BAGIAN 01: ANG-TOA
DI JALAN RAYA yang
menghubungkan jalan „Cing-an dengan jalan ke-Bu-tong, tampak, ber lari2
seorang-anak lelaki kecil berusia delapan tahun, sambil ber-lari2 begitu,
mulutnya tidak hentinya mengoceh seperti bernyanyi.
„Plak, plak, plak,
Kudaku lari keras
sekali,
Gagah dengan
pedang,
Berani menghadapi
maut,
Siapa yang
menghadang,
Ditabraknya dengan
segera.
Plak, plak, plak,
Kudaku warna
bulunya merah,
Larinya keras jika
tengah marah,
Meraung keras
dengan gagah.
Siapa berani
menentangnya ?"
Terus juga anak lelaki itu
berlari-lari dengan mulut mengoceh tidak hentinya seperti itu, dia berlari
dengan membawa sikap seperti tengah menunggangi seekor kuda, tubuhnya
digentak-gentakkan. Tetapi waktu dia melihat seorang anak lelaki sebaya. dengannya
sedang bermain kelereng, dan seorang anak lelaki,lainnya berusia diantara
sepuluh tahun tengah berjongkok untuk menyentil kelerengnya, anak lelaki ini
telah meng hampirinya. Tahu-tahu tangan kanannya digerakkan, waktu telah berada
dekat dengan kedua oraag-anak itu, dia telah menjitak kepala, anak yang berusia
diantara sepuluh tahun, cukup keras jitakannya itu, sampai memperdengarkan
suara 'takk..... !.', sedangkan anak yang seorangnya lagi waktu melihat
munculnya anak-lelaki yang nakal itu, telah ketakutan dan memutar tubuh
bermaksud melarikan diri, tetapi anak lelaki itu telah mengejarnya dan
mengayunkan tangaanya, 'Tak.....!' kepala anak itu juga telah dijitaknya lagi.
„Serahkan semua kelereng
kalian !" kata anak lelaki yang nakal ini.
Kedua anak itu tampaknya takut
terhadap anak yang nakal itu, mereka telah memberikan sebagian dari kelereng
mereka.
„Jangan diambil semua, Ang-toa
(situa Ang)!" kata anak yang berusia sepuluh tahun itu dengan muka
meringis menahan takut.
Ang-toa, anak lelaki yang nakal
itu, telah mendelikkan matanya, tangan kanannya dengan ringan telah bergerak
lagi menjitak kepala anak berusia sepuluh-tahun itu.
„Kepalamu mau bengkak kujitaki
terus?" bentak Ang-toa sambil mengulurkan tangannya seperti meminta dengan
paksa kelereng kedua anak itu.
Kedua anak tersebut yang
memang rupanya jeri berurusan dengan Ang-toa, telah menyerahkan lagi sebagian
kelereng mereka, sehingga sebutirpun mereka tidak memilikinya lagi.
Setelah menerima semua
kelereng itu, tampak Ang-toa telah ber-lari2 lagi, tangan kanan dan tangan
kirinya menepuk-nepuk sakunya, sehingga terdengar „crengggg.....,
crengggg......!" suara terbenturnya tangan dengan kelereng yang berada
didalam sakunya, dan sambil berlari-lari begitu, dia juga telah
bernyanyi-nyanyi tiada hentinya dengan lagunya yang cukup jenaka itu :
„Plak, plak, plak, Kudaku lari
keras sekali, Gagah dengan pedang, Berani menghadapi maut, Siapa yang
menghadang, Ditabraknya dengan segera.
Plak, plak, plak, Kudaku warna
bulunya merah, Larinya keras jika tengah marah, Meraung keras dengan gagah.
Siapa berani menentangnya ?.........."
Sikap Ang-toa tampak jenaka,
walaupun usianya masih kecil, namun justru yang mengherankan dia dipanggil
namanya Ang-toa, situa she Ang.
Diantara sifat-sifatnya yang
jenaka, tampak keberandalannya yang agak lumayan, sehiagga anak lelaki berusia
lebih besar dari dia saja takut berurusan dengan Ang-toa, yang namanya telah
tua tetapi orangnya masih kecil seperti itu.
Setelah berlari-lari beberapa
tikungan, dia melihat dipinggir emperan sebuah rumah ada tiga orang anak yang
tengah bermain kelereng.
Ang-toa mempercepat larinya,
dia telah menghampiri rombongan anak-anak itu.
„Aku ikut main......!"
teriaknya sambil memukul-mukul sakunya sehingga kelereng rampasanya
memperdengarkan suara berkelintingan.
Ketiga anak lelaki itu telah
menoleh waktu mendengar teriakan Ang-toa, dan seketika mereka mereka jadi
pucat.
„Oh, aku tadi disuruh ibu
pergi kepasar... maaf, aku harus pergi dulu...!" kata anak yang berusia
diantara sebelas tahun sambil mengambil kelerengnya, dan memutar tubuhnya untuk
berlalu.
„Hei...., jangan pergi dulu
!" bentak Ang-toa mendongkol karena justru anak itu ingin berlari atas
kedatangannya ditempat itu.
Anak itu mukanya tambah pucat.
„Aku...benar-benar sedang
disuruh ibuku untuk pergi kepasar membeli beras", menjelaskan anak itu
dengan suara yang tergagap.
„Aku tidak mau tahu! Yang
jelas aku datang engkau lalu mau pargi...,! Bukankah itu suatu kesalahan yang
tidak kecil? Kau telah menghina aku...!" dan Ang-toa telah menghampiri
anak itu.
Melihat Ang-toa mendekatinya,
anak lelaki berusia, sebelas tahun itu jadi gugup dan mukanya tambah pucat, dia
telah mementang kedua kakinya untuk berlari.
Tetapi, A-ng-toa bergerak
cepat dia melompat sambil mengayunkan tangannya, „pletak.....!" kepala
anak itu kena dijitaknya keras sekali. Anak itu mengaduh, tetapi kakinya tidak
berhenti, dia telah lari tergesa-gesa.
Sedangkan Ang-toa telah
tertawa keras, kemudian menoleh kepada kedua anak lainnya yang saat itu
berjongkok dengan muka yang pucat.
„Dan kalian berdua apakah
tidak mau bermain kelereng denganku...?" tanya Ang-toa sambil mendeliki
matanya, sehingga sikapnya jenaka sekali.
Kedua anak itu menggelengkan
kepalanya: „Mana berani kami, tidak menuruti keinginanmu Ang-toa? kata salah
seorang diantara mereka dengan suara tergagap karena diliputi perasaan takut.
„Bagus! 'Mari kita
main......!" dan Ang-toa telah mengeluarkan tiga buah kelerengnya, dua
buah dilemparkannya ketanah, sambil katanya : „Pasang...!"
Kedua anak itu hanya menuruti
saja, mereka masing-masing juga telah memasang dua kelereng mereka, dan
kemudian berdiri berjajar dengan Ang-toa dalam jarak tertentu.
„Ang-toa telah melemparkan
kelerengnya, begitupun kemudian kedua anak itu.
„Aku jalan dulu !" kata
Ang-toa kegirangan melihat kelerengnya berada paling jauh.
„Ya..., ya..., engkau jalan
dulu...!" kata salah seorang diantara kedua anak lelaki itu.
Mereka tampaknya bermain
kelereng dengan semangat yang tidak ada, karena mereka hanya mengiyakan apa
yang dikatakan Ang-toa.
Saat itu Ang-toa telah
ber-jongkok, dia menyentil kelerengnya, dan kelerengnya itu meluncur
menyerempet pasangan kelereng mereka, tetapi tidak ada sebutirpun kelereng
pasangan itu yang terlontar keluar dari lingkaran batas-batas yang telah
digambar ditanah.
Walaupun Ang-toa tidak
berhasil melnyentil mengenai pasangan, namun dia telah melompat-lompat
kegirangan sambil serunya : „Aku kena!
Keenam kelereng itu telah
menjadi milikku !".
Muka kedua anak itn tidak
memperlihatkan sikap atau perasaan lain, karena mereka telah berdiri pucat
ketakutan, sebab mereka mengetahui siapa Ang-toa, sinakal jenaka ini.
„Ya...... kau ambillah,
Ang-toa !" kata mereka hampir berbareng.
Ang-toa mengambil keenam
kelereng pasangan itu dan dia telah berkata kepada kedua anak, itu : „Ayo
pasang lagi...!".
„Ang-toa...!" kata salah
seorang diantara kedua anak tersebut.
„Kenapa ? Kalian juga tidak
mau bermain kelereng denganku ?" tanya Ang-toa sambil mendeliki matanya.
„Bukan begitu, mendadak sekali
perutku sakit ! Engkau ambillah sebelas kelerengku ini, tetapi maafkan aku
harus pulang untuk buang air dult ...!" dan anak lelaki itu yang berusia
diantara dua belas tahun itu telah menyodorkan kelerengnya, yang semuanya
diberikan kepada Ang-toa. Rupanya dia memang sudah tidak mau bermain dengan
Ang-toa dan lebih rela menyerahkan sisa kelereng yang ada padanya. Ang-toa
menerima kelereng-kelereng itu dan memasukkan kedalam sakunya. „Dan engkau...?"
tanyanya kepada anak yang seorangnya.
„Aku tadi disuruh ibu untuk
membeli ikan" menyahuti anak itu. „Aku baru ingat sekarang, maka aku
bermaksud untuk pergi membeli ikan dulu...!".
„Ah, engkau benar-benar jahat
tidak mau menemani aku main kelereng !" kata Ang-toa dan tangannya
bergerak menjitak anak itu.
Anak tersebut yang keningnya
kena dijitak keras oleh Ang-toa tidak mengaduh, dia hanya menyodorkan sisa
kelerengnya yang masih berjumlah delapan buah. „Kau ambillah Ang-toa, aku
memang tidak sepandai engkau bermain kelereng, anggap saja aku telah
kalah...!".
Ang-toa sambil tersenyum
mengejek telah menerima kedelapan kelereng anak itu, dia telah memasukkan
kedalam sakunya. Sedangkan anak itu telah membalikkan tubuhnya untuk berlalu.
Anak yang seorangnya lagi juga telah cepat-cepat meninggalkan Ang-toa.
Ang-toa masih berdiri
ditempatnya, dia jadi tidak tahu apa yang ingin dilakukannya, hanya tangan
kanan dan kiri telah digerak-gerakkan per-lahan2 memukul sakunya sehingga
kelereng yang berada didalam sakunya itu telah bergemerincing memperdengarkan
suaranya.
„Heran....! Mereka semuanya
tidak mau bermain kelereng denganku...! Mengapa begitu? Memang mereka
manusia-manusia jahat, selalu mengasingkan diriku.......!" menggumam
Ang-toa. Dia tidak menyadari, justru dirinya sendiri yang setiap kali bermain
kelereng, tentu akan bermain curang, menang atau tidak, dia harus menang,
sehingga anak-anak yang sebaya dengannya tidak berani bermain kelereng
dengannya, sebab jika mereka menentang Ang-toa, berarti mereka akan di-jitak
dan dipukul oleh Ang-toa, sinakal yang jenaka ini.
Setelah berdiam diri sejenak
lamanya ditempat itu, Ang-toa telah menyusuri jalan itu, dia sampai dipinggiran
kota, berdiri menyender dibatang pohon, dan tangan kanannya satu persatu
melemparkan kelerengnya. Akhirnya, kelereng rampasan yang berada disakunya
telah habis menggeletak ditanah.
Tetapi Ang-toa tidak berusaha
untuk memungut atau mengambil kelereng itu lagi, dia telah ngeloyor pergi
meninggalkan tempat tersebut.
Selagi Ang-toa berjalan dengan
kepala tertunduk dan kaki menendang-nendang setiap batu kerikil yang
dilaluinya, tiba-tiba dia mendengar suara sorak dan pekik riang dari beberapa
orang anak-anak.
Waktu Ang-toa melihat
serombongan anak lelaki yang tengah berkerumun bermain kelereng, Ang-toa jadi
girang kembali. Cepat-cepat dia berlari menghampiri rombongan anak-anak itu
yang mungkin berjumlah delapan orang anak:
„Aku ikut main......!"
teriak Ang-toa.
„Kau, Ang-toa ?" tanya
seorang anak lelaki yang mungkin berusia tiga belas tahun dan memiliki bentuk
tubuh yang sehat. „Mana kelerengmu ?".
„Kalian pinjami dulu, nanti
setelah aku menang, aku akan mengembalikannya...!" menyahuti Ang-toa.
„Cisss, enak saja, engkau mau
meminjam.! Jika kalah ennkau akan menggantinya dengan apa ?
„Aku tidak mungkin
kalah...nanti setelah menang aku menggaatinya dengan menghadiahi dua kelereng
!" kata Ang-toa berusaha untuk membu juk.
Tetapi anak lelaki yang
bertubuh Iebih besar dari Ang-toa itu, telah menggelengkan kepalanya.
„Kalau tidak memiliki
kelereng, jangan ikut main !" katanya.
„Hei, kok begitu? Mengapa
engkau tampaknya tidak senang kalau aku ikut main ?" tanya Ang-toa dengan
suara menegur.
„Siapa yang tidak sudi main
deagan engkau? Aku mau saja main kelereng denganmu, tetapi engkau harus
memiliki kelereng sendiri, jangan seenakmu saja ingin meminjam dulu kelereng
kami...!".
„Bu-ko (engko Bu), engkau
jangan begitu... aku berjanji akan mengembalikan kelereng yang kupinjam-
itu" membujuk Ang-toa.
„Tidak !".
.„Dan kau ?" tanya
Ang-toa kepada anak lainnya dengan; mata yang dipentang.
„Aku...aku sih mau saja
memberikan pinjaman kelereng kepadamu, tetapi engkau tanyakan dulu kepada
Bu-ko, apakah dia menyetujui atau tidak !".
„Mengapa harus begitu?
Bukankah kelereng itu milikmu, mengapa aku harut menanyakan pendapat anak she
Bu itu ?" suara Ang-toa jang galak.
Bu-ko, anak yang lebih besar
beberapa tahun dari Ang-toa, telah berkata tidak sabar : „Ang-toa, lebih baik
engkau pergi meninggalkan kami, jangan mengganggu permainan kami saja.......
Mendengar perkataan anak itu
yang terakhir, Ang-toa rupanya habis sabar, dia telah bilang sambil bertolak
pinggang : „Engkau jadi ingin menggertak aku.....? Baik......!
Baik! Aku justru ingin
menjitak kepalamu, entah engkau bisa melawan aku atau tidak...!" Dan benar-benar
Ang-toa telah melangkah menghampiri si Bu-ko, dia mengayunkan tangannya untuk
menjitak kening orang.
Tetapi Bu-ko mana mau
membiarkan dirinya dijitak Ang-toa, dengan mendongkol dia telah melompat
kesamping mengelakkan jitakan
„Ang-toa, engkau jangan kurang
ajar!" bentak anak itu dengan sengit. „Kalan memang engkau terlalu
mendesak diriku, jangan persalahkan aku yang akan mengambil tindakan keras
kepadamu !".
„Eh, engkau berani berurusan
denganku,?" tanya Ang-toa dengan suara aseran.
„Mengapa harus takut ? Jika
memang engkau keterlaluan, tentu siapapun juga berani berurusan denganmu
!" menyahuti Bu-ko dengan suara tidak kalah gertak.
''Tetapi Ang-toa rupanya
mendongkol bercampur marah, dia telah mendekati Bu-ko.
„Dia harus kutundukkan, jika
tidak tentu anak-anak lain berani kurangajar padaku ...!" pikir Ang-toa
didalam hatinya.
Karena berpikirr begitu, dia
telah menggerakkan tangannya untuk menjitak: kepala Bu-ko.
Tetapi karena memang lebih
besar beberapa tahun dari Ang-toa, disamping dia juga memiliki badan yang cukup
besar, Bu-ko tidak takut terhadap jitakan yang dilakukan Ang-toa, bahkan
setelah berkelit menghindarkan diri, tahu-tahu kepalan tangannya telah melayang
hinggap dihidung Ang-toa, sampai Ang-toa terjungkel diatas tanah.
Matanya berkunang-kunang,
tetapi cepat sekali Ang-toa telah melompat bangun, dan dia menyerudukkan
kepalanya keperut Bu-ko.
„Bukk......!" si Bu-ko
itu telah diseruduk keras sekali perutnya oleh kepala Ang-toa, dia sampai
menjerit kesakitan dan telah terjengkang rubuh.
Tetapi Ang-toa benar-benar
nakal sekali, dia telah merangkul Bu-ko, dan menggigit telinga lawannya itu.
Keruan saja anak itu jadi
menjerit-jerit kesakitan dan berusaha meronta, tetapi Ang-toa tetap menggigit
telinga lawannya dengan kuat sekali.
„Ampun tidak ? Berani kurang
ajar lagi kepadaku atau tidak ?" tanya Ang-toa melepaskan gigitannya
sebentar, dan kemudian menggigit lagi telinga Bu-ko.
Saking kesakitan Bu-ko sampai
menangis dia telah berteriak-teriak meminta ampun.
Setelah puas cukup lama meriggigit
telinga lawannya, Ang-toa telah melompat bangun, dia mengawasi Bu-ko yang
tengah menangis sambil memegangi telinganya yang merah bekas digigit Ang-toa.
„Kalau suatu saat nanti engkau
berani banyak lagak lagi dihadapanku, akan kugigit putus telingamu itu !"
ancam Ang-toa dengan sikap yang bangga, karena dia telah berhasil mengalahkan
lawan yang lebih besar dari.dia, dan membuat lawannya menangis.
„Akan kuberitahukan
ayahku...!" kata Bu-ko sambij menangis dan berdiri untuk berlalu.
„Ala, engkau memang besar
mulut saja !" kata Ang-toa sambil menjitak kening Bu-ko.
Bu-ko -tidak berani melawannya
lagi, dia telah berlari-lari meninggalkan tempat itu.
Anak-anak lainnya yang
menyaksikan 'jago' mereka kena dirubuhkan Ang-toa, telah berdiri dengan muka
yang pucat pasi ketakutan.
„Sekarang kalian berani
bertingkah lagi atau, tidak dihadapanku bentak Ang-toa kepada anak-anak itu.
„Tidak.....! Tidak....! Tadi
memang Bu-ko keterlaluan sekali, dia telah menganjurkan kami agar tidak mau
menemani engkau bermain kelereng......."
„Hemm...., orang seperti dia
memang harus dihajar......agar kelak tidak besar mulut saja......! Punya badan
yang tinggi besar, tetapi nyalinya sebesar nyali tikus !"
Anak-anak yang tengah
ketakutan itu memaksakan diri untuk tertawa, padahal hati mereka juga tengah
berdenyut-denyut ngeri, karena takut dijitak oleh Ang-toa.
„Ayo, siapa yang mau
meminjamkan kelerengnya kepadaku ?" tanya Ang-toa kemudian dengan suara
yang nyaring.
„Aku...!". .
„Aku mau meminjamikan !"
kata anak yang lain.
„Ini Ang-toa, kelerengku saja
engkau mainkan...! Aku memang bermaksud pulang makan dulu...!" kata anak
yang lainnya sambil mengangsurkan semua kelereng miliknya kepada Ang-toa.
Ang-toa menggelengkan
kepalanya. dengan mata mendelik besar.
„Kalian beaar-benar kurang
ajar sekali !" kata Ang-toa sambil mendeliki matanya.
„Mengapa setiap kali aku mau
bermain kelereng, kalian selalu saja ada alasan ini dan itu saja...! Aku tahu,
kalian semuanya berdusta, kalian hanya takut bermain kelereng denganku dan mempergunakan
berbagai cara untuk dapat menyingkirkan diri...!"
„Mana berani kami memiliki
pikiran seperti itu ?" kata salah seorang anak itu cepat.
„Kami sejak dulu dan sampai
sekarang, selalu akan mematuhi setiap perkataanmu Ang-toa ! Bukankah kini engkau
telah menjadi pemimpin kami semua dengan keberanian dan kepandaian yang engkau
miliki itu ?"
Bangga Ang-toa mendengar
pujian seperti itu, dia telah mengambil kelereng dari anak yang katanya ingin
pulang dulu untuk makan. Mulailah Ang-toa bermain dengan beberapa orang
anak-anak itu: Tetapi seorangpun diantara anak-anak itu tidak baleh mengenai
sasaran kelerengnya pada pasangan, jika menang sentilannya mengena juga, maka
dengan sengit Ang-toa mengayunkan tangannya menjitak kepala anak yang menang
itu.
Tetapi jika Ang-toa sendiri,
kena atau tidak, dia selalu berteriak dia menang, dan diambilnya semua pasangan
itu. Namun lawan-lawan bermainnya itu tidak seorangpun yang berani
membantahnya. Disaat itu saku Ang-toa telah penuh dengan kelereng.
Sedangkan anak-anak itu
bermain tanpa bersemangat, karena mereka tahu jika menang akan dijitak, lebih
baik mereka pura-pura kalah dan setiap kali menyentil kelerengnya selalu mereka
memiringkan arahnya tidak kepada pasangannya...!
Akhirnya semua kelereng dari
anak-anak itu, yang seluruhnya hampir berjumlah seratus butir, telah berpindah
kesaku Ang-toa.
Seorang demi seorang, yang
telah habis kelerengnya, menyatakan ingin pulang guna mengambil kelereng lagi,
tetapi sesungguhnya mereka semuanya ingin cepat-cepat dapat melepaskan diri
dari Ang-toa, yang galak dan main jitak itu.
Setelah semua anak itu
berlalu, Ang-toa jadi berdiri bengong seorang diri.
Kelereng disakunya banyak dan
berat, dia mengetuk-ngetuk sakunya beberapa kali, kemudian menggumam seorang
diri : „Aku mau kemana lagi ?"
Dia mencari-cari memandang
sekitarnya, dia ingin mencari anak-anak lainnya. Tetapi disekitar tempat itu
tidak terlihat anak-anak lagi.
---oo0oo---
Mereka semuanya-seperti
memusuhkan diriku ? Mengapa ? Mengapa begitu ?" tanya Ang-toa dengan
perlahan, seperti juga dia-heran. Tetapi sesungguhnya, sebab utama anak-anak
itu tidak mau bermain terlalu lama dengan Ang-toa, akibat sifat si Ang toa itu
yang Main jitak dan main pukul jika tidak senang hatinya.
Waktu itulah Ang-toa merasakan
perutnya keruyukan, dia telah lapar. Maka berlari -larilah Ang-toa - kedalam
kota, sambil berlari dia mengoceh membawakan lagunya yang jenaka itu, "si
kuda lari". Sedangkan tangan kanannya juga melemparkan sebutir demi
sebutir kelereng yang dimenangkannya kejalanan, sampai akhirnya sakunya telah
kosong kembali. Dia berhenti dimuka sebuah rumah makan, yang memasang merek
"Kwan Lui Tang", dimana tamu yang mengunjungi rumah makan ini ramai
sekali. Dimuka pin-tu tampak berdiri seorang pelayan yang khusus untuk menerima
tamu-taw.u yang baru datang.
Ang-toa telah menghampiri
pelayan itu..
„Engko yang baik, perutku
lapar sekali.......!" kata Ang-toa sambil tepuk-tepuk perutnya.
„Lapar ?" tanya pelayan
itu sambil menoleh. „Pergi pulang, ibumu tentu telah memasakkan makanan yang
le-zat.......!"
„Aku, tidak memiliki ibu...!.
kata Ang-toa" sambil nyengir.
Pelayan itu mengerutkan
alisnya, dia memang telah mengetahui siapa Ang-toa, sianak nakal yang selalu
berlaku nekad jika keinginannya tidak diberikan. Tetapi beberapa kali dia
pernah memberikan kepada Ang-toa, namun dirinya telah dicaci maki oleh
majikannya, maka dia tidak berani memberikan lagi makanan untuk Ang-toa.
,,Engko Yang baik, ayo
dong...aku sudah lapar sakali nih...!" dan hidung Ang-toa kembangkempis
niencium masakan yang wangi dan lezat, perutnya semakin keruyukan.
,,Tetapi aku,tidak memiliki
hak disini untuk memberikan engkau makanan, nanti aku dimarahkan
majikanku.,.!" kata sipelayan.
„Mengapa engkau sekarang jadi
demikian pelit, engko ?" tanya Ang-toa.
„Bukannya pelit, tetapi rumah
makan ini bukan milikku...!".
„Engko yang baik, engkau
jangan begitu, aku sudah lapar sekali...!" kata. Ang-toa merengek.
Pelayan itu jadi habis sabar.
GAMBAR 01
„Engko yang baik, ayo dong
....... aku sudah lapar sekali
nih........... " dan
hidung Ang-toa kembang kempis mencium
masakan yang wangi dan lezat,
perutnya semakin keruyukan.
„Ang-toa, pergilah kau, aku
tengah sibuk melayani tamu-tamu...! Lihat, sudah ada tamu baru
lagi.......!" dan dengan alasan akan menyambut tamu, pelayan itu bermaksud
untuk masuk kedalam rumah makan agar tidak direweli Angtoa.
Tetapi Ang-toa telah menarik
ujung bajunya, sambil katanya : „Engko, jika engkau tidak mau membagi makanan
kepadaku, biar aku acak-acak rumah makan ini ..... ....!"
Sipelayan jadi kaget.
„Acak-acak?" tanyanya
sambil memandang Ang-toa, akhirnya pelayan itu menghela napas. „Ang-toa, engkau
jangan membawa lagak otak-otakan seperti itu. ....!"
Aku memang bisa mengerti
keadaanmu, yang tidak memiliki uang untuk membeli makanan tetapi kawan-kawanku
yang lain mana mau mengerti, mereka tentu akan me- ngambil tindakan keras jika
engkau menimbulkan huru-hara didalam rumah makan ini...!".
„Akh, perduli amat...... aku
lapar, aku meminta cara baik-baik tidak diberikan, maka lebih baik aku
merampas, atau mempergunakan kekerasan saja.......!" kata Ang-toa nekad.
Pelayan itu menghela napas
dalam-dalam.
„Terserah kepadamu
saja...!" dan setelah berkata begitu, sipelayan telah membalikkan diri dan
memasuki ruangan dalam rumah makan.
Ang-toa melihat dia ditinggal
begitu saja, telah melangkah masuk kedalam rumah makan. Tampak para tamu yang
ramai sedang makan deagan masakan yang beraneka macam dan menyiarkan bau harum
yang menusuk hidung Ang-toa, membuat hidung sibocah jadi kembang-kempis lagi.
Dia berdiri sejenak ragu-ragu, tetapi kemudian menghampiri meja seorang tamu
yang tengah menikmati hidangannya, terdiri dari ber- macam-macam sayur, ada
ayam panggang, ada kuwah dengan lidah ayam, dan macam-macam sayur lainnya.
Tetapi justru yang menarik hati Ang-toa adalah panggang ayam itu. Dia
mengulurkan tangannya mengambil ayam panggang itu, sambil katanya : „Paman,
bagi aku panggang ayamnya ya ?".
Tamu itu yang berusia diantara
tiga puluh tahun jadi terkejut dan menoleh. Lebih kaget lagi waktu dia melihat
panggang ayamnya mulai . digrogoti Ang-toa.
„Oh, anak kurang ajar,
pengemis tidak tahu diri !" berseru tamu itu. „Pelayan ! Pelayan ! Mana
pelayan ! Hayo usir pengemis kurang ajar ini, selera makanku jadi
menurun...!".,
Tiga orang pelayan
tergesa-gesa mendatangi, mereka berkata kepada Ang-toa dengan suara mengandung
kemarahan : „Ang-toa, hayo keluar... jangan sampai kami yang melemparkan dirimu
! ".
Tempi Ang-toa tidak melayani
ketiga orang pelayan itu, dia terus juga menggerogoti panggang ayamnya dengan
nikmat sekali.
Ketiga orang pelayan itu jadi
mendongkol, dua orang diantara mereka telah mengulurkan tangannya, mencekal
lengan Ang-toa, lalu anak itu diangkatnya dan dilemparkan keluar rumah makan
itu.
Tubuh Ang-toa terlempar
bergulingan kejaIan, tetapi ayam panggang ditangannya tidak terlepas, begitu
dia merangkak bangun, dia duduk, disamping pintu rumah makan dan meneruskan
gerogotannya pada panggang ayam itu.
Sebentar saja, panggang ayam
itu telah habis digerogotinya, hanya tinggal tulang-tulangnya saja.
Tetapi perut Ang-toa masih
Iapar sekali, dia telah melangkah ingin memasuki ruang rumah makan itu lagi.
Tetapi dua orang pelayan telah menghadang dan tidak membiarkan Ang--. toa masuk
kedalarn ruang rumah makan itu.
„Perutku masih lapar
nih........!" kata Ang-toa jadi sengit dihadang begitu.
„Jika masih lapar, pergi
engkau mencari uang untuk membeli makanan, jangan. seperti- sekarang seperti
seorang perampok saja! Apakah engkau kira rumah makan ini milik ayah
ibumu?"
„Aku sudah tidak memiliki ayah
dan juga tidak memiliki ibu, aku anak yatim! Jika ayahku masih hidup, tentu aku
juga tidak dihina seperti ini oleh kalian, karena aku akan memiliki uang dan
menampari muka kalian dengan uang !" ejek Ang-toa.
Tetapi kedua pelayan itu tidak
memperdulikan ejekan Ang-toa, mereka yang terpenting hanya menjaga anak ini
jangan sampai bisa masuk kedalam rumah makan itu lagi.
Sedangkan Ang-wa merasakan
perutnya masih berkeruyukan, maka dia melangkah terus untuk menerobos kedalam.
Tetapi kedua pelayan itu tetap menghadangnya,'kedua lengan Ang-toa dicekal
keras oleh kedua pelayan itu, dan dilemparkan keluar kembali.
Ang-toa masih terlalu kecil,
usianya paling tidak delapan tahun. Sedangkan kedua pelayan itu bertubuh tinggi
besar dan kuat, mana bisa Ang-toa melawannya ?
Tetapi dasarnya memang sangat
nakal, Ang-toa tidak kenal takut. Begitu dilempar dan terguling ditanah, segera
dia bangkit pula dan melangkah untuk masuk keruangan dalam rumah makan itu.
„Jika aku tidak diberikan
makanan untuk mengenyangkan perutku ini, aku tetap akan masuk untuk
mengacak-acak makanan para tamu......." kata Ang-toa.
Tetapi kedua pelayan itu tidak
memperdulikan ocehan anak itu, mereka selalu melemparkan tubuh Ang-toa setiap
kali anak itu berusaha untuk masuk kedalam ruangan rumah makan itu.
Mereka memang memiliki tenaga
yang kuat, maka Ang-toa selalu dapat ditemparkannya dengan mudah.
Ang-toa benar-benar tidak
kenal takut, dia dilemparkan bergulingan, segera bangun dan melangkah lagi
untuk masuk.
Keadaan seperti itu puluhan
kali dilakukannya, sehingga kedua pelayan itu kewalahan juga, karena biarpun
anak ini telah dilemparkan keras terbanting diatas tanah, tetap saja Ang-toa
tidak kenal takut dan berusaha untuk masuk lagi.
Kedua pelayan itu setelah melemparkan
Ang-toa sekian kalinya, telah saling pandang, salah seorang yang berdiri
dikanan telah berkata : „Lebih baik anak ini diberikan saja sisa makanan yang
tidak habis dilahap tamu, biar dia pergi saja........ lama-lama jadi pusing
kepalaku mengurusinya !"
Pelayan yang seorang lagi juga
setuju dengan usul kawannya.
„Tunggu, aku akan mengambilkan
makanan untukmu !" kata pelayan itu kepada Ang-toa.
„Oh engko yang baik hati, jadi
kalian mau membagi makanan untukku ?" tanya Ang-toa.
„Ya, kau tunggu dulu........
aku akan mengambilnya !" dan setelah berkata begitu, pelayan itu telah
masuk kedalam sedangkan yang seorangnya lagi tetap berdiri menunggui pintu,
sebab dia kuatir kalau-kalau nanti Ang-toa nekad masuk keruangan dalam lagi.
Tidak lama kemudian, tampak
pelayan yang seorang itu telah membawa keluar sebungkus makanan yang
campur-campur diberikan kepada Ang-toa.
Aag-toa menerima bungkusan
makanan itu, dia membukanya, tetapi ketika melihat yang terbungkus itu adalah
sisa makanan yang campur aduk dia jadi mendongkol, tahu-tahu bungkusan makanan
itu telah dilontarkian kemuka pelayan itu, sehingga muka sipelayan jadi
terbentur makanan itu yang berantakan kelantai.
„Engkau kira aku pengemis
diberikan makanan sisa yang campur aduk seperti itu?" kata Ang-toa.
Sedangkan sipelayan yang
mukanya penuh dengan nasi dan minyak sayur, telah habis kesabarannya. Tahu-tahu
dia telah menggerakkan tangan kanannya menghantam muka Ang-toa.
„Bukk.......!" muka
Aag-toa telah dipukulnya keras dan tubuh anak itu terjungkel kebelakang,
kepalanya menghantam batu undakan anak tangga sehingga benjol seketika itu
juga.
Tetapi Ang-toa tidak menjerit
sama sekali, walaupun matanya masih berkunang-kunang, dia telah bangkit dan
melangkah untuk masuk pula.
„Kalian minggir, biar aku saja
yang mengambilnya sendiri !" seru Ang-toa dengan mata yang masih nanar,
dia nekad sekali.
„Bukk,,,,!" kembali
pelayan itu telah menghantam bahunya, sampai Ang-toa terguling-guling lagi.
„Engkau tidak mau pergi, biar
kuhajar sampai kau mampus !" ancam pelayan itu dengan mendongkol sebab
mukanya jadi kotor oleh, segala macam sayur. Sedangkan pelayan yang satunya
hanya berdiri tertegun melihat kenekadan Ang-toa. Diam-diam didalam hatinya dia
bersyukur bahwa tadi Ang-toa bukan melemparkan bungkusan sayur itu kepadanya,
sehingga mukanya tidak perlu berlepotan minyak seperti kawannya itu.
Ang-toa tidak memperdulikan
ancaman sipelayan, tahu-tahu dia telah menyeruduk dengan kepalanya, sehingga
pelayan itu terjungkel, dan Ang-toa dengan mempergunakan kesempatan itu telah
cepat-cepat melangkah masuk. Dia melihat disebelah kanan dari meja pertama,
bertumpuk makanan bermacam-macam dan tampak dua orang tengah menikmatinya.
Dengan gesit Ang-toa telah menyambar sepotong ayam panggang, dan semangkok
sayur kuah.
Dia juga telah menyambar
semangkok nasi, kemudian memutar tubuhnya untuk keluar. Sambil menggerogoti
panggang ayam, Ang-toa meninggalkan rumah makan itu.
Kedua pelayan itu jadi berdiri
bengong saja, mereka jadi takjub melihat kenakalan anak itu, yang telah
dibanting, dipukul, tetapi tetap mengacak makanan tamu ! Sedangkan beberapa
orang pelayan diruangan dalam telah cepat-cepat menggantikan makanan tar,nu yang
tadi diambil oleh Ang-toa. Sedangkan kedua orang tamu itu hanya saling pandang,
kemudian mengomel seorang diri karena sengit makanan mereka telah diambil oleh
seorang anak lelaki seperti pengemis itu.
Sedangkan kasir rumah makan
itu telah marah-marah dan mencaci maki kedua pelayan yang dikatakannya bodoh
seperti kerbau, menghadapi seorang anak kecil seperti Ang-toa saja mereka tidak
sanggup !
Pelayan yang seorangnya, yang
mukanya kena ditimpuk dengan bungkusan sayur, telah menggumam dalam hatinya
dengan mendongkol : „Kau tidak tahu saja anak itu anak sinting, jika engkau
yang menghadapinya mungkin telah muntah darah, karena mendongkol......!"
tetapi pelayan tersebut jelas tidak berani mengutarakan pikirannya itu. Dia
telah ngeloyor masuk tanpa memberikan komentar apa-apa terhadap makian kasir
tersebut.
Ang-toa sambil menggerogoti
ayam panggangnya telah menyusuri jalan itu, dia telah memakan juga kuwah sayur
itu dan-kemudian berhenti dibawah sebatang pohon untuk memakan nasinya.
Akhirnya dia merasakan perutnya telah kenyang, sambil mengusap-usap perutnya
yang menjadi buncit, Ang-toa telah melemparkan mangkok nasi dan sayur kuwah itu
seenaknya saja, dia merebahkan dirinya dibawah pohon itu, untuk tidur !
Tetapi Ang-toa belum tidur
terlalu lama, tahu-tahu pinggulnya ditendang seseorang, sampai Ang-toa
terbangun dengan terkejut.
„Anak manis, mengapa engkau
tidur di jalanan seperti itu ?" tanya seseorang.
Ang-toa mengucek-ucek matanya,
dia melihat seorang pengemis berusia lanjut, mungkin lima puluh tahun, tengah
berdiri mengawasinya.
„Hei kakek pengemis kurang
ajar ! Mengapa engkau mengganggu tidurku ? Aku tidur disini apa halangannya
denganmu, tokh tidak merugikan dirimu.
Ditegur begitu oleh Ang-toa,
pengemis tua tersebut telah tersenyum sabar.
„Engkau tidak pantas dalam
usia demikian muda harus terlunta-lunta seperti ini !
Mengapa engkau tidak pulang
kerumah orang tuamu ?"
„Aku tidak memiliki ayah
!"
„Dan ibumu ?".
„Juga aku tidak memiliki ibu !
Sudah engkau jangan rewel, kakek pengemis aku masih mengantuk ingin menyambung
tidurku...!" dan setelah berkata begitu, Ang-toa telah memejamkan malanya
lagi, dia telah meringkuk untuk mereruskan tidurnya.
Tetapi pengemis tua itu sambil
tersenyum telah mengayunkan kakinya lagi menendang pinggul Ang-toa, smpai
Ang-toa melompat saking sengitnya.
„Mengapa engkau masih terus
menggangguku ?'' tegurnya dengan suara mendongkol.
„Aku bukan bermaksud
mengganggumu, tetapi aku masih ingin menyampaikan pertanyaan kepadamu !"
„Pertanyaan apa ?". tanya
Ang-toa tambah sengit.
„Apakah tidak bisa nanti
setelah aku bangun tidur...! ".
„Aduh, anak ini benar-benar
galak sekali", mengoceh pengemis tua itu.
„Apakah engkau melihat
pakaianku seperti pengemis ini sehingga engkau berlaku galak seperti itu.
Aku mau tidur, kau dengar
tidak? Aku mau tidur !!" teriak Ang-toa dengan suara keras karena dia
benar-benar sangat mendongkol, apa lagi matanya memang sangat mengantuk sekali.
„Jika engkau mengantuk,
tidurlah...!" kata pengemis tua itu sabar, sambil senyum-senyum mengawasi..
Ang-toa.
Tetapi Ang-toa sudah
menggelengkan kepalanya.
„Tidurku telah gagal! Sekarang
engkau katakan, pertanyaan apa yang ingin engkau tanyakan...?" tanya
Ang-toa sambil mengawasi pengemis itu dengan sengit.
„Aku ingin bertanya kepadamu,
apakah perutmu telah kenyang makan makanan yang kau rampas tadi ?" tanya
sipengemis itu.
„Kau ?" tanya Ang-toa
sambil mementang kedua matanya lebar-lebar.
„Kau tadi menyaksikan aku
mengambil secara paksa makanan dirumah makan itu?"
„Ya, aku melihatnya...!" mengangguk
sipengemis.
„Dan aku sekarang bertanya
kenyangkah makanmu ?"
„Jika sudah kenapa ? Jika
belum kenapa pula ?" tanya Ang-toa otak-otakan.
„Jika sudah kenyang, ya
sudah...... tetapi jika engkau belum kenyang, aku masih menyimpan sedikit
makanan......!" sambil berkata begitu sipengemis tua tersebut telah
mengeluarkan dari sakunya sepotoag panggang bebek yang digerogotinya.
„Engkau mau tidak makanan ini
?" sambil mengunyah dia telah bertanya.
Ang-toa mengawasi panggang
bebek yang telah semplak kena digrogoti oleh pengemis itu, dia berdiam diri
sejenak.
„Engkau mengiler ?" tanya
sipengemis.
Ang-toa menggelengkan
kepalanya, dia bilang: „Tidak....! Tidak.....! Aku sudah kenyang".
„Engkau jijik melihat-panggang
bebekku ini ?" tanya sipengemis tua itu.
Ang-toa tidak menyahuti, dia
hanya mengawasi panggang bebek ditangan pengemis itu.
„Katakan terus terang, engkau
jijik atau tidak melihat, panggang bebekku ini?" tanya sipengemis tua itu
lagi dengan suara mendesak.
Akhirnya Ang-toa mengangguk
juga. „Apakah tidak kotor ditaruh dalam saku bajumu ?" tanya Ang-toa untuk
mengalihkan persoalan.
„Hemm......, justru aku
mengambil panggang bebek ini begitu selesai dimasak, tidak seperti engkau
bersusah payah hanya dapat sedikit saja dari panggang ayam!
Itupun harus dibanting-banting
dulu dirimu, dan engkau juga kena dipukul beberapa kali...!".
Muka Ang-toa jadi merah.
„Engkau mengambil sendiri, aku
juga mengambil sendirl" makanan yang kukeheadaki! sahut Ang-toa tidak mau
kalah.
.„Ya, tetapi aku mengambil sendiri
tanpa dipukul, sedangkan engkau mengambil sendiri tetapi kenyang dipukul dan
dibanting.......!"
„Tetapi yang terpenting
akhirnya aku bisa memperoleh makanan yang kuingini...!" menyahuti Ang-toa.
„Lagi pula aku masih kecil, sedangkan engkau telah tua..... tentu saja aku
tidak memiliki tenaga untuk menghadapi pelayan-pelayan itu......!"
Mendengar perkataan seperti
itu, sipengemis tertegun.
„Tunggu nanti kalau aku sudah
besar, aku tentu mengambil sendiri tanpa perlu dipukul dulu oleh
pelayan-pelayan jahat itu......!"
„Hemm......, belum tentu! Jika
engkau dikeroyok empat atau lima orang pelayan, tentu mukamu akan bengkak dan
babak belur dulu, baru bisa memperoleh makanan yang kau ingini" kata
sipengemis tua itu sambil senyum.
„Sedangkan aku tidak terkena
pukul sama sekali ! Bahkan para pelayan itu sendiri tidak mengetahui bahwa
makanan mereka telah berkurang dicuri olehku.
„Engkau memperoleh panggang
bebek itu dengan mencuri ? Ciss.....!, aku justru, tidak mau menjadi pencuri,
jika aku miau tentu aku akan memberitahukan mereka secara berterus terang, dan
akupun akan mengambilnya didepan mata mereka !" .
„Sungguh kata-kata yang
bersemangat sekali!" kata pengemis tua itu sambil tersenyum.
„Sekarang apa lagi yang hendak
kau tanyakan ? Jika telah selesai, aku mau melanjutkan .tidurku......!"
kata Ang-toa.
„Jika memang benar engkau
bermaksud untuk tidur, tidurlah, mengapa engkau tidak mau tidur
?"membaliki bertanya sipengemis.
„Hemm......, tentu saja aku
tidak bisa tidur karena digoda oleh engkau terus menerus.....!"
Mendengar perkataan itu,
sipengemis tua itupun telah tersenyum sambil duduk dibalik batang pohon yang
satunya.
„Eh, engkau juga mau tidur
disitu ?" tanya Ang-toa agak kaget.
„Benar ! Kenapa ? Pohon ini
bukan milikmu !" kata sipengemis itu.
„Tetapi... tetapi...."
Ang-toa tidak bisa meneruskan perkataannya, dia hanya memgawasi sipengemis
dengan sorot mata yang tajam, seperti juga anak itu tengah memikirkan sesuatu.
„Kenapa tetapi-tetapian
begitu?" tanya sipengemis lagi.
„Jika aku tidur disini
bersama-sama dengan engkau, nanti orang-orang mengira....... mengira aku
ini........"
„Menduga engkau pengemis
juga?" tanya sipengemis tua itu memutusi perkataan Ang-toa.
Ang-toa telah berobah mukanya
menjadi merah, karena isi hatinya telah diterka tepat sekali oleh pengemis tua
tersebut.
„Benar !" sahutnya
kemudian.
„Jika memang engkau ingin
tidur disitu, biarlah aku pindah ketempat lain lagi !".
„Hemm......," sipengemis
telah tertawa dingin, dia bilang: „Dengan engkau tidur dibawah pohon ini, dan
pakaianmu yang kotor itu, sudah jelas orang akan menduga engkau sebagai
pengemis kecil !"
Ang-toa tertegun, dan didalam
hatinya dia mengakui kebenaran perkataan pengemis tua itu.
„Tetapi yang jelas aku bukan
pengemis !" kata Ang-toa kemudian.
„Biarpun engkau berkata begitu
seribu kali, tetapi. dengan keadaanmu yang mesum seperti itu dan lagakmu yang
urakan, tentu engkau akan dianggap sebagai pengemis !
Aku berani bertaruh, bahwa
engkau bukan manusia yang mudah menerima tuduhan orang, tetapi kepada siapa
saja engkau bertanya, tentu mereka pertama-tama akan menduga engkau sebagai
pengemis !".
Ang-toa merasakan dia tidak
mungkin menang bicara dengan pengemis tua itu, dia telah membalikkan tubuhnya,
maksudnya untuk meninggalkan pengemis tua itu.
„Tunggu dulu, engkau jangan
pergi dulu !'' kata sipengemis.
Ang-toa jadi menahan kakinya,
dia telah bilang: „Apa lagi yang engkau hendak katakan ?."
„Aku ingin mengajak engkau
untuk menjadi sahabatku ! Jangan takut, soal makan...... aku yang jamin engkau
tidak akan lapar lagi.........!''
Ang-toa jadi berdiri mematung.
Dia mengawasi pengemis tua itu, dan pakaiannya yang penauh tambalan. Tetapi
akhirnya Ang-toa berpikir didalam hatinya: „Lebih baik aku bersahabat dengan
dia, bukankah aku tidak mempunyai ayah ibu lagi dan juga tidak memiliki rumah ?
Memang benar apa yang dikatakan pengemis tua itu, jika dia mau menjamin makanan
untukku, apa salahnya ?."
Setelah berpikir begitu,
Ang-toa berkata ragu-ragu.
„Tetapi aku tidak mau jika
dibenkan makanan sisa......"
„Oh tentu saja tidak! Aku akan
mengambilnya langsung dari dapur setiap rumah makan.......! Engkau tentu akan
merasakan, betapa nikmat menjadi sahabatku.......!"
„Baiklah, aku mau bersahabat
dengan kau.......!" kata Ang-toa sambil menganggukkan kepalanya.
Sipengemis tua itu tampaknya
jadi girang, dia sampai melompat bangun.
„Nih kau terima dulu bebek
panggang !" katanya sambil merogoh sakunya, dia telah mengeluarkan bebek
panggang yang bulat, dan masih mengeluarkan asap yang cukup hangat ! Ang-toa jadi
heran, ragu-ragu dia. mengulurkan tangananya dan dia merasakan bebek panggang
itu masih hangat, maka dia percaya perkataan sipengemis tua bahwa dia mengambil
langsung dari dapur rumah makan waktu bebek panggang itu baru matang.
Tanpa ragu-ragu lagi Ang-toa
telah menggerogoti bebek panggang itu, dia telah mengunyah sambil bertanya :
„Aku heran bagaimana caramu mengambil bebek panggang ini ?"
„Aku memiliki caraku sendiri,
jika kelak engkau telah benar-benar menjadi sahabatku dan mau melakukan
perjalanan bersamaku, maka aku akan mengajari engkau untuk mengambil makanan
yang engkau ingini tanpa diketahui, oleh orang yang empunya...!". . Tetapi
Ang-toa telah menggelengkan kepa lanya.
„Tadi aku mengatakan mau
bersahabat denganmu, bukan berarti aku bersedia melakukan perjalanan
bersama-sama dengan engkau !".
„Engkau tidak tertarik untuk
mempelajari ilmu mengambil makanan tanpa diketahui pemiliknya ?" tanya
pengemis tua itu.
Ang-toa, menggelengkan
kepalanya.
„Sayang sekali aku tidak
memiliki cita-cita untuk menjadi pencuri...!" menyahuti' Ang-toa.
„Bukannya maling, tetapi
engkau bisa memiliki kepandaian mengambil barang makanan yang kau ingini itu
tanpa diketahui yang punya, bukankah lebih enak jika dibandingkan harus
dipukuli dulu baru memperoleh?"
„Sudahlah, aku memang mau
bersahabat dengan kau, tetapi jangan engkau memaksa aku untuk melakukan
perjalanan denganmu !"
Sipengemis tua itu telah
tersenyum, dia mengangguk-angguk saja.
Sedangkan Ang-toa setelah
selesai menggeragoti panggang bebek itu, telah bangun berdiri, katanya: „Terima
kasih atas pemberianmu itu, mudah-mudahan nanti kita bisa bertemu lagi.
Pengemis tua itu tidak terlalu
memaksa lagi, dia hanya mengangguk mengiyakan.
Diawasinya Ang-toa yang sedapg
melanagkah pergi.
„Seorang anak beradat keras
dan memiliki bakat yang baik......!" menggumam pengemis tua itu dengan
sikap yang bersungguh-sungguh, lalu dia menghela napas.
---oo0oo---
Waktu itu, Ang-toa telah
menyusuri jalan itu, menikung beberapa jalur jalan, kemudian dia berhenti
disebuah persimpangan jalan.
„Kemana aku mau pergi ?"
pikir Ang-toa sesaat kemudian. „Atau lebih baik aku pergi tidur dikuil tua itu
saja...!" dan setelah berpikir begitu Ang-toa menuju kepintu kota sebelah
barat, dia telah menghampiri. sebuah kuil tua yang rusak disana-sini tidak
terawat lagi. Dan Ang-toa memasuki kuil itu, lalu merebahkan tubuhnya dilantai
disamping meja sembahyang yang sudah tidak terurus itu.
Kali ini Ang-toa dapat tidur
dengan nyenyak, karena tidak ada orang yang mengganggunyal.
Tetapi menjelang sore hari,
Ang-toa tersadar dari tidurnya, dia mendengar suara langkah-langkah kaki kuda
yang tengah berlari mendatangi kearah kuil itu.
Ang-toa menggeliat dan
kemudian duduk, dia mendengar derap langkah kaki kuda itu berhenti dan
seseorang telah memasuki kuil rusak itu.
Ang-toa segera dapat melihat
orang itu seorang siucai (pelajar) yang berpakaian rapih sekali. Usia siucai
itu mungkin baru tiga puluh tahun, dia membawa pedang dipunggungnya.
Siucai itu juga rupanya telah
melihat Ang-toa, maka dia telah berkata.: „Hei pengemis kecil; inikah
kota-Bua-siong-kwan?"
„Berapa biji matamu, sehingga
seenakmu saja memanggil aku pengemis kecil ?" balik tanya Ang-toa tanpa
menyahuti pertanyaan sisiucai.
„Heeh ?" siucai itu jadi
tertegun, dia jadi kaget ditegur begitu oleh Ang-toa, kemudian katanya dengan
mendongkol : „Sudah tentu biji mataku sepasang ! Apakah salah jika aku
memanggilmu dengan sabutan pengemis kecil ?".
„Aku bukan pengemis !"
menyahuti Ang-toa dengan mendongkol.
„Tetapi...pakaianmu kotor dan
mesum, keadaanmu dekil sakali, bagaimana mungkin engkau tidak mengakui dirimu
sebagai pengemis !".
„Walaupun keadaanku kotor dan
dekil, tetapi aku tidak pernah minta makan kepadamu..." meuyahuti Ang-toa
dengan sengit.
Pelajar itu jadi tertegun
lagi, tetapi kemudian dia telah tertawa keras, tertawa karena dia merasa lucu
hari ini bisa bertemu dengan seorang anak lelaki kecil memiliki sifat seperti
Ang-toa.
„Lalu panggilan apa yang
sekiranya cocok untuk dirimu ?" tanya pelajar itu kemudian.
„Apa saja...bukankah engkau
bisa memanggilku dengan nama engko kecil atau anak kecil, atupun lebih pantas
dari pada engkau memanggilku dengan „sebutan sebagai pengemis kecil...!".
„Jika memang demikian, baiklah
!" kata pelajar itu mengalah. „Engko kecil, benarkah kota ini kota
Bun-siong-kwan
„Benar !" menyahuti
Ang-toa.
Pelajar itu jadi agak
canggung, karena Ang-toa hanya menyahuti sepatah saja pertanyaannya itu.
„Mengapa engkau berada dikuil
rusak ini ?" tanyanya kemudian.
„Jika engkau bertanya begitu, tanyakanlah
dirimu sendiri mengapa engkaupun berada dikuil rusak ini...!".
„Mulutmu ternyata jahat
sekali, bocah!" kata sipelajar yang jadi habis kesabarannya. „Engkau
rupanya kepala batu dan nakal sekali, sehingga diusir oleh orang tuamu, bukan
?"
„Ada urusan apa denganmu ? Aku
diusir atau tidak itu urusanku sendiri......!".
„Benar, tetapi keadaanmu yang
dekil itu, persis seperti pengemis kecil..:!" dan setelah. berkata begitu
tampak pelajar..tersebut telah mengeluarkan suara tertawa yang bergelak-gelak.
„Hemm...........",
mendengus Ang-toa sambil berdiri, dia meneruskan perkataannya : „Aku sudah
mengatakan antara engkau dengan diriku tidak ada sangkutan apa-apa, mengapa
engkau jadi demikian sibuk mengurusi diriku ? Aku mau memakai baju tambalan atau
tidak, itu urusanku.....!" dan Ang-toa telah mementang kakinya, untuk
meninggalkan kuil itu.
Tetapi sipelajar rupanya telah
mendongkol oleh sikap yang diperlihatkan Ang-toa, dia telah melompat sambil
mengulurkan tangannya mencengkeram baju belakang anak itu.
„Hei, apa yang hendak kau
perbuat ?" teriak Ang-toa kaget, karena tubuhnya tahu-tahu telah melayang
ditengah udara dan kemudian meluncur terbanting diatas lantai dengan keras
bukan main.
Pandangan matanya jadi gelap
dan nanar, karena bantingan itu bukan seperti bantingan dan lemparan para
pelayan rumah makan.
Dengan teraduh-aduh memegangi
pinggangnya yang sakit Ang-toa telah mengoceh : „Dasar pelajar tidak tahu
aturan ! Mengapa engkau menyakiti aku seperti ini........?".
Pelajar itu telah mendengus, dia
mengulurkan kakinya dan menendang tubuh Ang-toa, sehingga tubuh anak itu telah
terpental lagi dan terbanting diatas Iantai dengan keras.
Kali ini Ang-toa tidak bisa
segera bangkit. karena disaat itu dia merasakan kepalanya gelap, hampir saja
dia jatuh pingsan.
„Bocah kurang ajar ! Jika
engkau tidak mau meminta ampun dan maaf, maka engkau
jangan...........menyalahkan diriku yang akan menyiksamu sampai tulang-tulangmu
itu berantakan !" kata pelajar itu .
Sedangkan Ang-toa tidak bisa
menyahuti, karena dia masih teraduh-aduh dan merangkak berdiri dengan tubuh
yang sakit-sakit.
Dengan bersusah, payah Ang-toa
telah berusaha untuk bangun, tetapi dia tidak bisa merangkak bangun disebabkan
tulaag punggungnya terasa sakit dan matanya masih ber-kunang2.
„Engkau mau meminta ampun atau
tidak?" tegur sipelajar.
„Tidak !" menyahuti
Ang-toa keras, walaupun matanya masih berkunang-kunang, tetapi dia memang
memiliki adat yang keras sekali.
„Apa ? Engkau tidak takut
nanti kubanting sampai tulang-tulangmu berantakan bentak sipelajar.
„Tentu saja bisa kau lakukan,
karena aku anak kecil dan engkau seorang yang dewasa, sehingga bisa saja engkau
membanting diriku sekehendak haimu.....!" Memang Ang-toa nekad sekali,
walaupun matanya masih berkunang-kunang, namun setiap perkataan pelajar itu
selalu disahutinya.
Dengan demikian sipelajar jadi
tambah se'ngit dan dia telah melompat kedekat Ang-toa, kemudian mengulurkan
tangan kanannya mencengkeram baju anak itu, tubuh siapa tehlah diangkatnya
untuk -dibantingkaii pula.
Namun belum lagi tubuh Ang-toa
dibanting, disaat itu teglah terlihat sesosok bayangan berkelebat dan berteriak
: „Jangan dibanting...!".
Dan bukan hanya berkata
saja;" bayangan itu juga telah mempergunakan sepotong kayu kecil untuk
menyodok perut sipelajar.
Pelajar itu jadi kaget, dia
mengeluarkan seruan sambil melompat mumdur, karena gerakan bayangan itu gesit
sekali dan serangan kayu yang tipis keperutnya juga bukan serangan yang
sembarangan, karena justru kayu yang kecil tipis itu mengincar jalan darah Ma-hiong-hiat
didekat ulu hatinya. Kalau sampai jalan darahnya itu terkena sodokan kayu keeil
itu, dia tentu bisa menemui maut.......
Sambil melompat, sipelajar
telah melontarkan tubuh Ang-toa, tetapi pengemis itu tidak mendesak sipelajar,
dia mempergunakan kayu yang tipis kecil itu untuk menggaet tubuh Ang-toa,
sehingga anak itu tidak sampai terbanting lagi.
Ang-toa yang telah bisa
berdiri, mementang matanya Iebar-Iebar, untuk girangnya dia mengenali pengemis
tua yang telah mengajaknya bersahabat, itulah yang telah menolonginya.
„Eh.........temananku!"
panggil Ang-toa girang.
„Sebagai sabat engkau telah
menolongi ku ! Sekarang aku minta engkau pukul pantatnya pelajar sombong. itu
sepuluh kali!
Bisakahh engkau melakukannya
?"
Pengemis tua itu tersenyum.
„Tentu saja bisa...apa
susahnya sih memukuli pantat sipelajar busuk yang hanya berani anak kecil saja
?"
Dan sambil berkata begitu:
sipengemis tua telah melompat, dengan gerakan yang cepat sekali, sehingga
Ang-toa tidak bisa melihat dengan jelas.
Dan yang kaget adalah
sipelajar yang telah berseru.
Tetapi suaranya belum lagi
habis diucapkannya, tahu-tahu punggungnya telah terdorong sesuatu, sehingga dia
jatuh ter-jereambab, walaupun kedua kakinya telah memasang kuda-kuda yang kuat
mencegah tubuhnya terjerunuk, tidak urung dia terjerambab juga.
Disaat itulah pinggulnya jadi
sakit sekali, karena sipengemis telah memukuli pantatnya dengan mempergunakan
kayu kecil tipis itu.
Walaupun kecil dan tipis,
tetapi kayu itu ditangan sipengemis tua seperti telah......,berobah menjadi
sebatang baja yang kuat sekali.
Sipelajar berusaha untuk
meronta, tetapi kaki kanan pengemis tua itu telah menginjak pinggangnya, maka
pelajar itu jadi tidak berkutik sama sekali.
Cepat sekali sipengemis tua
telah memukul sepuluh kali pinggul pelajar itu, kemudian dia telah melompat
kesamping Ang-toa.
„Sahabatku, aku telah
membantuimu membayar lunas penasaranmu dengan memukul dia sepuluh kali sabetan
! Kau puas belum ?".
„Puas .....! Puas.....,!"
menyahuti Ang-toa dengan sikap girang.
Sedangkan sipelajar telah
merangkak bangun dengan muka yang pucat, dengan sikap takut-takut dia teiah
berkata tidak begitu jelas : „Kalau....., kalau...... tidak salah Boanpwe
(tingkatan yang lebih muda) tengah berhadapan dengan le Hong Sin Kay Locianpwe ?"
„Tidak salah ! Aku memang Ie
Hong Sin Kay (Pengemis Sakti Dengan Pakaian Burung Hong) menjahuti sipengemis.
„Aku bergelar le Hong Sin Kay karena pakaianku yang tambal sulam dengan
warna-warni yang menarik ini ...... bukankah sama seperti warna-warna dibulu
burung Hong?"
Muka sipelajar semakin pucat,
dia telah merangkapkan, kedua tangannya menjura memberi hormat, sikapnya
ketakutan sama sekali : „Maafkan......Boanpwe...... karena Boanpwe tidak tahu
bahwa anak itu sahabat Locianpwe .... maafkan Boanpwe Thung Liu
Cie.....!!"
„Hemmm..........., apakah kau
masih bisa hidup jika aku tidak memaafkan dirimu ....?" menegur sipengemis
dengan suara yang perlahan.
Tetapi pelajar itu jadi
girang, dia telah menghaturkan terima kasih berulang kali : „Terima kasih atas
pengampunan Locianpwe .... ijinkan Boanpwee......berlalu ...."
Dan tanpa berani menoleh lagi,
pelajar itu telah melangkah keluar dari ruangan kuil itu, tidak lama kemudian
terdengar suara larinya kuda tunggangannya.
Sedangkan Ang-toa jadi heran
melihat sikap sipelajar yang begitu ketakutan kepada pengemis tua .:
„Sahabatku,.*sebenarnya siapa
sih engkau ini sehingga pelajar busuk yang. jahat itu ketakutan kepadamu
?" tanya. Ang-toa kemudian sambil mengawasi sipengemis tua.
Pengemis tiu itu tersenyum.
„Sama seperti engkau
juga......." sahutnya.
„Sama seperti aku bagaimana
?" tanya Ang-toa tidak mengerti,
„Bukankah engkau walaupun
usiamu demi kian muda belia, tetapi anak-anak yang lebih tinggi usianya darimu
juga ketakutan jika melihatmu ? Nah, sama seperti keadaanmu itu, pelajar itu
juga akan ketakutan jika melihat aku.......!"
Mendengar keterangan
sipengemis, Ang-toa jadi tidak bisa menahan tawanya,
„Mengapa engkau tertawa
?" tanya sipengemis tua le Hong Sin Kay.
Aku merasa lucu, keadaan kita
hampir sama", kata Ang-toa. ,,Kau ditakuti oleh oraag-orang yang telah
dewasa, sedangkan aku ditakuti anak-anak sebayaku...!".
„Tentu saja, engkau seorang
anak yang nekad dan tidak perduli akan jiwamu sendiri tiap melakukan
tindakan.....!" menyahuti sipengemis tua itu. „Nah, bukankah dengan
mengikat tali persahabatan denganktu engkau tidak rugi ?"
„Benar !".
,,Apa lagi engkau mau,
mempelajari ilmj mengambil makanan tanpa diketahui oleh pemiliknya, maka engkau
lebih tidak rugi Iagi...!" kata pengemis tua itu.
Walaupun nakal, tetapi Ang-toa
memiliki otak yang sangat cerdas sekali. Dia telah melihat pengemis tua ini ditakuti
sekali oleh pelajar itu, dan juga tadi sekali lompat saja dia telah bisa
menghukum pelajar yang bernama Thung Liu Cie itu, maka Ang-toa telah menekuk
kakinya, dia telah berlutut dihadapan pengemis itu.
„Terima kasih atas bantuan
lopeh, dan maukah lopeh mengambil aku menjadi murid untuk mempelajari ilmu yang
dimiliki lopeh ?" tanya Ang-toa.
„Oh tentu saja mau, bukankah
sejak bertemu aku telah menegaskan, kalau saja engkau mau mempelajari ilmuku,
tentu engkau tidak selalu menerima hinaan...!" menyahuti le Hong Sin Kay.
„Tetapi untuk menjadi muridku, engkau harus mentaati beberapa persyaratan dari
pintu pergu uanku..........."
Apa syarat-syaratnya itu,
lopeh ?" tanya Ang-toa.
„Engkau harus menjunjung
tinggi nama perguruanmu, tidak boleh mendatangkan malu dengan sikap pengecutmu,
walaupun menghadapi kematian, tetapi jika memang membela yang benar, engkau
tidak boleh menyerah ! Untuk itu aku percaya engkau bisa mentaatinya, karena
aku telah menyaksikan sifat-sifatmu beberapa saat yang lalu......!
Yang kedua, engkau harus
menuruti setiap perkataanku, tidak boleh membantah !
Jika engkau membantah
petunjukku, maka engkau akan menerima hukuman yang tidak ringan......!"
„Tentu saja jika lopeh telah
menjadi guruku, maka aku-harus menuruti setiap petunjuk dan kata-kata lopeh,
mana mungkin aku berlaku kurang ajar kepada guruku !" kata Ang-toa. .
„Bagus ! Dan syarat ketiga.,
engkau tidak boleh mengandalkan kepandaianmu untuk menghina yang lemah, tidak
boleh terlalu mudah membinasakan seseorang lawan, dan juga tidak, boleh
melakukan perbuatan-perbuatan buruk"
„Jika memang peraturan itu
untuk mendidik aku menjadi anak yang baik dan tidak melakukan
perbuatan-perbuatan yang buruk, tentu saja harus dipatuhi! Tetapi ada satu yang
tidak bisa kupatuhi, jika memang lopeh me minta aku menjadi
pencuri-makanan.......!"
Mendengar perkataan Ang-toa,
sipengemis jadi tertawa bergelak-gelak:
„Soal itu kita tidak usah
bicarakan sekarang, aku juga tidak memaksa engkau men jadi pencuri makanan,
hanya mengambil makanan tanpa setahu yang empunya...!".
„Itupun sama saja lopeh, suatu
perbuatan pencuri juga !" kata Ang-toa.
„Ya...., ya,,,,,, nanti bila
engkau telah lebih besar dari sekarang engkau bisa mengerti apa maksudku ! Dan
syarat satunya lagi, yaitu engkau harus menjadi anggota Kaypang, yaitu
perkumpulan pengemis........! "
„Itu.......itu..
........"
Melihat Ang-oa ragu-ragu
sipengemis telah tertawa lagi.
„Sebelum engkau, aku telah
menerima murid lain orang, dan mereka semuanya telah masuk menjadi anggota
Kaypang......." menjelaskan calon guru itu.
„Tetapi.......aku harus
berpakaian sebagai pengemis setiap hari?" tanya Ang-toa kemudian. ,,Benar
! Enkau keberatan?"
„Tentu saja...nanti semua
orang memanggil aku sipengemis ?"
„Begitulah.......!"
mengangguk le Hong Sin Kay.
„Memang selanjutnya semua
orang akan memanggil kau sebagai pengemis!
Tetapi engkau tidak boleh
memiliki pikiran bahwa menjadi pengemis tidak dihormati orang, asal engkau
selalu melakukan perbuatan baik, pasti hasilnya juga akan menjadi baik ! Jika
engkau selalu berdiri digaris keadilan, maka engkau akan disegani kawan dan
lawan !
Seperti tadi pemuda Thung Liu
Cie, dia telah menghormati dan ketakutan melihat diriku ! Bukankah engkau
'telah' menyaksikan sendiri ?"
Mendengar perkataan sipengemis
tua Ie Hong Sin Kay, Ang-toa telah mengangguk angguk beberapa -kali mengiyakan.
„Baiklah, aku bersedia untuk
menjadi anggota Kay-pang!" kata Ang-toa, kemudian sambil menganggukkan
kepalanya.
„Dan sekarang kita sembahyang
pengangkatan guru dan murid...!" kata Ie Hong Sin Kay mengajak Ang-toa
kedekat meja sembahyang. Dia mengeluarkan bibit api, membakar sisa lilin yang
masih ada dimeja sembahyang, lalu mereka menjalani peradatan untuk pengangkatan
guru dan murid.
Ang-toa telah berlutut.
dihadapan sipengemis dan berkata mengangkat sumpah „Jika memang aku Ang-toa
berani kurang ajar dan menghianati perkumpulanku, Kaypang, biarlah tubuhku
tidak diterima bumi dan langit dan dibacoki oleh ratusan ribu golok dan
pedang..,,,,,.!"
„Bagus ! Bangunlah muridku.......
dan untuk selanjutnya engkau harus belajar yang-rajin, agar kelak dengan
mempergunakan kepandaianmu engkau bisa mengangkat nama baik
Kaypang......."
Ang-toa juga telah memberi
hormat sambil memanggil „Suhu !" tiga kali. Selesailah sembahyang pengangkatan
guru dan murid itu.
---oo0oo---