-------------------------------
----------------------------
Bab 5: Terjebak
Dimulai sejak Oh Thi-hoa
berani terjun ke dalam sungai di belakang rumahnya untuk berenang, ia sudah
menyukai matahari, sejak itupula setiap hari cerah, matahari menyinarkan
cahayanya yang gemilang, tak tahan lagi dia pasti mencopot pakaian, menjemur
diri dipasir. Yang-ci-kiang di puncak Ai-ho-lau, di puncak Ceng-shia diatas
budur, ditempat teduh di puncak Hoa-san, ditempat yang paling tinggi di
Thaysan, dia pernah melihat bermacam-macam matahari. Ada yang terik dan panas
seperti bara, laksana laki-laki kebakaran jenggot, ada pula yang halus lembut
laksana pemuda perlente yang romantis, ada yang remang-remang gelap seperti
pandangan si kakek yang sudah lamur, dan ada pula yang cemerlang menakjubkan
seperti seraut muka gadis jelita.
Berani mati, selama hidup
belum pernah dia lihat dan menghadapi terik matahari seperti ini. Meskipun
matahari yang satu ini pula, tapi matahari ditengah padang pasir ini, mendadak
berubah menjadi sedemikian kejam, ganas luar biasa, seolah-olah seluruh padang
pasir ini hendak dibakarnya sampai menyala oleh teriknya itu.
Sedemikian panas terik
matahari ini sampai Oh Thia-hoa tiada selera minum arak, hatinya pepat dan
mengharap sang surya lekas terbenam keperaduannya, seorang pemabokan bila
sampai tiada selera minum arak lagi, tentu dia sudah amat menderita serasa
ingin mati saja.
Tiada angin, sedikitpun tak
terasa adanya angin berlalu, tiada suara yang paling lirihpun ditengah terik
mentari ini, seluruh jiwa kehidupan ditengah padang pasir ini, semuanya sudah terbenam
dalam keadaan teler-teler hampir mati.
Sungguh tak tahan lagi, ingin
rasanya Oh Thi-hoa melompat ke punggung unta dan mencak-mencak seperti orang
kesetanan… pada saat itulah, entah dari mana datangnya, sayup-sayup ia
mendengar suara rintihan. Rintihan yang amat lemah, tapi ditengah padan pasir
yang tenang sunyi seperti tiada kehidupan ini, kedengarannya begitu jelas
seperti seseorang berbisik di pinggir telinganya.
Tanpa berjanji, Coh Liu-hiang,
Ki Ping-yan dan Oh Thi-hoa serempak menegakkan punggung duduk pasang kuping.
"Kalian mendengar suara
itu?" tanya Oh Thi-hoa melebarkan matanya.
"Em!" Coh Liu-hiang
mengiakan dengan suara dalam tenggorokan.
"Menurut pendengaranmu,
suara apa itu?" tanya Oh Thi-hoa yang suka cerewet.
"Disekirar sini ada orang."
sahut Coh Liu-hiang.
"Tidak salah! Ada orang,
tapi orang yang sudah dekat ajalnya."
"Dari mana kau
tahu?" jengek Ki Ping-yan dingin.
Oh Thi-hoa menyeringai,
ujarnya: "Walau aku tidak suka membunuh orang, tapi suara rintihan orang
meregang jiwa melayang ajal, sudah sering kudengar, menurut hematku, kalau
orang itu bukan hampir mati kekeringan oleh terik matahari tentu melayang ajal
karena dahaga."
Pada saat itu pula, terdengar
suara erangan lain kumandang, Oh Thi-hoa sudah tau suara rintihan ini datang
dari belakang gundukan pasir tinggi di sebelah kiri sana. Kontan Oh Thi-hoa
lompat turun dari punggung ontanya, serunya: "Di sana orangnya, lekas kita
tengok kesana."
"Seseorang yang melayang
ajal, apanya sih yang enak kau tonton?" tukas Ki Ping-yan dingin.
"Apanya yang bisa
ditonton?" teriak Oh Thi-hoa. "Kau tahu ada orang hampir mati,
memangnya kau cuma melihat saja tanpa sudi menolongnya?"
"Sejak mula sudah kuberi
tahu, kepada kau, di atas padang pasir ini, setiap hari kau bisa bertemu dengan
sepuluh manusia yang meronta-ronta menjelang ajal, jikalau kau ingin menolong
orang, jangan kau lakukan pekerjaan lain."
Oh Thi-hoa berjingkrak,
serunya: "Kau… memangnya kau tidak mau menolong orang yang hampir
mati?"
"Memangnya kedatangan
kita kemari hanya untuk menolong orang hampir mati?"
"Begitu kejam
hatimu!"
"Ditempat setan seperti
ini, hanya orang yang berhati baja saja yang bisa tetap bertahan hidup,
bilamanapun kau hampir mampus, jelas takkan ada orang yang mau menolong kau,
karena bila ada orang sudi membagi air kepadamu dia sendiri bakal mati karena
dahaga."
Coh Liu-hiang tersenyum,
timbrungnya: "Tapi bukankah air kita sekarang cukup berlebihan?"
"Terdapat sejenis manusia
lain di dalam padang pasir ini jikalau kau menolong dia disaat tenaganya pulih
badan menjadi segar kembali, malah mungkin dia membunuhmu, lalu merampas ramsum
dan binatang tungganganmu tinggal lari!"
"Mengandalkan kekuatan
kami bertiga, manusia mana dalam dunia ini yang mampu membunuh kami?"
"Benar!" sela Oh
Thi-hoa memberi dukungan.
"Siapa bisa membunuh
kita?" lalu ia melotot kepada Ki Ping yan, sambungnya: "Agaknya bukan
saja hatimu semakin kejam dan telengas, malah nyalimu justru semakin kecil,
seorang bila mempunyai uang terlalu banyak, mungkin bisa berubah seperti keadaanmu
sekarang."
Membeku roman muka Ki
Ping-yan, ia tak banyak bicara lagi.
"Peduli kau sudi tak
pergi menolong orang, aku pasti akan kesana melihatnya."
Coh Liu-hiang tersenyum,
"Kalau mau pergi mari kita bersama-sama."
Sudah tentu kata-katanya itu
ia tujukan kepada Ki Ping-yan, sesaat lamanya Ki Ping-yan diam saja, akhirnya
dia menghela napas, maka barisan segera membelok ke arah kiri.
Gundukan bukit pasir di
sebelah kiri sana tidak luas dan tinggi, begitu mereka tiba di pengkolan bukit
pasir sebelah sana, dari kejauhan mereka melihat dua orang, begitu melihat
kedua orang ini, hati Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa serasa hampir membeku
dingin.
Kedua orang ini sudah tidak
mirip seperti manusia umumnya, tapi mirip dua bongkah kerat daging kambing yang
dipanggang di atas api unggun, dengan telanjang bulat kedua orang disalip di
atas pasir pergelangan kedua kakinya yang telanjang bulat, jidat dan lehernya
masing-masing terikat kencang oleh kulit sapi, kulit kerbau umumnya basah, tapi
setelah dijemur matahari dan menjadi kering, maka libatan ikatannya menjadi
semakin kencang dan erat, melesak masuk ke dalam kulit daging.
Seluruh kulit badan mereka
hampir sudah gosong karena terik matahari, bibirpun sudah retak, kelopak
matanya setengah terpejam, biji matanya sudah kering, seperti dua buah lubang
yang tak terukur dalamnya.
Baru sekarang Oh Thi-hoa
benar-benar maklum dan mengerti cara bagaimana kedua biji mata Ciok Tho itupun
menjadi buta. Mata Ciok Tho mirip pula dengan kedua biji mata kedua orang ini,
picak karena dijemur terik matahari secara hidup-hidup.
Meski Ciok Tho tidak bisa
melihat, tak dapat mendengar, tapi begitu ia berada ditempat itu sekujur
badannya mendadak gemetar keras, seolah-olah dia punya indera istimewa yang
aneh, bisa merasakan gejala yang tidak wajar di sekelilingnya serta bencana
yang bakal menimpa mereka.
Tali kulit kerbau diputus,
dengan selimut tebal Coh Liu-hiang membungkus badan kedua orang ini, lalu
dengan handuk yang dibasahi air dimasukan ke dalam mulut supaya mereka
pelan-pelan menghisapnya.
Lama kelamaan, baru kedua
orang ini bisa bergerak dengan gemetar, suara rintihannyapun semakin keras.
"Air… Air…" mereka
bisa mengeluarkan suara, tak henti-hentinya menjerit mengeluh dan minta tolong.
Coh Liu-hiang tahu bila
sekarang mereka lantas diberi air secukupnya, mereka bisa segera mati.
Oh Thi-hoa menghela napas,
katanya: "Sahabat jangan kau kuatir, disini air cukup banyak, berapa kau
ingin minum boleh sesuka hatimu."
Orang yang hampir mati itu
dengan melongo hampa membuka mata, mulutnya tetap merintih: "Air…
Air…"
Oh Thi-hoa tertawa katanya:
"Kau tidak lega hati?" lalu ia berdiri menepuk kantong kambing di
punggung onta katanya pula: "Coba lihat, disinilah airnya."
Ki Ping-yan mendadak
menghardik dengan bengis: "Siapa yang menyalib kalian disini?"
"Dosa apa yang pernah kalian lakukan"
Orang yang hampir mati ini
menggeleng-geleng kepala sekeras-kerasnya, sahutnya tergagap: "Tidak,
tidak… perampok."
"Perampok?" seru Oh
Thi-hoa. "Dimana?"
Orang hampir mati ini
meronta-ronta angkat sebelah tangannya menunjuk ke satu arah yang jauh sana,
lalu sekuatnya pula menjambak rambut sendiri, raut mukanya kembali bergetar dan
berkerut-kerut kejang, badanpun gemetar semakin keras.
Berkata Ki Ping-yan dengan
bengis: "Menurut apa yang kutahu, disekitar sini tiada jejak kawanan
perampok, apa kalian membual ya?"
Kedua orang kembali geleng
kepala, agaknya kedua biji mata hampir berlinang air mata.
Berkata Oh Thi-hoa keras:
"Mereka sudah dalam keadaan begini mengenaskan, buat apa kau hendak kempes
mereka? Memangnya kenapa umpama mereka membual, badan mereka tidak mengenakan
selembar benangpun, masakah bisa mencelakai kami?"
Kembali Ki Ping-yan bungkam
tidak melayaninya. Soalnya ucapan Oh Thi-hoa memang kenyataan kedua orang ini
bukan saja telanjang bulat dengan badan kering dan kusut masai, bertangan
kosong lagi tanpa bawa senjata, seumpama mereka tidak terluka, tiada sesuatu
tanda-tanda yang menunjukkan gejala yang mencurigakan, mau tak mau Ki Ping-yan
merasa lega hati juga.
Kata Oh Thi-hoa berpaling ke
arah Coh Liu-hiang: "Kini boleh memberi air lebih banyak sedikit
bukan?"
Coh Liu-hiang masih termenung
sebentar akhirnya manggut-manggut sahutnya: "Tetapi sedikit saja."
sembari bicara ia melangkah ke arah kantong air, tapi belum lenyap suaranya,
kedua manusia yang kempas-kempis hampir mampus itu, mendadak selincah kelinci
mencelat bangun.
Kedua tangan mereka yang
semula meremas-remas rambut di atas kepalanya itu mendadak pula diayunkan
secepat kilat, dari jari-jari tangan, mereka berbareng melesat puluhan
bintik-bintik hitam luncurannya tak kalah dari sambaran kilat. Jelas sekali
itulah senjata rahasia yang mirip disemprot keluar dari sebuah bumbung yang
diberi alat rahasia semacam pegas. Jadi senjata rahasia itu bisa mereka
sembunyikan di dalam rambutnya yang awut-awutan itu.
Begitu kedua tangan mereka
terayun, Coh Liu-hiang, Oh Thi-hoa dan Ki Ping-yan serempak melejit tinggi
seenteng asap segesit burung walet, meski mereka menghadapi sergapan mendadak
di luar dugaan, namun reaksi dan gerakan mereka sungguh teramat cepat, jarang
ada senjata rahasia yang mampu melukai mereka.
Siapa nyana senjata rahasia
itu justru tidak mengarah mereka, yang diincar justru kantong-kantong air itu,
maka terdengar "Bles, bles, bles." beruntun puluhan kali, puluhan
lobang yang memancurkan air serempak menyembur keluar dari kantong air kulit
kambing itu.
Belum lagi semua orang insaf
apa yang telah terjadi, kedua orang yang hampir mampus tadi, tiba-tiba melejit
bagaikan terbang melarikan diri.
Meledak amarah Oh Thi-hoa,
bentaknya murka: "Kunyuk sialan! Lari kemana kau?" dengan gerakan
yang hampir lebih cepat dari Coh Liu-hiang, ia mendahului menubruk kearah dua
orang itu.
Belum lagi mereka lari sejauh
sepuluh tombak, tahu-tahu terasa segulung angin kencang merangsang lehernya,
mereka hendak putar badan melawan, tapi belum sempat berpaling, badannya
tiba-tiba sudah tersungkur ke depan. Bahwasanya siapa yang turun tangan dan cara
bagaimana mereka dirobohkan tidak melihat jelas. Tahu-tahu Oh Thi-hoa sudah
duduk seperti mencongklang kuda di atas punggung salah seorang itu, kedua
tangan bergerak pergi datang menampar muka orang, dampratnya: "Ku tolong
kau, kau malah hendak mencelakai aku? Kenapa? Kenapa?"
Orang ini tidak menjawab,
karena selamanya tak mampu membuka mulut lagi, waktu Oh Thi-hoa merenggutnya
dari atas tanah, lehernya teklok lemas seperti batang padi yang putus menjadi
dua.
Seorang lagi juga rebah di
atas tanah, Coh Liu-hiang tidak bergerak menghajarnya, cuma berdiri di depannya
dengan tenang dia awasi orang, sepatah pertanyaanpun tidak ia ajukan. Diwaktu
mendengar tulang leher temannya putus, badan orang itu tiba-tiba melingkar
seperti trenggiling, mulutnya malah menggembor seperti orang gila.
"Bunuhlah aku! Tidak
menjadi soal yang terang kalianpun takkan bisa hidup lebih lama lagi, biar
kutunggu kalian diambang pintu neraka, saat itu akan kubuat perhitungan dengan
kalian."
Berkedip pun tidak mata Coh
Liu-hiang, katanya kalem: "Aku takkan bunuh kau, asal kau bicara terus
terang, siapa yang suruh kau kemari?"
Mendadak orang ini
terloroh-loroh menggila seperti orang kesetanan, serunya, "Kau ingin tahu
siapa yang suruh aku kemari? Memangnya kau masih ingin mencari dia?"
"Memangnya aku hendak
mencari dia, masa kau merasa amat menggelikan?"
Meleleh air mata orang ini
karena terpingkel-pingkel, katanya dengan napas ngos-ngosan: "Sudah tentu
amat menggelikan, siapapun dia bila bukan seorang gila, takkan mau mencari dia,
kecuali orang itu sudah bosan hidup."
Oh Thi-hoa sudah memburu
kemari, serunya hampir menggembor: "Apakah putra Ca Bok-hap yang suruh kau
kemari?"
"Ca Bok hap?" orang
itu tertawa besar, Ca Bok-hap itu barang apa, menggosok sepatu beliaupun tidak
setimpal."
Berkerut alis Coh Liu-hiang,
tanyanya: "Bukan Ca Bok-hap, memangnya siapa?"
"Kau tak usah kuatir,
disaat jiwamu menjelang ajal, dengan sendirinya akan bertemu dengan beliau… aku
boleh bertaruh dengan kau jiwamu takkan hidup lebih lima hari lagi."
Damprat Oh Thi-hoa gusar:
"Biar aku bertaruh dengan kau, jikalau kau tidak mau bicara terus terang,
lima jam pun kau tidak akan bisa hidup lagi.
Ternyata orang itu tertawa
pula, katanya: "Bahwasanya aku memang tidak ingin hidup lima jam
lagi."
Sudah tentu Oh Thi-hoa
melengak dibuatnya, tanyanya: "Kau tidak takut mati?"
"Kenapa aku harus takut
mati?" jawab orang itu terloroh-loroh.
"Bisa mati demi beliau,
boleh dikata hatiku teramat girang, lebih senang dari mendapat rejeki
nomplok." suara tawanya mendadak menjadi lemah, sebaliknya sorot matanya
memancarkan cahaya yang aneh.
"Celaka!" seru Coh
Liu-hiang kaget. Dalam mulut orang ini mengemut obat beracun untuk bunuh
diri."
Benar juga waktu Oh Thi-hoa
merenggut badan orang, segera ia dapatkan napas orang sudah berhenti.
Lama sekali bari Oh Thi-hoa
melempar badan orang, katanya berputar kepada Coh Liu-hiang: "Pernah kau
melihat manusia yang tidak takut mati seperti ini?"
"Belum pernah!"
sahut Coh Liu-hiang pendek.
"Aku tahu banyak orang
gila ketangkap oleh musuh, mereka bisa bunuh diri dengan menelan obat beracun
tapi mereka mencari jalan pendek lantaran terpaksa, sebaliknya orang ini mati
dengan riang dan gembira lihat mulutnya mengulum senyum lagi."
Coh Liu-hiang hanya menghela
napas tanpa bicara lagi, sekilas otaknya terbayang akan Bu Hoa yang menelan
obat beracun pula dihadapannya, teringat akan Bu Hoa, tak tahu lagi ia menghela
napas rawan.
Oh Thi-hoa menghela napas
juga, ujarnya: "Kurasa otak orang ini rada kurang normal kalau
tidak…" mendadak ia memandang Ki Ping-yan, tangan mengelus hidung dan tak
melanjutkan kata-katanya lagi.
Selama ini Ki Ping-yang
tertunduk mengawasi mayat dihadapannya bahwasanya melirikpun tidak kepadanya.
Lama juga Oh-Thi hoa menahan sabar dan menunggu-nunggu, akhirnya mengguman
sendiri: "Senjata rahasia mereka tersembunyi di dalam rambutnya, hal ini
baru sekarang dapat kupikirkan, tapi kenyataan mereka sudah dijemur sampai
kering kerontang sampai badan gosong terbakar bagaimana mungkin bisa punya
kekuatan untuk bergerak?"
Roman muka Ki Ping-yan tidak
menunjukkan perobahan mimik apa-apa, perlahan-lahan ia berjongkok begitu merah
rambut salah satu mayat terus disentak ke atas, tangannya tahu-tahu mencekal
sebuah rambut palsu yang dilapisi selembar kulit tipis dan halus, aneh benar
seketika terlihatlah seraut muka dengan kulit halus dan putih bersih.
Lama juga mata Oh-Thi hoa
melotot, lalu katanya sambil tertawa getir: "Ternyata mereka menggunakan
ilmu rias dan rambut palsu segala malah keahliannya tidak lebih asor dari
Maling kampiun, dalam padang pasir terdapat seorang berbakat begini, sungguh
mimpipun tak terduga." kata-katanya ini dia tujukan kepada Ki Ping-yan,
tapi belum habis ia bicara Ki Ping-yan sudah tinggal pergi.
Terpaksa Oh Thi-hoa ikut
pergi, tampak puluhan kantong-kantong kambing berisi air ini sama berlobang dan
memancurkan air di dalamnya, namun air di dalam kantong itu belum mengalir
habis.
Sementara itu Ki Ping-yang dan
Siau-phoa bekerja sama menanggalkan semua kantong-kantong air itu, diletakkan
di atas pasir, bagian yang berlobang menghadap ke atas, masing-masing masih
berisi setengah kantong air.
Oh Thi-hoa girang, katanya:
"Kedua orang itu sia-sia saja mengantar jiwa, tujuannya hendak mencelakai
kami tidak berhasil, air toh masih banyak untuk bekal perjalanan!"
Ki Ping-yan tidak banyak
komentar, satu persatu kantong-kantong yang berlobang itu dia tuang airnya
sampai habis.
Tersirap darah On Thi-hoa,
jeritnya: "E, apa yang kau lakukan?"
Ki Ping-yan tetap tidak
bicara.
Lekas Coh Liu-hiang
menghampiri, katanya dengan nada berat: "Senjata rahasia itu beracun,
racun sudah bercampur dalam air, sudah tentu air ini tak boleh diminu."
Oh Thi-hoa terhuyung-huyung
tiga langkah hampir saja ia terjengkang jatuh.
"Aku sudah menemukan
bumbung rahasia mereka untuk menyambitkan jarum-jarum berbisa itu," Coh
Liu-hiang menerangkan, "Betapa hebat dan sempurna buatannya, ternyata
lebih unggul dari Kiu-thian-cap-te. Thian-mo-sin ciam yang menggetarkan Bulim
puluhan tahun yang lalu. Sungguh tak pernah terpikir olehku, tokoh macam apakah
yang mampu membuat senjata rahasia seperti ini dalam kalangan Kang-ouw?"
dimana jari-jarinya terbuka masing-masing terdapat sebuah bumbung besi warna
hitam mengkilap.
Hanya sekilas Ki Ping-yan
melihat bumbung besi itu, katanya tawar: "Tunggulah setelah malam tiba
baru kita bicara, sekarang perlu kita mengejar waktu melanjutkan
perjalanan." tetap ia tidak pernah melirik kepada Oh Thi-hoa.
Akhirnya tak tahan Oh Thi-hoa
dibuatnya, serunya sambil berjingkrak: "Memang gara-garaku yang suka usil,
suka ikut campur urusan orang lain, mataku buta, kau… kau, kenapa tidak kau
maki aku, tidak kau hajar aku? Tidak sudi bicara lagi? Maki dan hajarlah
diriku, hatiku tentu jauh lebih enak dan tentram.
Benar juga Ki Ping-yan
berpaling kepala pelan-pelan, dengan tenang ia pandang muka orang, katanya
kalem: "Kau ingin supaya aku mencacimu?"
"Tidak kau caci aku, kau
keparat! Telur busuk!"
Sikap Ki Ping-yan tetap tak
berubah, pelan-pelan ia mencemplak naik ke punggung unta, katanya tawar:
"Kenapa aku harus caci kau? Menolong orang toh perbuatan bajik, apalagi
yang picak matanya toh bukan kau saja, yang tertipu juga bukan kau pula."
Baru sekarang Oh Thi-hoa
menjublek dan melongo, lama ia tak buka mulut.
Coh Liu-hiang menghampiri dari
belakang, katanya tersenyum sambil menepuk pundaknya "Jago mampus kiranya
tidak sebrutal yang pernah kau bayangkan dulu, ya tidak?"
Malam itu, seperti pula Ciok
Tho, Oh Thi-hoa duduk seorang diri di bawah sinar bintang yang kelap-kelip
ditengah cakrawala, duduk di atas pasir yang masih panas dan mengeluarkan hawa
membara, lambat laun ia duduk di tengah kabut yang dingin dan tak berujung
pangkal luasnya.
Hembusan angin tidak lagi
membawa bau lombok, merica, berambang dan daging kambing. Karena yang mereka
miliki sekarang tidak lebih hanya sebuah kantong air kecil yang selalu tidak
pernah berkisar dari badan Ki Ping-yan itu. Tiada air, tentu tiada masakan
hangat, tiada hidangan, tak sempat makan minum bersuka-ria, tiada jiwa
kehidupan.
Tidak jauh di sana Ciok-Tho
duduk seorang diri pula, sejak mengalami peristiwa ini meskipun dia tak
melihat, tak mendengar sendiri, namun tindak tanduk dan sikapnya jelas mulai
berubah. Badannya yang tegap laksana tonggak itu, seolah-olah berubah mulai
loyo dan patah semangat, raut mukanya yang seperti terukir dari batu-batu
kramik itu, kinipun mulai menampilkan rasa ketakutan dan mulai tidak tentram.
Tapi Oh Thi-hoa belum sempat
memperhatikan perubahannya ini. Oh Thi-hoa sedang repot menyalahkan diri
sendiri, marah kepada diri sendiri.
Di dalam kemah terpasang
sebuah pelita, sinar pelita guram seperti cahaya bintang di langit, di bawah
penerangan sinar pelita, yang memang remang-remang lembut ini, persoalan yang
sedang dirundingkan dan dibicarakan oleh Coh Liu-hiang dan Ki Ping-yan justru
membawa suasana yang kurang tentram dan tak membawa kelembutan.
Bumbung jarum yang hitam
mengkilap itu di bawah pancaran sinar pelita yang guram ini kelihatan lebih
seram jahat dan dingin.
Kata Coh Liu-hiang sambil
mengawasi bumbung jarum ini: "Sungguh salah satu senjata rahasia yang
paling menakutkan diantara sekian banyak senjata rahasia yang pernah kuhadapi
selama hidup ini. Kupikir dalam dunia ini hanya tiga orang yang mampu membuat
alat senjata rahasia seperti ini."
"Siapa saja ketiga orang
itu?" tanya Ki Ping-yan.
"Orang pertama adalah
Ciang-bun-jin keluarga Tong di Siok-tiong. Kedua adalah Cu losiansing dari
Kou-ki-theng di Kanglam, tapi jelas kedua orang ini sudah pasti takkan datang
kepadang pasir ini."
"Benar… masih satu
lagi?"
Coh Liu-hiang tersenyum dulu,
katanya: "Seorang lagi adalah aku sendiri, sudah tentu alat senjata
rahasia ini juga bukan ciptaanku."
Tak terunjuk rasa geli dalam
sorot mata Ki Ping-yan, katanya tandas: "Walau kau hanya tahu tiga orang
saja, tapi aku berpendapat tentu masih ada orang ke empat, cuma siapa orang
ini, kau dan aku masih belum tahu."
Sesaat Coh Liu-hiang
menepekur, katanya kemudian menarik napas, "Dapat membuat alat rahasia
semacam ini sih tidak perlu ditakuti, yang ditakuti justru dia dapat membuat
semua anak buahnya begitu setia dan rela mati demi kepentingannya."
"Kau kira si 'dia' pasti
bukan lawanmu Hek-tin-cu itu?"
"Terang bukan Hek-tin-cu
tidak sedemikian kuat, diapun tak sedemikian kejam dan buas."
"Menurut hematmu, orang
macam apakah si dia itu?"
"Kukira dia seorang
sahabat dari kalangan hitam di Tionggoan yang teramat lihay dan sudah menanam
akar di sini, atau mungkin pula seorang gembong perampok di padang pasir,
tujuannya bukan melulu terhadap Maling kampiun saja, juga belum mengincar Ki Ping-yan
tidak lebih dia hanya pandang kami sebagai pelindung kambing gemuk yang sedang
dia incar, dari kita mereka pingin memperoleh harta dan uang."
"Ya!" Ki Ping-yan
setuju akan pendapat ini.
"Dia sudah perhitungkan
kita pasti akan lewat dari sini, maka sebelumnya sudah mengatur perangkap
hendak menjebak kita, atau mungkin mereka memang hendak mengincar jiwa kami,
tapi waktu kedua orang itu melihat bahwa kita bukan seperti kaum pedagang
umumnya, kuatir sekali kerja tak berhasil terpaksa mereka melihat gelagat
merubah haluan bukan kita yang diincar senjata rahasia mereka berobah sasaran
mengarah kantong-kantong air kita." setelah tertawa getir, ia melanjutkan:
"Dia hendak tunggu setelah kita kehabisan air dan dahaga setengah mati,
baru akan turun tangan, waktu itu tenaga untuk melawan saja tiada, bukankah
tinggal pasrah nasib membiarkan mereka menggorok leher kita?"
Ki Ping-yan menyambung dengan
prihatin: "Mungkin dia tidak ingin segera menghabisi jiwa kami, bahwasanya
dia ingin supaya kami menderita pelan-pelan kehabisan tenaga meregang
jiwa."
Berkerut alis Coh Liu-hiang,
tanyanya: "Kenapa berpikir demikian kau…?"
Tiba-tiba ia hentikan
mulutnya, karena tiba-tiba ia mendapati sorot mata Ki Ping-yan yang dingin
membeku keras itu, kini seperti mengandung perasaan takut dan tidak tentram.
Ini benar-benar belum pernah dialami oleh Ki Ping-yan selama ini, sesuatu yang
membuat orang seperti Ki Ping-yan takut dan kurang tentram, tentulah urusan
amat gawat dan menggetarkan sukma.
Segera Coh Liu-hiang juga
merasa kurang tentram, tanyanya coba-coba memancing: "Apa kau sudah dapat
menerka siapa si 'dia' itu sebenarnya?"
Agaknya Ki Ping-yan ingin
mengatakan apa-apa, sekilas matanya melirik keluar kemah dimana Ciok Tho sedang
duduk diam, kata-kata yang sudah tiba di ujung mulut ketika ia telan kembali,
mendadak ia unjuk tawa dan berkata: "Perduli siapa orang itu, jikalau ia
hendak membuat kami mati karena dahaga, tindakannya itu terang keliru."
Coh Liu-hiang tidak bertanya
lebih lanjut, katanya tertawa: "Ada kau disini, selamanya aku tidak perlu
takut bakal mati dahaga disampingmu."
Ki Ping-yan tertawa, ujarnya:
"Aku tahu kira-kira seratus li jauhnya, ada sebuah sumber air yang amat
tersembunyi, besok sebelum matahari terbenam, kita pasti sudah bisa tiba
ditempat itu, tadi tidak kukatakan, karena aku ingin supaya Oh Thi-hoa
kebingungan dan gugup setengah mati, lalu dengan tersenyum senang ia rebahkan
diri, sebentar saja seperti sudah lelap dalam tidurnya.
Sebaliknya dengan diam-diam
Coh Liu-hiang menyelinap keluar dari kemah, duduk di pinggir Oh Thi-hoa bukan
ingin bicara dengan Oh Thi hoa, cuma ingin duduk rada dekat sekaligus untuk
mengawasi dan menyelidiki tindak tanduk Ciok Tho, orang serba misterius ini.
Lapat-lapat ia sudah merasakan di dalam dada Ciok Tho yang sekeras batu cadas
itu tersembunyi suatu rahasia, rahasia yang menakutkan sepuluh kali lipat lebih
seram dari jarum beracun yang seketika menamatkan jiwa manusia.