-------------------------------
----------------------------
Bab 8: Pamer kepandaian
Walau Oh Thi-hoa sudah
melempar dua busu yang berpakaian lengkap itu ke dalam air, serta menghajar
tiga orang lain sampai mata biru hidung keluar kecap, tapi hatinya masih merasa
penasaran. Dia merasa kali ini Coh Liu-hiang terlalu tidak setia kawan. Seorang
diri dia makan minum di sini, orang lain sebaliknya harus berjuang mengadu
nasib, kuatir bagi keselamatannya lagi. Setelah beberapa cangkir arak masuk ke
dalam perutnya, terhitung terlampias rasa dongkolnya, terutama dihadapi gadis
cantik rupawan yang meladeni dirinya minum arak ini, begitu elok dan mungil
sehingga dia merasa terlalu kasar bila mengumbar marah di sini.
Sekarang Coh Liu-hiang sudah
tahu, orang-orang macam apa saja yang duduk berkerumun makan minum di sini,
kelima orang ini adalah tokoh-tokoh yang cukup tenar dan dijunjung tinggi
tingkatnya di kalangan kang ouw.
Tiga orang yang duduk
disebelah kiri, kiranya adalah dua bersaudara dari keluarga Go Yu Hong-kiam
yang kenamaan, seorang lagi adalah begal tunggal yang menggoyahkan daerah dua
sungai gede Suicu Lin-che adanya.
Laki-laki baju hijau yang
pucat pasi itu, namanya lebih tenar dan tingkatannya lebih tinggi, dia bukan
lain adalah Sat-jiu-bu-ceng tangan gagah tak kenal kasihan Toh Hoan yang
terkenal kejam dan suka membuat pusing kepala kawan-kawan dari aliran putih dan
hitam. Rekor orang ini dalam membunuh, konon jarang ada bandingannya, orang
lain pandang dirinya laksana ular dan kalajengking, dia sendiri merasa bangga
dan pongah. Tapi setelah mengenal orang ini, mau tidak mau berkerut alis Coh
Liu-hiang.
Cuma seorang lagi yang duduk
disamping Toh Hoan bernama Ong Tiong, mukanya seperti berpenyakitan, tak punya
semangat selalu lesu dan ngantuk, juga kelihatannya raut mukanya takkan
mengejutkan orang, namanya pun tak begitu terkenal. Tapi Coh Liu-hiang justru
merasa pandangannya rada lain terhadap orang ini.
Setelah satu persatu
perkenalkan beberapa orang ini, Kui-je-ong angkat cangkir dan katanya pula:
"Siau-ong tiada hobi apa-apa, selama hidupku cuma suka menjamu tamu,
kelima orang ini adalah tamu agungku yang ku undang dari tempat jauh. Tentunya
kalian bertiga pernah mendengar ketenaran nama mereka."
Oh Thi-hoa tertawa besar,
katanya :" Ketenaran nama-nama saudara-saudara ini, memang sudah lama
kudengar, silahkan ku suguh secangkir kepada kalian." Bahwasanya
sedikitpun ia tidak kagum dan belum pernah mendengar nama mereka, tak lain dia
hanya cari kesempatan untuk minum lebih banyak.
Kui-je-ong mengawasi Ki
Ping-yan, katanya : "Sekarang hanya nama besar saudara saja yang belum
kuketahui."
"Ki!" jawaban Ki
Ping-yan cekak aos, kepalapun tak terangkat.
"Namamu?" tanya
Kui-je-ong pula.
Kali ini Ki Ping-yan sepatah
katapun tak menjawab, cuma dengan jari tangannya ia menulis dua huruf ditengah
udara, seperti orang main sulapan saja, siapapun tak ada yang melihat jelas apa
yang dia tulis.
Sela Oh Thi-hoa :
"Kepandaiannya yang utama memang tutup mulut tak bicara."
Berkilat mata Kui-je-ong,
tanyanya :
"Lalu tuan?" segera
dengan tertawa ia menambahkan : "Selama hidup Siau-ong paling senang
berkenalan dengan orang-orang yang berkepandaian tinggi dalam ilmu silat, tadi
temanmu ini sudah mendemontrasikan kepandaiannya, jikalau tuan punya minat
supaya mata Siau-ong terbuka, sungguh Siau-ong teramat girang."
"Cayhe sudah kenyang
minum arak Ongya, adalah pantas kalau kutunjukkan permainan untuk menghibur
Ongya. Cuma sayang kecuali minum arak, Cayhe hanya punya tenaga kasaran
belaka."
Semakin girang Kui-je-ong,
serunya bertepuk : "Bagus, bagus kiranya tuan seorang yang punya tenaga
raksasa," lalu tapak tangannya bertepuk beberapa kali, dari belakang kemah
segera muncul keluar seorang laki-laki besar berkepala gundul, telanjang badan
bagian atasnya dan bercelana pendek ketat yang dihiasi sulaman benang emas.
Selama hidup tak sedikit Oh
Thi-hoa pernah melihat laki-laki yang bertubuh tinggi kekar, dia sendiripun
berperawakan besar, tapi dibanding dengan laki-laki itu, dirinya seperti anak
kecil. Kecuali patung tembaga didalam kuil, atau raksasa dalam dongeng
bergambar yang membendung banjir, sungguh tak pernah terpikir olehnya, dalam
dunia ini ada laki-laki raksasa seperti ini gedenya.
Kui-je-ong tertawa, ia
memperkenalkan: "Inilah laki-laki kasar dari negeri kami Gunial, bawaannya
hanya tenaga kerbau yang kasaran, kuharap kau suka menaruh belas kasihan,
memberi kelonggaran kepadanya."
Mengawasi sekujur badan
laki-laki raksasa yang bernama Gunial dengan daging ototnya yang meringkel
keras seperti dibuat dari besi baja ini, diam-diam dingin bulu kuduk Oh
Thi-hoa, katanya keras: "Apa Ongya ingin supaya aku adu tenaga dengan
dia?"
Kui je-ong manggut sambil
tersenyum, lalu bicara beberapa patah dengan bahasa negri mereka kepada Gunial,
laki-laki raksasa ini lantas unjuk seringai lebar kepada Oh Thia-hoa dengan
langkah berat, lekas dia datang menghampiri.
Oh Thi-hoa menghela napas,
katanya kepada Coh Liu-hiang: "Tahu begini, lebih baik aku tidak minum
arak saja." belum habis ia bicara tapak tangan laki-laki raksasa segede
kipas itu, sudah terjulur kepadanya. Tak tahan geli Toh Hoan terpingkal-pingkal
di pinggiran sana. Setiap kali melihat orang lain dihajar dan tersiksa, dia
mata senang dan terbuka hatinya, lain-lain hadirinpun jadi ketarik. Cuma Ki
Ping-yan sejak tadi sibuk gegares hidangan dihadapannya. Cara makannya cukup sopan,
kalem dan lahap, tapi sejak duduk tadi sampai sekarang mulutnya belum berhenti
bekerja.
Tampak seperti burung elang
menggondol anak ayam saja, laki-laki raksasa ini menarik Oh Thi-hoa dari tempat
duduknya, tangan kiri Oh Thi-hoa masih sibuk menuang arak ke dalam mulutnya,
mulut menggumam: "Kalau kalian ingin aku konyol, biarlah aku menarik
kembali modalku sekalian!"
Tatkala itu Ganial sudah
menurunkan badannya, kedua tapak tangan orang segede kipas itu pegangi kedua
pundaknya terus menekan ke bawah. Orang lain mengira seumpama tulang-tulang Oh
Thi-hoa tidak tertekan sampai remuk, paling tidak badannya bakal digencet
menjadi pendek, maka terdengarlah "Blang" disusul suara gaduh
gedobrakan dan "Bluk", itulah suara seseorang yang terbanting roboh
diatas tanah. Suara gaduh adalah pecah belah dan meja yang tertindih hancur
berantakan. Tapi yang roboh bukan Oh Thi-hoa tapi sebaliknya laki-laki raksasa
itu sendiri.
Ternyata waktu orang kerahkan
tenaga menindih ke bawah, tahu-tahu ia menekan tempat kosong, badan Oh Thi-hoa
selicin belut selincah kera, tahu-tahu membelesat ke belakang badan orang,
sekali dorong seperti tangannya hanya menempel punggung orang saja, laki-laki
raksasa seberat tiga ratusan kati ini kontan terjungkal roboh terjerembab,
sampai cangkir di atas meja di depan Kui-je-ong mencelat jatuh.
Sudah tentu bukan Oh Thi-hoa
yang berhasil mendorong roboh lawannya, adalah tenaga laki-laki raksasa ini
sendiri yang merobohkan diri sendiri, tidak lebih Oh Thi-hoa hanya sedikit
mendorong saja. Penggunaan tenaga secara tepat dan kebetulan, dinamakan
Su-liang-poa-jian-ki, 'empat tahil punahkan tenaga ribuan kati', kalau
dikatakan memang amat gampang, tapi dalam pelaksanaannya justru tidak boleh
berlaku lambat-lambat atau ayal, penggunaan tenagapun harus pas-pasan dan telak
lagi demikian juga waktunya harus tepat dan persis.
Maklum bila Oh Thi-hoa
menyingkir terlalu cepat, kekuatan si raksasa tidak akan menindih ke bawah, Oh
Thi-hoa pun takkan berhasil mendorongnya roboh dari belakang. Sebaliknya kalau
Oh Thi-hoa sedikit terlambat menyingkir, selamanya jangan harap dia akan bisa
kelayapan dengan jalan kaki, apakah dia masih bisa merangkak? Itu tergantung
nasibnya sendiri.
Mendelong Kui je-ong, menarik
putrinya dia bertanya berbisik: "Apakah itupun kepandaian asli?"
Pipop kongcu tertawa berseri
sahutnya: "Tipu yang bisa bikin Ganial roboh, mana bisa bukan kepandaian
asli?"
Kui-je-ong segera tepuk tangan
sambil tertawa ngakak serunya: "Pahlawan. Sungguh perkasa. Biar Siau-ong
suguh secawan kepadamu."
"Secawan?" seru Oh
Thi-hoa menyeringai.
"Masa tidak patut
mendapat tiga cawan?" dengan langkah gontai ia datang menghampiri,
sedikitpun tidak disadarinya bahwa laki-laki raksasa tadi sudah merangkak
berdiri, orang sudah memburu tiba di belakangnya, baru saja Oh Thi-hoa menerima
secawan arak dari tangan Kui je-ong sekali cengkaram Ganial sudah pegang ikat
pinggangnya seluruh badannya ia jinjing gemandul ditengah udara.
Mata Oh Thi-Hoa mendelik
lempang, teriaknya, "Arak itu amat bagus anugrah Ongya, kau banting hancur
badanku tidak menjadi soal jangan sekali-kali kau bikin arak ini tumpah
lho!"
Dengan pongah kesenangan,
laki-laki raksasa menjinjing badannya tinggi-tinggi sambil berjalan putar dua
lingkaran, bukan saja dia tidak tergesa-gesa, Coh-Liu hiang, Ki Ping-yang
kelihatan adem-ayem.
Bersinar biji mata San-jiu
bu-ceng Tong Hoan katanya sambil menghela napas: "Banting! Banting yang
keras, sampai hancur lebur tak menjadi soal!"
Bukan saja hobi membunuh
manusia sudah menjadi watak orang ini, melihat orang membunuh jiwa orang
lainpun, dianggapnya sebagai tontonan yang menarik.
Setiba dihadapan Kui-je-ong,
laki-laki raksasa tiba-tiba menggembor laksana singa mengaum badan Oh Thi-hoa
diangkat lebih tinggi sedikit terus dibanting sekenanya kearah tanah didepannya,
lekas Kui je-ong menutup kedua kuping seta pejamkan mata, jeritnya:
"Ringan sedikit! Jangan sampai menakutkan hatiku."
Dia kira seumpama Oh Thi-hoa
kali ini tidak dibanting sampai hancur lebur, tulang-tulang badannya pastilah
protol, seluruhnya mungkin pula batok kepalanyapun remuk. Maka terdengar pula
sekali jeritan keras disusul suara gedebukan yang menggetarkan bumi.
Batok kepala Oh Thi-hoa bukan
saja masih tumbuh segar bugar di atas lehernya, tulang-tulang tubuhpun tidak
protol, orang berdiri tegak di tempatnya tetap utuh dan tersenyum senang, arak
dalam cawan dipegangi sejak tadi setetespun tiada yang tercecer keluar.
Sebaliknya laki-laki raksasa
itu kembali roboh dan rebah tengkurap, bergerakpun tak bisa lagi.
Seperti tak pernah terjadi
apa-apa. Oh Thi-hoa melirikpun tidak kepada orang, katanya berseri tawa:
"Secawan arak ini, sekarang barulah bisa kuhirup dengan nikmatnya"
cawan diangkat arakpun ditenggak sekali jadi lalu katanya menghela napas:
"Memang arak bagus, sayang terlalu sedikit."
Dengan mata mendelik
Kui-je-ong berkata berbisik: "Apakah yang terjadi? Apakah kesatria ini
bisa main sulapan?"
"Ini bukan sulapan,
inipun kepandaian sejati." sahut Pipop-kongcu.
"Kepandaian apakah
itu?"
"Tadi waktu Ganial
kerahkan tenaga hendak membanting, kesatria ini lantas mengoprol di pergelangan
tangannya, kekuatannya seketika sirna tak berbekas, dengan ringan kesatria ini
lantas melompat turun, melejit ke belakangnya cuma sedikit sorong cara turun
tangan kesatria ini memang teramat cepat dan mengejutkan oleh karena itu orang
lain hakikatnya tidak menlihat jelas cara bagaimana Ganial kena dirobohkan oleh
dia." tutur katanya lincah enteng, cepat dan menarik, bukan saja Coh
Liu-hiang, Ki Ping-yan sedang sama memperhatikan dia, Oh Thi-hoa pun datang
menghampiri katanya sambil menghormat: "Terima kasih akan pujian tuan
putri, tajam benar pandangan mata tuan putri!"
Kui-je-ong menarik tangan
Pipop-Kongcu, serunya tertawa besar: "Kalau kau sudah melihat
kehebatannya, kenapa tidak kau hatur secangkir arak kepadanya."
Pipop-kongcu tersenyum dengan
menggigit bibir, segera ia menuang secangkir arak terus diangsurkan ke depan Oh
Thi-hoa, hampir saja mulut Oh Thi-hoa tak bisa terkatup saking kesenangan,
serunya: "Tuan putri memberi arak jangan kata cuma secangkir, umpama
segentong pun, sekaligus akan kuhabiskan."
Baru saja ia ulur tangan
hendak menerima cangkir arak itu, sekonyong-konyong seseorang menjengek dingin:
"Arak secangkir itu Cahye pun ingin meminumnya." ditengah suara
ucapannya, seseorang melangkah maju pelan-pelan, ternyata Sat ju-bu-ceng Toh
Hoan itu.
Oh Thi-hoa awasi orang,
katanya tertawa: "Jikalau kau ingin minum arak, disana masih banyak."
Toh Hoan menyeringai sinis,
katanya: "Arak yang ingin Cayhe minum adalah secangkir itu saja."
Oh Thi-hoa tertegun, katanya:
"Apakah secangkir arak itu terlalu wangi?"
"Benar, arak yang dituang
oleh jari-jari tuan putri sudah tentu amat wangi."
Sesaat lamanya Oh Thi-hoa
mengamat-amati muka orang katanya geli: "Aku paham sudah, kau bukan ingin
minum arak, tujuanmu ingin mencari gara-gara dengan orang lain."
Toh Hoan mengawasinya dengan
menyeringai dian, orang tidak mengiakan juga tiak mungkir.
"Kalau kami berdua
sama-sama ingin minum secangkir arak ini, bagaimana menurut kau?"
"Jikalau kau bisa membuatku
tersengkelit jatuh, bukan saja aku tidak akan minum arak itu malah aku berlutut
dan memanggilmu Cocong 'kakek moyang' tiga kali. Kalau sebaliknya, kau harus
memanggil kakek tiga kali"
Oh Thi-hoa menarik napas,
katanya seperti menggumam: "Kenapa orang lain minum arak dengan
ongkang-ongkang aku ingin minum harus dirintangi dan mendapat kesukaran malah.
Baiklah! Boleh kami coba-coba cuma, orang segede dan setua kau ini kalau sampai
memanggilku Cocong, aku jadi rikuh dan risi!"
Suasana dalam perkemahan itu
sontak menjadi tegang, sudah tentu jauh lebih tegang dari keadaan pertandingan
Oh Thi-hoa melawan Ganial tadi, karena semua hadirin tahu ditengah-tengah kedua
alis Toh Hoan sudah diliputi hawa hitam, napsu membunuh sudah mengkhayati
hatinya. Semua hadirin tahu, pertandingan kali ini bukan adu kekuatan main-main
saja, tapi adu kekuatan dengan pertaruhan jiwa.
Dengan berbisik berkata Ki
Ping-yan kepada Coh Liu-hiang: "Sudah lama kudengar Sat jiu-bu-ceng Toh
Hoan ini terlalu kejam dan bertangan gapah, wataknyapun terlalu licik dan
telengas, lebih baik kau sedikit memberi bantuan kepada Oh Thi-hoa."
"Tak apa-apa", sahut
Coh Liu-hiang. "setan arak ini belakangan memang sedang tenggelam dalam
gentong arak, tapi kepandaiannya tidak pernah dilalaikan."
Tampak Toh Hoan berdiri sambil
menggendong kedua tangan, tegak berdiri di sana dengan acuh tak acuh, tapi
seperti menantang, raut mukanya membesi hijau, matanya menyorotkan sinar hijau
berkilauan menatap Oh Thi-hoa, jengeknya dingin: "Biar aku berdiri disini tanpa
bergerak, masakan tuan tak berani kemari?"
Oh Thi-hoa cengar-cengir,
ujarnya: "Kau ingin cara bagaimana aku menyengkelit kau? Kau ingin
terjengkang ke depan? Atau terlentang ke belakang?"
"Umpama kau mampu bikin
badanku terbungkuk sedikit saja, anggap saja kau yang menang."
"Masa kau tak
membalas?"
"Ingin kulihat mampukah
kau menjegalku roboh, bukan maksudku menjegal kau."
"Baik, begitu saja!"
dengan kalem selangkah demi selangkah ia maju menghampiri. Yu-liong kiam
bersaudara dari keluarga Go, Sutou Liu-che dan lain-lain sama mengunjuk belas
kasihan dan sayang, mereka seperti berpendapat begitu Oh Thi-hoa maju
menghampiri, jiwanya bakal tamat dikerjai oleh Toh Hoan, hanya Ong Tiong saja
tetap bersikap acuh tak acuh dan tak bersemangat. Membuka matapun rasanya
malas.
Sembari menghampiri, mulut Oh
Thi-hoa menggerutu: "Awak sendiri tak bergerak terserah lawan menjegalnya
sampai roboh sesuka orang, begini menguntungkan, sungguh jarang kutemui dalam
dunia ini, agaknya arak ini jelas bakal jadi milikku."
Setelah lengan baju dicincang,
tangannya segera terulur meraba pundak Toh Hoan, gaya dan kelakuannya ini mirip
benar dengan Ganial waktu menekan dirinya tadi, cuma badannya tidak segede
Ganial, kedua tangan tidak mampu menindih ke bawah, terpaksa hanya mendorong ke
belakang, dengan kedua tangan mendorong ke depan berarti dadanya terbuka lebar.
Tiba-tiba ujung mulut Toh Hoan
menyeringai sadis, katanya: "Locu tak bergerak biar kau dorong, mana ada
urusan begitu sepele dan menguntungkan dalam dunia ini, bukankah kau sedang
ber…" waktu melontarkan kata-kata pertama, tangan kanannya tahu-tahu sudah
terulur ke depan segesit ular sanca, langsung menjojoh kepada Oh Thi-hoa yang
terbuka lebar, ditengah cahaya pelita yang terang benderang, semua orang
melihat jelas jari-jari tangannya berkilauan hitam.
Ternyata kelima jarinya
masing-masing mengenakan lima buah cincin hitam yang mengkilap, dilihat dari
cahaya hitam mengkilap yang jelek itu, terang cincin-cincin baja itu telah
dilumuri racun yang teramat jahat dan membunuh jiwa orang seketika.
Caranya turun tangan ternyata
amat cepat dan keji, bukan saja dada Oh Thi-hoa terbuka lebar, malah seluruh
badannya seolah-olah berada didalam pelukan orang, mandah dihajar orang tanpa
bisa berbuat apa-apa.
Pengalaman tempur Yu liong-kiam,
Sutou Liu-che sebagai tokoh-tokoh Bulim cukup luas kini mereka berpendapat Oh
Thi-hoa sekali-kali takkan selamat lagi jiwanya.
Coh Liu-hiang sendiripun tak
urung menjerit: "Awas tangannya."
Dalam sekejap itulah, tampak
kedua tangan Oh Thi-hoa yang memegang kedua pundak Toh Hoan, secepat kilat
tiba-tiba menepuk ke tengah, "plak" seperti menepuk lalat terbang
tangan Tong Hoan mirip lalat itu, dengan telak pergelangan tangannya tergencet
kencang oleh tapak tangan Oh Thi-hoa, sedikitpun tak mampu bergeming.
Mulut Toh Hoan sendiri sedang
berkata "bukankah sedang ber" dan belum lagi sempat mengucapkan
kata-kata "mimpi", maka terdengarlah suara 'krak' yang keras,
pergelangan tangannya tahu-tahu sudah tergencet remuk dan putus.
Selincah capung badan Oh
Thi-hoa tahu-tahu sudah melayang mundur, katanya tertawa: "Kukira
tangannya ini sudah terlalu letih kebanyakan membunuh orang, biarlah dia
istirahat selamanya saja."
Toh Hoan kertak gigi,
sedikitpun tak mengeluarkan keluhan, tapi mukanya pucat lesi, badannya
terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh semaput.
Semua hadirin dalam perkemahan
tiada seorangpun yang tak kaget dan melongo heran, baru sekarang mereka tahu
bahwa ilmu silat Oh Thi-hoa ternyata teramat tinggi, tiada seorangpun yang
melihat jelas barusan cara bagaimana orang bertindak, dua bersaudara dari
keluarga Go memang melihat tangannya bergerak, tapi mereka tidak bisa
membedakan ilmu apa dan dari aliran mana kepandaian orang, begitu telak dan
hebat lagi.
Ong Tiong yang sejak tadi
bermalas-malasan tapi kini tiba-tiba menggeliat terus bangun berdiri, serunya
dengan mata terbuka lebar: "Jurus Tiap siang-hui yang bagus sekali, apakah
tuan ini Hoa ou-tiap 'Kupu kembang' yang sepuluh tahun lalu terkenal bersama si
Maling Kampiun Coh Liu-hiang dengan julukan "Siau-siang to-hiap" itu?
Sekilas Oh Thi-hoa melengak,
sesaat ia tatap muka orang, katanya tertawa : "Kupu-kupu kembang itu sudah
tenggelam dalam gentong arak selama sepuluh tahun, ternyata tuan masih tetap
mengenalnya."
Kata-kata ini sekaligus sebagai
jawaban pula, keruan Go keh-heng-te dan Sutou Liu-che sama terbelalak dan
menciut hatinya. Sebaliknya Ong Tiong menghela napas, katanya tertawa kecut:
"Oh Thi hoa… Hoa-ou-tiap…
sejak tadi seharusnya Cahye sudah mengenali kau."
"Tapi sampai detik ini aku
sebaliknya belum kenal siapakah sebetulnya kau ini?"
Ong Tiong mandah tertawa-tawa,
kelihatannya tertawa sedih dan pilu, katanya:
"Nama rendahku tak perlu
kusebut-sebut, cuma…" kini matanya menatap kepada Coh Liu-hiang, katanya
lebih lanjut: "Kalau tuan ini adalah si Maling Kampiun yang menggetarkan
dunia itu, Cahye sungguh punya mata tak tahu gunung Thaysan di depan
mata."
Hadirin kembali ribut dan
bergetar sanubarinya lebih kaget dari tadi.
Coh Liu-hiang cuma tersenyum
ewa saja, katanya: "Apakah yang berada disamping Kupu kembang, selalu
pasti Coh Liu-hiang si Maling Kampiun itu?"
Bercahaya sorot mata Ong
Tiong, katanya: "Meskipun pengetahuan Cayhe amat cetek, tetapi aku tahu
belibis dan kupu sebagai sepasang sayap pembantu, bau kembang harum memenuhi
dunia. Dulu disamping kiri Coh Liu-hiang ada Hwi-yan "Ki Ping-yan",
sebelah kanan ada jay-tiap 'Oh Thi-hoa' malang melintang hina kelana…"
mendadak ia tertawa lebar dan mengganti pembicaraannya: "Tapi ucapan tuan
memang tidak salah, ketiga orang ini kini sudah berpisah menuju arahnya
masing-masing, sudah tentu belum tentu tuan Coh Liu-hiang adanya, demikian pula
tuan yang ini belum tentu Kian sian-sing Ki Ping-yan adanya."
"Tak kira tuan amat apal
dan tahu benar tentang seluk beluk mereka bertiga, apakah tuan kenal satu
diantara ketiga orang itu?" tanya Coh Liu-hiang.
Ong Tiong menghela napas,
katanya tertawa getir: "Bajingan Kang-ouw seperti aku mana ada rejeki bisa
bertemu dengan naga dan burung hong?"
Selama ini biji mata
Kui-je-ong berputar dari satu kemuka orang yang lain, kupingnya pun dengan
seksama mendengar percakapan mereka, kini mendadak ia bergelak tertawa,
serunya: "Perduli siapa sebetulnya tuan-tuan ini, kepandaian kalian sudah
Siau-ong saksikan dan memang mengagumkan, hari ini Siau-ong bisa berkumpul sama
tuan sekalian disini, mari Siau-ong keringkan dulu tiga cangkir sebagai selamat
datang."
Oh Thi-hoa tertawa, ujarnya:
"Tapi arak pemberian tuan putri, Cayhe harus menenggaknya dulu baru merasa
lega."
Pipop-kongku tertawa lebar,
belum lagi ia bicara, tiba-tiba terlihat seorang busu berseragam lengkap
buru-buru berlari masuk langsung ke samping Kui-je-ong dan menunduk berbisik
beberapa patah kata.
Bukan saja sikap Busu ini
tergopoh-gopoh, malah tatakrama menghadapi junjunganpun sudah dilupakan sama
sekali, setelah mendengar laporan Busu ini, tampak roman muka Kui-je-ong
berubah.
Ki Ping-yan batuk-batuk
kering, mendadak ia berdiri sambil berkata: "Cayhe beramai dalam
perjalanan yang meletihkan beberapa hari daging dan arak sudah masuk perut,
matapun sudah terbuka lagi, entah sudikah Ongya meminjamkan tempat istirahat,
supaya kami bertiga sempat tidur melepaskan lelah?"
Kui-je-ong kembali kemimik
semula, katanya tertawa: "Sudah tentu boleh, umpama kalian bertiga hendak
segera berangkat, Siau ong akan berusaha menahan kalian tinggal beberapa lama
di sini." bukan saja tawanya tawa paksaan, suaranyapun gemetar dan maksud
kata-katanya mengandung arti yang mendalam.
Dalam perkemahan lainnya yang
tak kalah megahnya, Oh Thi-hoa sendang memegangi sebuah cangkir arak, kaki
tangannya terjulur rebah di atas kulit binatang yang empuk, katanya setelah
menghela napas panjang: "Urusan dunia ini memang amat aneh, kemarin malam
seperti anjing meringkel di dalam galian pasir yang dingin dan lembab, malam
ini kami sudah menjadi malaikat."
Ki Ping-yan menanggapi dengan
dingin: "Kau kira tempat ini amat nyaman?"
"Kau bisa menemukan
tempat yang lebih nyaman dari ini, aku kagum kepadamu."
"Dalam pandanganku bukan
saja tempat ini tidak nyaman, malah diliputi kesulitan."
Oh Thi-hoa bergegas bangun,
katanya mendelik: "Ada kesulitan apa?"
"Katakan dulu, kenapa
Kui-ji-ong tak berada di negeri sendiri, hidup senang foya-foya didalam
istananya, malah membawa sedemikian banyak pengikutnya menyepi ditempat belukar
yang hanya seluas beberapa li ini?"
Oh Thi-hoa melongo sahutnya:
"Mungkin orang keluar bertamasya."
"Sebagai raja dari suatu
negeri, tindak tanduknya malah boleh sembarangan?"
Oh Thi-hoa mengelus hidung,
katanya: "Seumpama dalam hal ini ada sesuatu yang tidak beres, apa pula
hubungannya dengan kita?"
"Kutanya kau lagi, walau
Kui-je-ong sebuah negeri kecil yang terpencil tapi sebagai seorang raja yang
berkuasa, kedudukannya tinggi dan agung, sebaliknya Kui-je-ong ini suka bergaul
dengan kaum persilatan yang kasar, kenapa?"
"Benar memang suatu hal,
yang aneh dengan berbagai cara dan usaha dia mengambil kawanan persilatan dari
tempat-tempat yang jauh malah tidak perduli asal-usul dan tingkat kedudukan
mereka perduli mereka dari golongan hitam atau aliran putih cukup asal berilmu
tinggi, sebetulnya apa tujuannya? Apa pula yang dia inginkan dari orang-orang
itu?"
"Hal ini gampang
dimengerti" sela Coh Liu-hiang, "Kui-je-ong yang satu ini, terang
dalam pelarian, kesulitannya bukan mustahil hanya kaum persilatan saja yang
mampu mengatasi."
"Dia suka menerima kita
tujuannya supaya kita suka bantu dia?" seru Oh Thi-hoa. "Memangnya
kenapa pula, kulihat dia orang baik-baik tidak gagah-gagahan main gila sebagai
raja agung, dia menghadapi kesulitan kita lantas membantunya, tiada halangan
bukan?"
"Agaknya kau memang
seorang satria yang suka menolong kesulitan orang lain, sayang kita sendiri
sekarang tidak sempat mengurus persoalan sendiri, mana ada tenaga bantu orang
lain."
"Tapi memangnya kita
gegares makanan orang secara gratis saja?"
"Kau jangan lupa,
Ciok-koan im pun pernah menyuguh sewajan daging rebus kepada kita."
Menyinggung Ciok-koan im,
selera minum Oh Thi-hoa seketika lenyap, badannya menjadi panas dingin, setelah
melongo sekian lamanya tak tahan ia berkata pula: "Menurut pendapatmu
bagaimana harus bertindak?"
"Kita istirahat satu jam
saja terus berangkat, sebelum pergi sudah tentu harus isi air dan arak
sepenuhnya, kukira para Busu dari Tiong toh itupun takkan bisa menghalangi
kita.
"Bocah keparat!" maki
Oh Thi-hoa, "orang pandang kau sebagai tamu agung, kau malah hendak jadi
maling kecil."
"Maling kecil yang hidup,
kukira lebih baik dari tamu agung yang konyol."
Terpancing pula mulut Oh
Thi-hoa, kembali ia melongo sekian lama baru menghela napas, katanya:
"Kalau berdebat aku selalu kalah, memang kita kemari bukan ingin menjadi
tamu agung mereka."
"Tapi kita tidak boleh
pergi begini saja", sela Coh Liu-hiang tiba-tiba.
Seketika Oh Thi-hoa
berjingkrak kegirangan sambil bersorak, Ki Ping-yan malah mengerut kening,
"Kenapa?" tanyanya.
"Kita hendak cari Ciok
Koan-im, terpaksa disinilah pangkalan kita sementara." biasanya Coh
Liu-hoang tidak sembarangan bicara, maka kata-katanya ini seketika membuat rona
muka Ki Ping-yan berubah. Oh Thi-hoa sebaliknya tertawa semakin riang.
Teriaknya tertahan.
"Apakah Ciok Koan-im juga
berada di sini?"
"Dia sendiri memang
tiada, tapi anak buahnya, jelas tentu sudah menyelundup kemari."
"Dari mana kau bisa
tahu?"
"Tahukah kalian kemana
sebetulnya Peng Koh Chit-hou hendak mengantar Ki Loh cising itu?"
"apakah hendak diantar
kemari?"
"Tidak Salah !"
"Dari mana kau bisa
tahu?" tanya Ki Ping-yan.
"Tadi waktu busu
berseragam lari masuk memberi laporan memang suaranya lirih tapi aku dapat
dengar dia mengatakan beberapa patah kata."
"Apa yang dia katakan?
tanya Ki Ping-yan pula.
"Meski dia bicara dengan
bahasa negeri Kui-je, tapi waktu menyebut nama seseorang menggunakan bahasa
Han, yang dia katakan ternyata adalah Peng It-hou., Ciok Koan-im.., Ki Loh
si-cing, setelah mendengar laporan berubah roman muka Kui je-ong…"
"Oleh karena itu"
Coh Liu-hiang melanjutkan penuturannya, "Kupikir Ki Lo si-cing tentu ada
sangkut paut yang amat erat dengan Kiu je-ong, musuh Kui je-ong bukan mustahil
adalah Ciok Koan-im pula."
Oh Thi-hoa menepuk paha
serunya :
"Bagus sekali! Jikalau
diapun lawan Ciok Koan-im, kita bantu kesulitannya, berarti bantu kesulitan
sendiri, sekali tepak dua lalat, bukankah amat menguntungkan."
"Apalagi dengan tinggal
di sini, gerak-gerik kita jauh lebih leluasa, bukan saja bekerja sambil
menunggu kesempatan dan menghimpun tenaga, menunggu kedatangan Ciok Koan-im
saja dalam jangka waktu itu kita tak perlu susah-susah pikirkan makan dan
minum.
Ki Ping-yang menepekur sekian
lama, katanya pelan-pelan :
"Bila Ciok KOan-im
benar-benar bermusuhan dengan Kui Je-ong sudah terang dia kirim anak buahnya
menyelundup ketempat ini, tapi jelas tidak mungkin adalah dua saudara dari
keluarga Go dan Sutou Liu Che dan lain-lain.
"Kenapa kau berkesimpulan
demikian?" tanya Oh Thi-hoa.
"Karena orang luar selalu
mendapat perhatian penuh, tapi m usuh dalam selimut sudah diketahui, apalagi
Sutou Siu che dan lain-lain adalah orang-orang undangan Ku Je-ong dari
tionggoan !"
"Diantara mereka hanya
Ong Tiong yang rada mencurigakan. "Ki Ping-yan utarakan pendapatnya.
"Benar! Kulihat Ong Tiong
bukan nama aslinya." timbrung Oh Thi-hoa.
"Bukan saja tindak tanduk
orang ini rada tersembunyi ilmu silatnyapun disembunyikan, tiada yang tahu
sempai dimana tingkat kepandaiannya begitu rapat dia menyembunyikan asal
sendiri, tentu mempunyai tujuan yang tersembunyi pula.
Coh Liu-hiang tertawa pula,
katanya :
"Menurut pendapatku,
diantara mereka orang inikah yang berkepandaian paling tinggi?"
"Masakan rekaanku
meleset?" Tanya Ki Ping-yang.
"Kukira bukan dia"
"Siapa maksudmu?"
"Pipop-kongcu"
Kembali Oh Thi-hoa tepuk
pahanya, serunya : "Benar ! jikalau dia tidak pandai main silat tak
mungkin mempunyai pandangan begitu tajam." Malah dia lebih tersembunyi dan
tidak menunjukkan tanda-tanda dirinya dari pada Ong Tiang, lahirnya kelihatan
sebagai gadis lemah, jikalau lwekangnya tidak mempunyai latihan yang sudah
mendalam mana mungkin dia bisa kendalikan hawa murninya sampai tak terasa oleh
orang luar?"
Menatap langit-langit
perkemahan, tiba-tiba Oh thi-hoa tertawa, gumamnya :
"Tuan dari suatu kerajaan
kecil di luar perbatasan, ternyata seorang tokoh silat yang tersembunyi sungguh
suatu hal yang menarik, sungguh menarik!" sekali tenggak ia habiskan
araknya.
Sekonyong-konyong terdengar
seseorang batuk-batuk kering diluar kemah, dengan tertawa seseorang berkata :
"Apa kalian belum tidur?
Cayhe sengaja datang bertandang."