-------------------------------
----------------------------
Bab 2: Sahabat masa kecil
Mendadak Coh Liu-hiang
melompat turun dari punggung kudanya, teriaknya keras-keras, "Oh Thi-hoa,
Oh hongcu (Oh si gila), kenapa kau bisa berada di sini?"
Orang itu berpaling dan
melihat Coh Liu-hiang pula, seketika ia berjingkrak kegirangan, serunya tertawa
besar, "Coh Liu-hiang, kau ulat tua yang busuk ini, dengan cara bagaimana
pula kau bisa berada di sini?" Tanpa hiraukan kucing dalam pelukannya lagi
ia memburu ke depan, sekali pukul ia hantam pundak Coh Liu-hiang. Coh Liu-hiang
tidak mau rugi, sekali sodok iapun pukul perut orang.
Saking kesakitan keduanya
menjerit mengaduh, namun tawa riang mereka membuat mata berkaca-kaca hampir
menangis saking kegirangan akan pertemuan yang tak terduga ini.
"Tak heran selama beberapa
tahun belakangan ini aku tidak melihatmu, kukira kau sudah mampus karena malas,
kiranya kau sembunyi di tempat ini." Demikian kata Coh Liu-hiang.
"Kau Lo co jong ulat tua
busuk inipun bagaimana bisa tiba di sini, apa diusir oleh gendak-gendakmu itu sampai
ngacir ke tempat ini?"
Kembali mereka saling pukul
dan tertawa berhadapan, dengan langkah semula mereka masuk ke kedai arak,
mereka duduk di pinggir meja yang sudah reot, kucing kembang itu segera loncat
naik ke atas meja.
Sekali jewer Oh Thi-hoa segera
menariknya turun ke bawah, katanya tertawa, "Pus mungil, jangan kau
cemburu, ulat tua busuk ini adalah teman baikku, dia sudah datang, terpaksa kau
mendekam di samping saja…" dalam ocehannya Coh Liu-hiang ternyata
dinamakan ulat busuk, kalau dipikir dia sendiri hampir pecah perut saking geli.
Kata Coh Liu-hiang tertawa
besar, "Sekian tahun tak bertemu, tak nyana kau kucing malas ini sudah
punya teman baru.. mari! Pus mungil, kau minum dua cangkir bersamaku!"
"Apa, minum dua
cangkir?" tanya Oh Thi-hoa membelalak. "Hari ini kalau tidak kucekok
kau dua ratus cangkir, anggap aku bukan teman baikmu." Lalu ia gebrak meja
dan berkaok-kaok, "Arak! Arak! Lekas antarkan arak, memangnya kau hendak
membuat temanku mati kekeringan."
Seorang nyonya kurus, kecil hitam
dan kering, menenteng sebuah poci arak keluar. "Blang," ia banting
poci arak yang terbuat dari tanah liat itu ke atas meja, putar badan lalu
tinggal pergi. Tanpa bersuara melirikpun tidak kepada Oh Thi-hoa. Sebaliknya
kedua mata Oh Thi-hoa terbelalak seperti hendak mencolot keluar, menatapnya
lekat-lekat tanpa berkedip, seolah-olah dia mengawasi seorang perempuan yang
tercantik di seluruh jagad ini.
Coh Liu-hiang tertawa geli,
batinnya, "Mungkin kucing malas ini sudah terlalu lama tidak melihat cewek,
macam apa sebenarnya bentuk seorang perempuan jelita, mungkin sudah dia
lupakan."
Sebetulnya nyonya ini tidak
begitu jelek, usianya pun belum tua. Matanyapun bening bundar dan tidak sipit,
cuma badannya kurus kering bobot dagingnya tidak cukup empat kati, seperti ayam
babon yang kelaparan dan kering dihembus angin.
Setelah bayangan orang
menghilang ke balik pintu sana, baru Oh Thi-hoa berpaling, dia tuang dua
cangkir arak, katanya tertawa, "Coh Liu-hiang, kau harus rada hati-hati.
Oh Thi-hoa yang sekarang kau hadapi takaran minumnya tidak sama dengan Oh
Thi-hoa masa lalu. Masih segar dalam ingatanku kau cekoki aku sampai mabuk
sebanyak delapan puluh delapan kati, sekarang aku harus mulai menuntut
balas."
"Delapan puluh sembilan…
masakah kau sudah lupakan kejadian dalam genteng besar itu?"
"Mana bisa aku melupakan,
kali itu aku hanya mencampur sesendok obat urus-urus dalam arakmu, kau malah
ceburkan badanku ke dalam gentong arak keluarga Thio itu, sehingga aku mabuk
tiga hari tiga malam."
"Apakah kau masih ingat
kapan peristiwa itu terjadi?"
"Delapan belas… mungkin
hampir genap sembilan belas, waktu itu, aku bocah yang baru berusia delapan
sembilan tahun. Jikalau tidak berkawan dengan kau teman jelek ini, masakah aku
bisa belajar minum arak."
Coh Liu-hiang berkakakan,
ujarnya, "Jangan kau lupa, pertama kali kami minum, arak itu toh hasil
curianmu."
"Apa benar?" ujar Oh
Thi-hoa dengan tertawa getir. "Aku sudah lupa." Akhirnya ia
berkakakan pula, serunya, "Bicara terus terang, arak curian rasanya memang
lebih nikmat, selama hidup ini aku takkan bisa merasakan arak seenak itu,"
dia hanya menengadah kepala, arak semangkok besar itu, sekejap saja sudah
habis.
Coh Liu-hiang melihat
perbuatan orang, diapun habisi araknya, lalu tanyanya mengerut alis,
"Apakah ini arak?"
"Apa kalau bukan
arak?"
"Tadi kukira cokak!"
Oh Thi-hoa terbahak-bahak,
kembali dia tuang arak dan berkata, "Di tempat seperti ini ada arak
seperti ini pula, sudah terhitung besar rejekimu."
Coh Liu-hiang terima arak yang
diangsurkan, gumamnya, "Agaknya kucing malas ini bukan saja sudah lupa
akan paras jelita yang sesungguhnya, sampaipun rasa arak yang tulenpun sudah
dia lupakan."
Puluhan poci arak, dalam
sekejap sudah tertenggak habis ke dalam perut, sudah tentu nyonya kurus kecil
itupun berulang kali keluar masuk puluhan kali. Setiap kali ia banting poci
arak di atas meja terus putar badan tinggal pergi.
Belakangan setiap orang
menongol keluar pintu, hati Coh Liu-hiang menjadi tegang, hampir tak tertahan
dia hendak menutupi kedua telinganya, apa boleh buat, kedua tangannya dengan
tersipu-sipu harus pegangi meja, kalau tidak meja reot itu pasti bisa remuk dan
rontok seluruhnya.
Sebaliknya setiap kali nyonya
kurus kecil itu muncul, biji mata Oh Thi-hoa lantas bersinar cemerlang, suara
tawanya pun lebih lantang, sikapnya yang semula malas dan ogah-ogahan seketika
bersemangat.
Tak tertahan akhirnya Coh
Liu-hiang menghela nafas, ujarnya, "Anak muda yang harus dikasihani,
bahwasanya berapa lama kau sudah menetap di tempat seperti setan ini."
Oh Thi-hoa mengedip-ngedip
matanya, sahutnya, "Masihkah kau ingat, berapa tahun sudah berselang sejak
terakhir kali aku bertemu dengan kau?"
"Tujuh tahun, tak nyana
sekejap saja sudah tujuh tahun."
Mata Oh Thi-hoa memandang
keluar nan jauh di sana, katanya rawan, "Waktu itu musim panas, di
Mo-jin-ouw danau jangan murung. Tahun itu kembang teratai berkembang biak amat
indahnya di Mo-jin-ouw, kami gunakan daun kembang teratai sebagai cawan arak,
setiap kali tenggak habis melempar selembar daun, belakangan daun-daun teratai
itu hampir saja menenggelamkan perahu yang kita tumpangi, daun teratai di
pinggirmu sudah bertumpuk setinggi hidungmu."
Coh Liu-hiang tersenyum,
ujarnya, "Musim panas tahun itu, sungguh cepat berlalu!"
Mendadak Oh Thi-hoa berkakak,
serunya, "Masihkah kau ingat siapa pula yang tahun itu berada bersama
kami?"
"Seumpama kita sudah
melupakan kehadiran manusia dalam dunia ini, tentu takkan terlupakan kepada Ko
Ah-nam, waktu itu dia baru saja berhasil mempelajari Wi hong li-kiam dari
Hong-san, setiap kali mabuk, tentu dia mainkan ilmu pedang itu di hadapan kami
sehingga Kim-leng yang suka iseng setiap hari merubung di pinggir danau tak mau
pergi ingin menonton pertunjukan gratis, sudah tentu di antara mereka ada yang
ingin mencuri belajar ilmu pedangnya itu."
"Bicara terus terang,
ilmu pedangnya itu tidak begitu bermutu, belakangan setiap kali ia berlatih
ilmu pedangnya, aku lantas terkencing-kencing. Sungguh aku heran, nama julukan
Leng-hong-ji kiam-khek gelarnya itu entah cara bagaimana dia dapatkan."
Coh Liu-hiang tertawa,
katanya, "Katamu ilmu pedangnya tidak baik, tapi Ki Bing-yam malah bilang
bahwa ilmu pedangnya itu tiga puluh persen lebih bagus dari Hoa-san-pay
Ciangbun Ji Siok-tin."
"Benar!" seru Oh
Thi-hoa mengelus tapak tangan. "Jago Mampus itu bisa tiga hari tidak
bicara, namun begitu buka suara selalu mengagulkan ilmu pedangnya sendiri.
Kukira delapan puluh persen dia sudah jatuh hati kepadanya."
"Tapi dia sebaliknya
malah jatuh hati kepada kau, kalau tidak masakah dia sudi bergaul dan
keluntungan dengan laki-laki setan arak seperti kami ini, apa kau masih ingat
waktu hari kau mabuk, pernah kau berjanji hendak menikah dengan dia."
Oh Thi-hoa menyengir, ujarnya,
"Masa aku tidak ingat, hari kedua setelah aku sadar sudah kulupakan peristiwa
itu, siapa tahu dia justru tidak lupa, malah dia menuntut dan desak aku ingkar
janji, dia takkan punya hidup lagi, dia hendak bunuh diri, terpaksa malam itu
juga aku terjun ke dalam air, dan selulup sejauh mungkin melarikan diri."
Belum habis cerita orang, Coh
Liu-hiang sudah mendekap meja karena perut sakit tertawa terpingkal-pingkal,
katanya dengan nafas ngos-ngosan, "Tak heran, hari kedua setelah terang
tanah, tiba-tiba kudapati kalian berdua sudah tidak kelihatan pula bayangannya,
itu waktu aku kira kalian sudah kawin lari. Oleh karena itu Ki Ping-yam yang
menjadi masgul dan murung, malam itu hampir saja dia mampus karena mabuk, hari
ketiga ternyata diapun menghilang, sampai sekarang belum pernah aku
melihatnya."
O
h Thi-hoa tertawa getir, katanya,
"Kalau bukan lantaran Ko Ah-nam mengejarku mati-matian, memangnya aku bisa
lari ke tempat nan jauh ini?"
"Sejak tujuh tahun kau
lari ke sini, kau tetap tinggal di sini?"
"Tiga tahun setelah dia
mengejarku, baru aku lari ke tempat ini."
"Jadi kau sudah empat
tahun menetap di sini?"
Oh Thi-hoa teguk araknya,
katanya pula, "Tiga tahun sepuluh bulan."
"Soal apa yang
menyebabkan kau kerasan tinggal di tempat setan seperti ini selama itu, sungguh
aku tidak habis mengerti."
Kembali Oh Thi-hoa tenggak araknya,
mendadak ia pelototi Coh Liu-hiang, serunya, "Kau ingin aku bicara
kepadamu?"
"Lekas katakan!"
Oh Thi-hoa dekatkan mulutnya
ke telinga Coh Liu-hiang, katanya, "Sudahkah kau melihat tegas perempuan
yang mengantar arak tadi?"
Coh Liu-hiang berjingkrak
berdiri, serunya, "Kau… jadi lantaran dia kau menetap sedemikian lama di
tempat ini?"
"Tidak salah!"
Lekas Coh Liu-hiang
berpegangan meja, agaknya dia kuatir kalau dirinya jatuh semaput. Dari atas ke
bawah bolak-balik ia amati Oh Thi-hoa dengan seksama, seperti setua ini baru
pertama kali ia pernah melihat laki-laki brewok di hadapannya ini. Ia lalu
pelan-pelan duduk kembali di tempatnya, setelah tenggak secangkir arak, berkata
pelan-pelan, "Aku ingin mohon sesuatu kepadamu."
"Soal apa?"
"Perempuan itu dari kaki
sampai kepala, dalam hal apa dia lebih elok dari Ko Ah nam, bisakah kau
jelaskan?"
Kembali Oh Thi-hoa habiskan
tiga cawan arak, sahutnya, "Biar kuberitahu kepadamu, Ko Ah-nam hendak
mengejar aku, sebaliknya aku mengejar dia malah empat tahun lamanya aku tak
berhasil menyanderanya, disitulah letak kebalikannya, kau tahu tidak?"
Mata Coh Liu-hiang menatap
mukanya, melotot sepeminuman teh lamanya, baru dia unjuk rasa senang dan
tertawa besar pula, sambil mendekap meja, katanya, "Karena baru sekarang
aku mau percaya, bahwa karma memang bisa terjadi di dunia ini."
Oh Thi-hoa manggut-manggut,
dengusnya, "Apa yang kau tertawakan, aku memang tahu perasaan hati manusia
yang paling suci dan bersih ini, orang kasar dan awam seperti kau, selama hidup
pasti takkan mengerti."
Coh Liu-hiang menekan perut,
katanya, "Oh Tuhan! Cinta suci nan setia! Sukakah kau ampuni aku? Aduh,
perutku hampir pecah!"
Dengan bersungut-sungut Oh
Thi-hoa diam saja, sekaligus dia habiskan tiga cawan lagi. Mendadak iapun terbahak-bahak,
keduanya mendekap meja, dan tertawa besar berhadapan saling pandang dan tuding,
air mata sampai bercucuran.
"BAGAIMANA bisa terjadi
asmara suci murni ini coba kau kisahkan kepadaku."
"Setelah kuceritakan kau
jangan tertawa lho!"
"Tidak! Tanggung tidak
tertawa!"
"Pertama kali aku tiba di
sini, sudah tiga bulan aku tak pernah melihat perempuan, begitu melihat dia,
kau boleh mengatakan dia kurang cantik, tapi aku beranggapan ditempat ini ia
merupakan perempuan yang paling cantik."
"Aku mengakui."
"Oleh karena itu aku
ingin………. bermain-main dengan dia, dalam anggapanku, sekali raih tentu
berhasil, siapa tahu dia justru pandang aku sebagai orang mati, melirikpun
tidak sudi kepadaku.
Coh-Liu-hiang tahan rasa
gelinya, katanya: "Memangnya Hong-liu 'bajul Kaucu Hoa-tiap oh 'kupu
kembang', dipandang sepele oleh perempuan kecil itu, sungguh keterlaluan dan
penasaran! Sampai akupun ikut merasa jengkel"
Semakin ia tidak hiraukan aku,
Semakin merupakan daya tariknya dalam pandanganku. aku siap dalam bulan, siapa
tahu dua bulan kemudian, sedikitpun aku tidak mendapat kemajuan maka aku
persiapkan dari tiga bulan, siapa tahu…"
ia tertawa getir, "Tak
usah kukatakan kaupun sudah melihatnya, aku sudah berjerih payah selama tiga
tahun sepuluh bulan penuh, dalam pandangan matanya tetap sebagai orang mati,
malah unjuk tawa atau tersenyum kepadakupun dia tidak pernah."
Coh Liu hiang memang tahan
geli dan tak tertawa, memang dia takkan bisa tertawa. Ikut prihatin akan usaha
teman karibnya yang gagal ini.
Kembali Oh Thi-hoa habiskan
tiga cawan arak, katanya keras: "Jikalau kau unjuk sedikit rasa kasihan
kepadaku, biar kutuang arak sepoci ini ke dalam hidungmu."
"Aku tidak kasihan
kepadamu, aku malah kagum kepadamu, kagum hampir mampus."
Oh Thi hoa terkial-kial sampai
arak dalam mulutnya menyemprot keluar membasahi selebar meja,
"Sekarang." katanya, "Aku ingin dengar ceritamu, kenapa pula kau
bisa sampai disini? Memangnya ada siapa yang hendak paksa kau untuk mengawini
dia menjadi binimu?"
Sikap riang Coh Liu hiang tadi
seketika sirna, mukanya tampak masgul dan kesal, sesaat ia berdiam diri, lalu
katanya pelan-pelan: "Apa kau masih ingat Soh Yong-yong, Li Ang siu dan
Song-Thiam ji?"
"Sudah tentu masih ingat,
waktu itu mereka masih gendak genduk cilik, sekarang tentunya sudah tumbuh
dewasa menjadi perawan jelita, masakah mereka hendak menikah dengan kau, tak
heran kau lari ke tempat sejauh ini."
"Orang lain sama
menyangka hubunganku dengan mereka rada kurang genah, bahwasanya sejak berusia
dua belasan mereka sudah ikut padaku, tidak lebih mereka pandang aku sebagai
toakonya sendiri, anggap aku sebagai teman karib, dan aku… tentunya kau tetap
percaya kepadaku, sejak mula aku pandang mereka sebagai adik kandungku."
"Orang lain tidak percaya
kepada kau, tapi aku tahu kau ulat tua busuk ini, kalau bertindak rusuh memang
bikin kepala orang lain pusing tujuh keliling, tapi bila kau bertindak baik,
orang lain mimpipun tidak pernah menduganya."
Coh Liu hiang menarik napas
panjang, ujarnya rawan: "Kini mereka bertiga sama diculik oleh
orang."
Tersirap darah Oh Thi-hoa,
serunya: "Diculik orang? Siapa orangnya yang punya nyali sebesar
itu?"
"Pernahkah kau dengar
nama Ca Bok-hap raja padang pasir?"
"Keparat itu berani
mencari gara-gara terhadapmu? Biar kubeset dia menjadi umpan anjing!"
"Bukan dia, tapi putranya
Hek tin-cu."
"Persetan dia Hek tin-cu
atau Pek tin-cu 'mutiara putih' berapa banyak sih dia punya nyali, berani
mengganggu usik saudara kami?" Tiba-tiba ia gebrak meja seraya berdiri,
serunya lantang: 'Hayo berangkat! Kita buat perhitungan kepadanya!"
"Kau ingin ikut
aku?"
"Kau ulat tua busuk
ini." damprat Oh Thi-hoa gusar. "Kau pandang aku apa? Kau menghadapi
kesulitan, kalau tidak aku membantumu siapa yang bantu kau?
Coh Liu hiang berjingrak
berdiri, serunya: "Dengan kau sebagai teman seperjalananku, kalau padang
rumput tidak kuobrak-abrik jangan panggil aku sebagai Maling kampiun!"
mendadak ia hentikan tawanya, sekilas ia melirik ke pintu belakang, katanya:
"Tapi bagaimana dia? Kau tidak mau perdulikan ia lagi?"
Oh Thi hoa tertawa lebar,
ujarnya: "Cukup asal sepatah katamu saja, batok kepalaku ini pun boleh
kuserahkan, masakah aku tidak tega meninggalkan dia?"
Dengan tertawa besar, mereka
beriring keluar pintu.
Tak nyana nyonya kurus kecil
itu mendadak memburu keluar dengan langkah seperti terbang dari belakang pintu,
dengan kencang dia tarik lengan baju Oh Thi-hoa, teriaknya lantang: "Kau
hendak tinggal pergi demikian saja?"
Sekilas Oh Thi-hoa melengak,
tanyanya: "Apa rekening arakku belum kubayar?"
"Siapa sudi terima
uangmu." suruh nyonya kecil kurus dengan suara serak: "Yang
kuinginkan adalah kau sendiri."
Kata-kata ini seketika membuat
Oh Thi-hoa terpaku di tempatnya, demikian juga Coh Liu hiang menjublek tak
bergerak.
Berkata Oh Thi-hoa tersendat:
"La… lalu kenapa kau selama ini tidak hiraukan sapa tegurku?"
"Aku tidak mau hiraukan
kau, lantaran aku tahu, kau menyukai aku karena aku tak mau hiraukan kau!"
jawab nyonya kurus kecil.
Kembali Oh Thi-hoa melenggong,
katanya tertawa getir: "Coh Liu hiang, kau sudah dengar? Jangan
sekali-kali kau pandang perempuan siapa saja sebagai manusia pikun, siapa bila
pandang perempuan seorang pikun, dia sendiri yang pikun."
Bercucuran air mata nyonya
kurus kecil, katanya: "Kumohon kepadamu jangan tinggalkan aku, asal kau
tidak pergi, segera aku rela menikah dengan kau."
Kata-kata 'menikah' laksana
sengat kala yang menusuk ulu Oh Thi-hoa, dengan kaget ia tarik lengan bajunya,
seperti kelinci yang ketakutan dikejar harimau lapar cepat ia melarikan diri.
Walau gerak-gerik Coh
Lui-hiang tidak lambat, kuda tunggangannya dapat berlari sekencang angin puyuh,
tapi dia harus kerahkan segala tenaganya, barulah berhasil menyandak Oh
Thi-hoa, serunya tertawa besar : "Kau tak usah takut, dia takkan menyandak
kau, dia tidak memiliki Ginkang setinggi Ko Ah-nam."
Baru sekarang Oh Thi-hoa
kendorkan larinya, katanya tertawa getir: "Kau dengar, ternyata dia tahu
bahwa aku menyukai dia lantaran dia tidak mau hiraukan aku! Kau bunuh akupun,
aku takkan mau percaya, perempuan tampangnya itu, ternyata sedemikian
cerdik."
"Sebodoh-bodoh perempuan,
tentulah seorang ahli pula dalam bidang ini, mungkin selama hidupnya ini memang
dia sedang menjebak dan memancing laki-laki goblok seperti kau ini terjerat
muslihatnya, memangnya dia tidak bisa pentang mata lihat orang?"
"Perempuan!" ujar Oh
Thi-hoa menghela napas. "Selama hidupku ini, mungkin takkan bisa menyelami
jiwa perempuan."
"Tapi perempuan justru
paling paham menghadapi laki-laki, mereka tahu kebanyakan laki-laki itu
bertulang kere!"
Akhirnya Oh Thi-hoa bergelak
tertawa, katanya : "Maksudmu tak lain hanya ingin mengatakan bahwa aku ini
memang balong(tulang) kere"
"Kalau toh kau berpikir
demikian, kenapa aku harus menyangkal!"
Dia sudah lompat turun dari
kudanya, jalan berjajar dengan Oh Thi-hoa, beberapa jauh kemudian baru ia
sadari bahwa Oh Thi-hoa membawanya menempuh perjalanan yang keliru, segera ia
bertanya: "Kemana kau hendak pergi?"
"Lan-ciu"
"Lan-ciu! Heng-tin-cu
tinggal di padang pasir di luar perbatasan, untuk apa kita menuju ke
Lan-ciu?"
"Demikian saja kita
berdua hendak pergi ke padang pasir, setelah kau berhadapan dengan Hek-tin-ciu,
mungkin tanganmu sendiripun kau tidak mampu mengangkatnya, memangnya kau ingin
melabrak orang?"
Coh Liu-hiang mengerutkan
keningnya, katanya : "Aku sudah tahu bahwa padang pasir serba
berbahaya."
"Berbahaya? Memangnya kau
sangka cukup dilukiskan dengan sepatah kata 'berbahaya' saja? Orang yang belum
pernah ke padang pasir, mimpipun tak pernah terpikir olehnya betapa menakutkan
padang pasir itu."
"Kau sedang gertak dan
menakuti aku?"
Oh Thi-hoa pejamkan mata,
ujarnya : "Ditengah padang pasir nan luas tak kelihatan ujung pangkalnya
itu, jiwa seseorang manusia merupakan sebutir kerikil yang tak berarti sama
sekali, seumpama Coh Liu-hiang si maling kampiun yang kenamaan itu mampus
ditelan pasir kuning di sana juga merupakan kejadian biasa, tak terhitung
istimewa."
"Kau takkan bisa
membuatku takut!"
Oh Thi-hoa tidak hiraukan
ocehannya, katanya pelan-pelan: "Disana begitu terik sehingga ingin rasanya
kau sendiri membeset kulitmu, sebaliknya kalau malam dinginnya bisa bikin
darahmu membeku dalam badan. Gundukan gunung dalam sedetik bisa berubah menjadi
tanah yang datar, tanah datar tiba-tiba menjadi tanah yang tinggi, dikala angin
badai melanda tiba, sebuah kota besarpun mungkin bisa terpendam dan dikubur
didalam pasir, ditambah air yang merupakan barang termahal melebihi jiwa,
khabarnya dalam setiap jam, sepuluh manusia yang berada di padang pasir mati
kekeringan."
"Tempat yang sepuluh kali
lebih berbahaya dari padang pasirpun pernah ku datangi," sela Coh
Liu-hiang tertawa.
Terbuka mata Oh Thi-hoa,
katanya keras: "Yang kau hadapi dulu hanya manusia, tapi yang harus kau
hadapi di sana adalah kebesaran alam serta kekejamannya! Apalagi kau tidak tahu
menahu tentang seluk beluk padang pasir, sebaliknya Hek-tin-cu sejak kecil
dibesarkan di padang pasir, cuaca, situasi bumi, tata kehidupan manusia serta
pergaulan adat istiadat bangsa minoritas di sana, tiada yang kau ketahui,
mengandalkan apa kau hendak mengikuti dia?"
Coh Liu-hiang menghela napas,
ujarnya: "Ucapanmu ini memang benar!"
"Apalagi, sampai sekarang
kau sendiri belum tahu dimanakah dia sebetulnya berada, benar tidak?"
Coh Liu-hiang manggut sambil
mengiakan.
"Kalau demikian,
hakekatnya kau takkan bisa menemukan dia, kau kira padang pasir hanya sebesar
taman kebun rumahmu? Di sana langit tersentuh bumi, bumi bersambung dengan
langit, sehingga kau sulit membedakan arah, dan lagi bahasa pergaulan bangsa
gembala sepatah katapun kau tidak mengerti. Jikalau kau hendak menjelajah
kesana, membentur nasib, cukup dua putaran jalan, kau pasti sudah tersesat
jalan, dalam jangka tujuh hari kau akan mati kering karena dahaga,"
matanya semakin melotot mengawasi Coh Liu-hiang, tambahnya keras : "Sebetulnya
kau seorang yang punya otak jernih dan pikiran pandai, memangnya kali ini kau
sudah gila saking gelisahnya?"
Sesaat lamanya Coh Liu-hiang
berdiam diri, katanya kemudian dengan tertawa getir : "Memang aku gila
saking gelisah, tapi betapapun sukar dan berbahayanya, aku tetap akan menyusul
kesana, jikalau kau………………"
"Kau ulat busuk
ini," damprat Oh Thi-hoa gusar : "Kau sangka aku gentar?"
"Jadi
maksudmu………….."
"Maksudku, jika kita
memang harus pergi, kita harus bekerja dengan sempurna dan mempersiapkan diri.
Urusan harus berhasil dengan gemilang, jangan seperti orang pikun terima
menghantar kematian secara sia-sia belaka. Kita harus bertindak dengan tenang
dan kepala dingin."
"Apa sekarang kau tenang
dan dingin kepala?" tanya Coh Liu-hiang tertawa.
Oh Thi-hoa ikut tertawa,
ujarnya : "Melihat kau bersikap seperti anak kecil yang diburu nafsu,
sungguh tak tertahan aku ingin marah, kita sekarang sudah cukup dewasa,
pekerjaan seorang dewasa harus menunjukkan gengsi dan pamor orang dewasa
pula."
Coh Liu-hiang geleng-geleng
kepala, katanya gemas : "Beberapa hari ini, pikiranku memang terlalu
kusut!"
"Kau bisa berpikir demi
keselamatan orang lain, jelas bahwa kau ini memang anak mungil, tidak seperti
tutur kata orang lain, adalah seekor rase, seekor ular beracun." kembali
ia berkaok-kaok keras :" Jika kita ingin menolong mereka, kita harus
menjadi rase atau ular prikemanusiaan takkan bisa berumur panjang."
Coh Liu-hiang
mengamat-amatinya, katanya geleng-geleng : "Mungkin aku masih bisa menjadi
rase, tapi ular beracun……………..akupun tak kuasa berbuat demikian apalagi
kau."
"Oleh karena itu, kita
harus mencari orang yang dapat merubah kita menjadi ular beracun itu."
"Siapa?"