-------------------------------
----------------------------
Bab 4. Pembantu yang misterius
"Kenapa tidak kau undang
mereka kemari ikut makan dan minum?"
"Mereka sudah
pulang"
"Biar apa kau keburu buru
suruh mereka pulang, aku dan Coh Liu hiang cukup tahu dan suka humor, kami
pasti akan beri kesempatan kepadamu untuk bercengkerama dengan mereka"
"kini tiada waktu lagi,
sejak kini kita mulai perjalanan menuju ke padang pasir nan luas, selanjutnya
kereta ini takkan berhenti selewat dua kali minuman teh, dan lagi setiap kali
hanya boleh berhenti tiga kali aku percaya mengandal tenaga dan kekuatan kita,
sedapat mungkin sudah harus dapat kendalikan diri untuk tidak berak dan
kencing."
Oh Thi-hoa angkat pundak,
tanyanya: "Masakah turun kereta untuk jalan kakipun tak boleh?"
"Sekali-kali tidak
boleh!"
"Kenapa?"
"Memang kita belum tahu
apakah pihak musuh sudah menyebar mata-matanya diberbagai tempat untuk
menyelidiki dan mencari tahu jejak dan gerak-gerik kita, oleh karena itu kita
harus berjaga-jaga untuk hal ini."
"Kukira itu tidak
perlu," sela Oh Thi-hoa.
"Jikalau kita ingin
berhasil segala kemungkinan, harus kita perhitungkan secara matang, jikalau
musuh berani, mengganggu Coh Liu-hiang, pastilah dia bukan sembarang
orang."
"Memangnya kita ini orang
sembarangan?"
"Sudah kukatakan
orang-orang yang tumbuh dan hidup di padang pasir, mereka sudah digembleng
sedemikian rupa sampai lebih kuat bertahan dari unta, lebih cerdik dari rase,
lebih buas dari serigala, sebaliknya di dalam padang pasir itu kita selemah
seekor kelinci yang tidak tahu seluk-beluk di sana."
"Kau terlalu
mengunggulkan kebolehan musuh, memangnya kami begitu tidak becus."
"Karena aku tidak mau
mampus di padang pasir, elang memakan daging busukan, serigala gegares tulang
belulang, sekarang aku masih hidup dan ingin hidup foya-foya."
"Tapi aku berpendapat…"
"Aku tidak ingin tahu
pendapatmu, cuma ingin tahu kalau toh kalian ingin aku kemari apakah segala
sesuatunya dalam perjalanan ini kalian suka mendengar petunjukku?"
Selama ini Coh Liu-hiang
tinggal diam mendengarkan percakapan mereka, baru sekarang ia menyahut
tersenyum: "Kau bisa keluar dari padang pasir dengan tetap hidup membawa
kekayaan itu, apa yang kau katakan tentunya masuk akal dan boleh dipercaya,
selalu aku mau menerima dan tunduk kepada omongan yang masuk akal."
"Bagaimana dirimu?"
tanya Ki Ping-yan melotot kepada Oh Thi-hoa.
Oh Thi-hoa geleng-geleng
sambil menghela napas, ujarnya: "Aku hanya bisa bilang tidak seharusnya
aku paksa kau kemari, kalau kau sudah di sini apa pula yang dapat
kulakukan."
"Bagus!" ujar Ki
Ping-yan, tiba-tiba ia turunkan semua arak dan sayuran dari atas meja sekali
tekan, lembaran meja itu tiba-tiba bergerak terbalik ternyata muka sebelahnya
bergambar sebuah peta yang jelas sekali dengan tulisan-tulisan petunjuk.
Dengan sumpit dibasahi arak Ki
Ping-yan menggambar sebuah garis lempang, katanya: "Seharusnya kita tidak
boleh menempuh jalan ini untuk keluar perbatasan, soalnya kau tidak kenal
jalan, tapi kebacut sudah berada di sini maka terpaksa kita harus menyelusuri
jalan ini."
"Apakah disini letak
Hongho?" tanya Coh Liu-hiang.
"Ya, disini letak hulu
Hongho, kita boleh menyelusuri sungai terus sampai di Ginjwan, aku tahu
pengaruh Ca-Bok-hap dulu, belum meluas sampai selatan Linsan, maka di sepanjang
jalan ini kita tak perlu mengharap memperoleh sumber dari mereka, namun harus
berjaga-jaga terhadap mata kuping mereka."
Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa
mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Oleh karena itu,"
Ki Ping-yan melanjutkan. "Besok setelah kita tiba di Lo-liong-wan
"teluk naga tua" kalian harus menitipkan kuda di sana, di sana aku
punya langganan, kau tak usah kuatir."
"Kudaku itu aku harus
membawanya", kata Coh Liu-hiang.
"Tidak boleh!" kata
Ki Ping-yan tegas dan tandas.
"Mengapa?"
"Bukan saja kuda itu
terlalu menyolok mata, juga bisa mendatangkan banyak kesulitan, apalagi milik
mereka, kalau kita bawa kuda itu, itu berarti membawa pertanda yang gampang
dikenali, sekali-kali kita tidak bole menempuh bahaya sebodoh ini!"
Setelah dipikir-pikir,
akhirnya Coh Liu-hiang bungkam.
"Kau harus tahu, sekarang
bukan saja pihak lawan secara diam-diam sedang menunggu dengan segala
persiapannya, malah mereka sudah mendapat keuntungan secara situasi alam dan
bumi adat istiadat, bahwasanya kita tidak punya persyaratan dalam hal ini,
jikalau ingin menang kita hanya main sergap secara di luar dugaan, oleh karena
itu sebelum kita menemukan jejaknya, jejak kita sekali-kali jangan sampai
konangan oleh mereka. Jikalau mereka pinjam keuntungan persyaratan tadi, kita
akan mati konyol tanpa liang kubur."
Lama Coh Liu-hiang menepekur,
katanya menghela napas: "Memang tidak sebanyak itu yang pernah kupikirkan,
aku…"
"Kau harus ingat,"
kata Ki Ping-yan sepatah demi sepatah, "Musuh tahu karena ditempat mana
saja tak berhasil membunuh kau, maka kau dipancingnya ke padang pasir, kalau
dia memancingmu kemari, tentulah karena dia yakin dan punya pegangan membunuhmu
di padang pasir, inilah suatu perjuangan hidup yang paling besar rumit dan
sulit selama hidupmu, mana boleh kau tidak lebih banyak berpikir?"
Coh Liu-hiang menyengir kecut,
ujarnya: "Tapi ada kalanya sesuatu tidak boleh dipikir terlalu banyak dan
luas."
Ki Ping-yan menenggak seteguk
arak, katanya: "Baik! Sekarang persoalan apapun tak perlu kita pikirkan,
tidurlah lebih dulu, meski tak bisa tidur harus dipaksa untuk tidur, karena
sejak sekarang kita jangan membuang tenaga."
Balai-balai itu cukup besar,
ketiganya sudah rebah dan tidur.
Tangan Oh Thi-hoa masih
pegangi sebuah cangkir, tiba-tiba berkata dengan tertawa: "Bagaimanapun,
sekarang terhitung kami bisa tidur bersama pula, seperti puluhan tahun yang
lalu…! Kehidupan manis dan indah masa lalu."
"Hari-hari itu belum
tentu indah, waktu itu kita minum arak kecut, rebah di atas rerumputan yang
dingin, sekarang kita justru tidak di atas ranjang yang empuk dan hangat."
Oh Thi-hoa menghela napas,
ujarnya menggeleng: "Kehidupan masa silam selamanya merupakan kenangan
manis, sayang soal demikian selamanya kau takkan mengerti, karena kau kurang
romantis, terlalu jujur dan suka menghadapi kenyataan terlalu kasar, kau hanya
tahu…" tiba-tiba ia gerakan mulutnya, karena ia dapati Ki Ping-yan sudah
mendengkur.
Hari kedua menjelang magrib,
mereka tiba di Lo-liong-wan.
Di dalam sebuah perkampungan
petani milik Ki Ping-yan, Coh Liu-hiang bertiga turun dari kereta, mendadak
hatinya merasa berat berpisah dengan kuda hitam ini, tanpa sadar ia menggumam
dengan tertawa getir: "Mungkin aku memang sudah tua hatiku semakin lembek,
kuda itupun meringkik sedih."
Coh Liu-hiang mengelus
punggungnya yang datar dan bidang, katanya tertawa: "Apa kau pun berat
berpisah dengan aku? Kuatir setelah berpisah hari ini, selamanya takkan
berjumpa lagi?"
Oh Thi-hoa sebaliknya seperti
amat bersemangat, bersama Ki Ping-yan mereka sedang periksa kereta dan unta,
setiap benda harus diperiksa dengan teliti, tanya ini tanya itu.
Sekarang dia sudah tahu
laki-laki kekar tinggi bisu tuli itu bernama Ciok Tho "unta batu",
tapi sungguh ia tidak habis berpikir, kulit daging manusia bagaimana bisa
berubah begitu rupa.
Kini dia pun sudah tahu anak
muda yang pegang kendali itu bernama Siau-Phoa, Siau-phoa sebetulnya bukan anak
muda lagi, sedikitnya sudah berusia tiga puluhan tahun cuma pembawaan mukanya
mungil seperti raut muka orok kecil sebelum bicara mukanya sudah tertawa,
setelah bicara masih tertawa juga, sehingga setiap orang yang menghadapinya tak
bisa marah meski hatinya mendongkol.
Semakin dipandang Oh Thi-hoa
merasa orang ini amat menarik, tak tahan ia menghampiri dan tanya:
"Siau-phoa, tahun ini apa usiamu sudah tiga lima?"
"Bicara terus terang,
satu bulan lagi, usiaku sudah genap empat puluh tiga."
"Hah, empat puluh tiga,
sungguh luar biasa… laki-laki usia empat puluhan tahun, kau msih suka dipanggil
Siau-phoa (phoa sikecil), emangnya kau begitu senang?"
"Umpama aku sudah berusia
delapan puluh, orang tetap memanggilku Siau-phoa, tapi ini bukan soal yang
harus ditonjolkan, malah boleh dikata suatu yang memalukan!"
"Ki Ping-yan mau
membawamu, kau tentu mempunyai sesuatu kepintaran yang luar biasa, coba kau
punya kebolehan apa? Pertunjukkan kepadaku mau tidak?"
Siao-phoa unjuk tawa berseri,
sahutnya: "Kebolehanku justru aku tidak bisa apa-apa, apapun aku tidak
mengerti. Seseorang setelah mencapai usia empat puluhan, namun apapun tidak
bisa dan diketahui, kukira suatu hal yang sulit dilakukan orang lain, coba pikir,
benar tidak?"
Oh Thi-hoa terkial-kial
serunya: "Kau bisa bicara demikian, ini menunjukkan bahwa kepintaranmu
tentu luar biasa."
Lama kelamaan, lebih jelas ia
mengetahui bukan saja Siau-Phoa ini setiap kali bertemu dengan orang bisa
bicara dan berkelakar bertemu setan menggunakan bahasa setan, malah dia
memiliki suatu kepandaian istimewa.
Bahasa daerah dari dua
pinggiran sungai besar, dari Hokkian sampai ke Kwiciu dari Tibet sampai ke
Sinkiang bahasa dari suku bangsa dan daerah dapat diucapkan dengan lancar dan
logat yang mirip sekali, seolah-olah dia memang penduduk asli dari
daerah-daerah itu, hubungan apapun dan persoalan apapun terhadap orang lain
itu, boleh pasrahkan kepadanya dengan lega hati, seumpama dia bekerja dengan
pejamkan mata, tanggung takkan bisa dirugikan.
Sebaliknya Ciok Tho meski bisu
dan tuli tak bisa bicara dengan manusia, tapi dia bisa bercakap-cakap dengan
binatang peliharaannya, seolah-olah dia menguasai sesuatu bahasa rahasia yang
luar biasa untuk hubungan antara pikiran dan raganya dengan binatang-binatang
itu.
Apapun yang sedang dipikirkan
dalam benak keledai, kuda atau unta, dia bisa tahu dengan baik, apa yang
hatinya ingin supaya binatang itu lakukan, ternyata binatang itu menurut
berbuat seperti petunjuknya.
Kadang kala Oh Thi-hoa
berpikir-pikir dan tak habis mengerti entah dengan cara apa Ki Ping-yan
berhasil menemukan kedua orang ini, sungguh tidak bisa tidak ia harus memuji
dalam hati.
Kereta berjalan terus siang
malam tak hentinya. Siau-phoa dan Ciok Tho seolah-olah tidak pernah tidur, tapi
beberapa hari kemudian semangat Siau-phoa masih segar bergairah, mukanya selalu
berseri tawa riang dan gembira, sementara Ciok Tho pun tak pernah menundukkan
kepala.
Berkata Oh Thi-hoa:
"Apakah kedua orang itu boleh tak usah tidur?"
"Ada sementara orang,
apapun yang sedang dia lakukan, dia boleh bekerja sambil tidur."
"Waktu pegang kendali
menjalankan kereta juga bisa tidur?"
"Kuda sudah tahu jalan,
kenapa kusirnya tidak boleh tidur?"
Oh Thi-hoa berpikir-pikir,
ujarnya: "Benar. Waktu kendalikan kereta ia tetap duduk tapi Ciok Tho
bukan saja tidak pernah duduk, malah berdiri tegakpun dia tidak pernah,
memangnya sambil berjalan diapun bisa tidur?"
"Ya, memang begitulah
kejadiannya." sahut Ki Ping-yan tawar.
Oh Thi-hoa terloroh-loroh,
serunya: "Kau anggap aku ini bocah umur tiga tahun?"
Ki Ping-yan menarik muka dan
tunduk kepala, mulutnya terkancing rapat.
Coh Liu-hiang malah menyela
tertawa: "Memang ia tak menipu kau, memang ada orang yang bisa tidur
sambil berjalan, karena kedua kakinya bergerak, tapi semangatnya sudah lepas
dan pikiranpun kosong, mirip benar dengan orang tidur."
"Suatu kebolehan lain
yang tidak kecil artinya." ujar Oh Thi-hoa tertawa.
"Kebolehannya itu bukan
pembawaan sejak dilahirkan, tapi merupakan hasil tumpuan dan gemblengan yang
luar biasa, seorang bila dia digusur dengan cambuk, tanpa berhenti berjalan
satu tahun lamanya, asal pejamkan mata cambuk pasti melecut badannya, lama
kelamaan seumpama dia berjalan diatas salju dengan kaki telanjang, diapun bisa
tidur dengan nyenyak."
"Apakah Ciok Tho dulu
pernah mengalami penderitaan begitu rupa?"
"Em! berat suara Ki
Ping-yan.
"Tapi kenapa orang lain
menyuruhnya terus berjalan, sampai setahun lamanya?"
Sesaat kemudian baru Ki
Ping-yan berkata: "Pernahkah kau melihat keledai yang menarik
gilingan?"
"Pernah"
"Nah, dia pernah
dipandang sebagai keledai untuk menarik gilingan, cuma sudah tentu keadaannya
jauh lebih sengsara dari keledai, keledai punya waktu-waktu tertentu untuk
istirahat, kakinya justru tak pernah berhenti, dia menarik gilingan setahun
penuh.
Bergidik Oh Thi-hoa dibuatnya,
katanya naik pitam: "Siapa orang itu? Kenapa begitu kejam? Kenapa pula
menyiksanya sedemikian rupa?"
Ki Ping-yan geleng-geleng
kepala, tak bersuara lagi.
Terpaksa Oh Thi-hoa tenggak
arak sebanyak banyaknya, sungguh hatinya kurang percaya. "Mana mungkin
seseorang bisa tidur diwaktu berjalan?" akhirnya dia berkeputusan hendak
membuktikan diri.
Seumpama kereta ini merupakan
kereta paling nyaman, segar dan mewah di seluruh kolong langit, tapi setiap
hari harus dikurung didalamnya, tidak bisa bergerak tidak boleh keluar lama
kelamaan Oh Thi-hoa merasa sebal dan gerah, hampir saja ia menjadi gila
karenanya. Memangnya dia ingin mengerjakan sesuatu pekerjaan. Maka dia mendekam
d pinggir jendela kereta, dengan mata terpentang lebih dia awasi Ciok Tho,
ingin dia melihat bagaimana dia tertidur dikala kakinya melangkah.
Biji mata Ciok-Tho yang
berwarna kelabu itu, selalu terbelalak lebar, dengan kosong memandang jauh ke
depan, seolah-olah dapat melihat suatu pemandangan indah, yang tak mungkin
terlihat oleh orang lain.
Dengan seksama Oh Thi-hoa
selalu memperhatikan dirinya, sendiri kemudian, mendadak ia tertawa gelak-gelak
katanta :
"Keparat benar Jago
Mampus kau ini, ternyata menipuku lagi."
Heran Ki Ping-yan dibuatnya
tanyanya mengerut alis : "menipu apa kau?"
"Matanya selalu terbuka
dan tidak pernah terpejam, mana bisa dia tertidur?"
"Dia tidur tanpa pejamkan
mata." sahut Ki Ping-yan.
"Memangnya kenapa
pula?"
Karena dia memangnya seorang
buta. Buta? Oh thi-hoa berjingkrak bangun.
Maksudmu bukan saja dia bisu
dan tuli, matanya pun buta?"
Ki Ping-yan bungkam, selamanya
tak pernah dia memberi keterangan kedua kalinya.
"Tak heran kedua biji
matanya itu kelihatan begitu aneh, tapi… seorang buta kenapa bisa berjalan
seperti dia? Sungguh aku lebih tidak mengerti."
"bicaramu semakin
membingungkan, seperti dongeng belaka, memangnya dia itu seekor binatang?"
"Ada kalanya memang dia
boleh dianggap seekor binatang, karena dia sendiripun menganggap bahwa dia itu
seekor binatang buas malah dia beranggapan berkumpul sama binatang buas, jauh
lebih gampang dan aman daripada dengan manusia"
"kalau begitu, kenapa dia
mau bekerja bagi kau?"
Mulut Ki Ping-yan terkancing
lagi, Oh Thi-hoa melihat bukan saja orang tidak sudi menjawab pertanyaan ini,
orangpun tidak mau memperbincangkan persoalan ini. Siapa tahu sesaat kemudian,
dengan kalem sepatah demi sepatah Ki Ping-yan malah bilang : "Itulah
karena aku pernah menolong jiwanya."
Kini Oh Thi-hoa yang berdiam
diri, katanya menghela napas kemudian : "Jadi kenapa kau suka membawa
seorang yang buta tuli dan bisu itu untuk menempuh bahaya di padang
pasir?"
Karena bila di padang pasir,
dia jauh lebih berguna dari sepuluh orang yang tidak buta, tidak tuli dan tidak
bisu.
Padang pasir. akhirnya mereka
tiba di padang pasir.
Itulah sebuah kota kecil di
pinggiran padang pasir, berdiri didekat pintu sebuah penginapan satu-satunya
yang terdapat di kota kecil itu menyawang jauh ke depan sana, ke padang pasir
nan luas tak berujung pangkal.
Dalam kota kecil itu hanya
terdapat beberapa keluarga saja, mereka hidup dengan penuh penderitaan ditengah
badai pasir yang tak kenal kasihan itu. Barang mustika satu-satunya kolektif
mereka hanyalah sebuah perigi yang birisi air yang tidak boleh dikatakan
jernih.
Dengan harga yang sepuluh
lipat lebih mahal dari harga arak. Ki Ping-yan membeli puluhan kantong air itu,
lalu dengan harga yang jauh lebih murah dari daging babi dia jual beberapa ekor
kuda yang sudah kelihatan itu kepada penghuni kota kecil itu, lalu menyulut api
membakar petak kereta itu, itulah barang-barang kesayangannya dia tak bisa
membawanya, terpaksa dibakar saja.
Dia paling pantang segala
miliknya yang paling dia sukai terjatuh ke tangan orang lain.
Tak tahan bertanya Coh
Lui-hiang : "aku tahu kenapa kau bakar kereta besar ini. Tapi tak mengerti
kenapa kuda-kuda itu kau jual? Seumpama kau ini seorang kikir, memangnya kau
ingin menambah beberapa keping uang perak sebagai ongkos jalan?"
"Jikalau kita bawa kuda-kuda
ini ke padang pasir, dalam jangka tiga hari, mereka sudah akan mampus
keletihan."
"Kenapa tidak kau lepas
mereka saja? Kuda tahu jalan dan bisa pulang, mungkin dia bisa tiba
dirumah."
"Mereka pasti takkan bisa
pulang."
"Kenapa?"
"Sepanjang jalan ini,
bukan hanya saja banyak begal, kuda yang malang melintang sepanjang tahun tidak
sedikit jumlah manusia yang kelaparan, jikalau aku melepas mereka pulang,
seumpama mereka tidak tertangkap oleh kawanan begal kuda, mereka bahkan menjadi
santapan perut orang-orang kelaparan itu.
"Kau anggap penghuni kota
kecil ini bakal memeliharanya baik-baik?"
"Ya, mereka penduduk
genah, suka menghemat dan berhati baik, terhadap kuda peliharaan pasti
menyayanginya, aku yakin kuda-kuda itu akan dipelihara dengan baik," baru
sekarang ujung mulutnya menyungging senyuman katanya pula:
"Dengan demikian, kalau
mereka menjual kuda-kuda itu, tentu harga yang lebih tinggi, maka orang itu
sekali-kali takkan membunuh kuda itu untuk dimakan."
"Kalau demikian kenapa
tidak kau berikan saja kuda itu kepada mereka?"
"manusia biasanya terlalu
sayang dan eman terhadap sesuatu barang yang dibelinya jikalau barang sumbangan
atau pemberian orang sedikit banyak tentu dipandangnya sepele dan kurang
berharga."
Lama Oh Thi-hoa menepekur, katanya
kemudian dengan menarik napas: "Kat nyana kau bisa berpikir begitu cermat
bagi kuda-kuda itu, agaknya belakangan ini kau sudah sedikit berubah."
"Kau kira itu maksudku
sendiri?"
"Bukan maksudmu,
memangnya maksud siapa?"
Pertanyaan ini tidak perlu
dijawab oleh Ki Ping-yan, karena saat itu dia sudah melihat raut muka Ciok Tho
yang dingin kaku, buruk seperti diukir dari batu batu keramik.
Raut muka yang seperti diukir
dari batu batu keramik ini, tatkala itu sedang menampilkan perasaan sedih,
seolah-olah sedang sedih karena harus meninggalkan teman baiknya, sementara
ringkik kuda-kuda itupun terdengar sumbang dan lemah seperti helaan napasnya.
Kini Coh Liu-hiang, Oh Thi-hoa
dan Ki Ping-yang sudah berdandan, samaran mereka mirip benar dengan pedagang
pelancongan yang hendak menempuh perjalanan jauh ditengah lautan pasir nan luas
ini.
Ciok Tho sebaliknya berdandan
seperti orang Mongol, selembar kain putih yang lebar dan panjang dia ikat di
atas kepalanya, tujuannya bukan untuk menutupi batok kepalanya dari terik
matahari, tujuannya adalah untuk menutupi selembar mukanya.
Mengenai Siau-phoa? Dia boleh
sembarangan suka mengenakan pakaian apa saja, meski kau campurkan dia dengan
segala macam bangsa, kehadirannya tidak akan menyolok mata.
Disaat hari hampir mendekati
magrib mereka berangkat memasuki lautan pasir.
Tatkala itu, walau sang surya
sudah terbenam, hawa panas sedang mengepul naik dipermukaan padang pasir, maka
panasnya luar biasa, ingin rasanya mencopoti pakaian yang melekat dibadan.
Tapi tak menjelang lama suhu
panas itu dengan capat sudah menghilang, disusul hawa dingin yang menusuk
tulang menerpa muka terasa pedas dan perih seperti diiris dengan pisau.
Ingin rasanya Oh Thi-hoa
menyembunyikan badannya di bawah perut unta, duduk di punggung unta, rasanya
seperti naik perahu yang diombang-ambingkan ditengah samudera raya. Coh
Liu-hiang, Ki Ping-yan dan Siau-phoa pun duduk d ipunggung unta, melihat gaya
duduk Oh Thi-hoa diatas unta, hampir saja mereka terpingkal-pingkal. Memang
siapapun yang duduk di atas punggung unta takkan enak dan sedap dipandang mata.
Hanya Ciok Tho yang mengikuti
langkah unta-unta itu selangkah demi selangkah berjalan tak kenal lelah,
perduli di padang pasir, di tanah datar, di padang rumput atau ditengah
rawa-rawa, dingin atau panas……….segala perubahan seolah tiada pengaruh apa-apa
bagi manusia cacat yang satu ini.
Jikalau dulu, pasti Oh Thi-hoa
sudah mengajukan pertanyaan : "Kenapa kaupun tidak duduk diatas
unta?"
Kini dia tak perlu mengajukan
pertanyaannya, dia tahu Ciok Tho takkan sudi duduk di punggung kuda, unta atau
keledai, karena dia pandang mereka sebagai teman baiknya.
Malam semakin larut, hawa
dingin semakin merangsang dan menjapunggung unta, untung tak lama kemudian Ki
Ping-yan berhasil menemukan sebuah tempat untuk berlindung dari hembusan angin
badai. Mereka mendirikan kemah di belakang gundukan bukit pasir, membuat api
unggun dari kotoran binatang.
Ciok Tho jejer unta-unta itu
menjadi semacam bundaran, punuk unta untuk menutupi cahaya api.
Diatas api unggun dimasak
sewajan sayur, mereka duduk mengelilingi api, minum arak, mencium hawa yang
berbau campuran merica, lombok dan berambang dimasak campur daging sapi dan
kambing.
Baru sekarang Oh Thi-hoa
merasa lebih nyaman dan segar.
Sebaliknya Ciok Tho, tetap duduk
dikejauhan sana, di bawah penerangan bintang-bintang yang kelap kelip di padang
pasir ini, bukan saja raut mukanya lebih dingin kaku, lebih buruk, malah
terunjuk pula mimik dan sikap yang aneh.
Pada tempat yang semakin
kosong dan luas, diwaktu yang sunyi dan lebih tenang, sikap dan mimiknya ini
jauh lebih jelas dan menyolok, kini dia duduk menyendiri ditengah padang pasir
yang tak berujung pangkal, ditengah kegelapan malam yang dingin pula,
kelihatannya dia seperti seorang raja yang terusir dari negeri dan rakyatnya,
dia sedang mengecap kesunyian, penderitaan dan penghinaan yang kelewat batas
dengan diam-diam.
Sampaipun Coh Liu-hiang, tak
terasa diapun mulai tertarik akan petualangan masa lalu dari manusia misterius
yang sudah mengalami akibatnya dulu, namun sukar dia berhasil menyelami isi
hatinya dan jalan pikiran orang yang misterius ini.
Tapi tak pernah Coh Liu-hiang
menanyakan kepada Ki Ping-yan. Dia tahu Ki Ping-yan takkan mau menjelaskan atau
memang dia sendiripun mungkin tidak tahu.
Setelah larut malam, mereka
masing-masing menyelinap masuk ke dalam kemah untuk tidur. Ciok Tho cukup
membungkus badannya dengan selimut tebal, tidur disamping unta, celentang
menghadap langit dimana bintang-bintang bercokol di cakrawala.
Coh Liu-hiang pun tidak tahu
apakah orang sudah tidur belum, namun ia maklum orang lebih suka tidur di
pinggir unta, matipun dia tidak mau tidur disamping orang lain. Sudah tentu Oh
Thi-hoa pun ada perhatian akan hal ini, tidak seperti Coh Liu-hiang, dia tidak
bisa menyimpan didalam hatinya. Setelah ditahan-tahan setengah harian akhirnya
ia tak kuat menahan sabar, tanyanya: "Kenapa dia tidak masuk kemari tidur
bersama kita?"
"Karena dia tidak pandang
sama derajat dengan kita."
Oh Thi-hoa berjingkarak bangun
serunya marah :" Dia pandang rendah kita?"
"Siapapun dia pandang
rendah."
"Terhadap kaupun dia
memandang rendah?" tanya Oh Thi-hoa melengak.
Ki Ping-yan tertawa tawar,
ujarnya :" Ya, sampai akupun tidak terpandang sebelah matanya."
"Dia pandang rendah
dirimu, kenapa mau bekerja demi kau?"
"Bila kau melakukan
sesuatu hal untuk orang lain, tidak mesti harus memandangnya, benar
tidak?" tanya Ki Ping-yan, "Sekarang dia bekerja demi aku, karena dia
merasa hutang budi terhadapku, bila dia merasa hutangnya lunas, meski aku turut
berlutut minta bantuannya dia takkan sudi tinggal bersama kami."
Kembali Oh Thi-hoa menjublek
di tempatnya, lekas ia tuang sebuah cawan besar penuh arak terus ditengaknya,
dia ingin lekas bisa tidur, tapi bolak-balik selalu matanya terbayang akan raut
muka buruk yang bermimik aneh itu. Siapakah sebenarnya orang ini? Siapa pula
yang membuatnya begitu rupa? Sudah tentu dia tak mendapat jawaban, tanpa sadar
mulutnya menggumam. "Tempat setan seperti ini, sulit juga hidup dalam
hari-hari seperti ini."
Ki Ping-yan yang seperti sudah
pulas, saat itu tiba-tiba menyeletuk dingin :" Sekarang kau sudah merasa
sedih dan sengsara ya? Hari-hari yang betul-betul penuh derita belum lagi mulai
lho!"