-------------------------------
----------------------------
Bab 11: Pengejaran
Tampak mayat perempuan ini
dibagian mukanya sudah melembung besar, dapatlah dibayangkan diwaktu masih
hidup raut mukanya tentu teramat jelek, kini di dadanya yang telanjang itu
ternyata telah berlubang oleh jari-jari yang kuat, sungguh bukan buatan ngeri
dan seram keadaannya.
Sebetulnya apakah yang telah
terjadi? gerutu Oh Thi-hoa membanting kaki. Perempuan ini kenapa bisa rebah
telanjang bulat di atas ranjangku? Kapan dia masuk kemari? Masakah istriku itu
tidak mengetahuinya?
"Yang terang perempuan
ini tentu bukan masuk kemari sendiri," kata Coh Liu-hiang dengan suara
berat.
"Dari mana kau bisa
tahu?"
Walau darah berlepotan di atas
kemul, sedikitpun kasur dan seprai tidak kotor, dari sini dapat kita simpulkan
bahwa perempuan ini dibunuh lebih dulu, baru dipindahkan ke atas ranjang.
"Kalau begitu lebih aneh
lagi, setelah orang itu membunuhnya, kenapa harus dipindahkan lagi ke atas
ranjang?"
"Waktu kau keluar tadi
apakah benar istrimu masih rebah di atas ranjang?"
"Tidak salah, jelas
sekali dia mendengkur nyenyak, kini kenapa menghilang?"
Coh Liu-hiang mengerut kening,
sungguh diapun bingung dan belum bisa mengambil gambaran dari kejadian
misterius ini, apa pula latar belakang didalam kejadian serba aneh dan rahasia
ini.
Oh Thi-hoa berlari dan
berkaok-kaok : "Tolong! Tolong! Ada orang mati didalam kamarku, lekas
kalian kemari, periksalah siapa dia?"
Orang yang memburu datang
pertama kali adalah Pipop-kongcu, disusul Kui-je-ong yang kelihatan masih
ngantuk, dengan mata sepat berlari terhuyung-huyung. Begitu mereka melihat
mayat di atas ranjang, seketika berdiri menjublek berubah hebat air mukanya.
Seru Oh Thi-hoa : "Siapa
perempuan ini?, kalian…"
Belum habis kata-katanya
Kui-je-ong tahu-tahu merenggut bajunya, serunya menggembor : "Kenapa kau
membunuhnya?"
"Aku membunuhnya?"
seru Oh Thi-hoa naik pitam, "Apa kau melihat setan? Selamanya aku tak
kenal dia, kenapa harus membunuhnya?"
"Meskipun tampangnya rada
jelek, jelek-jelek dia sudah menjadi istrimu, kenapa kau turun tangan begitu
keji? kau, kau bukan manusia, kau binatang!"
Oh Thi-hoa berjingkrak kaget,
serunya: "Apa katamu? Perempuan ini……adalah………adalah istriku?"
Merah padam biji mata
Kui-je-ong, serasa hampir gila, dia mendamprat: "Seandainya dia bermuka
rada jelek, betapapun dia putri raja yang masih suci bersih, memangnya dia
tidak setimpal menjadi istri bajingan seperti tampangmu? Kau……umpama kau tidak
sudi mengawini, tidak seharusnya……."
Sekali ayun tangannya Oh
Thi-hoa dorong orang jatuh duduk di atas tanah, serunya terbelalak kaget:
"Orang ini gila, orang ini sudah gila!"
"Kaulah yang gila!"
damprat Kui-je-ong.
Heran, bingung dan curiga
menyelimuti sanubari Coh Liu-hiang, lekas ia bantu memayang Kui-je-ong berdiri,
katanya berat : "Siapa sebenarnya perempuan diatas ranjang ini? Apa Ongya
mengenalnya?"
"Putriku sendiri, kenapa
aku tidak mengenalnya?"
"Jadi yang kawin dengan
Oh Thi-hoa semalam adalah nona ini?"
"Sudah tentu putriku
ini."
Oh Thi-hoa menyelutuk hampir
berteriak: "Bukan dia, pasti bukan dia, aku melihat jelas sekali dengan
mata kepalaku sendiri, calon istriku itu adalah gadis rupawan yang cantik
jelita, terang bukan si buruk rupa ini!"
"Aku sendiri yang
kawinkan putriku kepadamu, memangnya aku tidak tahu!"
Mempelai laki-laki bilang si
korban pasti bukan istrinya, sebaliknya sang mertua secara kukuh mengakui si
korban sebagai putrinya. Kejadian seaneh ini sungguh jarang terjadi di dunia
ini, Coh Liu-hiang seperti tergencet ditengah-tengah, ia jadi sukar
berketetapan pihak mana yang harus ia percayai omongannya?
Oh Thi-hoa membanting kaki,
serunya : "Kalau perempuan jelek ini adalah mempelai perempuan, lalu siapa
perempuan cantik yang bergaul sama aku semalam? Memangnya ada orang lain yang
memalsu calon istriku ini?"
"Kau sudah membunuhnya,
kini kau mengarang cerita bohong untuk mendustai orang lain?"
"Kenapa aku harus menipu
kau? Memangnya semalam aku bertemu dengan setan?"
"Coba kutanya,"
tiba-tiba Pipop-kongcu menyela bicara, "Kalau kau katakan dia bukan
istrimu, memangnya kemana perempuan yang semalam bergaul dengan kau? Asal kau
bisa menyeretnya keluar, kita akan percaya padamu."
"Aku………aku………."
bahwasanya dia memang tidak tahu kemana perempuan cantik yang dia anggap
sebagai istrinya dan gaul sama dirinya semalam, dia hanya keluar sebentar, kenyataan
istri cantik bak bidadari itu tahu-tahu hilang tak karuan rimbanya.
Pipop-kongcu tertawa dingin,
katanya : "Seumpama semalam perempuan yang kau hadapi bukan kakakku,
kenapa kakakku tahu-tahu sudah ajal di atas ranjangmu? Kalau bukan kau yang
membunuhnya, siapa pembunuhnya?"
Tentu kalian sengaja mengganti
yang tulen dengan yang palsu, tapi akulah yang menjadi korban dan difitnah
semena-mena.
"Kentut!" maki
Kui-je-ong, masakah aku tega membunuh putri kandungku sendiri?"
Bukti dan kenyataan, Oh Thi-hoa
sendiri menyadari apa yang dia katakan bahwasannya sukar bisa membuat orang
lain percaya, terpaksa dia memburu kedepan Coh Liu-hiang, serunya gugup :
"Kau,…………kenapa kau tidak bantu aku bicara? Memangnya kaupun tidak percaya
padaku?"
Coh Liu-hiang menghela napas,
ujarnya : "Apa yang harus kukatakan?"
"Baik! Kalian sama tak
percaya kepadaku, sampai kaupun bantu orang lain memfitnah aku, sungguh
penasaran! Seumpama memang aku yang membunuhnya, mau apa? Siapa suruh kalian
menipuku untuk mempersunting perempuan jelek ini?"
"Kau sudah membunuh jiwa
orang, harus menebus dengan jiwamu pula." Damprat Pipop-kongcu. ditengah
gerungannya, kesepuluh kuku jarinya tahu-tahu mencengkeram ke leher Oh Thi-hoa.
Gerak serangannya ini sungguh
cepat dan gesit. Tapi orang macam apa Oh Thi-hoa, masakan gampang kecundang?
Sudah tentu ia tidak pandang sebelah mata ilmu silat lawan. Bentaknya gusar:
"Minggir! Aku belum ingin melukai kau, tapi jangan kau ganggu dan
membuatku gusar!" cukup ia gerakkan sebelah tangan tahu-tahu badan
Pipop-kongcu tertolak mundur seperti diterjang angin badai.
"Kau………kau hendak
lari?" Seru Kui-je-ong.
Oh Thi-hoa tertawa
terloroh-loroh, "Mau pergi kenapa? Siapa yang mampu merintangi aku?"
"Kau takkan lolos!"
teriak Kui-je-ong. Ditengah gerungan kemurkaannya, tujuh delapan tombak
gantolan tahu-tahu menusuk kedalam dari luar kemah.
Melirikpun tidak, tahu-tahu
sebelah tangan Oh Thi-hoa menyambar dua ujung tombak gantolan diantaranya,
tahu-tahu sudah terenggut olehnya, sedikit sendal dan tarik kedepan, dua orang
tahu-tahu terseret maju tersungkur ke dalam kemah. Serempak beberapa busu yang
lain menghardik murka, delapan tombak terbagi ke berbagai sasaran kembali
menusuk datang lagi.
Gerakan Oh Thi-hoa laksana
angin puyuh, maka terdengar jeritan kesakitan saling susul, delapan busu sama
terjungkal roboh diiringi senjata masing-masing yang jatuh kerontangan tiada
satupun yang utuh.
Kui-je-ong belum pernah
saksikan kegagahan yang luar biasa seperti ini, seketika ia terkesima mematung
di tempatnya.
Tampak dengan langkah lebar Oh
Thi-hoa beranjak keluar sambil angkat dada, serunya bengis: "Siapa pula
yang berani maju, biar kugencet batok kepalanya sampai hancur luluh."
Serombongan busu yang
bersenjata lengkap di luar sana sama berdiri melongo, tiada seorangpun yang
berani maju. Sekonyong-konyong sesosok bayangan orang berkelebat, tahu-tahu
seseorang menghadang di depan Oh Thi-hoa.
Berubah muka Oh Thi-hoa,
tiba-tiba ia terkial-kial: "Bagus! Kaupun turut mencegatku! Biarlah hari
ini kita menentukan siapa yang lebih unggul di sini."
Coh Liu-hiang menarik napas
dengan geleng kepala, ujarnya : "Masakah aku mau bergebrak dengan
kau?"
"Kalau demikian, marilah
kita pergi bersama."
"Kau tidak boleh
pergi."
"Kenapa?"
"Kalau kau tinggal pergi
begitu saja, penasaranmu takkan tercuci bersih."
"Memangnya kenapa kalau
tidak bisa mencuci penasaranku? Yang terang dalam hatiku, aku tak pernah
berbuat kejahatan seperti ini, persetan apa yang dikatakan orang lain, biar ku
anggap kentut melulu."
"Persoalan lain tak menjadi
soal, tapi peristiwa ini harus dibikin jelas!"
"Aku sudah tahu kau
memang berat untuk meninggalkan tempat ini, baiklah! kau tidak mau, biar aku
pergi sendiri, "belum habis kata-katanya kembali Coh Liu-hiang merintangi,
"Kau berhak menghalangiku?"
"Kemana kau hendak
pergi?"
"Ke tempat mana aku bisa
pergi?"
"Gurun pasir jangan kau
anggap Tionggoan, seorang diri kemanapun kau tidak bisa pergi."
"Kalau kau tidak mau
ikut, walau aku mampus tak perlu kau kuatirkan diriku."
"Tahukah kau, si pembunuh
memang sengaja menyudutkan kau sehingga kau pergi demikian saja, kalau kau
pergi berarti terlaksana keinginan dan maksud-maksud jahat selanjutnya."
"Memangnya apa
kehendakmu?"
"Kau harus tetap di sini,
dalam tiga hari pasti aku bantu kau menemukan si pembunuh, jikalau sekarang kau
berkeras mau tinggal pergi, meski harus adu jiwa aku akan berusaha
merintangimu."
"Jikalau orang lain
bicara begini rupa terhadapku, jangan heran kalau aku melabrakmu, tapi kau
..kau ulat busuk ini, menghadapimu sungguh aku kehilangan akal." Mendadak
Oh Thi-hoa membanting kaki, serunya.
" Baik! Kuterima usulmu, tinggal di sini, kalau toh kau ingin batok
kepalaku, terpaksa secara sukarela biar kugorok dan persembahkan kepadamu
dengan kedua tanganku."
Dari kejauhan Kui-je-ong
mendengar percakapan mereka, timbul pula nyalinya, bentaknya: "Mana
orangku! Lekas ringkus dia!"
Para busu bertombak itu
bangkit pula keberaniannya, beramai-ramai mereka menerjang maju pula.
Maka terdengarlah suara
jeritan gemerantang dan gedebukan, puluhan batang tombak entah bagaimana,
tahu-tahu sudah berada ditangan Coh Liu-hiang, enteng sekali kedua tangannya
bekerja sekaligus terdengar pula suara peletak-peletok batang-batang pedang itu
sama-sama kutung dan tercecer di tanah.
Berubah roman muka Kui-je-ong,
serunya: "Kau……..kenapa kau?"
Kata Coh Liu-hiang :
"Kalau dia bilang mau tinggal di sini, pasti takkan pergi, dalam tiga hari
lagi aku pasti dapat meringkus pembunuhnya, tapi jangan sekali kali diantara
kalian ada yang berani mengganggu seujung rambutnya."
"Dia….jikalau dia
lari?"
"Kalau dia pergi, aku
yang menebus jiwa putrimu."
"Kalau kau tidak berhasil
membekuk si pembunuh dalam tiga hari?"
"Dalam tiga hari kalau
dia tak berhasil meringkus pembunuhnya, biar akupun menebus jiwa putrimu,"
sela Oh Thi-hoa aseran.
Kedua orang ini sama
menyerahkan jiwa sendiri sebagai pertanggungan kepada orang lain, sahabat macam
ini memang jarang diketemukan dalam dunia ini.
Lama Kui-je-ong melongo,
katanya kemudian : "Baik, aku percaya padamu."
Coh Liu-hiang tarik Oh Thi-hoa
masuk ke dalam kemahnya sendiri.
Pipop-kongcu menghirup hawa,
katanya menggumam : "Kedua orang ini jelas bisa tinggal pergi dengan
mudah, namun mereka justru tak mau pergi, malah bersumpah segala, untuk apakah
mereka sebenarnya? Apakah benar kakakku bukan mereka yang membunuhnya?"
Kui-je-ong berkata :
"Bukan dia, siapa yang membunuh? Masakah benar-benar terjadi dalam dunia
ini ada perempuan yang memalsu istri orang lain?
Oh Thi-hoa sedang menggumam :
"Bicara terus terang aku sendiripun tidak berkukuh hendak pergi, sebelum
peristiwa ini dibikin terang sungguh penasaran benar hatiku. Kalau yang mati
itu benar putri Kui-je-ong, lalu siapakah perempuan yang kuhadapi semalam?
Kenapa dia memalsu mempelai perempuan? Adakah manfaatnya bagi dia?"
"Masakah kau tidak
mengerti?"
"Memang aku tak habis
mengerti."
"Pertama kau harus
percaya, nona yang mati itu memang putri Kui-je-ong, atau istrimu!"
"Kenapa aku harus
percaya?" sentak Oh Thi-hoa.
Coh Liu-hiang tertawa getir,
ujarnya : "Lantaran putrinya yang satu ini buruk rupa, maka Kui-je-ong
selalu kelabui kau, kalau tidak mana Pipop-kongcu berani main trobosan kian
kemari, kenapa dia selalu menyembunyikan diri?"
Oh Thi-hoa menarik napas,
mulutnya terkancing.
"Kau harus tahu pula,
bukan pagi hari ini dia dibunuh, barusan kuperiksa sedikitnya dia sudah mati
empat lima jam sebelumnya."
"Empat lima jam? Jadi
sebelum aku masuk ke kamar pengantin, dia sudah dibunuh?"
"Ya, begitulah
kejadiannya."
"Tapi mayatnya………"
"Dikolong ranjang ada
noda-noda darah, setelah membunuhnya, tentu mayatnya disembunyikan di bawah
ranjang, lalu dia sendiri menyaru sebagai mempelai perempuan tidur di atas
ranjang."
"Maksudmu……waktu semalam
kami gaul di atas ranjang, ada mayat dikolong ranjang?"
"Tidak akan salah."
Bergidik dan merinding Oh
Thi-hoa dibuatnya, "Dia…….dia tahu bahwa dikolong ranjang ada mayat, masih
begitu asyik main dengan aku……..bergaul sama aku di atas……!" Serasa hampir
saja muntah-muntah, sampai kata-katanyapun tenggelam dalam tenggorokan.
"Tadi waktu kau keluar
mencariku, segera ia pindah mayat di bawah itu ke atas ranjang, tujuannya
adalah untuk menjebak kau, supaya Kui-je-ong menuduh kaulah pembunuhnya."
"Kenapa dia berbuat
demikian?"
"Karena jikalau kita
berserikat dengan Kui-je-ong, terang tidak menguntungkan bagi gerakannya,
perbuatannya ini ditujukan untuk mengadu domba hubungan kita dengan Kui-je-ong,
diapun sudah perhitungkan apapun yang kau katakan pasti tak dipercaya oleh
mereka, kalau murka kau tinggal pergi, mungkin dia hendak bikin kau mampus ditengah
gurun pasir."
Oh Thi-hoa menyeka keringat
dingin di atas jidatnya, katanya : "Masakah dia
itu…….adalah……….adalah"
"Orang yang menyamar
mempelai perempuan kemungkinan adalah Ciok-kwan-im sendiri." tutur Coh
Liu-hiang.
Gemetar dingin sekujur badan Oh
Thi-hoa.
"Konon khabarnya
Ciok-kwan-im adalah perempuan cantik yang jarang terlihat di kalangan Kangouw,
meski usianya rada lanjut, tapi tentulah dia pandai merawat badan, disamping
dia pandai merias diri, apalagi ditengah malam kaupun sedang mabok."
Oh Thi-hoa tutup mukanya,
teriaknya keras : "Oh Thian!" badannya roboh terlentang menggeletak
di atas ranjang, tapi Ki Ping-yan yang tidur di atas ranjang masih meringkel
nyenyak, seperti tidak merasa ada orang menindih ke atas badannya.
Sedikit berubah air muka Coh
Liu-hiang, sekali raih ia tarik badan Oh Thi-hoa, mulutnya memonyong ke atas
ranjang, begitu beradu pandangan, terasa dingin hati mereka.
Biasanya Ki Ping-yan cukup
cerdik, cekatan dan waspada, seumpama dirumah sendiri diapun takkan tidur begini
lelap, jikalau diapun mengalami sesuatu…
Oh Thi-hoa tiba-tiba
mengerung, terus menubruk ke arah ranjang, sekali sentak ia tarik kemul beludru
itu.
Orang yang meringkel didalam
selimut ternyata bukan Ki Ping-yan, tapi seorang busu Kui-je, pakaian yang dia
kenakan masih seragam untuk pesta pora semalam, sampaipun sepatunya tidak
dicopot.
Oh Thi-hoa cengkeram rambut
orang, terus dijinjingnya dari atas ranjang, bentaknya bengis: "Bagaimana
kau bisa tidur di atas ranjang ini? Katakan! Lekas katakan!"
Busu itu seperti tidak
bertulang badannya, lemas lunglai tergantung oleh jinjingan tangan Oh Thi-hoa
yang kokoh kuat.
Coh Liu-hiang mengerut alis,
katanya: "Orang ini tertotok jalan darahnya."
Belum habis kata-katanya Oh
Thi-hoa sudah bergerak secepat angin membuka totokan Hiat-to orang, baru saja
dia hendak ulang pertanyaan tadi. Tak nyana baru saja busu ini membuka mata,
dia sudah menjerit terlebih dahulu, serunya: "Lho, aku kok berada di sini?
Apakah yang telah terjadi?"
"Apa yang telah terjadi,
memang aku hendak tanya kau," damprat Oh Thi-hoa.
Sekeras-kerasnya si Busu
gelengkan kepalanya, kiranya mabuknya belum hilang, kepala masih pening, dengan
kedua tangan ia ketuk kepala sendiri berulang kali, mendadak ia berseru keras :
"Sudah kuingat, semalam aku minum terlalu banyak, aku keluar mau kencing,
waktu aku membalikkan badan entah bagaimana tahu-tahu aku direnggut dan diseret
ke dalam sini, selanjutnya apapun aku tidak tahu."
"Siapa yang menyeretmu
kemari?" tanya Oh Thi-hoa.
"Cepat sekali gerakan
orang itu, aku……..seumpama aku dalam keadaan sadar juga takkan bisa
melihatnya."
"Biar kuhajar kau, nanti
kau akan bisa melihatnya." Begitu membalik punggung, tangannya melayang
hendak menggampar muka orang, untuk Coh Liu-hiang lekas menariknya, selanya :
"Lepaskan dia pergi!"
Sudah tentu Oh Thi-hoa kurang
senang, baru saja jarinya terlepas, Busu itu lantas berlari keluar dengan
langkah sempoyongan. Oh Thi-hoa membanting kaki : "Keparat ini tentu
komplotannya, entah kemana…………" dia hendak katakan poyokan Jago Mampus,
tapi setiba di ujung mulut, terasa diwaktu seperti ini tidak enak dia bicara
soal mampus, segera ia ganti haluan : "Lo-ki juga tentu terjatuh ke tangan
mereka, keparat ini yang disuruh…….."
"Begitu Hiat-to orang ini
terbuka, dia lantas siuman, ilmu totokan yang tidak melukai badan dan
menghilangkan daya ingatan seperti ini memang ilmu tunggal Lo-ki, tak mungkin
orang lain menirunya."
"Maksudmu keparat ini
tertotok dan dibekuk kemari oleh Lo-ki?"
"Tentu begitulah
kejadiannya."
"Kenapa Jago Mampus harus
menggunakan permainan ini? Saat ini ditempat ini masih punya hati dia main
guyon-guyon dengan kita, kemana pula dia pergi seorang diri?" Begitu
bernapsu bicara, tanpa sadar ia gunakan juga poyokan Jago Mampus.
Coh Liu-hiang menghela napas,
katanya tertawa getir: "Orang lain sering menyangka Lo-ki seorang yang
tahan uji dan sabar, bahwasannya dia dingin dimuka panas didalam, seperti pula
kau dan aku, semalam aku bilang supaya musuh tangguh itu serahkan kepadaku
saja, mulutnya diam saja, hatinya tentu kurang senang, maka menurut rekaanku,
ia sekarang pergi cari musuh tangguh itu untuk bertanding."
"Darimana ia bisa tahu
dimana musuh tangguh itu berada?"
"Sutou Liu-che sudah
menunjukkan arah dimana kemah mereka, masakah Lo-ki takkan bisa
mencarinya?"
Oh Thi-hoa berpikir sebentar,
mendadak ia lari menerjang keluar. Lekas Coh Liu-hiang menahannya, tanyanya :
"Apa yang hendak kau lakukan?"
"Belum tentu Lo-ki
menjadi tandingan orang itu, sudah tentu aku harus susul dia memberi
bantuan."
"Kau sudah lupa akan
sumpah janjimu kepada mereka?"
Saking gugup Oh Thi-hoa
membanting kaki serunya: "Lalu bagaimana baiknya?"
Kau tinggal disini, biar aku
pergi mencarinya!
"Kini kita bertiga harus
berpencar, Ciok….Ciok-kwan-im itu bila…"
"Semalam jadi suami istri
dikenang seratus hari, masakah dia tega melukai kau."
Merah muka Oh Thi-hoa,
lehernya seperti melepuh besar, serunya menggerung : "Ulat busuk, sekali
lagi kau mengolok dan mencemooh diriku, kulabrak kau."
Aku hanya ingin mengatakan
bahwa Ciok-kwan-im sudah terlanjur berbuat demikian untuk mengadu domba
hubungan kita dengan Kui-je-ong, terang untuk sementara dia tidak akan mau
unjuk diri berhadapan langsung dengan kita, sudah tentu diapun tahu bahwa kita
tidak boleh dibuat main-main.
"Hm!" Oh Thi-hoa
mendengus geram.
Coh Liu-hiang menepuk
pundaknya, katanya : "Duduklah dan minum dua cawan arak untuk
menghilangkan kerisauan hatimu, aku tidak akan lama pergi."
Belum lama Coh Liu-hiang
keluar, laki-laki raksasa itu melangkah masuk ke dalam kemah, kontan Oh Thi-hoa
mendelik kepadanya, tanyanya aseran : "Untuk apa kau kemari?"
Dengan kedua lengannya yang
berotot kekar, Ganial memeluk dada, diapun balas melotot tanpa buka suara.
"Jadi kau hendak
mengawasiku?"
"Hm!" Ganial
mengejek.
Oh Thi-hoa tiba-tiba tertawa besar,
serunya : "tuan besarmu bilang tak pergi, ya tidak akan minggat, jikalau
tuan besarmu mau pergi, memangnya kau kepala dogol ini bisa merintangi
aku?" mulut bicara tiba-tiba kepalannya menjotos.
Ganial ulurkan tapak tangannya
yang segede kipas, pundak kiri Oh Thi-hoa menjadi sasaran cengkeraman jarinya.
Tak nyana pergelangan tangan Oh Thi-hoa berputar dengan enteng dan lincah,
dengan nakal ia gelitikkan ketiak orang.
Laki-laki raksasa ini memang
berbadan kekar laksana baja dan berotot kawat, ternyata paling takut digelitik,
begitu jari-jari Oh Thi-hoa menyontek ketiaknya, seketika dia terbahak-bahak
geli, saking geli sampai terpingkal-pingkal memeluk perut.
Sedikit memiringkan badan,
badan Oh Thi-hoa menerjang dengan pundaknya, badan Ganial yang kokoh besar
seberat dua ratus kati lebih itu, seketika keterjang terbang terguling-guling.
Dengan menepuk-nepuk tapak tangan, mulut Oh Thi-hoa berkaok-kaok : "Bawa
arak kemari, kalian hendak menahan tuan besarmu disini, kalian harus sediakan
makan minum tuan besarmu." Rasa gemas dan kedongkolan hatinya dia
lampiaskan kepada orang-orang rendahan ini.
Kalau lahirnya Coh Liu-hiang
bersikap tenang dan kelakar, bahwasanya hatinya amat prihatin. Memang untuk
kesekian kalinya dia membongkar muslihat Ciok-kwan-im, tapi dia tak kuasa
memberikan bukti-bukti di hadapan Kui-je-ong, walau dia memperhitungkan bahwa
Ciok-kwan-im berada di sekeliling tempat itu, namun sulit juga dia meraba
dimana tempat persembunyian Ciok-kwan-im. Apalagi sekali gagal, pasti
Ciok-kwan-im akan mengatur perangkap lain, musuh ditempat gelap, pihaknya
ditempat terang, betapapun serangan gelap musuh susah dijaga.
Kini Siau-phoa sudah gugur,
Ciok Tho tak keruan rimbanya, Oh Thi-hoa terfitnah dan susah mencuci bersih
tuduhan, Ki Ping-yanpun sedang menghadapi mara bahaya, lima orang yang
berangkat bersama kegurun pasir, kini sudah berantakan dan bercerai-berai,
jejak Soh Yong-yong, Li Ang-siu dan Song Thiam-ji masih belum diketemukan.
Keadaan dan situasi yang
begini tidak menguntungkan, betapa hati Coh Liu-hiang tidak akan gundah dan
was-was.
Apalagi sekarang dia harus
melindungi orang-orang ini, terpaksa harus melindungi Kui-je-ong ayah beranak,
betapapun ia tidak akan membiarkan kedua ayah beranak ini mengalami kekejian
tangan kejam musuh.
Tapi kenapa semalam
Pipop-kongcu mencari dirinya? Apakah perbuatannya mengandung suatu muslihat?
Bukankah hendak menahan dan mengelabui mata dan pendengarannya, sehingga tak
sempat hiraukan urusan lain?
Coh Liu-hiang menghela napas
dengan geleng-geleng. Ia berkeputusan takkan pikirkan persoalan ini lagi, lebih
penting temukan dulu Ki Ping-yan.
Apa yang pernah dikatakan
sikera hitam Sun Khong dan Sutou Liu-che kalau tak terlalu dibesar-besarkan,
maka Ki Ping-yan sekarang sedang menghadapi situasi gawat dan genting, dinilai
dari kecerdikan, ketabahan dan keberanian, serta banyak akal muslihat nya dalam
menghadapi segala perubahan, tiada orang lain yang sebanding dengan Ki
Ping-yan. Tapi kalau dinilai kepandaian silatnya yang sejati, belum tentu Ki
Ping-yan bisa mengungguli Oh Thi-hoa.
Tapi gurun pasir seluas ini,
selayang pandang ribuan li tanpa kelihatan jejak manusia, ditempat seluas
seperti ini, asal sedikit selisih perjalanan saja bakal kesasar dan terpaut
ribuan li jauhnya.
Untunglah sang surya baru saja
terbit, sinar cahayanya yang terik dan kekuatannya belum unjuk gigi, belum
begitu panas namun hawa dingin semalam mulai menguap dan menghilang, saat
inilah waktu ternyaman di padang pasir didalam bilangan sehari.
Dengan mengembangkan Ginkang
tinggi yang tiada bandingan di seluruh kolong langit, Coh Liu-hiang
berlari-lari sekaligus beberapa puluh li sudah dicapainya, kakinya masih belum
kelihatan kendor, pandangan matanya yang tajam laksana burung elang tidak
menyia-nyiakan setiap benda yang dilihatnya, meski itu hanya sebatang pohon
atau selembar daun.
Sekonyong-konyong didengarnya
suara gemuruh yang ramai, bergulung-gulung ikut terhembus angin ke arahnya,
baru saja hati Coh liu-hiang kaget, matanya sudah melihat jelas, itulah sebuah
wajan besar dari besi. Tapi di gurun pasir yang tak kelihatan jejak manusia,
darimana datangnya wajan gede ini?
Tampak wajan besar itu
terguling-guling dihembus angin puyuh, cepat sekali menggelinding datang,
sekali melesat Coh Liu-hiang setombak lebih, dengan ringan ujung kakinya menutul
dan menjungkit, sebat sekali ia raih di tangannya, setelah diawasi sekian
lamanya, tahu-tahu badannya melambung tinggi melesat ke arah datangnya angin
dari mana wajan itu menggelundung datang.
Kali ini matanya dipasang
lebih tajam, kira-kira setanakan nasi, di depan dilihatnya pula batu cadas yang
sudah kering berubah bentuknya lantaran hembusan angin berpasir, beberapa pucuk
pohon Sian-jin-ciang.
Memang Coh liu-hiang belum
pernah kelana di padang rumput, tapi setelah mengalami penderitaan dan pahit
getirnya kebesaran gurun pasir, tempat ini adalah daerah yang paling baik untuk
bercokol dan membuat perkemahan.
Apakah para menteri yang
berontak di negeri Kui-je dan pembunuh-pembunuh itu semalam berkemah ditempat
ini? Selepas pandang matanya tak kelihatan adanya perkemahan. Sebentar Coh
Liu-hiang menerawang, lalu ia berjongkok seperti anjing pemburu yang
mengendus-endus jejak buruannya, mendadak ia kerahkan jari-jarinya sekeras baja
dan mengeduk serta menggali pasir.
Meskipun bertangan kosong,
tetapi dengan kekuatan Lwekangnya, kesepuluh jarinya laksana sepuluh batang
garuk besi, beberapa kali galian saja dari tumpukan pasir berhasil dikeduknya
kayu-kayu hangus bekas terbakar.
Terang disinilah letak
perkemahan atau pos sementara dari para pemberontak negeri Kui-je, mungkin tahu
bahwa jejak mereka sudah konangan, maka malam-malam itu juga mereka
mengundurkan diri.
Begitu cermat dan hati-hati
benar gerak-gerik orang-orang ini, setelah perkemahan dicopot dan mengundurkan
diri tanpa meninggalkan jejak yang mencurigakan. Cepat sekali otak Coh
Liu-hiang bekerja, ia duga diantara rombongan pemberontak itu pasti terdapat
satu dua orang cerdik pandai yang banyak akal muslihatnya sebagai penasehat
atau perancang segala langkah-langkah mereka.
Tapi apakah Ki Ping-yan sudah
berhasil menemukan tempat ini ataukah sudah menemui orang-orang ini? Jikalau
sampai bentrok, pihak lawan banyak, apakah dia sudah mengalami bencana oleh
kekejian musuh?
Semakin gundah hati Coh
Liu-hiang, dengan cermat matanya menjelajah keadaan sekelilingnya, tiba-tiba
dilihatnya di atas permukaan batu cadas itu, bekas-bekas tapak kaki manusia
yang ditinggalkan, melesak setengah dim ke dalam batu.
Di gurun pasir, tapak kaki
yang ditinggalkan manusia sebentar saja sudah tidak membekas dihembus angin,
sebaliknya kedua tapak kaki ini membekas dalam permukaan batu, kalau dikata
batu cadas di padang pasir sudah terlalu kering dan keropos menjadi lunak, tapi
kalau tidak mengerahkan Lwekang di ujung kaki, tidak mungkin kaki manusia bisa
melesak masuk setengah dim, dari sini dapat disimpulkan bahwa tapak kaki ini
memang sengaja ditinggalkan di sini.
Diam-diam Coh Liu-hiang
menerawang, mungkin Ki Ping-yan sengaja meninggalkan bekas tapak kakinya? Dia
sudah tiba di sini dan sembunyi di belakang batu ini mengintip gerak gerik
musuh, sungguh di luar dugaannya pihak musuhpun ada seorang yang kosen,
jejaknya konangan, maka tokoh kosen dari rombongan pembunuh itu lantas turun
tangan melabraknya, baru sekarang dia menyadari kekerdilan tenaganya seorang
diri, maka sengaja meninggalkan bekas tapak kakinya di ermukaan batu ini,
supaya aku tahu kemana jejaknya.
Karena rekaannya ini, seenteng
burung walet, badannya melambung naik ke atas batu cadas, maka segera
didapatkannya pula dua bekas tapak kaki lainnya, kedua tapak kaki ini tak
begitu dalam ujung kakinya, tertuju ke arah barat.
Coh Liu-hiang membatin pula :
"Kedua tapak kaki ini tentu peninggalan Ki Ping-yan, sebelum berlalu
dengan tergesa-gesa, saat itu ia bergebrakan antara mati dan hidup dengan tokoh
kosen dari rombongan pembunuh itu. Tak urung hatinya jadi gugup dan tegang,
maka bekas tapak kakinya tak begitu dalam, dilihat dari jurusan yang tertuju
oleh tapak kakinya, jelas bahwa tujuan mereka adalah tepat ke barat. Karena
kesimpulan ini, tanpa banyak sangsi Coh Liu-hiang segera kembangkan Ginkangnya
pula, berlari menuju ke barat. Tapi baru lari puluhan tombak tiba-tiba ia
hentikan langkahnya pula seraya membatin : "Tidak benar!"
Biasanya kalau Ki Ping-yan
sudah mengumbar adatnya, dableknya melebihi Oh Thi-hoa. Jikalau dia sudah kukuh
bertanding sampai ajal dengan pembunuh itu, pasti melarang orang lain
mencampuri urusannya. Oleh karena itu dia ringkus busu itu untuk mengelabui
pandangan orang lain, tujuannya ialah tak suka Coh Liu-hiang mencampuri urusannya
dan kemana arah tujuannya, masa mungkin dia mau meninggalkan tapak kakinya,
hingga Coh Liu-hiang lebih gampang menemukan jejaknya?
Coh Liu-hiang menghela napas,
sebat sekali ia sudah melesat kembali ke atas batu cadas itu. Kedua kaki tepat
berdiri di atas bekas tapak kaki itu, muka menghadap ke barat sementara otaknya
sedang diperas untuk berpikir.
Ki Ping-yan tahu cepat atau
lambat aku pasti dapat mencarinya sampai di sini, maka sengaja dia meninggalkan
bekas tapak kaki ini, supaya aku tahu bahwa dia benar-benar sudah pernah berada
di sini tapi ia tidak suka aku mencampuri urusannya, maka sengaja hendak
mengaburkan pandangan dan menyesatkan kesimpulanku, lalu ke jurusan mana ia
pergi bersama tokoh kosen dari rombongan pembunuh itu? Jurusan selatan jelas ia
takkan kesana karena dari arah sana tadi Coh Liu-hiang datang, kalau toh barat
juga tidak, jadi tinggal timur dan utara. disaat Coh Liu-hiang bimbang dan
kusut pikirannya tiba-tiba terlintas pikirannya.
Sejak kecil Ki ping-yan paling
benci sorot matahari yang menyilaukan mata, bila dirumah sering ia tidur sampai
lewat lohor baru mau bangun, sebelum hari terang tanah ia takkan tidur.
Karena kebiasaan ini, sudah
terang Ki Ping-yan tak akan menuju kearah timur menyongsong matahari yang baru
terbit, jadi kesimpulan akhirnya bahwa ia menuju ke utara, meski hal ini tak
bisa diputuskan dengan meyakinkan terpaksa harus dicoba dan mengadu untung.
Maka Coh Liu-hiang segera
merubah arah berlari ke arah utara. Selama pengalaman beberapa hari ditengah
gurun pasir ini, sedikit banyak Coh Liu-hiang sudah menyadari bahwa air
merupakan mustika yang lebih berharga dari permata, maka tak luput iapun
membawa kantong air yang terbuat dari kulit kambing.
Setelah menenggak beberapa
tegukan air, sekaligus ia berlari-lari dua li, tampak tidak jauh di depan sana
dilihatnya beberapa pucuk Sian-jin-ciang, tapi seluruhnya sudah gundul terbabat
kutung.
Coh Liu-hiang hentikan
larinya, dari atas pasir ia jemput setengah potong dahan Sian-jin-ciang, dengan
cermat ia awasi bekas papasan dari bagian yang kutung. Jikalau ada orang lain
melihat tingkah lakunya ini, tentu orang merasa heran, entah apa sih yang
menarik perhatian dari potongan dahan pohon itu, memangnya kutungan dahan pohon
itu bisa tumbuh kembang?
Sekian saat Coh Liu-hiang
membolak balik dengan teliti, semakin lama alisnya berkerut semakin dalam,
mulutnyapun menggumam seorang diri: "Tebasan pedang yang teramat cepat!
Ilmu pedang yang bagus sekali."
Jadi dari bekas kutungan dahan
pohon itu dia dapat menilai betapa tinggi tingkat kepandaian ilmu pedang orang
yang menebas dahan Sian-jin-ciang ini. Senjata Ki Ping-yan bukanlah pedang,
melihat pedang yang dipakai lawannya sedemikian tajam dan ganas, mau tak mau
kuatir juga hati Coh Liu-hiang, demi keselamatan Ki Ping-yan kembali ia mondar
mandir di sekelilingnya mencari-cari dan menemukan setengah potongan dahan
Sian-jin-ciam.
Bekas kutungan Sian-jin-ciang
yang ini terang tidak selicin dan serata yang diambilnya semula, terang seperti
dipukul kutung dengan semacam senjata berat yang tumpul, justru senjata Ki
Ping-yan adalah Boan-koan-pit, Potlot Baja.
Coh Liu-hiang mengamatinya
lagi sekian lama, kedua alisnya yang berkerut lambat-lambat mengembang,
gumamnya: "Berkutet melawan musuh tangguh ini setengah harian, tenaganya
sedikitpun tidak kelihatan menjadi lemah, tak nyana selama beberapa tahun
belakangan ini ilmu silatnya ternyata maju begini pesat."
Semula ia menyangka karena
kehidupan yang foya-foya dan berlebihan itu, tenggelam dalam pelukan perempuan
ayu dan kebanyakan air kata-kata, tentu Lwekang dan kepandaian silatnya sudah
terlantar, begitupun tenaganya tentu jauh berkurang, baru sekarang setelah dia
memeriksa bekas kutungan dahan itu baru lega hatinya.
Tapi kedua orang itu sedang
berkelahi dengan sengitnya, tanpa sebab masakah memukul dan menebas kutung
dahan-dahan Sian-jin-ciang ini, apa sih maksudnya? Kesimpulannya adalah
lantaran didalam pohon Sian-jin-ciang ini mengandung air, setelah bertanding
setengah hari, sedikit banyak mereka sudah menguras tenaga sehingga tenggorokan
kering dan bibir gatal, jadi mereka berhenti sebentar untuk mengisap air
secukupnya, mereka lalu melanjutkan pertempuran.
Dari kesimpulan dan kenyataan
yang dilihatnya, terang jurusan yang ditempuh Coh Liu-hiang tidak salah. Lekas
diapun meneguk setegak air, setelah menentramkan hati dan mengatur pernapasan,
bukan lantaran dia terlalu letih dalam perjalanan adalah dia memperhitungkan
dengan tepat bila dia berhasil menemukan jejak mereka, kemungkinan dia
sendiripun harus mengalami suatu pertempuran sengit, maka dia perlu menghimpun
semangat dan mengumpulkan tenaga, siap sedia.
Setelah beranjak beberapa
kejap lagi tampak di depan menghalang segundukan pasir tinggi, kira-kira
puluhan tombak! Perubahan alam di gurun pasir memang aneh dan cepat sekali, semalam
mungkin tempat ini masih merupakan tanah datar, pagi ini sudah berubah menjadi
gundukan bukit pasir yang menjulang ke atas.
Sudah tentu gundukan pasir ini
tidak kokoh, meski kebanyakan orang juga bisa memanjat naik ke atas, asal
sedikit lengah, bila pasir gugur mungkin manusia bisa terkubur hidup-hidup di
bawah pasir yang ribuan kati beratnya.
Coh Liu-hiang menghirup napas
panjang, sekali tutul badannya melambung tinggi seenteng kapas seperti daun
melayang terhembus angin, dengan ringan ia tancapkan kaki di puncak bukit
pasir. Selepas mata memandang tampak beberapa li sekitarnya cuma
gundukan-gundukan pasir melulu yang tersebar dimana-mana, malah terdapat
batu-batu cadas dan rumpun semak-semak pohon berduri.
Memang tumbuhan ada pula yang
bisa tumbuh di padang pasir, memang sementara tumbuhan ada yang tidak
memerlukan air untuk pertumbuhan, namun bisa tetap subur, cuma selamanya tidak
bisa tumbuh tinggi.
Sekonyong-konyong terdengar
suara Trang! selarik sinar pedang laksana lembayung berkelebat ditengah
angkasa, berkelebat di belakang gundukan-gundukan pasir dikejauhan sana, cepat
sekali tahu-tahu sudah menghilang, betapa cepat dan hebat sambaran kilat pedang
itu, sungguh luar biasa.
Bagai burung camar, cepat Coh
Liu-hiang meluncur ke bawah, laksana burung walet badannya melesat ke depan.
Dia tak berani bersuara atau memanggil, soalnya pertempuran tokoh-tokoh silat
kelas tinggi paling pantang perhatiannya terpecah, kalau Ki Ping-yan mendengar
suaranya, sedikit banyak konsentrasinya tentu terganggu, kemungkinan bisa
mengalami bencana.
Tapi waktu Coh Liu-hiang
melesat tiba di gundukan pasir tadi, bayangan manusiapun tidak terlihat
olehnya, semak-semak berduri di pinggir batu cadas memang terbabat runtuh oleh
tebasan pedang tajam.
Dari kenyataan yang
dihadapinya ini Coh Liu-hiang beranggapan dan semakin tebal keyakinannya bahwa
ilmu pedang orang itu teramat ganas dan telengas, sungguh mengejutkan. Jadi apa
yang diuraikan oleh si kera hitam Sun Khong dan Sutou Liu-che mengenai
kehebatan orang memang bukan bualan belaka.
"Sreng"
sekonyong-konyong terdengar pula suara benturan senjata keras yang nyaring.
Bagai terbang Coh Liu-hiang memburu ke arah datangnya suara, lagi-lagi ia
menubruk tempat kosong. Tapi batu cadas di sini banyak yang runtuh menjadi bubuk
lembut bertaburan kemana-mana.
Terang reruntuhan batu cadas
ini lantaran disapu hancur oleh potlot baja Ki Ping-yan, karena pukulan keras
seperti ini tak mungkin dilakukan dengan pedang. Dari sini dapatlah dibayangkan
bahwa kekuatan Ki Ping-yan masih cukup hebat, masih kuat bertahan untuk adu
jiwa.
Coh Liu-hiang menghirup napas
panjang, sampai detik ini, meski dia belum menyaksikan secara langsung
pertempuran kedua orang yang sedang berhantam sengit ini, tapi betapa dahsyat
dan hebat pertandingan adu kekuatan kedua orang ini, dapatlah dibayangkan. Dari
tempat beberapa li kedua orang bertempur terus sambil jalan dan bergeser
kedudukan sampai sini, dari pagi sampai sore menjelang malam, dari malam sampai
pagi adu kekuatan seperti ini sungguh jarang terjadi.
Walau kelihatannya kedua orang
sampai sekarang masih setanding alias seri, Coh Liu-hiang pun tak perlu gelisah
lagi karena gelisahpun tak berguna, didalam situasi seperti ini untuk segera
menemukan mereka sungguh betapa sulitnya. Apalagi jikalau Ki Ping-yan tahu
dirinya sudah datang kuatir dirinya turut campur, mungkin orang sengaja hendak
main petak umpet dan membuat dirinya kecele.
Oleh karena itu terpaksa Coh
Liu-hiang menahan sabar dan menekan gejolak perasaannya dengan cermat ia pasang
kuping, sesaat kemudian betul juga, terdengar pula suara benturan senjata keras
yang nyaring, kali ini kumandang dari arah kiri sana.
Tapi kali ini Coh Liu-hiang
tidak langsung menubruk ke tempat itu, namun dari arah kiri dia berputar
setengah lingkaran, pikirnya hendak berputar mendahului mereka kesebelah depan
memapak dan menghalangi mereka.
Lagi-lagi dia tetap menubruk
tempat kosong, kedua orang itu kiranya bertempur ke arah lain yang berlawanan.
Coh Liu-hiang hanya geleng-geleng kepala dengan tertawa getir, tapi
sekonyong-konyong rona mukanya berubah hebat.
Di atas pasir kuning yang
merata didepan sana tampak beberapa tetes noda darah yang masih segar. Kalau Oh
Thi-hoa yang melihat noda darah ini, mungkin dia tidak akan gugup karena dia
sangka noda darah ini menetes keluar dari luka-luka badan musuh. Tapi Coh
Liu-hiang cukup tahu bila mana potlot baja Ki Ping-yan sampai berhasil menutuk
lawannya, pasti musuh sudah menggeletak dan tak berkutik, bukan saja takkan
mengeluarkan darah, pertempuranpun takkan dilanjutkan pula.
Semakin gelisah hatinya, dia
semakin tak bersuara, kini Ki Ping-yan sudah terluka bukan mustahil
luka-lukanya tidak ringan, jikalau konsentrasinya sampai pecah bukankah
badannya bakal menjadi sasaran empuk lawannya dan terbanglah jiwanya. Maklumlah
meski sepak terjang Coh Liu-hiang amat gagah perwira dan tidak kenal kesopanan
tapi demi keselamatan sahabat baiknya, tindakan dan gerak geriknya ternyata
jauh lebih cermat dan hati-hati dari kaum hawa.
Tak jauh dari noda-noda darah
itu terdapat juga sebongkah batu cadas, sekali enjot badan Coh Liu-hiang lompat
ke atasnya, dari sini ia hendak menunggu suara benturan senjata keras dan
berkelebatnya sinar pedang yang mungkin terlihat diantara semak-semak pohon dan
sela batu.
Tak nyana pada saat itu juga
dari balik gundukan pasir di depan sana tiba-tiba muncul dua orang, senjata
ditangan kedua orang ini dimainkan kencang, seumpama hujan badaipun takkan
tembus membasahi badan mereka, sekencang itu mereka mainkan senjatanya, tapi
tak terdengar suara benturan senjata, mungkin setelah berhantam setengah hari
ini, masing-masing sudah apal dan tahu jelas seluk beluk permainan silat
lawannya, sebelum suatu jurus serangan dilancarkan ditengah jalan sudah berubah
pula dengan tipu serangan yang lain.