Asmara Dibalik Dendam Membara Jilid 26

Setelah makan kenyang, tiba-tiba Niken merasa kepalanya pening dan pandang matanya melihat bumi di sekelilingnya seperti berputar. Ia bangkit berdiri dan terhuyung, memegangi dahi dengan tangan kirinya.

“Ah, celaka.........!” Ia mengangkat muka memandang kepada Klabangkoro, akan tetapi ia melihat wajah Klabangkoro seolah menjadi banyak dan berputaran.

Paman.........apa.....apa yang kau berikan padaku......?” Ia tergagap.

Klabangkoro tertawa bergelak dan segera suara tawanya diikuti oleh tawa Mayangmurko dan para murid yang menjadi anak buah Klabangkoro. Niken mendengar suara tawa disekellingnya dan kepalanya semakin pening. Akan tetapi ia segera dapat menduga apa yang telah terjadi. Ia keracunan! Orang telah memberi racun pada makanan atau minumannya!

“Keparat! Kalian meracuni aku.....?” Ia melompat dan hendak menyerang Klabangkoro, akan tetapi ia terpelanting karena kepalanya yang pening membuat ia tidak dapat berdiri tegak.

Dan segera Klabangkoro dan Mayangmurko meringkusnya. Dalam keadaan nanar dan terbelenggu Niken yang setengah pingsan itu dibawa ke rumah tahanan bawah tanah. Para penjaga di situ memandang heran ketika melihat Klabangkoro dan Mayangmurko mendorong-dorong tubuh Niken yang terhuyung.

Akan tetapi karena mereka juga orang-orang kepercayaan Klabangkoro, mereka tidak banyak bertanya. Apalagi ketika Klabangkoro berkata singkat bahwa Niken telah bersekutu dengan musuh yang datang mengacau. Pintu kamar tahanan dibuka dan gadis itu didorong masuk, terhuyung-huyung dan terjatuh di depan kaki Ki Sudibyo yang duduk bersila di lantai.

Melihat bahwa Niken dalam keadaan setengah pingsan didorong masuk oleh Klabangkoro dan Mayangmurko, Ki Sudibyo terkejut sekali dan memaki,

“Klabangkoro, manusia laknat, murid durhaka! Apa yang kaulakukan kepada Niken?”

“Ha-ha-ha, jangan khawatir, Ki Sudibyo. Ia tidak akan mati,akan tetapi menjadi temanmu di sini sampai kalian berdua menuliskan aji Hasta Bajra yang asli untukku!”

Setelah berkata demikian, Klabangkoro keluar dan menutupkan pintu besi itu, lalu berkata dari luar,

“Ki Suidibyo, jangan mencoba untuk melarikan diri atau kalian akan mati seperti seekor tilus tenggelam dalam lubang. Ha-ha-ah!”

Setelah mereka pergi, Ki Sudibyo membangunkan Niken, mengerut tengkuk dan punggungnya, lalu menekan ulu hatinya. Niken muntah-muntah, akan tetapi merasa kepalanya tidak sepening tadi, walaupun tubuhnya masih lamas. Ketika melihat Ki Sudibyo, ia menubruk dan berlutut di depan kaki gurunya.

“Bapa Guru.......!”

“Tenanglah Niken. Engkau telah terjebak, tentu telah diracuni mereka dan dijebloskan di sini.”

“Kiranya Bapa Guru ditahan di sini! Mereka mengatakan bahwa Bapa pergi tanpa pamit.”

“Hemm, apa saja yang terjadi, Niken? Aku setiap saat mengharap kedatanganmu, akan tetapi tidak seperti ini. Ternyata engkau juga terperangkap!” Kakek itu menghela napas panjang.

Niken lalu menceritakan tentang bagaimana ia terperangkap oleh Klabangkoro yang pura-pura menyambutnya dengan pesta. Sama sekali ia tidak menaruh curiga sehingga makan dan minum hidangan yang disediakan untuknya.

“Dan Bapa Guru sendiri bagaimana sampai ditahan di tempat ini? Apa yang telah terjadi, Bapa?”

Ki Sudibyo menghela napas panjang. “Ah, biadab-biadab durhaka itu! Mereka tahu bahwa aku sedang sakit dan lemas, lalu mereka meracuni aku sehingga aku tidak mampu melawan. Mereka bahkan memaksa aku untuk menuliskan aji Hasta Bajra untuk mereka pelajari.”

“Hemm, tentu Bapa tidak sudi menuliskan aji itu!”

“Mula-mulanya aku tidak sudi. Lebih baik aku disiksa atau dibunuh dari pada memenuhi permintaan mereka. Akan tetapi mereka menangkap tiga orang murid Gagak Seto muda dan mengancam untuk mebunuh mereka di depan mataku. Bagaimana aku tega mengorbankan mereka?”

“Jadi Bapa menuliskan juga aji itu? Pantas aku melihat Klabangkoro menjadi kuat dan agaknya sudah menguasai aji itu!”

Ki Sudibyo mengeglengkan kepala dan tersenyum. “Aku tidak sbodoh itu, Niken. Aku hanya pura-pura setuju dan yang kutuliskan itu merupakan aji Hasta Bajra yang palsu. Memang ada manfaatnya di pelajari, akan tetapi tidak menjadi sehebat aslinya.”

“Ah, aganya mereka tahu pula akan hal itu dan sekarang tentu akan memaksa kita untuk menuliskan aji itu.”

“Kalau tiba saatnya, kita akan mencari akal untuk menghindar. Sekarang ceritakan bagaimana pengalamanmu mencari Tilam Upih, Niken.?”

Niken lalu menceritakan tentang Adipati dari Nusa Kambangan yang mengadakan sayembara memperebutkan Tilam Upih.

“Dia sakti mandraguna, Bapa. Aku sendiri sudah maju menandinginya, akan tetapi aku kalah......”

“Hemm,tentu saja. Aku sudah mendengar tentang dia. Bukankah adipati itu dahulu seorang datuk besar bernama Koloyitmo, terkenal sakti, terutama sekali karena memiliki Aji Wijoyokusumo? Engkau tentu akan kalah pengalaman dibandingkan dia, Niken. Lalu, siapa yang akhirnya berhasil mendapatkan pusaka Tilam Upih memenangkan sayembara itu?”

Niken merasa jantungnya berdebar tegang. Kalau saja ia belum tahu bahwa Budhidarma adalah putera mendiang Ni Sawitri, tentu ia tidak merasa tegang. Akan tetapi ia sudah tahu bahwa Ni Sawitri dahulunya adalah isteri gurunya ini, dan sebelum melarikan diri telah mengandung sehingga Budhidarma sesungguhnya adalah putera kandung Ki Sudibyo sendiri !

“Kenapa engkau diam saja, Niken?” tegur Ki Sudibyo yang ingin sekali mengetahui siapa pemenang sayembara dan yang berhasil mendapatkan keris pusaka Tilam Upih.

Niken seperti baru sadar dari lamunannya. “Yang berhasil mengalahkan adipati Surodiro adalah seorang pemuda bernama Budhidarma, Bapa. Dia seorang pemuda yang sakti mandraguna dan kebetulan saja beberapa kali pemuda itu bekerja sama denganku menghadapi gerombolan jahat. Bahkan pemuda itu menolongku dari ancaman bahaya.”

Niken lalu menceritakan pengalamannya, ketika ia singgah di tempat Jinten, kemudian ketika dijamu oleh Jinten, ia terbius tertawan orang-orang jahat. Bahkan hampir saja celaka kalau saja tidak ditolong Budhi. Tiba-tiba ia terkejut dan membelalakkan matanya.

“Ahhh..........! Baru aku teringat sekarang! Sungguh aneh sekali ketika dijamu oleh Jinten, aku keracunan, persis seperti keadaanku sekarang ini.......!”

“Hemm,Tidak perlu merasa aneh, Niken. Aku dapat menduga bahwa Jinten adalah kaki tangan atau pembantu dari Klabangkoro.”

Niken tertegun, lalu mengepal tangannya dengan gemas. “Aih, kalau begitu si kedok hitam itu adalah Klabangkoro? Akan tetapi, ketika aku roboh pingsan, aku masih melihat bahwa Jinten juga terkulai dan keracunan.”

“Tentu saja, untuk mengelabuhimu terpaksa Jinten juga makan hidangan bercampur racun pembius. Sudahlah untung engkau terlepas dari bencana ketika itu. Lalu, bagaimana lanjutan ceritamu?”

“Yang terakhir aku bertemu dengan Budhi yang sedang dikeroyok oleh pasukan kerajaan yang dipimpin Pangeran Panjiluwih dan Senopati Lembudigdo. Aku membantunya dan kami berdua akhirnya berhasil meloloskan diri dari pengeroyokan. Akan tetapi lalu ada terjadi hal yang merupakan kenyataan yang aneh sekali, Bapa.”

“Hemm, apanya yang aneh? Kejadian apakah itu?”

“Kami berdua mendapat kenyataan bahwa Tilam Upih yang diterima Budhi dari tangan Surodiro itu ternyata adalah keris pusaka palsu.”

Kini Ki Sudibyo yang terbelalak memandang muridnya. “Palsu? Ah, Adipati Surodiro mengadakan sayembara palsu apa maksudnya?”

“Setelah mendapat kenyataan ini, Budhi dan aku pergi ke Nusa Kambangan dan langsung menanyakan kepada Surodiro. Dan diapun mengaku. Katanya, sebulan yang lalu keris pusaka itu dicuri oleh seorang berkedok yang sakti mandraguna dan ditukar dengan keris yang palsu itu. Tadinya aku ingin mengamuk, akan tetapi Budhi mencegahku dan mengatakan bahwa dia percaya akan keterangan Adipati Surodiro.”

Ki Sudibyo mengangguk-angguk. “Bukan menjadi watak Koloyitmo untuk main-main dan menipu. Tentu dia ingin melepaskan keris pusaka yang telah dipalsu oleh pencuri itu, dari pada nanti Nusa Kambangan diganggu banyak orang yang memeperebutkan Tilam Upih. Ahh, pegalamanmu banyak dan hebat pula, Niken. Biarpun engkau tidak berhasil mendapatkan Tilam Upih, akan tetapi pengalaman-pengalaman itu merupakan pelajaran yang baik sekali bagimu.”

Niken menghela napas panjang. “Semua itu tidak ada artinya, Bapa. Masih ada lagi peristiwa yang amat penting dan hebat belum kuceritakan kepada Bapa.”

Ki Sudibyo memandang kepada wajah muridnya penuh selidik. “Apakah itu, Niken? Hebat sekali engkau, belum lama pergi telah mengalami hal-hal yang hebat dan bertubi-tubi.”

“Ketika aku pulang, jahanam-jahanam itu mengatakan bahwa Bapa Guru telah pergi tanpa pamit. Aku mencari keterangan disekitar pegunungan ini samapi beberapa hari tanpa hasil dan pada suatau hari ketika aku pulang, aku melihat Klabangkoro, Mayangmurko dan para murid Gagak Seto mengeroyok seorang pemuda. Dan pemuda itu ternyata adalah Budhidharma!”

“Hemm, tentu dia datang berkunjung untuk mencarimu. Engkau telah menjadi kawannya yang baik, bukan?”

Karena dalam kata-kata itu terkandung nada suara penuh arti, wajah Niken menjadi kemerahan.

“Kalau begitu halnya, tentu peristiwa itu tidak penting dan luar biasa, Bapa. Akan tetapi Budhidharma datang ke Gagak Seto untuk mencari Bapa dan bahkan untuk membunuh Bapa Guru.”

“Hahhh...........? Mengapa demikian? Aku tidak mengenalnya dan tidak mempunyai urusan dengan dia!”

“Akan tetapi Bapa mengenal ibu dan bapanya. Tahukah Bapa siapa pemuda itu sebenarnya? Akupun baru mengetahuinya saat dia datang ke Gagak Seto itu. Dia adalah putera kandung Ni Sawitri dan hendak membalas dendam untuk kematiana Ni Sawitri dan Margono.”

Wajah Ki Sudibyo tiba-tiba menjadi pucat sekali dan dia memandang wajah muridnya seperti orang melihat hantu.

“ Ya Jagad Dewa Bathara.......!” Akhirnya dia berseru. “Bagaimana ...........bagaimana engkau tahu tentang Sawitri dan Margono?”

“Aku telah mendengar semuanya sebelum Budhi muncul, Bapa. Karena ketika bertemu dengannya dahulu kami tidak saling menceritakan riwayat kami, maka aku tidak athu bahwa dia putera Ni Sawitri. Aku sudah mendengar bahwa Bapa menyuruh Klabangkoro untuk membunuh Ni Sawitri dan Margono!”

“Aduhhh.......jangan ingatkan lagi itu kepadaku, Niken! Aku merasa menyesal sekali sejak itu terjadi. Aku hanya menyuruhnya membunuh Margono karena murid itu murtad dan pantas dihukum, akan tetapi Sawitri ikut membunuh diri........aku menyesal sekali.......” Orang tua ini nampak berduka sekali.

“Akupun sudah mendengar akan hal itu, Bapa. Akan tetapi melihat watak Klabangkoro yang amat jahat, bukan tidak mungkin Ni Sawitri juga dibunuh olehnya. Dan aku mengerti pula mengapa Bapa mengeluarkan perintah yang kejam itu. Karena Margono Ni Sawitri, isteri Bapa.”

Dengan kepala tertunduk Ki Sudibyo mengangguk. “Benar.......ah, aku menyesal sekali karena kematian Sawitri, aku berdosa besar dan kalau sekarang puteranya datang mencariku, aku siap untuk mati di tangannya untuk menebus dosa.....”

Orang tua itu kini memukul-mukul dadanya dengan perasaan berduka sekali. Niken merasa kasihan, akan tetapi ia tidak dapat menahan dorongan hatinya untuk bicara terus.

“Akan tetapi ada satu hal yang Bapa tidak ketahui, akan tetapi aku mengetahuinya.”

“Apa itu?”

“Budhidharma itu, dia bukanlah anak kandung Margono, melainkan anak kandung Bapa Guru sendiri!”

Mata yang tua itu terbelalak, mulut yang ompong itu terngaga, dan wajah yang keriputan itu kini menjadi semakin pucat. Beberapa detik lamanya dia tidak mampu mengeluarkan suara, kemudian dia memaksa diri berkata,

“Niken........! Apa......apa maksudmu......? Demi Sang Hyang Widhi Wasa, katakan......jangan siksa aku dengan kebingungan......!”

“Memang benar, Bapa. Ketika Ni Sawitri melarikan diri bersama Margono meninggalkan Gagak Seto, ia sudah mengandung! Jadi, Budhidarma itu adalah anak kandung Bapa Sendiri.”

“Tidak......tidak.......! Bagaimana engkau bisa tahu.....”

“Aku bertemu dengan paman Ki Joyosentika dan beliau yang menceritakan semua itu kepadaku.”

“Duhhh Gusti........!” Tubuh Ki Sudibyo terkulai pingsan!

“Bapa Guru.......!” Niken lalu menekan-nekan tengkuk dan kedua pundak gurunya.

Tak lama kemudian Ki Sudibyo sudah siuman dan membuka kedua matanya, Niken terkejut sekali karena melihat betapa mata itu sama sekali tidak bersinar lagi, seperti mata mayat saja. Dan rambut di kepala gurunya itu mendadak berubah putih semua!

“Duhai Sawitri.......ampunkan aku. .......aku telah buta dan kejam kepadamu. Sawitri......ampunkan aku.........!”

Orang tua itu lalu menangis tersedu-sedu seperti seorang anak kecil. Niken tak dapat menahan keharuan hatinya. Ia merangkul gurunya dan juga dari kedua matanya mengalir air mata. Ia tahu bahwa gurunya telah melakukan kekejaman, akan tetapi hukuman yang diterima gurunya ini jauh lebih menyakitkan lagi.

“Sekarang aku rela, aku mengerti....... mengapa para dewa menghukumku seperti ini.....ah, Sawitri, bagaimana aku harus menjelaskan kepada anak kita.....? Budhidharma......betapa indahnya nama anakku......, keturunanku........tapi.....tapi dia hendak membunuhku. Ke sinilah anaku, tikam jantung ayahmu yang jahat ini.....!” Dia mengeluh, merintih dan menangis, akhirnya jatuh pingsan lagi.

“Bapa Guru......!”

Niken mengeluh penuh perasaan iba. Kini dibiarkan gurunya karena dalam keadaan seperti itu lebih baik dibiarkan gurunya tak sadarkan diri karena justeru kesadarannya yang menyiksanya. Segala macam perasaan suka duka kecewa marah benci dan sebagainya adalah permainan pikiran. Pikiran yang mengolah semua itu sehingga orang dikuasai oleh bermacam perasaan itu. Kalau pikiran itu tidak sadar, seperti dalam tidur, pingsan, maka semua perasaan itupun lenyap.

**** 026 ****
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar