Asmara Dibalik Dendam Membara Jilid 13

Sementara itu, sebelas orang kawannya juga menyeringai gembira dengan pandang mata seolah hendak menelan bulat-bulat seluruh tubuh Niken Sasi. Bahkan ada yang menjulurkan lidah yang meneteskan air liur bagaikan srigala-srigala kelaparan melihat seekor domba yang lunak dan gemuk dagingnya.

Biarpun nada pertanyaan itu tidak sopan, akan tetapi karena orang bertanya, Niken Sasi menjawab juga,dengan suara datar, “Namaku Niken Sasi dan aku hendak pergi ke Lautan Kidul. Siapakah kalian dan mau apa kalian mengepungku? Biarkan aku lewat!”

“Hoa-ha-aha.........!” Si Mata satu yang tinggi besar seperti raksasa itu tertawa, diikuti anak buahnya yang juga terkekeh-kekeh. “Ayu manis dan centil! Kawan-kawan, apakah pantas ia menjadi isteri baruku?”

Semua orang tertawa, “Pantas sekali, kakang Mamangmurko!” kata mereka.

“Wah, jangan-jangan ia ini Kanjeng Ratu Kidul atau hulubalangnya!” tiba-tiba terdengar seorang di antara mereka berseru dan mendengar seruan itu, tiba-tiba saja suara tawa mereka terhenti seperti orang-orang terpijak. Dan semua orang termasuk si mata satu, kini terbelalak mengamati Niken Sasi dengan penuh kecurigaan dan rasa takut.

Niken Sasi maklum apa yang berada dalam benak orang-orang tahyul dan kasar itu. Mereka tentu amat takut kalau-kalau ia penjelmaan Kanjeng Ratu Kidul atau hulubalangnya, maka iapun menggunakan kesempatan itu agar jangan terganggu perjalanannya.

“Aku memang seorang senopati dari Kanjeng Ratu Kidul!” katanya lantang sambil bertolak pinggang. “Aku baru pulang melaksanakan tugasku ke puncak Gunung Kelud dan sekarang hendak kembali ke Lautan Kidul. Hayo cepat kalian sediakan sebuah perahu untuk menyeberangi sungai ini!” Suaranya terdengar lantang berwibawa, sikapnya gagah dan duabelas orang itu surut ke belakang, lalau berbisik-bisik dengan ketakutan.

“Hayo cepat sediakan perahu!” kata si mata satu yang namanya Mamangmurko itu. Dia sudah ketakutan sekali. Siapa yang tidak takut akan kemurkaan Kanjeng Ratu Kidul, Ratu dari Samudera Selatan yang terkenal ganas itu?

Duabelas orang itu lalu berlarian, kemudian menyeret keluar enam buah perahu kecil dari balik semak-semak di tepi sungai. Perahu-perahu itu mereka turunkan ke atas air dan Mamangmurko membungkuk di depan Niken Sasi sambil berkat,

“Silakan Den Roro.......!”

Niken Sasi mengangguk dan tersenyum. Ia tidak merasa janggal mendengar sebutan Raden Roro itu, karena sesungguhnya ia bahkan berhak mendapat panggilan yang lebih mulia lagi. Bukankah ia cucu Sang Prabu Jayabaya di Daha? Ia lalau melangkah ke dalam sebuah perahu dan perahu-perahu itu meluncur menyeberagi Sungai Lesti.

Karena sungai Lesti, anak sungai Brantas itu ketika tiba disitu masih belum besar benar, sebentar saja perahu-perahu itu telah tiba di sebelah selatan sungai dan para anak buah gerombolan itu berloncatan ke daratan. Demikian pun Niken Sasi melangkah keluar dari dalam perahu, mendarat di atas tepi sungai yang berumput.

Akan tetapi pada saat itu, seorang di antara mereka berseru, “kawan-kawan, kita tertipu! Kalau nona ini seorang senopati dari Kerajaan Kidul, mana mungkin ia ikut dengan kita naik perahu? Seorang senopati dari Kerajaan Kidul tentu tidak takut air, apalagi hanya air sungai! Ia ini bukan senopati Kidul, melainkan gadis biasa yang telah membohongi kita.”

Mendengar ini, Niken Sasi melangkah ke depan dan bertolak pinggang. “Hemm, siapa berani mengatakan bahwa aku penipu dan berbohong? Siapa yang tidak percaya bahwa aku senopati Kidul boleh maju dan menguji kesaktianku.”

Orang berteriak tadi kini didorong-dorong temannya. Karena dia tadi meneriakkan bahwa gadis itu bukan senopati Kidul, maka dia pula yang harus mengujinya. Dia seorang pria berusia tigapuluh tahun yang bertubuh kekar, kaki tangannya di lingkari otot-otot seperti tali tambang. Biarpun agak jerih, dia memberanikan diri untuk membuktikan tuduhanya tadi.

“Baik, akau yang akan menguji andika!” katanya dan tanpa menanti jawaban lagi, langsung saja dia menubruk ke depan untuk merangkul dan meringkus dara jelita itu.

“Wuuutt..........brukkk.....!”

Pemuda itu tidak merangkul Niken yang tiba-tiba lenyap dan menubruk tanah. Dia terkejut dan penasaran, melompat bangun membalikkan tubuhnya dan kembali dia menerjang, kembali ingin memeluk. Kembali Niken Sasi mengelak. Melihat temannya berusaha menubruk dan merangkul sedangkan gadis itupun hanya mengelak, teman-temannya menjadi iri dan merekapun serentak bergerak mengejar dan menubruk Niken Sasi, seolah sekawanan anak yang bergembira mengejar-ngejar seekor kelinci!

Kini Niken Sasi menjadi marah. Melihat duabelas orang itu semua berebutan dan berusaha untuk memeluknya, ia pun tidak hanya mengelak melainkan juga menangkis, menampar dan menendang. Dan terdengarlah teriakan-teriakan mengaduh dan tubuh para pengeroyok itu berpelantingan. Mendapat hajaran ini, duabelas orang itu kembali menjadi ketakutan karena kini mereka percaya bahwa dara itu benar-benar sakti. Kalau ia senopati Kidul, celakalah mereka! Maka dipimpin oleh Mamangmurko, mereka semua brelutut dan menyembah-nyembah kepada Niken Sasi.

“Gusti Puteri Senopati, hamba semua mohon ampun.....” kata Mamagmurko dengan bibir berdarah karena tadi dia menerima tamparan tangan kiri Niken Sasi.

Enak saja, tadi menyerang dengan niat buruk, kini minta ampun, pikir Niken Sasi. Kemudian ia teringat. Bekal uang yang diterimanya dari Ki Sudibyo memang cukup banyak, akan tetapi ia melakukan perjalanan jauh dan tidak diketahui kapan berakhir, maka ia membutuhkan banyak uang untuk biaya perjalanan.

“Hayo keluarkan semua uang yang berada di pakaian kalian. Keluarkan semua dan kumpulkan. Awas, jangan menyembunyikan karena aku akan mengetahui dan siapa menipu akan kuseret nyawanya ke Lautan Kidul!”

Tak seorangpun dari mereka berani membantah atau berani menyembunyikan sesuatu dan keluarlah semua milik mereka dari sabuk dan saku mereka, ditumpuk di atas tanah. Dari barng-barang itu, mudah diduga bahwa gerombolan itu adalah perampok karena bermacam barang perhiasan wanita terdapat dalam tumpukan itu, selain uang dan emas.

Niken Sasi lalu membungkus semua harta itu dan memasukkannya ke dalam buntelan pakaiannya.

“Hemm, biarlah sekali ini kalian kuampuni. Akan tetapi mulai sekarang kalian harus menghentikan pekerjaan jahat. Jangan lagi merampok dan mengganggu orang. Awas, kalau kelak kulihat kalian masih berbuat jahat, aku pasti akan mencabut nyawa kalian!”

Setelah berkata demikian, Niken Sasi menggunakan aji Tapak Srikatan dan sekali meloncat ia telah berada di tempat jauh dan segera ia berlari cepat seperti terbang.

Duabelas orang itu memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Akan tetapi, Mamangmurko lalu bangkit brediri, mengepal tinju dan memaki-maki.

“Bojleng-bojleng, jahanam busuk, kita telah tertipu! Bocah setan itu tentu saja bukan senopati Kidul. Karena kerajaan Kidul terkenal kaya raya dan batu-batunya saja emas, bagaimana mungkin ia merampas uang dan perhiasan kita? Kita telah tertipu!” Ia menyumpah-nyumpah.

“Akan tetapi harus diakui bahwa ia sakti mandraguna, kakang Mamagmurko. Kita tidak dapat menandinginya. Gerakannya seperti terbang saja.”

“Dan pukulannya juga ampuh, masih terasa panas bekas tangannya!” kata yang lain.

Mamangmurko menjadi semakin jengkel. “Dasar kita yang sedang sial, bertemu dengan gadis seperti itu. Habislah semua hasil pekerjaan kita selama berbulan-bulan.”

“Akan tetapi kita dapat mencari lagi dan kita tidak perlu takut, karena gadis itu pasti tidak akan mengetahuinya.” kata yang lain.

“Awas saja dara itu! Kalau sekali lagi lewat di sini, aku akan mengerahkan banyak kawan untuk menagkapnya” ancam Mamangmurko dengan geram.

Dan gagallah usaha Niken Sasi untuk memaksa kawanan gerombolan itu untuk mengubah jalan hidup mereka . Mereka kembali menjadi perampok yang ganas. Sementara itu, Niken Sasi melanjutkan perjalannya menuju selatan setelah melewatkan malam di sebuah dusun kecil, pada keesokan harinya tibalah ia di dusun Lodaya yang cukup banyak penghuninya.

Seperti dalam perjalanannya yang sudah dilaluinya, ketika memasuki dusun Lodaya di siang hari itu, Niken Sasi menjadi perhatian banyak orang. Dandanannya memang tidak banyak berbeda dari gadis-gadis dusun lainnya. Akan tetapi kulitnya yang putih kuning, wajahnya yang cantik jelita, dan keberadaanya seorang diri, menarik perhatian orang. Dara secantik jelita itu, yang dari kulitnya, wajahnya dan gerak-geriknya jelas menunjukkan bahwa ia bukan seorang gadis dusun biasa, berkeliaran seorang diri!

Niken Sasi merasa lapar dan ia mencari-cari kedai nasi di dusun itu. Akhirnya ia menemukan beberapa buah warung di dekat pasar yang mulai sunyi dan ia memilih warung terbesar dan memasukinya. Ada beberapa buah bangku panjang di dalam warung, menghadapi meja panjang yang penuh makanan. Terdapat lima orang tamu di kedai nasi itu dan mereka semua pria.

Melihat masuknya seorang dara jelita, lima orang pria yang berusia dari tigapuluh sampai empat puluh tahun itu menengok dan mengikuti gerak-gerik Niken sambil menatap wajah cantik itu penuh kagum.

Penjaga warung itu seorang wanita berusia hampir empatpuluh tahun, masih membekas kecantikan wajahnya dan pakaiannya bersih, wajahnya dibedaki dengan rambut digulung rapi, sikapnya ramah dan agak genit. Melihat munculnya Niken, penjaga warung itupun memandang heran. Biasanya, kalau ada tamu wanita yang memasuki warungnya, tentu tamu wanita itu datang bersama suaminya atau keluarga lain. Belum pernah ada dara apalagi demikian ayunya, datang seorang diri. Makanya ia menyambut dengan ramah dan pandang mata heran.

“Silakan duduk, adik manis. Apa yang dapat kubantu untukmu?”

Niken agak ragu melihat bangku-bangku itu sudah diduduki para tamu pria. Akan tetapi, lima orang tamu itu serentak bangkit berdiri dan dengan suara saur manuk ( burung bersautan ) mereka merpersilakan Niken duduk.

“Mari, duduk di bangku ini, jeng......!” Mulut mereka menyeringai dan pandang mata terpesona.

Akan tetapi Niken Sasi melihat sebuah bangku panjang di sudut yang masih kosong dan iapun memilih bangku itu untuk menjadi tempat duduknya.

“Terima kasih, mbakyu, saya ingin makan. Apakah mbakyu menjual nasi?”

“Oh,ada! Ada nasi gudangan, nasi tumpang, nasi pecel. Tinggal pilih dik.’’ Kata wanita itu.

“Pilih saja nasi gudangan, jeng. Ditanggung enak. Sayurnya dan kenikir, daun bayam, daun pepaya, dicampur daun singkong, kacang panjang dan kecambah, sedap dan gurih bukan main!” kata seorang laki-laki yang kumisnya panjang.

“Ah pilih saja nasi tumpang, jeng!” kata yang lain, yang tubuhnya kurus. “Semua sayur itu disiram sambal tumpang tempe bosok, wah, lezat dan sedap bau jeruk purut, dan selain membuat orang bernafsu besar untuk makan juga melegakan perut!”

“Dan jangan lupa goreng tempenya, jeng!” kata orang ketiga sehingga ramailah keadaan di dalam warung itu.

“Kalau aku pilih nasi pecelnya. Sambelnya kental dan pedasnya cukup, menggoyangkan lidah!” kata orang keempat.

Niken Sasi tersenyum ramah kepada empat orang itu, akan tetapi perhatiannya tertuju kepada pria ke lima yang tadi tidak dilihatnya. Pria ini duduknya di sudut menyendiri dan sejak tadi dia tidak ikut bicara, bahkan menengokpun tidak kepadanya! Juga pria ini masih muda sekali, paling banyak duapuluh tahun usianya, masih seperti bocah yang mentah! Agaknya malu-malu untuk memandang seorang gadis. Entah mengapa, melihat ada seorang pria yang acuh saja kepadanya, melirikpun tidak hati Niken terasa panas seolah pria itu memandang rendah padanya!

“Beri aku nasi pecelnya sepincuk mbakyu, minumnya teh panas manis secangkir.” katanya kepada penjaga warung itu dan melihat betapa empat orang laki-laki itu tersenyum-senyum kepadanya, iapun membalas dengan senyuman manis.

Akan tetapi kembali senyumnya menghilang ketika ia melihat pemuda itu masih membuang muka dan mengacuhkannya. Tentu saja ia tidak ingin diperhatikan laki-laki, akan tetapi diacuhkan seperti itu sungguh membuat perutnya terasa panas. Justeru kalau ada laki-laki yang memperhatikannya, Niken akan acuh saja. Maka kini melihat ada seorang pemuda sama sekali tidak memperdulikan kehadirannya, hal ini amat menarik hati Niken dan ia bahkan yang memperhatikan pemuda itu melalui kerling matanya.

Dia seorang pemuda tampan. Pakaiannya seperti pemuda dusun biasa, akan tetapi keadaan pakaiannya itu sama sekali tidak mampu menyembunyikan keadaan dirinya yang amat berbeda dibandingkan pemuda dusun biasa. Dia memiliki kepribadian yang lain dan luar biasa. Sikapnya acuh dan pendiam, sinar matanya berbeda jauh dari sinar pemuda biasa yang nampak bodoh dan ingin tahu.

Sinar matanya lembut dan dalam, seolah penuh pengertian, dan kadang ada kilatan aneh mencorong dari manik matanya. Dan pemuda ini mempunyai kepribadian yang amat menarik hati Niken Sasi. Anggun dan berwibawa.

Agaknya pemuda itupun baru sajamasuk karena di atas meja di depannya hanya nampak secangkir minuman teh panas. Dan memang benar demikian karena setelah melayani pesanan nasi pecel kepada Niken, sepincuk nasi pecel yang kelihatannya enak, wanita tukang warung itu lalu bertanya kepada pemuda itu.

“Bagaimana, den bagus, apakah andika sudah menentukan pilihan? Andika ingin makan nasi apa?”

Dari sebutan den bagus itu, Niken Sasi dapat menduga bahwa pamuda itu tentulah bukan penduduk Lodaya, dan karena dia pemuda asing dan penampilannya memang mengesankan sebagai seorang yang luar biasa, maka wanita penjaga warung itu menyapanya dengan sebutan den bagus, sebutan yang biasanya ditujukan kepada pemuda putera bangsawan atau setidaknya kepala dusun.

“Aku juga minta nasi pecel sepincuk, mbakyu.” kata pemuda itu setelah mengerling ke arah pincuk yang dipegang Niken Sasi.

Niken Sasi tidak peduli, setelah mencuci tangannya dengan air kendi, iapun mulai makan nasi pecelnya. Dan ternyata memang benar. Nasi pecel itu enak sekali. Nasinya hangat dan pulen, pecelnya juga terasa sedap dan lezat.

Pemuda itu minta tambah sepincuk lagi, akan tetapi Niken Sasi merasa cukup. Setelah makan dan minum, Niken Sasi membayar harga makanan dan minuman, lalu meninggalkan warung. ia melihat pemuda itu masih makan, sama sekali tidak menengok kepadanya!

“Huh, pemuda tinggi hati, angkuh dan sombong. Kau kira dirimu itu siapa!” Niken Sasi memaki dalam hatinya dengan hati panas.

Biarpun Niken Sasi bukan seorang dara yang haus pujian pria, akan tetapi karena baru sekali ini ia melihat seorang pria yang begitu acuh dan memandang rendah kepadanya, hatinya menjadi panas juga. Beberapa kali ia memandang ke arah pemuda itu sebelum meninggalkan warung itu, akan tetapi pemuda itu tetap saja tidak melirik ke arahnya.

Setelah keluar dari warung nasi itu. Niken dengan santai lalu berjalan jalan di dusun itu. Sebuah dusun yang cukup besar dan karena ia sudah semakin mendekati daerah Laut Kidul, maka ia mulai memperhatikan tempat itu untuk melakukan penyelidikan tentang pusaka Tilam Upih yang hilang. Ia mulai mencari tempat untuk bermalam karena ia ingin tinggal di Lodaya selama beberapa hari.

Melihat sebuah rumah sederhana berdiri agak menyendiri di sudut dusun itu, Niken Sasi tertarik dan menghampiri. Rumah itu mempunyai perkarangan yang luas dan dipekarangan itu tumbuh empat batang pohon nyiur yang sudah sarat dengan buah kelapa. Melihat buah kelapa muda yang hijau, Niken menelan ludah, membayangkan kesegaran air dawegan hijau yang tentu akan nikmat sekali diminum di waktu hari sepanas itu.

Akan tetapi sampai lama ia menanti, tidak juga ada orang yang membuka pintu rumah dan keluar dari dalam rumah itu. Ia menjadi tidak sabar setelah menanti lama, lalu dihampirinya dan diketuknya daun pintu itu.

“Tok-tok-tok........kulonuwon.......!”

Setelah beberapa kali mengetuk pintu dan mengucapkan salam tanpa ada jawaban, Niken menduga bahwa rumah itu agaknya kosong. Dan keinginannya minum dawegan [kelapa muda] hijau sudah begitu mendesak dan membuat kerongkongannya terasa haus sekali.

Ia kembali ke pekarangan dan setelah beberapa lamanya berdongak memandangi buah kelapa muda itu, memilih-milih, ia lalu mengambil sebuah batu sebesar kepalan tangan dan sekali membuat gerakan dengan tangannya, batu itu menyambar ke atas dengan kecepatan yang tidak dapat diikuti oleh pandangan mata.

“Wuuuutt........takk!” batu itu jatuh lagi bersama sebutir buah kelapa yang dibidik oleh Niken. Batu itu ternyata tepat mengenai gagang kelapa muda itu tanpa mengganggu butiran kelapa yang lain.

Dengan gembira Niken mengambil dawegan hijau itu. Akan tetapi pada saat itu terdengar seruan seorang wanita,

“Siapa berani mencuri dawegan kami?”

Tentu saja Niken terkejut bukan main sehingga hampir saja kelapa muda itu terlepas dari tangannya. Ia menengok ke belakang dan sama terkejutnya dengan wanita itu, yang kini memandangnya dengan mata terbelalak.

“Nimas ayu Niken......!”

“Jinten, andika Jinten......? Bagaimana dapat berada di sini, Jinten?” kata Niken yang mengenal pelayan yang biasa membantunya melayani gurunya itu.

Mereka saling berpegang tangan. “Nah, panjang ceritanya, Nimas Ayu. Mari masuk ke dalam rumah dan kita bicara. Ini adalah rumah saya, di mana saya hidup bersama seorang paman saya.”

Baiklah, dan.....eh, dawegan ini, maafkan.....” Tentu saja Niken merasa canggung dan malu.

“Bawa saja ke dalam, Nimas Ayu. Andika ingin minum dawegan? Nanti kukupaskan, memang segar sekali minum air dawegan di siang hari begini. Dan dawegan hijau kami manis sekali.”

Dengan ramah Jinten mengajak Niken memasuki rumahnhya, sebuah rumah sederhana. Mereka lalu duduk di sebuah balai-balai dan Jinten mengupas dawegan itu. Benar saja, air dawegan itu manis dan segar, juga daging dawegannya lezat sekali.

“Nah, ceritakan bagaimana tiba-tiba aku dapat bertemu denganmu di sini, Jinten? Kapan engkau meninggalkan Gagak Seto, dan kenapa engkau pergi dari sana?”

“Nimas ayu, setelah andika pergi, saya merasa kesepian sekali dan menjadi tidak kerasan lagi. Kebetulan paman saya datang berkunjung menengokku, maka saya lalu mengambil keputusan untuk pulang ke dusun, ikut paman saya. Sehari setelah andika pergi, saya pergi dari sana dan saya langsung menuju dusun Lodaya ini.”

“Ah, pantas saja engkau dapat datang lebih dulu di sini dari pada aku. Aku mengambil jalan berkeliling dan sering berhenti di suatu tempat.”

“Nimas ayu, andika hendak pergi ke manakah?”

“Aku hendak pergi ke pantai Lutan Kidul , Jinten.”

“Wah, masih jauh sekali, nimas. Dan matahari sudah condong ke barat. Panasnya seperti membakar. Karena kita kebetulan bertemu di sini, saya harap andika suka melewatkan malam di sini dan baru besok pagi-pagi melanjutkan perjalanan.”

“Hem, aku hanya akan merepotkanmu saja, jinten.”

“Ah, tidak, nimas ayu! Kita telah tinggal serumah selam bertahun-tahun dan sekarang tidak mungkin saya melepas andika begitu saja. Tinggallah di sini semalam, Nimas ayu dan nanti saya perkenalkan kepada pamanku, Paman Kartiko.”

Karena iapun tidak tergesa-gesa, akhirnya Niken merasa tidak enak untuk menolak dan iapun tinggal di rumah Jinten itu. Tak lama kemudian, seorang laki-laki berusia empatpuluh tahunan yang berpakaian seperti petani datang dan Jinten cepat memperkenalkan laki-laki itu kepada Niken sebagai pamannya.

Kartiko, paman Jinten itu, bersikap hormat kepada Niken dan tak lama hadir di situ, cepat keluar lagi sehingga Niken merasa enak dan betah karena di rumah itu hanya ada ia dan Jinten. Bahkan ketika Jinten masak-masak, menyembelih ayam kemudian menghidangkan makan malam di ruangan tengah, sang paman tidak juga kelihatan. Untuk basa-basi Niken menanyakan kepada Jinten.

“Ke mana pamanmu, Jinten? Kenapa tidak diminta makan malam bersama?”

“Ah, pamanku adalah seorang dusun yang sederhana dan pemalu, nimas ayu! Silakan makan dulu, biar paman Kartiko tidak mungkin akan mau makan bersama andika. Mari, silakan.” dengan ramah dan akrab Jinten melayani Niken makan.

“Jinten, engkau sekarang bukanlah pelayanku lagi. Engkau bahkan kini menjadi nona rumah dan aku tamunya, karena itu janganlah melayani aku seperti seorang pelayan. Mari kita sama-sama makan. Aku terpaksa menolak kalau engkau tidak mau menemaniku makan bersama.”

Jinten menarik napas panjang. “Ahh, nimas ayu. Sebetulnya ingin sekali saya melayani andika makan, akan tetapi kalau andika memaksa, baiklah saya temani andika makan.”

Jinten lalu mengambil nasi dan lauk pauk untuk dirinya sendiri dan setelah melihat Jinten makan, baru legalah hati Niken Sasi. Tentu saja ia percaya kepada Jinten yang sudah bertahun-tahun hidup dengannya di Gagak Seto. Akan tetapi sekarang mereka bukan berada di perkumpulan itu lagi dan Jinten bukan apa-apa. Oleh karena itu, biar tidak menaruh curiga, ia harus waspada.

Jinten memang pandai memasak. Hidangan yang disugukan itu lezat dan biarpun Jinten belum merasa lapar benar, Iapun makan agak banyak. Akan tetapi, tiba-tiba ia merasa kepalanya pening, pandang matanya berputar, seluruh ruangan di depannya seperti bergoyang-goyang. Biarpun ia belum pernah keracunan, akan tetapi pernah ia mendengar dari gurunya tentang makanan yang mengandung racun, yang membuat orang terbius dan tak sadarkan diri. Ia terkejut. Apakah Jinten sengaja memberinya makanan beracun? Ia cepat menoleh kepada Jinten, akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat gadis pelayan itu sudah terkulai di atas tikar, agaknya tertidur atau pingsan!

“Celaka........!”

Ia cepat bangkit dan meloncat, akan tetapi kepalanya terasa berat sekali dan semakin pusing sehingga ia terpelanting roboh di atas lantai. Pada saat itu terdengar suara tawa yang lantang dan menyeramkan dan muncul belasan orang laki-laki dalam ruangan itu.

Niken Sasi terkejut sekali, juga marah. Tahulah ia bahwa ia telah masuk perangkap. Entah bagimana makanan itu mengandung racun, akan tetapi pasti bukan jinten yang melakukannya karena wanita itupun terkulai pingsan keracunan. Ia mencoba untuk mengerahkan tenaganya dan bersiap siaga untuk melakukan perlawanan akan tetapi kepeningan kepalanya tidak dapat ditahan lagi dan iapun terpelanting dan terkulai tak sadarkan diri.

“Cepat, ikat kaki tangannya!” terdengar seorang di antara mereka berseru dan anak buahnya lalu mengikat kaki tangan Niken Sasi.

Sementara itu Jinten sudah bergerak dan ternyata ia tidak pingsan seperti yang diduga Niken Sasi. Kemudian, limabelas orang laki-laki itu memanggul tubuh Niken Sasi, di bawa pergi meninggalkan dusun Lodaya tanpa ada orang lain mengetahui karena memang rumah itu berdiri terpencil di sudut dusun.

Seperti kita ketahui, Jinten telah menjadi tangan kanan Klabangkoro. Ia pula yang memata-matai Ki Sudibyo ketika bercakap-cakap dengan Niken Sasi dan membuka rahasia Ki Sudibyo yang hendak mengangkat Niken Sasi menjadi ketua dan mengutus murid itu mencari pusaka Tilam Upih.

Setelah Klabangkoro dan Mayangmurko menyusun siasat bersama Ki Brotokeling ketua Jambuka Sakti, Jinten lalu mendapatkan tugas penting, yaitu menghadang perjalanan Niken Sasi. Hal ini mudah dilakukan karena memang sejak berangkat dari Anjasmoro, perjalanan dara itu selalu dibayangi oleh orang-orang yang menjadi anak buah Klabangkoro dan juga Brotokeling.

Siasat pertama, yaitu menonjolkan Gajahpuro agar dapat mendekati dan menemani Niken Sasi dengan membantu gadis itu dari pengeroyokan segerombolan orang, ternyata telah gagal. Niken Sasi tidak mau ditemani pemuda itu sehingga sukar diharapkan Niken akan jatuh hati kepada Gajahpuro. Apalagi pemuda putera Klabangkoro ini memiliki watak yang berbeda dengan ayahnya. Pemuda itu pasti akan menolak kalau mengetahui akan siasat yang diatur ayahnya untuk menjebak Niken Sasi. Dia memang mencintai Niken, akan tetapi cintanya tulus, bukan cinta nafsu yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh orang yang dicintanya.

Setelah siasat pertama gagal kini Klabangkoro melakukan siasat kedua, yaitu menagkap Niken Sasi. Hal ini dilakukan hati-hati dan dengan jebakan. Jinten disuruh maju untuk menjebak Niken Sasi karena mereka sudah tahu bahwa Niken Sasi benar-benar telah menjadi seorang dara yang sakti mandraguna. Dengan menggunakan racun pembius yang amat kuat, akhirnya Niken Sasi dapat dibuat tak sadarkan diri dan tidak berdaya.

Setelah berhasil menjalankan perannya menjebak Niken Sasi yang sudah berhasil dibawa oleh gerombolan Jambuka Sakti seperti direncanakan, Jinten lalu berkata kepada Kartiko yang sebenarnya adalah seorang pembantu, bukan pamannya.

“Paman Kartiko, engkau jagalah di sini. Aku akan pergi melapor kepada kakang Klabangkoro!”

Gadis yang sudah diangkat menjadi selir oleh Klabangkoro itu lalu pergi meninggalkan rumah yang terpencil itu. Klabangkoro dan anak buahnya juga berada di dusun Lodaya untuk mengatur siasat. Mereka bertempat tinggal di sebuah rumah besar yang mereka sewa untuk keparluan itu.

Ketika mendengar laporan Jinten bahwa Niken Sasi tekah dapat ditangkap, Klabangkoro menjadi gembira bukan main. Dia merangkul Jinten dan menciuminya sambil memuji-muji. Setelah itu dia lalu memanggil Gajahpuro yang baru pagi tadi memasuki dusun dan bertemu dengan rombongan ayahnya. Klabangkoro mengaku kepada puteranya bahwa dia dan rombongannya pergi meninggalkan Anjasmoro untuk tugas yang akan dibicarakannya dengan puteranya kelak kalau sudah berhasil.

“Gajahpuro, sekaranglah saatnya aku memberitahukan kepadamu tugas apa yang sedang kulakukan dan kuharap engkau dapat menyetujuinya dan membantu usaha bapamu.”

“Urusan apakah itu, ayah?” tanya pemuda itu yang merasa heran melihat sikap ayahnya yang bersungguh-sungguh mengajaknya bercakap-cakap berdua saja dalam ruangan itu.

“Begini, sebelumnya aku hendak bertanya kepadamu dan harus kaujawab dengan sejujurnya. Pertama, apakah engkau mencintai Niken Sasi dan engaku akan merasa bahagia sekali kalau dapat menjadi suaminya?”

Wajah pemuda itu berubah kemerahan, akan tetapi dia menjawab tegas, “Bapa tentu tidak khilaf dan telah mengetahui bahwa sejak dahulu saya amat mencintai Niken Sasi dan tentu saja saya akan merasa berbahagia sekali kalau dapat menjadi suaminya. Akan tetapi mengapa bapa menanyakan hal ini?”

“Nanti saja penjelasannya. Sekarang pertanyaan kedua : Apakah engkau suka kalau dapat menguasai aji Hasta Bajra yaitu aji yang dikuasai oleh para pimpinan Gagak Seto, kemudian menjadi ketua Gagak Seto menggantikan Bapa Guru Sudibyo?”

Pertanyaan itu hanya mempunyai satu jawaban. Setiap orang murid Gagak seto pasti menginginkannya.

“Tentu saja bapa. Saya akan senang sekali kalau dapat mewarisi aji Hasta Bajra dan dapat menjadi ketua Gagak Seto.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar