dengan itu, cambuk si nona sudah menyambar si orang laki yang tinggi
besar.
Serangan-serangan itu
dilakukannya dengan kecepatan luar biasa, sehingga Ouw Hui bersorak di dalam
hatinya. Ia merasa kasihan kepada lelaki itu, yang tanpa berdosa, bakal
merasakan cambukan Wan Cie Ie. Tapi, di luar dugaan, dengan tenang lelaki itu
mengangkat tangannya untuk menangkap senjata si nona.
Begitu melihat lima jerijinya
yang ditekuk se-perti gaetan, Wan Cie Ie segera mengetahui, bahwa ia sedang
berhadapan dengan lawan berat. Buru-buru ia menarik pulang senjatanya. Ia
tertawa di-ngin dan menanya: "Apakah tuan mau pergi ke kota raja untuk
menghadiri pertemuan para Ciangbun-jin?"
Lelaki itu kaget.
"Bagaimana nona tahu?" tanya-nya.
"Dari gerak-gerikmu, aku
menduga, bahwa aku adalah seorang Ciangbunjin," jawabnya. Siapa namamu?
Dari partai mana kau?"
Orang itu hanya mengeluarkan
suara di hidung, ia tak menjawab pertanyaan yang kurang ajar itu. Sementara
itu, Sie-wie she Co tadi, sudah me-rangkak bangun dan berteriak: "Na Suhu!
Hajar perempuan bau itu?"
Begitu si nona mengerahkan
sedikit tenaga di lututnya, si putih lantas saja melompat dan me-nerjang
Sie-wie she Co itu. Dia ketakutan setengah mati dan buru-buru loncat
menyingkir. Wan Cie Ie yang sudah menjadi gusar, tak mau memberi hati
kepadanya. Ia mengayun cambuknya yang segera menyambar ke punggung Sie-wie itu.
Melihat ke-adaan itu yang sangat berbahaya, cepat bagaikan kilat, lelaki tinggi
besar itu menghunus sebatang pedang pendek yang lalu digunakan untuk menyam-pok
senjata si nona.
Wan Cie Ie menjejak sanggurdi
dan kuda itu loncat ke belakang dengan gerakan yang sangat indah.
"Sungguh bagus kuda
itu!" puji si tinggi besar. "Ah! Aku kira siapa," kata si nona. "Tak
tahunya Na Cin, Ciangbunjin dari Pat-sian-kiam di Ouwciu, propinsi
Kwisay."
Orang itu memang Na Cin
adanya. Tadi, karena melihat usia si nona yang masih begitu muda, ia menaksir
wanita itu tentulah juga kurang peng-alaman, meskipun ia memiliki kepandaian
yang cu-kup tinggi. Akan tetapi, sesudah Wan Cie Ie bisa mengenalinya dengan
hanya melihat sekali tang-kisannya, ia menjadi heran bercampur girang. Ia
girang, oleh karena meskipun bertempat tinggal di daerah Selatan yang jauh,
seorang gadis remaja toh sudah mendengar juga namanya yang kesohor.
Maka itu, sembari bersenyum ia
menanya: "Nona, bagaimana kau bisa mengetahui she dan namaku yang
rendah?"
"Aku memang lagi mencari
kau," jawab Wan Cie Ie. "Sungguh kebetulan kita bisa bertemu di
sini."
Na Cin jadi tercengang.
"Bolehkah aku menge¬tahui she dan nama nona yang mulia dan untuk apa kau
mencari aku?" tanyanya.
"Aku mau memberitahukan,
supaya kau tak usah pergi ke kota raja," jawabnya. "Biar aku saja
yang mewakili kau."
Na Cin menjadi bingung, ia tak
tahu apa maksud nona cantik itu. "Apa maksud nona?" tanyanya pula,
sembari menggaruk-garuk kepala.
"Hm! Tolol kau!"
bentak Wan Cie Ie. "Apakah kau belum mengerti? Serahkan kedudukan
Ciang¬bunjin dari Pat-sian-kiam kepadaku."
Itulah jawaban yang sama sekali
tak diduga-duganya. Dapat dimengerti, jika Na Cin menjadi gusar bukan main.
Akan tetapi, sesudah melihat kepandaian orang, ia tak berani sembarangan
meng-umbar nafsunya. Maka itu, sembari merangkap ke-dua tangannya, ia berkata
pula: "Beritahukanlah dulu she dan nama nona. Dan siapakah guru
nona?"
"Untuk apa kau menanya
namaku?" Wan Cie Ie balas menanya. "Nama guruku lebih-lebih tak bisa
diberitahukan kepadamu. Dulu, guruku telah bertemu muka dengan kau. Jika
sekarang ditim-bulkan soal dulu, aku jadi merasa kurang enak untuk meminta
kedudukan Ciangbunjin."
Sementara itu, kedua Sie-wie
yang barusan di-hajar menjadi seperti orang kalap bahna gusarnya.
Sebagai orang-orang yang biasa
berlaku sewenang-wenang dan suka menghina sesama manusia, me-reka sekarang
dihina orang. Mana mereka rela menerimanya dengan begitu saja. Demikianlah,
sembari membentak keras, mereka menerjang, se-orang dengan menunggang kuda,
sedang yang lain berjalan kaki. Sembari menerjang, yang satu meraba pinggang
untuk mencabut golok, sedang yang se-orang lagi bergerak untuk menghunus
pedangnya.
Tiba-tiba cambuk Wan Cie Ie
berkelebat. "Terrrr!" pergelangan tangan kanan Sie-wie yang mau
mencabut golok itu sudah kena dipecut, sa-kitnya meresap ke tulang-tulang dan
ia tak ber-tenaga lagi untuk meng-hunus senjatanya.
Cambuk itu yang panjang dan
halus, tak ber-henti sampai di situ. Bagaikan kilat, ujungnya sudah melibat
gagang pedang Co Sie-wie, sebelum tangan Sie-wie itu keburu meraba gagang
pedangnya sen-diri! Dengan sekali menggentak, pedang itu loncat ke luar dari
sarungnya!
Co Sie-wie kaget bukan main,
secepat mungkin ia menarik pulang tangannya, tapi tak urung pedang itu
menggores juga telapak tangannya yang lantas saja mengucurkan darah. Si nona
mengebaskan pecutnya dan pedang itu terbang puluhan tombak tingginya.
Sesudah memperlihatkan
kepandaian yang luar biasa itu, perlahan-lahan, dengan tenang Wan Cie Ie
melibat cambuknya di pinggangnya yang langsing. Tanpa memperhatikan lagi pedang
yang dilontar-kannya, ia berpaling kepada Na Cin seraya me-nanya:
"Bagaimana sekarang? Apakah kau rela me-nyerahkan kedudukan
Ciangbunjinmu?"
Sesaat itu, Na Cin dan kedua
Sie-wie tersebut sedang mendongak mengawasi pedang yang tengah melayang turun.
Mendengar suara si nona, Na Cin berkata: "Apa?"
"Aku mau kau menyerahkan
kedudukan Ciang-bunjin dari Pat-sian-kiam," jawabnya.
Ketika ia berkata begitu,
pedang yang sedang melayang turun itu sudah hampir menimpa kepala-nya. Tanpa
menengok dan hanya dengan meng-andalkan kupingnya, Wan Cie Ie mengangkat se-belah
tangannya dan menangkap gagang pedang itu!
Itulah kepandaian
sungguh-sungguh menakjub-kan! Harus diingat, bahwa senjata itu yang jatuh dari
tempat yang tingginya puluhan tombak, mem-punyai tenaga yang sangat besar. Di
samping itu, kecuali gagangnya, bagian-bagian lain dari sebilah pedang adalah
tajam. Bahwa tanpa melirik ia sudah dapat menangkap gagang senjata itu, adalah
suatu kepandaian yang benar-benar luar biasa. Bukan saja Na Cin dan kedua
Sie-wie itu jadi terperanjat, tapi Ouw Hui pun merasa sangat kagum.
Semakin banyak melihat sepak
terjang nona itu, semakin besar keheranan Ouw Hui. Sebab apa ia begitu suka
merebut kedudukan Ciangbunjin? Tadi, ia mau merebut jabatan Ciangbun dari
Siauw-lim Wie-to-bu, sekarang dari Pat-sian-kiam. Di Hong-yap-chung, ia berlaku
manis terhadap Sie-wie ke-rajaan Ceng, tapi kenapa sekarang ia berlaku begitu
garang dan sekali bergerak sudah melukai orang? Ia juga merasa tidak mengerti,
mengapa wanitayang berusia begitu muda, sudah bisa mempunyai ke¬pandaian yang
begitu tinggi. Kecuali Tio Poan San,
belum pernah ia menemui orang
lain yang ilmu silatnya lebih lihay daripada nona itu.
Na Cin adalah seorang yang
sangat berhati-hati. Sesudah melihat kepandaian Wan Cie Ie, lebih-lebih ia tak
berani berlaku ceroboh. Ia ingin sekali mengetahui, siapa sebenarnya wanita
yang lihay itu. "Ilmu Teng-hong-pian-kee yang dimiliki nona, se-perti juga
ilmu dari keluarga Tong di Shoasay," katanya. (Teng-hong-pian-kee yang
berarti Men-dengar angin membedakan senjata adalah ilmu un-tuk mengetahui
sesuatu bokongan. Dengan ilmu itu, yang hanya mengandalkan ketajaman kuping,
seseorang bisa mengetahui setiap serangan tanpa melihatnya. Di waktu menyambuti
pedang itu yang jatuh dari tengah udara, Wan Cie Ie telah meng-gunakan ilmu tersebut).
Si nona tertawa dan berkata:
"Matamu lihay juga. Tapi bagaimana dengan ilmu ini?" Sembari berkata
begitu, ia melontarkan pedang itu ke tengah udara. Kali ini, senjata itu
melesat bukan dengan ujung meluncur ke atas, tapi jungkir balik tak henti-hentinya,
sehingga memberi pemandangan yang sa¬ngat aneh. Na Cin mendongak, mengawasi.
Men-dadak, ia merasakan sambaran angin aneh dan ada apa-apa yang menyambar
tubuhnya. Bagaikan kilat, ia menjejak kakinya dan badannya melesat ke be-lakang
kurang lebih dua tombak. Sesaat itu, ia melihat berkelebatnya bola emas di
ujung cambuk Wan Cie Ie di samping pinggangnya. Ternyata, selagi ia mendongak,
si nona memecut dan jika bukannya keburu loncat, sudah pasti pedangnya akan
kena dirampas.
Wan Cie le merasa sayang akan
kegagalannya
itu, sedang Na Cin mendongkol
tercampur malu. Ia merasa malu, bahwa sebagai jago di daerah Tiong-kok
Tenggara, dengan mempunyai ribuan murid yang tersebar di empat propinsi
(Kwitang, Kwisay, Hunlam dan Kwiciu) dan juga sebagai ahli silat yang belum
pernah dijatuhkan orang selama kurang lebih dua puluh tahun, ia sekarang tidak
dipandang se-belah mata oleh seorang wanita yang masih belum hilang bau
pupuknya.
Sekarang, tak dapat ia menahan
sabar lagi. "Srt!" ia menghunus pedangnya dan berseru:
"Baik-lah! Tak ada jalan lain daripada memohon peng-ajaran nona."
Ketika itu, pedang yang
barusan dilemparkan, tengah melayang turun. Dengan gerakan yang sa¬ngat indah,
si nona menggulung gagang pedang itu dengan ujung pecutnya dan tiba-tiba ujung
pedang itu menyambar ke dada Na Cin. Sekali lagi Wan Cie Ie mengeluarkan
kepandaiannya yang aneh-aneh. Na Cin terkejut, buru-buru ia mengangkat
pedang¬nya untuk membela diri.
"Siang-cu-cui-siauw (Dewa
Siang Cu meniup seri'ling)!" seru Wan Cie Ie.
Gerakan Na Cin yang barusan
memang juga adalah gerakan Siang-cu-cui-siauw dari Pat-sian-kiam (Ilmu pedang
delapan dewa) Pat-sian-kiam adi-lah ilmu pedang yang banyak dikenal di
Tiong-kok Tenggara, sehingga bukan suatu keheranan jika si nona juga mengenal
ilmu tersebut.
"Benar, memang
Siang-cu-cui-siauw, kenapa?" ben'.a't Na Cin.
"Im-yang-po-san!"
seru pula Wan Cie Ie sem¬bari meigedut cambuknya dan ujung pedang itu
menyambar ke dada kiri kanan
Na Cin. Benar saja pukulan itu adalah Han-ciong-lee-im-yang-po-san dari Pat-sian-kiam.
(Han-ciong-lee-im-yang-po-san berarti kipas mustika dari dewa Han Ciong Lee).
Na Cin kaget. Bahwa nona itu
bisa bersilat dalam ilmu Pat-sian-kiam, tidak merupakan suatu keheranan. Apa
yang luar biasa adalah cara me-nyerangnya. Dengan menggunakan ujung cambuk
untuk "mencekal" gagang pedang, tenaga yang menggerakkan pedang itu
adalah tenaga "kosong". Jika kebentrok dengan senjata lain, pedang
itu pasti akan jatuh. Tapi di luar dugaan, baru saja Na Cin menggerakkan
senjatanya untuk menyampok, Wan Cie le sudah berteriak pula:
"Cay-ho-hian-hoa (Dewa Na Cay Ho mempersembahkan bunga)!" Sembari
berteriak, ia menarik pulang cambuknya. Pedang itu jatuh dan segera
ditangkapnya, kemudian sem¬bari mencekal pedang serta cambuk ia mengawasi lawannya
dengan bersenyum manis.
Sedari tadi, Na Cin sudah
menimbang-nimbang, tindakan apa harus diambilnya untuk menghadapi si nona yang
caranya aneh-aneh. Cambuk adalah senjata panjang, sedang pedang senjata pendek.
Si nona menunggang kuda, sedang ia sendiri berjalan kaki. Karena dua hal itu,
ia sudah berada dalam kedudukan yang lebih jelek. Salah sedikit saja, namanya
yang sudah harum puluhan tahun, akan habis seperti disapu angin. Maka itu,
sambil melin-tangkan pedangnya di depan dada, ia berkata dengan suara sungguh-sungguh:
"Main-main secara begini, tak ada gunanya. Jika benar-benar nona ingin
mem-beri pengajaran dalam ilmu Pat-sian-kiam, aku yang rendah bersedia untuk
melayani sejurus dua jurus."
"Baiklah," jawab si
nona. "Jika aku tidak men-jatuhkan kau dengan ilmu pedang Pat-sian-kiam,
kaii agaknya tak rela menyerahkan kedudukan Ciangbun." Sembari berkata
begitu, ia meloncat turun dari tunggangannya dan melibatkan Joan-piannya di
pinggangnya.
Sambil mengebaskan pedangnya,
Wan Cie le melirik Ouw Hui. "Tunggu dulu!" katanya. "Aku
melayani kau main-main sedikit, sedikit pun tiada halangannya. Tapi, selagi
kita main-main, mungkin sekali kudaku akan dibawa kabur oleh pencuri
kuda."
"Tidak," kata Ouw
Hui. "Aku berjanji, selama kau bertempur aku tak mengganggu kudamu."
"Hm!" si nona
mengeluarkan suara di hidung. "Ouw Hui kecil banyak akalnya. Siapa percaya
ke-padanya, tentu kena diingusi." Sembari berkata be¬gitu, tangan kirinya
menjambret les kuda, sedang tangan kanannya menikam Na Cin dengan pukulan
Thio-ko-lo-to-kie-louw (Thio Ko Lo menunggang keledai dengan jungkir balik).
Melihat lawannya menyerang
dengan sebelah tangan menuntun kuda, diam-diam Na Cin menjadi girang.
"Siapa suruh kau mencari mampus," pikir-nya. Tanpa berkata suatu apa,
lantas saja ia me-ngirimkan serangan-serangan hebat, seperti Po-in-kian-jit
(Menyapu awan melihat matahari), Sian-jin-tit-louw (Dewa menunjuk jalan) dan
Iain-lain.
Diserang secara bertubi-tubi,
Wan Cie le tak berani memandang enteng lagi lawannya, meskipun paras mukanya
masih terus bersenyum. Sekarang ia mengakui kebenaran perkataan gurunya, bahwa
ilmu pedang Pat-sian-kiam adalah ilmu yang tak
boleh dibuat gegabah. Dcngan
sebelah tangan me-nuntun kuda, tak dapat ia memutarkan badan atau meloncat kian
ke mari. Tapi, walaupun dalam ke-dudukan yang jelek itu, ia masih dapat
memper-tahankan diri secara sempurna dan sedikit pun Na Cin tak bisa menemukan
hagian-bagian pembelaan-nya yang lemah. Sesudah menyerang beberapa lama dan
sesudah mendapat kenyataan, bahwa si nona selalu melayaninya dengan ilmu
Pat-sian-kiam, bu-kan main herannya Na Cin.
Ia tak habis mcngcrti.
bagaimana dalam partai Pat-sian-kiam bisa kc !uar seorang jago muda seperti
nona itu.
Tempat di mana mereka
bertempur adalah jalan raya kota Heng-yang yang menuju ke selatan dan utara.
Baru saja kedua orang itu bertanding be¬berapa belas jurus, dari sebelah utara
datang sejumlah pedagang garam yang mendorong sebuah kereta, sedang dari
sebelah selatan terlihat mun-culnya dua kereta keledai. Melihat ada orang
ber¬tempur, mereka berhenti di sebelah jauh untuk menonton. Sebelum berapa
lama, jumlah orang sudah jadi lebih banyak. Mereka tidak meneruskan perjalanan
mereka, periama, karena ketarik kepada perkelahian yang seru itu dan kedua,
karena takut terhadap kedua Sie-wie yang menunggu di dekat situ.
Sekarang Na Cin mendapat
kenyataan, bahwa meskipun nona itu sudah pernah mempelajari Pat-sian-kiam, akan
tetapi ia masih belum dapat me-nyelami bagian-bagiannya yang tersulit. Tapi,
ka¬rena ia paham macam-macam ilmu silat, maka setiap kali terdesak, ia selalu
bisa meloloskan diri dengan
menggunakan pukulan-pukulan
aneh yang mirip dengan Pat-sian-kiam, tapi bukan Pat-sian-kiam. Itulah
sebabnya, mengapa Na Cin tak gampang-gampang merubuhkan Wan Cie le.
Melihat bahwa semakin lama
jumlah penonton jadi semakin besar, Na Cin rnenjadi bingung serta malu. Sebagai
pemimpin suatu partai silat yang ternama, ia sekarang harus melayani seorang
wanita muda yang sebelah tangannya menuntun kuda. An-daikata ia tak sampai
kalah dan pertempuran itu berakhir seri, ia tentu tak mempunyai muka lagi untuk
menghadiri pertemuan para Ciangbunjin di kota raja. Memikir begitu, lantas saja
ia mengempos semangatnya dan menyerang bagaikan hujan dan angin dengan
pukulan-pukulan simpanannya yang sudah dilatihnya selama puluhan tahun. Dalam
se-kejap seluruh badan Wan Cie le seolah-olah sudah dikurung sinar pedang
musuh. Melihat begitu, ke-cuali kedua Sie-wie, semua penonton merasa kha-watir
akan keselamatan nona cantik itu.
Di lain pihak, semhari
bertempur, si nona me-lirik Ouw Hui. Ia melihat paras muka pemuda itu seperti
tertawa, tapi bukan tertawa, sikapnya se-akan-akan mengandung ejekan.
"Bocah!" katanya di dalam hati. "Kau mentertawai aku? Baik!
Se¬karang lihatlah lihaynya nonamu itu!"
Tapi, karena adanya perjanjian,
bahwa dalam pertempuran itu kedua belah pihak harus meng¬gunakan ilmu silat
Pat-sian-kiam, maka Wan Cie le tidak bisa mengeluarkan ilmu lain. Jika ia
melepaskan les kudanva dan memperoleh kemenangan dengan menggunakan ilmu
mengentengkan badan ia juga khawatir dipandang
rendah oleh Ouw Hui. la jadi
serba salah.
Sesudah lewat beberapa jurus
lagi, tangan kiri-nya yang mencekal les, mendadak mengedut ke depan. Si putih
adalah seekor kuda yang luar biasa cerdiknya. Begitu mendapat petunjuk, ia melompat
dan berdiri atas dua kaki belakangnya, seperti juga mau menginjak kepala Na
Cin.
Na Cin terkesiap, buru-buru ia
miringkan ba-dannya. Pada detik itu tiba-tiba pergelangan ta-ngannya kesemutan
dan... sebelum ia mengetahui apa yang terjadi, pedangnya sudah terbang ke
te-ngah udara! Ia ternyata sudah kena dibokong ketika perhatiannya ditujukan
kepada kuda putih itu. Da-lam Rimba Persiiatan, kepandaian Na Cin belum
terhitung kepandaian ahli silat kelas utama. Tapi berkat berhati-hatinya, maka
selama puluhan ta-hun, ia bisa mempertahankan nama baiknya. Dan sama sekali ia
tak menyangka, bahwa pada hari itu, karena kurang hati-hati, ia harus rubuh
dalam ta¬ngan seorang wanita muda.
Sementara itu, Na Cin sudah
meloncat ke sam-ping tunggangannya dan mencabut sebatang pedang lain dari
pelananya. Ternyata, sebagai orang yang selalu berhati-hati, untuk melakukan
perjalanan ke kota raja, ia sudah membekal dua batang pedang.
Sebelum ia dapat berbuat suatu
apa, mendadak suatu sinar putih sudah berkelebat. Ternyata, itulah pedang Wan
Cie Ie yang dilontarkan ke atas. Di lain saat, kedua senjata itu kebentrok dan
pedang Na Cin patah dua.
Na Cin terpaku, paras mukanya
berubah pucat.
Begitu lekas ia sudah
menyambuti pedangnya yang melayang turun dari udara, Wan Cie Ie segera
menikam lawannya, sembari
berseru: "Co Kok Kiu-pek-pan (Dewa Co Kok Kiu menepuk papan)!"
Na Cin menyambut dengan
senjatanya. Trang! pedang kedua dari Ciangbunjin Pat-sian-kiam su¬dah patah
juga!
Kenapa bisa begitu?
Dalam pukulan tadi, Wan Cie Ie
kembali meng-gunakan tipu daya yang sangat licin. Di waktu menikam, memang juga
ia menggunakan pukulan Co Kok Kiu-pek-pan. Akan tetapi, di saat kedua pedang
itu hampir kebentrok, mendadak ia meng-ubah pukulannya. Dengan begitu, pedang
Na Cin menyampok tempat kosong. Dan, pada detik pe¬dang lawan tidak bertenaga,
si nona menghantam! Na Cin mau mengerahkan tenaganya, tapi sudah tak keburu
lagi, pedangnya sudah patah menjadi dua. Dengan perkataan lain: Pedang Na Cin
seperti juga "memasang diri" untuk disabet putus.
Melihat, bagaimana seorang
wanita muda de¬ngan beruntun mematahkan dua pedang musuhnya, semua penonton
lantas saja bersorak sorai.
Sampai di situ, Na Cin
mengetahui, bahwa tak guna ia meneruskan pertempuran itu. Sesudah me-mungut
pedang kutungnya, ia meloncat ke atas punggung kuda dan berkata sembari
menyoja. "Se-karang juga aku akan kembali ke kampung sendiri dan seumur
hidupku, tak nanti aku memegang pe¬dang lagi. Akan tetapi. Jika ada orang
menanyakan, siapa yang sudah menjatuhkan aku, bagaimana aku harus
menjawabnya?"
"Aku she Wan bernama Cie
Ie," jawab si nona yang lantas mengedut les kudanya dan mendekati Na Cin,
untuk kemudian berbicara bisik-bisik di
kuping orang itu.
Mendadak saja, paras muka Na
Cin berubah lagi, dari gusar berubah menjadi ketakutan dan menghormat.
"Jika siang-siang aku sudah tahu, aku tentu tak akan berani melawan
nona," katanya. "Jika nona bertemu dengan gurumu, tolonglah
menyam-paikan hormat si orang she Na dari Ouwciu." Se-habis berkata
begitu, ia menuntun kudanya dan mundur beberapa tindak, akan kemudian berdiri
di pinggir jalan dengan sikap menghormat.
Wan Cie Ie menepuk kudanya
seraya berkata sembari tertawa: "Maaflah!" Ia berpaling ke arah Ouw
Hui sembari mesem dan mengedut les. Baru berjalan belasan tindak, kuda itu
mendadak "ter-bang" ke tengah udara dan melompati belasan ke-reta
garam itu dan kemudian kabur dengan ke-cepatan luar biasa.
Semua orang mengawasi dengan
mulut ter-nganga dan di lain saat, Wan Cie Ie bersama si putih sudah tak
kelihatan lagi bayang-bayangnya.
Sembari mengaburkan
tunggangannya, hati si nona riang gembira karena mengingat, bahwa dalam sehari
saja, ia sudah merubuhkan dua ahli silat kenamaan di daerah Selatan. Dalam
girangnya, ia menyanyi-nyanyi.
Tapi, baru saja ia menyanyikan
dua tiga baris sajak, mendadak ia merasakan panas-panas di pung-gungnya.
Buru-buru ia meraba dan "Trarrr!" tangan dan punggungnya panas sakit
bukan main, bajunya terbakar! Tentu saja ia kaget setengah mati. Tanpa
menghiraukan apa pun juga, dengan gerakan Yan-cu-touw-lim (Anak walet masuk ke
hutan) ia terjun ke sungai kecil yang kebetulan mengalir di pinggir
jalan. Begitu terkena air, api
itu lantas saja padam. Dengan cepat ia naik pula ke darat, sembari me-raba-raba
punggungnya. Ternyata bajunya ber-lubang dimakan api, tapi masih untung api itu
belum membakar dagingnya.
Darah Wan Cie Ie seolah-olah
mendidih. "Bangsat kecil Ouw Hui!" ia mencaci. "Tak salah lagi,
kaulah yang main gila." Ia segera membuka buntalannya dan mengambil
sepotong baju, tapi baru saja mau tukar pakaian, tiba-tiba ia melihat pundak
kiri si putih bersemu hitam dan bengkak, sedang dua ekor sia-cu (semacam kutu
berbisa yang hidup di dalam kayu) tengah merayap di punggung kuda itu. Wan Cie
Ie terkejut, ia menyabet dengan cambuknya dan begitu lekas kedua kutu itu
jatuh, ia menghancur leburkan kedua-duanya dengan se-buah batu besar. Racun
sia-cu itu menjalar dengan cepat dan Sesudah mengeluarkan beberapa jeritan
hebat, si putih menekuk kedua lutut depannya dan jatuh terguling di atas tanah.
Wan Cie Ie benar-benar
bingung, ia tak tahu harus berbuat bagaimana dan hanya mulutnya yang mencaci
tiada henti-hentinya: "Bangsat Ouw Hui! Binatang Ouw Hui...." Ia tak
ingat lagi hal menukar pakaian dan dalam bingungnya, ia coba memencet bagian
tubuh kudanya yang sudah menjadi hitam untuk mengeluarkan racunnya. Tapi si
putih ke-sakitan dan berontak sekuat tenaganya.
Selagi ia tak berdaya,
sekonyong-konyong di sebelah selatan terdengar bunyi tindakan kuda dan tidak
beberapa lama kemudian, kelihatan tiga pe-nunggang kuda mendatangi. Orang yang
berada di depan bukan lain daripada Ouw Hui sendiri.
lagalkan seekor elang,
badannya Wan Cle le meiesat ke engah udara dan menubruk Ouw Hul.
Wan Cie le merasakan dadanya
seperti mau meledak. la meloncat sembari mengayun cambuk-nya yang lalu
disabetkan ke kepala Ouw Hui dengan seantero tenaganya. "Bangsat
bau!" ia memaki. "Ke-pandaianmu adalah membokong orang! Apakah itu
perbuatan seorang gagah?"
Ouw Hui menangkis dengan
goloknya, sehingga cambuk si nona jadi terpental. "Kenapa kau me-ngatakan
aku membokong orang?" tanyanya sem¬bari tertawa.
Berbareng dengan terpentalnya
cambuk itu, Wan Cie le merasakan lengannya kesemutan. Ia mengetahui, bahwa
pemuda itu tak boleh dipandang enteng, tapi dalam kalapnya, ia mencaci lagi: "Bang-sat!
Kau menggunakan binatang beracun untuk mencelakakan tungganganku. Apakah itu
bukan perbuatan bangsa buaya darat?"
"Aku tidak menyalahkan
nona, jika nona men-jadi kalap," kata Ouw Hui pula, sembari nyengir.
"Tapi, bagaimana nona mengetahui, bahwa Ouw Huilah yang sudah menurunkan
tangan jahat?"
Wan Cie le kaget. Sekarang ia
mendapat ke-nyataan, bahwa dua penunggang kuda lain yang mengikuti di belakang
Ouw Hui adalah kedua Sie-wie yang tadi mengawani Na Cin. Tangan mereka diikat
erat-erat dengan tambang dan kedua ujung tambang itu dipegang Ouw Hui. Sekarang
si nona mendusin, bahwa kedua Sie-wie itu sudah menjadi tawanan Ouw Hui dan
oleh karena itu, ia sudah menebak latar belakangnya.
"Apakah buah pekerjaan
kedua bangsat itu?" ia membentak.
Ouw Hui tertawa. "Cobalah
nona tanya, nama dan gelaran mereka yang besar," katanya.
"Kalau kau sudah tahu,
hayo beritahukan pada-ku, jangan rewel," kata Wan Cie Ie dengan aseran.
"Baiklah," kata Ouw
Hui sembari nyengir. "Se-karang aku memperkenalkan kedua orang besar ini,
kepada nona. Yang itu adalah Siauw-ciok-yong Tio Beng, sedang yang ini adalah
Kim-sia-cu Cui Pek Seng."
Mendengar gelaran itu, si nona
lantas saja me-ngetahui, bahwa Siauw-ciok-yong adalah orang yang melepaskan api
kepadanya, sedang Kim-sia-cu adalah majikan dua ekor kutu berbisa itu.
Ternyata, mereka sudah melakukan pekerjaan itu, ketika si nona sedang bertempur
dengan Na Cin.
Tanpa mengeluarkan sepatah
kata, Wan Cie Ie mengayun cambuknya. "Terrrr... terrr..." enam kali
cambuk kuda itu berbunyi beruntun, setiap orang dipersen tiga cambukan. Hampir
berbareng, kepala dan muka kedua Sie-wie itu mengucurkan darah.
"Lekas keluarkan obat
pemunah untuk kuda-ku!" bentak Wan Cie Ie dengan bengis. "Jika
ayal-ayalan, akan aku persen lagi dengan tiga cambukan. Sekali ini dengan
cambuk ini." la mengebaskan Joan-piannya di tengah udara dan kemudian
me-nyabet jatuh sebatang cabang pohon liu. Kim-sia-cu yang sudah ketakutan
setengah mati, mengangkat kedua tangannya yang terikat dan berkata dengan suara
gemetar: "Bagaimana aku bisa...." Belum habis perkataannya, Ouw Hui
sudah mengayun goloknya dan tali yang mengikat pergelangan tangan Kim-sia-cu,
jatuh di atas tanah. Sabetan golok itu merupakan suatu pertunjukan untuk
memperlihatkan ke-lihayannya sendiri. Tenaga yang digunakan adalah
sedemikian tepatnya, sehingga
meskipun tambang pengikat itu tertebas putis, kulit Kim- sia-cu sama sekali
tidak terluka.
Wan Cie Ie mengerti maksud Ouw
Hui. la hanya mengeluarkan suara di hidung sebagai ejek-an.
Buru-buru Kim-sia-cu
mengeluarkan sebung-kus obat dari sakunya dan mengusapkan obat itu di luka si
putih. "Sesudah memakai obatku, jiwa bi-natang ini tidak terancam
lagi," katanya dengan suara perlahan. "Tapi, dalam tiga hari dia
tidak boleh lari, supaya tulang dan otot-ototnya tidak mendapat luka."