Asmara Dibalik Dendam Membara Jilid 19

”Apa yang kaulakukan tadi? Kenapa engkau membawaku ke sini, dan apa yang terjadi denganku?”

“Andika berada dalam pengaruh obat bius dan sihir. Terpaksa aku merampasmu dan membawamu ke tempat ini setelah melarikan diri. Aku merebahkan andika di sini dan dengan pengerahan tenaga batin aku berhasil membersihkan pengaruh sihir dari pikiran andika. Akan tetapi pengaruh racun pembius itu baru dapat lenyap setelah andika tidur.”

Niken mengingat-ingat dan lapat-lapat ia teringat betapa ia tidur di kamar Joko Kolomurti memeluknya dan ia merasa demikian senang dirangkul pemuda itu, akan tetapi ia meronta karena tahu bahwa hal itu tidaklah benar.

“Tidak berbohongkah engkau? Benarkah aku dipengaruhi sihir dan ditipu mereka?”

Akhirnya ia bertanya dengan ragu sambil menatap tajam wajah pemuda yang berdiri di depannya. Wajah itu demikian tampan dan gagah dan baru sekarang Niken menyadarinya. Sepasang mata itu demikian tajam mencorong penuh kekuatan.

“Kata-kat memang kosong dan dapat saja berbohong. Karena itu aku persilakan andika menemui warga dusun. Mereka itu adalah orang-orang dusun yang kehilangan anak mereka. Mereka tidak akan berbohong.”

Niken mengangguk-anggik, merasa bahwa pendapat itu memang benar. Orang-orang dusun adalah orang-orang yang sederhana, dan mereka adalah orang-orang yang kehilangan anak mereka. Mengapa mesti berbohong kalau memang anak mereka hidup bahagia diperguruan Durgomantra?

“Baiklah, aku mau ikut denganmu menemui para warga dusun. Akan tetapi siapakah engkau? Engkau meiliki kepandaian tinggi, mampu menandingi pukulanku. Dari perguruan mana engkau
datang?”

Budhidharma tersenyum. Senang hatinya bahwa dara ini mulai percaya kepada kepadanya. Kalau dia ditemani seotrang gadis seperti ini, tentu dengan mudah dia akan dapat menundukkan perguruan Durgamantra. Ketika dia kemarin mengajak warga dusun mundur, adalah karena adanya gadis ini di pihak lawan.

“Namaku Budhidharma, bukan dari perguruan manapun. Aku datang dari Gunung Kawi dan kebetulan saja lewat daerah ini dan mendengar keluhan para warga dusun yang kehilangan anak mereka, maka aku lalu berusaha turun tangan membantu mereka. Dan andika sendiri, siapakah dan bagaimana dapat berada di tempat seperti itu?”

“Namaku Niken,” ia tidak memberi tahu nama lengkapnya karena khawatir dikenal orang sebagai cucu raja. “Aku sedang melakukan perjalanan merantau dan kebetulan lewat di sini pula. Di sebuah dusun aku terjebak dan tertawan oleh gerombolan penjahat. Akan tetapi aku diselamatkan oleh Joko Kolomurti yang membawaku lari dari sarang gerombolan itu. Karena berterima kasih dan berhutang budi atas pertolongannya yang membebaskan aku dari bencana yang mengerikan, aku lalu memenuhi undangannya untuk berkunjung ke Girimanik. Tentu saja aku menganggap Joko sebagai seorang pemuda yang gagah perkasa dan berbudi baik.”

Budhidharma mengangguk-angguk. Kini dia mengerti mengapa seorang gadis seperti Niken dapat membantu perguruan Durgomantra. Kiranya gadis ini berhutang budi kepada Joko Kolomurti! Dan dia dapat menduga apa yang terjadi. Agaknya gadis ini terancam kehormatannya ketika terjebak gerombolan penjahat dan kebetulan Joko Kolomurti melihatnya dan pemuda itu tentu saja menolong gadis secantik ini agar tidak menjadi mangsa orang lain, melainkan menjadi mangsanya sendiri! Bagaikan seekor harimau yang menolong seekor kambing dari terkaman srigala, mengusir srigala itu kemudian dia sendiri menerkam kambing yang ditolongnya!

“Sekarang mengertilah aku! Niken, aku tidak menyalahkanmu, dan tentu saja engkau menganggap Joko seorang pemuda yang berbudi baik dan pantas dibela. Akan tetapi, berhati-hatilah. Di dunia ini banyak sekali srigala dan harimau berkeliaran memakai kedok domba. Nanti engkau akan mengetahui sendiri orang macam apa sebenarnya pemuda itu dan ayahnya.”

Mereka lalu menuju kesebuah dusun dan disambut oleh warga dusun. Dari mereka inilah Niken mendengar cerita tentang sepak terjang perguruan Durgomantra. Rahasia perguruan itu, perbutan mereka yang penuh kemesuman, terbongkar ketika gadis-gadis yang tidak cantik tidak dapat diterima menjadi murid, dan ada pula gadis-gadis yang tidak dapat dipengaruhi dan berhasil meloloskan diri pulang ke dusun mereka.

Mereka inilah yang menceritakan segala peristiwa yang menyeramkan yang terjadi di Girimanik. Betapa murid-murid wanita diberi minuman dan menjadi liar, kemudia mereka ini harus melayani Wiku Syiwakirana dan Joko Kolomurti sebagai dayang yang bukan lain hanya dijadikan pemuas nafsu biadab mereka. Betapa pesta pemujaan Bathari Durgo itu pada hakekatnya adalah pesta yang penuh kecabulan, di mana para murid pria dan wanita yang sudah minum anggur darah menjadi hamba-hamba nafsu yang mabok dalam kemesuman.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan ngerinya hati Niken mendengar keterangan ini. Bahkan ia masih agak ragu dan tidak percaya sepenuhnya mengingat betapa Joko Kolomurti sudah menolongnya dan bersikap baik dan sopan. Akan tetapi iapun mengerti bahwa agaknya tidak mungkin para warga tani ini berbohong. Kalau memang perguruan Durgomantra merupakan tempat yang baik bagi anak-anak mereka, membuat anak-anak mereka hidup berbahagia, untuk apa mereka itu merasa penasaran dan menghendaki kembalinya anak-anak mereka?

“Mari,sekarang juga kita datangi mereka!” Akhirnya dia berkata penuh semangat. “Kalau benar seperti apa yang kalian ceritakan, aku akan menghancurkan Durgomantra!”

Sekitar limapuluh orang warga dusun itu berbondong-bondong mengikuti Niken dan Budhi mendaki bukit Girimanik. Hari masih pagi sekali, udara masih amat dingin dan Girimanik masih diliputi kabut. Karena hatinya dipenuhi rasa penasaran dan ingin cepat-cepat membuktikan sendiri kebenaran cerita warga dusun, Niken berlari cepat dan hanya Budhi saja yang mampu mendampinginya. Warga dusun itu tertinggal jauh.

Setelah tidak berhasil menangkap Budhi yang melarikan Niken, para anggota Durgomantra terpaksa kembali dan melanjutkan pesta pora mereka. Mereka sudah mabok nafsu, dan mabok minuman yang membuat mereka lupa diri sehingga pagi itu masih banyak di antara mereka yang belum sadar.

Ketika tiba di pintu gerbang perkampungan Durgomantra, Niken dan Budhi melihat bahwa tidak ada seorangpun penjaga yang di situ dan suasananya sunyi sekali, seolah perkampungan itu telah ditinggalkan para penghuninya. Akan tetapi panggung yang didirikan di depan rumah indul itu masih ada dan lampu-lampu gantung masih belum dipadamkan karena kabut membuat cuaca di situ masih gelap remang-remang. Niken masih teringat akan semua yang dialami sebelum ia kehilangan kesadarannya.

Panggung inilah yang dijadikan tempat pesta pemujaan patung Bathari Durgo. Akan tetapi sekarang patung itu sudah tidak nampak. Juga Wiku Syiwakirana dan puteranya, Joko Kolomurti sudah tidak berada di panggung itu membuat Niken membuang muka dan bulu tengkuknya meremang. Ngeri rasa hatinya melihat para murid Durgomantra yang bergelimpangan di situ. Laki-Laki dan perempuan capur aduk tidur malang melintang dengan busana yang tidak karuan, banyak yang hampir telanjang. Ada pula yang masih berpelukan. Pendeknya, jelas nampak bekas-bekas tempat pesta pora penuh kemesuman di panggung itu.

Melihat keadaan Niken, Budhi bertanya, “Andika sudah percaya sekarang, Niken?”

Niken yang wajahnya berubah merah sekali mengangguk. “Sungguh aku tidak mengira sama sekali, Budhi. Mari kita cari wiku jahanam itu!”

Mereka lalu meloncat memasuki rumah dan Niken yang sudah tahu di mana kamar sang wiku, lalu langsung menuju ke sana. Daun pintu kamar itu masih tertutup dan sekali dorong dengan kedua tangannya, daun pintu itu jebol dan mengelurkan suara keras. Dan apa yang dilihatnya di sebelah dalam kamar itu membuat Niken mundur kembali dengan wajah tersipu dan membuang muka. Sang Wiku Syiwakirana rebah dirubung tujuh orang gadis cantik seperti seekor jangkrik dikerumuni semut-semut!

Wiku Syiwakirana yang sudah sadar itu juga kaget bukan main melihat pintu jebol. Apalagi melihat munculnya Niken di depan pintu bersama seorang pemuda yang dikenalnya sebagai pemuda pengacau yang menghasut warga dusun. Dia segera melompat sambil membetulkan letak pakaiannya, lalu menyambar sebatang tombak yang berada di sudut kamar. Tombak itu mengeluarkan sinar dan ujungnya menghitam tanda bahwa senjata itu mengandung racun. Para wanita yang tadinya mengerumuni Wiku Syiwakirana dan melayaninya, menjadi ketakutan dan berkumpul di sudut kamar sambil berjongkok dan tubuh mereka menggigil.

“Wiku jahanam!” Niken membentak sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka ketua Durgomantra itu. “Kiranya benar kata para warga dusun. Engkau seorang yang hina dan busuk!”

Wiku Syiwakirana yang maklum bahwa kedatangan gadis itu tentu tidak membawa niat baik terhadap dirinya, tidak banyak cakap lagi dan dia sudah menggerakkan tombaknya, menyerang dengan dahsyat dan ganasnya. Tombak yang mengandung racun mematikan itu meluncur cepat ke arah dada Niken.

Gadis perkasa ini maklum bahwa lawannya bukan seorang lemah dan serangan itu merupakan serangan maut. Ia sudah menggerakkan tubuhnya mengelak ke kiri dan tombak itu meluncur lewat, ia cepat memutar lengan kanannya untuk menangkis gagang tombak sambil mengerahkan tenaga Hasta Bajra!

“Wuuuuutttt.......!” Wiku Syiwakirana terkejut, merasakan sambaran angin tangkisan lengan itu, dan dia segera menarik kembali tombaknya dan sekali tombak itu meluncur, kini tombak sudah menyerang lagi ke arah perut Niken!

Kini Niken melompat ke luar kamar karena kamar itu tidak cukup luas baginya untuk melawan Wiku Syiwakirana yang bersenjata tombak bergagang panjang. Kesempatan itu dipergunakan Wiku Syiowakirana untuk melompat kesebelah kiri kamar dan tiba-tiba dia lenyap dari dalam itu. Niken terkejut, tak disangkanya ketua Durgomantra itu menggunakan pintu rahasia untuk melarikan diri. Ketika ia hendak memasuki kamar itu kembali, ia mendengar seruan Budhi di belakangnya.

“Niken, awas senjata gelap!”

Akan tetapi Niken cukup waspada. Ia dapat mendengar suara desiran angin pisau-pisau yang meluncur dari dalam kamar ke arahnya itu. Kiranya, tujuh orang gadis dayang atau murid Durgomantra yang tadi melayani sang ketua, telah menggunakan pisau-pisau belati untuk menyerangnya. Dengan berani Niken lalu menggerakkan kedua tangannya dan ia sudah menangkis dan menampari tujuh buah pisau itu sehingga runtuh di atas lantai. Ia tidak lagi memperdulikan tujuh orang gadis yang ia tahu telah terpengaruh sihir ketua Durgomantra dan berlari menuju ke kamar Joko Kolomurti.

“Niken, hati-hati.....!” Dari belakangnya Budhi memperingatkannya.

Seperti juga tadi, Niken mendobrak pintu kamar Joko Kolomurti. Dan tidak ada bedanya dengan keadaan dalam kamar Wiku Syiwakirana, ia melihat Joko Kolomurti yang dianggpnya seorang pemuda yang baik dan bijaksana itu dikerumuni lima orang gadis murid perguruan Durgomantra. Joko Kolomurti terkejut bukan main ketika daun pintu kamarnya roboh dan melihat bahwa yang muncul adalah Niken, dia menjadi ketakutan. Dengan pakaian awut-awutan diapun melompat dan menerjang keluar pintu yang sudah jebol itu. Dia sudah memegang sulingnya dan memutar suling itu untuk menyerang siapa saja yang yang berani menghalangi larinya.

“Jahanam busuk!”

Niken yang sudah marah itu tentu saja tidak mau membiarkan Joko lari dan ia sudah manyambut dengan tamparan tangan kirinya. Joko menangkis dengan sulingnya.

“Krakk!”

Suling itu pecah ketika bertemu dengan tangan Niken dan Joko Kolomurti terhuyung ke samping di mana berdiri Budhi. Melihat Budhi, Joko marah bukan main karena dia menganggap pemuda ini yang menggagalkan segala-galanya. Secepat kilat dia mencabut kerisnya dan menubruk ke arah Budhi dengan tikaman maut!

Namun, dengan tenang saja Budhi mengelak ke samping dan ketika tubrukan itu luput, kakinya mencuat dan sebuah tendangan mengenai dada Joko Kolomurti, membuat pemuda itu terjengkang. Akan tetapi pada saat itu terdengar Niken berseru,

“Budhi, jangan bunuh dia!”

Budhi memutar tubuhnya menghadapi Niken dan memandang heran, sedangkan Joko Kolomurti bergerak untuk bangkit berdiri. Agaknya dia sudah putus asa dan jerih, maklum bahwa dia tidak akan mampu menadingi kedua orang lawan itu, dan berdiri menyeringai kesakitan.

“Joko Kolomurti, jahanam busuk! Mengingat engkau pernah menolongku satu kali, aku mengampunimu untuk sekali ini. Akan tetapi lain kali kalau aku bertemu dengan engkau dan melihat engkau masih berbuat kejahatan, aku akan membunuhmu! Pergilah!” bentak Niken.

Joko Kolomurti cepat melompat dan melarikan diri. Melihat ini, diam-diam Budhi merasa kagum. Sikap Niken itu menunjukkan bahwa gadis itu adalah seorang yang mengenal budi

Pada saat itu terdengar suara gaduh dan ternyata para warga dusun sudah diserang oleh para murid Durgomantra yang dipimpin oleh Wiku Syiwakirana sendiri!

“Budhi, kau bantulah warga dusun biar wiku jahanam itu aku yang menghadapi!” kata Niken yang cepat berkelebat ke arah pertempuran.

Budhi percaya bahwa dara itu akan mampu manandingi sang wiku. Dia lari ke arah pertempuran dan melihat betapa ada beberapa warga dusun yang sudah roboh oleh amukan para pemuda dan gadis murid perguruan Durgomantra yang mengamuk seperti kesetanan itu. Dia lalu menggunakan kecepatan gerakannya berkelebat ke sana sini dan setiap kali menampar, tentu ada seorang lawan yang roboh. Sepak terjangnya itu mengacaukan pihak lawan dan kesempatan itu dipergunakan Budhidarma untuk berseru agar para warga dusun berlindung ke belakangnya.

Setelah para warga dusun itu berdiri di belakangnya. Budhi lalu melompat ke atas panggung dan berseru kepada para murid Durgomantra yang masih kelihatan penasaran dan hendak menyerang lagi.

“Kalian semua dengarlah! Kalian murid-murid Durgomantra telah dibawa ke jalan sesat oleh Wiku Syowakirana! Kalian telah ditekan oleh kekuatan sihir! Kalian dimabokkan oleh minuman beracun! Ingat, diantara para warga dusun ini terdapat ayahmu sendiri! Sudah benarkah seorang anak melawan ayahnya sendiri! Sadarlah, kalian telah dibawa ke jalan sesat!”

Setelah berkata demikian, Budhi lalu mengeluarkan teriakan melengking panjang. Semua orang terkejut mendengar pekik yang melengking-lengking ini. Akan tetapi akibatnya amat hebat. Di antara puluhan orang murid Durgomantra itu, yang tadiinya terpengaruh sihir, mendadak seperi orang disiram air dingin yang membuat mereka sadar! Itulah pekik yang mengendung aji Naga Kroda {Naga Marah}. Pekik yang mengandung kekuatan sakti dan mampu menghancurkan pengaruh sihir. Mereka yang terlepas dari pengaruh sihir itu segera membuang senjata mereka dan berlarian menghampiri orang tua masing-masing.Terjadilah adegan yang mengharukan ketika para pemuda dan gadis yang telah sadar itu merangkul ayah masing-masing dengan tangis.

Akan tetapi di antara mereka terdapat duapuluh orang lebih murid bawaan Wiku Syiwakirana, dan mereka ini memang orang-orang yang sudah memiliki watak yang buruk dan sesat seperti guru mereka. Mereka tidak lagi dipengaruhi sihir melainkan membantu guru mereka dengan suka rela karena mereka setuju dan cocok sekali dengan jalan hidup yang ditempuh gurunya. Mereka inilah yang menjadi marah dan dengan nekat mereka maju untuk menyerang Budhi. Melihat ini, Budhi melayang turun dari panggung dan menghadapi mereka dengan tamparan dan tendangan yang tidak mematikan, namun cukup terasa untuk membuat mereka berpelantingan.

Sementara itu, Wiku Syiwakirana sudah berhadapan dengan Niken. Ketika pintu kamarnya diterjang Niken, dia merasa jerih dan melarikan diri, akan tetapi itu hanya untuk mengumpulkan anak buahnya melakukan pengeroyokan. Betapapun tangguhnya gadis dan pamuda itu, kalau dia maju mengeroyok bersama putera dan para muridnya, tentu mereka berdua akan mampu ditundukkan.

Akan tetapi, betapa terkejutnya mereka ketika dia mendengar Budhi menggunakan aji teriakan melengking yang membuyarkan kekuatan sihirnya. Maklumlah dia bahwa dia menghadapi seorang pemuda yang sakti mandraguna. Setelah sebagian besar muridnya kini tidak lagi mau membelanya dan sudah kembali kepada orang tua masing-masing, dia menjadi jerih dan dia sudah meloncat untuk melarikan diri! Akan tetapi, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu Niken telah berdiri didepannya dengan senyum mengejek.

“Wiku jahanam, dukun lepus! Engkau hendak lari ke mana?” bentak gadis itu dengan marah, tangan kiri betolak pinggang, tangan kanan meraba gagang keris Megantoro, mulutnya tersenyum mengejek dan pandang matanya mencorong menyeramkan hati Wiku Syiwakirana.

Karena tidak melihat jalan untuk melarikan diri lagi, ketua perguruan Durgomantra itu mejadi nekat dan marah.

“Bocah setan! Aku akan membunuhmu!” bentaknya dan tombak di tangannya sudah meluncur ketika dia menyerang dengan hebatnya. Akan tetapi Niken sudah siap siaga. Sekali tangan kanannya bergerak, ia telah mencabut keris pusaka Megantoro dan ia miringkan tubuhnya sambil meliuk ke kanan, kemudian ketika tombak lewat di sisi tubuhnya, ia menggerakkan kaki kanan ke depan disusul kerisnya menghujam ke arah lambung kiri Wiku Syiwakirana.

Akan tetapi kakek itupun memiliki gerakan yang gesit. Dia sudah menarik tombaknya dan menggunakan gagang tombak yang diputar untuk melindungi lambungnya.

“Traggg........!” Keris itu tertangkis gagang tombak yang diputar sedemikian rupa sehingga tombak itu kembali menyambar, sekali ini menyerampang ke dua kaki Niken.

Gadis inipun tidak menjadi gugup. Ia memang memiliki garakan yang lincah dan ringan sekali. Ketika tombak menyerampang kedua kakinya, ia meloncat ke atas sehingga tombak menyambar bawah kakinya dan dengan tubuh melompat ke atas itu, Niken dapat menggerakkan kaki kiri langsung menendang dari udara yang menyambar ke arah leher lawan!

“Ahhhh.......!”

Wiku Syiwakirana terkejut dan terpaksa melempar tubuh ke belakang untuk menghindarkan leher dan dagunya yang disambar kaki kecil mungil namun kuat sekali itu. Dia terpaksa berjungkir balik dan pada saat tubuh Niken sudah turun, tombaknya sudah meluncur lagi menusuk ke arah perut Niken. Ketika gadis itu mengelak, tombaknya menusuk lagi ke arah dada.

“Trang-trang-tranggg......!”

Tiga kali Niken menangkis tusukan-tusukan yang datangnya bertubi-tubi itu. Akan tetapi kali ini agaknya Wiku Syiwakirana sudah mengerahkan seluruh tenaga dan menggunakan jurus Tomara Sewu { Seribu Tombak} sehingga serangannya itu sambung menyambung dan susul menyusul.

Tentu saja menghadapi hujan serangan tombak yang panjang itu. Niken yang hanya mempergunakan senjata keris menjadi kewalahan. Terpaksa ia melompat ke belakang agak jauh tidak terjangkau tombak lawan lalu diam-diam mengerahkan aji Hasta Bajra ke dalam kedua lengannya. Cepat ia menyarungkan kerisnya dan ketika lawan menghambur maju lagi untuk mengirim serangkaian serangan, Niken memukul ke depan dengan dua tangan terbuka mendorong disertai aji Hasta Bajra sambil berteriak nyaring.

“Haiiiiiiiittt...............!”

“Dessss.......!”

Angin yang amat kuat menyambar dan tubuh Wiku Syiwakirana tidak kuat lagi bertahan, jatuh terjengkang dan bergulingan. Dia merasakan dadanya sesak dan sukar bernapas dan pada saat itu, sekali loncat Niken sudah berada dekat dengannya dan gadis itu menyambar tombak yang terlepas dari tangan pemiliknya. Melihat ini, Wiku Syiwakirana menjadi jerih dan diapun bangkit dan lari menuju ke rumah besar yang menjadi tempat tinggalnya.

“Hendak lari ke mana kau?” Niken membentak, tangan kanannya bergerak dan tombak rampasan itu meluncur bagaikan anak panah cepatnya, tak terhindarkan lagi mengenai punggung Wiku Syiwakirana sampai tembus ke dadanya! Akan tetapi tubuh kakek itu masih berlari terhuyung memasuki rumah itu dan baru dia jatuh setelah tiba di ruangan dalam, jatuh menelungkup akan tetapi dadanya tidak sampai menyentuh lantai karena terhalang tombak yang tembus dadanya itu. Tewaslah dia seketika.

Melihat ketua mereka tertembus tombak, sisa anak buah perguruan Durgomantra menjadi ketakutan dan mereka melempar senjata lalu melarikan diri cerai berai. Mereka yang sudah terlukapun berusaha sedapat mungkin untuk melarikan diri. Budhi dan Niken tidak melakukan pengejaran terhadap mereka. Setelah semua anak buah Durgomantra melarikan diri, Budhi dan Niken saling pandang. Pemuda itu ingin sekali melihat bagaimana sepak terjang gadis perkasa ini selanjutnya, maka iapun bertanya,

“Niken, apa yang akan andika lakukan sekarang?”

Niken berpikir sejenak, kemudian menjawab tanpa ragu lagi, “Tempat maksiat dan terkutuk ini harus dibasmi habis, dibumi-hanguskan. Barang-barang berharga yang berada di dalamnya dibagi-bagikan kepada para warga dusun yng telah bersatu kembali dengan anak-anak mereka, selain untuk menebus kerugian mereka lair batin, juga agar taraf kehidupan mereka meningkat. Bagaimana pendapatmu, Budhi? Apakah engkau memiliki rencana lain?”

Budhi tersenyum dan mengangguk. “Sebuah pikiran yang amat bagus dan benar, Niken. Akan tetapi patung itu harus dibakar agar tidak dipuja kembali oleh siapapun, karena pemujaan itulah sumber kemaksiatan ini.”

Niken setuju dan ia sendiri lalu mengukur pembagian barang-barang berharga yang dikeluarkan dari rumah besar itu kepada para warga dusun dan anak mereka. Kemudian, beramai-ramai mereka membakar rumah besar itu. Patung Bathari Durgo dan jenazah Wiku Syiwakirana ikut terbakar.

Ketika warga dusun yang kegirangan itu membawa pulang anak-anak mereka dan barang-barang bagian mereka, Budhi dan Niken telah pergi jauh menuruni bukit Girimanik.

Mereka mempergunakan ilmu berlari cepat menuruni bukit itu dan agaknya Niken sengaja hendak menguji kepandaian Budhi maka iapun berlari seperti terbang cepatnya. Akan tetapi, Budhi dapat selalu mengimbangi kecepatan larinya sehingga diam-diam Niken merasa kagum juga. Jelas bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dibandingkan Joko Kolomurti. Hatinya tertarik, akan tetapi pengalamannya dengan Joko masih menggores kalbunya, membuat ia tidak mudah percaya begitu saja kepada laki-laki yang kelihatan tampan dan gagah.

Mereka berdua yang berlari cepat itu sudah tiba di kaki bukit dan Niken berhenti berlari. Lehernya agak basah oleh keringat, akan tetapi ketika ia memandang kepada Budhi, ternyata pemuda ini sama sekali tidak berkerigat dan pernapasannya biasa saja, tidak seperti ia yang agak terengah.

“Budhi, kenapa engkau mengikuti aku?” tanya Niken dengan suara mengandung kecurigaan. Setelah pengalamannya dengan Joko Kolomurti, ia tidak dapat percaya kepada Budhi begitu saja. Di todong pertanyaan yang tidak disangkanya itu, Budhi tertegun.

“Eh, kenapa? Aku...........tidak mengikutimu,Niken.” jawab Budhi agak gugup.

“Hemm, kalau tidak mengikuti mengapa engkau mendampingiku ketika aku lari meninggalkan Girimanik? Mau apa sebetulnya engkau ini? Katakan saja terus terang!”

Wajah Budhi menjadi agak kemerahan, akan tetapi hatinya merasa penasaran sekali. “Niken, kau sangka aku ini mau apa? Kita sudah bekerja sama menentang perguruan sesat Durgomantra, setelah berhasil dan selesai kita turun bukit berdua. Apa salahnya itu? Agaknya engkau tidak percaya dan curiga kepadaku!”

“Setelah apa yang kualami di Durgomantra, aku tidak dapat mempercayai semua pria dan tidak akan terkecoh lagi oleh penampilan yang baik.”

“Bagus! Memang seharusnya demikian, Niken. Andika seorang wanita muda yang melakukan perjalanan seorang diri. Kalau tidak berhati-hati menjaga diri, dapat dihadapi banyak bahaya. Memang sudah sepantasnya andika mencurigai dan tidak percaya kepadaku, karena kita baru saja saling jumpa dan berkenalan. Akan tetapi sungguh aku tidak bermaksud untuk mengikutimu. Memang perjalananku menuju ke selatan maka aku menuruni lereng bagian selatan ini.”

Niken memandang tajam penuh selidik. Pemuda ini seorang yang digdaya, datang dari Gunung Kawi dan menuju ke selatan! Ke mana lagi tujuan perjalanannya kalau bukan ke Lautan Kidul, apa lagi yang dicarinya kalau bukan keris pusaka Tilam Upih?

“Hemmm, engkau mencari Tilam Upih?” tanyanya dan matanya yang bening itu bersinar tajam menembus seperti hendak menjenguk isi hati dada Budhi.

Budhi terkejut, akan tetapi wajahnya tidak menampakkan perubahan apapun. Pemuda ini memang sudah memiliki batin yang kuat sekali sehingga dia dapat mengendalikan perasaannya. Dia hanya tersenyum memandang wajah dara itu.

“Bagaimana engkau dapat mengetahuinya?”

“Karena engkau pernah menolongku, aku mau memberi tahu kepadamu, Budhi. Tidak perlu kau cari ke mana-mana. Tilam Upih sudah berada di tangan Adipati Surodiro di Nusa Kambangan dan kabarnya Surodiro hendak mengadakan sayembara. Siapa yang mampu mengalahkannya, dialah yang berhak memiliki Tilam Upih. Nah, engkau boleh mencari kesana dan selamat tinggal!” Tanpa menanti jawaban Niken lalu meloncat jauh ke depan dan lari dengan kecepatan terbang.

Budhi mengikuti bayangan dara itu dengan pandang matanya dan dia menghela napas panjang beberapa kali. Seorang dara yang bukan main, pikirnya. Dia harus mengakui bahwa hatinya amat tertarik kepada Niken. Tertarik penuh kekaguman terhadap dara itu. Cantik jelita, gagah perkasa, berani dan baik budi, walaupun terkadang dapat bersikap galak seperti seekor harimau betina. Dia menghela napas beberapa kali lalu melanjutkan perjalanannya. Tilam Upih berada di Nusa Kambangan? Dia percaya bahwa Niken tidak berbohong, maka dipun menujukan langkahnya ke barat karena dia akan berkunjung ke Nusa Kambangan!

**** 019 ****
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar