-------------------------------
----------------------------
Bab 22: Duel .........( Tamat )
Waktu Coh Liu-hiang
mengucapkan kata katanya yang terakhir, dia masih duduk gemetar dikursi
kebesarannya, tapi begitu suaranya lenyap, tahu-tahu badannya sudah berjingkrak
dari atas kursi terus menubruk maju secepat kilat, beruntun dia sudah menyerang
tujuh jurus, Setiap manusia hanya dibekali dua tangan oleh yang Maha Esa, tapi
didalam sekejap mata ini, Ciok Koan-im justru seperti kelebihan tumbuh lima
tangan lain, ke tujuh jurus serangan ini ternyata dilancarkan dalam waktu yang
bersamaan. Dalam sekejap ini, tenggorokan, kedua biji mata, dada lambung dan
kemaluannya seolah-olah sudah terkurung didalam getaran angin pukulannya yang
dahsyat.
Selama hidup dan mengembara di
Kang ouw entah berapa kali Coh Liu-hiang sudah pernah menghadapi tokoh-tokoh
silat tingkat tinggi dari Bu-lim yang mampu bergerak begitu cepat dalam
menyerang, ada orang yang mampu meraih cangkir yang mendadak jatuh dari atas
meja sebelum cangkir itu menyentuh tanah akan pecah dan berantakan, air teh
yang berada didalam cangkir setetespun tiada yang tumpah. Ada pula orang yang
mampu menjepit seekor lalat yang sedang terbang hanya dengan sepasang
sumpitnya, dengan duri ikan seorangpun bisa memantek ekor kecapung di atas
dinding.
Tapi gerakan hebat dan cepat dari
orang-orang itu bila dibandingkan dengan rangsangan kilat Ciok-koan-im sekarang
boleh dikata jauh ketinggalan dan terlalu lambat seperti nenek tua yang sedang
menyulam, sungguh tak habis terpikir dalam benak Coh Liu-hiang, seseorang
manusia didalam waktu sesingkat ini, dapat menyerang tujuh jurus dalam waktu
yang hampir bersamaan, sungguh tak terpikir pula olehnya tokoh dimana dalam
kolong langit ini yang mampu melawan atau menghindarkan diri dari ke tujuh
jurus serangan telak dan hebat ini. Hakikatnya tiada satupun dari ke tujuh
jurus serangan ini yang kosong atau merupakan gerakan belaka.
Berputar biji mata Coh
Liu-hiang, untung untungan dia nekad tidak berkelit berusaha untuk menghindar
diri, mendadak dia membentak keras "Berhenti!"
Jurus serangan yang begitu
ganas, culas, cepat dan dahsyat. begitu dilontarkan, bahwa sanya tidak mungkin
bisa dihentikan ditengah jalan apa lagi ditarik balik menjadi urung, tapi Coh
Liu-hiang sudah memperhitungkan dengan tepat Ciok-koan-im pasti dapat
kendalikan gerak gerik sendiri dan membatalkan serangannya, malah dapat menarik
diri membatalkan serangan. Benar juga dalam jangka waktu seper-seratus detik
sebelum serangannya mengenai serangannya Ciok-koan-im masih kuasa menarik diri
dan menghentikan serangannya.
Tujuh jurus serangan kilat dan
dahsyat laksana hujan badai ini, ternyata dalam waktu sesingkat itu secara aneh
dan menakjubkan sirna begitu saja, sikap Ciok-koan-im seolah-olah tidak pernah
turun tangan berdiri dengan sebelah tangan terjulur ke depan dengan jari-jari
terkembang dengan nanar dia pandang Coh Liu-hiang, katanya: "Kau masih ada
omongan apa? Memangnya kau sudah berubah haluan?"
Baju bagian pungung Coh
Liu-hiang sudah basah kuyup dan lengket dengan kulit dagingnya pertarungan kali
ini sungguh terlalu besar dan tak nyana, jikalau Ciok-koan-im tidak perduli dan
tak mau mendengar kata-katanya lagi, itu berarti dia harus menyerahkan jiwanya
secara konyol.
Sekarang walau secara
beruntung dia menang dalam gebrakan selintas ini, namun jantungnya serasa sudah
hampir melonjak keluar dari rongga dadanya. namun demikian, seperti juga dengan
seorang penjudi kaliber besar yang sudah pembawaan dan berbakat umpama kata
hatinya amat tenang, namun lahirnya tetap tenang dan wajar. Malah dia balas
mengawasi Ciok-koan-im dengan tertawa tawa tawar: "Umpama kau ingin turun
tangan, juga harus mengenakan pakaian lebih dulu! Tahukah kau, tampang dan
keadaanmu seperti ini, tak ubah seperti kepiting yang matang direbus, seluruh
badanmu merah menganga."
Andaikata Ciok-koan-im benar-benar
menuruti katanya mau mengenakan pakaiannyapun sudah terlambat lagi. Hakikatnya
sebelum ucapan Coh Liu-hiang sendiri berakhir, serangan kilat sudah
dilancarkan.
Seluruh kaum persilatan di
Kang-ouw sama tahu betapa cepat dan mengejutkan cara Coh Liu-hiang menyerang
musuhnya, kalau tidak takjub tentu ciut nyali orang yang pernah mendengar
ketenarannya. Sampaipun Setitik Merah Tionggoan waktu bergebrak sama dia,
setiap orang menyerang tujuh jurus Coh Liu-hiang sebaliknya bisa balas
menyerang sepuluh jurus.
Tapi sekarang meski dia
berhasil menempatkan diri dalam inisiatif menyerang lebih dulu, namun baru tiga
jurus saja, Ciok-koan-im baru mulai turun tangan pula, dikala dia menyerang
sepuluh jurus.
Terdengar Ciok-koan-im
mengejek dingin: "Tak heran orang sering bilang kau ini licik dan banyak
akalnya, dari perbuatanmu hari ini memang terbukti omongan orang lain memang
tidak salah dan sesuai dengan karaktermu, tapi jangan kau tekebur, kau bisa
menipu aku sekali, jangan harap kau bisa mengelabui aku untuk kedua
kalinya."
Pada akhir kata-kata
Ciok-koan-im, seluruh tempat-tempat mematikan di sekujur badan Coh Liu-hiang
sudah terkendalikan didalam genggaman tangan lawan, setelah dia menyerang pula
sepuluh jurus. Coh-Liu-hiang hanya mampu membalas tujuh jurus. Lambat laun
serangan lawan semakin gencar, justru serangan balasan Coh Liu-hiang semakin
berkurang. Baru sekarang dia benar-benar insaf dan mau percaya, bahwa ilmu
silat Ciok-koan-im memang tiada bandingannya oleh siapapun di kolong langit
ini.
Segala aliran, perguruan atau
ilmu silat dari tokoh besar dan maha guru di seluruh jagat ini sedikit atau
banyak Coh Liu-hiang pasti mengenal dan tau seluk beluknya, tapi kepandaian
silat yang dimainkan Ciok-koan-im sekarang ini, hakekatnya dari perbendaharaannya
yang begitu luas, rasanya belum pernah ada atau belum pernah dilihatnya di
seluruh mayapada ini.
Siapapun yang melancarkan
tipu-tipu serangan dengan jurus apapun dalam dunia ini, Coh Liu-hiang pasti
dapat menyelami seluk beluk dan asal usul kepandaian silat orang itu, sudah
tentu gerak variasi dan perubahannya pun cukup dipahaminya pula, tapi melihat
penyerangan Ciok-koan-im, sedikitpun dia tidak berhasil menyelaminya.
Tokoh-tokoh silat maha lihai
dan tinggi pada jaman ini menurut apa yang diketahui Coh Liu-hiang kira-kira
ada empat, lima orang. Ada orang bilang Ciangbun-jin Siao lim pay sekte
selatan: Thian-hong Taysu, adalah maha guru silat nomor satu di seluruh Bulim,
namun ada pula yang bilang bahwa Lui-ting Sianjiu dari Kun-lun Congcu membekal
kepandaian silat yang tiada taranya di seluruh dunia, ada juga orang yang
mengatakan bahwa pendekar kelana Hiat-in jin yang serba misterius itu memiliki
kepandaian ilmu pedang yang jauh lebih kuat dari tokoh pedang yang manapun,
sudah tentu ada pula yang mengatakan bahwa Hiat ih-jin dapat malang melintang
di dunia persilatan lantaran dia sendiri belum pernah bentrok atau kepergok
oleh Coh Liu-hiang.
Tapi Coh Liu-hiang percaya dan
yakin para tokoh-tokoh silat yang diagulkan mempunyai kepandaian serba nomor
satu di dunia ini. Jikalau bergebrak melawan Ciok koan-im tanggung tiada
satupun yang kuasa bertahan sebanyak tiga ratus jurus.
Coh Liu-hiang juga tahu lima
puluh jurus lagi, dirinya pasti bakal ajal.
Tatkala itu permainan
Ciok-koan-im sudah mulai lambat, gerak geriknya seperti orang sedang menari
dengan lembut dan mempesonakan. Kalau orang lain yang bergerak selambat dia
ini, Coh Liu-hiang pasti dapat mengetahui sasaran mana pada badannya yang
diincar oleh Ciok-koan-im, maka dengan gampang dan sepele dia bisa berkelit
menghindarkan diri. Akan tetapi walau serangan Ciok-koan-im dilancarkan dengan
amat lambat, namun tak bisa diselami dan dijajagi kemana arah serangannya yang
sebenarnya, ternyata semakin lambat gerak serangannya namun sasaran dan tipunya
semakin ganas dan telengas, semakin lambat semakin menakutkan.
Karena pada setiap jurus
serangannya, selalu dilandasi sembilan dari sepuluh bagian kekuatannya, malah
di tengah jalan sembarang waktu dapat diubah dan diganti dengan variasi apa
saja, sebaliknya sisa satu bagian kekuatannya itupun cukup berlebihan untuk
menamatkan jiwa seseorang yang diincarnya.
Begitu Ciok-koan-im
melancarkan satu serangan, boleh dikata Coh Liu-hiang sudah tidak akan mampu
berkelit lagi, karena begitu dia melawan atau berkelit, tenaga yang dia
kerahkanpun sudah ludes, begitu Ciok-Koan-im merubah tipu serangannya jelas dia
takkan bisa mengegos diri lagi. Cara pertempuran yang berat sebelah seperti
ini, sudah tentu amat fatal bagi Coh Liu-hiang, seumpama orang bisu yang makan
obat pahit, meski kepahitan mulut tidak bisa mengeluh, mimpipun Coh Liu-hiang
tidak pernah membayangkan hari ini dirinya bakal begitu runyam.
"Coh Liu-hiang,"
Ciok koan-im tertawa dingin, "Apa kau masih mampu melawan?"
"Tidak bisa lagi."
sahut Coh Liu-hiang sejujurnya.
"Coba kau pikir, siapa
pula orangnya yang mampu menolongmu sekarang?" tanya Ciok koan-im.
"Tiada seorangpun,"
sahut Coh Liu-hiang.
Sekarang kapan saja Ciok
koan-im bisa merenggut jiwa Coh Liu-hiang dengan mudahnya, umpama kata tujuh
tokoh Ciang bunjin dari tujuh aliran pedang terbesar pada jaman ini diundang
kemari, merekapun takkan mampu menolong dirinya.
Andai kata dalam waktu
sesingkat mungkin ada orang mampu mengumpulkan tokoh-tokoh silat dari seluruh
jagat ini didalam lembah ini dan memecah hancurkan badan Ciok koan-im, tapi
Ciok koan-im tetap bisa membunuh Coh Liu-hiang lebih dulu, jiwa Coh Liu-hiang
tidak akan tertolong.
Sudah tentu tokoh semacam Coh
Liu-hiang mempunyai banyak musuh didalam segala tingkat dan berbagai aliran,
meski banyak diantara sekian banyak musuh musuhnya amat membenci Coh Liu-hiang
sampai ke tulang sumsumnya, namun mereka tak berani berbuat apa-apa, paling
hanya mencaci maki di belakang orang: "Kelak Coh Liu-hiang pasti mampus di
tangan perempuan, jenasahnya kelak bakal ditemukan melintang di atas pinggang
perempuan yang telanjang bulat".
Jikalau orang yang mencaci dan
mengutuknya itu berada di sini, tentu mereka tertawa terpingkal-pingkal sampai
mulutnya itu menganga tak terkatup lagi.
Tampak badan Ciok koan-im yang
begitu montok dan padat berisi bertelanjang, didalam kejap ini bertambah
cantik, molek dan menggiurkan, bayangan yang berada didalam kaca memancarkan
cahaya. Kembali wajahnya menampilkan senyuman mekar yang mempesonakan, katanya:
"Apa kau sudah tahu? Setiap membunuh musuh yang tangguh dan lihai, aku
lantas merasa jiwaku jauh lebih muda, cuma membunuh kau, hatiku rada merasa
sayang". habis ucapan ini diapun melontarkan pukulan telapak tangannya
yang terakhir.
Dia sudah melihat keadaan, Coh
Liu-hiang yang payah dan takkan mungkin melawan lagi. Tak nyana badan Coh
Liu-hiang tiba-tiba mengkeret, berbareng tangannya berbalik balas menyerang.
Tapi pikulannya bukan menyerang kepada Ciok koan-im, namun yang diarahnya
adalah cermin besar itu. Jikalau pukulannya ini dia tujukan kepada Ciok
koan-im, terang takkan mungkin mengenai sasarannya, tapi cermin ini sebaliknya
diam tegak di tempatnya. Maka terdengarlah "krempyang!" cermin itu
semuanya telah hancur berantakan terkena pukulannya. Dengan sendirinya bayangan
Ciok koan-im didalam cermin pun ikut hancur lebur.
Jikalau terhadap orang lain,
tindakan Coh Liu-hiang memukul hancur cermin ini tentu tiada manfaatnya apa-apa
tapi lain bagi Ciok koan-im yang terlalu cantik rupawan ini, dia pun terlalu
kuat dan tangguh, sejak beberapa tahun belakangan ini, dia sudah menunjang jiwa
raga dan semangat hidupnya pada cermin satu-satunya ini, karena dia sudah jatuh
cinta kepada jiwa raga sendiri. Tapi tidak dia pikirkan sama sekali bahwa
bayangan dirinya yang kosong di dalam cermin yang dia cintai ini, bahwasanya
mempunyai darah daging pula. Seolah-olah orang di dalam cermin dan jiwa raganya
sudah merupakan dwi-tunggal yang tak boleh terpisah, kental antara tulen dan
khayal, sampai dia sendiripun tak bisa membedakan lagi.
Begitu cermin itu pecah dengan
suaranya yang keras, maka orang didalam kaca itu seketika terpukul pula,
demikian pula Ciok koan-im yang berada di luar cermin juga seperti kena dipukul
sekeras-kerasnya, seketika badannya tergetar keras dan berdiri menjublek.
Pertempuran tokoh-tokoh kelas
wahid mana boleh sekilas saja lena, apalagi melongo seperti Ciok koan-im,
didalam waktu yang teramat singkat ini, beruntun Coh Liu-hiang sudah menutuk
lima Hiat to besar di badannya. Ciok koan-im yang tiada bandingannya,
pelan-pelan akhirnya roboh.
Sampai dia sudah rebah tak
berkutik masih belum berani percaya akan kenyataan ini, sungguh tak habis
terpikir dalam benaknya cara bagaimana Coh Liu-hiang bisa dan dapat memikirkan
cara selicik ini untuk merobohkan dirinya. Dengan mata terbelalak kaget dia
pandang Coh Liu-hiang dengan pandangan curiga dan penuh tanda tanya.
Sebaliknya Coh Liu-hiang
menarik napas panjang sepuas-puasnya dengan memejamkan mata. Lama juga dia
berhasil menekan perasaan dan menenteramkan jantungnya yang berdebar-debar
keras seperti damparan ombak samudra, ingin dia menyeka keringat di atas
mukanya, tapi seluruh pakaian dan kedua tangannya sendiripun basah kuyup
seperti kehujanan.
Ciok koan-im mendelik, katanya
serak: "Kau... kau merobohkan aku?"
Akhirnya Coh Liu-hiang tertawa
lebar, katanya: "Tidak salah, aku mengalahkan kau, memang sering aku bisa
memukul jatuh lawan yang sebenarnya lebih tangguh dan lebih lihai dari
kepandaian sendiri, ada kalanya aku sendiripun heran serta tak percaya akan
kenyataan ini."
Sorot mata Ciok koan-im
menampilkan siksa derita yang luar biasa, seperti masih ingin mengatakan
apa-apa, bibirnya sudah bergerak beberapa kali, namun sepatah katapun tak kuasa
dia ucapkan.
Coh Liu-hiang menghembuskan
napas panjang dari mulut, katanya: "Kau sudah membunuh teman-temanku yang
paling baik, sungguh ingin aku membunuhmu untuk menuntut balas kematian mereka,
tapi aku pantang berbuat demikian, sekarang terpaksa aku hanya..."
suaranya tiba-tiba terputus, bulu roma dan bulu kuduknya seketika merinding berdiri.
Ternyata hanya di dalam
sekejap ini, badan montok Ciok koan-im yang padat berisi dan menggiurkan ini
secara aneh seperti disulap layaknya sudah berubah mengering layu dan menyusut
berkeriput seperti kayu keropos yang kekeringan, darah daging badannya
seolah-olah secara tiba-tiba sudah tersedot hilang, tinggal kulit pembungkus
tulang belaka. Badan elok dari perempuan tercantik di seluruh jagat ini, di
dalam waktu sesingkat ini mendadak berubah jadi sesosok mayat kering kerontang
yang begitu mengerikan, siapapun yang melihatnya pasti akan bergidik seram.
Tiada seorangpun yang mampu
membunuh Ciok koan-im, dia sendiri yang membunuh dirinya sendiri.
Cuaca nan gelap sudah mulai
remang-remang, sang fajar sebentar lagi akan menyingsing, namun hawa pagi terasa
semakin dingin menyusup ke tulang sumsum.
Betapa pilu sedih sanubari Coh
Liu-hiang, mendelu lagi, tak henti-hentinya dia bertanya kepada dirinya
sendiri: "Apa aku sudah menang? Apa benar aku menang?"
Garis pemisah antara perempuan
cantik dengan mayat kering kulit pembungkus tulang cukup dekat dan hanya
terpaut satu garis itu saja, memangnya berapa pula bedanya antara menang dan
kalah? Walau dia sudah berhasil merobohkan Ciok koan-im yang tiada
tandingannya, meski mendapat kabar Soa Yong-yong yang selamat dan sehat
walafiat, tapi di sini dia harus kehilangan Oh Thi-hoa dan Ki Ping yan, apakah
penyesalan dan kepiluan hatinya dapat ditambal dan diobati? Terang tidak
mungkin.
Boleh dikata Coh Liu-hiang
hampir tak ingat lagi kapan dirinya pernah mengucurkan air mata. Kini air
matanya sudah berderai membasahi pipi dan menambah basah pakaiannya yang kuyup
kena keringatnya tadi, tapi dia harus menyeka kering air matanya, karena dia
harus tetap bertahan hidup.
Bertahan hidup bukan saja
merupakan hak seseorang, juga merupakan kewajiban dari orang itu sendiri, tiada
orang yang punya hak untuk membunuh orang lain, juga tiada hak yang memberi
kewajiban kepada orang untuk membunuh dirinya sendiri.
Dengan membusungkan dada
dengan langkah berat, Coh Liu-hiang beranjak keluar, di depan sana ada sebuah
lekukan gunung, di sana Bu Hoa rebah tertutuk Hiat-tonya, dia sembunyikan di
suatu tempat didalam lekuk gunung itu, apapun yang akan terjadi Bu Hoa harus
dia bawa pulang ke Tionggoan, biar dia menerima hukuman undang-undang yang
setimpal, inipun merupakan kewajibannya orang yang membunuh orang dia harus
dihukum mati juga, siapapun takkan dapat meluputkan dirinya dari undang-undang
atau hukuman negara ini.
Akan tetapi siapapun takkan
bisa membawa pergi Bu Hoa, sebatang panah panjang, ternyata sudah menembus
tenggorokan dan mematikan riwayatnya, darah membasahi dadanya dimana terdapat
secarik kertas putih kehijau-hijauan yang bertuliskan beberapa huruf berbunyi:
"Coh Liu-hiang si Maling Romantis pantang membunuh orang, terpaksa Burung
Kenari mewakilinya."
Kembali Coh Liu-hiang tertegun
dibuatnya, bahwasanya orang semacam apakah sebenarnya si Burung Kenari itu?
Apakah perbuatannya ini baik atau punya tujuan jahat? Apa pula sebetulnya yang
menjadi tujuan segala tindak tanduknya yang serba tersembunyi ini.
Pada saat itu pula terdengar
deru angin kencang melesat ke arahnya, sebatang anak panah memecah angin
terbang datang. Lekas Coh Liu-hiang menggeser kaki dan memiringkan badan dengan
kedua jari tangan kanannya dia jepit anak panah itu, tampak ujung panah yang
runcing sudah putus, jadi si pembidik panah ini terang tidak bermaksud
bermusuhan atau hendak mengarah jiwa Coh Liu-hiang.
Tapi di pangkal panah dimana
ada bulu burungnya terikat seutas benang lembut yang panjang, entah berapa
panjangnya sampai tak kelihatan pangkalnya, apakah si Burung Kenari yang serba
misterius itu sedang menunggu Coh Liu-hiang di balik ujung benang panjang di
sebelah sana?
Perduli permainan apa yang
sedang dilakukan tokoh misterius yang serba menakutkan ini Coh Liu-hiang sudah
berkeputusan akan memburu kesana melihat keadaan, tanpa banyak berpikir dan
tidak ayal lagi, badannya segera melesat berlari-lari menyusuri benang panjang
ini. Pada ujung benang yang lain ternyata memang ada orang sedang menunggu
malah bukan hanya seorang saja, tapi sekaligus empat orang, begitu melihat Coh
Liu-hiang muncul seketika empat orang ini berjingkrak dan bersorak girang
menyambutnya.
Sebaliknya begitu melihat ke
empat orang ini Coh Liu-hiang terkesiap kaget dan melongo keheranan, mulut tak
kuasa bicara.
Karena ke empat orang ini
bukan lain adalah Kui-je ong ayah beranak dan Oh Thi hoa serta Ki Ping yan.
Apakah ini dalam impian. Tapi Oh Thi hoa sudah meremas pundaknya, sampai tulang
pundaknya terasa sakit sekali.
Coh Liu-hiang tertawa pahit,
ujarnya: "Ini bukan mimpi, orang yang sedang mimpi tidak akan merasa
sakit, tapi jikalau pengalaman ini bukan mimpi, masakah orang yang sudah mampus
bisa hidup kembali?"
Oh Thi hoa bergelak tawa,
katanya: "Belakangan ini akherat dan neraka sudah penuh sesak, Giam Lo-ong
"raja akherat" sendiripun sampai kewalahan menampung kami, terpaksa
sukma kami yang gentayangan ini digebah balik ke dunia fana ini."
"O, tak heran belakangan
ini banyak orang yang sudah mampus tiba-tiba hidup kembali." Coh Liu-hiang
ikut tertawa lebar.
Sebaliknya sikap Ki Ping yan
seperti rada tegang, katanya: "Darimana kau tahu peristiwa kami keracunan?
Masakah kau sudah bertemu dengan Ciok-koan-im?"
"Ehm! Ya!" Coh
Liu-hiang mengiakan sambil manggut-manggut.
Oh Thi hoa, Ki Ping yan,
Kui-je-ong dan Pipop kongcu sama-sama melongo, sekian lama mereka menjublek,
akhirnya sama-sama menarik napas lega pula. Oh Thi-hoa pula yang membuka suara
lebih dulu dengan mengedip-ngedipkan mata: "Tapi tentunya bukan kau yang membunuhnya
bukan?"
"Masakah kau belum pernah
dengar, ada kalanya seseorang menyembunyikan obat beracun di sela-sela giginya,
dikala perlu kapsul obatnya dia gigit sampai pecah dan kadar racun segera
tertelan kedalam perut dan..."
"Maksudmu bahwa dia bunuh
diri?" tukas Oh Thi-hoa. "Kenapa dia harus bunuh diri? Karena kau
kalahkan?"
"Karena kecuali mati,
tiada jalan lain yang baik untuk dia tempuh."
Oh Thi-hoa menatapnya dengan
pandangan mendelik, biji matanya seperti hampir mencopot keluar, seolah-olah baru
hari ini dia pernah melihat orang seperti Coh Liu-hiang ini.
Lekas Pipop-kongku mengulangi
pertanyaan Oh Thi hoa tadi: "Apa kau sudah mengalahkan dia?"
Coh Liu-hiang tersenyum tawar,
katanya "Tentu kalian amat heran, benar tidak?"
Hakikatnya bukan saja mereka
serba keheranan boleh dikata merekapun tidak mau percaya.
Akhirnya Oh Thi hoa menarik
napas panjang, katanya geleng-geleng kepala: "Konyol! Konyol! Orang she
Ki, coba katakan, apa kalian ada muka untuk berdiri di hadapan orang banyak,
dan bagaimana kita harus hidup selanjutnya? Kami berdua bergabung masih bukan
tandingan Ciok-koan-im, bocah ini seorang diri malah dengan gampang dapat
merobohkan si centil itu."
"Gampang katamu?"
ujar Coh Liu-hiang menyengir. "Kau kira aku amat gampang mengalahkan dia?
Biar kujelaskan sejujurnya, aku bergebrak dua ratus jurus lebih, bahwasanya
tiada satu seranganku yang membuatnya terdesak atau merupakan ancaman bagi
dirinya."
"Jadi kau hanya terima
dicecar saja olehnya, bagaimana pula kau bisa mengalahkannya?"
Belum Coh Liu-hiang menjawab,
Pipop-kongcu tertawa cekikikan, katanya: "Sudah tentu dia mempunyai akal
yang baik, sejak mula aku sudah tahu bahwa dia tentu punya cara untuk
mengalahkannya. Bagi pertempuran tokoh-tokoh silat kelas wahid bukan saja mengutamakan
tenaga atau kekuatan serta tinggi rendahnya bekal kepandaian orang-orang itu,
dia haru menggunakan otaknya pula, jadi sekaligus mengadu kecerdikan, walau
ilmu silatnya bukan tandingan Ciok-koan-im, tapi jikalau mengadu kecerdikan dan
akal muslihat siapa pula dalam dunia ini yang bisa mengungkuli dia?"
sembari bicara dia maju menghampiri, akhirnya tak tertahan dia menarik tangan
Coh Liu-hiang, seolah-olah selanjutnya berat untuk berpisah.
Kui-je-ong segera batuk-batuk
dengan suara berat, katanya unjuk tawa berseri: "Keberhasilan Kui-ong kali
ini sungguh berkat bantuan berharga para Congcu sekalian, entah sudikah kalian
bertiga bertamu dan tamasya dulu ke negri Kui-je kami...?"
Dengan tawa riang Pipop-kongcu
segera menimbrung: "Sudah tentu kalian harus kesana siapapun diantara
kalian yang tidak mau pergi, aku tidak akan tinggal diam!"
Ki Ping yan dan Oh Thi hoa
tidak buka suara, mereka berpaling kearah Coh Liu-hiang.
Tak tahan Coh Liu-hiang pun
batuk sebentar, katanya tertawa: "Cayhe bertiga sudah tentu ingin benar
bertamasya di negeri tuan, cuma...."
Berubah rona muka
Pipop-kongcu, katanya dengan tertawa dipaksakan: "Cuma apa?"
Coh Liu-hiang geleng-geleng
kepala dengan menunduk, katanya:
"Cuma tugas lain yang
cukup penting sedang menunggu kami pula untuk segera diselesaikan, terpaksa
kali ini kami mengabaikan maksud baik Ong ya!"
Pipop-kongcu segera lepaskan
pegangan tangannya, mukanya pucat pias dan jari-jari tangannya pun gemetar,
selangkah demi selangkah dia menyurut mundur, matanya sebaliknya menatap Coh
Liu-hiang lekat-lekat, suaranya pun gemetar: "Kau tidak mau? Kau
benar-benar tidak mau bertandang ke negeriku?"
Coh Liu-hiang menjawab dengan
senyuman meringis. Lekas Kui-je-ong maju menarik tangan putrinya, katanya
menghela napas: "Congsu bertiga ternyata tak sudi memberi muka kepada
kami, sungguh Pun-ong amat kecewa sekali, tapi aku maklum bahwa kalian tentu
punya urusan penting lainnya, kami pun tidak berani memaksa."
Pipop-kongcu tertunduk,
mulutnya seperti mengigau: "Benar, kami tidak boleh memaksa mereka,
sebetulnya aku sudah harus tahu sejak mula bahwa mereka tidak akan sudi ke
negeriku."
Mendadak ia angkat kepala
pula, kini mimik mukanya berubah berseri tawa pula, katanya: "Aku tidak
akan salahkan kalian, karena aku sendiri toh tidak akan ikut kalian, bahwasanya
kita ini terdiri dari manusia dua lapisan dunia yang berlainan, dapat kumpul
bersama secara kebetulan, aku... aku sudah amat senang."
Fajar sudah menyingsing, angin
menghembus sepoi-sepoi namun dinginnya laksana tajam golok mengiris kulit. Coh
Liu-hiang, Ki Ping yan dan Oh Thi hoa bertiga berdiri kaku ditengah-tengah
hembusan angin dingin ini, entah berapa lama sudah mereka mematung ditempat
itu.
Akhirnya Oh Thi hoa pula yang
tidak tahan sabar menarik napas dalam, mulutpun menggumam: "Dia sudah
pergi, ternyata tidak menangis, sungguh suatu di luar dugaan. Tabah pula
hatinya, belum pernah aku memuji atau mengagumi perempuan yang manapun,
sekarang aku betul-betul tunduk dan harus memujinya!"
"Apa yang dia ucapkan
memang tidak salah." ujar Coh Liu-hiang. "Antara aku sama dia
hakikatnya terdiri dari manusia dua lapisan dunia yang berlainan, meski dipaksa
gaul bersama, akhirnya malah akan menambah penderitaan masing-masing pihak,
lebih baik sekarang berpisah begini saja, ya, terhitung sebagai kenangan manis
pada masa yang akan datang!"
Oh Thi hoa tertawa getir pula,
katanya: "Bagaimana juga, bukan saja dia itu cantik, lincah dan mungil,
otaknyapun cerdik pandai, gadis seperti ini kenapa belum pernah kebentur sama
aku?"
Ki Ping-yan tiba-tiba
menjengek: "Umpama kau pernah menemuinya, tentu dia sudah lari
terbirit-birit oleh bau arak dari mulutmu yang apek itu."
Oh Thi-hoa terloroh-loroh
geli, sedapat mungkin Coh Liu-hiang pun tertawa tawa dibuat-buat, segera ia
alihkan pokok pembicaraan: "Ciok-koan-im bilang kalian sama minum araknya
beracun, tentunya omongannya bukan bualan belaka."
Ki Ping-yan segera menutur
dengan suara tawar: "Sian Oh merebut cangkir arak itu, terus ditenggaknya
separo, sisanya yang separo diberikan kepada aku, akupun segera meminumnya
habis. Karena setelah berada dalam posisi kita waktu itu, kecuali mampus
sungguh tiada jalan lain yang lebih baik untuk kami tempuh."
Oh Thi-hoa tertawa geli,
ujarnya mengolok: "Semula aku kira dia amat tinggi menilai jiwanya sendiri,
siapa tahu dia..." tenggorokannya seperti tersumbat, kata-kata selanjutnya
tak kuasa ia lanjutkan, matanyapun basah dan berkaca-kaca, dengan kuat telapak
tangannya menepuk pundak Ki Ping-yan, mulutnya menggumam: "Pendek kata,
aku tak sia-sia mengikat persahabatan sama kau, waktu itu meski Ciok Kwan Im
sudah bertekat hendak membunuh aku, belum tentu hendak membunuhmu."
"Tapi cara bagaimana
kalian akhirnya tidak sampai mampus?" tanya Coh Liu-hiang.
"Disaat jiwaku hampir
melayang itulah, sekonyong-konyong terasa ada seseorang menjejalkan sebutir
obat ke dalam mulutku, lalu berbisik pula di pinggir telingaku: "Ingat!
Bukan saja Burung Kenari bisa membunuh orang, diapun bisa menolong orang!"
"Jadi dia yang menolong
kalian?" ujar Coh Liu-hiang terbelalak. "Apa kalian ada melihat orang
macam apakah dia itu?"
"Waktu itu kami sudah
dalam keadaan teler, jiwa hampir melayang, apapun tidak melihatnya." sahut
Oh Thi-hoa.
Coh Liu-hiang berpaling kepada
Ki Ping-yan. Ki Ping-yan segera geleng-geleng kepala, sesaat menepekur,
akhirnya Coh Liu-hiang berkata: "Tokoh macam apakah sebenarnya si Burung
Kenari itu? Kenapa dia berbuat demikian? Apakah dia sengaja hendak menanam budi
kepadaku? Ataukah..."
Oh Thi-hoa tertawa, katanya:
"Mungkin dia cuma punya seorang anak gadis yang ingin dijodohkan kepadamu,
atau mungkin pula dia sendiri adalah "gadis ayu", entah sejak kapan
sudah jatuh hati dan terpincut oleh ketampananmu..." tanpa menunggu Coh
Liu-hiang bicara, segera dia menambahkan, "Tapi bagaimanapun yang terang
kita harus mencarinya sampai ketemu bukan?"
Coh Liu-hiang menengadah
mengawasi segumpal awan terbang, katanya: "Kita tidak perlu susah-susah
pergi mencarinya karena aku yakin satu ketika pasti dia akan mencari
kita."
xxx
Kini hari sudah magrib.
Dalam sebuah kota yang ramai,
jalan-jalan raya penuh sesak berjubel-jubel manusia dari segala macam lapisan,
laki-laki, perempuan, tua muda, ada yang memapah orang tua, ada yang membopong
anak-anak.
Semua orang kebanyakan riang
gembira, karena setelah bekerja seharian dengan tekun dan berat, kinilah
kesempatan mereka menghibur diri dengan mengenakan pakaian baru, sepatu yang
baru. Dalam kantong mereka sedikit atau banyak pasti terisi uang dari hasil
jerih payah mereka yang mereka tabung dan dari sisa ongkos-ongkos kehidupan
yang mereka tabung, inilah sekarang mereka menikmati kehidupan sore hari nan
cerah dan riang.
Namun ada pula sementara
lapisan masyarakat yang tidak mengenal derita hidup dan bebas kehidupan berat,
sudah tentu mereka-mereka inipun tidak tahu mencari kesenangan serta meluangkan
waktu untuk menghibur diri melepaskan otak dan ketegangan kerja selama bekerja
sehari penuh, oleh karena itu selamanya mereka selalu bersikap masa bodoh dan
kurang semangat serta tak punya gairah kehidupan.
Seorang petani tanpa bercocok
tanam di sawah ladang, namun menginginkan panen sebanyak-banyaknya selamanya
dia tidak akan memperoleh kegembiraan hidup.
Sepanjang jalan raya ini,
berderet-deret berbagai macam toko dan warung, ada yang menjual kelontong, ada
toko besi, ada yang jual daun teh, ada yang jual kain, konveksi, ada pula yang
jual pupur, semua toko-toko itu sama menjajakan barang-barang pilihan mereka
yang paling baik kwalitetnya di depan tokonya untuk memancing para pembeli.
Pemilik toko sama mengawasi
orang-orang yang sedang berlalu lalang di depan tokonya, sorot pandangannya
seolah-olah seperti orang-orang yang lewat itu mengawasi barang-barang yang
dijajakan itu, kalau orang-orang jalan itu sama ketarik oleh barang-barang itu,
sebaliknya pemilik-pemilik toko itu sama ketarik pada uang di dalam kantung
mereka. Orang-orang itu jadi sama pandang, sama tersenyum kebanyakan orang sama
kenal satu sama lain. Tapi diantara sekian banyak orang yang berjublek-jublek
itu hanya ada dua orang yang segalanya serba asing di sini.
Mereka bukan lain adalah Oh
Thi-hoa dan Coh Liu-hiang. Mereka tidak tahu apakah nama kota yang mereka
kunjungi ini, mereka tidak mencari tahu, juga tak ambil perhatian, karena
perhatian mereka bukan pada kota ini.
Perhatian mereka tertuju
kepada orang-orang yang berjublek-jublek itu. Dari padang pasir nan terbentang
luas tak berujung pangkal serta serba kekeringan itu, mereka kembali dan tiba
di kota ini melihat suasana hangat, ramai serta damai dan serta rukun, diantara
manusia-manusia baik dan bajik ini, sungguh jauh dan mengetuk sanubari mereka
dan membuat hati riang dan lapang pula dadanya.
Keramaian dalam kota yang
ramai ini, tempat yang teramai ditempat kesibukan orang-orang di sepanjang
jalan raya, ini adalah rumah makan yang paling besar, megah dan mewah ini. Maka
mereka memilih tempat ini untuk berpijak sementara, sekedar ganjal perut sambil
melepaskan otot-otot. Mereka memilih tempat duduk yang dekat jendela, dari
loteng jendela ini mereka bisa mengawasi orang-orang yang hilir mudik di bawah,
mengawasi senyuman mekar, riang dan gembira orang-orang itu, mengendus deru
napas mereka pula. Begitulah mereka duduk termenung dengan pandangan mendelong,
entah berapa lama mereka tak segan-segan mengawasi terus, makanan sudah
memenuhi meja, namun tiada satupun yang diusik, botol-botol tak terhitung
banyaknya, tapi seluruhnya kosong melompong.
Siapakah burung kenari?
Laki-laki atau perempuan? Apa pula tujuannya dibalik perbuatannya yang
misterius itu? Kenapa pula setiap korbannya selalu dicukuri alisnya?
Kenapa pula Soh Yong-yong
bertiga selama ini? Bagaimana pula keadaan Hek-tin-cu atau Mutiara hitam?
Ternyata bahwa mutiara hitam adalah seorang perempuan, bagaimana pula sikap si
Maling Romantis selanjutnya?
Pengalaman Maling Romantis di
padang pasir sudah berakhir dengan terbunuhnya Ciok-koan-im. Dapatkah Coh
Liu-hiang si Maling Romantis membongkar rahasia Sin-cui-kiong? Keraton yang
khusus hanya dihuni kaum perempuan. Cara bagaimana Bu Hoa memelet salah satu
murid-murid didik Sin cui-kiong sampai bunting dan akhirnya bunuh diri?
Kemana Setitik Merah yang
minggat tanpa pamit dengan Ki Bu-yong? Apakah mereka akhirnya menikah dan jadi
suami istri?
Apakah Coh Liu-hiang bisa
mengalahkan Cuibo atau Induk Air ketua
Sin-cui kiang seperti mengalahkan Ciok-koan-im?
Tokoh-tokoh pedang bakal
bermunculan, gembong silat bakal unjuk diri dari tempat pengasingannya, apa
tujuannya? Apakah Coh Liu-hiang harus melawan dan mengalahkan mereka juga?
Sampai bertemu di cerita
selanjutnya " Peristiwa Burung Kenari " ...
TAMAT