Asmara Dibalik Dendam Membara Jilid 34

Pemuda itu memiliki tenaga sakti yang lebih kuat dari padanya! Dia merasa penasaran sekali dan belum mau percaya. Dengan geram dia lalu menekuk kedua lututnya, mengerahkan seluruh tenaganya dan kemampuannya, lalu memukulkan kedua tangannya yang terbuka, mendorong ke arah Budhi. Dia mengeluarkan teriakan melengking untuk menambah daya tolakan kedua tangannya.

“Haiiiiiiiiiiiiitttt............!!”

Maklum bahwa lawannya hendak mengadu kesaktian lewat tenaga, Budhi menyambut dengan kedua tangannya didorongkan ke depan sambil mengerahkan tenaga dan mulutnya mengeluarkan teriakan dahsayat.

“Yaaaaaaattt......!!”

“Desssss........!”

Kembali tenaga mereka bertemu di udara dan kini akibanya lebih hebat lagi. Kalau Budhi terhuyung ke belakang, Pangeran Sepuh itu terjengkang dan roboh terbanting! Akan tetapi pangeran ini memang sakti dan kebal. Dia sudah meloncat bangun lagi dan ditangannya sudah tergenggam sebatang keris yang mengeluarkan wibawa menyeramkan.

“Tilam Upih...............!!”

Dewi Muntari dan Niken Sasi berseru dengan berbareng melihat keris itu di tangan sang pangeran tua. Budhi juga merasakan getaran hebat dari wibawa keris itu dan tahulah dia bahwa keris itu memang sangat ampuh.

“Kepung mereka! Bunuh!!” bentak Pangeran Sepuh Wijayanto dengan kemarahan meluap. Dia telah dikalahkan pemuda itu di depan banyak orang dan hal ini dianggap amat menghina dan merendahkan martabatnya.

“Kanjeng Gusti Pangeran, saya mohon jangan bunuh diajeng Niken dan ibunya seperti yang paduka janjikan kepada saya!” kata Gajahpuro.

“Janga banyak cakap!” bentak Pangeran Sepuh Wijayanto lalu dia mengulang perintahnya kepada pasukan pengawalnya yang sudah memenuhi ruangan itu mengepung Budhi, Niken Sasi, dan Dewi Muntari, “Serang dan bunuh mereka bertiga!”

“Kalau begitu saya tidak sudi membantu paduka lagi!” teriak Gajahpuro.

“Bagus, agaknya engkau juga sudah bosan hidup!” bentak Pangeran Sepuh sambil mengamangkan keris pusaka Tilam Upih. “Bunuh juga bocah ini!”

Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara gaduh di luar dan para perajurit pengawal Pangeran Sepuh yang berada di dekat pintu ruangan bergelimpangan roboh. Terdengar bentakan yang lembut namun penuh wibawa.

“Semua perajurit mundur!”

Para anak buah Pangeran Sepuh terkejut dan menengok. Ketika mereka melihat Sang Prabu Jayabaya yang diiringkan para pengawal yang dipimpin senopati Lembudigdo dan para senopati lainnya, mereka menjadi pucat ketakutan dan segera mundur meninggalkan ruangan itu. Di luar telah menanti pasukan pengawal kerajaan yang segera melucuti senjata mereka. Semua terjadi tanpa keributan, karena para anak buah Pangeran Sepuh maklum bahwa melawanpun tidak akan ada gunanya.

Sementara itu, ketika melihat munculnya Sang Prabu Jayabaya, wajah Pangeran Sepuh berubah pucat pula dan dengan senyum dibuat-buat dia menegur.

“Yayi Prabu......, paduka datang.....?” Dia sampai lupa bahwa dia masih memegang keris pusaka Tilam Upih di tangannya.

“Kakangmas Pangeran, andika membawa keris pusaka Tilam Upih terhunus, apakah untuk membunuh puteriku Dewi Muntari dan cucuku Niken Sasi?”

“Ahh, tidak.......tidak.......! Pusaka ini.......saya baru rampas dari tangan Budhidharma!”

“Hemm, kakangmas Pangeran, tidak ada gunanya berbohong lagi. Kami telah mengetahui semuanya. Sudah lama kami mendengar laporan para penyelidik bahwa diam-diam kakangmas Pangeran menghimpun kekuatan di luar istana. Kakangmas hendak mencalonkan Pangeran Panjiluwih dan menyingkirkan pangeran mahkota. Juga menyingkirkan semua pangeran dan anggota keluarga yang kiranya akan menentang rencana andika! Akan tetapi karena kami belum memperoleh bukti, kami masih belum bertindak. Dan tadi, Kakangmas Pangeran, kami telah mendengar semuanya! Ternyata kakangmas yang menjadi pemimpin persekutuan dengan sebutan Kanjeng Gusti, dan kakangmas pula yang telah merampas Tilam Upih secara diam-diam saja dari adipati Nusa Kambangan. Jelas kakangmas hendak memberontak! Dan kakangmas memilih Pangeran Panjiluwih karena ibunya adalah puteri Blambangan yang kakangmas jagokan untuk mendukung gerakan kakangmas. Kami telah mengetahui semua!”

Ketika Sang Prabu Jayabaya bicara Pangeran Sepuh mendengarkan dengan mata liar dan muka semakin pucat. Lalu dia memandang kepada Tilam Upih di tangannya, lalu berkata lantang,

“Yayi Prabu! Dahulu aku yang mendambakan kedudukan raja, akan tetapi mendiang kanjeng rama bersikap tidak adil, memilih andika yang lebih muda menjadi pangeran mahkota. Sekarang, andika juga pilih kasih, memilih Pangeran Arya Iswara menjadi putera mahkota, padahal masih banyak pangeran lain yang lebih tua. Benar! Memang aku tidak mau menerima ketidak-adilan ini, aku ingin mengangkat Pangeran Panjiluwih menjadi putera mahkota. Akan tetapi kami telah gagal, dan karena andika sendiri yang telah mengetahui semua rahasiaku, maka andika yang lebih dulu harus mati di tanganku!” Setelah berkata demikian, Pangeran Sepuh siap untuk menyerang dengan keris pusaka Tilam Upih.

“Kanjeng Rama Prabu, perkenankan hamba yang maju menghadapinya!” seru Dewi Muntari yang merasa khawatir.

“Perkenankan hamba yang maju, gusti.” kata Budhidharma pula.

Juga Senopati Lembudigdo sudah siap bersama pasukannya untuk mengepung Pangeran Sepuh
Wijayanto yang agaknya hendak mengamuk dengan keris pusaka Tilam Upih di tangan.

Akan tetapi sambil tersenyum Sang Prabu Jayabaya mengangkat kedua tangannya ke atas dan memberi isarat kepada semua orang untuk mundur. Kemudian dengan sikapnya yang tenang sekali, raja yang bijaksana dan sakti mandraguna itu melangkah maju menghadapi kakaknya.

“Kakangmas Pangeran Wijayanto, andika hendak menggunakan Kyai Tilam Upih untuk memberontak, mengamuk dan membunuhku? Andika tidak akan berhasil. Sebaiknya andika menyadari kesalahan, cepat menyerah dan mungkin kami masih akan memperingan hukumanmu.”

“Tidak perlu banyak cakap lagi. Engkau atau aku yang harus mati!” bentak Pangeran Sepuh dan bagaikan seekor harimau marah, dia sudah menerjang ke depan, menubruk dan menyerang dengan keris pusaka Tilam Upih yang sakti itu.

Sang Prabu Jayabaya tetap tenang saja. Ketika keris itu sudah meluncur dekat, dia melompat ke kiri menghindarkan diri, kemudian kakinya mencuat dan menendang dengan kecepatan kilat.

“Wuuuuuuuttt..........desss.........!”

Tubuh Pangeran Sepuh terlempar dan dia jatuh bergulingan oleh tendangan yang dahsyat itu. Akan tetapi dia dengan cepat sudah meloncat bangkit kembali dan menyerang untuk kedua kalinya, lebih cepat dan lebih dahsyat.

Sang Prabu Jayabaya kembali mengelak dan untuk ke dua kalinya, kakinya menendang dan kembali tubuh Pangeran Sepuh terlempar dan terbanting keras. Sebetulnya, dengan dua kali terbanting itu saja, Pangeran Sepuh sudah menyadari bahwa dia tidak akan mampu menandingi kesaktian Sang Prabu Jayabaya. Akan tetapi dia sudah putus asa dan menjadi nekat. Biarpun tubuhnya sudah merasa sakit-sakit karena dua kali terlempar dan terbanting, dia bangkit lagi dan memasang kuda-kuda, mengerahkan seluruh tenaganya.

“Engkau atau aku yang harus mati!” bentaknya.

Sang Prabu Jayabaya memandang dengan sinar mata mencorong seperti mengeluarkan api dan suaranya terdengar tegas.

“Jagat Dewa Batara, engkau menggapai taringnya Sang Batara Kala, kakangmas!”

Pangeran Sepuh sudah berlari menerjang maju dengan keris siap menusuk. Akan tetapi sekali ini, Sang Prabu Jayabaya sudah mengerahkan aji kesaktian dan kekebalannya, berdiri tegak seperti sebuah arca yang kokoh. Keris pusaka Tilam Upih di tangan Pangeran Sepuh datang menyambar ke arah dada, diterima oleh dada itu tanpa mengelak sedikitpun.

“Wuuuttt......Takk.......!!”




Tangan Pangeran Sepuh yang memegang keris tergetar hebat. Kerisnya seperti mengenai benteng baja yang kokoh kuat, sama sekali tidak mampu menembus kulit yang sudah dilindungi aji kekebalan yang disebut Aji Ontokusumo. Pangeran Sepuh Wijayanto seperti tidak percaya. Kerisnya adalah Tilam Upih! Tidak mungkin dapat ditolak aji kekebalan. Dia menusuk lagi.

“Takkk.......!”

Dengan penuh kegeraman dan keputusasaan kembali dia menusukkan keris ke arah perut Sang Prabu Jayabaya.

“Takk............!!”

Kini Sang Prabu Jayabaya menggerakkan tangan kirinya, menampar ke arah kepala Pangeran Sepuh.

“Wuuuuttt............desss.........!”

Tubuh pangeran itu seperti daun kering tertiup angin, melayang dan jatuh berdebuk, terbanting keras! Akan tetapi memang pangeran itupun seorang yang kebal, tamparan itu hanya membuat dia pusing sejenak. Lalu dia bangkit berdiri mengamati keris di tangannya seolah tidak percaya akan keaslian pusaka itu, kemudian dia mengayun keris itu ke ulu hatinya sendiri.

“Cappp..........!”

Keris menembus kulit dada dengan mudah dan robohlah sang pangeran, tewas seketika saking ampuhnya Tilam Upih.

Semua orang lalu berlutut menyembah kepada Sang Prabu Jayabaya. Raja yang sakti mandraguna ini menghela napas panjang, menghampiri jenazah kakaknya, mencabut keris Tilam Upih dari dadanya lalu menyerahkannya kepada Senopati Lembudgdo.

“Lembudigdo, suruh cuci dan gosok pusaka ini sampai bersih betul dari noda, baru haturkan kepadaku.”

“Sendiko, Gusti.” jawab Senopati Lembudigdo sambil menerima keris pusaka itu dan menyimpannya.

Dalam peristiwa ini, Sang Prabu Jayabaya memperlihatkan kebijaksaannya. Dia mengampuni seluruh keluarga Pangeran Sepuh. Bahkan hanya menegur keras kepada Pangeran Panjiluwih yang dianggap terkena hasutan Pangeran Sepuh. Bekas pasukan Pangeran Sepuh dibubarkan dan tentu saja Gajahpuro juga dibebaskan karena Niken Sasi mintakan ampun untuk pemuda yang pada terakhirya kembali memperlihatkan sikap membelanya itu.

Budhidharma, Dewi Muntari dan Niken Sasi dipanggil menghadap ke istana.

“Budhidharma, kami sudah banyak mendengar akan sepak terjangmu dari para penyelidik, dan kami berterima kasih atas pembelaanmu sehingga puteri dan cucu kami dapat diselamatkan.” kata Sang Prabu memujinya.

Gusti Prabu Jayabaya tersenyum. “Mendiang kakangmas Pangeran Wijayanto memang cerdik. Dia telah mendahuluimu mencuri keris pusaka itu. Akan tetapi, sudahlah, keris pusaka itu sudah kembali kepada kami. Sekarang kami ingin mendengar ceritamu, nini Dewi Muntari, dan andika, cucuku Niken Sasi. Apa yang telah kalian alami setelah kalian dirampok dan Rangsang dibunuh?”

Dewi Muntari menceritakan pengalamannya. Ketika mendengar bahwa puterinya itu ditolong kemudian diambil murid oleh Ni Durgogini, Sang Prabu Jayabaya berseru,

“Ah, jadi ia yang menolongmu dan kemudian menjadi gurumu?”

“Kanjeng Rama, Ni Durgogini sudah minta kepada hamba agar paduka sudi mengampuni kelancangannya, berani mengambil murid kepada hamba.” kata Dewi Muntari.

Sang Prabu tersenyum, “Tentu saja. Ia tidak bersalah, bahkan berjasa besar. Pantas engkau berani menentang paman-tuamu, kiranya engkau sudah digembleng oleh Ni Durgogini! Dan bagaimana dengan pengalamanmu selama ini, cucunda Niken Sasi? Agaknya engkau telah menjadi seorang gadis yang trengginas dan digdaya. Apakah engkau juga memperoleh seorang guru yang sakti?”

“Sesungguhnyalah, Kanjeng Eyang Prabu. Ketika kanjeng ibu menyuruh hamba melarikan diri, hamba terjatuh ke dalam telaga kecil. Hamba diselamatkan oleh Ki Sudibyo, ketua Gagak Seto dan hamba menjadi muridnya.” Niken lalu menceritakan tentang gurunya, betapa gurunya itu dikhianati oleh Klabangkoro dan Mayangmurko yang kemudian telah terbunuh oleh ibunya, Dewi Muntari. Juga diceritakan tentang Budhidharma yang menolongnya berulang kali sampai pengalaman mereka yang hebat di Gagak Seto ketika mereka dijebak oleh Klabangkoro. Gadis itu menonjolkan budi pertologan yang dilakukan Budhidharma dan agaknya hal ini diketahui pula oleh kakeknya sehingga Sang Prabu Jayabaya hanya tersenyum mendengarkan.

Setelah gadis itu selesai bercerita, Sang Prabu Jayabaya berkata kepada Budhidharma,

“Budhidharma, jasamu amat besar. Oleh karena itu, kami mengangkatmu menjadi seorang senopati muda di kerajaan Kediri!”

Budhidharma terkejut dan demikian girangnya mendengar ini sehingga dia hanya memandang bengong. Melihat ini, Niken Sasi cepat menyentuh lengannya.

“Cepat haturkan terima kasih kepada Kanjeng Eyang.”

Budhidharma menyembah dan menghaturkan terima kasihnya. Dewi Muntari kembali ke tempat tinggalnya yang dahulu, yang delapan tahun yang lalu ditinggali bersama suaminya dan yang sampai sekarang masih dipelihara baik-baik atas perintah Sang Prabu Jayabaya. Budhidharma juga mengikuti ibu dan anak itu. Di rumah mereka, Dewi Muntari lalu membicarakan urusan perjodohan antara puterinya dan Budhidharma. Sebagai seorang ibu yang waspada, tanpa bertanya sekalipun ia sudah lama tahu bahwa terdapat hubungan kasih sayang di antara kedua orang muda itu.

Sepasang orang muda itu tersipu malu ketika Dewi Muntari terang-terangan mengajak mereka bicara tentang perjodohan mereka.

“Bagaimanakah kalian ini? Urusan ini tentu selalu mendesak dihati kalian, akan tetapi setelah diajak bicara tentang hal ini, kalian malah diam saja. Apakah kalian tidak setuju?”

“Ah, ibu.......!” Niken Sasi tersipu dan menundukkan mukanya.

“Sebetulnya, Kanjeng Bibi, kami berdua selalu khawatir dan ragu kalau-kalau Kanjeng Gusti Prabu tidak menyetujui, karena saya hanyalah seorang pemuda dusun yang yatim piatu dan papa...........”

“Hemm, kaukira Kanjeng Rama itu bagaimana? Beliau seorang raja yang adil dan arif bijaksana. Bukankah aku sendiri juga dijodohkan dengan seorang senopati yang berkedudukan rendah dan dari rakyat biasa? Aku tanggung bahwa Kanjeng Rama Prabu pasti akan menyetujui perjodohan kalian.”

“Terima kasih, Kanjeng Bibi......”

“Hemm, sudah tiba waktunya engkau mengubah sebutan bibi itu dengan sebutan ibu. Bukankah engkau calon mantuku?”

Wajah Budhi menjadi kemerahan.

“Terima kasih, Kanjeng Ibu......” dia mengulang.

“Akan tetapi saya dan diajeng Niken Sasi mohon ijin untuk pergi ke Anjasmoro dulu, karena kami harus menyelesaikan urusan Gagak Seto”

“Engkau tidak boleh lagi menjadi ketua Gagak Seto setelah menjadi senopati!”

“Memang saya tidak pernah ingin melanjutkan kedudukan mendiang ayah saya. Oleh karena itu, tadi ketika berpisah dari Gajahpuro, saya memesan agar dia suka pergi ke Gagak Seto menemui saya. Gajahpuro adalah seorang pemuda yang baik dan gagah, sudah sepatutnya kalau dia yang menjadi ketua Gagak Seto.”

“Ah, pemuda itu? Kalian mengatakan bahwa dia putera Klabangkoro, akan tetapi di depan Pangeran Sepuh dia menyangkal bahwa dia bukan putera Klabangkoro. Siapa sebetulnya anak itu?”

“Kami juga heran, kanjeng ibu. Kalau bertemu dengannya tentu akan kupertanyakan hal itu.” kata Niken Sasi.

Demikianlah, setelah tinggal di rumah Dewi Muntari, di komplek istana, selama beberapa hari, pada suatu hari Budhidharma bersama Niken Sasi meninggalkan isana menuju ke pegunungan Anjasmoro.

**** 034 ****
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar