-------------------------------
----------------------------
Jilid 2
Karena kata-kata dan sikap Yok
Lan ini, semua orang itu menjadi terhibur juga. Memang benar, dengan adanya
gadis itu di situ, tak mungkin Kim-bian-hud berpeluk tangan saja. Hampir
bersama tnereka menarik napas lega.
Sungguh berbeda dengan mereka,
Po-sie justru menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sikap ti-dak percaya.
"Meskipun dalam hal ilmu
silat, Biauw Tayhiap tiada tandingannya, tetapi kusangsikan apakah ia dapat
mendaki lamping gunung yang sangat curam ini," pendapatnya.
"Jika orang lain dapat
naik ke sini, bahkan mendirikan perkampungan ini, mengapa ayahku tak dapat
mencapai puncak ini?" Yok Lan membantah-nya.
"Di musim panas, memang
tidak terlalu sukar untuk mendaki sampai di sini. Tetapi sekarang, dalam musim
dingin, salju yang menutupi seluruh lereng, membuatnya terlalu licin untuk
dipanjat. Jika harus menunggu sampai tibanya musim panas dan salju itu lumer,
sedikitnya kita harus menunggu tiga bulan lagi. Koan-kee berapa banyakkah
per-sediaan bahan makanan di sini?"
"Justru kami sedang
mengirim orang untuk membeli persediaan baru dan mungkin sekali besok ia akan
sudah tiba kembali. Persediaan yang masih ada kurang lebih hanya cukup untuk
duapuluh hari, tetapi karena kedatangan kalian maka seharinya kita membutuhkan
lebih banyak lagi, sehingga ku-taksir persediaan itu hanya akan cukup untuk
se-puluh hari lagi."
Sedikit sinar terang yang tadi
dilihat orang-orang itu, sudah dihapuskan seanteronya oleh kata-kata Po-sie dan
le Koan-kee barusan. Sekarang mereka benar-benar putus asa dan di dalam hati,
mereka mencaci si Rase Terbang, yang menurut anggapan mereka luar biasa
kejamnya.
"Jika akhirnya kita harus
mati juga, setidaknya kita harus mengetahui persoalan yang menyebab-kan
kejadian ini," kata Yok Lan. "Taysu, sebenarnya karena apa kita jadi
dianggap musuh oleh si Rase Terbang? Berapa tinggikah kepandaiannya sehing¬ga
tuan rumah kita begitu ketakutan kepadanya? Lagipula apakah hubungannya dengan
kotak besi itu?"
Pertanyaan gadis itu sama juga
dengan pen-cetusan isi hati semua hadirin. Tanpa kecuali, me¬reka semua ingin
mengetahui soal itu sejelas-je-lasnya. Walaupun tadi mereka bertempur
mati-matian berebut kotak itu, sampai ada yang tewas karenanya, tetapi di
antara mereka itu, tidak ada yang mengetahui pusaka atau mustika apa dan apa
kegunaannya, hingga harus diperebutkan nekat-nekatan begitu. Mereka hanya tahu,
bahwa isinya benda mustika, lain tidak.
"Baiklah. Setelah kita
seakan-akan terjepit di sini, buru-buru juga tiada gunanya. Mari kita
mem-bicarakannya dengan jelas dan berterus-terang dan sesudah itu kita harus
bersatu padu. Mungkin kita masih dapat mencari jalan keluar. Sebaliknya, jika
kita masih saja ingin saling membunuh, tak usah disangsikan lagi, bahwa dengan
demikian kita akan celaka semua dan agaknya inilah yang diinginkan si Rase
Terbang," kata Po-sie.
Orang-orang itu menyetujui
pendapatnya dan segera duduk mengelilinginya. Pada saat itu, hawa di atas
gunung sudah jadi semakin dingin dan le Koan-kee menyuruh sebawahannya
menyalakan api. Dengan tenang semua orang itu kini duduk me-nantikan Po-sie
mulai dengan ceritanya.
Si hweeshio, sebaliknya, tidak
segera mulai. Lebih dulu ia mengangkat cangkirnya dan minum dengan
perlahan-lahan.
"Benar harum teh
ini," pujinya dan sesat ke-mudian ia mulai: "Kisah ini agak terlalu panjang,
jika harus diceritakan seluruhnya. Apakah kalian ingin melihat dulu golok
mustika yang disimpan di dalam kotak ini?"
Semua orang menyetujui
usulnya.
"Saudara, kau adalah
Ciang-bun-jin Thian-liong-bun cabang Utara, silakan membukanya untuk di-perlihatkan
kepada yang lain," kata Po-sie sambil menyodorkan kotak itu kepada Hun
Kie.
Hun Kie menerimanya, tetapi
mendadak ia ingat, bagaimana tadi, ketika To Cu An membuka tutup kotak telah
menyambar beberapa batang anakanak panah dari dalamnya, untuk melukakan mu-suh.
Seketika itu tak berani membukanya, khawatir jika di dalam kotak itu dipasang
alat-alat dan senjata rahasia yang dapat mencelakakannya. Semua ini membuat ia
ragu-ragu. Po-sie melihat keraguannya, tetapi ia hanya bersenyum tanpa mengeluarkan
sepatah kata.
Jika orang memperhatikan kotak
itu, ia akan mendapat kenyataan, bahwa peti itu sudah tua dan berkarat. Saking
tuanya, dindingnya juga sudah legok di sini dan menonjol di bagian sana.
Te-ranglah, bahwa barang itu, barang kuno yang se-dikitnya sudah berusia
ratusan tahun, tetapi selain itu tidak ada tanda-tanda lain yang istimewa.
Tam-paknya hanya seperti kotak biasa saja.
Lewat berapa saat, Hun Kie
mengambil ke-putusan untuk membuka juga tutup peti itu. Pi-kirnya: "Jika
aku tak berani membukanya, aku tentu akan ditertawakan si bangsat kecil To Cu
An." Sambil menggertak gigi dan menahan napas, ia segera memegang tutup
peti itu. Ia mengerahkan tenaganya, tetapi walaupun ia sudah berusaha
se-kuat-kuatnya, tutup peti tersebut tak bergeming sedikit jua.
Ia menghentikan usahanya untuk
memeriksa, mengapa barang itu tidak dapat dibuka. Untuk keheranannya, ia tak
mendapatkan lubang kunci atau alat lain. Ia menjadi penasaran, dengan kedua-dua
tangannya dan sambil mengeluarkan seantero tenaganya ia menarik lagi, tetapi
lagi-lagi segala daya upayanya hanya sia-sia belaka.
Melihat, bagaimana suhengnya
sudah mengerahkan seluruh tenaganya tanpa memperoleh hasil, Ceng Bun segera
mengerti, bahwa kotak tersebut tentu mempunyai suatu alat rahasia. Jika orang
hendak membukanya secara paksa, bukan saja ia tak akan berhasil, bahkan mungkin
sekali ia akan mendapat celaka karenanya. Oleh karena itu, ia segera menoleh
kepada Hun Yang dan mengusul-kan supaya ia saja yang coba membukanya.
Hun Yang tak pernah menduga,
bahwa ia akan diminta melakukan itu, ia menjadi ragu-ragu dan menjawab:
"A... aku tidak bisa...."
Walaupun ia sudah
terang-terang menolaknya, tetapi Tian Ceng Bun tetap mengambil kotak itu dan
menyodorkannya kepadanya.
"Aku yakin, bahwa kau
bisa membukanya," ujar-nya dengan halus dan disertai senyuman.
Dengan terpaksa Hun Yang
mengambil dan menempatkan kotak itu di atas meja. Ia tidak segera mencoba
membukanya selaku Hun Kie tadi, sebaliknya ia hanya meraba-raba seluruh
tutupnya, kemudian jari tangannya bergerak mengelilingi tepi kotak itu. Tiga
kali ia mengulangi gerakan itu dan akhirnya ia menekankan jempolnya ke tengah
dasar peti itu dari bawah. Hampir pada saat itu juga dengan mengeluarkan bunyi
menjeblak, tutup peti itu seakan-akan meloncat.
Segenap anggota
Thian-liong-bun yang berada di situ, menjadi heran. Mereka melirik ke arah Hun
Yang dan dengan terheran-heran mereka menanya di dalam hati: "Siapa yang
mengajarkannya, bagai¬mana ia harus membuka peti itu?"
Tetapi mereka tidak
memikirkannya lama-lama. Segera juga mereka sudah mendekati peti itu dan
menjenguk ke dalamnya. Isi peti itu, benar-benar sebilah golok yang masih
berada dalam sarungnya.
Po-sie mengangkat golok itu
dan menunjuk ke tepi sarungnya, di mana terdapat dua baris huruf-huruf kecil.
"Coba periksalah," katanya.
Sarung golok itu sudah
berkarat dan penuh dengan lumut. Goloknya sendiri juga sebilah golok kuno biasa
yang tidak ada tanda-tanda ke-istimewaannya, hanya arti huruf-huruf itu yang
agak aneh:
"Membunuh seorang
kusamakan dengan membunuh ayahku, memperkosa seorang wanita kuang-gap sama
dengan memperkosa ibuku."
Maksud tulisan itu sudah
terang. Maksudnya adalah, melarang orang melakukan perbuatan tersesat, tetapi
mengapa harus diukirkan kepada sarung golok itu?
"Tahukah kalian,
bagaimana asal usul dua baris perkataan ini?" tanya Po-sie.
"Entahlah," jawab
semua hadirin berbareng.
"Inilah hukum militer
Cwan Ong Lie Cu Seng, sedang golok ini adalah golok Cwan Ong, ketika dengan
tentaranya yang berjumlah jutaan ia berusaha mengakkan kerajaannya untuk
menolong ne-gara dari kemusnahan."
Semua hadirin memandang wajah
Po-sie dengan sikap heran. Agaknya mereka masih belum percaya akan kebenaran
ceritanya.
Ketika itu, Cwan Ong sudah
meninggal ratusan tahun sebelumnya, tetapi sepak terjangnya dan ke-wibawaannya
masih diingat dan dikagumi semua orang gagah dan pencinta tanah air.
"Jika kalian masih tidak
percaya, lihatlah di sebelah sini," kata Po-sie sambil membalikkan golok
itu.
Di sebelah itu, diukirkan tiga
huruf yang agak, besar: "Cwan Ong Lie". Melihat tiga huruf itu, mau
tak mau mereka harus percaya juga.
"Dahulu, ketika para
pahlawan dan puluhan ceecu (kepala perampok) berserikat untuk ber-gerak, Lie Cu
Seng telah diangkat menjadi pe-mimpin besar dan diberi gelar 'Cwan Ong'.
Belasan tahun ia berjuang dengan susah payah, akhirnya ia dapat merebut
Pak-khia dan Dynasti Beng berakhir dengan bunuh diri Kaisar Cong Ceng. Setelah
itu ia dinobatkan sebagai raja baru dan nama kerajaannya adalah: 'Tay Sun'.
Jika bukan karena si peng-khianat Gouw Sam Kwie menjual negara dan mem-biarkan
bahkan mengundang tentara Boan mele-wati dinding besar, memasuki tanah air
kita, sampai hari ini pasti keturunannya masih berkuasa sebagai raja dan kita
tidak harus menelan hinaan bangsa asing seperti sekarang. Sedari jaman purba,
belum pernah ada yang dapat mengadakan gerakan besar-besaran seperti yang
diselenggarakannya."
Po-sie berhenti sebentar dan
menghela napas. "Sungguh sayang, bahwa ia menjadi kaisar hanya beberapa
hari itu saja, belum sampai sebulan. Tahun Cong Ceng ketujuh belas tanggal 19
bulan tiga ia memasuki Pak-khia. Pada tanggal 12 bulan empat ia harus
meninggalkan istananya untuk mem-bendung serbuan tentara Boan di sebelah Utara.
Akhir bulan itu ia mengalami kekalahan besar dan ia harus mengundurkan diri ke
sebelah Barat Daya. Sejak itu negeri kita dikuasai dan diilas-ilas bangsa asing
dan bangsa kita terpaksa menelan saja hinaan penjajah yang semena-mena
itu." (Kisah Cwan Ong merebut Pak-khia, ‘kim coa kiam’).
Cerita Po-sie ini sangat menusuk
bagi Lauw Goan Ho, si gundal bangsa Boan. Dengan sikap gusar ia menatap wajah
hweeshio itu. Di dalam hatinya ia berkata: "Besar benar nyalinya, ia
be-rani mengucapkan kata-kata yang sukar diam-puni."
Ketika itu Po-sie sudah
mengembalikan golok itu ke dalam peti. Setelah berhenti sebentar ia melanjutkan
ceritanya: "Si pengkhianat Gouw Sam Kwie masih mengejar terus dan pada
suatu hari, dalam suatu pertempuran yang sengit, Cwan Ong terluka parah.
Setelah menderita kekalahan ini, ia sudah tak punya pengharapan lagi untuk
merebut kemenangan. Dari Hoo-lam ia mundur ke Ouw-pak. Sementara itu dalam
keadaan putus asa, banyak panglima dan perwiranya yang jadi bertengkar antara
kawan sendiri, malah sampai ada yang saling membunuh. Dengan demikian tenaga
angkatan pe-rangnya jadi terpecah belah dan banyak berkurang. Ia mundur terus,
sehingga akhirnya ia terkepung rapat di bukit Kiu-kiong-hu. Dengan sisa
tentara-nya, yang terdiri daripada pengikut-pengikutnya yang paling setia, ia
berulang-ulang berusaha rae-nembusi kepungan musuh, tetapi karena tentaranya
yang berjumlah kecil itu sudah letih sekali, segala daya upayanya sia-sia
saja."
Po-sie berhenti lagi sebentar.
Biauw Yok Lan memandang golok itu dan ia membayangkan kepah-lawanan dan
kegagahan Cwan Ong, ia sangat tertarik dan pada saat ia mengingat kemusnahan
tentara pahlawan sendiri, ia sangat berduka dan wajahnya juga segera berubah
menjadi muram.
"Dalam menghadapi bahaya
kemusnahan itu. Cwan Ong didampingi empat pengawalnya yang paling setia.
Keempat-empatnya mempunyai kepan-daian yang sangat tinggi. Empat orang itu
masing-masing she Ouw, Biauw, Hoan dan Tian. Dalam melindungi keselamatan Cwan
Ong mereka selalu bekerja sama dengan erat, maka dalam tentara Cwan Ong mereka
biasa disebut dengan Ouw-biauw-hoan-tian, gabungan she mereka."
Di antara para hadirin yang
berotak cerdas sudah segera mengerti, bahwa empat orang itu tentu mempunyai
hubungan yang erat dengan peristiwa yang mereka alami.
Tian Ceng Bun melirik ke arah
Biauw Yok Lan, yang pada saat itu sedang mengorek-ngorek api dalam perapian.
Agaknya ia sedang melayangkan pikirannya ke jaman yang lampau itu di bawah
pengaruh kisah yang baru didengarnya dari mulut Po-sie.
Sebelum meneruskan pula
ceritanya, Po-sie le-bih dulu menatap wajah Lauw Goan Ho. Kemudian dengan suara
nyaring yang bernada angker ia mulai berbicara lagi.
"Entah sudah berapa
banyak kesulitan dan ba¬haya yang telah dihadapi empat pahlawan itu, dan entah
berapa kali mereka sudah menyelamatkan jiwa Cwan Ong. Karena jasa-jasa mereka
yang di-buat dengan kesetiaan dan kejujuran tak tergoyang-kan, tentu saja Cwan
Ong jadi sangat mempercayai mereka. Dari empat orang yang gagah berani ini, si
orang she Ouw berkepandaian paling tinggi, selain itu ia juga berotak cerdas
sekali. Ia terkenal sebagai Hui-thian-ho-lie' (Rase Terbang)."
Kata-kata terakhir ini sangat
mengejutkan bagi semua hadirin. Mereka mengeluarkan teriakan ter-tahan.
Po-sie sama sekali tidak
menghiraukan seruan mereka itu. la terus mengisahkan riwayat itu tanpa
menengok.
"Sementara itu, keadaan
Cwan Ong di atas Kiu-kiong-san, sudah jadi sedemikian gentingnya. Berulangkali
Cwan Ong mengirim orang untuk min-ta bala bantuan. Tetapi setiap kali sampai di
kaki gunung, utusan itu sudah harus mengalami bencana. Pada saat terakhir,
karena keadaan sudah hampir tak tertahankan lagi, terpaksa ia mengirim tiga
orang dari empat pengawal utamanya, yang she Biauw, she Hoan dan she Tian untuk
mencari bala bantuan. Pengawal she Ouw itu ditinggalkan untuk mengawani dan
melindungi keselamatan Cwan Ong seorang diri. Tiga orang itu berhasil menembusi
kurungan musuh dan dapat pula kembali membawa bala bantuan. Betapa terkejutnya
mereka, ketika setiba mereka, ternyata Cwan Ong sudah mengalami nasib malang
dan menurut kabar yang tersiar, sudah tewas terbunuh. Mereka menangis
tersedu-sedu, bahkan dalam kedukaannya, pahlawan she Tian itu sudah hendak
membunuh diri sebagai per-nyataan setia kepada junjungannya. Untungnya ia
keburu dicegah oleh dua kawannya. Mereka membujuknya dengan mengatakan, bahwa
sakit hati yang sedalam laut itu harus dibalas dulu. Kemudian mereka
menyelidiki tentang bencana yang telah menimpa Cwan Ong dan bagaimana ia telah
tewas. Dari keterangan-keterangan yang mereka kumpulkan dari sana sini, mereka
mendapat kesan, bahwa rekan mereka she Ouw itu masih hidup. Meng-ingat, bahwa
kepandaian orang itu tiada taranya dan kecerdasannya juga sangat luar biasa,
mereka berpendapat, bahwa dengan bimbingan rekan ter-sebut, mereka akan dapat
juga melaksanakan pem-balasan sakit hati itu. Dengan keyakinan ini, mereka
lantas berikhtiar mencari jejak rekan she Ouw itu."
Po-sie berhenti sebentar untuk
menghirup teh-nya.
"Menurut cerita yang
tersiar di antara kaum tua di kalangan Bu-lim (kalangan ahli-ahli silat), hasil
usaha ketiga orang itu, yang mencari rekan mereka, telah berekor panjang,
bahkan turun me-nurun pesan mereka itu diturunkan kepada anak cucu mereka,
supaya peristiwa itu tidak dilupa-kan."
Bercerita sampai di sini,
Po-sie menoleh kepada Biauw Yok Lan dan berkata, "Loo-lap adalah orang
luar yang hanya mengetahui sedikit sekali tentang hal ini. Nona Biauw tentu
mengetahui segala se-suatu yang mengenai kejadian itu dan jika ia yang
bercerita, kisah ini tentu akan menjadi lebih me-narik dan lebih lengkap."
Yok Lan tidak menolak dan
segera sudah mulai menggantikan si hweeshio bercerita tanpa meng-angkat kepala.
"Ketika aku genap berusia
tujuh tahun, aku melihat pada suatu malam ayahku membersihkan dan mengasah
pedang. Aku mengatakan, bahwa aku takut melihat senjata dan aku minta kepadanya
supaya menyimpan dan tidak bermain lagi dengan senjatanya. Tetapi ayah
mengatakan, bahwa ia ma¬sih membutuhkan pedang itu untuk membunuh seorang lagi
dan jika ia sudah menyelesaikan itu, baru ia akan menyimpan pedangnya untuk
selama-lamanya. Mendengar perkataannya itu, aku jadi semakin ketakutan. Karena
berulang-ulang aku mendesak, supaya ia tidak membunuh orang, maka kemudian ia
menceritakan kisah ini."
"Ia menceritakan, bahwa
pada suatu waktu, di masa dahulu, pernah terjadi, bahwa saking miskin-nya,
rakyat sampai tak dapat makan apalagi ber-pakaian. Ketika itu, kulit pohon
sampai pun rumput dimakan oleh rakyat yang sangat kelaparan itu. Beribu-ribu
orang harus mati kelaparan, tidak ter-kecuali bayi-bayi yang ibunya telah
kekeringan air tetek. Akan tetapi, di tengah-tengah penderitaan rakyat jelata
yang demikian hebatnya itu para pem-besar negeri masih saja memeras rakyat dan
me-mungut pajak yang berat-berat dalam bentuk uang maupun dalam bentuk hasil
bumi yang sudah sangat sedikit itu. Di samping mereka, kaum hartawan juga turut
memberatkan beban si orang kecil dengan memungut uang sewa tanah yang sangat
tinggi. Sungguh kasihan, mereka yang tak dapat memenuhi segala kemauan pembesar
korup dan hartawan ke-jam itu, ditangkap-tangkapi dan disiksa untuk ke¬mudian
dibunuh. Jiwa rakyat kecil dianggap remeh sebagai juga jiwa semut. Ayah telah
mengajarkan aku menyanyikan sebuah lagu yang menurut kata-nya, adalah gubahan
seorang 'Bun bu siang coan' (seorang ahli sastera yang juga mahir dalam hal
silat). Perlukah aku mengulangi lagu itu?"
Po-sie sudah dapat menebak
siapa yang dimak-
sudkan dengan "Bun bu
siang coan" itu, yakni Lie Giam, salah seorang perwira Lie Cu Seng yang
sangat terkenal. Tetapi hadirin yang lain agaknya belum tahu siapa yang
dimaksudkan itu dan mereka segera mengatakan: "Silakan, nona."
Lagu Lie Giam itu melukiskan
keadaan pada masa itu, membawakan amanat penderitaan rakyat, terutama kaum
petani yang tertindas paling hebat. Dengan sedikit kata-kata yang sangat tepat,
diceri-takannya, bagaimana panen gagal, harga-harga ba-rang keperluan
sehari-hari membumbung tinggi, sehingga rakyat harus memakan rumput atau
akar-akar tanaman. Dilukiskannya, dengan cara yang sangat mengharukan,
bagaimana, di tengah-tengah kesengsaraan yang memuncak itu, pembesar-pem-besar korup
masih hidup mewah bahkan berlaku sangat sewenang-wenang, teladan mana segera
su¬dah diikuti para hartawan. Masa itu tiada salahnya disebutkan 'Jaman banjir
air mata dan darah'.
Dengan penuh perhatian para
hadirin mendengarkan uraian Yok Lan mengenai syair lagu tersebut yang kemudian
dinyanyikannya juga. Ke¬tika itu adalah dipertengahan masa pemerintahan kaisar
Kian-liong dan keamanan dalam negeri sedang baiknya. Tetapi terhadap bencana
alam seperti banjir dan paceklik semua orang tak dapat melakukan sesuatu. Maka
di daerah-daerah tertentu, yang setiap tahun harus mengalami malapetaka,
penghidupan rakyat masih tiada bedanya dengan di masa yang dikisahkan dalam
lagu itu. Banyak antara mereka yang sudah pernah melihat sendiri kejadian
seperti itu. Lagipula Yok Lan telah menguraikan dan membawakan lagu itu dengan
cara dan suara yang sangat tepatnya, maka segera juga semua hadirin seakan-akan
merasakan sendiri apa yang dikisahkan. Mereka terpesona dan hati mereka jadi
turut berduka karenanya.
Beberapa saat kemudian Yok Lan
sudah meneruskan lagi ceritanya.
"Karena penderitaan itu
yang berlarut-larut tanpa ada akhirnya, bahkan semakin lama kian hebat, maka
akhirnya rakyat tak dapat bersabar lagi apalagi setelah kemudian muncul seorang
pahiawan yang berjiwa besar. Di bawah pimpinannya, tentara rakyat itu kemudian
dapat menguasai Pak-khia (Pe¬king) dan mengakhiri riwayat pemerintah kerajaan
yang sangat lalim itu. Sungguh malang, bahwa tidak lama kemudian pemimpin yang
sangat mulia itu dibunuh orang jahat. Sebagai tadi diceritakan taysu tiga
pengawalnya kemudian mencari rekan mereka yang agaknya tidak turut tewas.
Mereka ber-keyakinan penuh, bahwa dengan pimpinannya, me¬reka akan dapat
melaksanakan pembalasan sakit hati Cwan Ong."
"Dalam pada itu, bangsa
Boan sudah berhasil menjajah seluruh tanah air kita. Di mana-mana semua
simpatisan Cwan Ong dan patriot lain dikejar dan, bila saja ketangkap tentu
disiksa sehingga tewas. Karena ancaman bahaya itu, maka untuk keselamatan
mereka harus melaksanakan maksud mereka itu dengan menyamar. Seorang menyamar
sebagai tabib keliling, seorang lagi sebagai pengemis dan yang ketiga sebagai
kuli. Tiga orang ini dan rekan mereka yang sedang dicari itu adalah
saudara-saudara angkat, dalam perhubungan mereka selama bertahun-tahun, keempat
orang ini sudah menjadi
sangat akrabnya, bahkan sampai
melebihi hubungan antara saudara kandung. Selama delapan tahun mereka
mencarinya tanpa mengenal lelah, tanpa dapat menemukan jejaknya. Akhirnya
mereka ber-pendapat, bahwa rekan itu yang sekalian menjadi saudara angkat tetua
mereka, tentu sudah tewas dalam pertempuran. Tak usah dijelaskan, betapa
sedihnya mereka pada saat itu."
Kata-kata Yok Lan diucapkan
sebagai juga ia sedang bercerita kepada anak kecil. Agaknya ia meniru gaya
ayahnya ketika bercerita dahulu. Nada suaranya sangat sabar lagi halus, sebagai
juga de¬ngan itu ia hendak mengutarakan kasih sayangnya. Semua hadirin mendapat
perasaan yang aneh dan mereka jadi mengerti bahwa Kim-bian-hud bukan saja
seorang pendekar yang berjiwa besar, tetapi juga seorang ayah yang sangat baik.
"Setelah lewat pula
berapa tahun tanpa men¬dapat hasil sedikit jua, mereka menghentikan usaha
mereka dan memutuskan untuk coba melaksanakan pembalasan sakit hati itu dengan
bertiga saja. Se-mentara itu mereka sudah mengetahui, bahwa si pengkhianat,
Gouw Sam Kwie, sudah diangkat men¬jadi raja muda di In-lam. Mereka bertekad
bulat untuk membinasakanya dan mereka segera juga berangkat ke In-lam."
Lauw Goan Ho dan Him Goan Hian
saling memandang. Yang seorang seakan-akan hendak mengecam sang kawan yang
telah menyeretnya ke dalam peristiwa itu, sehingga ia harus mengalami atau
mendengar kata-kata yang menusuk berulang-ulang. Sang sutee sebaliknya ingin
mengetahui, bagaimana sikap suhengnya terhadap kata-kata itu.
"Setelah mereka tiba di
Kun-beng, ibu kota In-lam, mereka segera mencari keterangan ten-tang istana
persemayaman pengkhianat keji itu dengan seksama. Maksud mereka adalah supaya
dengan sekali bergeraksaja mereka akan berhasil. Tak mau mereka menggeprak ular
di antara rum-put."
"Pada tanggal 5 bulan
tiga mereka sudah me-rasa cukup mengetahui hal istana itu dan dengan senjata
lengkap mereka menyatroni istana si peng¬khianat."
"Penjagaan di sekitar
tempat kediaman itu, ter-nyata sangat rapat, mungkin karena si pengkhianat
memang sudah mengetahui, bahwa lambat atau lekas tentu juga akan ada yang
mencoba mem-bunuhnya. Karena penjagaan yang luar biasa ke-rasnya itu, maka
ketiga saudara tadi hanya dapat mencapai halaman yang berdekatan dengan kamar
tidur si penjual tanah air. Sebelum mereka dapat masuk ke dalam, mereka sudah
kepergok dan harus bertempur melawan lebih dua puluh orang pe-ngawal istana
itu. Karena kepandaian mereka yang sudah jarang ada tandingannya, mereka dapat
me-nyelesaikan pertempuran itu dengan sangat ce-patnya. Setelah berapa orang di
antara para pe-ngawal itu sudah tewas atau terluka yang lain segera kabur
serabutan. Tanpa membuang-buang waktu mereka menyerbu ke dalam. Tetapi, agaknya
me¬mang belum ditakdirkan harus mati, pada saat peng¬khianat itu sudah tak
mungkin terlolos dari tangan mereka, mendadak dari suatu ruangan samping
ke-luar seorang yang meloncat ke depan pengkhianat itu dan menghalang-halangi
mereka turun tangan.
Tak dapat dilukiskan betapa
kagetnya tiga saudara ilu, ketiga mereka mendapat kenyataan bahwa penghalang
itu adalah kakak angkat mereka yang telah dicari siang malam selama tahun-tahun
itu. Dengan kepandaiannya yang memang jauh lebih tinggi daripada mereka
bertiga, kakak angkat itu dapat menghindarkan si pengkhianat dari kemati-an."
"Dalam kekalapan mereka,
tanpa memperduli-kan segala apa, mereka segera menerjang si kakak. Dalam pada
itu, para pengawal istana itu sudah datang membanjiri halaman di sekitar
ruangan itu. Karena yakin, bahwa mereka tak akan dapat me¬lawan begitu banyak
orang, mereka menerjang ke-luar dengan membuka jalan darah. Tetapi dalam
peristiwa itu yang menyamar sebagai kuli itu telah tertawan. Gouw Sam Kwie
memeriksa sendiri per-karanya. Karena ia tidak mau mengaku dan tetap membungkam
terhadap segala pertanyaan, maka atas perintah si pengkhianat ia dihajar
habis-ha-bisan dan kedua tulang kakinya dipatahkan, ke¬rn udian ia dimasukkan
ke dalam penjara."
"Mungkin karena menyesal
atas perbuatannya sendiri, secara diam-diam kakak angkat mereka itu kemudian
menolongnya secara diam-diam. Setiba-nya kembali di antara saudara-saudaranya,
si kuli dan kedua saudara itu saling merangkul dengan mengucurkan entah berapa
banyak air mata. Di samping kegirangan mereka karena dapat berkum-pul lagi
mereka juga merasa sangat sedih, karena ternyata, bahwa kakak angkat yang
sangat dipuja itu telah menakluk kepada musuh dan mengga-galkan usaha mereka
yang telah disiapkan sekian lama dengan memeras sekian banyak keringat.
Mengingat perubahan jiwa si kakak itu dari se-orang pahlawan menjadi seorang
budak musuh -hati mereka dirasakan perih sekali. Sebagai juga semua pengalaman
ini belum cukup menyiksa me¬reka, tak lama kemudian mereka bahkan mendapat tahu
terang halnya si kakak angkat bahwa kakak angkat itu telah membinasakan sendiri
junjungan mereka, ketika sudah sekian lama, sia-sia menanti-kan kedatangan
mereka kembali dengan bala ban-tuan. Kemudian ia telah menakluk kepada musuh
dan karena dianggap berjasa, ia telah diberi pangkat yang tinggi dan sampai
pada had itu, pangkatnya sudah menanjak menjadi Too-tok (penguasa perang di
suatu daerah tertentu). Kemudian, setelah men¬dapat kepastian akan kebenaran
berita ini, mereka memutuskan untuk pertama-tama membuat per-hitungan dengan
bekas rekan ini dan baru setelah itu berusaha membunuh si pengkhianat
lagi."
Pada saat itu semua hadirin
agak terkejut. Se-panjang pendengaran mereka, memang benar, bah¬wa Cwan Ong
telah tewas karena pengkhianatan salah seorang sebawahannya, tetapi mereka sama
sekali tidak pernah menyangka, bahwa yang ber-khianat itu adalah
Hui-thian-ho-lie, pengawal Cwan Ong yang sangat dipercaya.
Setelah menghela napas
panjang-panjang, Biauw Yok Lan melanjutkan pula kisah itu.
"Karena memang sedari
semula mereka sudah bukan tandingan si 'Rase Terbang', tentu saja, se¬telah
salah seorang di antara mereka bercacad, mereka tak dapat melawan bekas rekan
itu. Tetapi ketika mereka sedang memikirkan akal untuk melaksanakan maksud
mereka, si 'Rase Terbang' telah mengirimkan surat undangan kepada mereka untuk
datang di telaga Tin-tie pada tanggal 15 bulan tiga, untuk bersama-sama meminum
arak."
"Mereka beranggapan,
bahwa undangan itu ha-nya tipu muslihat si kakak, tetapi mengingat, bahwa
daerah itu berada di bawah kekuasaannya, sehingga tidak mungkin mereka dapat
menghindari kejaran-nya. Maka, apa boleh buat, walaupun harus meng-hadapi
bahaya yang bagaimana besar juga, mereka berangkat menjumpainya. Tetapi,
diam-diam me¬reka membekal senjata. Ternyata si 'Rase Terbang' sudah menantikan
mereka. Agaknya ia hanya da¬tang seorang diri tanpa membawa kawan, pakaian yang
dikenakannya juga terbuat dari kain kasar, seperti dahulu, ketika mereka masih
bersama-sama menunaikan tugas dalam tentara rakyat. Segera setelah berkumpul,
mereka membeli makanan dan minuman untuk bekal bertamasya di telaga di bawah
sinar bulan purnama. Dilihat sepintas lalu, mereka seperti sudah berbaik
kembali seperti di masa ber¬sama-sama berjuang."
"Sambil menikmati arak
dan makanan bekal mereka dan juga menikmati hawa sejuk di bawah sinar bulan
purnama, mereka mengobrol menge-nangkan kembali segala sesuatu yang
menggem-birakan di masa yang lampau. Si kakak angkat sama sekali tidak
menyebut-nyebut hal junjungan me¬reka. Ketiga saudara itu pun tidak berani
menanya-kan hal itu dan mereka juga hanya membicarakan hal-hal yang
menyenangkan saja. Semangkuk demi semangkuk, si 'Rase Terbang' minum terus dan
setelah lama sekali, setelah sang bulan naik tinggi, ia mendadak mendongak dan
berseru: 'Saudara-saudara, sepuluh tahun kita berpisah dan baru se-karang kita
dapat berkumpul lagi. Had ini, aku merasa sangat berbahagia!'"
"Saudaranya yang menyamar
sebagai tabib ke-liling tak dapat bersabar pula. Dengan tertawa mengejek ia
menjawab: 'Hm! Dengan pangkatmu yang tinggi dan kehidupanmu yang mewah, tentu
saja kau menjadi berbahagia! Hanya, entah ba-gaimana perasaan Goan-swee pada
saat ini.' Wa-laupun Cwan Ong akhirnya sudah naik tahkta se¬bagai kaisar,
tetapi karena sudah biasa sedari awal perjuangan, mereka menyebutnya sebagai
Goan-swee (Jenderal besar), mereka tak dapat mengubah panggilan itu."
"Dalam pada itu, demi
mendengar kata-kata si tabib, si 'Rase Terbang' menghela napas panjang-panjang
dan mengatakan, bahwa beiiau tentu me¬rasa kesepian dan setelah urusan di
tempat itu beres, ia akan menunjukkan jalan, agar mereka dapat menjumpainya.
Seketika mendengar kata-katanya, ketiga saudaranya menjadi sangat gusar, karena
mereka beranggapan, bahwa mereka akan ditunjukkan jalan ke akherat untuk
menjumpai ar-wah Cwan Ong. Yang menyamar sebagai kuli sudah hendak mencabut
senjatanya, tetapi keburu dicegah saudaranya yang menyamar sebagai tabib dengan
kerlingan mata. Yang tersebut belakangan ini se-gera mengangkat botol dan
menambahkan arak ke dalam cangkir toako mereka. Bersama dengan itu, ia
menanyakan apa yang sebenarnya telah terjadi dengan Goan-swee mereka, setelah
tiga saudara angkat itu meninggalkan Kiu-kiong-san. Si Toako
mengerutkan alisnya dan
menjawab, bahwa un-dangan hari itu memang dimaksudkan untuk mem-bicarakan hal
ini. Pada saat itu, mendadak yang menyamar sebagai pengemis menunjuk ke
bela-kang si toako dan mengeluarkan seruan tertahan seakan-akan ia melihat
seseorang mendatangi se-cara tak terduga."
"Ketika sang kakak
menoleh, dengan serentak si tabib dan si pengemis menyerangnya dari be-lakang.
Bokongan mereka ini menyebabkan toako itu kehilangan lengan kanannya dan
punggungnya terluka berat. Dengan berseru kaget, kesakitan dan marah, si 'Rase
Terbang' menoleh dan mengulurkan sebelah tangannya. Dengan sekali bergerak saja
ia sudah dapat merampas golok kedua penyerangnya yang segera dilemparkannya ke
dalam telaga. Ke¬tika kemudian tangannya itu berkelebat sekali lagi, si tabib
telah kena ditotok jalan darahnya dan tak dapat berkutik lagi."
"Segera setelah itu ia
berteriak: 'Kita berempat telah bersumpah sebagai saudara, mengapa kamu
sekarang hendak mencabut nyawaku?' Seruan si 'Rase Terbang' ini dijawab
saudaranya yang me¬nyamar sebagai kuli. Katanya: 'Kau telah men-celakakan
Goan-swee, menjualnya kepada musuh untuk mendapat kemewahan, mengapa kau masih
tidak malu menyebut-nyebut hal sumpah setia?' Menutup kata-katanya, ia segera
menyerang juga, tetapi sang toako dapat mementalkan goloknya dengan tendangan
dan senjatanya itu segera me-nyusul senjata-senjata dua saudaranya yang telah
tenggelam ke dasar telaga lebih dahulu. Sebagai jawaban atas caci adik
angkatnya ia tertawa dan mengatakan: 'Bagus, kamu setia, sangat setia!' Ke-tiga
adik angkat itu tertegun lagi ketakutan, wa-laupun sudah terluka parah ditambah
lagi sebelah tangannya sudah kutung, ia masih sangat gagah dan dapat
mengalahkan mereka dalam serintasan saja. Sementara itu, si toako sudah
menghentikan ter-tawanya dan kini justru berbalik menangis, di antara tangisnya
terdengar penyesalannya, bahwa karena perbuatan tiga saudaranya, rencana
pekerjaan be-sarnya menjadi hancur berantakan."
"Setelah mengucapkan
kata-katanya itu, ia se-gera melepaskan si tabib. Karena menyangka, bah¬wa ia
tentu tidak akan mau sudah begitu saja, maka pada saat yang sama, si pengemis
menghantam dadanya. Serangan ini, yang sangat mendadak dilancarkannya dengan
seantero tenaganya dan tak dapat dielakkan lagi oleh si 'Rase Terbang'. Toako
ini segera memuntahkan darah, tetapi berbareng dengan itu, ia mengangkat
sebelah tangannya. Ke-tiga saudaranya terperanjat, tetapi sesaat kemudian
ternyata, bahwa ia tidak bermaksud mencelakakan mereka. Ia menghajar dinding
perahu yang lantas saja somplak sebagian, sedang perahu itu jadi tergetar
seluruhnya. 'Meskipun aku sekarang sudah terluka berat, tetapi, jika aku mau,
dengan mudah saja aku dapat mencabut tiga nyawa kalian, yang bagiku sama
mudahnya dengan membalikkan se¬belah tanganku,' ujarnya dengan ketawa
getir."
"Tiga orang itu takut
bukan main. Mereka ber-keyakinan, bahwa jiwa mereka tak akan dapat di-tolong
lagi. Maka, dengan tekad untuk menjual jiwa semahal-mahalnya, mereka mundur ke
suatu sudut, di mana kemudian ketiga-tiganya berdiri berjajar,
bersiaga, menantikan
perkembangan selanjutnya. Akan tetapi untuk keheranan mereka, ia sama se-kali
tidak berusaha untuk melanjutkan serangan-nya, bahkan menarik napas
panjang-panjang sambil menunduk dan berkata: 'Jagalah, jangan sampai kejadian
malam ini tersiar di luar. Jika puteraku mendengar hal ini, ia tentu akan
mencari kalian untuk membalas, dan kupastikan, bahwa kalian ber-tiga bergabung,
masih juga bukan tandingannya. Maka, untuk menghindarkan kalian daripada
tu-duhan membunuh kakak angkat sendiri, lebih baik aku membunuh diri saja.'
Dengan selesainya kata-kata ini, ia menghunus goloknya sendiri dan tanpa dapat
dicegah oleh siapa juga ia sudah menggorok lehernya sendiri."
"Agaknya si kuli tidak
tega melihat kakak itu akan menemui ajalnya secara begitu mengenaskan. Ia
segera meloncat ke sampingnya dan hendak menolongnya. Tetapi ia terlambat.
Tetapi sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir, kakak itu masih dapat
berpesan: 'Saudara yang baik, aku sudah akan berpulang. Golok kebesaran
Goan-swee banyak kegunaannya. Ia.... Ia, orang tua, di Ciok-mui-kiap....' Pada
saat itu, sebelum dapat me-nyelesaikan pesannya, ia sudah keburu mangkat. Tiga
adik angkatnya tak dapat mengucapkan se-patah kata dan untuk berapa saat mereka
hanya memandang jenazahnya dengan terlongong-longong. Pelbagai macam perasaan
mengaduk dalam alam pikiran mereka. Sedih, menyesal, kasihan tetapi juga puas
silih berganti menguasai perasaan me¬reka. Sesaat kemudian mereka mendapatkan
kem-bali kesadaran mereka dan mereka segera melihat, bahwa golok yang barusan
digunakan menggorok lehernya sendiri oleh kakak mereka itu, adalah golok
kebesaran Cwan Ong dahulu."
Tanpa terasa semua mata beralih
memandang golok yang berada di dalam peti itu. Entah apa yang terkilas dalam
alam pikiran mereka, pada saat itu. Sedang yang lain masih diam dengan pikiran
raa-sing-masing, mendadak saja Lauw Goan Ho berteriak, "Aku tidak
percaya!"
To Pek Swee menjadi gusar.
"Kau tahu apa!" bentaknya.
"Aku tak mau percaya,
bahwa Lie Cu Seng -yang telah membuat banjir darah di suatu daerah yang ribuan
li luasnya dapat mengadakan hukum militer sedemikian, sebagai empat belas huruf
itu," katanya dengan menggelengkan kepalanya. Atas bantahannya ini tak ada
yang dapat menjawab, setelah lewat berapa lama, baru Ie Koan-kee yang
menjawabnya. Katanya: "Kau mengatakan, bahwa Cwan Ong telah membunuh orang
bagaikan mem-babat rumput saja. Kaukah, atau siapa yang telah melihat kejadian
itu?"
"Semua orang berkata
begitu. Tak mungkin mereka semua bohong," bantah si gundal pemerintah
Boan.
"Kamu, golongan pembesar,
memangselalu me¬ngatakan, bahwa Cwan Ong sangat kejam. Tetapi, sebaliknya Cwan
Ong justru telah berjuang untuk rakyal, bersama dengan rakyat dan dipilih serta
didukung oleh rakyat. Memang banyak yang telah dibunuhnya. Tetapi semua itu,
adalah pembesar negeri atau hartawan lalim, penindas rakyat kecil. Maksudnya
undang-undang empat belas huruf itu,
ialah untuk melarang sebawahannya
bertindak se-wenang-wenang lebih-lebih membunuh orang yang tidak berdosa.
Sependengaranku, segala perintah-nya telah diturut dengan taat."
Sebenarnya Lauw Goan Ho masih
akan mem-bantah lagi, tetapi ketika melihat, bahwa sebagian besar para hadirin menentang
pendiriannya, bahkan ada yang bersikap agak keras, ia menjadi kuncup sendiri
dan segera menelan kcmbali kata-katanya yang sudah akan diucapkan barusan.
Untuk mengalihkan perhatian
orang banyak, demi keselamatan suhengnya, Him Goan Hian se¬gera meminta Yok Lan
melanjutkan ceritanya.
Segera Yok Lan telah
melanjutkan kisah itu.
"Setelah dapat menguasai
perasaannya, si kuli berkata: 'la mengatakan, bahwa Goan-swee berada di
Ciok-mui-kiap, apakah maksudnya?' Si tabib mengutarakan pendapatnya, bahwa mungkin
sekali kakak itu hendak mengatakan, bahwa Goan-swee mereka dikubur di tempat
tersebut. Sebaliknya, si pengemis mempunyai pandangan lain lagi. Menurut ia, si
Rase Terbang mungkin hanya mendusta, mengingat, bahwa ia itu mempunyai banyak
akal. Bahwa ia tak percaya akan kejujuran kakak angkat mereka itu memang dapat
dimengerti. Bukankah, setelah meninggalnya Cwan Ong, si pengkhianat Gouw Sam
Kwie mengirimkan jenazahnya ke kota raja untuk mendapat hadiah besar. Bukankah
kepala pahlawan itu kemudian digantung di atas pintu gerbang kota raja untuk
dipertontonkan kepada khalayak ramai dan bukankah setelah menempuh beribu macam
bahaya, mereka bertiga akhirnya berhasil juga merampasnya kembali untuk
kemudian dikubur di suatu tebing belukar yang sangat curam dan belum pernah
diinjak orang? Tak mungkin rnereka percaya kata kakak itu, yang agaknya hendak
memberi kesan, bahwa beliau itu berada di Ciok-mui-kiap."
"Setelah mereka berhasil
menyingkirkan kakak angkat mereka, bertiga mereka segera coba mem-bunuh si pengkhianat.
Tetapi kali ini, penjagaan di istana itu sudah diperkuat, sehingga sukar sekali
ditembusi. Beiapa kali mereka mencoba. Tetapi setiap kali mereka menampak
kegagalan. Hal meninggalnya kakak angkat mereka segera tersiar di luar dan para
orang gagah memuji mercka yang menurut pendapat umum sudah membunuh kakak
angkat yang berdosa itu, tanpa ragu-ragu demi untuk menegakkan kewibawaan kaum
Kang-ouw. Ketika berita itu akhiinya sampai juga di kuping anak si kakak angkat
yang malang, pemuda ini menjadi sangat sedih dan segera berangkat ke Kun-beng
untuk menuntut balas."
"Putera itu telah membuat
kesalahan besar. Walaupun sebagai anak, ia wajib menuntut balas bagi ayahnya
tetapi ia harus mengingat, bahwa kejahatan dan dosa ayahnya itu sangat
besarnya. Tidak selayaknya ia harus bertindak demikian," kata Po-sie,
memotong cerita Yok Lan.
"Ayahku pun berpendapat
demikian. Tetapi. sebaliknya jalan pemikiran pemuda itu pun punya
alasan-alasannya sendiri, hingga sebenarnya sukar untuk kita menetapkan salah
benarnya. Setibanya di Kun-beng ia segera mencari jejak ketiga paman angkat
itu, yang tak lama kemudian dijumpainya di suatu kuil rusak. Melihat kedatangan
pemuda itu,
tiga orang itu terkejut bukan
main. Segera juga mereka sudah bertempur dengan sengit. Tak usah ditunggu
terlalu lama, ketika sudah jelas, bahwa pemuda itu benar-benar sudah mewarisi
seluruh kepandaian ayahnya. Bertiga mereka masih tak mam-pu menandinginya.
Tidak sampai setengah jam, ketiga paman itu sudah digulingkan seorang demi
seorang. Ketiga-tiganya sudah tidak mengharap akan dapat meninggalkan tempat
itu dalam keadaan ma¬sih bernyawa. Tetapi dugaan mereka meleset jauh. Setelah
mereka jatuh tidak berdaya, si pemuda bukan lantas saja membinasakan mereka.
Sebalik¬nya ia berujar: 'Pamanku, ayahku telah rela mc-nerima hinaan dan ejekan
sekian lamanya. Ia di-tuduh sebagai penjual majikan. Ia dimaki sebagai
pengkhianat rendah yang tamak kemewahan. Te¬tapi, tahukan kalian bahwa ia
mempunyai suatu tujuan lain yang sangat penting dan tak dapat di-ceritakan
kepada setiap orang? Suatu rahasia yang besar sekali artinya. Biarlah,
mengingat, bahwa ka¬lian adalah saudara-saudara angkat ayahku, aku tidak akan
mencabut jiwa kalian. Lekas-lekaslah kalian pulang dan tunggulah kedatanganku
pada tanggal 15 bulan tiga, tahun depan.' Menutup kata-katanya, ia segera
merebut kembali golok kebe-saran Cwan Ong yang sudah berada di tangan me¬reka
itu dan segera berlalu."
"Kejadian itu adalah di
awal musim semi. Tanpa ayal lagi ketiga-tiganya segera berangkat pulang ke Utara.
Setelah tiba di rumah masing-masing mereka segera mengumpulkan seluruh keluarga
mereka dan kemudian menceritakan pengalaman mereka yang sangat hebat itu. Semua
anggota keluarga mereka menyatakan, bahwa mereka tidak bersalah, karena sebagai
penjual majikan dan sebagai pe-lindung musuh besar mereka, si pengkhianat Gouw
Sam Kwie, sudah sepantasnya mereka bertindak untuk menyingkirkannya. Rata-rata
para anggota keluarga itu tidak percaya, bahwa dengan segala kenyataan itu, si
'Rase Terbang' masih mempunyai maksud tertentu yang sangat penting. Mereka
ber-anggapan, bahwa putera si 'Rase Terbang' hanya pandai memutar lidah. Lambat
laun berita itu telah tersiar luas di antara sahabat-sahabat mereka. Pada
tanggal yang telah dijanjikan, sahabat-sahabat itu beramai-ramai datang di
tempat mereka untuk mem-bantu menghadapi putera si 'Rase Terbang'. Tepat
sebagai janjinya ia telah datang."
"Hariinijuga tanggal
15bulan tiga!" teriakTian Ceng Bun tertahan. Seketika itu, semua orang
men-jadi kaget dan mereka juga ingat, bahwa si 'Rase Terbang' yang harus
dihadapi mereka, menurut Ie Koan-kee, juga akan datang seorang diri untuk
menuntut balas. Agaknya antara kisah yang di-ceritakan Yok Lan dan kejadian
yang mereka alami hari itu walaupun berbeda waktu lebih seratus tahun ada
hubungannya.
Karena sangat ingin tahu,
dengan tak sabar mereka memandang Yok Lan, menantikan ia me-lanjutkan pula
ceritanya. Tetapi pada saat itu Khim-jie telah datang dengan kantong sutera dan
segera diletakkannya di atas pangkuan Yok Lan.
"Nyalakan lagi sedikit
dupa!" perintahnya ke-pada pelayan itu.
Khim-jie segera melakukan
perintah itu. Ia membawa sebuah hiolo kecil dari batu Giok putih
dan meletakkannya di atas meja
di samping Yok Lan. Segera juga segulung asap yang harum sudah memenuhi seluruh
ruangan, melegakan dada semua hadirin.
"Jika aku berada seorang
diri dalam ruangan ini, kau boleh menyalakan dupa ini. Tetapi sebab begini
banyak orang, mengapa kau menyalakan yang ini?" Yok Lan mencomel.
"Benar bodoh aku,"
kata Khim-jie sambil ter-tawa dan segera masuk untuk menggantikan dupa itu.
Sedang para pendengarnya sudah
tak sabar menantikannya, Yok Lan justru melanjutkan memberi petunjuk-petunjuk
kepada Khim-jie. Kali ini ia menyuruh Khim-jie melihat, apakah hiolo itu sudah
betul letaknya.
Khim-jie bersenyum lagi dan
segera memin-dahkan hiolo itu dengan melihat jurusan angin. Setelah itu ia
menambahkan teh di cangkir nonanya dan kemudian baru pergi.
Karena agak mendongkol maka
semua hadirin berkata di dalam hati: "Percuma Kim-bian-hud disebut jago
yang tiada tandingannya, sedang puterinya dimanjakannya sehingga menjadi begini
aleman."
Sesaat kemudian, Yok Lan
mengangkat cang-kirnya, memeriksa tehnya sebentar dan meletakkannya kembali,
setelah minum sedikit. Para hadirin menduga, bahwa ia akan segera melanjutkan
ceritanya, tetapi ia justru berkata: "Kepalaku rasanya agak pening dan aku
akan mengaso sebentar. Harap paman dan saudara sekalian memaafkan."
Semua orang di situ jadi
sangat mendongkol, tetapi mereka semua tak berani mengutarakan pe-rasaan
masing-masing dan hanya saling memandang tanpa mengucapkan sesuatu.
Agaknya, setelah tercengangnya
hilang, Co Hun Kie sudah hendak mengubar amarahnya, tetapi Tian Ceng Bun keburu
mencegahnya dan kata-kata yang sudah berada di arabang mulutnya tak jadi
keluar.
Tak lama, sedari Yok Lan
meminta diri, ia sudah keluar pula. Ternyata ia sudah berganti pakaian dan
pupur serta yan-cienya sudah dicuci hilang. Dalam kesederhanaan itu, ia bahkan
kelihatan semakin cantik.
Khim-jie berjalan di
belakangnya dengan mem-bawa sebuah bantal tersalut kulit rase putih, yang
segera diletakkannya di atas kursi nonanya. Yok Lan duduk dengan hati-hati dan
kemudian baru bersiap-siap untuk melanjutkan ceritanya.
"Malam itu di rumah si
tabib diadakan per-jamuan besar yang dihadiri ratusan orang gagah dari seluruh
kalangan Kang-ouw. Dengan tenang me¬reka menantikan kedatangan putera si 'Rase
Ter-bang'. Sekian lama mereka sia-sia menantikan kedatangannya dan banyak yang
sudah menduga, bahwa ia tak berani datang karena banyaknya orang gagah yang
hadir di situ. Tetapi secara mendadak, dengan terdengarnya suatu bunyi yang
sangat per-lahan, menjelang tengah malam, di antara mereka itu sudah bertambah
seorang yang berdiri di atas meja utama dan tak ketahuan dari mana datangnya.
Di antara ratusan hadirin, yang hampir semua terdiri dari tokoh-tokoh kenamaan,
tak seorang mengetahui bagaimana dan sejak kapan ia sudah tiba. Orang itu masih
sangat muda, dilihat dari mukanya agaknya ia baru berusia dua puluh tahun lebih
sedikit. Ia mengenakan pakaian berkabung dan di punggungnya diselipkan sebilah
golok. Tanpa memperdulikan ratusan orang itu, ia segera meng-hampiri ketiga
paman angkatnya. 'Paman bertiga, dapatkah aku berbicara dengan kalian di suatu
tempat tersendiri?' Pintanya. Sebelum ketiga orang itu dapat mengucapkan
jawaban mereka, seorang tokoh Ngo-bie-pay sudah mendahului berteriak:
'Laki-laki sejati, tak suka bersembunyi. Segala apa dibicarakannya dengan terus
terang dan ia tak takut didengar orang banyak. Sebagai juga ayahmu, yang menjual
majikan untuk keuntungannya sendiri, kulihat kau pun bukan orang baik-baik.
Sam-wie jangan sampai terperangkap akal bulusnya.' Begitu ia selesai
mengucapkan kata-katanya ini, segera terdengar beberapa bunyi menggaplok yang
nyaring. Ternyata jago Ngo-bie-pay itu sudah ditampar enam kali, mulutnya
berdarah dan sekian banyak giginya sudah rontok karenanya."
"Peristiwa ini tentu saja
sangat mengejutkan para hadirin. Mereka tak mengerti mengapa anak muda itu
dapat memiliki kepandaian setinggi itu dan mengapa gerak-geriknya demikian
cepat. Dalam ketakutan mereka tak berani mengucapkan sepatah kata dan begitu
juga dengan tokoh Ngo-bie-pay yang jumawa tadi. Kecuali tiga adik angkat si
'Rase Terbang' itu tak ada yang mengetahui, bahwa ke¬pandaian pemuda itu didapat
dari ayahnya dan kecepatannya bergerak yang tak dapat dilihat ratusan orang itu
adalah kepandaiannya yang istimewa dan dinamakan Pek-pian-kwieeng (Ba-yangan
setan yang berubah ratusan kali), bahkan agaknya si anak sudah melebihi ayahnya
dalam kepandaian itu."
"Sementara itu putera si
'Rase Terbang' sudah berbicara lagi kepada ketiga saudara angkat ayah¬nya. la
mengatakan, bahwa jika ia berniat mem-binasakan mereka, tak usah ia melepaskan
mereka di kuil kuno itu dan menunggu sehingga hari itu. Ia menambahkan bahwa
soal yang akan dibicarakan-nya tak boleh dibicarakan di hadapan orang banyak.
Karena alasannya itu sangat masuk di akal, maka si tabib memutuskan untuk
menuruti permintaannya. Berempat, mereka pergi ke suatu tempat yang sunyi. Para
tamu yang ditinggalkan dalam ruangan per-jamuan itu, berhenti makan minum dan
hanya saling memandang dengan membungkam."
"Kira-kira setengah jam
kemudian, keempat orang itu sudah keluar kembali. Sedang para tamu itu menunggu
perkembangan selanjutnyasecara tak diduga, si tabib sudah menjura kepada mereka
dan mengucapkan terima kasihnya atas setia kawan me¬reka yang harus dipuji.
Kemudian, sebelum mereka dapat membalas penghormatan itu, ia dan kedua saudara
angkatnya sudah mengangkat golok raa-sing-masing dan menggorok leher mereka
sendiri. Para hadirin benar-benar terperanjat melihat per-buatan nekat itu.
Mereka beramai-ramai meloncat untuk mencegah, tetapi sudah terlambat."
"Putera si 'Rase Terbang'
berlutut di hadapan jenazah tiga paman angkatnya sebagai lazimnya seorang muda
menghormati arwah sanak yang lebih tua. Setelah itu, ia segera memungut tiga
buah golok
paman angkatnya dan tanpa
mengeluarkan sepatah kata, ia meninggalkan ruangan tersebut. Peristiwa ini
terjadinya terlalu cepat dan ketika mereka dapat menetapkan hati mereka, anak
muda itu sudah berlalu jauh sekali."
"Berbondong-bondong
mereka memburu ke¬luar untuk mengejar dan mereka saling menganjur-kan supaya
jangan membiarkan 'penjahat' itu lolos. Tetapi, mana dapat mereka menyusulnya.
Semen¬tara itu, di dalam ruangan tadi, putera puteri ketiga orang yang malang
itu merangkul mayat ayah ma-sing-masing sambil menangis memilukan. Ketika para
tamu itu kembali mereka menanyakan kepada seluruh keluarga tiga orang itu,
bahkan menanya juga para pelayan rumah itu, apa yang telah di¬bicarakan anak si
'Rase Terbang' tadi, sehingga berakibat demikian hebat. Tetapi tak seorang
dapat memberikan keterangan. Semua orang gagah yang berkumpul di situ merasa
sangat kasihan melihat putera-puteri tiga orang itu dan mereka ramairamai
mengambil ketetapan untuk memberikan bantuan agar keturunan tiga keluarga
tersebut dapat me-laksanakan pembalasan sakit hati. Kegusaran di kalangan
Kang-ouw yang diterbitkan karena pe¬ristiwa itu sungguh hebat. Tetapi,
seperginya dari rumah si tabib, putera si 'Rase Terbang' telah menghilang,
entah ke mana. Untuk melaksanakan apa yang telah ditetapkan bersama pada malam
itu, maka para orang gagah kemudian mendidik putera puteri ketiga saudara itu.
Berkat didikan sekian banyak orang pandai, akhirnya para keturunan itu jadi
memiliki kepandaian yang sangat tinggi, dan kepandaian mereka bukan terbatas
pada satu macam kepandaian saja."
Berbicara sampai di sini, Yok
Lan berhenti sebentar untuk menghela napas panjang-panjang dan memandang wajah
para pendengarnya. Kemu-dian ia melanjutkan pula. "Semakin tinggi
kepan¬daian mereka bertambah kuat pula keinginan me-reka untuk menuntut balas.
Benar-benar harus di-sesalkan, ilmu silat sebagai juga semua ilmu, dapat
mendatangkan bahagia tetapi juga dapat mener-bitkan bencana." Yok Lan
mengucapkan kata-kata-nya yang terakhir itu dengan penyesalan.
Untuk berapa lama ia tak dapat
meneruskan ceritanya ia hanya memandang api di anglo de¬ngan sikap seakan-akan
terpesona ceritanya sen¬diri.
Karena melihat, bahwa yang
lain semua rae-nantikan lanjutan cerita itu dengan sikap tak sabar, maka Po-sie
menggantikan Yok Lan meneruskan kisah itu.
"Cara nona Biauw
menceritakan kisah itu be¬nar-benar menarik. Walaupun ia tidak menyebut-kan
nama-nama, tetapi kuyakin, bahwa kalian tentu sudah mengerti, bahwa tiga adik
angkat si 'Rase Terbang' adaiah yang menyaru sebagai tabib she Biauw, si
pengemis she Hoan dan si kuli she Tian. Seperti tadi sudah diceritakan,
kemudian keturunan tiga saudara itu memiliki kepandaian yang sangat tinggi dan
masing-masing mendirikan partai sendiri. Kepandaian keluarga Biauw yang khas,
kemudian terkenal sebagai "Biauw-kee Kiam-hoat", sedang keluarga Hoan
meneruskan tradisi penyamaran le-luhurnya dan mendirikan
"Hin-han-kay-pang" (Par¬tai Pengemis) dan keluarga Tian mendirikan
"Thian-
liong-bun" yang sejak itu
sehingga sekarang masih dikenal sebagai kusebutkan barusan."
Wie Su Tiong dan In Kiat, dua
tokoh utama Thian-liong-bun pada dewasa itu dua-duanya me-rasa sangat malu
karena dalam kedudukan mereka itu, mereka juga tidak mengetahui asal usul
partai mereka sendiri.
Dalam pada itu, Po-sie sudah
melanjutkan pula: "Ketika berapa puluh tahun kemudian keturunan
orang-orang she Biauw, Hoan dan Tian itu dapat menemukan putera si 'Rase
Terbang' ia ini ternyata sudah sangat tua. Kepandaiannya sudah sangat mun-dur
dan tenaganya sudah tidak ada lagi. Karena itu, ia tak dapat menandingi mereka
dan dapat didesak, sehingga harus bunuh did juga. Demikianlah, se-lanjutnya,
keturunan empat keluarga itu balas-mem-balas bergiliran selama lebih seratus
tahun terakhir ini dan sepanjang masa itu, turun temurun setiap putera keluarga
itu tak dapat hidup tenteram dan hampir selalu harus menemukan kematian tidak
wajar. Dengan mata kepalaku sendiri, aku telah menyaksikan pertempuran hebat
antara mereka, yang sampai pada detik ini adaiah pertempuran yang
terakhir."
Yok Lan mendadak mengangkat
kepalanya dan memandang Po-sie.
"Taysu, kisah ini sudah
kudengar dari orang lain. Tak usah kau menceritakannya lagi," katanya.
"Tetapi sahabat-sahabat
ini belum pernah men-dengarnya, maka silakan kau menceritakannya ke-pada
mereka," jawab Po-sie.
"Ah, ketika itu setelah
selesai menceritakan kisah empat pengawal Cwan Ong itu, ayahku menceritakan
suatu kejadian yang sangat memilukan dan sampai sekarang, setiap kali teringat
kembali, hatiku menjadi sedih. Kata ayahku, karena kejadian itu, ia masih
membutuhkan pedangnya, yang juga harus dipelihara ketajamannya, terutama untuk
membunuh seorang lagi."
Yok Lan berhenti sebentar
untuk mengatasi perasaannya. Lewat berapa lama baru ia dapat meneruskan
ceritanya.
"Yang akan kuceritakan
ini, telah terjadi se-puluh tahun sebelum aku dilahirkan. Entah bagai-mana
nasib anak yang harus dikasihani itu, selalu aku berdoa agar ia masih hidup dan
keadaannya baik senantiasa."
Para pendengarnya menjadi
bingung, mereka tak mengerti, siapa sebenarnya 'anak yang harus dikasihani'
itu. Juga apa hubungannya dengan soal mereka itu, masih merupakan suatu
teka-teki sulit bagi mereka. Dengan penuh pengharapan mereka sebentar memandang
Yok Lan dan sebentar pula memandang Po-sie dengan sikap seperti minta
pen-jelasan.
Mendadak saja, terdengar
seorang hamba -yang berdiri di samping berkata dengan suara serak: "Nona,
karena hatimu begitu mulia, tentu doamu akan terkabul, kupercaya, bahwa 'anak
yang harus dikasihani' itu masih hidup dan keadaannya juga baik."
Semua hadirin menengok ke arah
suara itu. Mereka melihat seorang yang sudah berusia lanjut, berambut jarang
tanpa lengan kanan sedang me-nyanggah sebuah penampan dengan tangan kirinya.
Mukanya mengerikan, karena sebuah bekas luka
yang panjang, menjalur dari
alis kanannya sampai di sisi kiri mulutnya.
Melihat wajahnya, semua orang
merasa heran. Pikir mereka: "Setelah terluka begitu hebat, sung-guh luar
biasa, bahwa ia masih dapat hidup terus sampai had ini."
Ketika mereka masih
terheran-heran meman¬dang wajah orang itu, Yok Lan sudah mulai ber-cerita lagi.
"Di samping mendoa, agar
ia selamat selalu, aku juga mengharapkan supaya ia tidak belajar ilmu silat.
Aku berdoa, supaya ia seperti aku ini, seke-lumit ilmu silat pun tidak
mengerti. Aku yakin, bahwa ini paling baik bagi dirinya."
Kata-kata Yok Lan yang
terakhir ini sungguh di luar dugaan para hadirin. Mereka jadi tercengang dan
dalam kurang percaya mereka berpikir, bahwa sebagai puteri kesayangan Biauw Jin
Hong tak mungkin ia tak mengerti ilmu silat, tetapi jika me¬lihat tindak
tanduknya yang sangat lemah lembut, memang agaknya ia sama sekali tidak pernah
mem-pelajari ilmu silat.
Yok Lan agaknya dapat menerka
keragu-ragu-an mereka. Maka untuk menghilangkan kesangsian orang-orang itu ia
menerangkan: "Menurut ayahku empat keluarga, Ouw, Biauw, Hoan dan Tian
telah dapat balas membalas selama berapa keturunan, justru karena mereka semua
pandai silat. Betapa tinggi juga kepandaian seorang anggota keluarga itu,
akhirnya ia mesti mengalami kematian yang tidak wajar. Jika sepihak harus
pusing memikirkan usaha membalas sakit hati orang tuanya, pihak yang lain harus
selalu berjaga-jaga dengan hati kebatkebit, karena lambat atau lekas, tentu
akan ada yang datang mencarinya, untuk menuntut balas. Tak per-nah ada
keturunan keluarga itu yang dapat hidup tenang sampai datang saatnya dipanggil
pulang oleh yang kuasa. Jika karena kepandaiannya yang sangat tinggi, ia dapat
terhindar dari kebinasaan di waktu mudanya, tentu di hari-hari terakhirnya,
jika usia-nya sudah melampaui tujuhpuluhan, akan datang seorang mencari balas.
Jelaslah, bahwa karena ilmu silat, empat keluarga itu hanya menderita
terus-menerus sampai entah berapa turunan. Karena itu maka ayah telah
menetapkan, bahwa setelah ia, seluruh keturunan keluarga Biauw tidak boleh
be-lajar silat pula. Biarlah, ia akan menjadi orang she Biauw terakhir yang
pandai silat. Kurasa kata-kata-nya itu sangat benar dan aku juga yakin, bahwa ilmu
silat hanya akan mendatangkan malapetaka bagi keluarga kami."
"Ayahku telah berpikir
sempurna. Jika kelak ia harus mati terbunuh keturunan keluarga Ouw, de-ngan aku
sebagai puteri tunggalnya tak mengerti ilmu silat, permusuhan itu dapat
berakhir sampai di situ saja dan walaupun kami tidak dapat membalas sakit hati
itu, kami akan dapat melanjutkan hidup kami dengan tenteram."
"Siancay, siancay,"
sabda Po-sie sambil me-rangkap kedua tangannya. "Biauw Tayhiap benar-benar
sangat bijaksana. Kesediaannya, membiar-kan Biauw-kee Kiam-hoat yang tersohor
tiada taranya, menjadi musnah dan lenyap setelah ia pulang ke alam baka
membuktikan, betapa luhur budinya. Ia benar-benar tiada tandingannya dalam
dunia ini."
Secara kebetulan Yok Lan
menengok ke arah pelayan yang tadi telah turut mengemukakan pen-dapatnya itu.
Di dalam matanya, Yok Lan melihat suatu sinar yang luar biasa dan ia menjadi
heran. Ketika itu, sebenarnya para hadirin sedang me-nantikan lanjutan
ceritanya dengan sikap tidak sa-bar. Tetapi bukannya ia segera meneruskan
ber-cerita, sebaliknya ia bahkan memberi hormat ke-pada semua orang itu,
meminta diri dan segera bertindak masuk meninggalkan mereka dalam
ke-tidakpuasan.
Tetapi, sesaat kemudian Po-sie
sudah meng-ambil alih tugas nona itu dan ia mulai bercerita dengan menerangkan
bahwa, karena berperasaan halus, Yok Lan tentu tak dapat mengatasi
pera-saannya, jika ia hanya menceritakan kejadian yang memilukan itu.
"Maka, biarlah loo-lap yang melan¬jutkan cerita ini," katanya.
"Sejak awal permusuhan
itu, karena orang she Ouw itu dikutuk kalangan Kang-ouw, sebagai pen-jual
majikan, karena tamak kemewahan, maka tu-runannya selalu harus menempati
kedudukan ter-pencil yang sangat tidak menguntungkan. Mereka tak pernah
mendapat simpati kalangan Kang-ouw, bahkan selalu mereka dianggap sebagai
sampah. Betapa tinggi juga kepandaian mereka, karena dalam pertempuran sengit
selalu tidak ada yang berpihak kepada mereka, dengan sendirinya mereka jadi
sudah kalah angin."
"Hanya berkat kepandaian
mereka yang benar-benar tiada taranya, mereka selalu masih dapat mewujudkan
cita-cita mereka. Pula hampir setiap tingkat keturunan mereka tentu mempunyai
seorang yang luar biasa. Di waktu tiba saatnya ia bertindak untuk memenuhi
pesan orang tuanya, tak perduli menang kalahnya, tentu akan terjadi banjir
darah."
"Meskipun ketiga keluarga
Biauw, Hoan dan Tian berjumlah lebih banyak dan dapat menghim-pun tenaga lebih
besar, lagi pula mendapat du-kungan seluruh kalangan Kang-ouw, walaupun me-reka
selalu berjaga-jaga dengan sangat telitinya, tetapi dengan kecerdikan dan
kepandaian serta kesabaran mereka, anak cucu keluarga Ouw selalu dapat
membobolkan penjagaan mereka dan me-laksanakan pembalasan sakit hati
turun-temurun itu."
"Setiap kali salah satu
pihak berhasil mem-binasakan musuhnya, golok kebesaran Cwan Ong berpindah
tangan. Begitu semasa pemerintahan Khong-hie empat keluarga itu terus-menerus
be-rebut golok pusaka tersebut, juga antara keluarga Biauw, Hoan dan Tian
sendiri kemudian terbit percekcokan karenanya. Di masa itu, justru di pihak
keluarga Ouw muncul dua orang yang berkepan-daian luar biasa tingginya. Dalam
suatu pertem-puran sengit, dua saudara itu telah berhasil mem-bunuh dan
melukakan dua puluh tiga orang dari pihak lawannya. Tentu saja tiga keluarga
yang asal-nya berdiri sepihak dan kemudian bercekcok sendiri itu menjadi sangat
cemas. Adalah keluarga Tian yang kemudian berhasil mengumpulkan sokongan dari
banyak sekali orang-orang Kang-ouw. Berkal bantuan mereka itu, dengan
beramai-ramai me-ngeroyok dua saudara Ouw itu, akhirnya dapat juga dua saudara
itu dibinasakan. Setelah itu, semua orang gagah dari seluruh negeri berkumpul
di Lok-yang untuk membentuk perserikatan dan dalam pertemuan itu pula
diputuskan, bahwa selanjutnya golok pusaka tersebut akan berada di bawah
pe-nilikan keluarga Tian. Selain itu, juga ditetapkan, bahwa bila saja keluarga
Ouw berani datang untuk coba merebut kembali golok tersebut maka ke¬luarga Tian
akan mengangkat golok tersebut se-bagai pertanda untuk kalangan Kang-ouw,
supaya berbondong-bondong datang membantu mengha-dapi musuh itu, tidak perduli
mereka scdang meng-hadapi urusan pribadi yang betapa penting juga."
"Pertemuan itu terjadi
lebih kurang seratus tahun yang lalu, dan sedikit demi sedikit sudah mulai
terlupa sehingga sekarang sudah hampir tiada yang mengetahui lagi hal ini,
hanya Ciang-bun-jin dari Thian-liong-bun yang masih menganggap golok itu
penting sekali. Tetapi kemudian Thian-liong-bun sendiri terpecah menjadi cabang
Selatan dan Utara. Kabarnya setiap sepuluh tahun sekali kedua cabang tersebut
saling menggantikan menyimpan golok ter¬sebut. Wie-heng dan In-heng, benarkah
kabar yang loo-lap dengar itu?"
"Benar," jawab Wie
Su Tiong dan In Kiat hampir bersama.
Po-sie tertawa. Ia senang
sekali mendapat ke-nyataan, bahwa perkataannya benar sesuai dengan kenyataan.
"Seperti tadi telah
kukatakan, lambat laun orang sudah lupa akan soal sebenarnya dan karena tidak
tahu, anak murid Thian-liong-bun kemudian meng¬anggap golok tersebut sebagai
pusaka partai me¬reka, tanpa mengetahui asal-usulnya. Tetapi dalam suatu hal,
loo-lap masih berada dalam kegelapan, mengenai hal ini rasanya hanya Co-heng
yang dapat menerangkan."
"Soal apa?" tanya
Hun Kie dengan lantang.
"Sependengaran loo-lap,
setiap kali terjadi penggantian Ciang-bun-jin, Ciang-bun-jin yang lama selalu
menceritakan asal-usul golok tersebut ke-pada penggantinya, tetapi mengapa
Co-heng yang sekarang menjadi Ciang-bun-jin tak dapat men-jawab pertanyaan
loo-lap mengenai golok itu, tadi? Apakah Tian Kui Long telah melupakan kebiasaan
ini?"
Tak tahu Hun Kie, bagaimana ia
harus men-jawab. Seluruh mukanya menjadi merah padam dan ia sudah hampir
melontarkan kata-kata keras se-kena-kenanya, untuk menutup malunya. Tetapi
dalam pada itu Tian Ceng Bun sudah keburu me-nyelak.
"Kejadian ini telah
disebabkan kemalangan ke-luarga kami. Sebelum bisa menjelaskan hal itu ke-pada
Co Suheng, ayahku mendadak sudah keburu dicelakakan orang," katanya.
"Pantas-pantas. Kali ini
adalah untuk kedua kalinya aku melihat golok ini. Yang pertama kali adalah dua
puluh tujuh tahun yang lalu."
Mendengar ini, Ceng Bun
menarik kesimpulan, bahwa kata-kata Po-sie itu tepat dengan cerita Yok Lan.
Pikirnya: "Tadi nona Biauw mengatakan, bah¬wa kejadian yang menyedihkan
itu telah terjadi sepuluh tahun sebelum ia dilahirkan, sedang usia-nya sekarang
kira-kira tujuh belas tahun. Tentunya hweeshio ini telah melihat golok itu
untuk pertama kalinya ketika terjadinya peristiwa yang dimaksudkan nona
Biauw."
Sementara itu, Po-sie sudah
meneruskan cerita-nya.
"Ketika itu, loo-lap
belum memeluk agama dan sedang menjalankan pekerjaan tabib di desa dekat kota
Cong-ciu. Penduduk Cong-ciu rata-rata menyukai ilmu silat, tua-muda, hampir
semua laki-laki di situ tentu sudah pernah mempelajari sejurus dua jurus ilmu
silat dan ketika itu, pe¬kerjaan loo-lap adalah menyembuhkan luka-luka atau
keseleo terkena pukulan atau karena jatuh. Juga loo-lap mengerti sedikit ilmu
silat ajaran guruku dahulu."
"Karena desa itu agak
terpencil letaknya dan penduduknya hanya terbilang seratus orang saja, maka
penghasilan loo-lap sebagai tabib tentu tak mencukupi untuk dapat mendirikan
rumah tangga. Pada suatu malam di akhir tahun itu, loo-lap sedang enak tidur
sendiri, ketika mendadak saja loo-lap dikejutkan gedoran pada pintu rumah
loo-lap. Di luar angin sedang bertiup dengan kencangnya, per-apian dalam rumah
sudah lama padam, maka dapat dimengerti, jika loo-lap jadi segan bangun
menem-puh hawa sedingin waktu itu. Akan tetapi, yang menggedor pintu itu,
agaknya jadi kalap dan me-mukul semakin keras sambil berteriak-teriak: 'Hai!
Tabib, tabib! Bangun!' Kian lama gedorannya juga teriakannya semakin keras.
Dari suaranya loo-lap tahu, bahwa orang itu tentu bukan orang setempat, lagu
suaranya sebagai lagu suara Kwan-say (daerah perbatasan Barat). Karena khawatir,
jika pintu ru-mahku akan hancur, maka loo-lap lekas-lekas me-ngenakan baju dan
hendak membuka pintu. Tetapi sedang tanganku baru mengangkat palangnya, pintu
itu sudah menjeblak karena didorong entah dihajar dengan kerasnya dari sebelah
luar. Jika bukannya aku masih keburu berkelit, tentu kepalaku sudah menjadi
korban dan sedikitnya sudah akan menjadi benjol."
"Orang yang menerjang
masuk itu membawa obor. Di bawah penerangan apinya, loo-lap melihat wajahnya
yang sangat gugup. Dan ketika itu ia masih saja berteriak: 'Tabib! Tabib!'
Loo-lap segera me-nanyakan, mengapa ia begitu gugup dan memba-ngunkan diriku
tengah malam buta rata."
"Walaupun terang ia sudah
melihat, bahwa loo-lap sudah berdiri di hadapannya, masih saja ia menjawab
dengan berteriak sekuat suaranya. Kata-nya ada yang sakit keras dan loo-lap
harus berangkat seketika itu juga. Kata-katanya ditutup dengan me-lemparkan
sepotong uang perak di atas meja. Yang dilontarkannya itu berjumlah tidak
kurang daripada dua puluh tail. Selama mengobati orang-orang se-desaku, paling
banyak loo-lap menerima upah be-rapa ratus bun (sen) dan seumur hidupku aku
belum pernah memiliki uang sebanyak itu. Loo-lap tentu saja menjadi sangat
terperanjat tetapi juga girang. Tanpa ayal pula kubereskan uang itu dan segera berangkat
mengikutinya. Selama tanya-jawab tadi aku telah memperhatikan mukanya. Di
wajahnya kelihatan sifat-sifat ksatria, sikapnya agak kasar dan agaknya ia
beruang, tetapi tingkah lakunya pada saat itu mencerminkan kekhawatirannya yang
sa¬ngat besar. Agaknya ia sangat tergesa-gesa, karena sebelum loo-lap selesai
merapikan pakaian, ia sudah mengulurkan tangannya dan menyeret loo-lap sambil
menyambar peti obatku dengan sebelah tangan¬nya lagi. Loo-lap minta perkenan
untuk menutup pintu dulu, tetapi ia segera menekankan agar loo-lap jangan
khawatir, karena apa saja yang tercuri selama kepergianku akan digantinya
semua. Ter-nyata ia membawa loo-lap ke penginapan "Peng An
Khek-tiam", satu-satunya penginapan di desa itu. Meskipun penginapan itu
tidak terlalu kecil, tetapi keadaannya sangat kotor lagi gelap. Loo-lap
men¬jadi agak heran. Pikirku, mengapa orang beruang scperti ia, mau menginap di
tempat seburuk itu. Loo-lap tak sempat berpikir panjang-panjang, ia sudah
segera menyeret loo-lap ke sebuah ruangan yang terang karena banyaknya lilin
yang dinyalakan di situ. Loo-lap melihat empat lima orang laki-laki berdiri di
situ, agaknya sedang menantikan kem-balinya. Seketika melihat kembalinya dengan
mem¬bawa loo-lap, mereka tampak girang dan segera beramai-ramai, menghantar
diriku ke sebuah ruang¬an di sebelah Timur."
"Begitu melangkah masuk,
loo-lap menjadi sa¬ngat terkejut. Di atas bale-bale, loo-lap melihat empat
orang berbaring berjajar dengan badan pe-nuh luka-luka berdarah. Di bawah
penerangan se-batang lilin yang dibawakan salah seorang itu, loo-lap memeriksa
mereka dengan teliti dan mendapat kenyataan, bahwa mereka semua telah terluka
pa-rah. Loo-lap menanyakan mengapa bisa sampai kejadian begitu, tetapi yang
membawa loolap ke situ membentak dengan bengisnya, supaya loo-lap se¬gera
mengobati mereka tanpa banyak rewel-rewel menanyakan urusan orang lain.
Alangkah galaknya orang itu. Karena khawatir membangkitkan amarah mereka yang
semua juga tampak bengis, loo-lap segera melakukan yang diminta atau, lebih
benar, yang diperintahkannya. Baru loo-lap selesai mem-balut dan mengobati
mereka, orang itu sudah mem-bentak pula, mengatakan bahwa di kamar sebelah
masih ada lagi yang harus ditolong. Juga di kamar itu terdapat orang-orang yang
terluka parah, salah seorang di antara mereka bahkan seorang wanita. Agaknya
mereka telah dilukai dengan senjata tajam. Loo-lap bekerja sebaik-baiknya dan
tak lama ke-mudian sudah berhasil menghentikan darah yang mengucur keluar dari
luka-luka itu. Berkat obat untuk meringankan sakit mereka sudah segera tidur
nyenyak."
"Melihat hasil
pekerjaanku, orang-orang itu rupa-rupanya menjadi gembira dan sikap mereka jadi
berubah, mereka memperlakukanku dengan lemah lembut. Selain itu mereka
memerintah pe-layan untuk menyediakan sebuah bale-bale darurat yang dibuat
dengan daun pintu, agar dengan de-mikian loo-lap dapat pula diminta
pertolonganku setiap waktu."
"Ketika ayam berkokok,
mendadak kembali loo-lap dikejutkan dari tidur nyenyak. Kali ini terdengar
derap kaki kuda yang ramai sekali, orang yang tadi menyambut loolap segera
keluar menyambut pen-datang-pendatang baru itu. Aku pura-pura tidur terus,
tetapi sesaat kemudian terdengar mereka sudah bertindak masuk kembali. Aku
mengintip dari belakang selimut. Agaknya, yang disambut itu adalah dua orang
yang kini berjalan di depan. Dua orang itu tentu berkedudukan tinggi, karena
para penyambut itu berlaku sangat hormat terhadap me-
reka. Hanya, anehnya, dari dua
orang itu, seorang berdandan sebagai pengemis tetapi pandangan mata-nya sangat
tajam, sedang kawannya adalah seorang yang berwajah sangat cakap dan usianya
juga belum seberapa."
"Kedua orang itu lantas
saja mendekati bale-bale untuk memeriksa penderita-penderita itu. Be-gitu
melihat kedatangan mereka, semua penderita itu segera berbangkit dengan menahan
sakit. Te-rang sekali, bahwa mereka sangat menghormati dua orang itu, kudengar
mereka menyebutkan si pe¬ngemis dengan Hoan Pangcu dan si anak muda dengan Tian
Siangkong."
Po-sie berhenti sebentar untuk
menoleh ke-pada Tian Ceng Bun dan berkata: "Ketika itu, pertama kali aku
bertemu dengan ayahmu, nona belum dilahirkan. Ayahmu berotak cerdas dan
si-kapnya tegas serta kecakapannya mengambil ke-putusan dengan cepat,
benar-benar sangat menga-gumkan dan sampai hari ini masih kukagumi."
Teringat ayahnya, Ceng Bun
jadi sangat sedih. Sementara itu, Po-sie sudah melanjutkan lagi cerita-nya.
"Dari antara orang-orang
yang tidak terluka, seorang segera menerangkan kepada dua penda-tang baru itu,
bahwa seorang sahabat dari keluarga Thio telah mengikuti suami isteri yang
mereka inginkan, sedari masih berada di luar Dinding Besar dan mereka sudah
berani memastikannya bahwa sebuah kotak berisi yang agaknya menjadi pusat
perhatian benar-benar berada pada suami isteri tersebut."
Mendengar kata-kata
"kotak besi" itu para pen-dengarnya lantas saja mengerti, bahwa yang
di maksudkan, tentu bukan lain daripada kotak yang diperebutkan mereka juga.
"Aku melihat Hoan Pangcu
menganggukkan kepalanya. Orang yang memberikan keterangan itu lalu melanjutkan
keterangannya. la mengatakan, bahwa ia dan rombongannya sudah menantikan suami
isteri itu di Tong-koan-tun dan di samping itu juga mengirim orang untuk
memberitahukan hal itu kepada mereka dan Biauw Tayhiap. Selanjutnya ia
menceritakan, bagaimana orang yang diincar itu, sudah mencium bau lebih dahulu
dan pada suatu saat, sudah menegur para penguntitnya. Ia mena-nyakan, untuk apa
orang-orang itu terus-menerus menguntit ia dan isterinya dan apakah mereka itu
orang-orang suruhan Biauw-Hoan-Tian tiga keluar-ga. Agaknya si orang she Thio
telah menjawab membenarkan, karena orang yang diincar itu sudah segera berubah
wajahnya dan dengan sekali ber-tindak, sudah merampas golok si Thio toako itu.
Kemudian ia mematahkan golok itu dan membuang-nya sebagai sampah. Semua itu
telah terjadi dalam berapa detik saja. Sebelum si Thio toako itu hilang
kagetnya orang yang dikuntit itu sudah membentak: 'Aku tidak mau mencelakakan
banyak jiwa manusia, maka enyahlah dari sini!' Melihat betapa lihaynya orang
itu, kawan-kawan si Thio toako segera maju beramai-ramai sedang si orang she
Thio sendiri lalu coba menendang perut isteri orang itu, yang sedang
mengandung. Karena perbuatan si Thio yang sangat kelewatan, sang suami menjadi
sangat gusar dan sambil mendamprat ia merebut sebilah golok pula dari tangan
salah seorang penguntitnya. Dalam se~ rintasan saja ia sudah melukai tujuh
orang. Jika tadinya ia mengatakan, bahwa ia tidak mau men¬celakakan orang, pada
saat itu ia berlaku sangat ganas, saking gemasnya."
"Tian Siangkong
menanyakan apa lagi yang dikatakan musuh itu. Si juru bicara menerangkan, bahwa
musuh itu tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya dalam amarahnya ia sudah hendak
meluka-kan lebih banyak orang, tetapi isterinya telah men-cegah dengan
mengatakan, bahwa demi keselamat-an anaknya yang belum lahir, ia harus berlaku
sedikit murah. Teriakan sang isteri telah menolong sisa rombongan penguntit
itu. Sang suami segera menghentikan pertempuran itu dan mematahkan golok
rampasannya."
"Mendengar cerita itu,
Tian Siangkong agak¬nya jadi ketarik. Ia berpaling kepada Hoan Pang¬cu,
seakan-akan hendak mengetahui pendapat-nya, kemudian menanyakan pula: 'Benarkah
ia mematahkan golok itu dengan tangannya saja?' Jawab si juru bicara: 'Benar,
ketika itu aku berada di sampingnya dan aku telah melihat gerakannya dengan
jelas sekali.' Karena jawaban yang me-mastikan itu, agaknya Tian Siangkong
menjadi bimbang. Hoan Pangcu segera menghiburnya. Ia mengatakan, bahwa Biauw
Tayhiap tentu akan dapat menandinginya."
"Ketika itu, juru bicara
tadi sudah berbicara pula. Menurut pendapatnya, dalam perjalanan ke Kanglam,
musuh mereka itu tentu akan lewat di situ dan jika Tian Siangkong dan Hoan
Pangcu berdua mencegatnya, musuh itu tentu tak akan terlolos. Tetapi kedua
orang itu tidak menjawab. Wajah mereka muram dan diliputi ketegangan, dengan
suara tertekan mereka berunding sambil bertindak ke luar."
"Loo-lap menunggu sampai
mereka sudah ke-luar, baru loo-lap pura-pura mendusin dan buru-buru
menggantikan obat tujuh orang itu. Di dalam hati loo-lap terdapat pertanyaan,
siapakah orang yang disebut musuh itu. Agaknya dalam keganasan-nya ia berhati
murah, karena walaupun luka-luka korbannya tidak enteng, tetapi tidak seorang
yang terluka di tempat berbahaya."
"Besok harinya, di waktu
senja, sedang seluruh rombongan itu menghadapi makan malam, tiba-tiba datang
seorang sambil berlari-lari dan berteriak: 'Sudah datang!' Seketika itu, wajah
segenap ang-gota rombongan menjadi tegang. Segera meletak-kan sumpit
masing-masing dan berlari ke luar sambil melolos senjata. Diam-diam loo-lap
juga turut ke-luar untuk melihat keramaian yang agaknya akan segera terjadi,
meskipun hatiku berdebar-debar sa-ngat keras. Rasa ingin tahuku telah menekan
pe-rasaan takut."
"Tiba di luar, loo-lap
melihat sebuah kereta besar tengah mendatangi dengan meninggalkan segulung debu
yang mengepul tinggi. Hoan Pang-cu dan Tian Siangkong segera memimpin
orang-orang mereka maju memapaki dengan senjata terhunus. Loo-lap juga
mengikuti mereka dari kejauhan."
"Setelah berhadapan
dengan pencegahnya, ke¬reta itu segera berhenti. Hoan Pangcu berseru: 'Orang
she Ouw, keluarlah!' Dari dalam kereta itu terdengar jawaban seseorang: 'Kamu
hendak minta sedekah bukan! Baiklah, setiap pengemis kuberi satu bun!' Belum
habis kumandang kata-kata itu, ketika segera terlihat sekian banyak sinar
kuning berkelebat disusul dengan terdengarnya teriakan kesakitan ramai.
Berturut-turut, dari antara pen-cegat-pencegat itu sudah roboh sekian
banyaknya. Juga Hoan Pangcu dan Tian Siangkong yang ber-kepandaian sangat
tinggi tidak terluput dari tim-pukan musuh mereka itu. Pergelangan tangan
me¬reka kena dihajar dan senjata mereka, sebatang tongkat dan sebilah pedang,
lantas saja jatuh di tanah."
"Tian Siangkong segera
mengajak Hoan Pangcu mundur. Tetapi Pangcu itu yang berkepandaian sangat tinggi,
tidak menghiraukan teriakannya. Ia mengangkat tongkat bajanya dan menghampiri
ka-wan-kawan yang telah dirobohkan lawan itu. Ia coba membuka kembali jalan
darah mereka yang tertutup karena timpukan yang sangat lihay itu. Loo-lap
sendiri ketika itu juga sedikit banyak mengetahui hal 36 jalan darah pada tubuh
manusia dan melihat gerakan Hoan Pangcu itu, loo-lap yakin, bahwa ketua partai
pengemis itu akan dapat membebaskan kawan-kawannya dari totokan. Sungguh di
luar dugaan, bahwa segala daya upaya itu tidak meng-hasilkan apa-apa. Walaupun
ia sudah memijat, mengurut dan menyentil dengan asyiknya, seorang jua tak dapat
ditolongnya."
"Orang yang di dalam
kereta itu agaknya me¬lihat, bahwa Hoan Pangcu sudah kehabisan akal. Gelak
tertawanya menggema lagi disertai kata-kata-nya mengejek: 'Dasar pengemis, satu
bun masih tidak terima. Baiklah kutambahkan satu bun ma-sing-masing lagi.'
Kata-kata itu ditutup dengan da-tangnya timpukan segenggam uang bun lagi.
De¬ngan kecepatan yang luar biasa, sekian banyak mata uang itu menyentuh jalan
darah sekian banyak korbannya tadi, yang masih menggeletak malang melintang di
tanah. 'Mati kau!' Pikir loo-lap. Tetapi dugaanku itu meleset jauh. Benar-benar
luar biasa, begitu kesentuh, serentak mereka dapat berdiri lagi dan segera, tanpa
menengok, melarikan diri secepat mungkin."
"Karena tahu, bahwa
pihaknya tak akan dapat menandingi musuh itu, Tian Siangkong berseru kepada
orang itu: 'Orang she Ouw, hari ini kami menyerah kalah, tetapi, jika kau benar
laki-laki, janganlah kabur cepat-cepat!' Seruan itu tidak di-jawab dengan
kata-kata oleh musuhnya, hanya de¬ngan sebuah mata uang pula yang tepat sekali
menghajar ujung pedangnya. Tenaga orang she Ouw itu benar-benar luar biasa,
dengan timpukan mata uang sekecil itu ia telah dapat mementalkan pedang Tian
Siangkong yang lalu melayang pergi untuk kemudian menancap di tanah. Ketika
Tian Siang¬kong mengangkat tangannya, loo-lap melihat, bah¬wa tangannya
berdarah."
"Tian Siangkong sendiri
juga menginsyafi, bah¬wa lawan itu terlalu tangguh dan bersama dengan Hoan
Pangcu, ia melarikan diri menyusul kawan-kawannya yang sudah lari lebih dahulu.
Mereka lari ke penginapan itu, kemudian mereka keluar lagi dengan menggendong
kawan-kawan yang terluka. Tanpa menoleh lagi mereka mengaburkan kuda masing-masing
ke Selatan."
"Tian Siangkong memang
pemurah, sebelum pergi ia telah menghadiahkan duapuluh tail perak kepadaku, dan
wajahnya yang tampan meninggal-kan kesan baik dalam pikiranku. Kupikir, bahwa
orang yang berada di dalam kereta itu tentu juga seorang jahat yang berhati
kejam bagaikan serigala. Bila tidak, mengapa seorang yang begitu baik se-perti
Tian Siangkong bisa bermusuh dengannya? Sementara itu, kereta tersebut sudah
tiba di depan penginapan. Rasa ingin tahu akhirnya mengalahkan rasa takutku. Ingin
sekali aku mengetahui rupa orang jahat itu. Aku berdiam di belakang meja
pengurus hotel dan menantikan ia melangkah ma-
suk."
"Tampak tirai kereta
disingkap. Seorang laki-laki yang bertubuh tegap-kokoh menampakkan diri.
Sungguh bengis lagi menakutkan wajah orang itu. Kulit mukanya hitam. Jenggot
dan kumis tebal memenuhi mukanya, kaku, berdiri tegak-tegak. Rambutnya terurai
kusut. Dalam keselu-ruhannya, roman orang itu membangunkan bulu
roma."
"Ah, betapa terkejut
hatiku pada saat. itu. Da¬lam benak pikiranku terkilas: 'Dari manakah
da-tangnya setan jahat ini?' Dalam ketakutanku, aku sudah hendak buru-buru lari
pulang, tetapi, sung¬guh aneh, tertatap matanya yang berpengaruh, aku tak dapat
berkisar dari tempatku, terpesona, ter-mangu-mangu."
"Di dalam hatiku, aku
sudah mencaci diriku yang tak mau siang-siang pergi. Saat itu aku sudah tak
bisa menghindarinya lagi. Kakiku lemas, bagai¬kan terkena ilmu siluman.
Sementara itu, si orang berwajah menyeramkan bertanya: 'Saudara, adakah seorang
tabib di sini?' Jawab pengurus penginapan: 'Dialah tabib desa ini.' Tangannya
menunjuk ke-padaku."
"Dapatkah saudara-saudara
mengerti, betapa gugup aku karenanya? Buru-buru aku mengoyang-kan tanganku.
'Bukan, bukan...' sangkalku terputus-putus, dan tubuhku menggigil. Orang itu
tertawa. 'Jangan takut, aku tak akan menelanmu,' katanya di antara
tertawanya."
"Aku semakin ketakutan,
dan coba menyangkal semakin keras, tetapi semua itu tidak menghasilkan apa-apa.
'Jika aku mau, mudah saja bagiku untuk menelan kau hidup-hidup,' katanya dengan
nada kurang senang."
"Tentu saja aku semakin
ketakutan, tetapi ia hanya tertawa terbahak-bahak melihat sikapku. Tahulah aku,
bahwa kata-katanya tadi hanya di-ucapkan untuk bergurau. Dengan gusar aku
meng-gumam: 'Kurang ajar, apakah kau mengira, bahwa aku dilahirkan untuk
dijadikan bulan-bulanan ke-lakarmu yang tidak menyenangkan!' Tetapi, tentu saja
kujaga supaya ia tak mendengar kata-kataku itu."
"Orang itu kini berpaling
kepada pengurus pe¬nginapan. Ia minta disediakan kamar kelas satu dan yang
terbersih. Selain itu ia minta dicarikan dukun beranak, karena menurut katanya,
isterinya akan melahirkan. Kemudian ia mengatakan kepadaku, supaya aku tetap di
situ, karena mungkin sekali tenagaku akan dibutuhkan. Ia khawatir jika
isteri¬nya telah terperanjat karena kejadian tadi, sehingga mungkin akan sukar
melahirkan."
"Aku mendapat kesan,
bahwa pengurus penginapan sebenarnya berkeberatan, jika isteri orang itu
melahirkan di penginapannya, tetapi, agaknya seperti juga aku, ia jeri melihat
wajah orang itu yang demikian bengis. Ia tak menolak, tetapi ia lekas-lekas
memberitahukan, bahwa dukun beranak di desa itu telah meninggal dunia berapa
hari se-belumnya."
"Semakin menyeramkan
wajah orang itu, demi mendengar keterangan si pengurus rumah pengi¬napan. Ia
mengeluarkan sepotong uang perak. Diletakkannya uang itu di atas meja dan ia
me-nyuruh si pengurus penginapan mencarikannya dukun beranak di tempat lain,
lebih cepat lebih baik."
"Aku membelalakkan
mataku, dan berpikir ke-heran-heranan, mengapa dalam sehari itu aku bisa
berjumpa dengan demikian banyak orang-orang ro¬yal, yang bagaikan menganggap
uang tiada harga-nya. Melihat uangnya, dalam hatiku aku sudah mengambil
ketetapan akan menyediakan tenagaku untuknya."
"Uangnya memang sangat
membangkitkan se-lera. Juga pengurus serta para pelayan penginapan segera
melakukan segala perintahnya dengan suka hati. Sebentar saja kamar yang
dipesannya sudah selesai disiapkan, dan laki-laki yang berwajah se¬perti setan
jahat itu segera menurunkan isterinya dari kereta tersebut. Seluruh tubuh
wanita itu ter-bungkus rapat-rapat dengan sehelai selimut kulit, tetapi
wajahnya yang cantik tampak jelas, menyolok sekali di samping wajah suaminya
yang sangat me¬nyeramkan, ibarat Thio Hui beristerikan Tiauw Siang."
"Besar sekali keherananku. Dalam hatiku aku berkata, bahwa wanita itu
tentu telah dipaksa kawin dengan laki-laki ini. Jika bukannya karena dipaksa,
menurut anggapanku tak mungkin ia mau menikah dengan suami yang begitu buruk
tampangnya. Aku membandingkannya dengan Tian Siangkong, dan kesimpulanku
adalah, bahwa wanita itu lebih sesuai menjadi isteri orang she Tian itu."
"Tiba-tiba terkilas dalam
pikiranku, bahwa wa¬nita itu tentu yang menjadi sebab permusuhan an-tara Tian
Siangkong dengan orang menakutkan ini. Mungkin sekali si pna buruk telah
merebutnya dari tangan Tian Siangkong, mungkin sekali wanita itu asalnya memang
isteri Tian Siangkong."
"Tengah hari lewat
sedikit, kulit wanita itu berkeringat karena menahan sakit, dan mulutnya tiada
hentinya merintih. Pelayan yang disuruh men-cari dukun beranak belum juga
kembali. Si setan jahat tampak semakin gelisah. Ia menjadi sibuk sendiri. Ia
sudah hendak pergi mencari dukun sen-diri, tetapi isterinya tak mau
ditinggalkannya se-orang diri."
"Lama sekali mereka menunggu,
tetapi pelayan yang pergi mencari dukun itu tak juga muncul. Penderitaan wanita
itu sudah semakin hebat. Agak-nya, bayinya sudah tak bisa bersabar lagi. Maka
si setan jahat tampak semakin menyeramkan dalam puncak kerisauannya, ia segera
menyuruh aku yang menolong isterinya melahirkan. Saudara-saudara, coba kalian
pikir, pantaskah permintaannya itu? Pantaskah aku melakukan pekerjaan dukun
beranak? Oleh sebab itu, tentu saja aku menolak keras-keras, karena aku yakin,
bahwa aku akan bernasib malang sepanjang sisa hidupku, jika pe¬kerjaan itu
kulakukan juga."
"Si setan tak mau
menerima penolakanku. Ia segera mengeluarkan dua ratus tail perak dari saku-nya
dan menjanjikannya sebagai hadiahku, jika aku mau menurut perintahnya. Selain
memancing diriku dengan uang, ia juga memperlihatkan nasib apa yang akan
kualami, jika aku tetap menolak. Per-lahan-lahan ia menepuk sudut meja, yang
seketika itu juga sudah somplak sebagian. Dua contoh itu tentu saja hanya dapat
memberikan ilham semacam kepadaku, yakni menurut perintahnya. Bagiku su¬dah tak
ada jalan tengah, aku harus kehilangan jiwa serta uang sebanyak itu, atau aku
bisa hidup terus dengan memiliki harta sebanyak belum pernah ku-pegang selama
hidupku. Saudara-saudara tentu juga mengerti, bahwa aku segera mengambil
keputusan, betapapun takutku akan menjadi sial untuk selama-lamanya."
"Demikianlah, aku telah
melakukan pekerjaan dukun beranak dan menolong nyonya itu melahir¬kan seorang
bayi yang montok sehat. Walaupun baru dilahirkan, tangis bayi itu sangat nyaringnya.
seluruh wajahnya berbulu, dan matanya juga mem-belalak lebar-lebar. Romannya
benar-benar mirip dengan roman ayahnya, sehingga aku berkeyakinan bahwa setelah
dewasa anak itu tentu juga akan sejahat ayahnya."
"Sedang aku memikirkan
segala itu, si setan jahat tampak kegirangan. Dengan wajah berseri-seri
diberikannya kepadaku dua ratus tail perak bagaikan uang itu tidak ada
harganya. Juga isterinya memberikan hadiah kepadaku, serenceng uang emas
yang harganya tak dibawah
harga pemberian sua-minya. Agaknya, mereka benar-benar merasa ber-hagia, bahwa
mereka telah memperoleh seorang putera yang sehat. Si setan bahkan segera
me-langkah ke luar dengan membawa penampan yang berisikan uang perak untuk
membagi-bagikan ha-diah kepada semua pegawai penginapan."
"Bagaikan semua itu
dirasakan belum cukup untuk merayakan kelahiran puteranya, si setan ja-hat
kemudian mengajak semua orang makan minum sepuasnya. Tanpa memilih bulu, semua
orang yang kebetulan berada di situ, diajaknya serta dalam pesta itu, kuasa penginapan,
orang yang kebetulan lewat dan semua kacung dan tukang sapu diun-dangnya
hadir."
"Semua orang menjadi
girang sekali, tak ada yang tidak menghormatinya sekarang. Setelah me-ngetahui,
bahwa ia she Ouw, semua orang me-manggilnya "Ouw toaya" (Tuan besar
Ouw). Tetapi ia segera berkata: 'Benar aku she Ouw, dan se-panjang masa
hidupku, jika aku menemukan suatu kejadian tak adil, aku segera turun tangan
dan membereskan ketidak-adilan itu dengan bacokan golokku. Setiap kali, satu
bacokan sudah cukup, maka orang itu menyebutkan aku dengan "It To"
(sekali tabas). Aku juga asalnya orang miskin. Uang yang kumiliki sekarang juga
kudapatkan dengan jalan mengambil alih sebagian dari kekayaan kaum kaya yang
jahat. Sebagai perampok aku tentu tak pantas disebut Toaya, maka sebutlah saja
'Ouw toako'. Sebagai telah kuceritakan, sedari saat per-tama aku sudah yakin,
bahwa ia bukannya seorang baik-baik. Dengan perkataannya itu terbuktilah
sangkaku itu."
"Meskipun ia sendiri yang
telah memintanya, tak seorang berani menyebutnya dengan 'Ouw toa¬ko.' Baru
setelah ia mendesak berulang-ulang, dan setelah keberanian para hadirin
dibangkitkan oleh berapa cawan arak, semua menyebutnya dengan Ouw toako, sesuai
dengan pintanya. Semakin lama semakin riang suasana pesta itu."
"Malam itu aku tak
diijinkan pulang, dan harus menemaninya minum arak terus. Yang lain, semua
sudah rebah, hanya aku yang masih bisa mela-yaninya minum semangkuk demi
semangkuk. Sung-guh menakjubkan kekuatannya minum arak. Se¬makin lama, ia
bahkan semakin gembira, sehingga akhirnya ia membawa puteranya yang baru
dilahir-kan itu ke luar."
"Ia kembali ke tempat
duduknya dan men-celupkan jarinya pada bibir bayi itu. Aku mem-belalakkan
mataku, karena bayi itu segera meng-hisap jari ayahnya dengan nikmat sekali.
Sungguh mengherankan, bahwa bayi yang baru berusia sehari sudah suka minum
arak. Si setan jahat sebaliknya tambah semakin gembira dan segera mengulangi
perbuatannya, sedang si bayi juga semakin asyik menghisap setiap kali jari
ayahnya tiba di bibirnya. Benar-benar anak setan arak yang kelak akan men¬jadi
setan arak juga."
"Tiba-tiba dari arah
Selatan terdengar derap kaki kuda yang riuh. Agaknya, tak kurang dari dua tiga
puluh penunggang kuda yang datang ke arah mereka. Tak lama pula,
tindakan-tindakan kuda itu berhenti di muka penginapan tersebut. Segera juga
pintu penginapan sudah digedor keras-keras. Kuasa penginapan sudah mulai agak
sadar kembali. la lekas-lekas berbangkit dan berjalan terhuyung-hu-yung
membukakan pintu."
"Berapa puluh laki-laki
bersenjata lengkap serentak muncul di ambang pintu. Mereka tak segera masuk,
dan berdiam did saja. Salah seorang di antara mereka kemudian melangkah masuk
dan duduk di sebuah meja di dekat pintu. Sebuah bungkusan kuning diturunkan
dari punggungnya ke atas meja. Bungkusan itu bertuliskan tujuh buah huruf yang
terbaca: 'Ta-pian-thian-hee-bu-tek-ciu'."
Demi mendengar Po-sie
menyebutkan bung¬kusan pendatang baru dalam ceritanya itu, semua pendengarnya
serentak mengalihkan pandangan mata masing-masing ke arah papan yang digan-tungkan
dalam ruang itu. Tetapi segera juga Po-sie sudah melanjutkan ceritanya.
"Kesukaan Biauw Tayhiap
memakai gelar tem-berang itu, sekarang kuanggap sebagai kebiasaan memandang
rendah kepada orang lain, tetapi ma-lam itu aku terkejut bukan main. Aku
memper-hatikannya dengan seksama. Tubuhnya tinggi ku-rus, kulit mukanya kuning
pucat, mirip dengan warna kulit seorang yang berpenyakitan. Sepasang tangannya
lebar tetapi kurus, ibarat sepasang kipas rusak yang tinggal tulang-tulangnya
saja. Ketika itu, aku belum tahu siapa namanya, tetapi gelarnya yang dituliskan
pada bungkusannya sudah cukup me-ngejutkan."
"Jika aku terperanjat dan
memperhatikan ke-jadian-kejadian itu, Ouw It To tampak seperti tidak mendengar,
tidak melihat dan tidak menghiraukan kedatangan sekian banyak orang itu. Di
pihak lain, juga Biauw Tayhiap tak mengucapkan sepatah kata, tetapi semua
pengikutnya memperlihatkan pan¬dangan penuh amarah kepada Ouw It To, yang masih
terus memberikan arak kepada puteranya dengan asyiknya. Setiap kali bayi itu
sudah me-ngeringkan arak yang melekat pada jarinya, ia sen-diri minum secawan.
Tanpa memperhatikan, orang tak akan tahu, bahwa suasana dalam ruangan itu sudah
tegang sekali, tetapi aku telah melihat segala apa, dan hatiku berdebar-debar
dengan kerasnya. Kesunyian itu menambah ketegangan. Setiap saat salah seorang
bisa mulai menyerang dan jika sudah demikian, pertempuran tentu sudah tak dapat
di-elakkan lagi."
"Demikianlah sekian lama
kedua orang itu ha-nya duduk diam di tempat masing-masing. Semakin lama
kesunyian itu semakin menekan perasaan orang, dan sudah berulangkali, dalam
khayalku, aku mem-bayangkan, bagaimana salah seorang meloncat ke arah lawannya
bagaikan seekor harimau menerkam mangsanya. Tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan
panggilan wanita itu dari dalam. Bayi itu seketika memperdengarkan tangisan
yang nyaring."
"Seketika mendengar suara
itu, tangan Ouw It To tampak bergetar, dan mangkuk arak di tangannya jatuh,
pecah berantakan di lantai. Wa-jahnya juga berubah. Ia segera berbangkit dengan
mendukung bayinya. Biauw Tayhiap tertawa meng-ejek dan segera melangkah ke luar
tanpa meng¬ucapkan sepatah kata. Orang-orang juga turut meninggalkan ruangan
itu. Sesaat terdengar de-rap kaki kuda mereka yang riuh, dan kemudian semua
sunyi kembali."
"Semula kuduga, bahwa
suatu pertempuran se-ngit tentu sudah tak akan dapat dihindarkan lagi, tetapi
ternyata hanya karena tangis bayi itu, mereka jadi berpisah dengan begitu saja.
Juga semua orang benar-benar tidak mengerti."
"Sementara itu, Ouw It To
telah masuk ke dalam kamar dengan puteranya. Kudengar isterinya menanyakan
siapa yang baru berbicara dengannya. Ouw It To mengatakan, bahwa mereka hanya
be-rapa penjahat kecil saja, yang sedikit pun tak usah ditakuti, dan ia
menganjurkan supaya isterinya tidur saja dengan tenang. Sang isteri menghela
napas dan berkata, bahwa ia sudah tahu, jika yang datang itu adalah Biauw
Tayhiap. Kudengar pula, bagaimana Ouw It To coba membantah, dan bagaimana
ke-mudian isterinya mengutarakan pendapatnya, bah¬wa jika bukan Kim-bian-hud
yang datang, sungguh mustahil, bahwa suara Ouw It To akan bergetar dan wajahnya
tampak khawatir."
Ouw It To agaknya tak dapat
menjawab atau menyangkal lebih jauh. Katanya kemudian sambil menghela napas,
bahwa jika isterinya itu sudah tahu, tak dapat ia mengatakan suatu apa lagi dan
se-lanjutnya ia berkata, bahwa ia juga tak takut kepada jago yang tiada
tandingannya itu. Isterinya ternyata juga sangat berani, dan menganjurkan sang
suami supaya menetapkan hatinya, karena bila saja karena mengingat isteri dan
anaknya Ouw It To menjadi ragu-ragu, kedudukannya akan tidak menguntung-kan
jika kelak berhadapan dengan Biauw Jin Hong, bahkan mungkin sekali ia akan
kalah."
"Kudengar Ouw It To
menghela napas lagi dan berkata, bahwa selamanya ia tak pernah takut ke¬pada
siapa juga, tetapi sungguh mengecewakan, bahwa malam itu ia menjadi agak jeri
juga, entah karena apa. Ia mengakui pula, bahwa tadi, ketika Kim-bian-hud
meletakkan bungkusannya di atas meja dan melirik ke arah puteranya ia jadi
ke-takutan dan sekujur badannya menjadi basah ber-keringat. Ia membenarkan
pendapat isterinya, bah¬wa ia memang telah menjadi takut kepada
Kim-bian-hud."
"Isterinya coba
menghiburnya dengan mengata¬kan, bahwa ketakutan Ouw It To itu bukannya
ketakutan wajar, tetapi karena khawatir, jika pu¬teranya akan dicelakakan
lawannya, terdengar ja-waban Ouw It To dengan suara ragu-ragu, bahwa ia tidak
percaya, jika Kim-bian-hud yang tersohor sebagai pendekar akan berlaku demikian
keji, mencelakakan seorang wanita atau anak orok. Dari nada suaranya dapat
diketahui, bahwa ia kurang yakin akan dapat menandingi lawannya. Tiba-tiba di
dalam hatiku timbul rasa kasihan. Beda dengan rupa wajahnya, ternyata hati Ouw
It To agak le-mah."
"Dalam pada itu,
isterinya menganjurkan su¬paya Ouw It To membawa lari putera mereka itu ke
Utara, sedang dia sendiri kelak, bila sudah kuat, akan menyusul. Nada suaranya
mengesankan kasih sayangnya yang besar sekali. Ouw It To tentu saja tak mau
menyetujui saran isterinya. Ia berkata, bahwa daripada harus meninggalkan
isterinya menghadapi bahaya seorang diri saja, lebih baik mereka sama-sama
berdiam di situ, dan jika harus mati, mati juga bersama."
"Isterinya menyesal
sekali, bahwa tadinya ia telah merintangi maksud sang suami untuk pergi ke
Kanglam, menantang Kim-bian-hud. Jika tahu akan terjadi demikian, lebih baik ia
membiarkan-nya mencari Kim-bian-hud ketika itu, ketika ia masih bebas."
"Menurut Ouw It To, hari
itu juga ia belum tentu kalah, hanya suaranya kurang meyakinkan. Agaknya, di
dalam hatinya ia sendiri kurang percaya kepada perkataannya. Walaupun teraling
dinding yang agak tebal, kudengar jelas-jelas, bahwa sua¬ranya tergetar."
"Tiba-tiba kudengar
isterinya minta Ouw It To berjanji sesuatu kepadanya, dan ketika sang suami
menanyakan apa yang harus dijanjinya, ia segera membentangkan maksudnya, supaya
mene-rangkan kedudukannya diwaktu itu kepada Kim-bian-hud secara terus-terang
dan minta ia itu berlaku murah."
"Ouw It To mengatakan,
bahwa ia juga sudah berpikir begitu, ketika melihat Kim-bian-hud tadi, tetapi
ia merasa, bahwa jika ia sendiri yang ber-bicara, agaknya sukar sekali
berhasil, maka ia me-nyarankan untuk mengutus seorang lain saja. Sang isteri
menyarankan aku, si tabib yang dikatakannya cukup pintar dan menurut
pendapatnya tentu bisa disuruh melakukan tugas itu."
"Ouw It To kurang setuju,
karena menurut pendapatnya, aku terlalu tamak, sehingga tak bisa dipercaya.
Menurut isterinya, justru karena sifat itu, jika dijanjikan hadiah yang besar,
aku tentu akan berusaha melakukan tugas itu sebaik-baiknya. Sung-guh tepat kata
mereka. Ketika itu, aku memang sangat tamak. Untuk memperoleh hadiah besar,
tentu saja aku bersedia melakukan apa saja. Me¬mang demikian sifatku di masa
muda."
"Demikian kemudian
terjadinya. Setelah me¬reka berunding lagi sebentar, keluarlah Ouw It To untuk
memanggil aku. Ia menyuruh aku besoknya pagi-pagi datang untuk menyampaikan
sepucuk su-rat kepada Biauw Tayhiap. Tanpa sangsi aku segera memberikan
kesanggupan untuk melakukan tugas yang menurut pendapatku sama sekali tak ada
ke-sukarannya."
"Keesokan harinya,
pagi-pagi sekali, tibalah se¬orang pembawa surat Biauw Tayhiap untuk Ouw It To.
Kudengar nyonya Ouw membacakan isinya, yakni tantangan untuk bertempur dan
Biauw Tay¬hiap menyilakan Ouw It To memilih saatnya. Ouw It To segera menulis
balasannya dan menyuruh aku turut pada pembawa surat Biauw Tayhiap untuk
menyampaikannya."
"Aku meminjam seekor kuda
dan segera mengikuti pembawa surat itu. Tiga puluh li lebih kami berjalan ke
arah Selatan. Di sebuah rumah besar aku berjumpa dengan Biauw Tayhiap. Juga
Hoan Pangcu dan Tian Siangkong berada di situ. Di samping mereka, kulihat
banyak orang, laki perempuan, toosu, hweeshio, niekouw dan Iain-lain
lagi."
"Setelah surat itu
dibaca, berkatalah Tian Siang¬kong, bahwa mereka tak usah menantikan Ouw It To
memilih hari lagi, dan sebaiknya mereka semua berangkat besoknya. Kepadaku ia
berpesan, supaya Ouw It To siang-siang menyediakan tiga buah peti mati. Katanya,
agar mereka tak usah berabe lagi nantinya."
"Semua pengalamanku itu
kusampaikan kepada Ouw It To suami isteri. Tadinya kusangka, bahwa mereka tentu
akan mencaci lawan-lawan itu sebagai orang-orang yang tak berperikemanusiaan.
Ternyata tak demikian jadinya, mereka hanya saling me-mandang tanpa mengucapkan
sepatah kata. Ke-mudian, keduanya hanya memperhatikan anak mereka dengan cinta
yang berlimpah-limpah, mungkin karena sudah yakin, bahwa ajal mereka sudah di
depan mata, dan dalam berapa waktu sisa hidup mereka itu, mereka hendak
memberikan semua yang dapat diberikan."
"Sepanjang malam itu aku
tak dapat tidur te-nang. Rupa-rupa mimpi buruk selalu datang meng-ganggu.
Sebentar aku bermimpi, bagaimana Ouw It To membunuh Biauw Tayhiap. Sesaat pula
dalam mimpiku aku melihat, bagaimana Biauw Tayhiap membunuh orang she Ouw itu,
atau tiba-tiba aku bermimpi bahwa mereka berbalik hendak mem-bunuhku. Lewat
tengah malam, mungkin juga sudah menjelang pagi, tiba-tiba aku terjaga. Aku
men-dengar tangis seseorang dari balik dinding. Setelah kuperhatikan, aku
mendapat kenyataan, bahwa yang kudengar itu adalah tangis Ouw It To. Sungguh
tak kuduga, bahwa seorang yang berwajah begitu me-nyeramkan. Lagi gagah perkasa
juga bisa menangis, bahkan menangis begitu memilukan."
"Aku menganggap, bahwa ia
takut mati dan seketika itu pandanganku terhadapnya merosot. Kuanggap ia tak
punya guna. Tetapi sesaat kemu-dian tahulah aku, bahwa ia menangisi nasib
anak-nya, yang dikatakannya sungguh malang, bahwa sekecil itu, ia sudah akan
kehilangan ayahnya. Di antara tangisnya, aku mendengar ia berkata: 'Siapa-
kah yang akan menyayangmu
kelak?' Meskipun tadinya aku telah memakinya sebagai pengecut, lama-lama aku
merasa kasihan juga, bahkan akhir-nya aku mengagumi cintanya kepada anaknya.
Sungguh tak kusangka, bahwa seorang kasar sepertinya bisa mencinta begitu
mesra."
"Terdengar isterinya
menghiburnya, bahwa jika Ouw It To tewas di bawah senjata Biauw tayhiap, ia
yakin bahwa ia sendiri akan turut tewas, se-hingga anak mereka tak akan
terlantar. Sungguh besar makna kata-kata isterinya itu. Ouw It To menjadi
girang dan semangatnya bangkit kembali. Suaranya sudah tidak bergetar lagi,
ketika ia ber¬kata, bahwa hatinya menjadi lega, karena ia tak usah khawatir,
jika anaknya akan tanpa pelindung. Dengan nada tetap, dikatakannya, bahwa ia
akan bisa bertempur dengan hati tenang, bahkan de¬ngan gembira, mengingat,
bahwa lawan yang harus dihadapinya adalah seorang jago yang tiada tan-dingannya
di dunia."
"Saat itu aku sudah
heran, tetapi lebih heran pula aku, ketika kemudian aku mendengar ia ter-tawa
terbahak-bahak dan berkata: 'Moaycu, mati tak sukar, bahkan membebaskan
seseorang dari segala kesulitan. tetapi kau yang akan hidup terus, tentu akan
menemukan tak sedikit kesukaran dan kesengsaraan. Sebenarnya, aku tak tega
mening-galkan kau sendiri.' Nyonya Ouw menjawab, bahwa dengan mengasuh anak
mereka, ia tentu akan ter-hibur. Ia berjanji untuk mendidik anak itu supaya
menjadi seorang pahlawan, seorang pahlawan se-perti bapaknya yang selalu
berusaha untuk mem-bebaskan rakyat dari tindakan segala pembesar ko-rup,
hartawan jahat dan para buaya darat."
"Aku semakin heran
mendengar percakapan mereka itu. Kudengar Ouw It To bertanya, apakah isterinya
tak menyesalkan semua perbuatannya se-lama itu. Isterinya bukan hanya tidak
menyesal, bahkan membenarkan semua perbuatan itu. Agak-nya Ouw It To semakin
gembira, dan ia berpesan supaya bila kelak ia jadi tewas, kotak besi pusaka
yang dimilikinya diberikan kepada puteranya pada ulang tahun ke enam
belasnya."
"Aku tertarik sekali
kepada kotak besi pusaka itu. Diam-diam aku mengintip dari celah pintu. Ketika
itu, nyonya Ouw sudah bisa bangun dan sedang mendukung anaknya. Ouw It To
sendiri tengah memegang sebuah kotak besi, kotak besi yang kalian lihat di sini
sekarang, yang berisikan golok kebesaran Cwan Ong."
"Tentu saja, ketika itu
aku juga belum tahu apa yang terdapat di dalamnya. Besar sekali minatku untuk
melihat isinya, tetapi Ouw It To menyimpan lagi kotak itu tanpa membukanya
sebentar saja. Setelah itu Ouw It To merebahkan diri dan segera tidur lelah
sekali. Suara mendengkurnya memenuhi kamarnya, bahkan terdengar di seluruh
penginapan itu."
"Aku juga kembali ke
tempat tidurku, tetapi sia-sia saja aku memejamkan mataku. Aku tak bisa pulas.
Suaranya mendengkur terus mengganggu te-lingaku. Aku jadi berpikir, memikirkan
mereka. Sudah cukup mengherankan, bahwa seorang cantik seperti nyonya Ouw rela
kawin dengan seorang yang berwajah demikian buruk. Lebih mengherankan pula
adalah, bahwa agaknya ia telah menikah de¬ngan pilihannya sendiri. Jika ditilik
dari cintanya kepada suaminya, tak mungkin ia menikah bukan atas maunya
sendiri."
"Pada hari ketiga,
sebelum terang tanah, nyonya Ouw sudah keluar dari kamarnya dan menyuruh
pelayan berbelanja, membeli daging babi, daging kambing, ayam, itik dan
rupa-rupa sayur-mayur, sedang ia sendiri kemudian mengolah semua itu. Aku
menjadi agak heran, tak dapat kuterka guna apa ia menyediakan sekian banyak
makanan yang istimewa. Aku coba menasihatkannya, supaya ia tidak terlalu berat
bekerja, mengingat, bahwa ia baru saja melahirkan."
"Atas segala nasihatku,
ia hanya tertawa saja. Setelah bangun dan keluar dari kamarnya, Ouw It To
sendiri juga coba mencegahnya bercapai lelah terlalu banyak, tetapi juga ia tak
berhasil. Kata Ouw It To kemudian, sambil tertawa, bahwa ia akan merasa
berbahagia, bila merasakan masakan isteri¬nya sekali lagi sebelum menutup
mata."
"Aku baru mengerti, bahwa
nyonya Ouw hen-dak mengadakan pesta selamat berpisah untuk sua¬minya, dan ia
tak mau membiarkan orang lain yang menyiapkan hidangannya."
"Menjelang tengah hari
nyonya itu baru selesai, karena ia telah membuat hampir empat puluh ma-cam
hidangan. Ouw It To kemudian menyuruh pelayan membawakan berapa puluh kati
arak. De¬ngan dilayani isterinya, kemudian Ouw It To duduk makan seorang diri.
Kedua-duanya tampak berseri-seri, bagaikan tak merasa khawatir atau tegang
sedikit juga. Aku membuka mataku lebar-lebar, sungguh menakjubkan kekuatan
perut orang she Ouw itu. Segera juga ia sudah menghabiskan tak sedikit hidangan
itu dan berapa puluh mangkuk arak."
"Sebelum ia selesai, dari
jauh terdengarlah de-rap kaki kuda yang kian mendekat. Sekali ini, Ouw It To
bahkan tertawa mendengar kedatangan mu-suhnya. Ia hanya berpesan, supaya
isterinya kelak menyampaikan kepada puteranya, bahwa ia meng-harapkan, agar
dalam segala tindakannya, putera itu dapat berlaku lebih keras dan bisa pula
turun tangan secara lebih kejam dari ia sendiri."
"Nyonya Ouw memberikan
janjinya. Kemudian ia bersenyum dan berkata, bahwa ia juga sangat berminat
melihat macam jago yang tak ada tan-dingannya itu, Biauw Tayhiap."
"Ia tak usah menunggu
terlalu lama, karena sebentar pula Biauw Tayhiap sudah muncul dengan diapit
Hoan Pangcu dan Tian Siangkong dan diikuti berpuluh penunggang kuda. Tanpa
menoleh, Ouw It To menyilakan mereka makan bersama. Un-dangannya disambut tanpa
ragu-ragu oleh Biauw Tayhiap, yang tanpa sungkan-sungkan lantas duduk
berhadapan dengannya dan segera mengangkat se-mangkuk arak. Agaknya, Tian
Siangkong terpe-ranjat melihat perbuatan Biauw Tayhiap itu."
"Dengan gugup ia coba
mencegah. Dikatakan-nya, bahwa mereka (Ouw It To suami isteri) mung-kin telah
mencampurkan racun ke dalam semua hidangan dan arak itu. Biauw Tayhiap tak
meng-hiraukan nasihatnya, dan berkata bahwa Ouw It To menurut pendapatnya tak
mungkin berbuat demikian rendah. Segera juga ia sudah makan minum dengan
lahapnya, seperti juga tuan rumahnya, ha¬nya caranya lebih halus."
"Nyonya Ouw telah
memperhatikan Biauw Tay¬hiap dengan seksama. Tiba-tiba ia berkata: 'Toako, memang
selain Biauw Tayhiap, tak ada lagi yang bisa menandingi kau, dan begitu pun
sebaliknya. Kepercayaan, keteguhan hati dan keberanian yang barusan kalian
perlihatkan benar-benar tak dapat ditiru orang lain.' Tertawalah Ouw It To
sebagai sambutan atas pujian isterinya, dan ia juga mera-balasnya dengan
pujian, bahwa di antara semua wanita, nyonya Ouw tiada tandingannya."
"Kemudian nyonya Ouw
berpaling kepada Biauw Tayhiap dan mengatakan, bahwa ia akan puas bila suaminya
kelak tewas di bawah senjata Biawu Tay¬hiap. Menurut pendapatnya, mati terbunuh
Biauw Tayhiap bukannya kematian yang mengecewakan. Ia juga mengharapkan, agar
Biauw Tayhiap juga akan berperasaan demikian. Pada akhir kata-kata-nya, ia
mengajak Biauw Tayhiap sama-sama menge-ringkan secawan arak."
"Agaknya, Biauw Tayhiap
bukannya seorang yang suka membuang banyak kata-kata. Dengan singkat ia
menjawab: 'Baik.' Dan segera juga su¬dah akan mengeringkan arak yang disuguhkan
kepadanya oleh nyonya itu. Kali ini Hoan Pangcu-lah yang buru-buru menyelak, mencegahnya
me-minum arak itu dengan berkata, bahwa ia sebaik-nya berhati-hati, karena
biasanya wanitalah yang paling kejam."
"Wajah Biauw Tayhiap agak
berubah, jelaslah, bahwa ia kurang senang akan cegahan kawannya.
Tanpa mengatakan suatu apa, ia
segera mengha-biskan arak itu."
"Kemudian nyonya itu
berbangkit dan sambil menimang anaknya, ia berkata lagi: 'Biauw Tayhiap adakah
urusan yang masih belum terselesaikan olehmu? Bila ada, agaknya, bila kau kelak
tewas katakanlah kepadaku, karena di bawah golok suami-ku, kawan-kawanmu itu
belum tentu mau meng-uruskannya.' Selama berapa saat, Biauw Tayhiap tampak
bimbang, tetapi akhirnya ia bercerita, bah-wa empat tahun sebelumnya, untuk
mengurus se-suatu keperluan ia telah pergi ke Leng-lam. Sedang ia tak berada di
rumah, datanglah seorang yang mengaku bernama Siang Kiam Beng dari Bu-teng-koan
di Shoatang."
"Agaknya si nyonya
mengenal orang itu, dan menanyakan, apakah orang itu bukan tokoh utama dari
Pat-kwa-bun yang terkenal lihay dengan Pat-kwa-tonya. Kim-bian-hud mengiakan,
dan segera melanjutkan ceritanya. Katanya, karena mendengar gelarnya
'Menjelajah ke mana-mana tidak ada tan-dingannya' orang itu datang untuk
coba-coba ber-tanding dengannya. Agaknya ia tak puas, karena tidak dapat
berjumpa dengan Biauw Tayhiap. Orang itu berlaku kasar dan kemudian bercekcok
dengan saudara Biauw Tayhiap. Dalam pertempuran yang kemudian terjadi orang itu
telah menggunakan sua¬tu tipu, dan berhasil membunuh kedua saudara Biauw
Tayhiap. Tak puas dengan itu saja, ia juga membunuh adik perempuan Biauw
Tayhiap sekali-an."
"Biauw Tayhiap menghela
napas. Ia mengata¬kan, bahwa meskipun kepandaian kedua adiknya itu belum
sempurna^tetapi kepandaian mereka sudah tak dapat dikatakan lemah. Bahwa Siang
Kiam Beng dapat membunuh kedua-duanya sekali-gus, menandakan, betapa hebat
kepandaiannya. Lagi-pula, karena adanya permusuhan turun-temurun antara
keluarga Biauw dan keluarga Ouw, selama empat tahun itu, Biauw Tayhiap tak
sempat mencari musuhnya untuk menuntut balas."
"Setelah ia berhenti bercerita,
Ouw hujin meng-hiburnya dengan kata bahwa Biauw Tayhiap tak usah khawatir. Bila
sampai kejadian Biauw Tay¬hiap tak dapat melaksanakan sendiri pembalasan sakit
hati tersebut, ia dan suaminya tentu tak akan tinggal diam saja. Pada wajah
Biauw Tayhiap ter-bayang rasa terima kasihnya, tetapi bersama de¬ngan itu ia
segera berbangkit, dan sambil meng-hunus pedangnya ia menantang Ouw It To
ber-tanding seketika itu juga."
"Ouw It To tak
menghiraukan tantangannya. Dengan tenang dan dengan sama lahapnya pula, ia
terus makan dan minum tanpa menjawab. Kata Ouw Hujin: 'Biauw Tayhiap, meskipun
kepandaian sua-miku sangat tinggi, tetapi belum tentu ia bisa me-nang.'
Kiam-bian-hud sadar. 'Ah aku lupa,' katanya, dan ia segera menanyakan pesan Ouw
It To, yang kelak mungkin harus diwakilkannya melaksana¬kan."
"Ouw It To segera
berbangkit dan berkata: 'Bila aku sampai terbunuh olehmu, kelak anakku tentu
akan menuntut balas. Tetapi, pintaku hanya, supaya kau merawatnya baik-baik.'
Di dalam hatiku aku sudah membayangkan jawab Kim-bian-hud. Aku yakin, bahwa ia
tentu akan menolak, karena siapa-kah yang sudi merawat seorang anak yang kelak
akan merupakan bahaya bagi dirinya sendiri. Maka betapa terperanjat aku,
dapatlah kalian memba-yangkannya sendiri, ketika mendengar jawab Biauw Tayhiap
dengan nada meyakinkan: 'Baik, bila kau yang tak beruntung, anakmu akan kurawat
seperti anakku sendiri.' Dengan mataku dibuka lebar-lebar aku memandang dua
orang itu."
"Sesungguhnya aku tak
mengerti, mengapa dua orang itu, yang sebentar lagi sudah akan bertempur
mati-matian, tanpa berhenti sebelum salah seorang jatuh sebagai korban, dapat
bercakap-cakap dengan asyik bagaikan dua sahabat karib yang saling me-ngagumi.
Kulihat, bahwa Hoan Pangcu dan Tian Siangkong agak kecewa melihat kelakuan
Biauw Tayhiap. Mungkin mereka sedang khawatir, jik. pertempuran itu tak jadi
berlangsung, sedang pad; saat itu mereka hanya masih bisa mengandalkar tenaga
Kim-bian-hud seorang."
"Kembali terjadi hal
tiba-tiba yang tak terduga. Ouw It To berbangkit, dan selagi orang-orang coba
menerka apa yang dikehendakinya, ia mencabut goloknya dan menyilakan Biauw
Tayhiap segera mulai. Biauw Tayhiap memberi hormat dengan pe-dangnya, sesuai
dengan peraturan adat, tetapi Tian Siangkong justru menjadi tak sabar karenanya
dan menyerukan, supaya Kim-bian-hud tak segan-segan pula."
"Beda jauh dengan
harapannya tentu, ternyata Biauw Tayhiap bukan saja tak menghiraukan
se-ruannya, bahkan sebaliknya membentak supaya ia dan yang Iain-lain segera
keluar. Sungguh kasar Kim-bian-hud memperlakukan kawannya sendiri.
Wajah Tian Siangkong menjadi
merah seluruhnya, entah karena malu, entah karena marah. Tetapi nada suara
Biauw Tayhiap yang agaknya tak suka dibantah, membuatnya melangkah ke luar
bagaikan anjing terpukul, diikuti Hoan Pangcu dan yang lain."
"Ketika itu dua harimau
itu sudah saling ber-hadapan, hanya pertempuran belum juga dimulai, karena
keduanya sedang saling mengalah dan saling menyilakan menyerang lebih dulu.
Akhirnya Ouw It To menurut. Ia melangkah maju dan membuka serangan dengan suatu
bacokan dari atas, menuju ke kepala Kim-bian-hud."
"Itulah permulaan dari
pertempuran yang be-rani kupastikan tentu belum pernah ada taranya. Dengan
mencenderungkan tubuhnya sedikit, Biauw Tayhiap sudah dapat menghindari
serangan itu."
"Dengan suatu gerakan
yang indah, Biauw Tay¬hiap menggerakkan pedangnya ke lambung kanan lawannya.
Ouw It To menangkis sambil memper-ingatkan, bahwa goloknya adalah golok
mustika. Kim-bian-hud menghaturkan terima kasihnya sam¬bil membebaskan pedangnya
dari benturan golok lawan. Sebelum dan sesudah itu berpuluh, bahkan beratus
kali, aku sudah melihat orang pibu, tetapi tak pernah aku melihat pertempuran
sedahsyat itu, apalagi yang kadang-kadang saling memperingat-kan seperti
mereka. Sebelum pertandingan itu ber¬langsung lama, kedua tanganku sudah terasa
dingin dan hatiku berdebar keras-keras."
"Pada suatu saat
terdengar bunyi senjata beradu disusul gemerincing benda logam yang jatuh di
lantai. Ternyata pedang Kim-bian-hun telah patah, tetapi ia tak menjadi jera
karenanya. Ia melanjutkan perlawanannya dengan tangan kosong, tetapi seke-tika
itu, Ouw It To meloncat ke luar dari kalangan dan menganjurkan supaya Biauw
Tayhiap berganti senjata dulu."
"Jawab Biauw Tayhiap:
'Tak usah.' Tetapi Tian Siangkong sudah mengangsurkan pedangnya sen-diri.
Setelah bersangsi sebentar, Kim-bian-hud me-nerima juga pedang itu dan
pertempuran sudah dilanjutkan lagi dengan dahsyat."
"Di dalam hatiku aku
memuji Ouw It To, tetapi juga mengatakannya tolol. Bukankah pada umum-nya, dalam
pertempuran demikian, setiap orang akan mendesak lebih keras, bila ia sudah
berhasil merusakkan senjata lawannya. Juga sikap Biauw Tayhiap menimbulkan
kekagumanku, meskipun tan-pa senjata, belum tentu ia akan mengalami ke-kalahan,
tetapi ketika menjawab Ouw It To ia sudah mengaku kalah setingkat, karena
senjatanya dapat dirusakkan. Belakangan baru aku mengerti, bahwa setelah
bertempur sekian lama dan semakin me-ngenal ketangkasan masing-masing keduanya
jadi saling mengagumi. Benar-benar sifat ksatria yang tiada duanya."
"Semakin seru pertempuran
itu, kadang-kadang terlihat, bagaimana mereka berpencar dan saling menjatuhkan,
tetapi sebentar pula keduanya sama-sama melompat maju dan saling menyerang pula
dengan gerak-gerak lincah lagi mendebarkan hati. Berpuluh-puluh jurus sudah
lewat, tetapi keduanya masih sama tangkasnya. Pada suatu saat, tiba-tiba
Kim-bian-hud melancarkan suatu serangan istime-wa. Agaknya, Ouw It To sudah tak
mungkin bisa menghindarkan tenggorokannya dari ujung pedang lawannya. Tetapi selagi
kubuka mataku lebar-lebar dengan hati berdebar keras sekali, dan sedang Tian
Siangkong dan kawan-kawan sudah berseru ke-girangan, tiba-tiba Ouw It To
menjatuhkan diri ke belakang bersama dengan gerakan goloknya yang sekali lagi
menghajar pedang Kim-bian-hud dan mematahkannya untuk kedua kalinya."
"Pada detik selanjutnya
Ouw It To sudah ber-bangkit dan minta maaf. Ia menyatakan, bahwa ia sebenarnya
tak bermaksud mengandalkan ketajam-an goloknya, tetapi karena serangan
Kim-bian-hud barusan itu terlalu hebat, tak dapat tidak ia harus menangkis juga
dengan kesudahan sebagai itu. Biauw Tayhiap menjawab dengan singkat saja, dan
ke-mudian meminjam sebilah pedang pula dari Tian Siangkong. Tiba-tiba Ouw It To
juga minta diberi pinjaman sebilah golok, katanya, supaya dengan demikian
mereka dapat mengeluarkan kepandaian masing-masing dengan sebaik-baiknya."
"Permintaan Ouw It To itu
tentu saja sangat menggirangkan bagi Tian Siangkong dan kawan-kawan, karena
tadinya mereka sudah khawatir, bila andalan mereka akhirnya akan menampak
kegagalan juga. Dengan segala senang hati ia segera mengambil sebilah golok
dari tangan se-orang kawannya dan mengangsurkannya kepada Ouw It To."
"Sesaat Ouw It To
menimbang-nimbang golok pinjaman itu di tangannya. Biauw Tayhiap menanya-kan
apakah senjata itu terlalu enteng baginya dan sembari berkata begitu ia
mengangkat pedangnya. Dengan ujung dua jari tangan kirinya ia memegang ujung
pedang tersebut. Entah dengan cara apa, tiba-tiba patahlah sudah ujung pedang
itu. Aku membelalakkan mataku, takjub melihat tenaga jari orang itu."
"Beda dengan aku dan
banyak orang lain, Ouw It To justru jadi tertawa, 'Biauw Jin Hong, bahwa kau
tak mau menerima belas kasihan orang lain, benar-benar merupakan suatu bukti,
bahwa nama-mu sebagai Tayhiap (Pahlawan besar) bukannya nama kosong belaka.'
Biauw Tayhiap menolak puji-an itu dengan berapa kata merendah, kemudian ia
berkata, bahwa masih ada sesuatu yang hendak diterangkannya kepada Ouw It
To."
"Setelah Ouw It To
menyilakannya bicara, ber-katalah ia: 'Sebenarnya aku sudah lama mendengar dan
insyaf bahwa kepandaianku belum tentu bisa dibandingkan dengan kepandaianmu.
Gelar 'Men-jelajah seluruh dunia tanpa menemukan tandingan' bukannya untuk
menyombongkan kebisaanku, te-tapi guna....' Sebelum ia dapat menyelesaikan
per-kataannya, Ouw It To sudah menyelak lebih dulu. 'Aku juga sudah lama
mengerti guna apa kau me-makai gelar itu, yakni untuk memancing aku turun ke
Kanglam, dan kau yakin, bahwa bila saja kau berhasil mengalahkan aku, kau akan
berhak penuh untuk memegang gelar tersebut. Sekarang, lebih baik kita
melanjutkan pertandingan ini.' Serentak dua harimau itu sudah saling menerkam
lagi."
"Sekali ini mereka
sama-sama menggunakan senjata biasa. Keduanya benar-benar bertempur dengan
mengandalkan kepandaian masing-masing. Alangkah serunya pertempuran itu, yang
berlang-sung sehingga ratusan jurus tanpa adanya tanda akan berakhir
lekas-lekas. Lama-lama, tampak sebagai juga Ouw It To mulai terdesak. Agaknya
ia sudah lebih banyak bertahan daripada menyerang. Tian Siangkong dan Hoan
Pangcu sudah mem-perlihatkan kegembiraan mereka. Tetapi, ternyata kemenangan
yang mereka bayangkan masih jauh sekali. Serangan-serangan Biauw Tayhiap yang
ba-gaimana lihay juga, selalu terbentur pada pem-belaan Ouw It To yang sangat
rapatnya."
"Tiba-tiba datanglah
suatu saat, dalam mana Ouw It To bertukar siasat. Ia tidak hanya membela diri
lagi. Bertubi-tubi datanglah serangan-serangan-nya yang dahsyat lagi sangat
membahayakan. Se-makin mengagumkan pertempuran selanjutnya itu. Biauw Tayhiap
terus melayani lawannya dengan tenang tetapi lincah sekali. Ruangan yang agak
luas itu bagaikan menjadi penuh dengan bayangan tubuh dan senjata mereka.
Tampaknya, bagaikan bukan hanya dua orang yang bertempur, tetapi puluhan Biauw
Jin Hong dan puluhan Ouw It To."
"Ketika itu, meskipun
belum terhitung ahli, aku juga sudah pernah belajar bersilat dengan golok, maka
setelah sekian lama memperhatikan permain-an golok Ouw It To, aku menjadi heran
sekali. Belum pernah aku mendengar atau melihat, bahwa pelindung tangan dan
gagang yang menonjol di belakang tangan pemegangnya, juga bisa digunakan untuk
menyerang atau menangkis. Beda dengan umumnya, agaknya tak ada bagian golok
yang tak berguna baginya."
"Sungguh sukar diraba
permainan goloknya. Mengenai silat dengan pedang, aku tak dapat turut
berbicara. Tetapi melihat kenyataan, bahwa ter-hadap Ouw It To yang demikian
hebat, Kim-bian-hud masih bisa melayaninya dengan seimbang, da-patlah
dipastikan, bahwa kepandaian orang itu juga tak mudah dicarikan keduanya.
Menurut para ahli, pedang dapat disamakan dengan burung hong yang lincah lagi
indah dipandang setiap gerakannya. Ten-tang golok telah dikatakan, bahwa
senjata itu dapat diibaratkan seekor harimau yang ganas. Masing-masing di
antara kedua senjata itu mempunyai fae-dahnya dan kelemahannya sendiri. Tetapi
di tangan dua orang itu yang tampak hanyalah faedahnya, lihaynya, tanpa
kelemahan yang sekecil ujung kuku."
"Mula-mula aku masih bisa
mengikuti setiap perkembangan pertempuran, tetapi lama-kelamaan kepalaku terasa
berputar dan mataku berkunang. Jika aku masih berani terus memandang
pertem¬puran itu, tentu aku akan jatuh, maka buru-buru aku berpaling ke arah
lain. Kini hanya angin kedua senjata mereka, yang menderu-deru, kudengar
de¬ngan kerapkali diseling gemerincing beradunya ke¬dua senjata itu. Aku coba
melihat wajah nyonya Ouw. Tadinya kusangka, bahwa wajahnya tentu tegang bila
bukannya ketakutan, tetapi dugaanku ternyata keliru. Sedikit saja tak tampak
sifat ke¬takutan pada wajahnya, ia bahkan masih bisa ter-senyum."
"Aku berpaling ke arah
pertempuran lagi. Ku-lihat, bahwa Ouw It To pun bersenyum, bersenyum bagaikan
ia sudah yakin akan kemenangan. Kutatap wajah Biauw Tayhiap, tetapi aku tak
melihat apa-apa pada mukanya. Ketika aku tujukan pandangan-ku ke arah lain, ke
arah Tian Siangkong dan Hoan Pangcu, kulihat bahwa wajah keduanya sudah menjadi
tegang sekali. Sebentar-sebentar kulihat mereka terperanjat, teranglah sudah,
bahwa mereka khawatir, jika Biauw Tayhiap pengharapan mereka satu-satunya akan
kalah."
"Segala sesuatu yang
kulihat itu, membingung-kan pikiranku. Aku tak tahu, siapa yang akan kalah dan
siapa yang akan menang. Sekonyong-konyong telingaku menangkap bunyi gendewa
menyerepet. Buru-buru aku menoleh. Ternyata Tian Siangkong yang menggunakan
gendewa itu untuk melepaskan pelurunya, menyerang Ouw It To, yang tengah
mencurahkan perhatiannya kepada Biauw Tayhiap. Sungguh mengagumkan, bahwa Ouw
It To bisa membebaskan diri dari semua pelurunya. Kemu-dian, sambil tertawa
terbahak-bahak, Ouw It To melontarkan goloknya ke atas lantai dan berseru:
'Biauw Jin Hong, aku menyerah kalah!' Kulihat, bahwa muka Biauw Tayhiap berubah
seketika. Sung¬guh menyeramkan wajahnya, bila ia marah."
"Tanpa mengucapkan
sepatah kata, ia me-loncat ke arah Tian Siangkong dan merebut gen-dewanya.
Kemudian dengan sekali mengerahkan tenaganya, ia sudah mematahkan gendewa itu.
Sambil membuang sisa senjata itu, dengan suara bagaikan guntur ia mengusir Tian
Siangkong, yang "meloyor" pergi bagaikan anjing terpukul. Kelaku-an Biauw
Tayhiap menimbulkan keherananku lagi. Mengapa sedang kawannya khawatir jika ia
kalah dan mendapat cedera bahkan mungkin akan te-was, pertolongan kawan itu
justru membangkitkan amarahnya benar-benar aku tak bisa mengikuti jalan
pikirannya."
"Tanpa mengucapkan
sepatah kata lagi, Biauw Tayhiap kemudian mengangkat golok di lantai itu dan
melemparkannya kepada Ouw It To. Setelah golok itu berada dalam tangan Ouw It
To lagi, ia segera melancarkan serangannya. Pertempuran itu berlangsung terus
sampai jauh lewat lohor. Akhirnya, sambil menangkis serangan Biauw Tay¬hiap,
Ouw It To berseru: 'Perutku sudah lapar, maukah kau menyertai aku makan?' Saran
itu mendapat sambutan baik dari pihak Biauw Jin Hong."
"Bagaikan sahabat-sahabat
yang akrab, bahkan seperti dua saudara, mereka kemudian duduk meng-hadapi
hidangan-hidangan itu lagi. Ouw It To ma¬kan dengan lahap sekali, sebaliknya
Biauw Jin Hong hanya makan sedikit-sedikit."
"Karena melihat lawannya
itu makan demikian sedikit, maka Ouw It To menanyakan, apakah ma-kanannya
kurang enak. Biauw Tayhiap menjawab dengan pujian dan mengambil sepotong paha
ayam lagi. Demikianlah mereka makan minum, bagaikan di antara mereka tidak
terdapat apa-apa, tetapi begitu mereka sudah merasa kenyang, segera juga mereka
bergebrakpula. Keduanya telah mengeluar-kan seluruh kepandaian masing-masing,
tetapi sama-sama tak memperoleh hasil. Walaupun tubuh Ouw It To begitu tegap
kekar, tetapi ternyata, bahwa segala gerakannya lincah sekali. Ia bergerak
secepat angin, seimbang dengan kegesitan lawannya yang berbadan lebih
menguntungkan. Semakin lama se-makin cepat pula mereka bergerak pergi datang di
seluruh ruangan. Kembali mataku kabur. Tiba-tiba aku dikejutkan teriakan
seseorang. Ternyata Ouw It To yang berpekik, karena pada saat itu ia terpeleset
dan jatuh di atas kedua lututnya."
"Amat baiknya kesempatan
ini bagi Biauw Jin Hong. Dengan maju selangkah ia akan dapat rae-namatkan
riwayat lawannya dengan mudah sekali. Tetapi, seakan-akan sengaja untuk
memperbesar keherananku, seketika itu juga Kim-bian-hud me-loncat ke belakang,
memisahkan diri dari lawannya dan menyia-nyiakan kesempatan yang tak mudah
didapatnya untuk kedua kalinya. Sambil berbuat demikian, ia bahkan masih
berkata: 'Ah, kau telah menginjak peluru. Lain kali hati-hatilah! Dalam pada
itu Ouw It To sudah berdiri dengan tegaknya pula, dan ia mengucapkan terima
kasihnya dengan bersenyum, tetapi bukannya terima kasih atas ke-seganan
lawannya menggunakan ketika yang baik itu, hanya terima kasih atas nasihat yang
baru di-berikan."
"Kemudian dipungutnya
semua peluru itu dari lantai dan disentilkan keluar lewat jendela. Kim-bian-hud
maju pula, dan mereka sudah lekas terlibat dalam pertempuran mati-matian lagi.
Sampai lewat senja, mereka belum meperoleh keputusan tentang siapa yang kalah
dan siapa yang menang. Cuaca sudah semakin gelap, dan pada suatu saat Biauw
Tayhiap meloncat ke luar dari kalangan. Dengan nada sungguh-sungguh ia berkata:
'Ouw-heng, ke-pandaianmu benar-benar sangat tinggi, dan aku sangat kagum
dibuatnya. Perlukah kita minta obor untuk melanjutkan pertempuran ini?' Ouw It
To menolak pujian lawannya dengan tertawa. Kemu¬dian dikatakannya, 'Ampunilah
jiwaku untuk sehari lagi.' Sambil berkata: 'Jangan merendah.' Biauw Tayhiap
segera memberi hormat dan membalikkan tubuhnya untuk berlalu tanpa banyak
bercakap pula."
"Sekejap sunyilah sudah
suasana di sekitar pe-nginapan itu. Pikiranku masih kacau. Bingung sekali aku
memikirkan kedua orang gagah itu. Sehari mereka bertempur mati-matian, tetapi
akhirnya bu-kannya mereka jadi saling membenci semakin he-bat, sebaliknya
mereka bahkan jadi saling menga-gumi. Aneh, benar-benar aneh."
"Setelah semua musuhnya
berlalu, Ouw It To segera menghabiskan sisa hidangan yang masih ber-ada di
meja. Kemudian, tanpa mengucapkan se-patah kata, ia meloncat ke punggung
kudanya dan melarikannya secepat kilat. Aku yakin, bahwa ia tentu akan pergi ke
rumah besar di Selatan desa itu untuk menyelidiki keadaan musuhnya. Mula-mula
aku hendak memberikan kabar kepada Tian Siang-kong, agar ia dapat berjaga-jaga,
tetapi akhirnya kubatalkan niatku, karena khawatir kepergok Ouw It To."
"Walaupun malam itu tak
ada suara mendeng-kurnya yang mengganggu tidurku aku tak dapat memejamkan mata.
Lama sekali aku sudah me-nantikan pulangnya. Aku menjadi heran. Jarak an-tara
desa dan rumah besar itu tak berapa jauh, mengapa sudah demikian lama ia belum
juga pu-lang. Mungkin ia telah kepergok Biauw Tayhiap dan telah tewas
dikeroyok."
"Hatiku berdebar keras,
karena saat itu aku juga sudah kagum kepadanya, tetapi anehnya, di kamar
sebelah aku tak mendengar nyonya Ouw berkeluh kesah, sebagai lazimnya dilakukan
seorang jika ia khawatir. Bahkan setiap kali menimang anaknya, kudengar
suaranya riang, bagaikan hatinya gembira. Aneh, sungguh aneh."
"Di waktu fajar aku baru
mendengar derap kaki kuda, dan sesaat kemudian terdengar Ouw It To sudah
kembali. Aku menjenguk ke luar, tetapi kem-balinya bukan dengan kudanya yang
semula. Ia telah bertolak dengan kuda berbulu kelabu, tetapi kem-balinya kini
dengan kuda berbulu coklat kekuning-kuningan. Baru saja Ouw It To turun,
kudanya itu terhuyung dan serentak roboh. Benar mengejutkan aku mendekatinya
dan coba memeriksanya. Aku mendapat kenyataan, bahwa sekujur badan kuda itu
penuh keringat berbusa. Teranglah sudah, bahwa kuda itu roboh, mati, karena
terlalu letih."
"Tentu saja semakin heran
hatiku. Sudah dapat dipastikan, bahwa semalam Ouw It To telah me-lakukan
perjalanan jauh, tetapi entah ke mana. Sungguh sukar diterka jalan pikirannya:
mengapa, sedang ia menghadapi pertempuran mati-matian melawan seorang musuh
yang belum tentu dapat dikalahkannya, bukannya ia mengaso, tetapi justru
melakukan perjalanan yang meletihkan dan me-makan waktu semalam suntuk. Aneh,
memang aneh dia."
"Isterinya ternyata sudah
bangun dan sudah pula menyediakan makanan untuk suaminya. Ku-lihat, bahwa Ouw
It To tidak tidur lagi. Ia bermain-main dengan anaknya sambil menantikan
kedatang-an musuhnya. Tak usah terlalu lama ia menunggu. Segera juga
musuh-musuh itu sudah datang pula. Sebagai juga kemarinnya, pagi itu Ouw It To
dan Biauw Tayhiap makan minum bersama dulu untuk kemudian, tanpa berkata suatu
apa, segera bertem-pur pula. Hanya hari itu agaknya Ouw It To lebih banyak
membela diri daripada menyerang. walau-pun begitu, hari itu juga tak
menghasilkan ke-putusan."
"Di waktu senja mereka
berhenti bertempur, dan ketika akan berpisah, berkatalah Kim-bian-hud:
'Ouw-heng, hari ini tenagamu tampak mundur, mungkin sekali beok kau akan
kalah.' 'Belum tentu,' jawab Ouw It To, 'Hari ini aku memang agak letih, karena
semalam suntuk aku tak tidur.' Jawaban Ouw It To itu tentu saja mencengangkan
Kim-bian-hud, dan ia pun segera menanyakan mengapa Ouw It To berbuat
demikian."
"Ouw It To tertawa dan
mengatakan, bahwa ia hendak menghadiahkan sesuatu kepada Biauw Tay-hiap. Ia
berlari masuk ke kamarnya dan kemudian kembali dengan membawa sebuah bungkusan,
yang diangsurkannya kepada Kim-bian-hud. Bungkusan itu ternyata berisikan
sebuah kepala manusia, se-dang di samping itu terdapat sebilah golok bergigi.
Hoan Pangcu bercuriga. Agaknya ia menyangka, bahwa kepala itu tentu kepala
salah seorang ka-wannya. Ia segera maju untuk turut melihat, dan serentak
berseru dengan mata dibuka lebar-lebar. Ttulah kepala Siang Kiam Beng,' katanya
dengan tersengal-sengal. Kiam-bian-hud memeriksa golok yang dibungkus bersama
dengan kepala itu. Pada gagangnya ternyata telah diukirkan empat huruf: Pat Kwa
Bun Siang. Kini ia tak sangsi lagi, tetapi untuk jelasnya ia bertanya apakah
Ouw It To se¬malam itu tak tidur karena pergi ke Bu-teng-koan."
"Ouw It To mengiakan
dengan tgrtawa^lan menceritakan, bahwa untuk itu ia bahkan telah menyebabkan
tewasnya beberapa ekor kuda, ka¬rena ia pun tak mau mengingkari janjinya untuk
melanjutkan pertempuran hari itu. Kurasa, bahwa semua orang yang mendengar itu
harus tercengang. Yang paling jelas, adalah, bahwa keherananku tak kepalang.
Jarak antara Cong-ciu dan Bu-teng-koan tak kurang dari tiga ratus li. Benar
mengherankan, bahwa ia bisa menyelesaikan perjalanan pergi pu-lang dapat dalam
waktu semalam. Lebih mengagum-kan pula, karena sebelum bisa pulang, ia harus
membunuh dulu seorang jago silat yang sangat disegani di daerah Utara. Entah
dengan cara apa ia telah bertindak, sehingga semua itu dapat disele-saikannya
demikian cepat."
"Agaknya, Kim-bian-hud
menganggap semua itu biasa saja. Perhatiannya ternyata lebih tertarik kepada
soal lain. Tanyanya: 'Dengan bagian ilmu silatmu yang mana, kau telah
membunuhnya?' Ouw It To menjawab, bahwa ia tidak menggunakan ilmu silat golok.
Menurut kesannya, kepandaian Siang Kiam Beng benar-benar sudah sukar dicarikan
tan-dingan, dan hanya dengan tipu serangan 'Ciong-thian-ciang So Cin pwee-kiam'
akhirnya ia bisa juga mengalahkannya."
"Baru setelah mendengar
cerita ini Kim-bian-hud tampak heran. 'Bukankah tipu serangan itu salah satu
bagian dari ilmu silat keluargaku?' tanyanya. Lagi-lagi Ouw It To tertawa,
kemudian ia berkata, bahwa ia memang telah merobohkan Siang Kiam Beng dengan
sebilah pedang. Kulihat, bahwa wajah Kim-bian-hud kini memperlihatkan rasa
te-rima kasih yang sangat besar, dan itu pun segera dinyatakannya dengan jujur.
Ouw It To tak mau menerima pemberian hormat serta terima kasih Kim-bian-hud,
karena menurut pendapatnya sen-diri, ia hanya telah mewakilkan Biauw Tayhiap.
Lebih lanjut, ia menyatakan, bahwa yang berjasa adalah ilmu silat keluarga
Biauw, yang disebutnya sebagai tiada taranya dalam dunia."
"Jelaslah semua bagiku
sekarang. Sungguh ka-gum aku dibuat dua orang itu. Meskipun mereka bermusuh,
bahkan sudah bertekad untuk bertempur terus sehingga salah satu jatuh tak bernyawa,
ke-duanya tak menyembunyikan rasa kagum masing-masing kepada lawannya. Bahkan
Ouw It To tidak menggunakan goloknya untuk mengambil kepala Siang Kiam Beng,
sudah merupakan bukti, bahwa ia sangat menghormati Kim-bian-hud. Bahwa se¬bagai
musuhnya, Kim-bian-hud mau menerima budi Ouw It To yang sebesar itu, juga
merupakan bukti, bahwa sebaliknya ia menghormat Ouw It To tinggi-tinggi."
"Tetapi, aku masih lebih
kagum kepada Ouw It To. Benar tak kusangka, bahwa dengan wajah se-bengis itu,
hatinya sebenarnya sangat mulia. De¬ngan caranya, ia telah mengangkat derajat
ilmu silat keluarga Biauw. Jika ia telah membunuh Siang Kiam Beng dengan
kepandaiannya sendiri, ia akan memberikan kesan, bahwa ia bukannya hendak
ber-buat baik, bahkan akan tampak sebagai hendak menyombongkan ilmu silat
keluarganya sendiri. Sungguh mulia hatinya, tetapi lebih mengherankan pula,
bahwa dalam sehari saja ia sudah bisa mema-hamkan ilmu silat Kim-bian-hud yang
belum pernah dilihatnya, bahkan sudah bisa menggunakannya de¬ngan sempurna. Juga
tak kurang mengagumkan tindakannya dengan menyerahkan hasil pekerjaan-nya
semalam itu, setelah menyelesaikan pertem-puran had itu. Bila pagi itu, sebelum
bertempur, ia sudah menyerahkan kepala Siang Kiam Beng, mungkin sekali orang
akan menyangka, bahwa ia hendak menunda kematiannya, dan bermaksud menempatkan
Kim-bian-hud dalam kedudukan yang tak memungkinkannya membunuh sang
la-wan."
"Jalan pikiranku itu
agaknya sama dengan jalan pikiran Hoan Pangcu dan Tian Siangkong. Kulihat
mereka saling memberi isyarat, kemudian melang-kah pergi dengan bersama. Biauw
Tayhiap tak meng-ikuti dua kawannya itu. Sesaat ia memandang putera Ouw It To.
Tiba-tiba ia membuka bungkusan kuning yang tak pernah ketinggalan di
punggungnya. Sedari saat pertama aku melihat bungkusan itu rasa ingin tahuku
sudah timbul, maka aku segera memper-hatikannya dengan dua-dua mataku dibuka
lebar-lebar. Aku menjadi kecewa, karena isinya ternyata hanya berapa potong
baju, baju biasa yang tak ada keistimewaannya."
"Ternyata bukannya isinya
yang istimewa, justru kain pembungkus itu sendiri yang bukannya barang biasa.
Di sebelah dalamnya, kain itu bersulamkan delapan huruf gelar Biauw Tayhiap.
Dengan suara kecil Kim-bian-hud mengejanya satu demi satu. Kemudian ia
mengulurkan sepasang tangannya, untuk menggantikan nyonya Ouw mendukung anak
itu. Setelah berada dalam dukungannya, anak itu segera diselimutkannya dengan
kain kuning ter-sebut. Kemudian ia berpaling kepada Ouw It To. 'Ouw-heng, jika
sampai terjadi sesuatu dengan dirimu, kau boleh berpulang dengan hati tenang
karena kujamin, bahwa tak seorang akan berani menghina puteramu,' katanya.
Berbalik Ouw It To yang kini menghaturkan terima kasih berulang-ulang sedang
Kim-bian-hud sibuk menolak dengan kata-kata me-rendah."
"Malam itu, Ouw It To
tidur pulas benar, suara mendengkurnya lebih keras dari ketika pertama kali aku
mendengarnya. Menjelang tengah malam, seko-nyong-konyong telingaku menangkap
bunyi lang-kah berindap-indap, enteng sekali, di atas atap rumah. Menyusul itu
terdengar seseorang mem-bentak: 'Ouw It To. Lekaslah keluar untuk me-nerima
kematian!'Ouw It To tak mendengar seruan dari luar itu. la tetap mendengkur
keras-keras. Orang-orang yang berada di atap rumah itu, agak-nya menjadi
semakin bernafsu. Mereka mencaci semakin keras dengan kata-kata yang semakin
ko-tor, sedang jumlah mereka pun jadi semakin banyak. Semua itu tidak
memberikan hasil yang diharapkan. Ouw It To masih tetap mendengkur dengan
asyik-nya. Menurut anggapanku, Ouw It To itu terlalu ceroboh. Meskipun
kepandaiannya sempurna se¬kali, tetapi mengingat jumlah musuhnyayang besar, tak
seharusnya ia tidur begitu lelap."
"Kemudian perhatian
tertarik kepada hal Iain. Aku mendengar jelas-jelas, bahwa isterinya belum
pulas, karena sebentar-sebentar aku mendengarnya bernyanyi sambil menimang
puteranya. Sedikit pun ia tidak memperlihatkan tanda takut. Lagi-^lagi aku
menjadi heran. Sementara itu, suara orang-orang di atas atap bertambah riuh,
membisingkan, tetapi tak seorang jua berani menerjang masuk. Kira-kira selama
setengah jam mereka sudah cuma-cuma men¬caci, ketika tiba-tiba kudengar nyonya
Ouw berkata, dengan suaranya yang merdu lagi halus: 'Nak, di luar ada sekawanan
anjing buduk menggonggong, mungkin sekali mereka akan tetap membisingkan sampai
pagi, supaya ayahmu tak bisa tidur dan menjadi letih. Bukankah anjing-anjing
buduk itu sangat kurang ajar?" Anak yang baru berusia berapa had itu tentu
saja tak menjawab. Kemudian ber-katalah nyonya itu lagi: 'Kau benar-benar anak
baik, memang anjing-anjing itu sepantasnya diusir. Biar-lah ibu keluar sebentar
untuk mengusir anjing-anjing kurang ajar itu.' Kemudian aku melihat ia keluar
dengan mendukung anak itu dan membekal sehelai selendang sutra putih."
"Hatiku berhenti berdebar
sekejap, mataku membelalak lebar-lebar, karena nyonya itu mela-yang ke atas
bagaikan seekor burung Hong. Sung-guh tak kusangka, bahwa nyonya yang tampak
le-mah gemulai itu pandai bersilat, bahkan sudah jelas, berkepandaian sangat
tinggi. Buru-buru aku mem-buka jendela lebih lebar pula, agar bisa melihat
lebih banyak serta lebih nyata."
"Di atas rumah, kelihatan
berapa puluh laki-laki berdiri berjajar dengan bersenjata lengkap. Dalam
keadaan setengah gelap itu, mereka tampak menye-famkan, dan dengan munculnya si
nyonya, mereka berteriak semakin membisingkan. Tiba-tiba keli¬hatan suatu sinar
putih meluncur ke arah orang-orang itu, yang segera disusul pekik salah seorang
di antara mereka. Ternyata selendang nyonya Ouw telah melibat dan merebut golok
orang itu, yang tubuhnya kini terpelanting ke bawah."
"Kawan-kawan orang itu
terpesona sebentar, tetapi segera juga mereka sudah maju dengan se-rentak untuk
mengeroyok si nyonya seorang. Di bawah cahaya redup sang bulan, kulihat
selendang sutera putin itu melayang pergi datang bagaikan seekor naga yang
sedang menari dengan hati riang. Indah sekali tampaknya, tetapi menakjubkan
aki-batnya. Berturut-turut terdengar seorang berteriak disusul gemerincing
senjata jatuh dan bunyi debam sebuah tubuh yang terpelanting ke tanah. Sebentar
saja sudah belasan orang dirobohkan nyonya yang kelihatan lemah lunglai itu.
Segera juga, aku mem-peroleh kawan dalam kagetku, yakni sisa tamu-tamu tak
diundang itu. Berapa puluh orang yang belum roboh kini tak berani menyerang
lagi. Sedetik mereka berdiri dengan mulut melompong, untuk di detik lain lari
tunggang langgang dengan mening-galkan kuda dan senjata masing-masing."
"Mataku bagaikan hendak
meloncat ke luar karena peristiwa itu. Kemudian kulihat, bagaimana dengan
tenangnya nyonya Ouw menyapu semua senjata itu ke bawah dengan sekali menggerakkan
selendangnya. Setelah itu, ia kembali ke kamarnya bagaikan tak terjadi apa-apa.
Selama itu, Ouw It To tiada hentinya mendengkur, agaknya ia tak men-dengar
heboh yang baru terjadi itu."
"Keesokan harinya, pagi
sekali, nyonya Ouw sudah keluar dari kamarnya untuk menyiapkan ma-kanan bagi
suaminya dan menyuruh seorang pe-layan mengumpulkan semua senjata yang
berse-rakan untuk kemudian diikat menjadi satu dan digantungkan di depan pintu.
Setiap kali tertiup angin pagi, senjata itu menerbitkan bunyi bergemerincing
dengan nada rupa-rupa, bagaikan musik kacau yang dimainkan tanpa irama."
"Seperti juga kemarinnya,
hari itu Kim-bian-hud sudah muncul di waktu seluruh desa baru mendusin. Segera
juga ia tertarik kepada bunyi gemerincing itu, tetapi demi melihat dan
mengenali semua senjata itu, wajahnya segera berubah. Se-ketika itu, ia sudah
mengerti apa yang telah terjadi semalam. Ia menoleh dan memandang
pengikut-pengikutnya tajam-tajam. Semua orang itu, tanpa kecuali menundukkan
kepala, ketakutan dan ketika kemudian terdengar suara Kim-bian-hud mendam-prat
mereka, seorang jua tak berani mengangkat kepala. Beramai-ramai mereka mundur
berapa lang-
kah."
"Kim-bian-hud berpaling
kepada Ouw It To. Ia minta maaf untuk kekurang-ajaran para penge-cut itu, yang dikatakannya
telah mengganggu tidur Ouw It To. Orang she Ouw itu menjawabnya dengan tertawa.
Dikatakannya, bahwa ia tak ter-ganggu sama sekali, karena isterinya telah
meng-usir anjing-anjing yang menyalak dan melolong itu. Wajah Kim-bian-hud
tampak keheran-heran-an, tetapi dari mulutnya hanya terdengar: 'Terima kasih
atas kemurahan hati nyonya, yang telah mengampunkan pengecut-pengecut ini.' Tak
lama lagi, Ouw It To dan Biauw Tayhiap sudah bertem-pur dengan
dahsyatnya."
"Hari itu juga tak
menghasilkan keputusan, betapa juga mereka berusaha untuk sating me-robohkan
dengan seantero kepandaian mereka. Di waktu berhenti, petang itu^Kim-bian-hud
menyata-kan, dia hendak menemani Ouw It To minum arak dan bercakap-cakap
sepuas-puasnya sepanjang ma-lam. Ouw It To menyambut maksudnya itu dengan
kegirangan. Dikatakannya, bahwa dengan demikian mereka memang bisa memperoleh
faedah tak se-dikit. Setelah mendapat persetujuan lawannya, Biauw Tayhiap
segera berpaling kepada Tian Siangkong dan menyuruhnya serta kawan-kawannya
pulang, karena ia akan menginap dan tidur seranjang de¬ngan Ouw It To."
"Jika bagiku hal itu
sudah mengejutkan, dapat dibayangkan, betapa perasaan Tian Siangkong dan Hoan
Pangcu ketika mendengar maksud Biauw Tayhiap. Buru-buru mereka berkata:
'Hati-hatilah terhadap tipu muslihatnya....' Mereka tak dapat menyelesaikan
perkataannya itu, karena Kim-bian-hud sudah segera memotong dengan nada kurang
senang: 'Tak usah kau mengurus diriku. Aku mer-deka untuk melakukan sukaku.'
Tian Siangkong masih coba membantah. 'Tetapi, janganlah kau lupa akan sakit
hati keluargamu, janganlah menjadi se-orang tak berbakti,' katanya.
Kim-bian-hud tak me-ngatakan suatu apa, tetapi melihat wajahnya saja, Tian
Siangkong dan Hoan Pangcu beramai sudah berlalu dengan wajah ketakutan."
"Malam itu, aku juga
turut tak tidur siang-siang. Kulihat mereka berdua makan minum dengan riang
sambil merundingkan ilmu silat. Kim-bian-hud membentangkan seluruh intisari
ilmu keluarganya, dan Ouw It To juga berbuat demikian. Dengan berlalunya sang
waktu, semakin asyik pula per-cakapan mereka. Mereka sama-sama menyesal, bah¬wa
mereka tak dapat saling mengenal lebih siang. Kerapkali percakapan mereka itu
diseling dengan gerakan-gerakan untuk menjelaskan dengan kata-kata saja.
Kadang-kadang mereka bahkan berbang-kit dan sama-sama mempraktekkan suatu
gerakan. Gelak tertawa mereka sebentar-sebentar bergema memenuhi ruangan
itu."
"Telingaku menangkap
seluruh percakapan me¬reka, tetapi sedikit pun aku tak mengerti, apa yang
dimaksudkan. Sampai jauh lewat tengah malam mereka asyik terus, tetapi akhirnya
Ouw It To memesaii sebuah kamar kelas satu pula. Benar-benar mereka tidur
berdua seranjang malam itu. Terkilas dalam otakku: 'Di situlah mereka tidur
berjajar. Entah siapa yang akan turun tangan lebih dulu.' Sebentar aku percaya,
bahwa Kim-bian-hud akan celaka, tetapi sebentar lagi aku berbalik yakin, bahwa
Ouw It To yang beroman kasar tentu lebih bodoh dan akan menjadi korban."
"Tak dapat aku
mengendalikan hatiku lagi. Dengan indap-indap aku mendekati jendela kamar
mereka. Seperti pencuri, aku kemudian menem-pelkan telingaku ke daun jendela
untuk mendengar-kan. Tei nyata mereka belum puas bercakap-cakap, walaupun
setengah malam lebih telah dilewatkan mereka dengan demikian. Hanya, kini
mereka bu-kannya bercakap tentang ilmu silat lagi. Ketika itu mereka sedang
bercerita tentang pengalaman ma-sing-masing yang aneh. Banyak sekali kudengar,
bagaimana Kim-bian-hud atau Ouw It To menolong rakyat yang menderita dari
tangan pembesar atau hartawan lalim, dan banyak pula yang kudengar tentang
cara-cara mereka membunuh orang-orang jahat itu."
"Semakin lama, semakin
nyatalah betapa ba-nyak persamaan dan betapa sedikit perbedaan an-tara
angan-angan mereka. Tiba-tiba aku mendengar Kim-bian-hud menghela napas dan
berkata: 'Sa-yang, sungguh sayang.' Ketika Ouw It To menanya-Ican maksudnya,
berkatalah Biauw Tayhiap, bahwa i;a yang selalu berlaku tinggi hati, tak suka
bergaui malam itu benar-benar telah menemukan seorang yang berharga untuk
dijadikan sahabat, bahkan orang satu-satunya dengan siapa ia suka bersahabat.
Kemudian kudengar Ouw It To meminta, supaya -bila ia yang kalah dan tewas
Kim-bian-hud suka sering-sering menjenguk isterinya. Dikatakannya bahwa
isterinya itu berjiwa ksatria, jauh lebih berharga dari kawankawan Kim-bian-hud
yang tiurut datang. Dengan nada mengejek Biauw Tay¬hiap menjawab, bahwa semua
orang itu bukan kawannya dan tak berharga sedikit jua untuk dijadikan
kawan."
"Semalam suntuk mereka
tak tidur, dan aku juga turut tak tidur karenanya. Hanya, karena aku bcrdiri di
luar, di antara angin malam yang sejuk, seluruh tubuhku menjadi kaku
kedinginan. Di wak-tu fajar, mendadak Kim-bian-hud menghampiri jen-dela.
Sebelum aku dapat menyingkir, terdengar tegurannya dengan nada dingin: 'Belum
cukupkah kau mendengarkan semalam suntuk?' Bersama dengan itu jendela terbuka
dan kepalaku terhajar se&uatu yang keras. Sebelum roboh tak sadarkan diri,
aku masih mendengar Ouw It To mencegah Kim-bian-hud mengambil jiwaku."
"Entah berapa lama aku
pingsan, aku tersadar di aitas bale-baleku. Perlahan-lahan aku ingat segala
kej.adian itu. Aku turun dari bale-bale, dan seketika itu aku merasakan
kepalaku sakit sekali. Aku coba bercermin. Betapa terperanjat aku, ketika
melihat, bahwa hampir seluruh mukaku bengkak dan ber-warna keungu-unguan. Hari
itu aku tak berani keluar menonton pertempuran. Aku berdiam di dalam, tetapi di
dalam hatiku, aku mengutuk Kim-bian-hud. Sebelum itu, aku berharap supaya Biauw
Tayhiap yang menang, tetapi saat itu aku berbalik mengharapkan kemenangan Ouw
It To. Pikirku: 'Biarlah Ouw It To menghajarnya dengan satu dua bacokan!' Aku
sendiri tak bisa menuntut balas, maka biarlah orang she Ouw itu yang
membalaskan hinaan itu."
"Petang itu, setelah
bertempur sehari dengan kesudahan tetap seperti kemarinnya, kudengar
Kim-bian-hud minta diri. Menurut katanya, ia masih ingin bercakap-cakap lagi,
tetapi ia khawatir jika nyonya Ouw menjadi marah, maka ia berjanji untuk
menginap lagi besok malamnya, bila tidak terjadi suatu apa. Ouw It To
menjawabnya dengan tertawa. Setelah Biauw Tayhiap berlalu, tiba-tiba nyonya Ouw
membawakan secawan arak kepada suaminya sambil menghaturkan selamat. Ouw It To
tak me-ngerti maksud isterinya. 'Karena besok, kau tentu akan bisa mengalahkan
Biauw Tayhiap,' jawab sang
isteri."
"Kata-kata sang isteri
itu tentu saja membi-ngungkan Ouw It To. Sudah lebih dari seribu jurus ia
bertempur melawan Kim-bian-hud, tetapi belum sekali jua ia melihat kelemahan
Kim-bian-hud. Sungguh mustahil, jika keesokan harinya ia pasti akan menang.
Dengan tersenyum ragu-ragu, ia me-natap wajah isterinya, yang sebaliknya
sebagai juga talc menghiraukan kebimbangannya dan berkata kepada putera mereka:
'Anakku, bapakmulah yang tiada tandingannya di seluruh dunia!' Suaranya
mencerminkan keyakinannya akan kebenaran pen-dapatnya."
"Kemudian Ouw It To
menanyakan mengapa isterinya begitu yakin, dan jawab isterinya: 'Aku telah
melihat kelemahannya!' Agaknya Ouw It To masih kurang percaya, tetapi isterinya
segera ber¬kata pula, bahwa ciri Kim-bian-hud hanya kelihatan dari belakang,
sehingga Ouw It To yang selalu berhadapan dengan lawannya, biarpun bertempur
seratus had lagi, tentu tak akan melihat ciri lawan itu. Sebaliknya nyonya Ouw
yang melihat dari sam-ping kerapkali melihat Biauw Tayhiap
membela-kanginya."
"Selanjutnya, nyonya Ouw
menceritakan, bagai-mana selama empat hari berturut-turut, ia telah
memperhatikan setiap gerak tipu Kim-bian-hud. 'Terutama aku terperanjat, karena
selama itu ku-lihat, bahwa penjagaannya tak memperlihatkan sua-tu cacad juga.
Aku khawatir, jika terus-menerus demikian, kelak akan tiba saatnya kau agak
lengah dan kau menampak celaka, sedang pada lawanmu sedikit pun tak tampak
kesalahan yang memung-kinkan senjata lawan menerobos masuk. Aku terus
memperhatikan setiap gerak-geriknya, dan hari ini akhirnya aku berhasil juga
menemukan sesuatu.' Nyonya Ouw tak lekas-lekas menunjukkan kele-mahan Biauw
Tayhiap yang dilihatnya, sebaliknya ia menanyakan kepada suaminya, gerak tipu
atau serangan apa dari ilmu silat Biauw Tayhiap yang dianggap paling lihay oleh
Ouw It To."
"Ouw It To mengatakan,
bahwa hal itu sangat sukar, karena banyaknya serangan-serangan yang lihay, ia
menyebutkan berapa macam dan antaranya terdapat satu yang lazim disebut
'Te-liauw-kiam-pek-ho-su-tit'. Kata nyonya Ouw: 'Justru pada ge¬rak serangan
yang kau sebutkan paling akhir itu kelemahannya.' Keterangan ini lebih
mencengang-kan lagi bagi Ouw It To, yang telah mengalami scndiri, betapa
dahsyatnya, betapa sempurna se¬rangan tersebut. Menurut pendapatnya, justru
ge¬rak serangan itu yang paling tak memungkinkan musuh merebut kemenangan.
Serangannya halus tetapi sangat bertenaga dan dapat berubah secepat kilat,
bahkan, bila perlu, bisa segera berubah men-jadi gerakan pembelaan diri yang
tak mungkin di-
tembuskan."
"Dengan tertawa nyonya
Ouw menjelaskan: 'Me-mang, jika tidak diperhatikan dengan sangat sek-sama,
apalagi dilihat dari depan, tak mungkin ter-lihat cacadnya, karena ilmu
silatnya sendiri memang tak bercacad. Tetapi aku telah melihat, bahwa se¬tiap
kali akan menggunakan gerak tipu itu, pung-gungnya bergerak sedikit, bagaikan
ia merasa gatal, dan gerak-geriknya jadi agak terganggu, tak se-lincah
biasanya.' Lagi-lagi Ouw It To kurang per¬caya. Isterinya tak menghiraukan
sikap ragu itu, dan menyatakan, bahwa hari itu ia telah dua kali melihat kelemahan
tersebut. Dikatakannya selanjutnya, bahwa keesokan harinya, bila saja ia
melihat lagi Kim-bian-hud memperlihatkan kelemahannya, ia akan batuk-batuk, dan
ia menyuruh Ouw It To segera menggunakan kesempatan itu untuk men-desak dengan
kerasnya. Kujamin, bahwa ia akan melontarkan pedangnya dan menyerah kalah, jika
pada kesempatan demikian kau menyerangnya de-ngan pukulan 'Pat-hong-cong-to',
kata nyonya Ouw sebagai penutup uraiannya."
"Ouw It To jadi sangat
girang. Tipumu bagus sekali!' iia memuji. Sesudah mendengar pembicara-an itu,
sebenarnya aku harus memberitahukan Kim-bian-hud supaya ia bisa berjaga-jaga.
Tapi mukaku masih sakit, akibat ditinju olehnya. Dia memang pantas mendapat
kekalahan, pikirku."
"Pertandingan yang
dilakukan pada keesokan harinya adalah petandingan hari kelima. Bengkak pada
mukaku masih belum hilang. Hari itu pun aku menonton pertandingan dengan
berdiri di ping-giran. Di waktu pagi Ouw Hujin tidak batuk-batuk, karena pada
pagi itu Kim-bian-hud tidak mem-pergunakan pukulan tersebut. Di waktu makan
tengah hari, selagi menuang arak di cawan sua-minya, nyonya itu memberi isyarat
dengan kedipan mata dan aku mengerti, bahwa dengan isyarat itu, ia ingin
menganjurkan suaminya memancing Kim-bian-hud, supaya dia mengeluarkan pukulan
itu. Ouw It To menggeleng-gelengkan kepalanya, se-perti mau mengatakan, bahwa
ia merasa tidak tega. Meiihat jawaban suaminya, Ouw Hujin menunjuk putera
mereka dan kemudian merobohkan kursi yang diduduki anak itu, sehingga dia jatuh
dan menangis keras. Aku dapat menebak maksud nyonya itu. Ia menunjuk kepada
suaminya, bahwa jika sang suami binasa, anak itu akan tidak punya ayah lagi.
Mendengar tangisan putera mereka, barulah perlahan-lahan Ouw It To
mengangguk."
"Pada lohornya, mereka
bertempur pula. Sesudah lewat beberapa puluh jurus, Ouw It To menyerang hebat.
Tiba-tiba terdengar suara batuk-batuknya Ouw Hujin. Alis Ouw It To
becrkerut,sebaliknya dari maju, ia mundur. Memang, benar, pada detik itu,
Kim-bian-hud telah menggunakan pukulan Te-liauw-kiam-pek-ho-su-tit. Sebenarnya
aku tidak mengenal pukulan
itu. Tapi waktu semalam mendengari pembicaraan antara kedua suami isteri itu,
aku telah meiihat Ouw Hujin menjalankan jurus tersebut beberapa kali. 'Mata
nyonya itu sungguh lihay,' pikirku. Kalau Ouw It To menyerang menurut siasat
yang sudah didamaikan, dia pasti sudah memperoleh kemenangan. Tapi pada
saat terakhir, ia mengurungkan
niatnya. Mungkin sekali ia menghargai Kim-bian-hud dan merasa tidak tega untuk
mencelakainya. Juga mungkin ia merasa bahwa dengan dibantu orang, biarpun
menang, kemenangan itu tidak boleh dibuat bangga.
Mendadak kuingat pesan Ouw It
To kepada isterinya, supaya kalau putera mereka sudah besar, sang isteri harus
mendidik agar putera itu mempunyai hati yang keras dan tidak seperti ayahnya
yang pada detik terakhir, sering merasai tak tega untuk turun tangan."
"Beberapa saat kemudian,
anak itu sekonyong-konyong menangis keras. Kutahu, bahwa dia me¬nangis karena
dicubit lengannya oleh sang ibu. Di antara suara tangisan dan suara beradunya
senjata, mendadak terdengar pula suara batuk-batuknya Ouw Hujin. Hampir
berbareng, Ouw It To me-rangsek dengan jurus Pat-hong-cong-to. Dengan sekali
berkelebat, goloknya sudah mengunci ge-rakan pedang Kim-bian-hud.'
"Biauw Jin Hong berada
dalam kedudukan berbahaya. Pukulan Te-liauw-kiam-pek-ho-su-tit baru ke luar
separuh. Menurut jurus itu, pedangnya yang dicekal di tangan kanan menikam
miring, de-ngan tangan kirinya dikebaskan, seperti gerakan burung ho yang
tengah mementang kedua sayapnya. Tapi Ouw It To mendahului. Sebelum kedua
tangan Kim-bian-hud dipentang, ia sudah membacok ke lengan kiri dan lengan
kanannya. Dalam keadaan begitu, bukankah kedua lengan Kim-bian-hud pasti akan
menjadi korban golok?"
"Tapi ilmu pedang
Kim-bian-hud sudah dilatih sampai sesempurna-sempurnanya. Pada detik yang
sangat berbahaya, kedua lengannya mendadak di-bengkokkah dan ujung pedang
berbalik menyam-bar ke dadanya sendiri. Ouw It To terkesiap, karena ia menduga,
bahwa Kim-bian-hud mau membunuh diri sendiri sebab kalah bertanding. 'Biauw-hengl'
teriaknya. Ia tak tahu, bahwa pada hari pertama, Kim-bian-hud sudah mematahkan
ujung pedang, sehingga menjadi tumpul. Pada waktu ujung pedang menyambar
dadanya, ia me-ngerahkan lweekang, sehingga pedang itu ter-pental balik tanpa
melukainya. Karena gerakan itu sangat luar biasa dan juga sebab Ouw It To
justru lagi mau membujuk supaya ia tidak mem¬bunuh diri, maka waktu pedang itu
berbalik meng-hantam dirinya, Ouw It To sama sekali tidak bersiap sedia dan
tahu-tahu ujung pedang sudah menyentuh Sin-cong-hiat di dadanya."
"Sin-cong-hiat adalah
salah satu hiat yang ter-penting dalam tubuh manusia. Begitu tertotok, ba-dan
Ouw It To lemas dan ia roboh terguling. Cepatcepat Kim-bian-hud membangunkannya
seraya ber-kata: 'Maaf!' Ouw It To tertawa. 'Kiam-hoat Biauw-heng sungguh lihay
dan aku merasa takluk,' katanya. 'Kalau bukan lantaran Ouw-heng menyayang aku,
jurus itu pasti tak akan berhasil,' kata Kim-bian-hud. Mereka menghampiri meja
dan minum tiga cawan arak. Sesudah itu Ouw It To tertawa ter-bahak-bahak.
Sekonyong-konyong ia mengangkat goloknya dan menggorok lehernya dan ia mati
sam-bil berduduk."
"Aku jadi seperti orang
kesima. Aku mengawasi Ouw Hujin yang paras mukanya tenang-tenang saja. 'Biauw
Tayhiap, tunggulahsebentar,' katanya. 'Aku ingin menyusui anakku sekali lagi.'
Sehabis berkata begitu, ia masuk ke dalam kamar. Kira-kira se-makanan nasi, ia
keluar pula dengan mendukung puteranya yang lalu dicium keras-keras. 'Biauw
Tay¬hiap, dia sudah kenyang,' katanya sambil tertawa. Sambil mengangsurkan anak
itu kepada Kim-bian-hud, ia berkata pula: 'Sebenarnya aku telah berjanji pada
suamiku untuk memelihara anak ini sampai menjadi orang. Tapi selama lima hari
ini, aku mendapat kenyataan, bahwa Biauw Tayhiap se-orang ksatria yang luhur
pribudinya. Sesudah kau meluluskan untuk memelihara anak ini, aku dapat
membebaskan diri dari tugas yang sangat berat dari penderitaan yang harus
dipikul selama dua puluh
tahun.'"
"Sehabis berkata begitu,
ia menyoja beberapa kali kepada Kim-bian-hud. Tiba-tiba tangannya me¬nyambar
golok Ouw It To dan lalu menggorok lehernya. Ia lalu duduk di kursi di samping
mayat suaminya dan mencekal tangan suami itu erat-erat.
Beberapa saat kemudian,
tubuhnya terkulai, ber-sandar pada tubuh sang suami dan tidak berkutik
lagi."
"Aku tak tega untuk
melihat terus pemandang-an yang menyayatkan hati itu. Aku memutar kepala ke
jurusan lain. Sementara itu, bagaikan patung Biauw Tayhiap mendukung putera Ouw
It To yang sedang pulas nyenyak dan yang pada bibirnya ter-sungging
senyuman."
Demikian penuturan Po-sie.
Seluruh ruangan sunyi senyap.
Jago-jago yang hadir di situ adalah orang-orang yang berhati keras, tapi
mendengar cerita tentang kebinasaan suami isteri Ouw It To, mereka merasa
sangat terharu.
Sekonyong-konyong kesunyian
dipecahkan oleh suara wanita: "Po-sie Taysu, mengapa ceritamu agak berbeda
dengan apa yang didengar olehku?"
Semua orang mengawasi ke arah
wanita itu, yang bukan lain daripada Biauw Yok Lan. Waktu Po-sie berbicara,
perhatian segenap hadirin dituju-kan kepadanya, sehingga masuknya si nona ke
dalam ruangan itu tidak diketahui oleh siapa pun juga.
"Mungkin sekali, karena
sudah lama, ada be¬berapa bagian yang sudah tidak begitu diingat loolap,"
kata Po-sie. "Bagaimana ceritanya ayah nona?"
"Sebagian besar dari
penuturan ayah cocok dengan apa yang dikatakan Taysu," kata si nona.
"Hanya pada bagian meninggalnya Ouw Pehpeh dan Ouw Pehbo yang tidak
sama."
Paras muka Po-sie lantas saja
berubah. "Hm!" ia mengeluarkan suara di hidung, tapi tidak me-nanya
terlebih jelas.
"Biauw Kouwnio, bagaimana
cerita ayahmu?" tanya Tian Ceng Bun.
Nona Biauw tidak menjawab. Ia
mengeluarkan sebuah kotak sulam dan mengambil sebatang hio wangi yang lalu
disulut dan ditancap di hiolo. Sesaat kemudian semua orang mengendus bau yang
sangat
harum.
Dengan paras muka angker,
Biauw Yok Lan berkata: "Semenjak aku kecil, setiap kali bertemu dengan
musim dingin, ayah selalu berduka. Biarpun aku menggunakan rupa-rupa cara untuk
menggem-birakan hatinya, ia tetap bersedih. Selama beberapa hari menjelang tahun
baru, ayah selalu berdiam dalam sebuah kamar di mana dipuja dua buah sin-wie
(papan meninggal dunia). Pada sin-wie yang satu tertulis: 'Leng-wie (tempat
kedudukan yang angker) dari saudara angkatku Ouw It To Tayhiap', sedang pada
sin-wie yang lain tertulis: "Leng-wie dari Gieso Ouw Hujin'. Di samping
meja sem-bahyang itu tersandar sebilah golok yang sudah berkarat."
"Pada hari-hari itu, ayah
selalu memerintahkan tukang masak memasak macam-macam sayur untuk sembahyangan
dan waktu bersembahyang ia me-nuang puluhan cawan arak. Mulai tanggal dua puluh
dua bulan dua belas, terus lima hari beruntun, setiap malam ia minum puluhan
cawan arak itu yang diatur disamping meja sembahyang. Sehabis minum, ia sering
menangis sedih."
"Aku sering bertanya,
siapakah Ouw Pehpeh itu? Tapi ayah selalu menggelengkan kepala. Pada tahun itu,
ayah mengatakan, bahwa usiaku sudah cukup dewasa dan ia lalu menceritakan hal
piebu dengan Ouw Pehpeh."
"Ayah memberitahu, bahwa
Ouw Pehpeh telah membinasakan ayahnya Tan Sioksiok. Karena da-lam menghadapi
orang luar, keluarga Biauw, Hoan dan Tian selalu bersatu padu, maka, walaupun
me-mandang rendah sepak-terjangnya Tian Sioksiok, tapi demi persahabatan dalam
dunia Kang-ouw, ayah terpaksa mencari Ouw Pehpeh untuk diajak piebu. Jalan pertandingan
itu telah diceritakan cu¬kup terang oleh Po-sie Taysu."
"Dengan beruntun-runtun
ayah dan Ouw Peh¬peh sudah bertanding empat hari lamanya. Makin lama bertempur,
mereka makin saling mengindah-kan dan masing-masing pihak sungkan turunkan
tangan jahat. Pada hari ke lima, karena melihat kelemahan ayah pada
punggungnya, Ouw Pehbo memberi isyarat dengan batuk-batuk dan Ouw Pehpeh segera
mendesak dengan menggunakan jurus Pat-hong-cong-to. Jurus itu telah berhasil
mengalahkan ayah. Menurut katanya Po-sie Tay¬su, ayah berhasil merebut
kemenangan dengan menggunakan pukulan yang luar biasa. Tapi me¬nurut ayah,
kejadiannya bukan begitu. Sepanjang keterangan ayah, begitu lekas Ouw Pehpeh
me-rangsek dengan Pat-hong-cong-to, ia sudah tidak berdaya lagi dan segera meramkan
mata untuk menunggu kebinasaan. Tapi tiba-tiba Ouw Peh¬peh melompat mundur.
'Biauw-heng', katanya, 'Ada suatu hal yang tidak dimengerti olehku.' Ayah
bersenyum dan balas menanya: 'Aku sudah kalah, kau mau tanya apa lagi?'"
"Kata Ouw Pehpeh: 'Aku sudah
melayani kiam-hoatmu dalam ribuan jurus dan sedikit pun aku tidak menemui
bagian yang lemah. Tapi mengapa sebelum kau menjalankan jurus
Te-liauw-kiam-pek-ho-su-sit, punggungmu bergerak dan agak menaik, sehingga
isteriku dapat melihat kelemahanmu?' Ayah menghela napas dan menjawab: 'Waktu
meng-ajar ilmu silat pedang kepadaku, sianhu (mendiang ayahku) berlaku sangat
keras terhadapku. Waktu aku berusia sebelas tahun, selagi ayah mengajar jurus
itu, tiba-tiba punggungku digigit kutu busuk. Punggungku gatal, tapi aku tidak
berani meng-garuknya. Jalan satu-satunya ialah menggerak-ge-rakkan otot-otot di
punggungku untuk coba meng-usir kutu itu. Tapi makin lama rasa gatal jadi makin
hebat. Beberapa saat kemudian, sianhu telah me¬lihat gerakan-gerakanku yang aneh
dan ia meng-anggap, bahwa aku tidak bersungguh hati. Dengan bengis, ia memukul
aku. Mulai waktu itu, setiap kali mau menggunakan jurus
Te-liauw-kiam-pek-ho-su-sit, aku merasa punggungku gatal dan
menggerak-gerakkannya. Mata Hujin sungguh awas'."
"Ouw Pehpeh tertawa.
'Dengan mendapat bantuan isteriku, tidak boleh dianggap aku mem-peroleh
kemenangan,' katanya. 'Sambutlah!' Se-raya berkata begitu, ia melontarkan
goloknya ke-pada ayah."
"Ayah menyambuti golok
itu dengan perasaan heran, karena ia tak tahu apa maksudnya Ouw Pehpeh. Seraya
mengambil pedang ayah, Ouw Peh¬peh berkata: 'Biauw-heng, setelah bertempur
em-pat hari, kau dan aku sudah saling mengenal ilmu silat masing-masing. Begini
saja: Kita bertanding lagi dengan aku menggunakan Biauw-kee Kiam-hoat (ilmu
pedang keluarga Biauw) dan kau meng¬gunakan Ouw-kee To-hoat (ilmu golok
keluarga Ouw). Dengan demikian, tak perduli siapa yang menang, siapa kalah,
nama tidak mendapat kerugi-an.'"
"Ayah lantas saja
mengerti maksudnya. Sedari seratus tahun lebih yang lalu, semenjak beberapa
turunan, keluarga Biauw dan keluarga Ouw telah bermusuhan. Sebelum bertempur,
ayah dan Ouw Pehpeh belum pernah mengenal satu sama lain. Antara mereka pribadi
sebenarnya tidak ada per-musuhan apa pun jua. Kakekku telah meninggal dunia di
lain tempat dan ayah Tian Kui Long Sioksiok meninggal dunia dengan mendadak.
Me-nurut desas-desus dalam kalangan Kang-ouw, me¬reka berdua telah dibinasakan
oleh Ouw It To. Tapi ayah masih tetap tidak percaya. Kali ini, atas ajakan
keluarga Hoan dan Tian, ayah pergi ke Congciu untuk mencegat dan menantang Ouw
It To. Tujuan pencegatan itu adalah untuk membalas sakit hati orang tua. Tapi
di samping tujuan itu, ayah juga telah menanyakan benar-tidaknya desas-desus
ke-pada Ouw Pehpeh sendiri."
"Belakangan, ternyata
memang benar, bahwa kakekku dan Tian Kongkong telah dibinasakan oleh Ouw
Pehpeh. Meskipun ayah menyayang Ouw Peh¬peh sebagai seorang gagah yang
lurus-bersih, sakit hati orang tua tentu saja tidak bisa tidak dibalas. Tapi,
ayah pun tidak ingin permusuhan antara ke-empat keluarga berlarut-larut dan
terus menyeret-nyeret anak cucu. Maka itu, jika mungkin ia ingin sekali
membereskan permusuhan yang sudah ber-
jalan lebih seabad itu. Maka
itulah, usul Ouw Peh¬peh untuk saling menukar senjata disambut dengan girang
oleh ayah, karena usul itu cocok dengan keinginan hatinya. Dengan penukaran
senjata itu, andaikata ayah yang menang, maka ia mengalahkan Biauw-kee
Kiam-hoat dengan Ouw-kee To-hoat. Kalau Ouw Pehpeh yang menang, ia mengalahkan
Ouw-kee To-hoat dengan Biauw-kee Kiam-hoat. Dengan demikian, menang-kalah hanya
mengenai pribadi dan tidak bersangkut dengan ilmu silat ke-dua keluarga."
"Sesudah saling menukar
senjata, mereka lantas saja bertempur lagi. Pertandingan hari itu berbeda
dengan empat hari yang lalu sebab biarpun kedua-duanya ahli silat kelas utama,
senjata mereka bukan yang biasa digunakan dan mereka pun belum me-nyelami
jurus-jurus yang harus digunakan. Sungguh tak mudah untuk mereka berkelahi
dengan meng¬gunakan ilmu silat pihak lawan yang baru didapat selama
berlangsungnya pertandingan dalam empat hari. Menurut katanya ayah, pertempuran
itu ada¬lah yang terhebat dalam pengalamannya. Ouw Peh¬peh kelihatannya seperti
seorang kasar, tapi se¬benarnya ia seorang yang cerdas luar biasa. Ia bersilat
dengan Biauw-kee Kiam-hoat secara lincah sekali, seolah-olah ia sudah
mempelajarinya selama beberapa tahun. Otak ayah tidak secerdas Ouw Pehpeh.
Untung juga, ia sudah mahir dalam meng¬gunakan delapan belas rupa senjata dan
di waktu kecil, ia pernah belajar ilmu silat golok. Maka itu, meskipun baru
berkenalan dengan Ouw-kee To\ hoat, ia masih dapat melayani Ouw Pehpeh secara
berimbang." "Kira-kira tengah hari mereka mulai mengguna-kan
pukulan-pukulan yang berat dan gerakan-ge-rakan jurus-jurus itu makin lama jadi
makin per-lahan. 'Biauw-heng," tiba-tiba Ouw Pehpeh ber-kata, Tit-bun
Tiat-san-to masih terlalu cepat, sehingga kurang bertenaga.' Ayah bersenyum dan
berkata: 'Terima kasih atas petunjuk itu.' Mereka bertempur terus dengan
memusatkan seluruh per-hatian dan menggunakan seantero kepandaian. Tapi jika
jurus salah sepihak ada yang kurang tepat, mereka saling memberi petunjuk
dengan setulus hati."
"Ratusan jurus kembali
lewat. Makin lama me¬reka makin paham akan ilmu silat yang asing itu dan gerakan-gerakan
mereka jadi makin iicin. Melihat kelihayan Ouw Pehpeh, ayah jadi khawatir,
karena ia merasa, bahwa jika pertandingan berlangsung terus dalam tempo lama,
mungkin sekali ia akan dijatuhkan. Maka itu, ia lantas saja mengambil keputusan
untuk mengubah siasat. Beberapa saat kemudian, ia menyerang dengan jurus
Houw-in-kie-lok (Awan turun-naik). Menurut Ouw-kee To-hoat, dalam jurus itu,
lebih dahulu golok menyabet ke bawah dan kemudian baru ke atas. Tapi ayah
se-ngaja mengubahnya, yaitu, lebih dahulu ia menyabet ke atas dan kemudian baru
ke bawah."
"Ouw Pehpeh terkejut.
baru saja ia berteriak 'salah!' ayah sudah membentak: 'Awas golok!' dan
goloknya meyabet ke atas. Menurut Ouw-kee To-hoat, sabetan pertama itu harus ke
bawah. Kalau ayah berhadapan dengan lain lawan, lawan itu mungkin akan dapat
mengelakkan serangannya. Tapi Ouw Pehpeh yang memang sudah biasa menggunakan
Ouw-kee To-hoat, sama sekali tidak per-nah menduga, bahwa jurus itu diubah
jalannya. Ia gugup dan golok ayah sudah menggores lengan kirinya!"
"Semua penonton
mengeluarkan seruan kaget. Bagaikan kilat Ouw Pehpeh menendang dan ayah
terguling di tanah, tak bisa bangun lagi. Ternyata, titik Keng-bun-hiat di
pinggangnya, sudah terten-dang. Hoan Pangcu, Tian Siangkong dan yang Iain-lain
memburu untuk menolong. Ouw Pehpeh me-lemparkan pedangnya, kedua tangannya
bekerja, melontarkan orang-orang itu yang mau coba men-dckati ayah. Sesudah
itu, ia membangunkan ayah dan membuka jalan darah, yang tertotok. 'Biauw-heng',
katanya sambil tertawa, 'Jurus gubahanmu sungguh lihay. Tapi dalam setiap jurus
dan Ouw-kee To-hoat mengandung jurus susulan, sedang dalam jurus gubahanmu
tidak terdapat pukulan susulan itu. Sesudah kau menyabet dua kali, pada
ping-gangmu lerbuka lowongan.'"
"Ayah tidak bisa
menjawab, karena pinggang¬nya sangat sakit. 'Kalau kau tidak menaruh belas
kasihan, lengan kiriku tentu sudah putus' kata pula Ouw Pehpeh. 'Hasil
pertandingan pada hari ini dapat dikatakan seri. Pergilah mengaso, besok kita
bertanding lagi.' Sambil menahan sakit, ayah ber¬kata: 'Ouw-heng, memang benar
dalam bacokan itu, aku sudah berlaku agak sungkan. Tapi, kau juga menaruh belas
kasihan. Jika tidak, tendanganmu itu tentu sudah mengambil jiwaku. Ouw-heng,
dengan melihat cara-caramu, tak bisa jadi kau sudah raem-binasakan ayahku
secara menggelap. Katakanlah dengan sesungguhnya: Cara bagaimana ayahku mati?'
Pada paras muka Ouw Pehpeh
tiba-tiba terlukis perasaan heran. 'Bukankah aku sudah memberi-tahukan kau
secara terang-terangan?' katanya. 'Jika kau tidak percaya dan mau meneruskan
pertem-puran, aku tidak bisa berbuat lain daripada meng-iring kemauanmu."'
"Ayah terkejut. 'Kau
sudah memberitahukan kepadaku?' ia menegas. 'Lagi kapan?' Sekonyong-konyong Ouw
Pehpeh memutar badan dan sambil menuding salah seorang, ia berkata dengan suara
terputus-putus: 'Kau... kau...!' Ia hanya dapat me-ngeluarkan dua perkataan.
'kau'. Sesudah itu, ke-dua lututnya lemas dan ia roboh terguling. Hati ayah
mencelos. Cepat-cepat ia membangunkannya. Muka Ouw Pehpeh berubah pucat.
'Bagus!... bagus... kau...' katanya dan... kepalanya terkulai, rohnya berpulang
ke alam baka."
"Bukan main kagetnya
ayah. Seorang yang begitu gagah dan begitu kuat badannya, tak mung-kin binasa
karena luka yang begitu kecil. Sambil memeluk badan Ouw Pehpeh, ayah memanggil-manggil:
'Ouw-heng...! Ouw-heng...!' Perlahan-la-han pada muka Ouw Pehpeh muncul sinar
ungu dan ayah lantas saja tahu, bahwa ia mati karena racun yang sangat hebat.
Cepat-cepat ayah meng-gulung tangan baju Ouw Pehpeh. Ternyata, luka itu sudah
mengeluarkan darah hitam dan lengan-nya bengkak hebat. Ouw Pehbo kaget dan
duka. Ia melemparkan puteranyayangsedangdidukung, mengambil golok yang tadi
digunakan ayah dan menelitinya. Ayah tahu, bahwa pada golok itu sudah ditaruh
racun."
"Melihat ayah berdiri
termenung tanpa mengeluarkan sepatah kata, Ouw Pehbo berkata dengan suara
perlahan: 'Biauw Tayhiap, golok itu dipinjam dari salah seorang kawanmu.
Suamiku tak tahu golok ini beracun dan kau pun tentu tak tahu. Kalau tahu,
kalian berdua tentu tak sudi menggunakan senjata itu. Ini memang sudah nasib,
kita tak bisa menyalahkan siapa pun jua. Sebenarnya aku sudah berjanji dengan
suamiku untuk memelihara anak kita sampai menjadi orang. Tapi dalam lima hari
ini, aku mendapat kenyataan, bahwa Biauw Tayhiap adalah seorang ksatria, maka,
sesudah kau menyanggupi untuk memelihara anak itu, aku boleh membebaskan diri
dari tugasku dan boleh tak usah bercapai-lelah selama dua puluh tahun.' Sehabis
berkata begitu, ia menggorok lehernya sendiri dengan golok itu dan rohnya
mengikut sang suami berpulang ke alam baka."
"Itulah cerita ayah yang
telah dituturkan ke¬padaku. Tapi penuturan itu sangat berbeda de¬ngan penuturan
Po-sie Taysu. Biarpun sudah lama dan orang tak dapat ingat seluruhnya, tapi
per-bedaannya tidak mungkin begitu besar. Apakah sebabnya?"
Po-sie menggelengkan kepala.
"Pada waktu itu ayahmu sedang bertempur dan tengah me-musatkan seluruh
perhatiannya dalam pertan-dingan itu," katanya. "Memang mungkin,
peng-lihatannya tidak begitu tegas seperti orang yang menonton."
Biauw Yok Lan hanya
mengeluarkan suara "hm", ia segera menunduk dan tidak mengatakan
suatu apa lagi.
Sekonyong-konyong terdengar
suara seorang: "Cerita kalian berdua dan tidak bersamaan sebab ada seorang
yang sengaja berdusta."
Semua orang kaget dan mengawasi
ke arah suara itu. Ternyata, yang bicara adalah seorang pelayan yang pada
mukanya terdapat tanda bekas bacokan golok. Po-sie dan Biauw Yok Lan adalah
tamu, maka, walaupun pelayan itu kurang ajar, mereka merasa sungkan untuk
segera menunjuk kegusaran. Di antara orang-orang itu, Co Hun Kie-lah yang
paling kasar dan sembrono. Dialah yang membentak: "Siapa yang
berdusta?"
"Siauwjin (aku yang
rendah) seorang yang sa-ngat rendah, siauwjin tidak berani bicara,"
jawab-nya.
"Kalau ceritaku tidak
benar, kau boleh bicara," kata nona Biauw.
"Kejadian yang tadi
dituturkan oleh Taysu dan Kouw-nio telah disaksikan olehku sendiri,"
katanya. "Kalau kalian ingin mendengar penuturanku, siauw¬jin bersedia
untuk bicara."
Tiba-tiba Po-sie berbangkit.
"Kau menyaksi-kan dengan matamu sendiri?" bentaknya. "Siapa
kau?"
"Siauwjin mengenali
Taysu, tapi Taysu tidak mengenali siauwjin," jawabnya.
Paras muka Po-sie berubah
pucat. "Siapa kau?" bentaknya pula.
Sebaliknya daripada menjawab,
pelayan itu mengawasi nona Biauw dan berkata: "Kouwnio, siauwjin khawatir,
bahwa penuturan yang ingin di-berikan oleh siauw-jin tak bisa dituturkan
seluruh-nya."
"Mengapa?" tanya Yok
Lan.
"Sebab, baru bicara
separuh, jiwa siauwjin mungkin sudah melayang," jawabnya.
Nona Biauw berpaling ke arah
Po-sie. "Taysu," katanya, "Dalam pertemuan kita di hari ini,
kaulah yang menjadi tetuanya. Kau adalah seorang cianp-wee dari Rimba
Persilatan dan kau mempunyai nama serta kedudukan yang tinggi. Maka itu,
se-patah kata saja dari mulutmu sudah cukup untuk melindungi jiwa orang
itu."
Po-sie tertawa dingin.
"Nona Biauw, jangan kau mengangkat-angkat aku," katanya.
"Soal mati atau hidupnya
siauwjin sama sekali tak menjadi soal," kata pelayan itu. "Yang
dikha-watirkan siauwjin ialah penuturan ini akan tidak bisa dituturkan sampai
pada akhirnya."
Biauw Yok Lan mengerutkan
alis. Sesaat kemu-dian sambil menunjuk papan tuilian yang kedua, ia berkata:
"Coba turunkan papan itu."
Pelayan itu tidak mengerti
maksud si nona, tapi ia menjalankan perintah itu dan kemudian me-naruhnya di
hadapan nona Biauw. "Coba kau lihat," kata Yok Lan, "Di atas
papan itu tertulis huruf-huruf: 'Tah-pian-thian-hee-bu-tek-chiu Kim-bian-hud'
Itulah gelar dari ayahku. Peganglah papan itu dan kau boleh bicara dengan tak
usah khawatir apapun jua. Siapa yang menyerang kau berarti dia tidak memandang
ayah."
Semua orang saling mengawasi.
Mereka meng-akui, bahwa dengan Kim-bian-hud sebagai pelin-dung, tak ada orang
yang akan berani mencelakai dirinya.
Paras muka pelayan itu berubah
girang. Ia ter¬tawa dan dengan tertawanya itu, tanda bekas ba-cokan golok
bergerak-gerak. Ia berdiri tegak dan sambil memeluk papan tuilian itu, kedua
matanya menyapu ke seluruh ruangan.
Po-sie sendiri sudah kembali
ke kursinya dan sambil mengawasi pelayan itu, ia mengingat-ingat peristiwa
kebinasaan Ouw It To pada dua puluh tujuh tahun berselang. Tapi sesudah
mengasah otak beberapa lama, ia masih belum juga dapat menebak siapa adanya
orang itu.
"Lebih baik kau bicara
sambil duduk," kata nona Biauw.
"Biar siauwjin berdiri
saja," kata pelayan itu. "Bolehkah aku menanya: Bagaimana dengan
putera yang ditinggalkan oleh suami-isteri Ouw It To Toaya?"
Biauw Yok Lan menghela napas.
"Sesudah Ouw Pehpeh dan Ouw Pehbo meninggal dunia, Thia-thia (ayah) sangat
berduka," katanya. "Sesudah meng¬awasi jenazah mereka beberapa lama,
ia berlutut delapan kali dan berkata: 'Ouw-heng, Toako, lega-kanlah hati
kalian. Aku pasti akan memelihara puteramu sebagaimana mestinya.' Sehabis
memberi janjinya ia segera memutar badan untuk mengambil anak itu. Tapi anak
itu sudah tidak kelihatan ba-yang-bayangannya lagi! Ayah terkejut, buru-buru ia
menanyakan orang-orang yang berada di situ. Tapi mereka pun, yang menumplek
seantero perhatian kepada peristiwa kebinasaan Ouw Pehpeh dan Ouw Pehbo, tidak memperhatikan
anak itu. Ayah segera mengajak mereka untuk mencarinya. Sekonyong-konyong di
belakang rumah terdengar suara ta-ngisan bayi yang nyaring sekali. Dengan
girang ayah segera berlari-lari ke belakang. Apa mau, luka pada pinggangnya
akibat tendangan Ouw Pehpeh, tidak terlalu enteng. Begitu ia menggunakan
tenaga, ke¬dua lututnya lemas dan ia roboh terguling. Beberapa orang segera
membangunkannya dan memapahnya ke belakang rumah. Tapi anak itu sudah tidak
kelihatan bayang-bayangannya. Apa yang dilihat mereka ialah darah, kain kuning
pembungkus bayi dan topi di atas tanah."
"Di belakang rumah
penginapan itu mengalir sebuah sungai dan dari belakang rumah, darah bertetesan
terus sampai ke pinggir sungai. Menurut dugaan, anak itu telah dibunuh orang
dan mayatnya dilemparkan ke dalam sungai. Ayah kaget tercam-pur gusar. Ia
mengumpulkan semua orang dan me-nyelidiki dengan teliti, tapi tidak bisa
mendapat keterangan apa pun jua. Hal ini sangat mendukakan hatinya dan sampai
sekarang ayah masih selalu memikirkannya. Ia bersumpah akan mencari pem-bunuh
anak itu. Tahun itu aku lihat ia menggosok pedang dan ia memberitahukan aku,
bahwa ia harus membunuh satu manusia lagi, yaitu manusia yang telah
membinasakan puteranya Ouw Pehpeh dan Ouw Pehbo. Aku coba menghibur dengan
mengata-kan, bahwa mungkin sekali anak itu telah ditolong orang. Ayah tidak
percaya. Ia berdoa agar dugaanku tidak meleset. Hai...! Aku mengharap ia masih
hi-dup. Pernah ayah mengatakan begini kepadaku: 'Lan-jie, aku mencintai kau
lebih daripada aku mencintai jiwa sendiri. Tapi andaikata Langit
mem-perbolehkan aku menukar kau dengan putera Ouw Pehpeh, aku lebih suka kau
mati, asal saja putera Ouw Pehpeh bisa terus hidup."
Air mata pelayan itu
berlinang-linang. "Kouw-nio," katanya dcngan suara parau, "Roh
Ouw Toaya cukup angker, ia tentu akan berterima kasih ter-hadap ayahmu dan kau
sendiri."
Ie Koan-kee semula menduga,
bahwa dia adalah pclayan yang dibawa oleh Biauw Yok Lan. Tapi dilihat dari
sikapnya dan didengar omongannya, orang itu kelihatannya bukan pelayan si nona.
Baru saja ia mau mengajukan pertanyaan, pelayan itu sudah mulai dengan
penuturannya.
"Pada dua puluh tujuh
tahun berselang, aku bekerja sebagai pesuruh, sebagai tukang menyala-kan api,
di dapur dari sebuah rumah penginapan di kota Congciu. Pada musim dingin tahun
itu, ben cana menimpa keluargaku. Tiga tahun yang lalu, ayahku meminjam lima
tail perak dari seorang har tawan di kota itu. Dengan bunga berbunga lagi,
selama tiga tahun, pinjaman itu yang tadinya lima tail sudah jadi empat puluh
tail. Hartawan itu me nangkap ayah yang mau dipaksa menulis sural per janjian
unluk menjual ibuku guna dijadikan gundik. Ayahku tentu saja menolak dan ia
dipukul setengah mati oleh anjing-anjingnya hartawan itu. Sepulang-nya di
rumah, ayah lalu berdamai dengan ibu. Me reka mengerti, bahwa jika hutang itu
tidak di-lunaskan sampai buntut tahun, empat puluh tail akan menjadi delapan
puluh dan seumur hidup, mereka tak akan mampu membayarnya. Karena tak ada jalan
lain, kedua orang tuaku sebenarnya man membunuh diri, tapi mereka tidak tega
mening-galkan aku. Demikianlah, ayah, ibu dan anak hanya bisa memeras air mata
sambil berpelukan. Di waktu siang, aku bekerja di rumah penginapan, saban malam
aku pulang untuk menjaga ayah dan ibuku, supaya mereka tidak mengambil jalan
yang pendek." "Pada suatu malam, rumah penginapan itu me-nerima
banyak tamu yang terluka. Kami jadi repot sekali dan majikanku tidak
mempermisikan aku pulang. Pada keesokan harinya, datanglah Ouw It To Toaya yang
baru saja mendapat seorang putera. Untuk merawat bayi itu, Ouw Toaya memerlukan
banyak air panas dan pemilik rumah penginapan kembali menahan aku. Karena
memikirkan ayah dan ibuku, aku sudah memecahkan beberapa mang-kok dan digaplok
beberapa kali oleh majikanku. Sesudah masak air, aku bersembunyi di samping
dapur dan menangis dengan perlahan. Kebetulan Ouw Toaya pergi ke dapur dan ia
mendengar tangisanku. Ia segera menanyakan sebab-musa-babnya. Karena paras muka
Ouw Toaya angker dan bengis, aku tidak berani bicara. Makin ia mendesak, makin
hebat aku menangis. Belakang-an, sesudah ia bicara dengan suara lemah lembut,
barulah aku berani menuturkan bahaya yang te-ngah dihadapi.'"
"Ouw Toaya gusar bukan
main. 'Hartawan itu sungguh kejam,' katanya. 'Sebenarnya aku harus mengambil
jiwanya, tapi sebab aku sendiri mem-punyai urusan penting, maka aku tak sempat
untuk berhitungan dengan dia. Sekarang biarlah aku mem-berikan seratus tail
perak kepadamu. Kau pulanglah dan menyerahkannya kepada ayahmu. Katakan
ke-padanya, bahwa dengan uang itu ia bisa membayar hutang dan lebihnya dapat
digunakan untuk ongkos hidup. Lain kali, jangan meminjam uang lagi dari
hartawan kejam.' Semula aku menduga, bahwa ia hanya berguyon. Tak dinyana,
benar-benar ia meng-ambil lima potong goanpo dan menyerahkannya kepadaku. Tapi
aku tentu tidak berani lantas menerimanya. 'Hari ini aku mendapat anak,' kata
Ouw Toaya. 'Aku mencintainya dan dengan meng-ukur perasaanku sendiri, kedua
orang tuamu juga tentu sangat mencintai kau. Ambillah uang ini dan pulanglah
sekarang. Aku akan memberi-tahukan majikanmu, bahwa akulah yang me-nyuruh kau
pulang dan dia pasti tidak berani banyak rewel."
"Aku masih mengawasinya
dengan mata raera-belalak dan jantungku memukul keras. Aku tak tahu apa yang
harus diperbuat. Sambil bersenyum Ouw Toaya mengambil selembar kain, membungkus
lima potong perak itu dan kemudian mengikatnya di punggungku. 'Anak tolol,'
katanya seraya tertawa dan menendang pinggulku perlahan-lahan, 'lekas pergi!'
Bagaikan orang linglung aku pulang dengan berlari-lari dan memberitahukan
kejadian itu ke-pada kedua orang tuaku. Kami bertiga girang se-tengah mati,
untuk beberapa saat kami saling ber-pelukan seperti orang edan. Kami hampir tak
mau percaya, bahwa di dalam dunia ada orang yang begitu mulia hatinya. Sama
saja seperti dalam mim-pi. Ayah dan ibuku buru-buru pergi ke rumah penginapan
untuk menghaturkan terima kasih de¬ngan berlutut. Tapi Ouw Toaya menolak
peng-haturan terima kasih itu. la menggoyang-goyangkan tangannya dan
mengatakan, bahwa ia tak suka me-nerima pernyataan terima kasih yang begitu
berat. Dengan manis budi, ia mendorong kami bertiga."
"Selagi kami mau
berangkat pulang, tiba-tiba terdengar suara tindakan kaki kuda dan beberapa
penunggang kuda tiba di rumah penginapan itu. Mereka adalah musuh-musuhnya Ouw
Toaya. Ka-rena merasa khawatir, aku lalu mempersilakan kedua orang tuaku pulang
lebih dahulu, sedang aku sendiri ingin menyaksikan kesudahan pertem-puran itu.
Kupikir, budi Ouw Toaya sangat besar. Kalau ia memerlukan bantuanku, biar
diperintah masuk ke dalam air atau api, aku pasti tak akan menolak."
"Kulihat Kim-bian-hud
Tayhiap dan Ouw Toaya minum arak sambil beromong-omong. Kecintaan Ouw Toaya
terhadap puteranya telah dituturkan oleh Po-sie Taysu. Tapi ia sama sekali tak
tahu, bahwa perbuatan si tabib yang mendengarkan pembicaraan suami-isteri Ouw
dari kamar sebe-lah, semuanya diincar oleh seorang pesuruh kecil yang bekerja
di dalam dapur rumah penginapan itu."
Tiba-tiba Po-sie berbangkit
dari kursinya. Sam¬bil menuding ia membentak: "Siapa kau? Siapa yang menyuruh
kau datang kemari untuk bicara yang tidak-tidak?"
Dengan paras muka tenang,
pelayan itu menja-wab: "Aku bernama Peng Ah Sie. Aku mengenal Giam Kie,
seorang tabib, tukang mengobati luka terpukul. Tapi si tabib Giam Kie tentu
saja tidak mengenali Peng Ah Sie, pesuruh kecil, tukang me-nyalakan api di
dapur."
Mendengar perkataan "Giam
Kie", paras muka Po-sie berubah pucat. Lapat-lapat ia ingat, bahwa pada
dua puluh tujuh tahun berselang, di dalam rumah penginapan, ia memang pernah
bertemu dengan se¬orang pesuruh kecil yang pakaiannya kotor. Tapi karena tidak
memperhatikan, ia sekarang sudah tak ingat lagi, bagaimana macamnya pesuruh
itu. De-ngan sorot mata gusar dan membenci, ia menatap wajah Peng Ah Sie.
Sementara itu, Peng Ah Sie
sudah melanjutkan penuturannya: "Di tengah malam kudengar suara tangisan
Ouw Toaya. Dengan rasa khawatir, aku pergi ke depan kamarnya. Tiba-tiba kulihat
bayang-an manusia di jendela kamar sebelah. Orang itu berdiri tanpa bergerak,
ia rupanya sedang mema-sang kuping. Aku curiga, dan lalu mengintip dari
celah-celah pintu kamar. Ternyata, orang itu Giam Kie adanya dan dia sedang
mendengarkan pem-bicaraan suami-isteri Ouw dengan menempelkan kupingnya di
papan kamar. Baru saja kuingin memberitahu hal itu kepada Ouw Toaya, Ouw Toaya
sendiri sudah keluar dari kamarnya dan pergi ke kamar Giam Kie dan bicara
panjang-lebar. Pembicaraan itu tidak pernah disebut-sebut oleh Po-sie Taysu.
Aku sendiri tak tahu apa se-babnya."
"Ouw Toaya bicara
panjang-lebar dan sebagian tidak dimengerti olehku. Tapi aku tahu, bahwa Ouw
Toaya telah minta bantuannya, supaya pada ke-esokan harinya ia pergi menemui
Biauw Tayhiap untuk menjelaskan beberapa soal. Soal-soal itu ada-lah soal-soal
besar yang sangat penting. Sebenarnya tak tepat untuk Ouw Toaya meminta bantuan
se-orang luar. Tapi karena Ouw Hujin baru melahirkan anak dan juga karena Ouw
Toaya beradat bera-ngasan, sehingga jika ia memberi penjelasan sendiri kepada
pihak lawan, ia pasti akan bertengkar de¬ngan Hoan Pangcu dan Tian Siangkong
dan akhirnya ia mesti bertempur juga, maka, sebab tak ada jalan lain, ia
terpaksa meminta bantuan Giam Kie untuk menyampaikan perkataannya. Tadi Po-sie
Taysu mengatakan, bahwa Ouw Toaya telah me-nyuruhnya untuk menyampaikan surat
kepada Kim-bian-hud dan akan diberi hadiah besar. Keterangan itu tidak benar.
Cobalah pikir: "Menyampaikan su¬rat adalah tugas yang sangat enteng. Perlu
apa orang memberi hadiah besar kepada tukang bawa surat? Mungkin sekali Po-sie
Taysu sekarang sudah lupa perkataan Ouw Toaya, tapi aku sendiri masih tetap
ingat."
Mendengar sampai di situ,
semua orang tahu, bahwa pada sebelum menjadi pendeta, Po-sie Taysu bernama Giam
Kie. Melihat sikap kedua orang itu, mereka yakin bahwa antara Po-sie dan
kebinasaan Ouw It To mempunyai sangkut paut yang sangat rapat dan dalam
keterangan yang diberikan Po-sie terdapat bagian-bagian yang tidak benar.
Mereka ingin sekali mendengar penjelasan Peng Ah Sie yang akan membuka sebuah
rahasia. Akan tetapi, mereka pun khawatir, bahwa jika Peng Ah Sie benar-benar
membuka rahasia besar yang membuat Po-sie menjadi malu, dalam gusarnya, pendeta
itu bisa turunkan tangan jahat dan di antara mereka, tak satu pun yang dapat
menandinginya. Biarpun di belakang hari Kim-bian-hud bisa membalas sakit hati,
tapi kalau Peng Ah Sie sudah binasa, rahasia yang sangat menarik itu akan turut
dikubur di liang kubur.
Sedang semua orang khawatir
akan kesela-matannya, Peng Ah Sie sendiri bersikap tenang-tenang saja. Sesudah
berhenti sejenak, ia melan-jutkan penuturannya:
"Waktu Ouw Toaya bicara
dengan Giam Kie, aku berdiri di luar jendela kamar Giam Kie. Aku bukan mau
mencuri dengar pembicaraan Ouw Toaya. Aku sudah berbuat begitu, sebab kutahu,
bahwa tabib itu, yang menjadi anjingnya si hartawan yang menghina kedua orang
tuaku, bukan manusia baik-baik. Oleh karena itu, kukhawatir Ouw Toaya kena
ditipu olehnya. Waktu itu aku masih kecil dan pengertianku sangat terbatas,
sehingga apa yang dikatakan Ouw Toaya tidak dapat dimengerti se-luruhnya
olehku. Tapi setiap perkataannya terus tercatat dalam otakku dan tidak bisa
dilupakan lagi. Belakangan, sesudah besar, kumengerti maksud pembicaraan itu.
Pada malam itu, Ouw Toaya minta bantuan Giam Kie untuk menyampaikan tiga rupa
hal. Pertama, asal-mula permusuhan antara keluar-ga Ouw, Biauw, Hoan dan Tian.
Kedua, sebab-musabab dari kebinasaan ayahnya Kim-bian-hud dan ayah Tian
Siangkong. Ketiga, soal kotak besi dan golok komando dari Cwan Ong."
Hampir serentak semua orang
menengok ke arah kotak besi dan golok itu yang ditaruh di atas meja. Rasa ingin
tahu dalam hati mereka jadi makin besar.
Peng Ah Sie melanjutkan
penuturannya: "Se-bab-musabab dari permusuhan antara keluarga Ouw, Biauw,
Hoan dan Tian tadi sudah diceritakan oleh Biauw Kouwnio. Tapi di dalam itu
masih terselip suatu rahasia besar yang tidak diketahui oleh orang luar.
Rahasia itu dimulai pada jaman Cwan Ong Eng-ciang tahun kedua, tahun It-yu,
atau menurut perhitungan pemerintah Boan, Sun-tie tahun kedua. Pada waktu itu,
leluhur keluarga Ouw, Biauw, Tian dan Hoan telah berjanji, bahwa, jika peme¬rintah
Boan tidak menjadi roboh, rahasia itu baru boleh dibuka sesudah berselang
seratus tahun, yaitu pada tahun It-yu. Tahun It-yu ialah tahun Kian-liong ke
sepuluh dan dari waktu itu sampai se-karang, sudah berselang tiga puluh tahun
lebih. Maka itulah, pada dua puluh tujuh tahun berselang, waktu Ouw Toaya
bicara dengan Giam Kie, batas waktu seratus tahun sudah lewat dan rahasia
ter-sebut sudah boleh dibuka."
"Rahasia itu benar-benar
hebat. Apa sebabnya? Sebabnya ialah, pada waktu kalah perang di Kiu-kiong-san,
Cwan Ong sebenarnya tidak mati!"