Asmara Dibalik Dendam Membara Jilid 04

Kalau Gagak Seto kelak dipimpin oleh seorang yang tidak luhur budinya, tentu akan berbahaya sekali dan dapat dibawa menyeleweng.

Tiba-tiba, ada gerakan di seberang danau kecil itu menarik perhatiannya. Tadinya disangka seekor binatang yang bergerak di sana. Akan tetapi ketika dia mengamati, ternyata bukan binatang, melainkan seorang anak perempuan. Anak perempuan itu berpakaian compang-camping. Tubuhnya hanya tertutup sehelai kain berkemben yang sudah roberk-robek, rambutnya yang panjang terurai lepas dan di bagian pundaknya kelihatan berlepotan darah.Usia anak itu sekitar sepuluh tahun.Jantung Ki Sudibyo berdebar tegang. Anak itu berada di tebing, di atas danau yang berada di depannya itu. Tidak kurang dari lima belas meter tingginya dan tebing-tebing itu8 penuh dengan batu-batu yang tajam. Anak itu kini merangkak-rangkak, sikapnya ketakutan seperti hendak melarikan diri dari suatu yang ditakutinya.

“Heiii, hati-hati, engkau bisa jatuh!” teriak Ki Sudibyo.

Akan tetapi peringatan itu terlambat sudah. Terdengar anak itu menjerit dan tubuhnya tergelincir jatuh ke bawah!

“Byuuurrr........!!!” Air telaga muncrat ke atas dan tubuh anak perempuan itu tertelan lenyap.

“Celaka .........!” Ki Sudibyo sudah cepat bangkit dan meloncat ketelaga, lalu berenang secepatnya ke arah jatuhnya anak tadi. Di situ dia menyelam dan tak lama kemudian dia sudah muncul kembali sambil mengangkat tubuh anak perempuan itu dengan sebelah tangannya, sedangkan dengan kakinya dan sebelah tangannya dia cepat berenang ke tepi danau.

Anak itu tidak terluka parah, keadaannya tidak berbahaya, hanya pingsan. Setelah dirawat sebentar, anak itu siuman lalu menangis ketakutan.

“Diamlah, nini, jangan menangis. Jangan takut, aku bukan orang jahat. Aku yang telah menolongmu dari dalam telaga tadi. Tenaglah.”

Anak itu memang tadinya menangis karena takut. Mendengar ucapan itu, ia berhenti menangis, menurunkan kedua tangan dari depan mukanya dan kini sepasang mata memandang wajah Ki Sudibyo baru melihat kenyataan bahwa anak perempuan ini cantik sekali. Kulitnya halus kuning, rambutnya panjang hitam subu, matanya bersinar-sinar seperti sepasang bintang kejora. Hidungnya kecil mancung, bibirnya mungil dan manis sekali, seperti wajah puteri bangsawan.

“Benarkah, paman? Engkau.......engkau bukan seperti mereka yang jahat. Mereka yang membunuh.....ayahku......? “Gadis cilik itu agaknya baru teringat akan ayah ibunya. Ia lalu menangis memanggil-manggil nama ayah ibunya.

“Tenangkan hatimu, nini. Aku bukan orang jahat dan aku akan membantu ayah ibumu kalau mereka terancam bahaya. Apakah yang telah terjadi dengan ayah ibumu? Siapakah mereka dan di mana mereka sekarang?”

Kembali anak itu berhenti menangis dan kini memandang kepada Ki Sudibyo dengan sinar mata penuh permohonan dan harapan.

“Paman, namaku adalah Niken Sasi”

Ki Sudibyo mendengarkan sambil mengobati luka di pundak anak itu dengan daun picisan dan widoro upas, karena hanya dua macam rempa-rempa itu yang bisa didapatkan di situ. Akan tetapi obat ini cukup mujarap, menghentikan keluarnya darah dan mendatangkan rasa dingin sejuk pada bagian yang terluka.

Akan tetapi ketika anak itu melanjutkan penuturannya. Ki Sudbyo makin tertarik, bahkan kini dia memandang dengan mata terbelalak.

“Ayahku adalah Raden Mas Rangsang dan ibuku Dewi Muntari dan kami tinggal di kota raja.........”

“Ayahmu Raden Mas Ramsang, mantu sang Prabu?” Tanya Ki Sudibyo dengan hati kaget bukan main.

Anak itu mengangguk. “Ayah dan ibu mengadakan tamasya di sekitar gunung Anjasmoro, diiringkan belasan orang pengawal. Akan tetapi di lereng gunung kami diserang oleh puluhan orang penjahat.......aku melihat ayah roboh mandi darah.......dan ibu.......ibuku dilarikan penjahat.....” Anak itu menangis lagi, teringat kepada orang tuanya.

“Jagat dewo Bathoro .....!” Ki Sudibyo berseru. “Siapa berani mengganggu keluarga kerajaan Daha? Gusti Puteri, bagimana hal itu bisa terjadi? Bukankah ada belasan orang pengawal yang melinduangi paduka sekeluarga?”

“Entahlah, para pengawal itu juga memberikan perlawanan, akan tetapi mereka segera melarikan diri meninggalkan ayah seorang diri melawan penjahat. Akan tetapi sebelum itu, ibuku menyuruh aku melarikan diri. Aku turun naik jurang, tubuhku luka-luka, pernah aku terguling ke dalam jurang. Untung tidak sampai mati.....dan aku tiba di sini, tergelincir masuk danau .....untung ada andika yang menyelamatkan aku, paman.”

“Jangan khawatir, Gusti Puteri Paduka akan hamba antarkan kembali ke kotaraja dan tentu keluarga kerajaan akan mengirim pasukan untuk mencari ibunda paduka dan......”

“Jangan.......! Ah, paman, kasihanilah aku, jangan bawa aku ke istana. Setelah ayah meninggal dan ibuku lenyap, aku tidak berani kembali ke istana. Jangan bawa aku ke sana, paman. Dan biarkan aku tinggal disini bersama paman .......!” Anak itu memegang tangan Ki Sudibyo dengan tangan gemetar ketakutan.

Ki Sudibyo memandang heran. “Harap paduka jangan takut, tidak akan ada orang yang berani mengganggu paduka, selama ada hamba di sini. Gusti puteri.”

“Tidak, biarkan aku mati saja menyusul ayahku kalau engkau akan mengantar akau kembali ke istana!”

Tentu saja Ki Sudibyo terkejut dan heran bukan main. Seorang cucu Sang Prabu Jayabaya tidak mau diantar kembali ke istana! Sungguh aneh sekali.
“Akan tetapi kenapa, Gusti? Kenapa paduka tidak mau kembali ke istana ?”

“Di sana tempat orang-orang jahat yang membenciku, yang membenci kami. Tidak, aku lebih senang tinggal di sini bersamamu, paman. Boleh, ya, paman Boleh , Ya?”

Suara anak itu demikian merengek manja sehingga Ki Sudibyo merasa tidak tega untuk membantah. “ Dn harap jangan sebut aku gusti puteri, jangan memberitahu kepada siapapun juga bahwa aku adalah cucu Eyang Prabu. Paman, aku ingin ikut paman, menjadi anak dusun biasa.”

Ki Sudibyo mengangguk-angguk. Tentu anak itu mempunyai alasan kuat sekali mengapa mengajukan permintaan aneh itu. Biarlah untuk sementara dia tidak membantah karena anak ini agaknya menalami guncangan batin yang hebat.

“Baiklah, Niken Sasi, mari engkau kuantar pulang dulu. Engkau perlu beristirahat di rumah kami dan aku akan mencoba mencari ibumu.”

Karena anak ini masih gemetar tubuhnya dan masih amat lemah, Ki Sudibyo lalu memondongnya dan membawanya pulang. Tentu saja para anggota dan murid Gagak Seto merasa heran bukan main melihat ketua mereka pulang sambil memondong seorang anak perempuan yang agaknya pingsan atau tidur dalam pondongannya.

“Anak ini terpisah dari orang tuanya dan terjatuh ke dalam telaga. Coba tolong memberi kain kering kepadanya.” Ktanya kepada beberapa orang murid wanita.Anak itu segera dibaringkan ke atas dipan dan mendapat perawatan para murid wanita.

Setelah Niken Sasi terbangun. Ki Sudibyo berkata dengan lembut kepadanya. ”Niken Sasi, engkau istirahat dulu bersama para muridku. Engkau akan aman di sini. Aku akan mencoba mencari ibumu.”

Anak perempuan itu mengangguk-angguk, memandang kepada empat wanita yang gagah yang berada di situ, lalu memegang tangan KI Sudibyo.

“Paman, janagn lama-lama, ya paman. Aku .........aku takut kalau ditinggal paman............”

Ki Sudibyo merasa hatinya tertusuk rasa haru. Gadis cilik ini agaknya jarang mendapatkan kasih sayang orang sehingga ia takut menghadapi orang-orang yang belum di kenalnya. Gadis itu percaya kepadanya karena sudah terbukti tadi bahwa dia menolongnya.

“Jangan khawatir, Niken Sasi. Aku pergi takkan lama,dan tidak ada seorangpun di sini yang berani mengganggumu. “katanya sambil mengelus rambut kepala anak itu.

Niken Sasi memandang kepadanya dengan mata yang bersinar-sinar kemudian mengangguk dengan penuh kepasrahan dan kepercayaan.

Ki Sudibyo melupakan keadaan tubuhnya yang tidak sehat, bahkan ketika dia menuruni lereng bukit Anjasmoro, dia merasakan sesuatu kegembiraan baru dalam hatinya. Dia seolah merasa seperti dahulu, di waktu kedukaan belum melanda hatinya, di waktu dia masih belum jatuh hati kepada Ni Sawitri, masih menjadi seorang pendekar yang suka melakukan perjalanan merantau seorang diri, menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan.

Dengan melakukan perjalanan cepat, sambil berlari cepat, akhirnya tibalah dia di tempat yang diceritakan Niken Sasi tadi, di atas sebuah diantara lereng-lereng gunung Anjasmoro. Dan tidak sukar baginya menemukan jenazah ayah anak perempuan itu.

Hanya ada satu saja jenazah menggeletak di situ, maka tidak ragu lagi bahwa ini tentunya jenazah Raden Mas Ramsang, mantu Sang Prabu Jayabaya di daha. Seorang laki-laki yang tampan dan matinya juga gagah, dengan tubuh penuh luka. Dia merasa heran sekali bagaimana bangsawan muda ini dapat mati dikeroyok sedangkan para pengawalnya yang belasan orang banyaknya itu tidak seorangpun tewas. Dan mengapa pula para pengawal yang melarikan diri itu lupa menyingkirkan jenazah bangsawan itu?

Melihat jenazah orang muda itu menggeletak di tempat sunyi, Ki Sudibyo merasa iba. Kalau tidak diurusnya jenazah itu, tentu akan membusuk atau dimakan binatang buas. Dia lalu menggali lubang di bawah pohon kenanga, dan dikuburnya jenazah itu dengan sederhana. Kemudian, dia meletakkan sebuah batu sebesar gentong di atas kuburan sebagai tanda kalau-kalau kelak puteri Raden Mas Rangsang itu akan mencari kuburan ayahnya.

Setelah selesai mengubur jenazah Raden Mas Rangsang dan hendak meninggalkan tempat itu, tiba-tiba pendengarannya yang tajam menangkap gerakan orang. Ki Sudibyo berdiri tegak dengan kaki terpentang. Dia tadi menanggalkan bajunya ketika menggali lubang dan menguburkan jenazah itu, dan kini bajunya itu masih belum dipakainya kembali, masih tergantung di pundak kirinya. Dia hanya memakai celana hitam sebatas lutut dan kain yang dipakainya dicincangkan ke atas. Rambut yang panjang dan bercampur putih itu diikatnya dengan kain hitam pula dan selebihnya, badannya tidak mengenakan pakaian lain.

Tubuh itu nampak jangkung dan agak kurus, namun ketika dia berdiri, nampak kokoh dan anggun penuh wibawa. Keris pusaka Sang Megantoro terselip di ikat pinggangnya. Tubuhnya yang berdiri tegak itu sama sekali tidak bergerak, hanya kedua matanya saja yang bergerak perlahan, melirik ke kanan kiri penuh kewaspadaan. Dia bagaikan Sang Bima sena sedang menghadapi bahaya, begitu tenang, santai penuh kepercayaan kepada diri sendiri.

Tak lama kemudian nampak bermunculan belasan orang yang rata-rata bertubuh tinggi besar dan mereka memegang sebatang golok telanjang yang berkilauan saking tajamnya. Bentuk golok ini semua sama, melengkung dan gagangnya terukir kepala anjing srigala, dengan ronce merah sebagai lidah kepala srigala itu. Dengan sikap beringas dan penuh ancaman, tigabelas orang itu sudah mengepung dan mengitari ki Sudibyo.

“Keparat”terdengar Ki Sudibyo berkata dengan suaranya yang dalam parau dan berpengaruh. “Gerombolan anjing dari mana berani mengacau daerah Anjasmoro yang di kuasai Gagak Seto?”

Tigabelas orang itu, seperti menanti sebuah komando, tertawa bergelak mendengar ucapan Ki Sudibyo itu. Dan berkata dengan suara garang.

”Bagus Ki Sudibyo. Engkau hendak menggertak kami dengan nama Gagak Seto yang sebentar lagi akan kami hancurkan? Kami memang membiarkan engkau mengburkan jenazah itu, setelah itu engkau sendiri yang akan menggantikan jenazah itu, menggeletak di sini menanti datangnya binatang buas yang akan memangsamu, ha-ha-ha!”

Wajah Ki Sudibyo menjadi merah karena marahnya. “Bukankah kalian ini anak buah kelompok Jembuka Sakti (Srigala Sakti) dari Lereng Bromo? Setahuku ketua kalian, Brotokeling, tidak pernah memusuhi Gagak Seto! Apa yang kalian kehendaki?”

“Kami menghendaki nyawamu”bentak tiga belas orang itu dan mereka sudah menerjang maju dari segala jurusan, menyerang dengan golok mereka.

Ki Sudibyo merasa heran, akan tetapi juga marah sekali. Baru saja, dia juga diserang oleh dua orang yang dikenalnya sebagai Sepasang Keris Maut dari Nusa barung, diserang tanpa sebab oleh dua orang tokoh yang dikenalnya sebagai pembunuh-pembunuh bayaran itu. Jelas ada orang yang menghendaki kematiannya dan meyewa dua orang itu. Untung dia dapat menandingi mereka dan membuat mereka melarikan diri.

Dan sekarang tahu-tahu gerombolan Jambuka Sakti dari lereng Bromo mengepung dan menyerangnya. Padahal, walaupun mungkin ketua mereka, Brotokeling yang terkenal jagoan, menganggap dia sebagai saingan. Dia tidak pernah bergaul dengan kelompok seperti Jambuka Sakti itu, karena dia tahu bahwa perkumpulan itu adalah perkumpulan para penjahat yang tidak segan melakukan segala macam kejahatan. Akan tetapi, biarpun jalan mereka bersimpang, Ki Sudibyo merasa belum pernah bentrok dengan mereka.

Melihat gerakan tigabelas orang itu ketika memainkan golok, diam-diam Ki Sudibyo terkejut. Ternyata bukan anak buah rendahan yang datang menyerangnya, tentu merupakan murid-murid pilihan karena gerakan golok mereka cukup tangkas, cepat dan bertenaga sehingga terdengar suara berdesing berbisik ketika mereka semua menggerakkan golok.

Tiga batang golok menyerang dari arah belakang. Ki Sudibyo menggerakkan tangan kirinya yang memegang baju hitamnya sambil memutar tubuh. Baju itu terkembang dan dan menangkis tiga batang golok. Para penyerang itu terkejut bukan main karena tangkisan baju itu membuat golok mereka terpental dan kalau mereka tidak cepat melompat ke belakang, tentu mereka akan kena hantaman baju yang ketika digerakkan oleh Ki Sudibyo berubah menjadi senjata yang amat kuat. Belasan orang itu menjadi marah dan menyerang serentak. Ki Sudibyo maklum bahwa dirinya berada dalam bahaya, maka sambil memutar baju hitamnya dengan tangan kiri, diapun mencabut keris pusakanya.

Ketika dia menggerakkan keris, nampak seperti ada awan atau uap putih menyambar dan terdengar pekik seorang pengeroyok yang roboh dengan tangan berdarah. Kiranya Goloknya tadi patah dan terlempar ketika bertemu dengan keris dan tangannyapun terluka. KI Sudibyo terus mengamuk dengan keris. Sepak terjangnya mengerikan sekali. Dia seperti Bimasena mengamuk dengan Pancanaka-nya. Setiap kali ada kilatan keris Megantoro menyambar, tentu ada seorang pengeroyok yang roboh! Dalam waktu tak lama, sudah ada enam orang pengeroyok yang roboh, baik oleh kerisnya, maupun hantaman baju hitamnya. Para pengeroyok itu agaknya maklum bahwa mereka tidak akan menang, maka sambil menyeret tubuh kawan-kawan yang terluka merekapun melarikan diri dari situ.

Ki Sudibyo masih berdiri tegak membiarkan mereka pergi melarikan diri. Tubuhnya mengkilap oleh keringat dan biarpun nampaknya dia tenang saja akan tetapi dari dadanya yang kembang kempis, perutnya yang naik turun dapat diketahui bahwa pendekar perkasa ini terengah-engah melalui hidungnya. Dia memejamkan kedua matanya dan setelah pernapasannya biasa kembali, barulah dia mengebut-ngebutkan bajunya dan mengenakan baju itu setelah menempelkan keris pada dahi dan dadanya lalu menyarungkannya. Dia menahan rasa nyeri pada dadanya. Aku harus menjauhkan diri dari perkelahian, pikirnya. Kalau dia bertemu dan bertanding dengan lawan tangguh, dia bisa celaka. Padahal dalam keadaan biasa belasan orang tadi sama sekali tidak ada arti baginya. Tubuhnya lemah sekali. Setiap kali mengerahkan tenaga sakti, tentu dadanya terasa nyeri dan pernapasannya memburu dan tertekan.

Akan tetapi Ki Sudibyo masih mempertahankan diri dan dia melanjutkan usahanya mencari Dewi Muntari, ibu Niken Sari yang menurut anak perempuan itu katanya ditangkap dan dilarikan diri penjahat. Akan tetapi sampai hari menjadi sore, dia tidak berhasil menemukan jejak wanita itu. Apakah Dewi Muntari ditangkap oleh gerombolan Jambul Sakti? Aku akan mengirim utusan dan minta dengan hormat kepada Ki Brotokeling agar membebaskannya, kalau benar wanita itu ditawannya. Tentu Brotokeling masih mau memandang kepadanya untuk memnuhi permintaannya. Kalau permintaannya ditolak, hemm, bagaimana nanti sajalah.

Akhirnya dia kembali ke Anjasmoro. Kalau menuruti kata hatinya, andaikat dia seperti dahulu yang berwatak penuh semangat dan tubuhnnya tidak selemah ini, dia tentu langsung saja pergi mengunjungi Brotokeling dilereng Bromo!

Setibanya di Anjasmoro, dia disambut oleh Niken Sasi yang berlari keluar menyambutnya. Diam-diam Ki Sudibyo kagum sekali. Anak itu kini sudah penuh semangat, tidak seperti ketika ditinggalkan. Ia sudah meniru dandanan para murid Gagak Seto, ringkas dengan celana, kain dan baju hitam, rambutnya diikat sutera merah. Nampak cantik manis dan gagah sekali.

“Paman, bagaimana, paman? Sudahkah paman dapat menemukan ibuku?”

Ki Sudibyo memegang tangan kanan anak itu dan hatinya sendiri merasa tertegun. Kenapa jantungnya berdebar begini tegang dan mengapa ada perasaan gembira dan bahagia menyelinap di hatinya ketika melihat anak itu datang menyambutnya dan ketika tanganya memegang dan menggandeng tangan kecil itu?

Dia menarik Niken Sasi ke dalam rumah sambil berkata singkat, “Niken mari kita bicara di dalam.”

Anak ini rupanya cerdik pula. Ia teringat bahwa ia ingin menyembunyikan siapa dirinya yang sebetulnya, oleh karena itu, iapun tidak bertanya lagi dan mengikuti ketua Gagak Seto itu masuk ke ruangan dalam. Setelah tiba di ruanan dalam, kI Sudibyo membiarkan para muridnya yang bertugas melayaninya, menyediakan minum dan mengganti pakaiannya. Setelah selesai, dia lalu memberi isyarat kepada mereka untuk meninggalkan dia berdua saja dengan Niken Sasi.

“Niken Sasi, aku telah menemukan jenazah ayahmu dan telah menguburkannya dengan baik. Kuberi tanda dengan batu agar kelak engkau dapat mencari kuburan ayahmu itu.” Pendekar itu lalu diam biarpun dia maklum betapa anak itu menanti kelanjutan ceritanya, terutama mengenai ibunya.

Setelah agak lama Ki Sudibyo berdiam diri, Niken lalu bertanya dengan suara yang bening. “Dan bagaimana dengan ibuku, paman ? Sudahkah paman menemukannya dan bagimana keadaan ibuku?”

Ki Sudibyo menghela napas panjang lalu memandang kepada anak itu dan menggeleng kepalanya. “Sayang sekali aku tidak berhasil menemukan jejak ibumu, Niken.” Dia melihat betapa sinar penuh duka dan kecewa menyelubungi pandangan mata nak itu, maka dia cepat berkat, “Akan tetapi jangan putus asa dan jangan khawatir, Niken. Sekarang juga aku akan mengutus anak buahku untuk mencari di seluruh pelosok Anjasmoro ini. Mudah-mudahan saja anak buahku akan berhasil menemukan ibumu.”

“Ah, terima kasih, paman!” kata Niken dengan girang. “Aku telah menyusahkan paman. Aku hanya ingin memperoleh kepastian tentang keadaan ibuku paman.”

“Aku mengerti, Niken.” Ki Sudibyo segera bertepuk tangan dan dua orang muridnya muncul.”Panggil Klabangkoro dan Mayangmurko ke sini.”

Murid-murid wanita itu keluar dan tak lama kemudian muncullah dua orang laki-laki yang selain menjadi murid juga menjadi wakil ketua itu selama bertahun-tahun ini. Selain orang-orang muda dari dusun yang masuk menjadi murid Gagak Seto mempelajari ilmu kanuragan juga terdapat banyak sekali gerombolan penjahat yang telah ditaklukan Gagak Seto kemudian menggabungkan diri dengan perkumpulan ini setelah bersumpah untuk mengubah jalan hidup mereka. Di antara para gerombolan itu terdapat Klabangkoro dan Mayangmurko ini. Dan Ki Sudibyo merasa puas melihat keduanya karena selama ini memperlihatkan sikap yang baik, taat dan setia kepadanya. Karena itu, mengingat bahwa di antara para muridnya, kedua orang ini yang paling tangguh ilmunya, dia mengangkat keduanya menjadi wakilnya.

Setelah dua orang itu masuk ke ruangan itu, mereka memberi hormat kepada Ki Sudibyo dan Klabangkoro bertanya, “bapa guru memanggil kami? Ada petunjuk apakah, Bapa guru?”

“Klabangkoro dan Mayangmurko, engkau bawalah anak buah secukupnya dan carilah seorang wanita, ibu anak ini yang kabarnya ditangkap penjahat. Carilah ia sampai ketemu atau setidaknya sampai mendengar di mana ia berada dan bagaimana keadaan. Juga, perlu kalian ke lereng Bromo, menemui Ki Brotokeling.”

“Ki Brotokeling ketua Jambuka Sakti, Bapa guru?” Klabangkoro bertanya dan matanya yang lebar itu terbelalak.

“Benar. Kalian pergilah menghadap Brotokeling dan berikan suratku kepadanya, minta balasan.”

“Baik, Bapa guru. Kapan kami berdua berangkat?”

“Sekarang juga. Bawa perbekalan secukupnya. “

Dua orang pembantu itu memberi hormat dan keluar dari rumah itu untuk melaksanakan tugas mereka. Setelah kedua orang itu pergi Ki Sudibyo menoleh kepada Niken Sasi sambil tersenyum.

“Nah, engkau mendengar sendiri . Niken. Aku sudah menyuruh anak buahku untuk mencari ibummu.”

Niken Sasi tiba-tiba berlutut dan menyembah kepada pendekar itu. Ki Sudibyo terkejut sekali dan cepat-cepat dia mengangkat anak itu bangun. Anak perempuan itu adalah seorang puteri cucu Sang Prabu Jayabaya, bagaimana boleh menyembahnya?

“Ahhh, Niken! Apa yang kau lakukan ini? Engkau tidak boleh memberi hormat seperti itu kepadaku. Ingat, engkau seorang puteri!”

“Paman. Harap jangan sebut itu lagi. Paman sudah berjanji akan merahasiakan asal-usul dariku.” kata anak itu memperingatkan. “Biarlah aku menjadi muridmu, paman. Perkenankan aku menyebut paman sebagai bapa guru, seperti para kakak yang berada di sini. Aku ingin mempelajari ilmu kanuragan agar kelak kemudian hari aku dapat.....”

“Membalas dendam?” Ki Sudibyo menyambung.

“Tidak, Bapa. Membalas kepada siapa ? Aku akan mempergunakan kepandaianku untuk menentang para penjahat, membela kaum lemah tertindas, mempertahankan kebenaran dan keadilan!”

Sudibyo tersenyum. Dia memang sudah merasa suka sekali kepada anak perempuan ini. Merasa iba dan juga kagum dan dua perasaan ini berkembang menjadi rasa kasih sayang. Kemudian dia teringat. Sudah lama dia merindukan seorang murid yang baik, seorang murid yang dapat dia wariskan seluruh ilmunya, seorang murid yang kelak akan menggantikan dia memimpin Gagak Seto, yang akan mengangkat tinggi namanya dan nama Gagak Seto. Mengapa tidak? Agaknya Niken Sasi memiliki bakat yang baik dan anak ini memiliki ketabahan, keberanian dan semangat.

Hal ini tidak mengherankan karena di dalam tubuhnya masih mengalir darah bangsawan tinggi, tarahing kusumo rembesing madu. Keturunan Sang Prabu Jayabaya, seorang raja yang sakti mandraguna dan arif bijaksana. Tentu saja keturunannya, biarpun wanita, bukan orang biasa!

“Baiklah, Nini! Baiklah, dengan bangga dan girang sekali aku menerima permintaanmu dan mulai saat ini, engkau menjadi muridku! Engkau rajinlah belajar dan bersiaplah, niken, karena aku, gurumu akan mengajarkan semua ilmu yang kukuasai kepadamu, yang tak pernah kuajarkan kepada murid lain. Akan tetapi, ada satu hal yang ingin sekali kuketahui. Mengapa engkau tidak ingin kembali ke istana, di mana terdapat keluarga istana, keluargamu? Padahal, semestinya, aku membawamu ke istana dan di sana engkau akan diterima dengan baik, bahkan Gusti Prabu tentu akan berusaha mencari ibumu. Nah ceritakanlah kenapa engkau hendak menyembunyikan dirimu dan tidak ingin kembali ke istana ?”

Anak itu mengerutkan alisnya, menghela napas beberapa kali kemudian berkata, “Sebetulnya tidak baik aku menceritakan semua ini kepadamu, paman. Akan tetapi kalau tidak aku ceritakan tentu paman bertanya-tanya. Baiklah, terus terang saja aku benci hidup di dalam istana, paman!”

“Eh, kenapa? Bukankah eyangmu Sang Prabu Jayabaya adalah seorang raja yang agung bimantara dan sakti mandraguna, juga arif bijaksana?”

“Memang benar, akan tetapi beliau selalu sibuk dengan pekerjaan dan dikelilingi oleh para penjilat yang kesemuanya memakai bermacam-macam kedok.”

“Ehh?, Memakai kedok?”

“Benar, paman. Memang tidak ada yang melihatnya kecuali aku. Aku melihatnya betapa muka mereka selalu dipasangi kedok kalau mereka menghadap Eyang Prabu. Dan dengan kedok itu mereka bersikap manis dan baik, dan bermuka-muka menjilat-jilat. Kau tahu, paman, di istana aku selalu menerima penghinaan dan cemohan. Aku dikatakan gadis dusun, darah petani sama sekali tidak mempunyai darah bangsawan. Katanya, eyang puteri hanya anak pendeta, sedangkan ayahku juga hanya seorang biasa, bukan bangsawan, hanya seorang perwira muda yang karena jasa-jasanya lalu dinikahkan dengan ibuku. Katanya aku bocah dusun. Tidak, aku tidak sudi kembali ke istana. Bahkan sebelum meninggal dunia, ayah seringkali bicara dengan ibu tentang keinginannya pindah keluar istana. Aku lebih suka di isni, menjadi gadis petani, paman.”

Ki Sudibyo menghela napas panjang. Gadis ini masih kecil akan tetapi sudah mempunyai perasaan yang halus, memiliki harga diri yang tinggi dan dia pun diam-diam terkejut, tidak mengira bahwa di dalam istana, di mana tinggal keluarga bangsawan tertinggi yang penuh dengan tata-susila dan kebudayaan, ternyata terdapat perasaan iri hati dan persaingan, bahkan seperti kata Niken Sasi, menjadi sarangnya para penjilat yang memakai topeng palsu!

Dan murid barunya ini, Niken Sasi yang baru berusia sepuluh tahun, ternyata telah mampu melihat topeng-topeng palsu yang dipakai manusia. Hal ini sungguh merupakan suatu kewaspadaan yang luar biasa bagi seorang anak sekecil itu.

Maka mulai hari itu dia menggembleng anak itu dengan penuh kesunguhan hati, dengan tekun dan rahasia sehingga para murid lain tidak tahu bahwa baru sekali ini guru mereka menurunkan ilmu-ilmunya yang hebat kepada seorang murid. Karena mengira bahwa Niken sasi juga hanya menerima pelajaran ilmu kanuragan seperti yang mereka pelajari pula, maka bahkan Klabangkoro dan Mayangmurko tidak terlalu memperdulikan bocah itu.

*** 04 ***
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar