Asmara Dibalik Dendam Membara Jilid 16

Melihat sikap pemuda itu demikian gembira , sinar matanya mencorong dan mulutnya tersenyum, Niken juga tersenyum dan mengangguk, “Baiklah, aku akan menahan keherananku dan akan melihatnya sendiri malam nanti.”

“Nah, mari kita menghadap ayahku.”

Mereka berdua mempercepat langkah mereka. Arca-arca itu masih berjajar, terus menuju ke atas dan makin lama arca-arca yang berdiri di kanan kiri jalan itu semakin indah ukirannya sehingga bagaikan hidup saja. Dan yang terakhir terdapat selosin arca puteri-puteri cantik jelita berdiri seperti menyambut tamu di depan sebuah bangunan yang megah. Dupa harum menyambut hidung Niken ketika ia tiba di depan pintu gapuro besar depan rumah itu. Di kanan kiri dan belakang rumah megah itu terdapat rumah-rumah lain yang biasa saja, tidak seperti rumah induk yang megah dan indah itu, penuh dengan ukiran-ukiran di atapnya.

Di depan pintu gapuro yang tertutup itu tergantung sebuah kentungan dari bambu yang kecil mungil dan diukir indah. Joko mengambil pemukul kentungan itu lalu memukul kentungan tiga kali, perlahan saja. Terdengar bunyi ketukan yang cukup nyaring dan tak lama kemudian pintu gapuro yang besar itupun dibuka orang dari dalam.

Dan Niken terbelalak kagum, kiranya di sebelah gapuro itu menunjukkan kehidupan yang sibuk dan nampaklah rumah itu benar-benar megah seperti Iatana saja. Di depan rumah itu berdiri belasan orang wanita yang berusia antara Limabelas sampai duapuluh tahun, cantik-cantik manis seperti arca-arca selosin puteri di depan gapuro. Wajah mereka semua berseri dan semyum mereka sungguh manis ketika mereka mengenal siapa yang mengetuk kentungan.

“Ah, kiranya paduka, Raden Joko........”

Belasan orang wanita itu menyambutnya dengan gembira dan hormat sekali, bahkan mengabaikan Niken. Gadis ini tertegun. Raden? Mereka menghormati Joko seolah pemuda itu seorang pangeran saja, atau putera bangsawan tinggi!

Agaknya Joko Kolomurti juga menyadari bahwa para dayang atau pelayan itu sama sekali tidak memperhatikan Niken, maka dia berkata lantang.

“Tenang kalian semua! Cepat laporkan kepada Kanjeng Romo Wiku bahwa aku pulang bersama seorang tamu terhormat, yaitu nona Niken ini.”

Kini belasan orang wanita itu memandang kepada Niken, ada yang menyembah kepada Niken, ada yang mengangguk, akan tetapi pandang mata mereka sama, yaitu mengandung hati yang tidak senang. Hal ini terasa sekali oleh Niken, akan tetapi ia tidak peduli. Ia tidak mempunyai urusan dengan mereka, dan melihat sikap Joko, mereka itu hanylah pelayan-pelayan belaka!

Setelah belasan orang itu memberi hormat dengan sembah kepada Joko, mereka lalu masuk ke dalam rumah setengah berlari. Langkah mereka kecil-kecil dan ringan, tubuh mereka seperti meluncur saja ke dalam. Hanya bunyi gerakan kain mereka saja yang terdengar karena mereka semua kini membisu dan dengan sikap takut dan hormat.

Rumah besar itu nampaknya sunyi dan tenteram setelah para wanita tadi bersikap demikian lincah di depan rumah kini memasuki rumah. Akan tetapi setelah Joko mengajak Niken mendaki anak tangga menuju keserembi depan, ternyata olehnya bahwa rumah ini sama sekali bukan sunyi karena tidak ada orangnya. Kini terlihat olehnya bahwa di setiap depan pintu atau lorong berdiri dua orang pria yang bertugas menjaga, dengan tombak di tangan dan sikap mereka tegak seperti perajurit. Ketika Joko lewat, mereka memberi hormat dengan sembah tangan kiri ke depan dahi. Kalau tidak melakukan gerakan itu, tentu Niken mengira bahwa mereka itupun arca-arca!

“Wah, rumahmu indah sekali, Joko.” Bisik Niken kepada pemuda itu ketika mereka memasuki lorong yang penuh hiasan ukir-ukiran. Batu dan kayu-kayuan semua diukir halus sekali, dan di semua pintu tentu terukir kepala raksasa yang besar dan pintu itu menjadi mulutnya yang ternganga.

“Ini adalah istana Girimanik atau juga pertapaan Girimanik tempat tinggal kanjeng romo. Aku adalah putera tunggal kanjeng romo dan kami tinggal di sini bersama Ibu Dewi.”

Niken tidak sempat bertanya lagi karena pada saat itu, dengan langkahnya yang kecil-kecil dan tak bersuara, telah muncul dua orang pelayan. Mereka menghaturkan sembah kepada Joko lalu berkata,

“Kanjeng Gusti mengutus hamba untuk memberi tahu paduka bahwa beliau menanti paduka dan tamu di dalam ruangan tamu.”

Niken Sasi yang pernah hidup di istana raja sampai berusia sepuluh tahun, tidak merasa asing dengan sikap para pelayan yang demikian hormat kepada seorang pangeran saja. Ia menjadi semakin heran dan ingin sekali mengetahui dan mengenal keluarga yang hidupnya sebagai keluarga raja ini.

“Marilah, Niken. Kanjeng romo telah menanti kita.” kata Joko dan Niken hanya mengangguk dan mengikuti pemuda itu.

Mereka memasuki sebuah ruangan di depannya di jaga oleh dua orang pria penjaga yang memegang penggada besar dan tubuh merekapun tinggi besar seperti raksasa. Ruangan itu luas dan dipenuhi prabot ukir-ukiran indah, digantungi sutera-sutera beraneka warna. Niken melihat lima orang gadis dayang yang cantik duduk bersimpuh dikiri kanan dan di atas sebuah kursi besar duduklah seorang laki-laki yang usianya sekitar enampuluh tahun, akan tetapi masih nampak sehat dan gagah.

Tubuhnya sedang saja, dan mukanya kemerahan, pandang matanya penuh wibawa. Mata itu mencorong ketika dia memandang kepada Niken yang berjalan masuk bersama Joko.

Joko menghadap ayahnya dan menghaturkan sembah, lalu berkata, “Kanjeng Romo, ini adalah Niken yang saya undang sebagai tanu untuk menyaksikan pesta pemujaan nanti malam. Niken ini adalah Kanjeng Romo Wiku Syiwakirana.”

Sebagai seorang muda yang mengenal kesusilaan, Niken juga memberi hormat dengan sembah.Lalu berkata.

“Harap Paman Wiku sudi memaafkan kalau kedatangan saya ini mengganggu.”

“Jagat Dewa Bathara, andika ini seorang dara remaja telah pandai membawa diri dan bersusila. Nini, aku yakin bahwa andika tentu telah memperoleh pelajaran dari seorang guru yang pandai. Bolehkah aku mengetahui siapa guru yang telah menggemblengmu, karena akupun dapat menduga bahwa selain kesusilaan, andika juga telah memiliki aji kedigdayaan.”

Diam-diam Niken terkejut. Pria ini baru melihat saja sudah dapat menduga bahwa ia memiliki kedigdayaan! Iapun tidak ingin menyembunyikan keadaan dirinya, apa lagi kedatangannya ini untuk minta bantuan, yaitu keterangan tentang Tilam Upih. Mungkin nama perguruannya akan menolong pula.

“Paman Wiku, saya adalah murid Gagak Seto di Anjasmoro.”

“Demi para dewata! Tidak meleset dugaanku. Kiranya andika adalah murid Ki Sudibyo ketua Gagak Seto yang gagah perkasa? Joko, bagaimana engkau dapat bertemu dan berkenalan dengan dara perkasa ini?”

“Kanjeng Romo, pertemuan kami kebetulan saja. Saya membantunya ketika Niken dikeroyok oleh orang-orang Jambuka Sakti dan kamipun berkenalan.”

“Hemm, Jambuka Sakti? Selalu saja gerombolan itu membuat onar. Nini, kenapa andika sampai dikeroyok orang-orang Jambuka Sakti ?” tanya Wiku Syiwakirana dengan pandang mata penuh selidik.

“Entahlah paman. Saya tidak merasa pernah bermusuhan dengan mereka.” Kata Niken.

“Mungkin ada hubungannya dengan perjalananmu mencari Tilam Upih, Niken”

“Keris pusaka Tilam Upih.......??” Wiku Syiwakirana bertanya dengan mata terbelalak. Jelas bahwa dia terkejut mendengar gadis itu mencari pusaka Tilam Upih.

“Benar, kanjeng Romo, dan mendengar ia mencari pusaka itu, saya mengundangnya ke sini karena kalau kanjeng romo memperkenankan, saya dapat berita tentang pusaka itu.”

“Sungguh hebat bukan main! Kalau yang datang seorang pendekar kawakan,seorang jagoan terkenal, mencari Tilam Upih, kami tidak akan merasa aneh, Akan tetapi andika, seorang dara remaja, berani melakukan perjalanan jauh dan berbahaya seorang diri untuk mencari keris pusaka yang diperebutkan itu! Eh, nini, untuk apakah andika mencari pusaka itu?”

“Sesungguhnya, saya mencari pusaka Tilam Upih bukan untuk saya pribadi, paman. Saya hanya melaksanakan perintah Bapa Guru.”

“Aha, jadi Ki Sudibyo sendiri yang mengutusmu? Kalau pendekar seperti dia mempercayaimu untuk mencari Tilam Upih, tentu ilmu kepandaianmu sudah hebat sekali!”

“Sesungguhnya, kanjeng romo. Biarpun Niken ini seorang dara, akan tetapi ia sakti mandraguna. Sudah saya saksikan sendiri ketika ia mengamuk dan merobohkan orang-orang Jambuka Sakti.” kata Joko.

Wiku Syiwakirana mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya, menatap wajah Niken, kemudaian melirik ke arah muka puteranya dan tersenyum. Sekali pandang saja tahulah dia membaca isi hati puteranya yang masih menyembunyikan rasa kagum dan tergila-gila kepada gadis perkasa.

“Nah, nini. Setelah andika berada di sini, apa yang ingin andika tanyakan mengenai keris pusaka Tilam Upih?” tanya Wiku Syiwakirana sambil tersenyum.

“Maaf, paman, saya hanya merepotkan paman saja. Sesungguhnya, Bapa Guru mengutus saya untuk mencari Tilam Upih yang kabarnya akan muncul di pantai Lautan Kidul dan akan dijadikan perebutan para pendekar dan orang-orang gagah. Akan tetapi, Bapa Guru tidak dapat memberi tahu di mana pusaka itu akan muncul. Oleh karena itu, saya menjadi bingung dan apabila paman dapat memberi petunjuk tentang di mana adanya pusaka itu, saya akan berterima kasih dan merasa bersyukur sekali.”

“Ha-ha, tentu saja kami dapat memberi petunjuk kepadamu, nini. Keris itu sudah beberapa tahun ini berada di tangan adik seperguruanku sendiri.”

Niken terkejut dan heran. Ia merasa heran mengapa kakek ini mau membuka rahasia kalau pusaka itu berada di tangan adik seperguruan sendiri, dan terkejut karena kalau ia hendak merampas keris pusaka itu dari adik seperguruan sang wiku, berarti iapun akan menjadi musuh sang wiku!

“Tapi...... kalau begitu.......” katanya ragu.

“Ah, ini memang bukan rahasia lagi dan tidak perlu dirahasiakan. Bahkan semua orang sudah mengetahuinya karena Adi Surodiro sendiri sudah mengumumkan bahwa dia membuat sayembara untuk memperebutkan keris pusaka Tialam Upih.”

“Sayembara? Bagaimana itu, paman?”

“Begini, nini. Kebetulan sekali Adi surodiro, yaitu adik seperguruanku yang menjadi adipati, penguasa di Nusa kambangan, beberapa tahun yang lalu mendapatkan keris pusaka Tilam Upih di pesisir Lautan Kidul. Kabarnya dia mendapatkan keris itu di dalam perut seekor ikan hiu yang besar. Ikan itu tertangkap kail dan ketika dibelah, dalam perutnya ditemukan keris pusaka itu. Bertahun-tahun ia merahasiakan penemuannya ini, sampai kemudian tersiar berita bahwa Tilam Upih akan muncul di pantai Lautan Kidul. Karena maklum bahwa berita itu tentu akan mendatangkan banyak pendekar dan ketua perguruan , juga bahwa tentu Kerajaan Kediri akan berusah merampasnya, maka Adi Surodiro ingin agar pusaka itu diperebutkan secara resmi dengan jalan mendirikan sayembara. Yaitu, mereka yang menghendaki keris pusaka itu agar saling mengadu kepandaian lebih dulu. Siapa yang paling unggul, kemudian harus mampu mengalahkan Adi Surodiro yang memegang Keris Tilam Upih, barulah dia akan memiliki pusaka itu.”

Niken menjadi girang sekali. “Ah,ini berita baik sekali. Kalau begiu, saya tidak perlu mencari jauh-jauh. Kapan diadakan sayembara itu dan di mana, paman?”

“Jangan khawatir, Niken. Aku sendiri yang akan mengantarmu ke tempat tinggal Paman Surodiro. Siapa tahu kalau melihat aku dia akan bersikap lunak kepadamu. Waktunya masih sebulan. Tinggallah dulu di sini sampai tiba waktunya dan aku akan mengantarkan engkau ke sana.” kata Joko.

Mendengar ini, tentu saja hati Niken menjadi girang bukan main. Sungguh beruntung ia bertemu dengan pemuda yang demikian baiknya. Tentu saja ia menerima tawaran pemuda itu dan menghaturkan terima kasih kepada Wiku Syiwakirana dan Jokokolomurti.

“Sekarang, harap engkau beristirahat dulu karena aku harus membantu persiapan malam upacara pemujaan malam nanti, Niken.” kata Joko yang lalu menoleh kepada dua orang di antara para dayang yang duduk bersimpuh di situ. “Kalian antarkan nona ini ke kamar tamu yang paling besar di belakang dan layani baik-baik, sediakan segala keperluannya.”

“Baik, Raden. Mari silakan, Mas Ayu......” kata seorang dayang dengan sikap hormat.

Niken lalu membawa buntelan pakaiannya dan mengikuti dua dayang memasuki bagian dalam rumah besar itu.

Niken dibawa ke sebuah di antara banyak kamar di belakang rumah itu dan ternyata kamar yang disediakan untuknya adalah sebuah kamar yang lengkap dan cukup luas.

Dengan ramah dan hormat dua orang pelayan itu melayaninya, menghidangkan makan siang yang cukup lengkap. Niken mencoba untuk mencari keterangan dari mereka tentang keadaan perkumpulan yang dipimpin Wiku Syiwakirana, akan tetapi ternyata para pelayan itu biarpun bersikap ramah dan hormat, amat tertutup.

“Harap maafkan karena kami dilarang keras untuk bicara tentang perkumpulan kami. Yang berhak memberi keterangan hanya Kanjeng Gusti dan puteranya.” Demikian kata mereka dan selanjutnya mereka bungkam. Niken lalu menyuruh mereka pergi karena setelah makan ia ingin beristirahat dulu.

*** 016***
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar