Asmara Dibalik Dendam Membara Jilid 20

Sepasang orang muda yang melangkah perlahan menyusup-nyusup hutan itu sungguh merupakan pasangan yang serasi sekali. Yang wanita seorang dara berusia kurang lebih tujubelas tahun, bertubuh ramping padat berkulit putih kuning. Dari pakaiannya dapat diduga bahwa ia seorang dara berdarah bangsawan atau setidaknya hartawan dengan pakaian sutera halus dan perhiasan emas menghias tubuhnya. Wajahnya cantik manis dan sepasang matanya bersinar-sinar penuh gairah hidup. Bibirnya yang merah basah itu kadang cemberut manja. Rambutnya hitam subur dan panjang sekali, dikelabang dan disanggul sederhana menggantung di tengkuk dan diikat kain sutera. Di pinggangnya terselip sebatang keris dan tangan kirinya memegang sebatang gendawa, tangan kanan memegang anak panah. Seorang dara yang cantik dan gagah sekali.

Pemuda itupun mengagumkan. Seorang pemuda berusia duapuluh tahun, wajahnya tampan dan gagah perkasa seperti Raden Gatutkaca. Juga pemuda ini menggunakan pakaian yang indah, tidak seperti pemuda dusun. Di pinggangnya tergantung sebatang golok dan tangannya juga memegang busur dan anak panah. Dari sikap dan senjata mereka dapat diduga bahwa kedua orang muda ini sedang berburu binatang hutan.

“Wulan, kenapa hari ini sepi sekali tidak ada binatang buruan.......?”

“Ssttt......!”

Dara itu memberi isyarat agar pemuda itu diam dan ia sudah memasang anak panah pada busurnya, lalu berindap menuju ke kiri menyusup di antara semak belukar. Pemuda itu mengikuti dari belakang, lambat dan hati-hati agar kakinya tidak menimbulkan suara gaduh. Diapun melihat gerakan jauh di depan, agaknya ada seekor kijang yang sedang diintai dan diburu gadis itu, kemudian gadis itu melepas anak panah.

“Kena......! Wah, dia lari.......!” Gadis itu lalu meloncat dan lari mengejar.

Pemuda itupun mengejar dan melihat gadis itu memasuki daerah hutan yang lebat dan gelap, dia berteriak dari belakang,

“Wulan! Jangan memasuki hutan itu! Berbahaya........”

Akan tetapi dara yang sudah melihat kijang buruannya berlari terhuyung itu tidak memperdulikan teriakan pemuda itu dan terus mengejar. Terpaksa pemuda itupun ikut pula mengejar dengan hati-hati dan waspada. Tiba-tiba dia melihat seekor ular besar bergantung kepada dahan sebatang pohon dengan kepala di bawah. Itulah sikap ular yang kelaparan dan menanti lewatnya calon mangsanya. Dan ular itu besar bukan main, sebesar pahanya!

“Wulan, berhenti.......!!” teriak pemuda itu.

Namun gadis itu yang seluruh perhatiannya tertuju kepada kijang yang sudah terluka, tidak tahu bahwa di atasnya ada bahaya mengancam dan ia terus berlari ke bawah pohon besar itu.

“Wulan, awas.......! Ah, celaka.........!” pemuda itu berteriak namun terlambat.

Ular itu sudah menjatuhkan dirinya, tepat di atas gadis yang sedang berlari itu. Gadis itu terkejut bukan main, hendak meloncat, akan tetapi tubuhnya sudah terbelit ular. Ia meronta, namun belitan itu amat kuat dan ia merasa dirinya tercekik, dadanya terhimpit sampai sukar bernapas. Ketika melihat kepala ular itu dekat dengan mukanya dengan lidah keluar masuk, ia memandang dengan mata terbelalak dan merasa ngeri.

Namun gadis itu ternyata memiliki ketabahan yang luar biasa. Busur di tangannya sudah terhimpit. Akan tetapi dengan pengerahan tenaganya, ia mampu menarik kedua lengannya sehingga lepas dari libatan dan kini ia menggunakan kedua tangannya yang terkepal untuk menghantam ke arah kepala ular! Agaknya pukulan kedua tangan gadis itu cukup keras dan menyakitkan. Ular itu menggerak-gerakkan kepalanya, agaknya merasa jerih juga kalau kena pukulan lagi dan moncongnya siap untuk menggigit.

Sementaraitu, pemuda itu sudah melompat dekat dan dia sudah memegang goloknya dan berkilauan saking tajamnya.

“Wulan, tangkap lehernya! Cepat!” teriaknya.

Wulan menyadari bahwa sekali ia terkena gigitan, akan sukar untuk dapat meloloskan diri, maka ia menerkam dengan kedua tangannya. Jari-jari tangannya yang mungil itu mencengkeram leher ular itu dengan kuatnya. Ular itu meronta dan lehernya yang sebesar betis itu terasa keras sekali, keras dan licin sehingga betapapun kuat gadis itu mencengkeramnya, namun tetap saja ia hampir tidak mampu bertahan dengan cengkeramannya.

Pada saat itu, pemuda tadi sudah mendekat, tangan kirinya membantu gadis itu mencengkeram leher dan tangan kanan membacokkan goloknya ke arah kepala ular itu berulang kali. Darah bercucuran, ular menggeliat dan libatannya hampir meremukkan tulang-tulang iga gadis itu, akan tetapi setelah gadis itu terkulai lemas dan pingsan. Libatan itu mengendur dan ular itupun mengeliat sekarat dengan kepala hancur.

Pemuda itu cepat memondong tubuh gadis yang setengah pingsan itu keluar dari libatan tubuh ular, mambawanya ke bawah pohon menjauhi tempat itu dan merangkulnya. Perlahan dia mengguncang tubuh itu untuk menyadarkannya dan memanggil-manggil.

“Wulan........,Wulansari ......! Sadarlah....., engkau tidak apa-apa, bukan? Dia merasa khawatir sekali.

Akhirnya gadis itu mengeluh dan membuka matanya. Ketika melihat dirinya duduk di atas pangkuan pemuda itu dan tubuhnya dirangkul, ia membelalakkan mata dan meloncat berdiri.

“Kakang Wijaya! Kenapa engkau memangku dan memeluk diriku?”

Dalam suaranya terkandung teguran marah.

Pemuda itu nampak gugup. “Ah, aku .......aku khawatir sekali melihat keadaanmu, Wulan. Aku berusaha menyadarkanmu dan aku......”

“Sudahlah! Lain kali aku minta agar engkau tidak melakukan kelancangan seperti itu!”

“Maafkan aku, Wulan.”

“Sudahlah, lupakan saja. Mana ular tadi?” Wulan melihat ular itu di bawah pohon sana, lalu menghampiri. Melihat ular yang perutnya sebesar pinggangnya itu dan pasti ular sebesar itu akan mampu menelan dirinya, ia bergidik.

“Mengerikan sekali!” katanya.

“Hutan gelap ini memang merupakan tempat yang berbahaya sekali, penuh binatang liar yang besar dan banyak pula ular berbisa, Wulan. Karena itu, sudahlah jangan kejar kijang yang terluka tadi dan mari kita keluar dari siani.” kata Wijaya sambil mengembilkan busur dan anak panah gadis itu yang tadi terlepas.

Wulansari tidak membantah lagi dan merekapun keluar dari hutan itu. Siapakah sepasang orang muda perkasa ini ? Wulansari adalah puteri dan anak tunggal dari Adipati Surodiro yang menguasai Pulau Nusa Kambangan, Pulau itu memang memiliki banyak hutan liar. Tidak jarang Wulansari melakukan perburuan binatang hutan ditemani Wijaya yng menjadi murid ayahnya.

Wijaya telah diambil murid oleh Adipati Surodiro sejak sang adipati belum menjadi penguasa di pulau itu. Ketika itu Adipati Surodiro masih bernama Koloyitmo, seorang datuk di daerah Laut Kidul. Dia mengambil Wijaya sebagai murid ketika anak itu baru berusia enam tahun, ditinggal mati ayah bundanya. Anak yatim piatu itu boleh dibilang juga menjadi semacam anak angkatnya, juga murid karena dia mengajarkan semua ilmunya kepada Wijaya. Sang adipati menyayangi murid ini seperti puteranya sendiri. Hal ini adalah karena dia tidak mempunyai putera lain kecuali Wulansari.

Akan tetapi setelah mereka dewasa, Adipati Surodiro mempunyai keinginan untuk mejodohkan muridnya itu dengan puterinya. Wijaya merupakan seorang pemuda yang cukup tampan dan gagah, dan dia dapat menduga dari sikap pemuda itu bahwa muridnya itu jatuh cinta kepada Wulansari. Akan tetapi diapun maklum sepenuhnya bahwa Wulansari agaknya tidak mencintai Wijaya, hanya menyayang sebagai seorang kakak seperguruan dan sepermainan. Karena itulah maka Adipati Surodiro masih sangsi dan ragu.

Adipati Surodiro yang dulu bernama Koloyitmo adalah seorang bekas datuk yang sakti mandraguna. Ketika belum lama dia mengangkat diri menjadi Adipati Nusa Kambangan setelah menundukkan semua kepala gerombolan di pulau itu, pada suatu hari dia menemukan keris pusaka Tilam Upih. Peristiwa penemuan itu sendiri amat luar biasa. Pada suatu hari, Adipati Surodiro yang mempunyai kesukaan mengail ikan besar di selat Nusakambangan, mengail di atas perahunya. Dia sengaja mencari ikan besar, maka diapun mempergunakan umpan gading yang msih segar dan besar.

Umpannya itu disambar seekor ikan hiu yang besar. Terjadi pergulatan berjam-jam lamanya antara Adipati Surodiro yang memegang tangkai pancing dan ikan itu yang meronta-ronta dan menarik perahunya sampai jauh. Akan tetapi akhirnya adipati yang gagah ini berhasil membunuh ikan hiu itu dan membawanya pulang.

Dia melihat keanehan pada ikan itu. Ada sesuatu yang mencorong menembus perutnya. Maka dia lalu membelah perut ikan itu dan dia menemukan sebilah keris di dalam perut ikan. Keris itu bukan lain adalah benda pusaka Tilam Upih. Dengan didapatkannya keris pusaka yang ampuhnya menggiriskan itu Adipati Surodiro bagaikan harimau tumbuh sayap. Dia tidak terkalahkan dan kekuasaannya semakin meluas sampai kepesisir selatan. Akan tetapi dia merahasiakan adanya pusaka itu padanya karena dia maklum bahwa pusaka itu milik raja-raja di kediri dan kalau terdengar raja Kediri bahwa Tilam Upih ada padanya, tentu dia akan ditekan untuk menyerahkannya. Bertahun-tahun rahasia itu terpendam, bahkan puterinya dan muridnya sendiripun tidak mengetahuinya.

Ketika tersiar kabar tentang ramalan Sang Prabu Jayabaya bahwa Tilam Upih akan muncul dari Lautan Kidul, Adipati Surodiro menjadi terkejut sekali. Apalagi dia mendengar dari para penyelidiknya bahwa telah banyak berdatangan orang-orang gagah yang hendak mencari keris pusaka Tilam Upih. Dia khawatir sekali kalau-kalau Pulau Nusakambangan menjadi ajang pertandingan karena perebutan pusaka itu dan karena mereka itu adalah orang-orang gagah perkasa dari segenap penjuru, dia khawatir kalau hal itu akan mengacaukan wilayahnya dan membahayakan kedudukannya.

Oleh karena itu dia lalu mengumumkan sebuah sayembara. Diumumkannya bahwa dialah yang telah menemukan keris pusaka Tilam Upih, dan dia hendak mengadakan sayembara, dimulai bulan depan bahwa barang siapa dapat mengalahkan dia dalam sebuah pertandingan adu kesaktian, pemenang itulah yang berhak mendapatkan Tilam Upih.

Sebetulnya dengan mengadakan sayembara ini, Adipati Surodiro mempunyai dua tujuan. Pertama, untuk menjaga agar Nusa Kambangan tidak dijadikan tempat perebutan pusaka itu sehingga melemahkan kedudukannya, juga agar dia tidak dimusuhi oleh Sang Prabu Jayabaya sebagai orang yang memiliki pusaka kerajaan Kediri itu. Tentu akan muncul pemuda-pemuda digdaya dalam sayembara itu, dan siapa tahu, di antara para pemuda itu ada yang akan menarik hati puterinya.

Demikian keadaan Adipati Surodiro. Pada hari itu, Wulansari dan Wijaya pergi berburu dan hampir saja gadis itu mengalami kecelakaan di makan ular besar.

Menjelang senja, kedua oang muda itu baru kembali ke kadipaten, membawa dua ekor kelinci dan seekor kijang. Dua ekor kelinci itu dibawa oleh Wulansari, sedangkan bangkai kijang itu dipanggul Wijaya. Mereka sengaja melalui hutan di dekat pantai, karena walaupun dengan demikian mereka mengambil jalan memutar yang agak lebih jauh, namun perjalanan melalui hutan itu lebih mudah, tidak naik turun seperti kalau melalui hutan di tengah pulau. Pula, pemandangnnya amat indah kalu mengambil jalan melalui hutan di pantai itu.

Tiba-tiba Wulansari yang berjalan di depan berhenti. Wijaya yang berjalan di belakangnya juga berhenti dan pemuda ini merasa heran. Tidak biasanya adik seperguruannya itu mudah merasa lelah dan perlu istirahat.

“Wulan, mengapa berhenti?”

“Kakang, lihatlah di sana itu! Kenalkah engkau kepada mereka?” Wijaya memandang dan melihat lima orang turun dari sebuah perahu hitam yang layarnya telah digulung dan kini mereka berlima menarik perahu itu ke daratan pulau.

“Tidak, aku tidak mengenal mereka. Nampaknya mereka bukan orang kita”. KataWijaya sambil menggeleng kepala.

“Kalau begitu kita harus menegur mereka. Ada keperluan apa mereka datang ke pulau kita. Siapa tahu mereka mempunyai niat buruk.”

“Baik, mari kita turun ke sana.”

Keduanya menuruni lereng itu dan pada saat itu mereka melihat munculnya dua orang penjaga pantai. Agaknya terjadi pertengkaran antara dua orang penjaga itu dengn lima orang pendatang, yang dilanjutkan perkelahian. Wijaya dan Wukansari melihat betapa dalam beberapa gebrakan saja dua orang anak buah itu telah dipukul roboh oleh seorang di antara mereka dan kini lima orang itu menertawakan mereka.

“Mari kita cepat ke sana!” kata Wulansari marah dan mereka berdua segera berlari cepat menuruni lereng dan sebentar saja mereka sudah tiba di pantai itu.

“Ha-ha-ha-ha, kalian berdua belum mengenal siapa kami! Kami adalah Lima Jagoan Kali Serayu! Dan kalian berani mengusir kami? Hayo, majulah lagi kalau berani!” tantang seorang yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam yang tadi merobohkan dua orang penjaga pantai itu.

“Dari mana datangnya buaya muka hitam menjual lagak di tempat ini!” Bentak Wulansari yang sudah tiba ditempat itu.

Si Muka Hitam terkejut mendengar bentakan wanita dan dia segera memutar tubuh memandang, diikuti empat orang temannya. Melihat Wulansari membawa dua ekor kelinci dan seorang pemuda memanggul bangkai kijang, mereka terheran, akan tetapi lalu tertawa bergelak.

“Babo-babo, engkau perawan cilik berani bicara kasar kepadaku? He, bocah ayu. Kami adalah Lima Jagoan Kali Serayu, datang ke pulau ini untuk menyelidiki berita tentang sayembara perebutan Tilam Upih. Dan siapakah engkau, bocah ayu?”

“Manusia-manusia lancang! Sayembara baru diadakan seminggu lagi belum waktunya kalian datang. Dan tidak ada seorangpun dari luar pulau kami. Hayo kalian cepat pergi meninggalkan pulau, kalau tidak, akan kuusir dengan kekerasan!” Kata wulansari galak.

Lima orang itu saling pandang lalu tertawa tergelak. “Ha-ha-ha-ha, bocah ayu manis tapi galak. Siapakah engkau berani bersikap seperti ini di depan kami?” bentak si muka hitam.

“Namaku Wulansari dan aku adalah Puteri Kanjeng Rama Adipati di Nusakambangan!”

Mendengar ini, Lima orang itu berhenti tertawa dan memandang penuh perhatian.

“Puteri Sang Adipati? Pantas, begini galak! Akan tetapi, kamipun buka orang-orang yang boleh sembarangan saja di usir. Bawalah kami menghadap Adipati Surodiro. Kami sudah mengenalnya dan tentu dia akan menerima kami dengan baik.”

“Tidak!” Bentak Wulansari. “Kalian sudah melakukan pelanggaran bahkan memukul roboh dua orang penjaga kami. Pergilah atau aku akan menghajar kalian!”

Kembali lima orang itu tertawa. “Menghajar kami? Ha-ha-ha, ingin sekali kami melihat bagaimana kau akan melakukan itu, bocah ayu!”

Wulansari menjadi marah sekali. Dia melemparkan dua bangkai kelinci itu kepada Wijaya, kemudian melangkah maju menghampiri si muka hitam. Si muka hitam memandang sambil tersenyum dan kedua tangannya bertolak pinggang.

“Engkau mau apa, cah ayu? Mau memukulku? Boleh, boleh! Tentu enak seperti dipijiti. Boleh kau memukul sesuka hatimu, berapa kalipun boleh dan boleh kau pilih bagian yang paling lunak, ha-ha-ha!”

Si muka hitam memang memiliki aji kekebalan, maka dia berani menyombongkan diri. Apalagi yang akan memukul seorang perawan remaja yang ayu manis, tentu tangannya juga lunak halus, memukulpun tentu tidak akan sakit. Maka dia memasang dirinya untuk dipukul, mulutnya yang lebar menyeringai sombong.

“Buaya muka hitam, engkau sendiri yang minta dipukul. Nah, terimalah ini!”

Wulansari mengerahkan tenaganya pada tangannya yang kanan, kemudian diayunnya tangan itu menampar ke arah dada yang lebar dan berotot itu.

“Plakkk..........!!”

Tamparan itu mengenai dada, dan empat orang kawan si muka hitam sudah tertawa-tawa melihat pukulan yang tidak keras itu. Tentu si muka hitam akan menerimanya dengan enak saja. Akan tetapi alangkah heran dan kagetnya hati mereka ketika melihat si muka hitam tiba-tiba menjadi pucat mukanya, mulutnya menyeringai, tangannya menekan dada dan diapun terkulai roboh sambil mengaduh-ngaduh!

Tadinya empat orang kawannya mengira dia hanya main-main dan pura-pura kesakitan saja, akan tetapi ketika melihat si muka hitam memuntahkan darah merah mereka benar-benar kaget dan cepat berlari menghampiri.

Ketika melihat keadaan kawan mereka yang terluka parah, di dadanya nampak warna kebiruan, mereka menjadi marah sekali.

“Berani engkau melukai saudara kami!” bentak mereka dan empat orang itu sudah mencabut golok mereka dari pinggang untuk menyerang Wulansari.

Akan tetapi Wijaya sudah melompat ke depan dan menggunakan bangkai kijang sebagai senjata, mengamuk dan melawan empat orang yang memegang golok. Juga Wulansari tidak tinggal diam, ia menggunakan busurnya untuk mengamuk. Menghadapi amukan Wijaya dan Wulansari empat orang itu terkejut dan kewalahan.

Akhirnya, dengan jerih mereka berempat menarik tangan si muka hitam dan lari ke perahu ke air dan ombak lautan menerima perahu itu dan menghanyutkannya ke tengah.

Wulansari dan Wijaya tidak mengejar, hanya memandang sambil tersenyum gembira sudah dapat mengusir Lima orang kasar itu dari pulau mereka.

Dua orang penjaga pantai itu lalu membawakan kelinci dan kijang mereka dan keduanya lalu kembali ke kadipaten, merasa gembira bahwa hari itu mereka telah memperoleh pengalaman yang amat menarik hati dan menegangkan. Ketika mereka berhadapan dengan Adipati Surodiro, sang adipati tertawa mendengar cerita mereka, biarpun dia sempat khawatir mendengar puterinya terbelit ular besar.

“Ha-ha-ha-, orang-orang tak tahu diri itu! Mereka menganggap kita ini apa? Berani benar mendatangi Nusa Kambangan sebelum hari sayembara yang ditentukan tiba.” katanya, kemudian dia membicarakan urusan sayembara itu dengan puterinya dan muridnya, minta mereka siaga kalau dia minta untuk menandingi seorang peserta sayembara.

“Akan tetapi kami terlalu lemah, kanjeng rama. Bagaimana kalau kami kalah dalam pertandingan itu?” bantah Wulansari.

“Kalau kalian kalah, akulah yang maju. Syarat memenangkan sayembara itu adalah kalau orang dapat mengalahkan aku. Akan tetapi tidak mungkin kalau aku sendiri yang menghadapi mereka semua. Kalian menjadi semacam penguji atau penyaring. Yang benar-benar berkepandaian saja baru dapat berhadapan dengan aku.”

Wulansari dan Wijaya mengerti dan merekapun menyanggupi dengan hati bangga karena mereka memperoleh kesempatan untuk memamerkan kepandaian mereka.

**** 020 ****
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar