Asmara Dibalik Dendam Membara Jilid 11

Sang Maha Prabu Jayabaya{1135-1157} adalah raja Daha atau Kediri dan dijamannya inilah Jenggala menjadi satu kembali dengan Kediri seperti di jaman Sang Prabu Airlangga, sebelum kerajaan itu dipecah menjadi dua, yaitu Jenggala dan Panjalu atau Kediri{Daha}. Sang Prabu Jayabaya memiliki gelar yang panjang, yaitu lengkapnya : Sang Maha Panji Jayabhaya Sri Dareswa ra Madhusudanawataraninidita Suhertsingha! Akan tetapi nama besar Sang Prabu Jayabaya amat terkenal karena beliau amat pandai mempergunakan tenaga orang-orang bijaksana dan para ahli diundang dan diberi kedudukan penting. Tidaklah mengherankan kalau negara berada dalam keadaan tenteram dan rakyatpun hidup penuh kebahagiaan dalam suasana tenteram dan damai.

Sang Prabu Jayabaya sediri seorang ahli sastra yang amat bijaksana dan sakti mandraguna. Namun tiada henti-hentinya dia memperdalam pengetahuan dalam berbagai ilmu dan dikabarkan orang bahwa beliau adalah seorang pujangga yang sidik paningal dan tahu sebelum terjadi. Namun, tentu saja sebagai seorang yang sidikpaningal, yang dikabarkan sebagai titisan Sang Hyang Wishnu, Sang Prabu Jayabaya tidak mau mendahului kebendak para dewata dan tidak berani pula membuka rahasia alam dengan menceritakan apa yang akan terjadi secara terang-terangan. Diapun cukup bijaksana untuk menerima apapun yang terjadi, baik maupun buruk, memang sudah digariskan oleh dewata, karenanya, mengubah atau menghalanginya akan merupakan dosa besar sekali.

Pada suatu hari, Sang Prabu Jayabaya mengundang semua nayaka praja, para senopati dan para penasehat. Di antara mereka terdapat Empu Sedah dan Empu Panuluh, dua orang empu yang amat terkenal karena mereka telah membuahkan hasil karya besar. Cerita terkenal “Bharatayudha” adalah hasil tulisan kedua orang empu ini. Memang, kisah wayang purwo Mahabarata berasal dari India dan penulisan kedua orang empu itu bersumber dari cerita dari India itu, akan tetapi hasil tulisan mereka bukan hanya sekedar menyadur cerita India melainkan disesuaikan dengan keadaan dan kebudayaan rakyat sehingga tidak berbau asing.

Penulisan Bharatayudha terpengaruh oleh keadaan di dalam negeri. Telah terjadi perang saudara antara Daha dan Jenggala yang berakhir dengan menyatunya kedua negara bersaudara ini dan demikian pula cerita Bharatayudha. Terjadi perang saudara antara kaum Kurawa dan Pendawa yang berakhir dengan kemenangan pihak Pendawa. Persidangan yang diadakan Sang Prabu Jayabaya ini ada kaitannya dengan hasil karya besar itu, yiitu untuk merayakannya. Di samping itu juga membicarakan keadaan dalam negeri, terutama di bidang keamanan dan juga tentang keris pusaka Tilam Upih yang sedang dicari, bukan saja oleh pihak kerajaan, melainkan oleh semua orang gagah yang seolah hendak memperebutkannya.

Sang Prabu Jayabaya menugaskan seorang senopati yang terkenal gagah perkasa, yaitu Lembudigdo, untuk mencari keris pusaka Tilam Upih.

“Senopati Lembudigdo, engkau kami beri tugas ganda. Ada berita bahwa di pulau-pulau selatan ada gerakan-gerakan yang sifatnya menntang kerajaan Daha. Terutama sekali kerajaan baru di Nusa Kamabangan. Nah, menjadi tugasmu untuk melakukan penyelidikan dan kalau memang benar demikian, jangan ragu lagi, perintahkan mereka untuk tunduk dan kalau mereka membangkang, terpaksa harus dipergunakan kekerasan. Akan tetapi, jaga sedemikian rupa agar jangan sampai jatuh banyak korban. Cukup untuk memberi pelajaran agar mereka menaluk sebelum banyak yang tewas.”

“Hamba siap,”

“ada sebuah tugas lagi yang tidak kalah pentingnya, Lembudigdo. Selain menyelidiki keadaan para gerombolan di pulau-pulau selatan itu, juga selidikilah kalau-kalau keris pusaka Tilam Upih sudah muncul. Andika harus dapat merampas keris pusaka itu dari tangan siapapun, karena keris pusaka itu adalah keris kerajaan dan akan menimbulkan malapetaka kalau terjatuh ke tangan orang jahat yang tidak berhak.”

“Hamba siap melaksanakan perintah!” kata senopati itu dengan suara tegas dan sikap yang tegap gagah.

Sang Prabu Jayabaya tersenyum menyaksikan sikap panglimanya.

“Lembudigdo, apakah andika telah mengetahui bagaimana bentuk dan macamnya Tilam Upih?”

Ditanya demikian, senopati itu gelagapan. Memang, bermimpipun belum pernah dia melihat keris pusaka itu. Dia menyembah dan menjawab gugup,

Hamba.......ini.....ini.....hamba belum mengetahuinya. Mohon beribu ampun, gusti........”

“Ha-ha-ha, belum pernah melihatnya bukan merupakan kesalahan yang perlu diampuni, Lembudigdo. Kami sendiripun belum pernah melihatnya karena keris pusaka itu lenyap pada jaman eyang Prabu Rake Halu Shri Lokeshwara Dharmawangsha Airlangga Anantawikrama Tunggadewa. Akan tetapi, kami kira para pinisepuh yang hadir dalam persidangan ini tentu ada yang mengetahuinya. Kami kira Kakang Empu Sedah dapat menerangkannya.” Sang Prabu Jayabaya menoleh kepada Empu Sedah dengan sinar mata bertanya.

Empu Sedah memang lebih tua dari pada Sang Prabu Jayabaya. Usianya sudah empatpuluh lima tahun, sepuluh tahun lebih tua dibandingkan junjungannya itu. Dan sebagai seorang empu dan pujangga, pengetahuannya luas. Dia menghaturkan sembah lalu berkata.

“Sesungguhnya, Kanjeng Gusti.Hamba pernah mendengar penggambaran tentang Kyai Tilam Upih. Ciri-cirinya pusaka itui berlekuk tiga, kembang kacang, sogokan Srawean, Heri pandan, Greneng Pada gigir pusaka bagian atas berpamao perak mencorong dan itulah bagian yang baik dari pusaka itu. Akan tetapi bagian bawahnya berpamor hitam dan bagian ini ganas bukan main, lagi ampuh.”

“Nah, andika telah mendengar jelas. Senopati Lembudigdo? Keris bentuk dan macam itulah yang harus kau temukan.”

Senopati itu menyembah. “Hamba telah mengetahuinya dengan jelas, Kanjeng Gusti. Semoga dengan restu paduka hamba akan berhasil menemukan pusaka itu.”

Tiba-tiba Empu Panuluh yang berusia limapuluh tahun itu menghaturkan sembah.

“Beribu ampun hamba berani menghaturkan suatu peringatan, Gusti.”

“Empu Pnuluh, setiap peringatan merupakan sesuatu yang amat berharga dan patut dibalas dengan ucapan syukur dan terima kasih. Katakanlah, peringatan apa yang ingin andika sampaikan kepada kami?”

“Ampun, Gusti. Sejak jaman dahulu setiap pusaka yang ampuh dan baik selalu mendatangkan berkah dan anugerah kepada siapa yang memilikinya, sebaliknya, setiap pusaka yang ampuh dan mengandung hawa yang jahat akan mendatangkan malapetaka bagi pemiliknya. Kyai Tilam Upih memang pusaka ampuh dan juga telah ditangani oleh mendiang Gusti Prabu Airlangga sendiri sehingga mengandung kebaikan, namun sayang pusaka itu memang pada awalnya sudah memiliki kandungan hawa yang tidak baik. Oleh karena itu, tentu akan mendatangkan malapetaka yang tidak diinginkan kepada pemiliknya.”

Sang Prabu Jayabaya mengangguk-angguk. “Benar ucapanmu, Empu Panuluh. Dan kalau menurut perhitunganmu, malapetaka apakah yang dapat didatangkan Tilam Upih kalau berada di tangan kami?”

“Ampun hamba, Gusti. Hamba tidak berani mendahului kehendak Hyang Widhi, akan tetapi biasanya, keris pusaka yang berhawa hitam itu pasti akan membawa korban di antara keluarga pemiliknya.”

Kembali Sang Prabu Jayabaya mengangguk-angguk. “Jagat Dewa Bathara! Segala kehendak Hyang Widhi Wasa pasti akan terlaksana tanpa ada kekuasaan apapun yang sanggup mengubahnya. Empu Panuluh, andika pasti memaklumi pula bahwa siapapun orangnya, kalau dia sudah dipilih untuk menjadi korban Sang Hyang Syiwa, maka orang itu memang sudah digariskan sesuai dengan karmanya sendiri. Oleh karena itu, tidak ada penyesalan apapun.”

“Hamba tidak dapat lain kecuali menyetujui sabda paduka yang bijaksana dan mulia.” Empu Panuluh menghaturkan sembah.

Pada saat itu, seorang pria muda berusia tigapuluh tahun, berwajah tampan, menghaturkan sembah.

“Kanjeng Rama, hamba menghaturkan sembah dan perkenankan hamba mengajukan usul hamba.”

Sang Prabu Jayabaya memandang dan tersenyum. Yang bicara ini adalah Pangeran Arya Iswara, yaitu pangeran mahkota atau calon pengganti kedudukan raja Kediri kalau Sang Prabu Jayabaya sudah mengundurkan diri.

“Puterada pangeran, di dalam persidangan, hak bicara menyatakan pendapat adalah hak setiap orang yang hadir. Kalau andika memiliki pendapat dan usul, cepat katakan karena setiap pendapat tentu ada manfaatnya bagi sidang.” kata Sang Prabu sambil tersenyum memberi semangat.

Kembali pangeran yang tampan itu menghaturkan sembah, lalu berkata, “Kanjeng Rama, pusaka Tilam Upih adalah pusaka keraton, berarti ada hubungan erat dengan keluarga kerajaan sehingga sudah semestinyalah kalau keluarga kerajaan sendiri turun tangan dalam usaha menemukan karena menjadi kebutuhan pribadi keluarga. Tentu saja paduka tidak mungkin dapat meninggalkan tahta hanya untuk mencari pusaka itu, akan tetapi hamba dapat mewakili paduka untuk mencari dan menemukannya. Sudah menjadi kewajiban hamba pribadi kiranya untuk menemukan pusaka keluarga kita itu, Kanjeng Rama. Hamba akan menemani Paman Lembudigdo mencari pusaka Tilam Upih, yaitu apabila paduka mengijinkan.”

Semua orang yang hadir menganguk-angguk setuju dan kagum kepada pangeran ini. Tidak seperti pangeran kerajaan kebanyakan yang hanya suka pergi berburu dan bersenang-senang saja, pangeran Arya Iswara ini terkenal sebagai seorang pemuda yang rajin dan gemar belajar bukan hanya mempelajari kesusasteraan dan kesenian, akan tetapi juga ulah keperajuritan sehingga dia terkenal sebagai seorang muda yang digdaya dan sakti mandraguna seperti ayahnya.

Akan tetapi sebelum Sang Parabu Jayabaya menaggapi usul ini, tiba-tiba terdengar suara orang terbatuk-batuk. Orang itu adalah seorang pria yang usianya sekitar enampuluh tahun, wajahnya mirip wajah Sang Prabu Jayabaya, tubuhnya sedang namun tegap dan sinar matanya mencorong. Dia ini memang seorang pangeran, kakak tiri Sang Prabu Jayabaya, yaitu seorang pangeran dari selir. Namanya adalah Pangeran Wijayanto atau lebih terkenal dengan sebutan Pangeran Sepuh, karena hanya dia seoranglah pangeran Kakak Sang Prabu yang masih hidup.

Sang Prabu Jayabaya menoleh kepadanya dan bertanya ramah. “Andika kenapakah, kanda pangeran?”

“Uugh-ugh-ugh.......maafkan hamba, yayi prabu. Mendengar ucapan angger Pangeran Arya Iswara tadi, hamba merasa amat bangga dan juga terharu sekali sehingga hamba terbatuk-batuk. Akan tetapi sebelum paduka menjatuhkan keputusan, hamba kira ada baiknya kalau hamba mohon paduka mempertimbangkannya masak-masak lebih dulu. Angger Pangeran Arya Iswara adalah seorang pangeran pati seorang putera mahkota yang kelak akan menggantikan kedudukan paduka sebagai raja Kediri. Dia adalah seorang yang teramat penting. Oleh karena itu, sungguh berbahaya sekali kalau paduka memperkenankannya pergi mencari Tilam Upih. Kita semua tahu bahwa keris pusaka itu kini dikejar dan diperebutkan orang-orang gagah senusantara, sehingga bahaya besar akan mengancam diri Angger Pangeran Arya Iswara. Masih kurangkah para senopati dan juga pangeran lain di kerajaan Kediri maka menugaskan pekerjaan berbahaya itu kepada seorang pangeran pati? Hamba kira Pangeran Panjiluwih cukup pantas untuk mewakili kakaknya sang pangeran pati untuk pergi mencari keris pusaka itu bersama para senopati. Demikianlah pendapat hamba, adinda prabu!”

“Hamba siap melaksanakan perintah paduka. Kanjeng Rama. Tidak perlu Kakanda Pangeran Mahkota yang pergi, hamba sanggup mencari pusaka itu sampai dapat!” kata Pangeran Panjiluwih, seorang pangeran berusia duapuluh lima tahun yang bertubuh tinggi besar dan gagah perkasa, dengan kumis yang tebal melingkap di kanan kiri hidungnya, bagaikan Sang Arya Gatutkaca!

Sang Parabu Jayabaya menganguk-angguk sambil tersenyum tenang.

“Sungguh bijaksana sekali pendapat kanda Pangeran Sepuh, dan agaknya sudah bulat tekadmu untuk mewakili ramandamu, Panjiluwih. Baiklah, kami perkenankan Pangeran Panjiluwih untuk menemani Senopati Lembudigdo mencari keris pusaka Tilam Upih. Dan andika, Arya Iswara, andika jangan pergi, biarkan andindamu yang mewakilimu.”

“Hamba menaati perintah paduka kanjeng rama.” kata Pangeran Arya Iswara dengan senyum tenang, lalu menoleh kepada adiknya dan berkata lirih. “Andika harus berhati-hati melaksanakan tugas berat itu, adinda pangeran.”

Pangeran Panjiluwih tidak menjawab, hanya melirik ke arah pangeran pati itu sambil mengangguk sedikit, akan tetapi senyum licik tersembunyi di balik kumisnya yang tebal.

Pangeran Panjiluwih menghaturkan sembah kepada sang prabu sambil berkata,

“Ampun Kanjeng Rama. Biarpun hamba maklum bahwa tugas mencari keris pusaka itu merupakan tugas yang tidak mudah dan berbahaya, namun hamba bersumpah akan mencari sekuat kemampuan hamba. Dan untuk mempertebal keyakinan hamba akan keberhasilan hamba, maka hamba mohon sudilah kiranya Kanjeng Rama memberikan sebuah pusaka kepada hamba untuk bekal dan pelindung diri dalam perjalanan.”

Sang Prabu Jayabaya tersenyum. “Jagat Dewa Bathara! Ternyata andika seorang yang cukup cerdik, angger. Baiklah. Kami memiliki sebuah pusaka, sebatang keris pusaka bernama Kyai Gliyeng. Berkat keampuhan keris ini, andika dapat mengharapkan ditemukannya kembali keris pusaka Tilam Upih itu. Biasanya, kalau para dewata menghendaki Kyai Gliyeng dapat menunjukkan arah hilangnya sebuah benda yang dicari. Nah, inilah Kyai Gliyeng, kuserahkan kepada andika untuk membantu pencarian Tilam Upih!”

“Terima kasih, Kanjeng Rama!” kata Pangeran Panjiluwih girang sambil menghaturkan sembah dan menerima keris Kyai Gliyeng itu.

Persidangan lalu dibubarkan dan Pangeran Panjiluwih mengadakan perundingan dengan Senopati Lembudigdo untuk melaksanakan perintah Sribaginda mencari pusaka yang hilang seabad yang lalu. Mereka membentuk sebuah pasukan khusus terdiri dari limapuluh orang dan mulailah mereka berangkat menuju ke selatan. Di samping itu, merekapun menyebar para penyelidik ke seluruh bagian pantai dari timur ke barat.

*** 011 ***
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar