-------------------------------
----------------------------
Bab 9: Percobaan pembunuhan
Yang datang ternyata adalah
Ceng Thian Kian Khek Bo Ceng-thian tertua dari Go si siang hiap yang terkenal
di kalangan Kangouw dengan enam puluh empat jurus Ya Hong-kiam hoat.
Dengan tertawa tertawa lebar
berulang kali orang memohon maaf akan kedatangannya yang mengganggu, Coh
Liu-hiang bertiga tak habis heran dan tak tahu maksud kedatangan orang, maka
berkatalah ahli pedang yang kenamaan ini dengan tertawa :
"Tentang kedatangan
Cayhe, tentunya kalian bertiga takkan pernah menduganya."
"terus terang, kami
memang sedang menebak-nebak." sahut Oh thi-hoa.
"Sebetulnya Cayhepun
mendapat pesan orang lain untuk datang kemari!" Kata Go Ceng-thian
tertawa.
"Mendapat pesan orang
lain? siapa yang suruh kau kemari? untuk keperluan apa?" tanya Oh Thi-hoa.
Sengaja Go Ceng-thian tertawa
penuh arti, katanya :
"Mendapat pesan Kui
Je-ong, untuk melamar kepada kalian bertiga."
"Apa melamar?"
teriak Ki Ping-yan melongo, hampir ia tak percaya akan pendengaran kupingnya.
Oh thi-hoa malah terpingkal-pingkal sambil memeluk perut, serunya :
"Ongya yang satu ini
memang jenaka sekali, memangnya dia ingin supaya kami bertiga menjadi
menantunya?"
"Lamaran ini sudah tentu
hanya ditujukan seorang diantara kalian bertiga, malah inipun bukan maksud
Ongya sendiri, adalah setelah sekali beradu pandang, tuan puteri lantas jatuh
hati, dan taksir kepadanya."
Mendengar kata-kata ini, Ki
Ping-yan segera menyingkir duduk ke pinggir, dia tahu tuan putri itu terang
takkan penujui dirinya, Oh Thi-hoa sebaliknya mulai tegang urat syarafnya.
Lahirnya Coh Liu-hiang tetap
bersikap tenang dan adem-ayem, sorot matanya malah bercahaya, tapi hatinyapun
berdebar tegang, dari samping Ki Ping-yan saksikan sikap lucu kedua temannya
ini, dalam harinya ia tertawa geli.
Akhirnya Oh Thi-hoa tak sabar
lagi, tanyanya : "Entah tuan putri sebetulnya kepincut pada siapa?"
waktu bicara terasa tenggorokannya menjadi kering, bukan lantaran dia ingin
menjadi menantu raja, tapi dia merasa bila yang dipenujui tuan putri bukan dirinya,
sungguh suatu hal yang memalukan.
Dilihatnya Go Ceng-thian
tertawa-tawa mengawasi dirinya, katanya :" Yang dipenujui tuan putri
adalah tuan."
"Bagus! Bagus!" Coh
Liu-hiang bersorak, "Memang tajam benar mata tuan putri dapat mengenali
seorang gagah, seorang ksatria sejati."
Kata-katanya kedengaran amat
riang bahwasanya hatinya mendelu, mukanya berseri tawa, hatinya justru kecut
dan getir. Tapi bukan karena dia merasa iri hati. Dia cuma merasa kecewa,
merasa di luar dugaan juga, rada memalukan sungguh tak habis pikir bahwa tuan
putri tidak penujui dirinya.
Tampak arak di cawan Oh
Thi-hoa sudah terbalik tumpah dan membasahi seluruh badannya, tapi dia sendiri
tidak sadar, sungguh hatinya senang bukan main, mulutnya justru mengomel
pura-pura marah : "Brutal! Brutal! Mana bisa menyukai aku? Kau tidak salah
omong?"
"Urusan sebesar ini, mana
Cayhe berani salah omong?"
Sekaligus melirik mata Oh
Thi-hoa kepada Coh Liu-hiang seperti unjuk pamor dan mengolok, mulutnya berkata
keras : "Tentu kau salah! Pergi kau tanyakan lagi!"
"Tak perlu ditanya lagi,
asal tuan setuju, Cayhe segera pulang memberi laporan."
Waktu Oh Thi-hoa angkat
cawannya hendak minum araknya, baru sekarang ia dapati cangkirnya sudah kosong.
Tak tahan Ki Ping-yan tertawa,
katanya : "Urusan besar begini mana bisa diputus sembarangan, tuan beri
waktu padanya untuk pikir-pikir dahulu!"
Go Ceng-thian termenung
sebentar, katanya : "Kalau begitu setengah jam lagi Cayhe balik
kemari…………kalian tidak tahu, bukan aku yang tergesa-gesa tapi tuan putri itu,
ha ha….."
"Selamat! Selamat!"
lekas Coh Liu-hiang berolok kepada Oh Thi-hoa dengan tertawa lucu. "Sudah
sekian tua umurmu kau hidup sebatang kara, tak nyana kau sedang tunggu rezeki
untuk menjadi menantu raja."
"Jago Mampus, kau dengar
tidak." seru Oh Thi-hoa tertawa besar, "Kebetulan ada perempuan yang
mau naksir padaku dan tidak kepincut padanya, dia lantas cemburu," saking
geli badan lemas dan roboh ke pembaringan tak bicara lagi.
Kali ini Coh Liu-hiang pun
terungguli oleh dirinya betapa hatinya takkan senang.
"Aku cemburu?" tanya
Coh Liu-hiang mengelus hidung.
Ki Ping-yan ikut geli, katanya
: "Aku tahu kau sih tidak cemburu, cuma hatinya rada kurang enak."
Coh Liu-hiang akhirnya ikut
tertawa, tiga orang sama terkial-kial berpelukan, sungguh suatu kejadian yang
lucu dan seperti khayal belaka, tapi kenyataannya mereka hadapi.
Kata Oh Thi-hoa masih
terkial-kial : "Seorang laki-laki yang tidak terpandang oleh taukeh
"majikan" sebuah warung arak, tiba-tiba dipenujui oleh seorang tuan
putri, bukankah seolah-olah kejatuhan rejeki nomplok dari atas langit?"
"Coba kau lihat begitu
senang dan bangga dia, lebih baik sekarang kita panggil Go Ceng-thian kemari,
supaya mereka tidak sama menunggu dengan hati gelisah."
"Jangan!"
sekonyong-konyong Oh Thi-hoa mencelat bangun.
Coh Liu-hiang melengak.
"Kenapa jangan? Memangnya kau tidak mau terima pinangan?"
"Sudah tentu aku tidak
terima!"
"Melihat tampangmu begitu
gembira, kau terpincut dan patuh benar pada tuan putri itu. Waktu dia menuang
arak bagi kau, hampir saja- tulang-tulangmu luluh, kenapa sekarang kau tolak
pinangannya?"
"Bicara terus terang,
memang aku ada sedikit naksir pada tuan putri, kalau yang disukai bukan aku,
mungkin aku sepuluh lipat lebih sedih dari ulat busuk. Tapi bila harus menikah
benar benar sama dia, sekali-kali tidak boleh jadi."
"Kenapa tidak
boleh?"
"Tidak boleh ya tidak
boleh dan tetap tidak mau!"
"Kukira penyakit lamanya
mulai kumat lagi," sela Ki Ping-yan, "Orang lain tak suka sama dia,
kau kejar-kejar orang seperti lalat mengejar makanan wangi. Kalau orang lain
menyukai kau, kau malah pasang gengsi dan meninggikan harga diri."
"Buyutnya saja yang punya
maksud demikian," gerutu Oh Thi-hoa gelisah : "Aku cuma, cuma……"
semakin gugup tak kuasa mulutnya bicara lagi.
"Cuma bagaimana?"
desak Ki Ping-yan.
Keringat membasahi seluruh
kepala Oh Thi-hoa, serunya : "Coba kalian pikir, orang macam apa aku ini,
mana bisa mendapat tuan putri sebagai biniku? Apa aku mampu memberi makan dia?
Jikalau aku harus tunduk begitu saja menjadi menantu raja, matipun aku tidak
sudi."
"Ah, kau ngelantur
terlalu jauh," bujuk Coh Liu-hiang, "Persoalan justru sekarang kita
hadapi, dan putusan harus kau beri sekarang pula."
"Benar, orang begitu
besar minatnya dan sudi memandangmu lagi, jikalau kau menolak seluruh rencana
kita akan gagal total," demikian Ki Ping-yan menganalisa, "Menurut
pendapatku, bagaimanapun juga kali ini kau harus terima pinangannya."
"Kalau kalian paksa aku,
biar aku lari saja," suara Oh Thi-hoa mulai panik.
"Ada aku dan Maling Kampiun
berada di sini, memangnya kau mampu lari?"
Oh Thi-hoa berjingkrak,
serunya : "Ini urusan besar pribadiku, kenapa kalian harus paksa aku?
Masihkah kalian terhitung teman baikku? Kalian………………..kalian memang hendak jual
kawan demi keselamatan sendiri?"
Sekilas Coh Liu-hiang saling
pandang dengan Ki Ping-yan, katanya mendadak sambil berdiri : "Kalau
demikian, biarlah aku pergi menolak pinangan ini."
"Sebetulnya ini persoalan
kita bertiga, kalau dia tak mau berpikir demi kepentingan kita bersama, apa
boleh buat. Besok tunggu saja digiring keluar oleh mereka."
"Aku cuma sayang bagi dia
saja," Coh Liu-hiang menanggapi ocehan Ki Ping-yan, "Tuan putri dari
kerajaan kaya-raya dari negeri terpencil, seorang tokoh silat kosen yang
tersembunyi lagi, istri seperti ini dia tolak mentah-mentah, jangan heran bila
kelak ia akan menyesal seumur hidup!"
Oh Thi-hoa melongo mendengar
percakapan mereka.
Kata Coh Liu-hiang geleng
kepala sambil beranjak keluar : "Tuan putri itulah yang harus dikasihi,
setelah mendengar tolakannya ini betapa hatinya takkan pilu dan sedih?"
"Tunggu sebentar!"
tiba-tiba Oh Thi-hoa menjerit.
"Kenapa harus
berlambat-lambat, tidakkah lebih baik ia padamkan api cintanya?"
Oh Thi-hoa membusungkan
dadanya, "Cukup berat aku mempertimbangkan, aku berkeputusan siap
berkorban demi teman, siapa suruh kita punya ikatan teman puluhan tahun."
Coh Liu-hiang kedipkan matanya
pada Ki Ping-yan, tapi mulutnya berkata keras : "Mana boleh begitu!
Pernikahan merupakan urusan besar masa depan, kami sebagai teman baik mana tega
membuat kau menjadi korban, biarlah aku kesana menolak pinangannya." lalu
dia beranjak keluar pula.
Oh Thi-hoa lekas menariknya,
katanya tertawa meringis : "Kecuali itu, masih……………….."
Coh Liu-hiang sengaja
pura-pura tak tahu : "Kau masih ada apa?"
Oh Thi-hoa mengelus batok
kepalanya, katanya tersendat : "Kupikir punya bini tuan putri merepotkan,
tapi jauh lebih enteng daripada berputar-putar ditengah gurun pasir tanpa
tujuan tertentu, apalagi aku…….aku tak tega bila kita semua harus menderita dan
bersedih hati," kalau dia berbicara setulus hati, orang lain justru hampir
meledak perutnya saking geli.
Berkata Ki Ping-yan :
"Sejak tadi sudah ku ketahui penyakitmu ini, arak suguhan tidak kau
terima, malah ingin dihukum minum arak."
Terdengar seorang berkata
dengan tertawa di luar kemah: "Arak suguhan atau arak hukuman segala?
Cayhe hanya sedang menunggu arak kegirangan!"
Malam sudah larut, tapi setiap
kemah masih terang benderang.
Ciok Tho tetap berdampingan
dengan teman-teman untanya, dengan cermat dan teliti ia ladeni teman-temannya
itu, agaknya bila dia sedang mengasuh dan menjaga orang lain baru bisa
melupakan derita lahir batinnya sendiri. Saat ini, rombongan unta itu sudah
terlelap dalam tidur nyenyak, tapi dia tetap duduk di sana termangu-mangu. Di
bawah pancaran sinar bintang-bintang yang tak terhitung banyaknya, duduk
seorang sebatang kara, seorang yang suka menyepi. Betapa rawan dingin dan
memilukan keadaannya?
Tapi waktu itu sebetulnya dia
bukan hanya seorang diri saja, tak jauh dari tempatnya ada seorang yang sedang
mengawasinya dengan penuh perhatian, malah sudah sejak tadi dan tak bergerak
sedikitpun. Sudah tentu Ciok Tho tidak merasa bila dirinya diperhatikan orang,
tapi Coh Liu-hiang malah mengetahui, baru saja dia keluar dari kemah, lantas
dilihatnya Ong Tiong sedang memperhatikan Ciok Tho.
Ong Tiong bahwasanya memang
seorang tokoh yang misterius. Kenapa begitu besar perhatiannya terhadap seorang
gembala yang sudah cacat? Coh Liu-hiang mengerutkan keningnya, ingin dia
menghampiri, Ong Tiong sudah melihat dirinya dan cepat menyingkir, meronda ke
tempat lain, Coh Liu-hiang masih ingin mengejarnya dan tanya persoalan yang
sebenarnya. Baru beberapa langkah kakinya beranjak, tiba-tiba didengarnya tawa
cekikikan yang nyaring merdu bagai kelintingan.
Kata sebuah suara semerdu
kicauan burung kenari : "Bukankah kau sudah ingin tidur pagi? Kenapa jadi
orang kelayapan malam?"
Tanpa berpaling Coh Liu-hiang
sudah tahu yang datang adalah Pipop-kongcu. Dia tertawa dipaksakan, sahutnya :
"Orang yang kelayapan malam kukira bukan melulu Cayhe saja?"
"Orang lain aku tak
perduli, tengah malam buta masa kau tidak tidur, apa mau ngintip orang mandi
lagi?"
"Mungkin aku ada maksud
demikian, tapi orang yang kelayapan malam sekarang terlalu banyak, lebih baik
aku pergi tidur saja!" sejak tadi ia tak pernah berpaling, sembari bicara
kakinya melangkah cepat ke depan.
"Hai……….kembali
kau!" terdengar teriakan Pipop-kongcu.
Coh Liu-hiang menghela napas,
apa boleh buat dia berhenti dan pelan-pelan berpaling.
Di bawah sinar bintang, jelas
kelihatan kerlingan matanya laksana sungai perak, wajahnya yang molek kelihatan
merengut, mulutnya cemberut ke arah Coh Liu-hiang, katanya : "Kutanya kau,
kenapa kau tak hiraukan aku?"
"Cayhe masa tak hiraukan
tuan putri? Cuma kalau toh tiada urusan, Cayhe ingin pergi tidur saja."
Semakin lebar biji mata
Pipop-kongcu, "Siapa bilang tiada urusan, aku sedang mencarimu?" Kain
sari yang membelit badannya kelihatan begitu putih, seluruh anggota badannya
seolah-olah tembus cahaya dan bening laksana kaca.
"Ada urusan apa tuan
putri mencari aku?" tanyanya kemudian setelah menenangkan gejolak hatinya
setelah terbayang adegan mandi yang mendebarkan itu.
"Aku cuma ingin tanya,
kenapa orang panggil kau ulat busuk?"
M
enghadapi kecantikan seorang
gadis cantik laksana bidadari dari kahyangan ini, Coh Liu-hiang seperti
kehabisan akal dan tak mampu mengontrol dirinya, sayang orang sudah bakal
menjadi istri teman karibnya, kenapa pula orang justru mencari dirinya ditengah
malam buta ini? Sekuatnya Coh Liu-hiang menggosok hidungnya, sungguh dia
kehabisan akal dan kata-kata untuk menerangkan.
Tapi kerlingan mata
Pipop-kongcu tak kendor menatap mukanya, terpaksa Coh Liu-hiang menunduk,
matanya justru melihat ujung kain sari yang melambai tertiup angin, serta
sepasang kaki halus yang putih dan telanjang.
"Kutanya padamu, kenapa
tidak kau jawab?" desak Pipop-kongcu.
Apa boleh buat Coh Liu-hiang
menjawab : "Pertanyaanmu ini tidak seharusnya kau ajukan padaku, ya toh?
Siapa yang panggil aku demikian, seharusnya kau tanya pada dia."
Pipop-kongcu berpikir dengan
kepala melengak, agaknya dia belum meraba kemana maksud kata-kata Coh
Liu-hiang, pada saat itulah kebetulan Go Ceng-thian buru-buru mendatangi, Coh
Liu-hiang menarik napas lega, katanya tertawa: "Apakah tugas Go-heng sudah
berhasil?"
"Cayhe sudah memberi
laporan kepada Ongya, Ongya amat riang, meski beliau tahu kalian letih dalam
perjalanan, tapi lantaran kesenangan, beliau undang kalian kesana untuk diajak
mengobrol."
"Tak menjadi soal,
hari-hari yang menggirangkan seperti ini, memangnya kita tidak bisa
tidur," seperti sengaja tidak sengaja ia melirik ke arah Pipop-kongcu,
tujuan kata-katanya sudah jelas. Pipop-kongcu masih tidak mengerti, mulutnya
malah monyong kepadanya, katanya tertawa: "Perduli apapun ucapanmu,
pertanyaan ini tetap akan kutanyakan, laripun kau takkan bisa,"
perlahan-lahan ia putar tubuh terus berlari seringan asap secepat angin.
Coh Liu-hiang menjublek di
tempatnya, sungguh ia tidak paham apa maksud orang?
Terdengar Go Ceng-thian
berkata : "Kalau demikian, Ongya sudah siapkan jamuan untuk makan minum
semalam suntuk, silahkan kalian kesana, aku sicomblang ini sudah hampir patah
kakiku, ayolah akupun sudah pingin minum arak."
Sinar lilin terang benderang
didalam kemah, Pipop-kongcu duduk merapat disamping ayah bagindanya, menuang
arak melihat Coh Liu-hiang, Ki Ping-yan dan Oh Thi-hoa melangkah masuk segera
ia unjuk senyum manis. Seketika merah jengah muka Oh Thi-hoa. Sungguh ia tak
habis mengerti, seorang gadis yang sudah menjadi temanten masih berani unjuk
muka di depan umum, lebih tak terduga olehnya calon istrinya jauh lebih berani
dan wajar dari dirinya.
"Kalian sudah tiba, mari!
mari!" sambut Kui-je-ong tertawa senang, "Hidangan masih hangat lekas
duduk dan silahkan minum secangkir ini."
"Jangan duduk dulu,"
sela Go Ceng-thian tertawa, "calon menantu seharusnya menghadap dulu
kepada mertua."
Ternyata Pipop-kongcu ikut
cekikikan, timbrungnya : "Benar! Lekas berlutut dan menyembah!"
Mimpipun Oh Thi-hoa tidak
pernah menyangka calon istrinya inipun berani berolok-olok dan menggoda
dirinya, biasanya dia anggap muka sendiri setebal dinding, sekarang sudah merah
seperti kepiting direbus. Coh Liu-hiang saling tukar pandang dengan Ki
Ping-yan, dari sebelah belakang mereka dorong perlahan. Tanpa kuasa Oh Thi-hoa
segera berlutut, mukanya merah mencapai kuping dan leher.
"Baik, baik, baik!"
seru Kui-je-ong kegirangan sambil manggut. Beruntun tujuh delapan kali ia
berseru memuji, lalu dari dalam kantong bajunya dia merogoh keluar sebutir
jamrud sebesar burung dara yang berkilauan dan diangsurkan kepada Oh Thi-hoa,
katanya pula tertawa: "Batu dari ujung langit sering membawa berkah besar,
nah kau terimalah!"
Di bawah sinar api tampak
jamrud sebesar itu seperti menggelinding kian kemari, cahayanya bergelombang
berkunang-kunang, walau Oh Thi-hoa seorang kasar yang tak bisa menilai barang,
toh dia lihat jamrud ini tentu amat berharga dan tak ternilai, katanya
tersendat dengan muka merah :
"Anugerah sebesar ini,
mana berani terima?"
"Pemberian dari bapak
mertua sebagai hadiah pertemuan, jikalau tidak kau terima menandakan tidak tahu
kehormatan, lekas kau terima saja." Coh Liu-hiang mendesaknya. Dia cukup
ahli untuk menilai barang antik yang tak ternilai harganya, sekilas pandang ia
lantas tahu itulah jamrut mata kucing yang harganya menyerupai sebuah kota,
jelas tak lebih asor dari Ki-loh-ci-sing itu.
Secara royal dan sembarangan
Kui-je-ong mau menyerahkan barang mestika yang begitu tinggi nilainya kepada
orang, kenapa pula orang pandang jejak Ki-loh-ci-sing begitu penting dan
genting? Lahirnya Coh Liu-hiang mengulum senyum, dalam hati justru sedang
menimang-nimang.
Mendadak menyelinap masuk
seorang gadis jelita dari sebelah belakang, langsung menjatuhkan diri berlutut
dan berbicara seperti kicauan burung. Jawaban Kui-je-ong orang lainpun tidak
mengerti. Akhirnya berkatalah Kui-je-ong dengan mengelus brewoknya.
"Penyakit permaisuri rada
baikan, silahkan dia keluar duduk di sini."
Pek-hun-kian-hiap Go Pek-hun
orang kedua dari dua bersaudara she Go berkata dengan tertawa," Apa
permaisuri juga ingin keluar melihat calon menantunya?"
"Memang begitu, sudah
lama dia rebah di atas ranjang karena penyakitnya, tak nyana karena mendengar
kabar baik, dia malah bisa keluar, sungguh menggembirakan."
Ditengah gelak tawanya, tampak
beberapa gadis berpakaian serba sutera sedang beranjak keluar memayang seorang
perempuan setengah baya yang masih kelihatan ayu molek, pakaiannya memanjang ke
tanah, rambutnya sedikit awut-awutan, sikapnya agung berwibawa. Matanya rada
sipit seperti habis bangun tidur, roman mukanya menunjukkan lemah semangat dan
punya sakit lama, usianya sudah rada lanjut tapi kecantikannya masih membekas
jelas. Tanpa sadar semua orang tertunduk kepalanya tiada satupun yang berani
memandangnya dengan langsung.
Hanya Coh Liu-hiang yang
berpendapat, Thian memberkahi sepasang mata kepadanya, jikalau tidak
memanfaatkannya untuk menikmati yang ingin kau lihat, bukan saja menyia-nyiakan
kebaikan yang Maha Kuasa, boleh dikata sedang menyiksa diri sendiri.
Dengan tertawa riang
Pipop-kongcu menyongsong maju, Kui-je-ong pun berdiri menyambut, sentaknya:
"Tidak lekas kau payang permaisuri untuk duduk, lekas…….tenda bagian luar
kenapa tidak lekas ditutup?"
Kui-je-ong yang serba romantis
dan suka foya-foya ini ternyata begitu kasih sayang terhadap permaisurinya,
seperti kuatir orang terkena angin menambah berat penyakitnya. Dengan gerakan
gemulai permaisuri duduk di tempatnya, walau duduk tak bergerak, tapi cuma
kerlingan matanya saja, membuat orang yang dipandang segera tahan napas.
Langsung Pipop-kongcu tunding
Oh Thi-hoa dan berkata pada ibunya : "Dia inilah!"
Seketika Oh Thi-hoa merasakan
darahnya seperti mengalir naik ke atas kepala dan hampir meledakkan batok
kepalanya.
"Baik, baik sekali!"
ujar permaisuri dengan tertawa senang. Dimana sebelah tangannya bergerak, dari
belakang segera maju seorang gadis yang membawa nampan dari batu jade, di atas
nampan cahaya kemilau menyolok mata, entah barang-barang mestika apa saja yang
ada di situ.
"Inilah pemberian
ibundaku, terimalah." Kata Pipop-kongcu.
Kali ini bukan saja Oh Thi-hoa
tidak berani menolak malah kata-kata sungkanpun tidak berani ia ucapkan.
Kui-je-ong angkat cangkirnya,
katanya tertawa besar. "Teman-teman agung duduk memenuhi meja, keluarga
punya kerja, merupakan hari kebahagiaan kehidupan manusia, adakah sesuatu yang
lebih menggirangkan dari persoalan jodoh! Mari! Mari! Silahkan kalian tenggak
tiga ratus cangkir bersama Siao-ong."
Beramai-ramai semua hadirin
angkat cangkir masing-masing dan minum sepuasnya, suasana riang gembira
menghayati hati semua hadirin, cuma Oh Thi-hoa seorang yang amat mendelu,
biasanya ia paling kesetanan melihat arak, tapi seperti pengantin yang
malu-malu saja menghadapi arak, kepalapun tak berani diangkat.
Pepatah ada bilang "Ibu
mertua menilai menantu, semakin dipandang semakin menarik"
Tapi mata permaisuri seperti
sengaja tak sengaja sering melirik kepada Coh Liu-hiang, dia cuma mencicipi dua
tegak arak saja, lalu berdiri dan berseri tawa, katanya: "Semoga kalian
makan minum riang gembira, badanku kurang sehat, maaf aku mengundurkan diri
terlebih dahulu." Coh Liu-hiang mengantar punggung orang keluar, ternyata
iapun terlongong tak bergerak.
Ki Ping-yan berbisik kepadanya
: "Perempuan lain kau tidak minat, ingat itu permaisuri orang, jangan
sekali-kali kau bikin pikiranmu butek."
Coh Liu-hiang menyeringai
geli, ingin ia mendebat tapi mulut tetap terkancing.
Didengarnya Go Ceng-thian
tiba-tiba berkata : "Mana Toh Tayhiap itu?"
"Agaknya dia tak tertarik
lagi." sahut Kui-je-ong, "Meski Siao-ong berusaha menahannya makan
malam, segera dia berlalu sungguh menjengkelkan Suton Liu-che tahu-tahu ikut
menghilang tanpa pamit."
Masih ada Ong-heng itu, kemana
dia? Tanya Coh Liu-hiang.
"Orang ini berwatak aneh,"
sahut Go Pek-hun, sudah berulang kali kupanggil dia, tapi dia tak mau hiraukan
undanganku.
Orang ini tak datang malah
kebetulan, dia tahu Siao-ong sedang mencari pembantu yang berkepandaian tinggi,
dia datang sendiri tanpa kuundang, tapi tindak tanduknya main
sembunyi-sembunyi, Siao-ong tak berani percaya kepadanya, setelah mencuci
tenggorokannya dengan arak, tawanya semakin lebar, katanya lebih lanjut:
"Tapi semua yang hadir di sini ku anggap orang sendiri, Siao-ong punya isi
hati yang ingin kulimpahkan kepada kalian, ingin kupinjam suasana yang riang
gembira ini, dan setelah kujelaskan harap kalian suka menyimpan rahasia
ini."
Coh Liu-hiang dan Ki Ping-yan
sekilas bertukar pandang, dalam hati sama berpikir :" Ternyata memang ada
variasinya, arak ini jadi kurang sedap diminum."
Dua saudara she Go berkata
bersama : "Silahkan Ongya katakan saja, kami bersaudara pasti tutup
mulut."
Pandangan Kui-je-ong tertuju
pada Coh Liu-hiang bertiga, Coh Liu-hiang lantas angkat bicara, "Teman
baik menantu raja, mana berani berkhianat pada baginda."
"Ya, ya! Siao-ong memang
terlalu banyak curiga, mendadak ia hentikan tawanya, katanya dengan nada berat.
Kuharap kalian suka memaklumi keadaan Siao-ong sekarang ini. Sejak menteriku
memberontak, terpaksa Siao-ong harus hidup dalam perantauan, menghadapi setiap
persoalan, mau tidak mau aku harus bertindak hati-hati."
Kembali Coh Liu-hiang bertukar
pandang dengan Ki Ping-yan, batinnya : "Rekaan kami ternyata tidak
meleset, Negeri Kui-je ternyata direbut orang, bahwa dia menarik kaum
persilatan sebanyak mungkin, agaknya untuk melindungi jiwanya."
Terdengar Kui-je-ong
melanjutkan dengan penuh penasaran. "Walau Siao-ong keluyuran di luar,
tapi hatiku berada didalam negeri, sudah tentu pembesar pemberontak sama tahu
hatiku, maka mereka selalu berusaha mendesak melenyapkan jiwa Siao-ong. Selama
satu tahun ini, Siao-ong berulang kali menghadapi mara bahaya, malah yang
datang melakukan pembunuhan bukan lagi busu-busu dari negeriku sendiri,
melainkan pembunuh-pembunuh kejam yang diundang dari Tionggoan oleh kaum
pemberontak itu."
Go Ceng-thian kelihatan
tegang, katanya : "Siapa saja orang-orang yang berani meluruk datang
itu?"
"Bagaimana jejak kaum
pendekar Tionggoan, Siao-ong tidak begitu jelas, cuma aku tahu satu diantaranya
bergelar Sin-to-bu-tik "Golok Sakti Tanpa Tandingan" masih ada
seorang lagi bernama Pat-pi-na-lo."
Go Ceng-thian menghela napas
lega, katanya jumawa : "Ongya tak usah kuatir, jangan kata ada Oh-heng
tiga bersaudara disini, mengandal kami bersaudara, orang-orang itu jangan harap
bisa melukai seujung rambut Ongya."
"Tapi menurut apa yang
Siao-ong ketahui, kaum pemberontak kembali mengundang empat-lima jago-jago
silat tinggi, khabarnya satu diantaranya memiliki ilmu pedang yang tinggi,
boleh dikata tiada bandingannya di seluruh jagat."
Go Ceng-thian jadi tegang
lagi, tanyanya : "Apakah Ongya sudah tahu siapa nama-nama mereka?"
"Siao-ong hanya tahu
empat orang diantaranya tujuh hari yang lalu sudah tiba di daerah sekitar sini,
tokoh yang terlihay itu jejaknya tidak menentu dan misterius."
"Darimana Ongya dapatkan
kabar ini?" tanya Go Pek-hun.
"Walau Siao-ong
gelandangan di luar jauh dari sanak kandang, tapi didalam istana masih ada
menteri-menteriku yang setia, mereka secara diam-diam memberi kabar
kepadaku."
Mendadak Oh Thi-hoa menyela
dengan suara keras : "Peduli berapa lihay orang-orang itu, asal mereka
berani datang kemari, jangan harap bisa pulang dengan hidup," belum habis
kata-katanya, Pipop-kongcu sudah mengerling ke arahnya dengan senyuman penuh
arti. Seketika merah pula selebar mukanya.
"Ya! Ya! Ada kalian di
sini, apa pula yang kutakutkan, cuma ………., Siao-ong rada curiga bukan mustahil
orang she Oh itu adalah salah satu pembunuh yang menyelundup kemari."
"Benar, orang ini
sembunyi kepala memperlihatkan ekor, jejaknya memang mencurigakan," kata
Go Pek-hun prihatin.
Jikalau benar-benar pembunuh
yang menyelundup kemari, malah bisa bersikap terus terang untuk menghindari
curiga orang, mimik wajah kurang wajar malah bisa menunjukkan hatinya, demikian
ujar Coh Liu-hiang.
"Benar," Kui-je-ong
tepuk tangan, "Pandangan tuan memang tajam, Siao-ong hampir saja
menyalahkan orang baik-baik, cuma……" seri tawanya hilang, berganti mimik
kaku, katanya pula : "Kecuali itu, Siao-ong masih ada urusan lain."
"Ongya masih ada urusan
apa?" tanya Go Ceng-thian.
"Pernahkan kalian
mendengar nama Ki-loh-ci-sing?"
Tergerak hati Coh Liu-hiang
bertiga, persoalan ini sejak mula memang sudah dalam dugaan mereka.
"Cayhe belum pernah
dengar!" kata Go Ceng-thian.
Ki-loh-ci-sing adalah sebuah
jamrut yang lebih mahal dari sebuah kota. Siao-ong sebetulnya minta bantuan
Peng-bun-ngo-hou mengantarnya."
Apakah keturunan dari
perguruan Ngo-bun-toan-bun-to itu? tanya Go Pek-hun.
Kui-je-ong manggut-manggut
sambil mengiakan.
"Kelima bersaudara ini
terhitung tokoh kosen kelas satu dalam Bulim, Pek-kek-piau-kiok namanya lebih
terkenal, selamanya tak pernah gagal, jikalau Ongya menyerahkan barang dalam
perlindungan mereka, bolehlah tidur nyenyak, makan kenyang, tak usah
kuatir."
"Siao-ong tahu mereka
boleh dipercaya, maka berani aku berikan tanggung jawab yang berat ini kepada
mereka, tak nyana kelima bersaudara ini kini sudah ajal semua, Ki-loh-ci-sing
sudah tentu sudah terjatuh ke tangan orang lain."
"Apakah berita ini boleh
dipercaya?" tanya Go Ceng-thian kaget.
"Takkan salah, anak
buahku sudah menemukan jenazah mereka."
Seketika guram muka bersaudara
she Go, orang yang mampu membunuh Peng-keh-ngo-hou sekaligus, sekali-kali
mereka tidak akan kuat melawannya.
"Apa Ongya ingin supaya
kami pergi merebut Ki-loh-ci-sing itu?" tanya Coh Liu-hiang.
"Siao-ong tak punya
maksud demikian."
Coh Liu-hiang tertegun malah
mendapat jawaban ini, tanyanya pula : "Maksud Ongya adalah……."
"Terus terang, orang yang
merebut Ki-loh-ci-sing itu, barusan sudah memberi kabar kepada Siao-ong,"
"Dimana orang yang
memberi kabar itu?" tanya Coh Liu-hiang.
"Menurut laporan anak
buahku, ginkang orang itu amat tinggi laksana bayangan setan, setelah
menyerahkan sepucuk surat, bayangannya segera menghilang tanpa bekas."
"Kalau demikian, dimana
surat itu?"
"Ada disini."
Surat ini hanya bertulisan
beberapa huruf kata saja yang berbunyi :
"Ki-loh-ci-sing sudah
menjadi milikku, jikalau ingin minta kembali, tiga hari kemudian tepat tengah
hari, antarkan lima ratus tail uang emas, lima ratus butir mutiara, gelang
pualam lima puluh pasang, lima puluh li setelah ke arah barat, akan datang
seseorang yang membawa Ki-loh-ci-sing mengadakan pertukaran, kalau mutiara ada
yang guram, gelang pualam ada yang palsu, dengan setulus hati Ki-loh-ci-sing
selamanya takkan kukembalikan."
Sudah tentu surat ini tiada
tanda tangan, hanya ada lukisan sebuah patung Koan-im yang punya seribu tangan
seribu mata.
"Hanya sebutir jamrut
sebesar itu, apakah mempunyai nilai sedemikian banyak? Apa orang itu tidak
gila?" seru Go Ceng-thian.
"Dia sih tidak
gila," sahut Kui-je-ong.
"Masakan Ongya sudah
terima persyaratan itu?"
"Ya."
Dingin tengkuk Go Pek-hun,
mulutnya menggumam : "Sebetulnya Cayhe beramai dengan senang hati suka
merebut balik batu permata itu bagi Ongya."
Upah yang besar tentu ada
orang yang memberanikan diri. Kalau Kui-je-ong suka memberikan harta benda
senilai sebuah kota kepada orang lain, sudah tentu nyalinya seketika bangkit
berkobar-kobar.
Kui-je-ong malah menghela
napas, katanya : "Bukan Siao-ong tak percaya kemampuan kalian, kuatirnya
bila diketahui orang itu, dan orang itu membawa lari mestika itu, betapa besar
dunia ini, kemana Siao-ong harus mencari dia." Ia merandek sebentar lalu
menyambung, "Oleh karena itu Siao-ong lebih senang kehilangan harta benda,
asal Ki-loh-ci-sing dapat kuminta balik."
"Jadi maksud Ongya supaya
tiga hari lagi kami bertiga pergi mengantar barang-barang yang diminta itu
untuk ditukar dengan Ki-loh-ci-sing?" tanya Coh Liu-hiang.
"Ya, Siao-ong ada minat
menepati janji tapi aku kuatir pula, setelah mereka menerima harta bendaku ini,
lalu mengingkari janji, maka jikalau kalian sudi membantu kesulitanku ini,
Siao-ong akan lega dan terhibur."
"Dengan suka rela kami
beramai suka bekerja, Ongya tak usah kuatir," Coh Liu-hiang memberikan
janjinya.
Ki Ping-yan tiba-tiba
menyelutuk: "Menurut pandanganku, bila Ongya benar-benar mengantar
barang-barang yang diminta itu, mereka mungkin tak mau tukar barang."
"Kenapa?" berubah
air muka Kui-je-ong.
"Kalau mereka melihat
Ongya mau menukar dengan harta benda sebanyak itu, tentunya mereka bisa
membayangkan bahwa nilai Ki-loh-ci-sing amat tinggi daripada barang-barang itu,
dengan sendirinya syarat yang mereka ajukanpun bisa berubah lebih tinggi
bukan."
Mereka pasti takkan berbuat
demikian! Kata Kui-je-ong yakin setelah berpikir sebentar.
"Masa ya?"
Dalam pandangan Siao-ong,
Ki-loh-ci-sing amat tinggi, tapi kalau berada ditangan mereka paling-paling
hanya senilai lima ribu tail emas, kalau toh mereka sudah kelebihan terima lima
ratus biji mutiara dan lima puluh pasang gelang pualam, masakah mereka mau
merubah tujuan semula?"
Bersinar mata Ki Ping-yan,
tanyanya langsung: "Kenapa pula Ongya sendiri justru menilai
Ki-loh-ci-sing itu sedemikian tinggi?"
"Sudah tentu ini
merupakan rahasia, rahasia ini di seluruh kolong langit ini hanya Siao-ong saja
yang tahu."
Ki Ping-yan tak bertanya lebih
lanjut, suasana kemah seketika sirap dan hening lelap. Dari luar kemah
tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dari ringkik kuda dan keluhan unta,
seolah-olah mereka harus dikasihani.
Ki Ping-yan tiba-tiba berdiri,
katanya: "Biar aku keluar melihatnya."
Ringkik yang menyayatkan hati
ini, seketika membuat hati semua orang lebih mendelu. Cangkir emas sudah
terangkat ditangan Kui-je-ong tapi sekian lamanya ia seperti segan menenggak
habis araknya.
Go Pek-hun tak tahan dan ikut
berdiri, katanya sambil mengerut kening: "Unta dan kuda menjerit-jerit,
mungkin terjadi apa-apa diluar?" Dengan langkah tergopoh-gopoh ia berlari
keluar, kebetulan berpapasan dengan Ki Ping-yan yang beranjak masuk.
"Apa yang terjadi di
luar?" tanya Go Pek-hun.
"Tiada apa-apa,"
sahut Ki Ping-yan dengan muka membesi hijau.
"Kalau tak apa-apa,
kenapa kuda dan unta begitu ribut?"
"Itulah karena mereka
baru saja kehilangan satu kawan."
"Kawan?" Go Pek-hun
melengak, "Binatang juga punya kawan?"
"Ada manusia yang lebih
rendah dari binatang, diapun punya kawan, benar tidak?" Tanpa
memperdulikan Go Pek-hun, Ki Ping-yan ke tempat duduknya. Kecuali Coh Liu-hiang
dan Oh Thi-hoa, kepada siapapun ia tidak menghiraukan, apalagi sekarang hatinya
sedang murung.
Coh Liu-hiang sudah maju
mendekat, tanyanya berbisik : "Maksudmu Ciok Tho?"
"Em!" semakin kaku
muka Ki Ping-yan.
"Apa yang terjadi dengan
dirinya?" tanya Coh Liu-hiang tegang.
"Dia tinggal pergi."
"Pergi betul-betul?"
"Bukan Ciok Tho saja, Ong
Thiong pun ikut pergi."
"Kukira demikian."
"Kau tidak
mengejarnya?"
"Tidak perlu
dikejar."
"Kenapa?"
Ciok Tho mau ikut dia pergi
tentu ada latar belakangnya, meski kita menyandaknya, dia belum tentu mau
kembali, apalagi pernah aku berjanji kepadanya, bila ia mau pergi, aku tidak
akan merintanginya.
"Sungguh manusia aneh,
benarkah sampai sekarang kau masih belum tahu asal usulnya."
"Em!"
Teringat sikap dan mimik Ong
Thiong waktu memperhatikan Ciok Tho, berkerut alis Coh Liu-hiang,
"Asal-usul Ong Thiong itu tentunya amat misterius, coba pikir, apa tak
mungkin kedua orang ini sebelumnya memang sudah pernah kenal?"
Ki Ping-yan malah berpaling
kearah lain, seolah tidak mendengar kata-katanya, Coh Liu-hiang tahu kalau
orang bersikap demikian, itu pertanda percakapan sudah berakhir.
Disini mereka berbisik-bisik
bicara, di sana Kui-je-ong menarik Oh Thi-hoa tanya ini tanya itu, cuma sorot
mata Pipop-kongcu tak pernah beralih dari badan Coh Liu-hiang.
Akhirnya berkata Coh Liu-hiang
: "Kami beramai sudah cukup kenyang dan puas, Ongya juga perlu segera
istirahat." Baru saja ia berusaha mengakhiri perjamuan tengah malam ini,
siapa tahu pada waktu itu juga keadaan di luar mendadak menjadi ribut ringkik
kuda, derap langkah dan jeritan orang campur aduk.
Disusul orang banyak
berteriak-teriak : "Api! Api! Lekas tolong ada orang melepas api!"
Berubah air muka Kui-je-ong :
"Mungkin ada pembunuh lagi? Ka…….kali…….an lekas keluar memeriksa,"
belum habis kata-katanya Oh Thi-hoa sudah lompat bangun dan menerjang keluar.
Coh Liu-hiang mengerutkan
keningnya, baru saja dia hendak bilang : "Jangan kena tipu memancing
harimau meninggalkan sarang." Siapa tahu tanpa ayal Ki Ping-yan sudah
tarik tangannya ikut memburu keluar. Keadaan di luar tidak segaduh yang mereka
bayangkan. Anak buah Kui-je-ong agaknya adalah busu-busu pilihan dan
gemblengan, menghadapi perubahan mendadak, sedikitpun mereka tidak menjadi
gugup. Tapi api yang timbul di berbagai tempat memang tidak kecil, pohon-pohon
dan perkemahan para busu banyak yang terjilat api, kuda dan unta dalam
kandangpun ada yang lepas.
Tatkala itu kebanyakan
busu-busu itu repot memadamkan api, cuma sedikit yang mengejar dan menangkap
pulang unta dan kuda, perkemahan tempat tinggal Kui-je-ong jadi tiada
penjagaan.
Ki Ping-yan menerjang maju,
menarik seseorang, tanyanya bengis : "Dimana kawanan busu yang menjaga
perkemahan Ongya?"
Busu ini melototkan mata,
mukanya gugup dan gelisah, ternyata dia tidak paham ucapan Ki Ping-yan. Untung
seorang lain segera memburu maju dan menjawab dengan hormat : "Hamba
beramai tahu dalam kamar Ongya banyak jago lihai dan cukup berkelebihan untuk
melindungi Ongya."
Pelan-pelan Ki Ping-yan lepas
tangan, jengeknya dingin : "Baik sekali tipu memancing harimau
meninggalkan sarang ini."
"Kalau kau sudah tahu,
kenapa kau tarik aku keluar! "Omel Coh Liu-hiang.
"Kutarik kau keluar
memang ku sengaja, untuk membiarkan mereka memainkan sandiwara."
"Maksudmu Go……………."
Kalian hanya memperhatikan permaisuri
dan putrinya, sebaliknya aku tidak.
"Jadi
sekarang………….."
"Aku pergi cari Siao-ong,
pergilah kau melihat sandiwara itu", badannya bergerak sebat sekali,
sekali berkelebat laksana anak panah meluncur ke depan.
Coh Liu-hiang geleng-geleng
kepala, setelah memutar sebuah lingkaran besar barulah dia kembali ke kemah
Kui-je-ong, langsung dia melayang ke puncak kemah dimana terdapat lubang angin.
Ditempat ketinggian ini dengan jelas Coh Liu-hiang ikuti kejadian didalam
kemah.
Dilihatnya Kui-je-ong masih
memegangi cangkir araknya tapi araknya sudah bercecer keluar karena tangannya
gemetar hebat. Pipop-kongcu duduk memeluk ayah bagindanya. Kedua saudara Go
itu, satu berdiri diambang pintu melongok keluar, satu lagi berjaga
disampingnya.
Go Pek-hun tiba-tiba
berpaling, katanya : "Semua sudah pergi jauh."
Go Ceng-thian tersenyum lebar
: "Sret" ia loloskan pedangnya.
Kata Kui-je-ong gemetar :
"Kalian sekali-kali jangan turun tangan, Siao-ong…" belum habis ia
bicara ujung pedang yang kemilau tahu-tahu sudah mengancam di depan hidungnya.
Keruan Kui-je-ong kaget dan ketakutan, serunya : "Kau…….., apa yang kau
lakukan?"
Go Ceng-thian menyengir sadis.
Tidak apa-apa cuma ingin memenggal batok kepalamu.
"Siao-ong undang kalian
dengan bayaran tinggi, kenapa kalian malah mengancamku?"
"Bayaran tinggi? Berapa
uang yang kau berikan pada kami?"
"Bukankah selaksa
tail?"
"Tapi musuhmu memberi dua
laksa tail"
"Kalian dijuluki sebagai
pendekar, kenapa…….kenapa melihat harta lantas lupa harga diri?"
"Pendekar? Berapa sih
harganya pendekar?" Go Ceng-thian tertawa tergelak-gelak, "Kau sudah
menjelang ajal, biar kuberi peringatan padamu, manusia yang bisa dibeli dengan
uang, dia bukanlah pendekar. Orang yang dapat kau beli, orang lainpun berani
membeli dengan harga lebih tinggi."
"Kalau demikian, memang
mata Siao-ong yang picak."
"Memang matamu picak,
bicara terus terang, kabar yang kau katakan tadi kurang tepat, kali ini kami
bukan empat orang tapi enam orang."
"Ma…..masih empat lagi
yang lain? dimana?"
"Sudah tentu mereka sudah
tiba semua, coba kau terka siapa yang membawa mereka?"
Pipop-kongcu tiba-tiba
menimbrung : "Apakah Toa Hoan?"
"Benar," ujar Go
Ceng-thian, "kau memang lebih cerdik dari bapakmu, aku jadi merasa tak
tega membunuhmu."
Go Pek-han mengerutkan alis,
katanya : "Waktu amat mendesak, kau ngobrol apa? Kalau ada orang kemari,
apakah kau mau pahalanya direbut orang lain?"
"Benar, aku hampir lupa
memberi tahu kepadamu, kepalamu ini berharga lima ratus tail." Dimana ia
gentakkan tangan, ujung pedangnya segera memenggal kepala Kui-je-ong.
Coh Liu-hiang belum mau turun
tangan, hatinya cukup tetap dan tenang, ia tahu tak perlu dirinya ikut campur,
batok kepala Kui-je-ong takkan terpenggal. Benar juga terdengar
"Ting", pedang panjang Go Ceng-thian tahu-tahu tersampok miring,
hampir saja terlepas dari tangannya. Entah kapan, tahu-tahu Pipop-kongcu sudah
memegang rebabnya itu, katanya dingin : "Hanya mengandalkan kau, ingin
mengambil kepala ayah baginda, orang-orang yang mendahului kau sudah sejak dulu
berhasil."
Tersirap darah Go Pek-hun,
katanya : "Kepandaian budak ini tidak lemah, rombongan orang-orang yang
mendahului kita mungkin sudah terjungkal ditangannya."
Go Ceng-thian kertak gigi,
bentaknya : "Kau tetap jaga pintu, seorang diri aku cukup menghadapi dia."
Sinar pedangnya berkelebat, kembali ia menubruk maju.
"Apa kau cukup mampu
menghadapi aku?" cemooh Pipop-kongcu. Rebabnya tak pernah bergerak, tapi
belum habis kata-katanya, dari ujung rebabnya itu tiba-tiba menyembur keluar
setabir jarum-jarum perak, begitu banyak jarum-jarum itu, seperti hujan
menyambar, entah berapa banyak jumlahnya.
Saking terkejutnya, lekas Go
Ceng-thian putar pedangnya sekencang mungkin untuk melindungi badan.
Yu-liong-kiam-hoat yang punya enam puluh empat jurus itu memang terkenal
kelincahan dan kehebatannya untuk mempertahankan diri, tapi betapapun rapat
permainan pedangnya, jarum-jarum perak itu menyambar lebih rapat lagi.
Terdengar jeritan yang
menyayatkan hati, pedang melesat naik ke udara, Go Ceng-thian dekap mukanya
dengan kedua tangannya, darah segar meleleh dari sela-sela jari tangannya,
mulutnya melolong kesakitan dengan pilu : "Senjata rahasia teramat
jahat!" belum selesai kata-katanya badannya sudah roboh terjerembab.
Pipop-kongcu menghela napas,
katanya : "Senjata rahasia beracun yang jahat, memang khusus digunakan
untuk menghadapi manusia-manusia jahat seperti kalian."
Sementara itu dengan mata
melotot marah, Go Pek-hun sudah menubruk maju dengan menarik sebuah kasur duduk
sebagai tameng ditangan kiri, pedang ditangan kanan menusuk tujuh jurus dengan
tipu-tipu mematikan.
Kelihatannya Pipop-kongcu tak
kuasa bertahan, dia terdesak mundur berulang-ulang.
"Gadis busuk," maki
Go Pek-hun penuh kebencian, "Masih punya cara keji apa kau? Kenapa tidak
kau gunakan?"
Pipop-kongcu mundur terdesak
mepet cagak kemah dan tak mungkin mundur lagi, tetapi roman mukanya tetap
mengulum senyuman manis, sedikitpun tidak kelihatan gugup.
Sementara Kui-je-ong sudah
mengkeret dipojokan sana, teriaknya : "Lekas, lekas turun tangan! Nyalimu
besar, nyali bapakmu kecil!"
Tawa Pipop-kongcu semerdu
kelintingan, serunya : "Aku hanya ingin berkenalan dengan Yu-liong-kiam
mereka, kau orang tua minta aku turun tangan, baiklah aku mulai! "Dengan
kedua tangan ia mengangkat rebabnya memapak keatas, "Reng" kembang
api berpercikan, pedang panjang kembali terpental.
Go Pek-hun menyeringai buas,
serunya : "Keparat, ternyata rebab besi!"
Rebab memang dibuat dari besi
murni, beratnya luar biasa, meski orang yang punya tenaga besar, sukar
memainkan seenteng pedang, terpaksa Pipop-kongcu harus menggunakan kedua
tangannya untuk mengangkatnya. Go Pek-hun cukup maklum permainan orang takkan
lincah dan gesit, maka sedikitpun ia tidak gentar, pedang dimainkan lebih
gencar, kembali ia menubruk maju, cuma kali ini dia tak berani mengadu
kekerasan.
Tampaknya dengan rebabnya
Pipop-kongcu tetap melayaninya dengan mantap dan tenang, jurus-jurus permainan
rebabnya amat aneh dan lain, malah cukup cepat juga. Karena rebab ini terlalu
besar, sedikit tangannya bergerak, perubahan rebab menjadi tak menentu
banyaknya dan yang aneh, setiap jurus permainannya tetap bertahan dengan rapat.
Dengan kedua tangan memegangi
rebab, untuk melukai musuh tentulah sulit, meski sudah banyak pengalaman Coh
Liu-hiang, namun belum pernah terpikir olehnya, dengan kedua tangan memegang
satu senjata, untuk melawan musuh dengan sama kuat, terutama jurus-jurus
permainan seaneh ini belum pernah dilihatnya. Dia sendiri seolah-olah sudah
mengikat mati kedua tangannya, meski amat rapat dan kuat pertahanannya, terang
dirinya takkan bisa mencapai kemenangan.
Go Pek-hun juga merasa heran,
setelah beberapa jurus berlalu, nyalinya bertambah besar, serangannya lebih
gencar, belakangan dia malah berani mendesak musuh, pikirnya harus berani
nyerempet bahaya untuk memperoleh kemenangan.
Siapa tahu, tepat pada waktu
itu, tiba-tiba tampak sinar perak berkelebat.
Tahu-tahu kedua tangan
Pipop-kongcu terkembang dikedua sampingnya, bagian lekuk dari rebab itu
tahu-tahu melesat keluar sebuah belati yang berkilauan dan tiba-tiba menusuk
amblas ke dalam perut Go Pek-hun.
Pedang Go Pek-hun terlempar
lepas, dengan sempoyongan badannya roboh terkapar, matanya menyorotkan
penasaran, sampai mati dia masih belum paham cara bagaimana kena dibunuh oleh
lawannya.
Menghadapi badan orang yang
roboh pelan-pelan, Pipop-kongcu berkata pelan-pelan : "Senjataku ini
memang teramat aneh, ganas dan keji, kenapa kau justru mendesak aku
menggunakannya?"
Diam-diam Coh Liu-hiang
tertawa getir ditempat persembunyiannya, Lwekang Pipop-kongcu kelihatannya
tidak begitu tinggi, permainan jurus silatnya yang dipelajaripun tak banyak,
setiap jurusnya masih kelihatan kaku sederhana, kejam, telengas dan bermanfaat.
Sungguh tak habis pikir otak
Coh Liu-hiang, entah darimana orang mempelajari kepandaian seaneh itu, seorang
gadis kecil mempelajari ilmu silat begitu lucu, bukan suatu hal yang patut
dibuat senang.
Kui-je-ong sudah berdiri,
sambil mencari arak dan berteriak : "Lekas! Lekas suruh orang menggotong
kedua mayat ini, aku takut melihat orang mati."
"Setelah membunuh orang,
kaki tanganku jadi lemas," ujar Pipop-kongcu. Badannya masih menempel kain
kemah, tepat pada saat itulah sekonyong-konyong dua tangan orang tiba-tiba
melesat masuk melalui kain kemah secepat kilat dan berhasil menelikung kedua
tangan Pipop-kongcu.
Saking terkejutnya, cangkir
ditangan Kui-je-ong yang baru dipegangnya seketika mencelat jatuh pula.
Terdengar blak bluk dua kali, dua orang tahu-tahu sudah merobek kemah dan
menerjang masuk.
Kedua orang ini bermuka pucat
pias, pakaiannya serba hitam. Orang di sebelah kanan adalah Sat-jiu-bu-ceng Toh
Hoan, tangan kirinya dengan kencang mencengkeram lengan Pipop-kongcu, sementara
tangan kanan diperban dan digantung oleh kain panjang dari lehernya.
Orang di sebelah kiri berbadan
kurus kering, sebaliknya kepalanya seperti melesak masuk ke dalam lehernya,
tapi sepasang matanya justru berkilat terang sebuas mata orang hutan yang
kelaparan.
Kedua lengan Pipop-kongcu
seperti terjepit oleh dua jepitan besi, saking kesakitan hampir saja matanya
melelehkan air mata, tapi dia kertak gigi, mengeluhpun tidak.
Bergetar suara Kui-je-ong :
"Ka…..kalian ingin memenggal kepala Siao-ong boleh kuberikan tapi lekas
lepaskan putriku."
Toh Hoan terloroh-loroh
katanya : "Masa kau belum pernah dengar nama burukku? Jikalau tuanmu bisa
membunuh dua orang, takkan satu yang ketinggalan hidup."
Laki-laki kurus seperti kera
itu mengerutkan kening, katanya : "Mau bunuh lekas bunuh, cerewet
apalagi!"
Agaknya Toh Hoan rada jeri
terhadap orang ini, katanya tertawa kering : "Sun-heng hendak turun
tangan? Atau Siaute yang turun tangan?"
"Kalau hobimu memang
membunuh orang biar kau saja yang turun tangan!"
"Terima kasih, terima
kasih…………." Toh Hoan tertawa besar .
Sekonyong-konyong terdengar
seseorang berkata perlahan-lahan : "Kedua orang ini mana boleh kalian
bunuh."
Ditengah kumandang suaranya,
sesosok bayangan orang melayang turun dari langit-langit kemah, kelihatannya
tidak menggunakan gaya apa-apa, tapi waktu melayang turun sekujur badannya
seringan kapas melayang ditengah udara, sedikitpun tak mengeluarkan suara waktu
kakinya menyentuh tanah.
Kecuali Coh Liu-hiang si
Maling Romantis, siapa pula yang memiliki ilmu Ginkang setinggi itu?.
Laki-laki baju hitam itu,
semula bersikap takabur dan congkak, mimiknya seolah-olah tiada orang lain
dihadapannya, tapi setelah melihat bayangan orang, seketika ia terkejut
melongo, jari-jari tangannya yang terkepal kencang tadi mengendor sama sekali.
Dengan mengawasi orang Coh
Liu-hiang tersenyum simpul, katanya : "Sun-kausu masih kau kenal
padaku?"
Kiranya laki-laki baju hitam
ini adalah ahli waris tunggal dari Tiang-pek-kau-cun "Rombongan kera dari
Tiang-pek-san", seorang yang amat keras dan tangan telengas diantara
sekian banyak gembong-gembong persilatan yang lalim dan kejam, sampaipun
Tiang-pek-kiam-pay merasa pusing menghadapi Hek-kau Sun Khong ini, Si Kera
Hitam.
Kalau biasanya dia bikin orang
pusing kepala, tapi sekarang dia sendiri yang merasa kepalanya puyeng, sekian
lama dia menjublek tanpa kuasa bersuara. Semula Toh Hoan masih unjuk wibawa,
namun melihat sikapnya ini seketika terkancing mulutnya.
Berkata Coh Liu-hiang tertawa:
"Manusia seperti tampangmu ini berani juga kemari menjadi pembunuh
bayaran, memangnya kau tidak merasa malu?"
Hek-kau, Sikera Hitam Sun
Khong tiba-tiba membanting kaki, katanya dengan suara sumbang : "Kalau aku
tahu kau berada di sini, meski leherku digorok juga, aku takkan kemari."
"Terhitung kau masih
punya nurani." puji Coh Lu-hiang.
Setelah melongo sesaat lagi,
akhirnya Hek-kau menghela napas, tanpa banyak cincong segera ia berlalu.
Sat-jiu-bu-ceng Toh Hoan,
sitangan keji tak kenal kasihan, segera berseru : "Kau hendak pergi begini
saja?"
Sun Khong mendadak membalikan
badan, jengeknya sinis : "Memangnya aku tak boleh pergi?"
"Siapakah bocah
ini?" tanya Toh Hoan aseran, "Kenapa Sun-heng begitu takut
padanya?"
Sun Khong memelototi matanya,
katanya menyeringai sadis : "Kau berani menganggapnya sebagai bocah?
Mengandal apa kau berani tanya dia? Hem!" berbareng dengan gerengannya, sebuah
tangan hitam laksana kaitan besi tahu-tahu berkelebat laksana kilat, sebelum
Toh Hoan sadar dan hendak berkelit, mulutnya sudah menjerit keras dan
sempoyongan. Tahu-tahu dadanya sudah berlobang besar dan menyemburkan darah.
Sun Khong membersihkan jari-jari
tangannya yang berlepotan darah dengan bajunya, sekali tendang ia bikin badan
orang terbang jauh keluar kemah, seperti tak terjadi apa-apa, kedua tangannya
digosok-gosok, katanya tertawa pada Coh Liu-hiang: "aku tahu kau tak
pernah membunuh orang, tapi kutinggalkan dia di sini juga membawa kesulitan,
terpaksa kubunuh saja dia." belum habis kata-katanya, tanpa menoleh dia
tinggal pergi.
Semula Kui-je-ong masih hendak
meringkusnya, tapi mukanya sudah pucat ketakutan, setelah musuh berlalu barulah
Kui-je-ong memuntahkan isi perutnya, serunya sambil pejamkan mata :
"Lekas, bersihkan semua mayat-mayat itu!"
Sekonyong-konyong Sun Khong
melongokkan kepalanya pula dari luar, katanya : "Hampir aku lupa
memberitahumu, karena aku berhutang budi padamu, begitu melihat mukamu segera
aku berlalu. Tapi masih ada sepuluh kali lebih hebat dari aku akan kemari
secepat mungkin, kau harus hati-hati."
"Selamanya aku amat
hati-hati, cuma siapa pula tokoh yang lihai itu?" ujar Coh Liu-hiang
tertawa.
Sun Khong tertawa meringis,
sahutnya : "Begitu aku menyebut namanya, kepalaku pusing tujuh keliling,
lebih baik tak kukatakan, sayang segera aku harus berlalu, kalau tidak bisa
melihat pertarungan kalian, wah, tentu amat hebat dan menarik." Kali ini
dia berlalu lebih cepat, kata-kata terakhir diucapkan sepuluhan tombak jauhnya.
Mendadak Pipop-kongcu memburu
kedepan Coh Liu-hiang, teriaknya sambil menarik tangannya : "Siapakah
sebetulnya kau ini? Sampaipun aku, kau tidak mau memberitahu?"
Coh Liu-hiang lepaskan
tangannya dari cekalan orang, sahutnya tertawa : "Aku bukan siapa-siapa,
aku ini bukan lain adalah ulat busuk!"
Pada saat itu juga dari luar
kumandang gemboran Oh Thi-hoa : "Ulat busuk, tiada kejadian apa-apa di
tempatmu?"
Pipop-kongcu masih
merengek-rengek, katanya tertawa kepada Coh Liu-hiang: "Benar, aku memang
ingin tanya kau, kenapa dia selalu panggil kau ulat busuk!"
Sungguh tak enak bagi Coh
Liu-hiang bicara berhadapan dengan gadis sambil merengut, tapi sekarang
terpaksa dia harus menarik muka, kalau tidak dia merasa bersalah terhadap Oh
Thi-hoa. Katanya : "Julukan ini diberikan oleh calon suamimu, kenapa tidak
kau tanya padanya?"
Pipop-kongcu seperti tertegun
sebentar, kebetulan Oh Thi-hoa bersama Ki Ping-yan melangkah masuk, sekali
menyapu pandang, Ki Ping-yan lantas tersenyum, katanya : "Bagaimana? Baik
tidak sandiwaranya?"
Coh Liu-hiang geleng-geleng
kepala, ujarnya : "Kalian kelihatannya adem-adem saja mengejar maling
diluar, tapi kau biarkan maling lari masuk kemari………….."
Belum habis kata-katanya, Oh Thi-hoa
sudah tergelak-gelak.
Berkerut alis Maling Kampium,
katanya : "Kau merasa geli."
"Kali ini memang kau kena
ditipu oleh Jago Mampus."
"Tertipu?" Maling
kampium tertegun.
"Kau kira kami tidak
melihat kedua orang itu?"
"Kalau melihat kenapa kau
biarkan mereka masuk kemari?"
"Jago Mampus ejekan buat
Ki Ping-yan, sudah kenal Sun-khong, dia tahu selama hidupnya kera hitam itu
paling kagum terhadapmu, kuatir kau terlalu menganggur di sini, maka dia
dibiarkan supaya kau bereskan sendiri, waktu aku hendak melabraknya, malah kena
dirintangi."
Tak tahan Coh Liu-hiang
tertawa lebar, katanya geleng-geleng : "Memang aku sudah heran, meski
ginkang Sun-kaucu "Kera she sun" tidak lemah, mana mungkin dia bisa
lolos dari pandangan kalian, siapa tahu memang kalian hendak mempersulit diriku
saja."
Ki Ping-yan tertawa tawar,
ujarnya : "Tapi kalau kera hitam itu tidak bisa dipandang sebagai tokoh
yang boleh diampuni, aku takkan membiarkan dia berhadapan dengan kau………jikalau
kubiarkan setan pemabokan ini melabrak kera hitam itu, coba pikir apakah kera
hitam itu bisa lolos?"
Kalau semua orang gempar,
ribut dan berjuang mati-matian mengadu jiwa, mengalirkan darah, saking tegang
bahkan napaspun memburu, ketiga orang ini justru bersikap adem-ayem seperti
biasa seolah tak pernah terjadi apa-apa, seperti sedang makan sayur belaka.
Baru sekarang Kui-je-ong bisa
menenangkan hati, tiba-tiba ia memburu maju, katanya : "Mereka………..mereka
semua datang enam orang, mana pula yang dua?"
"Ongya ingin melihat
mereka?" tanya Ki Ping-yan tawar.
Kui-je-ong terperanjat, lekas
ia goyang-goyang tangan, sahutnya : "Tidak……….tidak mau."
Coh liu-hiang menghela napas,
katanya : "Tak beruntung kedua orang itu kebentur oleh mereka berdua,
mungkin selamanya takkan bisa kemari."
Pipop-kongcu menatapnya,
tanyanya : "Kalau kebentur oleh kau?"
Maling kampium pura-pura tidak
dengar, ia tidak perdulikan pertanyaan orang.
Oh Thi-hoa malah yang
menjelaskan dengan tertawa : "Siapa saja yang kebentur oleh dia, terhitung
baik nasibnya, Dulu kera hitam pernah tiga kali kebentur di tangannya, tiga
kali juga dilepaskannya. Oleh karena itu setiap kali berhadapan dengan dia,
kentutpun Sun-kaucu tak berani, lantas tinggal pergi." Lalu ia menambahkan
dengan sungguh-sungguh: "Bahwasanya kepandaian kelima orang itu
dilipat-gandakanpun bukan tandingan Sun-kaucu seorang."
Seketika Kui-je-ong menjadi
tegang pula, katanya : "Tapi Sun-kaucu tadi bilang, masih ada seseorang
yang sepuluh kali lebih lihay dari dia hendak kemari."
"Oh, apa ya?" tanya
Ki Ping-yan mengerutkan alisnya.
"Tokoh yang sepuluh kali
lebih lihay dari Sun-kaucu, hanya ada beberapa orang saja dalam dunia ini, tapi
bukan mustahil kera hitam itu sedang main-main dengan kita."
"Sun-kaucu selamanya tak
pernah berbohong."
"Kalau begitu, coba kau
pikir siapa yang dia maksudkan?"
"Perduli siapa dia,
tunggu saja kedatangannya, jikalau kalian tak punya kebiasaan tidur, biar aku
seorang diri pergi tidur saja," tanpa menunggu reaksi orang banyak Ki
Ping-yan tinggal pergi.
Biji mata Oh Thi-hoa
berputar-putar, lagaknya seperti ingin minum, tiba-tiba ia melihat roman muka
Pipop-kongcu berubah begitu jelek, seketika lenyap selera minumnya, sambil
menyengir dan mengusap mulut dengan lengan bajunya, lekas ia tinggal pergi
meronda keluar.
Sudah tentu Coh Liu-hiang tidak
ingin tinggal lama-lama disini, setelah bersoja segera ia hendak mengundurkan
diri. Tak nyana Pipop-kongcu tiba-tiba menahannya : "Tunggu
sebentar?"
"Harap tunggu!"
Kui-je-ong menahannya.
Betapapun keras teriakan
Pipop-kongcu boleh dianggap tak mendengar, tapi seruan Kui-je-ong tak bisa
tidak ditanggapi, apa boleh buat Coh Liu-hiang putar badan, tanyanya :
"Ongya masih ada pesan apa?"
Sekian lama Kui-je-ong
terlongong, katanya kemudian menyengir tertawa : "Menurut pendapatmu kapan
baiknya hari pernikahan putriku dengan temanmu dilangsungkan?"
"Maksud Ongya……."
"Lebih cepat lebih
baik" sebelum Kui-je-ong bicara Pipop-kongcu sudah menyela bicara.