Rahasia Ciok Kwan Im (Da Sha Mo) Bab 11: Pengejaran

Rahasia Ciok Kwan Im (Da Sha Mo) Bab 11: Pengejaran
Rahasia Ciok Kwan Im
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------

Bab 11: Pengejaran

Tampak mayat perempuan ini dibagian mukanya sudah melembung besar, dapatlah dibayangkan diwaktu masih hidup raut mukanya tentu teramat jelek, kini di dadanya yang telanjang itu ternyata telah berlubang oleh jari-jari yang kuat, sungguh bukan buatan ngeri dan seram keadaannya.

Sebetulnya apakah yang telah terjadi? gerutu Oh Thi-hoa membanting kaki. Perempuan ini kenapa bisa rebah telanjang bulat di atas ranjangku? Kapan dia masuk kemari? Masakah istriku itu tidak mengetahuinya?

"Yang terang perempuan ini tentu bukan masuk kemari sendiri," kata Coh Liu-hiang dengan suara berat.

"Dari mana kau bisa tahu?"

Walau darah berlepotan di atas kemul, sedikitpun kasur dan seprai tidak kotor, dari sini dapat kita simpulkan bahwa perempuan ini dibunuh lebih dulu, baru dipindahkan ke atas ranjang.

"Kalau begitu lebih aneh lagi, setelah orang itu membunuhnya, kenapa harus dipindahkan lagi ke atas ranjang?"

"Waktu kau keluar tadi apakah benar istrimu masih rebah di atas ranjang?"

"Tidak salah, jelas sekali dia mendengkur nyenyak, kini kenapa menghilang?"

Coh Liu-hiang mengerut kening, sungguh diapun bingung dan belum bisa mengambil gambaran dari kejadian misterius ini, apa pula latar belakang didalam kejadian serba aneh dan rahasia ini.

Oh Thi-hoa berlari dan berkaok-kaok : "Tolong! Tolong! Ada orang mati didalam kamarku, lekas kalian kemari, periksalah siapa dia?"

Orang yang memburu datang pertama kali adalah Pipop-kongcu, disusul Kui-je-ong yang kelihatan masih ngantuk, dengan mata sepat berlari terhuyung-huyung. Begitu mereka melihat mayat di atas ranjang, seketika berdiri menjublek berubah hebat air mukanya.

Seru Oh Thi-hoa : "Siapa perempuan ini?, kalian…"

Belum habis kata-katanya Kui-je-ong tahu-tahu merenggut bajunya, serunya menggembor : "Kenapa kau membunuhnya?"

"Aku membunuhnya?" seru Oh Thi-hoa naik pitam, "Apa kau melihat setan? Selamanya aku tak kenal dia, kenapa harus membunuhnya?"

"Meskipun tampangnya rada jelek, jelek-jelek dia sudah menjadi istrimu, kenapa kau turun tangan begitu keji? kau, kau bukan manusia, kau binatang!"

Oh Thi-hoa berjingkrak kaget, serunya: "Apa katamu? Perempuan ini……adalah………adalah istriku?"

Merah padam biji mata Kui-je-ong, serasa hampir gila, dia mendamprat: "Seandainya dia bermuka rada jelek, betapapun dia putri raja yang masih suci bersih, memangnya dia tidak setimpal menjadi istri bajingan seperti tampangmu? Kau……umpama kau tidak sudi mengawini, tidak seharusnya……."

Sekali ayun tangannya Oh Thi-hoa dorong orang jatuh duduk di atas tanah, serunya terbelalak kaget: "Orang ini gila, orang ini sudah gila!"

"Kaulah yang gila!" damprat Kui-je-ong.

Heran, bingung dan curiga menyelimuti sanubari Coh Liu-hiang, lekas ia bantu memayang Kui-je-ong berdiri, katanya berat : "Siapa sebenarnya perempuan diatas ranjang ini? Apa Ongya mengenalnya?"

"Putriku sendiri, kenapa aku tidak mengenalnya?"

"Jadi yang kawin dengan Oh Thi-hoa semalam adalah nona ini?"

"Sudah tentu putriku ini."

Oh Thi-hoa menyelutuk hampir berteriak: "Bukan dia, pasti bukan dia, aku melihat jelas sekali dengan mata kepalaku sendiri, calon istriku itu adalah gadis rupawan yang cantik jelita, terang bukan si buruk rupa ini!"

"Aku sendiri yang kawinkan putriku kepadamu, memangnya aku tidak tahu!"
Mempelai laki-laki bilang si korban pasti bukan istrinya, sebaliknya sang mertua secara kukuh mengakui si korban sebagai putrinya. Kejadian seaneh ini sungguh jarang terjadi di dunia ini, Coh Liu-hiang seperti tergencet ditengah-tengah, ia jadi sukar berketetapan pihak mana yang harus ia percayai omongannya?

Oh Thi-hoa membanting kaki, serunya : "Kalau perempuan jelek ini adalah mempelai perempuan, lalu siapa perempuan cantik yang bergaul sama aku semalam? Memangnya ada orang lain yang memalsu calon istriku ini?"

"Kau sudah membunuhnya, kini kau mengarang cerita bohong untuk mendustai orang lain?"

"Kenapa aku harus menipu kau? Memangnya semalam aku bertemu dengan setan?"

"Coba kutanya," tiba-tiba Pipop-kongcu menyela bicara, "Kalau kau katakan dia bukan istrimu, memangnya kemana perempuan yang semalam bergaul dengan kau? Asal kau bisa menyeretnya keluar, kita akan percaya padamu."

"Aku………aku………." bahwasanya dia memang tidak tahu kemana perempuan cantik yang dia anggap sebagai istrinya dan gaul sama dirinya semalam, dia hanya keluar sebentar, kenyataan istri cantik bak bidadari itu tahu-tahu hilang tak karuan rimbanya.
Pipop-kongcu tertawa dingin, katanya : "Seumpama semalam perempuan yang kau hadapi bukan kakakku, kenapa kakakku tahu-tahu sudah ajal di atas ranjangmu? Kalau bukan kau yang membunuhnya, siapa pembunuhnya?"

Tentu kalian sengaja mengganti yang tulen dengan yang palsu, tapi akulah yang menjadi korban dan difitnah semena-mena.

"Kentut!" maki Kui-je-ong, masakah aku tega membunuh putri kandungku sendiri?"
Bukti dan kenyataan, Oh Thi-hoa sendiri menyadari apa yang dia katakan bahwasannya sukar bisa membuat orang lain percaya, terpaksa dia memburu kedepan Coh Liu-hiang, serunya gugup : "Kau,…………kenapa kau tidak bantu aku bicara? Memangnya kaupun tidak percaya padaku?"

Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya : "Apa yang harus kukatakan?"

"Baik! Kalian sama tak percaya kepadaku, sampai kaupun bantu orang lain memfitnah aku, sungguh penasaran! Seumpama memang aku yang membunuhnya, mau apa? Siapa suruh kalian menipuku untuk mempersunting perempuan jelek ini?"

"Kau sudah membunuh jiwa orang, harus menebus dengan jiwamu pula." Damprat Pipop-kongcu. ditengah gerungannya, kesepuluh kuku jarinya tahu-tahu mencengkeram ke leher Oh Thi-hoa.

Gerak serangannya ini sungguh cepat dan gesit. Tapi orang macam apa Oh Thi-hoa, masakan gampang kecundang? Sudah tentu ia tidak pandang sebelah mata ilmu silat lawan. Bentaknya gusar: "Minggir! Aku belum ingin melukai kau, tapi jangan kau ganggu dan membuatku gusar!" cukup ia gerakkan sebelah tangan tahu-tahu badan Pipop-kongcu tertolak mundur seperti diterjang angin badai.

"Kau………kau hendak lari?" Seru Kui-je-ong.

Oh Thi-hoa tertawa terloroh-loroh, "Mau pergi kenapa? Siapa yang mampu merintangi aku?"

"Kau takkan lolos!" teriak Kui-je-ong. Ditengah gerungan kemurkaannya, tujuh delapan tombak gantolan tahu-tahu menusuk kedalam dari luar kemah.

Melirikpun tidak, tahu-tahu sebelah tangan Oh Thi-hoa menyambar dua ujung tombak gantolan diantaranya, tahu-tahu sudah terenggut olehnya, sedikit sendal dan tarik kedepan, dua orang tahu-tahu terseret maju tersungkur ke dalam kemah. Serempak beberapa busu yang lain menghardik murka, delapan tombak terbagi ke berbagai sasaran kembali menusuk datang lagi.

Gerakan Oh Thi-hoa laksana angin puyuh, maka terdengar jeritan kesakitan saling susul, delapan busu sama terjungkal roboh diiringi senjata masing-masing yang jatuh kerontangan tiada satupun yang utuh.

Kui-je-ong belum pernah saksikan kegagahan yang luar biasa seperti ini, seketika ia terkesima mematung di tempatnya.

Tampak dengan langkah lebar Oh Thi-hoa beranjak keluar sambil angkat dada, serunya bengis: "Siapa pula yang berani maju, biar kugencet batok kepalanya sampai hancur luluh."

Serombongan busu yang bersenjata lengkap di luar sana sama berdiri melongo, tiada seorangpun yang berani maju. Sekonyong-konyong sesosok bayangan orang berkelebat, tahu-tahu seseorang menghadang di depan Oh Thi-hoa.

Berubah muka Oh Thi-hoa, tiba-tiba ia terkial-kial: "Bagus! Kaupun turut mencegatku! Biarlah hari ini kita menentukan siapa yang lebih unggul di sini."

Coh Liu-hiang menarik napas dengan geleng kepala, ujarnya : "Masakah aku mau bergebrak dengan kau?"
"Kalau demikian, marilah kita pergi bersama."
"Kau tidak boleh pergi."
"Kenapa?"
"Kalau kau tinggal pergi begitu saja, penasaranmu takkan tercuci bersih."

"Memangnya kenapa kalau tidak bisa mencuci penasaranku? Yang terang dalam hatiku, aku tak pernah berbuat kejahatan seperti ini, persetan apa yang dikatakan orang lain, biar ku anggap kentut melulu."

"Persoalan lain tak menjadi soal, tapi peristiwa ini harus dibikin jelas!"
"Aku sudah tahu kau memang berat untuk meninggalkan tempat ini, baiklah! kau tidak mau, biar aku pergi sendiri, "belum habis kata-katanya kembali Coh Liu-hiang merintangi, "Kau berhak menghalangiku?"
"Kemana kau hendak pergi?"
"Ke tempat mana aku bisa pergi?"
"Gurun pasir jangan kau anggap Tionggoan, seorang diri kemanapun kau tidak bisa pergi."

"Kalau kau tidak mau ikut, walau aku mampus tak perlu kau kuatirkan diriku."

"Tahukah kau, si pembunuh memang sengaja menyudutkan kau sehingga kau pergi demikian saja, kalau kau pergi berarti terlaksana keinginan dan maksud-maksud jahat selanjutnya."

"Memangnya apa kehendakmu?"

"Kau harus tetap di sini, dalam tiga hari pasti aku bantu kau menemukan si pembunuh, jikalau sekarang kau berkeras mau tinggal pergi, meski harus adu jiwa aku akan berusaha merintangimu."

"Jikalau orang lain bicara begini rupa terhadapku, jangan heran kalau aku melabrakmu, tapi kau ..kau ulat busuk ini, menghadapimu sungguh aku kehilangan akal." Mendadak Oh Thi-hoa membanting kaki, serunya.  " Baik! Kuterima usulmu, tinggal di sini, kalau toh kau ingin batok kepalaku, terpaksa secara sukarela biar kugorok dan persembahkan kepadamu dengan kedua tanganku."

Dari kejauhan Kui-je-ong mendengar percakapan mereka, timbul pula nyalinya, bentaknya: "Mana orangku! Lekas ringkus dia!"

Para busu bertombak itu bangkit pula keberaniannya, beramai-ramai mereka menerjang maju pula.

Maka terdengarlah suara jeritan gemerantang dan gedebukan, puluhan batang tombak entah bagaimana, tahu-tahu sudah berada ditangan Coh Liu-hiang, enteng sekali kedua tangannya bekerja sekaligus terdengar pula suara peletak-peletok batang-batang pedang itu sama-sama kutung dan tercecer di tanah.

Berubah roman muka Kui-je-ong, serunya: "Kau……..kenapa kau?"

Kata Coh Liu-hiang : "Kalau dia bilang mau tinggal di sini, pasti takkan pergi, dalam tiga hari lagi aku pasti dapat meringkus pembunuhnya, tapi jangan sekali kali diantara kalian ada yang berani mengganggu seujung rambutnya."
"Dia….jikalau dia lari?"

"Kalau dia pergi, aku yang menebus jiwa putrimu."

"Kalau kau tidak berhasil membekuk si pembunuh dalam tiga hari?"

"Dalam tiga hari kalau dia tak berhasil meringkus pembunuhnya, biar akupun menebus jiwa putrimu," sela Oh Thi-hoa aseran.

Kedua orang ini sama menyerahkan jiwa sendiri sebagai pertanggungan kepada orang lain, sahabat macam ini memang jarang diketemukan dalam dunia ini.
Lama Kui-je-ong melongo, katanya kemudian : "Baik, aku percaya padamu."

Coh Liu-hiang tarik Oh Thi-hoa masuk ke dalam kemahnya sendiri.

Pipop-kongcu menghirup hawa, katanya menggumam : "Kedua orang ini jelas bisa tinggal pergi dengan mudah, namun mereka justru tak mau pergi, malah bersumpah segala, untuk apakah mereka sebenarnya? Apakah benar kakakku bukan mereka yang membunuhnya?"

Kui-je-ong berkata : "Bukan dia, siapa yang membunuh? Masakah benar-benar terjadi dalam dunia ini ada perempuan yang memalsu istri orang lain?

Oh Thi-hoa sedang menggumam : "Bicara terus terang aku sendiripun tidak berkukuh hendak pergi, sebelum peristiwa ini dibikin terang sungguh penasaran benar hatiku. Kalau yang mati itu benar putri Kui-je-ong, lalu siapakah perempuan yang kuhadapi semalam? Kenapa dia memalsu mempelai perempuan? Adakah manfaatnya bagi dia?"
"Masakah kau tidak mengerti?"
"Memang aku tak habis mengerti."

"Pertama kau harus percaya, nona yang mati itu memang putri Kui-je-ong, atau istrimu!"

"Kenapa aku harus percaya?" sentak Oh Thi-hoa.

Coh Liu-hiang tertawa getir, ujarnya : "Lantaran putrinya yang satu ini buruk rupa, maka Kui-je-ong selalu kelabui kau, kalau tidak mana Pipop-kongcu berani main trobosan kian kemari, kenapa dia selalu menyembunyikan diri?"

Oh Thi-hoa menarik napas, mulutnya terkancing.

"Kau harus tahu pula, bukan pagi hari ini dia dibunuh, barusan kuperiksa sedikitnya dia sudah mati empat lima jam sebelumnya."

"Empat lima jam? Jadi sebelum aku masuk ke kamar pengantin, dia sudah dibunuh?"
"Ya, begitulah kejadiannya."
"Tapi mayatnya………"

"Dikolong ranjang ada noda-noda darah, setelah membunuhnya, tentu mayatnya disembunyikan di bawah ranjang, lalu dia sendiri menyaru sebagai mempelai perempuan tidur di atas ranjang."

"Maksudmu……waktu semalam kami gaul di atas ranjang, ada mayat dikolong ranjang?"
"Tidak akan salah."

Bergidik dan merinding Oh Thi-hoa dibuatnya, "Dia…….dia tahu bahwa dikolong ranjang ada mayat, masih begitu asyik main dengan aku……..bergaul sama aku di atas……!" Serasa hampir saja muntah-muntah, sampai kata-katanyapun tenggelam dalam tenggorokan.

"Tadi waktu kau keluar mencariku, segera ia pindah mayat di bawah itu ke atas ranjang, tujuannya adalah untuk menjebak kau, supaya Kui-je-ong menuduh kaulah pembunuhnya."

"Kenapa dia berbuat demikian?"

"Karena jikalau kita berserikat dengan Kui-je-ong, terang tidak menguntungkan bagi gerakannya, perbuatannya ini ditujukan untuk mengadu domba hubungan kita dengan Kui-je-ong, diapun sudah perhitungkan apapun yang kau katakan pasti tak dipercaya oleh mereka, kalau murka kau tinggal pergi, mungkin dia hendak bikin kau mampus ditengah gurun pasir."

Oh Thi-hoa menyeka keringat dingin di atas jidatnya, katanya : "Masakah dia itu…….adalah……….adalah"

"Orang yang menyamar mempelai perempuan kemungkinan adalah Ciok-kwan-im sendiri." tutur Coh Liu-hiang.

Gemetar dingin sekujur badan Oh Thi-hoa.

"Konon khabarnya Ciok-kwan-im adalah perempuan cantik yang jarang terlihat di kalangan Kangouw, meski usianya rada lanjut, tapi tentulah dia pandai merawat badan, disamping dia pandai merias diri, apalagi ditengah malam kaupun sedang mabok."

Oh Thi-hoa tutup mukanya, teriaknya keras : "Oh Thian!" badannya roboh terlentang menggeletak di atas ranjang, tapi Ki Ping-yan yang tidur di atas ranjang masih meringkel nyenyak, seperti tidak merasa ada orang menindih ke atas badannya.

Sedikit berubah air muka Coh Liu-hiang, sekali raih ia tarik badan Oh Thi-hoa, mulutnya memonyong ke atas ranjang, begitu beradu pandangan, terasa dingin hati mereka.

Biasanya Ki Ping-yan cukup cerdik, cekatan dan waspada, seumpama dirumah sendiri diapun takkan tidur begini lelap, jikalau diapun mengalami sesuatu…

Oh Thi-hoa tiba-tiba mengerung, terus menubruk ke arah ranjang, sekali sentak ia tarik kemul beludru itu.

Orang yang meringkel didalam selimut ternyata bukan Ki Ping-yan, tapi seorang busu Kui-je, pakaian yang dia kenakan masih seragam untuk pesta pora semalam, sampaipun sepatunya tidak dicopot.

Oh Thi-hoa cengkeram rambut orang, terus dijinjingnya dari atas ranjang, bentaknya bengis: "Bagaimana kau bisa tidur di atas ranjang ini? Katakan! Lekas katakan!"

Busu itu seperti tidak bertulang badannya, lemas lunglai tergantung oleh jinjingan tangan Oh Thi-hoa yang kokoh kuat.

Coh Liu-hiang mengerut alis, katanya: "Orang ini tertotok jalan darahnya."

Belum habis kata-katanya Oh Thi-hoa sudah bergerak secepat angin membuka totokan Hiat-to orang, baru saja dia hendak ulang pertanyaan tadi. Tak nyana baru saja busu ini membuka mata, dia sudah menjerit terlebih dahulu, serunya: "Lho, aku kok berada di sini? Apakah yang telah terjadi?"

"Apa yang telah terjadi, memang aku hendak tanya kau," damprat Oh Thi-hoa.
Sekeras-kerasnya si Busu gelengkan kepalanya, kiranya mabuknya belum hilang, kepala masih pening, dengan kedua tangan ia ketuk kepala sendiri berulang kali, mendadak ia berseru keras : "Sudah kuingat, semalam aku minum terlalu banyak, aku keluar mau kencing, waktu aku membalikkan badan entah bagaimana tahu-tahu aku direnggut dan diseret ke dalam sini, selanjutnya apapun aku tidak tahu."

"Siapa yang menyeretmu kemari?" tanya Oh Thi-hoa.

"Cepat sekali gerakan orang itu, aku……..seumpama aku dalam keadaan sadar juga takkan bisa melihatnya."

"Biar kuhajar kau, nanti kau akan bisa melihatnya." Begitu membalik punggung, tangannya melayang hendak menggampar muka orang, untuk Coh Liu-hiang lekas menariknya, selanya : "Lepaskan dia pergi!"

Sudah tentu Oh Thi-hoa kurang senang, baru saja jarinya terlepas, Busu itu lantas berlari keluar dengan langkah sempoyongan. Oh Thi-hoa membanting kaki : "Keparat ini tentu komplotannya, entah kemana…………" dia hendak katakan poyokan Jago Mampus, tapi setiba di ujung mulut, terasa diwaktu seperti ini tidak enak dia bicara soal mampus, segera ia ganti haluan : "Lo-ki juga tentu terjatuh ke tangan mereka, keparat ini yang disuruh…….."

"Begitu Hiat-to orang ini terbuka, dia lantas siuman, ilmu totokan yang tidak melukai badan dan menghilangkan daya ingatan seperti ini memang ilmu tunggal Lo-ki, tak mungkin orang lain menirunya."

"Maksudmu keparat ini tertotok dan dibekuk kemari oleh Lo-ki?"

"Tentu begitulah kejadiannya."

"Kenapa Jago Mampus harus menggunakan permainan ini? Saat ini ditempat ini masih punya hati dia main guyon-guyon dengan kita, kemana pula dia pergi seorang diri?" Begitu bernapsu bicara, tanpa sadar ia gunakan juga poyokan Jago Mampus.

Coh Liu-hiang menghela napas, katanya tertawa getir: "Orang lain sering menyangka Lo-ki seorang yang tahan uji dan sabar, bahwasannya dia dingin dimuka panas didalam, seperti pula kau dan aku, semalam aku bilang supaya musuh tangguh itu serahkan kepadaku saja, mulutnya diam saja, hatinya tentu kurang senang, maka menurut rekaanku, ia sekarang pergi cari musuh tangguh itu untuk bertanding."

"Darimana ia bisa tahu dimana musuh tangguh itu berada?"

"Sutou Liu-che sudah menunjukkan arah dimana kemah mereka, masakah Lo-ki takkan bisa mencarinya?"

Oh Thi-hoa berpikir sebentar, mendadak ia lari menerjang keluar. Lekas Coh Liu-hiang menahannya, tanyanya : "Apa yang hendak kau lakukan?"

"Belum tentu Lo-ki menjadi tandingan orang itu, sudah tentu aku harus susul dia memberi bantuan."

"Kau sudah lupa akan sumpah janjimu kepada mereka?"

Saking gugup Oh Thi-hoa membanting kaki serunya: "Lalu bagaimana baiknya?"
Kau tinggal disini, biar aku pergi mencarinya!

"Kini kita bertiga harus berpencar, Ciok….Ciok-kwan-im itu bila…"
"Semalam jadi suami istri dikenang seratus hari, masakah dia tega melukai kau."

Merah muka Oh Thi-hoa, lehernya seperti melepuh besar, serunya menggerung : "Ulat busuk, sekali lagi kau mengolok dan mencemooh diriku, kulabrak kau."

Aku hanya ingin mengatakan bahwa Ciok-kwan-im sudah terlanjur berbuat demikian untuk mengadu domba hubungan kita dengan Kui-je-ong, terang untuk sementara dia tidak akan mau unjuk diri berhadapan langsung dengan kita, sudah tentu diapun tahu bahwa kita tidak boleh dibuat main-main.

"Hm!" Oh Thi-hoa mendengus geram.

Coh Liu-hiang menepuk pundaknya, katanya : "Duduklah dan minum dua cawan arak untuk menghilangkan kerisauan hatimu, aku tidak akan lama pergi."

Belum lama Coh Liu-hiang keluar, laki-laki raksasa itu melangkah masuk ke dalam kemah, kontan Oh Thi-hoa mendelik kepadanya, tanyanya aseran : "Untuk apa kau kemari?"

Dengan kedua lengannya yang berotot kekar, Ganial memeluk dada, diapun balas melotot tanpa buka suara.
"Jadi kau hendak mengawasiku?"
"Hm!" Ganial mengejek.

Oh Thi-hoa tiba-tiba tertawa besar, serunya : "tuan besarmu bilang tak pergi, ya tidak akan minggat, jikalau tuan besarmu mau pergi, memangnya kau kepala dogol ini bisa merintangi aku?" mulut bicara tiba-tiba kepalannya menjotos.

Ganial ulurkan tapak tangannya yang segede kipas, pundak kiri Oh Thi-hoa menjadi sasaran cengkeraman jarinya. Tak nyana pergelangan tangan Oh Thi-hoa berputar dengan enteng dan lincah, dengan nakal ia gelitikkan ketiak orang.
Laki-laki raksasa ini memang berbadan kekar laksana baja dan berotot kawat, ternyata paling takut digelitik, begitu jari-jari Oh Thi-hoa menyontek ketiaknya, seketika dia terbahak-bahak geli, saking geli sampai terpingkal-pingkal memeluk perut.

Sedikit memiringkan badan, badan Oh Thi-hoa menerjang dengan pundaknya, badan Ganial yang kokoh besar seberat dua ratus kati lebih itu, seketika keterjang terbang terguling-guling. Dengan menepuk-nepuk tapak tangan, mulut Oh Thi-hoa berkaok-kaok : "Bawa arak kemari, kalian hendak menahan tuan besarmu disini, kalian harus sediakan makan minum tuan besarmu." Rasa gemas dan kedongkolan hatinya dia lampiaskan kepada orang-orang rendahan ini.

Kalau lahirnya Coh Liu-hiang bersikap tenang dan kelakar, bahwasanya hatinya amat prihatin. Memang untuk kesekian kalinya dia membongkar muslihat Ciok-kwan-im, tapi dia tak kuasa memberikan bukti-bukti di hadapan Kui-je-ong, walau dia memperhitungkan bahwa Ciok-kwan-im berada di sekeliling tempat itu, namun sulit juga dia meraba dimana tempat persembunyian Ciok-kwan-im. Apalagi sekali gagal, pasti Ciok-kwan-im akan mengatur perangkap lain, musuh ditempat gelap, pihaknya ditempat terang, betapapun serangan gelap musuh susah dijaga.

Kini Siau-phoa sudah gugur, Ciok Tho tak keruan rimbanya, Oh Thi-hoa terfitnah dan susah mencuci bersih tuduhan, Ki Ping-yanpun sedang menghadapi mara bahaya, lima orang yang berangkat bersama kegurun pasir, kini sudah berantakan dan bercerai-berai, jejak Soh Yong-yong, Li Ang-siu dan Song Thiam-ji masih belum diketemukan.

Keadaan dan situasi yang begini tidak menguntungkan, betapa hati Coh Liu-hiang tidak akan gundah dan was-was.

Apalagi sekarang dia harus melindungi orang-orang ini, terpaksa harus melindungi Kui-je-ong ayah beranak, betapapun ia tidak akan membiarkan kedua ayah beranak ini mengalami kekejian tangan kejam musuh.
Tapi kenapa semalam Pipop-kongcu mencari dirinya? Apakah perbuatannya mengandung suatu muslihat? Bukankah hendak menahan dan mengelabui mata dan pendengarannya, sehingga tak sempat hiraukan urusan lain?

Coh Liu-hiang menghela napas dengan geleng-geleng. Ia berkeputusan takkan pikirkan persoalan ini lagi, lebih penting temukan dulu Ki Ping-yan.

Apa yang pernah dikatakan sikera hitam Sun Khong dan Sutou Liu-che kalau tak terlalu dibesar-besarkan, maka Ki Ping-yan sekarang sedang menghadapi situasi gawat dan genting, dinilai dari kecerdikan, ketabahan dan keberanian, serta banyak akal muslihat nya dalam menghadapi segala perubahan, tiada orang lain yang sebanding dengan Ki Ping-yan. Tapi kalau dinilai kepandaian silatnya yang sejati, belum tentu Ki Ping-yan bisa mengungguli Oh Thi-hoa.

Tapi gurun pasir seluas ini, selayang pandang ribuan li tanpa kelihatan jejak manusia, ditempat seluas seperti ini, asal sedikit selisih perjalanan saja bakal kesasar dan terpaut ribuan li jauhnya.

Untunglah sang surya baru saja terbit, sinar cahayanya yang terik dan kekuatannya belum unjuk gigi, belum begitu panas namun hawa dingin semalam mulai menguap dan menghilang, saat inilah waktu ternyaman di padang pasir didalam bilangan sehari.

Dengan mengembangkan Ginkang tinggi yang tiada bandingan di seluruh kolong langit, Coh Liu-hiang berlari-lari sekaligus beberapa puluh li sudah dicapainya, kakinya masih belum kelihatan kendor, pandangan matanya yang tajam laksana burung elang tidak menyia-nyiakan setiap benda yang dilihatnya, meski itu hanya sebatang pohon atau selembar daun.

Sekonyong-konyong didengarnya suara gemuruh yang ramai, bergulung-gulung ikut terhembus angin ke arahnya, baru saja hati Coh liu-hiang kaget, matanya sudah melihat jelas, itulah sebuah wajan besar dari besi. Tapi di gurun pasir yang tak kelihatan jejak manusia, darimana datangnya wajan gede ini?

Tampak wajan besar itu terguling-guling dihembus angin puyuh, cepat sekali menggelinding datang, sekali melesat Coh Liu-hiang setombak lebih, dengan ringan ujung kakinya menutul dan menjungkit, sebat sekali ia raih di tangannya, setelah diawasi sekian lamanya, tahu-tahu badannya melambung tinggi melesat ke arah datangnya angin dari mana wajan itu menggelundung datang.

Kali ini matanya dipasang lebih tajam, kira-kira setanakan nasi, di depan dilihatnya pula batu cadas yang sudah kering berubah bentuknya lantaran hembusan angin berpasir, beberapa pucuk pohon Sian-jin-ciang.

Memang Coh liu-hiang belum pernah kelana di padang rumput, tapi setelah mengalami penderitaan dan pahit getirnya kebesaran gurun pasir, tempat ini adalah daerah yang paling baik untuk bercokol dan membuat perkemahan.

Apakah para menteri yang berontak di negeri Kui-je dan pembunuh-pembunuh itu semalam berkemah ditempat ini? Selepas pandang matanya tak kelihatan adanya perkemahan. Sebentar Coh Liu-hiang menerawang, lalu ia berjongkok seperti anjing pemburu yang mengendus-endus jejak buruannya, mendadak ia kerahkan jari-jarinya sekeras baja dan mengeduk serta menggali pasir.

Meskipun bertangan kosong, tetapi dengan kekuatan Lwekangnya, kesepuluh jarinya laksana sepuluh batang garuk besi, beberapa kali galian saja dari tumpukan pasir berhasil dikeduknya kayu-kayu hangus bekas terbakar.

Terang disinilah letak perkemahan atau pos sementara dari para pemberontak negeri Kui-je, mungkin tahu bahwa jejak mereka sudah konangan, maka malam-malam itu juga mereka mengundurkan diri.

Begitu cermat dan hati-hati benar gerak-gerik orang-orang ini, setelah perkemahan dicopot dan mengundurkan diri tanpa meninggalkan jejak yang mencurigakan. Cepat sekali otak Coh Liu-hiang bekerja, ia duga diantara rombongan pemberontak itu pasti terdapat satu dua orang cerdik pandai yang banyak akal muslihatnya sebagai penasehat atau perancang segala langkah-langkah mereka.

Tapi apakah Ki Ping-yan sudah berhasil menemukan tempat ini ataukah sudah menemui orang-orang ini? Jikalau sampai bentrok, pihak lawan banyak, apakah dia sudah mengalami bencana oleh kekejian musuh?

Semakin gundah hati Coh Liu-hiang, dengan cermat matanya menjelajah keadaan sekelilingnya, tiba-tiba dilihatnya di atas permukaan batu cadas itu, bekas-bekas tapak kaki manusia yang ditinggalkan, melesak setengah dim ke dalam batu.
Di gurun pasir, tapak kaki yang ditinggalkan manusia sebentar saja sudah tidak membekas dihembus angin, sebaliknya kedua tapak kaki ini membekas dalam permukaan batu, kalau dikata batu cadas di padang pasir sudah terlalu kering dan keropos menjadi lunak, tapi kalau tidak mengerahkan Lwekang di ujung kaki, tidak mungkin kaki manusia bisa melesak masuk setengah dim, dari sini dapat disimpulkan bahwa tapak kaki ini memang sengaja ditinggalkan di sini.

Diam-diam Coh Liu-hiang menerawang, mungkin Ki Ping-yan sengaja meninggalkan bekas tapak kakinya? Dia sudah tiba di sini dan sembunyi di belakang batu ini mengintip gerak gerik musuh, sungguh di luar dugaannya pihak musuhpun ada seorang yang kosen, jejaknya konangan, maka tokoh kosen dari rombongan pembunuh itu lantas turun tangan melabraknya, baru sekarang dia menyadari kekerdilan tenaganya seorang diri, maka sengaja meninggalkan bekas tapak kakinya di ermukaan batu ini, supaya aku tahu kemana jejaknya.

Karena rekaannya ini, seenteng burung walet, badannya melambung naik ke atas batu cadas, maka segera didapatkannya pula dua bekas tapak kaki lainnya, kedua tapak kaki ini tak begitu dalam ujung kakinya, tertuju ke arah barat.

Coh Liu-hiang membatin pula : "Kedua tapak kaki ini tentu peninggalan Ki Ping-yan, sebelum berlalu dengan tergesa-gesa, saat itu ia bergebrakan antara mati dan hidup dengan tokoh kosen dari rombongan pembunuh itu. Tak urung hatinya jadi gugup dan tegang, maka bekas tapak kakinya tak begitu dalam, dilihat dari jurusan yang tertuju oleh tapak kakinya, jelas bahwa tujuan mereka adalah tepat ke barat. Karena kesimpulan ini, tanpa banyak sangsi Coh Liu-hiang segera kembangkan Ginkangnya pula, berlari menuju ke barat. Tapi baru lari puluhan tombak tiba-tiba ia hentikan langkahnya pula seraya membatin : "Tidak benar!"

Biasanya kalau Ki Ping-yan sudah mengumbar adatnya, dableknya melebihi Oh Thi-hoa. Jikalau dia sudah kukuh bertanding sampai ajal dengan pembunuh itu, pasti melarang orang lain mencampuri urusannya. Oleh karena itu dia ringkus busu itu untuk mengelabui pandangan orang lain, tujuannya ialah tak suka Coh Liu-hiang mencampuri urusannya dan kemana arah tujuannya, masa mungkin dia mau meninggalkan tapak kakinya, hingga Coh Liu-hiang lebih gampang menemukan jejaknya?

Coh Liu-hiang menghela napas, sebat sekali ia sudah melesat kembali ke atas batu cadas itu. Kedua kaki tepat berdiri di atas bekas tapak kaki itu, muka menghadap ke barat sementara otaknya sedang diperas untuk berpikir.

Ki Ping-yan tahu cepat atau lambat aku pasti dapat mencarinya sampai di sini, maka sengaja dia meninggalkan bekas tapak kaki ini, supaya aku tahu bahwa dia benar-benar sudah pernah berada di sini tapi ia tidak suka aku mencampuri urusannya, maka sengaja hendak mengaburkan pandangan dan menyesatkan kesimpulanku, lalu ke jurusan mana ia pergi bersama tokoh kosen dari rombongan pembunuh itu? Jurusan selatan jelas ia takkan kesana karena dari arah sana tadi Coh Liu-hiang datang, kalau toh barat juga tidak, jadi tinggal timur dan utara. disaat Coh Liu-hiang bimbang dan kusut pikirannya tiba-tiba terlintas pikirannya.

Sejak kecil Ki ping-yan paling benci sorot matahari yang menyilaukan mata, bila dirumah sering ia tidur sampai lewat lohor baru mau bangun, sebelum hari terang tanah ia takkan tidur.

Karena kebiasaan ini, sudah terang Ki Ping-yan tak akan menuju kearah timur menyongsong matahari yang baru terbit, jadi kesimpulan akhirnya bahwa ia menuju ke utara, meski hal ini tak bisa diputuskan dengan meyakinkan terpaksa harus dicoba dan mengadu untung.

Maka Coh Liu-hiang segera merubah arah berlari ke arah utara. Selama pengalaman beberapa hari ditengah gurun pasir ini, sedikit banyak Coh Liu-hiang sudah menyadari bahwa air merupakan mustika yang lebih berharga dari permata, maka tak luput iapun membawa kantong air yang terbuat dari kulit kambing.

Setelah menenggak beberapa tegukan air, sekaligus ia berlari-lari dua li, tampak tidak jauh di depan sana dilihatnya beberapa pucuk Sian-jin-ciang, tapi seluruhnya sudah gundul terbabat kutung.

Coh Liu-hiang hentikan larinya, dari atas pasir ia jemput setengah potong dahan Sian-jin-ciang, dengan cermat ia awasi bekas papasan dari bagian yang kutung. Jikalau ada orang lain melihat tingkah lakunya ini, tentu orang merasa heran, entah apa sih yang menarik perhatian dari potongan dahan pohon itu, memangnya kutungan dahan pohon itu bisa tumbuh kembang?

Sekian saat Coh Liu-hiang membolak balik dengan teliti, semakin lama alisnya berkerut semakin dalam, mulutnyapun menggumam seorang diri: "Tebasan pedang yang teramat cepat! Ilmu pedang yang bagus sekali."

Jadi dari bekas kutungan dahan pohon itu dia dapat menilai betapa tinggi tingkat kepandaian ilmu pedang orang yang menebas dahan Sian-jin-ciang ini. Senjata Ki Ping-yan bukanlah pedang, melihat pedang yang dipakai lawannya sedemikian tajam dan ganas, mau tak mau kuatir juga hati Coh Liu-hiang, demi keselamatan Ki Ping-yan kembali ia mondar mandir di sekelilingnya mencari-cari dan menemukan setengah potongan dahan Sian-jin-ciam.

Bekas kutungan Sian-jin-ciang yang ini terang tidak selicin dan serata yang diambilnya semula, terang seperti dipukul kutung dengan semacam senjata berat yang tumpul, justru senjata Ki Ping-yan adalah Boan-koan-pit, Potlot Baja.

Coh Liu-hiang mengamatinya lagi sekian lama, kedua alisnya yang berkerut lambat-lambat mengembang, gumamnya: "Berkutet melawan musuh tangguh ini setengah harian, tenaganya sedikitpun tidak kelihatan menjadi lemah, tak nyana selama beberapa tahun belakangan ini ilmu silatnya ternyata maju begini pesat."
Semula ia menyangka karena kehidupan yang foya-foya dan berlebihan itu, tenggelam dalam pelukan perempuan ayu dan kebanyakan air kata-kata, tentu Lwekang dan kepandaian silatnya sudah terlantar, begitupun tenaganya tentu jauh berkurang, baru sekarang setelah dia memeriksa bekas kutungan dahan itu baru lega hatinya.

Tapi kedua orang itu sedang berkelahi dengan sengitnya, tanpa sebab masakah memukul dan menebas kutung dahan-dahan Sian-jin-ciang ini, apa sih maksudnya? Kesimpulannya adalah lantaran didalam pohon Sian-jin-ciang ini mengandung air, setelah bertanding setengah hari, sedikit banyak mereka sudah menguras tenaga sehingga tenggorokan kering dan bibir gatal, jadi mereka berhenti sebentar untuk mengisap air secukupnya, mereka lalu melanjutkan pertempuran.

Dari kesimpulan dan kenyataan yang dilihatnya, terang jurusan yang ditempuh Coh Liu-hiang tidak salah. Lekas diapun meneguk setegak air, setelah menentramkan hati dan mengatur pernapasan, bukan lantaran dia terlalu letih dalam perjalanan adalah dia memperhitungkan dengan tepat bila dia berhasil menemukan jejak mereka, kemungkinan dia sendiripun harus mengalami suatu pertempuran sengit, maka dia perlu menghimpun semangat dan mengumpulkan tenaga, siap sedia.

Setelah beranjak beberapa kejap lagi tampak di depan menghalang segundukan pasir tinggi, kira-kira puluhan tombak! Perubahan alam di gurun pasir memang aneh dan cepat sekali, semalam mungkin tempat ini masih merupakan tanah datar, pagi ini sudah berubah menjadi gundukan bukit pasir yang menjulang ke atas.

Sudah tentu gundukan pasir ini tidak kokoh, meski kebanyakan orang juga bisa memanjat naik ke atas, asal sedikit lengah, bila pasir gugur mungkin manusia bisa terkubur hidup-hidup di bawah pasir yang ribuan kati beratnya.

Coh Liu-hiang menghirup napas panjang, sekali tutul badannya melambung tinggi seenteng kapas seperti daun melayang terhembus angin, dengan ringan ia tancapkan kaki di puncak bukit pasir. Selepas mata memandang tampak beberapa li sekitarnya cuma gundukan-gundukan pasir melulu yang tersebar dimana-mana, malah terdapat batu-batu cadas dan rumpun semak-semak pohon berduri.

Memang tumbuhan ada pula yang bisa tumbuh di padang pasir, memang sementara tumbuhan ada yang tidak memerlukan air untuk pertumbuhan, namun bisa tetap subur, cuma selamanya tidak bisa tumbuh tinggi.

Sekonyong-konyong terdengar suara Trang! selarik sinar pedang laksana lembayung berkelebat ditengah angkasa, berkelebat di belakang gundukan-gundukan pasir dikejauhan sana, cepat sekali tahu-tahu sudah menghilang, betapa cepat dan hebat sambaran kilat pedang itu, sungguh luar biasa.

Bagai burung camar, cepat Coh Liu-hiang meluncur ke bawah, laksana burung walet badannya melesat ke depan. Dia tak berani bersuara atau memanggil, soalnya pertempuran tokoh-tokoh silat kelas tinggi paling pantang perhatiannya terpecah, kalau Ki Ping-yan mendengar suaranya, sedikit banyak konsentrasinya tentu terganggu, kemungkinan bisa mengalami bencana.

Tapi waktu Coh Liu-hiang melesat tiba di gundukan pasir tadi, bayangan manusiapun tidak terlihat olehnya, semak-semak berduri di pinggir batu cadas memang terbabat runtuh oleh tebasan pedang tajam.

Dari kenyataan yang dihadapinya ini Coh Liu-hiang beranggapan dan semakin tebal keyakinannya bahwa ilmu pedang orang itu teramat ganas dan telengas, sungguh mengejutkan. Jadi apa yang diuraikan oleh si kera hitam Sun Khong dan Sutou Liu-che mengenai kehebatan orang memang bukan bualan belaka.

"Sreng" sekonyong-konyong terdengar pula suara benturan senjata keras yang nyaring. Bagai terbang Coh Liu-hiang memburu ke arah datangnya suara, lagi-lagi ia menubruk tempat kosong. Tapi batu cadas di sini banyak yang runtuh menjadi bubuk lembut bertaburan kemana-mana.

Terang reruntuhan batu cadas ini lantaran disapu hancur oleh potlot baja Ki Ping-yan, karena pukulan keras seperti ini tak mungkin dilakukan dengan pedang. Dari sini dapatlah dibayangkan bahwa kekuatan Ki Ping-yan masih cukup hebat, masih kuat bertahan untuk adu jiwa.

Coh Liu-hiang menghirup napas panjang, sampai detik ini, meski dia belum menyaksikan secara langsung pertempuran kedua orang yang sedang berhantam sengit ini, tapi betapa dahsyat dan hebat pertandingan adu kekuatan kedua orang ini, dapatlah dibayangkan. Dari tempat beberapa li kedua orang bertempur terus sambil jalan dan bergeser kedudukan sampai sini, dari pagi sampai sore menjelang malam, dari malam sampai pagi adu kekuatan seperti ini sungguh jarang terjadi.

Walau kelihatannya kedua orang sampai sekarang masih setanding alias seri, Coh Liu-hiang pun tak perlu gelisah lagi karena gelisahpun tak berguna, didalam situasi seperti ini untuk segera menemukan mereka sungguh betapa sulitnya. Apalagi jikalau Ki Ping-yan tahu dirinya sudah datang kuatir dirinya turut campur, mungkin orang sengaja hendak main petak umpet dan membuat dirinya kecele.

Oleh karena itu terpaksa Coh Liu-hiang menahan sabar dan menekan gejolak perasaannya dengan cermat ia pasang kuping, sesaat kemudian betul juga, terdengar pula suara benturan senjata keras yang nyaring, kali ini kumandang dari arah kiri sana.

Tapi kali ini Coh Liu-hiang tidak langsung menubruk ke tempat itu, namun dari arah kiri dia berputar setengah lingkaran, pikirnya hendak berputar mendahului mereka kesebelah depan memapak dan menghalangi mereka.

Lagi-lagi dia tetap menubruk tempat kosong, kedua orang itu kiranya bertempur ke arah lain yang berlawanan. Coh Liu-hiang hanya geleng-geleng kepala dengan tertawa getir, tapi sekonyong-konyong rona mukanya berubah hebat.

Di atas pasir kuning yang merata didepan sana tampak beberapa tetes noda darah yang masih segar. Kalau Oh Thi-hoa yang melihat noda darah ini, mungkin dia tidak akan gugup karena dia sangka noda darah ini menetes keluar dari luka-luka badan musuh. Tapi Coh Liu-hiang cukup tahu bila mana potlot baja Ki Ping-yan sampai berhasil menutuk lawannya, pasti musuh sudah menggeletak dan tak berkutik, bukan saja takkan mengeluarkan darah, pertempuranpun takkan dilanjutkan pula.

Semakin gelisah hatinya, dia semakin tak bersuara, kini Ki Ping-yan sudah terluka bukan mustahil luka-lukanya tidak ringan, jikalau konsentrasinya sampai pecah bukankah badannya bakal menjadi sasaran empuk lawannya dan terbanglah jiwanya. Maklumlah meski sepak terjang Coh Liu-hiang amat gagah perwira dan tidak kenal kesopanan tapi demi keselamatan sahabat baiknya, tindakan dan gerak geriknya ternyata jauh lebih cermat dan hati-hati dari kaum hawa.

Tak jauh dari noda-noda darah itu terdapat juga sebongkah batu cadas, sekali enjot badan Coh Liu-hiang lompat ke atasnya, dari sini ia hendak menunggu suara benturan senjata keras dan berkelebatnya sinar pedang yang mungkin terlihat diantara semak-semak pohon dan sela batu.

Tak nyana pada saat itu juga dari balik gundukan pasir di depan sana tiba-tiba muncul dua orang, senjata ditangan kedua orang ini dimainkan kencang, seumpama hujan badaipun takkan tembus membasahi badan mereka, sekencang itu mereka mainkan senjatanya, tapi tak terdengar suara benturan senjata, mungkin setelah berhantam setengah hari ini, masing-masing sudah apal dan tahu jelas seluk beluk permainan silat lawannya, sebelum suatu jurus serangan dilancarkan ditengah jalan sudah berubah pula dengan tipu serangan yang lain.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar