-------------------------------
----------------------------
Bab 17: Jati diri Ciok Tho
Coh Liu hiang berkata dengan
tersenyum "Nona-nona tak usah kuatir, kami bertiga meski bukan laki-laki
sejati tapi kami juga bukan laki-laki bangor atau hidung belang, mata kamipun
tidak sembarang melihat ....", dimana jarinya menjentik, gadis itu
seketika merasa setengah badannya linu kemeng seperti tersetrom aliran listrik,
pakaian yang sudah berhasil diraihnya seketika jatuh pula.
Saking malu sampai kuping
gadis inipun merah mengangah seperti kepiting direbus, suaranya gemetar
"Laki-laki sejati kenapa…... kenapa melarang orang pakai baju?"
"Karena Cayhe cukup tahu,
bila seseorang bertelanjang, tentunya dia tidak akan berani berbohong."
"Dan lagi tentu tak enak
dan malu untuk turun tangan," timbrung Ki Ping yan.
Gadis itu gertak gigi,
terpaksa diapun berjongkok dan menutupi dada dengan menyilangkan kedua
tangannya.
Coh Liu hiang mendongak
melihat cuaca katanya "Sekarang aku cuma ingin bertanya kepada nona,
dimana Ciok Hujin mengurung Soh Yong yong, Li Ang siu dan Song Thian ji?"
Gadis itu melengak, tanyanya
"Tiga orang? Laki-laki atau perempuan?"
Gadis itu menggigit bibir,
sahutnya "hujin selamanya belum pernah menyembunyikan orang
perempuan." seorang gadis yang lain menambahkan "Di sini seluruhnya
adalah lima enam puluh saudara-saudara, tapi tiada seorangpun yang she
Soh."
Coh Liu hiang mengerut alis,
ujarnya berpaling ke belakang. "Menurut pengelihatanmu apakah mereka
bicara sejujurnya?"
"Didalam keadaan seperti
mereka perempuan tanggung takkan berani bohong lagi."
"Kalau demikian jadi
mereka benar-benar memang tidak berada disini." sekilas dia melirik kedua
gadis itu katanya dengan menghela napas "Sedikitnya setiap hari ada
sepuluh manusia yang mati kekeringan ditengah gurun pasir, nona-nona malahan
enak-enak mandi disini…. ai.!"
Seiring dengan helaan napasnya
yang terakhir, kembali jarinya menyentik dua kali, seketika kedua gadis
telanjang ini lemas tidak bisa berkutik.
Serambi panjang ini sunyi
senyap, tiada terdengar sesuatu suara, tak kelihatan ada bayangan manusia.
Dengan suara prihatin Ki Ping yan bertanya "Apa kau tahu jalan untuk
keluar?:
"Waktu mereka
menggotongku masuk kemari, sudah kuingat-ingat betul."
"Kalau Yong ji tidak
berada di sini, kenapa tidak lekas kau menyingkir dari tempat ini? Gadis-gadis
ini semua berkepandaian silat yang tidak lemah, jikalau kau kebentur beberapa
gadis yang berpakaian, mungkin kesulitan harus kau atasi."
"Aku memang ingin mencari
seseorang," tiba-tiba Setitik Merah menimbrung.
"Siapa?" tanya Ki
Ping yan mengerut alis.
Coh Liu hiang malah tersenyum
ujarnya "Apakah nona Ki itu?"
Agaknya Setitik Merah menghela
napas, katanya "Aku hanya merasa tidak boleh meninggalkan dia ditempat
ini."
"Tapi apa kau kira dia
sudi pergi bersama kita?" tanya Ki Ping yan.
"Mungkin tidak mau."
sahut Setitik Merah sesaat kemudian.
"Kalau kau tahu dia
takkan pergi bersama kita, untuk apa pula kau hendak mencari dia?" desak
Ki Ping yan.
Kata Setitik Merah dengan nada
berat "Tapi aku malah tahu, paling tidak dia takkan merintangi maksud
kita.
Sekonyong-konyong terdengar
seorang menjengek dingin "Mengandalkan apa kau yakin benar bahwa aku tidak
akan merintangi kau? Kalau hanya mengandalkan keadaan kalian bertiga sekarang,
jikalau mampu melarikan diri, mungkin tempat ini telah lama menjadi puing-puing".
******
Oh Thi hoa tidak rebah di atas
gundukan pasir, napasnya sengal-sengal, mungkin sekarang tiada orang yang akan
dapat mengenali bahwa inilah Oh Thi hoa, mungkin dia sendiripun takkan bisa
mengenali dirinya sendiri.
Dia sedang merasakan siksaan
lapar, letih, haus dan kotor, tenggorokannya sudah mulai terbakar, begitu panas
kering rasanya sampai hampir saja dia gila dibuatnya, seakan-akan badannya
hampir meledak karena gerah.
Pipop kongcu rebah tak jauh
disampingnya, keadaan putri raja ini jauh lebih mengenaskan pakaian mahal model
terakhir yang dikenakannya ini sekarang sudah dedel dowel tak karuan pahanya
yang putih malah tampak tergores luka berdarah yang dikotori lumpur. Terik mata
hari pelan-pelan menggeremet ke arah barat, namun suhu panasnya masih
merangsang badan, menyoroti muka mereka, tidak jauh di depan sana adalah sebuah
tempat berteduh yang sejuk, tapi mereka sudah tidak punya tenaga untuk merayap
kesana.
Sekuat tenaga Oh Thi hoa coba
membuka kedua matanya, mulutnya menggumam "Selama hidup sampai setua ini,
mungkin kita takkan punya harapan untuk menemukan si Ulat busuk itu.
Pipop kongcu menimbrung
"Sebetulnya kita tidak boleh menempuh perjalanan lewat jurusan ini."
Tiba-tiba terpancar sorot
kemarahan dari mata Oh Thi hoa, katanya keras dan serak "Tidak salah
memang kita tidak seharusnya lewat jalan ini, tapi memangnya kau harus
menyalahkan kepadaku? Bukankah kau sendiri yang mengunggulkan diri di padang
pasir kau jauh lebih berguna dari aku? Kenapa sekarang kau mirip aku, seperti anjing
kelaparan rebah di sampingku tak bisa berbuat apa-apa."
Bercucuran air mata Pipop
kongcu, katanya sesenggukan serak "Memangnya sebetulnya aku tidak ikut kau
kemari, bikin susah kau saja, kalau tidak sekantong air itu cukup kau minum
seorang diri, paling tidak masih bisa bertahan beberapa waktu lebih lama
lagi."
Sesaat Oh Thi hoa terlongong,
akhirnya menghela napas panjang katanya getir "Aku ini memang keparat,
soal begituan mana boleh salahkan kau? Aku ini laki-laki besar seorang gadis
saja aku tidak mampu melindunginya, memangnya masih punya muka muring-muring
kepadamu dalam keadaan seperti ini."
Pipop kongcu tiba-tiba
menubruk ke atas badannya, tangisnya pecah semakin keras, katanya mewek-mewek
"Tak bisa salahkan kau, akulah yang salah…. sekarang aku cuma ingin mati
lebih baik kalau bisa segera mati!"
Pelan-pelan Oh Thi hoa
mengelus rambutnya, mulut menggumam pula "Seumpama kita tidak ingin
mampus, mungkin kitapun takkan bisa bertahan hidup."
Selayang pandang, pasir kuning
terbentang luas tak berujung pangkal, seluruh kolong langit dan luas ini,
seolah-olah tinggal mereka berdua manusia yang sedang meronta melawan maut di
dunia serba kuning kering ini.
Pelan-pelan Pipop kongcu
angkat kepalanya, ujung mulutnya mengulum senyum getir, katanya pula "Ternyata
aku bakal mampus bersama kau, mungkin siapapun takkan pernah menduganya?"
Oh Thi hoa tiba-tiba tertawa
besar, katanya "Bisa mati bersama kau, memang suatu hal yang patut dibuat
girang kau… kau sebenarnya seorang gadis rupawan yang cantik molek, kau ....
kau ....". tiba-tiba tenggorokannya seperti tersumbat sesuatu, suara
tawanya yang serakpun seketika kelelap dengan pandangan napas seperti melamun,
dia pandang biji matanya, katanya serak "Tapi umpama harus mampus kita
harus mati dalam suasana gembira bukan?"
Agaknya badan Pipop kongcu
rada gemetar suaranyapun rada ngeri "Kau…kau ingin aku…."
Sorot mata Oh Thi hoa dari
biji matanya beralih ke pahanya yang terbuka, paha yang terluka dan kotor ini,
masih tetap kelihatan halus panjang elok dan berisi Kala menjing di tenggorokan
Oh Thi hoa naik turun menelan ludah, sorot matanya semakin membara, seolah-olah
saking panas hampir saja menyela, jari-jari tangannya pelan-pelan bergerak
beralih ke arah pinggangnya dengan rabaan gemetar, katanya sepatah demi sepatah.
"Aku ingin kau….aku ingin benar-benar ingin kau, kecuali kau, aku tidak
tahu apa pula yang kuinginkan."
Pipop kongcu hanya
bergemetaran terus tak henti-hentinya, kulit mukanya yang pucat pias tadi, kini
merah membara, diulurkannya tangannya, ditariknya kain bajunya yang sobek untuk
menutupi pahanya. Tapi kain yang sudah dedel-dowel itu mana bisa menutupi
sesuatu, malah gerak-geriknya ini menambah daya tarik, seperti gaya memikat,
bukan saja memikat orang lain, sekaligus memikat diri sendiri. Terasa olehnya
jantungnya serasa hampir melonjak keluar dari rongga dadanya.
Manusia, memang binatang aneh
yang lain dari binatang umumnya. Nafsu birahi manusia, sering terjadi dan
merangsang jiwa disaat bukan waktunya, begitulah waktu keadaan jasmani dan
kondisi badan manusia dalam keadaan keletihan nafsu birahinya malah mendadak bisa
merangsang lebih besar keinginannya.
Akhirnya dengan kencang Oh Thi
hoa memeluknya, dibawa bayangan kematian, nafsu birahinya mendadak berkobar
laksana bara yang menyala, maka dia tak kuat lagi menahan dan kendalikan diri
sendiri, Pipop kongcu pejamkan mata, seolah-olah dia sudah pasrah nasib dan
memang siap menerima segala akibatnya. Suka ria dan kenikmatan menjelang ajal
bukankah setiap manusia yang hampir mampuspun suka menghalalkannya?
Pasir begitu empuk dan lembut,
tapi juga terasa panas menyengat kulit. Oh Thi hoa membalik badan menindih di
atas badannya, kesedihan, kepiluan, derita dan keputus-asaan mereka,
seolah-olah sudah tersapu bersih dan berkobar menjadi abu ditengah-tengah
gelora nafsu birahi yang sudah memuncak ini.
Tapi pada saat itulah, Oh Thi
hoa menjerit kesakitan melompat bangun, dengan kedua tangannya dia pegangi dan
tutup anunya itu dengan rasa kaget dan mendelik kepada Pipop kongcu, suaranya
serak "Kau….kenapa kau… kenapa begini? Memangnya kau tidak mau?"
Bercucuran air mata Pipop
kongcu, katanya perlahan "Aku… aku mau, sebelum ajal ini aku sudah
bertekad memberikan apa saja kepadamu, tapi tidak bisa tidak aku harus memberi
satu hal kepadamu."
"Hal apa?"
Pipop kongcu pejamkan matanya,
katanya "Baa .. badanku sudah tidak suci lagi, sudah kuserahkan kepada
orang lain."
Terkepal kencang jari-jari Oh
Thi hoa, serunya "Siapa?"
"Dia!" sahut Pipop
kongcu tegas. Siapakah itu dia yang dimaksudkan Pipop kongcu, memangnya Oh Thi
hoa tidak tahu? Seperti tiba-tiba diguyur segayung air dingin di atas
kepalanya, seketika Oh Thi hoa berdiri menjublek tak bergerak.
Pipop kongcu tertawa pilu,
katanya "Aku pun ingin merasakan punyamu, sungguh aku pun tak kuasa
kendalikan diriku lagi, cuma ingin aku melakukan segalanya, mati didalam
pelukanmu, tapi…. entah kenapa, aku tidak bisa mengelabuhi soal ini kepada
kau."
Mendadak Oh Thi hoa mencelat
berjingkrak, mulutnya menjerit "jangan katakan lagi…. jangan katakan
lagi…." seperti orang gila dia tendang pasir kian kemari, setiap kali
tendangan kakinya, mulai membarengi memaki Ulat busuk. Pasir beterbangan
memenuhi udara, seluruh badannya sudah terkurung oleh debu yang
bergulung-gulung menguning itu.
Berkata Pipop kongcu dengan
suara sayu " Apa sekarang kau amat membencinya?"
"Hm.." OH Thi hoa
hanya menggeram.
"Seumpama kau amat
membencinya, akupun tidak bisa salahkan kau, ada kalanya aku sendiripun
membencinya…. perduli siapapun bila berada bersama dia, kemenangan dan bangga
selalu hak miliknya, isi hati dan alam pikiran siapapun, cukup sekilas matanya
memandang matamu, dia sudah bisa tahu dengan jelas, sebaliknya bagaimana jalan
pikirannya, selamanya tiada orang lain yang bisa menyelaminya."
Mendadak Oh Thi hoa
menghentikan katanya mengawasinya "kau kira bila kami berada bersama dia
selalu dipihak yang rugi?"
"Em..!" Pipop kongcu
bersuara dalam tenggorokan.
"Tapi dengan senang hati
dan sukarela kami berada bersama dia, hakekatnya dia tidak pernah paksa kita,
kau tahu?"
"Em..!" tertunduk
kepala Pipop kongcu.
Mendadak Oh Thi hoa tertawa
besar, katanya "Bicara pulang pergi, kami berdua boleh terhitung punya
penyakit sama yang harus saling menaruh belas kasihan, mesti sama-sama
membencinya, tapi tak sama-sama menyukainya pula."
Pipop kongcu menghela napas,
katanya "Adakalanya aku sendiri jadi kebingungan dan tidak tahu lantaran
apa."
"Karena Ulat busuk memang
pantas disukai oleh siapa saja, benar tidak?"
Sesaat Pipop kongcu menepekur
akhirnya dia pun tertawa berseri, katanya "Memang kau tidak malu dan tidak
dirugikan menjadi sahabat baiknya…" mendadak ia hentikan kata-katanya
dengan mendelong ia awasi Oh Thi hoa sorot matanya lama kelamaan berubah kaget
takut dan seram, meski mulut sudah terbuka, tapi tidak mampu mengeluarkan
suara.
Oh Thi hoa tertawa, katanya
"Kau lihat apa? Memangnya kepalaku mendadak berubah jadi dua?" segera
ia ulur tangannya untuk meraba kepalanya, seketika mulutnya pun melongo matapun
terbelalak, sorot matanyapun diliputi rasa kejut dan ketakutan dengan melotot
diawasi kedua tangannya, mulutpun terbuka tidak bisa bersuara.
Ternyata kedua telapak
tangannya sudah berlepotan darah segar. Darah ternyata membasahi seluruh
kepalanya.
Tapi batok kepala Oh Thi hoa
tidak terluka tidak pecah, tidak terasa sakit, lalu darimana datangnya darah?
Lekas Oh Thi hoa menengadah, udara nan gelap diliputi debu kuning itu
dilihatnya dua titik bayangan hitam sedang terbang melayang berputar-putar,
malah semakin melayang semakin rendah, agaknya sebentar lagi bakal terjatuh.
Darah tak perlu disangsikan
lagi pasti jatuh dari badan dua ekor elang yang sedang berputar-putar diangkasa
itu. Terang bahwa elang ini sudah terluka, jikalau perasaan Oh Thi hoa tidak
beku karena derita yang dialami sekarang ini, sejak tadi seharusnya dia sudah
tahu dan merasakan.
Heran Pipop kongcu dibuatnya,
katanya "Darimana datangnya elang tadi? Kenapa pula bisa terluka Memangnya
tak jauh dari sini ada orang?" pada kata-kata terakhir, rasa herannya
berubah jadi gembira asal ada orang kemari, maka mereka punya setitik harapan
untuk hidup.
Tapi raut muka Oh Thi hoa
sebaliknya makin kaku prihatin tiba-tiba dia teringat elang-elang yang
menggondol barang mestika yang dibawa oleh para Piausu-piausu yang gila dan
akhirnya roboh mati karena keletihan itu.
Elang-elang di padang pasir
ini, terang sekali adalah budak-budak Ciok koan im. Maka terdengarlah suara
"Bluk .. ", bagai meteor jatuh, seekor elang tiba-tiba meluncur jatuh
tak jauh di depannya. Lekas Oh Thi hoa memburu maju dan menjemputnya, bulu-bulu
lembut bagian perut elang yang putih itu sudah berlepotan darah, perutnya pun sudah
terbelah, itulah luka-luka bekas tusukan pedang. Agaknya diwaktu elang ini
menubruk hendak menyerang kepada seseorang, maka dia terluka oleh tebasan
pedang orang itu.
Oh Thi hoa mengerut kening
mulutnya menggumam "Ilmu pedang yang cepat sekali."
Kembali terbetik sinar harapan
pada sorot mata Pipop kongcu katanya "Apakah dia yang bakal datang?"
"Bukan, jikalau dia yang
turun tangan ke dua elang ini pasti tak bisa terbang begini jauh, apa lagi,
meski hanya seekor binatang diapun tidak akan membunuhnya."
Waktu itulah elang yang
lainnya itupun melayang jatuh, luka-luka yang membuat ajalnyapun sama tebasan
pedang yang membelah perutnya.
"Jadi, mungkin tidak
salah seorang teman kalian yang lain itu?" tanya Pipop kongcu pula.
"Oh Thi hoa geleng-geleng
kepala, sahutnya "juga bukan, Ki Ping yan selamanya tidak pernah
menggunakan pedang!" mendadak dia tertawa sendiri, katanya "Bagaimana
juga, kedatangan kedua ekor elang ini tepat pada waktunya."
Belum lagi Pipop kongcu
menyadari makna dari ucapannya, tahu-tahu dilihatnya Oh Thi hoa menyodorkan
seekor elang kepadanya, katanya "Makan sekenyangmu!"
"Makan elang
mentah?" teriak Pipop kongcu terkejut. "Mana bisa dimakan
mentah-mentah begini?"
Oh Thi hoa mendelik
"Jikalau kau tidak ingin mati, kan harus memakannya, betapa banyak kau
bisa makan, gareslah sekuatmu, lebih banyak lebih baik, tahu tidak?"
Bagi orang-orang yang suka
gegares berbagai makanan daging binatang bersayap, daging elang adalah daging
yang paling besar dan liar, seumpama kau godok sampai masakpun belum tentu
dapat kau kunyah sampai lembut, apalagi digares secara mentah-mentah.
Dengan kerahkan sisa tenaganya
Pipop kongcu mengiris secuil daging terus dijejalkan ke dalam mulut seperti dia
menelan pil obat yang pahit, dengan mengerut kening dia mengunyah
sekuat-kuatnya, beberapa kali sudah hampir tak tahan hendak memuntahkannya.
Oh Thi hoa segera memberi tahu
kepadanya "Dengan cara makanmu ini selamanya kau tidak akan bisa
memulihkan tenagamu. Tirulah cara makan seperti aku, coba lihat…." dia mengiris
segumpal daging elang yang masih berlepotan darah dijejalkan ke mulut dan terus
ditelannya bulat-bulat.
Jangan toh melihat melirikpun
Pipop kongcu merasa jijik "Aku… aku tidak bisa makan dengan cara itu, aku
tak bisa makan… tiada selera."
Walaupun daging elang kasar
dan liat, meski darah elang amis dan memualkan, tapi bagi seorang yang sudah
kekeringan menjelang ajal, sungguh jauh lebih berharga, nikmat dan menyegarkan
dari segala makanan lezat atau obat-obatan penguat badan. Setelah habis melahap
seekor elang yang cukup besar itu, lambat laun muka Oh Thi hoa sudah mulai
merah, dengan demikian pula Pipop kongcu sudah kuasa menghela napas pelan.
Pada saat itulah didalam
keheningan padang pasir yang lelap ini, sekonyong-konyong terdengar jeritan
menyayat hati dari gundukan pasir dibalik sana.
Sedikit berubah muka Oh Thi
hoa, katanya dengan suara berat "Kau tunggu aku di sini biar kutengok
kesana."
"Tidak aku juga mau ikut
kesana."
"Baiklah, marilah ……
agaknya kecuali Ulat busuk itu, tiada orang lain yang kuasa mengurusi dirimu …
tapi kau harus berhati-hati".
Dibalik gundukan pasir sebelah
sana tampak sinar golok berkelebat, cahaya pedang seliweran saling sambar.
Darah segar sudah berceceran diatas pasir kuning, beberapa mayat orang sudah
malang melintang tak bergerak, tapi masih ada puluhan laki-laki seragam hitam
yang sedang mengepung dan mengeroyok dua orang yang sedang melawan mati-matian.
Akan tetapi dua orang yang
terkepung itu memiliki kepandaian silat yang jauh lebih tinggi, permainan ilmu
golok lawannya cukup hebat dan ganas, lebih menakutkan lagi, karena orang ini
menampilkan napsu membunuh yang begitu tebal, agaknya mereka sudah kerasukan
setan, ingin rasanya memecah hancur badan kedua musuhnya ini menjadi
berkeping-keping."
Bahwa para laki-laki serangan
hitam yang mengepung itu sudah beringas dan nekad untuk mengadu jiwa, namun
kedua musuh mereka pun masih teramat lihai, sinar pedang laksana bianglala
memanjang menggubat dan menabas pergi datang seperti menari-nari di udara
merangsak kian kemari, jelas sekali ilmu pedang hebat ini adalah ajaran murni
dari golongan Hoa san pai yang terkenal dan disegani di daerah pedalaman.
Cuma sayang tenaga mereka
kelihatannya sudah mulai terkuras dan lemah, sebaliknya jumlah lawan-lawan
mengeroyoknya terlalu banyak, kalau pertempuran dilanjutkan terus seperti ini,
umpama tidak sampai terbacok mampus merekapun akan mati keletihan.
Pipop kongcu dan Oh Thi hoa
sembunyi dibalik pasir, tiba menjerit kaget "Kau lihat itu… bukankah dia
itu tukang kuda kalian?"
Sudah tentu Oh Thi hoa juga
melihat bahwa salah satu dari kedua orang yang terkepung ditengah, bukan lain
adalah Ciok Tho, tampak gerak-geriknya mulai lamban dan serangannya pun rada
kaku.
Seorang yang lainnya
sebaliknya memainkan pedang yang lincah enteng dan jelas dia bukan lain adalah
tokoh tersembunyi ahli pedang Ong Tiong yang jejaknya serba misterius, orang
mengejar jejak Ciok Tho lantas ikut menghilang. Sementara laki-laki seragam
hitam yang mengeroyok mereka itu, jelas adalah anak buah Ciok koan im.
Sekian lama Oh Thi hoa
perhatikan dengan seksama, akhirnya dia tidak sabar lagi, katanya "Kali
ini, kau harus dengar kata-kataku dan tunggu aku di sini."
Pipop kongcu menggigit bibir,
sahutnya "Tapi kalau ada orang lari kemari, aku tidak akan berpeluk tangan
saja lho?"
Oh Thi hoa manggut-manggut
dengan tertawa, mendadak dia menghardik bagai geledek, badannya meluncur
terbang menubruk ke tengah gelanggang.
Laki-laki seragam itu sudah
bertempur setengah harian dengan semangat menyala dan berani mati, tidak
sedikit diantara mereka yang sudah terluka dan menemui ajalnya sesudah sekian
lamanya baru mereka pelan-pelan mendesak kedua musuhnya di bawah angin, jelas
sebentar lagi merasa bakal berhasil membacok hancur dua orang yang sudah mereka
kejar-kejar beberapa hari lamanya ini.
Siapa tahu, pada saat-saat
yang hampir menentukan ini mendadak terdengar bentakan laksana guntur
menggelegar, seorang seperti terjun dari tengah udara laksana panglima langit,
tahu-tahu menggencet batok kepala seorang laki-laki, berbareng sebelah kakinya
menendang, sehingga laki-laki kekar itu terpental terbang tiga tombak, kembali
kepalanya menjotos, dia pukul rontok seluruh gigi yang depan seorang laki-laki
yang lain. Sementara batok kepala laki-laki yang pertama yang diserangnya tadi
sudah gepeng.
Dalam bergebrak menggerakkan
tangan mengayunkan kaki ini, sekaligus dia sudah merobohkan tiga orang. Begini
gagah perwira dan perkasa, sungguh menciutkan nyali dan menggetarkan sukma.
Sudah tentu para laki-laki seragam hitam yang sedang bernapsu hendak merajang
kedua musuhnya ini kaget dan tersiak mundur berpencar.
Di sebelah sana Ciok Tho dan
Ong Tiong berdua seketika bergetar kaget dan terbangkit semangat mereka, dua
bilah pedang bersilang ke depan, dimana sinar golok berkelebat, dua laki-laki
seketika roboh dengan kepala kutung.
Oh Thi hoa segera membentak
memperingatkan "Orang she Oh tidak suka membunuh yang tidak berdosa, asal
kalian mau meletakkan golok aku pasti tidak akan melukai kalian."
Tak nyana semua laki-laki itu
seperti sudah gila, dengan mata membara, mereka menubruk maju pula dengan kalap
serta menyerang membabi buta.
Pedang ditangan Ong Tiongpun
dikembangkan, bentaknya "Orang-orang ini sudah hilang kesadarannya, semua
tidak terkontrol dan tidak bisa ditundukkan, kecuali membunuhnya
seluruhnya."
Oh Thi hoa menghela napas,
dilihatnya dua batang golok bagai angin puyuh membela datang, biji mata kedua
laki-laki ini sudah merah, keadaan mereka tak ubahnya seperti dua ekor anjing
yang benar-benar sudah gila. Sedikit memiringkan badan, badan Oh Thi hoa
tiba-tiba berkelebat lewat diantara sela-sela samberan sinar golok, berbareng
sikut kiri menyodok keluar, sekaligus tangan kanan menyanggah ke atas, entah
bagaimana golok ditangan laki-laki sebelah kanan tahu-tahu sudah terampas
olehnya "krak" disusul suara suatu benda keras pecah retak, ternyata
seluruh tulang-tulang iga laki-laki sebelah kiri remuk disodok oleh sikutnya.
Tapi setelah terpental mundur beberapa langkah, mendadak dia menerjang maju
pula dengan menggempur kalap "Buat apa kau senekat ini?" ujar Oh Thi
hoa menghela napas. Belum sehabis kata-katanya dua orang susul menyusul sudah
roboh terkapar mandi darah.
Dari kejauhan Pipop kongcu
menonton pertempuran sengit yang seram ini, tampak semua laki-laki seragam
hitam itu tubruk sana terjang sini, yang satu roboh yang lain menggantikan,
sambung menyambung maju menerjang, meski tahu bahwa mereka hanya mengantar
kematian, namun sedikitpun mereka tidak gentar, ternyata tiada satupun yang
melarikan diri. Tak tahan diapun menghela napas, ujarnya "Kalau dalam
negeri kita punya pahlawan-pahlawan segagah dan seberani ini, masakah kita
sampai menderita begini mengenaskan seperti ini." Memang tanpa disadarinya
bahwa semua laki-laki ini sudah rela menjual jiwanya untuk kepentingan Ciok
koan im, bahwasanya mereka tidak ubahnya seperti mayat-mayat hidup yang tinggal
menunggu ajal belaka.
Pertempuran berdarah sesengit
itu akhirnya berakhir juga, pasir kuning jadi merah oleh banjirnya darah, mayat
bergelimpangan dimana-mana.
Kedua tangan Ciok Tho
memegangi pedang napasnya tersengal-sengal, namun kulit mukanya masih tetap
kaku seperti batu-batu keramik yang kasar itu, Ong Tiong segera maju
menghampiri menjura kepada Oh Thi hoa, katanya setelah menarik napas "Budi
besarmu ini tak berani aku mengucapkan terima kasih yang berkelebihan. Tanpa
bantuan Tayhiap, hari ini kami bersaudara terang akan mampus disini tanpa ada
liang kubur."
Oh Thi hoa memandangnya, lalu
memandang Ciok Tho pula, tanyanya heran. "Kalian bersaudara?"
"Meski bukan sedarah
daging, persaudaraan kita laksana kakak adik kandung sendiri," sahut Ong
Tiong.
Oh Thi hoa heran bertanya pula
"Kalau demikian jadi kalian sudah lama berkenalan?" Ong Tiong
menghela napas katanya "Cayhe menjelajah dunia, tujuannya adalah untuk
mencarinya, kalau dihitung-hitung….. sudah hampir dua puluh tahun."
Dengan tajam Oh Thi hoa awasi
pedang di tangannya itu, tiba-tiba berkata pula dengan tertawa "Selama dua
puluh tahun ini jarang kulihat ilmu pedang Hoa san pai kalian yang betul-betul
murni di kalangan Kang Ouw, jurus Kiong hong koan jit yang tuan lancarkan tadi
sungguh dapat menggetarkan dunia dan dapat menjagoi Bulim!"
Sedikit berubah air muka Ong
Tiong katanya sambil unjuk tawa dipaksakan "Oh Thay hiap terlalu
memuji!"
Dengan mata berkilat Oh Thi
hoa menatapnya "Menurut apa yang Cayhe ketahui, meski pada pihak Hoa san
kalian jaya dahulu, yang betul-betul bisa melancarkan jurus King hong boan jit
sebaik tadi, dan tidak lebih hanya beberapa orang yang bisa dihitung dengan
jari, sebaliknya diantara tokoh-tokoh kosen ahli pedang dari pihak Hoa san pai
kalau terang tiada seorang yang bernama Ong Tiong. Sekarang tentunya tuan sudi
memberi tahu nama asli tuan yang sebenarnya?"
Ong Tiong gelagapan katanya
"Cayhe tidak lebih hanya seorang keroco saja dikalangan Kang ouw, buat apa
tuan…?"
Oh Thi hoa segera menukas
dengan tertawa besar "Sampai detik ini, masalah tuan masih tidak mau
menerangkan asal usulmu sendiri terhadapku? Ketahuilah nama seseorang meski
dapat mengelabuhi orang lain, tapi permainan ilmu pedangnya takkan bisa
mengelabuhi pandangan seorang ahli."
Lama Ong Tiong berdiam diri,
akhirnya menarik napas panjang, katanya tertawa getir "Jiwa Cayhe berkat
pertolongan Tayhiap, sebetulnya aku pun tidak berani memperkenalkan diri dengan
nama palsu, sebentar dia merandek lalu melanjutkan "Bicara terus terang.
Cayhe she Liu bernama Yan hwi."
"Liu Yan hwi!" Oh
Thi hoa menjerit tertahan!" jadi kaulah murid penutup dari Hoa san pai
Ciangbun yang terakhir dulu, di luar Hoa san chit kiam, Sie liong siau kiam
khek yang paling ternama dan paling disegani itu?"
Liu Yan hwi tertawa rawan,
katany "Sang waktu menyiksa orang, anak muda yang gagah berani dulu
sekarang sudah menjadi kakek tua yang berjenggot memutih."
Berkilat dan jelalatan biji
mata Oh Thi hoa, sekilas ia mengerling kepada Ciok Tho, tanyanya "Kalau
tuan ternyata aadalah Liu Tayhiap, dia…?"
Agaknya Liu Yan hwi sudah
ambil keputusan dan bertekad, katanya sepatah demi sekata "Dia adalah Toa
suhengku Hongbu Ko".
"Jadi dia inilah tetua
dari Hoa san chit kiam?" seru Oh Thi hoa tersirap darahnya. "Jiwa
kependekaran tersebar luas disegani di seluruh dunia kaum Bulim di seluruh
jagat sama segan dan menghormatinya sebagai Jinggi kiam khek? Pendekar pedang
bijaksana dan setia kawan?"
"Ya, memang dialah adanya."
Ong Tiong membenarkan.
Kembali Oh Thi melirik kepada
Ciok Tho, Tampak sorot matanya kosong hambar menatap lempang ke depan nan jauh
di sana, keadaannya tetap seperti semula seolah-olah apapun ia tidak mendengar
dan tidak melihat pendekar pedang yang gagah dan disegani pada masa jayanya
dulu, bagaimana pula terjadinya sampai berubah demikian rupa? Tak terasa Oh Thi
hoa merasa kasihan dan prihatin, tak tahan ia berkata "Sebetulnya
bermusuhan apa adanya antara Ciok koan im dengan Hongbu Tayhiap? Tega hati dia
menyiksanya sampai demikian rupa?"
"Seluk beluk persoalan
ini amat panjang dan berbelit-belit" ujar Liu Yan hwi. "Bukan saja
Hongbu Toako dibikin cacad demikian rupa seluruh Hoa san pai kitapun hancur
luluh di… ditangan iblis laknat itu."
"Sekarang terhitung dan
sudah berhasil menemukan dia, apa pula yang kau inginkan?" tanya Oh Thi
hoa sesaat kemudian.
Liu Yan Hwi tertunduk,
sahutnya tergagap "Aku…aku…" suaranya tersendat didalam tenggorokan,
air mata sudah berkaca-kaca di kelopak matanya.
Mendadak Oh Thi hoa genggam
tangannya, katanya keras "Masakah tidak ingin menuntut balas?"
"Menuntut balas….
menuntut balas…." dengan terlongong Liu Yan hwi kemak kemik "Entah
berapa kali sudah mulutnya mengulangi kedua katanya ini, air mata akhirnya menetes
membasahi pipinya, mendadak dia kipatkan tangan Oh Thi hoa dengan keras,
katanya dengan suara serak "Tahukan kau kenapa Hengbu Toako ku rela
merendah diri menjadi kawan binatang?"
"Akupun sudah melihatnya,
tentu dia punya suatu derita dan pengalaman yang tak sudi diketahui orang
lain."
"Dia menyembunyikan nama
mengasingkan diri, terima dihina dan hidup menderita, lantaran dia tidak mau
menuntut balas."
Oh Thi hoa melengak, tanyanya
"Kenapa?"
"Karena dia cukup jelas
hanya mengandalkan tenaga dan kemampuan kita segelintir manusia ini, tak
bedanya seperti telur membentur batu dia tidak rela aliran Hoa san pai kita
putus turunan begini saja, diapun takkan tega para anak murid Hoa san pai satu
persatu menjadi korban kekejaman musuh."
Pipop kongcu segera maju
mendebat, timbrungnya tiba-tiba "Apakah anak murid Hoa san pay kalian ada
juga yang masih hidup?"
"Yang ketinggalan hidup
tidak banyak jumlahnya." sahut Liu Yan hwi.
"O, jadi masih ada
beberapa gelintir yang masih hidup, kukira malah sudah mampus seluruhnya."
jengek Pipop kongcu.
"Kau…" berubah air
muka Liu Yan hwi. Namun Pipop kongcu tidak beri kesempatan dia bicara, katanya
dingin lebih lanjut "Dulu Hoa san chit kiam malang melintang di Kang ouw,
betapa besar ketenaran nama kalian, setiap menyinggung nama Hoa san pai siapa
yang takkan mundur dan mengalah, sampaipun rakyat kerdil di negeri asing
seperti aku inipun sudah lama kagum dan merasa iri akan kejayaan Hoa san pay
masa dulu, tapi sekarang…" dia geleng-geleng kepala, lalu meneruskan menghela
napas "Tapi sekarang boleh dikata tidak seorangpun kaum Bulim yang masih
ingat nama Hoa san pai, sudah lupa bahwa di Bulim pernah bercokol dengan
angkernya sebuah Hoa san pai, seumpama anak murid Hoa san pai masih tetap hidup
sebanyak mungkin, apa pula bedanya kalau mereka sudah mampus seluruhnya?"
Seperti kepalanya dikemplang
dengan godam, Liu Yan hwi tersurut mundur selangkah dengan mata beringas kulit
mukanya gemetar, keringat membasahi seluruh kepalanya.
Berkata pula Pipop kongcu
"Seorang laki-laki sejati sebagai kesatria, dari pada hidup memeluk
bangkai lebih baik gugur sebagai pahlawan, coba katakan benar tidak?"
Liu Yan hwi banting kaki,
katanya sember "Liu Yan hwi kau kira takut mati, tapi mati harus mati
dengan berharga, jikalau hanya mengorbankan jiwa secara konyol…"
"Kau sendiri beranggapan
bahwa bukan tandingan Ciok koan im?" tukas Pipop kongcu.
"Dalam kolong langit ini,
orang-orang yang benar-benar dapat melawannya sampai setanding mungkin tidak
banyak jumlahnya."
"Asal kau bisa ajak kami menemukan
Ciok koan im, kami tidak segan-segan berkorban demi kalian, tapi kalau toh
kalian… kalian tidak berani, ya apa boleh buat." demikian olok-olok Pipop
kongcu secara halus sambil membakar hatinya.
Berubah rona muka Liu Yan hwi,
mendadak ia kertak gigi terus ia putar badan memburu ke arah Hongbu Ko, dia
berlutut di hadapan orang sambil menarik tangan orang. Tampak dengan air mata
bercucuran pilu, jari-jarinya tak henti-hentinya mencoret-coret di telapak
tangan Hong bu Ko, sesaat kemudian Hong bu Ko seperti gusar, mendadak kakinya
melayang ia tendang Liu Yan hwi terguling-guling. Tapi Liu Yan hwei segera
bangkit dan mendadak ke depan kakinya pula, tampak sekujur badan Hongbu Ko
gemetar seperti orang bergidik kedinginan, dua titik air mata meleleh keluar
dari sepasang matanya yang kosong hampa itu.
Sekian lamanya pula, baru
terlihat Liu Yan hwei melompat bangun, katanya serak "Apa benar kalian
suka menemani kami bersaudara pergi mencari Ciok koan im?"
"Sudah tentu benar!"
Oh Thi hoa memberi janjinya dengan tegas.
"Meski kita pergi dan
takkan kembali dengan hidup, kalian tidak gentar?" tanya Liu Yan hwi
menegas.
"Memang kau kira aku
orang she Oh ini laki-laki yang takut mati?" seru Oh Thi hoa dengan
lantang.
Liu Yan hwi menarik napas
sedalam-dalamnya, katanya bersemangat "Baik, kalau demikian marilah kalian
ikut kami."
Puncak-puncak batu seperti
berlomba menjulang ke angkasa, barisan batu ini laksana tak berujung pangkal
ditengah-tengah gurun pasir nan indah. Sampai di sini kaki tangan Hongbu Ko
seolah-olah mulai dingin dan gemetar.
Oh Thi hoa layangkan pandangan
sekelilingnya, katanya takjub "Suatu daerah yang amat berbahaya,
mungkinkah kita sudah tiba diambang pintu akherat.
"Bukan diambang pintu
neraka, di sini juga sudah termasuk akherat." ujar Liu Yang hwi,
"Diantara hutan hutan batu ini, terdapat sebuah lembah yang letaknya amat
tersembunyi disanalah Ciok koan im bersemayam, disanalah Hongbu Toako mengalami
derita dan siksaan yang kejam yang tak mungkin bisa dialami oleh manusia
siapapun.
Memancarkan cahaya berkilat
biji mata Oh Thi hoa, jari-jarinya terkepal kencang, katanya lantang "Kini
tibalah saatnya dia menuntut balas, marilah kita terjang ke dalam!"
"Tapi diantara sela-sela
puncak batu itu, jalan berbelit-belit dan berliku-liku, setiap langkah
mengandung banyak perubahan yang berbeda-beda dan tak bisa diteliti, jikalau
begini saja kita menerjang masuk secara membabi buta, mungkin selamanya takkan
bisa masuk ke lembah sesat itu sampai jiwa kita ajal, demikian kata Liu Yan
hwi.
Pipop kongcu jadi gelisah,
katanya "Lalu …. lalu bagaimana?"
"Terpaksa harus tunggu
sampai hari menjadi gelap, bila arah angin sudah berubah!"
Tak tahan bertanya pula Pipop
kongcu "Kenapa harus menunggu sampai malam disaat arah angin
berubah?"
"Bahwa mata kuping Hong
bu Toako sudah cacat, maka belakangan Ciok koan im memandangnya sebagai mayat
hidup layaknya sedikitpun tidak menjaga dirinya dan membiarkan gerak-geriknya,
siapa tahu setelah dia biasa keluar masuk selat yang membingungkan ini
mengandalkan panca inderanya yang ke enam, segala gerak perubahan dari jalanan
yang menyesatkan didalam hutan batu ini sudah dia hapalkan dengan baik
sekali."
"Oleh karena itu maka dia
berhasil menggeremet keluar?" tanya Pipop kongcu.
"Ya, begitulah."
sahut Liu Yan hwi.
"Lalu, apa pula
hubungannya dengan perubahan angin itu?"
"Bagi seorang tuna-netra
yang tuli dan bisa lagi, untuk menemukan arah langkahnya bukan suatu hal yang
ringan, tapi dia perlu mendapat bantuan berbagai unsur yang punya ikatan erat
dengan kondisi badannya, sudah tentu perubahan angin adalah satu diantara
sekian unsur-unsur yang menentukan itu."
"Aku paham sekarang, ujar
Pipop kongcu.
"Jadi malam dimana dia
berhasil melarikan diri itu, arah anginnya berbeda dengan sekarang kuatir
bekerjanya panca indra ke enamnya rada meleset, kemungkinan besar bisa salah
menentukan arah, betul?"
"Betul, asal selangkah
kau salah menggerakkan kakimu didalam selat yang membingungkan itu, maka saat
itu pula ajalmu bakal ditentukan oleh langkah-langkahmu selanjutnya.
Oh Thi hoa mendongak melihat
cuaca, katanya gelisah "Sampai kapan kita harus menunggu baru angin setan
ini berubah arah?"
"Di tengah-tengah gurun
pasir, sering terjadi hembusan arah angin disiang hari dan malam hari
berbeda."
"Kalau dia justru tidak
mau berubah bagai mana?" Oh Thi hoa rada sangsi.
"Kalau tidak berubah
terpaksa kita harus menunggu dia berubah."
Untunglah nasib mereka cukup
baik, menjelang malam arah angin tiba-tiba berubah dari arah semula yang menuju
ke tenggara tiba-tiba berubah ke arah barat laut maka hawa dingin segera
bergulung-gulung menerjang tiba ke arah barat laut.
Dengan ujung pedang sebagai
tongkat menutul pasir Hongbu Ko berjalan di depan membuka jalan. Setiap
langkahnya amat berhati-hati dan lambat, seolah-olah kuatir sekali kakinya
salah langkah, selamanya bakal kejeblos ke dalam neraka yang tak tertolong lagi
jiwanya. Tapi kejap lain, mereka toh beriring sudah memasuki hutan-hutan batu
itu.
Malam gelap gulita tiada
rembulan tiada bintang, jagat raya sedemikian gelapnya seperti didalam peti
mati, sampai kelima jari sendiripun tidak kelihatan. Hampir dikata apapun tak
terlihat oleh ketajaman mata Oh Thi hoa yang sudah terlatih ini, hatinya
berdetak tegang sampai serasa sesak napasnya.
Tapi dia cukup tahu, semakin
gelap, malah semakin menguntungkan bagi Hongbu Ko, karena didalam keadaan yang
gelap ini, orang yang punya mata malah jauh lebih tidak leluasa dari seorang
picak.
Langkah Hongbu Ko teramat
lambat, setiap langkahnya menghabiskan beberapa lamanya, tapi dia terus maju tak
berhenti, gerak-geriknya laksana seekor kucing yang sedang merunduk mangsanya,
boleh dikata hampir tak pernah mengeluarkan sedikitpun suara bahwasanya kala
itu angin badai membawa damparan pasir bersuit-suit amat ributnya, umpama
langkah-langkah mereka bersuarapun takkan bisa terdengar orang lain. Tapi kalau
ada orang mendatangi mengeluarkan suara berisik umpamanya, mereka tidak akan
tahu.
Cuma Hongbu Ko satu-satunya,
dia tidak perlu mendengar namun dia dapat merasakan. Dan pada itulah,
seolah-olah dia mendapat suatu firasat jelek, suatu perubahan yang menimbulkan
kewaspadaannya. Sigap sekali tiba-tiba dia membalik badannya terus mendekam
menempel dinding batu, dalam keadaan dan saat seperti ini, terpaksa orang-orang
lain sama meniru perbuatannya, serempak merekapun mendekam menempel dinding
batu, bersiaga dengan tegang.
Dengan kencang Oh Thi hoa
genggam golok berpunggung besar yang berhasil dia rampas dari satu musuh tadi,
diam-diam dia menggeremet baju ke depan Hongbu Ko, dia pepetkan badannya ke
dinding batu pula, dengan tegang dan sabar dia menunggu segala perubahan dengan
menahan napas. Malam nan gulita ini diliputi ketegangan dan napsu membunuh yang
mulai memuncak.
Seperti seekor serigala buas
dan kelaparan yang sedang menunggu mangsanya muncul untuk diterkam dilalapnya.
Sesaat kemudian, betul juga dari balik celah-celah batu di sebelah samping
depan sana, sayup-sayup didengarkannya dengus napas orang, saking tegang
telapak tangan yang menggenggam erat gagang golok sampai berkeringat.
Dengus napas itu semakin jelas
dan semakin dekat.