Rahasia Ciok Kwan Im (Da Sha Mo) Bab 14: Upaya penebusan Ki loh ci sing

Rahasia Ciok Kwan Im (Da Sha Mo) Bab 14: Upaya penebusan Ki loh ci sing
Rahasia Ciok Kwan Im
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------

Bab 14: Upaya penebusan Ki loh ci sing

Mendengar kata-kata ini seketika serasa tenggelam Setitik Merah.

Si Bungkuk sebaliknya tertawa lebar katanya "Maling Romantis? Jikalau aku ini maling romantis memangnya aku mandah diikat orang demikian rupa?" seolah-olah dia merasa kenyataan ini amat menggelikan, saking geli air mata pun sampai meleleh keluar.

Dengan tenang-tenang Go Kiok kan mengawasinya setelah tertawa reda baru ia berkata tawa. "Ikatan tali sebesar itu memangnya mampu membelenggu maling kampion? Kalau maling romantis berhasil menyelidiki keadaan kita, sekali meronta gampang saja kau bebaskan diri, benar tidak?"

Si Bungkuk akhirnya tak bisa tertawa, sungguh tak habis mengerti Go Kiok-kan ternyata adalah tokoh kosen selihai ini. Berkata Go Kiok-kan lebih lanjut "Masakah Maling romantis masih tidak mau mengaku? Memangnya perlu Cayhe mengambil air mencuci mukamu?"

Tak tahan berkata Coh Liu-hiang "Sahabat, tajam benar matamu, entah dari mana saudara cacat mengenali penyamaranku?"

"Kepandaian menyamar si Maling Romantis tiada bandingannya dikolong langit, tapi betapapun pintar seorang merias diri, ada titik-titik tempat dimukanya yang tak mungkin bisa diubahnya."

"Oh titik tempat manakah itu?" tanya Coh Liu hiang heran tak mengerti.

"Tentunya Maling Romantis juga tahu roman muka orang, kulit dan suaranya bisa dirubah menurut sesuka hati, sampaipun tinggi rendah badan orangpun bisa dipalu, tapi cuma jarak antara kedua mata orang saja yang tak mungkin dirubah.
Meski ilmu tata rias maling kampiun amat tinggi, takkan mungkin bisa mengubah jarak dan letak antara kedua matanya sendiri?"

Coh Liu hiang melirik kepada Ki Ping-yan katanya tertawa "Tak nyata hari ini aku kebentur dengan seorang ahli."

Kata Go Kiok-kan lebih lanjut "Apalagi asal mau sedikit perhatian, dengan mudah orang bisa membedakan jarak antara kedua mata siapa saja, pasti tiada yang sama dalam jagat ini, namun terpautnya juga hanya seper-seratus mili saja."

"Kalau demikian, jadi tuan sudah pernah menghitung jarak antara kedua mataku?"

"Maaf, maaf" ujar Go Kiok kan sambil menjura.

"Tapi kenapa aku seperti tak pernah melihat tuan?"

"Kaum keroco seperti aku ini, meski Maling Romantis pernah melihatnya juga sudah lama dilupakan."

Wah, kalau demikian lebih baik seorang jangan terlalu besar nama dan menyolok perhatian orang lain. Dalam situasi seburuk ini dengan wajar dan tenang dia masih bisa tertawa lebat, sebaliknya Setitik Merah dan Ki Ping yan serasa hampir gila karena gelisah.

Sekonyong-konyong badan Setitik Merah menubruk maju ke depan, berbareng kaki kanan menyepak ke belakang.

Kepandaian permainan kakinya sungguh sudah dilatihnya sempurna betul, begitu menubruk maju, boleh dikata badannya sudah hampir merata dengan lantai, siapa nyana ujung pisau ini masih tetap mengancam tenggorokannya, sia-sia dia berusaha membebaskan diri.

Badan si gadis merah tahu-tahu sudah bergelantungan di atas belandar, katanya tertawa "Aku sudah menjadi ulat dalam perutmu, selamanya kau takkan bisa bebas dari intaianku."

Dengan tertawa Coh Liu hiang awasi Go Kiok-kan katanya? "Kau mengawini bini yang begitu pintar melihat orang, tentunya hidupmu cukup tersiksa juga."

Go Kiok-kan tertawa tawa, sahutnya "Lebih sayang lagi kehidupan tuan selanjutnya mungkin jauh lebih tersiksa."

Di sini tempat paling gelap di dasar perahu, begitu gelap sampai jari sendiripun tak kelihatan, dasar kapal yang bergesek dengan pasir terus kumandang di telinga mereka, serasa seperti jarum menusuk ke ulu hatinya.
Perduli siapapun rebah ditempat seperti itu sudah tentu takkan merasa nyaman dan segar terutama Ki Ping yan dan Coh Liu hiang yang biasanya mengutamakan kehidupan foya-foya berkemewahan ini, kini justru terkurung ditempat seperti ini.

Entah karena apa, Go Kiok-kan tidak ingin segera membunuh jiwa mereka, Setitik Merah pun tidak dibunuhnya, seolah-olah terasa sayang bila sekarang juga mereka dihabisi nyawanya.

Coh Liu hiang menarik napas panjang, mulutnya menggumam "Go Kiok kan! Go Kiok kan! Bahwasanya tokoh macam apakah dia? Bagaimana mungkin sekali pandang lantas mengenali penyamaranku?"

Ki Ping yan menjengek dingin "Kau kira samaranmu cukup baik? Di dalam kamar rias di atas kepalamu mungkin kau bisa menyamar sehingga orang lain tak mengenalimu, tapi kali ini sampaipun aku sekali pandang bisa mengenalmu."
Sudah tentu kau bisa kenal aku, tapi jangan kau lupa, betapa akrab dan intimnya hubungan kita, memangnya siapa Go Kiok kan itu? Bagaimana mungkin mengenalku begitu apal?"

"Mungkin dia Mutiara hitam," ujar Ki Ping yan setelah berpikir sebentar.

"Pasti bukan dia."

"Sampai detik ini, kau masih begitu yakin kepadanya."

"Sudah tentu Mutiara hitam bisa saja menyamar, tapi ilmu silatnya tak mungkin ditiru, dari cara dan ilmu untuk Go Kiok-kan ini aku dapat tahu bahwa Go Kiok-kan ini berkepandaian lebih tinggi dari Mutiara hitam."

Ki Ping-yan terkancing mulutnya, dari atas terdengar gelak tawa yang kedengaran sayup-sayup sampai, bahwa kapal ini kebanyakan dibangun dari bambu, sudah tentu tak mungkin terbendung begitu saja.

Kalau Coh Liu hiang bertiga bakal mampus sudah tentu orang lain tak perlu kuatir dengan penjagaan ketat segala, entah beberapa lama berselang kapal tiba-tiba berhenti.

Terdengar suara Bin Ciangkun berkata "Di sini tempat perjanjian dengan Ciok-hujin itu?"

Omongan apapun Coh Liu hiang tak pernah perhatikan, suara gesekan papan kapal dengan pasir sungguh amat menyebalkan, ingin rasanya mereka menyumbat telinga mereka masing-masing. Tapi setiap mendengar kata-kata Bin-ciangkun, Coh Liu hiang, Ki Ping yan dan Setitik Merah segera pasang kuping mendengarkan dengan cermat.

Maka terdengar Go Kiok-kan menyahut "Ya disinilah tempatnya, takkan salah!"
Ang siangkong bergelak tertawa, katanya "Apapun yang dilakukan Go siansing, sekali-kali takkan keliru, cuma…. entah Ciok hujin benar-benar punya maksud kerja sama dengan kita setulus hati?"

"Jikalau dia tiada maksud itu, kita hendak berjumpa dengan dia, mungkin sesukar memanjat ke langit."

"Ah! Apakah ilmu silatnya lebih tinggi dari Go siansing?" tanya Bin-ciangkun.

"Ilmu kepandaian Cayhe yang rendah ini seumpama kunang-kunang dibandingkan cahaya rembulan bila dibedakan dengan kepandaian Ciok-hujin, bahwasanya satu sama lain tidak boleh disejajarkan."

"Kalau demikian" ujar Bin ciangkun, "Dengan mendapat bantuan Ciok-hujin ini, kita bakal menang total dan selanjutnya boleh makan tidur tanpa kuatir apa-apa."

"Ya memang begitulah!" Go Kiok-kan mengumpak.

"Dalam hal ini bantuan besar Go siansing amat kami harapkan." timbrung Ang siangkong "Kalau bukan bantuan Go siansing, masakah Ciok-hujin sudi kerja sama dengan manusia kasar seprti kami ini."

"Tepat, setelah segala usaha besar kita berhasil dengan gemilang, dari atas sang raja, ke bawah sampai aku dan Ang siangkong kita semua takkan melupakan budi bantuan Go siansing yang berharga."

"Cayhe rakyat jelata, dapat berkata demi kejayaan negara dan ketentraman negeri, sungguh amat bangga dan bersyukur." Go Kiok kan pura-pura merendahkan diri.

Gadis baju merah ikut menimbrung "Kau tak usah pura-pura sungkan jikalau usaha kali ini berhasil, bukankah kau hendak mohon jabatan kepada Bin ciangkun atau Ang siangkong supaya akupun bisa mengecap kehidupan mewah dan senang tentram."

"Jangan kuatir, bila usaha kita berhasil, kau bakal menjadi nyonya besar kelas satu." puji Ang-singkong.

Lalu terdengar gelak tawa kegirangan mereka disusul suara sentuhan cangkir.
Sampai kini, semakin mendelu dan tenggelam rasa sanubari Coh Liu hiang. Baru sekarang mereka mendapat tahu bahwa Go Kiok kan memang ada intrik dengan Ciok koan im malah dia pula yang menjadi kurir antara pemberontak kerajaan Kui-je dengan Ciok koan im. Dengan susah payah baru orang-orang ini berhasil merebut kedudukan raja Kui je, dengan intrik tersembunyi ini, secara tidak langsung mereka sudah angsurkan kedudukan dan segala kepentingan negeri Kui je kepada Ciok Koan im dan Go Kiok kan. Manusia seperti Go Kiok-kan sudah tentu tujuannya bukan melulu pangkat dan kemewahan, seumpama dia menjadi perdana menteri, diapun takkan bisa duduk dengan tenang.

Cuma dalam keadaan kalut begini, bagaimana pula kedudukan Mutiara hitam? Sejak kecil dia dibesarkan di padang pasir, memangnya dia terhitung anak buah Ciok koan im? Kini Ciok-koan im akan segera datang, nasib Coh Liu Hiang bertiga, mungkin segera akan diputuskan.

Mendadak Ki Ping yan berkata "Coh Liu hiang, biasanya kau amat yakin, kali ini kau pikir apa kau bisa keluar dengan tetap hidup?"

Coh Liu hiang tersenyum, katanya "Beberapa kali tajam golok orang sudah mengancam tenggorokanku, aku toh masih bisa hidup sampai sekarang."

Ki Ping yan tertawa getir katanya: "Coh Liu hiang, Coh Liu hiang! sampai kapan baru kau akan putus asa?"

"Bila orang belum memenggal kepalaku selamanya aku takkan pernah putus asa!"

Sekonyong-konyong terdengar pekik elang, disusul suara keresekan, ramai yang menggetarkan bumi semakin mendekat.

"Nah, itu datang!" Setitik Merah bersuara dalam kegelapan.

"Ciok koan im ternyata juga menumpang kapal setan itu seperti ini," ujar Ki Ping yan.

"Kukira kapal ini kemungkinan besar juga pemberian Ciok koan im." Coh Liu hiang utarakan dugaannya.

Tengah mereka bercakap-cakap, agaknya kapal itu sudah mendekat dan akhirnya berhenti suara langkah di atas dek bergerak, Go Kiok kan dan lain agaknya keluar menyambut.

Tahu Ciok koan im sebentar akan naik ke atas kapal ini, Coh Liu hiang bertiga seolah olah dipengaruhi oleh sesuatu kekuatan mistik jantungnya berdetak keras, mulutpun tak berani bicara lagi.

Terdengar suara gadis baju merah itu berkumandang "Tecu Tiangsun Ang, menghadap Hujin."

Dugaan Coh Liu hiang memang tepat gadis itu ternyata adalah murid Ciok koan im, bahwa Ciok koan im mau mengawinkan muridnya kepada Go Kiok kan agaknya Go Kiok kan ini memang mempunyai asal usul yang luar biasa.

Tak lama kemudian langkah kaki beralih memasuki ruangan.

Suara Ang siangkong sekarang yang berkumandang "Wanseng sudah lama kagum dan memuja kewibawaan Hujin tak nyana hari ini dapat bertemu, sungguh…. sungguh menyenangkan." biasanya orang ini fasih berbahasa Han dan omongannya cakap lincah tapi untuk mengucapkan beberapa patah kata ini dia harus tarik nafas beberapa kali demikian pula Bin ciangkun, mulutnya tergagap tak mampu mengeluarkan suara marah.

Kedua orang ini sudah biasa menghadapi berbagai persoalan dan pergaulan luar diantara orang berpangkat tinggi namun berhadapan dengan Ciok kan im masih kelihatan begitu tegang dan gugup, dari sini dapatlah dibayangkan bahwa Ciok koan im memang teramat cantik agung melebihi bidadari sehingga orang tak berani memandangnya secara langsung.

Setelah kata sanjung puji dan basa basi umumnya, maka terdengarlah sebuah suara merdu mengasikkan selicin suara halus berkata pelan-pelan dengan tertawa "Takdir menentukan kalian berdua bakal menjabat kedudukan tinggi kelak masih bisa menanjak lebih tinggi, orang macam apa aku ini, kenapa kalian sungkan, membuat aku rikuh dan tidak tahu dimana harus menempatkan diri."

Suara ini agaknya tepat berada diatas kepala Coh Liu hiang. Terbayang oleh Coh Liu hiang perempuan secantik bidadari misterius laksana iblis jahat, kini sedang duduk di atas kepalanya sungguh betapa perasaan sanubarinya, ingin rasanya segera menerjang naik ke atas ingin dia melihat iblis diantara bidadari, bahwasanya tokoh macam apakah dia punya kekuatan mistik apa pula.
Terdengar Bin ciangkun buka suara "Apakah Hujin ada bawa Ki loh ci sing sekalian?"

Ciok koan im balas bertanya "Apakah Bin ciangkun sudah tahu rahasia dari Ki loh ci sing itu?"

"Be… Belum tahu!"

"Kalau Bin ciangkun tidak tahu rahasianya, permata itu paling-paling sebutir perhiasan mahal, meski aku hadiahkan kepada ciangkun apa pula manfaatnya bagi ciangkun?"

Agaknya Bin ciangkun tercengang melongo.

Lekas Ang sianseng unjuk tawa, selanya "Tapi wanseng beramai sama tahu, bila permata itu jatuh ke tangan raja lalim itu, nilainya tentu jauh berbeda, maka menurut hemat Wanseng Ki loh si cing sekali-sekali jangan sampai terjatuh ke tangan raja lalim."

Ciok koan im tersenyum katanya "Tapi aku sudah berkeputusan untuk bertukar dengan raja lalim itu."

Agaknya Ang siangkong dan Bin-ciangkun sama terkejut, teriaknya "Wah…. sekali kali jangan dilakukan!"

Dengan tertawa Go Kiok kan segera menimbrung "Kalian tak usah kaget, Hujin serahkan Ki loh ci sing kepada raja lalim itu, dengan tujuan tersendiri."

"Ada… tujuan lain apa?" tanya Bin ciangkun penasaran.

"Karena dikolong langit ini, hanya raja lalim itu saja yang tahu akan rahasianya sampai matipun dia tak mau membocorkan rahasia ini, untuk tahu akan rahasianya terpaksa harus tunggu bila raja lalim itu sudah mendapatkan kembali …."

Ang siangkong paham selanya "Sekarang keadaannya sudah kepepet begitu mendapatkan barangnya kembali, tentu dia akan segera melihatnya, tatkala itu kita secara diam-diam menguntit dan mengawasinya, tentu akhirnya dapat pula kita ketahui rahasianya.

"Ang Siangkong memang seorang pintar", puji Go Kiok kan

Bin ciangkun bergelak tertawa, serunya "Di sekeliling raja lalim itu kini sudah tiada jago kosen yang melindunginya, sembarang waktu kita tetap bisa merebut kembali Ki loh ci sing itu…. hahaha! Akal bagus!" sampai di sini tiba-tiba ia merandek sesaat baru melanjutkan "Untung kita belum sampai membunuhnya, kalau tidak bukankah rahasia ini bakal ikut terkubur bersama dia, agaknya rejeki kita masih tetap mujur."

Tiangsun-Ang sebaliknya cekikikan pula, katanya "Kau kira kami betul-betul tidak mampu menggorok lehernya? Kalau Hujin betul-betul ingin mencabut jiwa raja lalim itu, seumpama dia punya sepuluh kepala, sejak lama sudah protol semuanya."

Kata-kata ini membuat Coh Liu hiang bertiga yang berada di dasar perahu sama tertegun, Ang siangkong dan Bin ciangkun agaknya lebih terkejut sampai mulut seperti tersumbat.

Rada lama kemudian baru Ang siangkong bersuara tersendat "Kalau demikian, kenapa Sianseng mengudal yang mengundang para jago-jago pembunuh itu?"

Go Kiok kan menjawab dengan tersenyum "Ku undang jago-jago pembunuh itu hanya untuk menggertak dan membuat raja lalim itu ketakutan, seorang bila merasa jiwanya terancam bahaya, ada kalanya tanpa disadarinya membeberkan rahasia pribadinya yang biasanya tak mungkin diketahui orang lain karena bila rahasia itu ada sangkut pautnya dengan sanak familinya masakah dia mau membawanya ke liang kubur?"

Tiangseng Ang menambahkan "Siapa nyana mulut raja lalim ternyata serapat tutup botol, meski menghadapi mara bahaya segawat dan segenting apapun, tetap dia tak mau memberi tahu rahasia itu kepada siapapun, sampaipun terhadap putri atau orang-orangnya yang terdekat diapun tak mau membocorkan."

Sampai disini tak urung Coh Liu hiang tertawa getir, katanya "Tak heran beberapa kali Kui je ong hidup kembali dari berbagai ancaman mara bahaya orang memang tidak ingin mencabut nyawanya, kita jadi ikut tegang dan bekerja mati-matian, tak kira hanya terjebak dan tertipu mentah-mentah!

Sekonyong-konyong terdengar Ciok koan im tertawa katanya "Bisa bikin Maling romantis yang kenamaan di seluruh jagat tertipu, sungguh bukan pekerjaan gampang" Orangnya berada di atas, tapi suaranya seperti diucapkan di sisi telinga Coh Liu hiang betapa kuat tenaga dalamnya, suaranya bisa dia bulatkan.

Hati Coh Liu hiang kaget, mulutnya malah tertawa ujarnya "Masa hujin tidak pandang cayhe terlalu tinggi, Cayhe sudah biasa tertipu!"

"Kenapa Maling Romantis begini sungkan? Musuh-musuh tangguh yang pernah kuhadapi memang tidak sedikit diantaranya adalah tokoh-tokoh kosen tapi bicara soal kepintaran kecerdikan dan tingkat kepandaian silatnya, sungguh tiada seorangpun yang bisa dibandingkan Maling Romantis."

"Jikalau Cayhe betul-betul begitu hebat seperti apa yang Hujin katakan masakah sekarang bisa terima meringkuk di bawah kaki hujin?"

"Maling kampiun perlu tahu, keadaan seperti dirimu sekarang, malah ada orang yang suka mencoba tapi tak bisa mendapatkannya.

Ki Ping yan menjengek dingin "Iblis perempuan ini hendak memancingmu dengan obrolannya, mungkin dia sudah ketarik kepadamu apakah kami bisa lolos dan hidup, nah tergantung kepada permainan romanmu!"

Sudah tentu kata-katanya ini diucapkan dengan suara lirih yang paling lirih, Coh Liu hiang masih kuatir terdengar oleh Ciok koan im, lekas dia tukas dengan kata-katanya yang keras "Bisa meringkuk di bawah kaki perempuan cantik, meski senang dan memalukan, cuma sayang meski Cayhe ingin berhadapan muka dengan Hujin, kejadian justru berputar-putar, harapan selalu tak tercapai."

Agaknya Ciok koan im menangkap kata-kata orang yang menyindir, diam sesaat lamanya, baru dia bersuara pula "Kau ingin bertemu dengan aku?"

"Harapan tak tercapai nasib selalu mempermainkan orang!"

"Kau tak usah khawatir, pasti aku kan beri kesempatan kepadamu untuk bertemu dengan aku."

"Sekarang?"

"Kenapa kau tak punya kesabaran?"

"Bukan tidak sabar, soalnya Cayhe khawatir jiwaku takkan hidup selama itu."

"Kau akan hidup sampai pada waktunya."

Mendadak Go Kiok kan menimbrung dengan keras "Dia takkan hidup selama itu"

"Siapa bilang?" jengek Ciok koan im dingin.

Go Kiok kan menarik napas panjang, katanya "Masakah Hujin belum pernah dengar, membiarkan bisul menimbulkan penyakit, jikalau….."

Beringas suara Ciok koan im, bentaknya "Memangnya aku perlu kau peringatkan?"
Go Kiok kan tak berani bicara lagi.

Lekas Ang siangkong batuk-batuk kering dua kali, katanya unjuk tawa dibuat-buat "Jikalau tiada kepentingannya, lebih baik memang ketiga orang dilenyapkan saja."

Suara Ciok koan im kembali sabar dan menderu "Seorang ahli gambar bila selesai mengerjakan buah karyanya tanpa ada orang yang menikmatinya, dia akan merasa buah karyanya tak berharga, seolah-olah segala jerih payahnya selama itu sia-sia, benar tidak?"

Sudah tentu Ang siangkong tidak bisa menangkap makna ucapannya, ia diam saja tak berani menjawab.

"Seorang biduan kenamaan yang sedang bernyanyi, bila tiada orang yang mendengarkan kebagusan suaranya, diapun akan merasa tiada artinya bernyanyi, benar tidak?"

Ang siangkong hanya berdehem saja.

"Kita melakukan sesuatu pekerjaan harus seperti ahli gambar atau seorang biduan, perlu dinikmati atau dirasakan oleh orang akan hasil karya kita yang jelas bukan usaha sembarang usaha."

"Benar, kita harus bekerja secara teliti dan menghasilkan buah tangan yang benar-benar dapat dinilai secara umumnya." puji Ang siangkong mengumpak.

"Oleh karena itulah kita perlu pertahankan jiwa mereka, supaya mereka hidup melihat hasil gemilang usaha kita yang luar biasa lukisan antik baru bisa dinilai oleh seorang ahli, lagu bagus juga hanya bisa dinikmati atau dinilai orang semacam Coh Liu hiang si Maling kampiun saja, benar tidak?"

"Benar" sahut Ang siangkong tepuk tangan. "Pendapat Hujin memang hebat siapapun takkan bisa menandingi.

Go Kiok kan menyela pula "Tapi, tapi orang ini….."

"Tak perlu kau banyak bicara." sentak Ciok koan im.
terhadap siapapun tutur katanya lemah lembut dan sungkan cuma terhadap Go Kiok kan sedikitpun ia tidak memberi hati, bersikap kasar dan pemberang ternyata Go Kiok kan mandah dibina dan menurut saja, sambil tunduk ia mengiakan.

"Kalau demikian, tiga orang di bawah itu hendak ku bawa pulang serta, entah bagaimana pendapat kalian?"

"Cayhe sih terserah saja bagaimana keputusan Hujin, sahut Ang siangkong.
"Kalian tak usah khawatir aku pasti mengawasi mereka dengan hati-hati."

***

Setelah menahan sabar dan menekan gejolak hatinya, hampir saja Oh Thi hoa jatuh sakit, entah berapa banyak arak sudah dia habiskan anehnya ternyata semakin minum pikirannya semakin jernih dan sadar.

Hari ini bakal berselang pula, tak henti hentinya Oh Thi hoa berkeluh kesah gumamnya "Coh Liu hiang ulat busuk kenapa kau masih belum pulang memangnya kau kebentur setan.

Diluar tahunya bahwa Coh Liu hiang memang kebentur setan. Sekonyong-konyong kerai tersingkap tahu-tahu Piop kongcu menerjang masuk. Penasaran Oh Thi hoa selama ini memangnya tiada sasaran untuk melampiaskan, segera ia papak kedatangan orang dengan gerungan marah "Kutanya kau, kau ini tahu aturan tidak?

Dengan dingin Pipop kongcu mengawasinya jengeknya "Aturan apa?"

"Kau ini gadis rupawan yang bakal kawin, memangnya tidak tahu sopan santun pergaulan. Mau masuk ke kamar orang kan harus ketuk pintu dan permisi?"

"O, oh.. kiranya kau dulupun pernah belajar membaca buku-buku kuno."

"Pujian belaka." sahut Oh Thi hoa menggendong kedua tangan."

Pipop kongcu menarik muka jengeknya sinis "Cuma kau sudah lupa keadaanmu sekarang."

"Keadaan kenapa?" tanya Oh Thi hoa melotot.

"Sekarang kau adalah tawanan kita, hakekatnya aku tidak perlu sungkan terhadap kau."

Lama-lama Oh Thi hoa melotot mengawasi orang, tiba-tiba ia tertawa lebar, katanya "Laki-laki sejati tak sudi perang tanding dengan kaum hawa, kau sendiri yang mengatakan hal itu, ya anggap habis saja, jikalau orang lain yang bilang, hehe! Akan ku bikin dia merangkak keluar dari sini!" ia jatuhkan badannya ke arah pembaringan, dengan selimut ia tutupi kepalanya, tak perduli pula kehadiran orang.

"Kau hendak pura-pura mampus?" damprat Pipop kongcu naik pitam. "Bangun!"

Oh Thi hoa terbahak-bahak dalam selimut, serunya "Aku ingin tidur ya tidur, mau bangun sesuka hatiku, siapapun jangan urus diriku."

Pipop kongcu membanting kaki maju selangkah dengan keras ia tarik selimut.

Oh Thi hoa berkaok-kaok "Aku bukan ulat busuk lho, jangan kau salah mencari orang."

Merah muka Pipop kongcu, suaranya kedengaran lembek katanya "Permaisuri hendak bertemu dengan kau ayo bangun, lekas ikut aku!"

Oh Thi hoa melengak sigap sekali ia berjingkrak bangun, tanyanya. "Permaisuri memanggil aku? Untuk apa dia ingin bertemu dengan aku?"

"Biasanya dia tidak suka menemui orang, kini beliau hendak menemui kau, tentunya ada urusan penting."

Berputar biji mata Oh Thi hoa, katanya tertawa "Kalau dia ada keperluan dan ingin menemui aku, suruhlah dia kemari, mulut bicara kembali ia menjatuhkan diri ke atas pembaringan.

Pipop kongcu membanting kaki dengan kesal katanya "Kau… kau ini laki-laki malas seperti tak punya tulang?"

Oh Thi hoa angkat kedua kakinya, serunya "Jangan lupa dia yang ada perlu dengan aku suruh dia kemari menemui aku."

Pipop kongcu kertak gigi, mendadak menjengek dingin. "Aku tahu sudah memangnya kau merasa berdosa, tak berani berhadapan dengan beliau?"

Belum habis kata-katanya Oh Thi hoa sudah mencelat bangun, serunya geram "Aku punya dosa apa? Kenapa aku tak berani menemui dia?"

Pipop kongcu menahan geli katanya. "Kalau kau punya keberanian, hayo ikut aku."

Perkemahan tempat tinggal permaisuri Kui je ong sungguh jauh lebih mewah dan megah dari apa yang dibayangkan Oh Thi hoa. Dalam perkemahan tercium bau kayu cendana, bau obat begitu wangi dan harum sampai orang rasanya susah bernapas.
Didalam kelambu yang penuh dihiasi mutiara permaisuri Kui je ong setengah duduk tiduran kelihatannya amat lemah dan sakit-sakitan.

Meski terhalang kain kelambu, tapi kelihatan wajah dan sikap agungnya yang cantik rupawan tak berani orang memandangnya dengan tatapan kejam Oh Thi hoa sendiripun merasa dirinya terlalu kerdil dan serba runyam di hadapan orang.

Permaisuri tersenyum, katanya "Badan yang sakit-sakitan ini, tak bisa turun ke tanah, harap Kongcu tidak berkecil hati!"

Oh Thi hoa membasahi tenggorokan dengan ludahnya, lalu berkata "Tak… tak usah sungkan."

Permaisuri menghela nafas, ujarnya "Peristiwa kemarin malam, sungguh harus disesalkan."

Menyinggung peristiwa itu, seketika Oh Thi hoa naik pitam, jengeknya dingin "Apa permaisuri hendak mengompres keteranganku? Maaf Cayhe tidak sudi didakwa," sembari bicara ia putar badan hendak pergi.

Permaisuri malah tertawa, katanya "Tunggu sebentar, silahkan Kongcu duduk, jangan curiga."

"Bukan aku yang curiga kalianlah yang sembarang menuduh."

"Kami memang salah faham terhadap Kongcu, kesalahan kami memang kami sendiri yang melakukan, harap Kongcu memaafkan."

Oh Thi hoa melengak, tanyanya "Kalian sudah tahu bahwa bukan aku yang melakukan?"

"Pembunuhnya sudah tentu bukan Kongcu, kalau tidak masakah Kongcu masih tinggal di sini? Jikalau Kongcu ingin pergi, siapa yang mampu menahan aku?"

"Disaat hatiku sebal dan penasaran karena fitnah yang semena-mena ini, tiba-tiba aku berhadapan dengan orang yang tahu duduknya persoalan, sungguh membuat hati amat riang dan gembira."

"Apa Kongcu sekarang masih marah?" tanya Permaisuri.

"Seharusnya Cayhe memang harus marah, tapi Permaisuri berkata demikian, aku jadi rikuh!"

"Kongcu kuundang kemari, memang ada persoalan penting yang hendak mohon bantuan."

"Apa yang permaisuri ingin lakukan, bila aku memang mampu ke air atau ke api aku takkan menolak."

"Kongcu berbudi luhur dan berjiwa ksatria sudilah terima hormatku."
Tiba-tiba Oh Thi hoa sadar, dalam perkemahan ini hanya tinggal dirinya dengan Permaisuri saja yang berhadapan, Pipop kongcu dan para dayang entah kapan sudah mengundurkan diri di luar tahunya.

Entah mengapa jantungnya tiba-tiba berdebar seperti dampratan ombak samudra, seolah-olah terasa olehnya, permaisuri didalam kelambu sedang unjuk senyuman genit kepadanya. Seketika dia memaki diri sendiri dalam batin "Kenapa hari ini aku jadi begini hidung belang, orang menghadapiku sebagai kesatria, jangan sembarang ngelamun ke persoalan yang tidak-tidak." segera ia berkata lantang, "Permaisuri tak usah sungkan, ada petunjuk apa silahkan kata kan saja."

"Entah Kongcu masih ingat, besok adalah waktu perjanjian kita dengan mereka, untuk menukar Ki loh ci sing, entah Kongcu Sudi?"

Meski Oh Thi hoa sekuatnya menekan perasaannya, tapi entah mengapa mendadak terbayang olehnya, adegan ranjang pada malam pertama waktu pernikahannya tempo hari. Permaisuri di depan kelambu di depannya ini seakan akan mirip benar dengan …….. Oh Thi hoa tak berani memandang tak berani membayangkan lagi, katanya lantang "Jadi permaisuri ingin supaya aku menukar Ki loh ci sing itu?"

Permaisuri menghela nafas, katanya "Kami sekeluarga terpaksa harus hijrah kemari, menteri memberontak sanak kadang berpisah sungguh terpaksa kami harus bikin kongcu terlibat oleh urusan tetek bengek ini, hatiku sungguh tak bisa tentram."

Berkata Oh Thi hoa dengan gagah "Jikalau Cayhe tak bisa menukar balik Ki loh ci sing itu, dengan senang hati aku suka kerahkan batok kepalaku ini."

"Kongcu begitu luhur dan bajik sungguh aku….aku…. suaranya seperti sesenggukan dan terputus di tenggorokan. Tiba-tiba dari balik kelambu ia ulurkan sebelah tangannya yang halus dan lembut seperti tak bertulang, di bawah penerangan api lilin, tampak jari-jarinya yang runcing halus rada gemetar, tak ubahnya seperti sekuntum kembang yang sedang meronta ditengah hujan badai, jikalau tiada orang yang melindunginya, sebentar lagi pasti tersapu hilang oleh hujan badai.

Seketika Oh Thi hoa rasakan darah mendidih, kepalanya terasa berat dan pandangannya menjadi remang-remang, waktu otaknya kembali menjadi jernih, tiba-tiba terasa entah bagaimana tahu-tahu dirinya sudah memegang kencang jari-jari orang.

Ternyata Permaisuri tidak tarik tangannya tidak menghindar, cuma suaranya gemetar "Keberangkatan Kongcu harus hati-hati, aku percayakan segalanya kepada Kongcu."

Terasa jantungnya hampir melompat keluar dari rongga dadanya, Oh Thi hoa jadi bingung apakah dia harus segera melepaskan pegangan tangannya, mulutnya terkancing tak tahu apa pula yang harus dia katakan.

Terasa jari-jari permaisuri malah menggenggam kencang tangannya, katanya "Kecuali itu aku masih punya urusan pribadi yang ingin ku sampaikan kepada Kongcu."

Oh Thi hoa merasa kepalanya pening tujuh keliling, tanpa pikir ia berkata keras "Cayhe tadi sudah bilang, asal urusan menyangkut kepentingan permaisuri matipun Cayhe pasti akan melaksanakannya."

"Aku hanya memohon bantuan Kongcu untuk mencari tahu rahasia sebenarnya dari Ki loh ci sing itu."

"Beberapa tahun sudah aku sebagai permaisuri Ongya, hubungan kita memang boleh dikata amat intim dan erat lahir batin, tapi hanya persoalan inilah dia tidak mau beritahu kepadaku."

Oh Thi hoa berpikir sebentar, ujarnya "Kalau permaisuri sendiri tidak diberi tahu masakah Ongya sudi memberi tahu rahasia itu kepada Cayhe?"

"Sejak jaman dulu kala, secara tradisi kerajaan Kui je yang terdahulu pasti meninggalkan harta tersembunyi yang tak terhitung nilainya, biasanya tiada orang yang menyentuhnya bila mana kerajaan benar-benar mengalami krisis dan terancam keruntuhan baru harta terpendam itu boleh digunakan untuk membangkitkan kembali kerajaan soal dimana harta itu disembunyikan, kecuali rajanya sendiri yang mewarisi kedudukan tiada orang lain yang tahu."

"Jadi permaisuri berpendapat bahwa rahasia dari Ki loh ci sing ada sangkut pautnya dengan harta terpendam itu?"

"Tentunya begitu!"

"Kalau demikian, mungkin Ongya takkan memberi tahu rahasia itu kepadaku."
"Tapi dengan kekuatan Ongya seorang diri jelas takkan mungkin dapat mengeduk harta terpendam yang berjumlah besar itu benar tidak?"
"Ya, memang begitu!"
"Bukan saja memerlukan tenaga manusia untuk mengeluarkan, perlu tenaga orang pula untuk melindunginya, ya tidak?"

Kembali Oh Thi hoa mengiakan.

"Tadi sudah kukatakan!" ujar permaisuri lebih lanjut, Sekarang Ongya tidak punya seorangpun pembantu yang boleh diandalkan, terutama tiada orang yang benar-benar mampu bantu dia untuk melindungi harta terpendam itu!
"Permaisuri beranggapan, bahwa Ongya mungkin bisa minta tolong kepadaku untuk melindungi harta itu?"
"Kukira demikian!"

Oh Thi hoa tertawa getir, katanya "Kalau Ongya benar-benar percaya kepadaku, dia tidak akan memfitnah aku sebagai pembunuh putrinya."

"Memang Ongya sedikit salah faham terhadap kongcu, tapi bila Kongcu berhasil membawa pulang Ki loh ci sing, pandangannya terhadapmu tentu berubah, apalagi kecuali Kongcu seorang, tiada orang yang boleh dipercaya."

"Adakah permaisuri tahu, bahwa Ongya jauh lebih percaya terhadap temanku itu daripada kepadaku."
"Bukankah sejak tadi Cayhe sudah berjanji?"
"Jikalau Ongya minta atau suruh Kongcu bersumpah merahasiakan hal itu?"

Berpikir sebentar Oh Thi hoa tertawa katanya "Tapi Cayhe sudah berjanji lebih dulu kepada permaisuri ya tidak?"

Sudah tentu hal ini tiada melanggar aturan dan menyeleweng dari kebiasaan jikalau orang lain, tentu tidak akan mau terima, tapi Oh Thi hoa selamanya memang tidak pernah memikirkan aturan atau kebiasaan segala persetan bahwa tindakannya itu menyeleweng? Asal dia berpendapat apa yang dia lakukan benar dan pantas dia selesaikan, maka harus dia laksanakan, demikian sekarang ini, dia berpendapat bahwa permaisuri dari negeri Kui je ini adalah perempuan tercantik yang paling baik hati di seluruh jagat ini, sebaliknya Ongya adalah keparat dan manusia dogol, jikalau demi seorang baik untuk menipu seorang dogol, bukankah hal ini patut dibanggakan dan sudah jamak, cukup masuk akal dan tidak melanggar aturan?

Soal untuk apa permaisuri Kui je ini begitu besar hasratnya ingin mengetahui rahasia itu? Hakikatnya tidak pernah terpikir dalam benak Oh Thi hoa sudah tentu diapun segan mengajukan pertanyaan.

Tepat tengah hari, terik matahari seperti bara api yang memanggang kulit. Tepat tengah hari, terik matahari seperti bara api yang memanggang kulit. Oh Thi hoa membawa tiga ekor unta, langsung dibedal ke arah barat.

Kepalanya memang dibungkus udeng-udeng kain putih yang tebal dan tinggi, namun rasa kepalanya masih puyeng dan kering oleh terik matahari, tiga orang Busu negeri Kui je yang mengiringi perjalanannya, meski ilmu silatnya bukan tandingannya tapi mereka sudah kulino menjadi kafilah di padang pasir bukan mereka sudah tergembleng dan ditempa sekeras besi baja, sekilas pandang keadaan mereka malah jauh lebih segar dan adem-ayem.

Oh Thi hoa menghela nafas, mulutnya menggumam "Agaknya aku terlalu banyak tenggak air kira-kira, kalau tidak kenapa begitu kena terik matahari kepala lantas pening seperti gadis pingitan yang tak pernah dihembuskan angin kalau keadaan seperti ini, dilanjutkan apakah akan tahan?"

Sebetulnya lantaran semalam dia memandang terlalu letih dan banyak mengurus tenaga, bukan saja kebanyakan minum arak, malah semalam suntuk boleh dikata dia tak pernah istirahat terlalu banyak main ranjang maka seluruh kekuatan dan energi badannya terbuang sehingga kondisi badannya sekarang terlalu lemah.
Sebetulnya semalam pagi-pagi benar dia sudah mapan tidur tapi bila teringat olehnya malam pertama dalam hari pengantinnya itu, terbayang sepasang tangan dan badan yang halus merah laksana bidadari itu dia jadi gundah bolak-balik tak bisa pulas, semakin dipikir-pikirkannya semakin melayang dan memikirkan yang muluk-muluk, perempuan secantik dan begitu rupawan namun dia masih bisa pula mengeritik pribadinya sendiri sebagai hidung belang yang kemaruk paras cantik. Tapi entah mengapa permaisuri raja yang cantik itu seolah-olah adalah kekasih mainnya diatas ranjang yang selalu dia rindukan dan impi-impikan, tidak mungkin otaknya tidak membayangkan bentuk badan yang menggiurkan dan genit serta mempesonakan itu.

Biasanya watak Oh Thi hoa tidak seiseng ini belakangan malah dia menghibur hari sendirian "Kemungkinan aku sudah mulai ketularan Ulat busuk yang serba romantis itu!"

Tapi serta teringat kepada Coh Liu hiang si Maling Romantis, seakan tidak bisa tidur Coh Liu hiang sudah pergi dua hari, bukan saja tidak pulang, malah sedikit khabarnya pun tiada, apakah dia sudah dicelakai oleh pembunuh misterius bersama Ki Ping yan? Selayang pandang gurun pasir nan luas tak berpangkal ujung, tidak kelihatan ada kehidupan di sini, tiada manusia, binatang, burung ataupun mega dan anginpun seolah sudah tak ada di sini.

Ada kalanya paling muncul satu dua ekor kadal padang pasir yang berukuran lebih besar tapi bentuk dan coraknya begitu memualkan, merambat dicelah-celah batu, merambat ke dekat kaki unta, tapi kehadirannya malah menambah suasananya seram dan bawa kematian.

Kepalan kanan Oh Thi hoa menghantam telapak tangan kiri, gumamnya "Seumpama Ulat busuk dan Jago Mampus, mereka takkan ngelayap dan tamasya di tengah gurun pasir yang begini terik ini, mereka sama-sama tidak pulang. Jikalau mereka tidak pulang tentu mengalami sesuatu yang membahayakan.

Tiba-tiba seekor unta dikeprak maju menyusul dirinya, Busu di atas onta berseru "Di depan ada tempat teduh, apa perlu kita mampir kesana istirahat?"

"Berapa jauh kita sudah tempuh perjalanan ini?" tanya Oh Thi hoa setelah menepekur sebentar.

"Kira-kira sepuluh li" sahut busu itu.

"Baru sepuluh li lantas mau istirahat," ujar Oh Thi hoa mengerut kening "jarak lima puluh li bukankah harus kita tempuh sampai besok pagi?"

Busu itu unjuk tawa, ujarnya "Lima puluh li dalam perjalanan di gurun pasir, seumpama lima ratus li berjalan di tanah pegunungan, Apalagi unta-unta ini dibebani muatan emas yang berharga laksaan tail."

Oh Thi hoa tertawa. "Apapun yang terjadi sekarang masih terlalu pagi untuk istirahat kita harus tempuh lima puluh li ini sebelum hari menjadi petang angin aku melihat jelas orang yang ingin menukar barang dengan kita itu manusia macam apa tampangnya?" mulai bicara segera ia keprak untanya supaya berjalan lebih cepat.

Busu itu menghela napas, katanya seorang diri "Menempuh perjalanan jauh seperti caramu ini, setiba ditujuan, mungkin jiwamu dan jiwa unta itu bakal terjemur kering oleh teriknya matahari, jikalau orang tiba-tiba ingkar janji, coba bagaimana kau hendak menghadapinya?"

Seorang Busu yang lainnya segera menyusul datang, selanya "Bahwasanya tanggung jawab persoalan ini dia sendiri yang memikulnya, dia ingin gagah-gagahan unjuk kekuatan, biarkan saja, tiba pada waktunya bila pihak mereka turun tangan kita boleh menyingkir ke tempat yang jauh."

Busu ketiga berludah dulu baru mencemooh "Orang liar dari selatan ini mengentutpun tidak bisa, berani dia malang melintang ditengah gurun pasir memangnya dia sendiri yang minta digebuk.

Para Busu ini berulang kali kena dipermainkan dan mendapat rugi oleh godaan Coh Liu hiang dan Oh Thi hoa, kini secara diam-diam mereka mengumpat caci dan mengolok-olok cuma bahasa yang mereka gunakan sudah tentu bahasa daerah mereka sendiri, seumpama Oh Thi hoa mendengar percakapan mereka sedikitpun dia tidak tahu arti dari percakapan mereka.

Tapi apa yang mereka perbincangkan memang tidak salah perjalanan lima puluh li di padang pasir di bawah teriknya matahari memang cukup melelahkan dan menyiksa mereka untunglah setelah lohor, sinar matahari sudah mulai tidak seterik sebelumnya. Waktu matahari terbenam Oh Thi hoa memang hampir saja tak tahu lagi, meskipun dia sudah tenggak beberapa air segar tapi bibir dan mulutnya masih terasa kering dan merekah.

Tak lama kemudian tampak di depan batu-batu runcing laksana hutan mencuat tinggi ke tengah angkasa, didalam keremangan malam yang mendatang, kelihatannya laksana seekor binatang buas yang menyeramkan sedang menyeringai liar, di sana sedang mendekam menunggu mangsanya.

Hati Oh Thi hoa rada dingin, katanya berpaling ke belakang "Sekarang kita sudah menempuh berapa jauh?"

Salah seorang Busu menengadah melihat cuaca sahutnya "mungkin sudah lebih lima puluh li."

"Dalam surat itu sudah dijelaskan ke arah barat lima puluh li, tentu ada orang akan menyambut kalian untuk barter dengan barang-barang yang cocok dengan permintaan, kalau begitu biar kita tunggu saja di sini! Kita tunggu mereka datang, sekaligus untuk istirahat memupuk tenaga, boleh kalian lihat, nanti akan kuberi mereka hajaran setimpal"

Busu itu berkata kalem "Jikalau sebaliknya mereka yang sudah menunggu di sini berbalik kita yang akan digasak dan dihajar habis-habisan oleh mereka."

Oh Thi hoa melengak, katanya tertawa "Ucapanmu memang masuk akal, ya kita harus hati-hati.

"Busu itu semakin takabur katanya dingin "Tadi sianjin bilang ingin beristirahat sebentar ditengah jalan, maksudku untuk berjaga-jaga dari segala kemungkinan itu."

OH Thi hoa menggosok-gosok hidung, katanya "Watakku memang gugup, jangan kau salahkan aku!" memang dia seorang polos dan jujur jikalau tahu dirinya bersalah secara langsung dia suka mengakui kesalahannya betul ya betul, kalau salah harus mengaku salah, perbedaan antara baik dan buruk ini masih bisa membedakan dengan tegas.

Busu itu malah menjadi rikuh, katanya tertawa "Untung kami ada membawa sedikit arak, sedikit banyak bisa membangkitkan semangat dan menggairahkan tenaga!"

"Dimana? seru Oh Thi hoa kegirangan.

Si Busu segera angsurkan sebuah kantong kambing, katanya "Inilah arak anggur buat Toa hoan minum sampai mabukpun tidak akan mengganggu kesehatan."

"Aku tahu, sahabatku si Ular busuk itu, justru paling menyukai arak seperti ini" segera ia buka sumbatnya terus menuangkan ke mulut dua teguk, katanya setelah menarik napas panjang "Waktu mau berangkat, aku sudah berjanji takkan minum lagi, tapi toh sudah kau bawa arak sebagus ini, hahaha….." kembali ia tuang arak anggur itu ke dalam mulut.

Ketiga Busu itu berdiri diam disamping sambil mengawasi tingkah lakunya, begitu pesona dan takjub mereka mengawasi seolah-olah selama hidup mereka belum pernah melihat cara orang minum arak seperti itu.

Sekaligus Oh Thi hoa pindah setengah kantong arak anggur itu ke dalam mulutnya baru dia merasa segar kembali dan puas, dengan lengan bajunya dia seka mulutnya katanya dengan tertawa meringis "Coba lihat arak ini hampir ku tenggak habis, silahkan kalianpun minum dua teguk."

Ketiga Busu negeri Kui je berbareng tertawa menyeringai, bukan saja mimik tawa mereka mirip satu sama lain, waktu buka mulut dan tutup mulutpun bersamaan tiada berdaya, seolah-olah mereka sedang berperan dalam lakon sandiwara di atas panggung.

Salah seorang yang berdiri ditengah berpaling ke kanan kiri kepada temannya lalu berkata dengan tertawa "Arak sebanyak itu tidak cukup dibagi tiga, lebih baik silahkan Ongya habiskan sekalian!"

"Ah, mana boleh jadi, aku rikuh sendiri" seru Oh Thi hoa lantang, Mulutnya berkata demikian, tapi kantong arak itu masih dipegangnya kencang-kencang, bukan saja tidak dia angsurkan, malah kelihatannya dia khawatir orang lain merebutnya.

Ketiga Busu saling pandang pula, kali ini mereka tertawa lebih lebar, tawa riang, Busu pertama tadi berkata pula "Kenapa Ongya sungkan-sungkan terhadap kami orang rendahan?"

"Kalau demikian, baiklah aku menuruti keinginan kalian saja." seru Oh Thi hoa tertawa lebar. Sebetulnya dia tidak ingin minum arak Khawatir begitu terlalu banyak minum bisa bikin kapiran urusan, tapi setelah setengah kantong arak anggur masuk ke dalam perutnya cacing dalam perutnya segera bergolak dan ketagihan malah.

Orang yang suka minum arak kebanyakan memang punya penyakit seperti ini, kalau jumlah arak banyak, sedapat mungkin dia menunjuk orang lain untuk ikut minum sepuasnya ingin mencekok orang supaya mabuk. Sebaliknya kalau araknya cuma sedikit, khawatir orang lain minta bagian.

Ketiga Busu negeri Kui-je dengan berseri tawa mengawasinya menghabiskan sekantong penuh arak anggur itu, belakangan mereka malah berontak gembira, seolah-olah lebih menyenangkan daripada mereka sendiri yang minum.

Kata Oh Thi hoa tertawa sambil menyeka mulut "Arak bagus, arak bagus, cuma sayang bukan saja terlalu sedikit, arak inipun rada tawar."

Ketiga Busu itu cekikikan, sahutnya "Apa Oh ya merasa arak ini rada tawar?"

"Ya, menurut perasaanku minum biar akan lebih segar dan nikmat dari arak ini."

"Tapi biar tidak akan bisa bikin orang mabuk atau mampus."

Oh Thi hoa tertawa lebar "Memangnya rak setawar ini bisa bikin orang mabuk sampai mampus?"

"Tidak bisa mabuk sampai mampus, tapi kira-kira hampir sama."

"Tapi sekantong penuh sudah kuhabiskan, kenapa sedikitpun aku tidak merasakan pening memangnya takaran minumku tambah berlipat ganda?"

Busu itu mendadak tidak tertawa, matanya melotot, katanya "Apa benar sedikitpun Oh ya tidak merasa pening atau mabuk?"

Oh Thi hoa mengerling mata, katanya tertawa "Arak sebanyak ini masa bikin aku mabuk hehe! Tujuh delapan kantong lagi juga tidak menjadi soal bagiku."

Melotot ketiga biji mata Busu itu, mulut mereka terkancing kencang.
"Kalau kalian tidak percaya, biar kalian lihat dan buktikan apa benar aku ini sudah mabuk." Bahwasanya dia bisa berkata demikian itu berarti dia sudah mabuk, seorang yang tetap segar bugar dan tidak mabuk selamanya takkan pernah berpikir dalam benaknya untuk membuktikan di hadapan orang lain bahwa dirinya tidak mabuk.

Tapi ketiga Busu itu teramat kejut sampai mulutnya terbuka melompong, matapun terbelalak.

Tampak dengan berdiri limbung pelan-pelan Oh Thi hoa membuat satu garis di tanah berpasir lalu sebuah dengkul ditekuk, dengan sebelah kaki yang lain ia melompat dari sebelah sini ke sebelah sana melewati garis melintang itu.
Dua kali beruntun dia lakukan pulang pergi, lalu katanya tertawa lebar "Kalian sudah jelas, orang yang sudah mabuk masakah mampu bermain lompatan seperti ini?"

Berputar biji mata seorang Busu, katanya tertawa, "Seorang yang benar-benar tidak mabuk setelah minum arak dia masih mampu bersalto."

"Bersalto? Oh Thi hoa bergelak tawa, "Apa sih sukarnya?" mulut bicara badannya tahu-tahu sudah melambung ke tengah udara dan bersalto dua kali, dengan bekal kepandaiannya yang tinggi, jangan kata cuma bersalto satu dua kali, seumpama tujuh delapan puluh kali, dianggapnya seperti dia makan kacang saja, bisa dan gampang dilakukan.

Siapa tahu baru saja badannya setengah berputar, tiba-tiba melorot turun dan meluncur jatuh "bluk" terbanting keras di tanah berpasir sampai melegak-legok ke dalam.

Oh Thi hoa geleng-geleng kepala, kucek-kucek mata, ketika menyeringai "Kali ini urat pinggangku nyasar, tidak masuk hitungan."

"Ya, benar, boleh diulang sekali lagi." si Busu menganjurkan dengan senang.

Oh Thi hoa meronta bangun tertatih-tatih, kembali ia enjot badan dan berusaha bersalto lagi, terdengar "Blak" kali ini lebih keras, seolah-olah dari tengah-tengah angkasa tahu-tahu sebuah batu besar melayang jatuh. Kali ini dia tidak mampu bergerak dan merangkak bangun lagi, katanya meringis "Aneh, kenapa hari ini badanku menunjukkan gejala yang tidak normal?"

Bersinar biji mata Busu itu, tanyanya "Apa Oh ya tahu apa sebabnya?"

"Mungkin terjemur sinar matahari yang amat terik tadi."

"Tidak, bukan!"

Oh Thi hoa miringkan kepala berpikir sebentar, katanya "Mungkin dalam dua hari belakangan aku terlalu penat,"

"Juga tidak benar."

Kau hanya tahu tidak benar, mata Oh Thi hoa melotot. Kau hanya tahu kentut!
Busu itu tertawa besar, ujarnya "Sudah tentu aku tahu, karena aku sendirilah yang turun tangan memasukkan obat ke dalam arak itu."

"Menaruh obat?" Oh Thi hoa melongo "Kau taruh obat apa?"

Busu itu berseri tawa ujarnya "Negeri Kui je kita memang negara kecil tapi yang menjadi raja seperti juga kalian, tidak mungkin tidak suka main perempuan benar tidak?"

"Kalau benar kenapa?"

"Oleh karena itu didalam istana kami, juga ada menyediakan semacam obat khusus diperuntukkan menghadapi perempuan-perempuan yang anggap dirinya suci dan gagah perwira, Arak macam itu manis, wangi tapi tawar, tak ubahnya seperti air manis tapi siapapun yang meminumnya, seluruh badan seketika bakal lemas tak punya sedikit tenagapun."

"Jadi, kau…. arak yang kau berikan kepadaku tadi…. itu?"

"Benar, arak yang kuberikan kepada Oh ya tadi adalah arak berobat seperti yang saya katakan tadi, dengan susah payah aku berhasil mencuri sekantong dari dalam. Oh ya malah merasa kurang banyak, kalau minta tambah lagi akupun tak bisa memberi lagi!"

Sekian lama Oh Thi hoa melongo, mendadak ia tertawa lebar, katanya "Aku inikan bukan perempuan suci yang galak mempertahankan kebersihan badannya, bapak kalianpun takkan sudi melihat tampangku ini, kenapa kalian gunakan arak macam ini untuk mencekoki aku, bukankah aku ini celaka dua belas?"

"Konyol, konyol! Ucapanmu itu lucu dan menyenangkan, seseorang yang sudah dekat ajalnya ternyata masih bisa bicara membanyol seperti kau ini, sukar dicari keduanya."

Oh Thi hoa semakin lebar tawanya ujarnya "Aku sih belajar kepada si Ulat busuk itu, seseorang baru saja jebrol dilahirkan lantas menangis dikala hidup kesempatan untuk ketawa pun belum tentu banyak, maka dikala menjelang ajal bila tidak bergelak tawa sepuasnya tidak sia-sia kau hidup selama ini?"

"Aha, Oh ya sudah tahu bahwa jiwamu sudah menjelang ajal?"

"Aku malah tahu bahwa kalian berbuat demikian lantaran mengincar harta di atas onta-onta itu bukan?"

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar