Kisah Si Rase Terbang (Hoei Ho Gwa Toan) Jilid 7

Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
----------------------------

Jilid 7

Sesudah itu, Ouw Hui naik pula ke atas loteng dan membuka jalan darah tiga tukang pukul Hong Jin Eng. la mengambil enam rantai besi yang terus dilibatkan ke leher mereka dan ketiga kawannya yang lain.

Kemudian, dengan mencekal ujung rantai, ia menarik enam orang itu turun ke bawah loteng.

"Di mana rumah gadai Hong Jin Eng?" tanya-nya. "Aku mau menggadaikan enam anjing jahat."

"Dari sini jalan terus ke arah timur, sesudah melewati tiga persimpangan jalan, kau akan ber-temu dengan sebuah gedung yang bertembok ting-gi," sahut seorang. "Itulah rumah gadai Hong Looya."

"Terima kasih!" kata Ouw Hui yang terus me-nyeret keenam tawanannya itu. Sejumlah orang lantas saja mengikuti dari kejauhan untuk menyak-sikan, bagaimana pemuda itu menggadaikan ma-nusia hidup.

Setibanya di depan Penggadaian Enghiong, Ouw Hui lantas berteriak: "Hei! Enghiong (orang gagah) menggadaikan anjing!" Sembari menyeret enam orang itu, ia menghampiri meja tinggi tempat menerima gadaian. "Aku mau menggadaikan enam ekor anjing, setiap ekor seribu tail perak," katanya.

Pegawai rumah gadai itu terkejut bukan main. Semua orang di Hud-san-tin mengetahui, bahwa penggadaian itu adalah milik Hong Jin Eng dan selama belasan tahun, belum pernah terjadi kekacauan. Kenapa sekarang muncul orang gila yang mau menggadaikan manusia? Ia mengawasi lebih teliti dan hatinya jadi lebih-lebih terkejut sebab ia mendapat kenyataan, bahwa enam orang itu adalah kaki tangan majikannya sendiri.

"Kau... kau... mau menggadaikan apa?" tanya-nya.

"Tuli kau!" membentak Ouw Hui. "Aku mau menggadaikan enam anjing jahat, setiap ekor seribu tail, seluruhnya berjumlah enam ribu tail."

Sekarang si pegawai penggadaian mengetahui, bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang yang sengaja mau mencari urusan. Ia segera membisiki seorang kawannya, supaya dia buru-buru memberi-tahukan busu (ahli silat) yang melindungi rumah gadai tersebut.

Sesudah itu, dengan sikap hormat ia berkata: "Menurut peraturan, rumah gadai kami tidak dapat menerima gadaian berjiwa. Maka itu, harap tuan suka memaafkan aku."

"Baiklah," kata Ouw Hui. "Jika kau menolak anjing hidup, aku akan menggadaikan anjing mam-pus."

Enam orang itu mencelos hatinya. "Jie Suya!" mereka berteriak. "Terimalah kami. Tolong jiwa

kami."

Tapi pegawai itu mana mau gampang-gampang mengeluarkan enam ribu tail perak? "Duduklah," katanya. "Apakah tuan mau minum teh?"

"Sesudah anjing hidup menjadi anjing mati, barulah aku minum tehmu," jawab Ouw Hui. Se-habis berkata begitu, ia menghampiri pintu, men-cekal sebelah daun pintu tersebut dengan kedua tangannya dan sekali ia mengangkat, daun pintu itu sudah copot dari engselnya.

Melihat keadaan semakin runyam, si pegawai lantas menegur: "Tuan, apa sih sebenarnya mak-sudmu?"

Ouw Hui tak menyahut, tapi menyapu beberapa kali dengan kakinya dan enam tawanannya lantas rubuh di atas lantai. Tanpa berkata suatu apa, ia menindih badan mereka dengan daun pintu itu.

"Sahabat!" kata si pegawai dengan suara jeng-kel. "Sudahlah! Jangan mengacau di sini. Apa kau tahu, ini tempat apa? Kau tahu rumah gadai ini milik siapa?"

Melihat muka manusia itu yang seperti muka tikus, Ouw Hui mengetahui dia tentunya bukan manusia baik. Dengan mulut tetap membungkam, ia menghampiri meja tempat menggadaikan sesuatu dan menjambret thaucang orang itu, yang lalu di-angkat dan kemudian ditindih di bawah daun pintu. Sesudah itu, dengan kedua tangannya, ia meng¬angkat sebuah tambur batu besar yang terletak di pinggir pintu. Dengan tetap tak mengeluarkan se-patah kata, ia melemparkan tambur itu ke atas daun pintu!

Jika orang mengetahui, bahwa berat tambur itu

tidak kurang dari lima ratus kati, dapatlah ia mem-bayangkan hebatnya timpukan itu. Dengan ber-bareng, ketujuh orang itu tertindih di bawah daun pintu, mengeluarkan teriakan yang menyayatkan hati. Orang-orang yang menonton di luar dan para pegawai penggadaian juga mengeluarkan teriakan kaget.

Belum cukup dengan itu, Ouw Hui kembali memondong sebuah tambur batu lain dan berseru: "Anjing jahat belum mampus, harus ditambah lagi dengan sebuah tambur!" Sembari berseru ia melem-parkan tambur itu ke atas! Sekali lagi semua orang mengeluarkan teriakan kaget, sedang batu besar itu melayang turun ke arah daun pintu itu dengan kecepatan luar biasa. Pada detik yang sangat ber-bahaya, mendadak Ouw Hui mementang kedua tangannya dan batu itu berhenti dalam pelukannya! Di lain saat, dengan perlahan ia meletakkan tambur tersebut di atas daun pintu tadi. Sekarang berat tindihan sudah kira-kira seribu kati yang seluruhnya harus dipikul oleh ketujuh orang itu.

"Hoohanya (orang gagah) ampun!" teriak si orang she Jie. "Lekas ambil uang!"

Melihat kejadian itu, kawan-kawannya tak bisa berbuat lain daripada mengeluarkan enam ribu tail perak secepat mungkin. Dengan tenang Ouw Hui menumpuk kantong-kantong perak tersebut di atas daun pintu itu.

"Enam ekor anjing laku digadaikan enam ribu tail," kata Ouw Hui. "Sekarang ditambah lagi dengan seorang pegawai rumah gadai. Masakah pegawai Rumah Gadai Enghiong yang kesohor, berharga lebih rendah dari seekor anjing? Hm! Sedikitnya

tiga ribu tail." Berat enam ribu tail perak ada kira-kira tiga ratus tujuh puluh kati lebih dan dapatlah orang menaksir-naksir hebatnya penderitaan ke¬tujuh orang itu yang ditindih dengan seribu tiga ratus kati lebih.

Selagi ribu-ribut, di luar pintu tiba-tiba ter-dengar suara bentakan: "Manusia dari mana yang berani mengacau di sini?"

Di lain saat, dua orang yang bertubuh tinggi besar meloncat masuk ke dalam. Mereka berpa-kaian serba hitam dengan kancing-kancing putih, yaitu pakaian seorang busu (ahli silat).

Dengan sekali meloncat, Ouw Hui sudah ber-ada di belakang mereka dan kedua tangannya yang seperti besi sudah mencengkeram leher kedua busu itu. Mereka itu adalah tukang-tukang pukul rumah gadai, yang ketika Ouw Hui baru datang, sedang berjudi di sarang judi Enghiong Hweekoan. Begitu mendapat laporan tentang kekacauan di rumah gadai, buru-buru mereka kembali, tapi sebelum melihat tegas muka si pengacau, leher mereka sudah kena dicengkeram.

Ouw Hui mengerahkan tenaganya dan tubuh kedua orang itu terangkat naik. Ia menggoyang kedua tangannya dan badan mereka terkocok pu-lang pergi di tengah udara. Hampir berbareng, beberapa kartu Thiankiu jatuh dari badan seorang busu dan dua biji dadu terlepas dari tangan busu yang lain.

"Bagus!" kata Ouw Hui sembari tertawa. "Ter-nyata kamu adalah setan-setan judi!" Sembari ber-kata begitu, ia melemparkan kedua tukang pukul itu di atas daun pintu. Demikianlah, berat tindihan

jadi bertambah lagi dengan kira-kira empat ratus kati.

Pengurus rumah gadai, yang khawatir kawannya binasa, terpaksa menyoja kepada Ouw Hui ber-ulang-ulang dan memerintah beberapa pegawai mengambil tiga ribu tail perak lagi. Hatinya merasa heran sekali, kenapa Hong Jin Eng masih juga belum datang menolong.

Harus diketahui, bahwa dengan mengacau di restoran dan di rumah gadai, Ouw Hui ingin me-mancing supaya Hong Jin Eng muncul sendiri. Se-sudah mendapat pengalaman getir di Siang-kee-po, ia selalu berlaku hati-hati.

la yakin bahwa sebagai orang yang bergelar Lam-pa-thian (orang yang menguasai daerah Se-latan), gedung Hong Jin Eng tentu lebih hebat persiapannya daripada Siang-kee-po. Maka itu, jika menyatroni rumah Hong Jin Eng, ia khawatir ter-jebak. Dan ia sama sekali tidak menduga, bahwa sesudah membikin ribut di dua tempat, orang she Hong itu masih juga belum muncul.

Melihat beberapa pegawai rumah gadai sudah mengeluarkan tiga ribu tail perak, lantas saja ia memerintah: "Letakkan di atas daun pintu!"

Beberapa pegawai itu mengetahui, bahwa dile-takkannya perak tersebut di atas daun pintu, berarti bertambahnya tindihan dengan seratus delapan pu-luh kati. Tapi mereka tak berani membantah dan lalu menumpuk bungkusan-bungkusan perak itu di tempat yang ditunjuk.

"Hei!" Ouw Hui berteriak. "Apakah rumah ga¬dai ini dibuka oleh paduka Kaisar? Kenapa kamu begitu tak tahu aturan?"

"Apa lagi yang diinginkan tuan?" tanya si pe¬ngurus sembari membungkuk.

"Aku menggadai, kenapa tidak diberikan surat gadai?" tanya Ouw Hui dengan mata melotot.

Si pengurus yang sedang kebingungan, lantas saja berteriak: "Lekas tulis surat gadai." Para pe¬gawai tak mengetahui apa yang harus ditulisnya. Tapi dalam keadaan terdesak, mereka menulis saja seperti berikut:

"Digadaikan enam pegawai gedung keluarga Hong dan satu pegawai rumah gadai. Kulit pecah, daging hancur, kaki tangan tak lengkap. Digadaikan untuk sembilan ribu tail perak."

Menurut kebiasaan pada jaman pemerintahan Boan, jika seseorang menggadaikan barang, mes-kipun barangnya itu masih baru, akan tetapi dalam surat gadai selalu ditulis barang "rusak". Maksud tulisan itu untuk mencegah percekcokan diwaktu barang tersebut ditebus. Menggadaikan manusia hidup adalah kejadian yang baru pernah mereka alami dan karena kebiasaan, pegawai rumah gadai sudah menambah kata-kata "kulit rusak, daging hancur, kaki tangan tak lengkap".

Sembari mesem Ouw Hui menerima surat gadai itu dari tangan si pengurus.

"Angkat kedua tambur batu itu!" bentak Ouw Hui kepada dua busu itu.

Karena tak kuat mengangkat sendiri, mereka berdua lalu menggotongnya dengan mengeluarkan banyak keringat.

"Bagus!" kata Ouw Hui pula. "Sekarang marilah

kita jalan-jalan ke tempat judi. Gotonglah modalku yang berada di atas daun pintu itu."

Kedua busu itu yang sudah menjadi luar biasa jinaknya, lantas saja menurut perintah Ouw Hui dan mengikuti pemuda itu dari belakang.

Rakyat menyaksikan, bagaimana dengan tangan kosong, Ouw Hui sudah mengobrak-abrik rumah gadai terbesar di Hud-san-tin, rata-rata merasa syu-kur dan girang hati. Tapi sebab takut dimarahi Hong Looya, mereka tak berani mendekati pemuda gagah itu. Sekarang mendengar Ouw Hui hendak pergi ke tempat judi, mereka jadi lebih bersemangat dan jumlah orang yang mengikuti menjadi semakin besar.

Rumah judi itu dibuka dalam kelenteng Kwan-tee-bio, di ujung kota. Di depan pintu terdapat empat huruf besar yang berbunyi: Enghiong Hweekoan.

Dengan tindakan lebar, Ouw Hui masuk ke dalam. Di ruangan besar kelihatan berkerumun sekelompok orang mengelilingi meja dadu. Si ban¬dar judi, yang tebal alisnya dan besar matanya, duduk di tengah-tengah meja. la mengenakan pa-kaian sutera hitam, keluaran Hud-san-tin yang ter-kenal, dengan baju tidak terkancing, sehingga dada-nya yang berbulu kelihatan menyolok sekali.

Melihat masuknya Ouw Hui bersama kedua busu itu yang menggotong daun pintu dengan tum-pukan kantong-kantong perak, si bandar terkejut dan menanya: "Coa-pie Thio (Thio si Kulit ular), bikin apa kau?"

Orang she Thio itu monyongkan mulutnya ke arah Ouw Hui, seraya berkata: "Hoohan-ya itu hendak main-main di sini."

Hong Jin Eng adalah seorang yang mempunyai pergaulan luas dan banyak sekali kawannya. Me¬lihat sikap ketakutan Coa-pie Thio, bandar itu menduga, bahwa Ouw Hui adalah satu kawan ma-jikannya.

"Bagus!" katanya di dalam hati. "Orang kata. buka warung nasi tak takut akan tamu yang pe-rutnya besar, buka rumah judi tak takut penjudi kaya. Dua daun pintu lagi, aku masih bersedia menerima."

Memikir begitu, lantas saja ia berkata sembari tertawa: "Sahabat, bolehkah aku mengetahui shemu yang mulia? Duduk, duduklah."

"Aku she Pat, namaku Hong Mo," jawab Ouw Hui sembari mengambil tempat duduknya.

Si bandar terkejut, ia mengerti, bahwa pemuda itu mau cari gara-gara. Tapi sebagai orang yang sudah sering menempuh badai, dengan tenang ia lantas mengocok mangkok dadu dan meletakkannya di atas meja. Puluhan penjudi segera memasang taruhannya, ada yang pasang di "besar", ada pula yang pasang di "kecil".

Ouw Hui yang sebenarnya sedang menunggu keluarnya Hong Jin Eng, tidak turut memasang dan hanya menonton sembari senyum simpul.

Si bandar lalu membuka mangkok dan tiga dadu memperlihatkan sebelas mata. Mereka yang mema¬sang di "besar" bersorak girang, sedang yang me¬masang "kecil" pada meringis.

Tiga kali bandar itu membuka mangkok dan tiga-tiganya nomor "besar".

Dalam judi banyak penipuan, apalagi dalam

rumahjudi Hong Jin Eng yang terkenal "jahat", kata Ouw Hui dalam hatinya. "Coba kuperhatikan dan kalau terselip penipuan, biar aku membikin ribut sekali lagi."

Memikir begitu, matanya yang jeli lantas saja mengincar mangkok dadu, sedang kupingnya yang tajam mendengarkan bunyi jatuhnya dadu. Sesudah memasang kuping beberapa saat, ia mendapat kenyataan, bahwa dadu itu adalah tulen, tidak dijejal timah.

Sebagai orang yang pernah melatih kupingnya dengan ilmu Am-kee Teng-hong-sut (ilmu untuk mengetahui serangan senjata rahasia dengan mendengar sambaran angin), kuping Ouw Hui ta¬jam luar biasa. Meskipun ia diserang dengan senjata rahasia dalam gelap gulita, dengan mendengar sam¬baran anginnya saja, ia sudah bisa mengetahui dari mana menyambarnya senjata itu, macamnya senjata dan besarnya tenaga yang digunakan untuk me-nimpuk. Sebagai contoh, diwaktu terjadi peristiwa di Siang-kee-po, dengan hanya mendengar sam¬baran angin, Tio Poan San sudah bisa menebak, bahwa yang membokong ia adalah murid Siauw-lim-sie dari Siong-san. Biarpun kuping Ouw Hui masih belum dapat menandingi kuping Poan San, tapi sesudah mendengarkan beberapa lama, ia sudah bisa menduga dengan jitu, berapa jumlah mata tiga dadu yang celentang ke atas.

Sebagaimana diketahui, setiap dadu mempu-nyai enam muka dengan jumlah mata yang ber-lainan, yaitu mata satu, mata dua, mata tiga, mata empat, mata lima dan mata enam. Untuk orang biasa, tentu saja tak akan dapat membedakan suara

jatuhnya dadu-dadu itu, karena perbedaannya sa-ngat sedikit. Akan tetapi, untuk seorang ahli yang sudah mahir dalam ilmu Am-kee Teng-hong-sut, tak terlalu sukar untuk membedakannya.

Sesudah mendengarkan lagi beberapa kali dan setelah mempunyai pegangan yang pasti Ouw Hui segera berkata sembari lertawa: "Saudara bandar, apakah uang pasangan dibatasi atau tidak?"

"Seluruh propinsi Kwitang mengetahui, bahwa rumah judi dari Lam-pa-thian belum pernah mem-batasi pasangan!" seru si bandar dengan suara som-bong, "Kalau ada pembatasan, guna apa dinamakan Enghiong Hweekoan?"

"Bagus!" puji Ouw Hui sembari mengaeungkan jempolnya. "Kalau dibatasi, bisa-bisa orang me-namakan Kauwhiong Hweekoan (Enghiong Hwee¬koan berarti Perkumpulan orang gagah, sedang Kauwhiong Hweekoan adalah Perkumpulan kawan-an anjing)."

Ouw Hui segera memasang kuping.

Mangkok dadu lalu dikocok.

"Coa-pie Thio, pasang di 'besar' seribu tail," Ouw Hui memerintah. Ia mengetahui, sekali ini tiga dadu bermata dua belas.

Meskipun sudah mempunyai pengalaman pu-luhan tahun, bandar itu belum bisa mengetahui lebih dulu, apakah dadu yang bakal dibuka akan bermata "besar" atau "kecil". Melihat pasangan se¬ribu tail, hatinya berdebar-debar juga. Dengan ta-ngan agak gemetar, ia membuka mangkoknya.

Mukanya lantas saja menjadi pucat karena tiga dadu yang celentang masing-masing memperlihat-kan empat mata, semuanya dua belas mata, jadi

termasuk "besar". Seorang pegawai segera menye-rahkan seribu tail perak kepada Ouw Hui.

Dalam kocokan yang berikutnya, Ouw Hui tak ikut memasang sebab ia ragu-ragu. Yang dibuka adalah "kecil" (delapan mata). Pada kocokan ketiga, Ouw Hui memasang dua ribu tail di "kecil". Kali itu benar saja dibuka "kecil", enam mata.

Demikianlah sesudah memasang lima enam kali, Ouw Hui sudah mengantongi sebelas ribu tail perak. Si bandar jadi semakin bingung, keringat dingin mengucur dari dahinya.

Dengan geregetan ia mengocok dadu berulang-ulang dan meletakkannya di atas meja. Ouw Hui merasa pasti, tiga dadu itu bermata empat belas. Ia berpaling kepada si busu seraya memerintah: "Coa-pie Thio, pasang dua laksa tail di 'besar'!" Se-bungkus demi sebungkus, kedua busu itu lalu me-letakkan uang Ouw Hui di atas meja judi.

Karena pasangan yang luar biasa besarnya itu dan majikannya sudah menderita kerugian selaksa lebih, bandar itu menjadi nekat dan coba meng-gunakan kelicikannya.

Ia berlagak mendorong mangkok dadu dan ge-rakannya yang sudah terlatih, mangkok itu terbuka sedikit, tapi sudah cukup untuk ia mengetahui,. bahwa ketiga dadunya bermata empat belas. De¬ngan kelingkingnya ia menyontek sedikit mangkok itu dan sebiji dadu yang tadinya memperlihatkan enam mata, lantas terbalik, sehingga empat belas mata berubah jadi sembilan mata (kecil). Kepan-daian yang sangat lihay itu telah dimiliki olehnya sesudah berlatih puluhan tahun.

Melihat Ouw Hui terus bersikap tenang, se-

olah-olah tidak mengetahui, bahwa dirinya sedang diliciki, si bandar jadi merasa girang sekali dan menduga pasti, kali ini bukan saja ia akan mendapat pulang semua kekalahannya, tapi juga akan men¬dapat keuntungan besar.

"Sudah?" ia menanya dengan hati girang.

Ouw Hui mendorong tumpukan uang sembari berkata: "Sudah! Kalau kau memang, boleh makan semua."

"Baik aku makan semua," jawabnya menyeringai sembari membuka mangkok dadu.

Dilain saat, mulut bandar itu ternganga, mata-nya melotot, sebab tiga dadu itu memperlihatkan dua belas mata!

Kali itu, semua penjudi tidak turut memasang dan mereka mengawasi dengan hati berdebar-de-bar. Begitu dadu dibuka "besar", dengan berbareng mereka berseru: "Ah!" Mereka kaget, heran dan kagum, sebab seumur hidup, mereka belum pernah menyaksikan pertaruhan yang begitu besar.

Ouw Hui tertawa berkakakan. Dengan sebelah kaki dinaikkan ke atas kursi, ia berteriak: "Hayo, keluarkan dua laksa tail!"

Bagaimana bisa terjadi begitu? Ternyata, ke-licikan bandar itu sedikitpun tak dapat mengelabui mata Ouw Hui. Walaupun tak dapat melihat terang cara main gilanya bandar itu, ia sudah dapat me-mastikan, bahwa mata "Besar" telah dirubah men¬jadi mata "kecil". Maka itu, selagi tangan kirinya mendorong bungkusan uangnya, tangan kanannya dimasukkan ke bawah meja dan dari situ, ia me-nyentil ke atas, ke arah mangkok dadu.

Sebelum disentil, kedudukan dadu itu adalah:

Satu bermata tiga, satu bermata satu dan satu lagi bermata lima, jadi semua sembilan mata. Sentilan Ouw Hui yang disertai dengan tenaga dalam yang tepat, sungguh luar biasa! Dengan serentak tiga dadu itu terbalik jumlah matanya berubah seperti berikut: Satu bermata empat, satu bermata enam dan satu pula bermata dua, jadi total dua belas mata "besar".

Muka si bandar menjadi pucat bagaikan mayat. Tiba-tiba ia menumbuk meja sambil membentak: "Coa-pie Thio, siapa dia? Kenapa kau membawa pengacau itu ke sini?"

"Aku... aku... tak... tahu..." jawab yang ditanya dengan suara terputus-putus sembari meringis.

"Lekas bayar!" seru Ouw Hui. "Dua laksa tail! Sudah cukup, Siauwya-mu tak mau berjudi lagi!"

Sekali lagi, si bandar menumbuk meja keras-keras. "Bangsat!" ia memaki. "Berani betul kau main gila di sini! Kau kira aku tak tahu?"

"Baiklah," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Kau agaknya senang sekali menepuk meja. Jika kau ingin bertaruh menepuk meja, aku pun bersedia meng-iringkannya." Sehabis berkata begitu, ia menepuk ujung meja yang lantas saja somplak dan ketika ia menepuk kedua kali, ujung meja yang sebelah lagi juga somplak.

Melihat ilmu Ouw Hui yang sangat tinggi, si bandar tak berani menunjukkan kegarangannya lagi. Mendadak, ia menendang meja dengan niatan kabur selagi meja itu terguling. Hampir berbareng beberapa buaya darat lantas berteriak: "Rampas uangnya!"

Ouw Hui tetap bersikap tenang. Bagaikan kilat,

ia menangkap kaki si bandar yang tubuhnya lalu diangkat tinggi-tinggi dan kemudian kepalanya di-benturkan ke atas meja. Benturan itu yang di-lakukan dengan bertenaga, sudah menobloskan meja judi yang tidak seberapa tebal, sehingga kepala si bandar berada di bawah meja, sedang tubuhnya, sebatas pundak, berada di atas meja! Kaki tangan bandar itu lantas saja memukul kalang kabutan dan memperlihatkan pemandangan yang luar biasa.

Semua orang mengeluarkan seruan kaget dan pada mundur ke belakang. Sesaat itu, dari depan pintu sekonyong-konyong menerobos masuk se-orang pemuda yang baru berusia kira-kira sembilan belas tahun. Ia mengenakan thungsha sutera warna biru, sedang tangan kanannya mencekal kipas.

"Sahabat dari mana yang datang berkunjung?" tanya pemuda itu. "Aku tak dapat menyambut dari jauh, harap sahabat suka memaafkannya."

Melihat tindakan orang itu yang sangat enteng dan paras mukanya yang angker, Ouw Hui jadi agak terkejut.

"Bolehkah aku mengetahui she dan nama sau¬dara yang mulia?" tanya pemuda itu sembari memberi hormat.

Ouw Hui juga lantas menyoja dan balas me-nanya: "Siapakah saudara?"

"Aku she Hong," jawabnya.

Ouw Hui mendelik dan tertawa berkakakan. "Kalau begitu, she dan namaku agak berbentrok dengan she saudara," katanya. "Aku she Pat, namaku Hong Mo. Pernah apakah Looheng dengan Hong Jin Eng?"

"Ayahku," sahutnya. "Kedatangan saudara sebe-

narnya harus disambut oleh ayah sendiri. Akan tetapi, berhubung dengan adanya urusan penting, ia sudah mengutus aku untuk mengundang saudara datang di rumah kita guna minum secangkir arak tawar."

Sehabis berkata begitu, ia berpaling kepada dua tukang pukulnya dan membentak: "Tentulah juga kau yang berlaku kurang ajar terhadap Pat-ya, se-hingga ia menjadi gusar. Lekas minta maaf!"

Kedua busu segera membungkuk dan meng-ucapkan kata-kata meminta maaf. Ouw Hui tak berkata suatu apa, ia hanya tertawa dingin.

Sementara itu, si bandar judi terus berteriak-teriak. Pemuda itu lalu mencekal punggungnya dan membalikkan tubuhnya, sehingga ia berdiri pula di atas lantai. Tapi, meja itu, dengan empat kakinya terangkat ke atas, terus melekat di lehernya, se¬hingga memberi pemandangan yang lucu sekali. Dengan kedua tangan menyanggah meja, bandar itu berkata: "Toaya, untung benar kau keburu datang. Dia... dia...." Ia mengawasi Ouw Hui dan tak berani melanjutkan perkataannya.

"Kau tak mau berjudi lagi, bukan?" kata Ouw Hui. "Baiklah. Tapi mana uangku? Apa Enghiong Hweekoan tidak mau bayar."

''Berapa kemenangan Pat-ya?" tanya pemuda itu. "Lekas bayar! Kenapa lambat-lambatan?" Ber-bareng dengan perkataannya, ia mencekal kedua ujung meja dan sekali ia membeset, meja itu menjadi dua potong! Melihat kepandaian itu, semua orang jadi bersorak.

Dengan munculnya majikan muda itu, nyali si bandar menjadi besar lagi.

Ia mengawasi Ouw Hui dengan sorot mata membenci dan berkata dengan suara keras: "Dia main gila!"

"Dusta!" bentak si pemuda. "Tuan itu adalah seorang gagah sejati. Apakah uang tak cukup? Jika tak cukup, ambillah di rumah gadai."

Melihat ilmu silat si pemuda yang cukup tinggi dan sikapnya yang tidak sembrono, Ouw Hui jadi lebih berwaspada.

"Aku memberi jaminan, bahwa uang Pat-ya, sepeser pun tak akan dikurangkan," kata pula pe¬muda itu. "Orang-orang di sini berpemandangan sangat cupat, belum pernah bertemu dengan eng¬hiong sejati. Maka itu, aku memohon Pat-ya jangan menjadi kecil hati dan sekarang, marilah mampir di rumahku."

Pemuda itu tentu saja mengetahui, bahwa "Pat Hong Mo" bukan nama Ouw Hui yang sebenarnya dan juga mengetahui, bahwa Ouw Hui memang sengaja mau mencari urusan. Tapi sebagai orang yang berpemandangan jauh, ia menahan sabar sedapat mungkin. Ia yakin, bahwa orang yang berani menantang keluarga Hong, tentulah bukan orang sembarangan.

"Eh, aku menjadi bingung karena di sini ter-dapat keliwat banyak Hong-hong (burung Hong)," kata Ouw Hui, "Boleh aku mendapat tahu nama saudara?"

"Siauwtee bernama It Hoa," jawab pemuda itu, seperti tak merasakan ejekan orang.

"Aku masih sangat ingin berdiam di sini be-berapa jam lagi untuk berjudi terus," kata Ouw Hui. "Paling benar undang ayahmu datang kemari untuk

menemui aku."

Mendengar Ouw Hui ingin berjudi terus, muka si bandar menjadi terlebih pucat. "Jangan... ja-ngan...!" ia berseru.

"Diam!" bentak It Hoa, sembari menengok ke arah Ouw Hui dan berkata sembari tertawa.

"Ayahku selamanya belum pernah berlaku ku-rang ajar terhadap sahabat-sahabat. Mendengar ke-datangan saudara, ia girang bukan main. Tapi, ka¬rena hari ini dua Gie-cian Sie-wie (ahli silat yang melindungi kaisar) datang berkunjung, ayahku tak dapat meninggalkan rumah. Maka itu, aku meng-harap pat-ya sudi memaafkannya."

Ouw Hui tertawa dingin dan berkata: "Gie-cian Tay-to Sie-wie! Aduh! Tinggi benar pangkat itu. Saudara It Hoa, dalam kalangan Kang-ouw aku mempunyai satu gelaran yang mestinya sudah di-ketahui olehmu."

Hong It Hoa yang sedang kepingin tahu siapa sebenarnya Ouw Hui, menjadi girang mendengar ia menyebutkan soal gelarannya. "Siauwtee tak tahu, mohon Pat-ya sudi memberitahukannya," katanya. "Masakah, sebagai seorang dari Rimba Per-silatan, kau belum pernah mendengar nama Sat-khoa Auw-su Pat Hong Mo (Pat Hong Mo si tukang membunuh pembesar negeri dan menggebuk utus-an raja) yang bgitu kesohor?" tanya Ouw Hui.

Hong It Hoa terkejut. "Aah! Pat-ya main-main," katanya sembari meringis.

Sekonyong-konyong tangan kiri Ouw Hui me-nyambar tangan baju It Hoa. "Hei! Besar benar nyalimu!" ia membentak. "Mengapa kau berani ge-gares daging burung Hongku?"

Sampai di situ, putera Hong Jin Eng tak dapat bersabar lagi. Tangan kanannya mengirimkan pu-kulan gertakan, sedang tangan kirinya coba men-cengkeram pergelangan tangan Ouw Hui. Cepat bagaikan kilat, Ouw Hui membalikkan tangannya yang terus menggampar pipi Hong It Hoa, sedang tangan yang satunya lagi mencengkeram tangan kananHonglt Hoa. "Bayar daging burung Hongku!" ia membentak dengan suara bengis.

Hong It Hoa adalah seorang pemuda yang mem¬punyai kepandaian cukup tinggi, tapi ketika itu, ia merasakan tangannya seperti dijepit jepitan besi dan rasa sakit meresap ke tulang-tulangnya. Ia mengangkat dan mengirimkan tendangan hebat ke kempungan Ouw Hui. Sebelum kaki musuh mampir di kempungannya. Ouw Hui sudah memapakinya dengan jejakan kaki. "Aduh!" teriak It Hoa karena kakinya seperti diketok martil. Selagi ia kesakitan, tangan Ouw Hui sudah melayang ke pipi kanannya, sehingga kedua pipinya segera menjadi bengkak dan berwarna ungu, seperti hati babi.

"Saudara-saudara, dengarlah!" kata Ouw Hui dengan suara nyaring. "Dari tempat yang jauhnya ribuan lie, dari Utara aku datang ke Hud-san-tin, di mana aku telah membeli sepotong daging burung Hong dari saudara Ciong A-sie. Tapi daging itu sudah digegares oleh bocah ini. Bilanglah, apakah bocah ini harus digebuk atau tidak?"

Semua orang yang berada di situ saling meng-awasi, tanpa berani membuka suara.

Sekarang mereka mengetahui, bahwa pemuda itu sedang membalaskan sakit hati Ciong A-sie. Hong It Hoa sendiri, yang sudah dijejak kakinya

dan dicekal tangannya, tak dapat bergerak lagi.

Sesaat itu, dari antara orang banyak muncul seorang tua yang tangannya mencekal huncwee pendek. Orang itu adalah pengurus Rumah Gadai Enghiong yang telah terpaksa menyerahkan sem-bilan ribu tail perak kepada Ouw Hui. Sesudah mengirim orang untuk memberi laporan kepada majikannya, ia sendiri mengikuti sampai di rumah judi untuk mengawasi sepak terjang Ouw Hui.

Ia menghampiri dan berkata sembari tertawa: 'Hoohan-ya, ia itu adalah putera tunggal Hong Looya dan Hong Looya mencintainya seperti jiwa-nya sendiri. Jika Hoohan-ya menghendaki uang, katakanlah jumlahnya, tapi kuharap, Hoohan-ya suka melepaskan ia ini."

"Tutup mulut!" bentak Ouw Hui. "Daging bu-rung Hong adalah obat kuat nomor satu di dalam dunia. Siapa yang makan, mukanya lantas berubah merah, dan kontan menjadi gemuk. Lihatlah, sau-dara-saudara! Bukankah muka bocah ini sudah jadi merah dan banyak lebih gemuk daripada tadi? Hm! Masih berani kau menyangkal sudah gegares daging burung Hongku?"

"Ah! Hoohan-ya, jangan guyon-guyon," kata si pengurus rumah gadai yang gusar bukan main, tapi tak berani menunjukkan kegusarannya. "Sudah menggampar, kau masih guyon-guyon."

"Saudara-saudara!" Ouw Hui berteriak pula. "Sekarang aku mau tanya pendapatmu: "Apakah bocah ini mencuri daging burung Hongku atau tidak?!"

Orang-orang yang berada di situ sebagian ada¬lah kaki tangan Hong Jin Eng, sebagian lagi ka-

wanan buaya darat dan yang lain adalah orang-orang miskin yang biasanya sangat takut akan kekejaman hartawan itu. Mendengar pertanyaan Ouw Hui, beberapa orang lantas saja mengatakan, bahwa tu-duhan Ouw Hui hanyalah lelucon, tidak mungkin putera Hong Jin Eng mau mencuri daging.

"Bagus!" kata Ouw Hui. "Jadi kamu hendak membela dia, bukan? Dia tidak gegares dagingku, bukan? Bagus! Sekarang marilah kita bersama-sama pergi ke Pak-tee-bio untuk mendapat keputusan!"

Perkataan Ouw Hui adalah bagaikan halilintar di tengah hari bolong. Mereka semua mengetahui, apa maksudnya dengan perkataan itu. Mereka se¬mua masih ingat akan peristiwa membelek perut di kuil tersebut.

Si pengurus rumah gadai bergemetar sekujur badannya dan menyoja kepada Ouw Hui tak henti-hentinya. "Hoohan-ya benar, kami yang salah," katanya. "Majikan mudaku memang sudah mencuri daging burung Hong. Apa juga yang Hoohan-ya inginkan sebagai ganti kerugian, kami akan segera membayarnya."

"Jangan putar-putar!" membentak Ouw Hui. "Enak benar kau menggoyang lidahmu! Aku tahu, orang-orang di sini masih penasaran. Kalau se¬karang aku tak pergi ke Pak-tee-bio, aku tak mempunyai muka lagi untuk bertemu dengan manusia di kemudian hari."

Sehabis berkata begitu, sambil mengempit Hong It Hoa, ia keluar dari rumah judi itu dengan tin-dakan lebar dan dengan bertanya-tanya di sepan-jang jalan, ia menuju ke kuil Pak-tee-bio.

Pak-tee-bio adalah sebuah kelenteng yang

besar dan indah sekali. Di pekarangan depannya terdapat pengempang dan pengempang itu dihiasi dengan kura-kuraan dan ular-ularan batu di tengah-tengahnya.

Dengan bengis, Ouw Hui menyeret It Hoa ke ruangan sembahyang. Di situ, di depan patung ma-laikat Pak-te, ia melihat tanda-tanda darah. Sesaat itu juga, di depan matanya terbayang peristiwa yang menyedihkan itu. Darahnya lantas saja mendidih. Sekali Ouw Hui mendorong, tubuh Hong It Hoa jatuh ngusruk di depan meja sembahyang.

Ia mengawasi patung Malaikat Pak-tee dan berkata: "Pak-tee-ya, sebagai malaikat yang angker, aku memohon supaya kau tolong membalaskan sakit hati rakyat kecil. Bangsat ini sudah mencuri dan gegares daging burung Hongku, tapi banyak orang mengatakan tidak...."

Belum habis perkataannya, tiba-tiba ia merasa-kan kesiuran angin tajam dan sesaat itu juga, dua serangan menyambar dari kiri kanan.

Ouw Hui menunduk dan mengkeratkan ba-dannya. Selagi kedua orang itu menubruk angin, Ouw Hui membarengi mendorong pundak mereka dan... "duk!" kepala mereka beradu keras, kemudian dua-duanya rubuh dalam keadaan pingsan.

Di lain saat, sekonyong-konyong terdengar ben-takan dan seorang musuh lagi menghantam dari belakang. Dari tindakan kaki orang itu dan kesiuran angin serangannya, Ouw Hui tahu, bahwa ia sedang menghadapi seorang lawan berat. Dengan cepat ia miringkan badannya dan hampir berbareng dengan itu, suatu sinar golok berkelebat disusul dengan lewatnya sesosok badan manusia sebesar kerbau.

Karena membacok angin, tubuh orang itu ter-huyung ke depan dan goloknya terus menyambar ke arah kepala Hong It Hoa.

Untung juga, orang itu berkepandaian tinggi. sehingga pada detik terakhir, ia masih keburu mi¬ringkan lengannya dan goloknya menghantam lan-tai, sehingga ia kenyuknyuk sendiri di atas lantai.

"Bagus!" seru Ouw Hui sembari menekan sikut orang itu dengan kakinya, sehingga mau tak mau, orang itu harus melepaskan senjatanya sembari berteriak keras. Ouw Hui menyontek dengan kaki¬nya dan golok itu meloncat ke atas, untuk kemudian disambuti dengan sebelah tangannya. "Aku justru sedang bingung karena tidak mempunyai golok un¬tuk membelek perut," katanya sembari tertawa. "Terima kasih untuk jerih payahmu."

Orang itu gusar bukan main. Ia berontak sekuat tenaganya dan berhasil melepaskan diri dari te-kanan kaki Ouw Hui untuk kemudian loncat ba-ngun. Ouw Hui terkejut karena kakinya agak ke-semutan. Ternyata, orang itu mempunyai tenaga yang luar biasa besarnya.

Dengan mata merah, jago Hong Jin Eng ini mementang sepuluh jerijinya yang seperti gaitan besi dan menubruk Ouw Hui. Dengan sekali me-mutarkan tubuh, Ouw Hui sudah berada di belakang musuh itu. Dengan tangan kiri, ia menyambar pan-tat orang itu dan mendorongnya ke atas seraya berseru: "Naik!"

Dorongan itu yang meminjam tenaga orang tersebut yang sedang berlompat menubruk, ditam-bah dengan tenaganya sendiri, dahsyat bukan main. Bagaikan bola, tubuh orang itu yang sebesar kerbau

meleset ke atas dan dalam sekejap, kepalanya sudah hampir membentur genteng. Semua penonton me-ngeluarkan teriakan tertahan.

Dalam bingungnya, ia memeluk sebuah balok besar yang melintang di bawah wuwungan. Bukan main kagetnya, karena meskipun kepalanya sela-mat, tubuhnya bergelantungan di tengah udara!

Ketika ia melongok ke bawah, ia bergidik sebab ia berada di tempat yang tingginya tak kurang dari tujuh tombak. Orang itu, seorang ahli gwakee (ilmu luar) yang bertenaga besar, tidak mempunyai ilmu mengentengkan badan dan oleh karenanya, tak berani ia loncat turun. Dalam partai Ngo-houw-bun, ia menduduki kursi ke tiga dan merupakan kaki tangan Hong Jin Eng yang paling diandalkan. Dia adalah manusia yang sangat ditakuti oleh segenap penduduk Hud-san-tin. Tapi sekarang, dengan ba¬dan bergelantungan di tengah udara, keadaannya sangat menyedihkan, naik dia tak mampu, turun pun dia tak berani.

Sementara itu, dengan bengis Ouw Hui rae-robek baju Hong It Hoa. Sembari mengusap-usap perut orang, ia mengangkat goloknya.

"Sahabat-sahabat!" teriak Ouw Hui. "Bukalah matamu lebar-lebar. Apakah dia sudah gegares da-ging burungku, sekarang kamu bisa mendapat buk-tinya. Janganlah kamu mengatakan, bahwa aku mem-bikin orang baik-baik jadi penasaran."

Melihat putera Hong Jin Eng akan segera me-nemui ajalnya, empat lima orang yang macamnya seperti orang hartawan, maju mendekati dan coba membujuk supaya Ouw Hui mengurungkan niatnya.

Ouw Hui mendongkol melihat lagak orang-

orang itu. "Eh, aku mau tanya," katanya. "Ketika Ciong Sie-so mau membelek perut anaknya, kenapa kamu tidak coba menolong? Hm! Jiwa anak orang kaya memang berharga besar. Tapi apakah jiwa si miskin tak berharga sepeser buta? Sekarang lekas kamu pulang dan balik ke mari dengan masing-masing membawa anakmu sendiri. Awas! Jika kamu tidak menurut perintah, ke ujung langit kau lari. aku bisa mencari kamu!"

Mendengar itu, semangat mereka terbang ke awang-awang. Dengan muka pucat, mereka menye-lesap di antara orang banyak dan tidak berani membuka suara lagi. Sesaat itu, di luar pintu ke-lenteng tiba-tiba terdengar suara ribut, disusul de¬ngan masuknya sejumlah orang yang dikepalai se¬orang yang tubuhnya tinggi besar. Sekali ia me-ngebaskan kedua tangannya, tujuh delapan penon¬ton sudah jatuh terguling. Melihat sikap dan lagak orang itu, Ouw Hui berkata di dalam hatinya: "Aha! Akhirnya dia datang juga."

Dengan mata tajam ia memperhatikan orang itu, dari kepala sampai di kaki, dari kaki sampai di kepala. Orang itu berusia kira-kira lima puluh ta-hun, kumisnya sudah berwarna abu-abu, tangan kanannya memakai gelang batu giok dan tangan kirinya mencekal pipa Pit-ya-hu. Dilihat dari roman dan dandannya, ia lebih mirip dengan seorang har¬tawan besar daripada dengan seorang jago jahat dalam Rimba Persilatan.

Orang itu memang bukan lain daripada Hong Jin Eng. Ciangbunjin (pemimpin) partai Ngo-houw-bun. Hari itu, ia repot sekali melayani dua Sie-wie yang baru datang dari kota raja. Dengan beruntun

ia mendapat laporan jelek, akan tetapi, karena sungkan kehilangan muka, ia tetap tidak berkisar dari meja perjamuan. Ia menganggap sepi gangguan itu dan merasa pasti, bahwa kaki tangannya akan dapat membereskan si pengacau. Belakangan, se¬sudah mendengar, bahwa puteranya sendiri kena dirubuhkan dan dibawa ke kelenteng Pak-tee-bio untuk dibelek perutnya, baru ia benar-benar kaget dan buru-buru menyusul ke kelenteng itu. Tadinya ia menduga, bahwa si pengacau adalah salah se¬orang musuh besarnya. Akan tetapi, ia merasa agak heran ketika mendapat kenyataan, bahwa seterunya itu adalah seorang muda yang sama sekali tak di-kenalnya. Begitu masuk, tanpa berkata suatu apa, lebi dulu ia coba membangunkan puteranya.

"Sombong benar lagak si tua bangka," kata Ouw Hui di dalam hatinya, sembari menepuk pinggang Hong Jin Eng.

Tanpa menengok, Hong Jin Eng menyampok ke belakang dengan tangan kirinya. "Plak!" tubuh Hong Jin Eng bergoyang-goyang, hampir-hampir ia rubuh di atas badan puteranya. Sekarang ia me-ngetahui, bahwa musuhnya benar-benar tangguh. Ia segera mengurungkan niatnya untuk menolong anak-nya dan sembari menggereng seperti harimau ter-luka, ia menerjang Ouw Hui.

Melihat serangan orang yang cepat dan ber-tenaga, Ouw Hui pun yakin, bahwa ia sedang meng-hadapi musuh yang berkepandaian tinggi. Sesudah beberapa gebrakan, mendadak Ouw Hui menyabet tinju Hong Jin Eng dengan goloknya. Walaupun hebat, bacokan itu dengan mudah akan dapat di-elakkan, jika Hong Jin Eng menarik pulang tinju-

nya. Akan tetapi, jika ia menarik pulang tinjunya, golok itu tentu akan menghantam puteranya yang rebah di atas lantai.

Pada detik yang sangat berbahaya itu, setelah tangan Hong Jin Eng menyambar taplak meja sem-bahyang, yang setelah digulung cepat-cepat lalu digunakan menangkis golok Ouw Hui.

"Bagus!" seru Ouw Hui sembari menangkap taplak itu dengan tangan kirinya. Mereka saling membetot dan "brt", taplak itu putus menjadi dua.

Sekarang Hong Jin Eng tak berani lagi meman-dang rendah kepada Ouw Hui. Ia meloncat, mundur setengah tombak dan seorang muridnya lantas menyerahkan sebatang toya emas kepadanya. Toya itu yang panjangnya sembilan kaki, seluruhnya terbuat dari emas tulen dan merupakan salah satu senjata termahal dalam Rimba Persilatan.

Sesudah mengebaskan toyanya, ia berkata de¬ngan suara nyaring: "Siapakah guru tuan? Kesa-lahan apa yang aku, si orang she Hong, sudah lakukan terhadap tuan?"

"Sepotong daging burung Hongku telah dicuri dan digegares oleh anakmu," jawab Ouw Hui. "Aku sekarang menuntut untuk membelek perutnya guna memperoleh bukti."

Selama banyak tahun, dengan sebatang toya tembaga, Hong Jin Eng tak pernah menemui tan-dingan di seluruh wilayah Lenglam. Belakangan ia membentuk partai Ngo-houw-bun dan tinggal me-netap di kota Hud-san-tin. Sesudah menjadi mak-mur dan kaya raya, toya tembaga itu digantinya dengan toya emas. Dalam Rimba Persilatan, me-nurut kebiasaan, panjang toya tidak boleh lebih dari

sebatas alis orang yang menggunakannya. Toya se-macam itu dinamakan Cee-bie-kun (Toya sebatas alis), paling pendek kira-kira lima kaki dan paling panjang tujuh kaki, menurut pendek tingginya orang yang menggunakannya. Tapi panjang toya Hong Jin Eng sampai sembilan kaki dan disamping itu, berat emas adalah kira-kira dua kali lipat dari-pada berat logam sebangsa besi. Dari sini dapatlah orang membayangkan bagaimana besar tenaga jago-an Hud-san-tin itu.

Mendengar jawaban Ouw Hui, ia mengetahui, bahwa hari ini ia mesti bertempur juga. Dengan dua kali mengebaskan toyanya, ia membuat dua batang lilin sembahyang lantas saja menjadi padam. "Se-menjak dulu, belum pernah aku berlaku kurang hormat terhadap sahabat-sahabat," katanya dengan suara gusar. "Aku dan tuan belum pernah saling mengenal, maka itu guna apa tuan merusak ke-akuran dalam kalangan Kang-ouw untuk seorang bocah miskin? Sekarang, apakah tuan mau menjadi kawan atau menjadi lawan, terserahlah kepada tuan."

Harus diketahui, bahwa toya emas itu adalah senjata berat, tapi sekali ia mengebaskannya, ke-siuran angin senjata itu sudah dapat memadamkan api lilin. Dengan memperlihatkan kepandaiannya dan dengan perkataan yang dalam kelembekannya mengandung kekerasan, Hong Jin Eng ingin men-desak supaya Ouw Hui mengundurkan did dan jangan campur tangan dalam urusan orang.

"Benar, benar sekali perkataanmu," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Begitu lekas kau membayar daging burung Hong itu tanpa banyak rewel lagi,

aku akan segera meninggalkan tempat ini."

Wajah Hong Jin Eng lantas saja berubah me-nyeramkan. "Baiklah. Tak ada lain jalan daripada membereskan urusan ini dengan senjata," katanya dengan suara gusar. Sehabis berkata begitu, dengan menenteng toya, ia loncat ke pekarangan depan.

Ouw Hui menendang Hong It Hoa dan men-campakkan goloknya di pinggir badan pemuda itu.

"Jika kau lari, ayahmu yang mesti mengganti dengan jiwanya!" ia membentak dan segera berjalan ke luar dengan tangan kosong.

"Hei! Pasang kupingmu terang-terang!" ia ber-teriak. "Tuan besarmu tak pernah menukar she dan berganti nama. Aku adalah Sat-khoa Auw-su Pat Hong Mo yang namanya kesohor di seluruh dunia. Jika tak dapat mencabut bulu burung Hong, men-cabut bulu bau juga boleh."

Baru habis ia mengucapkan perkataannya, ta¬ngan kirinya mendadak menyambar toya Hong Jin Eng. Melihat musuhnya tak bersenjata Hong Jin Eng jadi merasa girang dan begitu Ouw Hui ber-gerak, ia menyapu leher pemuda itu dengan gerakan Leng-kong-sauw-goat. (Di tengah udara menyapu rembulan). Cepat seperti kilat, Ouw Hui memutar-kan badan mengikuti sambaran toya musuh, dan sesaat membalas dengan suatu pukulan dahsyat.

Semua orang mengawasi pertempuran hebat itu, sambil menahan napas. Di antara penonton tentu saja terdapat banyak sekali kaki tangan Hong Jin Eng.

Akan tetapi, tanpa diperintah, mereka tidak berani sembarang membantu sang majikan. Selain itu, bagi orang-orang yang tidak mempunyai ke-

sebatas alis orang yang menggunakannya. Toya se-macam itu dinamakan Cee-bie-kun (Toya sebatas alis), paling pendek kira-kira lima kaki dan paling panjang tujuh kaki, menurut pendek tingginya orang yang menggunakannya. Tapi panjang toya Hong Jin Eng sampai sembilan kaki dan disamping itu, berat emas adalah kira-kira dua kali lipat dari-pada berat logam sebangsa besi. Dari sini dapatlah orang membayangkan bagaimana besar tenaga jago-an Hud-san-tin itu.

Mendengar jawaban Ouw Hui, ia mengetahui, bahwa hari ini ia mesti bertempur juga. Dengan dua kali mengebaskan toyanya, ia membuat dua batang lilin sembahyang lantas saja menjadi padam. "Se-menjak dulu, belum pernah aku berlaku kurang hormat terhadap sahabat-sahabat," katanya dengan suara gusar. "Aku dan tuan belum pernah saling mengenal, maka itu guna apa tuan merusak ke-akuran dalam kalangan Kang-ouw untuk seorang bocah miskin? Sekarang, apakah tuan mau menjadi kawan atau menjadi lawan, terserahlah kepada tuan."

Harus diketahui, bahwa toya emas itu adalah senjata berat, tapi sekali ia mengebaskannya, ke-siuran angin senjata itu sudah dapat memadamkan api lilin. Dengan memperlihatkan kepandaiannya dan dengan perkataan yang dalam kelembekannya mengandung kekerasan, Hong Jin Eng ingin men-desak supaya Ouw Hui mengundurkan diri dan jangan campur tangan dalam urusan orang.

"Benar, benar sekali perkataanmu," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Begitu lekas kau membayar daging burung Hong itu tanpa banyak rewel lagi,

aku akan segera meninggalkan tempat ini."

Wajah Hong Jin Eng lantas saja berubah me-nyeramkan. "Baiklah. Tak ada lain jalan daripada membereskan urusan ini dengan senjata," katanya dengan suara gusar. Sehabis berkata begitu, dengan menenteng toya, ia loncat ke pekarangan depan.

Ouw Hui menendang Hong It Hoa dan men-campakkan goloknya di pinggir badan pemuda itu.

"Jika kau lari, ayahmu yang mesti mengganti dengan jiwanya!" ia membentak dan segera berjalan ke luar dengan tangan kosong.

"Hei! Pasang kupingmu terang-terang!" ia ber-teriak. "Tuan besarmu tak pernah menukar she dan berganti nama. Aku adalah Sat-khoa Auw-su Pat Hong Mo yang namanya kesohor di seluruh dunia. Jika tak dapat mencabut bulu burung Hong, men-cabut bulu bau juga boleh."

Baru habis ia mengucapkan perkataannya, ta¬ngan kirinya mendadak menyambar toya Hong Jin Eng. Melihat musuhnya tak bersenjata Hong Jin Eng jadi merasa girang dan begitu Ouw Hui ber-gerak, ia menyapu leher pemuda itu dengan gerakan Leng-kong-sauw-goat. (Di tengah udara menyapu rembulan). Cepat seperti kilat, Ouw Hui memutar-kan badan mengikuti sambaran toya musuh, dan sesaat membalas dengan suatu pukulan dahsyat.

Semua orang mengawasi pertempuran hebat itu, sambil menahan napas. Di antara penonton tentu saja terdapat banyak sekali kaki tangan Hong Jin Eng.

Akan tetapi, tanpa diperintah, mereka tidak berani sembarang membantu sang majikan. Selain itu, bagi orang-orang yang tidak mempunyai ke-

pandaian tinggi, jangankan membantu, sedang ke-langgar angin pukulan saja mereka sudah akan merasa tak tahan.

Selagi pertempuran itu berlangsung dengan he-batnya, sekonyong-konyong dari luar menerobos tiga orang. Yang jalan paling dulu adalah seorang wanita, rambutnya terurai dan berlepotan darah, ia bukan lain daripada Ciong Sie-so, diikuti oleh sua-minya, Ciong A-sie, dan puteranya, Ciong Siauw Jie. Begitu masuk, Ciong Sie-so berlutut dan ter-tawa terbahak-bahak. "Hong Looya adalah seorang yang sangat mulia," katanya. "Pak-tee-ya tentu akan memberkahi kau, supaya banyak rejeki, panjang umur dan banyak anak. Kau tentu akan diberkahi dengan emas dan batu permata serta harta kekayaan yang berlimpah-limpah. Anakku Siauw-sam-cu te-lah mengadu kepada Giam-loo-ong dan Giam-ong Looya mengatakan, bahwa kau adalah seorang yang mempunyai rejeki sangat besar." Sembari berkata begitu, ia menyoja-nyoja tak hentinya, sebentar menangis, sebentar tertawa. Suaminya berdiri di sampingnya dengan paras muka pucat, tanpa me-ngeluarkan sepatah kata.

Baru bertempur belasan jurus, Hong Jin Eng sudah jatuh di bawah angin. Munculnya keluarga Ciong sangat menggoncangkan hatinya dan silatnya lantas saja menjadi semakin kalut. Ia mengetahui, bahwa dalam tempo cepat, ia akan dirubuhkan oleh pemuda itu. Dalam bingungnya, dengan nekat ia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya di kedua lengan dan menyabet janggut Ouw Hui dengan sekuat tenaganya.

Dahsyat sungguh sabetan toya itu yang disertai

dengan kesiuran angin yang sangan tajam. Tapi. sebaliknya dari berkelit atau meloncat mundur. Ouw Hui mengangsurkan kedua tangannya dan menangkap toya musuh.

Hong Jin Eng terkesiap dan segera menyodok dengan seantero tenaganya. Dengan mundur se-dikit, Ouw Hui sudah bisa memunahkan tenaga dorongan si orang she Hong. Tapi Hong Jin Eng yang sudah melatih ilmunya lebih dari tiga puluh tahun, tentu saja sungkan menyerah mentah-men-tah. Dengan menggunakan tenaga Gwa-kang (te¬naga luar) yang paling hebat, ia menyontek dan membetot toyanya. Entah bagaimana, demi sekali berkelebat, tubuh Ouw Hui sudah maju ke depan dan tangannya menyambar ke arah tenggorokan musuh, sedang toya musuh yang dirapati dan dicekal dengan sebelah tangannya, tak dapat memukul diri-nya.

Hong Jin Eng terbang semangatnya. Sembari menunduk, ia mengangkat sebelah tangannya untuk melindungi lehernya. Tapi Ouw Hui menang cepat. Tangan kirinya sudah mendahului menepuk kepala Hong Jin Eng dan mencopot topi batoknya, sedang tangan kanannya menjambret ujung thaucang har-tawan kejam itu. "Sekali ini aku mengampuni jiwa-mu!" Ouw Hui membentak dan tangan kirinya, yang masih mencekal topi musuhnya, menjambret bagian atas thaucang itu: kemudian, sekali ia membetot dengan kedua tangannya, thaucang Hong Jin Eng sudah ditariknya putus!

Paras muka manusia kejam itu pucat pias de¬ngan mendadak. Buru-buru ia loncat menyingkir. Ouw Hui mengayun tangan kirinya dan kopiah

Sekall mengayun tangan, Ouw Hui melemparkan kopiah Hong Jin Eng yang Jatuh tepat dl kepala ular batu. Sesudah ttu loncat dan sekall menghantam, kepala kura-kura batu sebatas leher sudah menjadl putus.

Hong Jin Eng terbang keluar, jatuh persis di atas kepala ular-ularan batu. Ia loncat ke arah pe-ngempang sembari menghantam kepala kura-kura batu itu dengan tangannya. "Tak!" kepala yang mendongak ke atas itu patah dan jatuh ke dalam air.

Ouw Hui tertawa berkakakan dan melibatkan potongan thaucang Hong Jin Eng di leher kura-kuraan batu tersebut. Sembari mengebut-ngebut debu di bajunya, ia menanya dengan tertawa: "Mau lagi?"

Melihat ilmu silat yang begitu tinggi, paras muka semua penonton jadi berubah. Mereka kaget berbareng kagum. Hong Jin Eng sendiri menge-tahui, bahwa barusan pemuda itu masih berbelas kasihan kepadanya. Jika ia memukul kepalanya dengan tenaga yang sebesar digunakannya meng¬hantam kepala kura-kuraan batu tadi, jiwanya tentu sudah melayang: Akan tetapi, pemutusan thaucang-nya yang kemudian dilibatkan ke leher kura-kura dan pelemparan kopiahnya ke kepala ular, adalah hinaan besar yang tak dapat ditelannya mentah-mentah. Maka dengan mata merah ia menerjang lagi dan menyapu Ouw Hui dengan pukulan Ceng-liong-kian-wie (Naga hijau menyabet dengan bun-tutnya). Sesaat itu, Hong Jin Eng sudah menjadi nekat dan ia menyerang tanpa memperdulikan lagi keselamatan jiwanya.

Ouw Hui yang sudah mengambil ketetapan untuk menyapu bersih muka hartawan kejam itu, lantas saja melayaninya dengan bersemangat. Ia mendapat kenyataan, bahwa meskipun pukulan-pukulan orang she Hong itu ada terlebih berat, tapi



gerakannya tidak begitu gesit lagi. Sesudah be-berapa gebrakan, dengan pukulan Thie-gu-keng-tee (Kerbau besi meluku tanah), Hong Jin Eng menyapu kaki musuhnya. Begitu ujung toya itu menyambar ke bawah dan menyentuh tanah, de¬ngan berani Ouw Hui menjejak dengan kaki kanannya. Hong Jin Eng terkesiap dan buru-buru menarik pulang toyanya. Tapi sudah kasep! Hampir berbareng dengan jejakan itu kepada ujung toya, kaki kiri Ouw Hui sudah menjejak batangnya dan pada saat itu juga, toya emas tersebut terlepas dari kedua tangan Hong Jin Eng. Apa celaka, diwaktu jatuh, toya itu menimpa kaki kanan Hong Jin Eng dan dua tulang jeriji kakinya lantas menjadi remuk. Muka Hong Jin Eng menjadi pucat seperti kertas, tapi dengan mengertak gigi, ia menahan

sakit.

"Aku sudah kalah dan tak usah banyak bicara lagi," katanya dengan suara nyaring. "Mau bunuh, boleh lantas bunuh."

Ketika itu, Ciong Sie-so masih terus berlutut dan menyoja-nyoja. "Hong Looya," katanya sembari menangis. "Coba bilang sekarang, apa benar anakku sudah makan daging angsamu?"

Sebagai seorang yang berhati mulia, Ouw Hui sebenarnya merasa tak tega untuk menghina Hong Jin Eng terlebih jauh.

Tapi, melihat Ciong Sie-so yang sudah menjadi gila dan penuh tanda-tanda darah, lantas saja ia ingat, bahwa manusia yang bergelar Lam-pa-thian ini tentu juga sudah sering melakukan perbuatan yang berada di luar batas kemanusiaan. Mengingat begitu, darahnya kembali naik tinggi.

Dengan tindakan lebar ia masuk ke ruangan sembahyang, menenteng Hong It Hoa dan men-cabut goloknya yang barusan ditancapkan di atas lantai. Ia berpaling kepada Hong Jin Eng seraya berkata: "Hong Looya, aku dan kau sebenarnya tak mempunyai permusuhan apa pun juga. Akan tetapi, anakmu sudah makan daging burung Hongku, se-dang orang-orang di Hud-san-tin coba melindungi-nya. Maka itu, oleh karena sukar mendapat bukti, jalan satu-satunya adalah membelek perut anakmu. Hei! Saudara-saudara! Sekarang buka matamu le-bar-lebar!"

Ia mengangkat goloknya yang lalu diguratkan di atas perut Hong It Hoa. Sesaat itu juga, di kulit yang berwarna putih itu tertampak darah yang ber-warna merah.

Meskipun Hong Jin Eng adalah manusia yang banyak dosanya, tapi dapat juga ia memperlihatkan sikap laki-laki dari seorang Kang-ouw. Sesudah rubuh dalam tangan Ouw Hui, ia tetap keras kepala dan tidak menodai namanya sebagai Ciangbunjin suatu partai. Akan tetapi, begitu lekas ia melihat goresan berdarah di atas perut putera tunggalnya, habislah semua keangkerannya. "Tahan!" ia berseru sembari mengambil sebilah golok dari tangan salah seorang pegawainya.

"Mau bertempur lagi?" tanya Ouw Hui sembari tertawa.

"Siapa yang berbuat, dialah yang harus memikul segala akibatnya," jawabnya dengan suara duka. "Aku sudah melakukan perbuatan yang tidak benar, sehingga kau turun tangan. Urusan ini tak ada sangkut pautnya dengan anakku. Aku tak berani

hidup terus di dalam dunia, hanya aku mengharap supaya kau sudi mengampuni anakku."

Sehabis berkata begitu, ia mengangkat golok-nya untuk menggorok lehernya sendiri.

"Hong Toako!" mendadak terdengar teriakan orang. "Jangan!" Orang itu adalah si lelaki tinggi besar yang sedang bergelantungan di balok dekat wuwungan.

Hong Jin Eng tertawa dan tetap melaksanakan niatnya. Semua orang terperanjat, tapi tak seorang pun berani membuka suara.

Pada detik yang terakhir, mendadak terdengar suara "srr" dan sebuah senjata rahasia menyambar dari pintu ruangan sembahyang. "Criing!" senjata itu membentur golok yang lantas saja terpukul miring, tapi meskipun begitu, golok itu tak urung menggores juga pundak Hong Jin Eng yang lantas saja mengucurkan darah.

Dengan matanya yang sangat jeli. Ouw Hui segera melihat, bahwa senjata rahasia itu adalah sebatang tusuk konde perak. Ia membungkuk dan memungut perhiasan wanita itu, yang ternyata bu-kan saja kecil, tapi juga enteng sekali. Ouw Hui terkesiap. Bahwa dengan senjata yang begitu kecil dan enteng, penimpuknya dapat memukul miring golok Hong Jin Eng, adalah suatu kejadian yang hampir-hampir tak dapat dipercaya. Tapi kejadian itu sudah merupakan suatu kenyataan, Ouw Hui merasa bukan main, sedalam-dalamnya ia mengakui, bahwa kepandaian orang itu mungkin sekali berada di sebelah atasnya.

Dengan cepat ia pergi ke cimche dan dengan sekali mengenjot badan, ia sudah berada di atas

genteng. Sesaat itu, di sebelah tenggara terlihat berkelebatnya bayangan manusia yang dalam se-detik, sudah menghilang dari pemandangan.

Ouw Hui memburu ke jurusan tenggara, tapi ia tak dapat menemukan suatu apa. "Dari belakang, orang itu berbadan langsing, seperti potongan se¬orang wanita," pikirnya. "Apakah mungkin, bahwa dalam dunia terdapat seorang perempuan yang berkepandaian begitu tinggi?"

Karena khawatir Hong Jin Eng dan puteranya akan melarikan diri, ia tak berani berdiam lama-lama di atas genteng. Setibanya kembali di ruangan sembahyang, ia melihat ayah dan anak itu sedang berpelukan sembari menangis. Sebagai seorang mu-lia, dalam hati pemuda itu lantas timbul niatan untuk mengampuni kedua orang tersebut.

Melihat kedatangan Ouw Hui, Hong Jin Eng segera melepaskan puteranya dan lalu berlutut di atas lantai. "Jiwa tuaku sekarang sudah berada dalam tanganmu," katanya dengan sedih. "Harapan-ku satu-satunya adalah supaya kau sudi meng¬ampuni jiwa anakku."

"Tidak!" seru It Hoa. "Bunuh saja aku. Biarlah aku yang mengganti jiwa bocah she Ciong itu."

Ouw Hui sangsi bukan main, ia tak tahu harus berbuat bagaimana. Jika mesti mengambil jiwa dua orang, ia merasa tidak tega, tapi kalau mengampuni mereka secara begitu saja, ia juga merasa tidak benar. Selagi bersangsi, Ciong A-sie mendadak menghampiri dan berkata dengan suara terharu: "Hoohan-ya, kau sudah menolong jiwa isteriku dan mencuci rasa penasaran keluarga kami. Budi yang sangat besar itu, dengan sesungguhnya siauwjin tak

akan dapat membalasnya." Sehabis berkata begitu, ia berlutut dan manggutkan kepalanya berulang-

ulang.

Buru-buru Ouw Hui membangunkan orang itu dan mengucapkan beberapa perkataan menghibur. Sembari mengawasi Hong Jin Engdengan paras muka merah padam bahna gusarnya, Ciong A-sie berkata: "Hong Looya, hari ini di hadapan Pak-tee-ya, cobalah kau katakan terus terang: Apakah anak-ku Siauw-sam-cu benar-benar sudah mencuri da-ging angsamu?"

Hong Jin Eng menunduk dan menjawab dengan suara perlahan: "Tidak. Akulah yang bersalah."

"Hong Looya," kata pula Ciong A-sie. "Bilang-lah menurut liangsimmu (perasaan hati): Kau sudah memenjarakan aku dan mendesak sehingga anakku binasa, apakah itu bukan hanya untuk mengang-kangi kebun sayurku?"

Hong Jin Eng melirik. Ia mendapat kenyataan, bahwa si petani miskin yang biasanya sangat takut kepadanya, disaat itu memandangnya dengan sorot mata berapi-api dan paras muka menyeramkan. Kembali ia menunduk dan tak dapat menjawab pertanyaan orang.

"Lekas bilang! Bukankah begitu?" bentak Ciong A-sie dengan suara memburu.

Perlahan-lahan Hong Jin Eng melongok. "Be-nar," sahutnya. "Hutang jiwa dibayar jiwa. Bunuhlah

aku."

Sesaat itu, sekonyong-konyong di luar terdengar suara cacian. "Hei! Bangsat kecil yang mengaku bernama Pat Hong Mo!" teriak seseorang. "Apakah kau berani keluar untuk bertempur de-

ngan tuan besarmu? Jangan bersembunyi! Havo keluar!"

Semua orang jadi tercengang, Ouw Hui juga kaget dan lantas meloncat ke luar. Di luar, ia melihat tiga penunggang kuda sudah kabur ke arah barat.

"Kura-kura!" teriak seorang antaranya sembari menengok ke belakang. "Apakah kau berani ber¬tempur dengan tuan besarmu?"

Ouw Hui gusar bukan main. Pada pohon di depan kelenteng kelihatan tertambat dua ekor kuda. Tanpa mengucapkan sepatah kata, buru-buru ia membuka tambatan seekor antaranya dan me¬loncat ke punggung hewan itu yang lantas dikabur-kan sekeras-kerasnya untuk mengejar ketiga orang itu.

Jauh-jauh Ouw Hui melihat tiga musuhnya ka¬bur di sepanjang tepi sungai. Kepandaian mereka menunggang kuda tidak seberapa, tapi kuda mereka lebih bagus daripada tunggangan Ouw Hui. Sesudah mengejar satu lie lebih, belum juga mereka dapat disusul, Ouw Hui menjadi jengkel. Seperti caranya seorang akrobat, sedang tunggangannya dikabur-kan terus, ia menjumput beberapa butir batu dari atas tanah. Sekali ia mengayun tangannya, lima enam batu menyambar ke arah tiga orang itu. "Aduh!" mereka berteriak. Hampir berbareng, batu-batu itu mengenai punggung mereka. Dua antara¬nya terjungkal tanpa bisa bangun lagi, sedang yang ketiga diseret-seret tunggangannya, karena kaki kirinya tersangkut pada sanggurdi. Dilain saat, kuda itu sudah membelok dan bersama penunggangnya yang diseret-seret ia lenyap dari pemandangan ka-

rena terhalang pohon-pohon.

Ouw Hui loncat turun. Dua orang itu merintih sembari memegang-megang pinggang. Ouw Hui me-nendang dan membentak: "Eh! Kau kata mau ber-tempur denganku. Hayo, bangun!"

Orang itu merangkak bangun dan memaki: "Tak tahu malu, kau! Sudah tidak mau bayar hutang judi, masih begitu galak! Suatu hari, Hong Looya, tentu akan membereskan kau."

Ouw Hui terkejut. "Aku hutang judi?" tanyanya. Sekonyong-konyong, orang yang satunya lagi menerjang dan meninju. Ouw Hui mesem, sebab ia mendapat kenyataan, bahwa orang itu sama sekali tidak mengerti ilmu silat. Dengan sekali menyam-pok, ia membuat orang itu berbalik menghantam hidung kawannya yang lantas saja mengeluarkan kecap. Ia terkejut dan mengawasi dengan mulut ternganga.

"Anjing! Kau berani memukul aku?" teriak orang yang kepukul, sembari menendang kawannya. Dilain saat, mereka sudah berkelahi dan melupakan Ouw Hui yang berdiri menonton di samping mereka. Melihat kedua orang itu sama sekali tidak me¬ngerti ilmu silat, tapi toh sudah berani menantang padanya, Ouw Hui mengetahui, bahwa dalam ha4 itu mesti terselip latar belakang lain. Sekali men-jambret dengan kedua tangannya, ia memisahkan mereka. Kedua orang itu terus saling memaki, yang satu mencaci lawannya sebagai pencuri lobak, yang lain menuduh musuhnya sebagai pencuri ayam. Me¬reka itu ternyata adalah buaya-buaya darat dan Ouw Hui jadi semakin bercuriga.

"Siapa yang menyuruh kau mencaci aku?" ben-

tak Ouw Hui sembari menggaplok dan pipi mereka lantas saja bengkak.

Si pencuri ayam, yang nyalinya lebih kecil, lan¬tas saja meminta ampun.

"Jangan rewel! Jawab pertanyaanku!" Ouw Hui membentak pula.

"Menurut kata Thio Po-koan (bandar she Thio) dari Enghiong Hweekoan, kau hutang judi tak mau membayarnya," si pencuri ayam menerangkan.

"Maka itu, ia menyuruh kami bertiga menge-rubuti kau dengan menjanjikan upah lima tail perak untuk setiap orang. Kuda itu juga adalah kuda Thio Po-koan. Apa kau hutang atau tidak, sebenarnya bukan urusan kami...."

"Celaka!" Ouw Hui mengeluh. "Kenapa aku begitu tolol? Aku sudah dipancing dengan tipu memancing harimau keluar gunung."

Sembari memikir begitu, ia mendorong kedua buaya kecil itu yang lantas saja jatuh terguling dan sesaat kemudian ia buru-buru menyemplak kudanya yang lalu dikaburkan sekeras-kerasnya ke arah ke-lenteng Pak-tee-ya.

"Sudah pasti Hong Jin Eng dan anaknya akan menyembunyikan diri," katanya di dalam hati. "Hud-san-tin begini luas, bagaimana aku harus mencari-nya? Tapi biarlah! Bangsat itu mempunyai banyak sekali perusahaan. Biar aku mengaduk di setiap perusahaannya. Aku mau melihat, apakah dia bisa bersembunyi terus."

Sebentar saja, ia sudah tiba kembali di depan kelenteng. Hati Ouw Hui lantas saja merasa tidak enak. Keadaan di situ sunyi senyap, orang-orang yang tadi berkerumunan sudah tak kelihatan mata

hidungnya. "Ah! Benar-benar Hong Jin Eng kabur," pikirnya sembari loncat turun dari tunggangannya. Dengan tindakan lebar, ia memasuki pekarangan dan terus menuju ke ruangan sembahyang. Begitu masuk, ia merasakan dadanya sesak... hampir-ham-pir ia jatuh duduk!

Ternyata, di ruangan sembahyang menggeletak tiga mayat, yaitu mayat Ciong A-sie, Ciong sie-so dan Ciong Siauw Jie, yang semuanya penuh dengan

bacokan.

Ouw Hui berdiri terpaku, darahnya bergolak-golak. Mendadak, ia melemparkan diri di depan meja sembahyang dan menangis sedu sedan. "Ciong Sie-ko, Sie-so dan saudara Ciong," katanya dengan suara gentar. "Ouw Hui tolol sekali, sehingga kalian menjadi korban."

Sesudah kenyang memeras air mata, tiba-tiba ia meloncat bangun. Ia menuding patung malaikat dan berkata dengan suara nyaring dan tetap, "Pak-tee Ya-ya! Hari ini aku motion kau menjadi saksi: Jika aku, Ouw Hui, tak bisa membunuh Hong Jin Eng, bapak dan anak, untuk membalaskan sakit hati keluarga Ciong, aku akan kembali ke sini untuk menggorok leherku di hadapanmu!" Berbareng de¬ngan perkataannya, ia menghantam ujung meja sembahyang yang lantas saja menjadi hancur dan dua ciaktay (tempat tancap lilin) jatuh terguling di atas lantai.

Beberapa saat kemudian, ia berjalan keluar dan masuk lagi dengan menuntun kuda. Ia mengangkat ketiga mayat itu yang lalu diletakkan di atas pung-gung kuda. Bukan main rasa menyesalnya. "Ah! Karena belum mempunyai pengalaman, aku sung-

guh luar biasa gobloknya," katanya di dalam hati. "Tanpa mengerti seluk-beluk dan kekejaman dunia Kang-ouw, aku sudah berani turun tangan, karena gara-garaku, tiga jiwa jadi melayang. Biarpun rumah keluarga Hong merupakan rimba senjata, hari ini akan kuterjang juga." Sambil menunduk, perlahan-lahan ia menuntun kudanya dan menuju ke jalan raya.

Ketika itu, Hud-san-tin seolah-olah sebuah kota mati. Semua pintu tertutup rapat, sedang di jalan tak terdapat seorang manusia. Ketika melewati Ru¬mah Gadai Enghiong dan Rumah Makan Enghiong, ia menendang pintu kedua rumah itu dan ternyata keadaan di kedua tempat itu pun sunyi senyap seperti kuburan. Apa yang mengherankan adalah: Di rumah gadai dan di restoran tertumpuk ramput dan kayu bakar. Ia tak dapat menebak, untuk apa bahan bakar itu.

"Tak bisa salah lagi, Hong Jin Eng sedang mempersiapkan jebakan untuk menghadapi aku," katanya dalam hati. "Mereka berjumlah banyak, aku seorang diri. Aku harus berhati-hati, supaya jangan kena diakali lagi."

Setindak demi setindak ia maju dengan was-pada. Sesudah membelok beberapa kali, tibalah ia di depan gedung keluarga Hong yang sungguh besar serta mentereng dan di depannya tergantung se¬buah papan indah dengan tulisan : Lamhay Hongtee (Rumah keluarga Hong di Lamhay). Di gedung itu, lagi-lagi Ouw Hui mendapatkan pemandangan yang luar biasa. Semua pintu, besar dan kecil, semua jendela terpentang lebar, sedang di gedung yang luas itu, tak kelihatan seorang manusia juga!

"Tak perduli jebakan apapun juga, aku tak takut," Ouw Hui menggerendeng. "Biar kubakar gua kura-kuramu. Aku mau lihat, apakah kau keluar atau tidak."

Tapi baru saja ia niat mencari bahan bakar untuk melepaskan api, di belakang gedung seko-nyong-konyong terlihat asap mengepul! Ouw Hui terkesiap, sekarang ia dapat menebak tindakan Hong Jin Eng. "Lihay sungguh tangan Hong Jin Eng dan benar-benar dia jagoan," pikirnya. "Dia rela membakar sarangnya sendiri. Dilihat begini, dia dan keluarganya tentu akan kabur ke tempat jauh."

Sembari memikir begitu, ia terus masuk ke kebun sayur dengan menuntun kudanya. Dengan sebuah pacul ia menggali tanah dan mengubur tiga jenazah itu.

Di kebun itu, lobak dan pekcay hijau tumbuh subur, sedang di antara galangan tanaman sayur terdapat topi anak kecil dan sebuah anak-anakan tanah. Sedih hati Ouw Hui dan dalam kesedihannya, hatinya kemudian menjadi panas bukan main. Ia berlutut di depan kuburan itu dan mulutnya ber-kemak-kemik: "Ciong-heng dan Ciong Sie-so. Jika rohmu mempunyai keangkeran, bantulah aku untuk membekuk batang leher manusia berdosa itu."

Selagi bersembahyang, di jalan raya tiba-tiba terdengar suara tindakan kaki puluhan orang, di-susul dengan teriakan-teriakan.

"Tangkap pembunuh dan pembakar rumah!" teriak seseorang.

"Cegat! Jangan kasih bajak laut itu melarikan did!" seru seorang lain.

"Di sini! Di kebun sayur!" teriak orang ketiga.

Ouw Hui meloncat ke atas sebuah pohon besar dan memandang ke luar. Ternyata sejumlah opas dan serdadu yang bersenjata busur dan anak panah serta Iain-lain, sedang berteriak-teriak di depan gedung Hong Jin Eng, tapi tuan rumahnya sendiri tidak kelihatan mata hidungnya.

"Hm! Manusia itu sekarang menggunakan ta¬ngan pembesar negeri," menggerendeng Ouw Hui. Ia meloncat turun dan menyemplak tunggangannya yang lalu dikaburkan ke luar kota dengan meng-ambil jalan dari belakang gedung keluarga Hong, yang ternyata tidak terjaga sama sekali.

Ouw Hui menahan kudanya dan dari sebelah jauh, ia memandang ke arah kota. Di beberapa tempat, yaitu kira-kira di gedung keluarga Hong, di rumah makan, di rumah gadai dan beberapa tempat lainnya, kelihatan sinar api dan asap yang mengepul ke atas. Sekarang ia mengetahui bahwa Hong Jin Eng telah memusnahkan seantero harta bendanya dengan tangannya sendiri dan dia tentu tak akan kembali lagi ke kota Hud-san-tin. Walaupun hatinya gusar dan ia membenci hartawan kejam itu, tak urung ia merasa kagum.

"Ke mana aku mesti mencarinya?" tanya Ouw Hui pada diri sendiri, sembari mengedut les.

Sayup-sayup ia masih bisa mendengar suara teriakan ratusan manusia yang sedang coba mema-damkan api. Perlahan-lahan Ouw Hui menjalankan kudanya sembari mengasah otak.

"Tadi ketika aku mengejar tiga buaya darat itu, pergi pulang belum cukup satu jam," pikir Ouw Hui. "Hong Jin Eng adalah seorang hartawan yang mem¬punyai perusahaan besar. Dengan cara apa, dalam

tempo yang begitu pendek, ia dapat membereskan semua urusannya? Tidak bisa salah lagi, jika malam ini ia sendiri tidak pulang, tentulah juga ada orang kepercayaannya yang pergi ke tempat sembunyinya, untuk minta petunjuknya. Paling benar aku berjaga-jaga di jalan."

Ia menduga, bahwa diwaktu siang pasti tak akan ada orang yang berani muncul. Maka itu, ia lantas pergi ke tempat sepi dan memanjat sebuah pohon besar untuk mengaso.

Setelah siang berganti dengan malam, ia pergi ke pinggir jalan raya dan menyembunyikan diri di antara rumput-rumput yang tinggi. Ia membuka mata lebar-lebar dan mengawasi ke empat penjuru. Beberapa jam telah lewat dengan percuma. Ia me-nunggu terus sehingga fajar, tapi kecuali beberapa petani yang masuk ke kota dengan memikul sa-yuran, tak ada orang lain keluar masuk Hud-san-tin. Selagi Ouw Hui uring-uringan mendadak ter-dengar derap kaki kuda yang sedang mendatangi dari jurusan kota. Beberapa saat kemudian, dari kejauhan muncul dua penunggang kuda yang mengenakan pakaian militer, yaitu seragam Gie-cian Sie-wie.

Hati Ouw Hui berdebar-debar. Ia ingat perkataan Hong It Hoa yang mengatakan, bahwa ayahnya tak bisa datang karena sedang melayani dua orang Gie-cian Sie-wie. Di lain saat, mereka sudah melewati tempat persembunyian Ouw Hui. Buru-buru ia menjumput sebuah batu tajam dan menimpuk. Batu itu tepat mengenai lutut belakang salah seekor kuda yang lantas rubuh dengan tulang patah.

Si penunggang kuda ternyata berilmu tinggi, sebab dengan sekali mengenjot badannya, ia sudah hinggap dengan selamat di pinggir jalan. Kuda itu yang menderita kesakitan hebat, berbenger-benger tak hentinya. "Ah, celaka!" kata si penunggang kuda sembari menghela napas berulang-ulang.

Dari jarak tujuh delapan tombak, Ouw Hui dapat melihat, bahwa rambut orang itu berwarna abu-abu sedang mukanya agak tidak asing baginya, tapi ia lupa dimana ia pernah bertemu dengan orang itu.

Kawan Sie-wie itu menahan les dan membelok-kan tunggangannya seraya menanya: "Kenapa?"

"Kudaku terpeleset dan lututnya patah," jawab-nya. "Rasanya tak dapat ditunggang lagi."

Begitu mendengar suaranya, begitu Ouw Hui ingat, bahwa orang itu bukan lain daripada Ho Sie Ho dengan siapa ia pernah bertemu di Siang-kee-po beberapa tahun yang lalu.

"Paling baik kita balik kembali ke Hud-san-tin untuk menukar kuda," si kawan mengusulkan.

"Hong Jin Eng tak ketahuan ke mana perginya, sedang seluruh Hud-san-tin lagi kalang kabut," kata Ho Sie Ho. "Paling benar kita pergi ke Lam-hay-koan untuk meminta seekor kuda." Sehabis berkata begitu, ia mencabut pisau dan menikam perut kuda itu, supaya hewan itu jangan menderita terlalu lama.

"Biarlah kita berdua menunggang kuda ini, ja-lankan saja perlahan-lahan," kata kawannya. "Ho Toako. Bagaimana pendapatmu? Apakah sungguh-sungguh Hong Jin Eng tak akan kembali lagi ke Hud-san-tin?"

"Ia menghancurkan rumah tangganya untuk

menyingkirkan bencana," jawab Ho Sie Ho. "Bagaimana dia bisa pulang kembali?"

"Hm!" kata kawan itu. "Sekali ini kita pergi ke selatan, bukan saja tidak mendapat hasil suatu apa, sebaliknya malah sudah hams mengorbankan kuda-mu yang bagus."

Ho Sie Ho menyemplak kuda kawannya dan berkata: "Ah, belum tentu tak ada hasilnya. Per-himpunan besar dari para Ciangbunjin (pemimpin partai silat) di kolong langit yang bakal diadakan di gedung Hok Kongcu, adalah suatu kejadian yang sangat luar biasa. Sebagai Ciangbun dari partai Ngo-houw-bun, belum tentu ia tak datang." Sembari berkata begitu, ia menepuk punggung kuda itu yang lantas lari dengan perlahan.

Mendengar perkataan itu, Ouw Hui menjadi girang, sebab biar bagaimanapun juga, ia sudah mendapat endusan. Andaikata Hong Jin Eng tidak datang di Pakkhia untuk menghadiri perhimpunan itu, tapi dalam satu pertemuan antara jago-jago Rimba Persilatan, sedikit banyak ia akan mendapat keterangan tentang orang she Hong itu. Tapi ada suatu hal yang mengherankan Ouw Hui. Untuk apa Hok Kongcu menghimpunkan para Ciangbunjin dari berbagai partai?

Sembari memikir begitu, ia kembali ke bawah pohon dan segera menunggang kudanya yang di-jalankan ke arah utara.

Di sepanjang jalan ia coba menyelidiki tentang Hong Jin Eng dan partainya, tapi sedikitpun ia tidak memperoleh hasil. Sesudah melewati Ngo-leng, ia masuk ke dalam wilayah propinsi Ouw-lam. Tanah di situ adalah tanah merah dan segala pemandangan

agak berbeda dengan apa yang dapat dilihat di Lenglam.

Sesudah melewati Ma-kee-po dan selagi men-dekati penyeberangan Kie-hong, tiba-tiba di se¬belah belakangnya terdengar tindakan kuda yang cepat luar biasa. Ouw Hui menengok dan melihat seekor kuda putih sedang mendatangi bagaikan angin. Ia menahan les dan minggirkan kudanya ke pinggir jalan. Dilain saat, berbareng dengan ber-kesiurnya angin, bagaikan melesatnya anak panah, kuda putih itu melewati ia dengan keempat kaki seolah-olah tidak menginjak tanah. Penunggang kuda itu adalah seorang wanita yang mengenakan baju warna ungu, tapi ia tidak dapat melihat terang mukanya, karena kuda itu lari terlalu cepat. Apa yang ia tahu, adalah bahwa wanita itu berbadan langsing.

Ouw Hui terkejut. "Kuda putih itu seperti juga tunggangan Tio Samko," katanya di dalam hati. "Kenapa muncul lagi di Tionggoan?" Sebenarnya ia niat memanggil dan mengejar, tapi untuk itu sudah tidak keburu lagi, karena kuda itu sudah kabur terlalu jauh. Si wanita menengok ke belakang sekali dan beberapa saat kemudian, ia dan tunggangannya sudah tidak kelihatan bayang-bayangannya lagi.

Akan tetapi, meskipun mengetahui, bahwa ia tak akan dapat menyusul, Ouw Hui mengejar juga untuk menghilangkan rasa penasarannya.

Pada hari ketiga, tibalah ia di kota Hengyang, sebuah kota penting di Ouwlam selatan dekat gu-nung Hengsan, yang dikenal sebagai Lam-gak. Baru saja masuk di pintu kota sebelah selatan, tiba-tiba Ouw Hui melihat seekor kuda putih yang sangat

gagah di depan sebuah rumah makan. Ia lantas saja mengenali, bahwa kuda itu adalah tunggangan si nona baju ungu. Dengan girang, ia lantas masuk ke

rumah makan itu, tapi si nona tidak berada di situ.

Tadinya ia ingin menanya kepada pelayan, tapi lantas saja ia mengurungkan niatnya, karena kurang baik untuk menanyakan hal seorang wanita yang

belum dikenalnya. Ia lalu mengambil tempat duduk di dekat pintu dan minta makanan. Di Ouwlam, orang makan dengan menggunakan sumpit yang

sangat panjang dan mangkok yang sangat besar.

Setiap sayur pedas rasanya, sedang bumbunya pun menyolok sekali, sehingga sifat makanan Ouwlam adalah "gagah", cocok sekali dengan sifat Ouw Hui.

Ia bersantap sembari mengawasi kuda putih itu, sedang otaknya diasah untuk mencari kata-kata yang cocok, jika nanti ia bicara dengan si nona,

mendadak, ia ingat satu hal.

"Dengan menunggang kuda itu, ia tentu mem-punyai hubungan yang sangat rapat dengan Tio Sam ko," pikirnya. "Kenapa aku tak mau meletakkan saja bunga merah pemberian Samko di atas meja? De¬ngan melihat bunga tersebut, ia tentu akan mencari jalan untuk menegur aku." Memikir begitu, ia me-raba meja untuk mengambil bungkusannya dan... ia sangat terkejut ketika mendapat kenyataan, bahwa bungkusan itu sudah tak berada lagi di tempatnya. Terang-terang ia ingat, bahwa tadi ia meletak¬kan bungkusan itu di atas meja. Ke mana perginya? Ia menyapu seluruh ruangan dengan matanya yang tajam, tapi ia tak dapat melihat orang yang bisa dicurigai. "Jika manusia biasa yang mengambil bung-kusanku, tak mungkin aku tidak mengetahui," kata-

nya di dalam hati. "Dilihat gelagatnya, hari ini aku bertemu dengan orang yang mempunyai kepan-daian luar biasa tingginya."

Mau tak mau, ia terpaksa menanya seorang pelayan: "Eh, ke mana perginya bungkusanku yang tadi kuletakkan di atas meja? Apakah kau melihat siapa yang mengambilnya?!"

Pelayan itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata: "Barang tuan harus dijaga sendiri. Kecuali barang itu dititipkan kepada kami, kami tidak bertanggung jawab."

"Aku bukan menyuruh kau bertanggung jawab," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Aku hanya me¬nanya, apakah kau melihat, siapa yang mengambil¬nya?"

"Tidak, tentu saja tidak," kata pula pelayan itu. "Mana bisa ada bangsat berkeliaran di sini? Tuan janganlah bicara sembarangan."

Ouw Hui mengetahui, bahwa ia tak perlu tarik urat dengan orang itu. Selagi ia memikirkan, ba-gaimana ia harus bertindak, pelayan itu berkata pula: "Makanan dan arak yang tuan makan semua-nya berharga tiga chie lima hun. Aku minta tuan suka membayarnya sekarang."

Dalam bungkusannya, Ouw Hui menyimpan beberapa ratus tail perak yang ia menangkan di rumah judi Hong Jin Eng, tapi dalam sakunya sendiri tidak terdapat sepeser buta. Mendengar perkataan si pelayan, ia terkejut dan paras mukanya lantas saja berubah merah.

"Jika tuan tidak membawa uang, jangan me-ngatakan bungkusan hilang," kata pelayan itu sem¬bari tertawa dingin.

Ouw Hui mendongkol mendengar ejekan itu, tapi ia sungkan bertengkar. Tanpa berkata suatu apa, ia ke luar untuk mengambil kudanya. Tiba-tiba mendapat kenyataan, bahwa kuda putih itu sudah tidak berada lagi di tempat tambatannya. "Bung-kusanku dan kuda itu tentu mempunyai sangkut paut yang sangat rapat," katanya di dalam hati.

Ia lalu menuntun kudanya dan sembari menye-rahkan hewan itu kepada si pelayan, ia berkata: "Hewan ini sedikilnya berharga delapan ataau sem-bilan tail perak. Untuk sementara aku menitipkannya di sini. Sesudah memperoleh uang, aku akan datang menebusnya."

Paras muka pelayan itu lantas saja berubah manis. "Baiklah, baiklah," katanya sembari tertawa. Baru Ouw Hui berjalan beberapa tindak, tiba-tiba pelayan itu sudah memburu seraya berkata: "Tuan, jika kau tidak mempunyai uang, aku bisa memberi suatu petunjuk dan tanggung kau bisa makan kenyang."

Ouw Hui mendongkol. Ia sudah hendak mem-buka mulut untuk mendamprat, tapi ia mengurung-kan niatnya dan manggutkan kepalanya.

"Kejadian ini mungkin tidak terjadi sekali dalam seratus tahun," kata si pelayan sembari tertawa. "Sebenarnya, untuk tuan bagus. Beberapa hari ber-selang, Ban Loo-kun-su (guru silat she Ban) telah meninggal dunia dan hari ini adalah hari sembah-yang Tauwcit (sembahyang tujuh hari)."

"Ada sangkut paut apakah hal itu dengan aku?" tanya Ouw Hui.

"Ada, ada sangkut pautnya yang sangat rapat," kata si pelayan yang lalu mengambil sepasang lilin

putih dan sebungkus hio dari atas meja. Sesudah menyerahkan kedua rupa barang itu kepada Ouw Hui, ia berkata pula: "Jika dari sini kau berjalan terus ke utara, belum cukup tiga lie, kau akan tiba di sebuah rumah besar yang dikelilingi beberapa ratus pohon hong. Rumah itu adalah Hong-yap-chung tempat tinggal Ban Loo-kun-su. Kau hanya perlu bersembahyang dan berlutut beberapa kali dan aku berani memastikan, bahwa kau akan bisa makan kenyang. Besok, di waktu mau berangkat, kau mengaku terus terang tidak punya ongkos dan aku merasa pasti, bahwa akan diberikan setail dua tail."

Mendengar kata-kata "Ban Loo-kun-su", Ouw Hui mengetahui, bahwa yang meninggal dunia ten-tulah juga seorang ternama dalam Rimba Persilat-an. Ia jadi merasa ketarik dan menanya: "Kenapa Hong-yap-chung begitu manis budi terhadap te-tamu?"

"Di Ouwlam selatan, siapakah yang tak me-ngenal Ban Loo-kun-su yang mempunyai pergaulan sangat luas?" jawabnya. Di waktu hidupnya, ia ge-mar bergaul dengan orang-orang gagah. Orang-orang seperti tuan yang tidak mengerti ilmu silat, bolehlah menarik sedikit keuntungan sesudah ia meninggal dunia."

Ouw Hui panas perutnya, tapi akhirnya ia jadi tertawa. "Terima kasih," katanya sembari menyoja. "Apakah orang-orang gagah dan sahabat-sahabat Ban Loo-kun-su akan datang berkunjung untuk menyatakan turut berduka cita?"

"Tentu saja," jawab si pelayan. "Dengan pergi ke situ, tuan akan memperoleh pengalaman ber-

harga dan akan mengenal banyak orang gagah."

Perkataan itu sangat penting artinya bagi Ouw Hui. Maka itu, dengan gembira, ia lalu berangkat dengan membawa lilin dan hio.

Sesuai dengan petunjuk pelayan itu, belum cu-kup tiga lie, Ouw Hui tiba di depan sebuah rumah besar yang dikitari pohon-pohon hong. Di depan rumah itu digantungkan teng putih, sedang di pintu dipasangkan muilie (tirai) dari kaianbelacu. Begitu Ouw Hui melangkah masuk, tambur dan pat-im (musik Tionghoa) lantas dibunyikan. Ruangan sem-bahyang sangat besar dan di sekitarnya digantung¬kan banyak sekali lian dan tiok.

Ia memasang hio dan berlutut di depan meja sembahyang. "Tak perduli siapakah kau ini, kau adalah seorang Cianpwee dari Rimba Persilatan," katanya di dalam hati. "Aku merasa, bahwa kau cukup kuat untuk menerima hormatku ini."

Selagi ia berlutut, tiga hauwlam (putera dari orang«yang meninggal) yang mengenakan pakaian kain belacu, juga turut berlutut untuk membalas hormatnya itu. Sesudah Ouw Hui berbangkit ketiga hauwlam itu lalu menyoja untuk menyatakan terima kasih mereka yang dibalas sebagaimana mestinya oleh Ouw Hui.

Dua di antara mereka berbadan kasar dan yang seorang lagi bertubuh kecil, sedang muka mereka berlainan satu dengan yang lain. "Tiga putera ini rasanya bukan dilahirkan oleh satu ibu," pikir Ouw

Hui.

Dalam ruangan tengah terdapat banyak sekali tamu, sebagian penduduk di situ dan sebagian pula orang-orang gagah dari Rimba Persilatan, Ouw Hui

menyapu dengan matanya dan dapat kenyataan, bahwa Hong Jin Eng dan si nona baju ungu tidak berada di situ.

Tidak lama kemudian, para tamu diundang un¬tuk bersantap. Kira-kira tujuh puluh meja dipasang di ruangan tengah dan di ruangan timur dan barat. Ouw Hui mengambil tempat duduknya di suatu pojok dan sembari makan, ia memperhatikan gerak-gerik para tamu itu. Orang-orang yang berusia tua kelihatannya berduka, tapi para tamu yang berusia muda kebanyakan bercakap-cakap dengan gembira.

Di lain saat, ia melihat di meja utama ketiga hauwlam sedang melayani dua orang perwira de¬ngan sikap menghormat. Ouw Hui agak terkejut karena kedua pembesar militer itu mengenakan seragam Gie-cian Sie-wie, tapi mereka bukan Ho Sie Ho atau kawannya. Selain mereka pada meja itu duduk juga tiga busu yang berusia lanjut.

Meskipun dari jarak jauh, dengan memusatkan perhatinnya, Ouw Hui dapat menangkap pembi-caraan di meja itu. Sesudah semua tamu mengambil tempat duduk, salah seorang hauwlam lalu berdiri sambil mengangkat cawan untuk menghaturkan te¬rima kasih, disusul oleh hauwlam ketiga.

Ouw Hui merasa heran sekali.

"Satu saja sudah cukup," bisik seorang muda yang duduk bersama-sama dengan Ouw Hui.

"Jika Ban Loo-kun-su mempunyai sepuluh pu¬tera, bukankah mereka akan menghaturkan terima kasih sepuluh kali?"

"Jika Ban Hoo Seng mempunyai seorang putera saja, ia tentu sudah kegirangan setengah mati," kata seorang busu yang berusia kira-kira empat puluh

tahun.

"Apa ketiga haulam itu bukan puteranya?" ta-nya si pemuda.

"Kalau begitu, saudara bukan sanak dan bukan kadang dari Ban Loo-kun-su," kata busu itu. "Sung-guh jarang ada orang yang mau datang di rumah kematian tanpa mengenal orang yang meninggal dunia."

Pemuda itu merah mukanya, ia menunduk tan-pa berkata suatu apa. Ouw Hui jadi geli. "Ah! Saudara ini seperti juga aku yang datang ke marL hanya untuk numpang makan," katanya di dalam hati.

"Aku merasa ada baiknya untuk memberi se-dikit keterangan kepadamu, supaya jika ditanya orang, kau tidak jadi gelagapan," kata busu itu. "Ban Loo-kun-su adalah seorang yang ternama dan kaya raya. Hanya sayang, ia tidak mempunyai anak. Ia mempunyai tiga orang murid. Yang berbadan kecil bernama Sun Hok Houw, murid kepalanya. Yang mukanya putih dan badannya kekar adalah murid-nya yang kedua, Oe-tie Lian namanya. Yang muka¬nya merah adalah Yo Peng, murid ketiga. Ketiga orang itu masing-masing telah mewarisi serupa ke-pandaian Ban Loo-kun-su dan mereka semua mem¬punyai ilmu silat yang lumayan. Hanya sayang, se-bagai orang-orang kasar, mereka tak begitu me¬ngenal adat istiadat. Sesudah si Toasuheng meng-haturkan terima kasih, dua yang lain masih merasa perlu untuk menghaturkan terima kasih lagi."

Busu itu tidak mengetahui, bahwa penghaturan terima kasih mereka bertiga mempunyai latar be-lakang lain.

Beberapa saat kemudian, di meja tamu sudah timbul pertengkaran antara tiga saudara seperguru-an itu. Asal mula percekcokan itu muncul dari perkataan salah seorang Gie-cian Sie-wie. Katanya, "Kami datang di sini atas perintah Hok Kongcu untuk mengundang Ban Loo-kun-su menghadiri perhimpunan para Ciangbunjin di kota raja, agar ilmu silat Siauw-lim Wie-to-bun jadi semakin ter-kenal. Hanya sayang Ban Loo-kun-su sudah keburu meninggal dunia."

Sesudah beberapa orang menghela napas, ka-wannya lalu menyambungi: "Meskipun Ban Loo-kun-su sudah meninggal dunia, tapi sebagai suatu partai besar, Wie-to-bun tentu akan segera mem¬punyai seorang Ciangbunjin baru. Siapakah yang akan mewarisi kedudukan itu?"

Ketiga saudara seperguruan itu saling meng-awasi tanpa mengeluarkan sepatah kata. Berselang beberapa saat, barulah Yo Peng, yang bermuka merah, berkata: "Suhu meninggal dunia karena ma-suk angin. Begitu kena, ia lantas pingsan dan tidak keburu meninggalkan pesan lagi."

"Beberapa paman guru bertempat tinggal di tempat jauh dan mereka belum diberi warta tentang meninggalnya Suhu," sambung Oe-tie Lian.

"Kalau begitu, soal mengangkat Ciangbun ma¬sih memerlukan tempo," kata Sie-wie itu. "Perhim¬punan Ciangbunjin akan diadakan pada bulan Peh-gwee, Tiongchiu, dari sekarang masih ada dua bulan lagi. Kami mengharap, partai tuan akan dapat mem-bereskan soal itu terlebih siang."

"Semenjak dulu, warisan orang tua diberikan kepada anak yang paling budiman atau anak yang

paling tua," celetuk seorang busu tua. "Jika Ban Loo-kun-su tidak meningalkan pesan, kedudukan Ciangbunjin haruslah diserahlah kepada Sun Su-heng." Sun Hok Houw tertawa, paras mukanya kelihatan girang sekali.

"Menyerahkan warisan kepada yang paling tua memang benar sekali," kata seorang busu lain. "Akan tetapi, meskipun Sun Suheng berguru lebih dulu, tapi jika dihitung usia, Oe-tie Suheng lebih tua setahun daripada Sun Suheng. Oe-tie Suheng adalah seorang yang berkepandaian tinggi dan sa-ngat bijaksana. Jika kedudukan Ciangbunjin dise-rahkan kepadanya, ia tentu akan mengangkat naik nama Siauw-lim Wie-to-bun, sehingga di alam baka, arwah Ban Loo-kun-su akan merasa terhibur."

Mendengar itu, Oe-tie Lian menyusut kedua matanya dengan ujung baju, seperti juga merasa sedih karena mengingat sang guru.

Baru saja perkataan itu habis diucapkan, busu ketiga menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali. "Tidak begitu," katanya. "Dalam keadaan biasa, aku sangat menyetujui pendapat itu. Tapi sekarang lain persoalannya. Dalam pertemuan di Pakkhia, berbagai Ciangbunjin tentu akan memperlihatkan kepandaiannya yang paling tinggi. Jika Ciangbunjin dari Wie-to-bun tak bisa bersaing dengan mereka, maka nama partai yang sudah gilang-gemilang se-lama beberapa ratus tahun, akan menjadi runtuh. Dari sebab itu, menurut pendapatku, kita haruslah mengangkat seorang Ciangbunjin yang mempunyai kepandaian paling tinggi dalam kalangan Wie-to-bun."

Beberapa orang lantas saja manggut-manggutkan

kepalanya dan mengiakan pendapat busu tua itu. "Ketiga Suheng adalah murid-murid Ban Loo-kun-su yang disayang dan masing-masing mempunyai kepandaian yang tinggi," kata lagi busu itu. Akan tetapi, jika dibanding-banding dan ditimbang-tim-bang, adalah Siauwsutee Yo Peng yang berkepan¬daian paling tinggi."

Busu pertama lantas saja mengeluarkan suara di hidung. "Hm! Belum tentu begitu," katanya. "Me¬nurut pelajaran ilmu silat, semakin lama seseorang berlatih, semakin tinggi kepandaiannya. Walaupun Yo Suheng adalah seorang yang berotak cerdas, akan tetapi dalam hal tenaga dalam ia masih kalah jauh dari Sun Suheng."

"Tapi aku berpendapat lain," kata busu kedua. "Dalam menghadapi lawan, yang paling penting adalah kecerdikan. Hal mengadu otak harus lebih diutamakan daripada mengadu tenaga. Aku adalah orang luar. Akan tetapi, jika aku harus bicara menurut perasaan hatiku, orang yang paling cerdik dan mempunyai paling banyak tipu daya adalah Oe-tie Suheng."

Demikianlah ketiga orang itu mulai berebut bicara. Bermula mereka masih sungkan-sungkan, tapi kemudian, sesudah ketiga-tiganya menjadi pa-nas, suara mereka jadi semakin keras dan aseran. Para tamu lantas saja berhenti makan minum untuk mendengarkan pertengkaran itu.

Di antara tamu-tamu, kira-kira seratus orang adalah anggota-anggota partai Wie-to-bun. Mereka itu sebagian besar adalah cucu-cucu murid Ban Loo-kun-su, sehingga dapat dimengerti, jika mas¬ing-masing menyokong gurunya sendiri. Demikian-

lah, tarik urat itu yang dimulai dengan bisik-bisik lantas saja berubah menjadi percekcokan hebat.

Sejumlah orang berusaha untuk meredakan suasana, tapi mana mereka bisa berhasil? Beberapa orang yang berdarah panas lantas saja menepuk-nepuk meja dan mencaci maki. Suasana sangat tegang. Sedang jenazah Ban Loo-kun-su masih be-lum dingin, murid-murid dan cucu muridnya sudah siap untuk bertempur.

Kedua Sie-wie itu tidak mengeluarkan sepatah kata. Mereka mengawasi meja sembahyang sembari mesem. Tapi, setelah keributan memuncak, seorang antaranya mendadak berdiri. "Saudara-saudara!" katanya dengan suara nyaring. "Harap dengarkan dulu kata-kataku."

Karena mengindahkan kedudukannya sebagai pembesar negeri, semua orang lantas saja menghen-tikan percekcokan mereka.

Kata Sie-wie itu: "Apa yang dikatakan oleh Loo-su ini cocok sekali dengan pendapatku. Me-mang juga, seorang pemimpin Wie-to-bun harus mempunyai ilmu silat yang paling tinggi. Bukankah saudara-saudara juga menyetujui pendapat ini?"

Para hadirin lantas saja manggut-manggutkan kepala dan mengiyakan atas pendapat Sie-wie itu. "Dalam ilmu silat, siapa tinggi, siapa rendah tak dapat diputuskan dengan omongan belaka," katanya pula. "Hal itu hanya dapat dipastikan dengan jalan mengadu kepandaian. Baik juga, Samwie (ketiga tuan) adalah saudara seperguruan, sehingga me-nang kalah tak akan merusak keakuran. Selain itu, menang kalah juga tak akan menurunkan derajat Wie-to-bun. Sekarang ini, menurut pendapatku,

jalan satu-satunya adalah Samwie coba pibu (adu silat) di hadapan lengwie (hiolow atau papan nama yang dipuja) Ban Loo-kun-su, agar dengan berkah roh beliau, soal Ciangbunjin bisa dapat dipastikan secara adil dan memuaskan semua pihak."

Usui itu diterima dengan sorak-sorai oleh para hadirin. Sejumlah orang berteriak-teriak untuk me-nyatakan persetujuannya.

Mendengar usulnya mendapat dukungan pe-nuh, paras muka Sie-wie itu jadi berseri-seri.

"Piebu di antara saudara seperguruan adalah kejadian yang lumrah saja," katanya pula. "Tapi sebelum Samwie mulai, lebih dulu aku ingin meng-ajukan suatu permintaan."

Antara ketiga orang itu, adalah Oe-tie Lian yang paling cerdik. "Katakan saja, Tayjin," katanya. "Kami bertiga tentu akan meluluskannya."

"Sesudah mendapat persetujuan, sekarang kita menetapkan, bahwa siapa yang ilmu silatnya paling tinggi, akan menjadi Ciangbunjin," kata Sie-wie itu. "Sesudah ada keputusan, semua pihak harus mene-rima dengan rela hati dan tidak boleh bertengkar lagi."

"Tentu saja, tentu saja," jawab mereka hampir berbareng.

Dalam ilmu silat ketiga Suhengtee (saudara seperguruan) masing-masing mempunyai kepandai¬an istimewa. Maka itu, biarpun mereka tidak berani memastikan akan mendapat kemenangan, setiap pihak merasa ungkulan untuk merubuhkan lawan-nya.

"Kalau begitu, marilah kita menyediakan suatu tempat yang cukup lebar di sini," kata lagi Sie-wie

itu.

Semua orang lantas saja repot menggeser meja kursi dan dalam sekejap, di depan meja sembahyang itu terbuka suatu kalangan luas yang sudah kosong. Sesaat itu, kecuali beberapa orang yang terus me-rabu makanan, hampir semua tetamu tak mem-punyai kegembiraan lagi untuk makan minum.

"Siapa yang maju lebih dulu?" tanya Sie-wie itu. "Apa Sun Toako dan Oe-tie Toako?"

"Baiklah," sahut Sun Hok Houw yang lantas saja menyambuti sebatang golok yang diangsurkan oleh seorang muridnya. Sesudah berlutut di depan meja sembahyang, ia memutarkan badan seraya berkata: "Oe-tie Sutee, hayolah!"

Oe-tie Lian adalah seorang licik. Ia merasa, bahwa jika ia bertempur dalam babak pertama, sesudah menang, ia masih harus melayani Suteenya. Jalan yang paling baik adalah membiarkan Suheng dan Suteenya bertempur lebih dulu dan kemudian, barulah ia turun tangan.

Memikir begitu, lantas saja ia menyoja seraya berkata: "Ilmu silatku tak bisa merendengi Suheng dan juga tak dapat menandingi Sutee. Sebenarnya, tak berani aku mengikuti pertandingan perebutan Ciangbunjin ini. Akan tetapi, untuk memenuhi pengharapan para Loo-su, apa boleh buat aku akan melayani Suheng dan Sutee untuk beberapa jurus saja. Sekarang, baiklah Yo Sutee yang maju terlebih

dulu."

Yo Peng adalah seorang yang tidak sabaran. Mendengar begitu, lantas saja ia berteriak: "Baik¬lah!" Sesudah mengambil golok dari tangan mu¬ridnya, dengan tindakan lebar ia masuk ke dalam

gelanggang. Tanpa memberi hormat dulu di ha-dapan meja sembahyang, lantas saja ia memasang kuda-kudanya.

Goloknya yang dicekal dengan tangan kanan. dilintangkan di pundak kiri, tangan kirinya ditekuk seperti gaetan, kaki kanannya berdiri tegak, sedang kaki kirinya sedikit dikeluarkan. Itulah pasangan Hu-kian-to (Golok melindungi pundak) dari Liok-hap To-hoat (Liok berarti enam, Hap berarti akur atau bersatu, tapi Liok-hap atau Enam bersatu bisa berarti juga seluruh jagat atau dunia To-hoat ber¬arti ilmu golok).

Dalam ilmu silat Siauw-lim Liok-hap mem-punyai arti yang seperti berikut:

Semangat, hawa dan jiwa dinamakan Lwee-sam-hap (Tiga hap dalam). Tangan, mata dan badan dinamakan Gwa-sam-hap (Tiga hap luar). Dalam ilmu silat Liok-hap, mata harus bersatu dengan hati, hati bersatu dengan hawa, hawa bersatu dengan badan, badan bersatu dengan tangan, tangan ber¬satu dengan kaki dan kaki bersatu dengan selang-kangan. Dengan demikian seluruh tubuh manusia, di dalam dan di luar, merupakan kesatuan yang bersatu padu (Liok-hap atau seluruh jagat).

Di antara para tetamu banyak terdapat ahli-ahli silat yang berkepandaian tinggi. Melihat pasangan Yo Peng yang teguh dan bersemangat, diam-diam mereka jadi memuji di dalam hati.

Di lain pihak, Sun Hok Houw pun sudah me¬masang kuda-kuda. Ia menyembunyikan goloknya di belakang lengan kanan, sedang tangan kirinya dilonjorkan ke depart. "Sutee, hayolah!" ia meng-undang.

Busu setengah tua itu yang duduk semeja de-ngan Ouw Hui, agaknya ingin memperlihatkan pe-ngetahuannya mengenai ilmu silat. la berpaling kepada si pemuda seraya berkata: "Kalau kita ingin menilai kepandaian orang, perhatikanlah tangan-nya jika orang itu bersenjatakan golok tunggal dan perhatikanlah kakinya, jika ia menggunakan se-pasang golok. Seorang yang menggunakan golok tunggal, mencekal senjatanya dengan tangan kanan dan tangan kirinya kosong. Dengan memperhatikan gerakan dan pukulan tangan kirinya, dapatlah kita menilai ilmu goloknya. Coba lihat pasangan tangan kiri Sun Suheng. Sikapnya membela diri itu me-ngandung unsur-unsur persiapan serangan. Sung-guh hebat tenaga dalamnya."

Mendengar keterangan itu, tanpa merasa Ouw Hui manggut-manggutkan kepalanya.

Selagi si busu berbicara, kedua Suhengtee itu sudah mulai bergebrak. Pukulan dibalas dengan serangan, golok beradu depan golok. Sesudah mengawasi beberapa saat, busu setengah tua itu berkata pula: "Hm! Mereka mempergunakan enam huruf dari teori ilmu golok, yaitu Tian, Mo, Kauw, Kan, Pek dan Tok. Gerakan mereka tepat sekali." "Apakah artinya itu?" tanya si pemuda yang duduk di samping Ouw Hui.

"Mata golok menghadap ke luar dinamakan Tian," si busu menerangkan. "Menghadap ke dalam dinamakan Mo. Membengkokkan gerakan golok ada-lah Kauw, menyabet di sebelah atas adalah Kan, menebas ke bawah dengan menggunakan kedua tangan adalah Pek, sedang memapas ke bawah dinamakan Tok."

Pemuda itu yang tidak mengerti ilmu silat, ha-nya mengangguk dan terus menonton pertempuran yang sedang berlangsung itu.

Meskipun Ouw Hui mahir dalam ilmu golok, tapi dalam kitab warisan leluhurnya tidak dapat catatan tentang perbedaan-perbedaan teknis yang begitu kecil. Apa yang tertulis dalam kitab itu hanyalah pukulan-pukulan untuk membela diri dan merubuhkan musuh. Maka itu, keterangan busu tersebut sedikit banyak sudah menambah juga pe-ngetahuannya.

Semakin lama kedua Suhengtee itu bertempur semakin seru. Sun Hok Houw menang setingkat dalam hal kegesitan, sedang Yo Peng lebih unggul dalam hal tenaga. Dengan adanya perimbangan tersebut, untuk sementara belum ada yang keteter.

Selagi semua orang memusatkan perhatiannya ke gelanggang pertandingan, dari luar mendadak masuk seorang yang lantas saja berkata dengan suara nyaring. "Kenapa ilmu golok Wie-to-bun di-pertunjukkan secara begitu tolol? Hayo, berhenti! Bikin malu saja, kau!"

Sun Hok Houw dan Yo Peng terkejut, hampir berbareng mereka melompat mundur. Orang yang berkata begitu adalah seorang wanita muda yang mengenakan baju warna ungu dan bertubuh lang-sing kecil. Ouw Hui lantas saja mengenali, bahwa ia itu bukan lain daripada si nona yang menunggang kuda bulu putih. Dan apa yang mengagetkan Ouw Hui, bungkusan yang menggemblok di punggung wanita itu adalah bungkusannya sendiri yang hilang di rumah makan. Nona itu bermuka potongan kwaci, kedua alisnya panjang dan melengkung, kulitnya

agak hitam, tapi halus dan bening dan dalam kese-luruhannya, ia adalah seorang wanita yang cantik

sekali.

Ouw Hui terperanjat. "Usia wanita itu kira-kira bersamaan dengan aku," katanya di dalam hatinya. "Apakah benar-benar ia mempunyai ilmu silat yang begitu tinggi, sehingga ia bisa memungut buntalan-ku, tanpa aku merasa?"

Mendengar kata-kata yang sombong itu, Sun Hok Houw dan Yo Peng lantas saja menjadi gusar. Tapi mereka tercengang ketika mengetahui, bahwa yang berkata begitu adalah seorang wanita muda. Mereka terpaku dan tak dapat mengeluarkan se-patah kata.

"Dalam menggunakan Liok-hap To-hoat, orang harus memperhatikan empat huruf Hie-sit-kiauw-tah. (Memukul dengan kecerdikan)." kata pula si nona. "Tapi kamu menghantam kalang kabut seperti kerbau edan. Apakah itu ilmu silat Wie-to-bun? Apa itu Liok-hap To-hoat? Hm! Aku tak nyana, Ban Loo-kun-su yang namanya begitu cemerlang, mempunyai murid-murid begitu tolol seperti kamu." Jika yang mengucapkan kata-kata itu seorang lelaki, Sun Hok Houw dan Yo Peng tentu sudah turun tangan. Tapi mereka merasa sungkan untuk menyerang seorang wanita yang kelihatannya be¬gitu lemah. Ada satu hal yang mereka tidak habis mengerti. Hie-sit-kiauw-tah memang benar adalah Kouwkoat (teori) dari Liok-hap To-hoat. Dari mana si nona mendapat empat huruf itu?

Sementara itu, Oe-tie Lian sudah maju meng-hampiri dan menanya sembari merangkap kedua tangannya "Bolehkah aku mendengar she dan nama

nona yang mulia?"

Wanita itu mengeluarkan suara di hidung, ia tidak menjawab pertanyaan orang.

"Hari ini, di hadapan meja abu mendiang guru kami, partai kami ingin memilih seorang Cianbung-jin baru," kata pula Oe-tie Lian. "Jika nona senang, boleh nona turut menonton." Ia mengangsurkan tangannya sebagai undangan supaya wanita itu mengambil tempat duduk.

Kedua alis nona itu agak berdiri. "Siauw-lim Wie-to-bun adalah suatu partai kenamaan dalam Rimba Persilatan," katanya dengan suara nyaring. "Dengan memilih Ciangbun dari antara orang-orang semacam ini, bukankah hanya akan menjatuhkan nama besar Bu-siang Thaysu?"

Mendengar kata-kata itu, beberapa ahli silat dari tingkatan tua jadi terkejut. Bu-siang Thaysu adalah seorang paderi berilmu, seorang yang telah mempelajari Liok-hap Kun-hoat, Couwsu (kakek guru) yang telah mendirikan partai Wie-to-bun.

"Cianpwee manakah yang sudah menyuruh nona datang ke mari?" tanya pula Oe-tie Lian sembari merangkap kedua tangannya. "Ada petunjuk apa¬kah yang nona hendak berikan kepada partai kami?" Sedang Oe-tie Lian masih dapat berbicara manis-manis, adalah Sun Hok Houw dan Yo Peng yang sudah merasa mendongkol sekali.

Mereka belum berani memperlihatkan kegu-sarannya, karena kata-kata nona itu benar-benar sangat mengejutkan.

"Aku senang datang, aku datang," jawab nona itu dengan suara dingin. "Perlu apa mesti mendapat perintah orang? Aku dan Wie-to-bun masih ada

sangkut pautnya dan karena melihat terjadinya ke-kacauan, terpaksa aku mesti datang untuk me-ngeluarkan sepatah dua patah."

Sampai di situ, Yo Peng tak dapat menahan sabar lagi. "Ada hubungan apa antara kau dan Wie-to-bun?" ia membentak. "Kami sedang meng-urus urusan penting, harap kau suka minggir dan jangan menjadi rintangan." Ia berpaling kepada Sun Hok Houw dan melanjutkan perkataannya: "Toasu-heng, marilah kita mulai lagi." Sembari berkata begitu, ia menggeser kaki kirinya ke depan, go-loknya dilintangkan di pinggang dan segera ber-gerak untuk membuka serangan.

"Itulah pukulan Mo-sin-lan-yauw-cam (Meraba badan menebas pinggang)," kata si nona. "Tapi tindakanmu yang seharusnya enteng terlalu berat, sedang tindakan yang seharusnya berat, tak cukup teguh. Sorot kedua matamu tidak mengawasi lawan secara langsung, tapi melirik ke arahku. Salah! Semua salah!"

Tiga murid Ban Loo-kun-su itu tercengang bu-kan main. Perkataan si nona tiada bedanya dengan perkataan mendiang guru mereka jika sedang meng-ajar silat. Apakah benar-benar ia paham Liok-hap

To-hoat?

Selagi nona itu bicara dengan Oe-tie Lian, Sie-wie yang duduk di meja utama, tidak menge-luarkan sepatah kata. Tapi sekarang ia membuka

mulut.

"Untuk apa nona datang ke sini?" tanyanya.

"Siapakah gurumu?"

Sebaliknya dari menjawab pertanyaan itu, ia berbalik menanya: "Bukankah sekarang Siauw-lim

Wie-to-bun sedang memilih Ciangbunjin?"

"Benar," jawab Sie-wie itu.

"Asal orang separtai, siapa juga boleh turut dalam perebutan ini, bukan?" tanya pula si nona.

"Tak salah," jawabnya.

"Aku datang untuk merebut kursi Ciangbunjin!"

Melihat paras nona itu yang sungguh-sungguh, semua orang jadi terkejut. Melihat kecantikannya itu, dalam hati Sie-wie itu lantas saja timbul rasa sayang dan oleh karena itu, ia segera berkata: "Jika nona mengerti ilmu silat, biarlah sebentar kau mem-pertunjukkan kepandaianmu supaya kita bisa me-nambah pengalaman. Tapi sekarang, biarkanlah mereka bertiga menguji kepandaian dulu. Apakah nona setuju?"

Si nona mengeluarkan suara di hidung dan berkata: "Mereka tak usah bertempur lagi. Satu persatu lawan aku." Sehabis berkata begitu, ia ber¬paling kepada seorang murid Wie-to-bun dan ber¬kata: "Coba kasih aku meminjam golokmu."

Si baju ungu berwajah cantik, bertubuh kecil dan lemah lembut gerak-geriknya, tapi suara dan sikapnya mempunyai semacam pengaruh yang sukar dilawan orang. Murid itu sangsi sejenak, tapi akhir-nya ia mengangsurkan juga goloknya, hanya ber-beda dari kebiasaan, ia tidak membalik senjata itu dan mengangsurkan ujungnya ke arah si nona. Si baju ungu segera mementang dua jerijinya yang kecil lancip dan menjepit belakang golok itu yang lalu diambilnya dengan suatu gerakan yang indah sekali.

"Apakah dua orang akan maju berbareng?" ta¬nyanya dengan suara dingin.

Yo Peng adalah seorang kasar yang biasanya memandang rendah kepada kaum wanita. Ia meng-anggap lelaki tidak pantas bertempur dengan se¬orang perempuan. Lebih lagi, sesudah melihat lagak si baju ungu yang otak-otakan, ia merasa lebih baik jangan meladeni wanita itu. Demikianlah, sembari menenteng goloknya, ia mengundurkan diri dari gelanggang seraya berkata: "Toasuko, biar kau saja yang mengusir dia!"

Sun Hok Houw juga tengah bersangsi. "Tidak... tidak..." katanya. Belum habis ia mengucapkan perkataannya, si nona sudah membuka serangan seraya berseru: "Yan-cu-lik-sui (Walet mengebas air)!" Tangan kirinya yang ditekuk seperti gaetan melindungi pergelangan tangan kanannya, goloknya menyontek ke atas dari bawah, sedang tubuhnya agak mendoyong ke belakang. Itulah salah satu pukulan hebat dari Liok-hap To-hoat! Sun Hok Houw tidak menduga, bahwa nona itu bisa menyerang secara begitu cepat, tapi sebagai orang yang sudah berlatih dua puluh tahun lebih, dengan mudah ia dapat memunahkan serangan itu dan membalas dengan pukulan Kim-so-tui-tee (Kunci emas jatuh di tanah).

"Kwan-peng-hian-in (Kwan Peng mempersem-bahkan cap kebesaran)!" seru pula nona itu, sembari membalikkan golok yang lalu diacungkan ke atas. Menurut kebiasaan, Sesudah Yan-cu-liak-sui, yaitu pukulan dari bawah menyontek ke atas, orang tidak dapat menggunakan Kwan-peng-hian-in, serupa pukulan yang juga bergerak dari bawah ke atas. Di luar dugaan, dengan miringkan sedikit badannya, dapat juga ia menggunakan pukulan tersebut dan

goloknya menyambar ke kepala lawan. Sun Hok Houw terkesiap, buru-buru ia menunduk untuk menolong kepalanya.

"Hong-hong-hian-o (Burung Hong pulang ke sarang)!" teriak pula si baju ungu, tangan kirinya menyambar dan menghantam pergelangan tangan orang, sedang goloknya menebas dari atas ke bawah.

Trang! golok Sun Hok Houw terlempar di atas lantai dan golok si nona menyambar ke lehernya yang sudah tidak terjaga lagi!

"Ah!" beberapa orang mengeluarkan teriakan tertahan. Mereka merasa bahwa kepala Sun Hok Houw akan segera jatuh menggelinding, karena golok itu tengah menyambar dengan kecepatan luar biasa. Tapi, pada detik yang terakhir, yaitu pada waktu mata golok tiba menempel di leher Sun Hok Houw, si nona menahan gerakan senjatanya!

Jantung Ouw Hui memukul keras. Ia menge-tahui, bahwa merubuhkan Sun Hok Houw dalam tiga jurus, bukan satu pekerjaan sukar. Akan tetapi, menahan jalannya golok yang sedang menyambar bagaikan kilat dan apalagi menahan secara begitu tepat, adalah di luar kemampuannya sendiri.

Di lain pihak, Sun Hok Houw membungkuk sembari menunduk, sehingga hampir-hampir jang-gutnya menyentuh tanah. Tapi golok si nona meng-ikuti terus, sehingga biarpun ia mempunyai kepan-daian yang tinggi, dengan mata golok ditandalkan di lehernya, ia tak bergerak lagi.

Si baju ungu kemudian menyapu seluruh ruang-an dengan matanya dan menarik pulang senjatanya.

"Apakah kau pernah mempelajari Hong-hong-hian-o?" tanyanya.

"Sudah," jawab Sun Hok Houw dengan menun-duk. Entah berapa ribu kali ia sudah berlatih dengan pukulan itu, tapi ia sama sekali tidak mendusin, bahwa Hong-hong-hian-o dapat digunakan secara demikian. Dengan perasaan sangsi, bingung dan malu, sambil menenteng golok, ia berjalan ke luar dari gelanggang.

Melihat kakak seperguruannya dirubuhkan da¬lam tiga jurus, Yo Peng jadi bercuriga. "Apakah ini bukan akal bulus Toasuheng?" tanyanya di dalam hatinya. "Apakah tak mungkin, untuk merebut Ciang-bun, ia sengaja bersekutu dengan perempuan itu?"

Memikir begitu, lantas saja ia menanya: "Toa-suko, aku heran sekali, kenapa dalam tiga jurus saja, kau sudah mengalah. Apakah artinya ini? Apakah kau sudah tidak memperdulikan lagi derajat Wie-

to-bun?"

Sun Hok Houw yang belum pulang semangat-nya dan malah ia sendiri tidak mengerti, kenapa sudah kena dijatuhkan dalam tiga jurus saja, men-jadi lebih bingung ketika mendengar pertanyaan

Suteenya.

"Aku... aku..." jawabnya, tergugu dan terputus-

putus.

"Aku kenapa?" bentak Yo Peng dengan suara gusar. Sembari mencekal golok, ia loncat dan me-nuding, seraya berteriak: "Kau...."

Baru saja sepatah perkataan itu ke luar dari mulutnya, suatu sinar putih berkelebat dan golok si baju ungu sudah menyambar dari bawah ke atas. Gerakan itu luar biasa cepatnya dan dalam kaget-nya, Yo Peng merasa, bahwa ia diserang dengan pukulan Yan-cu-liak-sui. Secara otomatis, ia meno-

long diri dengan Kim-so-tui-tee, suatu pukulan yang ia mahir sekali. Sebelum kedua golok itu kebentrok. golok si nona kembali berkelebat dan menyabet ke atas dengan gerakan Kwan-peng-hian-in. Yo Peng terkesiap dan tanpa merasa, ia berteriak: "Hong-hong-hian-o!" Hampir berbareng dengan teriakan-nya, tangannya sudah kesemutan, goloknya jatuh dan lehernya sudah ditandalkan golok!

Demikianlah, si baju ungu telah menggunakan tiga pukulan yang sama untuk merubuhkan Yo Peng. Perbedaannya adalah : Tempo yang diguna-kannya untuk menjatuhkan Yo Peng ada lebih pendek daripada waktu merubuhkan Sun Hok Houw.

"Kau menyerah?" tanya nona itu dengan suara dingin.

Darah Yo Peng mendidih. "Tidak!" ia berteriak sekuat suaranya.

Si baju ungu menekan sedikit senjatanya ke leher orang, tapi Yo Peng ternyata sangat berkepala batu. "Biar kepalaku ditebas tak akan aku me¬nyerah," katanya. Sebaliknya dari menunduk, ia mengangkat kepalanya, sehingga nona itu yang me-mang tidak ingin mencelakakan dia, lantas saja mengangkat goloknya.

"Dengan cara apa baru kau mau menyerah?" tanyanya.

"Dalam ilmu golok, seperti juga dia mempunyai ilmu siluman," pikir Yo Peng. "Dalam ilmu silat yang sesungguhnya, belum tentu aku kalah." Memikir begitu, lantas saja ia menyahut: "Jika kau mem¬punyai nyali, mari kita bertempur dengan meng¬gunakan tombak."

"Hong-hong-hlan-o!" berterlak Yo Peng dengan terkejut. Belum habis teriakannya, pergelangan tangannya kese-mutan dan goloknya jatuh dl atas lantal. Dalam tiga Jurus, ia sudah dirubuhkan oleh si baju ungu.

"Baiklah," sahut nona itu sembari melemparkan goloknya kepada murid Wie-to-bun yang tadi me-minjamkannya. "Aku justru ingin menyaksikan, sampai di mana kau sudah berlatih dengan Liok-hap Ciang-hoat (Ilmu tombak Liok-hap)."

Dalam gusarnya, muka Yo Peng yang memang berwarna merah, jadi berubah ungu.

"Ambil tombak, lekas!" ia berteriak.

Seorang muridnya segera pergi ke Lian-bu-teng (ruangan tempat berlatih ilmu silat) dan kembali lagi dengan membawa sebatang tombak. Yo Peng adalah seorang yang adatnya berapi. Tanpa berkata suatu apa, ia menggampar dan berteriak: "Perem-puan itu mau bertempur dengan aku dengan meng-gunakan tombak. Kau dengar tidak? Kenapa hanya mengambil satu?"

Murid itu yang kepalanya pusing dan matanya berkunang-kunang, jadi gelagapan. Seorang murid lain yang khawatir sang guru akan memukul lagi, buru-buru menyelak seraya berkata: "Biarlah aku saja yang mengambilnya." Ia berlari-lari dan kembali dengan membawa sebatang tombak lain, yang lalu diserahkan kepada si nona.

Begitu menyambuti, ia menikam sembari ber-seru: "Jagalah!" Pukulan yang digunakannya adalah Su-ie-peng-hok (Empat suku bangsa menakluk), semacam pukulan yang paling lihay dalam Liok-hap Ciang-hoat dan dianggap sebagai pukulan utama dari Jie-cap-sie-sit (Dua puluh empat macam pu¬kulan). Ilmu tombak itu juga dikenal sebagai Tiong-peng Ciang-hoat.

Walaupun Ouw Hui berkepandaian sangat ting-gi, tapi apa yang ia pelajari hanyalah ilmu golok dan

ilmu silat tangan kosong. Ilmu menggunakan sen-jata lain, tak begitu dikenalnya. Maka itu ia lantas saja melirik si busu setengah tua dengan sorot mata minta petunjuk.

Sebenarnya, busu itu hanya memiliki kepan-daian yang tidak seberapa. Tapi, berkat pergaulan-nya yang lama dengan Ban Loo-kun-su, ia mengenal banyak sekali ilmu silat Liok-hap. maka itu, begitu melihat sorot matanya Ouw Hui, lantas saja ia berkata: "Tiong-peng-ciang adalah raja ilmu tom-bak. Tinggi, rendah, jauh, dekat, tak menjadi soal... perginya bagaikan anak panah... datangnya bagai-kan benang...." Apa yang dikatakan olehnya adalah Ko-koat (teori ilmu silat yang disusun seperti sajak) dari ilmu tombak Tiong-peng-ciang. Belum habis ia menghafal Ko-koat itu, untuk menyambut serangan Yo Peng, nona itu menekan ke bawah dengan ujung tombaknya.

"Itulah pukulan Bie-jin-jin-ciam (Wanita cantik mengenali jarum)," kata busu itu. "Pukulan itu ada¬lah pukulan biasa saja. Mungkin sekali, ia tak akan dapat menandingi kepandaian Yo Suheng...."

Tiba-tiba, wanita itu berjongkok dan ujung tom¬baknya berhasil menindih senjata Yo Peng. Itulah pukulan Leng-niauw-po-cie (kucing sakti mener-kam tikus) dari Ciang-hoat. Pukulan tersebut juga dikenal sebagai Bu-tiong-seng-yu-ciang, yang ber-arti, bahwa pukulan yang "kosong" dengan men-dadak bisa berubah menjadi pukulan yang lihay.

Demikianlah, dalam tiga jurus saja, Yo Peng sudah kena ditindih. Dengan sekuat tenaganya, ia berontak dari tekanan lawan. Nona itu menyontek dengan senjatanya dan... "tak!" kepala tombak Yo

Peng patah dan jatuh di atas lantai. Bagaikan kilat, tombak itu berkelebat dan menuding kempungan Yo Peng. "Bagaimana?" tanya si nona dengan suara perlahan.

Muka Yo Peng yang tadi ungu, sekarang ber¬ubah menjadi pucat pias. "Sudahlah! Sudahlah!" ia berseru sembari melemparkan gagang tombaknya dan segera berjalan ke luar dengan tindakan lebar.

"Suhu! Suhu!" panggil salah seorang muridnya sembari mengejar. Begitu si murid datang dekat, ia berbalik dan menendang, sehingga murid itu rubuh terjungkal, dan kemudian, tanpa menengok lagi, ia berlari-lari ke luar pintu.

Para hadirin, tanpa terkecuali, merasa kaget dan kagum. Ilmu silat yang digunakan oleh wanita itu, adalah ilmu silat Wie-to-bun tulen. Sun Hok Houw dan Yo Peng adalah jago-jago partai ter¬sebut, tapi mereka berdua, baik menggunakan go-lok maupun tombak, sudah dirubuhkan dalam hanya tiga jurus. Itulah suatu kejadian yang benar-benar tak dapat dimengerti, tapi benar juga sudah terjadi.

Sekarang adalah giliran Oe-tie Lian yang maju ke depan sambil merangkap kedua tangannya. "Ilmu silat nona memang luar biasa tingginya," katanya. "Aku mengetahui, bahwa diriku bukan tandingan-mu, tapi...."

Alis nona itu mengkerut. "Kau terlalu rewel." katanya dengan suara tawar. "Aku tak sabar men-dengarkan ucapan yang panjang lebar. Jika kau menyerah di mulut dan menyerah di hati, lekaslah menyatakan sokonganmu kepadaku untuk menjadi Ciangbun. Jika kau penasaran, hayolah kita bertem-pur."

Muka Oe-tie Lian jadi bersemu merah. "Perem-puan ini hebat tangannya, hebat juga mulutnya," katanya di dalam hati. Tapi ia dapat menahan sabar dan lantas saja berkata: "Suheng dan Suteeku sudah rubuh dalam tanganmu. Maka itu, tak dapat tidak, aku harus juga mempersembahkan ketidakbe-cusanku...."

"Baiklah," si nona memotong perkataan orang. "Senjata apa yang kau ingin menggunakannya?"

Kata Oe-ti Lian: "Semenjak dulu, Wie-to-bun terkenal dalam ilmu silat tangan kosong, ilmu golok dan ilmu tombaknya...."

Baru saja ia berkata sampai di situ, si nona sudah melemparkan tombaknya. "Baik," katanya. "Kau tentu ingin bertempur dengan tangan kosong. Hayo!"

"Kita boleh tak usah mencoba lagi dalam Liok-hap-kun yang tulen," kata Oe-ti Lian. "Aku pasti tak bisa mengalahkan nona. Jika mungkin, aku ingin sekali memohon pengajaran dalam Cek-ko...."

Paras muka wanita itu lantas berubah tidak senang. "Hm!" ia mengeluarkan suara di hidung. "Kalau begitu, kau mahir sekali dalam Cek-ko Lian-kun. Bolehlah!" Hampir berbareng dengan per-kataannya, ia menebas tulang pundak Oe-ti Lian dengan tangan kanannya.

Cek-ko Lian-kun adalah salah satu ilmu silat Wie-to-bun. Ilmu itu, yang mengambil Liok-hap-kun sebagai pokoknya, agak mirip dengan Kauw-kun (Ilmu silat kera). Pukulan-pukulannya terdiri dari serentetan Siauw-kin-na-chiu-hoat, yaitu ilmu menangkap dan mencengkeram seperti jujitsu bang-sa Jepang. Setiap gerak serangan, jika bukan me-

nangkap, mencengkeram, menggaet atau mengunci, tentulah menotok jalan darah. Sesudah menyak-sikan kelihayan nona itu dalam ilmu golok dan tombak, Oe-ti Lian merasa, bahwa kemungkinan satu-satunya untuk memperoleh kemenangan ada¬lah bertempur dengan ilmu Cek-kok Lian-kun. Ia menganggap, bahwa meskipun lihay, sebagai se-orang wanita, tenaga si nona tentu tidak seberapa. Di samping itu, dalam pertempuran dengan meng-gunakan Cek-ko Lian-kun yang mirip dengan orang bergulat, si nona tentu akan merasa kikuk dan kekikukan itu akan memungkinkan ia mendapat kemenangan.

Wanita itu agaknya sudah dapat rnembaca jalan pikiran Oe-ti Lian, maka begitu bergerak, ia me¬nebas dengan telapakan tangannya. Oe-ti Lian me-nyampok dengan tangan kirinya, yang ingin di-teruskannya untuk menotok jalan darah Kian-ceng-hiat, sesudah berhasil menangkis pukulan itu. Tapi, sebelum tangannya beradu dengan tangan lawan, si nona mendadak membalikkan telapak tangannya dan sebuah jerijinya sudah menyambar ke kiri, ke arah jalan darah Jin-tiong-hiat.

Oe-ti Lian girang melihat munculnya kesem-patan baik ini. Sembari mencoba menangkap de¬ngan tangan kanannya, tangan kirinya coba me-meluk pinggang orang. Tapi, secara tidak diduga-duga, kaki kanan si nona mendadak menyepak dan hampir berbareng dengan itu, Oe-ti Lian terpental jauh, akan kemudian jatuh ngusruk di atas lantai cimche, dengan janggut berlumuran darah. Serang¬an si nona, adalah salah satu tipu Cek-ko Lian-kun dan ia sudah berhasil merubuhlcan lawannya, tanpa

badannya sendiri kena ditowel. Demikianlah, antara tiga saudara seperguruan, Oe-ti Lian yang men-derita paling hebat.

Melihat lihaynya nona itu, Sie-wie yang duduk di meja utama, menjadi girang bukan main. la menuang secawan arak dan dengan sikap meng-hormat, mengangsurkan cawan itu kepada si baju ungu. "Sungguh tinggi kepandaian nona," ia memuji. "Andaikata Ban Loo-kun-su hidup kembali, belum tentu ia dapat memperlihatkan ilmu yang sedemi-kian tingginya. Hari ini, nona mewarisi kedudukan Ciangbun dan kejadian ini benar-benar suatu ke-jadian yang menggirangkan untuk Wie-to-bun. Maka itu, dengan menggunakan kesempatan ini, aku ingin menghaturkan selamat."

Si nona menyambuti cawan arak itu, tapi baru saja ia mengangkatnya untuk dicegluk, di suatu pojok mendadak terdengar suara aneh. "Apa nona itu benar-benar anggota Wie-to-bun?" kata suara itu. "Aku rasa bukan."

Si baju ungu menyapu seluruh ruangan dengan matanya yang tajam, tapi ia tak bisa mengetahui, siapa yang sudah mengeluarkan kata-kata itu. "Sia-pa yang penasaran, boleh maju saja," katanya de¬ngan suara dingin.

Sesaat itu, seluruh ruangan menjadi sunyi se-nyap.

"Sebagaimana sudah ditetapkan terlebih dulu, kedudukan Ciangbun akan diserahkan kepada orang yang berkepandaian paling tinggi," kata Sie-wie itu. "Semua orang sudah menyaksikan, bahwa ilmu silat yang diperlihatkan oleh nona itu, adalah ilmu silat Liok-hap-pay tulen. Baik dalam ilmu

golok, ilmu tombak, maupun ilmu silat dengan ta-ngan kosong, nona itu sudah menggunakan pu-kulan-pukulan dari Liok-hap-pay. Maka itu, me-nurut pendapatku, sekarang kita tidak bisa me-nyangsikannya pula. Andaikata di antara saudara-saudara anggota Wie-to-bun ada yang masih merasa penasaran, sekalian boleh turun ke dalam gelang-gang untuk mencobanya. Atas perintah Hok Kong-cu aku mengunjungi berbagai tempat untuk meng-undang jago-jago di seluruh negeri, guna meng-adakan pertemuan di kota raja. Semakin tinggi kepandaian orang yang diundang olehku, semakin terang mukaku. Dalam hal ini, sama sekali tidak ada soal memilih kasih." Sesudah berkata begitu, ia lantas tertawa terbahak-bahak.

Ia menunggu beberapa saat dan setelah tak ada yang menyahut, ia segera berkata pula: "Jika kalian tidak mempunyai pendapat lain, maka kedudukan Ciangbun dengan sewajarnya harus diserahkan ke¬pada nona itu. Dalam Rimba Persilatan, aku sudah mengenal banyak juga orang gagah dan Ciang-bunjin. Tapi, sebegitu jauh, belum pernah aku ber-temu dengan seorang Ciangbunjin yang begitu muda, yang begitu cantik... he-he... seperti si nona. Inilah yang dikatakan: Enghiong muncul dari ka-langan orang muda, seorang pandai tak perlu ber-usia tua. Aha! Aku sudah bicara panjang lebar, tapi belum mengetahui she dan nama nona yang mulia."

Nona itu kelihatan sangsi sejenak. Selagi ia mau membuka mulut, Sie-wie itu sudah berkata pula: "Hari ini, di antara sepuluh, ada delapan atau sem-bilan murid Wie-to-bun yang hadir dalam ruangan ini. Sebentar lagi, mereka harus memberi hormat

kepada Ciangbunjin yang baru dan oleh karenanya, mereka harus mengetahui nama nona."

Si baju ungu manggutkan kepalanya seraya ber-kata: "Benar. Aku she Wan... namaku Cie Ie."

Sie-wie itu adalah seorang yang berpengalam-an. Melihat sikap nona tersebut yang agak sangsi, ia lantas saja menduga, bahwa "Cie Ie" bukan nama yang benar. "Cie Ie" berarti "Baju Ungu", yaitu baju yang sedang dipakainya. Tapi, sebagai seorang ber-pengalaman, ia pun tak mau usilan. "Nona Wan," katanya sembari tertawa. "Duduklah di sini. Meja utama ini haruslah diserahkan kepadamu."

Pangkat Sie-wie adalah pangkat militer yang tidak kecil di kota raja. Di samping itu, ia juga merupakan tamu terhormat dari Wie-to-bun. Ka-rena begitu, menurut kepantasan, walaupun se-bentar Wan Cie Ie sudah menerima kedudukan Ciangbun, ia harus duduk di kursi yang paling buntut untuk menemaninya. Tapi, beda dari ke-biasaan, begitu Sie-wie tersebut bangun dari kur-sinya, tanpa sungkan-sungkan si nona lantas duduk di kursi utama itu. Sekonyong-konyong dalam ruangan itu terdengar suara tangisan! Sembari me-nangis, orang itu berkata: "Wie-to-bun pernah men-jagoi di seluruh dunia. Kenapa sekarang begitu rendah dan dapat di hina seorang bocah perempuah yang masih berbau susu? Sungguh menyedihkan! Hu-hu-hu!" Didengar dari suaranya, tangisan itu adalah tangisan sungguh-sungguh dan sama sekali bukan ejekan.

"Hei!" teriak Wan Cie Ie. "Kau kata, aku masih berbau susu. Hayo ke luar! Mari kita lihat siapa yang berkepandaian lebih tinggi!" Sekarang ia sudah



mengetahui, bahwa orang yang berkata begitu, ada¬lah seorang tua yang berusia kira-kira enam puluh tahun, badannya kurus kering, kepalanya ditutup dengan topi kecil, thaucangnya kecil dan rambutnya sudah hampir putih semua, mendekam di atas meja dan menangis sedih sekali.

"Ah, Ban Ho Seng! Ban Ho Seng!" ia mengulun. "Orang kata, biar mati hidup kembali, tak dapat kau menandingi nona yang begitu muda. Benar-benar, enghiong ke luar dari kalangan orang muda. Ah, Ban Ho Seng!"

Tak usah diterangkan lagi, kata-katanya yang terakhir merupakan sindiran untuk Sie-wie itu dan beberapa orang lantas saja jadi tertawa.

Sementara itu, sembari menangis, si tua sudah berkata pula: "Dalam Rimba Persilatan, tak sedikit aku sudah menemui orang-orang gagah dari ber-bagai partai. Akan tetapi, belum pernah aku ber-temu dengan seorang paduka pembesar negeri yang begitu tak mengenal malu!"

Kata-kata itu adalah tantangan terang-terang-an. "Tua bangka!" teriak Sie-wie itu yang sudah tak dapat menahan sabar lagi. "Jika kau mempunyai nyali, ke luar! Jangan kau sembunyi saja seperti kura-kura!"

Orang tua itu tak meladeni, ia menangis terus. "Aku menerima perintah dari Giam-loo-ong untuk mengundang paduka-paduka pembesar negeri ke dunia baka, guna menghadiri pertemuan besar," katanya. "Semakin tinggi pangkat orang yang datang atas undanganku, semakin terang mukaku ini."

Mendadak Sie-wie itu meloncat bangun dan memburu ke pojok ruangan. Sesudah mengirimkan

WU HD fiU/A TfliN IIIM 7 ft Si

pukulan gertakan dengan tangan kirinya, ia men-cengkeram leher orang tua itu dengan tangan ka-nannya. Orang tua itu terus menangis. Sekonyong-konyong dari pojok ruangan itu "terbang" sesosok bayangan hitam yang kemudian jatuh ambruk di tengah-tengah gelanggang. Orang itu bukan lain daripada Sie-wie yang barusan galak sekali. Semua hadirin terkesiap, mereka tak dapat melihat, dengan cara apa perwira itu dilontarkannya.

Melihat kawannya dipecundangi secara begitu mudah, Sie-wie yang lain lantas saja menghunus goloknya dan menerjang orang tua itu. Seluruh ruangan sembahyang itu lantas menjadi kalut. Tiba-tiba kembali terlihat melesatnya sesosok bayangan hitam dan di lain saat, Sie-wie yang bersenjata golok itu sudah rebah di atas lantai.

Ouw Hui yang terus memperhatikan gerak-gerik orang tua tersebut, mengetahui bahwa kedua Sie-wie itu telah dilemparkan dengan pukulan Cek-ko Lian-kun. Tak bisa salah lagi, orang tua itu adalah anggota partai Wie-to-bun dengan kepan-daian yang berlipat-lipat kali lebih tinggi daripada Sun Hok Houw. Sebagai seorang yang selalu merasa sebal terhadap pembesar-pembesar Boan, Ouw Hui merasa senang sekali, melihat kedua Sie-wie itu dihajar rubuh.

Wan Cie Ie mengetahui, bahwa ia sedang meng-hadapi lawan berat. Ia segera bangun dan berkata dengan suara tenang: "Lekas katakan jika kau hen-dak memberi pengajaran kepadaku. Guna apa kau sembunyi-sembunyi?"

Perlahan-lahan orang tua itu maju mengham-pirinya. Tubuhnya kurus kering, kulit mukanya kisut

dan kedua tulang pipinya menonjol ke atas, sehing¬ga kelihatannya seperti seorang penderita penyakit paru-paru. Akan tetapi, di tubuh muka yang tak karuan macam itu, terdapat sepasang mata yang bersinar terang dan berpengaruh. Si nona tak berani memandang rendah, ia berwaspada sambil memu-satkan seluruh perhatiannya ke arah lawan.

"Nona," kata orang tua itu. "Kau bukan orang she Wan dan juga bukan anggota partai kita. De¬ngan kau, Wie-to-bun tak mempunyai permusuhan apa pun juga. Tapi kenapa kau sudah berlaku begitu jahil dan menghina kami?"

"Apakah kau sendiri anggota Wie-to-bun?" ta-nya si nona. "Bolehkah aku mendengar she dan namamu?"

"Aku she Lauw, namaku Ho Cin," jawabnya. "Apakah kau pernah mendengar nama Wie-to Song-ho (Sepasang ho dari partai Wie-to-bun)? Jika aku bukan orang Wie-to-bun, bagaimana aku bisa menjadi salah seorang dari Wie-to Song-ho?"

Orang-orang Rimba Persilatan dari tingkatan lebih tua, kebanyakan sudah pernah mendengar nama Wie-to Song-ho. Akan tetapi, sebagian besar hanya mengenal Ban Ho Seng, pemimpin Wie-to-bun dan seorang pendekar yang luas pergaulannya, sehingga mempunyai nama harum dalam kalangan Kang-ouw. "Ho" yang satunya lagi sedikit sekali dikenal orang.

Sekarang sesudah ia memperkenalkan did se¬bagai salah seorang dari "sepasang Ho" itu dan sesudah ia memperlihatkan kepandaiannya yang sangat tinggi, semua orang lantas saja memper-hatikannya dan berbicara kasak-kusuk antara ka-

wan sendiri.

"Perduli apa sepasang Ho (Ho berarti burung Ho) atau sepasang bebek," kata si nona sembari menggelengkan kepala. "Tidak, aku belurn pernah mendengar nama itu. Apakah kau ingin menjadi Ciangbun?"

"Bukan, tidak sekali-kali," jawab Lauw Ho Cin. "Jangan sekali lagi kau mengeluarkan kata-kata begitu. Aku adalah Suheng (kakak seperguruan), Ban Ho Seng adalah Suteeku (adik seperguruan). Jika mau, sedari dulu aku sudah menjadi Ciang-bunjin. Perlu apa menunggu sampai sekarang?"

Wan Cie Ie monyongkan mulutnya dan berkata: "Jangan ngaco belo! Siapa percaya obrolanmu! Ha-bis, perlu apa kau menyelak di sini!"

"Aku datang ke mari justru untuk urusan Ciang-bunjin," jawabnya. "Pertama, kedudukan Ciangbun-jin dari Wie-to-bun haruslah diduduki oleh murid partai kami yang tulen. Kedua, tak perduli siapa yang menjadi Ciangbunjin, dia tak boleh pergi ke kota raja untuk bergaul dengan orang-orang 'mahal'. Kita adalah orang-orang kasar yang hanya mengenal ilmu silat. Maka itu, mana bisa kita bergaul dan bersahabat dengan pembesar-pembesar negeri?" Sehabis berkata begitu, ia berhenti sejenak dan kedua matanya yang berbentuk segi tiga, menyapu ke seluruh ruangan. "Ketiga," ia menyambung per-kataannya. "Memilih Ciangbun dengan hanya me-nilai ilmu silatnya, adalah cara memilih yang tak dapat disetujui olehku. Menurut pendapatku, da-lam pemilihan demikian, kita harus mengutamakan sifat-sifat mulia dari orang yang hendak dipilih itu. Sekarang aku ingin menanya: Apakah kalian mau

memilih orang yang berkepandaian sangat tinggi, tapi bersifat sangat rendah?"

Uraian tersebut disambut oleh sejumlah orang dengan mengangguk. Mereka merasa, bahwa meski-pun orang tua itu menunjukkan sikap dan sifat yang agak aneh, tapi perkataannya tepat sekali.

Wan Cie Ie tertawa dingin. "Syaratmu yang pertama, yang kedua dan yang ketiga tak satupun yang dapat diterima olehku," katanya. "Sekarang mau apa kau?"

"Mau apa?!" kata Lauw Ho Cin. "Sudahlah! Biarlah sekarang aku mempersembahkan tulang-tulang tuaku kepada nona, untuk dihajar!"

Ouw Hui mendengarkan pembicaraan mereka dengan hati berdebar-debar. Semenjak kecil, ia sudah berkelana di kalangan Kang-ouw dan selama itu, sering sekali menyaksikan perbuatan sewenang-wenang dari pembesar-pembesar kerajaan Ceng terhadap rakyat dan orang-orang yang lemah. Ia jadi membenci segala apa yang berbau pembesar Boan. Maka ia merasa senang sekali melihat Lauw Ho Cin menghajar kedua Gie-cian Sie-wie itu dan secara otomatis ia bersimpati kepada orang tua tersebut. Diam-diam ia mengharapkan supaya orang tua itu menang dalam pertandingan melawan nona itu, tapi ia khawatir karena si baju ungu lihay sekali.

Wan Cie Ie bersikap sombong, seolah-olah tak memandang sebelah mata kepada Lauw Ho Cin. "Kau mau bertempur dengan tangan kosong atau dengan senjata?" tanyanya dengan suara dingin.

"Karena nona mengaku sebagai murid Siauw-lim Wie-to-bu, sekarang marilah kita sama-sama mencoba-coba ilmu mustika dari Wie-to-bun," ja-

wab Lauw Ho Cin.

"Mustika apa?" tanya Wan Cie Ie. "Bicaralah terus terang. Aku paling benci kepada orang yang bicara berputar-putar."

Lauw Ho Cin mendongak dan tertawa berka-kakan. "Sedang mustika partai kita, kau masih be-lum tahu," katanya. "Bagaimana kau bisa menjadi Ciangbunjin dari Wie-to-bun?"

Untuk sejenak si nona kelihatan jengah, tapi di lain saat, ia sudah tenang kembali. "Ilmu silat dari partai kita, tak dapat dijajaki bagaimana dalamnya," katanya. "Sesudah orang mencapai puncaknya yang paling tinggi, dengan menggunakan pukulan yang paling rendah, kita bisa malang melintang di kolong langit. Maka itu, baik Liok-hap-to maupun Liok-hap-ciang atau yang Iain-lain, yang mana juga bisa dinamakan mustika dari partai kita."

Diam-diam Lauw Ho Cin merasa takluk kepada kecerdikan nona itu. Ia mengetahui, bahwa Wan Cie Ie tidak mengenal mustika dari partai Wie-to-bun, akan tetapi, dengan alasan-alasan yang tak dapat dibantah, ia sudah dapat menolong diri dari keadaan terjepit.

Lauw Ho Cin mesem dan sembari mengusap-usap jenggot dan kumisnya, ia berkata: "Baiklah, sekarang aku membuka rahasia. Mustika partai kita adalah Thian-kong Bwee-hoa-chung (Pelatok bu-nga Bwee). Apakah kau mengenal itu?"

"Hm!" sahut si nona sembari tertawa dingin. "Mustika apa itu? Sekarang aku mau membuka rahasia. Mengenai ilmu silat, yang paling berharga adalah ilmu silat yang sejati. Segala Bwee-hoa-chung, barisan ini atau barisan itu, hanya merupa-

kan barang permainan untuk menipu anak kecil. Jika kau tidak percaya, mari kita mencoba-coba. Dimana Bwee-hoa-chungmu?"

Lauw Ho Cin tak menyahut. Ia mengambil sebuah mangkok arak, mencegluk isinya dan me-lemparkan mangkok kosong itu ke atas lantai. Se¬mua orang kaget, mereka menduga, bahwa mang¬kok itu akan jatuh hancur. Tapi, di luar dugaan. tenaga yang digunakannya adalah sedemikian tepat-nya, sehingga mangkok itu jatuh tengkurap di atas lantai dalam keadaan utuh. Sesudah itu, ia meng¬ambil mangkok kedua, minum isinya dan melem-parkannya juga ke lantai. Demikianlah, berturut-turut, ia mengulangi perbuatan itu. Satu demi satu, tak perduli yang berisi penuh atau yang berisi se-paruh, diminum kering isinya dan kemudian di-lemparkannya di atas lantai. Dan sungguh menak-jubkan, semua mangkok itu jatuh tengkurap dan sebuah pun tiada yang pecah.

Dalam sekejap, di atas lantai sudah meng-geletak tiga puluh enam mangkok. Semua orang menjadi heran berbareng kagum, bukan saja karena kepandaiannya, tapi juga karena kuatnya meminum arak. Jika dihitung ia sudah menghabiskan tak ku-rang dari tujuh belas atau delapan belas mangkok arak yang berisi penuh.

Semakin banyak ia minum, mukanya yang ber-warna kuning jadi semakin kuning. Tiba-tiba badan-nya bergerak dan kakinya sudah menginjak pantat sebuah mangkok. "Marilah! Aku minta pengajaran-mu!" ia mengundang sembari menyoja.

Wan Cie Ie memang juga tidak mengenal Thiankong Bwee-hoa-chung. Tapi, mengandalkan

ilmu mengentengkan badannya yang sangat tinggi, sedikit pun ia tak menjadi keder. Sekali menjejak dengan kaki kirinya, bagaikan seekor burung ia hinggap di atas pantat sebuah mangkok lain. Ia mengangkat kedua tangannya dan memasang kuda-kuda. Tak berani ia menyerang sembarangan, ia ingin menunggu serangan lawan.

Di lain saat, Lauw Ho Cin meloncat sembari menjotoskan tinju kanannya dengan pukulan Sam-hoan-to-goat (Tiga lingkaran membungkus rem-bulan). Berkat matanya yang sangat tajam, Wan Cie le segera dapat melihat, bahwa tinju itu bukan berbentuk biasa. Empat jerijinya yang ditekuk tidak rata merupakan buah lengkak segi tiga. Melihat begitu, si nona lantas saja mengetahui, bahwa la-wannya adalah ahli menotok jalan darah. Memang juga benar begitu. Pukulan-pukulan yang dikirim-kan dengan tinju seperti itu, termasuk dalam Sha-kak Kun-hoat (Ilmu silat Segi tiga), yang teris-timewa digunakan untuk menyerang jalan darah musuh.

Buru-buru Wan Cie le meloncat mundur dan kemudian melayani lawannya dengan Sha-kak-kun juga.

Melihat gerakan badan, gerakan kaki dan ge-rakan tangan si nona yang semuanya tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan ilmu silat Wie-to-bun, Lauw Ho Cin menjadi heran bukan main. Demikianlah, dengan kedua kaki bergerak-gerak di atas tiga puluh enam mangkok itu, mereka saling serang menyerang dengan menggunakan Liok-hap Kun-hoat yang mempunyai dua puluh empat jalan.

Dalam pertempuran di atas Bwee-hoa-chung, tujuan masing-masing pihak adalah menduduki pe-latok tengah-tengah untuk mendesak musuh ke pinggir dan supaya musuh jatuh ke bawah pelatok. (Bwee-hoa-chung biasa dibuat dari pelatok-pelatok kayu atau bambu. Tapi dalam pertempuran antara Lauw Ho Cin dan Wan Cie le ini, mangkok-mang-kok arak telah digunakan sebagai pelatok).

Puluhan tahun lamanya Lauw Ho Cin telah berlatih di atas pelatok Bwee-hoa-chung, maka ti¬dak mengherankan, jika sesuatu tindakannya adalah tepat dan tetap. Baru saja lewat beberapa jurus, ia sudah dapat menduduki pelatok tengah dan mulai mendesak si nona dengan tenaga yang lebih besar. Tapi ia tidak berani berlaku ceroboh, karena me¬ngetahui, bahwa lawannya berkepandaian sangat tinggi.

Sebagaimana diketahui, mangkok adalah ba-rang yang gampang pecah dan dalam pertempuran itu, siapa yang memecahkan sebuah saja, dia yang kalah. Maka itu, dalam melakukan serangan-se-rangan, Wan Cie le tidak berani menggunakan tenaga terlalu besar, karena khawatir akan me¬mecahkan mangkok. Melihat lawannya berdiri te-gak di tengah-tengah dengan garis pembelaan yang sangat teguh, si nona menjadi jengkel. Sembari mengempos semangatnya, ia mengeluarkan ilmu mengentengkan badan yang paling tinggi dan lari berputar-putar untuk mencari bagian lemah dari Lauw Ho Cin.

Tapi, Sesudah lewat tiga puluh jurus, orang tua itu tetap berdiri teguh dan pukulan-pukulannya semakin lama jadi semakin hebat.

utn u/-v r+\\t A t~r\ A ». >* J » ftO

Tiga puluh enam mangkok yang disebar oleh Lauw Ho Cin, sama sekali tidak berbentuk bunga Bwee, sebagai biasanya bentuk Bwee-hoa-chung. Penyebaran yang kalut itu, hanya dia yang paham. Dengan latihan puluhan tahun, sembari meram ia dapat melompat pergi datang di atas mangkok itu. Tapi tidaklah demikian dengan si nona. Setiap kali bertindak atau melompat, ia harus melihat lebih dulu kedudukan mangkok yang mau diinjaknya. Maka itu tidak heran, jika, sesudah bertempur agak lama, perlahan-lahan Wan Cie Ie jatuh di bawah angin.

Lauw Ho Cin menjadi girang sekali. Lantas saja ia mengirim serangan-serangan berantai dengan tenaga yang lebih besar. Dalam sekejap si nona sudah jadi keteter. Mendadak, dalam keadaan ber-bahaya, ia mengubah cara bersilatnya. Jika tadi ia memukul dengan telapak tangan, sekarang ia me-nyodok dengan jeriji tangan kiri. Serangannya itu adalah Su-ie-peng-hok dari ilmu tombak Liok-hap.

Lauw Ho Cin terkesiap, buru-buru ia melompat minggir. Tapi di luar dugaan, si nona sudah menyu-sulkan tebasan tangan kanannya. Itulah tebasan ilmu golok Lian-hoan-to (Ilmu golok berantai) dari Liok-hap To-hoat.

Lauw Ho Cin jadi gelagapan. Sedikit pun ia tidak menduga, bahwa dalam tempo sekejap, si nona sudah menyerang menurut ilmu tombak dan ilmu golok dengan kedua tangannya. Dalam kebingungan-nya, pundaknya kena tertebas, tapi masih untung, bahwa dengan sedikit mengkeretkan tubuh, ia dapat memunahkan tujuh bagian tenaga lawan. Di lain saat, Wan Cie Ie menyabet ke atas dengan tangan

kirinya dalam gerakan Pek-wan-hian-tho (Kera pu-tih mempersembahkan buah tho), yaitu suatu pu-kulan dari ilmu golok Liok-hap. Dalam sekejap itu serangannya sudah berubah lagi! Kedua tangan Wan Cie Ie kembali menyerang menurut ilmu golok.

Lauw Ho Cin tak keburu berkelit lagi, dadanya kena terpukul dan badannya bergoyang-goyang....

Selama pertempuran itu, Ouw Hui selalu me-masang mata dengan penuh perhatian. Melihat orang tua itu terpukul, ia merasa sangat sayang jika ahli yang kenamaan itu mesti rubuh secara begitu mengecewakan. Maka itu pada saat yang bahaya, yaitu ketika kedua kaki Lauw Ho Cin hampir meng-injak lantai, dengan cepat ia mengangkat dua buah mangkok yang lalu dilontarkannya dengan tenaga yang sudah diperhitungkan. Kedua mangkok itu menggelinding dan berhenti persis di bawah kaki Lauw Ho Cin! Demikianlah, di waktu orang tua itu hampir jatuh, kedua kakinya menginjak dua mang¬kok lain. Ia terkesiap dan segera mengetahui, bahwa seorang yang berilmu tinggi telah membantu ke-padanya. Para hadirin yang sedang memusatkan perhatian mereka kepada pertempuran, tak me¬ngetahui kejadian itu.

Sebagaimana diketahui, Wan Cie Ie telah menggunakan jerijinya sebagai tombak dan telapak tangannya seperti golok. Tapi, meskipun benar ia bersilat dengan ilmu Liok-hap-ciang dan Liok-hap-to, sedari dulu sampai sekarang, dalam kalangan Wie-to-bun, belum pernah ada orang yang ber¬tempur secara begitu.

Bukan main sangsinya hati Lauw Ho Cin. Ia merangkap kedua tangannya dan berkata dengan

suara manis: "Kepandaian nona yang begitu tinggi, dengan sesungguhnya aku belum pernah melihat. Bolehkah aku mengetahui, nona termasuk dalam partai mana dan siapa guru nona?"

"Hm!" sahut Wan Cie Ie. "Kau tentu masih belum percaya, bahwa aku benar-benar murid Wie-to-bun. Baiklah! tapi bagaimana jika aku bisa me-ngalahkan kau dengan ilmu silat Liok-hap-kun?"

Itulah justru apayang diinginkan oleh Lauw Ho Cin. la membungkuk seraya berkata: "Jika nona dapat merubuhkan aku dengan Liok-hap-kun, ke-jadian itu sungguh-sungguh merupakan kejadian menggirangkan bagi Wie-to-bun. Andaikata aku harus mengiringi nona sambil memegang pecut, aku pun akan merasa rela." Sehabis berkata begitu, ia memutarkan badannya ke arah Ouw Hui dan ber¬kata sembari menyoja: "Aku si tua minta permisi untuk mempersembahkan kebodohanku." Menyo-janya itu adalah untuk menghaturkan terima kasih kepada orang yang sudah menolong dirinya. Mes-kipun ia tidak mengetahui, siapa yang telah mem-bantunya, akan tetapi ia tahu, dari jurusan mana kedua mangkok itu dilemparkan.

Wan Cie Ie adalah seorang wanita yang cerdas luar biasa. Selagi Lauw Ho Cin menanyakan partai dan gurunya, ia sudah mendapat suatu siasat bagus untuk merubuhkan lawannya. Di lain saat, mereka sudah mulai bertempur lagi dengan menggunakan Liok-hap-kun.

Baru saja bergebrak beberapa jurus, Lauw Ho Cin sudah berada di atas angin lagi. Sesudah men¬dapat pengalaman getir tadi, sekali ini ia berlaku sangat hati-hati dan selalu berjaga-jaga, khawatir si

nona mengeluarkan pula pukulan-pukulan yang aneh-aneh. Sesudah lewat lagi beberapa jurus dan ilmu silat Wan Cie Ie tetap tidak berubah, barulah hatinya menjadi lebih lega. Tiba-tiba Wan Cie Ie menyerang dengan pukulan Tah-houw-sit (Pukulan memukul harimau). Dengan cepat, sembari me¬notol mangkok dengan kaki kanannya, Lauw Ho Cin menyambut dengan pukulan Ouw-liong-tam-hay (Naga hitam selulup di laut).

Tiba-tiba ia terkesiap, karena merasakan kaki-nya menotol benda yang luar biasa. Ia melirik dan menjadi lebih kaget lagi! Ternyata, mangkok arak yang barusan masih tengkurap sekarang sudah ce¬lentang. Masih untung baginya, bahwa barusan ia hanya menotol dengan kakinya. Jika ia menginjak, mangkok itu pasti menjadi pecah dan kakinya akan jatuh di lantai. Ketika ia melompat mundur, ke-ringat dingin mengucur dari punggungnya.

Di lain saat, ia mengetahui bahwa terbaliknya mangkok itu adalah akibat perbuatan si nona. Ke¬tika nona itu mengangkat kakinya, kaki itu sekalian mengangkat mangkok. Entah bagaimana, di waktu dilepaskan lagi ke atas lantai, mangkok itu sudah celentang. Selagi kaki kirinya menotol mangkok yang sudah celentang, kaki kanannya membalikkan mangkok yang berikutnya.

Lauw Ho Cin mengetahui, bahwa biar bagai-manapun juga, ia tak akan dapat menandingi ilmu mengentengkan badan si nona yang begitu tinggi. Kemungkinan satu-satunya untuk menang, adalah merubuhkan Wan Cie Ie selekas mungkin. Memikir begitu, lantas saja ia menyerang secara hebat.

Tapi si nona cukup cerdik. Sekarang ia meng-

gunakan siasat gerilya dan lari berputar-putar. Da lam tempo yang tidak terlalu lama, ia sudah mem balikkan tiga puluh empat mangkok itu. Hanya dua mangkok yang sedang diinjak Lauw Ho Cin, belum dapat dibalikkannya.

Sedang kedua kaki Wan Cie Ie menotol pergi datang mangkok yang celentang itu, adalah Lauw Ho Cin berdiri terpaku di atas kedua mangkok yang masih tengkurap itu. Tanpa memiliki ilmu meng-entengkan badan yang setingkat dengan ilmu Wan Cie Ie, tak berani ia meloncat ke atas mangkok yang celentang itu.

Untuk beberapa saat, ia berdiri bagaikan pa¬tting. Akhir-akhirnya, ia berkata dengan suara duka: "Nona, kaulah yang menang." Sehabis berkata be-gitu, ia turun ke atas lantai. Mukanya yang kuning berubah pucat seperti kertas emas.

"Bukankah sekarang aku boleh menjadi Ciang-bunjin?" tanya Wan Cie Ie dengan suara girang.

"Aku si tua sudah takluk, tapi aku tak tahu bagaimana pendapat orang lain," kata Lauw Ho Cin.

Selagi Wan Cie Ie ingin menanya para hadirin, tiba-tiba di luar terdengar derap kaki kuda yang kabur ke arah utara dengan kecepatan luar biasa.

Paras muka si nona lantas saja jadi berubah dan bccepat kilat, ia melompat ke luar. Dari derap kaki itu, ia mengetahui, bahwa yang kabur bukan lain daripada kuda putihnya sendiri. Begitu tiba di luar, ia melihat kudanya sedang membelok di hutan po-hon hong dengan ditunggangi seorang lelaki yang mengenakan pakaian warna abu-abu. Segera juga ia mengenali, bahwa orang itu bukan lain daripada Ouw Hui yang bungkusannya telah dicurinya.

"Pencuri kuda! Berhenti!" ia berteriak.

Ouw Hui menengok ke belakang. Ia tertawa dan membalas: "Pencuri buntalan! Hayo kita tukar!" Ia tertawa terbahak-bahak, kuda putih itu dikabur-kan semakin keras.

Bukan main gusarnya Wan Cie Ie. Sembari mengempos semangatnya, ia mengejar. Biarpun mempunyai ilmu entengkan badan yang sangat ting-gi, mana bisa ia menyusul kuda putih itu yang bisa lari seribu lie dalam sehari? Semakin lama, ba-yangan yang dikejar itu jadi semakin kecil dan akhirnya lenyap dari pemandangan.

Kejadian itu sudah menyapu bersih seantero kegembiraannya yang didapatnya sesudah meru-buhkan empat jago Wie-to-bun. Ia menjadi uring-uringan, jengkel berbareng heran. "Kuda itu cerdik seperti juga manusia," katanya di dalam hati. "Ba¬gaimana ia bisa membiarkan seorang bangsat kecil mencuri dirinya dan kemudian menurut perintah tanpa melawan sama sekali?"

Sesudah berlari-lari beberapa lie, tibalah Wan Cie Ie di sebuah kota kecil. Ia yakin, bahwa me¬ngejar terus tak akan ada gunanya. Ia jalan per-lahan-Iahan untuk mencari warung teh, di mana ia dapat menghilangkan dahaganya.

Sekonyong-konyong, ia mendengar suara ber-bengernya seekor kuda dan segera ia mengenali, bahwa kuda itu bukan lain daripada kudanya sen¬diri. Bagaikan terbang, ia memburu ke arah suara itu. Baru saja ia membelok di suatu tikungan, ia melihat Ouw Hui, yang menunggang si putih, me¬nengok ke belakang dan menggapai sembari ter¬tawa.

Wan Cie Ie naik darah. la memungut sebutir batu kecil yang lalu ditimpukkan ke arah pemuda itu. Ouw Hui membuka topinya, yang lalu diguna-kan untuk menanggapi batu itu.

"Kau mau bayar buntalanku atau tidak?" tanya Ouw Hui sembari tertawa. Si nona tak menjawab. mendadak ia melompat untuk coba merebut tung-gangannya. Ouw Hui mengayun tangannya dan se-buah senjata rahasia menyambar. Ketika disambuti, senjata rahasia itu adalah batu kecil tadi. Selagi si nona menangkap batu itu, Ouw Hui sudah menjepit pcrut kuda yang lantas saja kabur sekeras-kerasnya. Si nona jadi seperti orang kalap. Ia tak ingat kesalahannya sendiri, ia hanya ingat kesalahan orang lain. Tiba-tiba matanya melihat seekor kuda yang tertambat di luar sebuah rumah. Tanpa meng-hiraukan segala apa, ia menghampiri dan membuka tambatannya, lalu menyemplak hewan itu yang lan¬tas dikaburkannya secepat mungkin. Di waktu pe-miliknya mengetahui pencurian itu, ia sudah kabur jauh sekali.

Meskipun sudah mempunyai tunggangan, ja-ngan harap ia bisa menyusul Ouw Hui. Ia sudah menyabet kalang kabutan dan kuda itu sudah kabur sekeras-kerasnya, tapi ia masih juga ketinggalan jauh. Sesudah mengejar beberapa lie, napas bina-tang itu sudah tersengal-sengal dan tak dapat lari terlebih jauh.

Ketika mendekati hutan, jauh-jauh ia melihat suatu benda putih dan setelah datang terlebih de-kat, benda putih itu ternyata adalah kudanya sen¬diri.

Wan Cie Ie jadi kegirangan. Tapi karena kha-

watir akan akal bulus Ouw Hui, sebelum mendekati, lebih dulu ia meneliti keadaan di sekitar tung-gangannya. Sesudah mendapat kenyataan, bahwa benar-benar Ouw Hui tidak berada di situ, barulah ia menghampiri pohon siong itu, di mana kuda putihnya tertambat. Tapi, ketika ia sudah berada dalam jarak hanya beberapa tombak dari si putih, sesosok tubuh manusia sekonyong-konyong mela-yang turun dari alas pohon dan hinggap tepat di atas punggung kuda putih itu. Itulah Ouw Hui!

"Nona Wan," katanya sembari tertawa berka-kakkan. "Mari kita berlomba lagi!" Sekarang Wan Cie Ie sungkan memberi hati lagi kepadanya. Sekali menjejak sanggurdi, tubuhnya melesat ke atas dan bagaikan seekor elang, ia menubruk Ouw Hui.

Sedikit pun Ouw Hui tak menduga, bahwa Wan Cie Ie berani melakukan perbuatan berbahaya itu. Jika ia memapaki nona itu dengan suatu serangan, si nona pasti akan mendapat luka. Tapi bukan begitu maksud Ouw Hui. Maka, jalan satu-satunya adalah mengedut les untuk menyingkir. Tapi sekali ini, si putih melawan. Melihat Wan Cie Ie, bukan saja dia tak mau minggir, sebaliknya, ia bahkan berbenger dan maju dua tindak.

Selagi badannya masih berada di tengah udara, Wan Cie Ie menghantam kepala Ouw Hui dengan tangan kanannya dan mencengkeram pundak orang dengan tangan kirinya. Selama hidup, belum pernah Ouw Hui bertempur dengan soerang wanita muda. Kali ini, ia mencuri kuda itu berdasarkan dua alasan. Pertama, ia mengenali, bahwa kuda itu adalah tung¬gangan Tio Poan San. Ia ingin sekali mengetahui, kenapa si putih bisa ditunggangi nona itu. Kedua,

ia sekedar hendak membalas perbuatan Wan Cie Ie yang sudah mencuri buntalannya. Tapi sekarang melihat si nona menyerang, paras mukanya lantas saja berubah merah. Cepat bagaikan kilat, ia juga menjejak sanggurdi dan badannya melesat melewati Wan Cie Ie, untuk kemudian hinggap di atas pung-gung kuda yang barusan ditunggangi nona itu.

Selagi berpapasan di tengah udara, Ouw Hui mengangsurkan tangannya dan memutuskan tali yang mengikat buntalannya pada punggung Wan Cie Ie. Di lain saat, Ouw Hui sudah mendapatkan kembali bungkusannya, sedang si baju ungu pun sudah duduk di atas punggung si putin.

Si nona yang masih belum hilang amarahnya, lebih-lebih setelah melihat buntalan itu sudah pu-lang ke tangan Ouw Hui lantas saja membcntak: "Ouw Hui kecil! Bagaimana kau berani begitu ber-laku kurang ajar!"

"Dari mana kau bisa mengetahui namaku?" ta-nya Ouw Hui dengan perasaan heran.

Wan Cie Ie monyongkan mulutnya sedikit dan menyahut dengan suara tawar: "Tio Samsiok (pa-man Tio ketiga) memuji kau sebagai enghiong jem-polan. Tapi menurut penglihatanku kau adalah manusia pasaran."

Mendengar perkataan "Tio Samsiok", Ouw Hui jadi girang sekali. "Kau kenal Tio Poan San. Tio Samko?" tanyanya. "Di mana ia sekarang?"

Si nona jadi semakin gusar. "Bocah she Ouw!" ia membentak. "Jangan main gila kau!"

"Kenapa main gila?" tanya Ouw Hui, terce-ngang.

"Kenapa begitu aku mengatakan Tio Samsiok,

kau lantas saja menggunakan kata-kata Tio Samko," sahutnya. "Apa kau ingin menjadi orang tingkatan-nya lebih daripada aku?"

Ouw Hui yang sifatnya suka sekali guyon-gu-yon, segera meleletkan lidahnya dan berkata sem-bari tertawa: "Tak berani! Mana aku berani? Apa benar kau memanggil ia Tio Samsiok?"

"Siapa mendustai kau?" kata si nona.

"Nan! Kalau begitu, benar-benar aku lebih tua setingkat daripadamu," kata Ouw Hui dengan suara keren. "Kau panggil saja Ouw Sioksiok. Eh, Cie Ie! Di mana adanya Tio Samko?"

Wan Cie Ie adalah seorang yang tak suka main-main. Sama sekali ia tidak mengetahui, bahwa me-mang benar Ouw Hui telah mengangkat saudara dengan Tio Poan San. Maka itu, mendengar per¬kataan Ouw Hui, darahnya lantas saja naik dan "srt!", ia mencabut sebatang Joan-pian (pecut) dari pinggangnya. "Bocah!" ia membentak. "Jangan nga-co! Biarlah aku beri pelajaran kepadamu."

Cambuk itu terbuat dari anyaman benang perak dan pada ujungnya terdapat sebuah bola emas kecil, yang berbentuk indah sekali. Ketika dikebaskan di tengah udara, bole emas dan cambuk perak itu yang disoroti sinar matahari, berkelebat-kelebat. Sebe-narnya, Wan Cie Ie niat bertempur di atas bumi, akan tetapi, karena khawatir kudanya dirampas lagi oleh Ouw Hui yang banyak akalnya, ia mengurung-kan niatnya itu dan segera majukan tunggangannya, sembari menyabet kepala si pemuda. Cambuk itu, yang panjangnya setombak dan satu kaki, menyam-bar ke belakang Ouw Hui, ujungnya membelok dan bola emas itu mengarah jalan darah Thay-tui-hiat,

di bagian punggung.

Di lain pihak, begitu cambuk itu menyambar, Ouw Hui mendekam di punggung kuda dengan taksiran, bahwa senjata itu akan segera lewat di atas punggungnya. Mendadak kupingnya yang tajam luar biasa menangkap bunyi sesuatu yang aneh. "Cela-ka!" ia mengeluh sembari menghunus goloknya dan tanpa menengok, ia menyabet ke belakang. "Tring!" golok itu membentur bola emas di ujung cambuk Wan Cie Ie sehingga terpental kembali.

Ternyata, selagi ujung cambuknya menyambar jalan darah Thay-tui-hiat dipunggung Ouw Hui, dengan mendadak Wan Cie Ie mengedut senjatanya dan bola emas itu lantas saja berubah haluan dan menyambar jalan darah Kie-kut-hiat, di pundak kanan si pemuda. Si nona menduga, bahwa sekali itu ia akan berhasil, karena Ouw Hui tengah men¬dekam di punggung kuda dan takan bisa berkelit lagi. Tapi di luar dugaan, pemuda itu masih dapat menolong diri, berkat kupingnya yang sangat tajam dan gerakannya yang cepat luar biasa. Begitu golok dan bola emas itu kebentrok, Wan Cie Ie merasakan lengannya agak kesemutan.

Ouw Hui mengawasi nona itu sembari tertawa ha-ha-hi-hi, tapi hatinya kagum akan kelihayan nona itu. Bahwa dengan Joan-pian yang lemas, ia bisa menotok jalan darah sudah merupakan suatu keanehan dalam gelanggang persilatan. Tapi, meng-ubah arah serangan senjata itu di tengah jalan adalah kejadian yang lebih luar biasa lagi.

Sebenarnya Ouw Hui hampir celaka karena salahnya sendiri. Sesudah menyaksikan, bagaimana Wan Cie Ie dengan mudah merubuhkan empat jago

Wie-to-bun, ia mengakui, bahwa nona itu memang lihay sekali. Tapi, jika dibandingkan dengan kepan-daiannya sendiri, si nona masih kalah setingkat. Karena mempunyai anggapan itu, ia agak meman-dang rendah kepada si baju ungu. Di luar dugaan, dalam jurus pertama, Joan-pian itu sedang me¬nyambar punggungnya bisa mendadak berubah haluan dan menyambar pundaknya. Ia menduga, bahwa cambuk itu akan menotok jalan darah Kie-kut-hiat dan ia berhasil dengan tangkisannya. Jika ilmu menotok si nona tidak begitu jitu dan pecut itu bukan menghantam Kie-kut-hiat, bukankah tangkisan Ouw Hui akan meleset? Sekali meleset, walaupun jalan darahnya tidak kena tertotok, tak urung ia akan mendapat luka.

Melihat ketenangan pemuda itu, Wan Cie Ie menjadi kaget berbareng kagum. "Terrr!" ia mem-bunyikan pecutnya di tengah udara dan segera menghantam kepala Ouw Hui.

Mendadak, pemuda itu mendapat suatu ingat-an. "Tujuanku yang terutama adalah mencari tahu hal Tio Samko," pikirnya. "Nona ini beradat sangat angkuh dan jika ia tidak diberi kemenangan, ia tentu sungkan memberitahukan hal Samko. Ah! Biarlah, dengan memandang muka Tio Samko, aku me-ngalah sedikit."

Berpikir begitu, ia miringkan kepalanya ke se-belah kiri untuk memapaki cambuk si nona. Dan sungguh tepat, pecut itu lantas saja menggulung topinya.

Dengan kedua lututnya Ouw Hui menjepit pe-rut kudanya yang lantas saja melompat setombak lebih. Sembari masukkan goloknya ke dalam sarung,

ia tertawa seraya berkata: "Ilmu Joan-pian nona sungguh lihay dan aku merasa takluk. Bagaimana keadaan Tio Samko? Di mana ia berada sekarang, apakah di Huikiang atau di Tionggoan?"

Jika Ouw Hui mengalah sungguh-sungguh dan si nona senang hatinya sebab menduga benar-benar memperoleh kemenangan, mungkin sekali ia akan menjadi jinak dan suka menceritakan hal Tio Poan San. Hanya sayang, Ouw Hui pun adalah seorang pemuda yang selalu ingin menang dan sungkan mengalah terhadap siapa pun juga. Maka itu, me¬ngalah memang ia mengalah. Tapi cara mengalah-nya terlalu menyolok. Ia baru berkelit ketika cam-buk si nona sudah hampir membentur kepalanya dan sesudah topinya kena digulung, sebaliknya dari menunjukkan paras kemalu-maluan, ia malah ber-senyum, seolah-olah seorang yang lebih tua tengah mempermainkan anak kecil.

Wan Cie Ie yang cerdas luar biasa, tentu saja dapat melihat itu semua. "Hm!" katanya dengan suara dingin. "Kau sengaja mengalah, apakah kau kira aku tak tahu? Nah! Aku pulangkan topimu!" I a mengangkat pecutnya untuk mengembalikan pula topi itu di kepala Ouw Hui.

"Jika ia bisa meletakkan topiku di atas kepalaku dengan menggunakan Joan-pian, ilmunya sungguh-sungguh lihay," pikir Ouw Hui. "jika aku menyam-buti dengan tangan, kegembiraannya akan menjadi hilang." Memikir begitu, ia tidak bergerak dan terus bersenyum simpul.

Dari setinggi dada, cambuk itu dengan topinya naik ke atas. Karena gerakan naik itu agak perlahan, di waktu topi itu tiba di batas tinggi muka, jiratan

ujung cambuk itu menjadi kendor dan topi itu jatuh ke bawah. Buru-buru Ouw Hui mengangsurkan tangannya untuk menyambutinya....

Mendadak kelihatan suatu sinar putih berkele-bat. "Celaka!" Ouw Hui mengeluh. Matanya agak silau terkena sinar itu dan pipinya sakit luar biasa. Ia tahu, bahwa sekali ini ia kena dibokong.

Dengan cepat ia melepaskan kedua kakinya dari sanggurdi dan menyembunyikan tubuhnya di bawah perut kuda. Di lain saat terdengar suara "plak!", disusulnya dengan muncratnya kepingan-kepingan kayu. Ternyata, pelana di mana ia barusan duduk, sudah dihajar hancur lebur. Kuda itu ber-jingkrak dan berbenger keras.

Sembari menghunus goloknya, Ouw Hui me-ngempos semangatnya dan loncat naik ke atas pung-gung kuda. Mendadak ia merasakan pipi kanannya sakit luar biasa dan ketika diusap, tangannya penuh darah.

Wan Cie Ie tertawa dingin seraya berkata: "Apakah sekarang kau berani main-main lagi de¬ngan nama seorang tua? Masih untung nonamu berlaku murah. Jika aku sungguh-sungguh, belasan gigimu tentu sudah rontok."

Apa yang dikatakan si nona memang bukan kesombongan belaka. Kalau ia menghantam dengan segenap tenaganya, tulang rahang Ouw Hui tentu sudah menjadi hancur dan semua giginya di sebelah kanan tentu sudah rontok. Walaupun tidak sampai terjadi begitu, bagi Ouw Hui, itu merupakan ke-kalahan paling besar yang pernah dialaminya se-hingga saat itu.

Darahnya lantas saja naik tinggi dan dengan

mata melotot ia menerjang dengan senjatanya. Si nona menjadi jeri karena ia mengetahui, bahwa lawan itu bukannya lawan enteng. Lantas saja ia memutarkan cambuknya bagaikan titiran supaya lawannya tidak berani datang terlalu dekat.

Selagi bertempur, tiba-tiba terdengar suara ke-lenengan kuda dan di lain saat, tiga penunggang kuda kelihatan mendatangi dengan perlahan. Dua antaranya mengenakan seragam Gie-cian Sie-wie, sedang orang yang ketiga, yang bertubuh tinggi besar dan berusia kira-kira empat puluh tahun mengenakan pakaian biasa. Melihat orang bertem¬pur, mereka lantas saja menahan les untuk me-nonton.

Dalam pertempuran itu, selain kalah senjata, tunggangan Ouw Hui pun kalah jauh dari tung-gangan lawannya. Maka itu, sesudah lewat belasan jurus, belum bisa ia mendesak si nona. Dengan jengkel, ia mengubah cara bersilatnya, tapi sebelum ia membuka serangan hebat, mendadak terdengar suara salah seorang Sie-wie. "Nona itu cantik sekali dan kepandaiannya pun cukup tinggi," kata dia.

"Co Toako," kata kawannya. "Jika kau penuju, lebih baik turun tangan dulu. Jangan membiarkan dirimu didahului bocah itu." Sehabis berkata begitu, ia tertawa terbahak-bahak.

Ouw Hui mendongkol mendengar perkataan yang kurang ajar itu dan ia melirik dengan sorot mata gusar. Dengan menggunakan kesempatan itu, Wan Cie Ie menyabet dengan cambuknya, sedang Ouw Hui buru-buru berkelit sambil menunduk. Tiba-tiba, pinggang si baju ungu digoyang dan kuda¬nya mendadak melompat ke sebelah kiri.

Berbareng dengan berkelebatnya suatu sinar putih, pundak Sie-wie Co itu sudah terkena sabetan cambuk. Senjata itu berputar sekali dan segera menyambar kepala Ouw Hui yang buru-buru me-nangkis dengan goloknya. Sesaat itu, si putih sudah melewati Sie-wie yang seorang lagi. Selagi kudanya melompat, si nona mengulurkan tangannya dan mencengkeram jalan darah Thian-cu-hiat, di leher Sie-wie itu. Dengan meminjam tenaga kudanya yang sedang melompat ke depan, Wan Cie Ie meng-gentak dan Sie-wie yang mulutnya usilan itu, lantas saja terjungkal di atas tanah. Hampir berbareng dengan itu, cambuk si nona sudah menyambar si orang laki yang tinggi besar.

Serangan-serangan itu dilakukannya dengan kecepatan luar biasa, sehingga Ouw Hui bersorak di dalam hatinya. Ia merasa kasihan kepada lelaki itu, yang tanpa berdosa, bakal merasakan cambukan Wan Cie Ie. Tapi, di luar dugaan, dengan tenang lelaki itu mengangkat tangannya untuk menangkap senjata si nona.

Begitu melihat lima jerijinya yang ditekuk se-perti gaetan, Wan Cie Ie segera mengetahui, bahwa ia sedang berhadapan dengan lawan berat. Buru-buru ia menarik pulang senjatanya. Ia tertawa di-ngin dan menanya: "Apakah tuan mau pergi ke kota raja untuk menghadiri pertemuan para Ciangbun-jin?"

Lelaki itu kaget. "Bagaimana nona tahu?" tanya-nya.

"Dari gerak-gerikmu, aku menduga, bahwa aku adalah seorang Ciangbunjin," jawabnya. Siapa namamu? Dari partai mana kau?"

Orang itu hanya mengeluarkan suara di hidung, ia tak menjawab pertanyaan yang kurang ajar itu. Sementara itu, Sie-wie she Co tadi, sudah me-rangkak bangun dan berteriak: "Na Suhu! Hajar perempuan bau itu?"

Begitu si nona mengerahkan sedikit tenaga di lututnya, si putih lantas saja melompat dan me-nerjang Sie-wie she Co itu. Dia ketakutan setengah mati dan buru-buru loncat menyingkir. Wan Cie Ie yang sudah menjadi gusar, tak mau memberi hati kepadanya. Ia mengayun cambuknya yang segera menyambar ke punggung Sie-wie itu. Melihat ke-adaan itu yang sangat berbahaya, cepat bagaikan kilat, lelaki tinggi besar itu menghunus sebatang pedang pendek yang lalu digunakan untuk menyam-pok senjata si nona.

Wan Cie Ie menjejak sanggurdi dan kuda itu loncat ke belakang dengan gerakan yang sangat indah.

"Sungguh bagus kuda itu!" puji si tinggi besar. "Ah! Aku kira siapa," kata si nona. "Tak tahunya Na Cin, Ciangbunjin dari Pat-sian-kiam di Ouwciu, propinsi Kwisay."

Orang itu memang Na Cin adanya. Tadi, karena melihat usia si nona yang masih begitu muda, ia menaksir wanita itu tentulah juga kurang peng-alaman, meskipun ia memiliki kepandaian yang cu-kup tinggi. Akan tetapi, sesudah Wan Cie Ie bisa mengenalinya dengan hanya melihat sekali tang-kisannya, ia menjadi heran bercampur girang. Ia girang, oleh karena meskipun bertempat tinggal di daerah Selatan yang jauh, seorang gadis remaja toh sudah mendengar juga namanya yang kesohor.

Maka itu, sembari bersenyum ia menanya: "Nona, bagaimana kau bisa mengetahui she dan namaku yang rendah?"

"Aku memang lagi mencari kau," jawab Wan Cie Ie. "Sungguh kebetulan kita bisa bertemu di sini."

Na Cin jadi tercengang. "Bolehkah aku menge¬tahui she dan nama nona yang mulia dan untuk apa kau mencari aku?" tanyanya.

"Aku mau memberitahukan, supaya kau tak usah pergi ke kota raja," jawabnya. "Biar aku saja yang mewakili kau."

Na Cin menjadi bingung, ia tak tahu apa maksud nona cantik itu. "Apa maksud nona?" tanyanya pula, sembari menggaruk-garuk kepala.

"Hm! Tolol kau!" bentak Wan Cie Ie. "Apakah kau belum mengerti? Serahkan kedudukan Ciang¬bunjin dari Pat-sian-kiam kepadaku."

Itulah jawaban yang sama sekali tak diduga-duganya. Dapat dimengerti, jika Na Cin menjadi gusar bukan main. Akan tetapi, sesudah melihat kepandaian orang, ia tak berani sembarangan meng-umbar nafsunya. Maka itu, sembari merangkap ke-dua tangannya, ia berkata pula: "Beritahukanlah dulu she dan nama nona. Dan siapakah guru nona?"

"Untuk apa kau menanya namaku?" Wan Cie Ie balas menanya. "Nama guruku lebih-lebih tak bisa diberitahukan kepadamu. Dulu, guruku telah bertemu muka dengan kau. Jika sekarang ditim-bulkan soal dulu, aku jadi merasa kurang enak untuk meminta kedudukan Ciangbunjin."

Sementara itu, kedua Sie-wie yang barusan di-hajar menjadi seperti orang kalap bahna gusarnya.

Sebagai orang-orang yang biasa berlaku sewenang-wenang dan suka menghina sesama manusia, me-reka sekarang dihina orang. Mana mereka rela menerimanya dengan begitu saja. Demikianlah, sembari membentak keras, mereka menerjang, se-orang dengan menunggang kuda, sedang yang lain berjalan kaki. Sembari menerjang, yang satu meraba pinggang untuk mencabut golok, sedang yang se-orang lagi bergerak untuk menghunus pedangnya.

Tiba-tiba cambuk Wan Cie Ie berkelebat. "Terrrr!" pergelangan tangan kanan Sie-wie yang mau mencabut golok itu sudah kena dipecut, sa-kitnya meresap ke tulang-tulang dan ia tak ber-tenaga lagi untuk meng-hunus senjatanya.

Cambuk itu yang panjang dan halus, tak ber-henti sampai di situ. Bagaikan kilat, ujungnya sudah melibat gagang pedang Co Sie-wie, sebelum tangan Sie-wie itu keburu meraba gagang pedangnya sen-diri! Dengan sekali menggentak, pedang itu loncat ke luar dari sarungnya!

Co Sie-wie kaget bukan main, secepat mungkin ia menarik pulang tangannya, tapi tak urung pedang itu menggores juga telapak tangannya yang lantas saja mengucurkan darah. Si nona mengebaskan pecutnya dan pedang itu terbang puluhan tombak tingginya.

Sesudah memperlihatkan kepandaian yang luar biasa itu, perlahan-lahan, dengan tenang Wan Cie Ie melibat cambuknya di pinggangnya yang langsing. Tanpa memperhatikan lagi pedang yang dilontar-kannya, ia berpaling kepada Na Cin seraya me-nanya: "Bagaimana sekarang? Apakah kau rela me-nyerahkan kedudukan Ciangbunjinmu?"

Sesaat itu, Na Cin dan kedua Sie-wie tersebut sedang mendongak mengawasi pedang yang tengah melayang turun. Mendengar suara si nona, Na Cin berkata: "Apa?"

"Aku mau kau menyerahkan kedudukan Ciang-bunjin dari Pat-sian-kiam," jawabnya.

Ketika ia berkata begitu, pedang yang sedang melayang turun itu sudah hampir menimpa kepala-nya. Tanpa menengok dan hanya dengan meng-andalkan kupingnya, Wan Cie Ie mengangkat se-belah tangannya dan menangkap gagang pedang itu!

Itulah kepandaian sungguh-sungguh menakjub-kan! Harus diingat, bahwa senjata itu yang jatuh dari tempat yang tingginya puluhan tombak, mem-punyai tenaga yang sangat besar. Di samping itu, kecuali gagangnya, bagian-bagian lain dari sebilah pedang adalah tajam. Bahwa tanpa melirik ia sudah dapat menangkap gagang senjata itu, adalah suatu kepandaian yang benar-benar luar biasa. Bukan saja Na Cin dan kedua Sie-wie itu jadi terperanjat, tapi Ouw Hui pun merasa sangat kagum.

Semakin banyak melihat sepak terjang nona itu, semakin besar keheranan Ouw Hui. Sebab apa ia begitu suka merebut kedudukan Ciangbunjin? Tadi, ia mau merebut jabatan Ciangbun dari Siauw-lim Wie-to-bu, sekarang dari Pat-sian-kiam. Di Hong-yap-chung, ia berlaku manis terhadap Sie-wie ke-rajaan Ceng, tapi kenapa sekarang ia berlaku begitu garang dan sekali bergerak sudah melukai orang? Ia juga merasa tidak mengerti, mengapa wanitayang berusia begitu muda, sudah bisa mempunyai ke¬pandaian yang begitu tinggi. Kecuali Tio Poan San,

belum pernah ia menemui orang lain yang ilmu silatnya lebih lihay daripada nona itu.

Na Cin adalah seorang yang sangat berhati-hati. Sesudah melihat kepandaian Wan Cie Ie, lebih-lebih ia tak berani berlaku ceroboh. Ia ingin sekali mengetahui, siapa sebenarnya wanita yang lihay itu. "Ilmu Teng-hong-pian-kee yang dimiliki nona, se-perti juga ilmu dari keluarga Tong di Shoasay," katanya. (Teng-hong-pian-kee yang berarti Men-dengar angin membedakan senjata adalah ilmu un-tuk mengetahui sesuatu bokongan. Dengan ilmu itu, yang hanya mengandalkan ketajaman kuping, seseorang bisa mengetahui setiap serangan tanpa melihatnya. Di waktu menyambuti pedang itu yang jatuh dari tengah udara, Wan Cie Ie telah meng-gunakan ilmu tersebut).

Si nona tertawa dan berkata: "Matamu lihay juga. Tapi bagaimana dengan ilmu ini?" Sembari berkata begitu, ia melontarkan pedang itu ke tengah udara. Kali ini, senjata itu melesat bukan dengan ujung meluncur ke atas, tapi jungkir balik tak henti-hentinya, sehingga memberi pemandangan yang sa¬ngat aneh. Na Cin mendongak, mengawasi. Men-dadak, ia merasakan sambaran angin aneh dan ada apa-apa yang menyambar tubuhnya. Bagaikan kilat, ia menjejak kakinya dan badannya melesat ke be-lakang kurang lebih dua tombak. Sesaat itu, ia melihat berkelebatnya bola emas di ujung cambuk Wan Cie Ie di samping pinggangnya. Ternyata, selagi ia mendongak, si nona memecut dan jika bukannya keburu loncat, sudah pasti pedangnya akan kena dirampas.

Wan Cie le merasa sayang akan kegagalannya

itu, sedang Na Cin mendongkol tercampur malu. Ia merasa malu, bahwa sebagai jago di daerah Tiong-kok Tenggara, dengan mempunyai ribuan murid yang tersebar di empat propinsi (Kwitang, Kwisay, Hunlam dan Kwiciu) dan juga sebagai ahli silat yang belum pernah dijatuhkan orang selama kurang lebih dua puluh tahun, ia sekarang tidak dipandang se-belah mata oleh seorang wanita yang masih belum hilang bau pupuknya.

Sekarang, tak dapat ia menahan sabar lagi. "Srt!" ia menghunus pedangnya dan berseru: "Baik-lah! Tak ada jalan lain daripada memohon peng-ajaran nona."

Ketika itu, pedang yang barusan dilemparkan, tengah melayang turun. Dengan gerakan yang sa¬ngat indah, si nona menggulung gagang pedang itu dengan ujung pecutnya dan tiba-tiba ujung pedang itu menyambar ke dada Na Cin. Sekali lagi Wan Cie Ie mengeluarkan kepandaiannya yang aneh-aneh. Na Cin terkejut, buru-buru ia mengangkat pedang¬nya untuk membela diri.

"Siang-cu-cui-siauw (Dewa Siang Cu meniup seri'ling)!" seru Wan Cie Ie.

Gerakan Na Cin yang barusan memang juga adalah gerakan Siang-cu-cui-siauw dari Pat-sian-kiam (Ilmu pedang delapan dewa) Pat-sian-kiam adi-lah ilmu pedang yang banyak dikenal di Tiong-kok Tenggara, sehingga bukan suatu keheranan jika si nona juga mengenal ilmu tersebut.

"Benar, memang Siang-cu-cui-siauw, kenapa?" ben'.a't Na Cin.

"Im-yang-po-san!" seru pula Wan Cie Ie sem¬bari meigedut cambuknya dan ujung pedang itu

menyambar ke dada kiri kanan Na Cin. Benar saja pukulan itu adalah Han-ciong-lee-im-yang-po-san dari Pat-sian-kiam. (Han-ciong-lee-im-yang-po-san berarti kipas mustika dari dewa Han Ciong Lee).

Na Cin kaget. Bahwa nona itu bisa bersilat dalam ilmu Pat-sian-kiam, tidak merupakan suatu keheranan. Apa yang luar biasa adalah cara me-nyerangnya. Dengan menggunakan ujung cambuk untuk "mencekal" gagang pedang, tenaga yang menggerakkan pedang itu adalah tenaga "kosong". Jika kebentrok dengan senjata lain, pedang itu pasti akan jatuh. Tapi di luar dugaan, baru saja Na Cin menggerakkan senjatanya untuk menyampok, Wan Cie le sudah berteriak pula: "Cay-ho-hian-hoa (Dewa Na Cay Ho mempersembahkan bunga)!" Sembari berteriak, ia menarik pulang cambuknya. Pedang itu jatuh dan segera ditangkapnya, kemudian sem¬bari mencekal pedang serta cambuk ia mengawasi lawannya dengan bersenyum manis.

Sedari tadi, Na Cin sudah menimbang-nimbang, tindakan apa harus diambilnya untuk menghadapi si nona yang caranya aneh-aneh. Cambuk adalah senjata panjang, sedang pedang senjata pendek. Si nona menunggang kuda, sedang ia sendiri berjalan kaki. Karena dua hal itu, ia sudah berada dalam kedudukan yang lebih jelek. Salah sedikit saja, namanya yang sudah harum puluhan tahun, akan habis seperti disapu angin. Maka itu, sambil melin-tangkan pedangnya di depan dada, ia berkata dengan suara sungguh-sungguh: "Main-main secara begini, tak ada gunanya. Jika benar-benar nona ingin mem-beri pengajaran dalam ilmu Pat-sian-kiam, aku yang rendah bersedia untuk melayani sejurus dua jurus."

"Baiklah," jawab si nona. "Jika aku tidak men-jatuhkan kau dengan ilmu pedang Pat-sian-kiam, kaii agaknya tak rela menyerahkan kedudukan Ciangbun." Sembari berkata begitu, ia meloncat turun dari tunggangannya dan melibatkan Joan-piannya di pinggangnya.

Sambil mengebaskan pedangnya, Wan Cie le melirik Ouw Hui. "Tunggu dulu!" katanya. "Aku melayani kau main-main sedikit, sedikit pun tiada halangannya. Tapi, selagi kita main-main, mungkin sekali kudaku akan dibawa kabur oleh pencuri kuda."

"Tidak," kata Ouw Hui. "Aku berjanji, selama kau bertempur aku tak mengganggu kudamu."

"Hm!" si nona mengeluarkan suara di hidung. "Ouw Hui kecil banyak akalnya. Siapa percaya ke-padanya, tentu kena diingusi." Sembari berkata be¬gitu, tangan kirinya menjambret les kuda, sedang tangan kanannya menikam Na Cin dengan pukulan Thio-ko-lo-to-kie-louw (Thio Ko Lo menunggang keledai dengan jungkir balik).

Melihat lawannya menyerang dengan sebelah tangan menuntun kuda, diam-diam Na Cin menjadi girang. "Siapa suruh kau mencari mampus," pikir-nya. Tanpa berkata suatu apa, lantas saja ia me-ngirimkan serangan-serangan hebat, seperti Po-in-kian-jit (Menyapu awan melihat matahari), Sian-jin-tit-louw (Dewa menunjuk jalan) dan Iain-lain.

Diserang secara bertubi-tubi, Wan Cie le tak berani memandang enteng lagi lawannya, meskipun paras mukanya masih terus bersenyum. Sekarang ia mengakui kebenaran perkataan gurunya, bahwa ilmu pedang Pat-sian-kiam adalah ilmu yang tak

boleh dibuat gegabah. Dcngan sebelah tangan me-nuntun kuda, tak dapat ia memutarkan badan atau meloncat kian ke mari. Tapi, walaupun dalam ke-dudukan yang jelek itu, ia masih dapat memper-tahankan diri secara sempurna dan sedikit pun Na Cin tak bisa menemukan hagian-bagian pembelaan-nya yang lemah. Sesudah menyerang beberapa lama dan sesudah mendapat kenyataan, bahwa si nona selalu melayaninya dengan ilmu Pat-sian-kiam, bu-kan main herannya Na Cin.

Ia tak habis mcngcrti. bagaimana dalam partai Pat-sian-kiam bisa kc !uar seorang jago muda seperti nona itu.

Tempat di mana mereka bertempur adalah jalan raya kota Heng-yang yang menuju ke selatan dan utara. Baru saja kedua orang itu bertanding be¬berapa belas jurus, dari sebelah utara datang sejumlah pedagang garam yang mendorong sebuah kereta, sedang dari sebelah selatan terlihat mun-culnya dua kereta keledai. Melihat ada orang ber¬tempur, mereka berhenti di sebelah jauh untuk menonton. Sebelum berapa lama, jumlah orang sudah jadi lebih banyak. Mereka tidak meneruskan perjalanan mereka, periama, karena ketarik kepada perkelahian yang seru itu dan kedua, karena takut terhadap kedua Sie-wie yang menunggu di dekat situ.

Sekarang Na Cin mendapat kenyataan, bahwa meskipun nona itu sudah pernah mempelajari Pat-sian-kiam, akan tetapi ia masih belum dapat me-nyelami bagian-bagiannya yang tersulit. Tapi, ka¬rena ia paham macam-macam ilmu silat, maka setiap kali terdesak, ia selalu bisa meloloskan diri dengan

menggunakan pukulan-pukulan aneh yang mirip dengan Pat-sian-kiam, tapi bukan Pat-sian-kiam. Itulah sebabnya, mengapa Na Cin tak gampang-gampang merubuhkan Wan Cie le.

Melihat bahwa semakin lama jumlah penonton jadi semakin besar, Na Cin rnenjadi bingung serta malu. Sebagai pemimpin suatu partai silat yang ternama, ia sekarang harus melayani seorang wanita muda yang sebelah tangannya menuntun kuda. An-daikata ia tak sampai kalah dan pertempuran itu berakhir seri, ia tentu tak mempunyai muka lagi untuk menghadiri pertemuan para Ciangbunjin di kota raja. Memikir begitu, lantas saja ia mengempos semangatnya dan menyerang bagaikan hujan dan angin dengan pukulan-pukulan simpanannya yang sudah dilatihnya selama puluhan tahun. Dalam se-kejap seluruh badan Wan Cie le seolah-olah sudah dikurung sinar pedang musuh. Melihat begitu, ke-cuali kedua Sie-wie, semua penonton merasa kha-watir akan keselamatan nona cantik itu.

Di lain pihak, semhari bertempur, si nona me-lirik Ouw Hui. Ia melihat paras muka pemuda itu seperti tertawa, tapi bukan tertawa, sikapnya se-akan-akan mengandung ejekan. "Bocah!" katanya di dalam hati. "Kau mentertawai aku? Baik! Se¬karang lihatlah lihaynya nonamu itu!"

Tapi, karena adanya perjanjian, bahwa dalam pertempuran itu kedua belah pihak harus meng¬gunakan ilmu silat Pat-sian-kiam, maka Wan Cie le tidak bisa mengeluarkan ilmu lain. Jika ia melepaskan les kudanva dan memperoleh kemenangan dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan ia juga khawatir dipandang

rendah oleh Ouw Hui. la jadi serba salah.

Sesudah lewat beberapa jurus lagi, tangan kiri-nya yang mencekal les, mendadak mengedut ke depan. Si putih adalah seekor kuda yang luar biasa cerdiknya. Begitu mendapat petunjuk, ia melompat dan berdiri atas dua kaki belakangnya, seperti juga mau menginjak kepala Na Cin.

Na Cin terkesiap, buru-buru ia miringkan ba-dannya. Pada detik itu tiba-tiba pergelangan ta-ngannya kesemutan dan... sebelum ia mengetahui apa yang terjadi, pedangnya sudah terbang ke te-ngah udara! Ia ternyata sudah kena dibokong ketika perhatiannya ditujukan kepada kuda putih itu. Da-lam Rimba Persiiatan, kepandaian Na Cin belum terhitung kepandaian ahli silat kelas utama. Tapi berkat berhati-hatinya, maka selama puluhan ta-hun, ia bisa mempertahankan nama baiknya. Dan sama sekali ia tak menyangka, bahwa pada hari itu, karena kurang hati-hati, ia harus rubuh dalam ta¬ngan seorang wanita muda.

Sementara itu, Na Cin sudah meloncat ke sam-ping tunggangannya dan mencabut sebatang pedang lain dari pelananya. Ternyata, sebagai orang yang selalu berhati-hati, untuk melakukan perjalanan ke kota raja, ia sudah membekal dua batang pedang.

Sebelum ia dapat berbuat suatu apa, mendadak suatu sinar putih sudah berkelebat. Ternyata, itulah pedang Wan Cie Ie yang dilontarkan ke atas. Di lain saat, kedua senjata itu kebentrok dan pedang Na Cin patah dua.

Na Cin terpaku, paras mukanya berubah pucat.

Begitu lekas ia sudah menyambuti pedangnya yang melayang turun dari udara, Wan Cie Ie segera

menikam lawannya, sembari berseru: "Co Kok Kiu-pek-pan (Dewa Co Kok Kiu menepuk papan)!"

Na Cin menyambut dengan senjatanya. Trang! pedang kedua dari Ciangbunjin Pat-sian-kiam su¬dah patah juga!

Kenapa bisa begitu?

Dalam pukulan tadi, Wan Cie Ie kembali meng-gunakan tipu daya yang sangat licin. Di waktu menikam, memang juga ia menggunakan pukulan Co Kok Kiu-pek-pan. Akan tetapi, di saat kedua pedang itu hampir kebentrok, mendadak ia meng-ubah pukulannya. Dengan begitu, pedang Na Cin menyampok tempat kosong. Dan, pada detik pe¬dang lawan tidak bertenaga, si nona menghantam! Na Cin mau mengerahkan tenaganya, tapi sudah tak keburu lagi, pedangnya sudah patah menjadi dua. Dengan perkataan lain: Pedang Na Cin seperti juga "memasang diri" untuk disabet putus.

Melihat, bagaimana seorang wanita muda de¬ngan beruntun mematahkan dua pedang musuhnya, semua penonton lantas saja bersorak sorai.

Sampai di situ, Na Cin mengetahui, bahwa tak guna ia meneruskan pertempuran itu. Sesudah me-mungut pedang kutungnya, ia meloncat ke atas punggung kuda dan berkata sembari menyoja. "Se-karang juga aku akan kembali ke kampung sendiri dan seumur hidupku, tak nanti aku memegang pe¬dang lagi. Akan tetapi. Jika ada orang menanyakan, siapa yang sudah menjatuhkan aku, bagaimana aku harus menjawabnya?"

"Aku she Wan bernama Cie Ie," jawab si nona yang lantas mengedut les kudanya dan mendekati Na Cin, untuk kemudian berbicara bisik-bisik di

kuping orang itu.

Mendadak saja, paras muka Na Cin berubah lagi, dari gusar berubah menjadi ketakutan dan menghormat. "Jika siang-siang aku sudah tahu, aku tentu tak akan berani melawan nona," katanya. "Jika nona bertemu dengan gurumu, tolonglah menyam-paikan hormat si orang she Na dari Ouwciu." Se-habis berkata begitu, ia menuntun kudanya dan mundur beberapa tindak, akan kemudian berdiri di pinggir jalan dengan sikap menghormat.

Wan Cie Ie menepuk kudanya seraya berkata sembari tertawa: "Maaflah!" Ia berpaling ke arah Ouw Hui sembari mesem dan mengedut les. Baru berjalan belasan tindak, kuda itu mendadak "ter-bang" ke tengah udara dan melompati belasan ke-reta garam itu dan kemudian kabur dengan ke-cepatan luar biasa.

Semua orang mengawasi dengan mulut ter-nganga dan di lain saat, Wan Cie Ie bersama si putih sudah tak kelihatan lagi bayang-bayangnya.

Sembari mengaburkan tunggangannya, hati si nona riang gembira karena mengingat, bahwa dalam sehari saja, ia sudah merubuhkan dua ahli silat kenamaan di daerah Selatan. Dalam girangnya, ia menyanyi-nyanyi.

Tapi, baru saja ia menyanyikan dua tiga baris sajak, mendadak ia merasakan panas-panas di pung-gungnya. Buru-buru ia meraba dan "Trarrr!" tangan dan punggungnya panas sakit bukan main, bajunya terbakar! Tentu saja ia kaget setengah mati. Tanpa menghiraukan apa pun juga, dengan gerakan Yan-cu-touw-lim (Anak walet masuk ke hutan) ia terjun ke sungai kecil yang kebetulan mengalir di pinggir

jalan. Begitu terkena air, api itu lantas saja padam. Dengan cepat ia naik pula ke darat, sembari me-raba-raba punggungnya. Ternyata bajunya ber-lubang dimakan api, tapi masih untung api itu belum membakar dagingnya.

Darah Wan Cie Ie seolah-olah mendidih. "Bangsat kecil Ouw Hui!" ia mencaci. "Tak salah lagi, kaulah yang main gila." Ia segera membuka buntalannya dan mengambil sepotong baju, tapi baru saja mau tukar pakaian, tiba-tiba ia melihat pundak kiri si putih bersemu hitam dan bengkak, sedang dua ekor sia-cu (semacam kutu berbisa yang hidup di dalam kayu) tengah merayap di punggung kuda itu. Wan Cie Ie terkejut, ia menyabet dengan cambuknya dan begitu lekas kedua kutu itu jatuh, ia menghancur leburkan kedua-duanya dengan se-buah batu besar. Racun sia-cu itu menjalar dengan cepat dan Sesudah mengeluarkan beberapa jeritan hebat, si putih menekuk kedua lutut depannya dan jatuh terguling di atas tanah.

Wan Cie Ie benar-benar bingung, ia tak tahu harus berbuat bagaimana dan hanya mulutnya yang mencaci tiada henti-hentinya: "Bangsat Ouw Hui! Binatang Ouw Hui...." Ia tak ingat lagi hal menukar pakaian dan dalam bingungnya, ia coba memencet bagian tubuh kudanya yang sudah menjadi hitam untuk mengeluarkan racunnya. Tapi si putih ke-sakitan dan berontak sekuat tenaganya.

Selagi ia tak berdaya, sekonyong-konyong di sebelah selatan terdengar bunyi tindakan kuda dan tidak beberapa lama kemudian, kelihatan tiga pe-nunggang kuda mendatangi. Orang yang berada di depan bukan lain daripada Ouw Hui sendiri.

lagalkan seekor elang, badannya Wan Cle le meiesat ke engah udara dan menubruk Ouw Hul.

Wan Cie le merasakan dadanya seperti mau meledak. la meloncat sembari mengayun cambuk-nya yang lalu disabetkan ke kepala Ouw Hui dengan seantero tenaganya. "Bangsat bau!" ia memaki. "Ke-pandaianmu adalah membokong orang! Apakah itu perbuatan seorang gagah?"

Ouw Hui menangkis dengan goloknya, sehingga cambuk si nona jadi terpental. "Kenapa kau me-ngatakan aku membokong orang?" tanyanya sem¬bari tertawa.

Berbareng dengan terpentalnya cambuk itu, Wan Cie le merasakan lengannya kesemutan. Ia mengetahui, bahwa pemuda itu tak boleh dipandang enteng, tapi dalam kalapnya, ia mencaci lagi: "Bang-sat! Kau menggunakan binatang beracun untuk mencelakakan tungganganku. Apakah itu bukan perbuatan bangsa buaya darat?"

"Aku tidak menyalahkan nona, jika nona men-jadi kalap," kata Ouw Hui pula, sembari nyengir. "Tapi, bagaimana nona mengetahui, bahwa Ouw Huilah yang sudah menurunkan tangan jahat?"

Wan Cie le kaget. Sekarang ia mendapat ke-nyataan, bahwa dua penunggang kuda lain yang mengikuti di belakang Ouw Hui adalah kedua Sie-wie yang tadi mengawani Na Cin. Tangan mereka diikat erat-erat dengan tambang dan kedua ujung tambang itu dipegang Ouw Hui. Sekarang si nona mendusin, bahwa kedua Sie-wie itu sudah menjadi tawanan Ouw Hui dan oleh karena itu, ia sudah menebak latar belakangnya.

"Apakah buah pekerjaan kedua bangsat itu?" ia membentak.

Ouw Hui tertawa. "Cobalah nona tanya, nama dan gelaran mereka yang besar," katanya.

"Kalau kau sudah tahu, hayo beritahukan pada-ku, jangan rewel," kata Wan Cie Ie dengan aseran.

"Baiklah," kata Ouw Hui sembari nyengir. "Se-karang aku memperkenalkan kedua orang besar ini, kepada nona. Yang itu adalah Siauw-ciok-yong Tio Beng, sedang yang ini adalah Kim-sia-cu Cui Pek Seng."

Mendengar gelaran itu, si nona lantas saja me-ngetahui, bahwa Siauw-ciok-yong adalah orang yang melepaskan api kepadanya, sedang Kim-sia-cu adalah majikan dua ekor kutu berbisa itu. Ternyata, mereka sudah melakukan pekerjaan itu, ketika si nona sedang bertempur dengan Na Cin.

Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Wan Cie Ie mengayun cambuknya. "Terrrr... terrr..." enam kali cambuk kuda itu berbunyi beruntun, setiap orang dipersen tiga cambukan. Hampir berbareng, kepala dan muka kedua Sie-wie itu mengucurkan darah.

"Lekas keluarkan obat pemunah untuk kuda-ku!" bentak Wan Cie Ie dengan bengis. "Jika ayal-ayalan, akan aku persen lagi dengan tiga cambukan. Sekali ini dengan cambuk ini." la mengebaskan Joan-piannya di tengah udara dan kemudian me-nyabet jatuh sebatang cabang pohon liu. Kim-sia-cu yang sudah ketakutan setengah mati, mengangkat kedua tangannya yang terikat dan berkata dengan suara gemetar: "Bagaimana aku bisa...." Belum habis perkataannya, Ouw Hui sudah mengayun goloknya dan tali yang mengikat pergelangan tangan Kim-sia-cu, jatuh di atas tanah. Sabetan golok itu merupakan suatu pertunjukan untuk memperlihatkan ke-lihayannya sendiri. Tenaga yang digunakan adalah

sedemikian tepatnya, sehingga meskipun tambang pengikat itu tertebas putis, kulit Kim- sia-cu sama sekali tidak terluka.

Wan Cie Ie mengerti maksud Ouw Hui. la hanya mengeluarkan suara di hidung sebagai ejek-an.

Buru-buru Kim-sia-cu mengeluarkan sebung-kus obat dari sakunya dan mengusapkan obat itu di luka si putih. "Sesudah memakai obatku, jiwa bi-natang ini tidak terancam lagi," katanya dengan suara perlahan. "Tapi, dalam tiga hari dia tidak boleh lari, supaya tulang dan otot-ototnya tidak mendapat luka."


DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar